Etnis Tionghoa di Indonesia

5
ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010, setidaknya ada 1.128 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia. Dari sekian banyak kelompok etnik yang ada, etnik Tionghoa merupakan salah satu suku bangsa yang menarik untuk dikaji lebih dalam lagi, terutama berkaitan dengan kebudayaan dan hubungan antaretnis. Meskipun telah mendiami Nusantara selama ratusan tahun, disinyalir sejak abad kelima, masih banyak masyarakat yang berpersepsi bahwa mereka tidak seutuhnya bangsa Indonesia, padahal seharusnya mereka juga menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Anggapan tersebut tampaknya muncul akibat pemahaman nasionalisme yang dibangun berdasarkan konsep ‘kepribumian’ (indigenism) yang berakar sejak zaman kolonial. Konsep kepribumian ini juga diartikan sebagai sang pemilik atau tuan rumah. Oleh sebab itu, etnik Tionghoa dikategorikan sebagai orang asing (Vreemde Oosterlingen atau Foreign Oriental) yang bukan merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Meskipun perbedaan persepsi di atas menarik untuk diulas lebih lanjut, namun kali ini pembahasan akan difokuskan pada kebudayaan dan sikap hidup etnik Tionghoa di Indonesia. Pada umumnya, masyarakat menganggap etnik Tionghoa di Indonesia sebagai sebuah kelompok yang homogen, baik dari segi budaya maupun penampilan fisik. Namun menurut Mely Tan Giok Lan (Mely G. Tan), seorang sosiolog yang juga keturunan Tionghoa, ada perbedaan di antara mereka yang dikenal dengan nama Peranakan (mixed- bloods) dan Totok (pure-bloods). Istilah ini muncul setidaknya karena faktor-faktor berikut ini: 1) Alasan demografis. Istilah Peranakan merujuk kepada keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia. Sedangkan istilah Totok, 1

description

Etnis Tionghoa di Indonesia

Transcript of Etnis Tionghoa di Indonesia

ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA

Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010, setidaknya ada 1.128 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia. Dari sekian banyak kelompok etnik yang ada, etnik Tionghoa merupakan salah satu suku bangsa yang menarik untuk dikaji lebih dalam lagi, terutama berkaitan dengan kebudayaan dan hubungan antaretnis. Meskipun telah mendiami Nusantara selama ratusan tahun, disinyalir sejak abad kelima, masih banyak masyarakat yang berpersepsi bahwa mereka tidak seutuhnya bangsa Indonesia, padahal seharusnya mereka juga menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Anggapan tersebut tampaknya muncul akibat pemahaman nasionalisme yang dibangun berdasarkan konsep kepribumian (indigenism) yang berakar sejak zaman kolonial. Konsep kepribumian ini juga diartikan sebagai sang pemilik atau tuan rumah. Oleh sebab itu, etnik Tionghoa dikategorikan sebagai orang asing (Vreemde Oosterlingen atau Foreign Oriental) yang bukan merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Meskipun perbedaan persepsi di atas menarik untuk diulas lebih lanjut, namun kali ini pembahasan akan difokuskan pada kebudayaan dan sikap hidup etnik Tionghoa di Indonesia.Pada umumnya, masyarakat menganggap etnik Tionghoa di Indonesia sebagai sebuah kelompok yang homogen, baik dari segi budaya maupun penampilan fisik. Namun menurut Mely Tan Giok Lan (Mely G. Tan), seorang sosiolog yang juga keturunan Tionghoa, ada perbedaan di antara mereka yang dikenal dengan nama Peranakan (mixed-bloods) dan Totok (pure-bloods). Istilah ini muncul setidaknya karena faktor-faktor berikut ini:1) Alasan demografis. Istilah Peranakan merujuk kepada keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia. Sedangkan istilah Totok, Singkeh, atau Singkek merujuk pada orang Tionghoa yang bermigrasi ke Indonesia.2) Sudut pandang budaya. Istilah Peranakan merujuk pada subgrup dari komunitas Tionghoa yang telah menetap selama ratusan tahun, dicirikan dengan akulturasi parsial terhadap kebudayaan asli (Oetomo, 1987:12). Hal ini sangat kontras bila dibandingkan dengan istilah Totok yang merujuk pada pure-bloods yang bermigrasi ke Indonesia sekitar permulaan abad ke-20, leluhurnya tidak banyak berakukturasi dengan kebudayaan lokal, dan masih sangat mempertahankan identitas ketionghoaannya (Oetomo 1987).3) Lama waktu menetap dan ikatan pernikahan. Migrasi awal orang Tionghoa banyak dilakukan oleh kaum pria yang selanjutnya menikah dengan wanita lokal. Jika demikian, tentunya akan terjadi asimilasi dan akulturasi kebudayaan. Namun di awal abad ke-20, imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia tidak hanya didominasi kaum pria, banyak juga kaum wanita yang turut bermigrasi, sehingga proses akulturasi berkurang.Berikut ini adalah stereotype yang bisa menjelaskan etnik Tionghoa Peranakan dan Totok dalam berbagai aspek kehidupan menurut Oetomo (1987) dan M. Tan (2002:158-159). Namun perlu diingat bahwa ini bukanlah generalisasi.

ASPEKPERANAKANTOTOK

KEBUDAYAANMengandung lebih banyak kebudayaan lokal Indonesia.Mengandung lebih banyak kebudayaan asli Cina.

BAHASATidak berbicara dalam dialek Cina apapun.Berbicara dalam dialek Hokkien, Teochew, Hakka, Cantonese, dll.

TABLE MANNERSTidak lagi menggunakan sumpit, tapi menggunakan piring beserta sendok garpu atau menggunakan tangan.Masih menggunakan mangkok dan sumpit; biasanya menyantap bubur saat sarapan.

MAKANANKombinasi makanan lokal (menggunakan santan kelapa dan rempah-rempah asli Indonesia) dan masakan asli Cina namun dengan cita rasa lokal.Menggunakan rempah-rempah tradisional Cina, seperti bumbu lima rupa (ngo-hiong); memasak sayuran dengan ditumis bersama tahu.

CARA BERPAKAIANLebih glamor dalam berpakaian.Berpakaian sederhana dan biasanya hanya menggunakan beberapa jenis warna tertentu.

LIFE ATTITUDEHidup lebih mewah dan cenderung bersenang-senang; berorientasi pada kelas sosial.Pekerja keras, hemat, dan lebih egaliter.

BUSINESS ATTITUDECenderung enggan mengambil risiko dalam bisnis.Cenderung berani mengambil risiko dalam bisnis.

TRADITIONAL RELIGIONTidak lagi sembahyang di kelenteng dan tidak lagi peduli pada kepercayaan Cina.Masih memiliki meja sembahyang atau meja abu di rumah; masih sembahyang di kelenteng.

PERAYAAN KELAHIRAN BAYIMeletakkan plasenta bayi di gerabah guci dan melarungnya di laut.Kelahiran bayi laki-laki dirayakan dengan mengirimkan telur merah kepada kerabat dan sanak saudara.

PERNIKAHAN DAN KEMATIANRitual pernikahan dan kematian relatif sederhana.Masih menjalankan tradisi pernikahan tradisional Cina dan masih memberikan persembahan bagi arwah di makamnya.

Meskipun dalam beberapa aspek kehidupan ada perbedaan antara etnik Tionghoa Peranakan dan Totok, secara umum mereka adalah satu kesatuan yang menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Tampaknya gagasan dr. Tjipto Mangunkusumo yang menginginkan semua suku bangsa menganggap Indonesia sebagai tanah airnya dengan berperan aktif dalam mengembangkan negara ini (Suryadinata, 1984:159) harus digalakkan demi tercapainya Indonesia yang lebih baik di masa mendatang.

Referensi:1. Etnis Cina di Indonesia: Fakta Komunikasi Antar Budaya, oleh Robert Siburian.http://pensa-sb.info/wp-content/uploads/2010/11/Etnis-Cina-di-Indonesia.pdf2. Etnik Tionghoa, Pribumi Indonesia dan Kemajemukan: Peran Negara, Sejarah, dan Budaya dalam Hubungan Antaretnis, oleh Leo Suryadinata (Institute of Southeast Asian Studies).https://icssis.files.wordpress.com/2012/05/09102012-30.pdf3. Kuliner untuk Arwah: Realita Akulturasi Budaya Kaum Cina Peranakan, oleh Hermina Sutami (Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia).http://anthropology.fisip.ui.ac.id/httpdocs/jurnal/2003/71/02ktpls71.pdf4. Chinese in Indonesia: A Background Study, oleh Hermanto Lim dan David Mead (SIL International, 2011).http://www-01.sil.org/silesr/2011/silesr2011-028.pdf3