ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu...

124
Menjadi Profesional Berintegritas ETIKA ANTIKORUPSI

Transcript of ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu...

Page 1: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

Menjadi Profesional Berintegritas

ETIKA ANTIKORUPSI

Page 2: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 3: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

ETIKA ANTIKORUPSI:“MENJADI PROFESIONAL

BERINTEGRITAS”

KontributorRimawan Pradiptyo, PhD

Gandjar Laksmana BonapraptaDesiantien S Pringgopoetro

Indira DewiYulia Sari

Alois Agus NugrohoWaluyo

Tim PenulisMikhael Dua

Andre Ata UjanT. Sintak Gunawan

R. Ristyantoro

Page 4: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

ETIKA ANTIKORUPSI: “MENJADI PROFESIONAL BERINTEGRITAS”

Diterbitkan oleh:Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPKGedung Merah Putih KPKJl. Kuningan Persada Kav. 4, Jakarta Selatan 12920http://www.kpk.go.id

ISBN: 978-602-52387-7-2

Penerbitan buku ini merupakan hasil kerjasama antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Pusat Pengembangan Etika (PPE) Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Pengarah:Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Deputi Bidang Pencegahan KPK

Koordinator:Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK

Tim Penulis:Mikhael DuaAndre Ata UjanT. Sintak GunawanR. Ristyantoro

Kontributor: Rimawan Pradiptyo, PhDGandjar Laksmana BonapraptaDesiantien S PringgopoetroIndira DewiYulia SariAlois Agus NugrohoWaluyo

Tim Supervisi:Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK

Cetakan Pertama: Jakarta, 2019Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Buku ini boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya, diperbanyak untuk pendidikan serta nonkomersial lainnya dan tidak untuk diperjualbelikan.

Page 5: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

PENGANTAR KPK

PENGANTARKomisi Pemberantasan Korupsi

01

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat-Nya, sehingga penyusunan buku Etika Antikorupsi : Menjadi Profesional Berintegritas

dapat terselesaikan. Buku ini merupakan panduan bagi dosen atau tenaga pendidik dalam menerapkan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi melalui insersi dalam mata kuliah Etika Profesi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki tugas untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi, salah satunya melakukan Pendidikan Antikorupsi pada setiap jejaring pendididikan. Penyusunan buku panduan ini merupakan salah satu upaya KPK untuk menyediakan bahan ajar bagi para dosen pengampu Pendidikan Antikorupsi. Selain dalam bentuk buku panduan, KPK juga melakukan inovasi dan pengembangan bahan ajar sebagai konsekuensi dari Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi. Media ajar tersebut antara lain komik, buku saku, film dan juga permainan sehingga dosen dapat mengembangkan metode belajar yang lebih menarik. Adapun buku panduan ini bersifat umum dan memberikan gambaran untuk pelaksanaan pembelajaran di kelas yang mengondisikan mahasiswa mendapatkan pengetahuan tentang antikorupsi dan internalisasi nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupan mereka.

Mata kuliah Etika Profesi memiliki irisan yang cukup banyak dengan nilai-nilai antikorupsi sehingga insersi atau sisipan muatan antikorupsi ke dalam mata kuliah Etika Profesi menjadi bekal penting dibalik keahlian yang dimiliki profesional.

Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang turut terlibat dalam penyusunan buku ini, baik kepada Tim Penulis dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Mikhael Dua, Andre Ata Ujan, T.Sintak Gunawan, R. Ristyantoro, Kontributor dan Tim Supervisi yang telah mendedikasikan gagasan dan waktunya sehingga buku ini dapat tersajikan. Memberantas Korupsi membutuhkan upaya yang berkelanjutan dan kerjasama dari semua elemen bangsa demi mewujudkan indonesia yang maju dan sejahtera.

Salam Antikorupsi!

Jakarta, 9 Desember 2019

Komisi Pemberantasan Korupsi

Page 6: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

02

Mengikuti langkah yang diambil oleh masyarakat dan pemerintah untuk mengembangkan sikap antikorupsi, beberapa Perguruan

Tinggi mengambil inisiatif mengembangkan bahan ajar mengenai korupsi. Selain dibangun sebagai mata kuliah tersendiri dengan pelbagai macam nama, pengembangan sikap korupsi juga dibahas dalam mata kuliah lain seperti etika profesi, agama, kewarganegaraan, dan Pancasila.

Apa pun usaha yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi, pengembangan sikap antikorupsi harus diapresiasi dan didukung semua pihak. Bersama pemerintah dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini mengatasi korupsi melalui usaha pencegahan, sosialisasi tindak pidana anti korupsi, dan pembentukan masyarakat anti korupsi, Perguruan Tinggi dapat mengembangkan dan meningkatkan usaha yang sudah dilakukan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar seperti: Apa sebenarnya akar korupsi? Bagaimana korupsi dapat dicegah? Bagaimana diskursus etika dibangun di kalangan komunitas akademis, baik dari segi konten dan metode? Dari mana diskursus seperti itu dimulai?

Buku ini dirancang dengan pengandaian bahwa Perguruan Tinggi sudah memiliki mata kuliah etika profesi di masing-masing jurusan dengan konteks permasalahan yang berbeda-beda. Kita mengenal misalnya etika bisnis, etika politik, etika hukum, etika rekayasa teknik, etika profesi psikolog, bioetika untuk kedokteran, bioetika untuk teknobiologi, etika penelitian, etika pendidikan. Selain itu, diandaikan juga prinsip-prinsip tatakelola umum implisit atau eksplisit dibicarakan dalam konteks dan materi yang berbeda-beda. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah transparansi, akuntabilitas, tanggungjawab, kemandirian, keadilan, kepedulian, solidaritas, dan pluralitas. Prinsip-prinsip ini menjadi dasar bagi tindakan profesional sehingga profesi dan komunitas profesi dapat dipercaya klien dan masyarakat.

Diskusi etika profesi menjadi penting karena di balik keahlian yang dimiliki profesional terdapat kesempatan melakukan tindakan manipulasi, pemerasan, suap, dan bahkan penipuan. Para profesional harus yakin bahwa ia harus mengenal ‘baju’ etika profesi agar mereka layak dipercaya klien dan masyarakat. Mereka juga harus menghindarkan diri dari tindak pidana korupsi dengan prinsip-prinsip etis yang mereka yakini dan bicarakan.

Sebagai misal, berdasarkan prinsip bebas dari konflik kepentingan, setiap profesional mengerti bahwa ia tidak boleh menerima gratifikasi dan suap. Karena itu, para profesional harus menjawab pertanyaan sederhana ini: siapakah ia sebenarnya sehingga ia wajib mempertahankan kepercayaan klien

KATA PENGANTAR PENULIS

KATA PENGANTAR PENULIS

Page 7: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

dan masyarakat? Pertanyaan ini menarik perhatian karena kapasitas keahlian seorang profesional seharusnya berjalan bersamaan dengan kapasitasnya sebagai manusia. Inilah yang membuat integritas menjadi bagian tak terpisahkan dari etika profesi dan sekaligus menjadi jembatan baginya untuk masuk dalam komunitas profesi dan dunia di luar komunitas profesinya. Dengan perkataan lain, para profesional harus memiliki integritas sebagai manusia selain kapasitas keahlian. Dengan pengandaian ini, korupsi tidak hanya merupakan sebuah tindakan yang menyalahi prinsip-prinsip etika profesi, tetapi juga sebuah tindakan yang buruk dari segi mutu kemanusiaannya.

Buku Etika Antikorupsi ini dimaksudkan menjadi salah satu bahan ajar dalam mata kuliah etika profesi. Buku ini menjelaskan korupsi dengan modus-mudus yang terkenal seperti gratifikasi dan suap di mana konflik kepentingan dapat terjadi. Selain itu, buku ini berusaha menjelaskan faktor-faktor yang bisa mencetus praktik-praktik korupsi. Dalam hal ini pelbagai macam faktor akan memberikan penjelasan mengapa orang muda terjebak dalam tindak korupsi. Diskusi mengenai modus dan faktor-faktor korupsi tersebut, buku ini secara mendasar membangun penalaran etis antikorupsi dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan etika profesi. Pendekatan ini menjelaskan bahwa korupsi melawan prinsip-prinsip etika profesi seperti tanggungjawab, otonomi, keadilan yang sebenarnya secara tegas sudah tersirat dalam janji publik profesi. Kedua, pendekatan etika keutamaan. Pendekatan ini secara mendasar menjawab pertanyaan, siapakah saya sehingga harus melawan korupsi. Integritas pribadi menjadi jawaban atas semua usaha tersebut. Tak ada nilai lebih tinggi dari usaha pemberantasan korupsi, gratifikasi, dan suap selain dari menjunjung rasa hormat pada martabat diri kita sendiri sebagai manusia terhormat yang memiliki integritas. Dengan mengikuti argumentasi yang dibangun buku ini, etika antikorupsi dapat dilihat sebagai sebuah kritik atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan.

Sebagai bahan ajar di Perguruan Tinggi, diskusi mengenai etika antikorupsi ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Agar mahasiswa memiliki kesadaran tentang suap dan gratifikasi sebagai modus korupsi. Yang dimaksud kesadaran di sini lebih dari sekedar pengetahuan tentang suap, gratifikasi, korupsi, dan akar-akar korupsi. Dengan mendiskusikan akar-akar korupsi dan konteks sosialnya, mahasiswa diajak untuk membangun niat dan kehendak untuk mengubah dirinya sendiri sebagai mahasiswa yang antikorupsi. Untuk tujuan ini, diskusi mengenai gratifikasi sebagai akar korupsi dan masalah moral tindakan korupsi menjadi bab pertama buku ini.

2. Agar mahasiswa membangun sikap moral berdasarkan prinsip-prinsip etika profesi untuk menolak korupsi. Sikap moral yang dimaksud meliputi

03

KATA PENGANTAR PENULIS

Page 8: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

04

sikap kritis terhadap norma sosial yang secara potensial mendukung bertumbuhnya praktik korupsi. Untuk itu diskusi tentang etika antikorupsi dan etika profesi pada bab kedua dan ketiga buku ini dapat membantu mendorong sikap antikorupsi baik dari segi etika maupun dari segi profesi.

3. Agar mahasiswa berkomitmen dan secara praktis menolak gratifikasi, suap, dan korupsi. Tahap ini perlu agar mahasiwa memiliki sebuah program aksi untuk tidak terlibat dalam tindakan korupsi. Pembebasan diri sendiri dari korupsi dapat menjadi awal bagi pembebasan masyarakat dari tindakan-tindakan koruptif (gerakan pembebasan). Untuk tujuan ini sebuah diskusi tentang integritas di bab empat dan kasus-kasus korupsi pada bab lima dapat menstimulasi mahasiswa untuk menolak korupsi.

Berdasarkan tujuan tersebut, buku pegangan ini tidak berhenti menjawab pertanyaan quid facti (sekedar mengetahui fakta-fakta korupsi dan prinsip-prinsip etika antikorupsi) dan pada pertanyaan quid iuris (apa yang saya tahu itu benar), tetapi harus sampai pada kehendak untuk berani menolak korupsi. Pengetahuan mengenai korupsi, sebab-sebabnya serta etika antikorupsi bukan tidak penting. Pengetahuan tentang fakta korupsi, faktor-faktor timbulnya korupsi, serta bagaimana KPK berusaha dengan segala cara menghadapi masalah korupsi di Indonesia dapat membantu mahasiswa untuk prihatin dengan kenyataan masyarakat Indonesia yang berjuang melawan korupsi. Tetapi pengetahuan dimaksud harus diikuti dengan pemikiran bahwa korupsi bukanlah fakta di luar diri manusia. Ia berakar pada kenyataan manusia yang harus diteliti dengan cermat: bagaimana cara-cara efektif menangani korupsi, apa akibat korupsi bagi hidup manusia dan moral manusia. Dari kedua usaha tersebut, langkah berikut yang harus diambil adalah membangun kehendak untuk bertindak praktis menolak korupsi. Keberanian untuk menolak korupsi perlu dilihat sebagai sebuah cara praktis untuk menjawab pertanyaan penting mengenai kebenaran hidup sebagai kemanusiaan.

Untuk maksud tersebut, buku ini disusun sedemikian rupa sehingga setiap pembaca dapat membangun refleksi etis atas korupsi. Apa yang dibangun dalam buku ini dapat dijadikan model membangun refleksi etis. Langkah ini diambil karena sesuai dengan karakter etika sebagai cabang filsafat.

Bahan ajar yang dibahas di sini sebaiknya digunakan dalam proses diskursif kritis. Artinya, ada diskusi di antara peserta yang terlibat di dalamnya. Diskusi tersebut tidak sekedar mengungkapkan apa yang diketahui dan dialami oleh setiap peserta, tetapi melihat apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana melihatnya dari sudut etika. Ketika mendiskusikannya dari perspektif etika, sikap yang harus dihindari adalah dogmatisme, artinya sekedar menunjukkan kesesuaiannya dengan ajaran moral tertentu, tetapi harus kritis dalam arti melihatnya berdasarkan kriteria normatif etis seperti keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab.

KATA PENGANTAR PENULIS

Page 9: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

Sangat diusulkan agar buku ini digunakan sesuai dengan tujuannya. Untuk itu beberapa langkah metode diskursif-kritis perlu diperhatikan, misalnya, dibuatkan pertanyaan-pertanyaan pre-test untuk melihat sejauh mana mahasiswa memahami persoalan sekitar korupsi dan tindak pidana korupsi. Selanjutnya mendiskusikan dengan serius latar belakang sosial politik, budaya, agama mengapa banyak orang terjebak dalam tindakan koruptif, lalu bersama-sama menemukan solusi mengatasi korupsi berdasarkan prinsip-prinsip etika: integritas, keadilan, kejujuran, dan tanggungjawab atas kerugian yang diakibatkan oleh tindakan korupsi. Lalu, membangun simulasi tindakan anti korupsi dan diakhiri dengan semacam post-test tentang pemahaman, penyadaran, dan aksi anti korupsi. Untuk maksud ini bab kelima, selain menyajikan kasus-kasus korupsi menjelaskan proses pengajaran etika antikorupsi dimaksud.

05

KATA PENGANTAR PENULIS

Page 10: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 11: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

Daftar Isi

DAFTAR ISI

07

Rp

KORUPSIKORUPSI

Etika Antikorupsi ?

Korupsi: Gratifikasi, Suap, dan Konflik Kepentingan

Apa Itu Etika Antikorupsi Etika Profesi Melawan Korupsi

BAB I BAB II BAB III

07 27 73

Integritas

Integritas, Fondasi Moral Antikorupsi

BAB IV

109Metode Pembelajaran Etika Antikorupsi dan

Kasus-Kasus

BAB V

149

Page 12: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 13: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

kORUPSI:GRATIFIkASI, SUAP, DAN kONFLIk kEPENTINGAN

BAB I:

Rp

KORUPSIKORUPSI

Page 14: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 15: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

11

Korupsi merupakan sebuah tindakan kriminal yang tidak hanya merugikan negara tetapi merusak tantanan kehidupan sosial dan ekonomi serta merusak demokrasi.

Dari data tersebut terlihat dengan jelas bahwa korupsi di Indonesia tidak hanya terdapat di tingkat pusat, tetapi sudah menyebar ke tingkat daerah yang akibat-akibatnya semakin menyentuh kehidupan masyarakat lokal/daerah. Selain itu, praktik penyuapan dan pengadaan barang dan jasa menjadi modus-modus korupsi. Kedua modus ini memiliki hubungan dengan praktik gratifikasi yang melekat dengan kebiasaan saling memberikan hadiah dan barang pada peristiwa-peristiwa budaya di masyarakat Indonesia. Praktik gratifikasi semacam ini tidak hanya menjadi permulaan dari praktik suap tetapi juga mendorong terjadinya konflik kepentingan karena mereka yang terlibat dalam praktik tersebut mengutamakan kepentingan diri dan keluarga lebih dari kepentingan-kepentingan negara dan bangsa.

BAB I

Bab ini akan berbicara tentang korupsi, modus-modus korupsi, sebab-sebab terjadinya korupsi, dan pemecahan hukum menghadapi korupsi. Tujuan yang hendak dicapai dengan pembahasan ini adalah agar mahasiswa:

1. Memiliki pemahaman tentang korupsi dan modus-modusnya.2. Mampu membuat analisis tentang latar belakang sosial ekonomi dan

politik terjadinya korupsi.3. Mampu membuat pembedaan antara pemecahan legal dan

pemecahan etika dalam menghadapi korupsi.

Perkara Penyuapan

Pengadaan Barang/Jasa

Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

Merintangi Proses KPK

78

9

4

2

6113

17

2

PemerintahanPropinsiiii

DPR/DPRD

Kementrian/Lembagaaaaaaaa

Pemerintahan Kabupaten/Perkotaan

93Total Tindak Pidana Korupsi

yang Ditangani KPK(Data Hingga Akhir November 2018)

5,6TTOTAL KERUGIAN NEGARA

Rp

KASUS-KASUS

Page 16: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

12

BAB I

A. Arti Korupsi

Istilah korupsi diturunkan dari bahasa Latin corruptio yang berarti hal merusak, godaan, bujukan, atau kemerosotan. Kata kerjanya adalah corrumpere (corrumpo, saya menghancurkan) yang berarti menimbulkan kehancuran, kebusukan, kerusakan, kemerosotan. Bahasa Latin juga menamai pelaku korupsi dengan corruptor. Bahasa Indonesia pun menamai pelaku korupsi dengan koruptor. (Priyono, 2018: 22).

Istilah korupsi juga memiliki konteks penggunaan yang berbeda-beda. Oxford English Dictionary mencoba mengungkapkan keluasan penggunaan istilah tersebut. Secara fisik, korupsi berarti kerusakan atau kebusukan segala sesuatu, terutama melalui penghancuran keutuhan dan penghancuran bentuk dengan akibat yang menyertainya yaitu kehilangan keutuhan, kerusakan; secara moral, korupsi berarti penyelewengan atau penghancuran integritas dalam pelaksanaan kewajiban publik melalui suap dan gratifikasi; dan secara sosial, korupsi berarti penjungkirbalikan segala sesuatu dari kondisi asli kemurnian misalnya penyelewengan lembaga dan adat istiadat. (Priyono, 2018: 23).

Dalam sejarah hukum di Indonesia, istilah ini sudah dikenal dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/1958 terkait usaha pemberantasan korupsi, yang kemudian dituangkan dalam UU No. 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan korupsi, yang akhirnya digunakan dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi.

Saat ini, korupsi telah mendapat perhatian dunia sehingga semua negara berkepentingan untuk memberantasnya. Pada tanggal 9-11 Desember 2003 Konferensi Tingkat Tinggi PBB di Merida, Meksiko mengeluarkan Konvensi PBB Antikorupsi. Konferensi ini melibatkan 141 negara. Konvensi tersebut bertujuan untuk meningkatkan dan memperjuangkan tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih efektif dan efisien; juga untuk meningkatkan dan memudahkan serta mendukung kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam upaya mencegah korupsi. Indonesia sudah meratifikasikan Konvensi Antikorupsi tersebut pada 18 April 2006 melalui UU No. 7 Tahun 2006.

Namun demikian, Konvensi PBB tersebut tidak mengajukan kepada kita sebuah pengertian mengenai korupsi tetapi menyebutkan beberapa contoh korupsi seperti penyuapan kepada pejabat publik negara, penggelapan, pencurian atau pengalihan kepemilikan oleh pejabat publik, jual beli pengaruh, penyalahgunaan fungsi, memperkaya diri secara melawan aturan.

Terlepas dari luasnya pengertian korupsi sebagaimana diungkapkan secara leksikal dan contoh-contoh yang dapat dikategorikan sebagai

Page 17: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

13

BAB I

korupsi, berikut ini perlu diperhatikan beberapa aspek praktik korupsi:

A. Charles Sampford—direktur Institute for Ethics, Governance and Law dari United Nations dan Grifith University, mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan—khususnya kekuasaan yang diperoleh berkat kepercayaan (privat atau publik)—demi mendapatkan manfaat dan keuntungan bagi diri sendiri atau kelompok. Frasa “kekuasaan yang diperoleh berkat kepercayaan” menegaskan bahwa kekuasaan merupakan titipan yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi kekuasaan. Adanya unsur kepercayaan sebagai basis kekuasaan membuat penerima kekuasaan memiliki kewajiban moral untuk mempertanggungjawabkan kekuasaan kepada pemberi kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan seharusnya tidak diabdikan pada kepentingan diri (secara egoistis) melainkan untuk melayani kepentingan pemberi kekuasaan.

B. Lebih lanjut Sampford menjelaskan bahwa sebagai penyalahgunaan kekuasaan korupsi dapat dibedakan atas tiga macam: grand corruption; petty corrupiton; dan political corruption. Grand corruption berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan pada tingkat tinggi pemerintahan. Grand corruption mendistorsi kebijakan negara dengan akibat kepentingan umum dikorbankan demi kepentingan pejabat tinggi negara. Misalnya, dengan alasan yang tidak seluruhnya jelas bagi publik, pemerintah memutuskan untuk mengimpor batu bara dari luar negeri. Padahal produksi batu bara dalam negeri masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan energi listrik berbasis batubara. Harganya di pasar dalam negeri pun masih relatif normal. Tanpa transparansi dari pihak pemerintah, motif kebijakan impor dalam kondisi seperti ini layak dipersoalkan karena impor batubara akan dengan sendirinya meningkatkan supply yang kemudian berdampak langsung berupa penurunan harga batu bara dalam negeri. Dalam kasus ini pemerintah (barangkali) diuntungkan akan tetapi produsen batu bara dalam negeri pasti dirugikan. Petty corruption berhubungan dengan penyalahgunaan kekuasaan yang lazim terjadi pada tingkat pejabat menengah ke bawah dalam pelayanan sehari-hari terhadap masyarakat berkaitan dengan barang dan jasa. Pelayanan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan keamanan, misalnya, masuk kategori petty corruption. Sedangkan political corruption berkaitan dengan manipulasi kebijakan atau peraturan dalam hubungannya dengan alokasi sumber daya dan keuangan khususnya yang dilakukan oleh pengambil kebijakan politik. Contoh: penyalahgunaan kekuasaan oleh wakil-wakil rakyat, masuk dalam kategori political corruption.

C. Dari segi hukum, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes), karena perbuatan korupsi bukan delik yang

Page 18: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

14

BAB IBAB I

berdiri sendiri tetapi selalu terkait dengan pelbagai perbuatan pidana lain seperti pidana perdagangan anak dan manusia, pidana narkotika, perdagangan senjata, perjudian, pemalsuan uang, pencucian uang (money laundering) yang sulit dibuktikan. Disebut ‘luar biasa’ juga karena secara sosial, korupsi menggerogoti sendi kehidupan publik banyak negara. Korupsi bisa dilakukan secara individual maupun bersama-sama bahkan bisa melibatkan organisasi atau lembaga secara keseluruhan. Banyak energi, pikiran, waktu, dan biaya yang telah dihabiskan dalam upaya untuk memberantasnya. Entah sudah berapa banyak kasus korupsi yang ditangani lembaga penegak hukum, korupsi tetap saja hadir, bahkan semakin berkembang seakan tak akan pernah mampu disingkirkan. Penyakit sosial berupa suap yang berujung pada mislokasi berbagai dana bantuan pembangunan, gratifikasi, kick back yang menyasar pejabat publik, serta bebagai perilaku koruptif lainnya merupakan modus-modus korupsi. Predikat “kejahatan luar biasa” (extraordinary crime) yang disematkan pada penyakit sosial yang satu ini dengan sendirinya menjelaskan betapa berbahayanya korupsi bagi bangsa dan negara. (Ochulor, 2010: 466-476).

D. Kejahatan korupsi memiliki lingkup yang luas: daerah, nasional, dan internasional. Dikatakan internasional, karena lingkup perbuatan korupsi tidak terbatas pada wilayah negara tertentu, tetapi memiliki jangkauan yang luas melibatkan beberapa negara. Dengan alasan ini, korupsi mendapat perhatian global. Munculnya indeks persepsi, konvensi, dan perjanjian internasional menunjukkan bahwa korupsi merupakan kejahatan internasional. (Komalasari, 2015)

E. Korupsi disebut juga kejahatan organisasi, karena pelaku sering kali terjalin dengan organisasi formal. Dengan catatan ini, kejahatan korupsi kerap menjadi kejahatan berjemaah yang master mind nya sering kali adalah pejabat resmi yang terlibat dalam kegiatan illegal lainnya, misalnya perjudian, illegal logging, illegal fishing, human trafficking dan sebagainya.

F. Berkaitan dengan konsep korupsi sebagai kejahatan organisasi, mungkin perlu dikatakan di sini bahwa korupsi merupakan sebuah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dijalankan secara sistematis sehingga memiliki jaringan tidak hanya pada organisasi politik, tetapi juga pada organisasi bisnis, hukum, agama, dan budaya. Praktik pemerasan dan gratifikasi dapat dijelaskan dari perspektif penyalahgunan kekuasaan tersebut.

G. Korupsi terjadi di segala sektor kehidupan, baik sektor swasta maupun publik yang membawa kerugian yang besar bagi masyarakat. Saat ini KUHP dan UU Antikorupsi masih terbatas pada perbuatan korupsi yang

Page 19: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

15

BAB IBAB I

terjadi di sektor publik dan hanya menyangkut perbuatan mencuri uang rakyat saja. Namun, di banyak negara lain seperti Hongkong, Singapura, Amerika Serikat, dan negara-negara di Eropa, UU antikorupsi juga menangani perusahaan swasta. Kita memiliki contoh dalam hal ini ketika dunia dihebohkan dengan kasus Enron Corporation, Lehman Brother, dan Goldman Sachs, negara berdasarkan wewenangnya memberikan sanksi hukum pada pihak swasta yang terlibat. Terutama kasus Lehman Brother dan Goldman Sachs yang telah membawa akibat dahsyat yaitu krisis ekonomi dunia.

B. Modus Korupsi

Tidak begitu mudah memastikan bahwa sebuah perbuatan disebut sebagai korupsi. Diskusi di antara para ahli tentang hal ini tak akan pernah selesai. Namun demikian, sebagai perbuatan yang memiliki karakter pembusukan, korupsi memiliki modus-modus tertentu antara lain gratifikasi, pemerasan, suap, dan konflik kepentingan. Berikut akan dijelaskan gratifikasi dan suap sebagai modus korupsi. Sementara pemerasan dan konflik kepentingan merupakan implikasi-implikasi yang muncul dalam tindak korupsi tersebut. (KPK, 2014: 10-21)

Gratifikasi

Gratifikasi adalah pemberian yang diterima oleh siapa pun berupa uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Praktik seperti ini sering dilakukan dalam

Page 20: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

dunia bisnis sebagai bentuk penghargaan atas jasa yang diberikan seorang rekan bisnis. Praktik gratifikasi dikenal luas oleh masyarakat, tetapi praktik ini memiliki hubungan yang erat dengan korupsi. Oleh sebab itu perlu kiranya kita membedakan antara gratifikasi sebagai praktik budaya dan gratifikasi sebagai praktik korupsi.

Sebagai praktik budaya, gratifikasi kerap dikaitkan dengan praktik memberikan sumbangan dan hadiah dalam masyarakat tradisional, terutama ketika sebuah keluarga merayakan peristiwa adat tertentu. Pada saat itu, setiap anggota masyarakat datang membawa hadiah sebagai tanda dukungan, perhatian, dan doa bagi yang mengadakan peristiwa adat tersebut. Pada momen tersebut, hadiah apa pun diterima dengan ucapan terima kasih. Sering pemberian yang diterima diketahui oleh anggota masyarakat yang lain. Pemberian hadiah ini memiliki dimensi sosial dalam arti memiliki ukuran kewajaran dalam arti diketahui dan dipahami oleh banyak orang. Apa lagi, sering hadiah sebagai tanda dukungan tersebut dimaksudkan untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat setempat yang terlibat dalam peristiwa adat tersebut.

Dalam masyarakat feodal, praktik pemberian hadiah memiliki dasar yang berbeda. Biasanya hadiah diberikan kepada tuan tanah atau raja. Pemberian hadiah ini menunjukkan bahwa seseorang memiliki jasa yang pantas dihargai dengan memberikan hadiah. Upeti yang diberikan kepada tuan tanah dan raja memiliki basis kesadaran bahwa tanah, hasil panen, dan kesejahteraan hidup tidak semata menjadi prestasi sendiri, tetapi merupakan berkah tanah dan keamanan yang dijaga oleh tuan tanah dan raja-raja. Yang menarik, dalam masyarakat tradisional yang masih feodalistis, praktik memberikan hadiah memiliki suasana menjaga solidaritas bersama meskipun harus diakui bahwa dalam masyarakat feodalistis takaran upeti tersebut kerap ditentukan oleh sang feudal: tuan tanah dan raja.

Gratifikasi Berpotensi Menjadi Suap dan Timbulkan Pemerasan

Hubungan kultural sebagaimana dijelaskan di atas belum menjadi masalah sampai kepentingan bisnis dan kekuasaan mengubah makna praktik gratifikasi. Salah satu catatan tertua mengenai perubahan makna gratifikasi ini dapat ditemukan dalam tulisan seorang Biksu Budha I Tsing (Yi Jing atau Zhang Wen Ming) pada abad ke 7. Menurut I Tsing, sejak abad ke 7 sudah ada praktik pemberian hadiah oleh pedagang dari Champa (Vietnam dan Kamboja) dan Cina kepada para prajurit penjaga pada saat ingin bertemu dengan pejabat kerajaan Sriwijaya. Praktik seperti ini lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan, sehingga pemberian hadiah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah.

BAB IBAB I

16

Page 21: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

BAB I

I Tsing menggambarkan bahwa para pedagang tersebut memberikan koin-koin perak kepada para prajurit penjaga pada saat akan bertemu dengan pihak kerabat Kerajaan Sriwijaya yang menangani masalah perdagangan. Adapun pemberian tersebut diduga bertujuan untuk mempermudah komunikasi. Para pedagang Champa dan Cina pun tidak merasa terpaksa karena tujuannya adalah untuk menjalin hubungan baik dengan pihak Kerajaan Sriwijaya.

Namun sejalan dengan berjalannya waktu, kebiasaan untuk menerima gratifikasi tersebut menjadi sebuah keharusan, sehingga para pemegang kekuasaan meminta pemberian gratifikasi tanpa menyadari bahwa saat gratifikasi diberikan di bawah permintaan, gratifikasi tersebut sudah berubah menjadi pemerasan. I Tsing memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai gejala pemerasan ini. Ketika terjadi perang antara Champa dan Sriwijaya, para pedagang Cina diminta memberikan sejumlah barang oleh para prajurit kerajaan. Jika tidak diberikan maka mereka tidak diijinkan memasuki pekarangan sahabat kerajaan untuk berdagang. Praktik seperti ini juga dialami oleh para pedagang Arab yang datang ke Indonesia. Praktik memberikan sejumlah barang kepada para petugas pelabuhan menjadi sebuah praktik pemerasan.

Lain dari ceritera I Tsing, tulisan Verhezen (2003), Harkristuti (2006), dan Lukmantoro (2007) mengungkapkan perubahan konsep gratifikasi: dari gratifikasi sebagai budaya menjadi suap. Verhezen melakukan studi pada masyarakat Jawa modern. Ia menegaskan bahwa praktik pemberian hadiah pada atasan dan pada rekan-rekan yang dikenal dengan baik (ada hubungan personal) telah digunakan oleh pegawai pemerintah dan elit-elit ekonomi sebagai praktik suap. Dalam bahasa yang sama, Harkristuti menjelaskan bahwa pemberian hadiah sebagai tanda kasih dan apresiasi pada seseorang yang berjasa sehingga menjadi momen yang menyenangkan baik bagi pemberi hadiah maupun bagi penerimanya telah berubah menjadi komisi. Dan ketika pemberian hadiah menjadi komisi, para pejabat menganggap bahwa hadiah merupakan hak mereka.

Dengan demikian, gratifikasi sebagai fenomena budaya sudah mengalami perubahan makna di dalam dunia bisnis dan birokrasi. Sebagai fenomena budaya, gratifikasi menjadi tanda solidaritas, hubungan kekerabatan, gotong royong. Tetapi setelah diterapkan dalam dunia bisnis dan birokrasi, gratifikasi berpotensi menjadi suap. Dalam dunia seperti ini gratifikasi diberikan kepada seseorang karena ia memiliki jabatan. Gratifikasi dalam hal ini bersifat investasi dalam arti tanam budi.

17

Page 22: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

18

Ketika menjadi suap, gratifikasi yang tadinya datang secara sepihak dari pemberi gratifikasi, sekarang terjadi dalam hubungan transaksional antara pemberi suap dan penerima suap yang dalam hal ini adalah mereka yang memiliki jabatan tertentu. Berbeda dengan gratifikasi yang sifatnya terbuka, karena diketahui masyarakat, hubungan transaksional antara pemberi suap dan penerima suap bersifat tertutup. Tujuannya adalah untuk mendapatkan proyek atau kemudahan-kemudahan tertentu. Praktik seperti ini tidak lagi disebut gratifikasi tetapi suap. Jika masih disebut sebagai gratifikasi, maka makna gratifikasi sudah berubah secara kultural: dari tindakan sosial menjadi tindakan egoistis.

Praktik gratifikasi sebagai tranksaksi tersebut berakibat tragis bagi layanan publik yang seharusnya dilaksanakan oleh pejabat negara. Contoh-contoh yang dibicarakan di atas menunjukkan bahwa gratifikasi tidak lagi menjadi inisiatif pemberi gratifikasi melainkan akibat dari tindakan sepihak dari pejabat pemerintah. Tindakan yang dimaksud adalah pemerasan. Di sini inisiatif datang dari pihak pejabat: ia memaksa pihak lain yang sebetulnya harus dilayani. Jika demikian, gratifikasi yang tadinya mencerminkan hubungan sosial sudah berubah menjadi hubungan pemerasan dan penyalahgunaan kekuasaan. Pejabat dalam kedudukannya memaksa secara sepihak calon peserta tender untuk memberikan sejumlah uang dengan ancaman jika tidak diberikan akan digugurkan dalam proses tender.

Gratifikasi dan Konflik Kepentingan

Yang dimaksud dengan konflik kepentingan adalah situasi di mana seorang penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya ia emban.

Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK dalam salah satu kajiannya pada tahun 2009 mengungkapkan bahwa pemberian hadiah atau gratifikasi yang diterima oleh Penyelenggara Negara memiliki hubungan kausal dengan konflik kepentingan. Hubungan kausal antara penerimaan gratifikasi dan konflik kepentingan dimaksud dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut. Setiap gratifikasi di satu sisi dapat mengandung kepentingan tersamar (vested interest) pihak pemberi gratifikasi entah bersifat pribadi, kelompok, atau bisnis. Dengan menerima gratifikasi, seseorang (profesional atau pejabat negara) di pihak lain merasa wajib untuk memperhatikan pesan-pesan terselubung di balik pemberian gratifikasi. Kewajiban untuk

BAB I

Page 23: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

19

BAB I

membalas budi baik pemberi gratifikasi tersebut dapat mempengaruhi independensinya (profesional dan penyelenggara negara) dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan wewenangnya. Ini berarti obyektivitas dan penilaian profesionalnya diragukan.

Dalam hubungan kausalitas tersebut, seorang profesional atau penyelenggara negara yang seharusnya memberikan penilaian yang obyektif dalam fungsinya sebagai profesional dan pejabat negara demi kepentingan banyak orang dapat menyalahgunakan wewenang dengan mengambil keputusan yang tidak obyektif demi menyelamatkan kepentingan pribadi. Dengan alasan ini, pemberian gratifikasi berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Dengan demikian, gratifikasi merupakan sebuah jebakan yang membuat seseorang sulit membuat pembedaan antara kepentingan individu dan kepentingan bersama. Konflik kepentingan terkait gratifikasi tersebut menyangkut suatu keputusan, penggunaan asset jabatan, informasi rahasia jabatan/perusahaan, akses khusus kepada pihak tertentu untuk mendapatkan kemudahan tanpa melalui proses yang seharusnya, dan bahkan penentuan besarnya remunerasi (gaji). Semuanya itu menunjukkan bahwa gratifikasi memiliki motif-motif kepentingan pribadi atau golongan.

Dengan uraian ini kita boleh mengatakan bahwa gratifikasi dan suap merupakan modus korupsi. Yang harus diperhatikan bahwa berdasarkan studi-studi yang serius, gratifikasi tidak sekedar peristiwa kultural, tetapi ada motif-motif suap. Karena itu, gratifikasi dapat dikatakan sebagai permulaan dari tindak korupsi dan suap. Ketika sudah menjadi suap gratifikasi yang sebelumnya dinilai sebagai tindakan budaya menjadi kriminal karena ada pemerasan. Konflik kepentingan pun menjadi tak terhindarkan.

Page 24: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

20

BAB I

C. Sebab-Sebab Korupsi

Korupsi dapat terjadi di mana saja dalam bentuk yang beranekaragam. Misalnya, korupsi material, karena menyangkut penggunaan uang untuk kepentingan sendiri; korupsi politik, karena menyangkut kebijakan, yang kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan sehingga menimbulkan korupsi legislasi. Politik uang dapat dilihat sebagai korupsi politik. Kita juga mengenai korupsi intelektual yang menyangkut manipulasi informasi untuk mencapai tujuan tertentu yang semuanya merugikan masyarakat.

Jika direnungkan secara lebih mendalam, korupsi merupakan sebuah perilaku yang menyimpang. Sering perilaku tersebut didahului oleh gejala-gejala seperti: tidak memperhatikan kepentingan umum atau kepentingan orang lain, suka manipulasi informasi dan melakukan mark up. Pertanyaannya sekarang, apa saja yang menjadi penyebab potensial korupsi?

Secara teoritis, korupsi dapat disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut. Pertama adalah faktor ekonomi. Herry Priyono dalam bukunya yang berjudul Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi menjelaskan bahwa para ahli ekonomi dewasa ini percaya bahwa ada motif ekonomi di balik korupsi. Alasan ekonomi ini dapat dijelaskan dengan 2 cara. Yang pertama adalah pengejaran rente. Yang dimaksud dengan rente di sini adalah nilai ekonomi yang amat langka, yang dapat diperoleh dengan cara-cara yang langka seperti monopoli. Kompetisi untuk mendapatkan monopoli melibatkan berbagai cara seperti suap, kolusi, gratifikasi, hadiah, lobi dan lain sebagainya. Yang kedua adalah pendekatan prinsipal agen. Menurut teori ini agen tidak lebih dari pelaksana mandat dari pihak

FAKTOR EKONOMI

FAKTOR POLITIK & TATA KELOLA

FAKTOR SOSIAL

FAKTOR BUDAYA

SEBAB-SEBAB KORUPSI

Page 25: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

21

BAB I

prinsipal. Korupsi terjadi karena orang yang memiliki kekuasaan (agen) melakukan penyelewengan mandat sehingga merugikan pihak pemberi kekuasaan (prinsipal). Kedua pendekatan ini dapat secara bersama-sama menjelaskan gejala korupsi: dalam melaksanakan mandat prinsipalnya, seorang agen memutuskan bahwa menyuap kepada rekan bisnis atau pemerintah untuk meraup rente lebih menguntungkan daripada tidak menyuap. (Priyono, 2018: 362-370)

Faktor ekonomi ini tidak dapat berdiri sendiri. Di samping faktor ekonomi tersebut, politik dan tata kelola menjadi faktor kedua yang menyebabkan korupsi. Kita boleh secara sederhana mengatakan bahwa faktor ekonomi sebagaimana dijelaskan di atas dapat saja membuat tata kelola pemerintahan tidak berjalan baik. Namun demikian, sebaliknya, pasar yang masih dikontrol oleh pemerintah dan kepentingan-kepentingan politis dapat menjadi kondisi yang memungkinkan terjadinya korupsi. Ini berarti sistem politik menjadi faktor non ekonomi bagi munculnya korupsi. Sistem yang dimaksud di sini adalah tata kelola pemerintahan yang tidak memberi ruang bagi kritik dan mekanisme cek dan re-cek. Menurut para ahli politik, lemahnya transparansi dalam administrasi publik dan demokrasi, sektarianisme, favoritisme, dan kurang berkembangnya representasi kepentingan-kepentingan masyarakat dapat diidentifikasikan sebagai faktor-faktor munculnya korupsi. Dalam diskusi lebih jauh, tidak begitu penting apakah desentralisasi atau sentralisasi menjadi faktor utama korupsi. Yang terjadi adalah praktik desentralisasi dan over-sentralisasi memiliki sumbangan tersendiri bagi tumbuhnya korupsi. Di India, korupsi disebabkan oleh praktik oversentralisasi, sementara di tempat lain desentralisasi dapat menjadi faktor tumbuhnya korupsi di daerah-daerah (Brueckner).

Dan yang menarik, modernisasi dapat menjadi pemicu munculnya korupsi di banyak negara sedang berkembang (Samuel Huntington). Konsentrasi yang berkelebihan pada kekuasaan politik dan ketidaksempurnaan aturan main dapat mendorong terjadinya korupsi di kalangan birokrasi dan politisi. Sudah diketahui umum biaya politik yang sangat mahal dituding sebagai penyebab korupsi. Pertanyaannya, siapa yang sesungguhnya mendorong lahirnya biaya politik tinggi? Masyarakat umum? Atau, pemburu kekuasaan? Membatasi diri pada konteks Indonesia harus diakui bahwa masyarakat umum tidak lagi segan meminta imbalan atas suaranya. Tetapi “kebiasaan” itu sesungguhnya juga dipicu oleh perilaku para pemburu kekuasaan. Cukup banyak pemburu kekuasaan yang bersikap pragmatis dalam meraih kursi kekuasaan. Apa yang disebut “serangan fajar” bukan lagi rahasia. Jalan pintas seperti itu sering digunakan para pemburu kekuasaan pada level yang berbeda untuk memuluskan jalan menuju kursi kekuasaan yang oleh banyak pejabat justru dilihat

Page 26: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

22

BAB I

sebagai jalan tercepat untuk kembali melanggengkan kekuasaan politik demi kekuasaan ekonomi. Ternyata masih saja ada figur-figur politik yang “rela” kehilangan kehormatan dirinya (self-dignity) demi kekuasaan politik dan ekonomi. (Priyono, 2018: 370-380)

Ketiga adalah faktor sosiologi. (Gildenhuys, 2004) Korupsi sering terjadi di masyarakat yang memiliki ketimpangan sosial dan ketidaksamaan derajat dan kedudukan/strata sosial. Glaeser menjelaskan bahwa ketidaksamaan selalu menguntungkan yang kaya dan kelompok penguasa. Kelompok ini memiliki kekuasaan dalam menentukan hak-hak properti; mereka juga dapat menekan para penguasa politik dan legal demi kepentingan mereka; mereka juga dapat mempraktekkan suap untuk memperkuat jaringan bisnis mereka. Dengan demikian korupsi memiliki akarnya pada relasi kekuasaan. Relasi kekuasaan antara yang kaya dan pemegang kekuasaan ini membuat korupsi semakin tak terbendung. Pemegang kekuasaan membutuhkan dana besar untuk tujuan-tujuan politiknya, sedangkan pengusaha-pengusaha kaya membutuhkan fasilitas negara untuk memperluas jangkauan bisnisnya. Dalam relasi kekuasaan sebagaimana dijelaskan di atas, eksploitasi merupakan inti dinamika korupsi: di sana yang satu memperalat yang lain.

Keempat adalah faktor budaya, terutama budaya kolonial dan feodal. Faktor ekonomi, politik, dan sosiologi sebagaimana dibicarakan di atas tentu tidak mutlak, bahkan memiliki batas-batas tertentu. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi dan dapat pula dilihat sebagai akibat dari tindakan korupsi itu sendiri (egoism dan ketidaksamaan). Berbeda dari faktor-faktor tersebut, faktor budaya bersifat mutlak, karena menyangkut orientasi moral sebuah masyarakat. Egoisme dan relasi komunal dalam sebuah masyarakat dapat mendorong tumbuhnya korupsi dalam sebuah negara.

Studi-studi antropologi dapat menjelaskan bahwa praktik-praktik korupsi dapat berkembang pesat terutama dalam kebudayaan dengan ciri-ciri sebagai berikut: (Komalasari, 2015)

1. Menempatkan proyek-proyek besar di tempat di mana terdapat kerabat, suku, dan agamanya.

2. Memberikan pekerjaan kepada seseorang yang tidak memiliki kualifikasi untuk pekerjaan yang menuntut keahlian dan kualitas tertentu.

3. Menuntut penambahan pembayaran untuk pekerjaan yang dilakukan.

Kebiasaan-kebiasaan ini sering dilihat sebagai norma sosial. Namun jika kita memikirkan lebih jauh, kebiasaan-kebiasaan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah bentuk deviasi dari nilai moral. Dikatakan deviasi karena kebiasaan ini bertolak dari sikap memberikan perhatian berlebihan pada ‘memiliki’ daripada ‘berada.’ Deviasi kultural ini, tentu tidak dapat

Page 27: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

23

BAB I

dipisahkan dari pragmatisme ekonomis yang telah mendorong banyak orang untuk menaruh perhatian pada ‘memiliki’ lebih daripada yang dibutuhkan. Kecenderungan itu justru menegaskan bahwa masyarakat (Indonesia), lebih menghargai having (kekayaan material) sebagai simbol kehormatan diri daripada being—aspek kualitas yang bersifat inheren pada kepribadian dan sekaligus menjadi basis pengembangan diri manusia sebagai makhluk bermartabat. Predisposisi ekonomis (having) yang dipelihara secara sadar justru membuka jalan bagi setiap orang untuk menggadaikan self-dignity (martabat manusia) demi kepentingan ekonomis. Pendekatan transaksional yang diperlihatkan oleh pejabat-pejabat publik yang kemudian menular menjangkiti masyarakat umum tidak saja menjadi bukti betapa kuatnya dominasi ekonomi, melainkan juga memperlihatkan betapa syahwat ekonomi telah mereduksi manusia menjadi semata-mata homo economicus, manusia ekonomi, bukan menjadi homo sapiens, manusia yang rasional yang bijaksana.

D. Perlawanan Hukum Melawan Korupsi

Korupsi merusak moral masyarakat, mengkhianati hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, bahkan dalam arti tertentu mengabaikan demokrasi. Ia juga merupakan salah satu bentuk subversi hukum yang menjadi sendi terpenting dari kehidupan modern. Karena itu tidak heran jika Deklarasi Lima menyerukan agar setiap orang di dalam masyarakat dalam kedudukan apa pun melawan korupsi.

Di Indonesia perlawanan hukum melawan korupsi dibangun di atas dasar UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Undang-undang ini memiliki jangkauan yang luas tentang korupsi sebagai tindak pidana menyangkut kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Berhubungan dengan itu, UU tentang pemberantasan korupsi ini juga memuat pasal tentang hal merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, hal tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka, saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu, orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu, dan saksi yang membuka identitas pelapor. (KPK, 2006: 5-93)

Secara khusus, UU tentang pemberantasan korupsi ini menegaskan bahwa gratifikasi bukanlah sebuah tindakan yang netral terhadap konflik kepentingan, karena seseorang yang mendapat gratifikasi biasanya orang yang memiliki jabatan tertentu, entah ia menjadi penjabat publik

Page 28: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

atau bukan. Gratifikasi dalam hal ini membuat seseorang dalam jabatan tertentu tidak obyektif, tidak adil, dan tidak profesional dalam memberikan penilaian terhadap pemberi gratifikasi. Ketika ini terjadi gratifikasi dapat menjadi suap.

Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya, dengan alasan budaya, gratifikasi seakan-akan menjadi hal yang sulit ditolak. Setiap orang yang memberikan gratifikasi akan merasa dirinya dipermalukan jika pemberiannya ditolak. Namun demikian, justru di sinilah terletak ironi gratifikasi. Pejabat yang kerap menerima gratifikasi lebih mudah terjerumus ke dalam tindak pidana korupsi dari pada mereka yang tidak menerima gratifikasi. Kebiasaan untuk menerima gratifikasi membuat seseorang tidak menahan diri terhadap godaan suap, pemerasan dan tindak pidana korupsi lainnya. Dengan perkataan lain, gratifikasi merupakan suap yang tertunda.

Dengan alasan ini Pasal 12 B dan 12 C UU No. 20 Tahun 2001 menasehati setiap pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara untuk menolak gratifikasi, karena gratifikasi berpotensi menjadi satu jenis tindak pidana korupsi. Seandainya terpaksa diterima dengan segala alasan, setiap penerima gratifikasi wajib melaporkannya ke KPK dalam waktu kurang dari 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Pasal 12 B berbunyi:

“Setiap gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan sebagai berikut….”

Pasal 12 C berbunyi:

“Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima”

Pasal ini secara tidak langsung ingin mengakui bahwa gratifikasi sebagaimana dipraktikkan oleh masyarakat merupakan sesuatu yang positif karena meningkatkan solidaritas, ucapan terima kasih, dan meningkatkan relasi kekerabatan. Namun, karena pemberian gratifikasi mengandung vested interest, maka gratifikasi yang diberikan kepada pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara merupakan suatu perbuatan pidana suap. Dikatakan demikian karena setiap pemberian gratifikasi patut diduga berkaitan dengan jabatan dan kewenangan yang dimiliknya.

24

BAB I

Page 29: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

25

BAB I

Dengan alasan tersebut, jika seseorang dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara menerima gratifikasi, untuk memutuskan kepentingan pribadi yang timbul dalam hal penerimaan gratifikasi, ia harus memberikan laporan kepada KPK. Berkaitan dengan itu periodisasi waktu pelaporan menjadi penting. Para pejabat yang menerima gratifikasi diberi kesempatan untuk memikirkan apa tindakannya benar dan mengambil jarak terhadap vested interest yang terselubung di balik gratifikasi.

E. Penutup

Diskusi mengenai korupsi memiliki jangkauan yang luas. Sebagai fenomena sosial, korupsi memiliki akar pada praktek politik, bisnis, struktur masyarakat, dan kebudayaan. Terutama dalam hal kebudayaan, korupsi memiliki akarnya pada praktik gratifikasi.

Untuk mengatasi korupsi, langkah hukum dapat diambil. Dengan alasan ini, KPK sebagai sebuah lembaga yang bertanggungjawab atas usaha pemberantasan korupsi di Indonesia berusaha mengambil langkah-langkah penegakan hukum. Di Indonesia berlaku UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Undang-undang tersebut menjadi landasan bagi semua usaha legal atas tindak pidana korupsi. Dengan asumsi bahwa korupsi dapat berawal dari praktik-praktik gratifikasi, KPK mencoba mengambil tindakan penegakan hukum berkenaan dengan praktik gratifikasi yang berpotensi suap tersebut.

Apa pun usaha yang dilakukan untuk melawan korupsi dari segi hukum, efektifitasnya harus dipikirkan lebih lanjut. Sebagai sebuah upaya hukum, perlawanan terhadap korupsi mengikuti langkah-langkah seperti: mengawasi, menyelidiki, dan menghukum yang melawan. Padahal perlawanan terhadap korupsi harus menyentuh kerangka berpikir, perubahan pada pandangan, nilai, dan standar etis. Berjaga-jaga, transparansi, keterbukaan, perlengkapan institusi merupakan sarana yang perlu untuk membongkar keburukan korupsi serta akibat negatifnya bagi manusia dan masyarakat. Dengan alasan ini, korupsi lebih dari sekedar masalah legalitas, ia menjadi masalah moral.

Tentang hal ini, Laura Underkuffler (lihat Priyono, 2018: 545) membuat pembedaan yang tegas antara pelanggaran hukum dan pelanggaran moral dalam 2 proposisi berikut:

Proposisi pertama: A melanggar hukum

Proposisi kedua: A itu korup

Dalam proposisi pertama, kita mencela perbuatan, karena hukum tidak

Page 30: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

26

BAB I

pernah menghukum sesuatu yang tidak diperbuat. Sedangkan dalam proposisi kedua kita justru mencela kualitas orang yang melakukannya. Dengan contoh proposisi ini kita bisa mengatakan bahwa apa yang diungkap dengan konsep korupsi tidak identik dengan tindakan dan tidak dapat sepenuhnya tertampung oleh tindakan, sebab konsep korupsi mengungkapkan status watak pelaku dan ciri perbuatannya. Dengan menyentuh korupsi sebagai status watak seseorang, defisit moralitas menjadi alasan terjadinya korupsi. Dengan alasan ini penegakan hukum tidaklah cukup. Dibutuhkan pendekatan etis, selain membongkar alasan-alasan moral di balik korupsi juga membangun kehendak moral untuk menolak korupsi. Etika sebagai refleksi atas hidup moral manusia menjadi bagian tak terpisahkan dari usaha untuk membangun sebuah masyarakat yang bebas korupsi.

Bab-bab berikut akan mendiskusikan korupsi sebagai masalah moral, sebuah masalah yang tidak hanya merusak tatanan kehidupan normal dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu melenyapkan kebaikan manusia sebagai manusia. Karena korupsi memiliki akar-akar yang mendalam dalam kehidupan sosial struktural, maka pemikiran yang ingin dibangun di sini adalah peningkatan integritas profesional. Ini berarti yang ingin dibangun di sini tidak saja kualitas moral perorangan, tetapi membangun budaya etika organisasi. Untuk tujuan tersebut tiga bab berikut berturut-turut mencoba menjawab permasalahan tersebut dengan menjelaskan apa artinya etika antikorupsi, etika profesi melawan korupsi, dan integritas publik.

Page 31: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 32: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 33: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

APA ITU ETIkA ANTIkORUPSI?

BAB II:

Etika Antikorupsi ?

Page 34: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 35: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

31

BAB II

Dalam bab sebelumnya kita sudah mengatakan bahwa korupsi tidak hanya merupakan masalah hukum, tetapi juga merupakan sebuah masalah moral. Sebagai masalah hukum, korupsi merupakan sebuah perbuatan melawan hukum positif negara tertentu, karena itu perlu ditangani dengan prosedur hukum. Tetapi, korupsi memiliki pengertian yang jauh lebih substansial dari yang dapat dipahami oleh pendekatan legal. Hukum memang membantu kita untuk memahami korupsi sebagai perbuatan yang tidak pantas dillakukan. Modus-modus korupsi seperti gratifikasi dan suap yang disertai dengan pemerasan benar-benar merupakan pelanggaran hukum yang pantas dihukum dan dikenai sanksi. Tetapi jantung pengertian korupsi bukanlah persoalan hukum. Ini berarti sebuah tindakan dipahami sebagai korupsi bukan pertama-tama karena alasan ilegalitas, melainkan karena ciri immoral korupsi itu sendiri. Dengan perkataan lain, korupsi merupakan sebuah masalah moral karena menunjuk pada perbuatan yang seharusnya (kebaikan) terjadi tetapi tidak terjadi. Disebut melawan moral karena melawan kebaikan perbuatan manusia yang seharusnya ada, ternyata tidak ada.

Bagaimana kita harus menjelaskan hal ini? Apabila moral menyangkut pedoman baik dan buruk, bagaimana kita bisa memastikan bahwa korupsi merupakan sesuatu yang melawan kebaikan?

Bab ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan menjelaskan bagaimana etika dan teori-teorinya menjelaskan dimensi moral antikorupsi. Secara konkrit, bab ini akan menjelaskan beberapa hal, yaitu pengertian etika dan etika antikorupsi, penalaran etis dan argumentasi etis melawan korupsi, dan dimensi institusional etika antikorupsi.

Tujuan yang hendak dicapai dengan mempelajari bab ini adalah agar mahasiswa:

1. Membedakan antara pertanyaan etika dan pertanyaan-pertanyaan lainnya dalam area ilmu pengetahuan.

2. Memahami cara kerja etika sebagai refleksi rasional dan mampu membedakannya dari etiket.

3. Mampu membangun sendiri penalaran etika antikorupsi.

Page 36: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

32

BAB II

A. Apa itu Etika?

Filsuf besar Immanuel Kant sudah lama menjelaskan bahwa pertanyaan etika berbeda dari pertanyaan ilmu pengetahuan dan pertanyaan agama. Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan, para ilmuwan berusaha menjawab pertanyaan pokok, apa yang dapat saya tahu. Pertanyaan ini menentukan proses penemuan ilmu pengetahuan dan verifikasi pengetahuan yang sudah diperoleh. Diskusi mengenai logika pembuktian menjadi penting dalam filsafat pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, pertanyaan agama memiliki arah yang berbeda. Inti pertanyaannya adalah apa yang boleh saya harapkan. Pertanyaan ini membuat kita menemukan alasan-alasan paling meyakinkan dari perlunya agama dan pemikiran tentang masa depan manusia. Diskusi mengenai sejarah kadang-kadang menyentuh pertanyaan ini juga.

Kita dapat saja terjebak dengan pertanyaan-pertanyaan di atas ketika kita berbicara tentang etika. Kerapkali kita mengharapkan agar etika dapat menjawab pertanyaan menyangkut inovasi pengetahuan moral dan peranannya bagi harapan masa depan. Bahkan kita mengharapkan agar etika dapat membantu kita agar kita bisa mengatur kehidupan personal dan menata kehidupan sosial. Namun sebagaimana dikemukakan Kant, pertanyaan tersebut tidak menjadi inti pertanyaan etika. Sebenarnya etika memiliki permasalahannya sendiri. Ia harus menjawab pertanyaan fundamental: apa yang seharusnya saya lakukan? Bagaimana saya harus hidup dan bertindak?

Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, Kant ingin memastikan bahwa etika merupakan ilmu praktis yang fokus pada tindakan-

Page 37: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

33

BAB II

tindakan manusia dalam relasinya dengan orang lain dalam masyarakat. Dan dengan berbicara tentang apa yang seharus dilakukan, Kant ingin menegaskan bahwa etika bersifat normatif, sama seperti hukum tetapi dengan alasan-alasan dan penalaran yang berbeda.

Tentu harus dikatakan bahwa istilah etika sendiri memiliki makna leksikal yang jauh lebih luas dari yang dipikiran Kant. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi I tahun 1988 mengungkapkan 3 makna etika. Pertama, etika berarti nilai-nilai atau norma-norma moral yang dipegang oleh seseorang atau suatu masyarakat untuk mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika kerap disamakan dengan kode etik. Ketiga, etika berarti ilmu tentang yang baik dan yang buruk secara moral atau studi tentang moralitas manusia. Dalam arti ketiga inilah, etika sama dengan filsafat moral. Makna ini sebenarnya sudah tergambarkan dalam istilah Latin ethice, ethica, yang berarti filsafat moral.

Ketika Kant merumuskan gagasannya tentang etika, yang ia maksudkan sebenarnya adalah sebuah cabang filsafat yang memiliki tugas mencari alasan-alasan rasional dan kritis mengapa seseorang harus tunduk pada aturan-aturan moral. Yang dimaksudkan oleh Kant dengan ‘rasional-kritis’ memiliki pengertian yang luas. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk berpikir sendiri dan harus dapat berpikir sendiri. Otonomi berpikir di sini menjadi penting, karena bagi Kant, ini adalah kemampuan alamiah yang dimiliki manusia untuk mempertanyakan banyak hal termasuk aturan-aturan moral. Martin Heidegger bahkan lebih tegas menjelaskan bahwa berpikir sendiri sambil mempersoalkan banyak hal merupakan kesucian hidup sebagai manusia, karena hanya dengan bertanya, manusia dapat membuka relasi yang bebas dengan dunia sekitar.

Dengan mempertanyakan secara kritis ajaran moral tidaklah berarti bahwa ajaran moral tidaklah penting bagi hidup manusia. Harus dikatakan di sini bahwa ajaran moral yang disajikan melalui wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tertulis dapat membantu kita untuk berbuat baik. Ada keyakinan bahwa ajaran moral dapat diibaratkan dengan buku petunjuk tentang bagaimana kita harus hidup. Namun demikian, masih diperlukan sebuah refleksi rasional atas ajaran moral agar kita dapat mempertanggungjawabkan sendiri perbuatan dan tindakan kita yang tunduk pada ajaran moral tersebut. Bahkan refleksi rasional kritis atas ajaran moral dibutuhkan agar kita dapat melihat dengan jelas alasan-alasan rasional di balik ajaran-ajaran moral itu. Dengan demikian membuat refleksi atas aturan-aturan moral berarti menerima aturan-aturan moral tersebut sebagai sesuatu yang masuk akal dan logis.

Karena pada intinya etika merupakan sebuah refleksi rasional kritis atas moralitas manusia ini, etika berbeda dengan tegas dari etiket. Kedua istilah tersebut kadang dipahami sebagai sama. K. Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika, menyebut sekurang-kurangnya 4 perbedaan. Pertama, etiket

Page 38: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

34

BAB II

berkaitan dengan cara suatu perbuatan atau tata karma, sedangkan etika memberi nilai pada cara. Artinya, etika memberi norma dan menilai suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak. Kedua, etiket lebih menekankan fungsi sosial–relasional, sedangkan etika menekankan fungsi eksistensial. Etiket hanya berfungsi dihadapan orang lain. Misalnya, jika kita berjalan dan di sana terdapat banyak orang kita wajib mengucapkan salam ‘permisi’. Hal itu tidak berlaku apabila Anda berjalan di jalanan yang sepi dan tidak ada orang lain. Etika juga diperlukan dalam relasi sosial, namun keberlakuannya tidak tergantung pada kondisi tertentu. Etika berkaitan dengan kesadaran dan komitmen pribadi. Misalnya, menghargai hidup manusia itu tidak tergantung pada ada tidaknya orang. Ketiga, etiket bersifat relatif, sedangkan etika bersifat universal dan absolut. Etiket pada umumnya berlaku pada satu tempat, namun belum tentu berlaku di tempat lain. Etika bersifat universal dan absolut karena etika berlaku bagi siapa saja, di mana saja, serta kapan saja. Bersifat absolut karena etika wajib menjadi pegangan dalam berperilaku. Keempat, etiket diukur dari sisi lahiriah, sedangkan etika melebihi sisi lahiriah. Dalam etiket, penilaian diletakkan pada penampilan, seperti cara berpakaian, cara duduk, dan perbuatan lahiriah lainnya. Sementara etika meletakkan penilaian pada maksud, kehendak, motivasi, dan suara hati. (Bertens, 1987)

Dengan karakter sebagai refleksi rasional kritis, bukan mustahil etika dapat membangun dirinya secara lebih mendalam mendiskusikan prinsip-prinsip atau norma-norma etis umum, seperti kebebasan, tanggung jawab, otonomi, keadillan. Pada tingkat ini etika menjadi sebuah orientasi rasional dan kritis agar manusia tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja terhadap pelbagai pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar ia dapat mengerti sendiri mengapa ia harus bersikap. Etika membantu agar ia lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan kehidupannya dengan menggunakan seluruh pikiran dan nalarnya. Atau dalam rumusan Franz Magnis-Suseno dalam buku Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, etika merupakan ilmu yang mencari orientasi. Orientasi rasional tersebut perlu agar kita tahu di mana kita berada dan ke arah mana kita bergerak untuk mencapai tujuan kita yang sebenarnya. (Magnis-Suseno, 1987: 5)

Dengan fungsi seperti ini, etika tidak hanya membantu kita untuk mengarahkan hidup individual kita, tetapi juga memberi orientasi moral dalam menata kehidupan profesional seperti hukum, politik, bisnis, rekayasa teknik, kedokteran, dan masih banyak yang lain. Ketika etika digunakan dalam menelaah masalah-masalah profesi, maka terbentuklah apa yang disebut dengan etika profesi. Karena itu, kita dapat mengatakan secara umum, yang dimaksud dengan etika profesi adalah sebuah refleksi rasional mengenai fondasi dan prinsip-prinsip moral yang dibangun oleh profesi.

Page 39: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

35

BAB II

B. Dimensi Etis Gerakan Antikorupsi

Ada sebuah asumsi yang dipegang teguh dari setiap pembicaraan mengenai etika. Setiap manusia adalah makhluk moral dalam arti apa pun yang ia lakukan menentukan status moralnya entah sebagai manusia yang baik maupun sebagai manusia yang buruk. Dari pespektif ini, setiap orang seharusnya bertanggungjawab secara moral atas perbuatan-perbuatannya dan pertanggungjawaban moral tersebut amat sangat ditentukan oleh apakah tindakannya benar-benar sejalan dengan standar moral yang diterima umum atau tidak. Kebaikan dan keburukannya sebagai manusia ditentukan oleh apakah perbuatannya sesuai dengan hukum moral atau standar moral yang berlaku bagi hidup sebagai manusia.

Secara sosiologis hal ini bisa dipahami. Setiap manusia merupakan produk kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan, lingkungan hidup, agama, dan media. Dalam ruang moral masyarakat tersebut, manusia hidup dan mengambil bagian dalam kehidupan masyarakat. Bahkan kita bisa melihat bagaimana identitas diri dari segi moral kerap kali berpautan dengan nilai dan moral masyarakat.

Dengan asumsi-asumsi filosofis dan sosiologis tersebut, korupsi sudah dapat dilihat sebagai sebuah masalah. Secara sederhana, korupsi dapat dilihat sebagai sebuah manifestasi pembalikan kepada insting egoisme dan kerakusan yang mengabaikan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang lebih luas dan bahkan kodratnya sendiri sebagai manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa korupsi memiliki kemungkinan akan menghancurkan kehidupan pribadi dan sosial, dan karena itu juga masyarakat akan berjuang melawan korupsi. lalu, pertanyaannya sekarang: bagaimana etika sebagai refleksi membangun argumentasi menolak korupsi? Langkah-langkah konstruktif apa yang harus dibangun dilihat dari etika?

Herry Priyono dalam buku yang berjudul Korupsi mencoba menjawab pertanyaan dengan sebuah jawaban yang sederhana: Refleksi etika mengenai korupsi pada dasarnya sudah antikorupsi. Dikatakan antikorupsi karena korupsi merupakan tindakan yang secara moral buruk: tujuannya buruk, tindakannya sendiri buruk, dan dampaknya buruk. Bagaimana menjelaskannya? Apakah penilaian ini memiliki basisnya pada argumentasi etis dan kriteria-kriterianya? Beberapa teori etika seperti teori utilitarianisme, teori deontologi, dan teori etika keutamaan dapat digunakan sebagai panduan untuk menjawab pertanyaan ini. (Priyono, 2018: 458-472)

Pertama, dari segi dampak tindak korupsi. Asal usul dari argumentasi ini berasal dari filsuf-filsuf aliran utilitarianisme, terutama pemikiran Jeremy Bentham (1748-1832). Filsuf yang memiliki minat besar pada hukum ini memiliki argumentasi bahwa kemaslahatan bagi sebanyak mungkin orang merupakan kriteria penting bagi baik buruknya sebuah perbuatan. Moralitas tidak dapat

Page 40: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

36

BAB II

dipisahkan dari utilitas, kegunaan, manfaat. Sebuah perbuatan memiliki mutu moralitas tinggi jika perbuatan tersebut memberikan manfaat kebahagiaan yang terbesar bagi sejumlah besar orang. Inilah prinsip dasar utilitarianisme: the greatest happiness for the greatest number. Sebaliknya, perbuatan atau kebijakan dapat dikatakan buruk jika manfaat tindakan tidak diarahkan pada kebahagiaan banyak orang.

Dengan alasan ini Benthan menjadi sangat kritis terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan di Inggris pada masa hidupnya, seperti hukuman rajam bagi dua kekasih yang berzinah dan hukuman yang keras bagi para perusak pagar perkebunan bangsawan dan pemilik tanah. Bagi Bentham hukum seperti ini bermasalah karena tidak berorientasi pada pertimbangan akibat perbuatan tersebut bagi kesejahteraan umum. Sebaliknya, Bentham menuntut agar setiap kali kita menghadapi pilihan dari antara tindakan-tindakan alternatif, kita harus mengambil satu pilihan yang memiliki konsekuensi yang memiliki manfaat yang besar bagi kebahagiaan semua yang terlibat di dalamnya.

Gagasan Benthan ini menimbulkan kritik karena pikirannya tentang apa yang disebut kebahagiaan tersebut. Ia menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kebahagiaan adalah menghindari rasa sakit dan memperbesar nikmat. Bagaimana mungkin nikmat menjadi dasar bagi kebaikan etis? Muridnya John Stuart Mill mencoba menjelaskan dengan cara yang lebih elegan. Prinsip kebahagiaan merupakan tujuan terakhir. Menghindari rasa sakit orang lain harus menjadi ukurannya, karena itu adalah tuntutan minimalnya. Bagi Mill pengalaman rasa sakit manusia perlu diperhatikan, karena tanpa pertimbangan efek seperti itu tindakan dan kebijakan pantas dipertanyakan. Bahkan apa yang kita sebut dengan rasa keadilan, tak pernah bisa dipisahkan dari pengalaman rasa sakit sebagai manusia. Jadi tidak sekedar meningkatkan nikmat, tetapi menghindari rasa sakit. Prinsip ini kemudian menjadi bagian usaha para pengikut utilitarianisme mendorong agar pengalaman rasa sakit yang dialami manusia dan hewan harus mendapat pertimbangan dalam penilaian etis. Dalam dunia kekinian, pertimbangan rusaknya lingkungan menyebabkan kesengsaraan generasi berikutnya.

Pemikiran ini memiliki implikasi yang besar bagi pengertian kita tentang moralitas dan tentang korupsi. Yang pantas diperhatikan adalah kriteria ini mengantar kita kepada pemikiran tentang dampak bagi tindakan-tindakan dan kebijakan yang diambil. Dengan pertimbangan ini, Bentham dan Mill ingin menegaskan bahwa moralitas itu bukanlah hal ketaatan buta pada aturan-aturan moral. Pertimbangan manfaat harus menjadi kriteria penting dari ketaatan pada aturan-aturan moral tersebut. Kerap pertimbangan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang ini dilengkapi dengan pertimbangan efisiensi costs and benefits dari setiap tindakan dan kebijakan. Neraca pertimbangan ini perlu dibuat sebelum sebuah tindakan diambil.

Page 41: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

Efisiensi yang lebih tinggi menjadi tolok ukur manfaat yang lebih besar. Pemahaman utilitarianisme ini bisa misleading. Salah satu kritik terhadap pertimbangan ini tersebut tidak adil terhadap kepentingan-kepentingan yang tidak menjadi kepentingan mayoritas.

Dengan pertimbangan ini, korupsi memang dapat dinilai buruk dari segi moral, karena dampak yang diakibatkan oleh tindakan tersebut merusak kemaslahatan bersama. Tindakan tersebut juga dapat membawa akibat yang buruk bagi masyarakat dan menimbulkan penderitaan bagi banyak orang. Kita bisa membayangkan lebih jauh akibat korupsi. Secara mendasar korupsi dapat menghancurkan tatanan kehidupan sosial yang mengikatkan manusia satu sama lain. Kita juga dapat membayangkan bahwa korupsi dapat merusak kehidupan manusia dalam masyarakat dan cita-cita untuk membangun kehidupan bersama di atas dasar common good. Tindakan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah sabotase melawan manusia, kepentingan semua orang baik laki maupun perempuan, dewasa dan anak-anak yang seharusnya memiliki hak dasar untuk menikmati kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang wajar.

Kritik utilitarianisme terhadap korupsi tersebut pantas diperhatikan. J.J. Rousseau pernah menjelaskan bahwa dalam keadaan normal, setiap orang selalu membutuhkan kehadiran orang lain. Penghargaan satu sama lain tersebut terjadi karena setiap orang menghargai properti pribadi dan bersama. Namun, sebagaimana Rousseau meramalkan, manusia dapat menjadi serigala untuk manusia yang lain (Hobbes) ketika ia ingin mengambil untuk dirinya apa yang menjadi properti orang lain dan properti bersama. Ini adalah akibat fatal perbuatan korupsi.

Namun, dengan kriteria manfaat dari pemikiran utilitarianisme tidak seluruhnya tepat dan bahkan dapat menimbulkan masalah bagi etika antikorupsi itu sendiri. Manfaat kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang sulit diukur jika kita melihat dampak jangka panjang. Banyak perbuatan suap dibenarkan karena membawa manfaat bagi perusahaan dan organisasi. Namun, sikap toleran terhadap korupsi tersebut justru terjadi karena jebakan ini. Kita tidak pernah membayangkan bahwa praktik tersebut sudah merusak seluruh tatanan institusional yang menghargai hak dan keadilan. Dengan alasan ini, etika antikorupsi membutuhkan pertimbangan etis lain yaitu pertimbangan motif sebuah tindakan.

Pertimbangan lain yang dimaksud adalah kewajiban terhadap hukum moral itu sendiri. Ini adalah kriteria kedua etika antikorupsi. Menurut pertimbangan ini, setiap orang seharusnya bertanggungjawab secara moral atas perbuatan-perbuatannya dan bertanggungjawab atas tindakan-tindakannya. Setiap orang adalah pelaku moral yang menghidupi norma-norma moral, dan karena itu terikat pada rasionalitas moral. Bertolak dari pengertian mengenai

37

BAB II

Page 42: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

38

BAB II

moralitas tersebut, korupsi merupakan tindakan yang secara moral buruk dan bertentangan dengan hukum moral.

Argumentasi ini dibangun oleh teori deontologi (deon berarti kewajiban) yang secara khusus dikembangkan oleh Kant. Menurut Kant aturan moral harus ditaati tanpa pengecualian. Untuk memahami apa yang ia maksudkan, Kant membuat sebuah pembedaan antara imperatif (perintah) kategoris dan imperatif hipotetis. Dalam pemikirannya, imperatif kategoris berarti imperatif yang mewajibkan sementara imperatif hipotetis, artinya imperatif yang tidak wajib dilaksanakan kecuali jika kita menyetujui syaratnya. Bunyi imperatif hipotetis misalnya seperti berikut: (Rachels, 2004, 223)

“Kalau Anda ingin menjadi pemain catur yang baik, Anda wajib mempelajari permainan Garry Kasparov”, atau

“Kalau Anda ingin masuk sekolah hukum, Anda wajib mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian masuk.”

Kewajiban untuk mempelajari permainan Garry Kasparov hanya penting jika saya ingin menjadi pemain catur. Begitu juga saya harus mendaftarkan diri mengikuti ujian masuk, jika saya setuju untuk masuk fakultas hukum. Tanpa menyetujui syarat-syarat tersebut, saya tidak wajib mempelajari permainan Garry Kasparov dan mendaftarkan diri mengikuti ujian masuk.

Aturan-aturan moral, sebaliknya, merupakan kewajiban kategoris, artinya tidak tergantung pada syarat keinginan tertentu. Kant memberikan sebuah contoh sederhana. Ia berargumen bahwa berbohong tak pernah dapat dibenarkan, apapun keadaan lingkungannya. Hal yang mewajibkan saya tentu tidak berasal dari keinginan saya semata-mata tetapi karena apa yang mewajibkan saya tersebut benar-benar rasional dan universal. Artinya, siapa pun sebagai makhluk rasional akan menerima bahwa saya tidak pernah boleh berbohong. Dengan contoh sederhana ini, Kant sampai pada sebuah proposisi yang hingga kini dikenal: “Bertindaklah hanya menurut kaidah dengan mana Anda dapat sekaligus menghendaki supaya kaidah itu berlaku sebagai hukum universal.”

Kembali ke contoh imperatif “jangan berbohong,” Kant membuat sebuah silogisme sebagai berikut: (Rachels, 2004: 227)

1. Kita harus melakukan hanya tindakan-tindakan yang sesuai dengan aturan yang kita inginkan diatur secara universal.

2. Jikalau kita berbohong, maka kita mengikuti aturan berikut, “Berbohong itu diizinkan”

Page 43: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

39

BAB II

3. Aturan ini tidak dapat dianut secara universal karena akan menggagalkan maksud dirinya. Orang akan berhenti percaya satu sama lain, dan kemudian akan mengatakan bahwa berbohong itu tidak ada gunanya.

4. Oleh karena itu, kita jangan berbohong.

Dengan demikian Kant sebenarnya merumuskan prosedur untuk memutuskan apakah suatu tindakan secara moral diizinkan. Jika Anda mempertimbangkan untuk melakukan suatu tindakan, Anda harus bertanya aturan mana yang akan Anda ikuti jika harus melakukan tindakan itu. Tidak berhenti di sini. Anda harus bertanya juga apakah Anda akan menerima aturan itu untuk diikuti oleh setiap orang sepanjang waktu. Jika ya, aturan itu pun bisa diikuti, dan tindakan itu boleh dilakukan. Jadi aturan itu harus bersifat universal.

Pemikiran Kant ini tampaknya sangat formalistis dan kaku. Namun, prosedur yang diusulkannya sebenarnya mudah diikuti logikanya. Dengan prosedur ini, kita bisa berbicara tentang argumentasi melawan suap dan korupsi: “Jangan menerima suap.” Imperatif ini sudah diketahui umum baik oleh pegawai negeri maupun oleh pimpinan perusahaan. Bagi Kant, imperatif tersebut tidak hipotetis, tidak hanya karena kerap sudah menjadi bagian dari janji atau sumpah jabatan, tetapi diterima oleh setiap orang. Dalam perspektif Kant, melawan imperatif tersebut berarti melawan akal sehat dan moral yang universal. Mengikuti silogisme yang sama ketika Kant berbicara tentang imperatif jangan berbohong, kita seharusnya sampai pada kesimpulan bahwa korupsi itu dilarang.

1. Kita harus melakukan hanya tindakan-tindakan yang sesuai dengan aturan yang kita inginkan diatur secara universal.

2. Jikalau kita korupsi, maka kita mengikuti aturan bahwa, “Korupsi itu diizinkan”

3. Aturan ini tidak dapat dianut secara universal karena akan menggagalkan maksud dirinya. Orang akan berhenti percaya satu sama lain, dan kemudian akan mengatakan bahwa korupsi itu tidak ada gunanya.

4. Oleh karena itu, kita jangan korupsi.

Kriteria ketiga berhubungan dengan tujuan tindakan itu sendiri yaitu mencapai kebahagiaan sebagai manusia rasional. Yang dimaksud dengan kebahagiaan di sini berbeda dengan konsep utilitarianisme. Jika pada utilitarianisme kebahagiaan berhubungan dengan pengalaman rasa sakit dan rasa senang, kebahagiaan yang dimaksud di sini lebih substansial: yaitu, keterarahan menuju kepenuhan kodrat sebagai manusia rasional.

Argumentasi etis ini kerap disebut dengan istilah teleologis (telos, bahasa Yunani, berarti tujuan), karena nilai etis dari sebuah tindakan terletak dari

Page 44: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

40

BAB II

apakah tindakan tersebut benar-benar membuat kita menjadi lebih manusiawi atau tidak. Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno, merupakan tokoh penting dalam aliran teleologis ini. Ia berargumentasi bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia yang berarti jiwa yang baru). Ini adalah tujuan tertinggi atau terakhir. Tujuan tersebut seakan-akan menjadi puncak dari semua tujuan-tujuan lain yang bisa dicapai setiap orang menurut pekerjaannya. Misalnya, tujuan pengetahuan kedokteran adalah kesehatan, tujuan keterampilan tukang sepatu adalah pembuatan sepatu, tujuan dari seni strategi adalah kemenangan, tujuan para ekonom adalah hidup yang berkecukupan. Ini berarti kebahagiaan terletak pada keterarahan menuju kepenuhan kodrat sebagai dasar mengapa sesuatu itu ada. Dan tujuan tertinggi dari semuanya adalah kodrat manusia sebagai makhluk rasional.

Pemikiran Aristoteles tidak berhenti di sini. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa tujuan baik saja tidak cukup. Perlu juga dengan cara yang benar. Dengan asumsi ini Aristoteles berbicara tentang arête, atau keutamaan. Yang dimaksud dengan keutamaan adalah sifat karakter yang tampak dalam tindakan sehingga menjadi kebiasaan. Harus dikatakan di sini kebiasaan itu penting. Keutamaan kejujuran, misalnya, tidak dimiliki oleh seseorang yang hanya kadang-kadang mengatakan kebenaran atau hanya kalau hal itu menguntungkannya. Seseorang dikatakan orang yang jujur karena kejujuran merupakan prinsip dari tindakan-tindakannya. Ia melaksanakannya setiap hari. Jadi, tidak karena ia senang. Orang jujur karena sudah menjadi kebiasaan.

Kebiasaan tersebut tentu belum menjelaskan sifat dan karakter yang sebenarnya. Harus ada unsur lain, yaitu, kebaikan itu sendiri. Di sini Aristoteles membuat sebuah pembedaan yang pantas diperhatikan. Ia menunjukkan bahwa setiap orang memiliki fungsinya dalam masyarakat dan karena itu, ia memiliki keutamaan berdasarkan fungsi dan peranannya. Seorang tukang kayu memiliki keutamaan sebagai tukang kayu, seorang prajurit memiliki keutamaan sebagai prajurit, dan seorang ilmuwan memiliki keutamaan sebagai ilmuwan. Namun, baik tukang kayu, prajurit, dan ilmuwan adalah manusia, karena itu keutamaan tertinggi tentu adalah keutamaan menjadi pribadi sebagai manusia. Dalam tulisannya Nichomachean Ethics, Aristoteles menyebut beberapa keutamaan, antara lain keberanian, kebijaksaan, keadilan, ugahari, murah hati, persahabatan, belas kasih, penguasaan diri. Kita tidak akan menjelaskan satu per satu keutamaan di sini. Pertanyaan yang harus kita jawab adalah mengapa keutamaan menjadi penting di sini. Tujuan utama argumentasi Aristoteles adalah pengembangan karakter. Artinya, setiap orang harus memiliki karakter tertentu dengan keutamaan-keutamaan tertentu. Dan karakter itu menunjukkan keunggulannya.

Pengikut Aristoteles, A. MacIntyre menjelaskan bahwa setiap masyarakat sebenarnya bisa membantu pengembangan karakter tersebut. Ada masyarakat yang menekankan etos kepahlawanan, ada yang mengembangkan

Page 45: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

41

BAB II

etos keterbukaan, dan bahkan ada yang mengembangkan etos kesuksesan. Etos-etos tersebut menentukan narasi hidup setiap orang. MacIntyre juga menjelaskan bahwa penekanan keutamaan kerap berhubungan dengan konteks persoalan sosiologis masyarakat. Keberanian misalnya merupakan hal yang baik karena kehidupan ini penuh dengan bahaya dan tanpa keberanian kita tak akan dapat menghadapinya. Kemurahan hati diinginkan karena ada sejumlah orang yang memang berada dalam keadaan lebih buruk daripada yang lain dan mereka membutuhkan pertolongan.

Tetapi harus ditambahkan bahwa Aristoteles memikirkan karakter yang diinginkan oleh semua manusia yaitu menjadi manusia rasional yang berpikir dengan prinsip jalan tengah, tidak terlalu ke kiri tidak terlalu ke kanan. Ugahari misalnya adalah keutamaan moral untuk tetap berada di tengah, di antara boros dan kikir; keberanian adalah keutamaan moral di antara sifat pengecut dan gegabah. Dengan demikian kebijaksanaan menjadi karakter moral praktis yang selalu diidam-idamkan Aristoteles.

Bertolak dari argumentasi etika keutamaan ini, tindakan korupsi pada intinya melawan integritas sang pelaku tindakan: yang seharusnya menjadi rasional menjadi tidak rasional, yang seharusnya menjaga keadilan tidak melaksanakan keadilan, yang seharusnya memelihara kesehatan tetapi menjadikan kesehatan sebagai komoditi. Aristoteles seakan-akan mendesak agar setiap orang tidak melawan dirinya sendiri dengan bertindak irasional untuk mencapai kebahagiaannya sebagai manusia.

Pandangan Aristoteles ini memiliki sumbangan tertentu bagi gagasan integritas. Korupsi itu terjadi karena orang tidak memiliki integritas dirinya sendiri, ia mudah terombang – ambing. Tentu harus diakui bahwa korupsi seringkali dipicu oleh materialisme, sebuah pandangan atau sikap filosofis praktis yang melihat materi sebagai nilai tertinggi dalam hidup manusia. Setiap orang dalam pandangan ini mengidentifikasikan diri dengan materi yang dimilikinya. Menjadi diri sendiri berarti memiliki sebanyak-banyaknya barang. Dalam situasi ini integritas manusia tidak lagi ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan rasional dan moral, tetapi ditentukan oleh seberapa kekayaan yang dimilikinya. Tentang hal ini, Aristoteles tentu akan bertanya, apakah tindakan tersebut dapat meningkatkan kebaikan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.

Di Indonesia kita mengenal banyak sekali local wisdom yang dekat dengan pemikiran Aristoteles ini. Salah satu yang menarik adalah local wisdom ‘Memayu Hayuning Buwono” (menjaga atau mengelola atau memerindah tata dunia). Hidup yang baik tidak seluruhnya ditentukan oleh apa yang dimiliki tetapi oleh apakah hidupmu dan dunia sekelilingmu terpelihara dengan baik. Apalah artinya memiliki seluruh dunia jika Anda kehilangan dirimu sendiri dan lingkungan yang menopang keberadaanmu? (Riyanto, 2015)

Page 46: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

42

BAB II

C. Dimensi Institusional Etika Antikorupsi

Aristoleles dalam diskusinya mengenai etika pernah menjelaskan bahwa moralitas tidak pernah individual, tetapi memiliki dimensi sosial politik. Manusia adalah makhluk politik yang keberadaannya tidak pernah dipisahkan dari orang lain dan masyarakatnya. Bahkan dalam perspektif tertentu, sebagaimana dikemukakan oleh Fr. Hegel, moralitas pun, berarti kesadaran moral dalam konteks masyarakat dan negara.

Dengan gagasan Aristoteles ini, refleksi etika dapat menjangkau luas, mulai dari etika politik, etika sosial, etika profesi, hingga etika publik. Meskipun ada pembedaan besar di antaranya, sisi etika yang ingin dikemukakan oleh cabang-cabang etika tersebut adalah dimensi sosial perilaku manusia. Dengan demikian, etika sudah mengandung dimensi politik dan publik. Di sini, etika menjadi sebuah upaya untuk memperjuangkan kepentingan publik untuk dan bersama orang lain dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi yang lebih adil. Berdasarkan orientasi politik dan publik ini, bukan mustahil jika etika antikorupsi menaruh perhatian lebih jauh pada aspek (1) kepentingan publik, pada (2) saran insitusional yang adil dan regulasi/aturan hukum yang akuntabel, transparan, dan adil (3) integritas pelaku.

Di antara sisi-sisi etika sosial-politik, masalah yang paling peka pada persoalan korupsi adalah institusi. Institusi sebenarnya merupakan sarana

Page 47: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

43

BAB II

yang memungkinkan tujuan dapat dicapai. Dimensi ini meliputi sistem, prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik pelayanan publik. Kekuatan institusi sebagai sarana harus diperhitungkan karena alasan-alasan berikut. Pertama, karena institusi merupakan fondasi masyarakat. Tanpa institusi manusia tidak dapat hidup dan masyarakat pun tidak dapat bertahan. Institusi mencegah masyarakat rontok berantakan. Sehingga manusia tidak dapat membuat keputusan tanpa melalui lingkup institusi. Kedua, institusi memiliki ciri etis normatif. Padanya ada standar integritas, yang menentukan apa yang seharusnya. Di sini, setiap institusi memiliki prinsip tata kelola yang baik seperti solidaritas, pluralitas, persamaan, dan subsidiaritas.

Namun institusi kerap menjadi masalah. Dalam Global Corruption Baromenter 2017 yang menaksir tingkat korupsi di kawasan Asia Pasifik, ditemukankan bahwa kepolisian dipandang sebagai institusi paling korup, diikuti lembaga legislatif, pejabat pemerintahan pusat, pemerintahan/badan perwakilan daerah, presiden dan perdana menteri, petugas pajak, eksekutif bisnis, hakim/jaksa, akhirnya pemimpin agama. Di sini terdapatlah ironi dari apa yang dikemukakan di atas bahwa dalam institusi terjadi suap dan konflik kepentingan. Mengapa?

Studi mengenai korupsi institusi dapat memberikan penjelasan mengenai hal ini. Pertama adalah institusi sendiri korup. Praktik suap yang lumrah di kalangan para pejabat Nazi pada perang Dunia II dapat dilihat sebagai contoh dari institusi jenis ini. Institusi yang despotis sudah merupakan korupsi sehingga praktik-praktik suap menjadi lumrah untuk dipraktikkan. Contoh ini mau menjelaskan bahwa praktik korupsi dan suap tidak pernah dilihat sebagai masalah karena institusi itu sendiri sudah korup. Kedua, institusi sendiri tidak memiliki kemampuan untuk melihat alasan moral dari korupsi itu sendiri. Ini menjadi ciri dari institusi yang hanya fokus pada prosedur administraitf, legitimasi dan teknis. Dengan asumsi ini, korupsi hanya diatasi dengan mendeteksi mereka yang melanggar prosedur teknis. Padahal jantung korupsi adalah masalah moral, berupa kemerosotan personal dan institusional yang menyeret seluruh tatanan kehidupan bersama ke dalam pembusukan. Seandainya hal ini dipahami dengan baik, yang sebenarnya dibutuhkan adalah mengembangkan tatanan masyarakat yang baik, yang efisien, yang efektif, yang legal, yang akuntabel, dan transparan. Ketiga, pengabaian terhadap kepentingan publik. Sering terjadi korupsi hanya berkaitan dengan penyalahgunaan keuangan negara. Ini membutakan mata kita pada apa yang disebut dengan kepentingan publik. Tentu yang dimaksud dengan kepentingan publik tidak pernah statis, melainkan dinamis. Dengan berorientasi pada kepentingan publik, kita didorong untuk menaruh perhatian pada tata kelola yang baik dan berintegritas. Tanpa orientasi tersebut institusi hanya menjadi ekstensi atau perluasan kepentingan pribadi. Korupsi sebagai masalah moral adalah bukti bahwa institusi mengabaikan dengan sengaja atau tidak sengaja kepentingan publik.

Page 48: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

Dengan alasan-alasan ini, maka etika antikorupsi menaruh perhatian pada usaha membangun institusi yang adil. Di sini perlu diperhatikan prinsip-prinsip dasar pengembangan institusi yang dapat dipercaya, terutama prinsip akuntabilitas dan transparansi. Akuntabilitas berarti institusi harus bertanggungjawab secara moral, hukum, dan politik atas tindakan dan kebijakan yang menyentuh kepentingan banyak orang. Akuntabilitas berarti institusi harus bertanggungjawab secara moral, hukum, dan politik atas tindakan serta kebijakan yang menyentuh kepentingan banyak orang. Ini berarti, akuntabilitas menuntut transparansi dan kemampuan merespons kepentingan banyak orang. Juga yang penting adalah transparansi menghadapi konflik kepentingan. Transparansi adalah sebuah prinsip tata kelola menyangkut informasi yang jelas, konsisten, dan relevan; standardisasi proses yang memungkinkan kontrol kebijakan; transparansi aturan dan prosedur. (Haryatmoko, 2015)

D. Penutup

Etika antikorupsi adalah sebuah usaha rasional kritis atas korupsi. Karena korupsi memiliki latar belakang empiris yang luas maka etika antikorupsi memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

Pertama, etika antikorupsi bersifat normatif dalam arti mendiskusikan gejala korupsi dari perspektif etika normatif. Perspektif ini berangkat dari asumsi yang sederhana, yaitu bahwa korupsi itu buruk dari segi dampaknya, dari segi tujuannya, dan dari segi tindakannya itu sendiri. Dengan mendiskusikan prinsip-prinsip manfaat, prinsip kewajiban kategoris pada aturan-aturan moral yang universal, dan keutamaan-keutamaan etis, etika antikorupsi melihat dengan jelas apa yang dilanggar oleh praktik korupsi. Dengan mendiskusikan korupsi dari perspektif teori-teori etika normatif, etika antikorupsi termasuk etika terapan, sebuah usaha untuk menggunakan prinsip-prinsip dasar etika normatif untuk menjawab masalah-masalah praktis sehari-hari.

Kedua, etika antikorupsi bersifat deskriptif dalam arti melibatkan pengetahuan empiris tentang praktik-praktik korupsi. Dalam hal ini harus disadari bahwa korupsi itu memiliki kecerdasan tersendiri. Machiavelli pernah menasehati para etikawan dalam bidang politik bahwa politik itu adalah kecerdasan menggunakan segala cara untuk meraih kekuasaan. Itu adalah esensi politik. Karena itu, pengetahuan tentang kecerdasan politik itu sendiri penting. Begitu juga dengan fenomena korupsi. Korupsi itu adalah sebuah kecerdasan untuk meraih kekuasaan, kekayaan, dan bahkan status sosial. Karena itu pengetahuan deskriptif dengan akar-akar korupsi sebagaimana dijelaskan bab sebelumnya harus menjadi bagian tak terpisahkan dari etika antikorupsi. Kant pernah memberi nasehat sederhana: seorang yang mengerti etika harus cerdik seperti ular, dan jinak seperti merpati. Artinya, untuk dapat

44

BAB II

Page 49: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

memberikan pertimbangan etis yang baik, perlu mengenal seluk beluk praktik korupsi.

Ini berarti persoalan metode menelusuri akar-akar korupsi menjadi penting. Meskipun secara populer kita meyakini bahwa korupsi lebih dari sekedar masalah hukum, dan akar utama adalah moralitas, dibutuhkan sebuah strategi metodologis untuk memahami akar-akar tersebut.

Ketiga etika antikorupsi bersifat sosial politik/publik. Segi ini menjadi hal yang sulit diperhatikan, karena banyak yang melihat korupsi sebagai persoalan individual, dalam arti korupsi hanyalah sebuah kesalahan individu tertentu. Yang harus dipahami lebih jauh adalah bahwa korupsi selalu berkaitan dengan institusi di mana seseorang hidup dan bekerja. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, hampir sulit seseorang membebaskan diri dari praktik korupsi dalam sebuah sistem yang korup. Dengan alasan ini, etika antikorupsi perlu menyelidiki akar-akar institusional dari praktik korupsi dan mencari langkah-langkah etika institusional untuk mengatasi korupsi itu sendiri. Selain aspek institusi, etika antikorupsi perlu berbicara tentang tujuan membangun komunitas moral dan integritas. Kedua tema ini akan dibicarakan pada bab-bab berikut.

45

BAB II

Page 50: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 51: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

ETIkA PROFESI MELAWAN kORUPSI

BAB III:

Page 52: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 53: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

Talcott Parsons sudah lama meramalkan bahwa masyarakat modern tidak dapat dipisahkan dari gejala profesi. “Perkembangan dan semakin pentingnya secara strategis profesi-profesi barangkali merupakan perubahan yang paling penting yang telah terjadi dalam sistem pekerjaan dalam masyarakat modern.” (Sudarminta, 1992: 114) Sebelum modernitas, kita mungkin hanya mengenal profesi-profesi klasik seperti dokter, advokat, dan pemimpin agama. Namun, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak pekerjaan yang sebelumnya dilaksanakan begitu saja mengalami perkembangan menjadi profesi. Bahkan, di dalam satu rumpun profesi kita masih bisa mengenal banyak profesi untuk menunjukkan bidang-bidang spesialisasi. Di kalangan peradilan, misalnya, kita mengenal selain advokat, masih ada hakim dan jaksa. Di dunia kesehatan, selain dokter kita masih mengenal perawat. Di dunia teknik kita mengenal insinyiur bidang elektro, mesin, sipil, dan lain-lain. Diferensiasi fungsi-fungsi ini semakin lama semakin mengkhusus, sehingga hanya orang dengan pendidikan dan keahlian khusus yang dapat dan memiliki wewenang untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut.

Bagi Parsons, profesi seharusnya memiliki kredibilitas tersendiri di mata publik. Jika ada tawaran kerja, para pemberi kerja akan lebih condong kepada mereka yang profesional daripada mereka yang awam. Fungsi-fungsi yang ada di masyarakat dipercayakan kepada para profesional karena masyarakat percaya bahwa sang profesional mengenal masalah dan tahu memecahkan masyarakat secara efektif dan efisien. Namun, bukan mustahil profesi sering melakukan penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan klien dan masyarakat. Mereka dapat dituduh melakukan malpraktik, ketika sang profesional tidak fokus pada tugas profesinya. Kerap kekayaan dan status menjadi godaan bagi profesional. Maka muncul pertanyaan: Bagaimana mungkin profesional dapat dipercaya? Atas dasar apa ia dapat dipercaya? Apa kriteria landasan etis profesi?

Pertanyaan-pertanyaan di atas menyentuh 2 hal, yaitu, apa yang dimaksud dengan etika profesi dan bagaimana fondasi etis profesi harus dijelaskan. Di samping kedua pertanyaan pokok ini, pertanyaan berikut yang harus dijawab adalah bagaimana sumbangan etika profesi bagi usaha pencegahan korupsi. Dengan demikian, bab ini akan secara berturut-turut membahas apa yang menjadi fokus dari etika profesi, menggali fondasi etika profesi, merumuskan prinsip-prinsip dasar etika profesi, lalu bagaimana etika profesi menghadap korupsi.

49

BAB III

Tujuan yang hendak dicapai dengan mempelajari bab ini adalah agar mahasiswa:

1. Memahami pengertian profesi sebagai kegiatan intelektual dan kegiatan yang terhormat.

Page 54: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

BAB III

50

2. Memahami janji publik sebagai fondasi etika profesi.3. Memahami implikasi prinsip-prinsip etika profesi bagi usaha menolak

korupsi.

A. Etika Profesi

Etika profesi merupakan cabang etika yang secara kritis dan sistematis merefleksikan permasalahan moral yang melekat pada suatu profesi. Kerap kali etika ini dilihat sebagai etika terapan, karena merupakan refleksi etika normatif pada masalah-masalah profesi. (Bertens, 2013)

Karena cabang etika ini menaruh perhatian pada masalah-masalah moral yang melekat pada profesi, etika profesi tidak akan melakukan refleksi tentang kewajiban umum manusia terhadap manusia, tetapi pada kewajiban khusus berkaitan dengan tuntutan fungsional untuk melaksanakan suatu jenis pelayanan tertentu. Dengan perkataan lain, etika profesi akan melakukan penilaian rasional kritis atas praktik-praktik profesional dalam masyarakat modern dewasa ini berdasarkan nilai-nilai dan asas-asas moral universal yang dituntut pelaksanaannya pada profesi tertentu. Tentu dalam hal ini asas moral universal tersebut benar-benar melekat atau fungsional pada pelaksanaan profesional tertentu.

Pentingnya pembicaraan tentang etika profesi dewasa ini menjadi nyata berkenaan dengan semakin pentingnya peran profesi dalam kehidupan masyarakat. Ada harapan terselubung di balik etika profesi. Dengan menemukan landasan-landasan normatif yang mengikat para profesional ketika melakukan tindakan-tindakan profesional, etika profesi bertujuan agar profesi dapat membangun dirinya sebagai sebuah komunitas moral. (Sudarminta, 1992: 114-133)

Secara metodologis, landasan-landasan normatif yang dimaksud dapat diketahui melalui 2 cara. Yang pertama, dengan cara menemukan aspirasi moral sebagaimana terkandung dalam kode etik dan praktik-praktik profesional. Pada langkah pertama ini kita dapat menemukan kesadaran moral profesional. Namun, langkah ini tidak cukup jika tidak disertai dengan refleksi normatif atas kesadaran moral tersebut. Karena itu dibutuhkan langkah kedua, yaitu sebuah refleksi etika atas kesadaran moral sebagaimana diungkapkan secara implisit atau eksplisit dalam kode etik dan praktik-praktik profesional. Pada langkah kedua ini kita dapat menemukan landasan etis atau norma dan orientasi etis yang dibangun bersama oleh komunitasnya. Dengan demikian, pengembangan kode etik profesi dan refleksi etika atas profesi atas landasan-landasan etis dapat mendorong setiap anggota komunitas profesi untuk menjaga secara bersama-sama agar komunitas mereka dipercaya oleh klien

Page 55: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

51

BAB III

dan masyarakat.

Kita mengenal misalnya, etika publik yang seharusnya dimiliki oleh para pejabat publik. Etika ini dapat dilihat sebagai refleksi tentang standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik. Refleksi etika atas profesi sebagai pejabat publik tersebut mendorong para pejabat publik untuk membangun komunitas moral pejabat publik. Karena itu jika ada pejabat publik yang melakukan malpraktik dan korupsi, pejabat publik sebagai komunitas profesi dipertanyakan moralitasnya. (Haryatmoko, 2015: 11-20)

Kita juga mengenal etika medis yang harus dilmiliki oleh setiap dokter. Etika ini merupakan refleksi tentang norma yang menentukan baik buruk, benar salah perilaku, tindakan dan keputusan yang mengarahkan pelayanan kesehatan menjadi pelayanan yang dapat dipercaya klien. Jika seandainya adalah seorang dokter yang melakukan malpraktik, komunitas medis sebagai keseluruhan dapat diragukan integritas moralnya. (K. Bertens,2011: 35-42)

Kedua contoh ini ingin mengatakan beberapa hal berkaitan dengan etika profesi. Pertama, etika profesi merupakan sebuah refleksi atas landasan moral komunitas profesional yang dapat ditemukan dalam kode etik dan praktik-praktik profesional. Kedua, etika profesi dapat memberikan penilaian atas mutu moralitas komunitas profesional. Dalam hal ini etika profesi dapat melihat orientasi moral masing-masing profesi. Profesi kepolisian memiliki orientasi moral yang berbeda dengan profesi medis. Yang pertama menekankan disiplin berdasarkan semangat korps dalam rangka perlindungan keamanan masyarakat, yang kedua menekankan perlindungan terhadap martabat klien dalam rangka mengembangkan kesehatan jiwa dan badan manusia tersebut. Karena individu profesional tidak dapat menjalankan fungsi profesinya di luar ketiga, karena setiap profesional hanya hidup dalam komunitas profesi, maka integritas pribadi profesional menjadi hal yang tak dapat dihindarkan dalam refleksi etika profesi. (Chadwick, 1994: 5-15)

Page 56: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

B. Fondasi Etika Profesi: Janji Publik

Daryl Koehn dalam pembahasannya mengenai fondasi-fondasi etika profesi menemukan bahwa etika profesi sering terjebak pada dua perspektif teoritis berikut ini. Pertama adalah teori kompetensi keahlian. Banyak profesional yakin bahwa keahlian yang mereka miliki dapat membantu orang lain dan masyarakat. Untuk itu pendidikan mutlak perlu dilengkapi dengan kursus-kursus yang memperdalam keahlian tersebut. Hanya keahlian seorang profesional yang dapat membantu klien dan masyarakat. Bahkan layanan yang baik hanya dapat diberikan karena keahlian tersebut. (Koehn, 2000: 27-31)

Keyakinan bahwa keahlian dapat memberikan pelayanan yang baik ini dapat dipahami jika kita melihat rumitnya persoalan kesehatan dan keadilan misalnya. Dibutuhkan mereka yang benar-benar memiliki keahlian di bidangnya untuk memecahkan masalah kesehatan dan keadilan. Masyarakat pun membutuhkan keahlian profesional yang dapat memberikan penilaian tepat atas masalah yang terkait dengan bidang keahliannya.

Namun, sebagaimana dikemukakan Daryl Koehn, keahlian saja tidak cukup menjamin kepercayaan masyarakat pada profesional. Ia berargumentasi antara lain: keahlian dapat berkembang tanpa tujuan; demi keahlian itu sendiri, seseorang dapat saja tidak memperhatikan aspek tujuan dari keahlian tersebut yaitu kepentingan masyarakat yang mereka layani. Otoritas profesional terletak dalam apakah keahlian yang dimiliki tersebut diarahkan

BAB III

52

Page 57: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

kepada kepentingan mereka yang dilayaninya? (Koehn, 2000: 33-47)

Berbeda dengan teori keahlian, para sosiolog menyajikan teori kedua, yaitu teori kontrak sosial. Teori ini beranggapan bahwa sumber kepercayaan kepada profesi terletak pada kontrak yang dibangun antara profesional dan klien berkenaan dengan harapan kolektif atas layanan profesional. Masyarakat membutuhkan profesional karena hanya seorang profesional yang dapat memberikan layanan sesuai dengan harapan kolektif masyarakat. Dan kontrak sosial menjamin bahwa harapan-harapan tersebut dapat terwujud. Dalam kontrak tersebut, harapan masyarakat dapat mengendalikan apa yang akan dilakukan oleh seorang profesional. Kalau ada risiko tindakan profesional, maka risikonya dapat diperkecil oleh kontrol masyarakat. Pertimbangan ini tetap mendapat perhatian karena kemerdekaan dan rasionalitas masyarakat penerima layanan profesional tetap harus dijamin. (Koehn, 2000: 49-53)

Namun, sebagaimana dikemukakan Daryl Koehn, harapan kolektif layanan tidak cukup menjadi landasan etika profesi. Ia memberikan beberapa pertimbangan. Pertama, dalam banyak hal kita tetap membutuhkan kewenangan profesional untuk mengambil tindakan-tindakan profesional. Karena itu kewenangan profesional menjadi tak terhindarkan. Kedua, hubungan antara profesional dan masyarakat atau klien tidak pernah sejajar. Dalam keadaan tertentu, profesional memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan dengan klien dari segi keahlian, pengetahuan, dan rasionalitas. Ketiga, dalam rangka menegakkan kebaikan layanan dalam bidang kesehatan dan keadilan, masyarakat dan klien pengguna jasa profesional dituntut untuk menegakkan disiplin. Kesehatan misalnya tidak sekedar menjadi urusan dokter tetapi menjadi urusan pasien. Ia harus mengikuti resep yang ditawarkan dokter. Kerjasama antara dokter dan pasien membuat kesehatan sebagai kebaikan menjadi nyata. Keempat, uang yang dibayarkan klien kepada profesional dapat mengaburkan tujuan interaksi antara profesional dan klien. Hal ini menjadi semakin jelas jika kita melihat bagaimana para profesional menjadikan layanannya sebagai komoditi yang memiliki tarif-tarif yang tidak mendukung misi layanan profesional. (Koehn, 2000: 55-71)

Dengan kritik-kritik di atas, Daryl Koehn ingin menyatakan bahwa otoritas moral profesional terletak pada apakah mereka dipercaya atau tidak. Dan untuk dapat dipercaya, mereka sendiri harus menjadikan kepentingan klien sebagai kepentingan profesional mereka sendiri. Harus ada kerja sama antara kaum profesional dan masyarakat pengguna layanan profesional. Kerja sama tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: di satu sisi sang profesional mengarahkan tindakannya (dengan seluruh keahliannya) demi kebaikan klien, namun di sisi lain klien sendiri harus menunjukkan disiplin sebagai bukti kepercayaannya pada sang profesional.

Kritik Daryl Koehn sebagaimana dikemukakan di atas memiliki alasan-

53

BAB III

Page 58: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

alasan yang pantas diperhatikan. Menurut Koehn, ada beberapa aspek yang tidak diperhatikan oleh kedua teori tersebut di atas, antara lain fakta bahwa (1) kaum profesional adalah orang yang mendapat izin dari negara untuk melakukan tindakan tertentu; bahwa (2) mereka adalah anggota sebuah organisasi yang memiliki standar dan cita-cita perilaku, dan karena itu tunduk pada aturan disiplin organisasi tersebut; bahwa (3) mereka memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang khusus; bahwa (4) mereka memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaan mereka dan pekerjaan itu tidak dapat dimengerti oleh masyarakkat awam; bahwa (5) mereka mengucapkan janji publik untuk memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan mereka. Mereka pun bertanggungjawab atas tugas-tugas khusus yang dipercayakan kepada mereka. (Koehn, 2000: 72-74)

Di antara kriteria-kriteria tersebut, Daryl Koehn menaruh perhatian pada janji publik. Bagi Koehn, janji publik merupakan kriteria yang paling banyak dibela dan dipertahankan sepanjang sejarah perkembangan profesi. Profesional adalah orang yang dengan bebas membuat janji di hadapan masyarakat untuk melayani orang untuk kebaikan orang itu. Apa yang dikemukakan Daryl Koehn ini tersirat dari istilah profesi itu sendiri. Kata profesi berasal dari kata Yunani prophaino yang berarti ‘menyatakan secara publik.’ Dari kata prophaino muncul kata professio dalam bahasa Latin yang sering diartikan sebagai pengumuman terbuka, janji. Menurut Daryl Koehn, janji publik merupakan landasan bagi kepercayaan masyarakat dan klien bahwa profesional dapat mengembangkan kebaikan klien. Atau dengan cara lain ingin dikatakan bahwa janji memberi jaminan moral bagi profesi sehingga ia dapat dipercaya. Daryl Koehn memberikan alasan. (Koehn, 2000: 78-80)

1. Janji menciptakan kompetensi profesional; mendorong profesional dapat memperdalam pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat melayani masyarakat dengan baik.

2. Janji membuat masyarakat dan klien percaya bahwa profesional dapat secara konsisten memberikan bantuan profesional.

3. Janji mendorong para profesional menghormati kerentanan klien4. Janji membuat kaum profesional menjalankan kebijakan dengan

menggunakan penalaran atau penilaian terbaik untuk kepentingan klien.

5. Janji memberi kuasa kepada kaum profesional untuk membuat klien bertanggungjawab melakukan apa yang harus dilakukan.

Dengan catatan-catatan ini, Daryl Koehn yakin bahwa janji publik merupakan landasan etis utama sehingga profesi pantas dipercaya.

BAB III

54

Page 59: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

C. Prinsip-Prinsip Etika Profesi

Apa yang dimaksud dengan landasan moral profesi dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental bagi moralitas profesional. Janji publik yang diucapkan oleh para profesional merupakan prinsip dasar yang dimiliki oleh profesional sehingga ia dapat dipercaya masyarakat dan kliennya. Memang harus diakui bahwa tidak semua profesi memiliki janji publik secara eksplisit. Dewasa ini kita mengenal banyak profesi yang dibangun di atas janji publik seperti advokat, dokter, psikolog, hakim, jaksa. Para pejabat negara pun memiliki janji atau sumpah jabatan. Sementara itu, kita masih mengenal banyak profesi yang tidak memiliki janji profesional secara eksplisit seperti rekayasawan teknik, guru, profesi, dan bahkan peneliti. Pada kelompok profesi ini terdapat prinsip-prinsip etis umum yang berfungsi menata pengembangan dan pelaksanaan profesi berdasarkan tujuan layanan profesional masing-masing.

Dari segi etika, entah eksplisit atau implisit, janji publik itu sendiri mengandung imperatif-imperatif moral seperti tanggung jawab, keadilan, otonomi, dan kepercayaan. Sebagai sebuah contoh mari kita membaca sumpah dokter dan sumpah jabatan hakim, jaksa, panitera di bawah ini:

Sumpah Dokter:

Saya bersumpah bahwa: Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan; saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya; saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran:

55

BAB III

Page 60: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan dan keilmuan saya sebagai dokter; saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien; saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian, atau Kedudukan Sosial, dalam menunaikan kewajiban saya terhadap penderita; saya akan memberikan kepada Guru-Guru saya, Penghormatan dan Pernyataan Terima Kasih yang selayaknya; saya akan memperlakukan Teman Sejawat saya sebagai saudara kandung; saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan; saya tidak akan mempergunakan pengetahuan Kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan Hukum Perikemanusiaan, sekalipun saya diancam; saya ikrarkan Sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.

Sumpah Hakim, Jaksa, dan Panitera:

Demi Allah! Saya bersumpah: Bahwa saya untuk mendapat jabatan saya ini, baik dengan langsung maupun dengan tidak langsung, dengan rupa atau dengan kedok apa pun juga, tidak memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu, kepada siapa pun juga.Bahwa saya akan setia dan taat kepada Negara Republik Indonesia.Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja dari siapa pun juga, yang saya tahu atau patut dapat mengira bahwa ia mempunyai atau akan mempunyai perkara atau hal yang mungkin bersangkutan dengan jabatan yang saya jalankan ini; bahwa saya di dalam melakukan kewajiban saya senantiasa akan memegang teguh hukum, keadilan tidak sebelah menyebelah dan tidak memandang orang; bahwa saya akan bekerja untuk kepentingan negara, sebagai pegawai, kehakiman yang tulus, saleh, cermat dan bersemangat.

Ada hal yang menarik dari sumpah dokter dan hakim dan jaksa ini. Dengan fokus pada kebaikan kesehatan dan keadilan, sumpah ini berusaha secara eksplisit dan implisit melihat tanggung jawab, keadilan, otonomi, dan kepercayaan menjadi prinsip-prinsip etisnya. Berikut kami menjelaskan apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dimaksud. (Sihotang, 2016: 146-278)

1. Tanggung jawab. Semua pengemban profesi dituntut untuk

56

BAB III

Page 61: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

57

BAB III

menunjukkan tanggung jawab moral dalam pekerjaannya. Tanggung jawab ini menyangkut pada tanggung jawab pelaksanaan dan konsekuensinya. Dalam pelaksaannya, tanggung jawab mengandaikan integritas, objektivitas, dan kompetensi serta konfidensialitas. Integritas diperlihatkan dalam kejujuran dan komitmen untuk menjalankan etika profesi. Objektivitas dinyatakan dalam memberikan penilaian atas tindakan atau keputusan yang didasari oleh data dan fakta. Kompetensi diperlihatkan dengan kemampuan dan ketrampilan dalam menjalankan pekerjaan. Sedangkan konfidensialitas tercermin dalam keteguhan menjaga rahasia profesi.

2. Keadilan. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan pekerjaannya ia menjamin hak semua pihak. Perlakuan adil mensyaratkan tidak adanya pihak yang dirugikan.

3. Otonomi. Artinya, orang yang profesional adalah orang bebas. Di sini kebebasan menjadi prinsip penting dalam menjalankan profesi. Memang kaum profesional harus berpijak pada kode etik profesi dan lembaga di mana dia mengemban tugas. Ia juga harus setia pada koleganya. Akan tetapi, dia adalah seorang pribadi yang bebas. Karena itu, ia harus mempunyai otonomi moral. Sikap ini mengisyaratkan bahwa ia mempunyai kemandirian dalam mengambil keputusan, terutama berhadapan dengan situasi sulit di lapangan.

4. Kepercayaan. Ini merupakan nilai sosial dan modal yang penting bagi seorang profesional dalam menjalankan tugasnya. Jika seorang profesional kehilangan kepercayaan berarti ia telah gagal menjalankan tugasnya dalam mengabdi pada masyarakat.

Prinsip-prinsip etis tersebut tentu bukan sesuatu yang formalistis. Prinsip-prinsip tersebut berpautan dengan tujuan layanan yang ingin diberikan profesional. Profesi kedokteran, misalnya, berhubungan dengan layanan kebaikan kesehatan. Tanggung jawab, keadilan, otonomi, dan kepercayaan merupakan prinsip-prinsip instrumental bagi kesehatan sebagai kebaikan yang harus diterima klien dan masyarakat. Begitu jika kita berbicara tentang profesi advokat yang ingin memfokuskan diri pada keadilan sebagai kebaikan kliennya. Dalam rangka mengembangkan keadilan sebagai kebaikan klien, seorang advokat harus bertanggungjawab, adil, otonom, dan dapat dipercaya.

Prinsip-prinsip instrumental kerapkali diungkapkan dengan jelas dalam masing-masing kode etik profesi. Di sini, kode etik profesi memuat aturan-aturan yang harus dijalankan oleh setiap anggota sebuah profesi. Kode etik menyediakan sebuah kerangka konseptual yang harus diterapkan oleh anggota profesi agar ia dapat mengidentifikasi dan mengevaluasi perilaku, serta menyediakan petunjuk dan gambaran bagaimana menerapkan kerangka konseptual itu secara umum dan secara khusus.

Page 62: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

58

BAB III

Kode etik yang memuat prinsip-prinsip instrumental tersebut memiliki tujuan agar profesional membangun sebuah komunitas moral sehingga dapat dipercaya oleh masyarakat. Kode etik itu mengikat profesional. Bagi profesional, kode etik merupakan rambu-rambu moral yang memberi arah dalam melaksanakan tugas. Dengan rambu-rambu ini, kaum profesional diharapkan berjalan pada jalur yang benar atau tidak merugikan masyarakat pengguna jasa profesional. Selain itu, kode etik menghindarkan mereka dari kesewenang-wenangan melakukan pekerjaan di luar batas bidangnya sehingga keluhuran profesi dapat terjaga dengan baik. Kode etik juga mencegah kesalahpahaman dan konflik antar sesama pengemban profesi. (Chadwick, 1994: 25-27)

Dari perspektif masyarakat, kode etik tersebut menjadi dasar bagi masyarakat untuk menuntut pertanggungjawaban profesional dalam memberikan pelayanan maksimal. Di samping itu, kode etik mencegah masyarakat untuk bertindak sewenang-wenang terhadap kaum profesional.

D. Etika Profesi Menghadapi Korupsi

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, korupsi merupakan masalah publik yang memiliki akar-akarnya pada kegagalan implementasi aturan-aturan publik dan mekanisme pasar yang terbuka. Secara khusus kita dapat melihat kegagalan tersebut pada praktik-praktik gratifikasi yang dijalankan secara masif tanpa sikap kritis terhadapnya. Pertanyaan kita sekarang adalah apakah korupsi sebagai sebuah masalah publik tersebut dapat diatasi dengan etika profesi? Bagaimana efektivitas etika profesi yang mengandalkan relasi profesional pada usaha menjawab masalah korupsi yang memiliki akar-

Page 63: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

59

BAB III

akarnya pada ekonomi, politik, sosiologi, dan kebiasaan-kebiasaan feodalistis? Apakah korupsi sebagai sebuah masalah moral publik dapat diatasi dengan pendekatan etika profesi? Jika etika profesi memiliki landasan moralnya pada janji publik serta prinsip-prinsip instrumentalnya demi mengembangkan kebaikan klien, dapatkah landasan moral beserta dengan prinsip-prinsip instrumentalnya itu membantu kita mengatasi masalah korupsi?

Daryl Koehn tidak memiliki jawaban atas persoalan-persoalan di atas. Namun dengan pemikirannya tentang janji publik sebagai fondasi etis bagi profesional, ia sebenarnya sudah membuka jalan ke arah itu, yaitu kejelasan hubungan antara kepentingan profesional dan kepentingan publik. Dalam mendiskusikan hal ini, Daryl Koehn menemukan sekurang-kurangnya 3 kemungkinan penjelasan. (Koehn, 2000: 179-203)

1. Kepentingan umum dikembangkan melalui pengabdian profesional yang khusus dan penuh semangat kepada klien secara perorangan. Pemikiran ini menjelaskan bahwa pelayanan yang baik terhadap klien dengan sendirinya berarti pelayanan kepada kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih luas.

2. Moralitas profesional sama dengan moralitas publik. Ini berarti seorang profesional sudah menjalankan kewajiban publik, justru ketika ia menjalankan tugas profesionalnya kepada klien. Dengan perkataan lain, seorang profesional memiliki tanggung jawab yang sama baik kepada klien maupun kepada masyarakat.

3. Etika profesional merupakan ungkapan berlakunya moralitas publik yang dilembagakan. Ini berarti, tindakan profesional terhadap klien merupakan satu bentuk moralitas publik.

Dengan tiga kemungkinan penjelasan ini, Daryl Koehn berpendapat bahwa kaum profesional yang bertindak secara moral pada tingkat profesional memiliki otoritas publik jika mereka menaati syarat-syarat janji yang sudah mereka buat secara publik. Dengan demikian ada koherensi antara etika profesi dan etika publik. Dengan argumentasi ini, apa yang sebenarnya dituntut dalam etika profesi menjadi rambu-rambu bagi penolakan profesional atas tindak pidana korupsi. Koehn memang tidak memiliki perhatian pada isu korupsi. Namun ramalan Koehn bahwa ada koherensi antara etika profesi dan pelayanan publik, etika profesi dapat menjadi landasan untuk menolak korupsi dari segi etika profesi.

Untuk menunjukkan hal ini mari kita lihat apa yang sebenarnya dikatakan oleh kode etik profesi tentang gratifikasi, suap, dan korupsi. Sebagai contoh dalam hal ini kita bisa berbicara tentang hakim dan jaksa dari organisasi profesi peradilan, HPJI (Himpunan Pengembang Jalan Indonesia) dan rekayasawan teknik elektro dari organisasi profesi teknik, dan dari kedokteran.

Page 64: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

60

BAB III

1. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (2009) 2.2. (1) berbunyi: “Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami atau isteri Hakim, orangtua, anak atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari advokat, penuntut, orang yang sedang diadili, pihak lain yang kemungkinan kuat akan diadili, dan pihak yang memiliki kepentingan terhadap suatu perkara.”

2. Kode Etik dan Perilaku Jaksa (2007) Pasal 4 berbunyi: Jaksa dilarang “meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta melarang keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya.”

Apa yang dikemukakan oleh kode etik ini juga ditegaskan lagi oleh Pasal 6 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang dunia peradilan. Di sini ditegaskan bahwa setiap orang sudah melakukan korupsi jika ia memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; dan kepada advokat untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Juga Pasal 6 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2001 menegaskan bahwa hakim dan advokat sudah melakukan korupsi ketika ia menerima pemberian atau janji. Bertolak dari janji publik profesi, hakim dan advokat sudah memanfaatkan profesi demi keuntungannya sendiri dan mengabaikan janji publik yang ia ucapkan demi kepentingan klien. Begitu juga klien jika melanggar janji publik profesional yang menuntutnya untuk disiplin mengembangkan kebaikan profesional. Keadilan sebagai kebaikan tidak dapat dipelihara dengan baik justru karena ia sendiri melangkahi prosedur peradilan.

Dalam perspektif undang-undang ini, gratifikasi dan suap melanggar janji publik profesi hakim dan advokat dan bahkan menghancurkan sistem hukum yang menjunjung tinggi keadilan. Keadilan sebagai kebaikan klien hanya bisa dipertahankan dengan keadilan sebagai prinsip kerja peradilan. Jika kita melihat lebih jauh lagi, gratifikasi dan suap menggagalkan otonomi yang seharusnya menjadi basis penilaian hakim dan advokat. Mereka tidak lagi menjalankan fungsi mereka secara otonom, tetapi sudah dipengaruhi oleh suap dan gratifikasi. Dan dapat diramalkan juga karena mereka tidak otonom lagi, keputusan dan penilaian apa pun yang mereka berikan tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.

3. Kaidah Umum Tata Laku HPJI No.3.3. (6) “Anggota HPJI tidak boleh menerima imbalan atau honorarium di luar ketentuan yang berlaku.”

Page 65: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

61

BAB III

4. Kode Etik Institute of Electrical and Electronics Engineers (1979) Article III, 4: Members shall, in their relations with employers and clients “neither give nor accept, directly or indirectly, any gift, payment or service of more than nominal value to or from those having business relationships with their employers or clients.”

5. Kode Etik Kedokteran (IDI 2012) Pasal 3 Kemandirian Profesi. “Dalam melakukan pekerjaan kedokteran, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.” Pasal ini mencakup tindakan membuat ikatan atau menerima imbalan berasal dari perusahan farmasi, obat, vaksin, makanan, suplemen, alat kesehatan, alat kedokteran, bahan, produk atau jasa kesehatan/terkait kesehatan dan/atau berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan apa pun dan dari mana pun dan/atau berasal dari pengusaha, perorangan atau badan lain yang akan menghilangkan kepercayaan publik/masyarakat terhadap dan menurunkan martabat profesi kedokteran.”

Dengan contoh-contoh di atas, kita boleh mengatakan bahwa korupsi merupakan tindakan yang menghancurkan sendi-sendi moral profesional. Tindak pidana korupsi bahkan menghancurkan kepercayaan publik terhadap profesi. Para dokter misalnya mengerti bahwa konflik kepentingan dan grafitikasi dapat menjadikan dirinya menjadi target kepentingan lain (kekuasaan atau bisnis). Begitu juga hakim dan jaksa akan kehilangan reputasi ketika ia terjebak dalam suap dan gratifikasi. Karena itu, dengan kesadaran tersebut masing-masing komunitas profesi berusaha menolak korupsi dan praktik suap dan gratifikasi.

Tentu dibutuhkan sebuah kajian lebih serius mengenai pola korupsi pada profesi-profesi tertentu, sehingga langkah-langkah yang diambil benar-benar mengatasi masalah korupsi. Namun posisi moral profesi cukup jelas. Karena pelayanan profesional merupakan pelayanan publik, konflik-konflik kepentingan menjadi target-target refleksi etika profesi. Tentu menjadi pertanyaan sekarang adalah apa yang menjadi perhatian etika dalam menghadapi masalah ini?

E. Keputusan Etis dan Manajemen Etik

Fondasi etis profesional sebagaimana dikemukakan oleh Daryl Koehn merupakan posisi moral dasar profesional. Namun dalam banyak hal seorang profesional harus memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan moral berdasarkan fondasi etis yang ia miliki. Karena itu sebelum menutup bab ini perlu dibicarakan hal mengenai pengambilan keputusan etis yang melibatkan pertimbangan, penilaian dan pemilihan di antara sejumlah alternatif berdasarkan pemahaman yang baik atas masalah berdasarkan nilai-nilai etis.

Page 66: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

62

BAB III

Secara teoritis kita boleh mengatakan bahwa setiap keputusan mengandung beberapa unsur. Pertama adalah pengetahuan yang luas tentang masalah. Pengetahuan yang benar tentang masalah akan mempermudah seseorang untuk mengambil keputusan. Kedua adalah tujuan keputusan. Tentu tidak mudah menjelaskan tujuan keputusan. Namun, yang jelas adalah bahwa keputusan yang baik mengakomodasi kepentingan semua pihak yang terkait dengannya, atau minimal memperkecil risiko bagi pihak yang terkena keputusan yaitu klien dan masyarakat. Ketiga adalah komitmen pada nilai dasar yang dianut oleh profesional, misalnya rasa hormat pada martabat manusia dalam layanan profesional psikolog dan kedokteran. Komitmen pada nilai dasar ini menunjukkan kualitas integritas pribadi sang profesional. Keempat, keputusan yang diambil harus dilakukan dengan analisis yang mendalam atas fakta-fakta yang ada. (Sihotang, 2016: 132-134)

Pengambilan keputusan etis merupakan sebuah proses. Laura Hartman dan Joe DesJardins mengusulkan beberapa langkah berikut. (Hartman, 2011: 37-47)

1. Menentukan fakta-fakta. Memberikan upaya yang cukup untuk memahami situasi, membedakan fakta dari opini belaka, adalah hal yang sangat penting. Perbedaan persepsi dalam bagaimana seseorang mengalami dan memahami situasi dapat menjelaskan banyak perdebatan etis. Mengetahui fakta-fakta dan meninjau secara cermat keadaannya akan memberikan kemudahan dalam memecahkan perselisihan pendapat pada tahap awal.

2. Memahami bahwa keputusan yang akan diambil adalah sebuah keputusan moral. Harus diakui bahwa banyak orang dengan mudah tersesat karena gagal mengenali adanya komponen etis dalam keputusan yang diambil. Mengidentifikasi isu-isu etis yang terlibat merupakan langkah yang perlu untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab.

3. Melibatkan pihak lain untuk keputusan-keputasan etis. Pada tahap ini sikap tergesa-gesa, tanpa pertimbangan serta emosional perlu dihindari. Rasionalitas kesadaran moral harus memainkan peranan pada tahap ini, terutama dengan sikap terbuka pada pertimbangan lain. Jangan membiarkan diri anda dengan sikap ngotot. Karena itu dibutuhkan keterbukaan kepada orang lain. Kita diminta untuk mengidentifikasi dan mempertimbangkan semua pihak yang dipengaruhi oleh sebuah keputusan, orang-orang ini biasa disebut dengan para pemegang/pemangku kepentingan (stakeholders). Mempertimbangkan isu-isu dari berbagai sudut pandang orang lain selain sudut pandang sendiri, dan selain dari kebiasaan setempat, membantu kita dalam membuat keputusan yang lebih masuk akal dan bertanggung jawab.

Page 67: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

63

BAB III

4. Membandingkan dan mempertimbangkan alternatif-alternatif. Buatlah sebuah spreadsheet mental yang mengevaluasi dampak tiap alternatif yang telah anda pikirkan terhadap masing-masing pemegang kepentingan yang telah diidentifikasi. Mungkin cara yang paling mudah adalah dengan mencoba menempatkan seseorang dalam posisi orang lain. Memahami sebuah situasi dari sudut pandang orang lain, berusaha untuk “menjadi diri mereka”, memberikan kontribusi signifikan dalam pengambilan keputusan etis yang bertanggung jawab. Sebuah elemen penting dalam evaluasi ini adalah pertimbangan cara untuk mengurangi, meminimalisasi, atau mengganti konsekuensi merugikan yang mungkin terjadi atau meningkatkan dan memajukan konsekuensi-konsekuensi yang mendatangkan manfaat.

5. Membuat sebuah keputusan. Setelah semua variabel diselidiki, sekarang waktunya untuk membuat sebuah keputusan. Kemampuan itu membentuk sebuah tanggung jawab untuk kemudian mengevaluasi implikasi dari keputusan yang diambil, memantau dan belajar dari hasil, dan memodifikasi tindakan kita berdasarkan pengalaman tersebut ketika dihadapkan dengan tantangan serupa di masa depan.

Apa yang diungkapkan Laura Hartman dan Joe DesJardis dapat membantu para profesional mengambil keputusan etis. Tentu harus ditambahkan bahwa langkah-langkah tersebut perlu disusulkan dengan refleksi atas keputusan etis tersebut. Momen ini penting untuk melihat kembali apakah keputusah etis benar-benar berkualitas secara profesional atau tidak. Refleksi ini perlu agar di kemudian hari ia tidak terjebak pada keputusan yang keliru. Kalau pengambil keputusan sudah benar, karena unsur-unsur etis sudah dipenuhi, maka orang yang mengambil keputusan tidak dapat dipersalahkan. Yang pantas dipersalahkan adalah “kalau persiapan keputusan itu kurang teliti, kurang terbuka, atau terlalu mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain”. Kendati demikian, sebagai ungkapan pertanggungjawaban etis, akibat dari keputusan tetap harus diperhatikan. Artinya, dampak negatif yang ditimbulkan keputusan harus ditanggung oleh pengambil keputusan.

Kepandaian untuk mengambil keputusan etis itu sebagaimana dikemukakan di atas tentu membutuhkan manajemen organisasi/komunitas yang mendukung pemenuhan nilai-nilai antikorupsi. Beberapa organisasi publik di Indonesia meyakini bahwa kita membutuhkan strong compliance dengan beberapa sarana berikut ini. Pertama, ketegasan pimpinan atas pilihan-pilihan etis. Artinya, siapa pun pimpinan perlu menjadi dirinya sebagai model bagi anggota komunitas atau organisasinya. Kedua, komitmen yang kuat manajemen tingkat menengah. Komitmen kelompok ini dibutuhkan karena merekalah yang dikenal komunitas dan organisasi. Ketiga, proses kerja dan bisnis yang tidak menyalahi prinsip-prinsip etis. Di sini organisasi yang baik membuat guideline yang praktis yang dapat dijalankan secara

Page 68: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

64

BAB III

bertanggungjawab. Keempat, implementasi yang terus menerus disertai dengan pemaksaan untuk melaksanakan tindakan-tindakan etis. Dan kelima, proses refleksi dan perbaikan terus menerus atas apa yang sudah dikerjakan dan dijalankan. Proses perbaikan tersebut dibutuhkan karena selalu ada kemungkinan kesalahan.

Dengan demikian keputusan etis yang bertanggungjawab membutuhkan sebuah konteks organisasi dan komunitas yang mendukung pengembangan nilai-nilai etis antikorupsi.

F. Penutup

Etika profesi merupakan sebuah refleksi yang dilakukan oleh profesional untuk menunjukkan kepada publik bahwa para profesional benar-benar dipercaya oleh masyarakat. Dengan hadirnya kode etik dan kode perilaku, masyarakat menjadi paham bahwa kaum profesional tidak hanya bertindak sendiri tetapi bertindak secara kolektif dalam mengembangkan obyek layanan sebagai kebaikan-kebaikan yang dinikmati masyarakat. Kedokteran dengan kesehatan, advokat dengan keadilan, rekayasawan teknik dengan keselamatan teknik dan publik, guru dengan pendidikan.

Namun demikian, Gratifikasi, suap dan korupsi kerap kali mengalihkan perhatian profesional dari kebaikan layanan mereka kepada kepentingan pribadi. Suap dan gratifikasi merupakan praktik yang mengindikasikan konflik kepentingan yang seharusnya dihindari oleh setiap profesional. Karena itu, kode etik profesi menganjurkan agar berhati-hati dengan kemungkinan tersebut. Banyak profesional terjebak dengan hal-hal tersebut. Kesalahan seperti ini pada akhirnya menghancurkan seluruh reputasi profesi dan diri sendiri.

Dengan catatan ini, janji publik untuk tidak menerima gratifikasi dan suap harus dimengerti sebagai sebuah imperatif kategoris, sebuah perintah tanpa syarat. Artinya mau tidak mau harus dilaksanakan. Imperatif ini memang kaku, sebagaimana dikatakan oleh Immanuel Kant, “ketika nilai moral dipertaruhkan, apa yang menentukan bukanlah tindakan yang terlihat, melainkan prinsip kedalaman yang tak terlihat.” Itu adalah kewajiban pada dirinya sendiri. Namun, kewajiban itu sendiri menjadi dasar-dasar bagi kepercayaan publik. Tanpa itu, dokter, advokat, guru, pebisnis, polisi, hakim tidak dapat dipercaya, baik sebagai individu maupun sebagai institusi.

Page 69: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 70: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 71: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

INTEGRITAS, FONDASI MORAL ANTIkORUPSI

BAB IV:

Integritas

Page 72: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 73: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

69

BAB IV

Bab ini dirancang dengan tujuan utama sebagai berikut:

1. Membantu mahasiswa untuk memiliki pengertian dan pemahaman yang tepat tentang arti dan makna serta pentingnya integritas dalam memerangi korupsi.

2. Membantu membangun kemampuan moral mahasiswa untuk menghargai proses yang benar dalam setiap upaya mengejar tujuan. Tujuan yang baik harus dicapai dengan alasan dan cara yang benar.

3. Berbekal pengertian dan pemahaman akan makna integritas, mahasiswa diharapkan terdorong untuk merawat dan mengembangkan integritas diri melalui perilaku kongkrit sehari-hari.

A. Pengantar

Korupsi masih menjadi kanker yang menggerogoti sendi kehidupan publik banyak negara terutama negara-negara berkembang. Korupsi bisa dilakukan secara individual maupun bersama-sama bahkan bisa melibatkan organisasi atau lembaga secara keseluruhan. Banyak energi, pikiran, waktu, dan biaya yang telah dihabiskan dalam upaya untuk memberantasnya. Entah sudah berapa banyak kasus korupsi yang ditangani lembaga penegak hukum. Kenyataannya, korupsi tetap saja hadir, bahkan semakin berkembang seakan tak akan pernah mampu disingkirkan. Penyakit sosial berupa suap yang berujung pada mislokasi berbagai dana bantuan pembangunan, gratifikasi, kick back yang menyasar pejabat publik, serta berbagai perilaku koruptif lainnya masih terus menjadi headline media cetak dan audio-visual. Predikat “kejahatan luar biasa” (extraordinary crime) yang disematkan pada penyakit sosial yang satu ini dengan sendirinya menjelaskan betapa berbahayanya korupsi bagi bangsa dan negara.

Tanpa bermaksud mengecilkan upaya hukum yang telah dilakukan sejauh ini, harus diakui bahwa hukum ternyata tidak cukup efektif menekan apalagi menyingkirkan korupsi. Banyaknya pejabat publik dan privat yang tertangkap Operasi Tangkap Tangan KPK dengan rentang jeda yang relatif singkat menunjukkan bahwa korupsi bukan sembarang kanker. Korupsi telah berkembang menjadi kanker ganas yang menggerogoti hampir semua sektor vital tubuh bernama negara dan bangsa dan karenanya sulit diberantas. Pertanyaannya, mengapa korupsi begitu sulit diberantas? Apakah benar ketimpangan ekonomi atau ketidakadilan sosial menjadi alasan utama terjadinya korupsi? Dimana sesungguhnya korupsi secara mendasar berakar?

Dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, kami mencoba menunjukkan bahwa akar persoalan korupsi bukan sekedar alasan yang bersifat “eksternal” melainkan “internal” dan bahkan bersifat inheren pada kepribadian manusia.

Page 74: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

70

BAB IV

Ada berbagai alasan yang mendorong terjadinya korupsi. Belajar dari pengalaman selama ini, yang sering diangkat ke permukaan sebagai alasan korupsi, pertama-tama adalah alasan ketidak-adilan ekonomi. Ada benarnya tetapi pasti tidak seluruhnya benar. Dalam keadaan terdesak, terutama pada tingkat menengah ke bawah korupsi (petty corruption) tidak sulit terjadi. Sadar akan gejala ini, kenaikan gaji atau tunjangan lazim diadopsi sebagai pendekatan untuk menekan angka korupsi. Apakah angka korupsi kemudian menurun?

Harus diakui, komitmen dan konsistensi penegak hukum kita tidak pernah luntur dalam upayanya memerangi dan mencoba memberangus korupsi. Pantauan ICW (Kompas.com. 2018/09/18) memperlihatkan bahwa laju menularnya kanker sosial ini mampu tertahan. Hasil olah data ICW (Indonesian Corruption Watch) menunjukkan bahwa angka penindakan korupsi pada semester I 2018 turun jika dibandingkan periode yang sama pada 2017. Wana Alamsyah, Staf Divisi Investigasi ICW, menyebutkan, pada semester I 2018, penegak hukum berhasil menindak 139 kasus korupsi dengan 351 orang ditetapkan sebagai tersangka. “Dibandingkan dengan tahun 2016 dan 2017 semester yang sama, terlihat penurunan yang cukup signifikan,” kata Wana dalam jumpa pers di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Selasa (18/9/2018). Wana mengungkapkan, pada semester I 2016, penegak hukum menindak 210 kasus korupsi dan menetapkan tersangka sebanyak 500 orang. Sementara, pada semester I tahun 2017 penindakan kasus korupsi oleh penegak hukum sebanyak 266 kasus dengan 587 tersangka. Dengan demikian, dalam semester I tahun 2017, penegak hukum berhasil menindak 56 kasus dengan 87 tersangka lebih banyak daripada yang terjadi pada tahun 2016. Grafik penindakan kemudian turun signifikan pada semester I 2018 dimana hanya terdapat 139 kasus atau 127 kasus lebih rendah dari tahun sebelumnya, dengan hanya 236 tersangka atau turun 351 kasus dari tahun 2017. Sekali lagi, data ini menunjukkan laju korupsi berhasil ditekan bahkan turun signifikan.

Adapun, kerugian negara yang timbul dari kasus korupsi pada semester I 2018 sebesar Rp 1,09 triliun dan nilai suap Rp 42,1 miliar. Ada berbagai modus korupsi, antara lain mark up, tindakan suap, pungutan liar, penggelapan, laporan fiktif, dan penyalahgunaan wewenang. Tetapi yang menarik, disampaikan Wana, meskipun hanya empat kasus korupsi berupa penyalahgunaan wewenang, nilai kerugian negara yang diakibatkannya tidak kecil, yakni sebesar Rp 569 miliar.

Merujuk pada data kasus yang berhasil ditindak dengan jumlah tersangka pelaku korupsi yang menurun signifikan, kita patut berbangga bahkan optimisme pemberantasan korupsi kembali menggeliat. Akan tetapi fakta bahwa hanya dengan empat kasus korupsi negara dirugikan sebasar Rp 569 miliar, kita harus kembali menegaskan bahwa kanker sosial itu luar bisa berbahaya dan tidak mudah dihentikan. Pertanyaan, mengapa korupsi tetap

Page 75: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

71

saja begitu liat untuk dihancurkan?

Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab satu, kenyataan tersebut di atas seharusnya menyadarkan kita bahwa korupsi memiliki alasan yang jauh lebih mendalam daripada sekedar alasan tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomis dan ketidak-adilan ekonomi. Faktor ekonomi bahkan sangat tidak tepat menjadi alasan untuk korupsi yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara. Gaji besar dan berbagai fasilitas yang disediakan negara untuk semakin memudahkan hidup mereka tidak terbukti berhasil menciutkan nyali korupsi para pejabat. Korupsi dengan efek kerugian besar bagi negara justru terjadi pada tingkat atas (grand corruption).

Dominasi orientasi ekonomis menegaskan sesuatu yang lebih mendalam dari sekedar kuatnya dorongan pemenuhan kebutuhan ekonomis. Kecenderungan itu justru menegaskan bahwa masyarakat (Indonesia), lebih menghargai having (kekayaan material) sebagai simbol kehormatan diri daripada being—aspek kualitas yang bersifat inheren pada kepribadian dan sekaligus menjadi basis pengembangan diri manusia sebagai makhluk bermartabat. Predisposisi ekonomis (having) yang dipelihara secara sadar justru membuka jalan bagi subyek untuk menggadaikan self-dignity (martabat manusia) demi kepentingan ekonomis. Pendekatan dan politik transaksional yang diperlihatkan oleh pejabat-pejabat publik yang kemudian menular menjangkiti masyarakat umum tidak saja menjadi bukti betapa kuatnya dominasi ekonomi, melainkan juga memperlihatkan betapa syahwat ekonomi telah mereduksi manusia menjadi semata-mata homo economicus.

B. Integritas, Fondasi Moral Antikorupsi

“Integritas”, sebuah istilah yang begitu sering kita dengar karena bisa dengan begitu mudah diucapkan oleh siapa saja termasuk pejabat-pejabat publik. Menjelang pemilihan presiden atau anggota legislatif, misalnya, kata “integritas” hampir pasti mengalami deflasi akibat begitu mudahnya istilah ini keluar dari mulut masyarakat. Itu wajar. Integritas selama ini selalu menjadi salah satu standar kualitas yang harus dipenuhi oleh para calon pemegang kekuasaan publik baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Apakah para calon pejabat memahaminya dengan baik? Mungkin “ya”. Tetapi apakah mereka memiliki komitmen kuat untuk mewujudkannya secara konsisten? Barangkali!

Tidak hanya dalam dunia politik. Dalam dunia bisnis pun, integritas menjadi acuan penting ketika, misalnya, berbicara tentang reputasi dan brand image bisnis. Integritas akan semakin mudah diangkat ke permukaan ketika perusahaan dihadapkan dengan kepentingan memiliki seorang CEO, seorang direktur atau manajer yang berkualitas. Hal itu wajar karena umum diyakini bahwa kredibilitas sebuah perusahaan sangat tergantung pada kualitas kepribadian para pengelola dan pengambil keputusan perusahaan. Reputasi

BAB IV

Page 76: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

72

dan nama baik perusahaan, di satu pihak, serta loyalitas dan kepercayaan konsumen atau publik terhadap perusahaan, di lain pihak, sangat tergantung pada kualitas kepribadian para pengelolanya ketika berhadapan dengan tantangan pemenuhan hak-hak stakeholders. Lalu, apa itu “integritas” dan mengapa integritas penting baik pada lingkup publik maupun privat? Bagaimana merawat dan mengembangkannya? Apakah integritas mencukupi untuk membangun sebuah bisnis, organisasi, lembaga, atau bahkan mengembangkan diri sendiri sebagai pribadi yang kredibel? Inilah beberapa pertanyaan mendasar yang coba dijawab dalam kaitannya dengan korupsi.

Sebelum memasuki diskusi substansial mengenai “integritas”, perlu sejak awal diberikan dua catatan kecil untuk menghindari salah-pengertian terhadap istilah “integritas”. Pertama, sebagian orang cenderung memaknai “integritas” tak lebih dari sikap “keras kepala” (stubbornness). Pemaknaan seperti itu sebetulnya keliru walaupun bisa dipahami. Secara literer “integritas” atau integrity dalam bahasa Inggris sejatinya diambil dari khazanah bahasa Latin integer, yang berarti kuat, kokoh, tidak goyah, atau tidak mudah terombang-ambing. Dengan makna positif seperti itu, “integritas” sejatinya merefleksikan kepribadian positif yang layak dimiliki setiap makhluk moral. Integritas bahkan seharusnya menimbulkan rasa terhormat dalam diri mereka yang memiliki keberanian (courage) untuk secara konsisten merawatnya (Robert C, Solomon, 1992: 168-174). Betapa berharganya “integritas” bagi manusia, telah membuat Solomon menegaskan bahwa mengabaikan integritas tidak hanya mengakibatkan subyek kehilangan kemampuan berwawasan jauh kedepan (short-sighted) melainkan dapat menghancurkan diri sendiri (self-destructive).

Kedua, integritas juga sering disamakan begitu saja dengan “kejujuran” (honesty). Integritas memang mengandaikan kejujuran sebagai nilai, akan tetapi tidak semua kejujuran pantas disebut merefleksikan integritas. Sebagaimana ditegaskan oleh Robert Solomon, kejujuran terlalu terbatas untuk merangkul seluruh kekayaan makna integritas. Alasannya, dalam prakteknya integritas malah bisa saja menuntut subyek untuk bertindak kurang jujur atau bahkan berbohong. Dalam kasus tertentu pasti tidak sulit untuk sepakat dengan Solomon. Misalnya saja, apakah seorang pejabat publik harus mengatakan dengan jujur semua kebijakan atau semua informasi negara, bahkan yang bersifat rahasia sekalipun, kepada pejabat publik negara lain? Kejujuran tentu saja sebuah keutamaan yang ikut menentukan kualitas kepribadian manusia. Akan tetapi kejujuran di dalam contoh rahasia negara ini tentu saja problematis dari sisi etika politik. Menjadi kewajiban moral setiap warga negara apalagi pejabat publik untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negaranya. Karena itu mengatakan secara jujur informasi-informasi yang berkaitan dengan rahasia negara merupakan pengkianatan dan karenanya harus ditolak dari segi etika sosial-politik. Dalam konteks seperti ini integritas dalam arti kejujuran tidak relevan diterapkan.

BAB IV

Page 77: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

73

Dengan catatan di atas, integritas lebih tepat dimaknai sebagai “keberanian moral (moral courage), kemauan, serta kehendak kuat untuk melakukan apa yang subyek sadari dan yakini sebagai kewajiban yang seharusnya (ought) ia lakukan”. Singkatnya, “integritas” adalah sikap yang kokoh, kuat, dan berani bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan moral subyek tentang apa yang menjadi kewajiban moral untuk melakukannya. Dengan demikian, kepatuhan terhadap sebuah perintah, atau loyalitas kepada organisasi, misalnya, hanya pantas dipenuhi sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan yang diyakini dan dibela oleh subyek. Itu juga berarti, ketika seseorang dengan rela bergabung dengan sebuah organisasi dan sepakat menerima apa yang menjadi nilai dan tujuan organisasi, misalnya, maka menjadi kewajiban moral bagi yang bersangkutan untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi. Sebaliknya, ketika organisasi berjalan di luar rel tujuan dan nilai-nilai organisasi maka anggota organisasi secara moral wajib untuk menolaknya. Itulah integritas.

Itu sebabnya Solomon menegaskan bahwa integritas memiliki dua makna yang berbeda, yakni, di satu pihak, menekankan pentingnya konformitas (conformity) dan kepatuhan (obedience). Namun, dilain pihak integritas juga menuntut independensi untuk menolak atau melakukan perlawanan (belligerent independence) terhadap setiap posisi moral yang bertentangan dengan keyakinan subyek. Dengan demikian, dalam konteks organisasi, integritas justru menegaskan kemampuan seseorang sebagai anggota organisasi untuk menempatkan diri serta bersikap loyal terhadap organisasi (sense of membership), namun pada saat yang sama juga tetap menghargai otonomi subyek untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan apa yang disadari sebagai kewajiban yang seharusnya ia lakukan (sense of autonomy). Untuk itu, integritas sejatinya menuntut kemampuan bersikap kritis. Subyek dituntut untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan kesadaran kritis otonom akan “apa-yang-seharusnya-saya-lakukan”. Itu berarti integritas menuntut subyek untuk jujur pada dirinya sendiri. Kejujuran bertindak sesuai dengan keyakinan moral pada gilirannya justru meningkatkan self-esteem dan self-respect subyek.

George Lee Butler (dalam J. C. Ficarrotta, 2001: 73-83) dalam sebuah refleksi personalnya tentang integritas menekankan betapa pentingnya integritas bagi seorang (prajurit) profesional. Menurutnya, tanpa integritas, seseorang pertama dan terutama akan kehilangan kepercayaan dan keyakinan publik atas profesionalisme yang dimilikinya. Bagi seorang pemimpin, misalnya, integritas merupakan landasan moral kekuasaan yang membuat seseorang memiliki kewibawaan dan karenanya mendorong dan menarik orang lain untuk mempercayakan hidup dan nasibnya kepadanya. Bahkan integritas sejatinya adalah basis legitimasi otoritas.

BAB IV

Page 78: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

74

Integritas menjadi semakin penting karena dalam kenyataannya setiap individu hampir selalu merupakan “pribadi-yang-terpecah” – setiap individu menjadi diri-sendiri dan sekaligus menjadi diri-organisasi atau masyarakat. Individu dihadapkan pada situasi dilematis ketika harus mengambil keputusan persis karena terjadinya benturan nilai-nilai individu, di satu pihak, dengan nilai-nilai organisasi, di lain pihak. Integritas individu diuji justru karena adanya benturan nilai. Pada titik ini, pertanyaan “Saya ingin menjadi manusia seperti apa?” menjadi krusial untuk diajukan pada diri sendiri. Pertanyaan itu menjadi alarm dan sekaligus gugatan terhadap individu dari segi integritas. Pertanyaan itu ingin menegaskan juga bahwa integritas lebih merupakan masalah yang berkaitan dengan standard serta otoritas yang dimiliki seseorang dalam mengambil keputusan tentang apa yang seharusnya ia lakukan.

Dengan demikian integritas menuntut seseorang untuk tidak sekedar menjadi pengikut, apalagi ikut-ikutan, dalam menjalankan peraturan, melainkan menjadi pribadi yang mengikuti peraturan karena “ia mengerti dan menerima untuk mematuhinya”. Melalui pengertian ia mampu mengubah peraturan yang datang dari luar menjadi “peraturanya-sendiri”. Di sini subyek bukanlah pribadi heteronom—pribadi yang patuh pada peraturan atau norma karena “paksaan” dari luar atau sekedar ikut-ikutan, melainkan pribadi yang otonom—pribadi yang teguh berpegang pada nilai-nlai dasar yang dianut dan dimilikinya, dan karenanya dalam bertindak ia senatiasa digerakkan serta didorong oleh kesadaran dan keyakinan kritis akan “apa-yang-seharusnya-saya-lakukan”.

Patut dicatat bahwa meskipun integritas menuntut bahwa norma-norma harus berisfat self-imposed dan self-accepted (memiliki kekuatan karena terbentuk melalui komitmen dan konsistensi subyek untuk selalu menyelaraskan sikap dan tindakannya dengan norma-norma dan keyakinan-keyakinan yang dianut), norma-norma itu tidak bisa berlaku secara sewenang-wenang. Norma-norma tetap harus dapat dipertanggungjawabkan. Harus terbuka kemungkinan untuk menghadapkan secara kritis sebuah norma dengan norma-norma lain atau dengan posisi lain yang diambil oleh subyek yang berbeda dalam menghadapi kasus tertentu. Dengan demikian, norma-norma yang menjadi rujukan integritas memiliki kekuatan untuk diterima karena memang tepat dan layak diterima. Tegasnya, integritas harus dibangun diatas fondasi sejumlah nilai positif yang mendukung kehormatan dan harga diri manusia sebagai makhluk moral. Karena itu, mendiskriminasi sekelompok anggota masyarakat demi menaikkan taraf hidup kelompok masyarakat lain, misalnya, pasti bertentangan dengan prinsip integritas. Tindakan ini bertolak-belakang dan bahkan mengkhianati integritas yang seharusnya dibela. Integritas menuntut bahwa upaya keras yang dilakukan untuk menggapai tujuan, haruslah ditempuh dengan alasan dan dengan cara yang benar. Itu berarti tujuan yang baik tidak dengan sendirinya membenarkan cara yang

BAB IV

Page 79: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

75

digunakan untuk mencapainya. Mendapat nilai A pada setiap mata kuliah yang ditempuh tentu saja membanggakan. Akan tetapi kebanggaan menjadi semu dan tidak bermakna apapun terutama dari segi kualitas intelektual ketika nilai A diperoleh dengan cara menyontek. Kecurangan (menyontek) justru menggerogoti self-dignity pelaku. Atau, menghadiahkan cincin berlian bagi sang istri tentu saja sebuah bentuk ungkapan cinta dan kasih sayang yang layak diapreasiasi. Akan tetapi ungkapan kasih sayang itu tidak memliki arti apa pun baik bagi yang menerima maupun yang memberi ketika diperoleh dari hasil penyalahgunaan kekuasaan. Disitu, self-dignity, baik pada diri pemberi maupun penerima pupus dalam waktu singkat hanya karena dibangun dengan bentuk dan cara yang salah (Richard T. De George, 2001: 215).

Keyakinan dan kesadaran akan nilai itulah yang membuat R. Solomon menegaskan bahwa integritas sejatinya merupakan sebuah kemampuan yang dimiliki atau tidak dimiliki seseorang, bukan tindakan atau aktivitas tertentu yang dilakukan seseorang. Integritas adalah kualitas moral yang melekat pada subyek, pada manusia, bukan pada tindakan atau aktivitas. Menyebut Pemilu yang berintegritas, misalnya, adalah contoh penggunaan istilah integritas yang secara populer bisa dipahami, akan tetapi secara akademis sekurang-kurangnya tidak seluruhnya tepat. Yang diperlukan adalah pengelola dan penyelenggara Pemilu serta peserta Pemilu yang berintegritas untuk melaksanakan Pemilu sesuai dengan standar yang seharusnya sehingga boleh diharapkan bahwa Pemilu akan membuahkan hasil yang berkualitas dan karenanya patut diterima oleh siapapun, termasuk yang tidak beruntung dalam pemilihan.

Dengan demikian, esensi integritas adalah keteguhan (thoughness) dan keutuhan (wholeness) kepribadian yang terungkap melalui keselarasan antara nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan yang dimiliki subyek dengan perilaku dan tindakannya. Six & Huberts (2008) memperkuat definisi yang disajikan R. Solomon dengan menambahkan dimensi incorruptibility dan exemplary moral behavior sebagai bagian dari esensi integritas. Dengan esensi seperti itu, tidak mengherankan ketika seseorang bisa dengan mudah dicap tidak berintegritas hanya karena satu perbuatan buruk yang dilakukannya. Sebaliknya, seberapapun banyaknya perbuatan baik yang dilakukan tidak dengan sendirinya membuat individu yang bersangkutan layak disebut pribadi yang berintegritas. Hal itu bisa dipahami terutama karena perbuatan baik tak jarang dilakukan sebagai tabir kamuflase untuk menutupi kekurangan. Seorang pejabat (publik atau privat), misalnya, bisa saja dengan mudah mencela korupsi sebagai perbuatan tidak bermoral walaupun dalam prakteknya perilaku dan tindakannya lebih sering tak selaras dengan ucapannya. Itu terjadi karena “penampilan” (appearance) sering kali lebih penting daripada kualitas kepribadian sesungguhnya. Itulah yang terjadi pada pribadi hipokrit (hypocrite). Seorang hipokrit secara moral tidak berintegritas, karena ia gagal

BAB IV

Page 80: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

76

“to practice what he preaches”. Apa yang ia katakan tidak sesuai dengan apa yang ia lakukan. Terjadi fragmentasi kepribadian.

Distingsi antara “rules in form” dan “rules in use” yang dikemukakan oleh Elinor Ostrom (lihat Bob Ornsthstein, 2017), bisa membantu untuk lebih memahami fragmentasi kepribadian. Dengan distingsi itu Ostrom ingin menegaskan bahwa sesungguhnya tersedia norma-norma sosial dalam masyarakat dan anggota masyarakat memang mengetahuinya dan bahkan mengakuinya meskipun tidak diformalisasi, tidak ditetapkan secara resmi. Meskipun mengetahui dengan baik, dalam prakteknya norma-norma sosial tidak digunakan sebagai panduan untuk hidup dan bertindak sebagaimana seharusnya sesuai dengan pengertian dan pengetahuan yang dimiliki. Tanpa ketetapan formal sekalipun, semua orang, termasuk para pejabat baik publik maupun privat, mengerti dan menyadari bahwa korupsi secara moral buruk dan harus dihindari (rules in form). Akan tetapi dengan alasannya masing-masing, korupsi tetap saja dilakukan. Dengan kata lain, norma sosial hanya dimengerti tetapi tidak dipraktekkan (rules in use) karena tidak terinternalisasi menjadi bagian integral identitas diri.

Bagi R. Solomon, di dalam pribadi hipokrit juga melekat berbagai kekurangan moral lainnya khususunya sifat suka menipu atau berbohong yang memang secara sadar dilakukan untuk menutupi kekurangan atau ketimpangan kualitas moral. Mereka menjadi manusia hipokrit dengan berbohong tidak hanya kepada orang lain tetapi juga kepada dirinya sendiri. Mereka bahkan harus berbohong pertama-tama kepada dirinya sendiri untuk kemudian berbohong kepada orang lain. Dan sekali ia berbohong, ia akan terus memproduksi kebohongan lain untuk menutupi kebohongan sebelumnya.

Ada berbagai cara yang digunakan seorang yang tidak berintegritas untuk menutupi perilaku buruknya. Cara yang paling sederhana adalah menyangkal perbuatannya. Ketika seorang hipokrit melakukan sebuah pelanggaran, ia akan dengan segala macam cara berusaha untuk menutupinya. Tak jarang penyangkalan dilakukan dengan strategi yang sophisticated dan berbelit-belit untuk mempersulit upaya pelacakannya. Mempermainkan bahasa untuk menciptakan nuansa berbeda atas kejahatan yang dilakukannya juga menjadi cara lain yang digunakan pribadi hipokrit untuk menutupi perbuatan buruknya. Ketika dituduh dan bahkan sesungguhnya terbukti mencuri motor, misalnya, seorang hipokrit bisa dengan enteng mengatakan “Saya tidak bermaksud mencuri; saya hanya ingin meminjamnya untuk sementara waktu”. Pribadi hipokrit juga bisa menutupi perilaku buruknya dengan apa yang disebut self-effacing humor. Ia, misalnya, bisa dengan enteng mengatakan: “Jangan melakukan apa yang saya lakukan, tetapi lakukan apa yang saya katakan”. Ia lupa bahwa humor seperti itu sejatinya hanya mengalihkan perhatian dan tidak sungguh-sungguh menghilangkan perbuatan buruknya.

BAB IV

Page 81: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

77

Tidak mengherankan ketika seorang koruptor (dan pelaku kejahatan lainnya) cenderung menyangkal perbuatan yang disangkakan kepadanya. Dengan berbagai cara dan dalih serta dengan dukungan penasehat hukum yang juga layak diragukan integritasnya, para koruptor akan berusaha menolak semua tuduhan. Ada beberapa kemungkinan alasan untuk itu. Pertama, demi menghindari hukuman apalagi tindakan yang berpotensi diancam dengan hukuman yang sangat berat. Kedua, hukuman selalu meninggalkan stigma negatif yang sangat sulit dihilangkan. Itu sebabnya, sekali lagi, hanya dengan satu perbuatan buruk saja dapat dengan mudah seseorang dicap tidak berintegritas; sebaliknya, seberapapun banyaknya perbuatan baik yang dilakukan tidak dengan sendirinya membuat seseorang dipandang berintegritas. Ketiga, seberapapun kecilnya, lilin kecil self-dignity masih dicoba dijaga untuk terus bernyala juga oleh seorang koruptor kakap sekalipun. Sayangnya, demi api lilin kecil benama self-dignity itu kebohongan demi kebohongan harus terus diproduksi dan dipamerkan dalam proses penyidikan dan peradilan. Dengan begitu self-dignity coba dibela dan dipertahankan namun dengan cara yang justru semakin menghancurkan self-dignity itu sendiri. Itulah moral cost yang harus dibayar oleh seorang hipokrit.

Dengan demikian, integritas berhubungan erat terutama dengan kejujuran (honesty) dan keberanian moral (courage) untuk mengatakan atau melakukan apa yang seharusnya (ought) dikatakan atau dilakukan. Menutup uraian sejauh ini, secara singkat bisa kita rumuskan enam point penting berikut ini untuk mempertegas makna integritas.

Pertama, integritas menunjuk pada kemampuan dan kualitas moral yang dimiliki atau tidak dimiliki seseorang. Integritas tidak menunjuk pada perbuatan atau aktivitas melainkan pada person yang memiliki atau tidak memilikinya. Perbuatan atau aktivitas hanyalah refleksi integritas, bukan integritas itu sendiri.

Kedua, di dalam istilah integritas termuat disposisi moral yang memampukan subyek untuk berani melakukan yang baik dan menghindari yang buruk. Dengan demikian integritas dalam dirinya memuat keutamaan-keutamaan moral seperti honesty, fairness, benevolence, self-respect, dan courage, yang memungkinkan seseorang mampu mengarahkan hidupnya sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini dan diperliharanya dengan baik dalam hidupnya.

Ketiga, hipokrasi merupakan tampilan manipulatif dari pribadi yang tidak berintegritas. Hipokrasi sejatinya adalah sikap yang menghalalkan kebohongan dan karenanya subyek berpotensi untuk terus memproduksi kebohongan demi menutupi aib. Meskipun begitu, hipokrasi atau tampilan manipulatif hanya dapat mengalihkan perhatian namun tidak pernah bisa menghilangkan perbuatan buruk itu sendiri. Hipokrasi bahkan menjadi jalan untuk semakin menghancurkan self-dignity.

BAB IV

Page 82: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

78

Keempat, adalah mudah bagi seseorang untuk kehilangan predikat “berintegritas” akan tetapi sangatlah sulit untuk membangun diri menjadi pribadi yang layak menyandang predikat “berintegritas”. Hal ini mudah dipahami karena integritas pertama-tama bukan masalah pengetahuan melainkan persoalan keberanian dan kekuatan moral untuk menyelaraskan sikap dan tindakan dengan nilai-nilai dan keyakinan mendasar subyek yang senantiasa berada dalam tantangan pragmatisme.

Kelima, integritas menuntut komitmen dan konsistensi untuk membuatnya terus bersemi, tumbuh dan berkembang serta terpatri menjadi karakter yang kokoh. Komitmen dan konsistensi itu tidak diperlihatkan melalui perkataan melainkan pertama-tama dan terutama melalui perbuatan.

Dan, keenam, terakhir, ucapan Inggris “Deeds speak louder than words” relevan diterapkan dalam konteks membangun integritas moral dan sekaligus memerangi kemunafikan.

C. Menekan Korupsi, Memelihara dan Mengembangkan Integritas

Sebelum masuk dalam diskusi tentang memelihara dan mengembangkan integritas, adalah penting menjawab dua pertanyaan berikiut ini: pertama, uraian sejauh ini memperlihatkan bahwa integritas bersifat personal. Integritas mengacu pada karakter pribadi yang tidak dengan sendirinya diterima atau diakui secara luas oleh masyarakat umum. Kalau demikian halnya, bagaimana integritas berfungsi efektif memerangi korupsi yang merupakan penyakit sosial? Dan, kedua, mengapa integritas gagal terwujud menjadi bedrock perilaku etis?

Dari segi etika, isu integritas masuk dalam wilayah etika keutamaan (virtue ethics). Berbeda dengan teori etika utilitarianisme dan deontologi yang membimbing kita menemukan prinsip moral sebagai basis untuk bertindak, etika keutamaan justru menekankan pentingnya komitmen dan konsistensi untuk selalu melakukan apa yang diyakini “baik” dan “benar”. Etika keutamaan menekankan predisposisi berupa keberanian moral (moral courage) untuk selalu bertindak sesuai dengan nilai-nilai serta keyakinan-keyakinan moral subyek tentang apa yang baik dan benar. Semakin seseorang bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan moral yang dimilikinya, semakin ia meneguhkan nilai-nilai dan keyakinannya sendiri dan dengan demikian membuatnya semakin berkembang menjadi pribadi yang berintegritas. Seseorang tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang jujur dan adil karena ia yakin bahwa kejujuran dan keadilan adalah nilai yang pantas dibela. Untuk itu, ia akan senantiasa berusaha untuk selalu bertindak jujur dan adil, juga ketika tidak ada seorangpun menyaksikan perbuatannya. Itu sebabnya Immanuel Kant, menekankan pentingnya prinsip universalizability dalam

BAB IV

Page 83: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

79

bertindak. Prinsip tersebut menekankan: (1) pentingnya menghindarkan diri dari godaan untuk mengecualikan diri atau menerapkan standar ganda dalam bertindak; (2) sebelum bertindak, ajukan pertanyaan: “Bagaimana kalau setiap orang melakukannya?” Misalnya saja, korupsi yang dilakukan hanya oleh satu orang, dampak negatif yang diakibatkannya barangkali tidak signifikan. Akan tetapi apa yang terjadi apabila setiap orang melakukannya? (lihat John R. Boatright, 2003: 54).

Dengan demikian, menekan korupsi, di satu pihak, dan memelihara integritas, di lain pihak, harus dimulai dengan kesadaran untuk secara konsisten bertindak atau berperilaku sesuai dengan predisposisi moral, yakni komitmen untuk senantiasa hanya melakukan apa yang “baik” dan “benar”. Lalu bagaimana seseorang secara konsisten bertindak sesuai dengan predisposisi moral yang dimilikinya?

Pada prinsipnya tidak ada orang yang dilahirkan dalam keadaan yang seutuhnya memiliki atau tidak memiliki predisposisi moral. Setiap individu pasti memiliki potensi berupa keterarahan untuk melakukan apa yang baik dan benar. Yang dibutuhkan adalah upaya merawat potensi itu agar tumbuh dan berkembang menjadi karakter pribadi yang kokoh. Internalisasi keutamaan yang dilakukan secara konsisten melalui keluarga, sekolah, atau masyarakat umum pasti sangat membantu terbentuknya kesadaran untuk selalu melakukan “yang baik” dan “yang benar” dan menghindari “yang buruk” dan “yang salah”. Integritas dengan demikian dipelihara dan dikembangkan melalui proses habituasi. Kata orang bijak: “bisa karena biasa”.

Akan tetapi apakah proses habituasi akan selalu berjalan mulus sehingga efektif mencegah perilaku tak bermoral? Terhadap pertanyaan ini George Lee Butler mencatat beberapa hal yang bisa saja menghambat tumbuh dan berkembangnya integritas.

Pertama, integritas bisa gagal berkembang karena subyek tidak memiliki kualitas karakter yang secara fundamental memadai untuk membedakan siapa dia dan untuk apa dia berada dalam suatu jabatan atau posisi tertentu. Ketika seorang pejabat publik tidak memahami dengan benar esensi jabatannya, ia akan lupa melakukan apa yang seharusnya ia lakukan dan sibuk membangun identitas diri dengan memupuk kekuasaan dan bukan dengan apa yang seharusnya ia lakukan. Itu sebabnya Butler menegaskan bahwa orang hebat adalah orang yang mencari kekuasaan untuk berbuat, bukan untuk menciptakan singgasana dan menetap di sana (Great men seek power to do, not to be). Tidak berlebihan ketika Aristoteles, filsuf Yunani, mengingatkan untuk tidak memilih calon pejabat yang senang berkuasa; pilihlah orang yang tidak suka menjadi penguasa. Mengapa? Karena orang yang mencintai kekuasaan akan sibuk menciptakan kondisi untuk mempertahankan kekuasaan dan karenanya lupa untuk melayani kepentingan publik. Padahal,

BAB IV

Page 84: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

80

semakin lama berkuasa, semakin terbuka peluang untuk menyalah-gunakan kekuasaan. Kata Lord Acton, “Power corrupts and absolute power corrupts absolutely.”

Kedua, integritas bisa gagal dipelihara dan berkembang karena kelemahan manusiawi (human frailty), suatu kelemahan dalam bentuk ketakutan yang sesungguhnya sederhana tetapi berpengaruh pada perilaku etis subyek. Trauma akibat kegagalan dalam ujian, misalnya, bisa mendorong seseorang untuk berlaku curang dalam ujian. Atau, ketakutan akan kegagalan memenuhi target mendapatkan proyek yang potensial memberikan keuntungan besar bagi perusahaan, akan mendorong seseorang untuk melakukan penyuapan terhadap pejabat publik demi memenangkan lelang. Ketakutan menghadapi masa pensiun, misalnya, bisa saja mendorong seseorang untuk melakukan korupsi untuk mengamankan masa tuanya. Kita bahkan gagal mengembangkan diri sebagai pribadi yang berintegritas ketika memberikan toleransi (karena takut konflik) terhadap kesalahan orang lain yang kita tahu bertentangan dengan peraturan atau melanggar nilai-nilai moral.

Ketiga, integritas bisa gagal dipelihara karena kurang atau bahkan tidak adanya kompetensi memadai dalam menghadapi tantangan. Sebagian orang menduduki posisi atau jabatan bukan karena alasan kompetensi melainkan hasil dari kolusi dan nepotisme koruptif atau alasan-alasan yang tidak sesuai dengan tuntutan profesionalisme. Yang muncul kemudian adalah sikap dan perilaku koruptif untuk menutupi incompetence.

Keempat, ketimpangan dalam penalaran moral bisa menjadi alasan lain munculnya sikap dan perilaku yang jauh dari kualitas integritas yang seharusnya dimiliki seseorang. Bisa saja seseorang gagal melihat dimensi dan konsekuensi moral dari apa yang dilakukannya. Demi nama baik rekan dan lembaga, misalnya, seseorang bisa berusaha menutupi kesalahan (korupsi) yang dilakukan rekan kerjanya. Disini, menutupi kesalahan dilihat sebagai perbuatan baik dan karenanya kebohongan yang dilakukan untuk menutupi kesalahan dianggap baik (secara moral). Yang dilupakan adalah tindakan menutupi perbuatan koruptif melalui kebohongan justru menjadi pupuk tumbuh dan berkembangnya sikap dan tindakan koruptif dengan skala yang lebih besar baik kuantitatif maupun kualitatif.

Lalu, apa yang harus dilakukan untuk menumbuh-kembangkan integritas? Jawaban umum, tetapi tidak dengan sendirinya efektif dalam menghadapi perilaku koruptif dan sekaligus mengembangkan kualitas integritas adalah diperlukan seperangkat peraturan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan prinsip-prinsip yang memang bisa diterapkan dalam wilayah etika publik. Peraturan serta nilai-nilai atau prinsip-prinsip tersebut harus, paling sedikit, dapat diterima dan dipertanggungjawabkan secara rasional meskipun dalam prakteknya (barangkali) sulit diterapkan seara konsisten. Untuk itu, strategi

BAB IV

Page 85: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

81

internalisasi menjadi penting. Dari mana kita harus mulai untuk membangun integritas untuk memerangi korupsi? Adalah kenyataan bahwa korupsi selalu dilakukan dalam konteks yang tidak terlepas dari kedudukan struktural kelembagaan. Dan karena itu isu good governance architecture lembaga relevan dikemukakan dalam konteks memerangi korupsi.

D. Pilar membangun Integritas

Menjawab pertanyaan, apa yang harus dilakukan untuk mengembangan kan integritas, Six and Huberts (2008) mengajukan enam pilar penting berikut ini.

1. Political willEtika publik menjadi fondasi (bedrock) utama dalam memelihara dan mengembangkan integritas dalam ruang publik. Untuk itu diperlukan kemauan politik kuat dari pemimpin tertinggi organisasi untuk membangun integritas. Leading by example, apalagi dalam masyarakat paternalistik, menjadi sangat penting. Disini, nilai-nilai moral menjadi penting dan karenanya berkontribusi positif pada kinerja lembaga, bukan karena terus disosialisasikan dengan kata-kata melainkan karena diwujudkan secara kongkrit melalui perilaku leadership. Itu berarti leading by example juga harus dimengerti sebagai leading by values. Upaya ke arah ini sering menjadi kontra produktif karena pemimpin-pemimpin, terutama pemimpin politik, tidak sungguh-sungguh memerangi korupsi. Retorika manipulatif cenderung dipertontonkan

BAB IV

6 Pilar Integritas

Political WillTransparansiAkuntabilitasPertisipasi PublikPeraturan HukumRuang Demokrasi

Page 86: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

82

dan dengan demikian secara sadar menafikkan keselarasan antara kata dan perbuatan. Ucapan Six & Huberts berikut ini sangat layak untuk dicamkan. Katanya: “A leader is a person with high-level integrity. To have Integrity is to have a coherent set of principles and values which are in line with a moral filter. It means incorruptibility and the state of rightiousness”. Dengan demikian, membangun integritas dalam konteks organisasi (publik) harus dimulai dari pimpinan untuk pada giliran mampu menjadi model integritas. Ini penting karena dalam masyarakat yang cenderung paternalistik berlaku pepatah: “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Seluruh organisasi akan menjadi lebih buruk ketika berada di tangan pemimpin yang buruk dari segi etika publik.

2. TransparansiPemerintah harus terbuka untuk senantiasa membuat warganya melek terhadap berbagai isu strategis negara, terutama yang berdampak pada kehidupan mereka, serta kebebasan dan kemerdekaan mereka. Transparansi akan mendorong munculnya kesadaran publik untuk berpartisipasi untuk mengontrol dan berkontribusi kongkrit demi suksesnya sebuah kebijakan. Dengan demikian baik pejabat publik dan masyarakat umum sama-sama merasa terikat oleh kebijakan dan undang-undang yang berlaku dan karenanya efektif dalam penerapannya. Parlemen, dalam hal ini, harus berada pada garis terdepan untuk memastikan bahwa seluruh produk legislatifnya tersosialisasi dengan baik, dengan catatan, sosialisasi tidak hanya sebatas retorika melainkan terutama melalui perilaku yang memperlihatkan pembelaan real dan genuine terhadap undang-undang. Ini penting dicatat karena tidak jarang undang-undang dibuat serta berlaku dan mengikat bagi segenap warga negara, termasuk anggota parlemen, tetapi dalam kenyataannya selalu saja ada “trik-trik kwasi-legal” yang dimainkan untuk menutupi borok koruptif pribadi atau rekan sejawat.

3. AkuntabilitasPrinsip ini terwujud melalui pemanfaatan berbagai resources dan jasa publik untuk memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat atau demi kepentingan umum. Setiap tindakan di luar jalur itu harus sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Katakan saja, apakah boleh seorang pejabat publik menggunakan otoritas jabatannya untuk mendapatkan pelayanan publik khusus bagi anggota keluarganya? Anggota keluarga sebagai warga negara tentu saja berhak mendapatkan pelayanan publik. Tetapi konteks “keluarga” dalam kasus ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Karena itu perlu pertanggungjawaban yang jelas dan dapat diterima

BAB IV

Page 87: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

83

(reasonable) publik ketika hal seperti itu memang harus dilakukan.

4. Partisipasi publikDemokrasi meniscayakan partisipasi aktif publik, termasuk media, dalam pengelolaan negara. Kritik selalu harus punya tempat dalam ruang publik; namun supaya kritik tidak melabrak asas fairness dan responsibility dalam tata-kelola yang baik (good governance), kritik harus dilakukan dengan motif demi kebaikan umum dan bukan demi kepentingan eksklusif diri sendiri atau segelintir orang. Untuk itu obyektivitas dan reasonableness perlu dijaga agar kritik tidak berubah menjadi fitnah yang justru semakin memperkeruh keadaan. Efektivitas partisipasi publik ini sangat tergantung juga pada kesediaan bersikap transparan dari sisi pejabat publik.

5. Peraturan hukumPilar ini menuntut pentingnya negara memiliki pembuat dan penegak hukum yang berintegritas. Alasannya jelas. Peraturan hukum menjadi hukum karena memenuhi asas fairness, impartiality, and integrity. Itu berarti, hukum memiliki kekuatan mengikat karena dilahirkan oleh anggota legislatif yang menjunjung tinggi asas fairness, impartiality, dan integrity. Hanya dari anggota parlemen dengan kualitas kepribadian yang menjunjung tinggi asas-asas teresebut, kita boleh berharap bahwa hukum lahir dan hadir demi kepentingan atau kebaikan umum.

Tuntutan yang sama berlaku bagi penjabat yudikatif. Pada akhirnya praktek dan penegakan hukum menjadi bukti kongkrit apakah asas “kesamaan di depan hukum” sungguh-sungguh ditegakkan. Inkonsistensi lembaga dalam menerapkan asas-asas tersebut dalam mengemban dan melaksanakan tugas publiknya akan menjadi pelajaran buruk yang menyuburkan sikap dan perilaku “tak-peduli-hukum” (unlawfulness) dalam masyarakat, umumnya, dan pejabat publik, khususnya. Dokrin “ultra vires in action” pantas ditegaskan dalam konteks ini. Doktrin itu menegaskan pentingnya keberanian tanpa takut sedikitpun untuk mencopot seorang hakim dari jabatannya untuk kemudian menggantinya dengan pejabat baru yang kredibel (memiliki kompetensi dan integritas yang memadai untuk posisinya). Dengan demikian, berperilaku sesuai dengan hukum, peraturan, dan prosedur yang seharusnya menjadi penting sebagai bagian dari menegakkan hukum dan sekaligus memupuk tumbuh dan berkembangnya integritas secara umum dalam lembaga. Hal yang sama juga perlu diusahakan dalam dunia bisnis. Kenyataan memperlihatkan bahwa kolusi sistematis antara kekuasaan politik (publik) dan kekuasaan ekonomi ikut berkontribusi dalam berkembang dan menularnya korupsi.

BAB IV

Page 88: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

84

6. Ruang demokrasiPilar ini penting untuk dirawat karena kita hidup dalam sebuah era dimana masyarakat semakin sadar akan hak-haknya yang harus dilindungi dan bahkan harus difasilitasi realisasinya oleh negara. Hak atas hidup yang layak, hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan yang baik, hak politik untuk berpatisipasi aktif dalam menentukan masa depan negara melalui pemilihan anggota legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden, adalah beberapa hak mendasar masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara. Tuntutan pemenuhan hak-hak ini menjadi bentuk kontrol publik dan sekaligus indikator kinerja pejabat publik sebagai refleksi perwujudan kepercayaan publik atas kekuasaan yang telah diperoleh pejabat publik dari masyarakat. Demokrasi dengan demikian merupakan manisfestasi dari integritas di dalam ruang publik.

Inkonsistensi dalam menjaga dan merawat integritas demi memerangi korupsi bisa berakibat negatif serius pada mentalitas dan moralitas bangsa secara keseluruhan. Korupsi akan terus tumbuh subur akibat tidak ada upaya serius membangun integritas melalui perilaku kongkrit pemangku kekuasaan baik publik maupun privat. Sadar akan terus menularnya penyakit sosial itu, Lee Butler menyarankan beberapa hal berikut di bawah ini.

1. Hal yang pertama dan utama adalah mengembangkan pengertian tentang apa yang akan terjadi jika integritas dibiarkan tak terawat? Masyarakat dan pemegang kekuasaan harus terus menerus disadarkan akan dampak negatif yang berpotensi semakin merusak bangsa dan negara akibat hilangnya kemampuan dan keberanian moral untuk senantiasa “bertindak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan”. Mempelajari etika sebagai sistem pemikiran moral akan membantu mengembangkan sense of responsibility dan accountability melampaui kepentingan diri sendiri dan sekaligus mendorong pemahaman mendalam tentang implikasi negatif dari pengabaian terhadap integritas. Pendidikan etika sedini mungkin akan membantu pengembangan sikap altruis—sikap yang senantiasa mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Apa yang ditegaskan diatas patut mendapat perhatian serius. Daftar panjang koruptor yang ada di tangan KPK dengan sendirinya membenarkan pandangan Butler ini. Terlalu banyak orang terlibat korupsi bukan karena alasan ketimpangan apalagi ketidakadilan ekonomi tetapi semata-mata karena penyakit sosial bernama kerakusan (greediness). Dalam dunia bisnis, misalnya, skandal Enron pada tahun 2002—manipulasi laporan keuangan untuk mengelabui publik tentang kinerja perusahaan dan sekaligus menarik minat investor—menjadi contoh

BAB IV

Page 89: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

85

paling jelas betapa integritas moral digadaikan demi memuaskan keserakahan ekonomi. Kasus subprime mortgage yang dilakukan oleh Lehman Brothers yang akhirnya membawa lembaga keuangan terpercaya itu gulung tikar pada tahun 2008 menjadi contoh lain kerakusan ekonomi dalam dunia bisnis. Defisit integritas moral tidak sulit membawa seseorang dengan tingkat kompetensi tinggi sekalipun untuk menjerumuskan diri dalam perilaku koruptif.

2. Pentingnya mengembangkan mental thoughness—yakni, kemampuan moral untuk tidak terombang-ambing oleh situasi dan bahkan bersedia memikul tanggungjawab melampaui kepentingan diri sendiri. Dalam konteks kepemimpinan, mental thoughness terlihat lewat keberanian untuk tidak memberi toleransi pada pelanggaran atas standar perilaku organisasi. Di sini diperlukan dukungan seorang pemimpin berkarakter kuat yang dalam bahasa Ferrell dan Gardiner (1991: 99-114), disebut though-minded leader—yakni, tipe pemimpin yang berprinsip kokoh dan karenanya mampu menjadi model yang mendorong berkembangnya integritas dalam diri mereka yang dipimpin. Namun, yang sering kita alami dalam praktik adalah lebih banyak pemimpin yang bertipe entah though-guy leader atau nice-guy leader. Seorang though-guy leader cenderung otoritarian. Ketimbang bersedia secara terbuka mempertanggungjawabkan tindakannya secara rasional, ia lebih memilih bersembunyi di balik peraturan dalam menyelesaikan persoalan. Ia abai membangun persuasi rasional dengan akibat peraturan tidak terinternalisasi dengan baik. Bawahan pun hanya patuh ketika ia hadir; akan tetapi mereka akan menari-nari mengangkangi manajemen ketika mereka jauh dari pantauan pemimpin. Sedangkan tipe nice-guy leader cenderung menghindari konflik dan mempertahankan posisinya dengan selalu bersikap manis terhadap bawahan. Inilah tipe pemimpin yang enggan menyelesaikan persoalan secara cepat, cerdas, dan terbuka. Tidak mengherankan apabila ia kemudian memilih menyelesaikan persoalan dengan membiarkannya berlalu ditelan angin. Nice-guy leader adalah tipe pemimpin yang tidak berprinsip, tidak memiliki integritas moral memadai untuk membawa organisasi tumbuh dan berkembang ke arah yang seharusnya. Iklim manajemen yang berkembang dalam kultur though-guy leadership atau nice-guy leadership pasti membuka peluang besar munculnya perilaku koruptif.

3. Untuk membantu berkembangnya integritas dalam organisasi, penting bahwa segenap anggota organisasi harus memiliki sense of perspective, sebuah kemampuan untuk berpegang teguh dan fokus pada tujuan, visi, dan misi organisasi dengan menghindari conflict of interest. Begitu masuk dan menjadi bagian dari organisasi, seseorang

BAB IV

Page 90: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

86

harus mendahulukan kepentingan organisasi sejauh organisasi berjalan pada rel yang seharusnya. Dengan demikian pemenuhan kepentingan diri harus dilihat sebagai konsekuensi dari pemenuhan kewajiban terhadap organisasi dan bukan sebaliknya.

Dengan pandangan seperti di atas Butler memberikan tiga panduan kongkrit sebagai berikut untuk merawat dan mengemangkan integritas.

1. Selalu melakukan dan mengatakan yang benar. Jangan berbohong, mencuri, jangan terbiasa mencari alasan pemaaf, dan jangan takut akan konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan.

2. Bekerja keras tetapi dengan alasan yang benar untuk mencapai tujuan organisasi bukan tujuan pribadi.

3. Jalani hidup dengan sikap seolah-olah suatu waktu anda harus mempertanggungjawabkan setiap moment, setiap tindakan, dan setiap ucapan, baik yang dilakukan dalam wilayah publik ataupun privat.

Pertanyaannya, apakah dengan menjalani semua panduan diatas integritas moral akan dengan sendirinya terbentuk? Bagaimana kalau yang terjadi adalah subyek salah merespon situasi tidak etis? Sudah ditegaskan sebelumnya bahwa respon yang tepat secara etis menuntut integritas tetapi juga kompetensi. Artinya setelah menyadari dan mengetahuai apa yang seharusnya dilakukan, subyek harus memiliki kompetensi untuk mewujudkan keyakinannya. Pertanyaannya, bagaimana merespon secara etis perilaku yang tidak etis? Pertanyaan ini penting karena intuisi etis secara umum berkembang dalam konteks yang tidak bersentuhan langsung dengan korupsi. Karena itu, melengkapi atau mendukung beberapa tindakan untuk memelihara dan mengembangkan integritas moral sebagaimana telah dirumuskan di atas, beberapa panduan umum yang dirumuskan oleh Richard T. De George (2001: 216-228) berikut ini bisa lebih membantu kita dalam merespon perilaku tidak etis.

Pertama, dalam merespon tindakan yang tidak etis, jangan menghancurkan norma-norma atau nilai-nilai yang Anda upayakan untuk memeliharanya dan karenanya Anda gunakan untuk menilai tindakan yang tidak etis.

Seperti yang telah ditegaskan juga sebelumnya, jangan memerangi ketidak-adilan dengan cara yang tidak adil, karena menggunakan cara tidak adil sesungguhnya menghancurkan keadilan itu sendiri. Tegakkan keadilan dan kebenaran dengan cara yang adil dan benar. Siapapun juga secara etis tidak diperkenankan melakukan perbuatan yang tidak etis.

Kedua, karena tidak ada peraturan spesifik bagaimana merespon tindakan tidak etis, untuk memberikan respon yang dibenarkan secara etis, gunakan imaginasi moral Anda.

BAB IV

Page 91: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

87

Mahatma Gandhi, misalnya, menjadi contoh yang baik yang diambil De George untuk menjelaskan posisinya. Daripada berkonfrontasi langsung dengan kekerasan senjata melawan Inggris, Gandhi memilih mengambil “aksi pasif”; dan Gandhi membuktikan bahwa cara yang diambilnya ternyata efektif membebaskan India dari penjajahan Inggris tanpa harus menggunakan kekerasan yang berpotensi melanggar etika. Apa yang dilakukan Gandhi juga mengajarkan kepada kita bahwa berpegang pada prinsip etika itu penting, akan tetapi jauh lebih penting lagi apabila prinsip yang dianut mendapatkan wujudnya melalui tindakan kongkrit. Itulah integritas. Jalan yang dipilih Gandhi menegaskan kepada kita bahwa prinsip-prinsip etika tidak harus dibela dengan kekerasan dan dengan pengorbanan yang tidak perlu. Tindakan kekerasan berpotensi membahayakan nilai-nilai moral yang justru harus dibela. Dengan cara itu, Gandhi memperlihatkan bahwa etika sejatinya berurusan dengan praxis hidup dan karenanya perwujudannya dalam tindakan kongkrit menjadi penting dalam upaya melawan tindakan yang tidak etis. Sekali lagi, itulah pentingnya integritas.

Ketiga, apabila respon terhadap immoralitas (perilaku tidak etis) melibatkan ritaliasi atau kekerasan yang dapat dibenarkan, gunakan prinsip menahan diri dan tenang (restraint).

Apabila kekerasan memang harus diambil untuk mengatasi persoalan tidak etis, pastikan bahwa itu merupakan jalan terakhir dengan tingkat kekerasan seminimal mungkin. Alasannya jelas. Pertama-tama, kekerasan selalu membahayakan dan karenanya harus dihindari; dan kedua, menjadi prinsip moral dasar dalam situasi seperti ini untuk tidak melakukan kekerasan yang sesungguhnya dapat dihindari. Prinsip menahan diri inilah yang menjadi pedoman praktis polisi, misalnya, dalam upaya penegakan hukum.

Keempat, dalam mengukur respon Anda terhadap lawan yang tidak etis, gunakanlah asas proporsionalitas.

Prinsip ini menuntut bahwa hukuman yang diberikan haruslah (1) proporsional atau sesuai dengan tingkat bahaya atau kerugian yang ditimbulkan; (2) sesuai dengan kebaikan yang ingin dicapai; (3) ada harapan bahwa tekanan yang diberikan memang efektif untuk mencapai tujuan. Dengan demikian tekanan atau hukuman yang diberikan berlebihan dan karenanya tidak lagi proporsional, pasti melanggar hak tersangka untuk mendapatkan keadilan; lebih dari itu, hukuman berlebihan berpotensi memperalat tersangka untuk sebuah tujuan di luar dirinya sendiri. Menjatuhkan hukuman seberat mungkin untuk menimbulkan efek jera, tidak hanya bagi pelaku tetapi juga menciptakan ketakutan bagi publik umumnya, misalnya, adalah tindakan tidak etis karena pelaku telah diperalat untuk kepentingan diluar dirinya. Dalam bahasa Immanuel Kant, pendukung utama etika deontologi, dengan alasan apapun, seseorang tidak pernah boleh diperalat, karena tindakan memperalat sesungguhnya merendahkan martabat manusia. Seseorang harus dihukum

BAB IV

Page 92: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

88

hanya karena dia terbukti bersalah tanpa harus dihubungkan dengan efek jera. Memasukkan efek jera sebagai tujuan hukuman berpotensi mendorong seorang hakim menjatuhkan hukuman lebih berat daripada yang seharusnya; disini, integritas dikorbankan demi alasan-alasan pragmatis yang belum tentu juga efektif.

Kelima, dalam merespon tindakan yang tidak etis, terapkan teknik ethical displacement.

Menghadapi dilema moral, yakni situasi dimana tak satupun dari alternatif solusi yang tersedia dapat digunakan untuk mengatasi persoalan, limpahkan solusi atas dilema ke tingkat lebih tinggi, yakni ke level organisasi atau lembaga karena bisa saja disana tersedia jalan keluar yang tepat, misalnya, perlu restrukturisasi organisasi untuk mengatasi dilema moral. Atau, barangkali kasusnya perlu diangkat ke tingkat lebih tinggi, misalnya ke tingkat negara/departemen terkait, karena hanya melalui kebijakan pada tingkat paling tinggi, dilema moral dapat diatasi secara mendasar.

Dalam bisnis, misalnya, di tengah persaingan usaha yang sangat ketat, pebisnis bisa saja dihadapkan pada dilema moral serius ketika harus memilih, misalnya, apakah harus menyuap untuk mendapatkan proyek atau mengikuti prosedur tender yang seharusnya dengan potensi kehilangan peluang dan dengan demikian menempatkan bisnisnya dalam ancaman gulung tikar. Tentu saja individu yang diberi tanggung jawab untuk kegiatan tender tidak bisa mengambil keputusan sendiri; ia harus berkonsultasi dengan pimpinan tertinggi. Akan tetapi apabila pada level perusahaan pun dilema moral tidak bisa diatasi, akan lebih baik apabila kasus seperti itu diteruskan ke tingkat lebih tinggi (negara, khususnya departemen terkait) untuk membenahi tatacara dan prosedur tender agar kelompok yang lemah tidak tersingkir secara tidak fair oleh kelompok yang kuat.

Keenam, dalam merespon lawan yang tidak etis, gunakan publisitas untuk mempertegas tindakan tidak etis.

Penggunaan sarana publisitas (humas) akan membuka ruang bagi partisipasi publik untuk menilai dan dengan demikian memobilisasi tekanan publik untuk melawan tindakan yang tidak etis. Dengan melibatkan publik, reaksi dan tekanan terhadap tindakan tidak etis diharapkan menjadi lebih efektif ketimbang membiarkan tindakan tidak etis dihadapi sendiri secara diam-diam oleh individu yang bersangkutan. Seseorang yang mengalami pelecehan seksual oleh pejabat “berkuasa dan terhormat”, misalnya, barangkali akan ketakutan menghadapi sendiri kasusnya. Upaya membawa kasusnya ke ruang publik akan membuka peluang munculnya dukungan publik dan dengan demikian membuat upaya memperoleh keadilan menjadi lebih efektif.

Ketujuh, dalam merespon lawan yang tidak etis, upayakan kerja sama

BAB IV

Page 93: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

89

dengan pihak lain, atau ciptakan lembaga sosial, legal, atau populer yang baru.

Integritas individual atau personal tidak akan cukup efektif melawan perilaku tidak etis ketika struktur lembaga tidak mendorong tetapi bahkan menghambat tindakan etis dan karenanya semakin menguatkan dilema moral dalam lembaga. Sebagai contoh, ketika seorang pegawai rendahan mendapatkan adanya kecurangan dalam laporan keuangan yang dengan sengaja dilakukan demi menekan kewajiban pajak misalnya, ia ditempatkan dalam dilema moral apakah harus melaporkan kepada pihak berwajib atau harus mendiamkannya. Kedua sikap itu masing-masing mempunyai implikasi negatif, juga dari sisi moral. Ia sendiri tahu bahwa tindakan membuka kasus ke ruang publik (whistle blowing) akan berdampak negatif serius bagi dirinya; akan tetapi mendiamkannya justru menimbulkan kerugian bagi negara. Dalam kasus seperti ini, pilihan melakukan whistle blowing pasti merupakan tindakan moral yang layak diapresiasi tetapi perlu dipastikan bahwa keamanan diri juga tidak terancam. Kerja sama dengan pihak aparatur keamanan negara diperlukan di sini. Akan tetapi apabila yang bersangkutan mengalami bahwa iklim lembaga secara keseluruhan tidak kondusif untuk berkembang, juga dari segi moral, di satu pihak, dan keamanan pribadi pun tidak terjamin, di lain pihak, sebaiknya memilih meninggalkan lembaga dan mengupayakan menciptakan peluang baru.

Kedelapan, dalam merespon tindakan tidak etis, bersiaplah untuk bertindak dengan keberanian moral.

Keberanian moral menuntut bahwa seseorang tidak hanya mampu menentukan apa yang sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya, melainkan terutama bahwa ia mampu bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya. Seringkali lebih mudah memilih mendiamkans perilaku tidak etis daripada mengambil tindakan kongkrit untuk mengatasinya. Dalam kasus tertentu bisa dibenarkan. Ketika tindakan yang diambil sangat potensial mengancam nyawa pribadi, misalnya, bersikap diam tentu saja tindakan yang bijak. Akan tetapi dalam kasus lain, diperlukan keberanian untuk menghadapinya dan berusaha memecahkan persoalan agar tidak menimbulkan efek negatif lebih jauh atau lebih besar. Ketika didapatkan bahwa hak karyawan terhadap upah yang adil secara sistematis tidak terpenuhi, misalnya, individu sudah seharusnya mengambil tindakan kongkrit untuk mengatasinya meskipun dengan risiko dipecat, misalnya. Untuk meminimalisasi akibat negatif, upaya menggalang kekuatan bersama karyawan lain penting dilakukan. Lebih dari itu, tekanan kolektif pasti lebih efektif ketimbang upaya perorangan. Perlu keberanian mengambil inisiatif untuk memobilisasi gerakan kolektif.

Kesembilan, dalam merespon tindakan tidak etis, bersiaplah membayar “harga” dari keberanian moral Anda yang kadang-kadang bisa sangat mahal.

Tindakan tidak etis barangkali kecil di mata pelaku, akan tetapi selalu

BAB IV

Page 94: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

90

sangat mahal bagi korban. Dan respon etika terhadap perilaku tidak etis bisa jauh lebih mahal. Menjual narkoba dan meracuni orang lain dengan barang haram ini barangkali tidak menjadi masalah atau masalahnya kecil saja bagi penjualnya. Akan tetapi “biaya” bagi korban narkoba pasti tidak kecil. Ia kehilangan berbagai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang sukses akibat kontaminasi narkoba. Akan tetapi bagi pihak yang tahu kasusnya dan berusaha membongkarnya, taruhannya bisa jauh lebih mahal. Nyawa bisa melayang karena keberanian membongkar kasus narkoba.

Kesepuluh, dalam merespon tindakan tidak etis, terapkan prinsip akuntabilitas.

Prinsip akuntabilitas menekankan bahwa mereka yang meciptakan bahaya, melakukan kerusakan, atau merugikan orang lain harus bersedia bertanggungjawab atas perbuatannya. Dengan demikian, harus disadari dari awal bahwa perilaku tidak etis selalu punya implikasi tidak menguntungkan bagi pelaku dan karenanya seharusnya mampu menahan diri untuk tidak terjebak dalam perilaku tidak etis. Dengan kata lain, seharusnya setiap orang mampu mencegah diri dari upaya mengutungkan diri melalui perilaku tidak etis. Dalam etika bisnis dikenal apa yang disebut “the iron rule of resposibility”. Maksudnya, ketika seseorang mengabaikan tanggung jawab dalam melakukan sesuatu, maka ia akan dihukum keras oleh tanggung jawab itu sendiri. Pengusaha yang tidak memenuhi tanggung jawabnya untuk menawarkan produk yang berkualitas sesuai dengan yang dijanjikan, ia akan dihukum dengan ditinggalkan oleh konsumen. Pejabat publik yang menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri, akan kehilangan jabatannya dan bahkan harus berurusan dengan penegak hukum dengan kemungkinan harus menerima kenyataan bahwa ia harus menghabiskan sisa hidupnya di dalam hotel pro deo.

E. Penutup

Sebagai rangkuman dan kesimpulan, dalam upaya memerangi korupsi, beberapa poin pokok berikut ini kiranya penting untuk ditegaskan kembali. Pertama, pasti tidak mudah membangun dan mengembangkan pribadi yang berintegritas, pribadi yang memiliki kemampuan dan keberanian moral untuk senantiasa bertindak sesuai dengan kesadaran akan apa yang seharusnya dilakukan. Untuk itu, konsistensi menjaga keselarasan antara ucapan dan tindakan menjadi penting karena kualitas integritas tidak tergantung pertama-tama pada pengetahuan tentang apa yang baik dan benar, melainkan pada keberanian untuk secara konsisten “melakukan apa yang baik dan benar”. Kualitas integritas terbentuk lewat proses habituasi, yakni konsistensi untuk selalu bertindak sesuai dengan kesadaran akan apa yang seharusnya dilakukan. Disini, sikap kritis serta keberanian bertindak otonom independen krusial untuk dikembangkan oleh setiap individu. Dengan sikap kritis, otonomi,

BAB IV

Page 95: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

91

dan independensi dalam bertindak, individu akan terhindar dari perilaku konformitas dan bersikap ikut arus dalam bertindak.

Kedua, juga pantas ditekankan bahwa kualitas karakter individu juga ikut dipengaruhi dan bahkan ditentukan oleh lingkungan di mana individu berada. Karena itu, pendidikan sedini mungkin dalam lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, lembaga agama, dan masyarakat umum akan pentingnya kualitas hidup berkarakter perlu secara konsisten diupayakan semaksimal mungkin. Lebih dari itu, individu membutuhkan role model kehidupan berintegritas. Setiap pemimpin, baik pada sektor publik maupun sektor privat seharusnya menyadari peran model moral ini. Dalam masyarakat yang cenderung berkultur paternalistik, role model moral pasti efektif mendorong tumbuh dan berkembangnya integritas, baik dalam individu maupun dalam kultur organisasi.

Ketiga, perlu pula dikembangkan kesadaran bahwa hidup yang berkualitas dan bermakna tidak terletak pada (1) seberapa banyak harta material yang dimiliki (having); melainkan pertama-tama dan terutama terletak pada seberapa berharganya self-dignity bagi individu (being). (2) hidup yang bermakna menuntut keberanian untuk berkorban melampaui self-interest demi tumbuh dan berkembangnya enlightened self-interest—sebuah kualitas moral yang melihat kepentingan orang lain sebagai bagian dari kepentingan dirinya dan karenanya mampu melihat perkembangan diri orang lain sebagai bagian dari pengembangan dirinya sendiri.

Keempat, dalam lingkup organisasi atau lembaga, diperlukan keberanian untuk melakukan reformasi dan transformasi organisasi untuk membangun budaya organisasi yang mendukung tumbuh dan berkembangnya integritas moral dalam diri segenap anggota organisasi atau lembaga. Dari segi sistem organisasi, monitoring, kontrol, dan evaluasi atau audit secara reguler, transparan, dan akuntabel perlu dilakukan secara konsisten untuk memastikan bahwa semua tata-tertib, kode etik, serta standar perilaku organisasi lainnya dijalankan dan dipenuhi secara konsisten dan bertanggungjawab. Pemimpin yang berkarakter though-minded leader sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan pengembangan karakter berintegritas dalam lembaga.

Tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai di atas akan membantu untuk tumbuh dan berkembangnya pribadi-pribadi yang berintegritas, pribadi yang senantiasa hanya bersedia untuk melakukan apa yang disadarinya baik dan benar. Integritas dengan demikian menjadi senjata strategis (moral bedrock) untuk memerangi korupsi karena integritas merupakan kekuatan internal-inherent individu yang bekerja untuk mencegahnya dari perilaku koruptif. Dengan kualitas integritas seperti ini kita boleh berharap, pelan tetapi pasti, korupsi sebagai penyakit sosial mampu diatasi atau sekurang-kurangnya ditekan ke tingkat serendah mungkin.

BAB IV

Page 96: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

92

BAB IV

Kelima, terakhir, integritas menuntut keberanian untuk tidak memberi toleransi terhadap perilaku tidak etis, termasuk melakukan korupsi. Bukan mustahil bahwa keberanian seperti ini pada ujungnya justru membawa konsekuensi negatif serius bagi pengambil keputusan. Misalnya, subyek kemudian diserang balik dengan fitnah yang justru bisa menghancurkan posisi dan bahkan nama baik. Dalam kasus seperti ini integritas menuntut bahwa perbuatan buruk tidak boleh dibalas dengan perbuatan buruk pula karena bertolak-belakang dengan prinsip integritas. Membalas perbuatan buruk dengan perbuatan buruk justru merusak martabat subyek dan sekaligus menghancurkan integritas yang coba dibela lewat keberanian untuk melakukan apa-yang-seharusnya-dilakukan. Perbuatan buruk dari pihak lawan harus dilihat sebagai “biaya” yang harus berani ditanggung akibat membela integritas. Karena itu, apabila dipandang perlu untuk ditanggapi, pastikan bahwa cara yang digunakan untuk menanggapi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral yang justru mau dibela. Katakan saja, ketidak-adilan jangan dilawan dengan ketidak-adilan, karena ketidak-adilan tetap saja buruk, juga kalau itu dilakukan demi melawan ketidak-adilan. Integritas tumbuh dan berkembang justru karena keberanian untuk secara konsisten melakukan apa yang baik dengan alasan dan cara yang benar.***

Page 97: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 98: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 99: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

METODE PEMBELAJARAN ETIkA ANTIkORUPSIDAN kASUS

BAB V:

Page 100: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 101: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

97

BAB V

Pada bab ini dipaparkan sebuah kerangka pembelajaran etika antikorupsi. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa proses pembelajaran menggunakan prinsip pelibatan mahasiswa. Berikut adalah tiga model pembelajaran yang dapat digunakan pada pendidikan antikorupsi, yaitu:

A. Membangun komitmen dan kebersamaanB. Memahami korupsi dan permasalahannyaC. Menerapkan teori-teori etika di dalam pembahasan kasus

Berdasarkan model-model ini dibangun beberapa langkah pembahasan dalam kelas.

A. Membangun Komitmen Antikorupsi (90 menit)

Tujuan:

a. Membangun suasana pembelajaran yang baikb. Membangun komitmen dan kebersamaan

Pengkondisian (5 menit)

Langkah pembelajaran:

a. Narasumber menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja dan judul materi yang akan disampaikan.

b. Menciptakan suasana nyaman dan mendorong kesiapan peserta untuk menerima materi dengan menyepakati proses pembelajaran.

c. Dilanjutkan dengan penyampaian aktifitas yang akan dilakukan pada sesi ini.

Aktifitas Membangun Komitmen (85 menit)

Langkah Pembelajaran:

a. Setiap peserta memperoleh kertas yang dilipat 4 untuk dapat berdiri di meja menjadi bentuk segitiga (2 menit);

b. Di kertas tersebut dituliskan nama panggilan peserta dan gambar icon yang menggambarkan sifat peserta dari sudut pandang diri sendiri. (5 menit);

Contoh:

Contoh:

Page 102: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

98

BAB V

c. Kemudian secara bergilir peserta diminta memperkenalkan diri menjelaskan gambarnya, misalnya: “Selamat pagi, nama saya Chandra, menggambarkan lonceng ini karena selain saya cenderung on time seperti alarm, saya juga senang mengingatkan orang lain untuk melaksanakan tugas atau untuk selalu berjalan di jalan yang benar” (setengah menit per orang=15 menit);

d. Setelah semua peserta mendapat giliran, diakhiri dengan tepuk tangan bersama, kemudian narasumber mengajak peserta menulis di kertas warna berperekat. Ada yang berwarna kuning, jingga, hijau dan biru;

e. Kertas berperekat berwarna kuning akan diisi: Apa yang diharapkan peserta akan diperoleh dari diskusi ini (5 menit) Setelah seluruh peserta menulis, baru beritahukan langkah selanjutnya;

f. Kertas berperekat berwarna jingga akan diisi: Apa yang dikuatirkan peserta akan terjadi dalam pelatihan atau akibat ikut diskusi ini (5 menit). Setelah seluruh peserta menulis, baru beritahukan langkah selanjutnya;

g. Kertas berperekat berwarna hijau akan diisi: Apa yang akan dilakukan peserta agar harapan tercapai dan kekhawatiran tidak terjadi (5 menit). Setelah seluruh peserta menulis, baru beritahukan langkah selanjutnya;

h. Kertas berperekat berwarna biru akan diisi: Apa yang harus dilakukan penyelenggara diskusi agar harapan tercapai dan kekhawatiran tidak terjadi (5 menit). Setelah seluruh peserta menulis, baru beritahukan langkah selanjutnya;

i. Seluruh peserta menempelkan kertas warna sesuai kelompok warna di papan atau di tembok (3 menit);

j. Narasumber membacakan dengan ceria atau meminta salah satu peserta untuk membacakan hasil olah pendapat mengenai diskusi yang akan dihadapi tersebut. Narasumber dapat mengajak peserta untuk tepuk tangan pada pendapat-pendapat yang bersifat konstruktif (10 menit);

k. Kemudian narasumber mengajak peserta bersama-sama menuliskan pada kertas flipchart tatatertib yang akan disepakati agar semua peserta saling mendukung untuk mencapai tujuan diskusi (20 menit);

l. Narasumber menutup kegiatan, dengan mengucapkan salam serta mengungkapkan perasaan senang berkenalan dengan peserta.

Page 103: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

99

BAB V

B. Diskusi tentang korupsi dan penyebab korupsi (100 menit)

Tujuan:

a. Mengerti dan memahami korupsib. Mampu memberikan contoh contoh korupsic. Mampu mengenal pelbagai model korupsid. Mampu mengetahui penyebab korupsi

Langkah pembelajaran:

a. Narasumber menyampaikan kegiatan pada siang ini adalah menggambar jalan pemikiran kita terhadap kasus yang dihadapi untuk menuliskan kemungkinan faktor-faktor penyebab korupsi yang terjadi pada pejabat, profesional, atau siapa saja. Di jelaskan pula berbagai bentuk ‘mind map’ yang dapat digambarkan oleh kelompok dengan memperlihatkan slide yang telah tersedia (10 menit);

b. Narasumber membagi kelompok, dengan meminta peserta menghitung angka 1-6 untuk membentuk 4 kelompok (anggota kelompok 5-6 orang), dan meminta peserta pindah tempat duduk sesuai kelompoknya (5 menit);

c. Tiap kelompok membahas satu topik (penyebab korupsi pada ASN, pejabat negara, wakil rakyat, profesional, pengusaha);

d. Kelompok diminta untuk menentukan nama kelompok sesuai dengan tugas, menentukan ketua kelompok sebagai moderator diskusi, menentukan sekretaris kelompok sebagai pencatat hasil diskusi, menentukan juru bicara kelompok sebagai presentan hasil diskusi (5 menit);

e. Diskusi dimulai. Kelompok menggambar mind map masalah yang dihadapi pada kasus. Mind map dimaksudkan untuk dapat membawa pemikiran ke arah pemahaman yang utuh dan menyeluruh. (60 menit);

f. Kelompok menyiapkan presentasi hasil diskusi untuk pleno (20 menit);

Pleno mind map korupsi dan penyebab korupsi (90 menit)

Langkah pembelajaran:

a. Moderator memperkenalkan diri dan menyampaikan pembagian waktu untuk pleno (2 menit);

b. Moderator mempersilahkan narasumber dan peserta membaca

Page 104: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

100

kasusnya masing-masing (5 menit);

c. Setiap kelompok mendapat giliran maksimum 10 menit menjelaskan hasil map. Mengundi urutan presentasi dan meminta salah satu anggota kelompok untuk menjadi jurubicara (3 menit);

d. Kelompok bergantian presentasi tanpa tanya jawab (6x10 menit = 60 menit);

e. Moderator mempersilahkan narasumber untuk menjelaskan mind map narasumber untuk kasus tersebut beserta alasan-alasannya. Tidak ada yang salah, namun mind map biasanya dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman. Dipersilahkan tanya jawab dengan panduan moderator (50 menit).

Contoh mind map

Sumber: https://venngage.com/templates/mind-maps

C. Diskusi kasus untuk menentukan penyebab korupsi, dampak korupsi, dan menyusun rencana penatalaksanaan antikorupsi komprehensif (90 menit)

Tujuan:

a. Membahas kasus;b. Mampu memetakan kasus;c. Mampu menyebutkan penyebab dan dampak korupsi;

BAB V

Page 105: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

d. Mampu menyusun rencana penatalaksanaan anti korupsi.

Setiap kelompok mendapat tugas membahas satu kasus korupsi:

a. Setiap kelompok mendapat tugas membahas satu kasus korupsi.

b. Ketika pulang dari Luar Negri, Ibu S membawa beberapa Tas bermerek terkenal, yang harganya mencapai belasan juta per tas. Ibu S sudah dikenal oleh petugas bandara karena sering bepergian ke luar negri dan pulang membawa barang untuk dijual lagi. Sebagai ucapan terima kasih Ibu S menghadiahkan satu Tas kepada petugas yang telah membantunya.

c. Pasien K, 40 tahun, berobat ke dokter dan meminta kwitansi biaya berobat ditambah 50% karena hanya diganti perusahaan 50%, dan dokter menyetujuinya.

d. Untuk mengatasi berbagai masalah pengadaan barang di Fakultas Ekonomi, Dekan membuat kebijakan semua proses pengadaan barang akan dipimpin oleh orang kepercayaan Dekan yaitu Kepala Biro Pengadaan Barang yang baru, Ir. B, sepupu Dekan.

Langkah pembelajaran:

a. Satu dari 6 fasilitator (perbandingan fasilitator: peserta = 1: 5-6) memberi pengarahan diskusi kelompok;

b. Fasilitator membagi kelompok dengan meminta peserta menghitung angka 1-6 untuk membentuk 6 kelompok, dan meminta peserta pindah tempat duduk sesuai kelompoknya (5 menit);

c. Kelompok diminta untuk menentukan nama kelompok, menentukan ketua kelompok sebagai moderator diskusi, menentukan sekretaris kelompok sebagai pencatat hasil diskusi, menentukan juru bicara kelompok sebagai presentan hasil diskusi (5 menit);

d. Setiap kelompok menyelesaikan tugas membahas kasus, menentukan penyebab, membuat mind map, dan menyusun rencana penatalaksanaan yang komprehensif (60 menit);

e. Kelompok menyiapkan presentasi hasil diskusi (20 menit).

Pleno Kasus Korupsi (90 menit)

Langkah pembelajaran:

a. Moderator memperkenalkan diri dan menyampaikan pembagian waktu untuk pleno (2 menit);

b. Urutan presentasi diundi atau atas permintaan kelompok dan moderator meminta salah satu anggota kelompok untuk menjadi

BAB V

101

Page 106: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

103

jurubicara. (3 menit);

c. Setiap kelompok mendapat giliran maksimum 10 menit menjelaskan hasil diskusi berupa mind map, diagnosis kasus korupsi dan penatalaksanaan komprehensif. Kelompok bergantian presentasi tanpa tanya jawab (6x10 menit = 60 menit);

d. Moderator mempersilahkan narasumber untuk menjelaskan kasus, memberikan komentar/tanggapan terhadap kasus dan presentasi kelompok. (10 menit);

e. Moderator mempersilahkan tanya jawab dan diskusi (10 menit);

f. Moderator menutup pertemuan dengan menyampaikan simpulan pleno kali ini (5 menit);

D. Diskusi Terbatas mengenai transparansi, kejujuran, dan tanggung jawab (60 menit)

Tujuan:

Siswa mengenali nilai transparansi, kejujuran, dan tanggung jawab.

Prosedur:

Diskusi 40 menit dan presentasi 20 menit

Skenario:

“Siswa kelas 12 (Kelas 3 SMU) di klub olahraga futsal ingin mengadakan pesta perpisahan, mereka mengatur kegiatan penggalangan dana. Mereka membuat panitia penggalangan dana. Kerja panitia ini sukses. Seminggu setelah pesta tersebut para siswa mengadakan pertemuan untuk evaluasi acara. Mereka mendengarkan penjelasan panitia penggalangan dana, bagaimana mereka mendapatkan uang, bagaimana penggunaannya, dan ternyata ada sisa uang cukup besar.”

Tugas:

Mahasiswa membahas skenario, menjawab, dan memberikan tanggapan atas pertanyaan berikut:

1. Uang siapa itu? Alasan?2. Uang sisa akan diapakan? Alasan?3. Apakah panitia penggalangan dana harus membuat laporan?

Mengapa?4. Apakah panitian penggalangan dana harus menyampaikan

laporan? Mengapa?

BAB V

Page 107: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

E. Diskusi mengenai konflik kepentingan

Tujuan:

Mahasiswa dapat melihat aspek korupsi (konflik kepentingan), siapa yang terlibat, mampu memahami permasalahan yang ada.

Prosedur:

Diskusi 40 menit dan presentasi 20 menit.

Skenario:

“Dalam proses seleksi penerimaan pegawai untuk posisi sekretaris, Bupati ingin ikut serta. Ia beralasan orang yang dipilih haruslah sesuai dengan kriterianya dan bisa berkerja sama dengannya. Ada 4 calon dari dalam kantor Bupati dan satu orang calon dari luar kantor diusulkan oleh istri Bupati. Calon yang diusulkan oleh istri Bupati memenuhi kriteria yang ada, sudah lama bekerjasama dengan Bupati, masih saudara dengan istri Bupati, dan relatif masih sangat muda.”

Tugas:

Anda adalah orang yang dipercayai memimpin proses seleksi ini dan apa yang akan anda lakukan.

F. Diskusi mengenai dampak korupsi

Tujuan:

Mahasiswa dapat mengenali korupsi, menjelaskan dampak korupsi.

Prosedur:

Diskusi 40 menit dan presentasi 20 menit.

Skenario 1:

“Setelah lulus SMU, Budi, 18 tahun, ingin segera bekerja. Ia ingin jadi supir mobil online. Abangnya sudah menawarkan memakai mobil miliknya. Budi ke kantor Samsat untuk mengurus SIM A; ia telah dua kali ikut tes dan gagal. Ia didekati calo. Calo mengatakan buat SIM A sendiri tanpa bantuan orang lain amat sulit. Ia bisa bantu mengurus pembuatan SIM A dengan tambahan biaya tertentu. Mau cepat juga bisa.“

Tugas:

Mahasiswa membahas skenario, membuat peta permasalahan, dan memberikan tanggapan.

BAB V

104

Page 108: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

105

1. Perbuatan Budi2. Perbuatan calo3. Perbuatan yang salah4. Perbuatan yang seharusnya5. Proses pembuatan SIM A yang seharusnya

Skenario 2:

“Ada tiga kontraktor ikut serta dalam tender pembuatan jembatan layang di Jakarta. Salah seorang kontraktor memasukkan nilai tender agak jauh di bawah yang lain dan akhirnya menang tender. Dia melakukan hal tersebut karena butuh uang untuk membayar ratusan karyawannya. Untung sedikit lebih baik daripada perusahaan bankrut. Tetapi dalam pelaksanaannya dia menggunakan spesifikasi besi yang sedikit lebih kecil. Supaya tidak ketahuan dia menyuap pengawas.”

G. Diskusi mengenai dimensi sosial budaya korupsi

Tujuan:

Mahasiswa dapat melihat dan memahami kaitan aspek sosial budaya dan korupsi.

Prosedur:

Diskusi 40 menit dan presentasi 20 menit.

Skenario:

Amir, Susi, Joko, dan Kasih berdiskusi tentang korupsi dan pendapat masyarakat

Amir: Korupsi adalah bagian dari kehidupan. Kita harus menerima bahwa tidak ada yang bisa kita lakukan tentang itu. Orang kaya akan selalu korup dan orang miskin akan selalu berusaha meniru mereka. Bagaimanapun, penyuapan adalah cara untuk menyelesaikan sesuatu dengan lebih cepat dan memungkinkan bisnis untuk bergerak maju lebih cepat.

Susi: Korupsi adalah bagian dari mentalitas kita. Sudah puluhan tahun dicoba diberantas tapi hasilnya apa ada? Melawan korupsi adalah buang-buang waktu. Mari bersikap realistis, kita tidak bisa hidup jika kita menolak untuk menjadi bagian darinya. Mudah-mudahan, yang kaya akan menjadi cukup kaya dan sebagian kekayaannya dibagikan kepada kita. Saya juga berpikir tidak apa-apa mengambil sedikit, cuman sedikit, seperti semua orang lain melakukannya.

Joko: Yang Amir dan Susi katakan adalah apa yang dimaui oleh koruptor. Jika semua berpendapat korupsi adalah wajar, semua juga

BAB V

Page 109: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

106

melakukannya, asal sedikit, asal tidak terus menerus maka korupsi akan menetap selamanya. Mereka yang dirugikan oleh korupsi tidak akan berubah kehidupannya, malahan bisa semakin sulit. Oleh sebab itu kita harus mencari jalan memberantas korupsi. Minimal kita tidak ikutan korupsi.

Kasih: Tidak peduli apakah itu budaya kita atau bukan, tidak peduli apakah itu korupsi besar atau kecil; korupsi adalah salah dan koruptor harus dihukum seberat beratnya. Kalau perlu hukuman mati. Koruptor itu sudah kaya raya dan mereka memperkaya diri dan keluarganya tanpa batas. Mereka telah menyengsarakan rakyat. Mereka tidak akan pernah berubah. Sekali koruptor, selamanya akan tetap koruptor.

Tugas:

Kelompok mendiskusikan, membahas, dan menanggapi pandangan di atas.

H. Menilai Sikap dan Perilaku

Tujuan:

Siswa mampu menilai dan mengidentifikasi sikap dan perilaku mana yang benar, mana yang salah beserta alasannya.

Prosedur:

Berdua membaca dan menentukan 30 menit, lalu diskusi 30 menit.

Keterangan: B = Benar, S = Salah, TM = Tidak Memutuskan

B S TM1 Waktu ujian , menyontek, karena penjaga sedang pergi.

2Orang tua membantu mengerjakan sebagian pekerjaan sekolah anaknya

3 Alumni memberi hadiah sepeda kepada dosen

4Kotak Sumbangan sukarela untuk pengurusan KTP di kelurahan

5Memakai mobil kantor untuk mudik ke kampung bersama keluarga

6Menerima uang dari peserta Pilihan Kepala Daerah, tetapi tidak terpengaruh ketika memilih

7Dosen menambah nilai siswa tersebut karena diancam oleh atasannya

8Karena waktu studi hampir habis, dia meminta temannya ikut membuat disertasinya.

BAB V

Page 110: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

9Anak gubernur ikut tender pengadaan barang kantor gubernur

10Perusahaan mobil memberi hadiah lebaran sebuah sepeda motor kepada Direktur Bank Mandiri karena telah membeli 20 mobilnya

107

B S TM

1Buru buru naik kereta api karena mau ujian, lupa beli karcis. Kondektur menawarkan bayar denda langsung 50% kepadanya, dan saya bayar.

2Anggota DPRD mau rapat paripurna, melanggar lampu merah. Tertangkap dan diberi peringatan supaya lain kali lebih hati-hati.

3Camat yang baru terpilih mengadakan pesta besar mengundang seluruh pendukungnya yang berjumlah 1000 orang

4

Razia surat kendaraan sepeda motor. Anak SMP tertangkap tidak bawa SIM. Anak menangis, minta maaf, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Petugas kasihan, memberi nasehat, dan melepaskannya.

5Dosen meminta mahasiswa mengerjakan pekerjaan kantornya sebagai bagian dari cari pengalaman

6Pemilihan ketua kelas. Karena jumlah murid perempuan jauh lebih banyak maka suara perempuan dinilai setengah, laki-laki satu

7Restoran menulis tanda “Dilarang memberi tips pada petugas parkir”

8Saya tetap beri tips waktu pulang karena gaji mereka kecil

9Karena pekerjaan kantor sudah selesai maka saya pulang lebih cepat

10Aparat mengijinkan nelayan memakai bom ikan karena lebih murah dan mudah dapat ikan.

11Saya melihat tetangga mencuri, lalu melaporkannya. Dia dipecat.

12Barang yang jatuh di jalan dari mobil yang bertabrakaan boleh diambil

13Saya terima uang Rp. 10.000 setelah membantu mendorong mobil mogok

BAB V

Page 111: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

108

14Pengusaha harus membagi keuntungannya pada orang miskin

15 Pengusaha boleh berbohong

16 Pengusaha boleh mencari keuntungan sebesar-besarnya

17Pengusaha memberi uang rokok Rp. 10.000 kepada petugas administrasi kantor pemerintah untuk memasukkan surat

18Pengacara memberi uang Rp. 10.000 kepada petugas kelurahan karena telah membantu mengambil surat

19 Hakim bermain golf dengan pengacara terdakwa

20Jaksa menerima kado pernikahan anaknya berupa Dompet seharga Rp. 500,000 dari pengacara terdakwa

I. Evaluasi Diri

Tujuan:

Siswa melakukan evaluasi diri sendiri.

Prosedur:

Baca dan jawab sendiri 30 menit.

Jarang Kadang SeringBerani

1Saya berpihak pada yang benar meskipun sendirian

2Saya tidak menyerah meskipun tidak didukung yang lain

3Saya tidak kuatir akan apa yang akan saya katakan/lakukan

4 Saya optimis5 Saya tidak menyukai kekerasan

Jujur1 Saya selalu mengatakan yang sebenarnya2 Saya tidak berbohong3 Saya tidak menipu4 Saya tidak mencuri

5Saya tidak dengan sengaja menyesatkan orang lain

BAB V

Page 112: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

109

Fair

1Saya perlakukan orang lain sebagaimana saya ingin diperlakukan

2 Saya perlakukan orang lain setara3 Saya taat aturan4 Saya tidak melakukan stigmatisasi

Akuntabilitas

1Saya siap menjawab sejujurnya atas apa yang telah dilakukan

2Saya siap menerima kritik dan risiko dari perbuatan saya

Transparansi

1Saya tidak menyembunyikan sesuatu yang merupakan tanggungjawab saya kepada orang lain

2 Saya terbukaIntegritas

1Saya berusaha melakukan yang benar meskipun berdampak buruk pada saya

2 Saya memegang teguh nilai-nilai saya3 Saya berusaha berperilaku terbaik4 Saya tidak mudah tergoda

5Saya melakukan yang benar meskipun tidak ada orang yang melihatnya

Page 113: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan
Page 114: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

Gildenhuys, J.S.H. 2004. Ethics and Professionalism, The Battle Against Public Corruption. Stellebosch: Sun Press

Komalasari, Kokom and Saripudin, Didin. “Integration of Anti-Curruption Education in School’s Activities,” dalam American Journal of Applied Sciences, June 2015

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, 2014. Buku Saku Memahami Gratifikasi. Jakarta: Komisi Pemberatasan Korupsi Republik Indonesia

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, 2006. Memahami untuk Membasmi. Jakarta: Komisi Pemberatasan Korupsi Republik Indonesia

Ochulor, Chinenye Leo and Bassey, Edet Patrick. 2010. “Analysis of Corruption from Ethical and Moral Perspectives,” dalam European Journal of Scientific Research, Vol 44 No. 3 (2010): hlm. 466-476

Priyono, Herry B. 2018. Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Jakarta: PT. Gramedia

Sampford, Charles, “Understanding the Relationship between Integrity, Corruption, Transparency and Accountability”, http://unpan1.un.org/intradoc/groups/ public/documents/un-dpadm/unpan043783.pdf.

The Hong Kong Institute of Engineers, 2000. Ethics in Practice, A Practical Guide for Professional Engineers. Hong Kong: Independent Commission Against Corruption

Bertens, K. et. al. 2017. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius

Haryatmoko. 2015. Etika Publik. Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi. Yogyakarta: Penerbit PT. Kanisius

Magnis-Suseno, Franz. 1987. Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Rachels, James. 2004. Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit PT. Kanisius

Riyanto, Armada et.al. 2015. Kearifan Lokal, Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan. Yogyakarta: Penerbit PT. Kanisius

Bertens, K. 2013. Etika. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius

Bertens, K. 2011. Etika Biomedis. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius

Chadwick, Ruth, F. (1994). Ethics and Professions. Sydney: Avebury.

Koehn, Daryl.2000. Landasan Etika Profesi. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius

Hartman, Laura dan DesJardis, Joe. 2011. Etika Bisnis. Jakarta: Penerbit Erlangga

Page 115: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

Sihotang, Kasdin. 2016. Etika Profesi Akuntasi. Yogyakarta: Kanisius

Sudarminta, J. 1992. “Etika Profesi Bagi Dosen” dalam Moedjanto, G. et.al. Tantangan Kemanusiaan Universal, Antologi Filsafat, Budaya, Sejarah-Politik & Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Boatright, John R., 2003, Ethics and the Conducts of Business, Fourth Edition, Pearson Education Inc., New Jersey.

Bob Rosthstein, 2017, file:///D:/INTEGRITY/Four myths about corruption World Economic Forum.htm.

De George, Richard T., “When Integrity Is Not Enough Guidelines for Responding to Unethical Adversaries”, dalam J.C. Ficarrotta, The leader’s imperative: Ethics, Integrity, and Responsibility, Purdue e-Pubs, Purdue University Press e-books OLD - Purdue University Press, (2001: 214 – 228).

Ferrell O.C. & Gardiner, Gareth, 1999, In Purusit of Ethics, Though Choices in the World of Work, Smith Collins Company.

Hoseah, Edward Gamaya, “Corruption as a global hindrance to promoting ethics, integrity, and sustainable development in Tanzania: the role of the anti- corruption agency”, Journal of Global Ethics, 2014 Vol. 10, No. 3, 384–392, http:// dx.doi.org/10.1080/17449626.2014.973995.

Lee Butler, George, “Some Personal Reflection on Integrity”, dalam J.C. Ficarrotta, The leader’s imperative: Ethics, Integrity, and Responsibility, Purdue e-Pubs, Purdue University Press e-books OLD - Purdue University Press, (2001: 73 - 83).

Solomon, Robert C, “The Meaning of Integrity” dalam bukunya Ethics and Excellence, Cooperation and Integrity in Business, New York, Oxford, Oxford University Press,1992: 168-174

Sampford, Charles, “Understanding the Relationship between Integrity, Corruption, Transparency and Accountability”, http://unpan1.un.org/intradoc/groups/ public/documents/un-dpadm/unpan043783.pdf

OECD, 2018, Education for Integrity: Teaching on Anti-Corruption, Values and the Rule of Law. www.oecd.org/gov/ethics/integrity-education.htm

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, 2016, Buku Panduan Dosen Pembelajaran Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Website : http:// ristekdikti.go.id/

DAFTAR PUSTAKA

Page 116: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

GLOSARIUM

GLOSARIUM

Page 117: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

GLOSARIUM

GLOSARIUM

Page 118: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

GLOSARIUM

GLOSARIUM

Page 119: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

GLOSARIUM

GLOSARIUM

Page 120: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

INDEKS

INDEKS

Page 121: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

INDEKS

INDEKS

Page 122: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

PENULIS

Adalah dosen mata kuliah Filsafat dan Etika di Universitas Katolik Atma Jaya sejak tahun 1997. Lahir di Worolowa, Nusa Tenggara Timur pada 10 September 1958, menyelesaikan pendidikan sebagai sarjana Filsafat di STFT Ledalero, Flores yang kemudian melanjutkan master di Ateneo de Manila University, Philippines dan S3 di Hochschule fuer Philosophie, Munich, Jerman. Di luar kegiatannya sebagai Dosen, telah banyak judul buku yang sudah ditulis, buku terbaru adalah Pengantar Filsafat diterbitkan tahun 2018. Penulis juga aktif untuk menuangkan ilmu dan pemikirannya melalui jurnal-jurnal nasional maupun internasional.

E-mail: [email protected]

Adalah seorang dokter yang menyelesaikan pendidikan sarjana Kedokteran di FK Atma Jaya Jakarta. Melanjutkan pendidikan ke Leuven Catholic University, Belgia untuk meraih gelar BA in Philosophy dan MA in Applied Ethics. Berhasil meraih gelar Doktor (S3) Filsafat dari STF Driyarkara, Jakarta. Aktif menjadi staf Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya sejak tahun 1992, Penulis juga menjabat sebagai anggota Komisi Etik di RS Atma Jaya (sejak tahun 1996) dan Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (sejak tahun 2009). Jabatan baru yang diamanahkan untuk penulis adalah wakil ketua Komisi Tetap Kamar Dagang dan Industri (KADIN) pusat bidang pengembangan sarana pelayanan kesehatan (sejak tahun 2016).

E-mail: [email protected]

Mikhael Dua

Sintak Gunawan

BIOGRAFI PENULIS

Page 123: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

Adalah seorang dosen yang menyelesaikan pendidikan S1 (Bachelor of Arts in Philosophy) dan S2 (Master of Arts in Philosophy) di STF Driyarkara, Jakarta. Di luar kegiatannya sebagai dosen, Penulis juga aktif menuangkan ilmu dan pemikirannya melalui banyak jurnal, diantaranya adalah Editorial yang terbit pada tahun 2010, Postmodernisme, Filsafat dan Universitasi terbit tahun 2008, Teledemokrasi: Bagaimana Televisi Merusak Demokrasi terbit tahun 2006. Selain itu, penulis juga aktif berorganisasi dengan menjadi Secretary of Intellectual Property Rights Commisson di Universitas Katolik Atma Jaya sejak tahun 2010, Councellor for Ikatan Karyawan Atma Jaya sejak tahun 2009 dan Editor of Respons (Journal of Social Ethics) di Universitas Katolik Atma Jaya sejak tahun 2008.

E-mail: [email protected]

Biografi Penulis

PENULIS

Rodemeus Ristyantoro

Page 124: ETIKA ANTIKORUPSI - aclc.kpk.go.id · atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Sebagai bahan

9 786025 238772

ISBN: 978-602-52387-7-2