etkufk61

14
CATATAN KULIAH Mata Kuliah: Etik Kedokteran Pokok Bahasan: Relevansi dan Pengembangan Etik Kedokteran Topik: Dinamika Pengembangan Etik Kedokteran oleh Prof.dr.H.Rusdi Ismail, SpA(K) Tujuan Pendidikan NO POKOK BAHASAN TOPIK TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM 1 Relevansi dan pengembangan Etik Kedokteran 1.2.Dinamika Pengembangan Etik Kedokteran 1. Memahami pengertian etik dan konsep etik biomedik dalam kerangka pengembangan etik kedokteran 2. Memahami peran pengalaman empirik, tatanilai yang berkembang di tengah masyarakat, kajian filsafat dan penghayatan agama dalam pengembangan etik kedokteran. 3. Memahami posisi dan peran organisasi profesi dalam pengembangan etik kedokteran serta perumusan Kode Etik sebagai acuan etik kedokteran di Indonesia MATERI KULIAH 1. Pengertian Eksistensi etik kedokteran melekat pada eksistensi profesi kedokteran. Pemahaman tentang hakikat profesi kedokteran akan membimbing kita dalam memahami hakikat etik kedokteran. Dalam perkembangannya, secara dinamis terjadi interaksi timbal balik antara perkembangan praktek kedokteran, kiprah profesi kedokteran dan etik kedokteran. Terdapat banyak rumusan tentang makna dari profesi. Ada beberapa kata kunci yang dipakai untuk mengidentifikasi makna ”profesi”. Landasan dari pengertian profesi adalah kemampuan khusus, kompetensi , yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Kompetensi ini dipadankan dengan karakteristik lain. Yang umum dipadankan dengan ”cara mencari penghasilan untuk hidup”, dalam Bahasa Inggeris dipakai istilah ”earned the life”, yang merupakan landaan untuk pengertian profesi sebagai penyanyi, pemahat, model, PSK dsb. Ada pengertian yang lebih sempit, kata kuncinya adalah ”kewenangan khusus”, dalam Bahasa Inggeris dinamakan ”specific previlege” yang

description

etik

Transcript of etkufk61

3.1. Pengertian Kode Etik Kedokteran

CATATAN KULIAH

Mata Kuliah: Etik Kedokteran

Pokok Bahasan: Relevansi dan Pengembangan Etik Kedokteran

Topik: Dinamika Pengembangan Etik Kedokteran

oleh

Prof.dr.H.Rusdi Ismail, SpA(K)

Tujuan Pendidikan NOPOKOK BAHASAN TOPIKTUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM

1Relevansi dan pengembangan Etik Kedokteran 1.2.Dinamika Pengembangan Etik Kedokteran

1. Memahami pengertian etik dan konsep etik biomedik dalam kerangka pengembangan etik kedokteran

2. Memahami peran pengalaman empirik, tatanilai yang berkembang di tengah masyarakat, kajian filsafat dan penghayatan agama dalam pengembangan etik kedokteran.

3. Memahami posisi dan peran organisasi profesi dalam pengembangan etik kedokteran serta perumusan Kode Etik sebagai acuan etik kedokteran di Indonesia

MATERI KULIAH

1. Pengertian

Eksistensi etik kedokteran melekat pada eksistensi profesi kedokteran. Pemahaman tentang hakikat profesi kedokteran akan membimbing kita dalam memahami hakikat etik kedokteran. Dalam perkembangannya, secara dinamis terjadi interaksi timbal balik antara perkembangan praktek kedokteran, kiprah profesi kedokteran dan etik kedokteran. Terdapat banyak rumusan tentang makna dari profesi. Ada beberapa kata kunci yang dipakai untuk mengidentifikasi makna profesi. Landasan dari pengertian profesi adalah kemampuan khusus, kompetensi, yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Kompetensi ini dipadankan dengan karakteristik lain. Yang umum dipadankan dengan cara mencari penghasilan untuk hidup, dalam Bahasa Inggeris dipakai istilah earned the life, yang merupakan landaan untuk pengertian profesi sebagai penyanyi, pemahat, model, PSK dsb. Ada pengertian yang lebih sempit, kata kuncinya adalah kewenangan khusus, dalam Bahasa Inggeris dinamakan specific previlege yang diberikan masayarakat untuk malaksanakan sesuatu. Landasan dari kewenangan khusus ini adalah kepercayaan masyarakat. Misalnya, kepada profesi hakim diberikan kewenangan khusus untuk menetapkan apakah seorang bersalah atau tidak. Pengertian profesi kedokteran mengacu pada pengertian yang lebih khusus ini, dimana pada seorang dokter, dipercayakan oleh masayarakat untuk memecahkan permasalahan medik yang mereka hadapi. Sebagai ilmu terapan, Ilmu Kedokteran mempunyai missi memecahkan permasalahan medik. Kewenangan (legitimasi) profesional untuk memecahkan permasalahan medik ini dilimpahakan pada seorang dokter. Legitimasi ini, sesuai dengan uraian di atas, didasarkan pada kepercayaan masyarakat. Jadi terjadi semacam kontrak sosial antara masyarakat dan dokter. Legitimasi sebagai seorang dokter ini harus didayagunakan untuk memecahkan permasalahan medik secara bertanggungjawab dan bermartabat. Bertanggungjawab ditafsirkan: pemecahan permasalahan medik yang dilakukan dilakukan dengan benar dan efisien. Bermartabat ditafsirkan: pemecahan permasalahan dilaksanakan dengan menghormati harkat kemanusiaan. Untuk itu dunia kedokteran sebagai kelompok profesi, sebagai suatu peer group bersepakat, mereka yang akan menyajikan pelayanan kesehatan harus menguasai kompetensi profesional kedokteran tertentu.Kehidupan bermasyarakat selalu diikat oleh adat istiadat yang baik. Adat istiadat yang baik ini mengacu pada tatanilai yang dianut masyarakat yang bersangkutan. Penghayatan dan pengamalan tatanilai inilah yang diformulasikan sebagai moral. Norma moral yang dianut dinamakan moralitas. Moralitas ini akan mewarnai kehidupan manusia yang penuh dengan rasa, karya (sikap dan perilaku) dan karsa (kehendak). Sajian pelayanan yang bermartabat tentu harus yang terbaik dan paling efisien; tetapi sekaligus juga harus menghormati dan mengakomodasi moralitas yang berlaku di tengah masyarakat, serta rasa dan karsa dari dari mereka yang mengalami permasalahan.

Kita sering lupa dan terjebak pada persepsi bahwa sikap dan perilaku profesional sebagai dokter hanya bertumpu pada pengetahuan dan keterampilan medik saja. Sikap dan perilaku profesional juga bertumpu pada pemahaman dan penghayatan tatanilai moral. Sikap yang bertumpu pada pengetahuan dan keterampilan acuannya adalah salah atau benar, sasarannya adalah efektifitas dan efisiensi. Sikap yang bertumpu pada tatanilai moral acuannya adalah baik atau buruk, sasarannya adalah kemaslahatan manusia, makhluk insani ciptaan Sang Khalik. Penguasaan dan penghayatan tatanilai moral ini merupakan bagian dari kompetensi profesional yang harus dikuasai seorang dokter, dan diamalkannya dalam melaksanakan pemecahan permasalahan medik. Kumpulan moralitas inilah, setelah dikodifikasikan, yang kita kenal sebagai etik kedokteran. Dalam praktek Etik Kedokteran berperan sebagai instrumen pengendali dan pengawas agar kewenangan profesional yang diberikan pada seorang dokter dapat dimanfaatkan secara bermartabat dan betanggung-jawab.

Etik dapat diartikan sebagai moralitas yang berlaku untuk kalangan tertentu. Dalam pengertian ini istilah etik lazim dipadankan dengan kata lain yang menunjukkan cakupannya, misalnya Etik Keperawatan, Etik Pengacara, Etik Kedokteran Gigi dan lain sebagainya. Dari uraian di atas tercermin bahwa pengertian etik kedokteran dapat dirumuskan sebagai kumpulan moralitas norma moral- yang dijadikan pegangan seorang dokter dalam menilai apakah kiprahnya sebagai dokter baik atau buruk. Jadi secara umum dapat dikatakan etik kedokteran adalah tatacara berperilaku yang mengacu pada nilai moral yang dianut masyarakat kedokteran, dalam menjalankan profesinya sebagai dokter. Pemahaman seperti ini merupakan salah satu bentuk penegertian dari etik.

Etik memiliki pengertian lain, yaitu suatu kajian. Kajian tentang moral, tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Ada dua bentuk utama kajian moral ini. Pertama kajian tentang apa yang seyogianya atau seharusnya dianggap baik atau buruk. Bentuk ini dinamakan Etik Normatif atau Etik Teoritis. Etik Teoritis merupakan suatu kajian filsafat, bagian dari filsafat moral, sehingga ada juga yang mengemasnya dengan nama Filsafat Etik. Bentuk yang lain adalah kajian tentang penghayatan dan pengamalan moral yang berkembang di tengah masyarakat. Bentuk ini dinamakan Etik Deskriptif atau Etik Terapan. Etik Terapan merupakan salah satu bentuk kajian ilmu sosial. Kajian tentang moralitas yang berkembang pada profesi kedokteran merupakan bentuk Etik Terapan. Sedang kajian filsafat tentang bagaimana seyogianya dokter harus bersikap dan berperilaku secara moral merupakan bentuk Etik Teoritis.

Secara post-facto, eksistensi profesi kedokteran ditetapkan oleh apresiasi masyarakat. Apresiasi masyarakat tidak hanya bergantung pada: sampai dimana kita mampu menanggulangi permasalahan kesehatan mereka, tetapi juga tergantung pada cara kita menanggulanginya. Penghayatan dan pengamalan etik kedokteran sangat menentukan cara yang kita tempuh. Penghayatan dan pengamalan etik kedokteran merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari sajian pelayanan kesehatan bermutu, dalam memenuhi hajat masyarakat dalam membina dan memelihara kesehatannya.

Dari perspektif penyaji, sajian pelayanan bermutu bertumpu pada pendayagunaan akumulasi Iptekdok semaksimal mungkin (gambar 1). Penyaji, termasuk dokter, secara moral bertanggungjawab agar pasien mendapatkan yang terbaik dari Iptekdok yang tersedia dan dikuasainya.

Sajian pelayanan dikemas melalui sistem pelayanan. Sistem pelayanan harus dikemas untuk menyajikan yang paling efisien bagi pasien. Penyaji, termasuk dokter mempunyai kewajiban moral agar apa yang disajikan pada pasien adalah yang paling efisien.

Dalam melaksanakan pelayanan, penyaji secara berkesinambungan melakukan rangkaian keputusan yang memandunya untuk bertindak atau tidak bertindak. Tindakan dalam rangka pemecahan permasalahan kesehatan pasien tidak dapat tidak akan mempunyai dampak pada pasien. Bisa berupa manfaat, tetapi juga dapat merugikan, baik berupa beban yang harus dipikul, serta risiko yang mungkin dihadapi. Beban dan risiko ini tidak hanya berupa materi dan fisik, tetapi juga nonfisik seperti korban perasaan, waktu, stigmata dan lain sebagainya.Tidak bertindak dapat merugikan pasien, berupa hilangnya kesempatan untuk mendapatkan yang terbaik. Untuk itu tiap keputusan klinis yang ditindak lanjuti dengan aksi, disamping mengacu pada aturan yang berlaku, harus selalu dipadankan dengan pertimbangan etik.

Gambar 1. Dinamika sajian pelayanan bermutu

Dari sudut pandang pasien, pelayanan disamping manjur dapat menanggulangi permasalahan medik yang mereka hadapi- juga harus menyenangkan dan terjangkau.. Ketidak puasan pasien terhadap sajian pelayanan, tidak hanya bersumber pada belum atau lambatnya permasalahan mereka teratasi, tetapi juga bersumber pada tingkat kenyamanan dan keterjangkauan pelayanan yang mereka nikmati. Dalam menyajikan pelayanan bermutu, dokter dituntut secara konsisten berpegang teguh untuk menyajikan pelayanan yang efisien, terbaik serta bermatabat, sekaligus terjangkau, memuaskan dan menyenangkan hasrat pasien. Secara operasional pencapaian pelayanan yang bermutu ini harus mengacu pada aturan yang berlaku. Aturan administratif untuk mencapai pelayanan yang paling efisien. Standard kerja profesioanal untuk menyajikan yang terbaik. Kaidah etik kedokteran, untuk mendapatkan pelayanan yang bermartabat. Kepatuhan untuk melaksanakan aturan ini diformulasikan sebagai disiplin medik. Jadi disiplin medik mencakup 3 dimensi: disiplin administratif, disiplin klinis, serta disiplin moral.

Dengan semakin canggih dan luasnya cakupan pelayanan medik, pihak yang terkait dengan proses pelayanan menjadi semakin beragam kompetensi dan kewenangannya. Tenaga professional kesehatan menjadi semakin beragam. Pelayanan yang kompleks harus dikelola oleh manager profesional. Dana yang terbatas harus dialokasukan secara bertanggungjawab dan adil oleh pengambil keputusan. Begitu pula pengembangan ilmu kedokteran menjadi semakin intensif dan luas bidang geraknya. Berbagai disiplin ilmu dan ilmuwan harus dilibatkan, sehingga cakupan bidang gerak etik yang memayungi masalah penelitian kedokteran tidak dapat dibatasi hanya pada issu moral kiprah profesi kedokteran.

Dalam konteks penyajian pelayanan bermutu kita tidak dapat tidak harus mengambil pendekatan yang lebih luas, sejalan dengan pemahaman yang diuaraikan di atas. Semua pihak yang terkait dengan pelayanan medik harus terikat dan mengikatkan diri pada moralitas yang sejalan dan serasi. Pendekatan seperti ini diformalisikan sebagai pendekatan bioetik. Secara pilogenik bioetik merupakan pengembangan dari etik kedokteran. Tetapi sekarang pemahaman bioetik dalam dua dasawarsa terakhir berkembang dengan cepat dan telah berkembang menjadi satu disiplin ilmu tersendiri. Dalam perkembangannya, dari sudut pandang bioetik, etik kedokteran adalah merupakan bagian dari bioetik, merupakan salah satu bentuk dari etik profesi kesehatan. Tetapi tumpuan kajiannnya tetap mengacu pada pelayanan kedokteran, sehingga ada yang menamakannya sebagai biomedical ethics, diterjemahkan menjadi etik biomedik.

Pendekatan melalui pemahaman bioetik mencakup seluruh dimensi moral permasalahan pelayanan medik, termasuk dimensi etik pengambilan kebijakan dan keputusan kesehatan oleh yang berwenang. Definisi bioetik yang dirumuskan International Association of Bioethics adalah: "kajian tentang issu-issu etik, sosial, hukum dan issu-issu lain yang timbul dalam pelayanan kesehatan dan ilmu biologi". Terlihat esensi munculnya pengertian bioetik adalah perluasan cakupan objeknya. Sedang dimensi bidang geraknya.tetap mencakup ketiga dimensi pengertian etik sebagaimna yang diuraikan di atas, yaitu: etik dalam pengertian moralitas yang berlaku khusus pada golongan tertentu, yaitu seluruh pihak yang terkait dengan pngembangan dan pengamalan ilmu biomedik. Jadi mencakup etik kedokteran, etik keperawatan, etik peneliti biomedik dan lain sebagainya. Etik sebagai bagian dari kajian filsafat (Etik Teoritis) tentang apa yang seyogianya dianggap baik atau buruk, serta Etik Deskriptif, sebagai bagian dari ilmu sosial yang mengkaji mengapa moralitas tertentu dianut dan berkembang pada kelompok masyarakat tertentu.

2. Pengembangan Etik Kedokteran

Perkembangan etik kedokteran berhulu pada perilaku profesional masyarakat kedokteran dalam mengemban pelayanan medik. Sesuai dengan moralitas yang mereka anut, apa yang mereka anggap baik dan apa yang dianggap buruk, akan terbentuk perilaku tentang apa yang seharusnya mereka kerjakan dan apa yang seharusnya tidak mereka kerjakan dalam berinteraksi dengan pasien. Kumpulan moralitas yang diamalkan masing-masing anggota profesi kedokteran ini akan mengkristal, dan dalam perkembangannya akan dikompilasikan menjadi etik kedokteran. Penghayatan sikap moral yang berhulu pada kegiatan lapangan kiprah professional dokter- dikelompokan sebagai wacana empirik. Wacana empirik bersandar pada karya, rasa dan karsa (kehendak).yang dihayati dokter dalam berinteraksi dengan pasien.

Teknologi kedokteran selalu berkembang. Perkembangan teknologi kedokteran, memperluas spektrum dan intensitas tindakan medis yang dapat diterapkan. Perluasan ini menuntut perluasan dan penyesuaian tatanilai yang harus dianut dokter. Misalnya kemampuan menerapkan "bayi tabung" menuntut dokter mengambil sikap etik, apakah dianggap baik jika melakukan implantasi telur yang telah dibuahi, yang bukan berasal dari pasangan suami istri. Peningkatan kemampuan rawat intensif memungkinkan dokter untuk mempertahankan fungsi vital meskipun otak sudah tidak berfungsi, sehingga menimbulkan issu moral, kapan perangkat bantu ini dapat dihentikan pemakaiannya, dikaitkan dengan issu euthanasia pasif. Moralitas yang dibakukan sebagai etik kedokteran akan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan spektrum dan intensitas penerapan iptekdok. Sesuai dengan uraian di atas, secara empiris, sesuai dengan perkembangan penerapan teknologi kedokteran, etik kedokteran juga selalu berkembang.Tuntutan masyarakat, sesuai dengan tatanilai moral yang mereka anut ikut mempengaruhi sikap dan perilaku dokter dalam melaksanakan pelayanan medik. Misalnya, di Amerika Serikat, sesuai dengan budaya yang mereka anut, masyarakat sangat kritis terhadap kinerja dokter, yang sering bermuara pada tuntutan malapraktek. Karena beratnya risiko tuntutan terhadap hasil pelayanan yang kurang memuaskan, ada negara bagian mereka yang membolehkan dokter untuk tidak melayanni kasus tertentu. Misalnya, seorang Spesialis Kebidanan boleh memilih tidak melayani persalinan emergensi. Pada hal secara umum telah berkembang acuan etik yang mengharuskan dokter melakukan pertolongan darurat. Sekarang makin banyak masyarakat yang menganggap pertolongan kedokteran sebagai "sajian jasa", suatu komoditas, bukan lagi suatu "buah pengabdian". Penerapan konsep ini secara apa adanya, akan mengubah kiprah profesi kedokteran menjadi upaya sajian jasa, yang akan menjurus pada motif mencari penghasilan, yang tentunya akan tunduk pada kaidah bisnis, yang tentunya akan sangat mempengaruhi tatanan etik kedokteran yang berkembang. Perkembangan etik kedokteran sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat ini dikelompokkan sebagai wacana sosiologik.

Kajian terhadap dinamika perkembangan tatanilai moral berdasarkan wacana empirik dan sosiologik ini termasuk bidang gerak ilmu sosial, termasuk Sosiologi (fokusnya adalah manusia sebagai anggota masyarakat), Psikologi (fokusnya adalah kepribadian manusia) dan Antropologi (fokusnya adalah kiprah manusia). Dikaitkan dengan pengembangan etik, kajian ini merupakan bagian dari Etik Deskriptif. Jadi, penguasaan dasar-dasar Psikologi, Sosiologi dan Antropologi oleh seorang dokter tidak hanya bermanfaat untuk membantu memahami dan memecahkan permasalahan medik yang harus ditangani, tetapi sekaligus bermanfaat untuk memahami perkembangan Etik Kedokteran di kalangan profesi, dan perkembangan tatanilai moral di tengah masyarakat secara keseluruhan.

Wacana ketiga pengembangan etik kedokteran adalah kajian filsafat. Di atas telah diuraikan kajian ini merupakan bagian dari filsafat moral dan dinamakan Etik Teoritis atau Etik Normatif atau Filsafat Etik. Sesuai dengan pendekatan bioetik, untuk bidang kesehatan objek formanya adalah semua pihak yang terkait dengan pengembangan ilmu biomedik dan pelayanan kesehatan dalam memecahkan permasalahan kesehatan, objek materinya adalah kiprah mereka dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu biomedik.

Kajian Etik Teoritis mencakup ketiga dimensi kajian filsafat: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dikaitkan dengan dimensi moral pengembangan ilmu biomedik, ontologi memahami apa yang dikaji-, lazimnya akan mengacu pada pemahaman metafisik tentang apa yang boleh dikaji dan apa yang sebaiknya tidak boleh dikaji. Dimensi etiknya akan tercakup dalam etik akademik. Epistemologi memahami cara mengembangkan- akan bermuara pada pengembangan etik penelitian biomedik. Aksiologi memahami pemanfaatan- akan bermuara pada pengembangan etik profesi kesehatan, termasuk etik profesi dokter.

Kajian filsafat moral secara umum menghasilkan teori moral. Kajian Etik Teoritis menterjemahkan teori moral ini menjadi berbagai prinsip etik, kaidah (rule) etik, hak dan kewajiban moral dan lain sebagainya. Di bidang biomedik kajian ini tentunya dijuruskan untuk mengembangkan kaidah yang dapat digunakan sebagai pegangan untuk melakukan penilaian atau justifikasi apakah kiprah di bidang ilmu biomedik, baik yang terkait dengan pengembangan ilmu, maupun yang terkait dengan pengamalan ilmu biomedik khususnya dalam bentuk pemecahan permasalahan medik, layak etik atau tidak.

Sejalan dengan beragamnya pendapat dan aliran filsafat, muncul pula berbagai teori moral. Ada beberapa teori moral yang lazim dirujuk dalam pengembangan prinsip dan kaidah etik biomedik. Rangkuman singkat tentang teori ini adalah:

Utilitarian

Teori ini mengajarkan bahwa tiap tindakan hanya dapat dinilai berdasarkan konsekuensinya. Jadi tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu akibatnya baik atau buruk, bermanfaat atau merugikan, menyenangkan atau menganggu, dsb.

Suatu tindakan selalu mempunyai konsekuensi ganda, dimana masing-masing kosekuensi dapat mempunyai nilai yang berbeda, sehingga kita harus melakukan pertimbangan nilai tindakan secara keseluruhan. Untuk itu muncul teori pelengkap untuk menilai kualitas konsekuensi ini. Misalnya ada yang menilai berdasarkan tingkat kenikmatan yang dihasilkan konsekuensi ini, sehingga teorinya digolongkan sebagai hedonisme. Lebih jauh lagi muncul berbagai kajian tentang sistem nilai, yang dapat dikaitkan dengan penilaian kualitas konsekuensi.

Dalam penerapan teori ini, muncul dua arah penerapan. Pertama dinamakan act utilitarianism, dimana moralitas suatu tindakan harus dinilai kasus per kasus, sesuai dengan tindakan yang dilakukan, serta situasi yang melingkupinya. Kedua dinamakan rule utilitarianism dimana panduan lebih mengacu pada suatu aturan umum, sehingga tindakan yang terkait harus dinilai berdasarkan aturan yang sesuai dengan konsekuensi, tanpa dapat dipengaruhi hal lain. Contoh: Ajaran moral mengharuskan kita tidak boleh berbohong. Kita menghadapi informasi, yang kalau disampaikan pada pasien dapat meningkatkan kekalutan pasien. Act utilitarianism membolehkan mempertimbangkan konsekuensi ini untuk mengambil sikap, sedang rule utilitarianism mengharuskan kita konsekuen mematuhi aturan. Dua arah penerapan dan contoh ini memperlihatkan dilemma yang harus dihadapi dalam melakukan pertimbangan moral terhadap suatu tindakan. Dilemma tidak hanya muncul dalam memilih referensi yang sesuai, dapat pula muncul karena konsekunsi ganda suatu tindakan, maupun karena perbedaan preferensi subjek yang terkait.

Deontologi

Teori ini didasarkan pada pemikiran filsafat dari Immanuel Kant, sehingga lazim juga disebut Kantianism. Kant berpendapat moralitas bersumber pada pemikiran, bukan berdasar tradisi, kebiasaan, emosi, perasaan, dsb. Nilai moral suatu tindakan mengacu pada maxim, suatu aturan tentang kewajiban yang berlaku secara universal yang disusun berdasarkan keutamaan kemanusiaan. Dalam operasionalisasinya dalam menilai suatu tindakan, kewajiban ini dikelompokkan menjadi perfect duties dan inperfect duties untuk diri sendiri, serta perfect duties dan inperfect duties untuk orang lain. Nilai hasil tindakan bukanlah menjadi landasan pertimbangan, meskipun dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk bertindak. Dilemma muncul jika berhadapan dengan inperfect (negative) duties sedang keadaan mengharuskan pencapaian suatu hasil, atau sebaliknya.

Individualisme

Jika teori utilitarian didasarkan pada hasil, teori deontologi didasarkan pada kewajiban moral, maka teori individualisme ini didasarkan pada penghormatan penuh pada hak manusia. Teori ini juga mengajarkan untuk menghormati setiap individu untuk memanfaatkan haknya, sehingga secara lengkap dinamakan juga teori individualisme liberal. Hak ini mencakup berbagai hak dasar seorang individu, termasuk hak untuk menentukan nasibnya sendiri, yang dalam penerapannya sangat menentukan pnmbentukan sikap moral dalam rangka hubungan pasien dan dokter. Kata-kata individu muncul karena teori ini mengajarkan untuk mendahulukan hak individu ketimbang hak masyarakat. Hak ini mencakup hak positif, yang mengharuskan pihak lain berbuat sesuatu untuk kepentingan pemilik hak, serta hak negatif, yang mengharuskan pihak lain untuk tidak berbuat sesuatu pada pemilik hak.

Dalam menerapkan teori ini, dilemma yang muncul dalam praktek kedokteran dan kesehatan secara keseluruhan analog dengan dilemma penerapan Hak Azazi Manusia yang dikampanyekan negara maju, yang memiliki sarana lengkap dan tatanan kemasyarakatan yang mapan, dengan negara berkembang dengan segala keterbatasan, sehingga terpaksa mengalahkan kepentingan individu demi kepentingan masyarakat banyak. Dalam diskursus seperti ini, sebagai kontra argumen muncul formulasi kewajiban. Disamping mempunyai hak, tiap individu juga mempunyai kewajiban, termasuk tanggungjawab sosial, tanggungjawab terhadap masyarakat.

Dalam praktek, jika terdapat dilemma etik, pemecahannya dikembalikan pada kaidah tentang hak yang relevan, dan preferensi si pemilik hak. Di sisi lain, teori ini juga memberikan landasan bagi dokter untuk bertindak atau tidak bertindak, sesuai dengan hak yang dimilikinya. Dalam melakukan pertimbangan etik kita selalu menyandingkan antara hak dengan kewajiban. Dalam artikata, melalui argumen kewajiban kita meminta sipemilik hak untuk tidak menggunakan haknya.

Komunitas

Teori ini dapat dipandang sebagai antitesis dari ketiga teori sebelumnya, teori utilitarian, teori individualisme dan teori deontologi. Teori ini mengajarkan, sumber moralitas adalah apa yang berkembang ditengah masyarakat, baik berupa tradisi, tatanilai, perilaku, keinginan serta harapan dan lain sebagainya. Ketiga teori sebelumnya dianggap bersifat liberal karena teori utilitarian mengajarkan untuk menghormati individu untuk mendapatkan hasil yang terbaik, teori Kantianism menghormati otonomi individu dalam memikirkan dan merumuskan dan menjalankan kewajiban moralnya, sedang teori individualisme mengupayakan kepastian individu untuk mendapatkan haknya, dengan pengertian pihak lain, termasuk masyarakat untuk bersikap netral. Teori komunitas mengajarkan sebaliknya, dalam mempertimbangkan baik buruk kita harus mendahulukan pertimbangan komunitas. Pengertian komunitas disini mempunyai arti yang lebih luas, bukan hanya masyarakat, misal dapat dalam bentuk komunitas profesional kedokteran, yang mengharuskan dokter untuk bertindak sesuai dengan tatanilai yang didambakan komunitasnya; bisa dalam pengertian keluarga, yang mengharuskan kita menghormati tatanilai yang berkembang dalam keluarga tersebut.

Etik Melayani

Teori ini lazim juga disebut teori feminisme, karena pengembangan teori ini antara lain bersumber pada argumen, bahwa lelaki dalam bertindak lebih menonjolkan hak dan keadilan, sedang perempuan lebih menonjolkan hubungannya dengan pihak lain, dengan keluarga, dengan komunitas dan lain sebagainya, sehingga memunculkan kewajiban untuk melayani. Teori ini dianggap para ahli tidak memunculkan aliran filosofis tertentu, tetapi lebih merupakan kontra argumen terhadap teori yang ada, yang dianggap pendukungnya mendasarkan pengembangan etik pada kewajiban. Padahal lebih dari itu moralitas juga harus dikembangkan berdasarkan dimensi lain, hubungan timbal balik antar manusia, baik berupa ikatan emosional, sikap saling mempercayai, saling menyayangi, melindungi dan lain sebagainya. Manusia saling membutuhkan dalam suatu suasana interdependensi. Moralitas harus dikembang tidak hanya berdasarkan kewajiban atau hak, tetapi juga berdasarkan kebutuhan pihak yang saling membutuhkan.

Jika dikaji dengan mendalam, teori-teori tersebut di atas dapat dipandang saling melengkapi. Teori Etik Melayani misalnya memberikan dimensi emosi sebagai bahan pertimbangan dalam menilai moralitas suatu tindakan, yang tidak dipertimbangkan sama sekali oleh teori yang lain. Teori individualisme jika dikaji lebih mendalam tidak sepenuhnya bersifat diametral dengan teori komunitas, kita harus mencari keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak. Dalam praktek, dalam merumuskan kaidah pertimbangan kelayakan etik, kita lazimnya bersikap elektik, memilih teori yang cocok dan relevan sesuai dengan situasi yang dihadapi, dan sinkretik, sesuai dengan kebutuhan meramu teori yang akan diimplementasikan. Sebagai ilustrasi: seorang bapak usia 70 tahun, menderita gagal ginjal kronis, dan harus menjalani tranplantasi ginjal. Kebetulan donor yang cocok hanya berasal dari seorang anak lelakinya, seorang doktor yang sukses sebagai eksekutif muda. Issu moralnya adalah sampai dimana anak yang sangat produktif harus mengorbankan satu ginjalnya dengan segala risiko untuk kepentingan bapaknya yang sudah uzur. Teori utalitarianisme akan meminta kita mempertimbangkan untung ruginya, maxim Kantianism mungkin mengajarkan keutamaan untuk menolong sesama manusia, apapun hasil dan konsekuensinya, teori individualisme akan menyerahkan keputusan sepenuhnya pada sang anak, tanpa intervensi dari masyarakat, teori komunitarian akan mengajarkan bakti seorang anak terhadap orang tuanya, sedang teori feminisme akan mempertimbangkan kautnya ikatan emosional antara ayah dan anak. Tapi tentu tidak ada salahnya baik sang anak, maupun masyarakat yang mencermati perilaku anak, termasuk profesi kedokteran, menilainya dari berbagai sudut pandang tersebut di atas.Kajian filsafat membantu kita menilai dan memilah tatanilai yang berkembang secara empiris, yang muncul secara menyebar dan beragam di tengah masyarakat sejalan dengan kiprah dokter sebagai kaum profesional. Kajian Etik Teoritis memandu kita, tidak hanya untuk memahami apa itu yang baik atau buruk, tetapi dalam praktek juga memandu kita menetapkan apakah sesuatu yang dianggap baik atau buruk, benar-benar baik atau buruk.

Keempat, wacana agama. Kaidah agama bersifat transedental, suatu yang normatif dan baku yang berasal dari atas, dari yang Maha Kuasa. Meskipun begitu, dalam prakteknya, dalam menyikapi perilaku medik yang berkembang dan mengembangkan tatanilai yang dianjurkan, masih diperlukan kajian.

Dalam agama Islam misalnya, dalam menetapkan fatwa dibutuhkan kajian yang mendalam tentang dalil yang menjadi pegangan, yang merupakan kompetensi para Ulama. Tentunya kajian harus diimbangi dengan informasi teknis yang relevan, yang merupakan kompetensi ahli kedokteran. Misalnya tentang praktek bayi tabung. Dalam menerapkan dalil tentang nasab (keturunan), dengan informasi teknis yang jelas kita akan sampai pada kesimpulan apakah ibu penginang (surrogate mother) diperkenankan dalam Islam atau tidak. Para ahli sepakat bahwa upaya pemecahan permasalahan medik adalah suatu fardu kifayah. Tetapi pemenuhan fardu kifayah kiranya tidak menghapuskan sama sekali kesempatan dokter untuk mendapat imbalan. Untuk itu kajian khusus nilai keagamaan akan menghasilkan kaidah etik bagaimana seyogianya dokter mengambil imbalan, dalam konteks pertimbangan agama.

Dengan demikian dapat dimengerti, tatanilai moral yang dikembamgkan dalam bentuk tatanilai etik kedokteran, selalu berkembang baik dimensi maupun formulasinya. Pengertian dimensi berkaitan dengan spektrum kegiatan profesional dokter. Pengertian formulasi berkonotasi dengan kesepakatan rumusan tatanilai moral, apakah suatu perilaku dianggap baik atau buruk.

Menyimak keempat wacana pengembangan tatanilai moral tersebut diatas, dapat dimengerti akan selalu terdapat perbedaan pemikiran dan persepsi. Kita menganut agama yang berbeda. Kajian filsafat mempunyai aliran yang sangat beragam yang dapat berbeda secara diametral. Kiprah sangat ditentukan oleh kondisi yang melatarbelakanginya. Dalam prakteknya muncul formulasi Etik Kedokteran yang disusun khusus untuk kalangan tertentu, atau sesuatu yang bersifat situasional. misalnya "Kode Etik Dokter Muslim", "Kode Etik Kedokteran Rumah Sakit Katolik Charitas Palembang" dan lain sebagainya.

Tetapi di lain pihak ada yang berpendapat etik harus bersifat universal. Sesuatu yang dianggap baik atau buruk berlaku umum untuk seluruh situasi dan kondisi. Dalam kajian filsafat perbedaan ini mengkristal dalam aliran relativisme dan aliran universalisme.

Dalam prakteknya umumnya para ahli berpendapat prinsip dasar Etik Kedokteran bersifat universal. Aspek praksisnya dapat berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Dalam perumusan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dinyatakan: KODEKI lebih bersifat langgeng, pedoman pelaksanaannya dapat diubah dari waktu kewaktu.

3. Kodifikasi

Di atas telah diuraikan, dimensi dan formulasi etik kedokteran selalu berkembang sejalan dengan berkembangnya spektrum dan intensitas teknologi kedokteran yang diterapkan, serta tatanilai moral yang berkembang di tengah masyarakat. Formulasi etik yang berkembang ini dibakukan. Hasil pembakuan ini dikompilasikan, dalam arti kata dikumpulkan, disusun secara sistematis. Hasil kompilasi ini disepakati. Etik Kedokteran yang telah dikompilasikan dan disepakati untuk diterapkan dinamakan Kode Etik Kedokteran.

Di tingkat dunia kompilasi ini dilakukan oleh World Medical Association. Kesepakatan (accord) biasanya diambil sewaktu muktamar mereka yang dinamakan World Medical Assembly. Kesepakatan pertama tentang kode etik kedokteran dilakukan pada World Medical Assembly ketiga di London tahun 1948, yang menghasilkan International Code of Medical Ethics. Kesepakatan ini kemudian direvisi pada World Medical Assembly ke 22 di Sydney pada tahun 1968 dan di Venisia pada tahun 1983, serta bebrapa kongres berikutnya. Disamping Accord (kesepakatan) secara berkala World Medical Assembly juga menghasilkan declaration (deklarasi) tentang permasalahan etik kedokteran tertentu, misalnya tentang euthanasia, terakhir tentang cloning manusia, untuk dipedomani negara anggotanya.

Analog dengan di tingkat dunia, kodifikasi Etik Kedokteran di Indonesia dilakukan oleh IDI. Secara teknis digarap oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI (MKEK-IDI). Dan kesepakatan yang dihasilkan dituangkan dalam bentuk Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). Versi pertama dihasilkan tahun 1969, kemudian direvisi dan dikukuhkan pada tahun 1983 dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan. Kemudian direvisi lagi pada tahun 1991 di Yogyakarta. Versi terakhir yang dianjurkan IDI untuk diamalkan oleh anggotanya diputuskan dalam Muktamar IDI tahun 2001, dan ditetapkan pemberlakuannya berdasarkan Keputusan PB IDI tahun 2002.

Dari waktu kewaktu, MKEK/ IDI juga mengeluarkan pendapat atau fatwa tentang permasalahan etik tertentu. Kumpulan pendapat atau fatwa ini umumnya diikutsertakan sebagai pelengkap Kodeki, untuk jadi panduan para anggota dalam mengamalkan profesinya.

Sejalan dengan pencabangan kiprah profesi kedokteran, Etik Kedokteran juga menjadi semakin luas spektrumnya. Secara lebih spesifik sekarang berkembang Etik Penelitian Kedokteran, yang pada tahap awal mencakup etik dalam menggunakan pasien sebagai subjek penelitian, kemudian berkembang menjadi etik penelitan yang memakai manusia sebagai subjek. Kemudian meluas lagi pada penelitian yang menggunakan binatang percobaan dan masyarakat sebagai subjek, yang secara umum dinamakan Etik Penelitian Biomedik. Berdasarkan kasus pemakaian tawanan perang sebagai subjek penelitian, masyarakat internasional di Nuremberg, Jerman merumuskan Nuremberg Code pada tahun 1948, yang mencantumkan kesepakatan tentang etika penelitian biomedik pada manusia. Kemudian pada tahun 1964, World Medical Association menelorkan Deklarasi Helsinki I, menyuarakan sikap mereka tentang penelitian kedokteran pada manusia. Deklarasi ini disempurnakan di Toronto tahun 1975, tetapi tetap dinamakan Deklarasi Helsinki. Deklarasi Helsinki juga disempurnakan pada beberapa kongres berikutnyaSekarang juga berkembang etik rumah sakit, yang menangani tatanilai yang harus dikembangkan di lingkungan rumah sakit dalam menyajikan pelayanan kedokteran. Formulasi etik penelitian biomedik dan etik rumah sakit dapat dipandang sebagai pengejawantahan perluasan cakupan bidang gerak etik kedokteran dengan mengamalkan pendekatan bioetik. Dalam konteks bioetik, etik kedokteran merupakan bagian dari bioetik.

Sebagian dari tatanilai Etik Kedokteran dikukuhkan oleh Pemerintah dalam bentuk peraturan yang mengikat untuk dilaksanakan. Dan ditetapkan sanksinya kalau dilanggar. Kumpulan peraturan ini merupakan bagian dari Hukum Kedokteran. Di Indonesia, Undang-Undang no 23 tahun 1992 tentang kesehatan mencakup banyak aspek yang terkait dengan pelanggaran tatanilai etik kedokteran. Misalnya klausul yang mengatur tentang pengakhiran kehamilan. Sebagian dari peraturan ini berlaku secara umum, tidak hanya mencakup bidang kedokteran, misalnya fasal 322 KUHP tentang rahasia pekerjaan. Jadi kita harus mem pelajari juga peraturan/ undang-undang umum yang dapat diberlakukan terhadap kiprah profesi kedokteran. Hukum kedokteran dapat dpandang sebagai kontinuum dari etik kedokteran dalam mengendalikan profesi kedokteran.

4. Penutup

Etik kedokteran selalu berkembang. Jelas dokter mempunyai peranan sentral dalam pengembangan etik kedokteran. Baik dalam mengembangkannya secara empirik, maupun dalam menyerap pengembangan melalui wacana atau oleh pihak lain. Untuk itu mereka dituntut mempunyai sikap moral yang utama, yang dilandasai sikap altruisme, mencintai sesama manusia. Dalam Mukaddimah Kodeki tuntutan ini diterjemahkan dalam bentuk ?tradisi luhur profesi kedokteran, yaitu:

Sifat ketuhanan.

Kemurnian niat

Keluhuran budi.

Kerendahan hati.

Kesungguhan kerja.

Integritas ilmiah dan social,

kesejawatan

yang harus dihayati dan diamalkan setiap dokter.

Palembang Februari 2006

Perspektif Penyaii

Iptekdok Aturan

Sistem Aturan

Moral

Aturan

Kode Etik Etik

Standar

Efisien

Bermartabat

Terbaik

PELAYANAN BERMUTU

Menyenangkan

Manjur

Terjangkauu

Perspektif Pasien

Kemampuan

Perilaku

Permasalahan

Sos-Ekonomi

Konsep sakit

Tatanilai

29