ESAI - PEMILU INDONESIA (2014)
Click here to load reader
-
Upload
univ-of-brawijaya -
Category
News & Politics
-
view
855 -
download
7
description
Transcript of ESAI - PEMILU INDONESIA (2014)
Nama : Nur Fadila Khoirunisa‟
NIM : 135120407121017
Kelas : I-D2
Matkul: Ketrampilan Akademik
(UTS/ Take Home)
Tahun ini, pesta demokrasi Negeri mengusung kebebasan rakyat untuk memilih.
Secara teori, suara harusnya tidak bisa dibeli, apabila rakyat paham dan mengerti arti
dari sebuah Demokrasi. Namun apa yang terjadi. Sudah 16 tahun kita tertatih dalam
Reformasi, ditipu oleh para politisi yang katanya berikan bukti bukan janji. Tapi begitu
ada tangis suara minor dari pelosok negeri. mereka malah sibuk mecari koalisi bukan
solusi. Bagaimana bisa kita menggantungkan nasib Negeri ini, kepada mereka mereka
yang muncul hanya saat ingin dipilih kembali.
Menerapkan sistem Demokrasi-Pancasila, Pemilu ‟55 menjadi langkah awal
pelaksanaan Pemilu yang Luberjudil. Era orde baru yang bertengger selama 32 tahun,
dilirik tajam oleh entitas Internasional, bagaimana bisa partisipasi masyarakat begitu
tinggi terhadap Golkar hingga merebut 85% suara secara bertahun – tahun dan menang
mutlak setiap Pemilu. Menimbulkan pertanyaan murni kah demokrasi Indonesia?
Otoriter berbalut demokrasi terguling saat reformasi 1997. Sehingga pada pemilu
selanjutnya suasana demokrasi makin terasa dengan ramainya partai politik yang
terlibat. Meskipun hanya memilih badan legislatif, masyarakat di nilai mulai antusias
memilih pemimpin yang lebih baik dari sebelumnya.
Pemilu 2004 adalah Pemilu pertama di Indonesia yang memungkinkan rakyat
memilih secara langsung Presiden dan Wakil Presidennya. Pemilu ini dimenangkan oleh
Partai Demokrat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakilnya M. Yusuf
Kalla. Kabinet Indonesia bersatu bertahan 2 (dua) periode dengan kemenangan
pasangan Susilo Bambang Yudhoyono beserta Wakilnya Bapak Budiono. Selanjutnya,
apa yang tersaji pada publik, setelah 2 periode kabinet SBY? Yang muncul di
permukaan justru keterpurukan kinerja wakil rakyat, keserakahan, dan bagaimana
politik, uang, serta kekuasaan menjadi satu sinergi kuat dalam sanubari pemimpin kita
di senayan. Hal ini seolah menenggelamkan kebijakan – kebijakan pro-rakyat dan
kontribusi mereka terhadap Negara.
Merosotnya elektabilitas Partai Politik di Indonesia tercermin dari sikap buruk
para pemimpin bangsa. Bekerja semaunya, menyalahgunakan wewenang, bahkan
menggelapkan uang rakyat sudah menjadi sistem yang secara terus – menerus dilakukan
oleh oknum – oknum politik yang duduk di legislatif. Hal ini secara kasat mata jelas
dinilai bertujuan untuk dirinya sendiri secara personal dan kepentingan partai. Politik
yang terbilang semrawut ini sedikit banyak telah mempengaruhi kesehatan dan
kestabilan terhadap Budaya Pemilu di Indonesia.
Banyak politikus ataupun public figure lain di Indonesia yang beranggapan
bahwa pemilu dan kesempatan menjadi tokoh Politik di Indonesia adalah ajang
pembuktian diri dan kesempatan mereka untuk memenuhi target pribadinya yaitu
memperkaya diri dan memperkuat dinasti politiknya tanpa memperdulikan tanggung
jawab yang diembannya selama 5 tahun ke depan. Mereka berlomba – lomba
memperebutkan kursi jabatan yang disertai tunjangan besar yang tersedia dalam
struktural kenegaraan di Indonesia dengan menghalakan segala cara. Demi
simpatisannya mereka mereka ini rela bermain kotor dengan “membeli” suara rakyat.
Hal ini yang menjadi cerminan mahalnya Demokrasi di Indonesia. Yang kaya makin
kaya, yang miskin makin miskin.
Mungkin masih banyak rakyat yang tergoda dan terbujuk oleh tipi muslihat para
calon pemimpin bangsa. Didasarkan pada minimnya pengetahuan poltik masyarakat
karena pendidikan yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia banyak dari kita
yang masih “buta” akan politik. Kaum – kaum seperti inilah yang menjadi sasaran
utama para politikus untuk membeli suara. Meskipun demikian, masih adapula kaum
akademisi yang sudah dewasa dan mengerti betapa berartinya suara kita untuk negeri ini
sehingga tidak mudah dibeli. Tapi akan kah hal tersebut bisa secara signifikan
membawa perubahan terhadap negeri ini? Pada masa pemilu seperti sekarang ini, ada
kelatahan di antara Kiri kita untuk melakukan sesuatu. „Kita harus melakukan sesuatu
sekarang juga!‟ ujar para aktivis kita. Tekanan untuk melakukan sesuatu yang konkret
dan praktis sekarang juga adalah tekanan yang biasanya mendorong para aktivis kita
untuk menjadi pragmatis.
Semakin tidak sehatnya Pemilu di Indonesia, semakin redah pula kualitas
Pemilu tersebut. Kondisi ini sebaiknya dibenahi dan diatur sedemikian mungkin agar
elegansi dan kualitas Pemilu di Indonesia meningkat, walau terasa sulit untuk
direalisasikan perubahan tetap harus di mulai. Penanaman pengetahuan politik
dimasyarakat melalui sosialisasi – sosialisasi secara menyeluruh bisa digunakan sebagai
langkah awal. Selanjutnya, masyrakat yang berpengetahuan politik baik dibebaskan
memilih pemimpin mana yang memiliki kapabilitas dan dapat mewakilkan suara
mereka nantinya dalam setiap kebijakan
Pada pemilu 2014 ini melibatkan pihak pihak yang dianggap membantu
jalannya Pemilihan Umum yang ideal, dengan harapan dapat meningkatkatan tingkat
partisipasi politik rakyat Indonesia sendiri. Pemerintah telah menggerakkan KPK dan
Badan Penyelidik dan Pengawas khusus untuk memantau pelaksanaan Pemilu. Tentu
saja warga diharapkan proaktif terhadap langkah yang diambil pemerintah dengan ikut
andil secara maksimal dalam proses pemulihan kualitas Pemilu ini.
Dengan kualitas Pemilu yang baik, akan muncul nama pemimpin yang sesuai
dengan pilihan Rakyat tentunya. Baik nama baru maupun nama lama yang pernah
duduk di senayan setidaknya rakyat telah meilihat kinerja mereka dan mengharapkan
mereka yang terpilih nantinya akan menghasilkan terobosan terobosan baru yang pro-
rakyat yang tentunya sesuai dengan visi misi yang membuat rakyat terbuai saat mereka
sedang berkampanye.
Hal ini juga ditujukan untuk sistem demokrasi yang benar – benar demokrasi,
bukan hanya bersembunyi dibalik “demokrasi” untuk memperoleh simpati. Rakyat juga
menginginkan yang terbaik untuk Indonesia. Penguasa pembuat kebijakan sudah
sepantasnya bertanggung jawab akan rakyat. Tidak hanya duduk manis menikmati
konsumsi saat rapat, tapi wajib berpendapat berdasarkan kondisi rakyat.