Empat pilar

16
Empat Pilar Semangat Kebangsaan Taufik Kiemas Written by Teddy Wibisana Sun,09 June 2013 | 20:07 Print Email Twitter Facebook google+ Siapa pun yang memiliki kepedulian terhadap masa depan bangsa, akan prihatin dengan situasi kebangsaan yang ada sekarang. Situasi yang dapat merusak kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk Taufiq Kiemas. Sejumlah warga tampak melakukan akitivitas ibadah di depan istana kepresidenan. Foto: Antara Oleh: Teddy Wibisana* Pejuang dan pekerja keras adalah dua kesan utama yang saya tangkap dari perjalanan hidup alamarhum Taufiq Kiemas. Pernah dua kali dipenjara (Maret 1966 di Palembang dan tahun 1967 di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo Jakarta) dan menyelesaikan perjalanan dinasnya ke Ende bersama Wapres Boediono sebelum beliau meninggal setelah sempat dirawat di rumah sakit selama 4 hari, menjadi bukti dari kesan yang saya tangkap tersebut. Tiga Hal Penting

Transcript of Empat pilar

Page 1: Empat pilar

Empat Pilar – Semangat Kebangsaan Taufik Kiemas

Written by Teddy Wibisana

Sun,09 June 2013 | 20:07 Print Email

Twitter

Facebook google+

Siapa pun yang memiliki

kepedulian terhadap masa depan bangsa, akan prihatin dengan situasi kebangsaan yang ada sekarang. Situasi yang dapat merusak kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk Taufiq Kiemas. Sejumlah warga tampak melakukan akitivitas ibadah di depan istana

kepresidenan. Foto: Antara

Oleh: Teddy Wibisana*

Pejuang dan pekerja keras adalah dua kesan utama yang saya tangkap dari perjalanan hidup alamarhum Taufiq Kiemas. Pernah dua kali dipenjara (Maret 1966 di Palembang dan tahun 1967 di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo Jakarta) dan menyelesaikan perjalanan dinasnya ke Ende bersama Wapres

Boediono sebelum beliau meninggal setelah sempat dirawat di rumah sakit selama 4 hari, menjadi bukti dari kesan yang saya tangkap tersebut.

Tiga Hal Penting

Page 2: Empat pilar

Perjuangan almarhum tidak berhenti setelah keluar penjara atau sampai akhir masa Orde Baru saja. Sesudahnya, setelah memasuki era reformasi, beliau terus berjuang. Berjuang mengatasi tantangan

yang berbeda, tantangan atas terkikisnya semangat kebangsaan, semangat yang beliau yakini sejak di bangku SMA, semangat yang muncul karena kekagumannya terhadap Bung Karno.

Setelah reformasi, kebebasan berpikir dan berekspresi tumbuh di dalam suasana yang demokratis. Konsekuensinya, kebebasan berpikir dan berekspresi yang bertentangan dengan semangat kebangsaan

dan demokrasi juga ikut tumbuh, baik dalam kehidupan sosial maupun politik. Salah satu contoh, dalam muktamar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Jakarta (2/6) lalu, secara terbuka mereka menyatakan bahwa nasionalisme (semangat kebangsaan) adalah racun pemikiran kaum Muslim. Dan yang lebih konyolnya

lagi, TVRI sebagai lembaga publik yang dibiayai oleh negara, justru menayangkan siaran tunda acara muktamar HTI tersebut, yang jelas-jelas bercita-cita membubarkan Negara Kesatuan republik Indonesia.

Sementara di sisi lain penegakan hukum, yang menjadi batasan atas tindakan-tindakan seseorang atau

kelompok yang mengatasnamakan kebebasan, tetapi mengganggu/melanggar kebebasan orang lain atau kelompok lain, tidak tegas dalam menjalankan fungsinya, terutama jika tindakan tersebut mengatasnamakan agama.

Siapa pun yang memiliki kepedulian terhadap masa depan bangsa, akan prihatin dengan situasi tersebut.

Situasi yang dapat merusak kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk Taufiq Kiemas tentunya. Hal itu yang kemudian mendorongnya lebih giat dalam berinisiatif untuk mempromosikan nilai-nilai kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari situlah

kemudian lahir Empat Pilar kebangsaaan, suatu upaya kuat untuk memasyarakatkan kembali Pancasila, UUD 1945, Bhineka tunggal Ika dan NKRI.

Pemikiran Taufiq Kiemas tentang Empat Pilar ini pertama kali diungkap saat peluncuran bukunya yang berjudul Empat Pilar untuk Satu Indonesia: Visi Kebangsaan dan Pluralisme Taufiq Kiemas, di Jakarta

pada 22 Februari 2012. Ada 3 hal penting dalam gagasan tersebut. Pertama, Kebangsaan/Nasionalisme mengusung pluralisme dan toleransi berdasarkan latarbelakang sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia yang sejak awal mempersatukan pemikiran dari berbagai aliran politik di masa itu. Kedua,

Pancasila sebagai rumusan besar cita-cita bangsa Indonesia, sehingga Pancasila harus menjadi paradigma dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Dan ke tiga, pentingnya sosialisasi terhadap Empat Pilar Kebangsaan beranjak dari kenyataan bahwa bedasarkan hasil survey yang

dilakukan oleh MPR dan beberapa perguruan tinggi terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI, menyebutkan bahwa 96 persen masyarakat mengatakan bahwa empat pilar itu harga mati, 91 persen masyarakat dengan sukarela ikut menyosialisasikan program ini, 80 persen GBHN masih sangat diperlukan untuk pembangunan bangsa.

Polemik Terhadap Empat Pilar Kebangsaan

Page 3: Empat pilar

Sosialisasi terhadap Empat Pilar terutama ternyata juga mengundang polemik, terutama bagaimana memandang posisi Pancasila sebagai dasar negara dibanding dengan UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika

dan NKRI. Dengan menjadikan Pancasila sebagai satu diantara empat pilar kebangsaan, maka Pancasila dapat tereduksi nilainya, bukan lagi menjadi dasar dan ideologi negara.

Polemik yang berkaitan dengan memasukannya Pancasila sebagai bagian dari empat pilar, terjadi dalam Rakornas GMNI pada bulan juli tahun 2012 di Palembang. Dalam pembahasan di Komisi Politik, para

aktivis GMNI menilai konsep empat pilar kebangsaan sebagai konsep yang ahistoris. Konsep empat pilar sudah keluar dari dasar negara Pancasila, dan justru menyejajarkan Pancasila dengan tiga pilar lainnya, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, NKRI, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Di dalam parlemen sendiri, DPP PKB menolak untuk menjadikan pancasila sebagai bagian dari 4 Pilar. Ketua Umum DPP PKB Muhaimain Iskandar berpendapat, Pancasila justru harus diperjuangkan sebagai satu-satunya dasar negara, agar bangsa Indonesia tidak mudah terancam dan memiliki pondasi yang kuat.

Di luar polemik atas posisi Pancasila yang dijadikan salah satu pilar, juga muncul polemik lain. Mulai dari kosa kata sampai kecurigaan adanya kepentingan proyek dalam penggunaan uang negara untuk melakukan sosialisasi tersebut.

Menarik mengamati polemik yang berkaitan dengan bagaimana posisi Pancasila sebagai ideologi dan

dasar negara dalam Empa Pilar Kebangsaan. Apalagi dikaitkan perjuangan beliau sendiri bersama Megawati Soekarno dan PDI Perjuangan yang memperjuangkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila, sangat berkaitan dengan posisi Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Di situ akan

tampak bahwa Pancasila adalah pondasi yang memperkokoh UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Tentunya perlu waktu dan kesempatan lain untuk mendiskusikannya. Tetapi terlepas dari salah/benarnya pemikiran beliau yang menjadikan Pancasila sebagai bagian dari 4 Pilar Kebangsaan, semangatnya untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan patut diteladani.

Kerja keras dan cara perjuangan Taufiq Kiemas dalam menjaga dan melestarikan nilai -nilai kebangsaan berkaitan pula dengan sikap dan pemikirannya. Dalam suatu acara sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan di Banten yang, beliau menyatakan bahwa ideologi harus dilawan dengan ideologi lain, bukan dengan

senjata. Ini menunjukan bawa Taufik Kiemas selain figur yang berjuang untuk keyakinannya, beliau juga seorang yang demokratis dan menghargai kebebasan dan perbedaan.

Di tangan Taufiq Kiemas, nilai kebangsaan diperkuat dengan perspektif demokrasi. Dan ini menjadi sarana ampuh untuk merawat dan menjaga kebebasan dengan segala dinamikanya.

Page 4: Empat pilar

*penulis bekerja sebagai profesional pada sebuah perusahaan media, ak tif mengikuti perkembangan sosial politik tanah air

Komunikasi, Harga Kebhinekaan 3 October, 2013 - Berita, Sejarah

Oleh: YOHANES HALIM FEBRIWIJAYA – INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

Rangkuman :

Kebhinekaan Indonesia merupakan suatu kekayaan yang tidak ternilai harganya. Namun di balik

kekayaan tersebut, tersimpan suatu bahaya, yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang. Karena Indonesia terdiri dari begitu banyak suku, banyak pula tembok penghalang untuk

memanfaatkan kebhinekaan yang ada menjadi suatu kekuatan, dan bukan pemecah, untuk dapat mencapai tujuan negara Indonesia. Untuk dapat menghilangkan tembok-tembok penghalang tersebut, perlu adanya suatu usaha komunikasi antar kelompok, yang pada dasarnya

membutuhkan keberanian untuk dapat melewati batas-batas nyaman kelompok tersebut. Dengan komunikasi yang baik, dapat terbentuk kesatuan, yang mendukung

Sekitar tujuh tahun lalu, saya mendaftar ke klub basket di SMA saya. Saya sangat bersemangat waktu itu, selain karena saya memang menyukai olahraga basket, saya juga menemukan jagoan-jagoan basket di SMP-SMP yang saya temui ternyata juga memasuki tim basket. Kegembiraan

saya ditambah dengan adanya jagoan-jagoan dari SMP lain yang berasal dari luar kota. Kami yang lolos seleksi itu, konon digadang-gadang menjadi angkatan emas, karena sejak 3 tahun

sebelumnya, “Belum pernah muncul talenta-talenta sebagus dan sebanyak ini.”

—————————–

Selama setengah tahun, kami bersama mengikuti latihan bersama, dan selama setengah tahun itu kami berbagi kebahagiaan. Namun di akhir semester pertama, muncullah pernyataan yang

mengejutkan dari salah seorang teman saya,” Tim ini memang bagus, tapi entah kenapa, aku tidak menikmati permainan bersama tim ini.” Seminggu kemudian, mundurlah dia. Dan sejak itu, teman-teman dekatnya di tim juga mundur, menyisakan kami. Dan entah kebetulan atau tidak,

teman-teman dekatnya adalah mereka yang berasal dari SMP negeri, atau yang bukan Tionghoa. Dan kenaifan kami untuk tidak menyadari hal ini, ternyata malah menjadi bumerang bagi kami, karena sebenarnya kami secara tidak sadar sudah membuat pemisah.

Dulu, saya berpikir, bahwa kami memiliki begitu banyak perbedaan, sehingga sulit bersatu. Namun belakangan, muncul pemikiran sebaliknya, bahwa sebenarnya kami memiliki lebih banyak lagi kesamaan. Kami hanya berbeda suku saja, atau paling banter berbeda golongan,

karena asal SMP kami berbeda. Saya tertegun menyadari, dua perbedaan kecil dan biasa saja ini sangat signifikan mempengaruhi cara kami berelasi. Saya kemudian menyadari, tantangan besar

di balik kebhinekaan bangsa kita, yang terdiri dari 1128 suku bangsa[1], 6 agama yang diakui,

Page 5: Empat pilar

beberapa ras dan banyak golongan. Betapa ‘Bhineka Tunggal Ika’ adalah motto yang sangat hebat menyadari hal ini, mengingat 2 kelompok orang yang berbeda suku saja bisa bertengkar

hebat karena masalah sepele!

Kesatuan Bangsa

Slogan ‘Bhineka Tungggal Ika’ ini adalah perekat bangsa Indonesia, yang memang luar biasa kekayaan budayanya. Slogan ini mengajak untuk melihat, meskipun banyak perbedaan, ada

kesatuan,yaitu sebagai bangsa Indonesia. Slogan ini muncul pada sayembara lambang negara pada 8 Februari 1950[2], bersamaan dengan logo Pancasila. Pancasila adalah dasar negara,

dengan ‘Bhineka Tunggal Ika’, sebagai perekat bangsa, adalah bagian tidak terpisahkan.

Bangsa, menurut Ernest Renan adalah ” hasil dari masa lalu yang terdiri dari usaha-usaha, pengorbanan,dan keterikatan yang sungguh-sungguh… untuk bersama memiliki kejayaan di masa sebelumnya, dan semangat yang sama untuk memiliki kejayaan di masa sekarang; untuk

melakukan hal-hal besar bersama dan ingin terus melakukannya. “[3]

Definisi tentang bangsa menurut Ernest Renan ini adalah definisi yang digunakan oleh Ir. Soekarno untuk menjelaskan ideologinya tentang bangsa[4]. Hal ini menunjukkan bahwa Bung

Karno memiliki suatu cita-cita bahwa nantinya orang-orang yang tetap tinggal di Indonesia setelah merdeka “telah melakukan hal besar bersama dan ingin melakukannya lagi.” Beliau ingin semangat kemerdekaan Indonesia adalah semangat kebersamaan, meskipun berbeda-beda tapi

tetap satu membangun bangsa Indonesia.

Hal ini tentu mensyaratkan bahwa sebelum seseorang membangun bangsa, dia harus disadarkan dulu bahwa bangsa yang dia bangun adalah bangsa yang majemuk, dengan berbagai perbedaan,

namun berusaha bersama untuk mencapai satu tujuan yang besar. Tujuan ini tidak dapat tercapai tanpa realisasi dari ‘Bhineka Tunggal Ika’. Tanpa ‘Bhineka Tunggal Ika’, tanpa kesatuan Indonesia, tidak akan ada kekuatan untuk mencapai tujuan bersama tersebut.

Komunikasi

Namun alih-alih bersatu, di kacamata saya, rakyat Indonesia masih terpecah-pecah dan ketakutan menghadapi ke-Bhineka-an tersebut. Itu terbukti dengan masih seringnya terjadi perseteruan antar suku, antar agama di berbagai tempat. Beberapa waktu yang lalu bahkan terjadi perseteruan

antara kelompok Islam Sunni dan Islam Syiah. Hal ini menunjukkan, masih tingginya tingkat kecurigaan antar sesama umat Muslim sendiri, dan saya yakin, lebih besar lagi jurang yang

terjadi antar agama, yang mengakibatkan konflik di Poso. Dan, menurut pengalaman saya, tingkat kecurigaan yang tinggi adalah indikator dari kurangnya komunikasi. Karena, kurangnya komunikasi akan mengakibatkan prasangka, dan prasangka tanpa komunikasi akan menimbulkan

stigma yang kuat, namun mungkin tidak benar terhadap objeknya. Perlu suatu usaha untuk membuka komunikasi dan membongkar tembok-tembok kebisuan masyarakat.

Saya sendiri menjadi saksi tidak adanya komunikasi tersebut, karena sejak dini pun bibit-bibit

ketakutan dan kecurigaan sudah muncul, bahkan mungkin sudah ditanamkan. Pada saat saya kelas 6 SD, saya mengikuti sebuah lomba siswa teladan. Pada tingkat kecamatan, lomba tersebut

Page 6: Empat pilar

diadakan di sebuah SDN dekat sekolah saya. Ketika itu saya berkenalan dengan beberapa orang, dan sayapun berbincang. Ketika mengetahui saya tidak bisa mengucapkan huruf R dengan baik,

entah kenapa pandangan mereka berubah. Kemudian kami dipanggil ke ruangan untuk memulai ujian, dan kamipun menghentikan perbincangan kami. Pada saat istirahat, saya mengalami sakit

perut. Saya pun ke WC. Tanpa saya duga, tiba-tiba dari jendela meluncur batu-batuan kecil. Saya pun berteriak,”Oi, ada orang di dalam.” Kemudian ada suara dari pintu WC, “Coba ngomong R dulu yang bener.”

Saya yakin tidak ada orang yang mengajarkan dia untuk berbuat demikian, namun hinaan sehari-

hari terhadap orang Tionghoa, mungkin dilakukan oleh temannya, mungkin oleh orangtuanya, bahkan mungkin gurunya yang membuat dia berbuat demikian.

Pernah pula di suatu saat, saya menjadi relawan di Pengalengan, Jawa Barat. Pada waktu

mendekati maghrib, saya iseng mendengarkan anak-anak kecil belajar mengaji. Saya terkejut sekali ketika di speaker maghrib sang pengajar mengatakan “..dan tidak akan pergi ke gereja.”

Saya membayangkan, kalau mereka sudah besar, mungkin anak-anak kecil itu nanti akan takut sekedar berteduh di gereja saat hujan.

Mungkin, hal-hal kecil seperti inilah yang membuat orang-orang dewasa di Indonesia menjadi paranoid. Contohnya, pernah suatu ketika, saya mengobrol dengan seseorang di kereta api. Dia

merekomendasikan sebuah buku karangan Nucholish Madjid. Saya sebenarnya tertarik, namun karena tadinya kami sedang membahas buku karangan penulis berkebangsaan Jepang, saya

bertanya, ” Kenapa tiba-tiba Nurcholish Madjid, mas?” Orang ini tiba-tiba sedikit emosi sambil mengutarakan dia tidak sedang mencoba berdakwah.

Kecanggungan komunikasi, buat saya adalah penyebab ketiga hal diatas. Mungkin kalau si anak terbiasa bergaul dengan orang Tionghoa, tidak mungkin dia melempari batu hanya karena saya

tidak bisa mengatakan huruf R. Mungkin, orang yang mengajar di kelas mengaji itu tidak menyadari bahwa pengajarannya berpotensi memicu keretakan bangsa karena di kampung

tersebut semuanya Muslim, dan tidak menduga akan ada seorang Kristen mendengar. Mungkin orang di kereta api tersebut juga tidak terbiasa berbicara dengan orang Kristen sehingga takut dikira melakukan dakwah.

Fobia terhadap pluralisme

Akhirnya, masalah komunikasi ini menjadi suatu penghalang besar untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Penolakan terhadap kebhinekaan dan slogan ‘Bhinneka Tungga l Ika’ ini mengakibatkan ekstrim sebaliknya dari kebhinekaan, yaitu dorongan untuk menjadikan segala

sesuatu seragam dalam konteks yang terbatas, di ‘daerah kekuasaan’ orang/kelompok tersebut, bahkan dapat memicu megalomania. Contohnya, Hitler, yang hanya menerima keberadaan ras

Arya sebagai ‘manusia super’, menganggap ras lain sebagai ‘manusia yang lebih rendah’ yang layak diperbudak dan dikuasai[5]. Tidak jauh dari kita, ikatan primordialisme kesukuan yang sangat kuat menimbulkan keengganan beberapa suku untuk bercampur/menikah dengan suku

lain, dan bidang-bidang pekerjaan tertentu masih dikuasai oleh suku-suku tertentu. Tidak salah rasanya jika kita menyebut komunikasi antar golongan masih menjadi hambatan kita untuk dapat

Page 7: Empat pilar

memahami arti ‘Bhinneka Tunggal Ika’, karena dengan komunikasi yang baik, tembok-tembok eksklusif kesukuan tersebut akan hilang dengan sendirinya.

Belajar dari sejarah

Dengan alasan apapun, hal-hal di atas menegaskan bahwa komunikasi adalah hal yang penting, dan kegagalan berkomunikasi telah memicu masalah-masalah besar, seperti permasalahan Sunni-Syiah, kerusuhan di Poso, yang telah berujung kepada kerugian baik moril, maupun materiil.

Karena, komunikasi dalam hal-hal kecil berperan penting dalam pembentukan mentalitas ‘Bhinneka Tunggal Ika’. Hal kecil seperti perbedaan suku, agama, ras, dan golongan dapat

diatasi dengan hal kecil pula, yaitu komunikasi. Belajar dari sejarah, melakukan hal kecil, seperti berbincang dengan orang yang berbeda suku, agama, ras atau golongan akan mencegah masalah yang lebih besar. Dan lebih utama, biarlah ‘Bhineka Tunggal Ika’ memampukan kita untuk

bersama membangun bangsa Indonesia yang lebih baik. Merdeka!

Kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 10 October, 2013 - Berita, Sejarah

Awal tahun 1950 merupakan periode krusial bagi Indonesia. Pertentangan dan konflik untuk

menentukan bentuk negara bagi bangsa dan negara Indonesia tengah berlangsung. Pada satu sisi,

secara resmi saat itu Indonesia merupakan negara federal, sebagaimana hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Akan tetapi, pada saat yang bersamaan muncul gerakan yang menentang keberadaan negara federal itu. Gerakan ini eksis bukan saja dari kalangan elit. Tetapi juga

dikalangan masyarakat bawah. Gerakan tersebut menghendaki diubahnya bentuk negara federal menjadi Negara Kesatuan.

Dengan diratifikasinya hasil-hasil KMB oleh KNIP yang bersidang tanggal 6-15 Desember 1949,

terbentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS). Negara yang berbentuk federal ini terdiri dari 16 negara bagian yang masing-masing mempunyai luas daerah dan jumlah penduduk yang berbeda. Negara bagian yang terpenting, selain Republik Indonesia yang mempunyai daerah terluas dan

penduduk yang terbanyak, ialah Negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Pasundan, Dan Negara Indonesia Timur. Sebagian besar negara bagian yang tergabung dalam

RIS mendukung untuk terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (poesponogoro, 2008:301).

Bagian terpenting dari keputusan KMB adalah terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat. Memang hasil KMB diterima oleh pemerintah Republik Indonesia. Namun hanya setengah hati.

Hal ini terbukti dengan adanya pertentangan dan perbedaan antar kelompok bangsa.

Dampak dari terbentuknya negara RIS adalah konstitusi yang digunakan bukan lagi UUD 1945, melainkan konstitusi RIS tahun 1949. Dalam pemerintahan RIS jabatan presiden dipegang oleh

Page 8: Empat pilar

Ir. Soekarno, dan Drs. Mohammad hatta sebagai perdana menteri. Berdasarkan pandangan kaum nasionalis pembentukan RIS merupakan strategi pemerintah kolonial Belanda untuk memecah

belah kekuatan bangsa indonesia sehingga belanda akan mudah mempertahankan kekuasaan dan pengaruhnya di Republik Indonesia.

Reaksi rakyat atas terbentuknya RIS terjadinya demontrasi-demontrasi ynag menghendaki

pembubaran RIS dan penggabungan beberapa Negara bagian RIS.

Belanda membentuk federal sementara yang akan berfungsi sampai terbentuknya negara Indonesia Serikat. Dalam hal ini, RI baru akan diizinkan masuk dalam NIS jika permasalahan

dengan Belanda sudah dapat teratasi. Selain itu, Belanda berusaha melenyapkan RI dengan melaksanakan Agresi Militer II. Belanda berharap jika RI dilenyapkan, Belanda dapat dengan mudah mengatur negara-negara bonekanya. Akan tetapi, perhitungan Belanda melesat. Agresi

militer belanda II, menyebabkan Indonesia mendapatkan simpati dari negara Internasional. Akhirnya, Belanda harus mengakui Kedaulatan Indonesia berdasarkan hasil Konferensi Meja

Bundar.

Pada tanggal 27 Desember 1949 diadakan penandatanganan pengakuan kedaulatan. Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda, Indonesia berubah menjadi Negara Serikat. Akibatnya terbentuklah Republik Negara Serikat. Meskipun demikian, bangsa Indonesia bertekad untuk

mengubah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kurang dari delapan bulan masa berlakunya, RIS berhasil dikalahkan oleh semangat persatuan bangsa Indonesia.

Proses kembalinya ke NKRI 1. Beberapa negara bagian membubarkan diri dan bergabung dengan RI, Negara Jawa Timur, Negara Pasundan,Negara Sumatra Selatan, Negara Kaltim, Kalteng, Dayak, Bangka,

Belitung dan Riau. 2. Negara Padang bergabung dengan Sumatra Barat, Sabang bergabung dengan Aceh.

3. Tanggal 5 April 1950 RIS hanya terdiri dari : Negara Sumatra Timur, Negara Indonesia Timur, Republik Indonesia. 4. Ketiga negara ini (Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra

Timur) kemudian bersama RIS sepakat untuk kembali ke negara kesatuan dan bukan melabur ke dalam Republik.

5. Pada tanggal 3 April 1950 dilangsungkan konferensi antara RIS- NIS-NST. Kedua negara bagian tersebut menyerahkan mendatnya kepada perdana Menteri RIS Moh. Hatta pada tanggal 12 Mei 1950.

6. Pada 19 Mei 1950 diadakan kesepakatan dan persetujuan yang masing-masing diwakili oleh : RIS oleh Moh. Hatta, RI oleh dr. Abdul Halim.

7. Hasil kesepakatan “ NKRI akan dibentuk di Jogjakarta, dan pembentukan panitia perancang UUD. 8. Pada 15 Agustus 1950, setelah melalui berbagai proses, dilakukan pengesahan UUS RIS yang

bersifat sementara sehingga dikenal dengan UUD’S 1950. Ini menunjukkan akan terjadi perubahan. UUD’s ini di sahkan oleh presiden RIS. UUD RIS terdiri dari campuran UUD 45 dan

UUD RIS. 9. Pada 17 Agustus 1950. RIS secara resmi dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan.

Page 9: Empat pilar

Indonesia mengalami perubahan bentuk Negara kesatuan menjadi Negara federal bukan saja disebabkan oleh faktor dalam negeri, tetapi ada hubungannya dengan kehadiran Belanda.

Kuatnya keinginan Belanda sebagai Negara koloni untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaanya di Indonesia membuat Negara ini sempat mengalami perubahan bentuk Negara.

Terjadinya perubahan dari Negara federal menjadi Negara kesatuan tidak dapat disangkal disebabkan dukungan politik dari masyarakat Indonesia terhadap ide Negara federal sesunguhnya sangat lemah. Ide negara federal muncul dari ambisi politik orang-orang Belanda

yang sepertinya takut negerinya tidak lagi mempunyai peran di Asia. Oleh karena itulah ketika masalah kemerdekaan Indonesia sudah tidak dapat ditawar lagi, mereka memperkenalkan ide

mengenai pembentukan negara federal.

Republik Indonesia Serikat yang berbentuk federal itu tidak disenangi oleh sebagian besar rakyat Indonesia, karena sistem federal digunakan oleh Belanda sebagai muslimat untuk menghancurkan RI selain itu bentuk negara serikat tidak sesuai dengan kepribadian bangsa

Indonesia dan tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945. Disamping itu, konstitusi federal dianggap hanya menimbulkan perpecahan. Hal

tersebut mendorong keinginan untuk kembali ke negara kesatuan. Pada dasarnya pembentukan negara-negara bagian adalah keinginan Belanda, bukan kehendak rakyat karena Belanda ingin menanamkan pengaruhnya dalam RIS. Rapat-rapat umum diselenggarakan di berbagai daerah,

juga demontrasi-demontrasi yang membentuk pembubaran RIS. Sebagian dari pemimpin RI termasuk yang ada dalam parlemen, bertekad untuk secepat mungkin menghapus sistem federal

dan membentuk negara kesatuan.

Sumber : http://mediabacaan.blogspot.com/2013/03/tahun-1950-merupakan-periode-krusial.html

Page 10: Empat pilar

Gedung Juang, saksi Bisu Perjuangan 10 October, 2013 - Berita, Sejarah

beranda-brigaspad Posting kali ini sedikit serius. Tentang sebuah gedung Tua yang ada di kawasan kabupaten

Bekasi. Sebuah gedung tua dengan banyak cerita. Gedung tua yang merupakan saksi sejarah perjuangan bangsa, khususnya di kawasan Bekasi. Gedung tua yang di maksud adalah Gedung

Juang 1945 kabupaten Bekasi. Salah satu cagar budaya kabupaten Bekasi.

Gedung Juang 1945, yang saat ini menjadi tempat kawah candradimukanya Paskibraka kabupaten Bekasi, tempat Latihan awal Paskibraka kabupaten Bekasi sebelum berlatih di Plasa Pemba kabupaten Bekasi di kawasan Delta Mas

Kembali tentang gedung Juang Bekasi, Seperti halnya daerah lain di Indonesia, Bekasi yang letaknya berdampingan dengan Jakarta memiliki sejarah perjuangan melawan penjajah yang tak kalah heroik. Perjuangan rakyat Bekasi sempat diabadikan dalam puisi terkenal karya Chairil

Anwar, Karawang-Bekasi.

Yang menarik, Bekasi masih memiliki gedung bersejarah peninggalan pra masa kemerdekaan yang dikenal sebagai Gedung Tinggi yang terletak di jalan Sultan Hasanudin, dekat Pasar

Tambun dan Stasiun kereta api Tambun. Gedung Tinggi ini sekarang dikenal sebagai gedung juang 45. Bangunan berarsitektur neoklasik ini dibangun oleh tuan tanah Kow Tjing Kie pada tahun 1910. Gedung tinggi ini merupakan salah satu gedung bersejarah yang turut menjadi saksi

bisu perjuangan rakyat Bekasi saat revolusi fisik. Ketika itu daerah Tambun dan Cibarusah menjadi pusat kekuatan pasukan republik Indonesia (RI). Perlu diketahui bahwa pada saat

revolusi kemerdekaan, garis demarkasi yang memisahkan daerah Republik Indonesia dengan daerah kekuasaan Belanda terletak didaerah Sasak Jarang, sekarang menjadi perbatasan antara kecamatan Bekasi Timur dengan Kecamatan Tambun dan merupakan perbatasan Kota Bekasi

dengan Kabupaten Bekasi.

Gedung juang tempo dulu

Akibat serangan bertubi-tubi, pertahanan pasukan Belanda di Bekasi sering ditinggalkan. Mereka kemudian memusatkan diri ke daerah Klender Jakarta Timur. Sebaliknya, para pejuang

Indonesia menjadikan gedung tinggi ini sempat dijadikan sebagai pertahanan di front pertahanan Bekasi- Jakarta.

Dikuasai Tuan Tanah

Setelah pasukan Belanda meninggalkan Bekasi. Gedung Juang yang terdiri dari dua lantai ini,

dimiliki dan dikuasai seorang tuan tanah keturunan Cina bernama Kouw Oen Huy. Tuan tanah yang berhasil menguasai ratusan hektare tanah di Kecamatan Tambun, bahkan memiliki perkebunan karet. Ia digelari ‘Kapitaen’.

Page 11: Empat pilar

Ia tidak hanya menguasai tanah di Tambun tapi juga daerah Tekuk Pucung yang jaraknya puluhan kilometer dari Tambun, termasuk di daerah Cakung, juga menjadi milik tuan tanah ini.

Gedung Juang yang kini menjadi perkatoran milik Pemerintah Kabupaten Bekasi, dibangun dua

tahap, tahun 1906 dan tahun 1925. Pada awalnya, di bagian halaman muka Gedung Juang ini, dijadikan taman buah yang diantaranya banyak ditanami pohon mangga yang pada saat itu belum

pernah dikenal masyarakat Tambun dan Bekasi.

Tuan tanah Kouw Oen Huy, menguasai bangunan tua ini hingga 1942. Selanjutnya, tahun 1943, bangunan bersejarah tersebut berada di bawah pengawasan pemerintahan Jepang hingga tahun

1945. Tentara Jepang, juga menggunakan bangunan tua ini sebagai pusat kekuatannya dalam menjajah Indonesia.

Pada masa perjuangan kemerdekaan 1945, bangunan yang berlokasi di atas tanah sekitar 1000 meter ini, diambil alih oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) untuk dijadikan sebagai Kantor

Kabupaten Jatinegara. Pada masa itu, Bekasi dijadikan sebagai daerah front pertahanan, maka gedung tersebut berfungsi juga sebagai Pusat Komando Perjuangan RI dalam menghadapai

Tentara Sekutu yang baru selesai perang dunia kedua.

Di gedung yang mempunyai makna monumental ini, perudingan dan pertukaran tawanan perang terjadi. Lokasi pelaksanaan pertukaran tawanan sendiri dilakukan di dekat Kali Bekasi yang kini tidak jauh dari rumah pegadaian Bekasi. Banyak tentara Jepang meninggal dibantai dan dibuang

di Kali Bekasi, membuat setiap tahun tentara Jepang selalu melakukan tabur bunga di kali yang membentang kota Bekasi ini.

Dalam pertukaran tawanan, pejuang-pejuang RI oleh Belanda dipulangkan ke Bekasi, dan

tawanan Belanda oleh pejuang RI dipulangkan ke Jakarta lewat kereta api yang lintasannya persis berada di belakang Gedung Juang. Gedung yang tidak jauh dari Pasar Tambun Bekasi ini, juga pernah dijadikan sebagai Pusat Komando Perjuangan RI pada masa perjuangan fisik.

Gedung ini selalu menjadi sasaran tembak pesawat udara dan meriam Belanda. Banyak keanehan pada gedung ini. Ketika meriam Belanda dijatuhkan di atas bangunan tersebut, ternyata meriam

itu tidak meledak dan hanya merusak sebagian kecil bangunan.

Gedung juang saat ini

Akhir 1947, ketika Belanda menghianati perundingan Linggarjati tanggal 21 Juli, Belanda mengadakan aksi pertama (dikenal sebagai Agresi Militer Belanda Pertama). Mengingat gedung

ini merupakan markas basis pertahanan, maka tidak mengherankan bila di sekitar gedung ini sering terjadi pertempuran dan pembantaian yang bertubi-tubi. Bahkan gedung ini pernah di duduki Belanda/NICA hingga tahun 1949. Namun, gedung yang sangat mempunyai nilai sejarah

dan merupakan kebanggaan mayarakat Bekasi ini, kembali berhasil direbut oleh pejuang Bekasi pada awal 1950.

Museum Perjuangan Bekasi

Page 12: Empat pilar

Setelah masa perjuangan merebut kemerdekaan, gedung ini mengalami berbagai perkembangan dan perubahan fungsi. Selain bangunan bersejarah, bangunan tersebut sering digunakan sebagai

pusat aktivitas.

Di antaranya, tahun 1950 setelah Tambun dikuasai lagi oleh Republik Indonesia, gedung ini diisi dan ditempati pertama sekali oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bekasi.

Juga pernah digunakan sebagai kantor Jawatan Pertanian dan jawatan-jawatan lainnya sampai

akhir 1982. Bangunan yang berada di bagian timur Bekasi ini, juga sempat dijadikan sebagai tempat persidangan-persidangan DPRDS, DPRD-P, DPRD TK II Bekasi dan DPRD-GR hingga

tahun 1960.

Tahun 1951, di gedung ini sempat diisi oleh pasukan TNI Angkatan Darat Batalyon “Kian Santang”. Batalyon Kian Santang ini sekarang menjadi bagian dari Kodam III Siliwangi. Tahun 1962, kemudian gedung ini dibeli Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Ketika peristiwa Gerakan G

30S/PKI pecah, gedung ini juga sempat dijadikan sebagai penampungan Tahanan Politik (Tapol) PKI.

Mengingat letaknya yang strategis, oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi saat Bupati Bekasi dijabat

Abdul Fatah, bangunan ini sempat dijadikan sebagai tempat perkuliahan bagi mahasiswa Akademi Pembangunan Desa (APD) yang merupakan cikal bakal pembangunan perguruan tinggi di Bekasi, dan kini dikenal dengan Universitas Islam 45 (Unisma).

Manfaat lain gedung ini, juga sempat digunakan sebagai Kantor BP-7 dan Kantor Legiun Veteran. Tahun 1999, di gedung menjadi sekretraist Pemilu. Lalu menjadi kantor Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Sekretarit Kantor Pepabri dan Wredatama. Kini gedung yang

menghadap timur ini, menjadi kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kantor Tenaga Kerja Pemertintah Kabupaten Bekasi.

Suasana gedung kuno terasa melingkupi seluruh gedung, apalagi gedung ini cukup luas dan

terasa senyap jika tidak ada kegiatan yang melibatkan orang ramai. Yang ramai justru suara burung Walet dan kelelawar…

Gedung ini sempat diabadikan dalam film “Lebak Membara”, dimana HIM Damsyik sebagai pejuang tewas setelah jimat kebal pelurunya tersangkut dipagar saat hendak menurunkan bendera

musuh dihalaman gedung Tinggi

Diakhir tahun 90-an, Gedung Tinggi ini rimbun oleh pohon angsana yang tinggi dan besar. Sayangnya, kerimbunan pohon yang membawa kesejukan ini akhirnya terkalahkan setelah

Pemerintah Bekasi memutuskan membangun kantor Dinas Pasar yang menempati sudut halaman Gedung Tinggi dan menumbangkan pohon angsana yang sudah lama menaungi keteduhan halaman Gedung Tinggi.

Jika suatu saat datang ke Bekasi, sempatkan datang ke Gedung Tinggi. Jika menjadi warga Bekasi, sayang sekali jika tidak tahu sejarah perjuangan Rakyat Bekasi yang salah satu monumen dan saksi bisunya adalah Gedung kuno yang bernama Gedung Tinggi Tambun.

Page 13: Empat pilar

Kritik Terhadap Diskursus 4 Pilar Kebangsaan

Oleh : Sapardiyono

Setiap pemikiran yang lahir biasanya selalu dilatar belakangi oleh kondisi sosiol politiknya, pun demikian dengan pemikiran ataupun diskursus tentang 4 Pilar Kebangsaan, yang

lahir dan digagas oleh Bp.Taufik Kiemas, yang menjabat sebagai Ketua MPR RI waktu itu, sebuah jabatan yang luar biasa penting, karena disitulah kepala negara atau Presiden Republik

Indonesia dilantik. Namun setelah masa Orde Baru berakhir dan UUD 1945 mengalami 4 kali amandemen, gaung lembaga ini kurang atau nyaris tak terdengar. Yang selalu terdengar adalah hiruk pikuknya kerja presiden berikut para menteri dan jajarannya, serta berita berita tentang

kerja lembaga DPR berikut tingkah polah polah para anggotanya. Memang demikianlah rancang bangun dari konstitusi kita saat ini, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara yang bertugas

memilih dan menetapkan presiden seperti jaman Orba, presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, dan MPR hanya bertugas melantiknya saja.

Barangkali karena kondisi negara yang carut marut dan tak kunjung mampu menyelesaikan banyak persoalan mendasar di negeri kita, seperti masih sangat tinggi angka

kemiskinan di Indonesia, angka pengangguran yang begitu besar akibat tidak terciptanya lapangan kerja, korupsi yang merajalela dan bahkan semakin masif terjadi di berbagai lembaga

negara, dan bahkan menyelinap masuk ke hampir semua lembaga negara dan kementerian, sungguh membuat hati kita sangat miris. Sementara sebagian kita rakyat yang miskin terus berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Kita cenderung mulai apatis dan kehilangan

kepercayaan. Disinilah barangkali asal mula terkikisnya jiwa nasionalisme. Para pemimpin kurang bisa dipercaya dan sibuk memperjuangkan kelompok dan golongannya, sedangkan rakyat

mulai acuh-tak acuh akibat kurang diperhatikan oleh negara.

Lahirnya 4 pilar kebangsaan berlatar belakang kondisi sosial politik yang demikian, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Digunakan oleh Almarhum Taufik Kiemas untuk secara langsung maupun tidak langsung mengingatkan elit dan para pemegang

kekuasaan lainnya untuk menjadikan 4 pilar tersebut sebagai pilar untuk menyelenggarakan negara, yang demikain juga berarti supaya jangan terlalu mementingkan kepentingan pribadi,

kelompok, golongan dll. Mafud MD sebagai salah satu guru besar hukum tata negara mengatakan bahwa gagasan 4 pilar adalah ide genuine Taufik Kiemas, demikian pula para petinggi negara lainnya juga berkomentar senada. Oleh karenanya sibuklah MPR RI untuk

mengadakan seminar, diskusi, sosialisasi dll, tentang 4 pilar kebangsaan ke berbagai penjuru negeri kita.

Agak aneh sebetulnya jika itu menjadi program dari sebuah lembaga tinggi negara,

namun kurang mendapat tanggapan kritis dari berbagai elemen masyarakat. Elemen masyarakat

Page 14: Empat pilar

lainnya yang biasanya kritis cenderung terpesona dan menerima begitu saja, yah ini juga bisa dimaklumi mengingat ide Pak Taufik Kiemas itu merupakan ide mulia. Berikut adalah beberapa

kritik tentang pemikiran 4 pilar kebangasaan tersebut :

Pertama, pilar yang disebut pertama adalah Pancasila, pertanyaannya adalah apakah benar Pancasila merupakan sebuah pilar? Secara maknawi pilar adalah tiang penyangga, ibarat

sebuah rumah tanpa pilar ya pasti rumah itu akan roboh. Penyebutan Pancasila sebagai sebuah pilar ini tentu tidak sesuai dengan semua materi dalam pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) zaman dulu atau PPKN zaman sekarang. Karena seingat saya waktu kecil Pancasila

bukan lah pilar, tapi adalah dasar, Pancasila adalah Dasar Negara Indonesia, demikian doktrin yang sudah saya terima sejak kecil, makna dasar disini tentu berbeda dengan makna pilar, dasar

adalah fondamen atau fondasi dari bangunan, sedangkan Pilar adalah tiang penyangga. Lirik salah satu Lagu Kebangsaan kita GARUDA PANCASILA bahkan sangat jelas menyebutkan Pancasila adalah dasar negara Indonesia :

Garuda pancasila, akulah pendukungmu

Patriot proklamasi, sedia berkorban untuk

Pancasila Dasar Negara, Rakyat adil makmur sentosa….

Pribadi bangsaku, ayo maju maju, ayo maju maju, ayo maju maju..!

Berdasarkan argumentasi ini sebetulnya penyebutan Pancasila sebagai salah satu Pilar menjadi kurang tepat.

Kedua : penyebutan UUD 1945 sebagai salah satu pilar sesungguhnya juga kurang begitu tepat,

sebab jika belajar tentang ilmu konstitusi dalam hukum tata negara, ataupun dasar-dasar ilmu politik yang membahas tentang tata negara, maka kita bisa menemukan bahwa, konstitusi adalah hukum dasar, atau dasar dari tegaknya sebuah negara. Berdasar konstitusi itulah kemudian

timbul berberbagai macam lembaga tinggi negara, dari konstitusi itu jugalah kemudian lahir berbagai macam undang-undang yang mengatur seluruh hajat hidup orang di negara tersebut.

Jadi dasar dari sebuah negara sesungguhnya adalah konstitusi. di Indonesia, naskah konstitusi yang tertulis ya UUD 1945 itu yang sudah diamandemen sebanyak 4 kali.

Jika kita cermati lebih jauh konstitusi kita ini, maka kita akan menemukan bahwa naskah tentang Pancasila juga tercantum dalam UUD 1945 yaitu pada pembukaan alinea ke-4, sedangkan istilah

NKRI yang juga disebut sebagai salah satu pilar juga tercantum dalam UUD 1945 pasal 1 (1) Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Sedangkan naskah tentang

Bhineka Tunggal Ika sebagai salah satu pilar yang lain juga tercantum dalam UUD 1945 pasal 36A Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Naskah ini merupakan hasil dari amandemen 1 UUD 1945.

Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa sesungguhnya UUD 1945 tidaklah dapat disebut sebagai Pilar namun sesungguhnya justru dasar dari berbangsa dan bernegara. Demikian

Page 15: Empat pilar

beberapa kritik kami, semoga bisa bermanfaat dan dapat menjadi bahan diskusi lebih lanjut. Amien.

KANTOR KESBANGPOL GELAR DISKUSI “4 PILAR”

KEBANGSAAN

Written by Solikhah

font size Print Email

Kendal – Kamis (4/4),

Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Kendal menyelenggarakan diskusi tentang 4

(Empat) Pilar Kebangsaan dengan tema “Membangun Bangsa Berdasarkan Nilai-Nilai 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”. Kegiatan yang berlangsung di Pendopo kabupaten Kendal, diikuti oleh 200 peserta yang terdiri dari Kepala SKPD Kepala Instansi Vertikal,

BUMN/Perusda, Ketua Parpol, perwakilan Kepala SMA/SMK dan siswa, serta LSM.

Dalam diskusi tersebut menghadirkan dua narasumber diataranya dari Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kemendagri, Rovin Donald serta dari unsur Cendikiawan, Rahmat Bowo Suharto,

SH. MH dari Fakultas Hukum Unissula Semarang.

Tujuan diselenggarakannya kegiatan ini, kata Ferinando Rad Bonay, selaku Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Kendal yaitu untuk membahas tentang 4 (empat) Pilar

Page 16: Empat pilar

Kehidupan Berbangsa dan Bernegara serta menjadikan nilai-nilai luhur yang terdapat pada Pancasila sebagai pedoman hidup dan perilaku bangsa Indonesia sehari-hari. Selain itu untuk

menggugah kembali wawasan kebangsaan pada masyarakat khususnya generasi muda Indonesia.

Sementara itu Bupati Kendal, dr. Widya Kandi Susanti, MM, menyambut baik atas diselenggarkannya kegiatan diskusi ini, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam empat pilar

yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, dapat dipahami secara utuh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, menyeluruh dan berkelanjutan.