Eramuslim- Diponegoro2

download Eramuslim- Diponegoro2

of 49

Transcript of Eramuslim- Diponegoro2

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    1/49

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    2/49

    PROLOG

    Plered, Jawa Tengah, 1647

    APA YANG SEKARANG DILIHAT DENGAN mata dan kepalanya sendiri sungguh-sungguh

    membuat Dyah Jayengsari ingin muntah. Dua jam lalu, kepala juru masak kraton

    menyuruhnya membakar panci besi tebal. Bentuknya seperti topi. Dyah Jayengsari tidak

    berani bertanya untuk apa panci besi itu dibakar. Sebagai orang baru di kraton, dia harus

    tahu diri. Walau diliputi tanda tanya besar, namun gadis dari Krapyak ini tidak berani

    bertanya macam-macam.

    Setelah panci itu membara, berubah jadi pijar panas yang mengerikan, dua prajurit

    Mataram menggotongnya dengan sebuah gerobak kayu ke bagian selatan alun-alun yang

    tidak jauh dari tempat Dyah Jayengsari berdiri. Di sana berkerumun banyak orang. Para

    prajurit juga berjaga-jaga Menurut kabar burung, seorang pemberontak pengikut Pangeran

    Alit tertangkap. Dia akan segera dihukum. Gadis itu tidak tahu apa hubungannya dengan

    panci panas itu.

    Didorong penasaran, dia berjalan mendekati kerumunan. Dengan susah payah Dyah

    Jayengsari menyibak kerumunan orang, hingga akhirnya dia berdiri dekat dengan seorang

    lelaki paruh baya, bertelanjang dada, yang sedang duduk bersimpuh dengan tangan terikat.

    Kedua matanya ditutup secarik kain hitam. Satu tombak di depan lelaki itu, terdapat sebuah

    lubang seukuran badan orang dewasa. Lima prajurit kraton berjaga di sampingnya.

    Tanda tanya besar masih memenuhi kepala gadis itu.

    Tiba-tiba seorang prajurit Mataram yang bertindak selaku algojo memerintahkan agar sang

    pesakitan dipendam di lubang yang ada di depannya. Lima orang prajurit bertubuh besar

    yang berjaga di sekeliling lelaki itu bergegas mengangkatnya. Dengan kasar mereka

    mengubur tubuh lelaki itu dari leher ke bawah.

    Anehnya, lelaki itu tidak meronta-ronta. Ketika kain hitam dibuka, kedua matanya tidak

    menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sorot matanya begitu tenang, menyiratkan kepasrahanyang total pada kehendak Yang Maha Kuasa. Mulutnya terlihat komat-kamit membaca doa-

    doa dalam bahasa Arab.

    Dari belakang, dua prajurit yang tadi ikut mengubur lelaki itu menggotong panci yang masih

    membara dan kemudian segera menangkupkan panci itu ke kepala sang pesakitan.

    Allahu Akbar!!!

    Lelaki itu melolong kesakitan. Begitu keras dan memilukan. Tak kuat menahan sengatan

    sakit yang luar biasa, lelaki itu langsung pingsan. Topi besi panas itu melumerkan batokkepalanya. Suara gemerisik terdengar, seiring desis daging terbakar. Semua yang menonton

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    3/49

    menjerit ketakutan. Termasuk Dyah Jayengsari. Badan gadis itu menggigil hebat. Perutnya

    mual. Pandangan matanya berkunang-kunang. Kesadarannya mulai hilang. Dyah Jayengsari

    akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

    Gadis itu tiba-tiba tersadar. Dia menengok ke sekeliling ruangan. Tidak ada kerumunan

    orang. Dia ternyata sendirian di bilik tidurnya. Mimpi itu ternyata terulang kembali. Mimpi

    nyata yang pernah dilihatnya beberapa pekan lalu.

    Dari atap rumbia yang bolong di sana-sini hingga menyisakan ruang bagi sorot matahari

    yang menerobos ke dalam, Dyah Jayengsari tahu bahwa hari masih siang. Arah sinarnya ke

    timur menandakan Sang Surya telah mulai tergelincir ke barat.

    Entah mengapa, perasaan gadis itu tidak enak. Keringatnya mengucur deras membasahi

    bajunya. Jantungnya berdegup keras menggedor-gedor relung dadanya. Baru saja dia

    hendak berdiri, sebuah teriakan keras mengagetkan dirinya.

    Keluar! Atas nama Paduka Yang Mulia, semua yang ada di dalam rumah ini keluar!

    Dyah Jayengsari menggigil ketakutan. Gadis itu tahu, teriakan itu berasal dari prajurit

    kraton.

    Gerangan apa yang membuat mereka ke sini?

    Cepat keluar! Atau kami dobrak!

    Sambil berjalan, Dyah Jayengsari merenggut kerudung yang tersampir di bilik bambu dindingkamar dan menutupi kepala sekadarnya. Gadis itu bergegas keluar. Rumah sepi. Hanya ada

    dirinya. Benar saja, di depan pintu telah berdiri tiga orang prajurit kraton lengkap dengan

    pedang dan tombak. Yang membuatnya kaget, ayahnya dan Wulung Ludhiraadik satu-

    satunya yang masih berusia sepuluh tahunsudah berada di antara pasukan itu dengan

    pengawalan ketat.

    Siapa lagi yang ada di dalam! hardik salah seorang prajurit. Tangan kananny a

    menggenggam tombak dengan ujung besi mirip trisula.

    Tidak ada lagi, Tuan. Saya sendirian..., jawab Dyah pelan. Ketakutan segera menyergap

    dirinya. Tapi prajurit-prajurit kraton itu tidak percaya. Mereka mendobrak gubuk itu lalu

    menerabas ke dalam. Sesaat kemudian mereka keluar tanpa membawa siapa pun. Nihil.

    Dia benar. Tak ada lagi orang...

    Seorang prajurit yang sepertinya bertindak sebagai kepala regu memerintahkan semuanya

    pergi ke alun-alun. Dyah Jayengsari, ayah, serta adiknya hanya bisa mengikuti pasukan

    penjemputnya dengan menaiki seekor kuda yang telah diikat tali. Untunglah gubuk mereka

    tidak begitu jauh dengan alun-alun, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah tiba di

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    4/49

    lapangan yang luas, di mana di sebelah selatannya berdiri bangunan Kraton Plered yang

    belum rampung dibangun. Walau demikian, Raja Amangkurat I sudah menempatinya.

    Kraton Mataram Plered merupakan kraton baru. Yang lama berada di Kerto, lima kilometer

    selatan Kotagede. Adalah Susuhunan Amangkurat I yang memindahkan pusat kerajaannya

    itu dari Kerto setelah dua tahun berkuasa.

    Berbeda dengan kraton lama yang hanya berpagar kayu, maka kraton baru ini lebih mirip

    sebuah benteng. Bangunannya dikelilingi dinding batubata dan semen, dengan tinggi lima

    sampai enam meter. Tebalnya mencapai satu setengah meter. Sebuah parit buatan yang

    terhubung dengan Kali Opak dibuat mengelilingi kraton-benteng berbentuk belah ketupat

    ini, sehingga pusat kekuasaan Mataram di bawah Amangkurat I tampak seperti sebuah

    pulau di kelilingi daratan luas.

    Alun-alun kraton ada dua, di utara dan selatan. Antara alun-alun dengan istana dihubungkandengan sebuah jembatan yang selalu dijaga ketat prajurit kraton. Model keraton-benteng ini

    mengingatkan kita pada model istana-benteng raja-raja Eropa.

    Hanya saja, bangunan Keraton Mataram di Plered tidak dibuat tinggi bertingkat-tingkat.

    Dari atas kudanya yang berjalan lambat, Dyah Jayengsari, Wulung Ludhira, dan Ki Ageng

    Ludhira baru memasuki jalan utama menuju alun-alun kraton. Di sisi kanan dan kiri jalan

    utama yang lurus terbuat dari tanah yang dipadatkan, berjejer beringin putih setinggi empat

    sampai lima meteran. Di tiap pohon beringin, dua pasukan kraton bersenjatakan tombak

    berdiri dalam sikap siaga seolah tengah bersiap berperang.

    Ada apa gerangan, Nduk? bisik Ki Ageng Ludhira kepada anaknya yang duduk di

    belakangnya mengapit Wulung.

    Gadis itu menggelengkan kepalanya, Aku ndak tahu, Pak. Tapi perasaanku ndak enak.

    Berdoa saja ya, Nduk. Perasaanku juga tidak enak. Mudah-mudahan tidak terjadi suatu

    apa.

    Walau berkata begitu, tetapi kedua mata Ki Ageng Ludhira tidak bisa membohongi anaknya.Dyah Jayengsari tahu jika sesuatu yang buruk pasti akan terjadi. Apa yang dilakukan prajurit-

    prajurit ini pasti atas perintah Susuhunan Amangkurat I. Dan semua yang dilakukan raja

    lalim ini semuanya pasti berakhir tragis. Karakter raja ini sangat buruk. Dia amat berbeda

    dengan ayahnya, Sultan Agung Hanyokrokusumah, dan juga dengan adik-adiknya.

    Di awal kekuasaannya, Amangkurat I melakukan pembersihan terhadap loyalis ayahnya

    sendiri yang berada di dalam lingkungan kraton maupun di luar. Mereka dibunuh dengan

    cara yang sangat keji. Jumlahnya mencapai tiga ribuan.

    Menurut bisik-bisik orang kraton sendiri, Amangkurat I memiliki kegemaran yang tidak

    lazim. Selain memiliki nafsu yang tak pernah terpuaskan terhadap perempuan-perempuan

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    5/49

    muda, raja ini juga gemar menyiksa rakyatnya. Bahkan sang raja menciptakan sendiri cara-

    cara penyiksaan yang teramat sadis, terlebih kepada orang-orang yang dicurigai hendak

    melawan kekuasaannya. Cara-cara penyiksaan ala Amangkurat I di antaranya adalah:

    Pertama, dari bagian atas telinga, kepala pesakitan dikuliti sampai batok kepalanya terlihat.

    Orang-orang yang mendapat hukuman ini kebanyakan meninggal dunia. Namun ada pula

    yang masih bisa bertahan hidup walau kemudian akhirnya juga menemui ajal dengan amat

    menyakitkan.

    Kedua, kaki pesakitan diikat, lalu digantung dengan posisi kepala di bawah. Di bawah

    kepala, ditaruh panci panas berukuran besar berisi minyak yang mendidih. Kemudian,

    kepala orang itu dicelupkan ke dalam minyak yang bergolak sampai sebatas telinga hingga

    rambut dan kulit kepalanya mengelupas. Semua yang mengalami siksaan jenis ini menemui

    ajal karena sakit yang tak terperikan.

    Ketiga, siksaan yang tak kalah menakutkan adalah si terhukum diperintahkan untuk

    mengenakan topi besi yang tebal yang telah dipanaskan hingga menjadi merah membara.

    Rambut akan hangus, kulit kepala terkelupas dan gosong, dan otaknya akan terbakar. Tak

    ada yang selamat dari jenis siksaan seperti ini.

    Dan sore ini, sesuatu yang mengerikan sepertinya akan terjadi. Dyah Jayengsari mendapati

    dirinya tidak sendirian. Dari berbagai arah, juga berdatanganmengalir bagai air bah

    ribuan ulama, guru ngaji, anak-anak santri dan santriwati, beserta seluruh keluarganya, yang

    seluruhnya digiring dan dijaga ketat pasukan Mataram ke alun-alun. Semuanya dikumpulkan

    di lapangan yang luas hingga tercipta lautan jubah putih.

    Di tanah lapang itu mereka semua dikumpulkan menjadi satu. Semuanya, tanpa kecuali,

    disuruh duduk bersila di atas tanah menghadap ke arah timur di mana sebuah bukit yang

    tidak begitu tinggi tampak memanjang searah dengan aliran Kali Opak. Ribuan orang itu,

    besar dan kecil, tua dan muda, duduk di atas tanah dalam barisan yang diatur paksa oleh

    para prajurit.

    Di sekeliling lapangan, tiga lapis pasukan Mataram bersenjata pedang dan tombak

    mengepung orang-orang itu dalam formasi siaga. Agaknya Amangkurat I memerintahkansemua pasukannya mengepung alun-alun dengan rapat, hingga tak ada celah untuk

    meloloskan diri.

    Ketika hari sudah mulai gelap, ribuan ulama, santri, dan keluarganya dilarang untuk

    menunaikan sholat maghrib. Para prajurit mengancam, siapa pun yang ketahuan

    mengerjakan sholat, akan langsung ditebas lehernya. Beberapa ulama tidak mengindahkan

    ancaman itu dan tetap mengerjakan sholat, walau sambil duduk. Celakanya, hal itu

    diketahui para prajurit. Tanpa ampun lagi, mereka memenggal leher beberapa ulama

    tersebut dengan pedangnya. Jerit dan tangis segera pecah di tengah kerumunan massa.Namun suasana dengan cepat jadi senyap kembali karena para prajurit itu lagi-lagi

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    6/49

    mengeluarkan ancamannya akan melakukan hal yang sama jika ada yang berani berteriak

    atau membuat ribut.

    Dalam kesenyapan yang mencekam itu tiba-tiba semua mata melihat ke arah pintu gerbang

    kraton yang menuju ke bukit di sebelah timur alun-alun yang tanpak bercahaya. Dari gapura

    batu kali setinggi enam meteran, serombongan orang dengan membawa tiang obor keluar

    dari dalam kraton. Di belakang pasukan obor terlihat sepuluh orang anggota Trisat Kenya,

    pasukan khusus pengawal raja yang semuanya terdiri dari perawan cantik dengan pakaian

    lelaki bersulam emas, terlihat menyandang pedang dan tombak. Di bawah cahaya ratusan

    obor, pasukan itu terlihat begitu anggun dan gagah.

    Trisat Kenya..., ujar Dyah Jayengsari lirih. Ayahnya hanya mengangguk-anggukan

    kepalanya. Bibirnya yang sudah kering karena tidak diberi air minum sejak berada di alun-

    alun, terus bergerak-gerak melantunkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Bola kecil di

    tenggorokannya terus bergerak-gerak tak pernah berhenti.

    Ki Ageng Ludhira dan juga Dyah Jayengsari tahu, Trisat Kenya merupakan pasukan khusus

    pengawal Susuhunan Amangkurat Agung I yang semuanya terdiri dari para perawan cantik

    yang dibekali olah kanjuragan tingkat tinggi. Disebut sebagai pasukan pengawal khusus

    karena tugas seorang Trisat Kenya bukan saja bertanggungjawab terhadap keamanan dan

    keselamatan fisik sang raja, namun juga wajib menjaga kewibawaan dan melindungi rahasia

    sang raja dalam hal yang paling pribadi sekali pun.

    Pasukan ini merupakan hal yang baru dalam tradisi Mataram Islam. Adalah Kanjeng Ratu Ibu

    yang membentuk pasukan ini untuk menjaga Amangkurat I. Sang Ibu sungguh-sungguh

    paham jika sejak kecil Amangkurat I yang memiliki perangai buruk, memang punya banyak

    musuh. Jauh di dalam hatinya, Kanjeng Ratu Ibu sesungguhnya menyesal dan meratapi

    keberadaan Raden Mas Sayidin, nama kecil dari Susuhunan Amangkurat I, yang bersifat

    kurang baik, beda dengan adiknya, Pangeran Alit.

    Raden Mas Sayidin sangat temperamental, kekanak-kanakan, dan memiliki kegemaran yang

    tidak masuk akal dan tidak terpuaskan terhadap perempuan. Pada tahun 1637, ketika masih

    berstatus sebagai putra mahkota, Raden Mas Sayidin sudah terlibat dalam skandal

    memalukan yang melibatkan isteri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna.

    Tumenggung kepercayaan Sultan Agung ini melaporkan hal itu kepada Sultan Agung.

    Akibatnya Raden Mas Sayidin dihukum. Untuk beberapa lama, dia dibuang ke hutan

    larangan.

    Kejadian ini kelak menimbulkan dendam membara di dada putera mahkota tersebut,

    sehingga di awal kekuasaanya, Raden Mas Sayidin yang telah menjadi Susuhunan

    Amangkurat I membunuh Tumenggung Wiraguna dan seluruh pengikutnya.

    Namun sebagai seorang ibu, apa dan bagaimana pun juga perangai sang anak, dia tetaplahharus menjaga dan melindungi anaknya, bahkan walau nyawanya sendiri jadi taruhan. Itulah

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    7/49

    yang dilakukan Kanjeng Ratu Ibu yang berinisiatif membentuk pasukan khusus pengawal

    raja.

    Awalnya, Kanjeng Ratu Ibualias Ratu Wetan, puteri dari Tumenggung Upasanta yang

    merupakan Bupati Batang keturunan dari Ki Juru Martanimenginginkan sang raja dijaga

    prajurit lelaki pilihan. Namun Amangkurat I sendiri menolaknya dan mengatakan dia tidak

    bisa mempercayai laki-laki sedikit pun. Anaknya itu meminta agar seluruh anggota pasukan

    pengawal khususnya hanya terdiri dari para perempuan muda, masih perawan, dan tentu

    saja harus cantik.

    Mereka harus dilatih dengan keras agar terampil menggunakan senjata, dan juga harus

    dibekali olah kanuragan yang mumpuni, ujar Amangkurat I kepada Kanjeng Ratu Ibu.

    ...dan tugas atau keanggotaan setiap Trisat Kenya hanya akan berakhir manakala mereka

    dihadiahkan kepada para adipati atau bawahanku.

    Sang ibu hanya bisa mengangguk. Setiap keinginan sang raja bagaimana pun adalah sabda

    pandhita ratu, yang tidak bisa ditolak sedikit pun. Akhirnya terbentuklah pasukan Trisat

    Kenya yang seperti sekarang tengah berjalan dengan langkah tegap menaiki bukit di timur

    alun-alun.

    Sepuluh Trisat Kenya yang berbaris paling depan adalah pembuka jalan. Di belakangnya,

    sepuluh abdi dalem laki-laki bertelanjang dada tanpa dibekali senjata, menggotong tandu

    besar berisi kursi raja yang terbuat dari jati yang berat, lengkap dengan atapnya yang

    berumbai sutera dan bordiran benang emas. Di sekeliling raja, tigapuluh anggota Trisat

    Kenya berjaga. Ada yang membawa pedang, keris, tombak, dan juga tulup, sejenis sumpit

    panjang yang diisi dengan panah kecil yang ujungnya beracun. Masing-masing Trisat Kenya

    punya keahlian berbeda dalam penggunaan senjata dan juga ilmu kanuragannya.

    Pelan tapi pasti, rombongan raja itu bergerak menaiki puncak perbukitan. Beberapa lelaki

    tua pembawa tiang obor setinggi dua tombak berada paling depan membuka jalan. Di

    bagian paling belakang juga ditutup sejumlah abdi dalem laki-laki sepuh memegang tiang

    obor. Ketika singgasana diturunkan di tempat yang paling tinggi, para abdi dalem laki-laki

    semuanya langsung turun kembali ke bawah bukit. Demikian pula dengan yang membawa

    obor. Sehingga sekarang hanya ada sang raja yang duduk dengan pongahnya di atas

    singgasana, dikelilingi empatpuluhan Trisat Kenya lengkap dengan senjatanya.

    Suasana kemudian bertambah hening. Kesenyapan selama beberapa menit itu sungguh-

    sungguh meremas jantung. Semua mata memandang ke atas bukit, menanti apa yang

    hendak dilakukan atau diperintahkan oleh sang raja. Untuk beberapa lama sang raja hanya

    duduk diam di atas singgasananya. Mungkin dia tengah menikmati lautan jubah putih yang

    memenuhi alun-alun yang berada di bawah kakinya. Entah apa yang ada di dalam benaknya

    ketika itu.

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    8/49

    Dyah Jayengsari, Ki Ageng Ludhira, dan ribuan orang lainnya yang masih duduk di alun-alun

    melihat dari kejauhan ketika Susuhunan Amangkurat I mulai bergerak turun dari

    singgasananya. Dia berjalan beberapa langkah ke depan, dan berdiri dengan kedua tangan

    berkacak pinggang.

    Raja lalim itu terus berdiri dengan tegak. Kedua tangannya masih berkacak pinggang. Dia

    mengedarkan pandangan ke bawah kakinya, menyapu seluruh areal alun-alun kratonnya.

    Bibirnya yang menghitam mencibir. Sorot matanya yang dipenuhi dendam kesumat

    berbinar-binar tanda puas. Kepalanya mengangguk-angguk. Dengan tangan kanan masih

    berkacak pinggang, tiba-tiba tangan kirinya diangkat ke atas tinggi-tinggi. Sebuah perintah

    yang hanya dipahami seluruh pasukannya yang sedari sore telah siap dengan senjatanya.

    Habisi !!! teriak para komandan regu dengan suara yang menggelegar.

    Seketika itu juga berlompatanlah para prajurit itu dengan pedang terhunus ke tengah-tengah lapangan yang dipenuhi lautan manusia tanpa daya. Dengan teramat ganas, pasukan

    Mataram itu menyabetkan pedangnya ke kanan dan kiri, memenggal leher siapa pun yang

    ada di dekatnya tanpa pandang bulu, apakah itu laki-laki tua, perempuan, bahkan anak kecil.

    Jerit tangis, lolong kesakitan, dan kumandang doa memenuhi angkasa alun-alun kraton

    malam itu. Namun tak ada yang sanggup menghentikan kegilaan yang tengah

    dipertontonkan pasukan Mataram yang notabene kebanyakan juga sudah memeluk agama

    Islam.

    Di atas bukit, Amangkurat I masih berkacak pinggang menyaksikan pembantaian besar yang

    dilakukan prajuritnya terhadap enam ribuan ulama, santri, dan seluruh keluarganya.

    Kepalanya mengangguk-angguk puas. Sesekali jemarinya memilin kumisnya yang tebal

    melintang. Dia benar-benar menikmati pemandangan di bawahnya. Betapa ribuan orang

    yang tengah menanti ajal itu sebentar lagi akan lenyap dari muka bumi. Musuh-musuhnya

    akan semakin sedikit. Dan dia akan bisa berkuasa dengan tenang, tanpa diusik oleh siapa

    pun.

    Raja Jawa itu merasa sangat aman berada di atas bukit. Di sekelilingnya berdiri dengan

    kewaspadaan penuh puluhan Trisat Kenya.

    Dalam waktu teramat singkat, ribuan nyawa melayang dengan kepala terpisah dari

    jasadnya. Tanah alun-alun yang begitu luas seketika berubah menjadi lautan darah. Dari

    cahaya ratusan tiang obor yang menyala di sekeliling alun-alun, terlihat pasukan Mataram

    yang sudah belepotan darah itu masih saja bergerak buas membunuh ke sana-kemari tanpa

    perlawanan. Pasukan yang sebagian pernah ikut menyerang VOC di Batavia semasa

    kekuasaan Sultan Agung itu kini berbalik menjadi mesin penjagal bagi bangsanya sendiri.

    Pembantaian yang sangat mengerikan itu berlangsung tidak sampai setengah jam!

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    9/49

    Tiba-tiba terdengar lengkingan peluit panjang tiga kali yang ditiup para pimpinan regu

    pasukan. Penyembelihan telah berakhir. Semua orang yang ada di dalam daftar berikut

    keluarganya sudah dihabisi. Mendengar isyarat peluit itu, Amangkurat I mengangkat tangan

    kanannya tinggi-tinggi.

    Buang semua mayat itu ke parit!

    Sebagian prajurit yang masih bersiaga dengan pedang terhunus berjajar satu lapis dalam

    jarak tiap lima tombak mengepung alun-alun. Pedang dan badan mereka belepotan darah.

    Prajurit yang lain menyambut datangnya gerobak-gerobak dorong yang sudah dipersiapkan

    sebelumnya. Gerobak-gerobak itu segera saja diisi dengan mayat-mayat tanpa kepala dan

    kepala tanpa jasad hingga penuh. Setelah gerobak penuh, prajurit yang membawa gerobak

    itu mendorongnya ke arah parit buatan dan membuang semua isinya ke dalam parit yang

    berair deras menuju ke Kali Opak. Berkali-kali mereka melakukan itu, mondar-mandir bagai

    kereta maut, hingga tak satu pun jasad tersisa.

    Air parit dan Kali Opak yang tadinya jernih berubah menjadi kental berwarna merah. Bau

    anyir darah tercium di mana-mana.

    Tanpa diketahui siapa pun, Wulung Ludhira, bocah sepuluh tahun adik dari Dyah Jayengsari,

    ternyata masih hidup. Tubuhnya yang kecil tertutup oleh mayat-mayat tanpa kepala yang

    sebagiannya menindih tubuhnya. Anak yang sudah ditinggal ibunya sejak bayi itu menggigil

    ketakutan. Ayah dan kakak satu-satunya sudah meninggal dengan cara yang sangat

    mengerikan. Dia ingin menjerit dan menangis. Tapi suaranya tercekat oleh kengerian yang

    teramat sangat. Bocah itu hanya bisa diam tak bergerak. Tubuhnya dirasa amat lemas dan

    juga kaku. Seluruh badan, kepala, dan rambutnya basah oleh darah kental yang membanjir

    di sekitarnya.

    Tiba-tiba Wulung Ludhira merasakan tubuh kecilnya ikut digotong dan dilempar ke dalam

    gerobak bersama belasan mayat lainnya. Ditumpuk begitu saja menjadi satu. Bocah itu

    sungguh-sungguh ketakutan. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Dia nyaris tidak bisa

    bernafas.Tapi itu malah menyelamatkan nyawanya.

    Bocah kecil itu bisa merasakan jika gerobaknya ditarik dengan kasar oleh sejumlah prajurit.Roda-rodanya yang terbuat kayu dilapis karet hitam berderak-derak sebentar, lalu berhenti.

    Wulung Ludhira bisa merasakan gerobak tiba-tiba miring. Dia bersama belasan mayat tanpa

    kepala dan kepala tanpa jasad yang masih hangat itu pun langsung meluncur bebas ke

    dalam parit yang deras airnya. Dia pun hanyut di parit yang sudah dipenuhi mayat.

    Walau pandai berenang, namun bocah itu kesulitan menggerakkan tubuhnya disebabkan

    mayat dan kepala ada di mana-mana. Dengan menahan kengerian yang teramat sangat, dia

    berpegangan pada salah satu kaki jasad yang mengambang. Bocah kecil itu terus mengikut

    kemana air membawanya.

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    10/49

    Pekatnya malam membuatnya tak terlihat oleh pasukannya Amangkurat I yang masih sibuk

    membersihkan alun-alun. Bocah kecil itu kelelahan. Semua kejadian malam itu menguras

    seluruh tenaga dan perasaannya. Akhirnya Wulung Ludhira pingsan. Dia terus hanyut

    dibawa air hingga jauh dari alun-alun. Hingga tubuhnya tersangkut akar beringin yang

    menjulur ke Kali Opak, beberapa kilometer ke selatan Kraton Plered.

    Entah sudah berapa lama Wulung Ludhira tak sadarkan diri. Ketika siuman, matahari sudah

    berada di atas kepalanya. Bocah kecil itu mendapati dirinya masih tersangkut suluran akar

    beringin yang tumbuh di pinggir kali. Sebagian badannya masih terendam di bawah air kali.

    Di beberapa tempat, jasad tanpa kepala dan kepala tanpa badan juga tersangkut. Kengerian

    yang teramat sangat kembali menyergapnya. Walau seluruh tubuhnya sakit, dan juga lelah,

    dengan sisa-sisa tenaga bocah kecil itu berusaha merangkak naik ke pinggir kali, hingga dia

    tergeletak di atas rerumputan, satu meter dari air kali.

    Entah kini dia berada di mana. Bocah itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak

    ada rumah barang satu pun. Yang ada hanya hamparan rumput dengan tiga pohon beringin

    besar yang tumbuh di dekat dirinya. Lainnya hanya berupa semak dan tumbuhan perdu.

    Anak kecil itu tidak tahu nama tempat ini. Perutnya yang tidak terisi sejak kemarin terasa

    perih. Tubuhnya dirasa makin lemah. Dia menggigil kedinginan. Bocah itu akhirnya tak

    sadarkan diri kembali. Dia tergeletak begitu saja di atas rerumputan, dinaungi pohon

    beringin besar yang ada didekatnya.

    Tak lama kemudian, seorang lelaki tua bertelanjang dada, dengan kepala ditutupi caping

    yang sudah kusam, mendekati bocah itu dengan hati-hati. Ketika mendapati ada bocah kecilyang menggeletak di atas rumput, lelaki tua itu mengusap kepala Wulung Ludhira dengan

    lembut. Bibirnya yang sudah sedikit keriput tersenyum tulus. Dengan penuh hati-hati

    akhirnya dia menggendong bocah itu dan bergegas pergi menghilang begitu saja ke arah

    barat...

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    11/49

    Bab 1

    178 tahun kemudian...

    Gua Selarong, Yogyakarta, 1825

    NYALI LEBIH PENTING KETIMBANG OTAK! Walau malam ini gelap gulita, tak ada bulan dan

    bintang yang menggantung di atas langit, namun Ki Singalodra tidak perduli. Lelaki kekar

    dengan wajah berewokan itu terus memacu kudanya seperti dikejar setan. Derap kaki

    kudanya menggetarkan bumi. Kepulan debu yang ditinggalkannya membentuk tabir pekat

    yang tak tembus pandang. Semua hewan malam menyingkir dari jalan jika tak ingin tergilas

    kegilaan kuda dan penunggangnya itu.

    Jagoan dari Dusun Ngampilan ini memegang tali kekang hanya dengan sebelah tangan.

    Tangan yang satunya lagi memeluk seorang bocah kecil yang tubuhnya berlumuran darah.

    Bocah itu sudah tak bernyawa. Tubuh mungilnya bergerak-gerak, seirama gerak kuda yang

    terus berlari dengan amat cepat bagai terbang di atas tanah.

    Dada Ki Singalodra sungguh-sungguh sesak, terbakar amarah. Setengah jam lalu dusunnya

    dibakar Belanda. Celakanya, saat itu dia tengah berada di dusun tetangga. Mendengar kabar

    mengejutkan itu, dia langsung pulang untuk menyelamatkan isteri dan anaknya. Namun

    terlambat. Gubuknya sudah terbakar habis. Seluruh isinya tlah jadi arang. Asap masih

    mengepul. Bara masih menyala merah di mana-mana. Dengan histeris tanpa

    memperdulikan bara yang terinjak kaki dan hawa panas yang masih menyengat kulit, lelaki

    itu terus mencari isteri dan anak semata wayangnya itu. Tapi nasi sudah jadi bubur. Isterinya

    ditemukan tergeletak tak bernyawa di dekat sumur. Perempuan yang sangat dicintainya itu

    terlihat sedang memeluk anaknya yang nyaris seluruh tubuhnya terbakar.

    Dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan sekaligus kemarahan yang amat sangat,

    lelaki itu berteriak histeris.

    Dia segera mengambil anak itu dan memeluknya. Setelah mencium kening isterinya untuk

    yang terakhir kali, Ki Singalodra langsung melompat ke atas kuda hitamnya. Dengan sekali

    gebrak, kuda itu melesat pergi meninggalkan dusunnya.

    Londo anjing!!!

    Belanda telah menggali kapak peperangan dengan dirinya! Sia-sia saja selama ini dia

    mengabdi pada mereka, jika balasan yang diterimanya ternyata seperti ini! Tekadnya telah

    bulat. Yang dulu kawan mulai malam ini menjadi lawan terbesarnya. Sekarang juga dia akan

    bergabung dengan pasukan Kanjeng Pangeran Diponegoro yang tengah menyusun kekuatan

    untuk memerangi Belanda dari Tegalredjo dan Selarong.

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    12/49

    Aku akan menjadi pedang yang paling tajam bagi Gusti Kanjeng Pangeran!

    Bagi warga Merapi hingga sekitar Laut Kidul, nama Ki Singalodra sudah tak asing lagi. Sejak

    pulang dari bertapa dan berguru di berbagai gua, lembah, dan gunung beberapa tahun lalu,

    Ki Singalodra kembali ke dusunnya di Ngampilan dan menantang semua jagoan di sana.

    Tidak saja di Ngampilan, lelaki ini juga berkeliling untuk mengadu kesaktian melawan para

    jagoan lainnya di sekitar Merapi, Merbabu, Dieng, dan Lawu. Walau sempat beberapa kali

    kepayahan dan menderita luka dalam sejumlah perkelahian, namun kecerdikan dan

    kenekatannya membuat dirinya keluar sebagai pemenang. Sosok Ki Singalodra menjadi

    sosok yang ditakuti. Dia pun akhirnya bisa mempersunting gadis idaman hatinya, bunga

    Dusun Ngampilan, yang sejak kecil telah mencuri perhatiannya.

    Ketenaran namanya didengar langsung Residen Yogyakarta. Pejabat Belanda ini akhirnyamemerintahkan kepala pasukan setempat untuk merekrutnya. Tetapi karena Ki Singalodra

    tidak mau ditempatkan sebagai kepala regu pasukan reguler yang harus bekerja tiap hari

    dan wajib memiliki disiplin tinggi, akhirnya dia dipekerjakan sebagai tenaga khusus.

    Sekarang, Ki Singalodra sama sekali tidak menyangka. Pengabdiannya yang total selama ini

    kepada Belanda, ternyata dibalas dengan sangat menyakitkan.

    Ibarat pepatah, air susu dibalas dengan air tuba.

    Sebab itu, tidak ada jalan lain. Mulai malam ini, dia akan mengubah haluan hidupnya seratusdelapan puluh derajat. Dendamnya teramat sangat besar. Darah harus dibalas dengan

    darah. Nyawa harus diganti nyawa. Kedua matanya merah menyala-nyala.

    Belanda, Patih Danuredjo, dan orang-orang kraton cecunguk asing itu sekarang menjadi

    musuh terbesarku!

    Kedua mata jagoan dari Dusun Ngampilan itu lagi-lagi melotot garang. Dadanya sesak oleh

    amarah dan dendam.

    Jalan tanah selebar tiga meter di depannya mulai menanjak lurus. Sebentar lagi dia akantiba di pelataran menuju Gua Selarong, di mana Kanjeng Pangeran tengah berada.

    Mengingat sosok Pangeran Diponegoro, hatinya diliputi perasaan yang aneh. Antara

    semangat yang membara dan kerinduan yang teramat sangat.

    Inilah jalanku!

    Tiba-tiba kudanya berhenti dan mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi. Ringkikannya

    memecah keheningan malam yang sepi. Hampir saja Ki Singalodra terjatuh jika dia tidak

    kuat menahan tali kekangnya. Dia segera merapatkan tubuhnya dengan leher kuda sehingga

    keseimbangannya tetap terjaga. Sebelah tangannya tetap kuat mendekap tubuh anaknya.

    Tak jauh di depannya, empat lelaki dengan mengenakan baju wulung hitam dan ikat kepala

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    13/49

    yang juga hitam mencegatnya dengan tombak dan pedang terhunus. Salah satunya

    membawa obor di tangannya.

    Berhenti! teriak mereka.

    Hendak kemanakahkisanakdan siapa yang digendong itu! teriak salah satunya. Dengan

    penuh kewaspadaan, lelaki yang satu itu mendekati Ki Singalodra dari sisi kanan. Sedangkan

    yang satunya lagi bergerak menyamping ke sisi yang berlainan. Dua lelaki lainnya masih

    berdiri menghadang dengan senjata terhunus.

    Ketika lelaki itu melihat wajah Ki Singalodra dengan jelas, wajah yang tak asing lagi dan

    sangat ditakuti orang-orang kampung, nyalinya agak bergetar. Namun bayangan sosok

    Kanjeng Pangeran Diponegoro yang setiap waktu memberinya nasehat keagamaan

    membuat dirinya kuat dan berani.

    Takutlah kalian hanya kepada Allah Subhana wa Taala, bukan kepada mahluk-Nya. Allah

    Maha Kuat, sedang mahluknya sangatlah lemah...

    Tangan lelaki itu memperkuat genggaman tangannya pada gagang pedangnya, Ternyata

    kau Singalodra. Hendak kemana engkau malam ini dan siapa lagi itu yang kau bunuh!

    Dengan penuh amarah, Ki Singalodra menjawab, Ini anakku! Minggir kalian semua! Isteri

    dan anakku mati malam ini dibunuh Belanda! Aku mau menghadap Gusti Kanjeng

    Pangeran!

    Keempat lelaki yang menghadangnya tak percaya.

    Apa katamu? Bukankah engkau pelayan kafir Belanda! Janganlah berdusta. Pulanglah

    sekarang. Kembalilah kepada tuanmu itu sebelum kami membunuhmu!

    Wahai prajurit, aku bicara jujur. Aku sekarang ingin menghadap Gusti Kanjeng Pangeran.

    Aku mau bergabung dengan kalian. Jika kalian masih saja menghadangku, maka terpaksa

    tanganku ini yang akan berbicara! bentak Ki Singalodra dengan suara mengguntur. Semua

    orang tahu, Ki Singalodra memiliki ajian Brajamusti, suatu ilmu pukulan yang sangat

    mematikan. Bahkan korbannya bisa hangus terkena pukulan itu.

    Keempat lelaki bersenjata pedang dan tombak itu bergerak mundur sesaat, namun mereka

    masih mengepung Ki Singalodra dengan penuh kewaspadaan. Pedang dan tombak masih

    terhunus. Masing-masing terdiam sejenak dalam situasi saling menunggu. Namun tiba-tiba

    suara derap kuda terdengar mendekat dari arah Gua Selarong.

    Tunggu! Berhenti! Siapa itu!

    Dalam formasi masih mengepung Ki Singalodra, keempat prajurit itu menoleh ke arah

    datangnya suara. Dari pekatnya malam, muncul seorang penunggang kuda dengan wajahyang sangat berwibawa. Sorot matanya tajam dengan kumis melintang. Ki Singalodra tahu,

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    14/49

    lelaki ini pastilah Ki Guntur Wisesa, seorang ulama yang juga pendekar dari lereng utara

    Gunung Merapi yang telah bergabung dengan barisan perlawanan Kanjeng Pangeran

    Diponegoro sejak dua tahun lalu. Dia belum pernah bertanding dengan orang ini karena Ki

    Guntur selalu saja menghindar dan sama sekali tidak tertarik untuk melakukan uji kesaktian

    melawannya.

    Ketika melihat Ki Singalodra yang berkuda sambil menggendong seorang bocah yang

    berlumuran darah, Ki Guntur Wisesa menyapanya lembut, Assalamualaikummusalam

    warahmatullahi wabarakatuh, wahai Singalodra. Apa gerangan yang membawamu ke sini!

    Anak siapa yang kau bawa itu?

    Ketika mendengar sapaan yang lembut, hati Ki Singalodra yang tadinya panas mendadak

    sejuk, bagai bara api tersiram air pegunungan.

    Waalaikumusalam... Aku ingin bergabung dengan barisan Kanjeng Gusti Pangeran, wahaiKi Guntur Wisesa. Ini anakku, Surya Mandriga. Dia mati dibunuh Belanda tadi malam, juga

    isteriku... Izinkan aku menghadap Kanjeng Gusti Pangeran sekarang juga.

    Ki Guntur Wisesa bergerak meminggirkan kudanya, memberi jalan pada tamunya.

    Silakan Kisanak. Kami akan mengawal Kisanaksampai di atas sana...

    Terima kasih, Ki Guntur...

    Ki Singalodra mengangguk takzim pada ulama-pendekar itu dan kembali memacu kudanya,

    namun tidak sekencang tadi. Kuda Ki Guntur Wisesa berjalan di depan. Sedangkan keempat

    anak buahnya mengapit di kiri kanan dan belakangnya. Mereka beriringan melintasi jalan

    utama yang terus menanjak menuju Gua Selarong yang berada di bawah sebuah bukit batu

    yang besar.

    Setibanya mereka di pelataran yang landai di mana di hadapan mereka terbentang batu

    karang yang besar dengan sebuah tangga batu menuju ke atas, Ki Guntur Wisesa memberi

    aba-aba dengan sebelah tangannya yang diangkat ke atas.

    Ya, kita berhenti sampai disini. Kita turun dan berjalan kaki ke atas sana.

    Ki Guntur yang mengenakan pakaian serba putih melompat dari kuda dan menambatkannya

    pada salah satu pokok pohon yang ada di pinggir pelataran. Ki Singalodra juga melompat

    turun dari kudanya sambil masih menggendong Surya Mandriga.

    MariKisanak, ikut aku, ajak Ki Guntur Wisesa. Dia menghampiri Ki Singalodra dan

    menawarkan diri untuk membantu menggendongkan anaknya. Namun Ki Singalodra

    menolaknya.

    Biar aku saja... Tolong tunjukkan saja jalannya.

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    15/49

    Kemudian Ki Guntur memerintahkan seorang anak buahnya berlari terlebih dahulu ke atas

    untuk memberitahukan kedatangan Ki Singalodra kepada Kanjeng Pangeran Diponegoro.

    Anak buah itu segera berlari ke atas.

    Sekarang kita tunggu dulu disini,Kisanak..., ujar Ki Guntur.

    Ki Singalodra menganggukkan kepala dan tetap berdiri dengan tegap di ujung bawah

    susunan bebatuan yang membentuk anak tangga menuju ke gua yang ada di atasnya.

    Tak lama kemudian, anak buah yang tadi ke atas tampak berlompatan menuruni anak

    tangga yang sama. Dia langsung melapor kepada Ki Guntur yang berdiri di sisi kanan Ki

    Singalodra.

    Kanjeng Gusti Pangeran siap menerimanya....

    Anak buah itu kemudian bergerak menggeserkan badannya ke samping, memberi jalan

    kepada Ki Guntur dan Ki Singalodra. Keduanya lalu berlompatan bagai Kijang Kencana

    menaiki tangga batu yang cukup curam. Hanya dengan beberapa kali hentakan loncatan,

    badan mereka sudah melambung ke atas dengan cepat. Keempat prajurit muda yang

    melihatnya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub. Mereka segera

    menyusul kedua orang itu dengan berlari menaiki tangga.

    Setibanya di atas, Ki Singalodra tampak sedang diterima Pangeran Diponegoro. Ustadz

    Muhammad Taftayani, Pangeran Ngabehi Jayakusuma alias Pangeran Bei (Putera Sultan

    Hamengku Buwono II), Ki Guntur Wisesa, dan beberapa alim-ulama lainnya yang seluruhnya

    berpakaian putih-putih tampak mendampinginya.

    Semuanya menyandang senjata. Ada yang menyelipkan keris di pinggang, ada pula yang

    memegang pedang.

    Sebagaimana kawulo-alityang bertemu dengan rajanya, sambil terus memeluk jasad

    anaknya, Ki Singalodra segera berlutut. Dengan kepala menunduk, lelaki dengan janggut dan

    cambang yang lebat ini berkata pelan, Kanjeng Gusti Pangeran, hamba....

    Belum selesai lelaki itu mengucapkan perkataannya, Pangeran Diponegoro yang

    mengenakan jubah serba putih lengkap dengan surban hijau lembut yang menutupi

    sebagian kepalanya menyapa dengan lembut,

    Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh wahai Ki Singalodra... Semoga

    Allah Subhana wa taalaselalu melindungi, merahmati, dan memberkati Kisanak...

    Badan Ki Singalodra menggigil mendengar suara yang sangat berwibawa itu. Entah

    mengapa, mendengar salam dari orang-orang berjubah itu dia merasakan satu getaran yanganeh di dalam dirinya. Getaran yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Ki Singalodra

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    16/49

    tidak berani mengangkat wajahnya dari tanah. Dia tidak menjawab apa pun. Bibirnya yang

    juga bergetar bagaikan terkunci rapat.

    Bangunlah saudaraku. Tidak perlu berlutut seperti itu. Kita adalah sama. Semua manusia

    itu sederajat. Yang membedakan di antara manusia bukanlah keturunan, pangkat, atau

    jabatan, melainkan ketakwaannya kepada Allah subhana wa taala..., ujar Diponegoro lagi.

    Lelaki dengan pakaian serba hitam itu perlahan bangun dan berdiri. Tangannya tetap

    memeluk jasad anaknya dengan erat. Ki Singalodra masih saja tidak berani menatap

    langsung wajah Diponegoro. Dia hanya melihat ke bawah.

    Gerangan apa yang membuatmu ke sini Kisanak?

    Maafkan saya Kanjeng Gusti Pangeran... Saya ingin bergabung dengan Kanjeng Gusti

    Pangeran...

    Diponegoro tersenyum. Ustadz Muhammad Taftayani yang berdiri di samping Diponegoro

    membisikkan sesuatu ke telinga anak didiknya itu, Sebaiknya kita urus dahulu jenazah anak

    itu...

    Pangeran Diponegoro mengangguk dan memanggil dua pengawalnya untuk mengurus

    jenazah anak dari Ki Singalodra itu.

    Maafkan sayaKisanak. Sebaiknya jenazah anak Kisanakdiurus terlebih dahulu dengan

    baik. Sebagai Muslim, kita wajib memperlakukan jenazah dengan layak. Serahkan saja pada

    kita...

    Ki Singalodra segera menuruti perkataan Diponegoro. Dengan hati-hati dan berlinang

    airmata dia menyerahkan jenazah puteranya itu kepada dua orang pengawal yang segera

    menyambutnya.

    Setelah jenazah anak itu dibawa, Pangeran Diponegoro berkata kembali, Nah, apakah

    seorang Ki Singalodra sungguh-sungguh ingin berjihad di sisi kami dalam menegakkan

    kalimah tauhid di tanah Jawa ini? Mengusir kaum kafir Belanda dari negeri ini?

    Dengan mantap lelaki itu mengangguk, Ya, Kanjeng Gusti Pangeran. Saya bersungguh -

    sungguh.

    ApakahKisanakmengetahui apa yang sedang kami perjuangkan disini?

    Melawan Belanda...?

    Itu betul. Namun tujuan kami lebih mulia dari itu semua. Belanda bukanlah musuh kami.

    Sebagaimana kami tidak memusuhi Danurejo dan orang-orangnya. Musuh kami adalah

    kekufuran dan kezaliman. Itu yang kami perangi. Kami tidak memerangi orang, tapi kami

    memerangi sistem yang melawan perintah Allah. Kami memerangi sistem thagut.

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    17/49

    Thagut...?

    Ya. Sebelum bergabung dengan kami, sebaiknyaKisanakbisa memahami dengan benar

    apa yang harus diperjuangkan oleh kita semua, kaum Muslimin, di dalam hidupnya. Untuk

    itu, jika tidak keberatan, Kisanakterlebih dahulu akan mengikuti pengajian yang akan

    disampaikan Ki Guntur atau Ustadz Taftayani. Beliaulah yang akan menerangkan kepada kita

    semua tentang apa dan bagaimana seharusnya berperang di dalam Islam. Saya pun saat ini

    masih selalu belajar memperdalam ilmu agama. Mari kita sama-sama belajar mendalami

    ilmu, karena itu adalah perintah agama.

    Berperang di dalam Islam..?

    Ya. Itu benar, Kisanak.Jihad fi sabilillah namanya. Semuanya nanti akan diterangkan oleh

    ustadz-ustadz yang ada di sini. Dan satu lagi...

    Ki Singalodra mengkerutkan dahinya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksudkan

    dengan perang dalam Islam. Baginya perang adalah membunuh musuh sebanyak-

    banyaknya, mengalahkannya, hingga musuh takluk. Itu saja.

    Pangeran Diponegoro melanjutkan kalimatnya, ...semua yang ada disini harus

    memperbaharui akidahnya. Jika Kisanakbersedia, silakan mengikuti perkataan saya

    sekarang. Bagaimana?

    Lelaki berewokan itu menganggukkan kepalanya, Baik Kanjeng Gusti Pangeran, saya

    bersedia.

    Nah, sekarang ikuti perkataan saya...

    Di depan gua yang gelap pekat tanpa penerangan obor, dengan perlahan namun jelas,

    Pangeran Diponegoro berjalan mendekati Ki Singalodra yang masih berdiri mematung.

    Tanpa ragu Diponegoro mengangkat kedua tangannya memegang kedua bahu lelaki itu.

    Kemudian dia mulai mengucapkan dua kalimah syahadah yang diikuti kata demi kata oleh Ki

    Singalodra.

    Asyhadu ala Ilaha Ilallah... wa asyhadu alla Muhammad ar-Rasulullahu... Saya bersaksi,tiada tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad

    adalah Rasul utusan Allah...

    Dengan terbata-bata, jagoan dari Dusun Ngampilan yang jika mendengar namanya saja

    orang kebanyakan bisa gemetar itu mengucapkan dua kalimah syahadat. Ki Singalodra

    cukup cerdas. Sekali saja Diponegoro menuntunnya, dia sudah bisa mengikutinya. Setelah

    selesai, semuanya mengucapkan syukur.

    Alhamdulillahi Rabb alAmien...

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    18/49

    Pangeran Diponegoro kemudian langsung memeluk Ki Singalodra dengan hangat. Bagai

    pelukan seorang kekasih yang lama tak berjumpa. Sama sekali tidak ada kecanggungan

    tampak di sana. Diponegoro, sang putera Sultan Hamengku Buwono III, dengan sangat akrab

    dan hangat memeluk erat seorang jagoan yang tangannya banyak berlumur darah orang

    lain. Hal ini langsung membuat hati Ki Singalodra luluh. Lelaki ini lumer dan menangisterisak.

    Dosa-dosaku sudah banyak, Kanjeng Gusti Pangeran... Apakah ada cara untuk menebusnya

    agar nanti saya bisa berkumpul dengan anak dan isteriku di surga?

    Pangeran Diponegoro masih memegang kedua bahu Ki Singalodra. Kedua matanya yang

    tajam tapi menyejukkan menatap langsung ke dalam mata lelaki itu.

    Saudaraku, Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Semua dosa umat -Nya akan diampuni

    asalkan kita mau bersungguh-sungguh bertobat, terkecuali dosa syirik, yaitu dosa karenamenyekutukan Allah dengan sesuatu. Dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni.

    Bagaimana caranya agar saya bisa kembali berkumpul nanti dengan keluargaku di surga?

    ulang Ki Singalodra.

    Berjihadlah dengan ikhlas, semata-mata demi tegaknya tauhid. Li ila kalimatillah. Asal kita

    tidak berhutang pada orang lain, setiap orang yang menemui kematian di jalan jihad, syahid

    fi sabilillah, dijamin Allah langsung masuk surga...tanpa dihisab.

    Kedua mata Ki Singalodra berbinar. Wajahnya menjadi cerah. Terima kasih, Kanjeng GustiPangeran. Terima kasih. Saya akan berjihad disamping Paduka.

    Ustadz Taftayani maju ke depan. Dia kemudian menyalami dan juga memeluk Ki Singalodra.

    Setelah itu salah seorang guru dari Pangeran Diponegoro ini berdiri dan memberikan

    sambutannya, Dahulu ketika menghadapi kaum musyrikin Quraisy, Allah subhana wa

    taala mengirimkan seorang Hamzah bin Abdul Muthalib, untuk memperkuat barisan kaum

    Muslimin. Hamzah adalah Singa Allah dan Rasul-Nya. Dialah yang menjadi pahlawan Perang

    Badr dan Uhud. Dan sekarang, Allah subhana wa taalamengirimkan bagi kita seorang Ki

    Singalodra yang gagah berani. Insya Allah, dengan izin Allah, dengan bergabungnya Ki

    Singalodra, barisa kita akan bertambah kuat. Cahaya kemenangan semakin dekat. Saya

    yakin, Ki Singalodra adalah Hamzah yang dikirimkan Allah kepada kita.Allahu akbar!

    Amien ya Rabb! Allahu akbar! teriak semua yang ada disitu.

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    19/49

    Bab 2

    ISLAM TIDAK PERNAH BERSEKUTU DENGAN Thagut, sebagaimana air yang tidak pernah

    bersatu dengan minyak, atau pun al-haq yang tidak akan pernah berdamai dengan

    kebathilan. Ustadz Muhammad Taftayani menegaskan salah satu prinsip Islam ini di dalam

    setiap pengajiannya. Seperti juga malam ini, digelar taklim dadakan yang hanya diikuti

    tujuh orang anggota pasukan baru, yakni Ki Singalodra dan enam orang lainnya yang di

    antaranya para senopati terpilih yang sengaja dikirim oleh Raja Surakarta, Kanjeng

    Susuhunan Paku Buwono VI yang juga merupakan keponakan Diponegoro. Hal ini dilakukan

    Paku Buwono VI untuk membantu persiapan perjuangannya pamannya itu.

    [Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI lahir di Surakarta, 26 April 1807 dan meninggal dalam

    pembuangan Belanda di Ambon, pada tanggal 2 Juni 1849. Nama aslinya Raden MasSapardan. Beliau naik tahta dalam usia 16 tahun dan setahun kemudian, dalam usia 17

    tahun, beliau telah menjadi pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro yang loyal walau

    terikat perjanjian dengan Belanda. Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal

    2 Juni 1849. Menurut keterangan resmi Belanda, beliau meninggal karena kecelakaan saat

    berpesiar di laut.

    Di tahun 1957, jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, kompleks

    makam keluarga raja Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa

    tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jenderal TNI Pangeran

    Haryo Jatikusumo (putera Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker

    Riffle. Ditinjau dari letak lubang, kematian Pakubuwana VI jelas ditembak pada bagian dahi,

    bukan kecelakaan.]

    Selain sejumlah senopati pilihan, Susuhunan Paku Buwono VI juga mengirimkan pasukan-

    pasukan kraton terlatih dan dana perang yang tidak sedikit.

    Di dalam gua dengan penerangan sebuah obor kecil di sudut belakang, terhalang tiga

    gundukan batu yang besar, Ustadz Taftayani duduk bersila di atas batu datar menghadap ke

    bagian pintu gua. Dari tempat bersilanya, ulama dari Minangkabau yang sudah menetap diTegalredjo tersebut bisa melihat dua sosok prajurit yang berjaga di pintu masuk gua. Walau

    hanya duduk, tidak berdiri seperti layaknya orang yang tengah berjaga, namun mereka tetap

    waspada.

    Malam ini, setelah bergabungnya Ki Singalodra ke dalam barisan Mujahidin, beserta

    sejumlah orang baru, Ustadz Muhammad Taftayani segera menggelar pengajian yang

    bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang perjuangan yang tengah dipersiapkan

    melawan kafir Belanda dan antek-anteknya. Semua anggota pasukan Diponegoro harus

    memiliki persepsi yang sama di dalamjihad fi sabilillah, sebab itu, setiap ada anggota baruyang bergabung, maka dia setidaknya harus melewati tiga tahapan penting: bertobat dan

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    20/49

    memperbaharui syahadatnya, serta memiliki pemahaman yang lurus dan benar tentang

    makna jihad di Jalan Allah.

    Materi pertama malam ini adalah akidah atau Panji Syahadatain. Salah satu bagiannya

    mengupas tentang Thagutatau tuhan yang lain.

    Dengan suara yang pelan namun jelas, Ustadz Taftayani menerangkan,

    ...Thaghutmerupakan tuhan selainAllah subhana wa taala. Segala pandangan hidup,

    keyakinan, hukum, norma, peraturan, tradisi, dan sebagainya yang tidak berasal dari hukum

    Allah, atau malah bertentangan dengan syariat dan akidah Allah, maka itulah Thagut...

    Apakah ada yang ingin bertanya?

    Ki Singalodra mengacungkan tangannya, Ustadz, apakahbea kerig-aji [Pajak atas kepala

    atau pajak yang dikenakan pada setiap orang, besar dan kecil tanpa perkecualian] juga bisa

    dianggap sebagai Thagut?

    Bea kerig aji, sama saja dengan bea pacumpleng[Pajak atas pintu rumah], bea

    pangawang-awang[Pajak atas pekarangan rumah], bea pajigar[Pajak atas hewan ternak],

    bea wikah-welit[Pajak atas kepemilikan lahan kebun atau sawah, walau luasnya hanya

    sedikit], bea pajongket[Pajak yang dikenakan bila hendak pindah rumah], bea bekti[Pajak

    jika seseorang bertukar tuan tanah atau majikan], bea jalan, bea pertunjukan[Pajak

    pertunjukkan resminya dikenakan pemerintah kepada warga desa jika ada pertunjukkan

    kesenian atau hiburan lainnya. Namun nyatanya, walau tidak pernah ada pertunjukkan

    hiburan, rakyat tetap diharuskan membayar jenis pajak ini], bea penimbangan[Pajak

    penimbangan padi dilakukan ketika panen. Tapi faktanya, seperti juga pajak pertunjukkan,

    padi-padi hasil panen para petani tidak pernah ditimbang, namun tetap dikenakan pajak.

    Bahkan banyak petani miskin diwajibkan kerja di lahan pertanian milik bupati tanpa dibayar

    sepeser pun], dan banyak lagi yang lainnya. Semua ini merupakan sebagian kecil dari banyak

    sekali jenis-jenis pajak yang dibebankan penjajah kafirin Belanda kepada rakyat kecil. Jika

    tidak salah, sekarang ini ada lebih dari 34 jenis pajak yang harus dibayarkan rakyat kepada

    pemerintah kafir Belanda. Berbagai pajak ini amat menyusahkan rakyat kecil yang memang

    hidupnya melarat. Kezaliman ini tentu bertentangan dengan Islam. Dan sistem kekuasaan

    seperti ini, dimana rakyatnya hidup susah, namun para pejabatnya hidup bermewah-mewah, jelas merupakan sistem Thagut. Sistem ini harus diakhiri, dihancurkan, dan diganti

    dengan sistem yang adil....

    Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...Tiba-tiba Pangeran Diponegoro sudah

    berada di dalam gua bergabung dengan mereka.

    Waalaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh..., jawab Ustadz Taftayani dan seluruh

    yang hadir. Sang Pangeran kemudian duduk bersila di belakang Ki Singalodra. Ketika

    menyadari siapa yang duduk di belakangnya, lelaki brewokan itu segera bergeser untuk

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    21/49

    memberi ruang kepada Diponegoro. Dia benar-benar tidak enak hati jika harus duduk

    membelakangi Kanjeng Pangeran. Tetapi Diponegoro dengan lembut malah menahannya.

    Biarlah saya di sini saja.Kisanaktetap di situ..., bisiknya sambil tersenyum.

    Ki Singalodra tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap duduk pada tempatnya semula. Walau

    hatinya merasa teramat sungkan.

    Pangeran, ujar Taftayani. ... kita disini sedang membahas pajak danThagut. Apakah ada

    yang ingin ditambahkan?

    Apakah soal pajak di Tanah Jawa ini sudah disinggung, Ustadz?

    Sedikit. Silakan paparkan...

    Diponegoro terdiam seperti tengah mencari sesuatu. Mungkin kalimat pembuka. Dia

    kemudian mulai berbicara. Suaranya terdengar halus, namun mengandung kekuatan.

    Pajak awalnya diniatkan sebagai salah satu cara untuk mengisi pundi-pundi kas suatu

    negeri, agar negeri tersebut dapat mengelola dan membangun wilayahnya, termasuk

    rakyatnya..., paparnya.

    Kemudian dia melanjutkan, ...Keberadaan pajak sangat penting, jika suatu negeri memang

    tidak punya sumber lain yang bisa dimanfaatkan, misalnya sumber daya atau kekayaan

    alam. Namun tidak di Tanah Jawa, tidak juga di Nusantara. Allahsubhana wa taala telah

    menitipkan sebagian kekayaan yang ada di surga di tanah ini. Tanah ini sangat subur. Emaspermata ada di mana-mana. Belum lagi kekayaan alam lainnya, baik yang ada di darat, laut,

    maupun udara. Kalau dikelola dengan baik, negeri ini bisa memakmurkan rakyatnya tanpa

    memungut pajak sedikit pun. Memungut pajak di negeri yang kaya seperti di Tanah Jawa ini

    adalah haram hukumnya...

    Ki Singalodra dan keenam orang lainnya hanya tertegun mendengar kalimat yang

    disampaikan Pangeran Diponegoro. Sangat jelas dan tegas.

    Lantas mengapa kafir Belanda memajaki rakyat kita seperti sekarang? Bahkan orang-

    orangnya Patih Danuredjo juga memusuhi rakyatnya sendiri... tanya Pangeran Diponegoro.

    Kemudian dia sendiri yang menjawabnya, Karena kafir Belanda adalah penjajah bagi

    bangsa ini. Penjajah selalu melakukan perampokan terhadap bangsa yang dijajahnya. Baik

    perampokan yang dilakukan terang-terangan, juga perampokan yang dilakukan secara diam-

    diam, atau berkedok macam-macam, ya seperti pajak yang sekarang ada. Pajak sekarang ini

    sudah menjadi sumber bagi pejabat untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Para

    pejabat di negeri ini kian hari kian rakus dengan kelezatan dunia. Kegilaan mereka ini tidak

    pernah terpuaskan. Yang menjadi korban adalah rakyat kebanyakan...

    Apakah sebab itu kita harus memerangi mereka? Bagaimana berperang ataujihad

    fisabilillahitu? tanya salah seorang senopati yang kemarin baru dikirim Paku Buwono VI.

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    22/49

    Diponegoro menengokkan wajahnya ke arah Ustadz Taftayani. Namun ustadz itu malah

    mempersilakan Diponegoro untuk menanggapinya, Silakan Pangeran...

    Perang di dalam Islam bersifat membebaskan, jawab Diponegoro, ...sebab itu, jika suatu

    kota atau negeri telah ditaklukkan oleh kaum Muslimin, maka istilahnya bukanlah

    penaklukan, kalah, dan sebagainya, tetapi Futuh. Futuh berasal dari bahasa arab yang

    berarti pembebasan atau membebaskan. Membebaskan dari apa? Yaitu membebaskan

    manusia dari penghambaan kepada selain Allahsubhana wa taala, baik itu ketundukan

    kepada hukum yang zalim, sistem yang salah, penguasa yang korup, dan sebagainya. Itulah

    esensi perang di dalam Islam, membebaskan manusia dari kebathilan dan kezaliman...

    Mendengar itu, Ustadz Taftayani tersenyum puas. Dia benar-benar menyayangi murid yang

    satu ini. Ulama rendah hati dari tanah seberang ini tahu jika Pangeran Diponegoro, yang

    terlahir dengan nama Bendoro Raden Mas Mustahar, yang kemudian dikenal sebagai

    Bendoro Raden Mas Ontowiryo, pada 11 November 1785 di Kraton Yogyakarta ini memiliki

    banyak keistimewaan.

    Diponegoro[11] adalah anak tertua dari Sultan Hamengku Buwono III dan Raden Ayu

    Mangkarawati. Ketika melihat dan memangku bayi Diponegoro, Sultan Hamengku Buwono

    I haqul yaqin jika suatu hari nanti Diponegoro akan tumbuh menjadi pembebas rakyat dari

    kezaliman dan kesengsaraan.

    Bayi ini akan menjadi orang yang memimpin perang besar untuk mengusir penjajah

    Belanda dari tanah Jawa. Dia akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar pada kafir

    Belanda. Dia akan menjelma menjadi orang besar yang dicintai rakyatnya, melebihi diriku,

    tegas Sultan Hamengku Buwono I yang juga kakek buyut dari Diponegoro. Sebab itu, Sultan

    secara khusus mengamanahkan agar bayi Diponegoro kelak diasuh dan dididik

    permaisurinya sendiri, Ratu Ageng.

    Nama asli Diponegoro adalah Bendoro Raden Mas (BRM) Mustahar. Lahir di keraton

    Jogyakarta, pada Jum'at Wage, 7 Muharram Tahun Be (11 November 1785). Tahun

    1805, Sultan HB II mengganti namanya menjadi Bendoro Raden Mas (BRM) Ontowiryo.

    Adapun nama Diponegoro dan gelar Pangeran baru disandangnya sejak tahun 1812 ketika

    ayahnya naik takhta.

    Di masa itu, perempuan-perempuan dan laki-laki Jawatermasuk di kalangan bangsawan

    kratonlazim menikah di usia yang masih relatif sangat muda. Ketika Diponegoro

    dilahirkan, Raden Ayu Mangkarawati, sang ibu, masih berusia 14 tahun, dan ayahnya 16

    tahun. Dan sudah menjadi kelaziman jika sang anak kemudian diasuh oleh nenek atau

    buyutnya. Hal ini merupakan tradisi leluhur agar sang anak mendapatkan pendidikan dan

    pengasuhan yang benar dari seseorang kerabat yang jauh lebih matang dan dewasa. Suatu

    konversi budaya yang saat ini sudah punah.

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    23/49

    Bendoro Raden Mas Mustahar atau Bendoro Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran

    Diponegoro dilahirkan 11 November 1785. Ayahnya, Raden Mas Surojo atau yang kemudian

    dikenal sebagai Hamengku Buwono III dilahirkan pada 20 Februari 1769.

    Sesuai amanah khusus dari Hamengku Buwono I, bayi Diponegoro diasuh oleh nenek

    buyutnya, Ratu Ageng. Ratu Ageng dikenal sebagai seorang permaisuri yang sangat taat

    pada agama dan luas ilmunya. Sampai tahun 1792, ketika suaminya masih berkuasa, Ratu

    Ageng mengasuh Diponegoro di kraton dan kemudian meneruskannya di Puri Tegalredjo

    setelah suaminya wafat.

    Selain seorang pendidik, Ratu Ageng juga merupakan Panglima Bregada Langen Kesuma

    kesatuan pasukan elit khusus perempuan pengawal raja, seperti hanya Trisat Kenya di

    zaman Amangkurat Ipada masa kekuasaan Mangkubumi.

    Bregada Langen Kesuma merupakan kesatuan khusus pengawal raja yang sangat tangguh.Walau semua anggotanya perempuan, namun pasukan berkuda ini dilengkapi dengan

    senjata api laras panjang dan pendek, pedang, keris, tombak, trisula, dwisula, dan lain

    sebagainya. Keterampilan mereka dalam olah senjata dan olah kanuragan jangan diragukan

    lagi.

    Ada sebuah kisah yang terjadi pada bulan Juli 1809. Ketika itu Marshall Hermann Wilhelm

    Daendels berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam salah satu jamuan

    penyambutan, diperlihatkan atraksi dari Bregada Langen Kesuma dan dia terkagum-kagum

    melihat atraksi pasukan khusus perempuan ini. Sejarawan Carey mengatakan jika Langen

    Kesuma merupakan satu-satunya kesatuan militer pribumi yang mampu membuat Daendels

    berdecak kagum ketika melihatnya.

    Selain Daendels, J. Greeve bersama Residen Surakarta Hartsinch juga pernah menyaksikan

    Bregada Langen Kesuma ini. Mereka disambut dengan salvo senapan dan meriam yang

    dipergilirkan dengan amat sempurna.

    Markas dari kesatuan istimewa ini berada di Pesanggrahan Madyaketawang. Lapangan

    latihan menembak bagi pasukan ini berada di alun-alun Pungkuran, di selatan kraton. Serat

    Rerenggan Karaton, Pupuh XXII, Sinom, menyebutkan:

    Sanggrahan Madya Ketawang, lamun miyos Sri Bupati, pratameng Langenkusuma, lir

    priya praboting jurit, tinonton saking tebih, saengga priya satuhu, samya munggeng

    turangga, myang yen gladhi neng praja di, angreh kuda neng ngalun-alun pungkuran.

    Artinya lebih kurang sebagai: Di Pesanggrahan Madyaketawang, dan datanglah Sri Bupati

    (maksudnya Sri Sultan) untuk menyaksikan mereka, seorang perempuan yang menjadi

    pemimpin pasukan Langen Kesuma, penampilannya mirip prajurit lelaki, dilihat dari jauh,

    tampak seperti prajurit laki-laki sungguhan, semua naik kuda, menuju tempat latihan di

    ibukota, yaitu di Alun-alun Pungkuran.

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    24/49

    Selain menempa pasukan khusus perempuannya dengan ilmu perang dan kanuragan, Ratu

    Ageng juga membekali mereka dengan ilmu agama sehingga pakaian pasukan ini terbilang

    sangat sopan, dengan tetap mengedepankan kebebasan gerak untuk berperang. Ratu Ageng

    sebagai pengasuh Pangeran Diponegoro adalah panglima pasukan khusus ini. Bukan hanya

    sebagai panglima, Ratu Ageng juga merupakan seorang permaisuri raja yang sangat pedulidengan nilai-nilai keislaman. Sebab itulah, selain menempa seorang Diponegoro dengan

    cara-cara seorang ksatria, Ratu Ageng juga membekali cicit kesayangannya ini dengan ilmu

    agama yang cukup dalam.

    Namun berbeda sikapnya dengan Diponegoro, terhadap anak kandungnya sendiri Ratu

    Ageng malah tidak akur. Ini disebabkan karena Raden Mas Sundoro dianggap tidak taat

    dalam menjalankan perintah agama, walau Raden Mas Sundoro sendiri dikenal sangat anti

    terhadap penjajah Belanda.

    Sebab itulah, ketika Hamengku Buwono I turun tahta dan digantikan oleh Raden Mas

    Sundoro yang kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono II di tahun 1792, Ratu Ageng

    memilih untuk keluar dari lingkungan kraton yang dianggapnya sudah cemar oleh tradisi

    kafir Belanda. Ratu Ageng lebih memilih tinggal di sebuah dusun terpencil yang kelak dikenal

    sebagai Tegalredjo, berjarak sekira tiga kilometer barat kraton. Diponegoro ikut diboyong

    keluar dari kraton dan tinggal di dusun di tengah-tengah rakyatnya sendiri.

    Dari Kraton, Puri Tegalredjo tepat berada di arah barat laut, arah yang dijadikan kiblat bagi

    umat Islam di Nusantara untuk sholat. Di dalam kompleks puri, Ratu Ageng juga

    membangun sebuah masjid di sebelah barat laut bangunan utama puri yang berupapendopo utama.

    Karena dibesarkan dalam lingkungan kawulo alitatau rakyat kecil, maka dalam jiwa seorang

    Diponegoro tumbuh rasa kepedulian yang sangat besar kepada orang-orang kecil. Apalagi

    sejak kecil Diponegoro melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa seorang Ratu Ageng,

    permaisuri seorang raja, tidak merasa rendah ketika harus bergaul dengan kawulo alit.

    Bahkan Ratu Ageng ikut terjun langsung bercocok tanam di sawah dengan kaki dan tangan

    penuh lumpur. Ratu Ageng harus bekerja, karena dia harus menghidupi keluarganya sendiri

    disebabkan dia menolak bantuan keuangan dari kraton yang dianggapnya sudah dikotorioleh kemaksiatan dan kezaliman.

    Akan jauh lebih mulia di hadapan Allah jika aku bekerja dengan tangan dan kakiku sendiri,

    ketimbang hidup dengan bertumpu pada uang kotor yang berasal dari memeras keringat

    dan darah rakyat! tegasnya.

    Diponegoro juga melihat betapa Ratu Ageng sangat gandrung pada literatur-literatur

    keagamaan, sejarah, dan juga sastra, sehingga rumahnya yang sederhana di Tegalredjo

    bagaikan sebuah perpustakaan kecil. Sebaliknya, terhadap harta benda, Ratu Ageng tidak

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    25/49

    memiliki minat yang besar. Dia hanya memiliki barang-barang primer yang memang

    dibutuhkan dalam rumah tangga seperti kebanyakan orang.

    Semua pengajaran yang diberikan Ratu Ageng dan para ulama yang dipanggil maupun yang

    didatangi langsung oleh Diponegoro muda menyebabkan Pangeran Diponegoro menjadi

    seorang pemuda yang bersahaya. Seluruh kehidupannya diusahakan dengan keras

    mengikuti teladan Rasulullah SAW. Dia sering menyamar sebagai orang kebanyakan,

    mengenakan ikat kepala dan kain wulung dan berbaju hitam. Diam-diam dia sering

    membaur bersama para santri di pondok-pondok pesantren di pedesaan dengan

    menggunakan nama samaranNgabdurakhim. Di saat samarannya hampir terbongkar, dia

    akan segera pindah ke pondok pesantren yang lain. Selain itu, Diponegoro juga senang

    mengembara, keluar masuk hutan, tinggal di gua-gua untuk menyendiri, dan menatap lama-

    lama deburan ombak dan langit Laut Kidul.

    Pangeran Diponegoro tahu betul, kehidupan para pembesar kraton yang sebagian besar

    masih kerabatnya, kian hari malah kian jauh dari tuntunan agama. Para pejabat kraton

    yang notabene sudah memeluk Islam, semakin hari malah semakin mesra dengan kafir

    Belanda. Islam bagi mereka hanyalah identitas formal, sedangkan kelakuannya sudah tidak

    ada beda lagi dengan kelakuan kaum kafir Belanda yang menyukai dansa-dansi sampai pagi,

    minum-minuman keras, gila harta dan judi dengan taruhan gadis-gadis penari.

    Martabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang tadinya begitu tinggi dan mulia kini sudah

    cemar, dikotori kafir Belanda dan sebagian besar pembesar kraton sendiri yang sudah lupa

    dengan jatidirinya.

    Sebab itu, ketika Hamengku Buwono III, ayah kandungnya, hendak menobatkannya sebagai

    putera mahkotawalau Diponegoro bukan berasal dari permaisuri, namun selirdengan

    tegas dia menolaknya. Ustadz Taftayani tahu, penolakan Diponegoro lebih disebabkan

    ketidaksukaannya terhadap campur tangan Belanda dalam kekuasaan kraton. Bahkan

    pengangkatan seorang raja pun harus disetujui Belanda dan Residen Belanda-lah yang

    melantik seorang raja. Diponegoro amat muak dengan semua ini. Itulah yang

    melatarbelakangi penolakannya untuk menjadi raja di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

    Dengan penuh keikhlasan, dia menunjuk adiknya yang masih belia, Raden Mas Jarot, untuk

    menerima posisi sebagai putera mahkota. Dihadapan orang-orang terdekatnya, Diponegoro

    ketika itu mengatakan,

    Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, tolong ingatkan

    pada saya, bahwa saya bertekad tidak mau dijadikan pangeran mahkota, walau pun

    seterusnya akan diangkat menjadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin

    itu terjadi. Cukuplah saya menjadi seperti apa yang ada sekarang, dekat dengan Gusti Allah

    dan rakyatku. Saya bertobat kepada Allah Yang Maha Besar. Hidup di dunia tiada akan lama

    dan saya tidak ingin hidup saya ini nantinya dikotori oleh kafir Belanda. Saya tidak ingin

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    26/49

    hidup dengan menanggung dosa...* Kalimat yang diucapkan Pangeran Diponegoro ini

    tertulis di dalam Babad Diponegoro jilid I hal.39-40]

    Bagi Diponegoro, kehidupan penuh glamor di dalam kraton sama sekali tidak menarik

    hatinya. Baginya kraton adalah tempat yang penuh dengan dosa, dan dia tidak mau ikut

    terkotori. Diponegoro lebih menyukai hidup dan berada di tempat yang sepi, untuk mencari

    kesejatian dan makna hidup, menggali ilmu agama, dan pengetahuan yang bermanfaat.

    Seorang Diponegoro lebih menyukai menjalin silaturahim dengan para alim-ulama dan

    rakyat biasa, ketimbang berdekat-dekatan dengan penguasa. Sejumlah ulama besar yang

    dekat dengan Diponegoro antara lain Kiai Muhammad Bahwi, penghulu utama kraton, lalu

    Haji Baharudin yang menjadi Komandan Pasukan Suronatan, Kiai Kasongan, Kiai Papringan,

    juga dengan Kiai Baderan ayah dari Kiai Mojo, dan lain-lain. Dan seorang Ustadz Muhammad

    Taftayani merasa bersyukur bisa menjadi salah satu guru bagi orang yang berhati mulia ini.

    Ustadz... silakan lanjutkan paparannya. Saya hendak keluar dahulu, ujar Pangeran

    Diponegoro membuyarkan semua ingatan Muhammad Taftayani tentang murid

    kesayangannya itu.

    Menurut laporan Residen Belanda tahun 1805, Ustadz Taftayani yang berasal dari Sumatera

    Barat itu mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan

    anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani

    menerjemahkan kitab fiqih Sirat Al-Mustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa

    Jawa. Ini mengindikasikan, Pangeran Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A.

    Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Penerbit Bulan

    Bintang, Jakarta hal. 29).

    Astaghfirullah.. saya melamun. Silakan Pangeran. Dan karena hari sudah semakin malam,

    pengajian kali ini kita cukupkan sampai disini dahulu. Mudah-mudahan iman Islam yang kita

    miliki mampu untuk mengikat hati kita semua dalam perjuangan yang sebentar lagi akan

    mendatangi kita. Cepat atau lambat, semuanya akan diuji oleh perjuangan ini. Saya berdoa

    agar Allah subhana wa taala nanti memasukkan dan mengumpulkan kita semua di

    dalamjannah-Nya.Amien ya Rabb. Apakah kisanaksemua masih ada pertanyaan?

    Ketujuh lelaki dewasa yang ada di hadapan Ustadz Taftayani saling berpandangan dan

    kemudian menggelengkan kepala.

    Baiklah. Nanti kita akan berkumpul kembali dalam pengajian berikutnya. Untuk saat ini

    saya cukupkan. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

    Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, jawab semuanya.

    Pengajian telah berakhir malam itu. Para prajurit ada yang beristirahat, ada pula yang

    bertugas jaga. Sedangkan dua senopati, sejumlah sesepuh, dan pimpinan pasukan lainnyabergabung di sebuah rumah yang cukup besar di bagian bawah Gua Selarong. Seperti yang

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    27/49

    dilakukan setiap malam, semuanya akan mendengar pemaparan perkembangan terakhir

    situasi Yogyakarta dan juga kraton dari para telik sandiatau mata-mata yang dikirim ke

    berbagai tempat. Pangeran Diponegoro akan langsung memimpin pertemuan tersebut.

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    28/49

    Bab 3

    SUROMENGGOLO BERSAMA TIGA LELAKI LAINNYA sudah duduk bersila di ruangan agak

    besar berdinding bambu yang tidak dilabur dengan kapur, sehingga bilik-biliki bambu yang

    mengikat dengan saling-silang itu menampakkan keasliannya. Sebuah pelita kecil sengaja

    diikatkan di pokok bambu, tepat di bagian tengah atas ruangan. Keempat orang itu

    merupakan bagian dari pasukan telik sandiyang sengaja dikirim Diponegoro ke daerah-

    daerah musuh untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang berbagai hal.

    Di luar, suara hewan malam terdengar bersahut-sahutan. Sesekali di kejauhan, lenguhan

    monyet menimpali. Suaranya begitu memilukan, bagai meneriakkan nasib rakyat pribumi

    yang terus-menerus menderita di bawah kekejaman Belanda dan antek-anteknya.

    Suromenggolo sungguh-sungguh kagum dengan Susuhunan Paku Buwono IV. Keponakan

    dari Pangeran Diponegoro inilahbersama Pangeran Mangkubumi[1]yang menganjurkan

    agar pamannya memilih Gua Selarong sebagai basis perlawanan gerilya.

    Pangeran Mangkubumi merupakan anak dari Sultan Hamengku Buwono II atau yang lebih

    populer disebut sebagai Sultan Sepuh. Sultan Hamengku Buwono II ini sangat anti penjajah

    Belanda. Sikap ini diwariskan oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Diponegoro sendiri

    lebih dekat kepada Sultan Sepuh ketimbang terhadap ayahnya sendiri, Sultan Hamengkubu

    Buwono III yang tidak begitu tegas, bahkan beberapa kali dengan jelas mendukung Belanda.

    Wilayah Selarong dengan beberapa guanya memang sangat strategis. Tempatnya berada di

    ketinggian sebuah bukit, dikelilingi hutan yang masih lebat walau tidak luas. Jalan dari dan

    menuju gua hanya satu dan itu pun kecil sehingga sulit dilalui kereta yang ditarik kuda.

    Walau berada di ketinggian, namun Gua Selarong yang berada di selatan Yogyakarta ini tak

    begitu jauh dengan dengan garis pantai Laut Kidul, tempat yang disukai Diponegoro untuk

    tafakur .

    Di bawah Gua Selarong terdapat perkampungan yang sudah ramai oleh rumah penduduk.

    Walau demikian, kontur daerah ini memang menjadikannya sangat cocok untuk dijadikan

    markas komando dalam kacamata militer.

    Setelah menyimak dan menimbang saran dari Paku Buwono VI, Pangeran Diponegoro

    akhirnya mengakui jika usul keponakannya tersebut memang tepat. Gua Selarong memang

    sebuah benteng alami yang cukup tangguh.

    Sebagai seseorang yang dididik dan dibesarkan panglima pasukan khusus pengawal raja,

    Pangeran Diponegoro tahu banyak soal strategi perang. Ratu Ageng tidak hanya

    memberinya pengetahuan keagamaan, tetapi juga membekalinya dengan dasar-dasar

    kepemimpinan dan kemiliteran, pengetahuan tentang taktik perang, penggunaan senjata,manajemen pasukan, dan lain sebagainya.

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    29/49

    Sebab itulah, walau tidak dilakukan tiap malam, selepas pengajian dan di saat yang lain

    sudah beristirahat atau kembali berjaga di posnya masing-masing, Pangeran Diponegoro

    selalu mengadakan pertemuan terbatas dengan para telik sanditerpilih untuk memantau

    perkembangan di luar sana.

    Pangeran Diponegoro percaya dengan informasi yang disampaikan para telik sandinya. Di

    sisi lain, tanpa sepengetahuan para telik sandinya, Diponegoro juga membentuk unit kontra

    intelijen yang mengawasi dan mengecek semua informasi yang diterima dari bawahannya.

    Yang terakhir ini direkrut dari orang-orang yang sangat dipercayainya, walau pun jumlahnya

    tidak banyak. Ustadz Taftayani sendiri yang telah membaiat mereka dengan kitab suci al-

    Quran di atas kepala.

    Tiba-tiba pintu bilik yang bagian luarnya terbuat dari bambu bergerak terbuka. Deritnya

    terdengar pelan. Dari pintu yang terbuka tampak Ki Guntur Wisesa yang pertama memasuki

    ruangan, diikuti Pangeran Diponegoro, Ustadz Taftayani, Pangeran Bei, seorang pengawal

    khusus, dan kemudian barulah beberapa orang sesepuh dan para senopati. Salam pun

    ditebarkan, dijawab kembali dengan salam saling mendoakan kebaikan bagi semuanya.

    Mereka duduk melingkar di tengah ruangan, diterangi temaram satu-satunya pelita kecil

    yang diikat di atas dekat wuwungan.

    Tidak ada yang bersuara hingga Ustadz Taftayani membuka pertemuan.

    Bagaimana laporanmu Suromenggolo? bisiknya langsung ke pokok pertemuan.

    Lelaki yang disapa Suromenggolo mengangguk pelan. Murid sekaligus orang kepercayaan

    Kiai Mojo, ulama kharismatik dari Desa Mojo yang berada di utara Surakarta, ini tidak segera

    menjawab. Dia mengedarkan terlebih dahulu pandangannya ke sekeliling ruangan. Walau

    nyaris gelap, namun dia bisa merasakan jika seluruh pimpinan pasukanjihad fi

    sabilillah Kanjeng Gusti Pangeran berkumpul di sini.

    Setelah mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, masih sambil duduk bersila,

    Suromenggolo membungkukkan badan dan mulai mengeluarkan suaranya. Terdengar

    seperti orang berbisik, namun bisa didengar dengan jelas.

    Alhamdulillah. Semakin banyak ulama dan para pendekar yang menyatakan dengan tegas

    jika mereka akan bergabung dengan kita....

    Pangeran Diponegoro dan semua yang ada di dalam ruangan tersebut juga

    mengucapkan hamdallah tanda syukur kepada Allah subhana wa taala. Beberapa tahun

    lalu, Pengeran Diponegoro dan yang lainnya memang bergerak di segenap penjuru negeri

    untuk menggalang kekuatan untuk memerangi dan mengusir Belanda.

    Orang pertama yang dikunjungi Diponegoro adalah Kiai Abdani dan Kiai Anom di Bayat,

    Klaten. Kedua kiai ini tidak saja menyatakan dengan tegas kesanggupannya untukbergabung namun juga memberi Diponegoro tambahan ilmu bela diri. Dari Bayat,

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    30/49

    Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi melanjutkan perjalanan ke Sawit, Boyolali,

    untuk menemui Kiai Modjo, seorang Kiai kepercayaan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono VI.

    Kiai Modjo pun mendukung penuh Pangeran Diponegoro. Lalu dengan diantar Kiai Modjo,

    Pangeran Diponegoro menemui Tumenggung Prawirodigdoyo di Gagatan. Tumenggung ini

    adalah orang kepercayaan Susuhunan Paku Buwono VI.

    Dan atas saran Kiai Modjo dan Tumenggung Gagatan inilah, Pangeran Diponegoro pun

    menemui Paku Buwono VI, keponakan Diponegoro sendiri.

    Hampir semua ulama yang saya temui di sekitar Merapi, Dieng, Merbabu, Kulon Progo, dan

    lainnya, semua siap bergabung dengan Kanjeng Pangeran. Bukan saja para ulama, namun

    juga para pendekar dan jagoan-jagoan setempat. Mereka sudah muak dengan Belanda.

    Mereka hanya tinggal menunggu perintah dari Kanjeng Pangeran.

    Ustadz Taftayani mengangguk-angguk. Alhamdulillah, ini perkembangan yang baik. Namunketahuilah, jika perang yang akan kita lakukan ini adalah perang sabil,Jihad fi sabilillah.

    Perang yang semata-mata bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan menghapuskan

    segala kezaliman. Sebab itu, kita harus mengaktifkan pengajian-pengajian di seluruh negeri,

    agar semua yang nantinya bergabung dengan kita memahami apa tujuan dan hakikat perang

    ini. Bagaimana Pangeran?

    Insya Allah, saya juga berpendapat sama. Kita akan memetik kemenangan. Tidak ada

    sedikit pun rasa takut dan cemas menghadapi hari esok bagi orang-orang beriman.

    Kematian adalah kepastian. Dan hanya orang-orang beriman dan tawakal yang kematiannya

    akan benar-benar indah. Insya Allah, Ustadz, dan juga yang lainnya, para senopati dan para

    ulama, mulai besok kita akan menggencarkan pengajian kepada semua orang yang bersedia

    bergabung dalam kafilah tauhid ini.Insya Allah.., ujar Diponegoro.

    Lantas, bagaimana dengan Danuredjo, Kisanak? tanya Ustadz Taftayani kembali kepada

    Suromenggolo.

    Danurejo makin tak terkendali, Ustadz. Tadi pagi seorang ibu yang sedang hamil tua

    bersama dua orang anak kecil yang dibawanya dilarang lewat jembatan di Desa Jotawang,

    hanya karena uang yang dimiliki sang ibu tadi untuk bayar pajak jalannya kurang. Danurejoada di sana. Dia tengah menginspeksi pos-pos jalan utama. Dia sendiri yang kemudian

    memerintahkan ibu itu dan anak-anaknya untuk menyeberangi Kali Code yang berbatu-batu

    yang ada di bawah jembatan. Akhirnya ibu dan anak-anaknya itu pun terpaksa

    menyeberangi kali. Dan celaka, mereka jatuh dan terbawa hanyut air kali yang deras. Tidak

    ada yang berani menolongnya karena Danurejo dan pasukannya melarang semua orang

    yang ada di situ untuk menolong mereka....

    Astaghfirullah al-adziem...., desis semua yang ada di sana.

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    31/49

    Dasar anjing Belanda! umpat Ki Singalodra geram. Giginya sampai terdengar

    bergemeletuk saking marahnya.

    TeruskanKisanak..., ujar Ustadz Taftayani.

    Suromenggolo melanjutkan paparannya, Danurejo juga telah memerintahkan dua orang

    kepercayaannya, Pangeran Murdaningrat dan Pangeran Ponular untuk menaikkan tarif pajak

    di beberapa ruas jalan yang makin ramai. Siapa saja yang tidak sanggup bayar, dilarang

    melintas di jalan itu...

    Pangeran Diponegoro bergumam, Murdaningrat dan Ponular, jahat benar mereka...

    Suromenggolo mendengar gumamannya, Ya, benar Kanjeng Gusti Pangeran. Mereka

    berdua telah benar-benar menjadi kaki tangan bagi Danurejo dan juga kafir Belanda.

    Bukankah mereka yang menggantikan Kanjeng Gusti Pangeran dan Pamanda Kanjeng Gusti

    Mangkubumi di dewan perwalian?

    Diponegoro mengangguk. Ya, mereka yang menggantikanku dan

    Paman Mangkubumi di Dewan Perwalian Kraton.

    Ustadz Taftayani dan semua orang yang berkumpul di ruangan itu tahu benar jika

    sesungguhnya Dewan Perwalian Kraton hanyalah alat bagi kepentingan Belanda untuk

    menipu rakyat.

    Awalnya adalah ketika Sultan Hamengku Buwono III wafat pada tahun 1814. Saat itu RadenMas Jarot, adik dari Pangeran Diponegoro, baru berusia sepuluh tahun. Rakyat

    menginginkan agar Diponegoro yang menjadi raja. Namun Diponegoro sejak awal menolak.

    Dan Belanda pun tidak menyukai Diponegoro yang tidak mau tunduk pada kepentingannya.

    Akhirnya Raden Mas Jarot pun naik tahta, menjadi Sultan Hamengku Buwono IV dalam usia

    belia. Belanda menunjuk Paku Alam I sebagai wali pemerintahannya.

    Pada tanggal 20 Januari 1820, ketika Hamengku Buwono IV sudah hampir berusia

    enambelas tahun, Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja. Namun pemerintahan

    mandiri Hamengku Buwono IV hanya berjalan selama dua tahun, karena pada tanggal 6Desember 1822 tengah hari, ketika baru saja sepulangnya dari tamasya, dia meninggal

    dunia. Sebab itulah Hamengku Buwono IV disebut juga sebagai Sultan Seda ing Pesiyar,

    Sultan yang meninggal dunia ketika tengah tamasya.

    Menurut keterangan Belanda, sakitlah yang menjadi sebab kematiannya. Namun banyak

    orang yang percaya, jika Belanda atau orang-orangnya telah meracuni Sultan. Belanda

    berbuat itu agar kekuasaan Patih Danuredjo IV bisa lebih besar.[1]Patih Danuredjo IV, yang

    berasal dari keluarga Danurejan yang memang sejak lama menjadi kaki tangan Belanda,

    kemudian menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di kraton.

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    32/49

    Peter Carey di dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order

    in Java 1785-1855 (2007) menulis, ...bagaimana dia wafat sangat mengerikantampaknya

    ia mendadak kena serangan penyakit ketika sedang makandan tubuhnya langsung

    membengkak, suatu pertanda menurut dugaan beberapa orang masa itu, bahwa dia telah

    diracuni... Kematian itu datang dengan tiba-tiba setelah Hamengku Buwono IV menerimanasi dan makanan Jawa dari Patih Danuredja IV.

    Dengan meninggalnya Hamengku Buwono IV, maka otomatis, Raden Mas Gatot Menol,

    anaknya yang baru berusia tiga tahun akan naik tahta. Dengan adanya raja balita ini, maka

    Patih Danuredjo akan sangat leluasa untuk menguasai seluruh kraton. Dan kepentingan

    Belanda pun akan terjamin dalam waktu yang lama.

    Dan memang demikian adanya. Raden Mas Gatot Menol yang baru berusia tiga tahun pun

    diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Untuk mendampingi raja kecil ini, Belanda

    bersama Patih Danuredjo IV membentuk Dewan Perwalian Kraton, yang terdiri dari orang-

    orang terdekat dari sang raja. Dewan ini dibentuk salah satunya untuk menghilangkan

    kecurigaan rakyat banyak soal sebab kematian Hamengku Buwono IV. Dengan adanya

    Dewan Perwalian, maka Patih Danuredjo bisa berlindung di balik dewan ini atas semua

    tindak-tanduknya.

    Naiknya Raden Mas Gatot Menol menjadi Hamengku Buwono V dan dibentuknya Dewan

    Perwalian Kraton menimbulkan dilema tersendiri bagi seorang Pangeran Diponegoro. Dia

    sudah curiga jika Dewan Perwalian hanyalah hasil akal-akalan dari seorang Danuredjo.

    Karena keputusan final pemerintahan tetap berada di tangan Patih Danuredjo IV bersama-sama dengan Residen Belanda.

    Namun jika dia tidak bergabung di dalamnya, maka kraton akan sepenuhnya dikuasai

    Danuredjo dan para penjilat kafir Belanda lainnya. Setelah bertafakur cukup lama di

    Parangkusumo, dengan mengucapkan Bismillah, maka Pangeran Diponegoro pun memilih

    untuk mau bergabung sebagai anggota Dewan Perwalian, bersama dengan Mangkubumi,

    pamannya yang sangat dihormati Diponegoro. Diponegoro berharap dengan bergabungnya

    dia dan Mangkubumi di dalam Dewan Perwalian Kraton, maka mereka bisa mewarnai

    kraton agar lebih memihak umat ketimbang memihak penguasa kafir Belanda.

    Namun kenyataan berkata lain. Hampir setiap hari rapat demi rapat berlangsung,

    memutuskan ini dan itu terkait kebijakan kraton terhadap berbagai macam masalah

    menyangkut rakyat banyak, namun segala keputusan Dewan Perwalian ternyata tidak

    berjalan sebagaimana mestinya. Semua kebijakan pemerintah ternyata tidak sejalan dengan

    hasil musyawarah atau rekomendasi dari Dewan Perwalian. Patih Danuredjo yang sangat

    licin dan mahir berbicara ini. bahkan dengan menyitir banyak ayat Quran, hadits, dan juga

    siroh Rasul, selalu menelikung semua keputusan Dewan ini. Sehingga keberadaan Dewan

    seolah tidak ada artinya, kecuali hanya sebagai panggung sandiwara. Danuredjo bisa dengan

    mudah dan leluasa memutuskan segala hal walau itu bertentangan dengan hasil

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    33/49

    musyawarah Dewan Perwalian Kraton. Patih Danuredjo lebih berkuasa ketimbang Dewan

    Perwalian itu sendiri. Dewan yang berfungsi sebagaimana layaknya Dewan Syuro ini tidak

    memiliki kekuatan apa-apa jika Danuredjo berkehendak lain.

    Semua ini membuat Pangeran Diponegoro bertambah muak. Maka dengan tegas,

    Diponegorobersama Mangkubumimenyatakan keluar dari dewan ini dan bersama-sama

    umat berjuang dari luar lingkaran kekuasaan yang bertambah korup. Danuredjo sendiri

    mengiming-imingi kedudukan dan uang yang banyak kepada Diponegoro, namun Sang

    Pangeran tidak goyah dan tetap memilih berjuang dari luar tembok kraton sepenuhnya.

    Dengan tetap mengecilkan volume suara, Suromenggolo melaporkan semua informasi yang

    diterimanya di lapangan, baik berkenaan dengan pergerakan pasukan Belanda dan antek-

    anteknya, juga kebijakan baru yang diambil oleh Patih Danuredjo yang kian menyusahkan

    rakyat.

    Di akhir laporannya, Suromenggolo dan kedua rekan anggota pasukan telik sandi-nya

    bersepakat jika perkembangan di luar semakin panas dan bukan tidak mungkin Belanda dan

    Danuredjo akan mengambil suatu langkah untuk memprovokasi Pangeran Diponegoro

    untuk memulai perang.

    Maaf Kanjeng Pangeran.., ujar Suromenggolo. ...saat ini Kanjeng Pangeran dan semua

    yang ada di sini harap lebih waspada dan hati-hati. Dari berbagai informasi yang kami

    dapatkan di lapangan, kami yakin jika Belanda dan Patih Danuredjo tengah menyusun siasat

    agar kita semua terpancing . Mereka ingin kita melawan mereka secara terbuka terlebih

    dahulu. Semua ini agar mereka memiliki alasan untuk menangkap dan membunuh kita

    semua di sini...

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    34/49

    Bab 4

    Pertengahan Juli 1825

    MALAM TELAH TURUN MENYELIMUTI LANGIT Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Di aula

    kraton, musik Ratu Wilhelmina terdengar mendayu-dayu dari piringan hitam yang diputar.

    Gelak tawa para pembesar Belanda dan para pejabat kraton yang tengah dimabuk whisky

    dan Brandy dalam pesta jamuan makan malam yang mewah terdengar kencang. Diseling

    cekikikan genit para Noni Belanda dan perempuan-perempuan muda yang didatangkan

    orang-orangnya Patih Danuredjo entah dari mana.

    Di salah satu ruangan utama kraton, Patih Dalem Danuredjo IV tampak duduk semeja

    dengan Anthonie Hendriks Smissaert, Residen Yogyakarta. Penggila pesta dan minuman

    keras itu, dan tentu saja juga wanita, merupakan Residen Belanda ke-18 untuk Yogyakarta.

    Sejak bertugas tahun 1823, hampir tiap pekan Smissaert menggelar pesta dansa-dansi dan

    minuman keras dengan mengundang koleganya, termasuk para pembesar kraton seperti

    halnya Patih Danuredjo IV dan sebagian pangeran serta pejabat lainnya.

    Di hadapan meja yang dipenuhi abu cerutu dan beberapa botol Whisky yang sudah

    berkurang isinya, Patih Danuredjo tengah berembug dengan residen itu untuk menangkap

    Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya yang makin lama makin mencemaskan mereka.

    Dari para mata-mata yang disebar Belanda dan juga kraton, mereka mendapatkanketerangan jika kian hari kian banyak saja orang yang bergabung dengan Diponegoro.

    Apalagi di Puri Tegalredjo, tempat kediaman Diponegoro dan Ratu Ageng, sudah lama

    tercium adanya pelatihan-pelatihan ilmu bela diri bagi pribumi yang dipimpin oleh sejumlah

    ulama pendekar dan para jagoan yang menyatakan setia kepada Diponegoro. Pelatihan itu

    tidak saja dilakukan dengan tangan kosong, namun juga menggunakan berbagai macam

    senjata.

    Patih, Kowe musti bisa bikin cara supaya Diponegoro itu bisa segera ditangkap!

    Patih Danuredjo tersenyum. Dengan suaranya yang lembut dan kalimat yang teratur rapi,

    dia menjawab, Insya Allah, Tuan Residen tenang saja. Saya dan anak buah saya sedang

    mencari jalan supaya dia bisa sesegera mungkin ditangkap.

    Kapan? Kowe tidak bisa berlama-lama begitu! Apa mau tunggu sampai pengikutnya

    banyak? Jadi susah kita nantinya! sergah Smissaert sambil menenggak sebotol Whisky dari

    botolnya langsung. Jakunnya yang besar terlihat bergerak naik turun di lehernya. Dia

    kemudian menopangkan sebelah kakinya yang pendek naik di atas meja ke atas kaki yang

    lain. Tapak sepatu lars Smissaert kini menghadap lurus ke wajah Danuredjo. Patih Danuredjo

    benar-benar direndahkan olehnya. Tapi patih itu hanya berdiam diri sambil tetaptersenyum, walau hatinya serasa panas diperlakukan seperti itu.

  • 7/31/2019 Eramuslim- Diponegoro2

    35/49

    Melihat Danuredjo yang belum juga menjawab pertanyaannya, dengan tidak sabaran lelaki

    kecil berwajah bulat dengan rambut tipis berwarna putih keperakan dan bermata biru itu

    berkata, Aah, jangan-jangan ko