evaliasi kebijakan

39
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perspektif Ekonomi Politik Pendidikan Pada Pembangunan Jangka Panjang II ( PJP II ), peningkatan kualitas SDM mendapatkan perhatian yang sangat besar ( Djojonegoro, 1998 : 11 ). Seiring dengan itu, dalam GBHN 1993 telah digariskan seperti dibawah ini : Titik berat Pembangunan Jangka Panjang Kedua diletakkan pada bidang ekonomi, yang merupakan penggerak utama pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusia; dan didorong saling memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan bidang-bidang lainnya yang dilaksanakan seirama, selaras, dan serasi dengan keberhasilan pembangunan bidang ekonomi dalam rangka mancapai tujuan dan sasaran pembangunan nasional” . Dalam mensukseskan pembangunan nasional yang bersifat berkesinambungan ( suistainnable ), dan untuk mencapai masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka kiranya perlu mengkaji dan melihat pendidikan dari perspektif ekonomi politik. Ekonomi dan Pendidikan merupakan dua komponen yang saling memberikan pengaruh timbal balik. Pendidikan menurut, ( Kartono, 1992 : 309 ), merupakan komponen ekonomi yang penting, karena dapat memproduksi tenaga kerja terampil yang dapat memasuki pasaran kerja, disamping membentuk manusia- manusia ekonomis untuk pembangunan masyarakat demi kelestarian hidup bangsa. Laju pertumbuhan ekonomi ternyata baru dapat memberikan keuntungan minimal kepada strata sosial paling miskin, baik yang ada di daerah pedesaan maupun di daerah-daerah kumuh dipinggiran kota. Keuntungan di sektor industri, pertambangan, perkebunan belum didistribusikan secara merata sampai kelapisan bawah. Sebagai akibatnya, strata sosial marginal dan paling miskin ( kurang mampu ) tadi juga mendapatkan porsi pendidikan formal ( sekolah ) paling sedikit atau minimal.

Transcript of evaliasi kebijakan

Page 1: evaliasi kebijakan

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perspektif Ekonomi Politik Pendidikan

Pada Pembangunan Jangka Panjang II ( PJP II ), peningkatan kualitas SDM

mendapatkan perhatian yang sangat besar ( Djojonegoro, 1998 : 11 ). Seiring

dengan itu, dalam GBHN 1993 telah digariskan seperti dibawah ini :

“Titik berat Pembangunan Jangka Panjang Kedua diletakkan pada bidang ekonomi, yang merupakan penggerak utama pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusia; dan didorong saling memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan bidang-bidang lainnya yang dilaksanakan seirama, selaras, dan serasi dengan keberhasilan pembangunan bidang ekonomi dalam rangka mancapai tujuan dan sasaran pembangunan nasional” . Dalam mensukseskan pembangunan nasional yang bersifat berkesinambungan

( suistainnable ), dan untuk mencapai masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila

dan UUD 1945, maka kiranya perlu mengkaji dan melihat pendidikan dari perspektif

ekonomi politik. Ekonomi dan Pendidikan merupakan dua komponen yang saling

memberikan pengaruh timbal balik. Pendidikan menurut, ( Kartono, 1992 : 309 ),

merupakan komponen ekonomi yang penting, karena dapat memproduksi tenaga

kerja terampil yang dapat memasuki pasaran kerja, disamping membentuk manusia-

manusia ekonomis untuk pembangunan masyarakat demi kelestarian hidup bangsa.

Laju pertumbuhan ekonomi ternyata baru dapat memberikan keuntungan minimal

kepada strata sosial paling miskin, baik yang ada di daerah pedesaan maupun di

daerah-daerah kumuh dipinggiran kota. Keuntungan di sektor industri, pertambangan,

perkebunan belum didistribusikan secara merata sampai kelapisan bawah. Sebagai

akibatnya, strata sosial marginal dan paling miskin ( kurang mampu ) tadi juga

mendapatkan porsi pendidikan formal ( sekolah ) paling sedikit atau minimal.

Page 2: evaliasi kebijakan

18

Sektor primer modern belum mampu menampung serta memanfaatkan sumber-sumber

daya manusia desa, merupakan bagian terbesar penduduk di Indonesia. Padahal

pengelolaan tenaga manusia melalui pendidikan ( edukasi ) sehingga menjadi

produktif merupakan tujuan ekonomis dan tujuan sosial dengan laju pertumbuhan

dari domistik bruto diatas rata-rata ( M.I. Tuqan, 1979 : 64 ). Kemudian ( Baswir,

1999 : 23 ) menambahkan, struktur perekonomian Indonesia masih ditandai dengan

terjadinya dualisme ekonomi, yaitu ekonomi modern yang berorientasi kepada

pengakumulasian kapital, dan perekonomian yang masih tradisional bersifat sub

sistem. Tenaga kerja Indonesia sekitar 70 % tamatan Sekolah Dasar, dan hanya

3 % yang memperoleh kesempatan pemerataan pendidikan tinggi. Oleh sebab

itu perlu langkah-langkah sebagai berikut :

1. Strategi pembangunan nasional harus dapat berorientasi kepada pengembangan

sektor pertanian tradisional untuk digeser menjadi pertanian modern mengarah

pada agro – business dan agro - industri dengan difokuskan kepada usaha

memberantas kemiskinan, juga peningkatan penghasilan untuk bisa hidup layak.

2. Mengaplikasikan kebijakan pendidikan tinggi yang bertolak dari realitas nyata,

yaitu upaya peningkatan ekonomi mayoritas masyarakat pada umumnya, dari

keterbelakangan untuk dikembangkan kepada produktivitas, efektivitas, serta

memobilitas ekonominya.

3. Khususnya bagi suatu daerah di pedesaan atau periferi, kedua macam usaha tersebut harus memperoleh dukungan dari kebijakan pendidikan dan aktivitas

pendidikan yang ber orientasi kepada kemiskinan atau ketidak mampuan, jadi

harus ada “a poverty oriented policy”, sebab disini terdapat keterbelakangan

diberbagai sektor kehidupan dalam masyarakat. Maka wajar jika pendidikan

ingin memberikan kontribusi positif kepada pengembangan negara dan bangsa

Page 3: evaliasi kebijakan

19

pendidikan harus dapat mengadaptasi diri pada kebutuhan masyarakat dimana

mayoritas rakyat Indonesia dalam kondisi ekonomi yang masih sangat lemah,

dan pada kondisi wilayah tanah air yang pasca-agraris.

Dari keadaan dan situasi perekonomian sebagaimana saat ini, kiranya perlu

untuk mengiplementasikan suatu kebijakan pendidikan ber akses pada kemiskinan

dan keterbelakangan yang terdiri dari :

a. Pendidikan untuk masyarakat kurang mampu, yang jumlahnya masih cukup

besar dapat menjadi lebih ekonomis, sebab dapat digunakan untuk membangun

angkatan kerja terdidik atau terlatih secara teknis ;

b. Menjadi kebutuhan sosial untuk merangsang dinamika serta pengembangan,

yang sesuai dengan sila “Kemanusian yang adil dan beradab”, juga asas

demokrasi Pancasila.

Selanjutnya, pembangunan dan modernisasi di suatu negara hanya bisa

dilakukan melalui perbaikan dan perluasan bidang pendidikan dengan tujuan

untuk membangkitkan serta mengembangkan individualitas–sosialitas-moralitas

manusianya serta kemampuan ekonominya, ( Kartono, 1997 : 98 ). Sebab itu

pendidikan menjadi kebutuhan mutlak suatu negara yang berkeinginan berupaya

untuk maju, dan berkemauan besar mencapai kemakmuran masyarakatnya. Agar

tercapai tujuan hidup yang lebih baik, maka faktor politis, ekonomis, sosial,

kultural dan keamanan sangat diperlukan oleh para tenaga terdidik.

Pada beberapa argumentasi tersebut, maka pendidikan dalam perspektif

ekonomi, kiranya dapat dijelaskan dengan mengutip pendapat dari ( Kartono, 1997 :

l0l ) antara lain :

1. mampu menyiapkan tenaga kerja yang handal, baik ( bermutu ) ; 2. ikut mempersiapkan dibukanya lahan-lahan kerja baru ;

Page 4: evaliasi kebijakan

20

3. bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat pada umumnya, serta untuk pemerataan keadilan dan kesejahteraan pada khususnya. Sedangkan pada perspektif politik, pendidikan merupakan proses sosial

dan proses sosialisasi manusia. Proses sosial menjadi dimensi utama dari filsafat

pendidikan. Maka dalam relasi sosial yang berbeda dalam wadah suatu negara,

yang bergantung pada renggang-dekatnya relasi sosial antara individu dengan

individu lain menyebabkan munculnya praktek pendidikan yang berbeda. Di

negara demokrasi, orang menghargai perbedaan, karena itu sistem pendidikan

biasanya disusun atas dasar dari pendapat orang banyak. Tetapi pendidikan terasa

dipaksakan bila mana dilaksanakan di negara totaliter. Negara membatasi kebebasan

individu, dengan cara memberikan pendidikan dengan pola yang uniform, ketat

dan keras. Sistem pendidikannya hanya satu, berdasarkan satu macam filsafat

pendidikan. Guru-guru, termasuk juga Dosen sikapnya otokratis dan mutlak, bila

berkuasa atau memerintah ( mengajar ) memakai tangan besi. Karena para guru

dengan ketat akan melakukan dan meneruskan semua perintah dari kekuasaan

politik ( pendidikan ) yang juga otoriter sifatnya. Bagi negara totaliter, edukasi

dipandang sebagai kekuatan ( force ), minimal paling tidak dijadikan kekuatan

politik. Sebab itu pendidikan harus menjadi tanggung jawab negara, dan negara

secara mutlak ( absolut ) mengatur pendidikan dengan cermat.

Pada kesempatan ini sengaja diketengahkan sebatas pada sistem pendidikan di

negara dengan sistem politik demokrasi dan totaliter, dianggap kedua sistem

politik inilah paling ekstrim yang mewakili, sebenarnya masih banyak model

pendidikan di negara-negara yang berpaham politik, misalnya bagaimana pendidikan

itu dilakukan di negara komunis, otokratis, oligarkis, aristokratis, sampai kepada

sitem politik negara militerisme. Hanya saja karena bahasan dalam kajian ini

Page 5: evaliasi kebijakan

21

mengevaluasi kebijakan pendidikan, maka kedua sistem politik dalam melihat

bagaimana pendidikan itu dilakukan, dinilai dan dapat dianggap telah mewakili.

Benang merah mungkin dapat terakumulasi dari pendidikan dalam perspektif

politik, pendidikan itu sejatinya menghargai martabat dan pandangan hidup anak

didik, untuk itu pendidikan diadaptasikan terhadap pandangan hidup dan kebutuhan

anak didik serta masyarakatnya. Jika tidak, pendidikan tak ubahnya dengan bentuk

invasi kultural atau proses dehumanisasi, yang memaksa anak-didik dan masyarakat

menjadi pasif menerima bentuk pendidikan pengajaran yang ditekankan dari luar.

Dengan begitu pendidikan selalu bergandengan tangan dengan emansipasi politik.

Jadi. ada pedagogi politik dan pedagogi emansipatoris, yang membentuk anak

didik menjadi warga negara yang bertanggung jawab secara moral dan susila.

Untuk itu sebagai perwujudan bagaimana bentuk manifestasi politik dalam

wacana pendidikan, Indonesia misalnya, pola dan sitem politik pendidikannya telah

diatur dalam UU No. 2 Tahun 1989, yaitu :

1. mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan manusia Indonesia

seutuhnya, yaitu manusia yang selalu beriman, bertaqwa terhadap Tuhan Yang

Maha Esa dan berbudi pekerti luhur ;

2. dengan memiliki pengetahuan, ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani ; 3. berkepribadian mantap, mandiri, serta memiliki rasa tanggung jawab kepadda kemasyarakatan dan kebangsaan di alam demokrasi ; Adapun secara marginal dan komprehensif, perspektif politik pendidikan

itu diantaranya :

a. memaksimalisasi terhadap daya kritis, idealisme serta kreativitas anak didik

dan rakyat ;

b. mempertebal rasa mudah percaya ;

Page 6: evaliasi kebijakan

22

c. memupuk kenaifan, kepasifan, kebodohan, dan keterbelakangan ;

d. mendorong pada sikap pasrah “nrima ing pandum” ( berjiwa besar ) ;

e. mengarahkan anak didik ke proses alienasi ;

f. membuat anak didik menjadi makhluk berguna bagi masyarakat banyak.

Akan tetapi bukan berarti bahwa dunia pendidikan itu selalu berprospektif,

khususnya di negara berkembang seperti Indonesia, banyak hambatan terhadap

pelaksanaan pendidikan di negara berkembang, paling tidak kendala dan kesulitan

sering muncul dalam rangka sosialisasi kebijakan pendidikan, ( Rondenelli, dkk.,

1990; 13 ) menguraikan :

1. Complexitas of reform proposal, kompleksitas dari suatu ruang pembaharuan

bahwa perencanaan program pada umumnya sangat kompleks, terutama luasnya

tujuan dan sasaran yang hendak ingin dicapai, tetapi hanya didukung oleh

sumber daya yang sangat terbatas.

2. Unpredictability of Education Reforms, dapat diartikan sebagai kurang serta terbatasnya daya prediksi dalam pembaharuan pendidikan, hasil dari suatu reformasi pendidikan ternyata sangat sulit untuk diprediksi, khususnya dalam berbagai faktor yang berpengaruh terhadap prestasi / kemampuan siswa seperti kualitas pengembangan pra sekolah ( pre school ), kondisi kesehatan dan gizi anak pada masa usia pertumbuhan , dukungan orang tua terhadap sekolah anak kualitas lembaga sekolah khususnya dalam kebutuhan fisik, kemampuan guru, materi pengajaran, pengorganisasian kelas serta struktur manajemen sekolah. 3. In appropriate Management Strategies ( kurang tepatnya strategi manajemen ) Karena begitu kompleksnya permasalahan dan aktivitas yang dikelola dalam suatu proyek, selain itu ada masalah internal lembaga pendidikan untuk dapat bagaimana mengelola dukungan dari pada masyarakat, lembaga birokrasi atau

Page 7: evaliasi kebijakan

23

agen- agen pembaharuan lainnya. 4. Failure Focus on School Level Changes ( kesulitan / kegagalan dalam mengelolah sistem persekolahan ), seperti : pengembangan kemampuan guru, pengembangan sistem informasi, memperoleh dukungan orang tua terhadap tujuan, serta program-program sekolah dan sebagainya. 2.2. Evaluasi Kebijakan Publik 2.2.1. Konsep Evaluasi Kebijakan Publik

Dalam Studi Analisis Kebijakan Publik, maka salah satu cabang bidang

kajiannya adalah Evaluasi Kebijakan. Mengapa Evaluasi Kebijakan dilakukan,

karena pada dasarnya setiap kebijakan negara ( public policy ) mengandung

resiko untuk mengalami kegagalan. ( Abdul Wahab, 1990 : 47-48 ), mengutip

pendapat Hogwood dan Gunn ( 1986 ), selanjutnya menjelaskan bahwa penyebab

dari kegagalan suatu kebijakan ( policy failure ) dapat dibagi menjadi 2

katagori, yaitu : ( 1 ) karena “non implementation” ( tidak terimplementasi ),

dan ( 2 ) karena “unsuccessful” ( implementasi yang tidak berhasil ).

Tidak terimplementasikannya suatu kebijakan itu berarti bahwa kebijakan itu

tidak dilaksanakan sesuai dengan di rencanakan. Sedangkan implementasi yang

tidak berhasil biasanya terjadi bila suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan

sudah sesuai rencana, dengan mengingat kondisi eksternal ternyata sangat tidak

menguntungkan, maka kebijakan pendidkan tersebut tidak dapat berhasil dalam

mewujudkan dampak atau hasil akhir yang telah dikehendaki.

Biasanya kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal disebabkan oleh

faktor-faktor diantaranya : pelaksanaannya jelak ( bad execution ), kebijakannya

sendiri itu memang jelek ( bad policy ) atau kebijakan itu sendiri yang

bernasib kurang baik ( bad luck ). Adapun telaah mengenai dampak atau

Page 8: evaliasi kebijakan

24

evalausi kebijakan adalah, dimaksudkan untuk mengkaji akibat-akibat dari suatu

kebijakan atau dengan kata lain untuk mencari jawaban apa yang terjadi sebagai

akibat dari pada “implementasi kebijakan” ( Abdul Wahab, 1997 : 62 ).

Menurut ( Santoso, 1988; 8 ), sementara itu ( Lineberry 1977; 104 ), analisis

dampak kebijakan dimaksudkan untuk mengkaji akibat-akibat pelaksanaan suatu

kebijakan dan membahas “hubungan antara cara -cara yang digunakan dan hasil

yang hendak akan dicapai”.

Sinyal tersebut lebih diperjelas oleh ( Cook dan Scioli 1975 : 95 ), dari salah satu buku yang ditulis oleh ( Dolbeare, 1975 : 95 ) dijelaskan bahwa : “policy impact analysis entails an extension of this research area while, at the same time, shifting attention toward the measurment of the consequences of public policy. In other words, as opposed to the study of what policy causes”. Dengan demikian, secara singkat analisis dampak kebijakan “menggaris

bawahi” pada masalah what policy causes sebagai lawan dari kajian what

causes policy. Konsep evaluasi dampak yang mempunyai arti sama dengan

konsep kebijakan yang telah disebutkan diatas, yaitu : Seperti pada apa

yang pernah didefinisikan oleh ( Dye, 1981 : 366 –367 ) : “Policy vealuation is

learning about the consequences of public policy”.

Adapun definisi yang lebih kompleks adalah sebagai berikut :

“Policy evaluation is the assesment of the overall effectiveness of a national program in meeting its objectives, or assesment of the relative effectiveness of two or more programs in meeting common objectives” ( Wholey, 1970, dalam Dye, 1981 ).

Page 9: evaliasi kebijakan

25

Evaluasi Kebijakan adalah merupakan suatu aktivitas untuk melakukan

penilaian terhadap akibat-akibat atau dampak kebijakan dari berbagai program-

program pemerintah. Pada studi evaluasi kebijakan telah dibedakan antara “polic y

impact / outcome dan policy output. “Policy Impact / outcome ” adalah akibat-

akibat dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dengan dilaksanakannya

suatu kebijakan. Adapun yang dimaksud dengan “Policy output” ialah dari apa-

apa yang telah dihasilkan dengan adanya program proses perumusan kebijakan

pemerintah ( Islamy, 1986 : 114-115). Dari pengertian tersebut maka dampak

mengacu pada adanya perubahan-perubahan terjadi yang di akibatkan oleh suatu

implementasi kebijakan.

Dampak kebijakan disini tidak lain adalah seluruh dari dampak pada kondisi

“dunia -nyata” ( the impact of a policy is all its effect on real – world conditions ),

untuk itu masih menurut ( Dye, 1981: 367 ) yang termasuk dampak kebijakan

adalah :

1. The impact on the target situations or group. 2. The impact on situations or groups other than the target ( “ spoilover effect” ).

3. Its impact on future as well as immediate conditions. 4 . Its direct cost, in term of resources devote to the program. 5. Its indirect cost, including loss of opportunities to do other things.

Pada penelitian ini dampak kebijakan lebih diarahkan pada kelompok

sasaran kebijakan dalam masyarakat, khususnya masyarakat yang dikatagorikan

sebagai masyarakat tidak mampu, berpendapatan rendah atau masyarakat miskin.

Oleh karena itu untuk menjelaskan dampak kebijakan PT tersebut penelitian ini

akan dilihat dari perspektif pemberdayaan masyarakat miskin dalam memperoleh

akses pemerataan pendidikan tinggi. Dilengkapi juga data-data penghasilan dari

masyarakat berpenghasilan rendah.

Page 10: evaliasi kebijakan

26

Sedangkan konsep yang relevan untuk mendekati pemberdayaan masyarakat,

utamanya kelompok masyarakat kurang mampu agar mempunyai akses dalam

memperoleh kesempatan pemerataan pendidikan tinggi. Pada umumnya dapat dilihat

dari 2 ( dua ) perspektif, yaitu : ( 1 ) perspektif yang memfokuskan perhatiannya

pada alokasi sumberdaya ( resources allocation ), dan ( 2 ) perspektif yang

memfokuskan perhatiannya kepada penampilan kelembagaan

( institutional performance ) dari ( Rein, 1976 : 210-248 dan Usman, 1993 : 7 ).

Perspektif pertama, ketidak berdayaan sekelompok masyarakat miskin tersebut

dianggap sebagai akibat dari ( atau sekurang-kurangnya berkaitan dengan ) syndrom

kemiskinan yang melekat pada kelompok itu sendiri. Fokus perhatian dalam

perspektif ini, yaitu pada alokasi sumber daya manusia. Perspektif ini beranjak

dari asumsi bahwa kondisi buruk suatu daerah, pemukiman, perumahan, sanitasi

lingkungan, nutrisi, rendahnya penghasilan. Sedangkan rendahnya penghasilan itu

sendiri tidak hanya sekedar sebagai atribut dari kemiskinan, melainkan juga

sebagai variabel determinan bagi aksesibiltas masyarakat dalam memperoleh

kesempatan pemerataan pendidikan.

Perspektif yang kedua, ketidak berdayaan itu dianggap sebagai konsekuensi

dari bentuk sistem penerimaan yang diskriminatif ( makin menguntungkan bagi

sekelompok masyarakat kaya dan merugikan untuk kelompok masyarakat miskin ).

Rendahnya akses bagi sekelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah pada

kebijakan penerimaan mahasiswa baru di PT lebih dikarenakan sebagai konsekuensi

( Usman, 1993 : 10 ).

Penelitian ini berangkat dari konsep perspektif kedua, yaitu penampilan

kelembagaan merupakan variabel determinan untuk menjelaskan akses dalam

masyarakat terhadap kesempatan memperloleh pemerataan pendidikan tinggi.

Page 11: evaliasi kebijakan

27

Berdasarkan konsep evaluasi dampak kebijakan yang telah dijelaskan pada bab

terdahulu, maka dalam penelitian ini konsep evaluasi dampak dapat dijelaskan

seperti pada skema ( Gambar 1 ) dibawah ini :

Gambar 1

Skema Evaluasi Dampak

Lembaga Perguruan Tinggi ( institutional performance )

Kebijakan / Program Kebijakan Biaya Masuk

di Unibraw, UMN dan

UMM

Hasil ( output ) Pelayanan Pendidikan

Tujuan ( goal ) a. Penyelenggaraan Pendidikan

ditujukan bagi masyarakat

berpenghasilan rendah

b. Semua warga negara berhak

memperoleh pendidikan yang

secara menyeluruh dan

terjangkau

c. PT harus dapat diakses

oleh masyarakat banyak

Dampak ( out comes ) “ Masyarakat memperoleh akses

dalam memperloleh kesempatan

pemerataan pendidikan tinggi “

Page 12: evaliasi kebijakan

28

Dari skema diatas, nampak sekali bahwa kebijakan pemerintah ( PT )

tentang penetapan tarif / biaya masuk PT pada program reguler, diploma dan

ekstensi dimaksudkan agar pemerintah dalam hal ini PT dapat memberikan

keringanan biaya masuk untuk masyarakat sesuai dengan ke tiga tujuan diatas.

Kebijakan-kebijakan tersebut membawa dampak terhadap masyarakat, yaitu berupa

adanya kesempatan, kemudahan dan kemampuan ( aksesibilitas ) masyarakat dalam

memperoleh kesempatan pemerataan pendidikan tinggi.

Dengan berlandaskan dan berangkat dari konsep yang ada maka dalam

penelitian ini studi evaluasi dampak dapat dikatagorikan sebagai evaluasi yang

bersifat substantif ( substantive evaluation ) yaitu, apakah kebijakan-kebijakan

tersebut dapat berjalan seperti yang direncanakan, sesuai spesifikasi tujuannya

dan dampak dari kebijakan tersebut terhadap permasalahan yang hendak akan

dicapai atau dituju ( Jones, 1984 : 36l ).

2.2.2. Model Evaluasi Kebijakan Publik Dari Thomas K Cook dan Frank P. Scioli, Jr dalam studi Impact

Analysis in Public Policy Research (1975 : 98 ), setelah dimodifikasi, skema

dari model evaluasi dampak kiranya dapat diilustrasikan sebagaimana terdapat

dalam ( Gambar 2 ).

Sedangkan ( House, 1978 : 45 ) dalam William Dunn, mengemukakan

beberapa Model Evaluasi Kebijakan Publik yang terdiri dari :

1. The Adversary Model, para evaluator dikelompokkan menjadi dua, yang

pertama bertugas menyajikan hasil evaluasi program yang positip, hasil

dampak kebijakan yang efektif dan baik, tim kedua berperan untuk

Page 13: evaliasi kebijakan

29

menemukan hasil evaluasi program negatif, tidak efektif, gagal dan yang

tidak tepat sasaran. Kedua kelompok ini dimaksudkan untuk menjamin

adanya netralitas serta obyektivitas proses evaluasi. Temuannya kemudian

dinilai sebagai hasil evaluasi. Menurut model dari evaluasi ini tidak ada

efisiensi data yang dihimpun.

2. The Transaction Model, Model ini memperhatikan penggunaan metode studi

kasus, bersifat naturalistik dan terdiri dua jenis, yaitu : evaluasi responsif

( responsive evaluation ) yang dilakukan melalui kegiatan - kegiatan secara

informal, ber ulang-ulang agar program yang telah direncanakan dapat

digambarkan dengan akurat ; dan evaluasi iluminativ ( illuminativ evaluation )

bertujuan untuk mengkaji program inovativ dalam rangka mendeskripsikan

dan menginterpretasikan pelaksanaan suatu program atau kebijakan. Jadi

evaluasi model ini akan berusaha mengungkapkan serta mendokumenter

pihak-pihak yang berpartisipasi dalam program.

3. Good Free Model, model evaluasi ini ber tujuan untuk mencari dampak aktual

dari suatu kebijakan, dan bukan hanya sekedar untuk menentukan dampak yang

diharapkan sesuai dengan ditetapkan dalam program. Dalam upaya mencari

dampak aktual, evaluator tidak perlu mengkaji secara luas dan mendalam

tentang tujuan dari program yang direncanakan. Sehingga evaluator ( peneliti )

dalam posisi yang bebas menilai dan ada obyektivitas.

Evaluasi Kebijakan Publik sering kali diartikan sebagai aktivitas yang

hanya mengevaluasi kegiatan proyek, selanjutnya mengevaluasi anggaran, baik

( rutin / pembangunan ). Akan tetapi Evaluasi Kebijakan Publik juga membahas

aktivitas atau kegiatan pembangunan lainnya, termasuk pembangunan di bidang

pendidikan. Adapun hakekat dari pembangunan pendidikan di Indonesia adalah

Page 14: evaliasi kebijakan

30

penyelenggaraan pendidikan ditujukan untuk masyarakat kurang mampu atau

berpenghasilan rendah, demikian itu sesuai dengan pandangan dan falsafah hidup

bangsa Indonesia yang dikenal dengan azas kegotong-royongan. Juga, bukankah

pendidikanitu merupakan hak bagi setiap warga negara, oleh sebab itu pendidikan

sejatinya harus dapat memiliki akses kepada masyarakat untuk memperoleh

pemerataan kesempatan pendidikan.

Keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan, termasuk salah satu

indikatornya ialah sampai sejauh mana dapat terjadi aksesibilitas pemerataan

pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Untuk itu lebih jauh kajian dalam studi ini

memusatkan perhatian pada evaluasi kebijakan, sedangkan kebijakan yang diteliti

adalah Kebijakan Perguruan Tinggi ( PT ). Kebijakan PT dalam penelitian ini dapat

diartikan sebagai segala sesuatu tindakan serta program-program pemerintah ( PT ).

Kebijakan PT yang dimaksudkan adalah : kebijakan dalam menentukan besar biaya

masuk bagi mahasiswa baru di Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang

serta Universitas Muhammadiyah Malang.

Kebijakan pemerintah, yang dilakukan oleh ke tiga PT tersebut berdampak

kepada masyarakat ( publik ) sebagai kelompok sasaran. Dampak kebijakan dalam

kaitannya dengan penelitian ini nantinya dapat diartikan sebagai hasil dari pada

kebijakan pendidikan dan akibat-akibat apa saja dari kebijakan tersebut terhadap

masyarakat ( publik ). Jadi konsep evaluasi dampak disini terdiri dari policy output

dan policy out come. Policy out put, ber arti merupakan sebagai fasilitas pendidikan

yang diberikan oleh PT, sedangkan policy out come dapat diartikan sebagai suatu

upaya di dalam mencermati adanya aksesibilitas masyarakat untuk memperoleh

kesempatan pendidikan tinggi.

Page 15: evaliasi kebijakan

31

Konsep aksesibilitas untuk memperoleh kesempatan pendidikan tinggi

dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai indikator untuk menjelaskan tingkat

keberhasilan kebijakan PT. Oleh karena itu, konsep aksesibilitas merupakan

konsep utama ( central ) untuk melihat persoalan isu pemerataan pada sektor

pendidikan. Dalam rangka itulah semata-mata keperluan penelitian ini aksesibilitas

dapat diartikan sebagai kemampuan, kemudahan dan kesempatan seseorang atau

masyarakat memperoleh pemerataan kesempatan pendidikan tinggi. Kemampuan,

kemudahan dan kesempatan tersebut dapat dilihat dari faktor : kemampuan

membayar biaya masuk ke PT. Untuk memperjelas, dibawah ini adalah

Model Dampak Evaluasi Kebijakan ( Gambar 2 ) secara skematis :

Gambar 2

SKEMA MODEL EVALUASI KEBIJAKAN

Program Tujuan Kegiatan Akses Dampak

Sumber : Setelah dimodifikasi dari Thomas K Cook dan Frank P. Scioli, Impact Analysis in Public Policy Research, 1975 Masih menurut House ( 1978 ) dalam William Dunn, ada 3 macam

Evaluasi Kebijakan Publik, ialah :

a. Evaluasi Administratif, evaluasi kebijakan publik yang dilakukan sebatas

dalam lingkungan pemerintahan atau instansi pemerintah. Dilaksanakan

Kebijakan Penetapan biaya masuk PT

Penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakat ber penghasilan rendah / kecil

Jumlah biaya masuk PT Prog. Reguler, Diploma, Ekstensi

Kemampuan membayar biaya masuk ke PT

Kemudahan untuk memperoleh kesempatan pemeratan pendidikan

Page 16: evaliasi kebijakan

32

untuk mengevaluasi proyek pemerintah, biasanya berkaitan dengan masalah

keuangan dan sebagai alat mengetahui apakah proyek pemerintah itu sudah

sesuai dengan yang direncanakan ( the expected goals ).

b. Evaluasi Yudisial, evaluasi ini melihat apakah kebijakan itu melanggar hukum.

Sedangkan yang melaksanakan evaluasi yudisial adalah lembaga-lembaga hukum,

pengacara, pengadilan, dan kejaksaan.

c. Evaluasi Politik, pada umumnya evaluasi politik dilakukan oleh lembaga

politik, misalnya : parlemen, parpol, atau masyarakat. Pertimbangan politik

apa saja dan bagaimana yang seharusnya mungkin dapat dijadikan acuan

untuk mengevaluasi suatu kebijakan.

2.3. Aksesibilitas Dalam Kebijakan Pendidikan

2.3.1. Aksesibilitas Kebijakan Publik

Aksesibilitas sebenarnya banyak memiliki aneka macam ragam istilah,

( Frenk, 1992 : 842 ), berpendapat bahwa aksesibilitas adalah sinonim dengan

availibilitas ( ketersediaan ). Sehingga antara akses ( aksesibilitas ) dan ketersediaan

( availibilitas ) sebenarnya tidak dapat dibedakan. Misalnya antara akses terhadap

kesempatan untuk memperoleh pendidikan dengan tersedianya beberapa fasilitas

dalam pemerataan pendidikan.

Ada 3 ( tiga ) aspek dalam kesempatan untuk memperoleh pendidikan,

demikian tulis ( Achmady, 1994 : 23 ), yaitu : ( 1 ) ada aspek persamaan

kesempatan ( equality of opportunity ), ( 2 ) ada aspek aksesibilitas ( aksessibility )

dan ( 3 ) aspek keadilan atau kewajaran ( equity ).

Ke tiga aspek tersebut kiranya dapat dijabarkan sebagai berikut :

Persamaan kesempatan, atau ekualitas, dapat diartikan sebagai bahwa setiap

orang sebenarnya pada dasarnya memiliki peluang / kesempatanm yang sama

Page 17: evaliasi kebijakan

33

dalam memperoleh pendidikan, sesuai dengan UU No. 2/1989 tentang Sistem

Pendidikan Nasional tidak dibedakan menurut jenis kelamin, pendidikan adalah

untuk semua orang ( education for all ).

Aksesibilitas, artinya adalah pada prinsipnya setiap orang tanpa harus melihat asal

usulnya mempunyai kesempatan dan akses yang sama terhadap pendidikan.

Dalam konteks bahasan atau kajian penelitian ini, semestinya setiap warga negara

Indonesia memiliki peluang atau kesempatan sama untuk memperoleh pendidikan

tinggi, tanpa harus muncul suatu perbedaan oleh karena ada persyaratan tentang

biaya masuk ke PT.

Ekuitas, dapat dijabarkan sebagai upaya perlakuan yang adil dan wajar kepada

mahasiswa atau peserta didik menurut kemampuan, bakat, dan minatnya.

Dari ketiga aspek dalam pemerataan kesempatan untuk memperoleh

pendidikan tinggi ( PT ) tersebut, sesuai dengan judul dan tema tesis ini, maka

yang menjadi fokus kajiannya adalah masalah aksesibilitas PT.

Melalui pendekatan teori atau rumusan yang ada dalam pelayanan

kesehatan, Aksesibilitas ternyata dalam konsepnya terdapat ambiguitas, secara

rinci ( Frenk, 1992 : 842 ), menyebutnya sebagai berikut : .............the

ambiguitas inherent in considering accessibility as a property of either

resources for healt care or of the population of potential users of service.

One of the few conceptual analysis that avoids this pitfall is reflected in

Donabedian’s definition, which states explicity that accessibility is a

characterictic of health care resources. In fact, according to Donabedian’s

model, accessibility is a “ mediating factor” between the capability to

produce services and the real production or consumtion of such service

................. (Frenk, 1992)

Page 18: evaliasi kebijakan

34

Maka adalah sebuah ambiguitas, yang secara inheren menyimpulkan bahwa

aksesibilitas merupakan suatu aktivitas yang mempunyai karakter sebagai sumber

kesehatan. Konsep definisi dari Donabedien’s secara explisit menyebutkan bila

aksesibilitas merupakan “ mediating factor” antara kapabilitas untuk memberikan

pelayanan dan produksi nyata atau konsumsi dari bermacam pelayanan.

Untuk itu, Donabedian’s memberikan batasan tentang “aksesibilita s” seperti

berikut : “accessibility is considered to be something beyond the more presence

or ‘availibility’ of resources at given time and place. It includes the characterictics

of the resource that facilitial clients, supplier” . ( Donabedian’s, 1972,

Frenk, 1992 ).

Aksesibilitas dapat dianggap sebagai sesuatu yang di luar keberadaan

atau availibilitas ( ketersediaan ) dari sumber daya dalam waktu dan tempat

yang tepat. Termasuk karakteristik dari sumber-sumber yang memberikan peluang

atau rintangan / kendala yang dirasakan oleh klien - klien ( pelangan ) potensial.

Salkever memberikan pokok-pokok pikirannya ternyata ada 2 ( dua ) perlakuan

aksesibilitas, yaitu : ( a ) aksesibilitas keuangan yang diartikan sebagai “kemampuan

individu”, seperti kemampuan membayar biaya pendidikan ( financial accessibility,

defined as the individual ability to pay for education ), dan ( b ) apa yang

berhubungan dengan aksesibilitas fisik. Kemudian Davis mengistilahkan dalam

difinisinya sebagai “transportasi”, waktu dan pencarian biaya dalam proses

memperoleh kesempatan pendidikan.

Dari beberapa definisi, aksesibilitas finansial mengacu pada karakteristik

“kemampuan masyarakat” , dibandingkan dengan faktor-faktor atau sumber-sumber

pendidikan lainnya. Konsep aksesibilitas yang mengacu kepada “kemampuan daya

beli” jasa pendidikan, juga pernah disampaikan oleh ( Reshefsky, 1990 : 34 ) :

Page 19: evaliasi kebijakan

35

equity has often means acces to education service ................................. It

means, for example, the ability to pay for learning service.

Pendapat lain, yang merupakan kerangka konseptual untuk melihat sampai

Seberapa jauh tentang konsep aksesibilitas diimplementasikan yaitu : melalui

pendekatan yang menekankan pada mekanisme pelayanan publik, tanpa sedikitpun

memperhatikan hubungan antara akses dan struktur sosial atau dalam lingkungan

organisasi ( Effendi, 1986 : 19 ). Menurut Effendi, pendekatan ini mempunyai

keterbatasan mengasumsikan bahwa semua anggota masyarakat telah memiliki

akses sama terhadap pelayanan yang terbatas dan mengetahui tentang pelayanan

yang disediakan, termasuk pelayanan dalam memperoleh kesempatan pemerataan

pendidikan tinggi.

Dalam rangka itulah kiranya perlu ada pendekatan yang bersifat holistik

untuk memahami pemerataan terhadap pelayanan publik ( pendidikan ). Hasan,

dalam ( Effendi, 1986 : 19 ) mengemukakan dalam kerangka konseptualnya untuk

telaah lebih jauh tentang aksesibilitas pada pelayanan publik dengan menggunakan

pendekatan yang lebih holistik, adalah : bahwa masalah akses itu didalamnya

mencakup tiga ( 3 ) demensi, yaitu : (i) kognitif ; (ii) perilaku ; dan (iii)

birokrasi administratif. Sebab itu struktur sosial masyarakat sangat berpengaruh

terhadap ketiga dimensi tersebut, untuk itulah setiap usaha dalam memperbaiki

akses pada pelayanan publik harus juga mengembangkan kerangka konseptual,

maupun strategi yang dapat mencakup ketiga dimensi diatas.

Dimensi kognitif terdiri dari : (a) kesadaran masalah ; (b) kesadaran

sumber daya yang tersedia diperlukan untuk mengatasi masalah ; (c) pengetahuan

tentang sumber daya manusia yang tersedia ; (d) pengetahuan di mana dan

bagaimana cara mendapatkan sumber daya ; serta (e) perasaan percaya dalam

Page 20: evaliasi kebijakan

36

mendapatkan pelayanan kesempatan yang diperlukan. Dimensi perilaku mencakup :

(a) kemampuan berkomunikasi ; (b) dinamika interaksi sosial ; (c) pola perilaku

klien ; (d) dan hasil dari peranan klien. Dimensi birokrasi administratif antara

lain : (a) kekakuan prosedure ; (b) pemerataan perlakuan ; (c) jarak sosial

antara pelanggan dan petugas ; (d) tersedianya saluran untuk menyampaikan

perasaan tidak puas; (e) latar belakang serta pandangan petugas ; (f) kebijakan

kepegawaian ; dan (g) derajat disentarlisasi, lihat ( Gambar 3 ) dibawah ini :

Gambar 3

Skematis Aksesibilitas

Dimensi Kognitif

- Kesadaran masalah - Kedasaran Sumberdaya yang diperlukan - Pengetahuan tentang tersedianya sumberdaya yang diperlukan - Pengetahuan tentang bagaimana dan dimana mendapatkan sesuatu - Derajat kepercayaan pada diri dalam mendapatkan yang diperlukan Struktur Sosial Dimensi Perilaku Akses

- Jenis Kelamin - Kemampuan berkomunikasi - Umur - Pola perilaku - Status Ekonomi - Dinamika transaksi Sosial - Pekerjaan - Keberhasilan Peranan - Budaya Politik - Kelas Sosial Dimensi Institusional - Struktur Politik - Kekakuan prosedur - Persamaan perlakuan - Orientasi terhadap klient - Tujuan program - Derajat disentralisasi Sumber : Hasan, 1985, dalam Effendi, 1986

Page 21: evaliasi kebijakan

37

Pada penelitian ini tidak semua konsep aksesibilitas yang dipaparkan

diatas dipakai sebagai acuan dalam penelitian, tetapi untuk keperluan penelitian

ini konsep aksesibilitas dapat diartikan sebagai kemampuan, dan kesempatan

seseorang atau masyarakat untuk memperoleh pemerataan dalam pendidikan,

khususnya pendidikan tinggi. Kemampuan, kemudahan dan kesempatan tersebut

dalam konsep akses adalah : “kemampuan unt uk membayar masuk ke PT”

( financial access ) pada program reguler, program diploma dan program

ekstensi.

Dari beberapa argumentasi yang telah dikemukakan, maka perdebatan

yang berlangsung selama ini lebih banyak berkisar pada masalah ketidak siapan

lulusan baik dari sekolah lanjutan, menengah maupun PT dalam memasuki dunia

kerja. Topik ini menjadi lebih marak ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

dijabat oleh “ Wardiman Djojonegoro” . Solusi yang ingin dicari adalah bagaimana

lulusan sekolah dapat diserap oleh dunia kerja atau bagaimana mereka bisa

diserap oleh lowongan pekerjaan. Kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan

seharusnya mengacu pada arah dan tujuan hendak ingin dicapai oleh masyarakat

Indonesia. Tanpa melihat dan berpegang pada arah tujuan bangsa Indonesia,

pendidikan tidak memiliki acuan operasional yang jelas dan menyeluruh.

Kebijakan yang demikian mudah terjebak pada lingkup persoalan yang parsial

dan temperorer. Meninggalkan arah dan tujuan nasional sebagai acuan, juga

dapat menimbulkan terjadinya involusi di bidang pendidikan.

Dalam kaitannya dengan tujuan bangsa Indonesia, tentu saja harus melihat

pada konstitusi negara RI. Berangkat dari Undang-undang Dasar 1945 yang

perlu dicermati kalangan pendidikan, yang berhubungan dengan kesempatan

memperoleh pemerataan pendidikan tinggi, adalah : ................. “ mengupayakan

Page 22: evaliasi kebijakan

38

kesejahteraan umum........ “ , “........ mencerdaskan kehidupan bangsa ..” dan

“Setiap warga negara berhak mendapat pengajaran”.

Dengan menelaah formulasi yang tercantum pada konstitusi, nampaklah

bahwa pendiri bangsa negara Republik Indonesia menyadari benar kondisi dan

karakteristik dari masyarakat Indonesia yang penduduknya berjumlah banyak,

tersebar di daerah-daerah yang luas, dan mayoritas masih berada pada tingkat

pendidikan rendah. Oleh sebab itu, pesan yang didengungkan adalah “peningkatan

pemerataan pendidikan”, pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan dan

sekaligus untuk mengubah struktur sosial masyarakat Indonesia.

Model pembangunan I telah banyak menuai kritikan dari berbagai pihak,

diantaranya adalah adanya saran untuk meninjau kembali pola sistem administrasi

negara yang dilaksanakan. Maka muncullah gerakan apa yang disebut sebagai Teori

Pembangunan Baru, juga dapat disebut sebagai model pembangunan II. Model

ini memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan pokok termasuk kesempatan kerja,

memberantas kemiskinan dan peningkatan gizi, serta kualitas SDM melalui

pemerataan pendidikan. Untuk itu setelah terjadi pergeseran pola atau model

administrasi pembangunan secara otomatis membawa dampak pula pada pola

pelayanan, khususnya pada upaya “ peningkatan pelayanan publik” ( delivery

of public service ), debirokratisasi, peningkatan kapasitas pemerintah berserta

aparaturnya, ada partisipasi daerah dalam penyusunan implementasi rencana kerja,

( Effendi, 1990 : 326 ).

Pembangunan di Indonesia, dengan dilandasi oleh konsep dan strategi

seperti yang nampak dalam Pelita VI ini bertujuan bagi pembangunan ekonomi

dengan berwawasan pemerataan, hal ini tercermin dalam GBHN 1993, yang

berbunyi sebagai berikut :

Page 23: evaliasi kebijakan

39

...........kebijakan pembangunan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia dan kualitas kehidupan masyarakat agar makin maju dan mandiri yang dijiwai nilai-nilai Pancasila. Upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang makin meluas, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, penciptaan dan perluasan lapangan kerja serta usaha dan penggalakkan pembangunan daerah terbelakang, khususnya di Kawasan Timur Indonesia, ditingkatkan dan diarahkan agar mampu mewujudkan kesejahteraan yang makin adil dan makin merata bagi seluruh rakyat, serta menumbuhkan sikap kemandirian bangsa ( GBHN, 1993 ). Telah digariskan dalam GBHN sebagaimana diatas, pembangunan yang

diprioritaskan untuk pemerataan dan juga pada setiap pembangunan ekonomi

akan selalu identik dengan pembangunan kualitas manusia. Sedangkan kualitas

manusia yang dikenal sebagai peningkatan SDM perlu mengkaji lebih dalam

terhadap akses pemerataan pendidikan di dalam masyarakat, karena ber awal

dari sinilah konsep dan strategi pembangunan itu dapat lebih mudah untuk

dicapai. Secara umum, ( Bryant dan White, 1987 : 22-28 ) menguraikan, ada

4 aspek yang terkandung dalam pembangunan peningkatan kualitas SDM,

yaitu :

Pertama, penekanan pembangunan harus memprioritaskan pada kapasitas

( capacity ) kepada apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kapasitas

tersebut, serta energi yang diperlukan.

Kedua, pembangunan harus menekankan pada upaya pemerataan ( equity ).

Ketiga, pembangunan mengandung arti adanya peningkatan wewenang kepada

kelompok masyarakat lemah atau kurang mampu. Koreksi terhadap keputusan-

keputusan yang tidak adil tentang alokasi sumber daya hanyalah dapat dilakukan

apabila kelompok lemah ini cukup mempunyai kewenangan.

Keempat, pembangunan dapat pula ber arti keberlangsungan atau keberlanjutan

( suistainnable ) dan interdependensi di antara negara - negara di dunia.

Page 24: evaliasi kebijakan

40

Oleh karena itu, untuk mengapresiasi konsep dan strategi pembangunan

yang telah digariskan, peran birokrasi pemerintah ( negara ) sangat menentukan

terhadap pencapaian tujuan pembangunan tersebut.

Max Weber telah banyak memberi sumbangan pikirannya, Dia berpendapat

bahwa Birokrasi bercirikan rasional dengan selalu mengandalkan peraturan-peraturan

( rules ) dan prosedur yang dimaksudkan untuk membantu tercapainya tujuan dan

terlaksananya nilai-nilai atau norma-norma yang diinginkan. Masih menurut Weber

telah menggaris bawahi, jika kewenangan dalam Birokrasi berdasarkan pada

keahlian ( experties ) yang dimiliki oleh para pejabat ( birokrasi ) yang bekerja

atas dasar peraturan ( Kasim, 1993 : 9 ). Sedangkan ciri-ciri Birokrasi paling

rasional dan ideal versi Weber struktur adalah sebagai berikut :

a. hirarchy b. a promotion system base on profesional merit and skill c. the development of a career service in the bureaucracy d. reliance on rules and regulations e. impersonality of relationship among cereer profesional in the bureaucracy

and will their clintle (Hendry, 1994 : 76 ).

Menurut Albow ( 1970; Kasim, 1993 : 10 ) menyamakan antara tindakan

rasionalitas dan formal dari Birokrasi dengan ide efisiensi, walaupun Birokrasi

yang rasional melalui berbagai pertimbangan kalkulasi, perkiraan dan stabilisasi.

Pikiran Weber tentang rasionalisasi sebenarnya dengan maksud agar dapat dicapai

tingkat efesiensi yang maksimal. Nilai efesiensi, bukan satu-satunya nilai yang

absolut dalam Birokrasi. Hegelrian Bureaucracy, memandang bahwa Birokrasi

dapat berfungsi sebagai penghubung antara negara dengan civil society. Negara

merealisasikan kepentingan umum, civil society mempresentasikan kepentingan

khusus yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian maka keberhasilan suatu

Birokrasi sebenarnya dapat diukur dari kemampuannya untuk mengartikulasikan

Page 25: evaliasi kebijakan

41

kepentingan-kepentingan, khusus di dalam masyarakat dan mengkoporasikannya

ke dalam suatu kepentingan negara atau pemerintah ( Tjokrowinoto, 1986 : 6 ).

Oleh karena itu, nilai-nilai dan etika yang berkaitan dengan Birokrasi

versi Hegel, bukan efesiensi, tetapi sampai seberapa jauh peran Birokrasi dapat

menyalurkan berbagai kepentingan khusus, menjadi kepentingan umum, seperti

yang pernah dikemukakan oleh ( Mouzelis, 1975 : 8 ) : “........... the state

buraucracy is the medium through which this passage from the particular

to the general interest become possible.............”.

Dalam kapasitas birokrasi ada yang disebut sebagai learning process

approach dimana suatu proses itu biasa terlebih dahulu harus melalui kegiatan

yang bersifat “in -efisiensi”, itu pandangan David Korten ( 1980 ). Adanya

beberapa kesalahan dalam proses birokrasi biasa dapat ditoleransi, demi untuk

tercapainya tujuan lebih besar, yaitu terbentuknya birokrasi dan lembaga-

lembaga kemasyarakatan, bagitu seperti yang tulis Korten, : “.............. the

rural poor are to give meaningfull expression to their view, mobilize

their own resources in self-help action, and enforce their demand on

the broader national political and economic system ( Korten, 1980 : 1 ).

Rujukan dari Daniel Bell, ( 1973 : 42-43), membahas dan menyarankan

apabila efisiensi itu harus dapat pula dicapai melalui trade off dengan

beberapa norma dan nilai-nilai yang lain. Misalnya tentang nilai pemerataan dan

kesempatan seperti yang pernah diuraikan : .............“ Balance consideration

between economizing mode with is oriented to fuctional efficiency and the

management of men and the “sociologizing” mode which establishes broader

social criteria .........”

Page 26: evaliasi kebijakan

42

Dari beberapa penjelasan, terdapat sejumlah alternatif nilai yang menjadi

acuan birokrasi, seperti efisiensi, demokratisasi, pembinaan kelembagaan, pembinaan

kapasitas dan pemerataan.

Pemerataan dalam memperoleh pendidikan tinggi, selalu ber konotasi

kepada masalah biaya dan masyarakat yang kurang mampu, oleh sebab itu

dalam kaitannya dengan Birokrasi, ( Abdul Wahab 1994 : 13 ), memberikan

batasan, “pelimpahan kewenangan pada pihak bawahan, yakni para Birokrat

di lapangan ( street bureaucrat ), bahkan di dalam kelompok warga masyarakat

merupakan faktor sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka menjadikan

organisasi publik atau instansi pemerintah seperti lembaga PT, harus lebih tanggap

( responsif ) terhadap kebutuhan lokal ( daerah ) sekaligus sebagai upaya untuk

memperluas daya jangkau pada masyarakat miskin”.

Lebih memperjelas lagi dari berbagai uraian, bagaimana sebenarnya

organisasi pemerintah ( publik ) itu dalam memberikan pelayanannya kepada

masyarakat, dari Balk ( 1976, Kasim, 1993 : 21-22 ), indikator pelayanan kepada

masyarakat, ditentukan oleh kualitas hasil yang dipersembahkan pada masyarakat,

yaitu sampai seberapa jauh hasil-hasilnya dapat sesuai dengan standarisasi yang

dinginkan oleh masyarakat. Standarisasi ini biasanya memiliki ciri-ciri, semisal

sampai seberapa jauh sebenarnya kepuasan dari pada masyarakat dalam memeproleh

akses kesempatan pemerataan pendidikan tinggi. Oleh sebab itu, sifat pelayanan

publik tidak dilihat dari ratio output terhadap input organisasi pemerintah,

karena tidak ada harga pasarnya dan penentuannya yang dilakukan melalui proses

politik, demikian seperti pernah ditulis oleh ( Kasim, 1993 : 23 ). Dalam konteks

se hari-hari kecepatan dan ketepatan adalah ukuran terbaik bagi sebuah

pelayanan.

Page 27: evaliasi kebijakan

43

2.4. Teori Public Choice Untuk Memahami Aksesibilitas Pendidikan Pendidikan adalah sebuah fenomena sosial, disitu terdapat suatu ikatan

alamiah seseorang dengan yang lainnya, misalnya antar sesama manusia, manusia

dengan alam disekitarnya, dan juga antara makhluk hidup yang satu dengan

lainnya. Oleh karena itu pendidikan harus bersifat absolut dan komprehensif,

tidak mengenal batasan waktu serta ruang. Bahkan dalam salah satu ajaran

agama menjelaskan, bahwa batasan dari suatu pendidikan adalah sampai ke

liang lahat. Jadi alangkah pentingnya pendidikan, maka dari pada itu wajar

apabila pendidikan menjadi suatu prioritas dan pilihan utama dari suatu kebutuhan

( choice ) bagi setiap mahkluk atau manusia. Sedangkan yang mendasari bahwa

pendidikan sebagai pilihan ( choice ) tidak lain karena hal tersebut dapat diterima

oleh akal sehat dengan dibenarkan oleh pilihan rasional. Selanjutnya, maka

tentu saja akan menjadi suatu bentuk pilihan yang rasional ( rational choice )

dan kemudian menjadi prioritas pilihan dari beberapa alternatif pilihan publik

( public choice ). Rachbini dan Arifin, dalam “Ekonomi Politik dan

Kebijakan Publik” ( 200l : 19 ) menjelaskan : public choice selalu menekankan

pada penilaian keputusan-keputusan rasional baik oleh individu maupun masyarakat

atau keputusan pemerintah, termasuk kebijakan di bidang pendidikan, itu ber arti

dengan sendirinya masyarakat (publik ) memiliki pilihan rasional dalam menyikapi

setiap kebijakan pendidikan ( Perguruan Tinggi ). Sebaliknya Perguruan Tinggi

harus selalu bertindak rasional pula untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Se iring

dengan kepentingan publik seharusnya PT mampu merumuskan suatu kebijakan

yang sesuai dengan tuntutan masyarakat ( publik ) didalam bidang

pendidikan, utamanya bagi pendidikan tinggi. Publik pada dasarnya masih

sangat mengharapkan adanya suatu kebijakan PT yang berdampak terhadap

Page 28: evaliasi kebijakan

44

aksesibilitas untuk memperoleh kesempatan pemerataan pendidikan tinggi atau PT.

Pengalaman menunjukan pada beberapa tahun terakhir ini di Indonesia aksesibilitas

dalam memperoleh kesempatan pendidikan masih belum terjawab di tingkat PT,

selama ini yang sudah pernah direalisasi sebatas pada kebijakan di tingkat Sekolah

Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, yang dikenal dengan “Program Belajar

Sembilan Tahun”, ( Achmady, 199 : 44 ). Kebijakan PT yang sesuai dengan

tuntutan pilihan masyarakat ( public choice ), maka kebijakan tersebut dapat

berjalan dengan baik dan efisien, demikian sinyal yang diberikan oleh Gerry

Stoker ( 1995 ), seperti yang disampaikan dalam makalah seminar nasional AIPI

( Supriyono, 2002 ) :

“The Right public choice ideas have played a stronger role in policy

analysis and prescription than providing an understanding and explanation of

the processes of resstructuring in intergovermental relations. Yes it is clear that

the potential is there for rational choice and more particularly, institutional

public choice models to offer a major contribution to social science”.

Dalam tataran perspektif teori publik choice peran pemerintah, cq PT

diantaranya adalah menyediakan komoditas publik ( public good ) secara

memuaskan. Public good oleh Arronson ( 1998 : 26 ) digambarkan dengan

ciri-ciri berikut : jenis barangnya termasuk dapat dikonsumsi bersama ( joint

consumption ) yang ditandai dengan tidak adanya rivalitas, ciri kedua adalah

non exclusion atau non excludability yaitu : kemanfaatan suatu barang ( produk )

dapat dinikmati seseorang tanpa harus membayar jasa atas kemanfaatan

barang ( produk ) tersebut. Jelas nampak disini bahwa perspektif teori public

choice selalu mengutamakan kemanfaatan suatu produk ( kebijakan ) yang

dapat dinikmati oleh publik. Kaitannya dengan studi bahasan ini bahwa

produk Kebijakan PT harus dapat dimanfaatkan oleh kalangan publik.

Page 29: evaliasi kebijakan

45

Seiring dengan itu salah satu teori yang tengah berkembang dalam

Adminitrasi Negara ( Publik ) adalah Teori Public Choice, yang mana model

pilihan teori ini adalah termasuk model pilihan terakhir, sebelumnya beberapa

teori yang telah mendahului diantaranya : model klasik, model neo klasik,

model institusi ( birokrasi ) dan model hubungan kemanusiaan ( Fredrickson,

1984 ). Oleh karena itu teori public choice dapat digunakan untuk memahami

lebih dalam tentang masalah-masalah ekonomi politik pada suatu negara. Tidak

sebatas hanya pada masalah ekonomi politik, dalam administrasi politik saat ini

tengah di arahkan kepada model pilihan publik, seperti dikemukakan oleh Gerry

Stoker ( 1995 : l09 ) dalam semininar nasional AIPI ( Supriyono, 2002 ) :

Institutional public choice theory uses concept and methods dirived from

neoclasical economocs to explore political phenomena. The concern is with

collective decision making rather than the behaviour of private firms or

consumers, hence the term public choice.

Sedangkan James Buchanan yang dalam ( Rachbini, 1996 ) berpendapat

bahwa Publc Choice adalah perspektif politik yang timbul dari perkembangan

dan penerapan suatu metode ilmu ekonomi terhadap keputusan kolektif, pendapat

yang sama dikemukakan oleh Cochren dan Malone ( 1995 : 64 ) mengatakan :

public choice theory is the study of collective decisions made by groups

of individuals through the political process to maximize their own self-

interest.

Dalam pendekatan public choice peran birokrasi PT dapat dilihat dari

perspektif ekonomi, yaitu : kemampuan untuk melakukan permintaan dan

penawaran secara seimbang. PT lebih tertarik kepada sisi penawarannya, meskipun

kontribusi pertama yang dihasilkan adalah sisi permintaannya. Pada konteks ini

Page 30: evaliasi kebijakan

46

secara positif dan normatif PT harus memiliki peran proporsional agar bidang

ekonomi dan kesejahteraan masyarakat berkembang dengan baik.

- Mengapa Public Choice

Kerangka teori public choice berusaha melihat fenomena pemerintah

sebagai aktor di dalam bidang politik dan ekonomi. Sejak tahun 1980 literatur

politik banyak dipenuhi oleh tulisan tentang rational choice ( RC ) atau public

choice ( PC ). Sedangkan rational choice menurut ( Arifin dan Rachbini 200l :

19 ) dalam bukunya “Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik” bila diartikan

sebagai berikut :

“Analogi permintaan dan penawaran komoditi sesuai dengan hukum ekonomi

klasik menjadi dasar dan kerangka pemikiran public choice dalam merambah

bidang-bidang sosial maupun politik. Pemilih, dalam hubungan yang lebih

demokratis dapat dianggap sebagai konsumen, yang meminta komiditi publik,

yang seharusnya disediakan oleh politisi atau pemerintah yang memenangkan

pemilu karena dukungan dari para pemilih. Dengan analogi tersebut, pemerintah

dapat diasumsikan sebagai suplier yang mungkin bisa menyediakan komoditi

publik untuk masyarakat”.

Alasan lainnya karena public choice sangat perhatian terhadap fungsi

pilihan sosial ( social choice function ) atau eksplorasi terhadap kepemilikan

kesejahteraan sosial ( properties of social welfare ), demikian ungkap ( Arifin

dan Rachbini 2001 : 19 ). Analisis public choice mengarah pada persoalan

agregasi preferensi individu untuk memaksimumkan fungsi kesejahteraan sosial.

Sedang yang mendasari pendekatan public choice adalah penekanan dalam

menilai keputusan - keputusan yang rasional, baik oleh individu anggota masyarakat,

lembaga-lembaga sosial maupun keputusan rasional oleh pemerintah.

Page 31: evaliasi kebijakan

47

Dengan demikian public choice tidak menampik kemungkinan kepentingan

kolektif ( collective interest ) atau tindakan kolektif ( collective action ) tetapi

merupakan suatu tindakan rusultante ( menurut Adam Smith ) dari segenap

kepentingan individu ada di dalamnya. Public Choice juga tidak menolak

peran dan eksistensi politik, malah justru mengasumsikan bahwa watak politik

dan kelembagaan dapat dianalisis secara analog sebagaimana sikap ekonomi

individu dan watak pasar di dalam kerangka analisis ekonomi. Dengan begitu

para ekonom mulai tertarik untuk merambah masuk ke dalam wilayah baru

di laur bidang ekonomi dengan prespektif public choice dapat menjembatani

untuk menganalisis masalah-masalah di luar kerangka analisis yang tertumpuh

pada fenomena pasar. Hal inilah yang memungkinkan pertemuan kembali

bidang ekonomi dan poltik dalam satu wilayah analisis sehingga perkembangan

ilmu-ilmu sosial di masa mendatang tidak lagi tersekat dalam kotak-kotak disiplin

ilmu yang ketat, saling manafikan dan tidak saling menguatkan satu sama

lainnya. Akibat dari keterpisahan dari disiplin ilmu ini, ilmu sosial menghadapi

krisis besar karena banyak fenomena baru tdak dapat ditangkap secara sempurna

oleh kedua kelompok ilmuwan tersebut.

Pendekatan ini dapat berbentuk dimensi teoritis tetapi juga mempunyai

preskripsi aplikatif sehingga dapat menjadi referensi kebijakan publik. Public

choice dapat dipakai untuk menunjukan bagaimana sikap yang sesuai dengan

budaya dan ideologi yang berkembang di masyarakat. Pendekatan public choice

dapat digunakan untuk mengiluminasikan kondisi-kondisi keberhasilan tindakan

kolektif ( collective action ), untuk menunjukan mengapa sebagian kepentingan

dapat lebih diagregasikan dan sebagian lainnya tidak. Sebab itu public choice

Page 32: evaliasi kebijakan

48

dapat dijadikan petunjuk bagi para pengambil kebijakan ( steakholders ) untuk

menentukan pilihan kebijakan yang paling efektif.

Oleh karena itu, public choice berkaitan erat dengan pilihan partai politik,

birokrat, kelompok kepentingan ( target grouip ) dan aturan-aturan pemerintah.

Kesemuanya ini sangat berkaitan dengan ilmu politik, tetapi yang terjadi saat ini

para ahli ekonomi politik mengembangkan pendekatan baru yang disebut public

choice. Dengan begitu maka public choice bukan suatu obyek studi, melainkan

adalah suatu cara paling efektif untuk mengkaji suatu subyek, secara difinitif

diartikan sebagai the economic study of non-market dicision making. Public

choice melihat Pemerintah sebagai aktor penyedia barang bagi konsumen.

Kaitannya dengan penelitian ini, Pemerintah ( PT ) sebagai penyedia kebijakan

biaya masuk, dan calon mahasiswa sebagai kliennya atau pengguna dari produk

kebijakan tersebut.

2.5. Perbandingan Kebijakan Pendidikan Dan Teori Contingency 2.5.1. Perbandingan Kebijakan Pendidikan Sejak tahun 1960 beberapa Kebijakan Pendidikan telah dilakukan, serta

untuk melengkapi analisis pembahasan berikut ini dibahas tentang beberapa

kebijakan pendidikan dari beberapa negara industri maju. Di Jepang misalnya,

kebijakan pendidikan yang dilaksanakan di negara Asia Timur tersebut selalu

mengedepankan kebijakan yang bersifat praktis, artinya kurikulum pendidikan

diarahkan serta mempunyai sinergitas terhadap dunia lapangan kerja. Konsep

sedikit teori dan banyak praktek telah diimplementasikan di PT. Di beberapa

PT memprioritaskan mahasiswa laki-laki diberikan kesempatan lebih banyak

dari pada mahasiswi.

Page 33: evaliasi kebijakan

49

Lain halnya dengan kebijakan pendidikan di Eropa dan di Amerika

Serikat, pada umumnya kebijakan pendidikan PT lebih banyak bersifat teoritas,

dibanding kebijakan pendidikan yang bersifat praktis. Eropa dan Amerika Serikat

kebijakannya juga diarahkan pada hal-hal yang bersifat analisis. Sedangkan porsi

jumlah mahasiswa dan mahasiswa tidak terjadi perbedaan, artinya baik laki-laki

maupun perempuan memiliki peluang yang sama masuk ke PT di universitas

manapun, demikian tulis ( Arnold, dkk, 1990 : 47 ).

Tersebut dibawah ini model kebijakan pendidikan di Jepang, setiap negara

perlu melaksanakan reformasi pendidikan dari waktu ke waktu, demikian tulis

( Amagi 1996 : 36 ). Di Jepang kebijakan pendidikan diarahkan kepada adanya

peningkatan kualitas pendidikan, sistem dan manajemen pendidikan. Sedangkan

kebijakan pendidikan yang diambil didasarkan kepada ketiga aspek, yaitu :

(1). Peningkatan kualitas para guru melalui beberapa langkah kebijakan antara

lain : - diberi kesempatan bagi para guru untuk meningkatkan pendidikannya, guru

SMU diberi kesempatan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi, termasuk juga

ke program pascasarjana bagi guru ber ijazah sarjana, - penempatan dan

staffing guru hendaknya dilakukan dengan merata sehingga terjadi keseimbangan

antara bidang studi baik yang ada di perkotaan maupun di pedesaan, - kondisi

kerja para guru, hal ini menyangkut masalah fasilitas pendukung, misalnya seperti

besarnya kelas, jumlah jam / hari kerja, termasuk juga masalah gaji guru

hendaknya cukup tinggi sehingga dapat menarik minat para kaum muda untuk

berprofesi sebagai guru agar ada keseimbangan antara gaji guru dengan gaji para

karyawan atau pegawai lainnya. (2). Desain dan pengembangan kurikulum hendaknya

dilaksanakan oleh yang berwenang serta kelompokprofesional. (3). Memperbaiki

manajeman sekolah, sekolah adalah lembaga pendidikan fundamental dimana

Page 34: evaliasi kebijakan

50

kegiatan-kegiatan pendidikan praktis dilaksanakan secara sistematis. Meskipun para

guru itu bekerja mandiri di kelas, tetapi secara kelompok bertanggung jawab kepada

kemajuan sekolah yang sering disebut sebagai “budaya sekolah”.

Ketiga kebijakan pendidikan dapat dilakukan di negara-negara industri maju,

tetapi kebijakan tersebut dapat juga diimplementasikan pada negera dunia ketiga,

karena ketiga aspek kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang fundamental,

demikian tulis ( Isao Amagi ).

2.5.2. Teori Contingency

Pendekatan teori contingency selalu menekankan kepada konsep adanya

kemungkinan dengan cara memilih ber macam-macamstrategi yang tepat berdasarkan

karakteristik situasi tertentu. Pendekatan contingency dalam studi manajemen

sudah ada sejak mulai tahun 1970 yang memandang bahwa harus ada penyesuaian

antara organisasi dengan lingkungannya, sehingga pimpinan perlu mencari titik

temunya. Teori ini menggaris bawahi bahwa ketidak-efektifan dari berbagai gaya

manajerial, petunjuk-petunjuk, teknik atau pendekatan, akan berbeda menurut

keadaannya. Dengan kata lain, pendekatan contingency menekankan pada “no on

best way” dalam meningkatkan produktivitas kerja dan out put organisasi.

Seperti halnya yang pernah terjadi di Unibraw, UM dan UMM dimana

masing-masing mempunyai karakteristik yang tidak mungkin disamakan bagaimana

kebijakan pendidikan itu di implementasikan. Kenyataannya demikian, di ketiga

universitas tersebut telah membuat kebijakan masing-masing yang secara rinci di

perjelas pada bab hasil penelitian.

Di dalam setiap kebijakan publik peran aktor sangat menentukan, termasuk

kebijakan pendidikan. Kebijakan yang dirumuskan biasanya disesuaikan dengan

keadaan dan kondisi. Seperti halnya yang terjadi di Unibraw, UM dan UMM.

Page 35: evaliasi kebijakan

51

Kebijakan yang bottom-up harus dilakukan mengingat kondisi kampus yang

sangat heterogen ini. Belum lagi kondisi ekonomi mahasiswa juga berbeda

antara satu dengan yang lain.

Akan tetapi meskipun demikian kebijakan apapun dan dimanapun selalu

di tuntut untuk segera di implementasikan karena kebijakan selalu digunakan

sebagai langkah untuk menetapkan seseuatu, termasuk juga kebijakan biaya masuk

PT. Oleh karena itu peran pimpinan ( steakholders ) dituntut untuk peka terhadap

perkembangan situasi dari organisasi yang dipimpinnya.

Se iring dengan hal tersebut, dengan mengacu dan menganologikakan kepada

teori kepemimpinan situasional yang dirumuskan oleh Paul Hersey dan Kenneth

Blanchard ( 1982 ), maka konsepsi kebijakan biaya masuk di PT dapat dijabarkan

sebagai berikut : Setiap PT perlu di inventarisasi tingkat kemampuan ekonomi

para mahasiswanya. Termasuk juga calon mahasiswa yang masuk ke PT, senyampang

hal tersebut berkaitan dengan kebijakan biaya masuk. Ada calon mahasiswa

tingkat kemampuan ekonomi tinggi, ada yang cukup, ada juga yang rendah serta

ada yang rendah sekali. Pada sisi lain, perlu juga bagaimana sikap pemerintah

dalam hal ini Depdiknas, terhadap kebijakan pendidikan tentang biaya masuk ini,

sikap tersebut bisa mendukung dan bisa bersifat mengarahkan. Mendukung itu

artinya sikap memberikan kebebasan seluas-luasnya, mendorong dan merangsang PT

untuk dapat kreatif, ambil inisiatif, dalam perumusan kebijakan biaya masuk PT.

Adapun siaft-sifat yang mengarahkan dari pemerintah yaitu pengarahan, instruksi

dan ikut campur mengatur kebijakan biaya masuk PT.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat di interpretasikan adanya empat

jenis hubungan yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah cq Depdiknas di dalam

perumusan kebijakan biaya masuk PT, terdiri dari :

Page 36: evaliasi kebijakan

52

( 1 ). Hubungan Instruktif, sifat dari hubungan ini prosentasenya lebih banyak

mengarahkan serta tidak mendukung. Pada situasi seperti ini PT dipandang

sebagai seorang anak bocah ingusan yang tidak mampu melakukan tawar-

menawar tentang apa –apa yang dibutuhkan. Hubungan ini sering disebut

juga dengan top-down. ;

( 2 ). Hubungan Konsultatif, adalah hubungan yang lebih banyak ber sifat

mengarahkan, tetapi masih ada unsur mendukung. Tetapi inisiatif datang

masih tetap dari atas atau pimpinan begitu pula dengan keputusan terakhir.

( 3 ). Hubungan Partisipatif, yaitu hubungan yang lebih banyak mendukung dari

pada mengarahkan. Dalam kondisi ini PT sudah diberi kebebasan untuk

berinisiatif dan dalam pengambilan keputusan sudah terjadi proses dialogis.

( 4 ) Hubungan delegatif, hubungan ini banyak memberikan kebebasan kepada PT,

dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan ( PT ) terbentuk dari bottom-up

semua mekanisme telah dilakukan di tingkat bawah, hal-hal yang bersifat

instruktif tidak pernah terjadi.

Ke empat hubungan diselenggarakan secara situasional kepada tiga ( 3 )

PT diatas. Modelnya, bagi PT sudah mapan, sifat hubungan adalah delegatif,

sedangkan untuk PT sedang maka sifat hubungannya konsultatif, adapun untuk

PT masih sedang berkembang sifat hubungannya adalah instruktif.

2.6. Penelitian Terdahulu

Dari hasil penelitia Sofyan Effendi ( 1986 ) terhadap pelayanan pendidikan

menunjukan bahwa ternyata yang paling banyak memanfaatkan fasilitas pendidikan

yang disubsidi oleh pemerintah bagi mereka yang memiliki kemampuan ekonomi

menengah ke atas. Bukti empiris ini, dibuktikan oleh penelitian Sofyan Effendi

Page 37: evaliasi kebijakan

53

( 2002 ), ternyata sedikitnya terdapat 70 % mahasiswa Universitas Gajahmada

( UGM ) yang menikmati subsidi pemerintah di bidang pendidikan tersebut,

Bank Dunia dalam penelitiannya ( 1996 ), diketemukan angka 50 % dari

jumlah keseluruhan yang tidak dapat melanjutkan studi atau sekolah lanjut ke

jenjang pendidikan lebih tinggi, termasuk diantaranya yang putus sekolah semata-

mata disebabkan karena faktor biaya.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh ( Papadopoulos, 1994 ), tentang

Change and Development in Higher Education, digambarkan bahwa Universitas

- universitas sudah tidak lagi menggunakan hak monopoli dalam penyelenggaraan

pendidikan tinggi, dan juga sistem – sistem pendidikan tinggi sekarang sudah

beragam dan rumit dalam pengertian struktur, program, mahasiswa dan pembiayaan.

Sedangkan dari hasil penelitiannya ( Delors, dkk, 1996 ), Di negara – negara

berkembang, menjadi tanggung jawab universitaslah untuk membangun masyarakat.

Penelitian ini dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan tinggi, ternyata pendidikan

tinggi memainkan peranan penting di dalam menyediakan dasar bagi program –

program pembangunan, perumusan kebijakan dan pelatihan untuk peningkatan

SDM pada tingkat menengah ( SMU ) secara umum, dan khususnya pada tingkat

pendidikan tinggi ( PT ).

Hasil penelitian ILO, tahun 1995, bahwa pada saat ini di dunia terdapat

tidak kurang dari 50 % usia anak-anak yang tidak sempat mengenyam bangku

sekolah atau dengan kata lain tidak mengenal pendidikan apapun. Data yang

diperoleh menunjukan bahwa penyebab utama dari mengapa anak - anak tersebut

tidak sekolah, hal ini karena ketidak mampuan dari segi biaya. Pada umumnya

mereka ini dari kelaurga tidak mampu, karena orang tuanya bekerja sebagai

Page 38: evaliasi kebijakan

54

buruh. Dan angka - angka tersebut di dominasi anak – anak yang ber asal dari

kawasan Asia, termasuk Indonesia.

Dampak Kebijakan Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan di Indonesia ternyata

masih belum dilaksanakan dengan baik. Beberapa lembaga pelayanan kesehatan,

seperti Rumah Sakit, Puskesmas belum maksimal, di lapangan ternyata berbeda

dengan kebijakan pelayanan kesehatan yang di keluarkan oleh pemerintah pusat.

Penelitian dilakukakan oleh Syarief Makhya di Bandar Lampung.

Dari beberapa penelitian terdahulu, terlihat betapa pentingnya pelayanan,

khususnya pelayanan pendidikan, pemerintah atau negara yang paling bertanggung

jawab atas terselenggaranya pendidikan. Utamanya bagi negara berkembang,

untuk mengejar ketertinggallannya dengan negara-negara maju, maka sektor

pendidikan yang paling utama untuk dikerjakan. Tetapi justru persoalan itu

muncul dari negara berkembang itu sendiri, dan biasanya persoalan pendidikan

itu muncul di negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, hal ini disebabkan karena

persoalan biaya atau karena ketidak mampuan. Oleh sebab itu, sudah saatnya

pemerintah untuk turun tangan mangatasi masalah tersebut. Paling tidak, upaya

yang dilakukan oleh pemerintah dalam waktu dekat ini adalah dengan jalan

memberikan kesempatan kepada masyarakat ( Indonesia ) untuk memperoleh

pemerataan pendidikan ( tinggi ) yang seperti di amanatkan dalam undang –

undang dasar negara. Kebijakan pendidikan yang berakses kepada masyarakat

dalam memperoleh pemerataan kesempatan pendidikan sudah waktunya untuk

dilaksanakan dengan cara memberikan kemudahan ( akses ) dalam hal biaya saat

masuk ke PT, khususnya PT Negeri.

Untuk itulah penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mencari solusi

dan formulasi terbaik, bagaimana agar dapat terlaksana akses dalam masyarakat untuk

Page 39: evaliasi kebijakan

55

memperoleh kesempatan pemerataan pendidikan tinggi. Tentu saja fokus penelitiannya

di arahkan pada masalah kemampuan biaya masuk ke PT.

Penelitian ini juga dilakukan untuk mencari celah atau kekurangan dari

beberapa penelitian terdahulu dari sisi Kebijakan Pendidikan, khususnya Kebijakan

Biaya Masuk Perguruan Tinggi yang selama ini belum pernah dilakukan,

kebijakan biaya masuk selalu berkaitan dengan masalah kemampuan tingkat

ekonomi masyarakat yang dapat di akses oleh suatu kebijakan dalam hal ini

kebijakan pendidikan.