epilepsi dlm kehamilan

23
I. PENDAHULUAN Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5%-2%. 1,2,3,4,5,6 Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi. Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%-0,5% penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi. 6,7 Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi sampai saat ini masih dianggap sebagai kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya pengaruh yang kurang baik dari epilepsi terhadap kehamilan dan sebaliknya serta pengaruh obat anti epilepsi terhadap janin. 7 Sekitar 25%-33,3% serangan epilepsi akan meningkat selama hamil, dengan beberapa kemungkinan komplikasi-komplikasi pada saat kehamilan, persalinan dan pada janin. 8 Dalam menghadapi kehamilan resiko tinggi seperti ini maka ibu hamil dengan epilepsi sebaiknya dibutuhkan penanganan secara terpadu antara ahli kebidanan dan ahli saraf agar dapat bebas dari serangan epileptik, serta ahli anak untuk memantau adanya gangguan perkembangan dan kelainan kongenital. Tulisan ini membicarakan mengenai epilepsi, pengaruh timbal balik epilepsi dan kehamilan, efek samping obat antiepilepsi pada janin dan penanganan ibu hamil penyandang epilepsi. II. EPILEPSI A. Definisi Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai macam etiologi. 9 Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal,

description

epilepsi

Transcript of epilepsi dlm kehamilan

  • I. PENDAHULUAN

    Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada semua

    bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi

    terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda

    sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.

    Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5%-2%.1,2,3,4,5,6 Di Indonesia penelitian

    epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka

    prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila

    penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta

    penderita penyandang epilepsi. Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara

    0,3%-0,5% penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi.6,7

    Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi sampai saat ini masih dianggap sebagai

    kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya pengaruh yang kurang baik dari epilepsi

    terhadap kehamilan dan sebaliknya serta pengaruh obat anti epilepsi terhadap janin.7

    Sekitar 25%-33,3% serangan epilepsi akan meningkat selama hamil, dengan beberapa

    kemungkinan komplikasi-komplikasi pada saat kehamilan, persalinan dan pada janin.8

    Dalam menghadapi kehamilan resiko tinggi seperti ini maka ibu hamil dengan epilepsi

    sebaiknya dibutuhkan penanganan secara terpadu antara ahli kebidanan dan ahli saraf agar

    dapat bebas dari serangan epileptik, serta ahli anak untuk memantau adanya gangguan

    perkembangan dan kelainan kongenital.

    Tulisan ini membicarakan mengenai epilepsi, pengaruh timbal balik epilepsi dan

    kehamilan, efek samping obat antiepilepsi pada janin dan penanganan ibu hamil

    penyandang epilepsi.

    II. EPILEPSI

    A. Definisi

    Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul

    disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan

    listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai

    macam etiologi.9 Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama

    epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal,

  • 2

    yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan

    bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).10

    Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai

    berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk

    berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa

    gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik

    atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku

    (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang

    epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah bermacam jenis epilepsi.

    B. Etiologi

    Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar 70%

    kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik

    dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya

    trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,

    toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi

    penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.11

    Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya

    epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi

    menjadi 20%-30%.12

    Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen,

    hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan

    epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat

    menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi.13,14,15

    Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan

    keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan

    menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan

    epilepsi.

    C. Klasifikasi

    Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun 1981 dan

    tahun 1989.16,17

  • 3

    International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi

    epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):

    1. Serangan parsial

    a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)

    - Dengan gejala motorik

    - Dengan gejala sensorik

    - Dengan gejala otonom

    - Dengan gejala psikis

    b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)

    - Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran

    - Gangguan kesadaran saat awal serangan

    c. Serangan umum sederhana

    - Parsial sederhana menjadi tonik-klonik

    - Parsial kompleks menjadi tonik-klonik

    - Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik

    2. Serangan umum

    a. Absans (Lena)

    b. Mioklonik

    c. Klonik

    d. Tonik

    e. Atonik (Astatik)

    f. Tonik-klonik

    3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang

    lengkap).

    Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi karena

    hanya ada dua kategori utama, yaitu

    - Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di

    otak.

    - Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada

    kedua belahan otak.

  • 4

    Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 adalah :

    1. Berkaitan dengan letak fokus

    a. Idiopatik

    - Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro temporal spike)

    - Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

    b. Simptomatik

    - Lobus temporalis

    - Lobus frontalis

    - Lobus parietalis

    - Lobus oksipitalis

    2. Umum

    a. Idiopatik

    - Kejang neonatus familial benigna

    - Kejang neonatus benigna

    - Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

    - Epilepsi Absans pada anak

    - Epilepsi Absans pada remaja

    - Epilepsi mioklonik pada remaja

    - Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga

    - Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak

    b. Simptomatik

    - Sindroma West (spasmus infantil)

    - Sindroma Lennox Gastaut

    3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2)

    - Serangan neonatal

    4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi

    - Kejang demam

    - Berkaitan dengan alkohol

    - Berkaitan dengan obat-obatan

    - Eklampsia

    - Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi)

  • 5

    Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya serangan,

    namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosis

    epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik

    dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita

    yang menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama

    sekali bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang

    dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman

    elektroensefalografi (EEG).

    D. Patofisiologi

    Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan.

    Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara

    kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter.

    Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan

    lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau

    dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi

    secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:

    - Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter

    - GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory

    neurotransmitter.

    Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin,

    sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5-

    HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan

    masih perlu penelitian lebih lanjut.18,19

    Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak

    yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi

    dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau

    kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara

    serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses

    sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-

    jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:

  • 6

    - Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal

    sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi

    GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung

    konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis).18,19 Hambatan oleh

    GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik.

    - Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls

    epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem

    pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh

    meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan

    peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.18,19

    - Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan

    pelepasan abnormal impuls epileptik.

    Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian

    yang saling terkait :

    - Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk

    menimbulkan bangkitan.

    - Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron. - Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul.18,19

    Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan listrik

    berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit

    serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi

    neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan

    kejang.

    Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke,

    kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi

    neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang

    bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia,

    stimulus sensorik dan lain-lain.

    Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus

    epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkortek,

    thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak

  • 7

    dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai

    dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara

    intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat

    sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat

    dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya

    exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun

    ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.20,21,22

    Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik)

    depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang

    berkepanjangan disebut status epileptikus.

    III. PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP EPILEPSI

    Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi tergolong mempunyai faktor risiko tinggi.

    Banyak penelitian mengatakan terdapat peningkatan risiko komplikasi obstetrik pada

    wanita penyandang epilepsi dibandingkan dengan kehamilan normal. Hal ini disebabkan

    adanya pengaruh kehamilan terhadap epilepsi dan sebaliknya, pengaruh epilepsi terhadap

    janin dan pengaruh obat anti epilepsi terhadap perkembangan janin.4,23,24

    Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi didapatkan sepertiga wanita akan mengalami

    peningkatan serangan epilepsi, sepertiga wanita akan mengalami perubahan serangan dan

    sepertiga wanita lagi akan mengalami penurunan frekwensi serangan.25 Beberapa peneliti

    lain mendapatkan pengaruh kehamilan terhadap epilepsi seperti yang terlihat pada tabel di

    bawah ini.

    Tabel 1. Pengaruh kehamilan terhadap frekwensi serangan epilepsi _____________________________________________________________________ Studi (tahun) Kehamilan Peningkatan(%) Tidak ada perubahan Penurunan (%) ___________________________________________________________________________________ Burnett (1946) 19 42 52 6 Mc Clure (1955) 20 55 25 20 Sabin & Ozorn (1956) 55 33 53 15 Klingman (1957) 120 61 33 6 Knight & Rhind (1975) 84 45 50 5 Total kehamilan 298 Berat rata-rata (%) 50 42 8 ___________________________________________________________________________________ Dikutip dari Donaldson dan Cartlidge 31,36

  • 8

    Peningkatan frekwensi serangan epilepsi ini tidak ada hubungan dengan jenis serangan,

    usia wanita penyandang epilepsi, lama menderita epilepsi, obat anti epilepsi atau frekwensi

    serangan pada kehamilan yang lalu.25

    Wanita penyandang epilepsi yang makin sering mengalami serangan kejang setiap

    bulannya sebelum hamil, frekwensi serangannya akan meningkat selama kehamilan,

    sedangkan wanita penyandang epilepsi yang dalam waktu sembilan bulan tidak pernah

    kejang atau hanya satu kali, tidak akan mengalami peningkatan serangan kejang selama

    hamil.26 Penderita lebih dari dua tahun bebas serangan maka risiko timbulnya serangan

    epilepsi selama hamil menurun atau tidak timbul.27

    Wanita penyandang epilepsi yang sering mengalami serangan kejang umum atau fokal

    sebelum konsepsi akan lebih sering mengalami serangan selama kehamilan. Bahkan ada

    yang mengatakan bahwa frekwensi serangan epilepsi meningkat pada waktu mengandung

    bayi laki-laki (64%) sedangkan waktu mengandung bayi perempuan (30%) tetapi beberapa

    peneliti lain tidak berpendapat demikian.28

    Beberapa peneliti mengatakan bahwa bangkitan epilepsi lebih sering terjadi pada

    kehamilan, terutama pada trimester I dan hanya sedikit meningkat trimester III.

    Meningkatnya frekwensi serangan kejang pada wanita penyandang epilepsi selama

    kehamilan ini disebabkan oleh6:

    A. Perubahan hormonal

    Kadar estrogen dan progesteron dalam plasma darah akan meningkat secara bertahap

    selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ketiga. Sedangkan kadar

    hormon khorionik gonadotropin mencapai puncak pada kehamilan trimester pertama

    yang kemudian menurun terus sampai akhir kehamilan. Seperti diketahui bahwa

    serangan kejang pada epilepsi berkaitan erat dengan rasio estrogen-progesteron,

    sehingga wanita penyandang epilepsi dengan rasio estrogen-progesteron yang

    meningkat akan lebih sering mengalami kejang dibandingkan dengan yang rasionya

    menurun. Kerja hormon estrogen adalah menghambat transmisi GABA (dengan

    merusak enzim glutamat dekarboksilase). Sedangkan kita ketahui bahwa GABA

    merupakan neurotransmiter inhibitorik, sehingga nilai ambang kejang makin rendah

    dengan akibat peningkatan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi. Sebaliknya

  • 9

    kerja hormon progesteron adalah menekan pengaruh glutamat sehingga menurunkan

    kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi.

    B. Perubahan metabolik

    Adanya kenaikan berat badan pada wanita hamil yang disebabkan retensi air dan

    garam serta perubahan metabolik seperti terjadinya perubahan metabolisme di hepar

    yang dapat mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (terutama proses eliminasi),

    terjadinya alkalosis respiratorik dan hipomagnesemia. Keadaan ini dapat menimbulkan

    kejang, meskipun masih selalu diperdebatkan.

    C. Deprivasi tidur

    Wanita hamil sering mengalami kurang tidur yang disebabkan beberapa keadaan seperti

    rasa mual muntah, nyeri pinggang, gerakan janin dalam kandungan, nokturia akibat

    tekanan pada kandung kencing dan stress psikis. Semuanya ini dapat meningkatkan

    serangan kejang.

    Mual muntah yang sering pada kehamilan trimester pertama dapat mengganggu

    pencernaan dan absorbsi obat anti epilepsi. Dimethicone merupakan salah satu obat

    yang sering digunakan untuk hiperasiditas, gastritis, dyspepsia, ulkus duodenal dan

    abdominal distention dapat menurunkan absorbsi phenytoin sebanyak 71%. Kaolin

    menurunkan absorbsi sebanyak 60% dan magnesium trisilikat efeknya tidak nyata.

    Tonus lambung dan pergerakannya menurun pada kehamilan sehingga menghambat

    pengosongan lambung.

    D. Perubahan farmakokinetik pada obat anti epilepsi

    Penurunan kadar obat anti epilepsi ini disebabkan oleh beberapa keadaan antara lain

    berkurangnya absorbsi (jarang), meningkatnya volume distribusi, penurunan protein

    binding plasma, berkurangnya kadar albumin dan meningkatnya kecepatan drug

    clearance pada trimester terakhir.

    Penurunan serum albumin sesuai dengan bertambahnya usia gestasi mempengaruhi

    kadar plasma obat anti epilepsi, sehingga obat anti epilepsi yang terikat dengan protein

    berkurang dan menyebabkan peningkatan obat anti epilepsi bebas. Namun obat anti

    epilepsi ini akan cepat dikeluarkan sesuai dengan meningkatnya drug clearance yang

    disebabkan oleh induksi enzim mikrosom hati akibat peningkatan hormon steroid

  • 10

    (estrogen dan progesteron). Pada umumnya dalam beberapa hari-minggu setelah

    partus kadar obat anti epilepsi akan kembali normal.6

    E. Suplementasi asam folat

    Penurunan asam folat (37%) dalam serum darah dapat ditemukan pada penderita yang

    telah lama mendapat obat anti epilepsi, pada kehamilan trimester ketiga menjelang

    partus dan pada masa puerperium bagi ibu hamil yang sebelumnya tidak pernah

    mendapat suplemen asam folat. Wanita hamil dengan epilepsi lebih mungkin menjadi

    anemia 11% (anemia mikrositer), karena sebagian besar obat anti epilepsi yang

    dikonsumsi berperan sebagai antagonis terhadap asam folat dan juga didapatkan

    thrombositopenia.29

    Suplementasi asam folat dapat mengganggu metabolisme obat anti epilepsi

    (phenytoin dan phenobarbital) sehingga mempengaruhi kadarnya dalam plasma.

    Namun dapat dikatakan tidak sampai meningkatkan jumlah serangan kejang.6

    Rendahnya asam folat selama kehamilan mempunyai risiko terjadinya insiden

    abortus spontan dan anomali neonatal, gangguan perkembangan pada bayi yang

    dilahirkan.5 Jadi walaupun terdapat sedikit kekhawatiran terhadap pemberian asam

    folat namun dosis rendah minimal 0,4 mg/hari tiap hari secara teratur masih dianggap

    aman dan dapat dilanjutkan selama kehamilan pada wanita penyandang epilepsi.

    Dosis tinggi (4 mg/hari) diberikan pada wanita hamil yang sebelumnya melahirkan

    anak dengan kelainan neural tube defect, terutama wanita yang mendapat obat anti

    epilepsi asam valproat dan karbamazepin.5

    F. Psikologik (stres dan ansietas)

    Stres dan ansietas sering berhubungan dengan peningkatan jumlah terjadinya serangan

    kejang. Keadaan ini sering disertai dengan gangguan tidur, hiperventilasi, gangguan

    nutrisi dan gangguan psikologik sekunder.

    G. Penggunaan alkohol dan zat

    Penggunaan alkohol yang berlebihan akan menginduksi enzim hati dan menurunkan

    kadar plasma obat anti epilepsi (phenobarbital, phenytoin dan karbamazepin) sehingga

    timbul kejang. Disamping itu intoksikasi alkohol mapun obat-obatan terlarang akan

    menyebabkan gangguan siklus tidur normal sehingga meningkatkan frekwensi kejang.

  • 11

    Hal lain yang meningkatkan frekwensi serangan kejang pada wanita penyandang epilepsi

    selama kehamilan adalah faktor kesengajaan menghentikan makan obat karena takut efek

    obat terhadap janin yang dikandungnya. Dari penelitian terhadap 125 wanita hamil

    dengan epilepsi, 27% tidak meneruskan penggunaan obatnya dengan alasan ketakutan

    akan efek samping (termasuk teratogenik) dan kekhawatiran pengaruhnya pada bayi yang

    diberi ASI. Sebenarnya obat anti epilepsi di ASI jumlahnya relatif sedikit. Jadi pada

    wanita penyandang epilepsi, obat anti epilepsi bukanlah kontraindikasi untuk pemberian

    ASI.6,26

    IV. PENGARUH EPILEPSI DAN OBAT ANTI EPILEPSI TERHADAP KEHAMILAN

    DAN JANIN

    A. Pengaruh terhadap kehamilan

    Komplikasi serangan epilepsi pada kehamilan terjadi 1,5 sampai 4 kali, yaitu perdarahan

    pervaginam sekitar 7%-10% pada trimester I dan III, hiperemesis gravidarum sebagian

    besar akibat dosis tinggi obat anti epilepsi, herpes maternal ditemukan 6 kali lebih sering

    dan resiko timbulnya preeklampsia 50%-250%.30

    Risiko pada ibu dapat terjadi trauma fisik, menurunnya kemampuan neuropsikologik

    dan kemungkinan untuk dilakukannnya seksio sesaria. Sedangkan kematian ibu hamil

    sewaktu serangan kejang sangat jarang sekali (di Inggris hanya sekitar 1 per tahun) dan

    penyebab kematian karena asfiksia pada saat serangan.

    Pada wanita hamil penyandang epilepsi, insiden komplikasi eklampsia tidak meningkat,

    yang lebih sering ditemukan adalah preeklampsia.5 Eklampsia atau Pregnancy Induced

    Hypertension (PIH) adalah hipertensi ensefalopati yang mendadak timbul menyebabkan

    fibrinoid arterio nekrosis disertai perdarahan dengan akibat disrupsi atau kerusakan tunika

    media arteriola, merembesnya protein serum terjadilah edema vasogenik. Pada

    pemeriksaan CT Scan dan MRI kepala ditemukan edema difus dan perdarahan otak. Hal

    ini harus segera diatasi dengan menurunkan tekanan darah misalnya dengan Ca channel

    blocker, mengatasi edema dengan hiperventilasi dan pemberian kortikosteroid.31

  • 12

    Tabel 2. Komplikasi maternal dan janin pada wanita hamil penyandang epilepsi _____________________________________________________________________________ Komplikasi maternal & janin Epilepsi Bukan epilepsi _____________________________________________________________________________ Total kehamilan 371 125,423 Hiperemesis gravidarum 1%-3% 0,8% Perdarahan pervaginam 5,1% 2,2% Preeclampsia 7,5% 4,7% Lahir dengan - SC 3,2% 1,1 % - EF/EV 6,3% 2,4% Usia gestasi < 37 minggu 8,9% 5,0% Berat lahir < 2500 g 7,4% 3,7% Hipoksia 1,9% 0,7% Malformasi kongenital 4,5% 2,2% Cleft lip or palate 1,1% Angka Mortalitas Janin (per 1000 kelahiran) Stillbirth 5,3 7,8 Perinatanal 31,8* 14,6 Kematian neonatal 29,3* 8,0 Kematian postnatal 5,3 3,4 ____________________________________________________________________________ Dikutip dari Yerby Ms dkk dan Cartlidge 30,36 * P value

  • 13

    intra kranial, dimana setelah dilakukan induksi persalinan ternyata bayi yang meninggal

    sudah mengalami maserasi.31

    Bila status epileptikus timbul saat kehamilan biasanya sepertiga dari ibu-ibu dan

    setengah dari janin tidak dapat diselamatkan dan harus segera diatasi tanpa memandang

    kehamilannya.32,34

    C. Pengaruh terhadap neonatus

    Bayi lahir mati, kematian neonatal serta kematian perinatal didapatkan dua kali lipat lebih

    banyak daripada populasi umum.6,35 Perdarahan pada neonatus terjadi dalam 24 jam

    pertama dari awal kehidupan. Keadaan ini disebabkan kekurangan atau defisiensi faktor

    pembekuan II, VII, IX dan X yang tergantung pada vitamin K. Defisiensi vitamin K

    disebabkan oleh obat anti epilepsi secara kompetitif menghambat transpostasi vitamin K

    melalui plasenta dan ditambah dengan kadar vitamin K yang rendah pada kehamilan.

    Keadaan ini dapat dicegah dengan memberikan vitamin K dosis tinggi pada minggu

    terakhir kehamilan.5,6 Namun karena lebih sering terjadi persalinan prematur maka

    vitamin K (10-20 mg/hari) ini diberikan pada 2-4 minggu terakhir. Perdarahan neonatus

    harus diberi fresh frozen plasma untuk mengatasi koagulopati. 5,6

    Bayi dari ibu yang mendapat phenobarbital akan mengalami risiko timbulnya drug

    withdrawal 7 hari setelah partus, dengan gejala sebagai berikut kegelisahan, gemetar

    (tremor), mudah terangsang (hipereksetibilitas), high pitch cry, nafsu makan yang besar

    disusul dengan muntah-muntah.36 Gejala ini mulai timbul pada saat bayi telah

    meninggalkan rumah sakit sehingga membuat kepanikan pada ibunya. Biasanya semua

    gejala ini akan berakhir dalam 1 atau 2 minggu, kecuali hipereksitibilitas dapat berakhir 2-

    4 bulan.

    Pada ibu yang mendapat asam valproat dan phenytoin selama hamil, bayinya dapat

    mengalami serangan kejang intrauterin dan perinatal, juga retardasi mental dan gangguan

    perkembangan bahasa.6 Malformasi kongenital ditemukan 1,25%-11,5% (normal 2%-3%)

    pada yang mendapat obat anti epilepsi politerapi, penggunaan dosis tinggi obat anti

    epilepsi dan kadar asam folat yang rendah.

    Beberapa studi atau penelitian mendapatkan hampir sebagian besar malformasi

    kongenital terjadi akibat pengaruh obat anti epilepsi yang diberikan pada wanita hamil

    trimester pertama (18,9%), tetapi ada yang berpendapat karena memang sudah ada faktor

  • 14

    genetiknya.37 Tidak ada malformasi yang khas diakibatkan oleh pemakaian obat anti

    epilepsi satu jenis tertentu.7,38

    Ada dua kelompok malformasi kongenital yang dikenal yaitu malformasi mayor 2%-

    3% (yang paling sering adalah celah orofacial, anomali jantung dan defek pada neural

    tube) dan malformasi minor 15% (yang paling sering adalah hipertelorism, lipatan

    epikantal, shallow philt, hipoplasia jari digital dan lipatan simian). Hanya saja dikatakan

    defek neural tube (terutama spina bifida lumbosakral) yang diakibatkan asam valproat

    (1%-2%) lebih banyak daripada karbamazepin (0,5%).39 Oleh karena itu ada yang

    menyarankan agar dosis yang digunakan diturunkan pada wanita hamil penyandang

    epilepsi.

    Proses metabolisme obat anti epilepsi merupakan faktor utama yang potensial terhadap

    teratogenitas janin. Defek genetik akibat proses detoksifikasi dan inhibisi yang

    berinteraksi dengan obat anti epilepsi tertentu diduga mempunyai pengaruh yang kuat pada

    risiko teratogenitas.39

    Kelainan distal digital hipoplasia merupakan tanda spesifik untuk teratogenitas dari

    phenytoin. Dibandingkan obat anti konvulsan lain, tampaknya phenytoin paling banyak

    disalahkan untuk malformasi kongenital ini, namun kelainan kongenital yang lebih sering

    dijumpai (4 kali) seperti bibir sumbing atau celah palatum serta kelainan jantung biasanya

    dapat diperbaiki dengan tindakan operatif. Hal yang mencemaskan adalah neuroblastoma

    yang terjadi pada anak yang terpapar phenytoin in utero.

    Wanita hamil penyandang epilepsi yang mendapat obat anti epilepsi karbamazepin

    pada 35 bayi didapatkan 11% defek craniofacial, 26% finger nail hipoplasia dan 20%

    perkembangan yang lambat.40

    Berikut ini adalah beberapa sindroma obat anti epilepsi, yaitu:

    - Sindroma Trimethadione fetal berupa short stature (kerdil), mikrosefali, retardasi

    mental, lipatan epikantal, hernia inguinalis dll. Trimethadione ini karena sangat

    teratogenik saat ini tidak digunakan lagi.

    - Sindroma Hidantoin Fetal berupa dismorfi fascial, retardasi mental dan retardasi

    perkembangan intrauterin. Keadaan dismorfi fascial ini dapat timbul akibat

    phenobarbital, penggunaan alkohol yang menyebabkan defisiensi asam folat.

  • 15

    - Sindroma Embriopati Primidone berupa dismorfi fascial, berat badan lahir rendah,

    gangguan perkembangan dan defek jantung.

    - Sindroma Valproat berupa dismorfi fascial, finger nail hipoplasia, distress perinatal,

    Apgar skor yang rendah, mikrosefali dan defisiensi perkembangan postnatal.

    - Sindroma Karbamazepine berupa dismorfi fascial, mikrosefali, kelainan jari kuku dan

    gangguan perkembangan.

    Tabel 3. Anomali yang berkaitan dengan sindroma janin obat anti epilepsi ____________________________________________________________________ Trimethadione Phenytoin Valproat Phenobarbital Karbamazepin _________________________________________________________________________________ Alis berbentuk V + - - - - Hipertelorismus + + + + + Ptosis/strabismus - + - - - Lipat epikantal + + + + + Letak telinga rendah + + - + + Pangkal hidung lebar - + + + + Short upturn nose - + - + + Gigi irregular + - - - - Bibir menonjol - + - + - Mulut lebar - + + + - Bibir atas panjang - - + - - Down turned mouth - - + - - Shallow filtrum - - + - + Thin vermillion border - - + - - Hipoplasia jari distal - + - + + Kuku hiperkonveks - - + - - Jari bertumpuk - - + - - Lipatan simian + - - - - _______________________________________________________________________ Dikutip dari Yerby MS30

    American college of obstetric and gynecology mengizinkan hanya phenobarbital

    sebagai obat anti epilepsi yang boleh diberikan selama kehamilan atau sama sekali di

    berhentikan atau tidak mendapat pengobatan. Keputusan yang ekstrim ini dianggap tidak

    mempertimbangkan banyak aspek seperti toleransi obat terhadap penderita, efek

    penghancuran yang potensial terhadap phenobarbital pada janin dan penggantian obat anti

    epilepsi lain ke phenobarbital. Saat ini di Perancis para dokter kandungan lebih menyukai

  • 16

    penggunaan phenobarbital sedangkan di Inggris dan Amerika Serikat lebih menyukai

    phenytoin. 41

    Akhir-akhir ini ada beberapa obat baru yang pada percobaan hewan tidak teratogenik

    misalnya felbamat dan gabapentin. Wanita penyandang epilepsi yang menyusui bayinya

    dapat menyebabkan obat anti epilepsi ditransfer melalui ASI. Kadar obat anti epilepsi

    dalam ASI adalah sebagai berikut phenytoin 18%, phenobarbital 30%, primidone 70%,

    karbamazepine 40%, asam valproat 4%-5%. Namun pada umumnya ASI tetap diberikan,

    karena penghentian ASI yang mendadak dapat menyebabkan kejang pada neonatal.44

    D. Pengaruh obat anti epilepsi terhadap kehamilan

    Seperti telah diketahui bahwa pemberian obat anti epilepsi mempunyai risiko, karena itu

    memilih antara minum atau tidak minum obat haruslah berpedoman pada risiko timbulnya

    komplikasi obat anti epilepsi pada ibu dan janin atau neonatus.

    Dalam membandingkan efek samping (kematian dan anomali) ketiga obat anti epilepsi

    maka yang paling kurang efek sampingnya berturut-turut adalah phenobarbital, phenytoin

    dan karbamazepin. 42

    Beberapa tindakan obastetik yang perlu dipertimbangkan akibat pengaruh obat anti epilepsi

    pada kehamilan yaitu amniosintesis (trimester II dan III) dilakukan 2,5 4,5 kali dan induksi

    partus dilakukan 2-4 kali.43 Keadaan ini disebabkan oleh partus lama, perdarahan dan

    kelelahan uterus dan fisik akibat obat anti epilepsi, sehingga akhirnya dilakukan seksio

    sesaria (dua kali lebih sering dari biasa). Sebenarnya epilepsi sendiri bukanlah suatu

    indikasi untuk operasi, karena kejang tonik klonik hanya terjadi kurang dari 2% dari wanita

    hamil penyandang epilepsi sehingga Hilesmaa membuat daftar indikasi seksio sesaria yang

    dapat dilihat pada tabel 4.

  • 17

    Tabel 4. Seksio sesaria atas dasar epilepsi _________________________________________________________ Seksio sesaria elektif Dasar neurologik atau defek mental Kurang kerja sama wanita penyandang epilepsi selama partus Kejang yang sukar diatasi pada trimester III Kejang parsial kompleks yang timbul tiap hari Kejang tonik klonik yang timbul tiap minggu Ada riwayat kejang hebat setelah stress fisik mental Seksio darurat Kejang tonik klonik selama partus Adanya asfiksia janin Tidak adanya kerja sama maternal __________________________________________________________ Dikutip dari Hilesmaa VK32

    V. PENANGANAN KEHAMILAN DENGAN EPILEPSI

    Tujuan utama adalah mencegah timbulnya serangan pada penderita epilepsi yang sedang

    hamil. Seperti telah dijelaskan bahwa kadar obat anti epilepsi (kadar plasma total) akan

    mengalami penurunan selama kehamilan, sebaliknya kadar obat anti epilepsi bebas terjadi

    peningkatan. Kadar obat anti epilepsi bebas ini berkaitan langsung dengan timbulnya

    serangan kejang dan terjadinya efek samping sehingga pada wanita hamil kadar obat anti

    epilepsi perlu diperiksa. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.

    Tabel 5. Persentase obat anti epilepsi bebas selama hamil _______________________________________________________________ Karbamazepin Phenytoin Phenobarbital As. Valproat _______________________________________________________________ Baseline 21,4 7,7 52 11 Trimester I 23,9 9,1 51,2 8 Trimester II 25 9,3 57,4 10 Trimester III 25,5 10,1 59,3 13 Partus 27,6 13 61,8 26 Post Partum 21,4 8 52,6 11 Berkurangnya % ikatan 29 69 19 +25 _____________________________________________________________________ Dikutip dari Yerby MS et al 36

  • 18

    Mengingat banyaknya efek samping obat anti epilepsi dan komplikasi pada kehamilan,

    maka penanganan kehamilan dengan epilepsi meliputi:36,44

    a. Pemeriksaan kadar obat anti epilepsi.

    Kadar obat anti epilepsi dalam darah sebaiknya selalu dikontrol setiap bulan sebelum

    terjadinya kehamilan sehingga penyesuaian dosis pada saat kehamilan bisa dilakukan.

    Disini perlu kerjasama dengan ahli farmakologi klinik.

    b. Penyuluhan pada wanita penyandang epilepsi usia remaja sebelum konsepsi mengenai:

    - Risiko akibat timbulnya serangan selama kehamilan seperti perdarahan,

    eklampsia dan prematuritas.

    - Risiko obat anti epilepsi pada janin, yaitu timbulnya malformasi dan gangguan

    perkembangan.

    - Risiko timbulnya serangan kejang pada anak (kejang neonatal, kejang tanpa demam

    dan epilepsi), termasuk adanya prediposisi genetik pada bayi bila orang tuanya

    menderita epilepsi.

    c. Masa Pra Konsepsi

    - Melakukan evaluasi terhadap kontrasepsi KB yang dipergunakan

    - Melakukan evaluasi terhadap obat anti epilepsi yang dipergunakan.

    - Melakukan evaluasi kembali mengenai diagnosis epilepsinya atau bukan epilepsi

    (kejang nonepilepsi, sinkop atau suatu sindroma lain).

    - Mencoba menghentikan obat anti epilepsi pada yang telah bebas kejang 2-3 tahun.

    - Berusaha menggunakan monoterapi dengan dosis terendah yang efektif, bila

    memungkinkan merubah dari politerapi ke monoterapi serta ditambah multivitamin

    dengan suplementasi asam folat. Asam folat harus diberikan minimal 4 minggu

    sebelum konsepsi. Bila terdapat riwayat neural tube defect dalam keluarga maka

    valproat dan karbamazepin sebaiknya dihindari.

    Masa Post Konsepsi

    - Berikan cukup perhatian terhadap semua keluhan dan anjurkan istirahat yang cukup,

    karena kedua faktor ini sering menimbulkan peningkatan atau kambuhnya serangan.

    - Jangan menghentikan atau mengganti obat anti epilepsi tanpa sepengetahuan dokter.

    - Mengukur kadar obat anti epilepsi bebas setiap trimester untuk menyesuaikan dosis

    obat, terutama pada bulan terakhir dan menjelang persalinan untuk mencegah

  • 19

    timbulnya kejang pada waktu bersalin. Selanjutnya pemeriksaan obat anti epilepsi

    ini harus diikuti sampai minggu ke-8 postpartum karena kadarnya dapat meningkat

    dan menimbulkan toksisitas.

    - Pemeriksaan USG untuk deteksi adanya kelainan janin (spina bifida, defek jantung

    atau ekstremitas).

    - Vitamin K (20 mg/hari) harus diberikan 3 minggu sebelum masa persalinan sampai

    persalinan untuk mencegah perdarahan pada neonatal.

    Masa Post Partum

    - Dokter spesialis anak atau saraf anak yang mengobservasi harus waspada terhadap

    timbulnya perdarahan neonatus dan gejala drug withdrawal terutama pada ibu yang

    minum phenobarbital. Lalu dilakukan evaluasi terhadap kemungkinan adanya

    gangguan perkembangan, terutama pada anak yang ibunya menderita epilepsi yang

    sukar diatasi.

    - Pada umumnya ibu dapat menyusui bayinya namun bila terlihat efek sedasi,

    gangguan minum dan menurunnya berat badan bayi maka dianjurkan untuk

    memperpendek pemberian ASI tersebut. Penghentian obat anti epilepsi jangan

    berlangsung mendadak karena dapat menimbulkan kejang pada neonatal.

    VI. SARAN

    Merencanakan untuk :

    1. Pembentukan kelompok kerja (POKJA) antara bagian kebidanan dan bagian saraf

    dengan melibatkan dokter spesialis anak (saraf anak) dan dokter farmakologi klinik.

    2. Pelatihan bagi dokter yang ikut mengobati, merawat dan medampingi wanita

    penyandang epilepsi, supaya dapat memberikan penyuluhan dasar penanganan wanita

    penyandang epilepsi sebelum konsepsi.

    3. Pemeriksaan kadar obat anti epilepsi oleh bagian farmakologi klinik.

    4. Pemakaian obat yang dianjurkan mengingat efek samping obat anti epilepsi yang

    kurang baik, tentunya yang murah dan mudah didapat. FDA telah menetapkan

    kategori teratogenisitas beberapa obat anti epilepsi pada wanita hamil yaitu yang

    termasuk kategori C (karbamazepin dan klonazepam) dan kategori D (trimethadione,

    asam valproat, phenytoin dan phenobarbital.45 Beberapa obat anti epilepsi baru seperti

  • 20

    gabapentin, lamotrigine, tiagabine, topiramate dan vigabatrin tidak didapatkan efek

    teratogenik pada hewan percobaan, tetapi penelitian pada wanita hamil baru sedikit

    dan ini digunakan lebih banyak sebagai add-on terapi.36,46 Di Inggris, hanya

    lamotrigine yang diakui sebagai monoterapi.36

    VII. RINGKASAN

    Pada wanita hamil terjadi perubahan-perubahan secara fisiologis, endokrinologis dan

    psikologis. Peningkatan estrogen, gangguan keseimbangan elektrolit, faktor stress dan

    perubahan metabolisme obat anti epilepsi dapat meningkatkan serangan epilepsi pada

    waktu kehamilan.

    Begitu juga janin yang dikandung wanita penyandang epilepsi yang mengkonsumsi

    obat anti epilepsi mempunyai risiko untuk terjadinya malformasi kongenital lebih

    banyak dari wanita bukan penderita epilepsi karena adanya efek teratogenik obat.

    Bayi lahir mati, kematian neonatal dan kematian perinatal dua kali lebih tinggi dari

    populasi umum. Perlu diadakannya penyuluhan pada wanita usia reproduksi penderita

    epilepsi terhadap pemeriksaan antenatal yang teratur, kontrol terhadap epilepsinya,

    pemantauan kadar obat anti epilepsi, pengawasan persalinan, memantau adanya

    gangguan perkembangan dan kelainan kongenital.

    VIII. RUJUKAN 1. American Academy of Neurology Quality Standards Subcommittee. Practice parameter: management issues for women with epilepsy (summary statement). Neurology, 1998; 51: 944-8 2. Martin PJ, Millac PA. Pregnancy, epilepsy, management and outcome: a 10 year perspective. Seizure, 1993; 2: 277-80 3. Janz D. The teratogenic risk of antiepileptic drugs. Epilepsia, 1975; 16: 159-169 4. Nelson KB, Ellenberg JH. Maternal seizure disorder, outcome of pregnancy and neurologic abnormalities in the children. Neurology, 1982; 32: 1247-1254 5. Ramson, Dombrowski, Evans, Ginsburg. Contemporary therapy in obstetrics and gynecology. Philadelphia: WB Saunders, 2002: 115-8 6. Yerby MS, Devinsky O. Epilepsy and pregnancy, Neurological Complications of pregnancy Ed. By Devinsky O. Raven Press, New York, 1994:45-63 7. Yerby MS, Leavitt A, Erickson BS, et. al. Antiepileptics and the development of congenital anomalies. Neurology, 1992; 42: 132-140

  • 21

    8. Meadow R. Antoconvulsants in pregnancy. Arch Dis. In: Childhood,1991: 62-65 9. Pellegrino TR. Seizures and Status epilepticus in adults. In: Tintinali JE, Ruiz E, Krome RL. Emergency Medicine. 4th ed. Mc Graw Hill. New York, 1996: 456-67 10. Shorvon S. Handbook of Epilepsy Treatment. Blackwell Science, 2000: 25-36 11. Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Kelompok studi epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) 2003. 12. Gram L, Dam M. Epilepsy explained. 1st edition. Munksgaard, Copenhagen, 1995: 30-31 13. Morrell MJ. Epilepsy in women : The Science why it is special. Neurology, 1999; 53: 542-548 14. Morrell MJ. Guidelines for the care of women with epilepsy. Neurology, 1998;51:S21-S26 15. Wodley CS., Schwatzkroin PA. Hormonal effects on the brain. Epilepsia, 1998; 39: S2-S8 16. The commission on Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of epileptic seizures. Epilepsia, 1981; 22: 489-501 17. The commission on Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy. Proposal for revised classification of epilepsies and epileptic syndromes. Epilepsia, 1989; 30: 389-99 18. Cotman CW, et. al. Excitatory Aminocid neurotransmission. In: Bloom, FE & Kupfer DJ: Psychopharmacology. The fourth generation of progress. Raven Press, New York, 1995: 75-85 19. Meldrum BS. Pathophysiology. A text book of epilepsy. Ed. by laidlaw J . ,1988:203-235 20. Devinsky O. Seizure disorder ciba clinical symposia, 1994; 40: 2-6 21. Adams RD, Victor M. The nature of the discharging lesion. In Priciples of Neurology. 5 th ed. Mc. Graw Hill, 1993: 284-286 22. Shorvon S. Status epilepticus. Cambridge University Press, 1994 23. Bjerkedal T. Bahne S. The course and outcome of pregnancy in women with epilepsy. Acta obstet gynec Scand, 1973; 52: 245-8 24. Yerby M, Koepsell T, Daling J. Pregnancy complications and outcomes in a cohort of women with epilepsy. Epilepsia, 1985; 26: 631-5

  • 22

    25. Shorvon SD. Epilepsi untuk dokter umum. PT Ciba Geigy Pharma Indonesia, 1988: 7-78 26. Knight AH, Rhind EG. Epilepsy and pregnancy: A study of 153 patients. Epilepsia, 1975; 16: 99-110 27. Remillard G, Dansky L, Anderman E, et. al. Seizure frequency during pregnancy and the puerperium. In epilepsy, pregnancy and the child. New York. Raven Press: 15-26 28. Tanganelli P., Regesta G. Epilepsy, pregnancy and mayor birth anomalies: an Italian prospective, controlled study. Neurology, 1992; 42: 89-93 29. Hilesmaa VE, Teramo K, Granstrom ML, Bardy AH. Serum folate concentrations in women with epilepsy. BMJ, 1983; 187: 577-9 30. Yerby MS. Pregnancy and epilepsy. Epilepsia, 1991; 32: S51-9 31. Donaldson JO. Eclampsia. In: Devinsky O, eds. Neurological Complications of pregnancy. New York: Raven Press, 1994 : 25-33 32. Hilesmaa VK. Pregnancy and birth with epilepsy. Neurology, 1992; 42: 8-11 33. Delgado-Escueta AV, Janz D. Pregnancy and teratogenesis in epilepsy. Neurology, 1992; 42: 7 34. Meadow R. Anticonvulsants in pregnancy, Archieves of disease in childhood, 1991: 62-65 35. Yerby MS, Freil PN, Mc Cormick K. Antiepileptic drug disposition during pregnancy. Neurology, 1992; 42 36. Cartlidge NEF. Medical disorders during pregnancy In: neurologic disorders. Philadelphia: 529-533 37. Durner M, Greenberg DA, Delgado Escueta. Is there a genetic relationship. Neurology, 1992: 63-67 38. Yerby MS. Pregnancy and teratogenesis, women and epilepsy ed. by trimble MR, John Wiley and Son. England, 1991: 167-192 39. Lindhout D, Omtzigt JGC, Cornel MC. Spectrum of neural tube defects in 34 infants prenatally exposed to antiepileptic drugs. Neurology, 1992; 42: 111-118 40. Jones KL, Locro RFF, Johnson KA, Adams J. Pattern of malformations in the children of women treated with carbamazepine during pregnancy. The New England Journal of medicine, 1989: 1661-1666 41. Leppik IE. Epilepsy and the woman of childbearing potential, annual courses of American academy of neurology. New York cith, 1993: 223-1 s.d. 223-11

  • 23

    42. Waters CH, Belai Y, Gott PS, Shen P, et. al. Outcomes of pregnancy associated with anti epileptic drugs. Ach. Neurology, 1994; 51: 250-253 43. Yerby MS. Therapeutic Considerations in pregnancy dalam AAN Course # 245 on clinical epilepsy. New York, 1993: 109-128 44. Delgado-Escueta AV, Janz D. Consensus: Preconception Counseling, Management and care of the pregnant woman with epilepsy. Neurology, 1992; 42: 149-160 45. Khoury AD, Sibai BM. Neurologic diseases In: Complications in pregnancy. Philadelphia: WB Saunders; 1994: 509-14 46. Mamoli D, Ratti S, Battino D. Epilepsy and pregnancy Neurol Sci 2003; 23: 267-269