elib.stikesmuhgombong.ac.idelib.stikesmuhgombong.ac.id/830/1/LISTYATI NIM. A31600969.pdfSedangkan...
Transcript of elib.stikesmuhgombong.ac.idelib.stikesmuhgombong.ac.id/830/1/LISTYATI NIM. A31600969.pdfSedangkan...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Oksigen merupakan kebutuhan dasar paling vital dalam kebutuhan
manusia. Pemenuhan kebutuhan oksigen adalah bagian pertama dari kebutuhan
fisiologis menurut Hirarki Maslow, karena Oksigen salah satu kebutuhan vital
untuk kehidupan kita. Konsumsi oksigen yang cukup akan membuat organ
tubuh berfungsi dengan optimal, jika tubuh menyerap oksigen dengan
kandungan yang rendah dapat menyebabkan kemungkinan tubuh mengidap
penyakit kronis. Sel-sel tubuh yang kekurangan oksigen juga dapat
menyebabkan perasaan kurang nyaman, takut atau sakit. Oksigen sangat
berperan dalam proses metabolisme tubuh. Kebutuhan oksigen dalam tubuh
harus terpenuhi karena apabila kekurangan oksigen dalam waktu yang lama,
akan terjadi kematian. Pada orang yang sehat sistem pernafasan dapat
menyediakan kadar oksigen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh,
akan tetapi pada kondisi sakit tertentu, proses oksigenasi tersebut dapat
terhambat sehingga mengganggu pemenuhan kebutuhan oksigen tubuh
(Tarwoto & Wartonah, 2006). Oksigen sangat dibutuhkan oleh manusia, karena
sepanjang hidupnya semua manusia harus memasukkan oksigen ke dalam
tubuhnya secara terus-menerus dan tidak boleh berhenti. Sel-sel tubuh akan
rusak atau mati bila tidak mendapatkan oksigen dalam jangka waktu tertentu.
Sel otak akan mati atau rusak bila tidak mendapatkan oksigen selama 3-4 menit
(Slamet & Sri, 2007).
2
2
Salah satu gangguan oksigenasi adalah asma. Asma merupakan inflamasi
kronis pada jalan nafas yang di tandai hiperresponsivitas jalan nafas terhadap
berbagai rangsangan. Asma ditandai gejala obstruksi jalan nafas yang
bervariasi, dapat sembuh secara spontan atau setelah pemberian obat
bronkodilator (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2013). Di dukung dengan
Digiulio, jackson & Keogh (2014) mengatakan Asma merupakan penyakit yang
disebabkan terhalangnya saluran nafas karena inflamasi atau bronscopasme.
Asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, para ahli mendefinisikan
bahwa asma merupakan suatu penyakit obstruksi saluran nafas yang
memberikan gejala–gejala batuk, mengi, dan sesak nafas (Somantri,2009:52).
Pada penyakit asma, serangan umumnya datang pada malam hari, tetapi dalam
keadaan berat serangan dapat terjadi setiap saat tidak tergantung waktu.
Inspirasi pendek dan dangkal, mengakibatkan penderita menjadi sianosis,
wajahnya pucat dan lemas, serta kulit banyak mengeluarkan keringat. Bentuk
thorax terbatas pada saat inspirasi dan pergerakannya pun juga terbatas,
sehingga pasien menjadi cemas dan berusaha untuk bernafas sekuat-kuatnya
(Kumoro, 2008: 2).
The global initiative for asthma (GINA) menyatakan bahwa penyakit
asma merupakan masalah yang cukup dekat dengan masyarakat karena jumlah
populasi asma meningkat, ditemukan sebanyak 300 juta jiwa menderita asma
dan di prediksi akan meningkat menjadi 400 juta jiwa pada tahun 2025 di
seluruh dunia jumlah ini bisa saja bertambah karena penyakit asma bersifat
underdiagnosed buruknya kualitas udara dan adanya perubahan pola hidup
3
3
masyarakat menjadi penyebab meningkatnya penyakit asma (Kemenkes, 2015).
Pernyataan ini didukung oleh WHO dalam penelitiannya memperkirakan 235
juta orang menderita asma. WHO juga menyebutkan lima penyakit paru utama
sebesar 17,4% dari seluruh kematian di dunia masing-masing penyakit infeksi
paru 7,2%, PPOK (penyakit paru obstruktif kronik) 4,8%, tuberculosis paru
3,0%, kanker paru/trakea/bronkus 2,1%, dan asma 0,3%. Asma bukan hanya
masalah kesehatan masyarakat untuk negara yang berpenghasilan tinggi, asma
terjadi di semua negara terlepas dari tingkat perkembangan. Kematian asma
terjadi lebih dari 80 % di negara–negara berkembang atau berpenghasilan
rendah dan menengah kebawah. Asma kurang terdiagnosis menciptakan beban
besar bagi individu dan keluarga dan dapat membatasi aktivitas untuk seumur
hidup penderita. 1 dari 4 orang penderita asma dewasa tidak bekerja dan
kehilangan hari kerja selama lebih dari 6 hari karena asma mencapai 19,2%,
sementara 1 dari 3 anak yang menderita asma absen sekolah karena
kekambuhan asma (WHO, 2011).
Data terbaru dari Pusat AS dari Center for disease control and prevention
(CDC) menunjukkan bahwa jumlah orang yang terdiagnosis dengan asma
meningkat 4,3 juta pada tahun 2001-2009. Pada tahun 2009, terdapat 479.300
kasus rawat inap, 1,2 juta kasus rawat jalan, 1,9 juta kasus gawat darurat, dan
3.388 kematian yang berhubungan dengan asma (CDC, 2013). Prevalensi
penduduk di indonesia yang terdiagnosa penyakit asma mengalami kenaikan
sebesar 1%. Berdasarkan data dari Riskesdas pada tahun 2007 didapatkan hasil
3,5% dengan menggunakan teknik wawancara diagnosa oleh tenaga kesehatan.
4
4
Sedangkan pada tahun 2013 didapatkan hasil menjadi 4,5% dengan melalui
wawancara semua umur berdasarkan gejala yang timbul dari semua jumlah
penduduk (Riskesdas, 2013).
Ketika terjadi asma, bila pasien dibawa ke rumah sakit maka pasien harus
diberikan intervensi yang dilakukan perawat yaitu berkolaborasi dengan dokter
untuk pemberian terapi medikasi yang terdapat lima kategori pengobatan yang
digunakan dalam mengobati asma yaitu, agonis beta, metilsantin, antikolinergik
dan inhibitor sel mast. Pasien juga akan diberikan terapi oksigen untuk
mengatasi dyspnea, sianosis dan hipoksemia Hal itu adalah pertolongan
pertama yang dilakukan pada saat pasien dibawa ke rumah sakit, setelah pasien
masuk ke ruang rawat inap peran perawat secara mandiri sangatlah penting
khusunya untuk melakukan intervensi. Salah satu intervensi tersebut yaitu
dengan memposisikan pasien asma, posisi yang dimaksud adalah posisi semi-
fowler atau high fowler.(Smeltzer dan Bare, 2002).
Posisi semi fowler paling efektif bagi klien karena saat terjadi sesak nafas
biasanya klien tidak dapat tidur dalam posisi berbaring, melainkan harus dalam
posisi duduk atau setengah duduk untuk meredakan penyempitan jalan nafas
dan memenuhi oksigen dalam darah dan dapat membantu pengembangan paru
dan mengurangi tekanan dari abdomen ke diafragma (Safitri & Andriyani,
2008). Posisi semi fowler atau posisi setengah duduk adalah posisi tempat tidur
yang meninggikan batang tubuh dan kepala dinaikkan 15 sampai 45 derajat.
Apabila klien berada dalam posisi ini, gravitasi menarik diafragma ke bawah,
memungkinkan ekspansi dada dan ventilasi paru yang lebih besar (Kozier, dkk,
5
5
2010). Bahwa posisi semi fowler membuat oksigen di dalam paru-paru semakin
meningkat sehingga memperingan sesak nafas. Posisi ini akan mengurangi
kerusakan membrane alveolus. Hal tersebut dipengaruhi oleh gaya gravitasi
sehingga oksigen menjadi optimal. Sesak nafas akan berkurang dan akhirnya
perbaikan konidisi pasien lebih cepat (Supadi, dkk, 2008).
Posisi high fowler adalah posisi dimana tempat tidur di posisikan dengan
ketinggian 60o-90o bagian lutut tidak ditinggikan. Posisi high fowler ini sangat
membantu sangat bagi klien yang mengalami dyspnea karena menghilangkan
tekanan pada diafragma yang memungkinkan pertukaran volume yang lebih
besar dari udara (Barbara, 2009). Tujuan dan mekanisme dilakukan posisi ini
adalah untuk memfasilitasi pasien yang sedang kesulitan bernapas. Posisi high
fowler bertujuan menghilangkan tekanan pada diafragma dan memungkinkan
pertukaran volume yang lebih besar dari udara. Berdasarkan latar belakang
tersebut maka penulis membuat ANALISIS POSISI HIGH FOWLER
TERHADAP PERUBAHAN SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN ASMA
BRONKIAL.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini agar penulis dapat memahami
dan mengaplikasikan Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan
Oksigenasi pada pasien dengan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan
Oksigenasi dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang
utuh dan komprehensif.
6
6
2. Tujuan khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien pemenuhan
kebutuhan oksigenasi di ruang IGD RSUD Cilacap.
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pemenuhan
kebutuhan oksigenasi di ruang IGD RSUD Cilacap.
c. Penulis mampu menyusun intervensi keperawatan pada pasien dengan
pemenuhan kebutuhan oksigenasi di ruang IGD RSUD Cilacap.
d. Penulis mampu mengevaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan
pemenuhan kebutuhan oksigenasi di ruang IGD RSUD Cilacap.
e. Penulis mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien
dengan gangguan oksigenasi.
f. Penulis mampu memberikan inovasi keperawatan pada pasien gangguan
oksigenasi dengan memposisikan high fowler.
C. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Keilmuan
Hasil penulisan ini dapat sebagai bahan kajian dalam pengembangan ilmu
yang berkaitan dengan asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah
kebutuhan dasar oksigenasi.
2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi Mahasiswa
Karya tulis ilmiah ini memberikan manfaat bagi mahasiswa untuk
memberikan informasi mengenai asuhan keperawatan dengan masalah
kebutuhan oksigenasi.
7
7
b. Bagi Rumah Sakit
Sebagai dasar untuk memberikan dan meningkatkan mutu pemberian
asuhan keperawatan dengan kebutuhan oksigenasi.
c. Bagi Institusi
Sebagai bahan referensi dan bahan bacaan dan pembelajaran untuk
memenuhi kebutuhan pembelajaran dan pengetahuan bagi mahasiswa
keperawatan.
38
BAB IV
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Analisis karakteristik pasien
Karakteristik adalah data subyektif dan obyektif yang diperoleh sebagai data
pendukung diagnosis aktual maupun risiko. (Nursalam, 2008)
1. Distribusi pasien berdasar jenis kelamin
Tabel 4.1 Distribusi pasien berdasarkan status kesehatan (n=5).
Jenis kelamin Frekuensi Prosentase
Laki - laki 1 20 %
Perempuan 4 80 %
TOTAL 5 100 %
Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki
merupakan faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada
masa pubertas dan dewasa, prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering
terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007).
2. Distibusi pasien berdasar umur.
Tabel 4.2 Distribusi pasien berdasarkan umur (n=5).
Umur Frekuensi Prosentase
5 - 14 tahun 1 20 %
15 - 34 tahun 0 0 %
>65 tahun 4 80 %
TOTAL 5 100 %
Insiden asma biasanya mengenai anak-anak (7-10 %), yaitu umur 5-14
tahun. Sedangkan pada orang dewasa yaitu sekitar 3-5 % (Asthma and
allergy foundation of America, 2010). Menutut studi yang dilakukan oleh
Australian Institute of Health dan Welfare (2007), kejadian asma pada
kelompok umur 18-34 tahun adalah 14 % , sedangkan >65 tahun menurun
menjadi 8,8 %.
B. Analisis masalah keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian yang sudah dilakukan pada lima pasien, penulis
merumuskan diagnosa keperawatan sebagai berikut :
39
39
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
sekret.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan suplai O2.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan sesak nafas dan kelemahan fisik.
4. Kecemasan berhubungan dengan sesak nafas dan takut.
Perumusan prioritas masalah menurut maslow dalam fundamental of
nursing (2010), kebutuhan dasar manusia yang paling dasar adalah kebutuhan
fisiologis oksigenasi (Potter & Perry, 2010)
Dari beberapa diagnosa keperawatan diatas diagnosa keperawatan
prioritasnya adalah Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
peningkatan sekret.
C. Analisis intervensi dan implementasi keperawatan.
Ketidakefektifan bersihan jalan napas adalah ketidakmampuan
membersihkan sekresi atau obstruksi saluran napas untuk mempertahankan
bersihan jalan napas (Herdman, 2015). Tanda dan gejala masalah
ketidakefektifan jalan napas menurut Herdman (2015) adalah: Batuk yang tidak
efekif, dispnea, gelisah, kesulitan verbalisasi, mata terbuka lebar, ortopnea,
penurunan bunyi napas, perubahan frekuensi napas, sianosis, sputum dalam
jumlah berlebihan, suara napas tambahan, tidak ada batuk.
Diagnosis ini penulis tegakkan sebab ditemukan data subyektif pasien
mengatakan sesak napas dan batuk berdahak sulit dikeluarkan. Pada pasien
terjadi obstruksi sehubungan dengan produksi sekret tanpa disetai kemampuan
klien dalam batuk efektif, membuat sekret yang berkupul tidak dapat keluar
sehingga mempengaruhi bersihan jalan napas.
Kemudian penulis menyusun intervensi berdasar data tersebut diatas
yaitu auskultasi bunyi napas catat adanya bunyi napas tambahan, kekentalan
dan jumlah sputum, atur posisi semifowler, bantu pasien napas dalam, ajarkan
cara batuk efektif, lakukan fisioterapi dada dengan teknik postural drainase
perkusi dan fibrasi dada, kolaborasi pemberian obat nebulizer, intravena
(Doengoes, 2005).
40
40
Implementasi yang dilakukan pre Intervensi auskultasi bunyi nafas, catat
adanya bunyi nafas, dengan rasional untuk mengetahui terjadinya sumbatan
dijalan nafas. Kaji atau pantau frekuensi pernafasan dengan rasional untuk
mengetahui Takipneu. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, peninggian
kepala tempat tidur dengan sudut 45-90 derajat, duduk pada sandaran tempat
tidur dengan rasional memudahkan untuk bernafas. Dorong/bantu latihan
relaksasi nafas dalam dengan rasional untuk memberikan cara kepada pasien
untuk mengontrol dan mengatasi dispnea. Lakukan tindakan fisioterapi dada
dengan rasional untuk mengeluarkan sekret dijalan nafas. Kolaborasi obat
sesuai advis dokter untuk pemberian obat.
D. Inovasi tindakan keperawatan.
Posisi semi-fowler adalah sebuah posisi setengah duduk atau duduk
dimana bagian kepala tempat tidur lebih tinggi atau di naikkan 45° dan posisi
ini dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan kenyamanan dan
memfasilitasi fungsi pernapasan pasien (Musrifatul Uliyah dan Aziz, 2008).
Sedangkan posisi high fowler adalah posisi dimana tempat tidur di posisikan
dengan ketinggian 60o-90o bagian lutut tidak ditinggikan. Posisi high fowler ini
sangat membantu sangat bagi klien yang mengalami dyspnea karena
menghilangkan tekanan pada diafragma yang memungkinkan pertukaran
volume yang lebih besar dari udara (Barbara, 2009). Tujuan dan mekanisme
dilakukan posisi ini adalah untuk memfasilitasi pasien yang sedang kesulitan
bernapas. Dikarenakan ada gaya gravitasi yang menarik diafragma kebawah
sehingga ekspansi paru jauh lebih baik pada posisi semi-fowler, sedangkan pada
posisi highfowler bertujuan menghilangkan tekananpada diafragma dan
memungkinkanpertukaran volume yang lebih besar dari udara.
Tabel 4.3 Distribusi perubahan saturasi oksigen berdasarkan nilai sebelum dan
sesudah dilakukan intervensi pemberian posisi high-fowler (n=5).
Variabel N Min-max Medium Mean
Sebelum posisi high fowler 5 92-93 92,5 92.6
Setelah posisi high fowler 5 95-98 96,5 96,2
41
41
Hasil menunjukan perbedaan rerata perubahan saturasi oksigen posisi
high fowler sebesar 3,6 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan antara posisi high fowler terhadap perubahan saturasi oksigen pada
pasien dengan asma bronkial. Saluran napas adalah sebuah saluran berfungsi
untuk menghantarkan udara antara atmosfer dan alveolus yang berfungsi untuk
pertukaran gas. Udara akan masuk melalui rongga hidung, faring, laring, trakea,
dan berakhir di paru-paru. Di bagian paru-paru itu terjadilah proses pertukaran
gas (Sherwood, 2001) Untuk mendistribusikan udara kedalam paru melalui
trakea, bronkus, dan bronkiolus. Hal yang terpenting dari seluruh bagian
pernapasan adalah menjaga agar saluran tetap terbuka agar udara dapat masuk
dan keluar alveoli dengan mudah (Guyton dan Hall, 2008). Posisi berbaring
high fowler ini sangat membantu bagi klien dengan dyspnea,asma bronkial dan
menghilangkan tekanan pada diafragma memungkinkan pertukaran volume
yang lebih besar dari udara (Barbara, 2009).
E. Keterbatasan penelitian.
Penelitian yang dilakukan penulis sudah sesuai dengan prosedur, namun
demikian masih memiliki keterbatasan yaitu:
1. Penelitian sederhana, menggunakan lima pasien dalam waktu yang singkat.
2. Peneliti hanya melakukan tindakan di IGD sesuai jam praktek sehingga
belum bisa melaksanakan tindakan secara komprehensif dan kontinu.
3. Sumber literatur yang tersedia baik di rumahsakit dan kampus belum
mencukupi sehingga penulis mengambil literatur dari jurnal di internet.
42
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan studi kasus keperawatan pada lima pasien dengan
ketidakefektifan bersihan jalan napas, penulis dapat menarik kesimpulan:
Berdasarkan hasil pengkajian yang sudah dilakukan pada lima pasien, penulis
merumuskan diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
sekret.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan suplai O2.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan sesak nafas dan kelemahan fisik.
4. Kecemasan berhubungan dengan sesak nafas dan takut.
Diagnosa keperawatan prioritasnya adalah Ketidakefektifan bersihan jalan
napas berhubungan dengan peningkatan sekret.
Kemudian penulis menyusun intervensi berdasar data tersebut diatas
yaitu auskultasi bunyi napas catat adanya bunyi napas tambahan, kekentalan
dan jumlah sputum, atur posi semifowler, bantu pasien napas dalam, ajarkan
cara batuk efektif, lakukan fisioterapi dada dengan teknik postural drainase
perkusi dan fibrasi dada, kolaborasi pemberian obat nebulizer, intravena.
Implementasi yang dilakukan pe Intervensi auskultasi bunyi nafas, catat
adanya bunyi nafas, dengan rasional untuk mengetahui terjadinya sumbatan
dijalan nafas. Kaji atau pantau frekuensi pernafasan dengan rasional untuk
mengetahui Takipneu. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, peninggian
kepala tempat tidur dengan sudut 45-90 derajat, duduk pada sandaran tempat
tidur dengan rasional memudahkan untuk bernafas. Dorong/bantu latihan
relaksasi nafas dalam dengan rasional untuk memberikan cara kepada pasien
untuk mengontrol dan mengatasi dispnea. Lakukan tindakan fisioterapi dada
dengan rasional untuk mengeluarkan sekret dijalan nafas. Kolaborasi obat
sesuai advis dokter untuk pemberian obat.
43
43
Setelah dilakukan intervensi dan implementasi keperawatan, selanjutnya
penulis melakukan evaluasi selama proses keperawatan tersebut. Untuk
diagnosa keperawatan yang utama yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan spasme jalan nafas, lendir kental, mukus dalam jumlah
berlebih. Setelah dilakukan proses keperawatan 1 jam yaitu data yang penulis
temukan pada klien yaitu Subjektif; klien mengatakan sesak nafas berkurang
dan sudah tidak batuk berlendir putih kental . Objektif; suara nafas vesikuler,
mukus dalam jumlah sedikit, Assesment ; masalah ketidakefektifan bersihan
jalan nafas klien teratasi. Planning ; Pertahankan intervensi, pertahankan
penggunaan alat bantu O2 2 liter/mnt, memantau TTV dan mengajarkan batuk
efektif
B. Saran
1. Bagi RSUD Cilacap.
Rumah sakit sebagai pusat rujukan pelayanan kesehatan paru - paru
di Jawa tengah sebaiknya selalu memperbaharui informasi ilmu
keperawatan terkini untuk pelayanan kesehatan secara umum dan pelayanan
kesehatan paru-paru secara khusu yang aman dan efektif bagi pasien.
2. Bagi Institusi pendidikan.
Sebagai pencetak tenaga kesehatan sebaiknya institusi pendidikan
berperan aktif dalam menjalin kerja sama dengan rumah sakit untuk
pengembangan ilmu keperawatan sehingga tersinkronisasi antara teori dan
praktek.
3. Bagi penulis selanjutnya.
Bagi penulis selanjutnya sebaiknya jangan ragu untuk melakukan
penelitian dengan ilmu keperawatan yang terbaru dan selalu berinovasi
untuk kemajuan ilmu keperawatan.
44
DAFTAR PUSTAKA
Anas, Tamsuri, 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Pernafasan
Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Anderson, Price Sylvia & Wilson, Lorraine McCarty. 2006. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. Penerbit EGC: Jakarta
Aneci, Rolly, Franly. 2013. Pengaruh Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap
Kestabilan Pola Nafas Pada Pasien TB Paru Di Irina C5 RSUP PROF Dr.
R. D. Kandou Manado. Vol. 3 No. 1 : Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulagi
Aziz, A. Rani, Sidartawan Soegondo. 2008. Panduan Pelayanan Medik:
Perhimpunan Dokter Spesialis Dalam Indonesia. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Darliana, Devi, dkk. 2014. Kebutuhan Aktivitas dan Mobilisasi. Fakultas
Keperawatan Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.
Fitria, Nita. (2009). Prinsip Dasar Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba
Medika.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for
The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. Barcelona: Medical Communications Resources.
Available from: http://www.goldcopd.org
Hermand, T.H. (2014) Nursing Diagnosis : Definitions dan Clasification 2014-
2016. Jakarta :EGC
Jolley CJ and Moxham J. 2006. Respiratory muscles, chest wall, diaphragm, and
other. Encyclopedia of Respiratory Medicine:632-43.
Kozier, Barbara, dkk, 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses
dan Praktek, Edisi 7, Volume 1. Jakarta : EGC.
Melanie, Ritha, 2011. Analisis Pengaruh Sudut Posisi Tidur Terhadap Kualitas
Tidur dan Tanda Vital Pada Pasien Gagal Jantung Di Ruang Intensif RSUP
Dr.Hasan Sadikin Bandung,http://stikesayani.ac.id di akses 20 januari 2014
Mubarok,Wahit Iqbal. (2008). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori Dan
Aplikasi Dalam Praktik.. Jakarta: EGC
45
45
NANDA International. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi, Dan Klasifikasi
2012-2014/Editor, T. Heather Herdman; Alih Bahasa, Made Sumarwati,
Dan Nike Budhi Subekti ; Editor Edisi Bahasa Indonesia, Barrah Bariid,
Monica Ester, Dan Wuri Praptiani. Jakarta; EGC
NANDA International. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi, Dan Klasifikasi
2013-2015/Editor, Amin Huda Nurarif dan Hardhi Kusuma. Jakarta; EGC
Price, Sylvia Anderson, 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta : EGC.
Prawirohartono, Slamet. dan Sri Hidayati. 2007. Sains Biologi SMA/MA Kelas XI.
Jakarta: Bumi Aksara.
Potter & Perry, 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses &
Praktek. Edisi 4, Volume 1, Jakarta : EGC.
Ratih Oemiati, 2013. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) Vol. 23 No. 2 : Jakarta
Refi Safitri, Annisa Andriyani. Keefektifan pemberian posisi semi fowler terhadap
penurunan sesak nafas pada pasien asma di ruang rawat inap kelas III RSUD
dr. Moewardi Surakarta. 2011. [diakses juni 2017] URL:
http://www.jurnal.stikesaisyiyah.ac.id
Ritha, Melanie. (2010). Analisis Pengaruh Sudut Posisi Tidur Terhadap Kualitas
Tidur dan Tanda Vital pada Pasien Gagal Jantung diruang Intensif RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung. Stikes Jenderal A. Yani Cimahi.
Saputra, L. (2012). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Binarupa Aksara.
Smeltzer & Bare. 2011. Keperawatan medikal bedah. Edisi 8 Vol.1. Alih Bahasa :
Agung waluyo. Jakarta. EGC.
Sylvia Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson. (2006). Patofisiologi Konsep
Klinis Proses - Proses Penyakit. EGC. Jakarta
Sudoyo Aru,dkk 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1,2,3, edisi
keempat.InternalPublishing.Jakarta
Supadi, E. N. 2008. Hubungan Analisis Posisi Tidur Semifowler dengan Kualitas
Tidur Pada klien Gagal Jantung Di RSUD Banyumas Jawa Tengah. Jurnal
Kebidanan Dan Keperawatan , 4 No. 2, 97-108,
Tarwoto, Wartonah, 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan,
Penerbit : Jakarta : Salemba Medika.
46
46
Uliyah, Musrifatul & Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008 Praktikum Klinik: Aplikasi
Dasar-Dasar Praktik Kebidanan. Salemba Medika, Jakarta
WHO.(2007). Global Surveillance, Prevention and Controlof Chronic Respiratory.
Disease A. Comprehensive Approach. Available From :
http://whqlibdoc.who.int/publications/2007/9789241563468_eng.pdf
Wilkinson, Judith M. dan Ahern, Nancy R.2011.Buku Saku Diagnosis
Keperawatan Nanda NIC NOC.Edisi 9.Jakarta:EGC
Wong, L., Donna. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong, Ed. 6,
Vol.2.Jakarta: Buku Kedokteran EGC.