Esai Novel - Layar Terkembang

11
Essai Novel “Layar Terkembang” Emansipasi Wanita Oleh : Nova Sari Nursa’adah Layar Terkembang adalah novel besutan Sutan Takdir Alisyahbana yang keberadaannnya cukup terkenal di era Pujangga Baru. Banyaknya Romansa dan pengorbanan cinta yang membuat novel ini banyak diminati, khususnya remaja pada saat itu. Nama angkatan Pujangga Baru diambil dari sebuah nama majalah sastra yang terbit tahun 1933. Majalah itu bernama Pujangga Baroe. Majalah Pujangga Baru dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane. Keempat tokoh tersebutlah sebagai pelopor Pujangga Baru. Angkatan Pujangga Baru disebut Angkatan Tiga Puluh. Angkatan ini berlangsung mulai 1933 – 1942 (Masa penjajahan Jepang). Karya-karya sastra yang lahir dalam angkatan ini mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak terikat dengan tradisi, serta seni harus berorientasi pada kepentingan masyarakat. Di samping itu, kebudayaan yang dianut masyarakat adalah kebudayaan dinamis. Kebudayaan tersebut merupakan gabungan antara kebudayaan barat dan kebudayaan timur sehingga sifat kebudayaan Indonesia menjadi universal. Genre prosa Angkatan 33 (Pujangga Baru) berupa: Roman pada angkatan 33 ini banyak menggunakan bahasa individual, pengarang membiarkan pembaca mengambil simpulan sendiri, pelaku-pelaku hidup/ bergerak, pembaca seolah-olah diseret ke dalam suasana pikiran pelaku- pelakunya, mengutamakan jalan pikiran dan kehidupan pelaku- pelakunya. Dengan kata lain, hampir semua buku roman angkatan ini mengutamakan psikologi.

description

 

Transcript of Esai Novel - Layar Terkembang

Page 1: Esai Novel - Layar Terkembang

Essai Novel “Layar Terkembang”

Emansipasi WanitaOleh : Nova Sari Nursa’adah

Layar Terkembang adalah novel besutan Sutan Takdir Alisyahbana yang

keberadaannnya cukup terkenal di era Pujangga Baru. Banyaknya Romansa dan

pengorbanan cinta yang membuat novel ini banyak diminati, khususnya remaja pada

saat itu.  Nama angkatan Pujangga Baru diambil dari sebuah nama majalah sastra yang

terbit tahun 1933. Majalah itu bernama Pujangga Baroe. Majalah Pujangga Baru

dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane.

Keempat tokoh tersebutlah sebagai pelopor Pujangga Baru.

Angkatan Pujangga Baru disebut Angkatan Tiga Puluh. Angkatan

ini berlangsung mulai 1933 – 1942 (Masa penjajahan Jepang). Karya-karya sastra yang

lahir dalam angkatan ini mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan

tidak terikat dengan tradisi, serta seni harus berorientasi pada kepentingan masyarakat.

Di samping itu, kebudayaan yang dianut masyarakat adalah kebudayaan dinamis.

Kebudayaan tersebut merupakan gabungan antara kebudayaan barat dan kebudayaan

timur sehingga sifat kebudayaan Indonesia menjadi universal.

Genre prosa Angkatan 33 (Pujangga Baru) berupa:

Roman pada angkatan 33 ini banyak menggunakan bahasa individual, pengarang

membiarkan pembaca mengambil simpulan sendiri, pelaku-pelaku hidup/ bergerak,

pembaca seolah-olah diseret ke dalam suasana pikiran pelaku- pelakunya,

mengutamakan jalan pikiran dan kehidupan pelaku-pelakunya. Dengan kata lain, hampir

semua buku roman angkatan ini mengutamakan psikologi.

Isi roman angkatan ini tentang segala persoalan yang menjadi cita-cita sesuai dengan

semangat kebangunan bangsa Indonesia pada waktu itu, seperti politik, ekonomi, sosial,

filsafat, agama, kebudayaan.Di sisi lain, corak lukisannya bersifat romantis idealistis.

Contoh roman pada angkatan ini, yaitu  Belenggu  karya Armyn Pane (1940)  dan

Layar Terkembang  karya Sutan Takdir Alisyahbana.

Kalangan Pujangga Baru (angkatan 33) tidak banyak menghasilkan novel/cerpen.

Beberapa pengarang tersebut, antara lain:

1. Armyn Pane dengan cerpennya Barang Tiada Berharga dan Lupa.

Cerpen itu dikumpulkan dalam kumpulan cerpennya yang berjudul 

Kisah Antara Manusia (1953).

Page 2: Esai Novel - Layar Terkembang

2. Sutan Takdir Alisyahbana dengan cerpennya Panji Pustaka.

Sesuai dengan persatuan dan timbulnya kesadaran nasional, maka essay pada masa

angkatan ini mengupas soal bahasa, kesusastraan, kebudayaan, pengaruh barat, soal-soal

masyarakat umumnya.Semua itu menuju keindonesiaan. Essayist yang paling produktif

di kalangan Pujangga Baru adalah STA..

Angkatan 33 menghasilkan drama berdasarkan kejadian yang menunjukkankebesaran

dalam sejarah Indonesia. Hal ini merupakan perwujudan tentang anjuran mempelajari

sejarah kebudayaan dan bahasa sendiri untuk menanam rasakebangsaan. Drama

angkatan 33 ini mengandung semangat romantik dan idealisme, lari dari realita

kehidupan masa penjjahan tapi bercita-cita hendak melahirkan yang baru.

Contoh:

Sandhyakala ning Majapahit karya Sanusi Pane (1933)

Ken Arok dan Ken Dedes karya Moh. Yamin (1934)

Isi puisi angkatan 33 ini lebih memancarkan peranan kebangsaan, cinta kepada tanah air,

antikolonialis, dan kesadaran nasional. Akan tetapi, bagaimanapun usahanya untuk

bebas, ternyata dalam puisi angkatan ini masih terikat jumlah baris tiap bait dan nama

puisinya berdasarkan jumlah baris tiap baitnya, seperti distichon (2 seuntai), terzina (3

seuntai), kwatryn (4 seuntai), quint (5 seuntai), sektet (6 seuntai), septima (7 seuntai),

oktav (8 seuntai). Bahkan, ada juga yang gemar dalam bentuk soneta. Hal

tersebut tampak dalam kumpulan sanjak:

Puspa Mega karya Sanusi Pane

Madah Kelana karya Sanusi Pane

Tebaran Mega karya STA

Buah Rindu karya Amir Hamzah

Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah

Percikan Pemenungan karya Rustam effendi

Rindu Dendam karya J.E. Tatengkeng

Tokoh yang terkenal sebagai raja penyair Pujangga Baru dan Penyair Islam adalah Amir

Hamzah. Kumpulan sanjaknya adalah Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, dan Setanggi Timur.

Dengan demikian, ciri-ciri angkatan 33 ini yaitu:

(1). Tema utama adalah persatuan.

(2). Beraliran Romantis Idialis.

Page 3: Esai Novel - Layar Terkembang

(3). Dipengaruhi angkatan 80 dari negeri Bewlanda.

(4). Genre sastra yang paling banya adalah roman, novel, esai, dan sebagainya.

(5). Karya sastra yang paling menonjol adalah Layar Terkembang.

(6). Bentuk puisi dan prosa lebih terikat oleh kaidah-kaidah.

(7). Isi bercorak idealisme

(8). Mementingkan penggunaan bahasa yang indah-indah.

Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Tapanuli 11 Februari 1908. Ia pernah bekerja

sebagai redaktur kepala di Balai Pustaka pada tahun 1930. Keahliannya dalam

mengarang novel, essai, pangarang tata bahasa, ahli filsafat dan politikus membuat

dirinya dikenal pada zamannya. Dalam penulisannya ia selalu membahas tentang

eksistensialisme suatu karya sastra. Layar Terkembang sering disebut sebagai salah satu

puncak novel Pujangga Baru . Novel STA yang paling terkenal ialah Layar Terkembang,

suatu novel bertendens yang sejelas-jelasnya.

Kumpulan Karya Sutan Takdir Alisyahbana antara lain :

* Tak Putus Dirundung Malang [ Novel Karya 1929 ]

* Dian Tak Kunjung Padam [ Novel Karya  1932 ]

* Tebaran Mega [ Kumpulan Sajak Karya  1935 ]

* Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia [ Karya  Tahun 1936 ]

* Layar Terkembang [ Novel Karya 1936 ]

Seperti Halnya Kebanyakan Tokoh Sastra Yang Sejaman Dengan Sutan Takdir

Alisyahbana, Bakat Dan Kecintaan Mereka Terhadap Bahasa Juga Membuat Mereka

Menterjemahkan Beberapa Buku Berbahasa Asing Kedalam Bahasa Indonesia,

Tidak Mengherankan Jika Cerita Dan Riwayat Sutan Takdir Alisyahbana Kemudian

Dibukukan. Sebagai Tokoh Yang Memiliki Banyak Kharisma Dan Banyak Dibutuhkan

Referensi Sejarahnya. Buku Yang Menulis Tentang Sutan Takdir Alisyahbana : 

* S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908 – 1994 [ Oleh

Muhammmad Fauzi, 1999 ]

* Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir

Alisjahbana [ Oleh S. Abdul Karim Mashad, 2006 ]

Page 4: Esai Novel - Layar Terkembang

Karir Politik Dan Berorganisasi Pun Tidak Dapat Dikatakan Sedikit, Menjadi

Anggota Parlemen Dari Periode 1945 Sampai Tahun 1949 Dari Partai Sosialis

Indonesia, Anggota Komite Nasional Indonesia, Menjadi Anggota Konstituante Sejak

1950 Sampai dengan Tahun 1960 Juga Pernah Dijabatnya.

Selain Itu, pernah Juga Menjadi Anggota Societe De Linguitique De Paris Sejak

Tahun 1951, Anggota Commite Of Directors Of The International Federation Of

Philosophical Sociaties [ 1954 - 1959 ], Anggota Board Of Directors Of The Study

Mankind, AS Sejak Tahun 1968, Anggota World Futures Studies Federation, Roma

Sejak Tahun 1974, Dan Anggota Kehormatan Koninklijk Institute Voor Taal, Land En

Volkenkunde, Belanda Sejak Tahun 1976.

Novel Layar Terkembang ini mengisahkan perjuangan wanita Indonesia dalam

mencapai cita-citanya. Roman ini termasuk novel modern disaat sebagian besar

masyarakat Indonesia masih dalam pemikiran lama (1936). Novel ini banyak

memperkenalkan masalah wanita Indonesia dengan benturan-benturan budaya baru,

menuju pemikiran modern. Hak-hak wanita, yang banyak disusung oleh budaya modern

dengan kesadaran gender, banyak diungkapkan dalam novel ini dan menjadi sisi

perjuangannya seperti berwawasan luas dan mandiri. Didalamnya juga banyak

memperkenalkan masalah-masalah baru tentang benturan kebudayaan antara barat dan

timur serta masalah agama.

Layar terkembang adalah novel tipis, hanya 166 halaman. Romansa di dalamnya

pun tak terlalu istimewa. Kisah cinta segitiga antara Yusuf, Maria, dan Tuti mudah

ditebak akhirnya. Kematian Maria di akhir cerita bukanlah alasan bagi pembaca untuk

berkaca-kaca. Tak ada pendalaman tokoh, plotnya pun amat sederhana. Tapi semua

orang tahu, novel yang terbit pada 1936 ini memiliki peran penting dalam pembangunan

karakter kebangsaan pada awal-awal pembentukan bangsa. Kisah cinta segitiga hanyalah

sampiran untuk mendukung ide-ide tegas yang ingin ia sampaikan. Meski Takdir lebih

dulu dikenal sebagai seorang sastrawan, banyak yang meyakini Takdir hanya

menjadikan sastra sebagai sebuah media untuk menerangkan buah pikir dan filsafatnya

agar lebih mudah diterima masyarakat.

  Ada seorang pemuda bernama Yusuf, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi

Kedokteran di Jakarta. Tuti dan Maria berjumpa dengannya di pasar ikan ketika sedang

asyik melihat-lihat akuarium. Diam-diam Yusuf jatuh hati kepada Maria, gadis yang

wajahnya selalu ceria dengan bibir yang selalu tersenyum itu memancarkan semangat

hidup yang dinamis.

Saat Yusuf  hendak pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka, ia bertemu kembali

dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Dengan senang hati dia mengawani

keduanya berjalan-jalan. Semenjak itu, pertemuan Yusuf dengan Maria menjadi kerap.

Page 5: Esai Novel - Layar Terkembang

Sedang Tuti sibuk oleh berbagai kegiatan organisasi. Tuti memiliki cita-cita memajukan

kaumnya. Setelah memperoleh restu dari kedua orang tuanya di Martapura, Yusuf

menyusul Maria ke Bandung. Di sanalah, di sekitar air terjun Dago, Yusuf menyatakan

cintanya kepada Maria. Dan perjalanan cinta antara Yusuf dan Maria pun bermula,

serupa kapal dengan layar terkembang mengarungi samudera kehidupan. Dan Tuti yang

kian sibuk dengan buku-bukunya, diam-diam mendamba kehangatan cinta seperti yang

tengah dirasa Yusuf dan Maria.

Tuti teringat pada Supomo. Lelaki itu pernah berkirim surat cinta kepadanya.

Namun, Tuti belum memberi jawaban kepadanya. Pada saat Maria jatuh sakit, adik

Supomo datang menagih jawaban dari Tuti untuk kakaknya. Tuti menjadi bimbang.

Meskipun sesungguhnya gadis itu tengah mendamba cinta kasih dari seorang lelaki,

Supomo bukanlah lelaki yang didambanya.

Penyakit Maria kian parah. Ia mulai menyerahkan segalanya pada Yang Kuasa.

Pada suatu ketika, Tuti pergi bersama Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di

pedesaan. Ia melihat betapa kedua pasangan itu, meski hidup di desa dengan bercocok

tanam, tetapi mampu menanamkan pentingnya pendidikan pada masyarakat di

sekitarnya. Tuti menyadari, bahwa untuk menjadi berguna bagi masyarakat, tak harus di

kota sibuk dengan berbagai oraganisasi. Hubungan Tuti dan Yusuf pun menjadi kian

karib. Sedang kondisi Maria bertambah semakin parah. Pada ketika itulah, Maria

mengucap pesan kepada keduanya. Adapun pesan Maria kepada Tuti ialah Alangkah

bahagianya saya di akhirat nanti, kalu saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun

dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya beberapa dalam beberapa hari in.

Inilah permintaan saya yang penghabisan, dan saya, saya tidak rela selama-lamanya,

kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain. Dan

mengakibatkan Tuti dan Yusuf yang bersatu.

Adapun nilai moral dan nilai yang dapat diambil bagi pembaca yang terdapat

dalam novel ini ialah saling menghargai dan harus menyeimbangkan antara kepentingan

pribadi dan kepentingnan umum. Dan cara meyetarakan gender tidak hanya dengan

berorganisasi namun juga dengan bersosialisasi dan mengerjakan sesuatu secara

bersamaan dan saling membantu antara pria dan wanita.

Kehidupan manusia seperti layar yang senantiasa harus berkembang untuk

menjalankan roda-rodanya. Antara cinta dan pekerjaan posisinya juga haarus seimbang.

Tidak ada yang lebih diprioritaskan atau lebih dipentingkan dari keduanya. Apabila cinta

tidak berjalan dengan mulus, jalan satu-satunya adalah kita harus rela berkorban untuk

menjalankan semua itu. Kehidupan manusia juga tak ubah hanya rencana Tuhan, tidak

selalu berjalan dengan mulus.

Page 6: Esai Novel - Layar Terkembang

Emansipasi wanita merupakan gerakan yang dilakukan kaum hawa sebagai

persamaan derajat antara wanita dan pria, dalam kaitannya tokoh Tuti dalam novel Layar

Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dengan karakter pendiam, teguh pendirian,

dan organisatoris. Kaum wanita yang selalu dianggap rendah oleh laki-laki, dengan

hadirnya tokoh imajiner Tuti. Tuti mencoba untuk melawan bahwa wanita tidak harus

selalu mengalah, maka ada sebuah kalimat menentang kepada bangsa dan kaum laki-laki

dalam pidatonya. Segala sifat, segala kecakapan diarahkan menuju perkawinan, menuju

pekerjaan mengabdi pada laki-laki (hal. 46).

Kaum wanita sangat tidak ada artinya di mata kaum laki-laki. Maka dengan sebuah

karakter tokoh Tuti. Sutan Takdir Alisjahbana mencoba ingin melawan paradigma

terbalik bangsa kita, khususnya kaum laki-laki yang selalu memperlakukan wanita tidak

bedanya dengan benda mati yang bisa diotak-atik semaunya.

Maka sangat menarik untuk kita kaji bersama tokoh imajiner Tuti yang mempunyai

adik kandung namanya Maria. Mereka anak Raden Wiriatmaja, bekas wedana di daerah

Banten, yang pada ketika itu hidup pensiunan di Jakarta Bersama kedua anaknya itu.

Kedua saudara kandung antara Tuti dan Maria mempunyai perbedaan yang sangat

mencolok, dengan gambaran awal yang digambarkan seorang pengarang bahwa maria

yang gampang kagum pada suatu hal dan dia sendiri belum tau hakikatnya. Sedangkan

Tuti. Segala sesuatu diukurnya dengan kecakapannya sendiri, sebabab ia jarang memuji

(hal. 3). Itulah kalimat pengarang untuk menggambarkan karakter tokoh Tuti.

Emansipasi wanita yang dulu pernah dideklarasikan oleh Raden Ajeng Kartini

membuka cakrawala imajinasi tersendiri bagi seorang pengarang untuk merangkai kata

menjadi sebuah karya sastra, dalam hal ini adalah Novel Layar Terkembang Karya Sutan

Takdir Alisjahbana (STA). Mencoba mendobrak paradigma terbalik masyarakat tentang

seorang wanita yang selalu dianggap sebagai tawanan dalam penjara, tidak bisa bergerak

semau kata hatinya, mereka selalu dituntut laki-laki (suaminya) untuk menuruti apa yang

dia inginkan. Sehingga STA memunculkan tokoh imajiner Tuti dalam novelnya sebagai

bentuk keritikan kepada bangsa, budaya, dan laki-laki khususnya. Maskipun STA sendiri

seorang laki-laki, dia tidak mendekotomiskan antara laki-laki dan wanita, tapi siapa yang

melakukan tindakan merugikan itulah yang salah.

Maka emansipasi wanita harus di tegagkan di berbagai penjuru bangsa, sebagai

pemahaman kepada kaum hawa yang masih tertindas atau belum merdeka karena kaum

laki-laki. Jadi STA memunculkan suatu konsep baru dalam novelnya untuk merefolusi

perbedaan yang sengaja dianut kaum laki-laki untuk memperlakukan wanita sebagai

budak, dan laki-laki adalah rajanya.

Kemudian dihadirkannyalah tokoh Tuti anak Raden Wiriatmaja dengan umur dua

puluh lima tahun yang menjadi organistoris penggerak emansipasi, sehingga dalam

pidatonya ada bentuk perlawanan yang dimunculkan.

Page 7: Esai Novel - Layar Terkembang

“Hitam, hitam sekali penghidupan permpuan bangsa kita di masa yang silam, lebih

hitam, lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki

yang mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri, yang mempunyai hidup sendiri,

perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan

melahirkkan anak bagi laki-laki, dengan tiada mempunyai hak. Setinggi-tingginya ia

menjadi perhiasan, menjadi permainan yang dimulia-muliakan selagi disukai, tetapi

dibuang dan ditukar apbila telah kabur cahayanya, telah hilang serinya” (hal. 41).

Potongan pidato Tuti diatas menyindir kaum laki-laki dengan bentuk perlakuanya

yang terkadang memposisikan kaum wanita adalah orang terpuji ketika seorang laki-laki

membutuhkannya, tapi katika kebutuhannya selesai seorang laki-laki akan mencari yang

lain dan akan membuangnya kembali jika sudah bosan. Lantas bagi kaum laki-laki apa

arti seorang wanita kalau tak ubahnya dengan sebuah sepatu, sudah bosan atau rusak

dibuang lalu beli yang lain. Kesenjangan itulah yang dicoba ditentang oleh Tuti.

Jadi kesimpulannya perkembangan zaman membuat gerakan emansipasi banyak

dilakukan oleh wanita-wanita di Indonesia. Tidak sedikit wanita yang mencetak prestasi

dan mampu mengharumkan nama bangsa Indonesia dengan prestasi-prestasi yang

diperolehnya. Semakin lama semakin pudar kesenjangan kedudukan yang ada antara

pria dan wanita. Namun tidak jarang kita temukan kedudukan wanita yang justru lebih

tinggi daripada kedudukan pria. Saat ini perlakuan berbeda terhadap pria dan wanita

sudah jarang dilakukan.

            Tapi, semakin lama mulai terjadi penyimpangan makna emansipasi yang

dilakukan oleh wanita-wanita yang hidup di era globalisasi seperti saat ini. Emansipasi

tidak lagi digunakan untuk menyejajarkan kedudukan pria dan wanita, emansipasi justru

digunakan untuk membuktikan bahwa kaum wanita lebih hebat daripada kaum pria. Hal

ini jelas bukan suatu kesejajaran kedudukan. Bukan hanya itu, tidak sedikit wanita yang

memiliki pola hidup bebas mengatas namakan emansipasi wanita, tidak ingin tindakan

yang dilakukannya dianggap salah hanya karena ia seorang wanita.

            Penyimpangan makna emansipasi wanita di era globalisasi ini lama-lama akan

membuat melekatnya stigma kasar baru yang menggantikan stigma “kasur, sumur,

dapur” pada diri wanita-wanita saat ini. Jelas tidak ada yang menginginkan perjuangan

Kartini untuk menyejajarkan kedudukan antara pria dan wanita menjadi sia-sia karena

tindakan-tindakan yang melenceng dari makna emansipasi yang sesungguhnya. Jadi

mari kita luruskan kembali makna emansipasi di era globalisasi ini, jangan sampai

penyimpangan makna yang terjadi membuat wanita kembali dipandang sebelah mata

oleh masyarakat.