emu

26
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA EMULSIFIKASI OLEH : I Putu Bagus Maha Paradipa (0808505001) Anggy Anggraeni Wahyudhie (0808505002) Ni Made Wiryatini (0808505003) Ni Ketut Melysa Cahyani (0808505004) Liana Dwi Anggraini (0808505005) Ni Putu Dian Priyatna Sari (0808505007) I Gusti Agung Suastika (0808505008) JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA BUKIT JIMBARAN 2009

description

emu

Transcript of emu

Page 1: emu

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

EMULSIFIKASI

OLEH :

I Putu Bagus Maha Paradipa (0808505001)

Anggy Anggraeni Wahyudhie (0808505002)

Ni Made Wiryatini (0808505003)

Ni Ketut Melysa Cahyani (0808505004)

Liana Dwi Anggraini (0808505005)

Ni Putu Dian Priyatna Sari (0808505007)

I Gusti Agung Suastika (0808505008)

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

BUKIT JIMBARAN

2009

Page 2: emu

PERCOBAAN 5

EMULSIFIKASI

I. Tujuan Percobaan

1. Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dalam

pembuatan emulsi

2. Membuat emulsi dengan menggunakan emulgator golongan surfaktan

3. Mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi

4. Menentukan HLB butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan emulsi

II. Dasar Teori

Emulsifikasi merupakan proses pembentukan emulsi pada suatu sediaan farmasi

(susanti.2008) . Terdapat beberapa pengertian tentang emulsi, yaitu :

i. Menurut FI III : 9

Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau cairan obat terdispersi

dalam cairan pembawa distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfaktan yang cocok.

ii. Menurut Parrot : 354

Emulsi adalah suatu sistem polifase dari 2 campuran yang tidak saling bercampur.

Salah satunya tersuspensi dengan bantuan emulgator keseluruh partikel lainnya.

Ukuran diameter partikelnya 0.2 – 50 m.

iii. Menurut Physical Pharmacy : 522

Emulsi adalah sistem yang tidak stabil secara termodinamika mengandung paling

sedikit dua fase cair yang tidak bercampur satu diantaranya terdispersi sebagai globul-

globul (fase pendispersi) dalam fase cair lainnya (fase kontinyu) distabilkan dengan

adanya bahan pengemulsi/emulgator.

iv. Menurut FI IV : 6

Emulsi adalah sistem dua fase dimana salah satu cairannya terdispersi dalam cairan

yang lain dalam bentuk tetesan-tetesan kecil.

v. Menurut Ensyclopedia : 138

Umumnya digambarkan sebagai sistem heterogen, terdiri dari dua cairan yang tidak

bercampur. Satu diantaranya didispersikan secara seragam sebagai tetesan kecil dalam

cairan lain.

Page 3: emu

vi. Menurut Formularium Nasional : 412

Emulsi adalah sediaan berupa campuran terdiri dari dua fase cairan dalam sistem

dispersi; yang satu terdispersi sangat halus dan merata dalam fase cairan lainnya;

umumnya dimantapkan dengan zat pengemulsi.

vii. Menurut DOM Martin : 508

Emulsi adalah sistem heterogen, terdiri dari kurang lebih satu cairan yang tidak

tercampurkan yang terdispersi dalam cairan lainnya dalam bentuk tetesan-tetesan di

mana diameternya kira-kira 0,1 mm atau dapat diartikan sebagai dua fase yang terdiri

dari satu cairan yang terdispersi dalam cairan lainnya yang tidak tercampurkan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Emulsi adalah suatu sistem heterogen yang tidak

stabil secara termodinamika, yang terdiri dari paling sedikit dua fase cairan yang tidak

bercampur, dimana salah satunya terdispersi dalam cairan lainnya dalam bentuk

tetesan–tetesan kecil, yang berukuran 0,1-100 mm, yang distabilkan dengan

emulgator/surfaktan yang cocok.

Baik fase terdispersi atau fase kontinu berkisar dalam konsistensi dari suatu

cairan mobil sampai suatu massa setengah padat (semisolid). Jadi sistem emulsi

berkisar dari cairan (lotio) yang mempunyai viskisitas relative rendah sampai salep

atau krim, yang merupakan semisolid. Diameter partikel dari fase terdispersi umumnya

berkisar dari 0,1-10 µm, walaupun partikel sekecil 0,01 µm dan sebesar 100 µm bukan

tidak biasa dalam beberapa sediaan. (Alfred Martin, 2008)

Komponen utama emulsi berupa fase disper (zat cair yang terbagi-bagi menjadi

butiran kecil kedalam zat cair lain (fase internal)); Fase kontinyu (zat cair yang

berfungsi sebagai bahan dasar (pendukung) dari emulsi tersebut (fase eksternal)); dan

Emulgator (zat yang digunakan dalam kestabilan emulsi). (Ansel, 1989).

Tidak ada teori emulsifikasi yang umum, karena emulsi dapat dibuat dengan

menggunakan beberapa tipe zat pengemulsi yang masing-masing berbeda bergantung

pada cara kerjanya dengan prinsip yang berbeda untuk mencapai suatu produk yang

stabil. Zat pengemulsi bisa dibagi menjadi 3 golongan sebagai berikut :

a) Zat-zat yang aktif pada permukaan yang teradsorpsi pada antarmuka minyak/air

membentuk lapisan monomolekular dan mengurangi tegangan antarmuka.

b) Koloid hidrofilik yang membentuk suatu lapisan multimolekular sekitar tetesan-

tetesan terdispers dari minyak dalam suatu emulsi o/w.

Page 4: emu

c) Partikel-partikel padat yang terbagi halus, yang diadsorpsi pada batas antarmuka

dua fase cair yang tidak bercampur dan membentuk suatu lapisan partikel di

sekitar bola-bola terdispers. (Tim penyusun, 2008)

Berdasarkan macam zat cair yang berfungsi sebagai fase internal ataupun

eksternal, maka emulsi digolongkan menjadi 2 : Emulsi yang mempunyai fase dalam

minyak dan fase luar air disebut emulsi minyak-dalam-air dan biasanya diberi tanda

sebagai emulsi “m/a”. Sebaliknya emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar

minyak disebut emulsi air-dalam-minyak dan dikenal sebagai emulsi ‘a/m”. Karena

fase luar dari suatu emulsi bersifat kontinu, suatu emulsi minyak dalam air diencerkan

atau ditambahkan dengan air atau suatu preparat dalam air. Umumnya untuk membuat

suatu emulsi yang stabil, perlu fase ketiga atau bagian dari emulsi, yakni: zat

pengemulsi (emulsifying egent). Tergantung pada konstituennya, viskositas emulsi

dapat sangat bervariasi dan emulsi farmasi bisa disiapkan sebagai cairan atau semisolid

(setengah padat) (Ansel, 1989).

Untuk membedakan tipe emulsi, dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara

lain

• Test Pengenceran Tetesan

Metode ini berdasarkan prinsip bahwa suatu emulsi akan bercampur dengan yang

menjadi fase luarnya. Misalnya suatu emulsi tipe m/a, maka emulsi ini akan mudah

diencerkan dengan penambahan air. Begitu pula sebaliknya dengan tipe a/m.

(Andre. 2009)

• Test Kelarutan Pewarna

Sejumlah kecil zat warna yang larut dalam air seperti biru metilen atau brilliant

blue FCF bisa ditaburkan pada permukaan emulsi. Jika air mearupakan rase luar,

ykni, jika emulsi tersebut bertipe o/w, zat tersebut akan melarut didalalmnya dan

berdifusi merata ke seluruh bagian dari air tersebut. Jika emulsi tersebut bertipe

w/o, partikel-partikel zat warna akan tinggal bergerombol pada permukaan. (Tim

penyusun, 2008)

• Test Creaming (Arah Pembentukan Krim)

Creaming adalah proses sedimentasi dari tetesan-tetesan terdispersi berdasarkan

densitas dari fase internal dan fase eksternal. Jika densitas relative dari kedua fase

diketahui, pembentukan arah krim dari fase dispersi dapat menunjukkan tipe

emulsi yang ada. Pada sebagian besar sistem farmasetik, densitas fase minyak atau

Page 5: emu

lemak kurang dibandingkan fase air; sehingga, jika terjadi krim pada bagian atas,

maka emulsi tersebut adalah tipe m/a, jika emulsi krim terjadi pada bagian bawah,

maka emulsi tersebut merupakan tipe a/m. (Andre. 2009)

• Test Konduktivitas Elektrik

Metode ini berdasarkan prinsip bahwa air atau larutan berair mampu

menghantarkan listrik, dan minyak tidak dapat menghantarkan listrik. Jika

sepasang elektroda yang dihubungkan dengan suatu sumber listrik luar dan

dicelupkan dalam emulsi. Jika fase luar adalah air, aliran listrik akan melalui

emulsi tersebut dan dapat dibuat untuk membelokkan jarum voltmeter atau

menyebabkan suatu cahaya dalam sirkuit berpijar. Jika minyak merupakan fase

kontinu, emulsi tersebut itdak dapat membawa arus listrik. (Tim penyusun, 2008)

• Test Fluoresensi

Sangat banyak minyak yang dapat berfluorosensi jika terpapar sinar ultra violet.

Jika setetes emulsi di uji dibawah paparan sinar ultra violet dan diamati dibawah

mikroskop menunjukkan seluruh daerah berfluorosensi maka tipe emulsi itu adalah

a/m, jika emulsi tipe m/a, maka fluorosensi hanya berupa noda. (Andre. 2009)

Zat pengemulsi (emulgator) merupakan komponen yang paling penting agar

memperoleh emulsa yang stabil. Zat pengemulsi adalah PGA, tragakan, gelatin, sapo

dan lain-lain. Emulsa dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu emulsi vera (emulsi

alam) dan emulsi spuria (emulsi buatan). Emulsi vera dibuat dari biji atau buah,

dimana terdapat disamping minyak lemak juga emulgator yang biasanya merupakan

zat seperti putih telur (Anief, 2000).

Pada pembuatan emulsi, surfaktan juga dapat digunakan sebagai emulgator. Jika

surfaktan yang digunakan sebagai emulgator maka dapat terbentuk suatu emulsi ganda

(multiple emulsion). Sistem ini merupakan jenis emulsi air-minyak-air atau sebaliknya.

Mekanisme kerja emulgator semacam ini berdasarkan atas kemampuannya

menurunkan tegangan permukaan air dan minyak serta membentuk lapisan

monomolecular pada permukaan globul fase terdispersi. (Tim Penyusun, 2009)

Secara kimia molekul surfaktan terdiri atas gugus polar dan non polar. Apabila

surfaktan dimasukkan ke dalam sistem yang terdiri dari air dan minyak, maka gugus

polar akan mengarah ke fase air sedangkan gugus non polar akan mengarah ke fase

minyak. Surfaktan yang didominasi gugus polar akan cenderung membentuk emulsi

Page 6: emu

minyak dalam air. Sedangkan jik amolekul surfaktan lebih didominasi gugus non polar

akan cenderung menghasilkan emulsi air dalam minyak. (Tim Penyusun, 2009)

Metode yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi surfaktan sebagai

emulgator adalah Metode HLB (hydrophilic-lipophilic balance). Griffin menyusun

suatu skala ukuran HLB surfaktan yang dapat digunakan menyusun daerah efisiensi

HLB optimum untuk setiap fungsi surfaktan. Semakin tinggi nilai HLB suatu

surfakatan, sifat kepolarannnya akan meningkat. Disamping itu, HLB butuh minyak

yang digunakan juga perlu diketahui. Pada umumnya nialai HLB butuh suatu minyak

adalah tetap untuk suatu emulsi tertentu dan nilai ini ditentukan berdasarkan

percobaan. Menurut Griffin, nilai HLB butuh setara dengan nilai HLB surfaktan yang

digunakan untuk mengemulsikan minyak dengan air sehingga membentuk suatu

emulsi yang stabil.(Tim Penyusun, 2009)

Untuk mengetahui proses terbentuknya emulsi dikenal 4 macam teori, yang

melihat proses terjadinya emulsi dari sudut pandang yang berbeda-beda. Teori tersebut

ialah :

1. Teori Tegangan Permukaan (Surface Tension)

Molekul memiliki daya tarik menarik antara molekul yang sejenis yang

disebut dengan daya kohesi. Selain itu molekul juga memiliki daya tarik menarik

antara molekul yang tidak sejenis yang disebut dengan daya adhesi.

Daya kohesi suatu zat selalu sama, sehingga pada permukaan suatu zat cair

akan terjadi perbedaan tegangan karena tidak adanya keseimbangan daya kohesi.

Tegangan yang terjadi pada permukaan tersebut dinamakan tegangan permukaan.

Dengan cara yang sama dapat dijelaskan terjadinya perbedaan tegangan

bidang batas dua cairan yang tidak dapat bercampur. Tegangan yang terjadi antara

dua cairan tersebut dinamakan tegangan bidang batas.

Semakin tinggi perbedaan tegangan yang terjadi pada bidang mengakibatkan

antara kedua zat cair itu semakin susah untuk bercampur. Tegangan yang terjadi

pada air akan bertambah dengan penambahan garam-garam anorganik atau

senyawa-senyawa elektrolit, tetapi akan berkurang dengan penambahan senyawa

organik tetentu antara lain sabun.

Didalam teori ini dikatakan bahwa penambahan emulgator akan menurunkan

dan menghilangkan tegangan permukaan yang terjadi pada bidang batas sehingga

antara kedua zat cair tersebut akan mudah bercampur. (Andre, 2009)

Page 7: emu

2. Teori Orientasi Bentuk Baji (Oriented Wedge)

Setiap molekul emulgator dibagi menjadi dua kelompok yakni :

• Kelompok hidrofilik, yakni bagian dari emulgator yang suka pada air.

• Kelompok lipofilik, yakni bagian yang suka pada minyak.

(Andre, 2009)

3. Teori Interparsial Film

Teori ini mengatakan bahwa emulgator akan diserap pada batas antara air dan

minyak, sehingga terbentuk lapisan film yang akan membungkus partikel fase

dispers. Dengan terbungkusnya partikel tersebut maka usaha antara partikel yang

sejenis untuk bergabung menjadi terhalang. Dengan kata lain fase dispers menjadi

stabil. Untuk memberikan stabilitas maksimum pada emulsi, syarat emulgator yang

dipakai adalah :

• Dapat membentuk lapisan film yang kuat tapi lunak.

• Jumlahnya cukup untuk menutup semua permukaan partikel fase

dispers.

• Dapat membentuk lapisan film dengan cepat dan dapat menutup semua

permukaan partikel dengan segera (Andre, 2009).

4. Teori Electric Double Layer (lapisan listrik ganda)

Jika minyak terdispersi kedalam air, satu lapis air yang langsung berhubungan

dengan permukaan minyak akan bermuatan sejenis, sedangkan lapisan berikutnya

akan bermuatan yang berlawanan dengan lapisan didepannya. Dengan demikian

seolah-olah tiap partikel minyak dilindungi oleh dua benteng lapisan listrik yang

saling berlawanan. Benteng tersebut akan menolak setiap usaha dari partikel

minyak yang akan menggandakan penggabungan menjadi satu molekul besar.

Karena susunan listrik yang menyelubungisesama partikel akan tolak menolak dan

stabilitas emulsi akan bertambah. Terjadinya muatan listrik disebabkan oleh salah

satu dari ketiga cara dibawah ini.

• Terjadinya ionisasi dari molekul pada permukaan partikel.

• Terjadinya absorpsi ion oleh partikel dari cairan disekitarnya.

• Terjadinya gesekan partikel dengan cairan disekitarnya (Andre, 2009).

Page 8: emu

Ada beberapa Metode yang biasa digunakan dalam pembuatan Emulsi

(Anonim c, 2009), yaitu :

a. Metode Gom Kering

Disebut pula metode continental dan metode 4;2;1. Emulsi dibuat dengan

jumlah komposisi minyak dengan ½ jumlah volume air dan ¼ jumlah

emulgator. Sehingga diperoleh perbandingan 4 bagian minyak, 2 bagian air dan

1 bagian emulgator. Pertama-tama gom didispersikan ke dalam minyak, lalu

ditambahkan air sekaligus dan diaduk /digerus dengan cepat dan searah hingga

terbentuk korpus emulsi.

b. Metode Gom Basah

Disebut pula sebagai metode Inggris, cocok untuk penyiapan emulsi dengan

musilago atau melarutkan gum sebagai emulgator, dan menggunakan

perbandingan 4;2;1 sama seperti metode gom kering. Metode ini dipilih jika

emulgator yang digunakan harus dilarutkan/didispersikan terlebuh dahulu

kedalam air misalnya metilselulosa. 1 bagian gom ditambahkan 2 bagian air lalu

diaduk, dan minyak ditambahkan sedikit demi sedikit sambil terus diaduk

dengan cepat.

c. Metode Botol

Disebut pula metode Forbes (1). Metode ini digunakan untuk emulsi dari

bahan-bahan menguap dan minyak-minyak dengan kekentalan yang rendah.

Metode ini merrupakan variasi dari metode gom kering atau metode gom basah.

Emulsi terutama dibuat dengan pengocokan kuat dan kemudian diencerkan

dengan fase luar.

Dalam botol kering, emulgator yang digunakan ¼ dari jumlah minyak (2).

Ditambahkan dua bagian air lalu dikocok kuat-kuat, suatu volume air yang sama

banyak dengan minyak ditambahkan sedikit demi sedikit sambil terus dikocok,

setelah emulsi utama terbentuk, dapat diencerkan dengan air sampai volume

yang tepat (1).

d. Metode Penyabunan In Situ

• Sabun Kalsium

Emulsi a/m yang terdiri dari campuran minyak sayur dan air jeruk,yang

dibuat dengan sederhana yaitu mencampurkan minyak dan air dalam jumlah

yang sama dan dikocok kuat-kuat. Bahan pengemulsi, terutama kalsium oleat,

Page 9: emu

dibentuk secara in situ disiapkan dari minyak sayur alami yang mengandung

asam lemak bebas.

• Sabun Lunak

Metode ini, basis di larutkan dalam fase air dan asam lemak dalam fase

minyak. Jika perlu, maka bahan dapat dilelehkan, komponen tersebut dapat

dipisahkan dalam dua gelas beker dan dipanaskan hingga meleleh, jika kedua

fase telah mencapai temperature yang sama, maka fase eksternal ditambahkan

kedalam fase internal dengan pengadukan.

• Pengemulsi Sintetik

Beberapa pustaka memasukkannya dalam kategori metode tambahan (1).

Secara umum, metode ini sama dengan metode penyabunan in situ dengan

menggunakan sabun lunak dengan perbedaan bahwa bahan pengemulsi

ditambahkan pada fase dimana ia dapat lebih melarut. Dengan perbandingan

untuk emulsifier 2-5%. Emulsifikasi tidak terjadi secepat metode

penyabunan. Beberapa tipe peralatan mekanik biasanya dibutuhkan, seperti

hand homogenizer.

Konsistensi emulsi sangat beragam, mulai dari cairan yang mudah dituang

hingga krim setengah padat. Umumnya krim minyak dalam air dibuat pada suhu

tinggi, berbentuk cair pada suhu ini, kemudian didinginkan pada suhu kamar, dan

menjadi padat akibat terjadinya solidifikasi fase internal. Dalam hal ini, tidak

diperlukan perbandingan volume fase internal terhadap volume fase eksternal yang

tinggi untuk menghasilkan sifat setengah padat, misalnya krim stearat atau krim

pembersih adalah setengah padat dengan fase internal hanya hanya 15%. Sifat

setengah padat emulsi air dalam minyak, biasanya diakibatkan oleh fase eksternal

setengah padat (Anonim b, 1995).

Penggunaan emulsi dibagi menjadi dua golongan yaitu emulsi untuk pemakaian

dalam dan emulsi untuk pemakaian luar. Emulsi untuk pemakaian dalam meliputi per

oral atau pada injeksi intravena sedangkan untuk pemakaian luar digunakan pada kulit

atau membrane mukosa yaitu linemen, losion, cream dan salep. (Anonim c, 2009)

Emulsi untuk penggunaan oral biasanya mempunyai tipe M/A. Emulgator

merupakan film penutup dari minyak obat agar menutupi rasa tak enak itu. Flavour

ditambahkan pada fase ekstern agara rasanya lebih enak. Emulsi juga berguna untuk

Page 10: emu

menaikan absorbsi lemak melalui dinding usus. Penggunaan emulsi untuk parenteral

dibutuhkan perhatian khusus dalam produksi seperti pemilihan emulgator, ukuran

kesamaan butir tetes untuk injeklsi intravena. Lecithin tidak pernah dipakai karena

menimbulkan hemolisa. Pembuatan emulsi untuk injeksi dilakukan dengan membuat

emulsi kasar lalu dimasukan homogenizer, di tampung dalam botol steril dan

disterilkan dalam auto klap dan di periksa sterilitas serta ukuran butir. (Anonim c,

2009)

Untuk pemakaian kulit dan membrane mukosa digunakan sediaan emulsi tipe

M/A atau A/M. emulsi obat dalam dasar salep dapat menurunkan kecepatan absorbsi

dan eksintensinya absorbsi melalui kulit dan membrana mukosa. Contoh: suspensi

efedrin dalam emulsi M/A bila dipakai pada mukosa hidung di absorbsi lebih lambat

si banding larutannya dalam minyak, jadi diperoleh prolonged action. (Anonim c,

2009)

Kemungkinan besar pertimbangan yang terpenting bagi emulsi di bidang

farmasi dan kosmetika adalah stabilitas dari produk jadi. Kestabilan dari emulsi

farmasi berciri tidak adanya penggabungan fase dalam, tidak adanya creaming, dan

memberikan penampilan, bau, warna dan sifat-sifat fisik lainnya yang baik. (Alfred

Martin, 2008).

Beberapa peneliti mendefinisikan ketidakstabilan suatu emulsi hanya dalam hal

terbentuknya penimbunan dari fase dalam dan pemisahannya dari produk. Creaming

yang diakibatkan oleh flokulasi dan konsentrasi bola-bola fase dalam, kadang-kadang

tidak dipertimbangkan sebagai suatu tanda ketidakstabilan. Tetapi suatu emulsi adalah

suatu sistem yang dinamis, dan flokulasi serta creaming yang dihasilkan

menggambarkan tahap-tahap potensial terhadap terjadinya penggabungan fase dalam

yang sempurna. Lebih-lebih lagi dalam hal emulsi farmasi creaming mengakibatkan

ketidakrataan dari distribusi obat dan, tanpa pengocokan yang sempurna sebelum

digunakan, berakibat terjadinya pemberian dosis yang berbeda. Tentunya bentuk

penampilan dari suatu emulsi dipengaruhi oleh creaming, dan ini benar-benar

merupakan suatu masalah nyata bagi pembuatannya jika terjadi pemisahan dari fase

dalam. (Alfred Martin, 2008).

Berdasarkan atas fenomena semacam itu, dikenal beberapa peristiwa

ketidakstabilan emulsi, yaitu:

Page 11: emu

a) Flokulasi dan creaming.

Flokulasi adalah suatu peristiwa terbentuknya kelompok-kelompok globul yang

posisinya tidak beraturan di dalam emulsi. Creaming adalah suatu peristiwa

terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang berbeda-beda di dalam emulsi.

Lapisan dengan konsentrasi paling pekat akan berada di sebelah atas atau bawah

tergantung dari bobot jenis. Tim Penyusun, 2009)

b) Koalesense dan Demulsifikasi

Peristiwa ini terjadi tidak semata-mata disebabkan oleh energy bebas permukaan,

tetapi disebabkan pula oleh ketidaksempurnaan lapisan globul. Koalesen adalah

peristiwa penggabungan globul-globul menjadi lebih besar. Sedangkan

Demulsifikasi adalah peristiwa yang disebabkan oleh terjadinya proses lanjut dari

koalesen. Kedua fase akhirnya terpisah kembali menjadi dua cairan yang tidak dapat

bercampur. Kedua peristiwa semacam ini emulsi tidak dapat diperbaiki kembali

melalui pengocokan. (Tim Penyusun, 2009)

Emulsi juga dapat mengalami ketidakstabilan jika mengalami hal-hal di bawah

ini:

• Peristiwa kimia, seperti penambahan alkohol, perubahan PH, penambahan CaO /

CaCL2 (Dinda,2008)

• Peristiwa fisika, seperti pemanasan, penyaringan, pendinginan dan pengadukan.

(Dinda,2008)

• Inversi yaitu peristiwa berubahnya sekonyong-konyong tipe emulsi W/O menjadi

O/W atau sebaliknya dan sifatnya irreversible. (Dinda,2008)

Zat Pengemulsi (Emulgator)

Emulsi merupakan suatu sistem yang tidak stabil. Untuk itu kita memerlukan suatu

zat penstabil yang disebut zat pengemulsi atau emulgator. Tanpa adanya emulgator, maka

emulsi akan segera pecah dan terpisah menjadi fase terdispersi dan medium pendispersinya,

yang ringan terapung di atas yang berat. Adanya penambahan emulgator dapat menstabilkan

suatu emulsi karena emulgator menurunkan tegangan permukaan secara bertahap. Adanya

penurunan tegangan permukaan secara bertahap akan menurunkan energi bebas yang

diperlukan untuk pembentukan emulsi menjadi semakin minimal. Artinya emulsi akan

menjadi stabil bila dilakukan penambahan emulgator yang berfungsi untuk menurunkan

energi bebas pembentukan emulsi semaksimal mungkin. Semakin rendah energi bebas

pembentukan emulsi maka emulsi akan semakin mudah terbentuk. Tegangan permukaan

Page 12: emu

menurun karena terjadi adsorpsi oleh emulgator pada permukaan cairan dengan bagian ujung

yang polar berada di air dan ujung hidrokarbon pada minyak (Ibnuhayyan, 2008).

Daya kerja emulgator disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat baik

dalam minyak maupun dalam air. Bila emulgator tersebut lebih terikat pada air atau larut

dalam zat yang polar maka akan lebih mudah terjadi emulsi minyak dalam air (M/A), dan

sebaliknya bila emulgator lebih larut dalam zat yang non polar, seperti minyak, maka akan

terjadi emulsi air dalam minyak (A/M). Emulgator membungkus butir-butir cairan terdispersi

dengan suatu lapisan tipis, sehingga butir-butir tersebut tidak dapat bergabung membentuk

fase kontiniyu. Bagian molekul emulgator yang non polar larut dalam lapisan luar butir-butir

lemak sedangkan bagian yang polar menghadap ke pelarut air ( Ibnuhayyan, 2008 ).

Pada beberapa proses, emulsi harus dipecahkan. Namun ada proses dimana emulsi harus

dijaga agar tidak terjadi pemecahan emulsi. Zat pengemulsi atau emulgator juga dikenal

sebagai koloid pelindung, yang dapat mencegah terjadinya proses pemecahan emulsi,

contohnya:Gelatin, digunakan pada pembuatan es krim; Sabun dan deterjen; Protein; Cat dan

tinta; Elektrolit ( Ibnuhayyan, 2008 ).

Kestabilan Emulsi

Bila dua larutan murni yang tidak saling campur/ larut seperti minyak dan air,

dicampurkan, lalu dikocok kuat-kuat, maka keduanya akan membentuk sistem dispersi yang

disebut emulsi. Secara fisik terlihat seolah-olah salah satu fasa berada di sebelah dalam fasa

yang lainnya. Bila proses pengocokkan dihentikan, maka dengan sangat cepat akan terjadi

pemisahan kembali, sehingga kondisi emulsi yang sesungguhnya muncul dan teramati pada

sistem dispersi terjadi dalam waktu yang sangat singkat ( Ibnuhayyan, 2008 ).

Kestabilan emulsi ditentukan oleh dua gaya, yaitu:

1. Gaya tarik-menarik yang dikenal dengan gaya London-Van Der Waals. Gaya ini

menyebabkan partikel-partikel koloid berkumpul membentuk agregat dan

mengendap.

2. Gaya tolak-menolak yang disebabkan oleh pertumpang-tindihan lapisan ganda

elektrik yang bermuatan sama. Gaya ini akan menstabilkan dispersi koloid.

Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi, adalah:

1. Tegangan antar muka rendah

2. Kekuatan mekanik dan elastisitas lapisan antarmuka

3. Tolakkan listrik double layer

Page 13: emu

4. Relatifitas phase pendispersi kecil

5. Viskositas tinggi.

Penerapan di Bidang Farmasi

Suatu emulsi o/w merupakan suatu cara pemberian oral yang baik untuk cairan-cairan

yang tidak larut dalam air, terutama jika fase terdispers mempunyai fase yang tidak enak.

Yang lebih bermakna dalam farmasi masa kini adalah pengamatan tentang beberapa senyawa

yang larut dalam lemak, seperti vitamin, diabsorpsi lebih sempurna jika diemulsikan daripada

jika diberikan peroral dalam suatu larutan berminyak. Penggunaan emulsi intravena telah

diteliti sebagai suatu cara untuk melawan pasien yang lemah yang tidak bisa menerima obat-

obat yang diberikan secara oral. Emulsi radiopaque telah ditemukan untuk penggunaan

sebagai zat diagnostic untuk pengujian sinar X. Emulsifikasi secara luas digunakan dalam

produk farmasi dan kosmetik untuk pemakaian luar. Terutama untuk lotion dermatologik dan

lotion kosmetik serta krem karena dikehendakinya suatu produk yang menyebar dengan

mudah dan sempurna pada areal dimana ia digunakan. Sekarang produk semacam itu bisa

diformulasikan menjadi dapat tercuci air dan tidak berkarat. Produk seperti itu jelas lebih

diterima bagi pasien dan dokter daripada produk berlemak yang digunakan satu atau

beberapa abad yang lalu. Emulsifikasi digunakan dalam produk aerosol untuk menghasilkan

busa. Porpelan yang membentuk fase cair terdispers di dalam wadah menguap bila emulsi

tersebut dikeluarkan dari wadahnya. Ini menghasilkan pembentukan busa ( Alfred

Martin,dkk, 1990).

III. Alat Dan Bahan

Page 14: emu

A. Alat :

- Pipet tetes

- Gelas Ukur

- Tabung raksi

- Gelas Beaker

- Tangas Air

- Pengaduk elektrik

- Tabung sedimentasi

- Alat tulis

B. Bahan :

- Tween

- Gliserin

- Minyak Kelapa

- Air

IV. Cara Kerja

A. Perhitungan awal

/R Minyak 10 gram

TweenTotal = 3

gramSpanAir Ad 50 gram

Di laboratorium tidak tersedia emulgator Span, oleh kerena itu Span diganti dengan

gliserin yang memiliki nilai HLB 3,8. Perhitungan penimbangan menjadi :

• Perhitungan 1 (untuk HLB butuh minyak = 5)

Misalkan jumlah Tween yang dibutuhkan adalah a gram maka jumlah gliserin

yang dibutuhkan adalah (3 – a) gram. Sehingga perhitungannya menjadi :

(a × 15) + { (3 – a) × 3,8} = 3 × 5

15a + 11,4 - 3,8a = 15

11,2 a = 15 – 11,4

11,2 a = 3,6

a = 0,3214

Page 15: emu

Jadi jumlah Tween yang diperlukan adalaj 0,3214 gram dan jumlah gliserin

yang dibutuhkan adalah (3 – 0,3214) gram yaitu 2,6786 gram.

Dengan cara menghitung yang sama, untuk nilai HLB butuh minyak

berikutnya diperoleh data sebagai berikut :

No HLB Jumlah Tween (gr) Jumlah Gliserin (gr)1 5 0,3214 2,67862 6 0,5893 2,41073 7 0,8571 2,14294 8 1,1250 1,87505 9 1,3928 1,60726 10 1,6607 1,33937 11 1,9286 1,07148 12 2,1964 0,80369 13 2,4643 0,5357

B. Cara kerja

Dihitung jumlah tween dan gliserin yang dibutuhkan untuk

setiap nilai HLB.

Ditimbang masing-masing minyak, air, Tween, dan gliserin yang

dibutuhkan

Minyak dicampur dengan gliserin

Air dicampur dengan Tween.

Keduanya dipanaskan di atas tangas air pada suhu 60°C

Campuran air ditambahkan ke dalam campuran minyak dan

segera diaduk dengan pengaduk elektrik selama 5 menit.

Page 16: emu

Emulsi dimasukkan ke dalam tabung sedimentasi dan diberi

tanda sesuai dengan nilai HLB masing-masing.

Tinggi emulsi dalam tabung diusahakan sama dan dicatat waktu

mulai memasukkan emulsi ke dalam tabung.

Diamati jenis kestabilan emulsi yang terjadi selama 6 hari. Bila

terjadi creaming, diukur tinggi emulsi yang membentuk cream.

Ditentukan pada nilai HLB berapa emulsi tampak relatif paling

stabil.

V. Hasil

Hasil

Dari pengukuran creaming yang telah dilakukan selama 5 hari setelah

pembentukan emulsi, diperoleh data sebagai berikut

HLB

Tinggi Creaming (cm)

Hari ke-0

(Senin)

Hari ke-1

(Selasa)

Hari ke-2

(Rabu)

Hari ke-3

(Kamis)

Hari ke-4

(Jumat)

5 2,5 2,5 2,5 2,4 2,2

6 2,9 2,8 2,7 2,7 2,5

7 2,5 2,3 2,3 2,2 2,0

Page 17: emu

8 3,3 3,2 3,2 3,2 3,0

9 3,1 3,0 2,9 2,9 2,5

10 3,9 3,8 3,5 3,5 3,2

11 3,4 3,0 2,4 2,2 1,9

12 3,0 2,8 2,5 2,1 1,6

13 2,4 2,1 1,9 1,9 1,8

VI. Pembahasan

Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan emulsifikasi. Percobaan ini bertujuan

agar mahasiswa mampu menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang

digunakan dalam pembuatan emulsi, membuat emulsi dengan menggunakan emulgator

golongan surfaktan, mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi dan menentukan HLB

butuh minyak yang digunkan dalam opembuatan emulsi.

Emulsi adalah suatu sistem dispersi yang secara termodinamik tidak stabil, terdiri

dari paling sedikit dua cairan yang tidak bercampur dan satu diantaranya terdispersi

sebagai globul-globul dalam cairan lainnya. (Tim Penyusun, 2009). Emulsi yang akan

dibuat pada percobaan ini adalah emulsi minyak dalam air. Kestabilan emulsi tergantung

dari emulgator yang digunakan. Creaming merupakan salah satu bentuk ketidakstabilan

emulsi yang akan diamati pada percobaan ini. Creaming merupakan suatu peristiwa

terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang berbeda-beda di dalam emulsi.

Lapisan dengan konsentrasi paling pekat akan berada di sebelah atas atau bawah

tergantung dari bobot jenis fase.

Pada percobaan emulsifikasi ini akan dibuat satu seri emulsi dengan nilai HLB

butuh masing-masing 5,6,7,8,9,10,11,12 dan 13. Bahan yang digunakan adalah minyak

dan air, sedangkan untuk emulgator digunakan emulgator kombinasi surfaktan yaitu

Tween 80 dan gliserin.

Proses pengerjaan diawali dengan menghitung jumlah Tween 80 dan gliserin yang

dibutuhkan untuk setiap nilai HLB butuh mulai dari HLB butuh 5 sampai HLB 13. Dari

Page 18: emu

hasil perhitungan diperoleh jumlah Tween 80 dan gliserin yang dibutuhkan adalah

sebagai berikut.

HLB Tween 80 (gram) Gliserin (gram)

5 0.32 2.68

6 0.59 2.41

7 0.86 2.14

8 1.125 1.875

9 1.393 1.607

10 1.661 1.339

11 1.928 1.072

12 2.196 0.804

13 2.464 0.536

Setelah mengetahui jumlah masing-masing Tween 80 dan gliserin yang

digunakan, praktikan kemudian membuat emulsi untuk masing-masing nilai HLB butuh.

Pertama-tama dilakukan penimbangan seluruh bahan sejumlah yang dibutuhkan.

Kemudian minyak dicampurkan dengan gliserin dan ditempatkan dalam Erlenmeyer 50

mL. Minyak dicampur dengan gliserin karena gliserin bersifat non polar, hal ini dapat

diketahui dari nilai HLB gliserin yang relative rendah yaitu 3,8 sehingga sesuai dengan

sifat minyak yang nonpolar. Selanjutnya, air dicampurkan dengan Tween 80 dan

ditempatkan dalam dalam Erlenmeyer yang lain. Air yang digunakan adalah sebanyak 37

mL. Perhitungan jumlah air yang dibutuhkan adalah :

Air = 50 gram – (10 gram minyak + 3 gram emulgator)

= 37 gram

Karena berat jenis air adalah 1 gram/mL jadi volume air yang ditambahkan adalah :

Volume air = ρm

Page 19: emu

= mL

ggram

1

37

= 37 mL

Pencampuran Tween 80 dengan air karena nilai HLB Tween 80 relatif tinggi yaitu

sebesar 15. Nilai HLB yang tinggi menunjukkan bahwa Tween 80 bersifat polar sehingga

dapat bercampur dengan air yang bersifat polar. Kedua erlenmeyer yang telah berisi

campuran tersebut kemudian dipanaskan di atas penangas air pada suhu 60o C selama 30

menit. Setelah dipanaskan, campuran minyak dimasukkan ke dalam campuran air dan

diaduk menggunakan pengaduk elektrik berupa besi magnet selama 5 menit dengan

kecepatan 500 rpm. Pengaduk elektrik digunakan untuk pengadukan campuran karena

pengaduk elektrik dapat mengaduk dengan kecepatan yang sangat tinggi dimana pada

pembuatan emulsi ini diperlukan pengadukan dengan kecepatan tinggi agar fase

terdispersi tidak menyatu lagi sehingga terbentuk emulsi yang baik. Pada saat peletakan

besi magnet ke dalam campuran diharapkan besi magnet terletak di tengah-tengah agar

proses pengadukan merata pada seluruh bagian campuran.

Terbentuknya emulsi ditandai dengan berubahnya warna campuran menjadi putih

susu. Setelah 5 menit emulsi yang terbentuk diangkat dari penangas dan dimasukkan ke

dalam tabung sedimentasi dan diberi tanda sesuai dengan nilai HLB-nya. Tinggi emulsi

dalam tabung diusahakan sama agar mempermudah dalam membandingkan kestabilan

dari tiap emulsi. Selanjutnya, diamati ketidakstabilan emulsi yang terjadi selama 5 hari.

Dari hasil pengamatan, setelah emulsi dipindahkan ke dalam tabung sedimentasi

semua emulsi mengalami creaming. Terbentuknya creaming menandakan emulsi yang

terbentuk tidak stabil. Creaming yang terbentuk mengarah ke atas. Dari hasil pengukuran

tinggi creaming pada saat hari ke-0 atau hari pelaksanaan praktikum, diperoleh data

sebagai berikut.

HLB Tinggi Creaming (cm)

5 2,5

6 2,9

7 2,5

Page 20: emu

8 3,3

9 3,1

10 3,9

11 3,4

12 3,0

13 2,4

Dari data pada tabel di atas terlihat bahwa semua HLB mengalami creaming

sehingga dapat dikatakan tidak ada yang stabil. Tinggi creaming pada emulsi dengan

HLB 10 jauh lebih tinggi dibandingkan tinggi creaming pada emulsi lainnya. Hal ini

menunjukkan bahwa emulsi minyak kelapa dengan air pada HLB 10 paling tidak stabil

jika dibandingkan dengan emulsi pada HLB lainnya.

Pengamatan pada hari-hari berikutnya menunjukkan bahwa semua emulsi

mengalami creaming. Tinggi creaming yang terjadi pada masing-masing emulsi

berbeda setiap harinya. Tinggi creaming yang terjadi dari awal pengamatan sampai

hari ke-5 dapat dilihat pada tabel berikut.

HLB

Tinggi Creaming (cm)

Hari ke-0

(Senin)

Hari ke-1

(Selasa)

Hari ke-2

(Rabu)

Hari ke-3

(Kamis)

Hari ke-4

(Jumat)

5 2,5 2,5 2,5 2,4 2,2

6 2,9 2,8 2,7 2,7 2,5

7 2,5 2,3 2,3 2,2 2,0

8 3,3 3,2 3,2 3,2 3,0

9 3,1 3,0 2,9 2,9 2,5

10 3,9 3,8 3,5 3,5 3,2

11 3,4 3,0 2,4 2,2 1,9

12 3,0 2,8 2,5 2,1 1,6

13 2,4 2,1 1,9 1,9 1,8

Page 21: emu

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa semua emulsi yang dibuat ternyata tidak

stabil karena terjadi creming pada semua tabung sedimentasi. Walaupun oleh beberapa

peneliti creaming tidak dipertimbangkan sebagai ketidakstabilan, namun creaming

berpotensi terhadap terjadinya penggabungan fase dalam yang sempurna. Jadi,

semakin tinggi creaming yang terjadi, semakin besar pula potensi fase dalam untuk

bergabung secara sempurna.

Dari data di atas yang terlihat dapat juga dijelaskan secara lebih terperinci satu

per satu dimulai dari emulsi I dengan nilai HLB 5 yang mengalami penurunan tinggi

emulsi dalam tabung sedimentasi pada hari ketiga yaitu dari 2,5 cm menjadi 2,4 cm

dan pada hari keempat juga terjadi penurunan tinggi emulsi dalam tabung sedimentasi

menjadi 2,2 cm. Dari hari ke-0 sampai hari kedua tinggi emulsi dalam tabung

sedimentasi tetap yaitu 2,5 cm, hal ini menunjukkan bahwa pada emulsi tidak lagi

terjadi proses creaming ke bawah.. Adapun creaming yang terbentuk pada emulsi I ini

mengarah ke bawah ( kecepatan sedimentasi positif ) yang ditandai dengan

menurunnya tinggi emulsi dalam tabung dan disebabkan oleh kerapatan fase

terdispersi ( dalam hal ini minyak ) yang lebih besar daripada kerapatan air sehingga

endapan cenderung bergerak ke bawah. Pada emulsi I dengan nilai HLB 5 ini, energi

bebas permukaan yang dihasilkan oleh proses creaming relatif rendah karena endapan

cenderung bergerak ke bawah mendekati fase emulsi. Oleh karena itu, ketidakstabilan

emulsi yang disebabkan oleh proses creaming ini dapat segera dikembalikan dalam

bentuk kestabilannya dengan pengocokan yang tidak terlalu kuat ( emulsi cenderung

stabil ).

Pada emulsi II dengan nilai HLB 6, mengalami peristiwa yang sama dengan

emulsi I yang memiliki nilai HLB 5 yaitu mengalami penurunan tinggi creaming

dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi II ini penurunan tinggi creaming terjadi pada

hari pertama yaitu dari 2,9 cm menjadi 2,8 cm, hari kedua terjadi penurunan tinggi

emulsi dalam tabung sedimentasi dari 2,8 cm menjadi 2,7 cm, dan pada hari keempat

juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 2,7 cm menjadi 2,5 cm . Dari hari ke-2

sampai hari ke-3 tinggi emulsi dalam tabung sedimentasi tetap yaitu 2,7 cm, hal ini

menunjukkan bahwa pada emulsi dengan HLB 6 sama dengan emulsi pada HLB 5

Page 22: emu

yaitu emulsi tidak lagi terjadi proses creaming ke bawah.. Adapun creaming yang

terbentuk pada emulsi I ini mengarah ke bawah ( kecepatan sedimentasi positif ) yang

ditandai dengan menurunnya tinggi emulsi dalam tabung dan disebabkan oleh

kerapatan fase terdispersi ( dalam hal ini minyak ) yang lebih besar daripada

kerapatan air sehingga endapan cenderung bergerak ke bawah.

Pada emulsi III dengan nilai HLB 7, mengalami penurunan tinggi creaming

dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi III ini penurunan tinggi creaming terjadi pada

hari pertama yaitu dari 2,5 cm menjadi 2,3 cm, hari ketiga terjadi penurunan tinggi

emulsi dalam tabung sedimentasi dari 2,3 cm menjadi 2,2 cm, dan pada hari keempat

juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 2,2 cm menjadi 2,0 cm . Dari hari ke-1

sampai hari ke-2 tinggi creaming dalam tabung sedimentasi tetap yaitu 2,3 cm.

Pada emulsi IV dengan nilai HLB 8, mengalami penurunan tinggi creaming

dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi IV ini penurunan tinggi creaming terjadi pada

hari pertama yaitu dari 3,3 cm menjadi 3,2 cm, dan pada hari keempat juga terjadi

penurunan tinggi creaming dari 3,2 cm menjadi 3,0 cm . Dari hari ke-1 sampai hari

ke-3 tinggi creaming dalam tabung sedimentasi tetap yaitu 3,2 cm.

Pada emulsi V dengan nilai HLB 9, mengalami penurunan tinggi creaming

dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi V ini penurunan tinggi creaming terjadi pada

hari pertama yaitu dari 3,1 cm menjadi 3,0 cm, pada hari kedua dari 3,0 cm menjadi

2,9 cm dan pada hari keempat juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 2,9 cm

menjadi 2,5 cm . Dari hari ke-2 sampai hari ke-3 tinggi creaming dalam tabung

sedimentasi tetap yaitu 2,9 cm.

Pada emulsi VI dengan nilai HLB 10, mengalami penurunan tinggi creaming

dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi VI ini penurunan tinggi creaming terjadi pada

hari pertama yaitu dari 3,9 cm menjadi 3,8 cm, pada hari kedua dari 3,8 cm menjadi

3,5 cm dan pada hari keempat juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 3,5 cm

menjadi 3,2 cm . Dari hari ke-2 sampai hari ke-3 tinggi creaming dalam tabung

sedimentasi tetap yaitu 3,5 cm.

Pada emulsi VII dengan nilai HLB 11, mengalami penurunan tinggi creaming

dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi VII ini penurunan tinggi creaming terjadi

pada hari pertama yaitu dari 3,4 cm menjadi 3,0 cm, pada hari kedua dari 3,0 cm

menjadi 2,4 cm, pada hari ketiga dari 2,4 cm menjadi 2,2 cm dan pada hari keempat

juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 2,2 cm menjadi 1,9 cm. Pada emulsi

Page 23: emu

dengan HLB 11 ini tidak ada tinggi creaming yang tetap, setiap hari mengalami

perubahan tinggi creaming.

Pada emulsi VIII dengan nilai HLB 12, mengalami penurunan tinggi creaming

dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi VIII ini penurunan tinggi creaming terjadi

pada hari pertama yaitu dari 3,0 cm menjadi 2,8 cm, pada hari kedua dari 2,8 cm

menjadi 2,5 cm, pada hari ketiga dari 2,5 cm menjadi 2,1 cm dan pada hari keempat

juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 2,1 cm menjadi 1,6 cm. Pada emulsi

dengan HLB 12 ini tidak ada tinggi creaming yang tetap, setiap hari mengalami

perubahan tinggi creaming.

Pada emulsi IX dengan nilai HLB 13, mengalami penurunan tinggi creaming

dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi IX ini penurunan tinggi creaming terjadi pada

hari pertama yaitu dari 2,4 cm menjadi 2,1 cm, pada hari kedua dari 2,1 cm menjadi

1,9 cm dan pada hari keempat juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 1,9 cm

menjadi 1,8 cm . Dari hari ke-2 sampai hari ke-3 tinggi creaming dalam tabung

sedimentasi tetap yaitu 1,9 cm.

Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa, emulsi dengan nilai HLB 5, 6, dan 8

merupakan emulsi yang paling stabil karena memiliki laju creaming yang sangat kecil

sehingga tinggi creaming tidak berubah dalam beberapa hari. Sedangkan untuk emulsi

dengan nilai HLB 10,11,dan 12 merupakan emulsi yang paling tidak stabil karena

memiliki laju creaming yang sangat besar, karena sebagian besar terjadi perubahan

tinggi creaming setiap harinya. Namun jika dibandingkan antara emulsi dengan nilai

HLB 10,11,dan 12, yang paling tidak stabil adalah emulsi dengan HLB 11, sebab laju

penurunan creamingnya amat cepat dari tinggi creaming di hari percobaan sebesar 3,4

cm menjadi 1,9 cm di hari pengamatan keempat.

Jadi bila diurut, laju kestabilan emulsi dari kesembilan sample emulsi adalah

sebagai berikut

Emulsi I < Emulsi IV < Emulsi II < Emulsi III < Emulsi V < Emulsi IX < Emulsi VI <

Emulsi VIII < Emulsi VII

Walaupun emulsi I memiliki selisih tinggi creaming awal percobaan dengan

tinggi akhir hasil pengamatan hari ke-4 yang sama yaitu 0,3 cm, tetapi laju emulsi I

lebih kecil daripada laju emulsi IV dengan kata lain emulsi I lebih stabil daripada

emulsi IV, sebab tinggi creaming pada emulsi I tidak mengalami perubahan atau tetap

Page 24: emu

pada hari ke-0 hingga hari ke-2,sedangkan pada emulsi IV terjadi perubahan creaming

pada harike-1 baru kemudian konstan hingga hari ke-3 dan mengalami lagi penurunan

pada hari ke-4.

Ketidakstabilan emulsi dapat terjadi karena penggunaan emulgator yang tidak

sesuai, selain itu penurunan suhu yang tiba-tiba dapat menyebabkan emulsi menjadi

tidak stabil. Penambahan air secara langsung dalam campuran juga mempengaruhi

pembentukan emulsi yang tidak stabil.

• Pengaruh emulgator yang tidak sesuai

Setiap senyawa memiliki karakteristik tertentu dalam suatu emulgator. Dalam

hal ini minyak dengan air, dan emulgator yang dipakai adalah gliserin dan tween 80.

Saat praktikum terjadi penggantian emulgator yang sebelumnya menggunakan span

kemudian diganti dengan giserin. Hasil yang maksimal dalam emulsifikasi ini apabila

minyak dicampur dengan span, tetapi secara farmasi fisik gliserin tidak berbeda jauh

dengan span walaupun tidak maksimal.

• Pengaruh suhu

Dalam proses emulsifikasi ini terjadi kesalahan persepsi dimana saat proses

pengadukan berakhir emulsi langsung dituangkan ke dalam tabung sedimentasi.

Seharusnya suhu dituhunkan secara perlahan – lahan, baru dimasukkan ke dalam

tebung sedimentasi.

• Penambahan air

Saat penambahan air ke dalam gliserin harus dilakukan sedikit demi sedikit

agar air yang diaduk nanti lebih merata, namun dalam praktikum ini air langsung

dicampur ke dalam gliserin. Hal ini dapat menyebabkan gliserin sedikit menggumpal

dan distribusinya tidak merata.

VII. Kesimpulan

1. Emulsi adalah suatu sistem dispersi yang secara termodinamika tidak stabil, terdiri

dari paling sedikit dua cairan yang tidak bercampur dan satu diantaranya terdispersi

sebagai globul-globul dalam cairan lainnya. Sistem ini umumnya distabilkan dengan

emulgator.

2. Creaming adalah suatu peristiwa terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang

berbeda-beda di dalam emulsi.

Page 25: emu

3. Emulsi dengan bahan air dan minyak kelapa menggunakan emulgator Tween dan

gliserin dengan HLB 5,6,7,8,9,10,11,12, dan 13 tidak stabil karena mengalami

creaming, dimana creaming yang terbentuk mengarah ke atas.

4. Diantara emulsi-emulsi yang diamati, emulsi yang paling tidak stabil adalah emulsi

dengan HLB 11, sebab laju penurunan creamingnya amat cepat dari tinggi creaming

di hari percobaan sebesar 3,4 cm menjadi 1,9 cm di hari pengamatan keempat.

5. Diantara emulsi-emulsi yang diamati, emulsi yang paling stabil adalah emulsi

dengan HLB 5, emulsi IV, sebab tinggi creaming pada emulsi dengan HLB 5 tidak

mengalami perubahan atau tetap pada hari ke-0 hingga hari ke-2.

6. Ketidakstabilan emulsi dapat terjadi karena penggunaan emulgator yang tidak

sesuai, selain itu penurunan suhu yang tiba-tiba dapat menyebabkan emulsi menjadi

tidak stabil. Penambahan air secara langsung dalam campuran juga mempengaruhi

pembentukan emulsi yang tidak stabil.

DAFTAR PUSTAKA

Andre. 2009. Tugas Kuliah (Emulsi dan Suspensi)Available at : http://andre774158.wordpress.com/Opened at : 29 November 2009

Anief. Moh. 2000. Farmasetika. Gajah Mada University Press : Yogyakarta

Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktek. Yogjakarta : Gadjah Mada University Press

Anonim a. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen kesehatan RI

Anonim b. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Anonim c. 2009, Emulsi Available at : http://www.perfspot.com/

Page 26: emu

Opened at : 28 november 2009

Anonim d.2008. Sifat-Sifat Koloid-EmulsiAvailable at : http://kimia.upi.edu/Opened at : 28 november 2009

Anonim e. 2009. Emulsi _ BLoG kiTa Available at : http://blogkita.info/Opened at : 28 November 2009

Ansel, Howard C, 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Jakarta : Universitas Indonesia Press

Dinda. 2008. EmulsiAvailable at : http://medicafarma.blogspot.com/Opened at : 27 November 2009

Ibnuhayyan. 2008. EmulsiAvailable at : http://ibnuhayyan.wordpress.com/Opened at : 28 november 2009

Tim Penyusun. 2008. Buku Ajar Farmasi Fisik. Bukit Jimbaran : Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana

Tim Penyusun. 2009. Petunjuk Praktikum Farmasi Fisik. Bukit Jimbaran : Laboratorium Farmasi Fisik, Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana