Enhanced Oil Recovery

75
BAB III METODE ENCHANCED OIL RECOVERY (EOR) 4.1. Pengertian Enhanced Oil Recovery Enchanced Oil Recovery (EOR) atau perolehan minyak tahap lanjut merupakan suatu metode yang diaplikasikan untuk meningkatkan (recovery) produksi hidrokarbon dari reservoir minyak apabila metode primary recovery dan secondary recovery tidak efisiensi lagi untuk menguras minyak. Atau cara memperoleh minyak dengan menginjeksikan suatu zat yang berasal dari energi luar reservoir, seperti energi mekanik, energi kimia dan energi termik. Hal yang paling utama dari semua metode EOR yaitu untuk meningkatkan efisiensi volumetric sweep (makroskopik) dan efisiensi pengurasan (mikroskopik) apabila dibandingkan dengan metode water flooding. Salah satu mekanisme dalam meningkatkan volumetric sweep yaitu dengan mengurangi mobility ratio antara fluida yang mendorong dan fluida yang di dorong. Selain itu, dengan menggunakan EOR dapat mengurangi jumlah minyak yang terjebak dikarenakan adanya tekanan kapiler dengan cara mengurangi interfacial tension antara fluida yang mendorong dan fluida yang didorong.

Transcript of Enhanced Oil Recovery

BAB III

METODE ENCHANCED OIL RECOVERY (EOR)

4.1. Pengertian Enhanced Oil Recovery

Enchanced Oil Recovery (EOR) atau perolehan minyak tahap lanjut

merupakan suatu metode yang diaplikasikan untuk meningkatkan (recovery) produksi

hidrokarbon dari reservoir minyak apabila metode primary recovery dan secondary

recovery tidak efisiensi lagi untuk menguras minyak. Atau cara memperoleh minyak

dengan menginjeksikan suatu zat yang berasal dari energi luar reservoir, seperti

energi mekanik, energi kimia dan energi termik.

Hal yang paling utama dari semua metode EOR yaitu untuk meningkatkan

efisiensi volumetric sweep (makroskopik) dan efisiensi pengurasan (mikroskopik)

apabila dibandingkan dengan metode water flooding. Salah satu mekanisme dalam

meningkatkan volumetric sweep yaitu dengan mengurangi mobility ratio antara fluida

yang mendorong dan fluida yang di dorong. Selain itu, dengan menggunakan EOR

dapat mengurangi jumlah minyak yang terjebak dikarenakan adanya tekanan kapiler

dengan cara mengurangi interfacial tension antara fluida yang mendorong dan fluida

yang didorong.

Ada dua hal yang menjadi latar belakang dilakukannya metode EOR,yaitu :

1. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yaitu hal-hal yang tidak terkait dengan kondisi

reservoir misalnya kenaikan harga minyak dan meningkatnya permintaan

akan konsumsi bahan bakar fosil. Saat ini harga minyak terus meningkat

sedangkan di lain sisi produksi minyak dunia terus menurun.

2. Faktor Internal

Faktor internal yaitu hal-hal yang berkaitan dengan keadaan reservoir

tertentu yang memungkinkan perolehan minyak dapat ditingkatkan setelah

kondisi primary dan hal ini sangat berkaitan dengan kondisi fluida dan batuan

reservoir.

3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas EOR

Suatu metode EOR secara umum dapat diaplikasikan pada semua reservoir,

namun yang menjadi pertimbangan yaitu apakah jumlah minyak yang akan

diterapkan EOR tersedia cukup banyak, fluida injeksi mencukupi selama produksi,

dan apakah fluida yang diinjeksikan sesuai dengan denga keadaan reservoir serta

apakah hasilnya akan baik. Makin baik suatu EOR, tambahan perolehan yang

dihasilkan dibandingkan dengan cara alamiahnya semakin besar. Beberapa faktor

yang dirasakan penting dalam menentukan keberhasilan suatu metode EOR adalah :

1. Faktor-faktor ditinjau dari kondisi reservoir

a. Kedalaman

b. Kemiringan

c. Tingkat homogenitas

d. Sifat-sifat petrofisik

e. Mekanisme pendorong

2. Faktor-faktor ditinjau dari kondisi fluida reservoir

a. Cadangan minyak sisa

b. Saturasi minyak sisa

c. Viskositas minyak

3.2.1. Faktor-Faktor Ditinjau dari Kondisi Reservoir

Kedalaman, kemiringan, tingkat homogenitas, sifat-sifat petrofisik dan

mekanisme pendorong merupakan kondisi Reservoir yang menentukan keberhasilan

suatu metode EOR. Kelima faktor tersebut akan dibahas dalam sub bab berikut ini:

a. Kedalaman

Kedalaman Reservoir merupakan faktor yang penting dalam menentukan

keberhasilan suatu EOR dari segi teknik maupun ekonomis. Segi teknik menyatakan

bahwa jika kedalaman dangkal maka tekanan injeksi yang dapat dikenakan terhadap

reservoir juga kecil, karena tekanan dibatasi oleh tekanan rekah. Segi ekonomi

menyatakan bahwa jika kedalaman kecil maka biaya pemboran sumur baru akan

kecil, selain itu biaya kompresor akan cukup kecil jika dilakukan injeksi gas.

b. Kemiringan

Faktor kemiringan mempunyai arti yang penting jika perbedaan densitas

antara fluida pendesak dan fluida yang didesak cukup besar, misal pada injeksi gas.

Pengaruh kemiringan tidak terlalu besar jika kecepatan pendesakan sangat besar. Air

merupakan fluida pendesak yang cenderung untuk maju lebih cepat di bagian bawah,

sedangkan gas merupakan fluida pendesak yang cenderung untuk menyusul di bagian

atas.

c. Tingkat Homogenitas Reservoir

Tingkat homogenitas reservoir sangat ditentukan oleh keseragaman ukuran

pori, keseragaman stratigrafi dan jenis batuan, kontinuitas dan efek skin serta

pengaruhnya terhadap daya injeksi. Kontinuitas sangat dipengaruhi oleh struktur atau

stratigrafi, hal ini dapat diuji dengan uji interferensi tekanan. Efek skin dapat diuji

dengan uji tekanan sumur injeksi.

d. Sifat-Sifat Petrofisik

Besaran-besaran petrofisik yang mempengaruhi keberhasilan suatu metode

EOR ialah:

Porositas (Ø)

Dengan mengetahui data-data tentang ukuran butiran (grain size) atau

ukuran pori-porinya akan sangat membantu dalam proses pendesainan metode

EOR. Kurva tekanan kapiler memiliki peranan penting dalam mekanisme

aliran fluida dan mekanisme saturasi minyak sisa, juga memiliki hubungan

yang erat dengan distribusi ukuran butir atau ukuran pori-pori batuannya.

Porositas yang semakin besar akan menghasilkan cadangan sisa yang semakin

besar pula, hal ini akan membuat prospek EOR lebih baik.

Permeabilitas (K)

Permeabilitas yang besar biasanya lebih menguntungkan untuk

dilakukannya suatu metode EOR. Penerapan metode EOR mungkin tidak

ekonomis lagi jika harga permeabilitas di atas suatu batas ambang tertentu,

karena sebagian besar minyak sudah diproduksikan pada produksi alamiah

sebelumnya.

Permeabilitas Relatif sebagai Fungsi dari Saturasi (Krw dan Kro)

Kurva-kurva permeabilitas relatif diintegrasikan ke seluruh

perhitungan aliran reservoir kurva aliran fraksional yang merupakan bagian

yang penting dari teori proses pendesakan dibuat berdasarkan permeabilitas

relatif. End points dari kurva permeabilitas relatif bisa digunakan untuk

menentukan perbandingan mobility end points yang akan mempunyai

pengaruh pada effisiensi pendesakan dan effisiensi penyapuannya.

Permeabilitas relatif juga berpengaruh terhadap angka mobilitas dari fluida

yang akan diinjeksikan.

Tekanan Kapiler (Pc) dan Kebasahan Batuan (θ)

Tekanan kapiler dan kebasahan batuan mempengaruhi besarnya

saturasi minyak sisa di reservoir.

e. Mekanisme Pendorong

Peranan mekanisme pendorong sangat penting yaitu adanya kekuatan/tenaga

yang mendorong fluida (minyak) di reservoir tersebut hingga naik ke permukaan.

Misalnya jika suatu reservoir mempunyai pendorong air yang sangat kuat (strong

water drive), maka penerapan injeksi air atau injeksi kimiawi tidak memberikan

dampak yang berarti.

3.2.2. Faktor-Faktor Ditinjau Dari Kondisi Fluida Reservoir

Cadangan minyak sisa, saturasi minyak sisa dan viskositas minyak merupakan

kondisi fluida reservoir yang dapat menentukan keberhasilan suatu metode EOR.

Ketiga faktor ini akan dibahas dalam sub bab berikut ini:

3.2.2.1. Cadangan Minyak Sisa

Cadangan minyak sisa suatu reservoir mempunyai hubungan langsung dengan

nilai ekonomi dari suatu penerapan metode EOR pada reservoir tersebut. Cadangan

sisa semakin besar maka semakin besar kemungkinan bahwa suatu proyek EOR

menguntungkan.

3.2.2.2.Saturasi Minyak Sisa

Besarnya saturasi minyak sisa menentukan tingkat kesulitan pendesakan yang

dilakukan oleh fluida injeksi. Harga saturasi minyak sisa semakin kecil maka semakin

kecil pula kemungkinan untuk memperoleh keuntungan dari EOR, hal ini disebabkan

pendesakan minyak memerlukan metode yang mahal dan jumlah minyak yang harus

menanggung biaya EOR semakin kecil.

3.2.2.3. Viskositas Minyak

Viskositas minyak merupakan unsur penting dalam pemilihan metode EOR

yang cocok dan juga dalam penentuan keberhasilan metode EOR tersebut. Besaran

yang menentukan efektivitas penyapuan adalah perbandingan mobilitas fluida

pendesak (Kd/μd) dengan minyak yang didesak (Ko/μo). Viskositas minyak semakin

kecil, maka semakin kecil perbandingan mobilitasnya. Perbandingan mobilitas

semakin kecil, maka semakin baik efisiensi penyapuannya.

3.3. Metode-Metode Enhanced Oil Recovery

Secara umum teknologi EOR sebagai upaya peningkatan pengurasan minyak

dibagi menjadi empat kategori yaitu :

1. Injeksi kimiawi (chemical floods)

Injeksi

Injeksi polimer

Injeksi alkaline

2. Injeksi thermal

Hot water floods

Steam floods

Pembakaran di tempat (in-situ combustion)

3. Injeksi microbial

4. Injeksi tercampur (miscible displacement)

Injeksi gas CO2

Injeksi gas hidrokarbon

Injeksi gas nitrogen

3.3.1. Injeksi Kimiawi

Injeksi kimia merupakan salah satu metode EOR sebagai solusi untuk

meningkatkan nilai recovery reservoir minyak dengan cara menginjeksi air yang telah

dicampur dengan zat – zat kimia. Injeksi kimiawi terdiri dari :

Gambar 4.1. Injeksi Kimiawi 11)

3.3.1.1. Surfactant (Micellar) Floods

merupakan zat kimia (agents) yang sangat aktif apabila diinjeksikan ke suatu

media seperti air dan minyak (wetting dan non-wetting phases) dan akan mengurangi

interfacial tension dari kedua fluida tersebut. Dengan nilai interfacial tension rendah

dan nilai kapilaritas yang tinggi (tekanan kapiler rendah) menyebabkan rendahnya

nilai saturasi minyak residual.

Sifat dari surfactant ini yaitu molekulnya mencari tempat diantara dua fluida

yang tidak bercampur dan surfactant menjadi pengikat antara dua fluida tersebut

menjadi emulsi. Surfactant harus berbentuk micelle yaitu dapat mengikat air dan

minyak pada konsentrasi tertentu, jika konsentrasinya kecil maka campuran

surfactant tersebut masih berbentuk monomor (belum aktif). Untuk itu perlu

diketahui critical micelles concentration (CMC) agar campuran slug surfactant dapat

menjadi micellar.

Setelah minyak dapat bergerak, maka diharapkan tidak ada lagi minyak yang

tertinggal. Pada injeksi tidak perlu untuk terus menerus di injeksikan melainkan

diikuti dengan injeksi fluida pendesak lainnya seperti air yang dicampurkan dengan

polymer untuk meningkatkan efisiensi penyapuan dan selanjutnya diinjeksikan

dengan air.

Dalam menginjeksi surfactant harus memperhatikan beberapa variable –

variable penting yang dapat mempengaruhi injeksi, diantaranya :

a. Adsorbsi

Adsorpsi merupakan persoalan yang dihadapi saat menginjeksikan surfactant

dimana terjadi gaya tarik – menarik antara molekul – molekul batuan reservoir dan

surfactant. Mekanisme terjadinya adsorpsi yaitu surfactant yang diinjeksikan ke

reservoir akan mempengaruhi tegangan antar permukaan minyak – air, sekaligus

bersinggungan dengan permukaan butiran batuan. Pada saat terjadi persinggungan,

molekul – molekul surfactant akan ditarik oleh molekul – molekul batuan reservoir

kemudian diendapkan pada permukaan batuan secara kontinyu sampai mencapai titik

jenuh. Sehingga akan menyebabkan kualitas surfactant menurun.

b. Konsentrasi Slug Surfactant

Konsentrasi slug juga berpengaruh besar terhadap terjadinya adsorpsi batuan

reservoir pada surfactant. Makin besar konsentrasi , semakin besar adsorpsi yang

diakibatkan.

c. Clay

Adanya clay pada reservoir dapat berpengaruh pada penurunan recovery

minyak, dimana sifat clay yang menyukai air dan menyebabkan adsorpsi terjadi.

Untuk reservoir dengan salinitas rendah, peranan clay ini sangat dominan.

d. Salinitas

Salinitas air formasi berpengaruh terhadap penurunan tegangan permukaan

minyak – air oleh surfactant. Untuk konsentrasi garam – garam tertentu (misalnya

NaCl) akan menyebabkan penurunan tegangan antar muka tidak efektif lagi untuk

surfactant. Hal ini disebabkan ikatan kimia NaCl mudah terurai, begitupun dengan

ikatan kimia surfactant. Apabila hal ini terjadi, maka terjadi ikatan antar ion

membentuk HCl dan RSO3Na yang bukan merupakan zat aktif untuk menurunkan

tegangan antar permukaan minyak – air.

Ada banyak tipe dari surfactant dengan beragam jenis komposisi kimia dan

struktur molekul seperti hydrocarbon portion (non polar), dan ionic portion (polar).

Yang sering digunakan pada injeksi ini yaitu jenis synthetic sulfonates (petroleum

sulfonates) yang dimana anion ini terbuat dari berat jenis molekul sulfonate

intermediate produk minyak atau crude oil. Anionic ini menggantikan kationik yang

sangat resistan terhadap adsorpsi, stabilitas dan biaya pembuatannya yang mahal.

Syarat – syarat dan batasan – batasan yang dapat digunakan dalam pemilihan

metode injeksi surfactant dapat dirinci sebagai berikut :

1. Oil Properties

Gravity 20 – 35oAPI

Viskositas 13 – 35 cp

Komposisi minyak Ringan – Menengah

Saturasi minyak 35 – 53% pore volume

2. Karakteristik Reservoir

Tipe formasi Sandstone

Ketebalan net > 10 ft

Rerata permeabilitas 10 – 450 md

Kedalaman 3,250 – 9,000 ft

Temperatur 80 – 200 oF

3.3.1.2. Micellar Polymer Floods

Gambar 4.2. Injeksi Polimer 11)

Micellar-polymer floods merupakan kombinasi dari beberapa proses

pendesakan. Setelah diinjeksikan ke reservoir yang mengakibatkan IFT (interfacial

tension) rendah dan mengurangi saturasi minyak residual selanjutnya polymer

diinjeksikan sebagai mobillty buffer untuk meningkatkan nilai mobility ratio.

Polymer memiliki jutaan berat molekul, dan digunakan untuk mengentalkan air

dengan konsentrasi 0.1 – 1 ppm. Bisa juga dengan konsentrasi polymer mencapai 100

– 1000 ppm (berdasarkan berat) maka akan meningkatkan viskositas fluida injeksi

secara signifikan.

Prinsip dasar dari injeksi polymer ini yaitu untuk meningkatkan efisiensi

penyapuan secara volumetrik. Penambahan polymer ke dalam air injeksi

dimaksudkan untuk memperbaiki sifat fluida pendesak. Injeksi polymer dapat

meningkatkan perolehan minyak cukup tinggi dibandingkan dengan injeksi air secara

konvensional. Polymer yang dilarutkan di dalam air akan mengentalkan air injeksi

sehingga mengurangi mobilitas air dan mencegah air menerobos minyak.

Dalam mendesain polymer floods termasuk memilih , polymer, konsentrasi

kimia, jumlah slug dan nilai salinitas harus melalui serangkaian tes menggunakan

sample core dan fluida reservoir agar dapat menentukan yang sesuai. Karena

kebanyakan sifat dari polymer mudah teradsorpsi oleh mineral formasi, dan untuk

mengurangi adsorpsi yang signifikan dilakukan hidrolisis dengan mereaksikan

dengan zat kimia tertentu (misalnya potassium hidroksida atau sodium carbonate).

Selain itu perlu diperhatikan stabilitas polymer terhadap lingkungan reservoir, karena

polymer ini dapat dengan mudah terdegradasi sehingga perlu dilakukan tes

laboratorium jangka pendek. Degradasi polymer dapat dideteksi dari hilangnya

viskositas fluida injeksi terhadap waktu. Pada temperatur rendah, reaksi aliran pelan

dan dapat tidak terdeteksi pada shorts test. Degradasi rate meningkat seiring

meningkatnya temperatur dengan reaksi kinetik kimia yang konstan.

Setelah tipe chemical (polyacrylamides dan polysaccharides) dan konsentrasi

sudah ditentukan selanjutnya mengestimasi banyaknya slug polymer yang akan

digunakan. Dengan jumlah slug yang optimal diharapkan bukan hanya cukup

mengatasi di reservoir melainkan juga mengurangi hilangnya zat kimia dengan fluida

yang diproduksi setelah breaktrough.

Selain memaksimalkan pengurangan nilai saturasi minyak residual, micellar-

polymer flood sebaiknya dilakukan pada salinitas optimal. Pada banyak kasus,

salinitas merupakan air garam yang alamiah terdapat pada reservoir dengan nilai

salinitas yang beragam sehingga harus menggunakan surfactant yang memiliki

salinitas optimal yang lebih tinggi.

Syarat – syarat dan batasan – batasan yang dapat digunakan dalam pemilihan

metode injeksi surfactant dapat dirinci sebagai berikut :

1. Oil Properties

Gravity 15 – 40oAPI

Viskositas 10 – 150 cp

Komposisi minyak Tidak ditentukan

Saturasi minyak 70 – 80% pore volume

2. Karakteristik Reservoir

Tipe formasi Sandstone

Ketebalan net Tidak ditentukan

Rerata permeabilitas 10 – 800 md

Kedalaman < 9,000 ft

Temperatur 140 – 200 oF

3.3.1.3. Alkaline Floods

Pada proses ini diinjeksikan sejumlah slug dari substansi anorganik (high pH)

ke dalam reservoir. Dengan adanya anion OH (dari ionisasi injeksi dasar) dari

beberapa reaksi kimia dengan komponen hidrokarbon acid dalam reservoir dapat

membentuk in-situ . Hadirnya surfactant dapat mengurangi IFT dan juga mengurangi

saturasi minyak residual serta meningkatkan efisiensi pendesakan. Besarnya IFT

tergantung dari konsentrasi alkaline dan salinitas air garam di reservoir.

Material alkalin dapat mengubah wetabilitas batuan menjadi lebih water-wet

yang mengakibatkan emulsi pada formasi didekat pendesakan awal. Kondisi ini yang

meningkatkan laju performance dari proses pendesakan.

Besarnya in-situ surfactant tergantung dari crude oil alamiah, konsentrasi dari

alkaline, salinitas, jumlah clay dan kapasitas pertukaran kation. API gravity dari

crude oil relative rendah, konsentrasi alkaline yang dinjeksikan harus optimum

sekitar 0.05 – 0.10%, jumlah clay pada formasi mengakibatkan pertukaran anion dan

kation sehingga menyebabkan pendesakan menjadi tidak optimal. Alkaline yang

biasa digunakan yaitu sodium hidroksida, sodium ortosilikat, sodium metasilikat,

ammonia dan sodium karbonat.

Ada beberapa kriteria dalam memilih dan mendesain metode injeksi alkalin

ini yaitu :

Gravity 15 – 35oAPI

Viskositas < 200 cp

Salinitas Cukup tinggi (sampai 20000 ppm)

3.3.2. Injeksi Thermal (Thermal Floods)

Injeksi thermal adalah salah satu metode EOR dengan cara menginjeksikan

energi panas ke dalam reservoir sehingga meningkatkan temperature reservoir untuk

mengurangi viskositas minyak. Injeksi thermal terbagi menjadi tiga subdivisi yaitu :

3.3.2.1. Injeksi Uap (Steam Floods)

Uap diinjeksikan ke dalam reservoir menyebabkan sebagian sifat fisik dan

kimia dari batuan dan fluida berubah. Perubahan ini membuat proses pendesakan

lebih efisien di reservoir yang memiliki viskositas tinggi. Efek utama dari injeksi uap

ini yaitu meningkatkan suhu dan tekanan dari reservoir. Temperatur yang tinggi

mengurangi viskositas minyak, saturasi minyak residual dan meningkatkan saturasi

air irreducible. Hal ini merupakan hasil dari mobilitas rasio pada proses pendesakan.

Besarnya tekanan meningkatkan nilai drawdown pada sumur produksi dan

menghasilkan laju produksi yang besar.

Pada dasarnya wet steam diinjeksikan secara terus menerus ke dalam reservoir

untuk mendorong minyak sampai ke sumur produksi. Kualitas uap pada generator

berkisar 75 – 85% tetapi apabila uap ini bertemu dengan pasir, maka sejumlah panas

akan hilang.

Gambar 4.3. Injeksi Termal 11)

Kunci dari mekanisme injeksi uap ini yaitu pendesakan gravity-balanced dari

reservoir yang menyebabkan tingginya efisiensi penyapuan volumetrik. Fenomena ini

terjadi ketika fluida pendesak terdiri dari dua fasa yaitu uap dan liquid yang sangat

kontras perbedaan densitas.

Syarat – syarat dan batasan – batasan yang dapat digunakan dalam pemilihan

metode injeksi uap dapat dirinci sebagai berikut :

1. Oil Properties

Gravity 8 – 13.5oAPI

Viskositas 4700 – 200 000 cp

Komposisi minyak Tidak ditentukan

Saturasi minyak 40 – 66% pore volume

2. Karakteristik Reservoir

Tipe formasi Sandstone dengan High Porosity

Ketebalan net > 20 ft

Rerata permeabilitas > 200 md

Kedalaman < 4500 ft

Temperatur Tidak ditentukan

3.3.2.2. Injeksi Air Panas (Hot Water Floods)

Suatu metode thermal recovery yang dimana air panas diinjeksi ke dalam

reservoir melalui sumur injeksi. Injeksi air panas mengurangi viskositas dari crude

oil sehingga memudahkan minyak bergerak ke sumur produksi. Injeksi air panas

kurang efektif dari injeksi uap karena kandungan panas pada air lebih rendah dari

uap.

Pada injeksi air panas, pendesakan tak berdimensi yang kehilangan panas di

sekitar formasi diabaikan tergantung dari reservoir yang homogen. Air panas yang

diinjeksikan mendingin apabila terkontak dengan fluida dan batuan pada kondisi

steady – state.

Air panas akan menjadi kompetitif di reservoir yang mengandung minyak

relative ringan, viskositas kecil, jarak antar sumur luas atau bertekanan tinggi

sehingga kuantitas dari injeksi panas mengenai sejumlah permukaan pada suhu

rendah.

3.3.2.3. Pembakaran Di Tempat (In-Situ Combusition)

Proses in-situ combusition atau lebih dikenal dengan nama underground

combustion, fire flooding atau combustion drive menggunakan udara (berasal dari

oksigen) untuk diinjeksikan ke dalam reservoir dan kemudian dibakar di dalam

reservoir untuk menghasilkan energi panas ditempat. Hasil dari pembakaran ini yaitu

panas, uap dan gas buang sebagai substansi EOR untuk meningkatkan recovery

minyak. Proses EOR ini diaplikasikan pada reservoir yang memiliki medium sampai

heavy gravity dimana pontensial primary dan secondary recoverynya rendah.

Minyak dibakar di dalam reservoir secara spontan atau dibantu menggunakan

heater bawah permukaan, pra-heating dari injeksi udara atau injeksi secara spontan

membakar material bersamaan dengan udara.

Gambar 4.4. Proses In-Situ Combusition 11)

Proses in-situ combustion diklasifikasikan ke dalam forward combustion

(dimana combustion front bergerak searah dengan injeksi udara) dan backward atau

reverse combustion (dimana combustion front bergerak berlawanan arah dengan

injeksi udara). Kebanyakan aplikasi di lapangan menggunakan cara pertama.

Proses pembakaran bisa kering atau basah. Pada pembakaran kering hanya

udara yang diinjeksikan, sedangkan pada pembakaran basah air diinjeksikan

bersamaan denga udara. Hal ini meningkatkan jumlah uap di dalam reservoir dan

membantu mencari beberapa panas (heat) di belakang combustion front.

Pertama, minyak dibakar menghasilkan suhu tinggi menyebabkan komponen

ringan sampai intermediate minyak menguap di depan burning front. Hal ini

meninggalkan residual berat (coke) atau pengendapan karbon pada zona pembakaran.

Bagian ini sebenarnya yang harus dibakar dan biasanya menunjukkan massa dari

hidrokarbon per unit volume bulk dari batuan reservoir. Kandungan hidrokarbon dan

udara diperlukan untuk membakar coke tersebut dan tergantung dari komposisi

minyak, porositas, saturasi minyak dan kondisi saat pembakaran.

Komponen yang menguap (steam) dihasilkan dari evaporasi air yang bergerak

di depan sampai menjadi kondensat downstream dan bercampur dengan fluida asli

reservoir yang menghasilkan mengurangnya viskositas minyak.

Apabila kandungan hidrokarbon pada reservoir kecil, metode in-situ

combustion tidak dianjurkan karena tidak seimbang dengan pendesakan nantinya.

Selain itu, terlalu banyak kandungan hidrokarbon membuat lambat jalannya

pembakaran, meningkatnya kebutuhan udara dan menurunkan net oil recovery.

Besarnya jumlah volume udara memerlukan injeksi tekanan yang tinggi, konsumsi

energi dan investasi menjadi besar.

Metode ini lebih diutamakan untuk kondisi reservoir dan minyak bumi

sebagai berikut :

1. Oil Properties

Gravity 10 – 16oAPI

Viskositas 1200 – 5000 cp

Komposisi minyak Sebagian berupa aspal

Saturasi minyak 50 – 72% pore volume

2. Karakteristik Reservoir

Tipe formasi Sandstone dengan High Porosity

Ketebalan net > 10 ft

Rerata permeabilitas > 50 md

Kedalaman < 11 500 ft

Temperatur 100 – 135 oF

3.3.3. Injeksi Mikrobial (MEOR)

Gagasan utama well stimulation dari metode microbial yaitu menginjeksikan

sejumlah slug microbial yang sudah diseleksi bersamaan dengan sejumlah nutrient

(susu atau sirup) dan beberapa additive yang akan menstimulasi mikroba untuk

membawanya ke sumur produksi. Sumur ini kemudian ditutup untuk beberapa waktu

sebagai waktu inkubasi.

Selama waktu inkubasi, bakteria akan regenerasi dan menghasilkan beberapa

produk (gas, asam, alkohol, polimer, surfaktan dan lain-lain) saat adanya aktifitas

metabolism dan reaksi di dalam reservoir. Produk dan perubahan di reservoir

diakibatkan adanya aksi dari mikroba yang sangat berguna untuk produktifitas sumur

dan oil recovery.

Siklus stimulasi sumur oleh mikroba terdiri dari :

50-100 liter mikroba yang dipelihara

Jumlah sel 1-100 MM sel/ml

50-100 m3 nutrien (2 - 4% wt concentration)

Nitrat dan phospat (0.03 – 0.1% wt concentration)

Periode inkubasi 3 – 6 bulan

Periode produksi 6 - 24 bulan.

Mikroba juga digunakan sebagai objek untuk mengisi zona high permeability

dan memakannya sebagai proses oil recovery. Pada beberapa kasus, tipe mikroba

spesial dengan ukuran yang kecil diinjeksikan ke ruang pori dengan sejumlah besar

nutrient, selanjutnya menstimulasi menunggu waktu inkubasi. Bakteria ini akan

tumbuh dan menutup (plug) ruang pori yang diisi. Hal ini sangat berguna dalam

mengurangi efek air dan gas coning.

Parameter – parameter reservoir yang berdampak pada aktifitas mikroba yaitu:

Dapat bertahan di dalam reservoir

Suhu reservoir dengan batas yang ijinkan sebesar 40oC

Tekanan reservoir dengan batas yang diijinkan 30 000 kPa

Salinitas air formasi dengan batas 35 000 ppm

Dapat melawan mikroorganisme lain yang berada di dalam sistem.

Bakteri dalam reservoir akan mempunyai pengaruh sebagai berikut:

Penyumbatan pori, Penyumbatan pori, yaitu penyumbatan pada pore throat

sehingga akan memperkecil porositas dan permeabilitas batuan. Hal ini dapat

diakibatkan oleh adanya bakteri yang berspora atau dapat juga sebagai adanya

pertumbuhan bakteri itu sendiri.

Degradasi hidrokarbon, Jenis hidrokarbon sangat dipengaruhi oleh komposisi

dan ikatan kimia. Zobell (1950) mengamati kemampuan mikroba dalam

mendegradasi hidrokarbon, sebagai berikut:

a. Hidrokarbon alifatik lebih mudah didegradasi dibanding dengan

hidrokarbon aromatik.

b. Rantai panjang lebih mudah didegradasi dibanding dengan rantai pendek.

c. Hidrokarbon tak jenuh lebih mudah didegradasi dibanding dengan

hidrokarbon jenuh.

d. Hidrokarbon rantai bercabang lebih mudah didegradasi dibanding dengan

hidrokarbon rantai lurus.

Pengasaman (souring), Produksi asam oleh mikroba dihasilkan melalui proses

glikolisis atau proses fermentasi. Produksi asam ini dapat mengakibatkan

terjadinya perubahan porositas dan permeabilitas. Permeabilitas pada

reservoar karbonat akan naik jika asam tersebut bereaksi dengan karbonat.

Reaksi asam dengan karbonat tersebut juga menghasilkan gas CO2. Gas CO2

ini dapat mengakibatkan terjadinya oil swelling sehingga viskositas minyak

akan turun.

3.3.4. Injeksi Bercampur

Pada injeksi bercampur ini yang dinjeksi adalah sejumlah gas seperti gas

alami, gas alami yang diperkaya, campuran gas buang, nitrogen dan CO2. Fluida

yang diinjeksi ini tidak secara langsung bercampur saat kontak pertama dengan

reservoir minyak, tetapi dengan tekanan reservoir yang cukup tinggi gas yang

diinjeksi akan bercampur secara dinamik dengan seluruh reservoir minyak.

Bercampurnya dua fluida artinya keduanya dapat bercampur semuanya secara

proposional. Oleh sebab itu, jika campuran solvent bercampur dengan reservoir,

semuanya akan menjadi satu fasa dan mengalir bersama di reservoir sebagai satu

fluida. Ini menyebabkan permeabilitas relative lebih tinggi dan saturasi minyak

residual sangat rendah.

Percampuran dapat terjadi antara solvent yang diinjeksikan dengan reservoir

minyak jika kondisi percampuran berbaur. Kondisi ini biasanya ditentukan oleh tes

laboratorium dan dapat diestimasi dari beberapa korelasi.

Ada dua jenis proses utama dari injeksi bercampur ini, yaitu :

First Contact Miscible Process

Proses dimana fluida yang diinjeksikan, secara langsung bercampur dengan

reservoir minyak pada kondisi tekanan dan suhu reservoir. Salah satu contoh fluida

injeksi yang merupakan FCM yaitu LPG yang memiliki ukuran primary slug sebesar

10 - 15% pore volume (PV). Proses ini sangat efektif karena bercampurnya slug

(primary slug) dengan fasa minyak. Primary slug/oil interfaces mendorong minyak

agar bergerak di depan primary slug. Kemudian primary slug didorong dengan gas

kering yang dimana kedua fluida ini bercampur. Sayangnya, primary slug akan

mejadi fasa residual yang terperangkap akibat dari proses ini.

Multiple Contact Miscible Process

Pada proses ini, fluida tidak bercampur dengan reservoir pada saat first

contact. Proses ini tergantung dari komposisi fasa injeksi, fasa minyak yang melalui

berbagai kontak fasa dengan komponen massa transfer di dalam reservoir. Di bawah

kondisi tekanan, suhu dan komposisi kemudian akan menghasilkan pencampuran in-

situ antara fluida pendorong dengan fluida yang didesak.

Injeksi gas bercampur terbagi menjadi :

3.3.4.1. Injeksi Gas CO2

Metode peningkatan perolehan minyak dengan injeksi CO2 dilakukan dengan

menginjeksikan sejumlah besar gas CO2 (15% pore volume atau lebih) ke dalam

reservoir. Meskipun CO2 ini benar-benar dapat baur dengan minyak bumi, CO2 juga

dapat mengekstraksi komponen ringan sampai menengah dari minyak. Apabila

tekanan cukup tinggi, maka terjadi kondisi dapat baur dan minyak terdesak ke sumur-

sumur produksi.

Peningkatan perolehan minyak dengan injeksi CO2 dimungkinkan dengan

terjadinya proses berikut :

Terbentuknya kondisi dapat baur (miscible).

Mengembangnya minyak bumi (swelling).

Mengurangi viskositas minyak.

Mengurangi tegangan permukaan didekat daerah dapat baur.

Penjelasan injeksi CO2 yang lebih spesifik akan dijelaskan di bab selanjutnya.

3.3.4.2. Injeksi Gas Hidrokarbon (High Pressure Natural Gas Injection)

Metode ini dilaksanakan dengan menginjeksikan hidrokarbon ringan kedalam

reservoir sehingga dapat tercampur. Ada tiga macam metode yang biasa digunakan.

Pertama diinjeksikan 5% (pore volume) liquefied petroleum gas (LPG) misalnya

propane,diikuti oleh gas alam atau air. Kedua adalah metode yang disebut “injeksi

gas yang diperkaya”, yang terdiri atas 10-20% (pore volume) gas alam yag diperkaya

dengan gas etana sampai dengan heksana (C2-C6), diikuti oleh lean gas (pada

umumnya metana) atau air. Gas gas pengaya ini terlarut kedalam minyak bumi.

Metode yang ketiga adalah yang disebut “pendorongan gas dengan tekanan tinggi”,

yaitu menginjeksikan lean gas dengan tekanan tinggi untuk melepaskan komponen-

komponen C2-C6 dari minyak bumi yang didesak.

Metode injeksi hidrokarbon (dapat baur) dapat memproduksikan minyak

dengan jalan :

Menyebabkan terbaurnya pendesak yang didesak.

Bertambahnya volume minyak (swelling)

Berkurangnya viskositas minyak

Metode ini lebih diutamakan untuk kondisi reservoir dan minyak bumi

sebagai berikut :

1. Oil Properties :

Gravity 23 – 41oAPI

Viskositas < 3 cp

Komposisi minyak High % C2 – C7

Saturasi minyak 30 – 80% pore volume

2. Karakteristik Reservoir

Tipe formasi Sandstone atau karbonat

Ketebalan net Tipis dengan sedikit kemiringan

Rerata permeabilitas Tidak ditentukan

Kedalaman > 4000 ft

Temperatur Tidak ditentukan

Persoalan yang sering dihadapi dari metode ini adalah :

Rendahnya efisiensi penyapuan baik secara vertikal maupun horizontal

dikarenakan gejala “viscous fingering”

Diperlukan fluida pendesak dengan jumlah banyak dan juga fluida ini mahal

harganya

Solvent kemungkinan terjebak direservoir dan tidak dapat diperoleh kembali

3.3.4.3. Injeksi Gas Nitrogen

Metode peningkatan perolehan minyak menggunakan nitrogen dapat terjadi

sebagai akibat pendesakan gas dengan kondisi dapat baur tergantung pada tekanan

dan komposisi minyak.

Gas nitrogen ini relatif murah harganya sehingga dapat digunakan dalam

jumlah banyak secara ekonomis. Bahkan seringkali gas ini digunakan sebagai gas

pengganti pada injeksi hidrokarbon atau karbondioksida, setelah sejumlah material

tersebut diinjeksikan.

Pengangkatan perolehan minyak diakibatkan oleh :

Terlepasnya komponen ringan dari minyak bumi dan terjadinya kondisi dapat

baur jika tekanan cukup tinggi.

Pendesakan minyak oleh gas nitrogen yang diinjeksikan.

Metode ini lebih diutamakan untuk kriteria reservoir dan minyak bumi

sebagai berikut :

1. Oil Properties :

Gravity 35 – 48oAPI

Viskositas < 0.4 cp

Komposisi minyak High % C1 – C7

Saturasi minyak 40 – 75% pore volume

1. Karakteristik Reservoir

Tipe formasi Sandstone atau karbonat

Ketebalan net Tipis dengan sedikit kemiringan

Rerata permeabilitas Tidak ditentukan

Kedalaman > 6000 ft

Temperatur Tidak ditentukan

Kondisi dapat baur hanya bisa dicapai apabila minyak yang didesak adalah jenis

minyak ringan dan tekanan reservoir yang tinggi. Oleh sebab itu, diperlukan

kedalaman yang cukup. Reservoir dengan kemiringan tajam lebih disukai untuk

tercapainya stabilisasi pendesakan di bawah pengaruh gaya gravitasi.

Dalam injeksi nitrogen ini ada beberapa masalah yang dihadapi yaitu:

Rendahnya efisiensi penyapuan baik vertical maupun horizontal sebagai

akibat gejala “viscous fingering”.

Masalah korosi.

Apabila gas yang terproduksikan akan dijual, maka gas nitrogen harus

dipisahkan dipermukaan

3.4. Kriteria Screening EOR

Dilihat dari kompleksnya proses EOR, mustahil untuk menetukan prosedur

dalam proses memilih dan mendisain EOR secara tepat pada reservoir. Dibutuhkan

upaya yang besar untuk memilih, optimasi, mendesain dan menghitung secara

teknisi/ekonomis kemampuan proses EOR pada berbagai kondisi reservoir. Upaya ini

dapat dikurangi dengan keberhasilan dari pengalaman berbagai macam industri pada

reservoir yang mirip. Selain itu, adanya beberapa pedoman dasar dalam memilih

proses EOR dari hasil seleksi yang tidak dapat diterapkan pada reservoir tertentu.

Contoh dari metode eliminasi EOR meliputi :

1. Miscible flood pada reservoir minyak berat.

2. High pressure miscible flood pada shallow reservoir.

3. Steam flood pada deep light oil reservoir atau reservoir tipis dengan rasio net

to gross yang rendah.

4. Chemical flood pada reservoir dengan kandungan clay, salinitas dan

temperature yang tinggi.

5. Polymer flood pada reservoir dengan viskositas minyak yang sangat rendah.

6. In-situ combustion pada reservoir dengan API gravity minyak yang sangat

rendah atau sangat tinggi.

7. Injeksi bakteria ukuran besar pada reservoir yang tight dengan ukuran pori

yang sangat kecil.

Langkah – langkah dasar evaluasi sebelum mengimplementasi proses EOR

terdiri dari :

1. Deskripsi detail dari geologi dan reservoir.

2. Review dari observasi tekanan dan performance produksi.

3. Estimasi primary recovery akhir, infill drilling dan potensi stimulasi sumur.

4. Menentukan perlunya aplikasi secondary recovery dan EOR.

5. Menetapkan berbagai limitasi pada beberapa metode EOR berdasarkan

karakteristik reservoir, geologi, kondisi lingkungan, dan surface facililities.

6. Melakukan preliminary selection dari metode EOR yang mungkin dipilih dan

memperkirakan kenaikan recovery, substansi yang diperlukan, dan biaya

dengan menggunakan analogi pada reservoir lain.

7. Menyeleksi limitasi dari satu atau dua kemungkinan metode EOR dan

perlunya tes laboratorium maupun lapangan sebagai kunci parameter ukuran

yang mempengaruhi performance EOR dan material yang diperlukan.

8. Merumuskan model geologi/simulasi secara detail dan menyaring simulasi

mana yang cocok dengan history matching lapangan dan observasi

laboratorium. Model ini kemudian digunakan untuk menyediakan sensivity

analysis sebagai parameter dan peramalan dari jarak recovery serta material

EOR yang diperlukan.

9. Analisis ekonomi meliputi semua fasilitas yang dibutuhkan, pemboran,

material EOR, lingkungan, pertimbangan keselamatan dan persetujuan

kontrak. Tahap ini juga meliputi diskusi dengan pihak terkait seperti partner

bisnis dan badan pemerintahan.

10. Memulai tes lapangan dengan ukuran yang kecil dan durasi singkat untuk

menegaskan parameter operasional mengikuti pilot projects skala kecil (1 – 6

titik injeksi) dan mengkonfirmasi proses penggunaan parameter,

penyempurnaan desain, dan performance parameter.

11. Memonitor performance dari pilot projects dari periode 1 – 3 tahun dan

menerapkan beberapa perubahan pada kondisi operasional untuk menguji efek

dari perubahan performance EOR.

12. Memperbaharui semua model geologi/simulasi yang diperlukan untuk history

matching pilot performance dan menghitung desain optimum EOR, material

yang dibutuhkan dan harapan oil recovery.

13. Mematangkan project design dan selanjutnya proses memperoleh konstruksi

surface facility dan pengeboran sumur.

3.5.2 Parameter Operasional

Dalam metode primary recovery, parameter-parameter operasional yang

mempengaruhi perolehan minyak termasuk tekanan alir dasar sumur, kemampuan

untuk menangani produksi WOR dan GOR yang tinggi, spasi sumur dan tingkat

keberhasilan dalam mengontrol permasalahan sumur seperti drainage,sandling, dan

coning. Untuk reservoir yang menggunakan stimulasi oil recovery juga dipengaruhi

oleh proses pendesainan, kualitas dan jumlah material stimulasi yang digunakan

dengan control kualitas yang ditest oleh suatu service company selama proses

stimulasi berlangsung.

Seperti yang telah disebutkan,seluruh metode secondary recovery dan EOR

pada umumnya adalah menginjeksikan material tertentu untuk mendesak minyak dari

reservoirnya. Performance proses pendesakan dipengaruhi oleh permeabilitas relative

aliran fluida yang dihubungkan dengan saturasinya. Harga minimum saturasi dimana

fluida yang berbeda dapat mengalir (residual saturation) juga akan menentukan

effisiensi pendesakan. Kemudia selama proses pendesakan harga relative gaya

viscous dibandingkan dengan gaya gravitasi dan gaya kapiler juga ikut

mempengaruhi distribusi fluida.

Berdasarkan konsep di atas, kemungkinan untuk mengidentifikasi 6

parameter-parameter yang mempengaruhi perolehan minyak untuk metode secondary

recovery dan EOR, yaitu :

a. Perbandingan mobilitas antara fluida pendesak dan yang didesak

b. Perbandingan gaya kapiler dengan gaya viscous

c. Perbandingan gaya gravitasi dengan gaya viscous

d. Saturasi minyak sisa

e. Saturasi air yang tersisa

Dalam metode EOR seluruh factor diatas dapat dikontrol memalui tipe dari

bahan injeksi serta perubahan temperature dan tekanan reservoir. Perbandingan

mobilitas yang rendah akan lebih menguntungkan untuk pendesakan dan dalam

penggunana polymer dan metode thermal serta beberapa metode pendesakan yang

lainnya. Tekanan kapiler dapat dikurangi dengan menggunakan metode surfactant,

metode alkaline dan metode microbial. Penggunaan laju injeksi yang optimum dapat

mengurangi efek negatif gaya gravitasi. Pengurangan saturasi minyak sisa yang

merupakan hal yang diinginkan dapat dicapai dengan metode miscible ; surfactant,

alkaline dan injeksi thermal. Untuk suatu proses pendesakan peningkatan irreducible

water saturation akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan perolehan

minyak, hal ini dapat tercapai melalui injeksi thermal.

3.5. Faktor Perolehan Minyak

Pengaplikasian EOR pada lapangan minyak haruslah benar – benar

memperhatikan potensi minyak yang dapat diperoleh, dan karakteristik fisik ataupun

kimia dari reservoir. EOR dapat diimplementasikan apabila recovery minyak dapat

menutupi biaya dalam operasi EOR ini. Selain itu, sifat fisik dan kimia dari reservoir

mempengaruhi EOR, karena tidak ada satu proses EOR yang akan cocok pada semua

reservoir sehingga perlu dilakukan pengembangan teknologi EOR. Selain itu, agar

mendapatkan recovery yang optimal perlu diketahui faktor perolehan minyak dari

segi efisiensi pendesakan makroskopik dan efisiensi pendesakan mikroskopik.

3.5.1. Efisiensi Pendesakan Mikroskopik (ED)

Efisiensi pendesakan mikroskopik berhubungan dengan pendesakan dari

mobilisasi minyak pada ruang pori. ED adalah ukuran efektivitas fluida pendesak

dalam menggerakan minyak di dalam batuan dimana terdapat kontak antara fluida

pendesak dan minyak. ED merefleksikan ukuran dari saturasi minyak residual (Sor)

pada daerah yang terkontak dengan fluida pendesak.

Dalam prakteknya efisiensi pendesakan merupakan fraksi minyak atau gas

yang dapat didesak setelah dilalui oleh front dan zona transisinya.

Pada kasus pendesakan linier, contohnya media berpori berbentuk silinder,

kemudian semua pori-pori di belakang front dapat diisi oleh fluida pendesaknya,

maka efisiensi volumetrik akan mencapai 100% dan hubungan umum yang

menunjukkan efisiensi pendesakan adalah sebagai berikut :

Ed =Soi−Sor

Soi………………………………………………… (3-1)

Dimana :

Ed = efisiensi pendesakan, fraksi

Soi = saturasi minyak mula (pada awal pendesakan), fraksi

Pada prakteknya Sor dan Ed harganya akan tetap sampai pada bidang front

mencapai titik produksinya. Pada saat dan sebelum breaktrough terjadi, efisiensi

pendesakan ditunjukkan oleh Persamaan :

( Ed )BT=Soi−(Sor )BT

Soi………………………………………… (3-2)

Harga Sor akan berkurang dan Ed akan bertambah dengan terus berlalunya zona

transisi melalui sumur produksi, sehingga setelah zona transisi ini berlalu akan

diperoleh harga Sor minimum yang merupakan harga saturasi minyak irreducible dan

efisiensi pendesakan mencapai harga maksimum, sesuai dengan persamaan :

( Ed )max=Soi−( Sor)min

Soi……………………………………... (3-3)

3.5.2. Effisiensi Penyapuan Volumetrik

Dalam proses penginjeksian fluida, fluida injeksi tidak berhubungan dengan

seluruh bagian reservoir. Effisiensi pernyerapan volumetric merupakan hasil dari

effisiensi luasan dan vertikal.

3.5.2.1 Efisiensi Penyapuan Areal

Efisiensi penyapuan areal didefinisikan sebagai perbandingan antara luasan

reservoir yang kontak dengan fluida pendesak terhadap luas areal total atau fraksional

dari reservoir yang tersapu oleh fluida injeksi. Efisiensi penyapuan areal pada volume

pori yang telah diinjeksi, akan berkurang dengan naiknya perbandingan mobilitas.

Perbandingan mobilitas akan meningkat dengan naiknya volume yang telah

diinjeksikan, sehingga harga akhir untuk efisiensi penyapuan areal akan diambil pada

harga volume pori yang telah diinjeksikan dihubungkan dengan limiting cut yang

ditentukan dalam produksi.

Hal yang perlu dicatat adalah daerah harga efisiensi penyapuan yang

ditentukan dari korelasi tidak dapat menunjukkan beberapa anisotropi (variasi

permeabilitas directional) atau heterogenitas. Untuk kasus dimana terdapat faktor

tersebut, teknik simulasi reservoir harus dipakai untuk mendapatkan peramalan

efisiensi penyapuan areal yang memberikan hasil yang lebih baik.

Pada kebanyakan korelasi penyapuan areal, perbandingan mobilitas dihitung

dengan memakai permeabilitas relatif end-point, biasanya dipakai mobilitas rasio

rata-rata. Mobilitas rasio didefinisikan sebagai perbandingan antara mobilitas total

fluida dibelakang front pendesakan dengan mobilitas total fluida di depan front

pendesakan, dirumuskan sebagai berikut :

M̄=( λ r1+λr2)b

( λ r1+λr2)a ……………………………………………… (3-4)

Dimana :

r1 dan r2 adalah mobilitas relatif fluida pendesak dan fluida yang didesak.

Subskrip b dan a berturut-turut menunjukkan kondisi pada saturasi rata-rata di

belakang front dan saturasi awal di depan front.

Gambar 4.5. Sketsa Effisiensi Penyapuan Areal 12)

3.5.2.2. Efisiensi Penyapuan Vertikal

Efisiensi penyapuan vertikal adalah fraksi dari bagian vertikal pada reservoir

yang tersapu oleh fluida injeksi. Efisiensi penyapuan vertikal dipengaruhi oleh

gravitasi dan heterogenitas lapisan reservoir. Pengaruh gravitasi disebabkan oleh

perbedaan densitas antara fluida pendesak dengan fluida terdesak. Jadi pengaruh

gravitasi dapat terjadi di semua reservoir (homogen dan heterogen). Gas akan

mendahului minyak lewat bagian atas (overrides) dan air akan mendahului minyak

pada bagian bawah (underruns), karena itu terjadi breakthrough lebih awal di bagian

atas dan bawah reservoir. Secara teori, stabilitas front pendesakan dan sudut ke arah

mana menghadap (terhadap arah aliran) berhubungan dengan laju penginjeksian,

mobilitas fluida dan perbedaan densitas. Gambar 4.6. menunjukkan efisiensi

penyapuan vertikal sebagai fungsi perbandingan mobilitas dan Ngh/L (perbandingan

bilangan gravitas dikalikan ketebalan terhadap panjang). Perbandingan mobilitas

yang tinggi dan bilangan gravitasi yang besar menunjukkan rendahnya efisiensi

penyapuan vertikal pada saat breakthrough. Jika reservoir menunjukkan variasi

permeabilitas dan porositas terhadap kedalaman, heterogenitas lapisan, flood front

akan terpengaruh oleh variasi tersebut. Fluida pendesak akan bergerak lebih cepat

dilapisan dengan permeabilitas yang tinggi dan breakthrough terjadi lebih awal dalam

sumur produksi. Perbandingan mobilitas yang tinggi dan heterogenitas yang besar

akan menurunkan efisiensi penyapuan vertikal.

Gambar 4.6. Sketsa Effisiensi Penyapuan Vertikal 4)

3.5.2.2 Effisiensi Perolehan Total

Effisiensi perolehan total atau factor (RF) adalah fraksi dari cadangan minyak

awal (pada saat pertama kali dilakukan proses pendesakan) yang dapat didesak dan

diambil. RF merupakan hasil dari proses pendesakan dan effisiensi penyapuan

volumetric.

RF = Ea x Ev……………………………………………………... (3-5)

BAB IV

METODE INJEKSI CO2

4.1. Pengertian Injeksi CO2

Injeksi CO2 yaitu metode menginjeksikan sejumlah gas CO2 murni untuk

menggerakkan dan mendesak minyak. Terjadi multiple kontak antara CO2 dan fasa

minyak intermediate sampai minyak dengan berat molekul yang besar, untuk

kemudian diekstraksi menjadi fasa kaya CO2. Di bawah kondisi yang sesuai, fasa

kaya CO2 akan mencapai komposisi yang disebut miscible (bercampur) dengan

hidrokarbon asli di reservoir. Keadaan miscible atau mendekati miscible berada pada

bagian muka (front) pendesak.

Volume injeksi CO2 selama proses injeksi sebesar 25% volume pori. Suhu

kritis dari CO2 yaitu sebesar 87.8 oF dan kebanyakan kasus, fluida ini dinjeksi di atas

suhu kritis. Viskositas CO2 saat kondisi injeksi sangat kecil sebesar 0.06 – 0.10 cp

tergantung dari kondisi temperatur dan tekanan reservoir.

Gambar 4.1. Proses Injeksi CO2 11)

4.2. Tujuan Injeksi CO2

Metode injeksi bercampur terbagi atas injeksi gas hidrokarbon, injeksi

nitrogen, dan injeksi CO2. Dari beberapa jenis fluida injeksi bercampur, injeksi CO2

jauh lebih baik dikarenakan triple point CO2 relatif besar dan temperatur kritis lebih

rendah. Selain itu, densitas dan viskositasnya tinggi serta faktor volume formasi

relatif kecil dibandingkan dengan udara, nitrogen, gas kering hidrokarbon. Hal ini

dapat diilustrasikan dengan membandingkan sifat fisik dari berbagai gas dengan

kondisi temperature dan tekanan yang sama. Contohnya pada temperature 93oC dan

tekanan 20,700 KPa, sehingga didapatkan :

Tabel 4.1.

Perbandingan Sifat Fisik Berbagai Gas 4)

Gas Densitas,

kg/m3

Faktor Volume Formasi Viskositas, cp

Karbon Dioksida 525 0.0035 0.042

Udara 186 0.0064 0.027

Nitrogen 178 0.0064 0.025

Metana 117 0.0056 0.018

Natural Gas 173 0.0051 0.020

Dengan membandingkan sifat dari tiap gas, jelas bahwa CO2 lebih cocok

sebagai fluida pendesak dengan alasan :

Densitas yang tinggi dapat mengurangi efek gravitasi.

Dengan rendahnya faktor volume formasi artinya hampir semua molekul ada

pada volume reservoir.

Viskositas yang tinggi akan menghasilkan rasio mobilitas rendah.

Adapun tujuan dari injeksi CO2 sama halnya dengan metode EOR lainnya

yaitu sebagai metode untuk meningkatkan recovery minyak dari reservoir dengan

cara mengurangi nilai IFT sehingga memperkecil nilai dari saturasi minyak residual

(Sor).

Injeksi CO2 dapat optimal tergantung dari beberapa kriteria sifat fisik minyak

dan karakteristik reservoirnya. Adapun kriterianya yaitu :

1. Oil Properties :

Gravity 22 – 36oAPI

Viskositas 1.5 – 10 cp

Komposisi minyak High % C5 – C12

Saturasi minyak 20 – 55% pore volume

2. Karakteristik Reservoir

Tipe formasi Sandstone atau karbonat

Ketebalan net Tebal

Rerata permeabilitas Tidak ditentukan

Kedalaman > 2500 ft

Temperatur Tidak ditentukan

4.3. Sifat Fisik CO2

CO2 murni tidak berwarna, tidak berbau, inert dan gas tidak mudah terbakar.

Berat molekul CO2 pada kondisi standard yaitu 44.010 g/mol dimana satu kali atau

setengah kali lebih besar dari udara. CO2 dapat berupa solid pada suhu dan tekanan

rendah, tetapi kebanyakan tergantung dari suhu (Gambar 4.2.). Dengan meningkatnya

tekanan dan suhu, fasa cair untuk pertama kalinya muncul bersama dengan solid dan

uap pada triple point. Fasa cair dan uap CO2 yang berada di triple point kemudian

naik mencapai titik kritis pada kurva.

Gambar 4.2. Diagram Fasa CO2 7)

Di bawah suhu kritis CO2 dapat berupa fasa cair atau gas di segala level

tekanan. Di atas suhu kritis CO2 akan menjadi gas tanpa memperhatikan tekanan.

Bagaimanapun pada tekanan superkritis yang tinggi, uap akan menjadi dan bersifat

seperti cairan.

Selain itu, ada beberapa sifat fisik CO2 yang penting untuk menunjang

performance dalam proses pendesakan bercampur.

4.3.1. Densitas dan Kompresibilitas

Densitas dari pencampuran hidrokarbon dan CO2 dapat dihitung dengan

menggunakan EOS. Estimasi densitas fluida dapat dihitung berdasarkan basis

densitas rata – rata molekul dari komponen alami.

v=ZRTp

ρ=1v

X 1ρ 1

+ X 2ρ2

+ X 3ρ3

+…= 1ρmix

………………………………………... (4-

1)

Dimana :

X1 = Fraksi mol dari komponen i

ρ1 = Densitas komponen i

ρmix = Densitas komponen yang bercampur

Masalahnya yaitu densitas fasa kondensat komponen CO2, normalnya uap

atau fluida di atas titik kritis pada suhu dan tekanan campuran tidak dapat diprediksi

dengan mudah sehingga diperlukan data eksperimen yang tersedia. Contohnya,

eksperimen yang dilakukan Orr dan Silva menggunakan peralatan multiple – contact

dan slim tube dengan suhu 32oC dan berbagai tekanan. Dengan mengasumsi system

yang terdiri dari tiga pseudokomponen : CO2, C5 sampai C12 dan C13+. Dan asumsi

bahwa hidrokarbon memiliki ukuran densitas yang sama tiap fasa. Namun, CO2

memiliki densitas yang cukup besar di fasa liquid dari pada di fasa uap. Dan pada

tekanan dimana terdapat dua fasa liquid berada pada titik kesetimbangan, densitas

CO2 sangatlah berbeda pada masing – masing fasa.

Gambar 4.3. Densitas CO2 sebagai Fungsi dari Tekanan dan Suhu 7)

Gambar 4.3. memperlihatkan bahwa densitas fluida meningkat terhadap

tekanan pada temperature di atas kondisi kritis. Dan kurva akan curam ketika

temperature di bawah daerah kritis. Temperatur dan tekanan kritis dari CO2 yaitu

31.05 oC dan 73.9 bar pada kondisi 1.013 bar dan 0 oC.

Selain itu, kompresibilitas fluida juga mempengaruhi injeksi CO2. Pada

gambar 4.4. memperlihatkan kompresibilitas dari CO2, natural gas dan campuran

CO2 – Metana sebagai fungsi dari tekanan pada beberapa temperatur yang berbeda.

Kompresibilitas dari CO2 berbeda sekali dengan natural gas dan campuran CO2 –

metana. Pada 100 bar dan 40 oC, di dapatkan berbagai kompresibilitas mulai dari 0.25

sampai 0.4 dan 0.85 untuk natural gas. Artinya, apabila dengan temperature yang

sangat rendah nilai kompresibilitas CO2 kecil, dimana kompresibilitas berbanding

terbalik terhadap densitas.

Gambar 4.4. Kompresibilitas sebagai Fungsi dari Tekanan dan Temperatur 7)

4.3.2. Viskositas

Rasio mobilitas pada proses pendesakan merupakan fungsi dari viskositas

fluida pendesak dan fluida yang didesak. Pada proses pendesakan bercampur,

hubungan permeabilitas relative dengan fluida nonaqueous yang berbeda diasumsikan

sama.

M=μd / μD ……………………………………………………... (4-2)

Dimana :

M = Rasio mobilitas

μd = Viskositas fasa yang didesak

μD = Viskositas fasa pendesak.

Viskositas dari crude oil bervariasi mulai dangan viskositas lebih kecil dari air

sampai viskositas lebih besar dari minyak berat. Apabila nilai viskositas solven (CO2)

yang diinjeksikan lebih kecil, akan mengakibat rasio mobilitas tinggi dan tidak

menguntungkan untuk proses pendesakan bercampur.

Gambar 4.5. Viskositas CO2 sebagai Fungsi Tekanan dan Temperatur 13)

4.3.3. Solubilitas

Dalam mendesain injeksi CO2, perlu mengestimasi jumlah CO2 yang terlarut

dalam fasa air. Hilangnya gas disebabkan solubilitas dalam air sangat signifikan. CO2

dapat larut dalam air tetapi berbeda halnya pada minyak, solubilitas CO2 sangat

sensitive terhadap tekanan. Apabila tekanan sedikit di atas 70 bar, sebagian besar CO2

dapat terlarut di dalam air. Solubilitas CO2 juga sangat sensitive terhadap

temperature, apabila temperature naik maka solubilitas CO2 akan menurun. Salinitas

juga berpengaruh terhadap solubiltas CO2, karena CO2 lebih soluble di fresh water

dari pada di brine.

Gambar 4.6. Solubilitas CO2 7)

4.4. Proses Miscibility (Bercampur)

Dalam proses bercampur CO2 terhadap crude oil, terjadi dua proses utama

yaitu first contact miscibility (FCM) dan multiple contact miscibility (MCM). Pada

MCM terjadi dua proses yaitu vaporizing – gas displacement dan condensing gas

displacement.

First Contact Miscibility

Metode yang secara langsung mencapai pendesakan bercampur dengan

menginjeksikan solvent dan bercampur dengan minyak, seperti semua campuran

berada pada satu fasa. Untuk mencapai FCM antara solvent dan minyak, tekanan

harus lebih cricondenbar karena semua campuran solvent – minyak di atas tekanan ini

pada fase tunggal. Jika solvent, misalnya campuran propane – butane cair pada

tekanan dan temperature reservoir, tekanan saturasi untuk campuran minyak dan

pelarut akan bervariasi antara tekanan bubble – point. Apabila solvent berupa gas

pada tekanan dan temperature reservoir, perilaku fasa lebih rumit. Dalam hal ini,

cricondenbar dapat terjadi pada campuran antara antara minyak murni dan pelarut

murni.

Jika gas alam atau CO2 dipilih sebagai pelarut untuk menyapu reservoir,

miscible slug harus dibuat menjelang gas diinjeksikan untuk mencapai proses

pendesakan bercampur. Slug mungkin bias berupa propana atau bahan bakar gas cair,

dan slug harus benar-benar larut dengan minyak, baik di bagian tepi muka sampai

keseluruhannya. Volume slug yang disuntikkan harus cukup untuk bertahan selama

seluruh proses penyapuan. Minimum kontak pertama tekanan larut (FCMMP) adalah

tekanan terendah di mana reservoir minyak dan gas injeksi yang larut dalam semua

rasio.

Multiple Contact Miscibility

Proses pendesakan MCM adalah salah satu kondisi bercampur yang

bergenerasi dalam reservoir melewati perubahan komposisi in – situ yang dihasilkan

dari multiple – contact dan transfer massa antara minyak dan fluida injeksi.

Dalam menginjeksi solven guna mendesak minyak, sebaiknya memperhatikan

kondisi reservoir agar mendapatkan injeksi yang optimal. Oleh sebab itu, ternary

diagram sangat penting. Pada gambar di bawah ini, memperlihatkan pendesakan satu

dimensi. Pada ternary diagram, terdapat komponen ringan yang merupakan bagian

dari minyak. Apabila garis lurus dilution path berada diantara solvent dan crude oil

dan tidak memotong daerah dua fasa, pendesakan akan terdiri dari fasa tunggal

hidrokarbon yang berubah pada komposisi dari crude menjadi solvent undilution

melalui zona pencampuran solvent – minyak. Dilution path akan linear ketika hanya

proses dispersi sebagai mekanisme pencampuran, dimana tidak adanya air atau efek

aliran fraksional yang berasosiasi dengan fasa tunggal hidrokarbon. Pendesakan yang

terjadi pada semua fasa hidrokarbon disebut first – contact miscible, dimana

komposisi solvent akan first – contact miscible dengan minyak pada pressure dan

temperature tertentu.

Gambar 4.5. Skematik Proses First – Contact Miscible 13)

Gambar 4.6. Berbagai Kondisi Pada Pendesakan Solvent 7)

Andaikata solvent terdiri dari semua komponen ringan, pendesakan bukan lagi

FCM ketika dilution path melewati daerah dua fasa. Apabila solvent melewati dua

fasa, maka akan terjadi MCM, dimana MCM terbagi menjadi :

a. Vaporizing Gas Drive

Vaporizing gas drive adalah kasus khusus dari proses MCM. Penguapan ini

terjadi pada komponen menengah dari reservoir minyak. Proses vaporizing gas drive

dapat mendorong hampir semua minyak pada area yang terkontak. Namun, fraksi

reservoir yang terkontak mungkin rendah karena kondisi aliran dan heterogenitas

reservoir. Proses ini membutuhkan tekanan tinggi pada antarmuka minyak – gas, dan

reservoir minyak harus mengandung konsentrasi C2 sampai C6 tinggi, terutama jika

gas hidrokarbon digunakan.

Tekanan yang diperlukan untuk mencapai miscibility dinamis dengan CO2

biasanya lebih rendah daripada tekanan yang dibutuhkan untuk gas lainnya seperti

gas alam, gas buang atau nitrogen. Dengan menggunakan CO2, hidrokarbon molekul

berat juga dapat diekstraksi. Semakin rendah tekanan dan tingginya ekstraksi fraksi

hidrokarbon merupakan keuntungan besar dari proses injeksi CO2.

Gambar 4.7. menunjukkan diagram terner untuk proses ini. Pendesakan bukan

merupakn FCM karena jalan pengenceran (dilution path) melewati wilayah dua fase.

Untuk menjelaskan proses pada gambar, kita harus membayangkan

serangkaian sel campuran yang mewakili media permeabel dalam pendesakan satu

dimensi. Sel pertama awalnya berisi minyak mentah, kemudian yang lainnya

ditambahkan sejumlah pelarut (solvent) sehingga komposisi keseluruhan diberikan

oleh campuran. Campuran pertama (titik pada garis dasi L1-G1 dimana melintasi

solvent – crude line) akan dibagi menjadi dua bagian, G1 gas dan L1 liquid yang

ditentukan oleh garis keseimbangan. G1 gas memiliki mobilitas jauh lebih tinggi

daripada L1 liquid, dan bergerak ke dalam sel pencampuran kedua untuk membentuk

campuran berikutnya. Liquid L1 tetap di bagian belakang untuk campuran dengan

pelarut lebih murni. Dalam sel kedua campuran terbagi menjadi G2 dan L2 dan

seterusnya.

Gambar 4.7. Proses Multiple Contact Pada Vaporizing Gas Drive 7)

Pada sel kedua seperti yang ditunjukkan pada gambar ini, fase gas tidak akan

lagi membentuk dua fasa saat bercampur dengan minyak mentah. Dari titik ini semua

komposisi pendesakan akan menjadi dilution path yang lurus antara minyak mentah

dan titik singgung kurva bimodal. Pendesakan akan menjadi FCM dengan komposisi

solvent pada titik singgung. Sekarang proses miscibility berkembang sejak solvent

telah diperkaya dengan komponen menengah untuk menjadi larut dengan minyak

mentah. Vaporizing gas drive terjadi di depan slug solvent. Proses ini disebut

vaporizing gas drive karena komponen menengah telah menguap dari minyak

mentah.

b. Condensing Gas Drive

Ketika gas diinjeksikan ke dalam minyak, minyak dan gas awalnya tak

bercampur. Multiple contact condesing drive akan terjadi ketika reservoir minyak di

sel tertentu bertemu dengan solvent baru. Sebuah miscible bank terbentuk melalui

kondensasi komponen menengah dari gas ke minyak. Kemudian proses yang sama

dengan vaporizing gas akan berkembang, dan minyak di belakang front menjadi

semakin ringan. Komposisi minyak berturut-turut terbentuk di belakang front akan

menempati volume yang lebih besar dalam pori-pori dari minyak asli karena terjadi

swelling. Hal ini kemudian akan mengarah untuk membentuk sebuah bank minyak

yang mobile di belakang zona gas.

Gambar 4.8. Multiple Contact Pada Condesing Gas Drive 7)

Proses ini ditunjukkan secara skematis pada gambar 4.8. dimana sel

pencampuran pertama terbagi menjadi L1 liquid dan gas G1. G1 gas bergerak ke sel

pencampuran berikutnya dan L1 liquid bercampur dengan fresh solvent untuk

membentuk campuran berikutnya, begitu seterusnya. Proses pencampuran pada

akhirnya akan menghasilkan campuran fase tunggal. Sejak fase gas sudah melewati

sel pertama, miscibility sekarang berkembang di belakang zona pencampuran solvent

– minyak sebagai hasil dari fase liquid yang diperkaya komponen menengah. Bagian

depan (front) zona pencampuran adalah wilayah tak bercampur dikarenakan

pengontakan terus – menerus pada fase gas G1, G2, dan sebagainya. Karena

komponen menengah mengembun menjadi fase cair, proses ini disebut condensing

gas drive.

4.5. Minimum Miscibility Pressure CO2

Bercampurnya dua fluida berarti keduanya bercampur secara proposional.

Apabila diinjeksikan solvent, maka solvent tersebut bercampur dengan minyak di

reservoir, keduanya menjadi satu fasa dan mengalir bersama di reservoir sebagai satu

fluida. Injeksi ini akan membuat permeabilitas relative tinggi, saturasi minyak tersisa

lebih sedikit, produktifitas lebih tinggi dan menghasilkan efisiensi pendesakan juga

tinggi.

Kondisi bercampur biasanya dapat diketahui dari hasil tes laboratorium tetapi

juga dapat diketahui dari berbagai korelasi. Korelasi tersebut meliputi perhitungan

minimum miscibility pressure (MMP) yang dimana memiliki efisiensi pendesakan

mencapai 90% dengan 1.0 – 1.2 pore volume dari solvent yang diinjeksikan.

Pada banyak kasus, estimasi nilai MMP lebih tinggi dibandingkan dengan

tekanan rekah yang diberikan formasi. Tetapi ada beberapa juga kondisi bercampur

didefinisikan sebagai tekanan minimum enrichment di bawah tekanan rekah formasi.

Dengan alasan bahwa apabila menginjeksi solvent sebesar 1.0 – 1.2 PV, secara

ekonomi costnya akan lebih mahal.

Dalam memprediksi MMP pendesakan CO2, korelasi yang digunakan

berdasarkan data eksperimen dari slim – tube, walaupun kondisi dan definisi

eksperimen MMP tidaklah sama pada semua kasus.

Holm & Josendal mengembangkan korelasi yang dimana MMP merupakan

fungsi dari temperature dan berat molekul C5+ dan mengembangkan korelasi miscible

CO2 terhadap densitas CO2.

Yellig & Metcalfe kemudian mengembangkan korelasi dari Holm & Josendal,

korelasi yang sangat sederhana dilihat pada gambar 4.11. MMP dikorelasikan sebagai

kurva tunggal sebagi fungsi dari temperature. Apabila bubble point pressure minyak

lebih besar dari pada kurva MMP, maka bubble point pressure diambil dari MMP.

Nilai ini sangat mungkin apabila dihubungkan dengan formasi dua fasa ketika

tekanannya berada di bawah bubble point pressure. Korelasi Yellig & Metcalfe

sangat cocok untuk pendesakan CO2 murni.

Kemudian Johnson & Pollin & Alston mengembangkan korelasi yang

merupakan nilai CO2 non-murni. Alston menerapkan korelasi MMP untuk CO2 murni

yaitu :

PCO 2=8.78× 10−4 (T )1.06¿¿ …………... (4-3)

Dimana :

Pco2 = MMP untuk injeksi CO2 murni

T = Temperatur reservoir

MwC5+ = Berat molekul fraksi C5+ pada minyak

Xvol = Fraksi mol dari komponen volatile minyak (C1 dan N2)

Xint = Fraksi mol dari komponen intermediate (C2–C4, CO2, H2S)

Untuk minyak yang mendekati dengan fraksi volatile dan komposisi

intermediate, factor koreksi ( XvolXint

)0.136

hampir mendekati satu.

Ketika injeksi CO2 yang terkontaminasi dengan komponen lain akan

mempengaruhi nilai MMP. Apabila ditambahkan C1 atau N2 sampai CO2, maka nilai

MMP akan meningkat. Dan bila ditambahkan C2, C3, C4 atau H2S akan mengurangi

nilai MMP. Kemudian Alston mengembangkan korelasi berdasarkan temperature

pseudocritical dari CO2 non-murni sebagai :

T ' cm=∑i=1

n

Xi . Tci−459.7 …………………………………… (4-4)

Dimana :

T’cm = Berat rata – rata pada temperature kritis

Xi = Fraksi massa dari komponen i

Tci = Temperatur kritis dari komponen i

Untuk komponen C1, C3, C4, CO2 dan N2, temperature kritis (Tci) merupakan

true critical temperature. Sedangkan untuk C2 & H2S, nilai true critical temperature

akan diganti dengan Tci = 585 oR.

Setiap korelasi berpatokan hanya pada hasil eksperimen, tiap crude oil yang

diuji menghasilkan data yang berbeda dan apabila dibandingkan dengan korelasi yang

lain akan menghasilkan deviasi. Sehingga untuk mendapatkan nilai MMP yang

akurat, harus dilakukan eksperimen menggunakan slim – tube apparatus.

Korelasi yang empiris juga berguna untuk mengindikasi kelakuan berbagai

parameter yang mempengaruhi MMP. Stalkup, Holm dan Josendal menyimpulkan

beberapa variable yang mempengaruhi nilai MMP, yaitu :

1. Dinamic miscibility terjadi ketika densitas CO2 cukup besar yaitu berupa gas

CO2 padat atau cairan CO2, larut dalam hidrokarbon C5 – C30. Pendesakan

bercampur terjadi saat densitas CO2 sebesar 0.4 – 0.65 g/cm3 tergantung dari

jumlah total hidrokarbon C5 – C30.

2. Temperatur reservoir merupakan variable yang sangat penting dalam

mempengaruhi MMP karena efek dari tekanan tertentu akan menghasilkan

densitas CO2 yang diperlukan untuk pendesakan. Temperatur yang tinggi

menghasilkan MMP yang tinggi pula.

3. Nilai MMP berkebalikan dengan jumlah total hidrokarbon C5 – C30 dalam

crude oil. Besarnya jumlah hidrokarbon di dalam crude tersebut, maka

menghasilkan nilai MMP rendah.

4. MMP juga dipengaruhi oleh distribusi berat molekul setiap individu

hidrokarbon C5 – C30. Rendahnya berat molekul menghasilkan nilai MMP

yang rendah.

5. Dynamic miscibility tidak terjadi pada hidrokarbon C2 – C4.

4.6. Desain Injeksi CO2

Dalam mendesain injeksi bercampur secara umum dapat disimpulkan :

1. Rumuskan model koseptual reservoir dari data geologi dan data reservoir

untuk digunakan dalam menyaring performa dan studi evaluasi.

2. Pilih contoh dari batuan dan fluida reservoir serta lakukan uji laboratorium.

3. Pilih solvent yang cocok (fluida pendesak) untuk menghasilkan kondisi

bercampur dengan reservoir minyak. Proses penyeleksian biasanya

berdasarkan komposisi dan sifat karakteristik fasa minyak reservoir, kelakuan

kondisi reservoir, dan factor – factor dalam perbandingan solvent.

4. Hitung kondisi minimum yang diperlukan untuk menghasilkan kondisi

bercampur antara solvent dan minyak reservoir. Estimasi awal dapat diperoleh

dari korelasi yang tersedia tetapi nilai akhir sebaiknya harus disesuaikan

dengan perhitungan laboratorium.

5. Pilih flood pattern yang tepat untuk mengimplementasi injeksi bercampur

pada lapangan. Proses seleksi biasanya didasari dari jumlah performa

optimum, efisiensi penyapuan areal dan vertical pada berbagai pattern,

heterogeneity reservoir, harga pengeboran sumur, dan pattern sumur yang

sudah ada di lapangan.

6. Estimasi recovery efficiency dari berbagai teknik implementasi dan rencana

pengembangan untuk digunakan dalam evaluasi performa keekonomian.

7. Perlunya mendesain fasilitas permukaan untuk meyediakan dan memaintain

laju injeksi dan kondisi MMP.

BAB V

PEMBAHASAN

Dalam menginjeksi CO2 dalam upaya peningkatan perolehan minyak, sangat

perlu untuk memperhatikan karakteristik dari reservoir tersebut, baik dari segi sifat

fisik batuan atau pun fluida sampai karakteristik dari solvent yang akan diinjeksikan.

Pada dasarnya, injeksi CO2 sangat efektif dibandingkan dengan injeksi gas

bercampur lainnya dikarenakan temperature kritis jauh lebih rendah, densitas dan

viskositasnya tinggi serta factor volume formasi relatif kecil dibandingkan dengan

gas injeksi bercampur lainnya.

Dilihat dari ternary diagram CO2, sifat dari sistem CO2 – crude sangat berbeda

dari pada system methane – crude oil dan nitrogen – crude oil. Daerah dua fasa dari

system CO2 – crude oil lebih kecil walaupun berada pada tekanan yang rendah dan

temperature yang tinggi. Oleh karena itu, CO2 bersifat miscible dengan komposisi

minyak pada tekanan tertentu dan temperature reservoir. Karena jumlahnya

berlimpah dan sangat mudah untuk ditangani, kebanyakan disarankan menggunakan

CO2 sebagai fluida pendesak yang miscible dibandingkan dengan gas pendesak yang

lainnya.

Metode injeksi bercampur terbagi atas injeksi gas hidrokarbon, injeksi

nitrogen, dan injeksi CO2. Dari beberapa jenis fluida injeksi bercampur, injeksi CO2

jauh lebih baik karena solubilitas CO2 dapat meningkatkan swelling, dan karena CO2

berupa gas yang nantinya mengurangi viskositas minyak sehingga minyak dapat naik

ke permukaan, selain itu injeksi CO2 dapat mengekstraksi komponen berat hingga

mencapai C30. Proses baur dengan reservoir minyak dapat dicapai pada tekanan 100 –

300 bar sehingga CO2 ini jauh lebih efektif dibanding injeksi gas bercampur lainnya.

Karena nilai MMP CO2 cukup kecil, maka proses baur antara solvent dan reservoir

minyak cepat terjadi sehingga dipredikasikan bahwa recovery yang dihasilkan juga

besar.

Selain itu, CO2 juga memiliki kekurangan diantaranya yaitu injeksi CO2

dibatasi oleh waktu karena sifat CO2 berupa gas sehingga memiliki rasio mobilitas

yang tinggi. Yang semakin lama, jumlah konsentrasi CO2 di reservoir semakin

berkurang dan mengakibatkan efisiensi pendesakan menurun. Dan apabila densitas

maupun viskositas dari CO2 yang injeksikan kecil, maka akan terjadi viscous

fingering dimana terjadi ketidakstabilan pendesakan oleh fluida yang memiliki

viskositas yang berbeda. Atau dengan kata lain, reservoir minyak yang bersifat lebih

viscous didesak oleh CO2 yang kurang viscous akibat dari proses baur sebelumnya

dan akan mengurangi efisiensi penyapuan secara volumetrik. Akibat dari viscous

fingering nantinya akan mempercepat proses abandon sumur karena menghasilkan

nilai recovery minyak yang kecil.

Atas dasar di atas, maka untuk mengoptimalkan kinerja dari injeksi CO2

dalam upaya meningkatkan cadangan minyak tersisa, perlu dilakukan kombinasi

yaitu proses water alternating gas (WAG). Tujuan dari injeksikannya air yaitu untuk

mengurangi permeabilitas relative CO2 dan juga mengurangi sifat mobilitas dari CO2

tersebut. Keberhasilan (optimum) dari WAG ini tergantung dari karakteristik aliran

fraksi dan kecepatan relative antara solvent yang diinjeksikan dengan mobile –

connate water banks yang berada direservoir.

Oleh sebab itu, perlu dilakukan uji laboratorium sebelum dipraktekkan di

lapangan. Uji laboratorium diperlukan untuk menentukan seberapa banyak (rasio)

CO2 yang diinjeksikan berdasarkan hasil dari uji nilai MMP sebelumnya.

BAB VI

KESIMPULAN

Nilai minimum miscibility pressure (MMP) tergantung karakteristik minyak

dari reservoir yang akan dilakukan injeksi.

MMP dipengaruhi oleh distribusi berat molekul setiap individu hidrokarbon

C5 – C30. Rendahnya berat molekul menghasilkan nilai MMP yang rendah.

Nilai MMP berkebalikan dengan jumlah total hidrokarbon C5 – C30 dalam

crude oil. Besarnya jumlah hidrokarbon di dalam crude tersebut, maka

menghasilkan nilai MMP rendah.

Nilai solubilitas CO2 pada fresh water lebih besar dibandingkan nilai

solubilitas di air asin. Namun, hal ini tergantung lagi dari tekanan dan

temperature reservoir.

Untuk mengurangi efek mobilitas dari CO2, maka dilakukan proses water –

alternating gas (WAG) sehingga hasil efisiensi penyapuan lebih besar.