Ekstraksi Gigi

110
EKSTRAKSI GIGI 2.1 Definisi Pencabutan gigi merupakan suatu proses pengeluaran gigi dari alveolus, dimana pada gigi tersebut sudah tidak dapat dilakukan perawatan lagi. Pencabutan gigi juga merupakan operasi bedah yang melibatkan jaringan bergerak dan jaringan lunak dari rongga mulut, akses yang dibatasi oleh bibir dan pipi, dan selanjutnya dihubungkan/disatukan oleh gerakan lidah dan rahang. Definisi pencabutan gigi yang ideal adalah pencabutan tanpa rasa sakit satu gigi utuh atau akar gigi dengan trauma minimal terhadap jaringan pendukung gigi, sehingga bekas pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan tidak terdapat masalah prostetik di masa mendatang (Howe, 1999) Pencabutan gigi merupakan tindakan yang sangat komplek yang melibatkan struktur tulang, jaringan lunak dalam rongga mulut serta keselurahan bagian tubuh. Pada tindakan pencabutan gigi perlu dilaksanakan prinsip- prinsip keadaan suci hama (asepsis) dan prinsip-prinsip

Transcript of Ekstraksi Gigi

Page 1: Ekstraksi Gigi

EKSTRAKSI GIGI

2.1 Definisi

Pencabutan gigi merupakan suatu proses pengeluaran gigi dari alveolus,

dimana pada gigi tersebut sudah tidak dapat dilakukan perawatan lagi. Pencabutan

gigi juga merupakan operasi bedah yang melibatkan jaringan bergerak dan

jaringan lunak dari rongga mulut, akses yang dibatasi oleh bibir dan pipi, dan

selanjutnya dihubungkan/disatukan oleh gerakan lidah dan rahang. Definisi

pencabutan gigi yang ideal adalah pencabutan tanpa rasa sakit satu gigi utuh atau

akar gigi dengan trauma minimal terhadap jaringan pendukung gigi, sehingga

bekas pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan tidak terdapat masalah

prostetik di masa mendatang (Howe, 1999)

Pencabutan gigi merupakan tindakan yang sangat komplek yang

melibatkan struktur tulang, jaringan lunak dalam rongga mulut serta keselurahan

bagian tubuh. Pada tindakan pencabutan gigi perlu dilaksanakan prinsip-prinsip

keadaan suci hama (asepsis) dan prinsip-prinsip pembedahan (surgery). Untuk

pencabutan lebih dari satu gigi secara bersamaan tergantung pada keadaan umum

penderita serta keadaan infeksi yang ada ataupun yang mungkin akan terjadi

(Pederson, 1996; Howe, 1999)

2.2 Indikasi dan Kontraindikasi Pencabutan Gigi

2.2.1 Indikasi Pencabutan Gigi (Howe, 1999)

Gigi mungkin perlu di cabut untuk berbagai alasan, misalnya karena sakit

gigi itu sendiri, sakit pada gigi yang mempengaruhi jaringan di sekitarnya, atau

Page 2: Ekstraksi Gigi

letak gigi yang salah. Di bawah ini adalah beberapa contoh indikasi dari

pencabutan gigi:

a. Karies yang parah

Alasan paling umum dan yang dapat diterima secara luas untuk

pencabutan gigi adalah karies yang tidak dapat dihilangkan. Sejauh ini gigi yang

karies merupakan alasan yang tepat bagi dokter gigi dan pasien untuk dilakukan

tindakan pencabutan.

b. Nekrosis pulpa

Sebagai dasar pemikiran, yang ke-dua ini berkaitan erat dengan

pencabutan gigi adalah adanya nekrosis pulpa atau pulpa irreversibel yang tidak

diindikasikan untuk perawatan endodontik. Mungkin dikarenakan jumlah pasien

yang menurun atau perawatan endodontik saluran akar yang berliku-liku,

kalsifikasi dan tidak dapat diobati dengan tekhnik endodontik standar. Dengan

kondisi ini, perawatan endodontik yang telah dilakukan ternyata gagal untuk

menghilangkan rasa sakit sehingga diindikasikan untuk pencabutan.

c. Penyakit periodontal yang parah

Alasan umum untuk pencabutan gigi adalah adanya penyakit periodontal

yang parah. Jika periodontitis dewasa yang parah telah ada selama beberapa

waktu, maka akan nampak kehilangan tulang yang berlebihan dan mobilitas gigi

yang irreversibel. Dalam situasi seperti ini, gigi yang mengalami mobilitas yang

tinggi harus dicabut.

d. Alasan orthodontik

Pasien yang akan menjalani perawatan ortodonsi sering membutuhkan

pencabutan gigi untuk memberikan ruang untuk keselarasan gigi. Gigi yang paling

sering diekstraksi adalah premolar satu rahang atas dan bawah, tapi premolar ke-

Page 3: Ekstraksi Gigi

dua dan gigi insisivus juga kadang-kadang memerlukan pencabutan dengan alasan

yang sama.

e. Gigi yang mengalami malposisi

Gigi yang mengalami malposisi dapat diindikasikan untuk pencabutan

dalam situasi yang parah. Jika gigi mengalami trauma jaringan lunak dan tidak

dapat ditangani oleh perawatan ortodonsi, gigi tersebut harus diekstraksi. Contoh

umum ini adalah molar ketiga rahang atas yang keluar kearah bukal yang parah

dan menyebabkan ulserasi dan trauma jaringan lunak di pipi. Dalam situasi gigi

yang mengalami malposisi ini dapat dipertimbangkan untuk dilakukan

pencabutan.

f. Gigi yang retak

Indikasi ini jelas untuk dilakukan pencabutan gigi karena gigi yang telah

retak. Pencabutan gigi yang retak bisa sangat sakit dan rumit dengan tekhnik yang

lebih konservatif. Bahkan prosedur restoratif endodontik dan kompleks tidak

dapat mengurangi rasa sakit akibat gigi yang retak tersebut.

g. Pra-prostetik ekstraksi

Kadang-kadang, gigi mengganggu desain dan penempatan yang tepat dari

peralatan prostetik seperti gigitiruan penuh, gigitiruan sebagian lepasan atau

gigitiruan cekat. Ketika hal ini terjadi, pencabutan sangat diperlukan.

h. Gigi impaksi

Gigi yang impaksi harus dipertimbangkan untuk dilakukan pencabutan.

Jika terdapat sebagian gigi yang impaksi maka oklusi fungsional tidak akan

optimal karena ruang yang tidak memadai, maka harus dilakukan bedah

pengangkatan gigi impaksi tersebut. Namun, jika dalam mengeluarkan gigi yang

impaksi terdapat kontraindikasi seperti pada kasus kompromi medis, impaksi

Page 4: Ekstraksi Gigi

tulang penuh pada pasien yang berusia diatas 35 tahun atau pada pasien dengan

usia lanjut, maka gigi impaksi tersebut dapat dibiarkan.

i. Supernumary gigi

Gigi yang mengalami supernumary biasanya merupakan gigi impaksi yang

harus dicabut. Gigi supernumary dapat mengganggu erupsi gigi dan memiliki

potensi untuk menyebabkan resorpsi gigi tersebut.

j. Gigi yang terkait dengan lesi patologis

Gigi yang terkait dengan lesi patologis mungkin memerlukan pencabutan.

Dalam beberapa situasi, gigi dapat dipertahankan dan terapi terapi endodontik

dapat dilakukan. Namun, jika mempertahankan gigi dengan operasi lengkap

pengangkatan lesi, gigi tersebut harus dicabut.

k. Terapi pra-radiasi

Pasien yang menerima terapi radiasi untuk berbagai tumor oral harus

memiliki pertimbangan yang serius terhadap gigi untuk dilakukan pencabutan.

l. Gigi yang mengalami fraktur rahang

Pasien yang mempertahankan fraktur mandibula atau proses alveolar

kadang-kadang harus merelakan giginya untuk dicabut. Dalam sebagian besar

kondisi gigi yang terlibat dalam garis fraktur dapat dipertahankan, tetapi jika gigi

terluka maka pencabutan mungkin diperlukan untuk mencegah infeksi.

m. Estetik

Terkadang pasien memerlukan pencabutan gigi untuk alasan estetik.

Contoh kondisi seperti ini adalah yang berwarna karena tetracycline atau

fluorosis, atau mungkin malposisi yang berlebihan sangat menonjol. Meskipun

ada tekhnik lain seperti bonding yang dapat meringankan masalah pewarnaan dan

prosedur ortodonsi atau osteotomy dapat digunakan untuk memperbaiki tonjolan

Page 5: Ekstraksi Gigi

yang parah, namun pasien lebih memilih untuk rekonstruksi ekstraksi dan

prostetik.

n. Ekonomis

Indikasi terakhir untuk pencabutan gigi adalah faktor ekonomi. Semua

indikasi untuk ekstraksi yang telah disebutkan diatas dapat menjadi kuat jika

pasien tidak mau atau tidak mampu secara finansial untuk mendukung keputusan

dalam mempertahankan gigi tersebut. Ketidakmampuan pasien untuk membayar

prosedur tersebut memungkinkan untuk dilakukan pencabutan gigi.

2.2.2 Kontraindikasi Pencabutan Gigi (Howe, 1999)

a. Kontaindikasi sistemik

Kelainan jantung

Kelainan darah. Pasien yang mengidap kelainan darah seperti

leukemia, haemoragic purpura, hemophilia dan anemia

Diabetes melitus tidak terkontrol sangat mempengaruhi penyembuhan

luka.

Pasien dengan penyakit ginjal (nephritis) pada kasus ini bila dilakukan

ekstraksi gigi akan menyebabkan keadaan akut

Penyakit hepar (hepatitis).

Pasien dengan penyakit syphilis, karena pada saat itu daya tahan

terutama tubuh sangat rendah sehingga mudah terjadi infeksi dan

penyembuhan akan memakan waktu yang lama.

Alergi pada anastesi local

Rahang yang baru saja telah diradiasi, pada keadaan ini suplai darah

menurun sehingga rasa sakit hebat dan bisa fatal.

Page 6: Ekstraksi Gigi

Toxic goiter

Kehamilan. pada trimester ke-dua karena obat-obatan pada saat itu

mempunyai efek rendah terhadap janin.

Psychosis dan neurosis pasien yang mempunyai mental yang tidak

stabil karena dapat berpengaruh pada saat dilakukan ekstraksi gigi

Terapi dengan antikoagulan.

b. Kontraindikasi lokal

Radang akut. Keradangan akut dengan cellulitis, terlebih dahulu

keradangannya harus dikontrol untuk mencegah penyebaran yang lebih

luas. Jadi tidak boleh langsung dicabut.

Infeksi akut. Pericoronitis akut, penyakit ini sering terjadi pada saat

M3 RB erupsi terlebih dahulu

Malignancy oral. Adanya keganasan (kanker, tumor), dikhawatirkan

pencabutan akan menyebabkan pertumbuhan lebih cepat dari

keganasan itu. Sehingga luka bekas ekstraksi gigi sulit sembuh. Jadi

keganasannya harus diatasi terlebih dahulu.

Gigi yang masih dapat dirawat/dipertahankan dengan perawatan

konservasi, endodontik dan sebagainya

2.3 Tindakan Anestesi Lokal Pada Pecabutan gigi

2.3.1 Definisi

Anestesi lokal didefinisikan sebagai kehilangan sensasi pada area

tertentuyang dipersarafi oleh nervus tertentu pada tubuh akibat depresi eksitasi

pada serabutsaraf maupun akibat inhibisi pada proses konduksi nervus perifer

(Robinson, 2005)

Page 7: Ekstraksi Gigi

Anestetik lokal menghilangkan penghantaran saraf ketika digunakan

secara lokal pada jaringan saraf dengan konsentrasi tepat. Bekerja pada sebagian

Sistem Saraf Pusat (SSP) dan setiap serabut saraf. Kerja anestetik lokal pada

ujung saraf sensorik tidak spesifik. Hanya kepekaan berbagai struktur yang dapat

dirangsang berbeda. Serabut saraf motorik mempunyai diameter yang lebih besar

daripada serabut sensorik. Oleh karena itu, efek anestetika lokal menurun dengan

kenaikan diameter serabut saraf, maka mula-mula serabut saraf sensorik dihambat

dan baru pada dosis lebih besar serabut saraf motorik dihambat (Robinson, 2005)

2.3.2 Sifat Anestesi Lokal

Sifat Anestetik Lokal yang Ideal (Ganiswarna, 2002):

a. Poten dan bersifat sementara (reversibel)

b. Sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara

permanen (kebanyakan anestetik lokal memenuhi syarat ini).

c. Batas keamanan harus lebar, sebab anestetik lokal akan diserap dari

tempat suntikan.

d. Mula kerja harus sesingkat mungkin.

e. Masa kerja harus cukup lama, sehingga cukup waktu untuk melakukan

tindakan operasi, tetapi tidak sedemikian lama sampai memperpanjang

masa pemulihan.

f. Zat anestetik lokal juga harus larut dalam air, stabil dalam larutan, dan

dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan.

g. Harganya murah

Page 8: Ekstraksi Gigi

2.3.3 Golongan Obat Anestesi Lokal

Anestetik lokal dibagi menjadi dua golongan (Ganiswarna, 2002):

1. Golongan ester (-COOC-) Kokain, benzokain (amerikain), ametocaine,

prokain (nevocaine), tetrakain (pontocaine), kloroprokain (nesacaine).

2. Golongan amida (-NHCO-) Lidokain (xylocaine, lignocaine), mepivakain

(carbocaine), prilokain (citanest), bupivakain (marcaine), etidokain (duranest),

dibukain (nupercaine), ropivakain (naropin), levobupivacaine (chirocaine).

Berikut akan dibahas masing-masing obat yang sering digunakan dalam

kedoktran gigi dalam praktek pencabutan gigi sehari-hari maupun untuk tujuan

anastetik lain.

a. Lignokain (Lidokain)

Sejak diperkenalkan pada tahun 1949, derivat amida dari xylidide ini

sudah menjadi agen anastesi lokal yang paling sering digunakan dalam bidang

kedokteran gigi dan bahkan menggantikan pro-kain sebagai prototipe anastesi

lokal yang umumnya digunakan sebagai pedoman bagi semua agen anastesi

lainnya (Ganiswarna, 2002)

Lignokain dapat menimbulkan anastesi lebih cepat daripada prokain dan

dapat tersebar dengan cepat di seluruh jaringan, menghasilkan anastesi yang lebih

dalam dengan durasi yang cukup lama. Berbeda dengan pro¬kain, lignokain tidak

atau hanya sedikit menimbulkan vasodilatasi dan karena itu hanya membutuhkan

sedikit penambahan vasokonstriktor. Penambahan vasokonstriktor pada larutan

lignokain 2% akan dapat menambah durasi anastesi pulpa dari 5-10 menit menjadi

1-1^ jam dan anastesi jaringan lunak dari 1-11/2 jam menjadi 3-4 jam. Jadi, obat

ini biasanya digunakan dalam kombinasi dengan adrenalin (1:80.000 atau

Page 9: Ekstraksi Gigi

1:100.000) dan tiap mililiter larutan lignokain 2% dengan adrenalin 1:80.000

mengandung:

Lignokain hidroklorit 20 mg

Sodium klorit 6 mg

Adrenalin hidroklorit 0,012 mg

Metil paraben 1 mg

Sodium metabisulfit 0,5 mg

dan sodium hidroksida untuk memodifikasi pH

Berbeda dengan prokain, lignokain selain digunakan untuk anastesi in-

filtrasi atau regional juga dapat digunakan sebagai agen anastesi topikal. Untuk

tujuan inilah, lignokain dipasarkan baik dalam bentuk agar viskous 2% atau salep

5% atau semprotan cair 10% (Ganiswarna, 2002)

Walaupun lignokain dua kali lebih toksik daripada prokain, bila

digu¬nakan dengan dosis yang tepat, dapat menimbulkan beberapa masalah

(Ganiswarna, 2002)

Bila digunakan sebagai agen tunggal, dosis total lignokain jangan lebih

dari 200 mg. Penambahan vasokonstriktor akan meningkatkan dosis total menjadi

350 mg serta memperlambat absorpsi. Pada prakteknya, dosis ini sama dengan

dosis dewasa 8-10 cartridge, jauh melebihi dosis yang biasa dipergunakan pada

satu kunjungan, karena dosis satu cartridge biasanya sudah cukup untuk anastesi

infiltrasi atau regional (Ganiswarna, 2002)

Bila lignokain dalam darah sudah mencapai tingkatan tertentu, berbeda

dengan sebagian besar agen anastesi lokal lainnya, lignokain cenderung

menimbulkan tanda-tanda depresi sistem saraf sentral, termasuk haus, sedasi dan

Page 10: Ekstraksi Gigi

ataksia bukan tanda-tanda stimulasi sistem saraf sentral. Namun kadang-kadang

dapat terjadi tremor dan/atau konvulsi (Ganiswarna, 2002)

Lignokain tidak mempunyai sifat alergenik terhadap agen anastesi lokal

tipe ester, tetapi sebaiknya tidak digunakan untuk pasien yang alergi terha¬dap

agen anastesi lokal tipe amida atau yang alergi paraben. Penggunaan lignokain

juga merupakan kontraindikasi pada penderita penyakit hati yang parah

(Ganiswarna, 2002)

b. Mepivacain (Carbocaine)

Derivat amida dari xylidide cukup populer sejak diper-kenalkan untuk

tujuan klinis pada akhir 1950-an (Ganiswarna, 2002)

Kecepatan timbulnya efek, durasi aksi, potensi dan toksisitasnya mirip

dengan lignokain. Mepivacain tidak mempunyai sifat alergenik terhadap agen

anastesi lokal tipe ester (Ganiswarna, 2002)

Agen ini dipasarkan sebagai garam hidroklorida dan dapat digunakan

untuk anastesi infiltrasi atau regional namun kurang efektif bila digunakan untuk

anastesi topikal. Mepivacain dapat menimbulkan vasokonstriksi yang lebih ringan

daripada lignokain tetapi biasanya mepivacain digu¬nakan dalam bentuk larutan

dengan penambahan adrenalin 1:80.000. Dalam bentuk seperti itu, dosis yang

dipergunakan jangan melebihi dosis maksimal 5 mg/kg berat tubuh. Satu buah

cartridge biasanya sudah cukup untuk anastesi infiltrasi atau regional

(Ganiswarna, 2002)

Mepivacain kadang-kadang dipasarkan dalam bentuk larutan 3% tanpa

penambahan vasokonstriktor, untuk mendapat kedalaman dan durasi anas¬tesi

pada pasien tertentu di mana pemakaian vasokonstriktor merupakan

kontraindikasi. Larutan seperti ini dapat menimbulkan anastesi pulpa yang

Page 11: Ekstraksi Gigi

berlangsung antara 20-40 menit dan anastesi jaringan lunak berdurasi 2-4 jam

(Ganiswarna, 2002)

Obat ini jangan digunakan pada pasien yang alergi terhadap anastesi lokal

tipe amida, atau pasien yang menderita penyakit hati yang parah. Mepivacain

yang dipasarkan dengan nama dagang Carbocaine biasanya tidak mengandung

paraben dan karena itu, dapat digunakan pada pasien yang alergi paraben

(Ganiswarna, 2002)

Toksisitas mepivacain setara dengan lignokain namun bila mepivacain

dalam darah sudah mencapai tingkatan tertentu, akan terjadi eksitasi sistem saraf

sentral bukan depresi, dan eksitasi ini dapat berakhir berupa konvulsi dan depresi

respirasi (Ganiswarna, 2002)

c. Prilokain

Walaupun merupakan derivat toluidin, agen anastesi lokal tipe amida ini

pada dasarnya mempunyai formula kimiawi dan farmakologi yang mirip dengan

lignokain dan mepivacain (Ganiswarna, 2002)

Prilokain umumnya dipasarkan dalam bentuk garam hidroklorida de¬ngan

nama dagang Citanest dan dapat digunakan untuk mendapat anastesi infiltrasi dan

regional. Namun prilokain biasanya tidak dapat digunakan untuk mendapat efek

anastesi topikal (Ganiswarna, 2002)

Prilokain biasanya menimbulkan aksi yang lebih cepat daripada;

ligno¬kain namun anastesi yang ditimbulkannya tidaklah terlalu dalam. Prilokain

juga kurang mempunyai efek vasodilator bila dibanding dengan ligpokain dan-

biasanya termetabolisme dengan lebih cepat. Obat ini kurang toksik dibandingkan

dengan lignokain tetapi dosis total yang dipergunakan sebaiknya tidak lebih dari

400 mg (Ganiswarna, 2002)

Page 12: Ekstraksi Gigi

Salah satu produk pemecahan prilokain adalah ortotoluidin yang dapat

menimbulkan metahaemoglobin. Metahaemoglobin yang cukup besar ha-nya

dapat terjadi bila dosis obat yang dipergunakan lebih dari 400 mg.

Metahaemoglobin 1% terjadi pada penggunaan dosis 400 mg, dan biasanya

diperlukan tingkatan metahaemoglobin lebih dari 20% agar terjadi simtom seperti

sianosis bibir dan membrana mukosa atau kadang-kadang depresi respirasi.

Karena pemakaian satu cartridge saja sudah cukup untuk men-dapat efek anastesi

infiltrasi atau regional yang diinginkan, dan karena setiap cartridge hanya

mengandung 80 mg prilokain hidroklorida, maka resiko terjadinya

metahaemoglobin pada penggunaan prilokain untuk prak-tek klinis tentunya

sangat kecil (Ganiswarna, 2002)

Walaupun demikian, agen ini jangan digunakan untuk bayi, penderita

metahaemoglobinemia, penderita penyakit hati, hipoksia, anemia, penyakit ginjal

atau gagal jantung, atau penderita kelainan lain di mana masalah ok-sigenasi

berdampak fatal, seperti pada wanita hamil. Prilokain juga jangan dipergunakan

pada pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap agen anastesi tipe amida

atau alergi paraben (Ganiswarna, 2002)

Penambahan fefypressin {Octapressiri) dengan konsentrasi 0,03 i.u/ml

(=1:200.000) sebagai agen vasokonstriktor akan dapat meningkatkan baik

kedalaman maupun durasi anastesi. Larutan anastesi yang mengandung

felypressin alcan sangat bermanfaat bagi pasien yang menderita penyakit kardio-

vaskular (Ganiswarna, 2002)

d. Vasokonstriktor

Penambahan sejumlah kecil agen vasokonstriktor pada larutan anastesi

lokal dapat memberi keuntungan berikut ini (Ganiswarna, 2002):

Page 13: Ekstraksi Gigi

1. Mengurangi efek toksik melalui efek penghambat absorpsi konstituen.

2. Membatasi agen anastesi hanya pada daerah yang terlokaiisir sehingga

dapat meningkatkan kedalaman dan durasi anastesi.

3. Menimbulkan daerah kerja yang kering (bebas bercak darah) untuk

prosedur operasi.

Vasokonstriktor yang biasa dipergunakan adalah (Ganiswarna, 2002):

1. Adrenalin (epinephrine), suatu alkaloid sintetik yang hampir mirip

dengan sekresi medula adrenalin alami.

2. Felypressin {Octapressiri), suatu polipeptid sintetik yang mirip dengan

sekresi glandula pituitari posterior manusia. Felypressin mempunyai

sifat vasokonstriktor yang lemah, yang tampaknya dapat diperkuat

dengan penambahan prilokain.

Baik kedalaman dan durasi anastesi dapat dimodifikasi kaiena pera»-

bahkan vasokonstriktor dalam larutan. Karena itu, beberapa pabrik mem-buat

larutan lignokain yang mengandung adrenalin atau noradrenalin dengan

konsentrasi 1:50.000, 1:80.000 atau 1:100.000. Pada umumnya, makin rendah

konsentrasi vasokonstriktor, makin kecil kedalaman dan durasi anastesi

(Ganiswarna, 2002)

Felypressin hanya ditambahkan pada larutan Citanest dengan konsentrasi

0,03 i.u/ml (= 1:20.000). Noradrenalin (laevoarterenol, norepinephrine), suatu

substansi sintetik yang mirip dengan presor amina yang disekresi dalam tubuh

manusia oleh neuron monoaminergik pada otak dan pada pertautan adreno-neural

serta mio-neural sistem saraf simpatetik yang digunakan sebagai vasokonstriktor

untuk larutan anastesi lokal. Walaupun demikian, dan pengalaman terlihat bahwa

penggunaan agen ini dapat menimbulkan efek samping berupa episoda hipertensi

Page 14: Ekstraksi Gigi

yang parah dan kolaps. Karena noradrenalin tidak lebih unggul daripada adrenalin

bila digunakan sebagai vasokonstriktor, maka penggunaan noradrenalin sebagai

tambahan larutan anastesi lokal sudah makin jarang dilakukan (Ganiswarna, 2002)

Adrenalin adalah agen yang paling sering digunakan dan merupakan

vasokonstriktor yang paling efektif, namun reaksi alergi terhadap agen ini juga

tidak jarang terjadi. Pasien yang mengeluh tentang rasa mau pingsan dan mungkin

menyadari adanya denyut jantung yang lebih cepat mungkin alergi terhadap

suntikan adrenalin tersebut. Efek ini biasanya berdurasi singkat karena adrenalin

akan dikeluarkan dari sirkulasi dengan cukup cepat dan akan menjadi tidak aktif

(Ganiswarna, 2002)

Bahkan sisa suntikan adrenalin dalam jumlah kecil sekalipun dapat

menimbulkan efek samping yang hebat pada beberapa pasien yang memang alergi

terhadap preparat komersial. Pasien seperti ini akan memberi reaksi secara

konsisten terhadap larutan anastesi lokal yang mengandung adrenalin berupa

mual, takikardia, palpitasi dan gelisah. Tidak akan terjadi reaksi merugikan pada

penggunaan larutan alternatif bebas adrenalin. Larutan anastesi lokal yang

mengandung adrenalin jangan digunakan bersama dengan agen anastesi umum

yang mengandung hidrokarbon halo-genasi atau siklopropan karena ada

kemungkinan terjadinya fibrilasi ventrikular. Felypressin dapat digunakan dengan

aman pada situasi ini, walaupun tidak menimbulkan vasokonstriksi pada daerafa

kerja dengan derajat yang sama seperti adrenalin (Ganiswarna, 2002)

Felypressin juga dapat digunakan pada pasien dengan tirotoksikosis dan

pada mereka yang menggunakan obat-obat penghambat oksidasi monoamin atau

obat trisiklik (Ganiswarna, 2002)

Page 15: Ekstraksi Gigi

Penderita penyakit jantung iskemia jangan diberi suntikan dengan dosis

lebih dari 8,8 ml 1:20.000 sekali perawatan karena dapat terjadi vasokons-triksi

koroner yang menyebabkan takikardia. Bahkan pada pasien yang sehat sekalipun

jangan diberikan suntikan lebih dari 13 ml pada tiap kun-jungan perawatan.

Sebenarnya dosis inipun sudah jauh lebih tinggi dari-pada dosis normal yang

dibutuhkan untuk perawatan gigi (Ganiswarna, 2002)

Penggunaan felypressin merupakan kontraindikasi pada wanita hamil

karena secara teoritis, dapat memberikan efek oksitoksik. Namun walaupun

demikian, aborsi yang ditimbulkan oleh obat ini baru ditemukan akhir-akhir ini

saja (Ganiswarna, 2002)

Sebaiknya gunakan larutan anastesi lokai dengan dosis sekecil mungkin

agar kemungkinan terjadinya efek samping yang berbahaya dapat dikura-ngi.

Untuk kelompok pasien tertentu seperti wanita hamil atau penderita penyakit

kardiovaskular kita perlu mempertimbangkan faktor-faktor individual terlebih

dahulu sebelum memberi anastesi (Ganiswarna, 2002)

2.3.4 Mekanisme Kerja

Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium

channel), mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan

kalium, sehingga terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi

konduksi saraf. Mekanisme utama aksi anestetik lokal adalah memblokade

“voltage-gated sodium channels”. Membrane akson saraf, membrane otot

jantung, dan badan sel saraf memiliki potensial istirahat -90 hingga -60 mV.

Selama eksitasi, lorong sodium terbuka, dan secara cepat berdepolarisasi hingga

tercapai potensial equilibrium sodium (+40 mV). Akibat dari depolarisasi,, lorong

Page 16: Ekstraksi Gigi

sodium menutup (inaktif) dan lorong potassium terbuka. Aliran sebelah luar dari

repolarisasi potassium mencapai potensial equilibrium potassium (kira-kira -95

mV). Repolarisasi mngembalikan lorong sodium ke fase istirahat. Gradient ionic

transmembran dipelihara oleh pompa sodium. Fluks ionic ini sama halnya pada

otot jantung, dan dan anestetik local memiliki efek yang sama di dalam jaringan

tersebut (Ganiswarna, 2002; Robinson, 2005)

Fungsi sodium channel bisa diganggu oleh beberapa cara. Toksin biologi

seperti batrachotoxin, aconitine, veratridine, dan beberapa venom kalajengking

berikatan pada reseptor diantara lorong dan mencegah inaktivasi. Akibatnya

terjadi pemanjangan influx sodium melalui lorong dan depolarisasi dari potensial

istirahat. Tetrodotoxin (TTX) dan saxitoxin memblok lorong sodium dengn

berikatan kepada chanel reseptor di dekat permukan extracellular. Serabut saraf

secara signifikan berpengaruh terhadap blockade obat anestesi local sesuai

ukuran dan derajat mielinisasi saraf. Aplikasi langsung anestetik local pada akar

saraf, serat B dan C yang kecil diblok pertama, diikuti oleh sensasi lainnya, dan

fungsi motorik yang terakhir diblok (Ganiswarna, 2002; Robinson, 2005)

2.3.5 Efek Samping anestesi lokal

Seharusnya obat anestesi lokal diserap dari tempat pemberian obat. Jika

kadar obat dalam darah menigkat terlalu tinggi, maka akan timbul efek pada

berbagai sistem organ (Howe, 1999).

a. Sistem Saraf Pusat

Efek terhadap SSP antara lain ngantuk, kepala terasa ringan, gangguan

visual dan pendengaran, dan kecemasan. Pada kadar yang lebih tinggi, akan

timbul pula nistagmus dan menggigil. Akhirnya kejang tonik klonik yang terus

Page 17: Ekstraksi Gigi

menerus diikuti oleh depresi SSP dan kematian yang terjadi untuk semua anestesi

lokal termasuk kokain. Reaksi toksik yang paling serius dari obat anestesi lokal

adalah timbulnya kejang karena kadar obat dalam darah yang berlebihan. Keadaan

ini dapat dicegah dengan hanya memberikan anestesi lokal dalam dosis kecil

sesuai dengan kebutuhan untuk anestesi yang adekuat saja. Bila harus diberikan

dalam dosis besar, maka perlu ditambahkan premedikasi dengan benzodiapedin;

seperti diazepam, 0,1-0,2mg/kg parenteral untuk mencegah bangkitan

kejang(Howe, 1999).

b. Sistem Saraf Perifer (Neurotoksisitas)

Bila diberikan dalam dosis yang berlebihan, semua anestesi lokal akan

menjadi toksik terhadap jaringan saraf (Howe, 1999).

c. Sistem Kardiovaskular

Efek kardiovaskular anestesi lokal akibat sebagian dari efek langsung

terhadap jantung dan membrane otot polos serta dari efek secara tidak langsung

melalui saraf otonom. Anestesi lokal menghambat saluran natrium jantung

sehingga menekan aktivitas pacu jantung, eksitabilitas, dan konduksi jantung

menjadi abnormal. Walaupun kolaps kardiovaskular dan kematian biasanya

timbul setelah pemberian dosis yang sangat tinggi, kadang-kadang dapat pula

terjadi dalam dosis kecil yang diberikan secara infiltrasi. Gejala nya bias terlihat

dari terhambatnya pernapasan dan sirkulasi darah (Howe, 1999).

d. Darah

Pemberian prilokain dosis besar selama anestesi regional akan

menimbulkan penumpukan metabolit o-toluidin, suatu zat pengoksidasi yang

mampu mengubah hemoglobin menjadi methemeglobin. Bila kadarnya cukup

besar maka warna darah menjadi coklat (Howe, 1999).

Page 18: Ekstraksi Gigi

e. Reaksi alergi

Reaksi ini sangat jarang terjadi dan hanya terjadi pada sebagian kecil

populasi. Kasus tentang riwayat alergi terhadap berbagai anastesi lokal belum

banyak ditemukan, kecuali pada individu yang memang mempunyai riwayat

alergi terhadap jenis obat anastesi tertentu. (Howe, 1999).

2.3.6 Kontra Indikasi Anastesi Lokal

Kontra indikasi terpenting dari anastesi lokal adalah adanya infeksi akut

pada daerah operasi. Suntikan larutan anastesi lokal ke daerah peradangan akut

akan menyebabkan infeksi menyebar melalui rusaknya daya pertahanan alami

dan jarang dapat menimbulkan efek anastesi. Kadang- kadang anastesi regional

dapat digunakan untuk mendapatkan efek yang di inginkan tetapi sebaiknya

suntikan blok gigi inferior jangan dilakukan pada pasien dengan infeksi dasar

rongga mulut atau daerah retromolar (Howe, 1999).

Anastesi lokal hanya mempunyai beberapa kontraindikasi pada praktek

perawatan gigi sehari-hari. Bahan yang digunakan untuk tujuan ini belum terbukti

dapat mempengaruhi fetus dan kehamilan bukanlah kontraindikasi dari bentuk

anastesi ini,walaupun demikian , untuk penderita penyakit gangguan darah yang

langka seperti haemopilia, penyakit Christmas atau penyakit von willebrand,

jangan digunakan anastesi lokal untuk perawatan gigi karena ada resiko terjadinya

perdarahan di daerah suntikan. Pasien yang terserang penyakit-penyakit tersebut

seringkali meninggal setelah dilakukan penyuntikan blok gigi inferior untuk

prosedur perawatan konservasi, resiko yang berhubungan dengan pencabutan gigi

pada pasien ini mengharuskan pasien dirawat di rumah sakit dan mengharuskan

dilakukannya tindak perawatan haematologi yang menyeluruh (Howe, 1999).

Page 19: Ekstraksi Gigi

Ada beberapa pasien yang memang alergi terhadap bahan larutan anastesi

tertentu. Untung reaksi abnormal ini umumnya bersifat spesifik sehingga dapat

dipergunakan bahan alternatif lain yang mempunyai struktur kimia yang berbeda,

yang tidak atau belum pernah menimbulkan alergi pada pasien yang alergi

terhadap obat tertentu (Howe, 1999).

Adapun efek merugikan dari berbagai agen anestesi lokal modern terhadap

kehamilan masih belum terbukti, walau demikian diperkirakan bahwa

vasokonstriktor felypressin (octapressin)mempunyai efek oksitoksik ringan, dapat

menganggu sirkulasi fetus dan dapat mempercepat kelahiran (Howe, 1999).

Umumnya anestesi lokal yang dilakukan semasa kehamilan dianggap

cukup aman asalkan diberikan dengan hati-hati. Pemeriksaan riwayat kesehatan

yang cermat harus dilakukan sebagai upaya rutin sebelum kita merawat pasien.

Bila pasien dalam keadaan hamil sebaiknya batasi perawatan yang dilakukan,

hanya untuk jenis-jenis perawatan yang diperlukan saja. Prosedur operasi elektif

sebaiknya ditunda setelah masa persalinan. Dan untuk pasien ini tidak perlu

digunakan sejumlah besar larutan anastesi lokal. Obat-obat yang diberikan hanya

obat-obat yang aman dan dosisnya harus sekecil mungkin. Larutan anastesi

optimal yang dapat digunakan untuk perawatan gigi pada pasien tersebut adalah

lidnocain 2% dan adrenalin 1:80.000.sebaiknya batasi dosisi suntikan hanya

sebanyak 2 catridge pada setiap kunjungan. Pengguanaan syringe aspirasi

merupakan keharusan untuk mengurangi resiko terjadinya suntikan intravaskuler

(Howe, 1999).

Page 20: Ekstraksi Gigi

2.3.7 Komplikasi Anestesi Lokal

Pada pemberian anestesi lokal, terdapat komplikasi yang mungkin saja

terjadi. Komplikasi yang disebabkan pemberian anestesi lokal dibagi menjadi dua,

komplikasi lokal, dan komplikasi sistemik. Komplikasi lokal merupakan

komplikasi yang terjadi pada sekitar area injeksi, sedangkan komplikasi sistemik

merupakan komplikasi yang melibatkan respon sistemik tubuh terhadap

pemberian anestesi lokal (Howe, 1999).

2.3.7.1 Komplikasi Lokal

a. Jarum Patah

Penyebab utama jarum patah adalah kondisi jarum yang fatig

akibat dibengkokkan.Jarum patah dapat pula disebabkan oleh kesalahan

teknik saat administrasi, kelainananatomi pasien, serta jarum yang

disterilkan berulang. Apabila kondisi ini terjadi,pasien diinstruksikan

untuk tidak bergerak dan tangan operator jangan dilepaskan darimulut

pasien dan pasang bite block bila perlu. Jika patahan dapat terlihat,

patahandapat dicoba diambil dengan arteri klem kecil. Namun, apabila

jarum tidak terlihat,insisi dan probing tidak boleh dilakukan dan segera

konsultasikan ke spesialis bedahmulut untuk diambil secara surgical

(Howe, 1999).

b. Rasa sakit

Rasa sakit saat administrasi anestesi lokal disebabkan oleh

penggunaan jarum yangtumpul, pengeluaran anestetikum dengan terlalu

cepat, serta tidak menguasai teknik anestesi lokal. Hal ini dapat dicegah

dengan menggunakan anestesi topikal sebelum insersi jarum dan

Page 21: Ekstraksi Gigi

mengeluarkan anestetikum secara perlahan, serta anestetikum yang

digunakan lebih baik jika suhunya sama dengan suhu tubuh (Howe, 1999).

c. Parestesi atau Anestesi Berkepanjangan

Parestesi atau anestesi yang berkepanjangan dapat terjadi akibat

trauma saraf, anestetikum bercampur alkohol, serta adanya perdarahan

pada sekitar saraf. Parestesi berkepanjangan dapat menyebabkan trauma

pada bibir yang tergigit dan apabila mengenai N. Lingualis dapat

menyebabkan mati rasa kecap. Sebagai upaya pencegahan, operator harus

berhati- hati saat administrasi dan menggunakan spuit sekali pakai

sehingga tidak perlu mensterilkan dengan larutan alkohol. Penanggulangan

parestesi yang berkepanjangan dapat dilakukan dengan penjelasan pada

pasien bahwa hal tersebut akan terjadi dalam waktu lama, control setiap

dua bulan, dan apabila berlangsung lebih dari satu tahun maka konsultasi

neurologis diperlukan (Howe, 1999).

d. Paralisis Fasial

Paralisis fasial disebabkan oleh insersi jarum yang terlalu dalam

saat blok N. Alveolaris Inferior sehingga masuk ke kelenjar parotis dan

mengenai cabang saraf wajah, biasanya N. Orbicularis occuli.

Penanggulangan hal tersebut dilakukan dengan memberitahu pasien bahwa

hal tersebut akan berlangsung selama beberapa jam dan mata pasien harus

dilindungi selama refleks berkedip belum kembali (Howe, 1999).

e. Trismus

Trismus merupakan salah satu komplikasi pemberian anestesi

akibat adanya trauma pada M. Mastikatorius atau pembuluh darah pada

intra temporal fossa. Trismus dapat pula disebabkan oleh anestesi lokal

Page 22: Ekstraksi Gigi

yang bercampur alkohol dan berdifusi ke jaringan sehingga mengiritasi M.

Mastikatorius. Penangulangan trismus dilakukan dengan cara pemberian

analgetik, kompes air panas selama 20 menit, latihan buka tutup mulut

selama 5 menit setiap 3-4 jam, dapat pula diberikan permen karet untuk

melatih gerakan lateral. Bila trismus berlanjut lebih dari 7 hari, maka

konsulkan pada spesialis bedah mulut (Howe, 1999).

f. Hematom

Hematom sering terjadi pada komplikasi blok N. Alveolaris

Inferior, N. Alveolaris Superior Posterior, dan N. Mentalis/ Insisif.

Pencegahan hematom dapat dilakukan dengan mengetahui anatomi

sehingga tidak terjadi penyebaran darah ke rongga ekstravaskuler.

Penggunaan jarum pendek pada anestesi N. Alveolaris superiorposterior

juga dapat dilakukan sebagai upaya meminimalisasi hematom.

Penanggulangan hematom akibat administrasi anestesi lokal adalah dengan

menekan perdarahan dan jangan mengompres panas selama 4-6 jam

setelah kejadian, namun setelah satu hari dapat dikompres hangat 20 menit

per jam. Kompres dingin dapat dilakukan segera setelah terjadi hematom

untuk mengurangi perdarahan dan rasa sakit (Howe, 1999).

g. Infeksi

Infeksi terjadi akibat kontaminasi jarum dan dapat menyebabkan

trismus. Bila infeksi berlanjut sampai lebih dari hari ketiga, maka

antibiotik diindikasikan untuk pasien tersebut (Howe, 1999).

h. Edema

Edema disebabkan oleh trauma selama anestesi lokal, infeksi,

alergi, perdarahan, dan penyuntikan anestetikum yang terkontaminasi

Page 23: Ekstraksi Gigi

alkohol. Penanggulangan edema dilakukan dengan observasi bila edema

disebabkan oleh trauma injeksi atau iritasi larutan, biasanya akan hilang 1-

3 hari tanpa terapi. Sedangkan bila lebih dari 3 hari dan disertai rasa sakit

atau disfungsi mandibula, antibiotik sebaiknya diberikan untuk pasien

tersebut (Howe, 1999).

i. Trauma jaringan lunak

Pada pasien anak- anak, atau pasien dengan cacat mental, rasa

baal setelah pemberian anestesi lokal dapat menyebabkan pasien tersebut

mengigit bibir maupun jaringan lunak lainnya. Penanggulangan trauma

jaringan lunak di sekitar area yang dianestesi dilakukan dengan pemberian

salep untuk mengurangi iritasi, analgesic, serta antibiotik jika diperlukan

(Howe, 1999).

j. Lesi intraoral

Lesi intraoral umumnya disebabkan oleh trauma jarum pada

jaringan saat insersi. Penanggulangan lesi ini dilakukan dengan pemberian

topikal anestesi praanestesi, pemberian obat kumur, dan pemberian

antibiotik jika terjadi infeksi (Howe, 1999).

2.3.7.2 Komplikasi Sistemik

a. Reaksi psikis

Reaksi psikis yang sering terjadi sebagai komplikasi sistemik

akibat pemberian anestesi lokal adalah sinkop atau serangan vasovagal.

Hal ini merupakan gangguan emosional sebelum penyuntikan. Pada saat

terjadi reaksi psikis, arteri mengalami vasodilatasi sehingga menyebabkan

volume darah ke jantung berkurang sehingga menyebabkan penurunan

Page 24: Ekstraksi Gigi

umpan balik kardiak yang menyebabkan hilang kesadaran mendadak.

Tanda- tanda reaksi psikis ini adalah pucat, mual, pusing, keringat dingin,

dan jika tidak ditangani cepat kesadaran akan hilang, pupil membesar,

denyut nadi lemah dan tidak teratur. Perawatan reaksi psikis ini adalah

dengan penaganan emergensi sinkop (Howe, 1999).

b. Reaksi toksik

Reaksi toksik pada administrasi anestesi lokal jarang terjadi bila

penyuntikan dilakukan sesuai dengan prosedurnya. Apabila aspirasi tidak

dilakukan sebelum penyuntikan, maka anestetikum akan masuk ke dalam

intravaskuler sehingga menyebabkan overdosis. Tanda- tanda reaksi toksik

adalah terjadi konvulsi, gangguan pernafasan, dan syok (Howe, 1999).

c. Reaksi alergi

Riwayat alergi pasien harus ditanyakan praanestetikum sehingga

meminimalisasi terjadinya reaksi alergi. Reaksi alergi yang terjadi

berbeda- beda dengan tingkat keparahan yang juga berbeda. Tingkat reaksi

alergi yang paling ringan adalah localized skin reaction dengan gejala

lokal eritema, edema, dan pruritus. Untuk tingkatan lesi yang lebih parah

yaitu reaksi pada kulit yang tergeneralisasi, antihistamin perlu diberikan.

Pada kasus alergi yang melibatkan traktus respiratorius, diberikan

epinefrin secara intramuscular kemudian melakukan prosedur

emergensi.Tingkat reaksi alergi yang paling parah adalah syok anafilaktik

yag perlu ditangani dengan segera dengan pemberian epinefrin IM atau IV,

serta penaganan emergensi syok (Howe, 1999).

Page 25: Ekstraksi Gigi

d. Virus Hepatitis/ HIV

Penyebaran kedua virus ini dapat melalui jarum suntik. Oleh

karena itu, jarum suntik harus digunakan sekali pakai sebagai upaya

pencegahan (Howe, 1999).

e. Interaksi obat

Interaksi obat dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat

sistemik. Secara umum, interaksi obat dengan anestesi lokal sangat jarang.

Namun, anestesi lokal yang mengandung noradrenalin dapat merangsang

respon tekanan darah pasien yang mendapatkan antidepresan trisiklik.

Karena itu, noradrenalin tidak dianjurkan untuk dipakai (Howe, 1999).

2.3.8 Persiapan Anestesi Lokal

Sebelum dilakukan pemberian anestesi lokal, operator harus

mempertimbangkan resiko yang dapat terjadi pada pasien. Hal ini disebabkan

olehefek depresan yang merupakan salah satu efek dari obat- obatan anestesi

lokal. Selainitu, obat- obatan anestesi lokal pun memiliki efek samping lain

berupa bronkospasm yang sering kali menyebabkan hiperventilasi maupun

vasodepressor sinkop. Olehkarena itu, keadaan umum pasien perlu dievaluasi

sebelum melakukan tindakan anestesi (Howe, 1999).

Evaluasi Praanestesi dilakukan melalui anamnesis serta evaluasi kondisi

fisik pasien. Dalam anamnesis, pasien ditanyakan tentang riwayat penyakit yang

pernah atau sedang diderita, obat- obatan yang sedang dikonsumi, riwayat alergi,

dan juga beberapa keluhan- keluhan yang mungkin dialami oleh pasien. Dalam

evaluasi praanestesi ini pula ditanyakan tentang ketakutan pasien sebelum

dilakukan anestesi sehingga keadaan psikologis pasien dapat pula dievaluasi.

Page 26: Ekstraksi Gigi

Penyakit-penyakit yang umumnya ditanyakan kepada pasien dalam evaluasi

praanestesi adalah kelainan jantung, hipotensi, diabetes, gagal ginjal, penyakit

liver, alergi terhadap obat, hipertensi, rematik, asma, anemia, epilepsy, serta

kelainan darah. Pemeriksaan fisik praanestesi yang perlu dilakukan adalah

inspeksi visual untuk mengobservasi adanya kelainan pada postur tubuh pasien,

gerakan tubuh, bicara, dan sebagainya; evaluasi tanda vital; serta status kesehatan

fisik menurut ASA (Howe, 1999).

2.3.9 Macam-Macam Teknik Anestesi Lokal Pada Pencabutan Gigi

2.3.9.1 Anestesi Blok

Prinsip dasar dari anestesi lokal juga berlaku untuk anestesi blok syaraf

serta untuk teknik lainnya. Larutan anestesi lokal didepositkan didekat atau

disekitar bundel serat syaraf, untuk mendapatkan anestesi jaringan yang disuplai

oleh bundel nerovaskular. Perbedaan pertama pada kasus anestesi blok syaraf

adalah diperlukannya sejumlah besar larutan anestetik lokal untuk memperoleh

anestesi yang memadai. Selain itu, ukuran anatomi dari bundel syaraf membuat

larutan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menembus bagian tengahnya,

jadi harus diberikan waktu yang lebih lama sebelum prosedur operasi dilakukan

(Robinson, 2005)

Pada teknik anastesi ini kita lakukan penghambatan jalannya penghantar

rangsangan dari pusat perifer.

Dikenal dua cara yaitu (Robinson, 2005):

1. Nerve blok yaitu : anestesi lokal dikenakan langsung pada syaraf,

sehingga menghambat jalannya rangsangan dari daerah operasi

yang diinnervasinya.

Page 27: Ekstraksi Gigi

2. Field blok yaitu: disuntikkan pada sekeliling lapangan operasi,

sehingga menghambat semua cabang syaraf proksimal sebelum

masuk kedaerah operasi.

Anastesi blok berfugsi untuk mengontrol daerah pembedahaan.

Kontraindikasi dari anastesi blok yaitu pada pasien dengan pendarahan, walaupun

perdarahan terkontrol. Kesuksesan anastesi blok tergantung pada pengetahuan

anatomi local dan teknik yang baik (Robinson, 2005)

1. Macam-macam Anestesi Blok Pada Maksila

a. Anestesi Gigi Geligi Permanen

Molar ketiga atas, molar kedua, dan akar distobukal serta palatal molar

pertama diinervasi oleh cabang-cabang saraf gigi superior posterior. Cabang-

cabang kecil dari saraf yang sama akan meneruskan sensasi jaringan pendukung

bukal pada daerah molar dan mukoperiosteum yang melekat padanya. Deposisi

larutan anestesi di dekat saraf setelah saraf keluar dari kanalis tulang, akan

menimbulkan efek anastesi regional dari struktur yang disuplainya. Teknik ini

disebut blok gigi superior posterior (Robinson, 2005)

Sejak diperkenalkannya agen anastesi lokal modern, teknik infiltrasi sudah

lebih sering digunakan untuk daerah tersebut karena deposisi larutan 1 ml,

normalnya memberikan efek anastesi tanpa resiko kerusakan pleksus venosus

pterigoid atau arteri-arteri kecil yang ada di daerah ini (Robinson, 2005)

Akar mesiobukal dari molar pertama, kedua gigi premolar dan jaringan

pendukung bukal serta mukoperiosteum yang berhubungan dengannya mendapat

inervasi dari saraf gigi superior tengah. Teknik infiltrasi biasanya digunakan untuk

menganastesi struktur-struktur tersebut. Deposisi 1 ml larutan sudah cukup untuk

Page 28: Ekstraksi Gigi

menganastesi lingkaran saraf luar yang mensuplai premolar kedua (Robinson,

2005)

a.1 Anastesi Gigi-gigi Anterior Permanen

Gigi-gigi insicivus dan kaninus atas diinervasi oleh serabut yang berasal

dari saraf gigi superior anterior. Saraf ini naik pada kanalis tulang yang kecil

untuk bergabung dengan saraf infraorbital 0,5 cm di dalam kanalis infraorbitalis.

Gigi insicivus sentral, insicivus lateral atau kaninus dapat teranestesi bersama

dengan jaringan pendukungnya, pada penyuntikan 1 ml larutan anestesi di dekat

apeks gigi yang dituju (Robinson, 2005)

a.2 Anastesi Jaringan Palatal

Ujung-ujung saraf pada jaringan lunak palatum berhubungan dengan gigi-

gigi anterior atas dan prenaksila, erta meneruskan sensasi melalui fibril saraf yang

bergabung untuk membentuk saraf speno-palatina panjang. Saraf berjalan melalui

foramen insisivus dan kanalis, ke atas dan ke belakang melewati septum nasal kea

rah ganglion speno-palatina (Robinson, 2005)

Berbagai cabang-cabang kecil dari gingival palatal dan mukoperiosteum di

daerah molar dan premolar akan bergabung untuk membentuk saraf palatine

besar. Stelah berjalan ke belakang di dalam saluran tulang yang terletak di

pertengahan antara garis tengah palatun dan tepi gingival gigi geligi, saraf masuk

ke kanalis melalui foramen palatine besar. Saraf kemudian berjalan naik untuk

bergabung dengan ganglion speno-palatina yang berhubungan dengan saraf

maksilaris (Robinson, 2005)

Saraf speno-palatina panjang dan palatine besar akan beranastomosis di

daerah kaninus palatum dan membentuk lingkaran saraf dalam. Mukoperiosteum

Page 29: Ekstraksi Gigi

palatal mempunyai konsistensi keras dan beradaptasi erat terhadap tulang.

Karakteristik ini menyebabkan suntikan subperiosteal perlu diberikan dan

diperlukan tekanan yang lebih besar dari biasa untuk mendepositkan larutan

anestesi local. Karena itulah, pasien harus diberitahu terlebih dahulu bahwa

suntikan palatal akan menimbulkan rasa tidak enak namun tidak sakit. Rasa

kurang enak ini dapat diperkecil dengan menginsersikan jarum dengan bevel yang

mengarah ke tulang dan tegak lurus terhadap vault palatum. Pada premaksila,

suntikan di papilla insisivus akan menimbulkan rasa sakit yang hebat dank arena

itu, suntikan ini sebaiknya dihindari (Robinson, 2005)

b. Anastesi Gigi-gigi Susu

Pada anak-anak, bidang alveolar labio-bukal yang tipis umumnya banyak

terpeforasi oleh saluran vaskular. Untuk alas an inilah, maka teknik infiltrasi dapat

digunakan dengan efektif untuk mendapat efektif untuk mendapat efek anastesi

pada gigi-gigi susu atas tanpa perlu mendepositkan lebih dari 1 ml larutan secara

perlahan-lahan di jaringan. Penyuntikan harus dilakukan dengan hati-hati untuk

menghindari kesalahan dalam menentukan panjang akar dan insersi jarum yang

terlalu dalam ke jaringan(Robinson, 2005)

Pada anak yang masih muda, rasa tidak enak dari suntikan palatum yang

digunakan untuk prosedur pencabutan gigi atau pemasangan matriks, dapat

dihindari dengan cara sebagai berikut (Robinson, 2005)

Setelah efek suntukan supraperiosteal pada sulkus labio-bukal diperoleh,

jarum diinsersikan dari aspek labio-bukal, melalui ruang interproksimal, setinggi

jaringan gingival yang melekat pada periosteum di bawahnya. Ujung jarum harus

tetap berada pada papilla dan tidak boleh menyentuh tulang. Sejumlah kecil

Page 30: Ekstraksi Gigi

larutan anastesi local didepositkan perlahan sampai mukoperiosteum palatal atau

lingual memucat. Sejumlah kecil larutan anastesi yang didepositkan dengan cara

ini akan memberikan efek anastesi yang memadai pada jaringan palatum. Teknik

ini dikenal sebagai suntikan interpapila dan sering digunakan oleh para ahli

pedodonti. Para ahli lainnya umumnya suka menggunakan suntikan jet atau

suntikan intraligamental (Robinson, 2005)

b.1 Suntikan Infraorbital

Karena teknik infiltrasi sangat efektif bila digunakan pada maksila, maka

anastesi regional umumnya jarang dipergunakan. Walaupunn demikian, suntikan

infraorbital akan sangat bermanfaat bila akan dilakukan pancabutan atau operasi

besar pada daerah insisivus dan kaninus rahang atas. Suntikan ini juga dapat

digunakan untuk menganastesi gigi anterior dimana teknik infiltrasi tidak

mungkin dilakukan karena ada infeksi di daerah penyuntikan (Robinson, 2005)

Teknik ini berdasar pada fakta bahwa larutan akan didepositkan pada

orifice foramen infraorbital, berjalan sepanjang kanalis ke saraf gigi superior

anterior dan superior tengah, menimbulkan anastesi pada gigi-gigi insicivus,

kaninus dan premolar serta struktur pendukungnya. Larutan ini kadang-kadang

dapat mencapai ganglion speno-palatina dan menganastesi lingkaran saraf dalam,

namun seringkali masih diperlukan suntikan palatum tambahan (Robinson, 2005)

Baik cara intraoral maupun ekstraoral dapat digunakan untuk blok

infraorbital. Teknik infraorbital umumnya lebih popular dan memungkinkan

jarum ditempatkan di luar lapang pandang pasien. Suntikan tersebut dapat

dilakukan dengan cara berikut ini (Robinson, 2005)

Page 31: Ekstraksi Gigi

Dengan ujung jari telunjuk lakukanlah palpasi linger infraorbital dan

takikan infraorbital, kemudian geser jari sedikit ke bawah agar terletak tepat di

atas foramen infraorbital. Dengan tetap mempertahankan posisi ujung jari

tersebut, ibu jari dapat digunakan untuk membuka bibir atas dan mengekspos

daerah yang akan disuntik (Robinson, 2005)

2. Teknik-Teknik Anestesi Blok Pada Maksila

a. Blok Nervus Alveolaris Superrior Anterior

Titik suntik terletak pada lipatan mukolabial sedikit mesial dari gigi

kaninus, Arahkan jarum keapeks kaninus, anastetikum dideponir perlahan ke atas

apeks akar gigi tersebut (Robinson, 2005)

Injeksi yang dilakukan pada kedua kaninus biasanya bisa menganastesi

keenam gigi anterior. Injeksi N.Alvolaris Superrior Anterior biasanya sudah

cukup untuk prosedur operatif. Untuk ekstraksi atau bedah, diperlukan juga

tambahan injeksi palatinal pada region kaninus atau foramen incisivum(Robinson,

2005)

b. Blok Nervus Alveolaris Superior Posterior

Blok syaraf alveolaris superior posterior diperoleh dengan menempatkan

jarum didistal molar terakhir, ke atas dan medial, bersudut 45º, memungkinkan

deposisi larutan 1,5 ke permukaan disto bukkal maxilla (Robinson, 2005)

Komplikasi umum dari teknik ini adalah bila beberapa pembuluh darah

plexus vena pterigoid pecah, menimbulkan haematoma. Karena obat-obat

analgesia lokal, teknik infiltrasi meliputi deposisi hanya 1 ml larutan digunakan

(Robinson, 2005)

Page 32: Ekstraksi Gigi

Daerah yang teranestesi:

Gigi-gigi molar kecuali akar molar satu

Processus alveolaris bagian bukkal dari gigi molar termasuk

periosteum.

Jaringan ikat dan membran mukosa

Lipatan zygomatikus pada maxilla

Processus zygomatikus pada maxilla

Tuberositas maxilla

Bagian anterior dan processus coronoideus dari ramus mandibula.

Teknik(Robinson, 2005):

Bila anestesi adalah nervus alveolaris superior posterior dexter

Operator berdiri sebelah kanan depan

Masukkan jari telunjuk kiri kita ke vestibulum oris sebelah

kanan penderita, kemudian jari telunjuk pada daerah lipatan

mukobukkal di sebelah posterior gigi premolar dua sampai

teraba proccesus zygomaticus

Lengan kita turun kebawah sehingga jari telunjuk membuat

sudut 90º terhadap oklusal plane gigi rahang atas, dan

membentuk sudut 45º bidang sagital penderita. Hal ini

dapat dilakukan bilamana penderita dalam keadaan

setengah tutup mulut, sehingga bibir dan pipi dapat ditarik

kelateral posterior

Jari telunjuk disisi merupakan pedoman tempat penusukan

jarum

Page 33: Ekstraksi Gigi

Ambil spoit yang telah disiapkan, dan sebelumnya tempat

yang akan disuntik harus dilakukan desinfeksi terlebih

dahulu

Arah jarum harus sejajar dengan jari kita, penusukan jarum

sedalam ½-¾ inch

Aspirasi, jika tidak darah yang masuk, keluarkan larutan

secara perlahan-lahan sebanyak 1,5 cc.

c. Blok Nervus Intra Orbital

Blok infraorbital paling sering digunakan. Pinggir intra orbital dapat teraba

dengan menggunakan ujung jari pertama, noktah infraorbital dapat diidentifikasi.

Dengan ujung jari tetap pada posisi ini, ibu jari dapat digunakan untuk menarik

bibir atas. Ujung jarum dimasukkan jauh ke dalam sulkus di atas apeks premolar

kedua dan meluas segaris dengan sumbu panjang gigi sampai sedalam 1,5-2 cm

baru larutan analgesic didepositkan . pembengkakan jaringan dapat diraba dibalik

jari pertama bila letak ujung jarum, tepat. Biarkan keadaan ini selama 3 menit,

untuk memastikan diperolehnya analgesia yang memadai (Robinson, 2005)

Saraf yang teranestesi :

Nervus alveolaris superior, anterior dan medium

Nervus infra orbital

Nervus palpebra inferior

Nervus nasalis lateralis

Nervus labialis superior (Robinson, 2005)

Daerah yang teranestesi :

Gigi incisivus sampai premolar

Page 34: Ekstraksi Gigi

Akar mesio bukkal dari molar satu

Jaringan pendukung dari gigi tersebut

Bibir atas dan kelopak atas

Sebagian hidung pada sisi yang sama (Robinson, 2005)

Teknik:

a) Intra oral approach

Dudukkan penderita, kemudian buka mulut sampai dataran oklusal

gigi rahang atas membentuk 45º dengan garis horizontal, dan

penderita disuruh melihat ke arah depan

Kita menggambarkan suatu garis khayal yang lurus, berjalan

vertikal melalui pupil mata ke infra orbital dan gigi premolar dua

rahang atas

Bila sudah menemukan infra orbital notch, maka jari telunjuk yang

kita pakai palpasi, kita gerakkan ke bawah kira-kira ½ cm, disinilah

akan kita temukan suatu cekungan dimana letaknya foramen infra

orbital

Setelah ditemukan foramen infra orbital, maka jari telunjuk tetap

diletakkan pada tempat foramen infra orbitalis untuk mencegah

tembusnya jarum mengenai bola mata

Bibir atas diangkat dengan ibu jari

Lakukan desinfeksi pada muko bukkal regio premolar dua rahang

atas

Pergunakan jarum 27 gauge dan 1 5/8 inch

Page 35: Ekstraksi Gigi

Jarum suntikan tersebut ditusukkan pada lipatan muko bukal regio

premolar dua rahang atas, mengikuti arah garis khayalan yang telah

dibuat. Untuk mengurangi rasa sakit, pada saat jarum menembus

mukosa, injeksikan beberapa strip larutan, kemudian jarum tersebut

diteruskan secara perlahan-lahan, hingga mencapai foramen intra

orbitalis, maka dapat dirasakan oleh jari yang kita letakkan pada

foramen tersebut.

Aspirasi, kemudian keluarkan anestetikum sebanyak 1-1½ cc

(jumlah larutan tersebut tergantung dari kebutuhan) (Robinson,

2005)

b) Extra oral approach

Indikasi : bila intra oral approach tidak dapat dilakukan, misalnya ada

peradangan.

Teknik:

Tentukan letak foramen intra orbital (sama dengan teknik pada

intra oral approach)

Pada waktu akan di tusuk jarum, penderita dianjurkan menutup

mata untuk mencegah kemungkinan bahaya untuk mata

Titik insersi jarum kira-kira 1 cm di bawah foramen infra orbital,

kita memasukkan jarum dengan membuat sudut 45º, dan jarum

tersebut diluncurkan sesuai dengan arah garis khayalan sejajar 1

cm, kemudian keluarkan secara perlahan-lahan larutan anestetik.

Ujung jarum dimasukkan melalui papila nasopalatina sampai ke

lubang masuk kanalis insisivus. Bila tulang berkontak dengan

Page 36: Ekstraksi Gigi

jarum, jarum harus ditarik kira-kira 0,5-1 mm. Kira-kira 0,1-0,2 ml

larutan didepositkan, larutan tidak boleh dikeluarkan terlalu cepat

karena dapat menimbulkan rasa tidak enak. Jaringan akan

memucat, dan timbulnya analgesia cukup cepat (Robinson, 2005)

d. Blok Nervus Naso Palatinus

Nervus naso palatinus keluar dari foramen incisivus. Daerah yang

teranestesi adalah bagian bukkal dari palatum durum sampai gigi caninus kiri dan

kanan (Robinson, 2005)

Tekniknya :

Incisivus papilla ini sangat sensitif, eleh karena itu pada penusukan

jarum yang pertama harus disuntikkan beberapa tetes anestetikum.

Kemudian jarum tersebut diluncurkan dalam arah paralel dengan

longaxis gigi incisivus, dan tetap dalam garis median.

Jarum tersebut diluncurkan kira-kira 2 mm kemudian larutan

anestesi dikeluarkan secara perlahan-lahan sebanyak 0,5 cc.

Jarum yang digunakan adalah jarum yang pendek

Analgesia palatum pada salah satu sisi sampai kekaninus dapat

diperoleh dengan mendepositkan 0,5-0,75 ml larutan pada syaraf

palatina besar ketika syaraf keluar dari foramen palatina besar.

Secara klinis, jarum dimasukkan 0,5 cm. Suntikan diberikan

perlahan karena jaringan melekat erat. Mukosa dapat memutih, dan

ludah dari kelenjar ludah minor dapat dikeluarkan (Robinson,

2005)

Page 37: Ekstraksi Gigi

e. Blok Nervus Palatinus Anterior

Syaraf ini keluar dari foramen palatinus major. Daerah yang teranestesi

adalah bagian posterior dari palatum durum mulai dari premolar (Robinson, 2005)

Indikasi :

Untuk anestesi daerah palatum dari premolar satu sampai molar

tiga

Untuk operasi daerah posterior dari palatum durum (Robinson,

2005)

Teknik:

Nervus palatinus anterior keluar dari foramen palatinus mayor yang

terletak antara molar dua, molar tiga dan 1/3 bagian dari gingiva

molar menuju garis median

Jika tempat tersebut telah ditentukan, tusuklah jarum dari posisi

berlawanan mulut (bila di suntikkan pada sebelah kanan, maka arah

jarum dari kiri menuju kanan)

Sehingga membentuk sudut 90º dengan curve tulang palatinal

Jarum tersebut ditusukkan perlahan-lahan hingga kontak dengan

tulang kemudian kita semprotkan anestetikum sebanyak 0,25-0,5

cc (Robinson, 2005)

3. Teknik Anestesi Blok Pada Mandibula

a. Anestesi Blok Fisher’s

Teknik anestesi blok rahang bawah yang paling sering digunakan adalah

blok saraf alveolaris inferior atau lebih dikenal dengan blok Fisher’s. Teknik blok

Page 38: Ekstraksi Gigi

anestesi blok rahang bawah ini sangat berguna untuk anestesi satu regio pada

rahang bawah.Pada teknik anestesi blok Fisher’s ini, saraf yang teranestesi

meliputi N. Alveolaris inferior, cabang dari N. V3, N. Insisivus, N. Mentalis, dan

N. Lingualis (Robinson, 2005)

Area yang teranestesi dengan teknik blok Fisher’s adalah geligi

mandibular sampai midline, corpus mandibula, ramus inferior, mukoperiosteum

bukal, mukusmembrane anterior pada mandibula gigi molar pertama, dua pertiga

anterior lidah dandasar mulut, serta jaringan lunak lingual dan periosteum

(Robinson, 2005)

Indikasi teknik anestesi blok Fisher’s adalah untuk prosedur pada gigi

rahang bawah multiple pada satu region, anestesi jaringan lunak buccal, anestesi

jaringan lunak lingual. Sedangkan kontraindikasi blok Fisher’s adalah adanya

infeksi atau inflamasi akut pada area injeksi, serta pasien dengan kemungkinan

untuk menggigit jaringan lunak yang teranestesi (Robinson, 2005)

Keuntungan anestesi blok Fisher’s adalah injeksi anestesi di satu tempat

memberikan anestesi pada area yang luas pada satu region. Namun, area yang luas

pada anestesi blok Fisher’s ini tidak diperlukan untuk keperluan prosedur lokal

(Robinson, 2005)

Kerugian lain anestesi blok Fisher’s ini adalah adanya persentase

anesthesia yang tidak cukup, intraoral landmark yang menjadi acuan penyuntikan

kadang tidak terlihat, kadang terjadi aspirasi positif, anestesi lingual dan bibir

bawah menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien (Robinson, 2005)

Tahapan penyuntikan anestesi blok Fisher’s adalah (Robinson, 2005):

Jari telunjuk diletakkan di belakang gigi molar ketiga kemudian

digeser ke lateraluntuk mencar linea oblique eksterna lalu digeser ke

Page 39: Ekstraksi Gigi

median untuk mencari lineaoblique interna melalui trigonum

retromolar

Punggung jari harus menyentuh bucooklusal gigi yang terakhir, lalu

jarumdimasukkan kira- kira pada pertengahan lengkung kuku dari sisi

rahang yang tidak dianestesi yaitu region premolar sampai terasa

kontak dengan tulang.Syringe kemudian digeser kea rah sisi yang akan

dianestesi, harus sejajardataran oklusal, jarum ditusukkan lebih lanjut

sedalam 6mm lalu lakukan aspirasi.Bila aspirasi negative, larutan

anestesi lokal dikeluarkan ½ cc untuk menganestesi N.Lingualis.

Syringe digeser lagi kea rah posisi pertama namun tidak peuh, sampai

region caninus, kemudian jarum ditusukkan lebih dalam menyusuri

tulang kurang lebih 10-15 mm sampai terasa konta jarum dengan

tulang terlepas. Lakukan kebali aspirasi, bila negative, larutan

anestetikum dikeluarkan 1cc untuk menganestesi N.

Alveolariusinferior.

b. Anestesi Blok N. Buccinatorius (Buccal Nerve Block)

Blok N. Buccinatorius ditujukan untuk menganestesi daerah pipi dan

membrane mukosa bukal pada region gigi molar. Saraf yang teranestesi pada blok

ini adalah N. Buccal yang merupakan cabang dari N.V3 yang mempersarafi

jaringan lunak dan periosteum buccal sampai gigi molar mandibular. Anestesi

blok N. Buccinatorius diindikasikan untuk prosedur dental pada region gigi molar

rahang bawah. Namun blok ini merupakan kontraindikasi untuk infeksi atau

terdapat inflamasi akut pada area injeksi (Robinson, 2005)

Teknik Penyuntikan Anestesi Blok N. Buccinatorius(Robinson, 2005):

Page 40: Ekstraksi Gigi

Penyuntikan anestesi blok buccal dilakukan pada coronoid notch, sedikit ke

mediandari linea oblique ramus mandibula. Mukosa bukal dan pipi ditarik

kemudian jarumditusukkan kea rah lateral dan distal di gigi molar ketiga

setinggi 2-3 mm di sekitaroklusal.

aspirasi, bila negative, cairan anestetikum dikeluarkan 0,5 cc

2.3.9.2 Topikal Anestesi

Anestesi topikal adalah obat bius lokal yang digunakan untuk mematikan

permukaan bagian tubuh. Anastesi topical ini dapat digunakan untuk mati rasa

setiap area kulit serta depan bola mata, bagian dalam hidung, telinga atau

tenggorokan, dalam anus dan daerah genital. Anestesi topikal tersedia dalam krim,

salep, aerosol, semprotan, lotion, dan jeli. Contohnya termasuk benzokain,

butamben, dibucaine, lidocaine, oxybuprocaine, pramoxine, proparacaine,

proxymetacaine, dan tetracaine (juga bernama amethocaine) (Howe, 1999)

2.3.9.3 Anestesi Infiltrasi

Cara ini juga disebut sebagai injeksi supraperiosteal, karena tempat

injeksinya didalam jaringan dimana bahan anestesi dideponir dalam hubungannya

dengan periosteum bukal dan labial. Bahan anestesi yang dideponir di atas

periosteum setinggi apeks gigi akan mengalir ke dalam periosteum dan tulang

melalui proses difusi. Bahan anestesi akan berpenetrasi ke dalam serabut syaraf

yang masuk ke apeks gigi sehingga menginervasi alveolus dan membran

periodontal. Dalam keadaan normal, akan terbentuk keadaan anestesia pada

struktur-struktur tersebut (Howe, 1999)

Page 41: Ekstraksi Gigi

2.3.9.4 Anestesi Intraligamen

Anestesi intraligamen dilakukan dengan injeksi yang diberikan di dalam

periodontal ligamen. Injeksi ini menjadi populer setelah adanya syringe khusus

untuk tujuan tersebut. Injeksi intraligamen dapat dilakukan dengan jarum dan

syringe konvensional, tetapi lebih baik dengan syringe khusus, karena lebih

mudah memberikan tekanan yang diperlukan untuk menginjeksikannya ke dalam

ligamen periodontal (Andlaw dan Rock, 1990).

Jarum yang biasa digunakan adalah jarum dengan ukuran 30 gauge pendek

atau sangat pendek, dan syringe dapat dipakai untuk larutan anestesi 1,8 atau 2,2

ml. Untuk mengurangi resiko kerusakan jaringan karena vasokonstriksi,

dianjurkan untuk tidak menggunakan larutan yang mengandung adrenalin, karena

tekanan pada larutan yang disuntikkan tersebut menghasilkan vasokontriksi dalam

ligamen periodontal (Andlaw dan Rock, 1990).

Injeksi intraligamen mempunyai beberapa kelebihan dibanding metode

konvensional. Injeksi ini biasanya lebih nyaman daripada injeksi blok nervus

dental inferior atau injeksi palatal atau infiltrasi bukal pada premaksila . Analgesia

diperoleh dengan sangat cepat dan jaringan lunak disekitarnya sedikit terpengaruh.

Karena analgesia gigi rahang bawah dapat diperoleh melalui cara ini, ini

merupakan salah satu pilihan injeksi yang berguana apabila harus menghindari

injeksi blok pada nervus dental inferior ( Andlaw dan Rock, 1990).

2.3.9.5 Injeksi Intrapapila

Injeksi intrapapila dapat diberikan untuk menghasilkan analgesia jaringan

palatal atau lingual, untuk menghindari suntikan yang lebih terasa sakit yaitu

langsung kedalam jaringan palatal atau lingual (Andlaw dan Rock, 1990).

Page 42: Ekstraksi Gigi

2.4 Prosedur Pencabutan Gigi

2.4.1 Anamnesa

1. Menanyakan dan mencatat identitas penderita :

• Nama : ……………………………………

• Umur : ……………………………………

• Alamat : ……………………………………

• Pekerjaan : ……………………………………

2. Keluhan Utama :

2.1 Menanyakan lokasi gigi yang sakit

2.2 Mulai kapan dirasakan

2.3 Sifat sakit :

a. Terus menerus

b. Kadang-kadang

• Timbulnya rasa sakit :

a. Terus menerus

b. Kadang-kadang

• Rasa sakit menyebar / setempat.

• Sudah diobati / belum :

a. Macam obat ( jenis, jumlah )

b. Asal obat ( resep dokter / beli sendiri )

c. Minum obat terakhir kapan ?

3. Riwayat Kesehatan Umum :

Apakah punya penyakit :

Jantung : keluar keringat dingin, berdebar, sesak nafas, nyeri dada

Kencing manis

Page 43: Ekstraksi Gigi

Keluhan 3 P ( sering kencing, sering lapar, sering haus )

Bila ada luka tidak sembuh-sembuh

Bau mulut khas ( HALITOSIS )

Radang jaringan penyangga – menyebabkan gigi goyang ( tanpa sebab

lokal sebagian besar gigi goyang )

Darah tinggi – bila ada riwayat tekanan darah tinggi – periksa tekanan

darah.

Kehamilan pada wanita

Berapa umur kehamilan.

Yang berhubungan dengan pemberian obat dan anaesthesi.

Alergi – berhubungan dengan pemberian obat.

Asma – apakah asma bronchiale/cardiole yang berhubungan dengan

pemberian obat.

TBC – preventif untuk operator ( drg, perawat gigi ), dengan masker.

Hepatitis :

o berhubungan dengan gejala hepatitis ( rasa mual, muntah, icterus )

o preventif untuk operator ( harus pakai handscoone )

HIV / AIDS / Penyakit kelamin

Bila kesulitan mengetahui Px + / -

Proteksi diri sendiri dengan memakai sarung tangan, masker

(OPERATOR )

Page 44: Ekstraksi Gigi

2.4.2 Pemeriksaan Obyektif

Ektra Oral (Robinson, 2005):

Pipi:

Diraba dengan empat jari dengan menekan pipi secara lembut bila ada

benjolan / pembengkakan kekenyalannya :

- keras / lunak - ada fluktuasi / tidak

Bibir:

ditarik dengan 2 jari ( telunjuk dan jempol ):

untuk bibir bawah – ditarik ke bawah

untuk bibir atas – ditarik ke atas

ada / tidak perubahan warna

ada / tidak benjolan / pembengkakan

Dilakukan perabaan, bila ada perubahan warna / benjolan maka

diraba dengan cara 2 jari ditekankan secara lembut. Bila ada

pembengkakan maka ditentukan bagaimana kekenyalannya, apakah keras

atau lunak. Selain itu dilihat ada fluktuasi atau tidak.

Kelenjar Lymphe

Diraba apakah ada pembengkakan / tidak dengan menggunakan 2 jari

telunjuk + jari tengah

Intra Oral (Robinson, 2005) :

1. Pemeriksaan pada gigi yang sakit dengan :

Perkusi : cara : sama dengan prosedur perkusi

Druk / ditekan : cara : sama dengan prosedur druk pada tumpatan

2. Pemeriksaan pada seluruh gigi di jaringan sekitar gigi.

Page 45: Ekstraksi Gigi

Meliputi : warna, posisi ( malposisi ) karies dan kelainan-kelainan

lainnya

3. Mukosa pipi / jaringan periodontal

2.4.3 Diagnosa Dan Rencana Perawatan

1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan :

· Anamnesa

· Keluhan utama

· Pemeriksaan E.O

· Pemeriksaan I.O (Robinson, 2005)

2. Rencana Perawatan Pencabutan Gigi Permanen

Diagnosa

Bila masih infeksius akut, maka pencabutan di tunda,dan menjelaskan

kepada PX tentang bahaya bila pencabutan dilakukan pada gigi yang

masih dalam keadaan infeksi akut.

Memberi pengobatan dan menjadwal rencana pencabutan.

Memberitahu PX bahwa gigi nya harus dicabut, dan memberitahu setiap

tahap yang akan dilakukan serta menanyakan apakah PX sudah makan

atau belum (Robinson, 2005)

3. Tahap Yang Dilakukan

Memberitahu PX lokasi atau tempat yang akan di anasthesi ( di

suntik)

Asepsis daerah yang akan di lakukan penyuntikan dengan

menggunakan antiseptik

Page 46: Ekstraksi Gigi

Setelah jarum di suntikkan , aspirasi untuk memastikan tidak

terjadi injeksi ekstra vaskuler

Deponir bahan anesthesi secara perlahan apabila terjadi

penumpukkan cairan aneshesi,lakukan massage di tempat yang di

anesthesi

Observasi PX sambil menunggu efek anesthesi(dengan pertanyaan,

apakah PX sudah merasa tebal atau ada efek gringgingan pada

lokasi penyuntikan dan sekitar gigi yang akan dilakukan

pencabutan,bila penyuntikan MA juga ditanyakan apakah terasa

gringgingan pada ujung separo lidah/satu sisi, serta dilakukan

observasi dengan memakai alat,sonde pada gigi melingkar servikal

dan lakukan drug pada gigi untuk memastikan apakah anasthesi

sudah benar-benar sudah bereaksi

Jika anesthesi sudah bereaksi , baru dilakukan ekstraksi

Apabila gigi sudah tercabut, periksa soket untuk memastikan tidak

ada sisa gigi / fragmen tulang

Kompresi soket, lalu gigit tampon kurang lebih 30 menit s/d 1 jam

(Robinson, 2005)

2.4.4 Instruksi Pasca Pencabutan

Memberi instruksi kepada PX :

tidak makan sebelum efek anesthesi hilang, dengan tujuan agar PX

tidak tergigit.

Untuk PX yang perokok dianjurkan tidak merokok dalam waktu 24

jam.

Page 47: Ekstraksi Gigi

Untuk mengunyah, mempergunakan sisi yang tidak di cabut

Tidak diperkenan menghisap – hisap bekas cabutan

Meminum obat yang telah di resepkan dokter gigi

Menjelaskan manfaat dari instruksi, dan akibat bila PX tidak

mematuhi instruksi.

Kontrol pasca pencabutan (PDGI Online, 2010)

2.4.5 Pengaturan Pasien Dan Instrumentasi

1. Pengaturan posisi

a. Posisi kursi

Posisi kursi sedemikian rupa sehingga penderita dapat dicapai operator

dengan sikap yang nyaman, tanpa menimbulkan ketegangan fisik (Peterson, 2003)

b. Posisi penderita

Kepala penderita setinggi bahu operator

Kepala penderita tidak boleh terlalu tengadah terutama pada waktu

pencabutan gigi RA, dan oklusal plane gigi bawah sejajar bidang

horizontal dan setinggi siku operator untuk gigi RB.

Penderita menghadap kedepan waktu pencabutan gigi depan RA

dan RB.

Penderiota menghadap kekiri waktu pencabutan gigi samping

kanan atas.

Penderita menghadap kekanan waktu pencabutan gigi samping kiri

atas.

Siku operator setinggi bahu penderita.

Page 48: Ekstraksi Gigi

c. Posisi operator

Operator berdiri disebelah kanan depan penderita, waktu mencabut

gigi RA dan RB sebelah kiri.

Operator berdiri disebelah kanan belakang penderita waktu

mencabut gigi RB sebelah kanan.

Tangan kanan operator memegang handle tang cabut sedangkan

tangan kiri memegang gigi yang akan dicabut (Peterson, 2003)

2. Cara menggunakan tang cabut

Tang cabut dipegang pada handelnya dengan tangan kanan dan beaks

dimasukkan pada soket gigi sedalam mungkin. Untuk gigi yang berakar satu dan

belum mengalami retraksi gingiva, maka ujung beaks harus sampai dibawah atau

pada cervicalline, sedangkan pada gigi yang berakar lebih dari satu, maka ujung

beaks dimasukkan sampai pada bifurkasi (Peterson, 2003)

3. Gerakan pencabutan

a. Luxasi : gerakan arah linguo-labial, linguo-bucal, palato-labial atau

palato-bucal.

b. Rotasi : gerakan memutar, yaitu diputar sejajar sumbu panjang gigi

yang bersangkutan.

c. Kombinasi : terdiri dari gerakan luxasi dan kombinasi.

d. Extraksi : gerakan mencabut, yaitu mencabut sejajar sumbu

panjang gigi, bila gigi yang bersangkutan telah cukup goyang

(Peterson, 2003)

Page 49: Ekstraksi Gigi

2.4.6 Pencabutan Khusus Gigi Geligi

1. Insisivus

Jarang terjadi kesulitan dalam melakukan pencabutan gigi insisivus kecuali

kalau giginya berjejal, konfigurasi akar rumit, atau gigi sudah dirawat endodontik.

Gigi insisivus atas dicabut dengan menggunakan tang #150, dengan pinch grasp

dan tekanan lateral (fasial/lingual) serta rotasional. Tekanan lateral lebih

ditingkatkan pada arah fasial, sedangkan tekanan rotasional lebih ditekankan

kearah mesial. Tekanan tersebut diindikasikan karena biasanya pembelokan ujung

akar gigi-gigi insisivus adalah kearah distal, bidang labialnya tipis dan arah

pengungkitannya ke facial. Insisivus bawah dicabut dari posisi kanan/kiri

belakang dengan menggunakan tang #150 dan sling grasp. Tekanan permulaan

adalah lateral dengan penekanan kearah facial. Ketika mobilitas pertama

dirasakan, tekanan rotasional dikombinasikan dengan lateral sangat efektif.

Pengungkitan insisivus bawah dilakukan kearah facial, dengan perkecualian

insisivus yang berinklinasi lingual dan berjejal-jejal. Untuk keadaan tersebut

digunakan #74 atau #74N dari kanan/kiri depan. Tang tersebut beradaptasi dengan

baik terhadap insisivus dan digunakan dengan gerak menggoyah perlahan. Karena

insisivus bawah tidak tertanam terlalu kuat, pengungkitan yang perlahan dan

tekanan yang terkontrol akan mengurangi kemungkinan fraktur (Pederson, 1996)

2. Caninus

a. Pencabutan gigi caninus atas

Caninus sangat sukar dicabut. Akarnya panjang dan tulang servikal yang

menutupinya padat dan tebal. Gigi kaninus atas dicabut dengan cara pinch grasp

untuk mendeteksi awal terjadinya ekspansi atau fraktur bidang fasial dan

mengatur tekanan selama proses pencabutan. Tang #150 dipegang dengan telapak

Page 50: Ekstraksi Gigi

tangan keatas merupakan perpaduan yang sangat cocok dengan metode diatas.

Ada alternative untuk gigi kaninus atas, yaitu dengan menggunakan tang kaninus

atas khusus, #1. Pegangannya lebih panjang dan paruh tang beradaptasi lebih baik

dengan akar kaninus. Apabila tang sudah ditempatkan dengan baik pada gigi

tersebut, paruh masuk cukup dalam, dipegang pada ujung pegangan dan control

tekanan cukup baik, maka tekanan pengungkitan dapat dihantarkan. Tekanan

pencabutan utama adalah ke lateral terutama fasial, karena gigi terungkit kearah

tersebut. Tekanan rotasional digunakan untuk melengkapi tekanan lateral,

biasanya dilakukan setelah terjadi sedikit luksasi (Pederson, 1996)

b. Pencabutan gigi kaninus bawah

Kaninus bawah dicabut dengan tang #151, yang dipegang dengan telapak

tangan ke bawah dan sling grasp. Seperti gigi kaninus atas, akarnya panjang,

sehingga memerlukan tekanan terkontrol yang cukup kuat untuk mengekspansi

alveolusnya. Selama proses pencabutan gigi ini, tekanan yang diberikan adalah

tekanan lateral fasial, karena arah pengeluaran gigi adalah fasial. Tekanan

rotasional bias juga bermanfaat (Pederson, 1996)

c. Prosedur pembedahan (open procedure)

Didasarkan atas pertimbangan mengenai pasien, dan kesempurnaan

rencana perawatan, maka penentuan untuk memilih atau menunda prosedur

pembedahan untuk mencabut gigi-gigi kaninus sebaiknya sudah dibicarakan

sebelum pencabutan. Apabila dirasa bahwa untuk pencabutan tersebut diperlukan

tekanan tang yang besar untuk luksasi/ekspansi alveolar, sebaiknya dilakukan

prosedur pembukaan flap (Pederson, 1996)

3. Premolar

a. Pencabutan gigi premolar atas

Page 51: Ekstraksi Gigi

Gigi premolar atas dicabut dengan tang #150 dipegang dengan telapak

keatas dan dengan pinch grasp. Premolar pertama dicabut dengan tekanan lateral,

kearah bukal yang merupakan arah pengeluaran gigi. Karena premolar pertama

atas ini sering mempunyai dua akar, maka gerakan rotasional dihindarkan.

Aplikasi tekanan yang hati-hati pada gigi ini, dan perhatian khusus pada waktu

mengeluarkan gigi, mengurangi insidens fraktur akar. Ujung akar premolar

pertama atas yang mengarah ke palatal menyulitkan pencabutan, dan fraktur pada

gigi ini bias diperkecil dengan membatasi gerak kearah lingual. Gigi premolar

kedua biasanya mempunyai akar tunggal dan dicabut dengan cara yang sama

seperti dengan kaninus atas. Akarnya lebih pendek dan akar bukalnya lebih tipis

dari pada gigi kaninus. Tang #150 digunakan kembali dengan tekanan lateral,

yaitu bukal serta lingual. Pada waktu mengeluarkan gigi kearah bukal, digunakan

kombinasi tekanan rotasional dan oklusal (Pederson, 1996)

b. Pencabutan gigi premolar bawah

Tekhnik pencabutan gigi premolar bawah sangat mirip dengan pencabutan

insisivus bawah. Tang #151 dipegang dengan telapak tangan kebawah dan sling

grasp. Tekanan yang terutama diperlukan adalah lateral/bukal, tetapi akhirnya bias

dikombinasikan dengan tekanan rotasi. Pengeluaran gigi premolar bawah, adalah

kearah bukal (Pederson, 1996)

c. Pencabutan untuk tujuan ortodonsi

Pencabutan gigi premolar sering merupakan persyaratan perawatan

ortodonsi. Gigi-gigi ini biasanya diambil dari orang muda, kadang-kadang

akarnya belum sempurna atau baru saja lengkap. Pencabutan premolar dengan

hanya menggunakan tang, dengan menghindari penggunaan elevator sangat

dianjurkan. Tempat tumpuan yang minimal bagi elevator dapat mengakibatkan

Page 52: Ekstraksi Gigi

luksasi yang tidak disengaja atau bahkan tercabutnya gigi didekatnya pada pasien

muda (Pederson, 1996)

4. Molar

Untuk mengekspansi alveolus pada gigi molar diperlukan tekanan

terkontrol yang besar. Kunci keberhasilan pencabutan gigi-gigi molar adalah

keterampilan menggunakan elevator untuk luksasi dan ekspansi alveolus, sebelum

menggunakan tang. Tekanan yang diperlukan untuk mencabut molar biasanya

lebih besar dari pada gigi premolar (Pederson, 1996)

a. Pencabutan gigi molar atas

Gigi molar atas dicabut dengan menggunakan tang #150, #53 atau #210,

dipegang dengan telapak tangan ke atas dan pinch grasp.apabila ukuran

mahkotanya cocok, lebih sering dipakai #53 daripada #150, karena adaptasi akar

lebih baik dengan paruh anatomi. Tang #210 walaupun ideal untuk pencabutan

molar ketiga atas, dianggap universal dan dapat digunakan untuk mencabut molar

pertama dan kedua kanan dan kiri atas. Tekanan pencabutan utama adalah kea rah

bukal, yaitu arah pengeluaran gigi (Pederson, 1996)

b. Pencabutan gigi molar bawah

Tang yang digunakan untuk pencabutan gigi molar bawah adalah #151,

#23, #222. Tang #151 mempunyai kekurangan yang sama dengan #150 atas bila

digunakan untuk pencabutan molar, yaitu paruh tangnya sempit sehingga

menghalangi adaptasi anatomi yang baik terhadap akar. Tang #17 bawah

mempunyai paruh yang lebih lebar, yang didesain untuk memegang bifurkasi dan

merupakan pilihan yang baik bila mahkotanya cocok. Tang #23 (cowhorn)

penggunaanya berbeda dengan tang mandibula yang lain, dalam hal tekanan

mencengkram yang dilakukan sepanjang proses pencabutan. Tekanan ini

Page 53: Ekstraksi Gigi

dikombinasikan dengan tekanan lateral, yaitu kearah bukal dan lingual, akan

menyebabkan terungkitnya bifurkasi molar bawah dari alveolus, atau fraktur pada

bifurkasi. Tang #222, seperti tang #210 maksila, adalah spesifik untuk molar

ketiga, tetapi sering digunakan pula untuk pencabutan gigi M1 dan M2. Tekanan

lateral permulaan untuk pencabutan gigi molar adalah kearah lingual. Tulang

bukal yang tebal menghalangi gerakan ke bukal dan pada awal pencabutan gerak

ini hanya mengimbangi tekanan lingual yang lebih efektif. Gigi molar sering

dikeluarkan kearah lingual (Pederson, 1996)

2.5 Komplikasi Pencabutan Gigi

Komplikasi akibat pencabutan gigi dapat terjadi oleh berbagai sebab dan

bervariasi pula dalam akibat yang ditimbulkannya. Komplikasi tersebut kadang-

kadang tidak dapat dihindarkan tanpa memandang operator, kesempurnaan

persiapan dan keterampilan operator. Pada situasi perawatan tertentu sekalipun

persiapan pra operasi telah direncanakan sebaik mungkin untuk mencegah atau

mengatasi kemungkinan timbulnya kesulitan melalui hasil diagnosis secara cermat

dan operator telah melaksanakan prinsip-prinsip bedah dengan baik selama

pencabutan gigi (Howe,1999).

A. Macam-Macam Komplikasi Pencabutan Gigi

1. Komplikasi lokal

Komplikasi lokal saat pencabutan gigi.

Komplikasi lokal setelah pencabutan gigi.

3. Komplikasi sistemik.

Page 54: Ekstraksi Gigi

B. Jenis komplikasi yang dapat terjadi (Howe,1999).

1. Kegagalan dari :

Pemberian anastetikum.

Mencabut gigi dengan tang atau elevator.

2. Fraktur dari :

Mahkota gigi yang akan dicabut.

Akar gigi yang akan dicabut.

Tulang alveolar.

Tuberositas maxilla.

Gigi sebelahnya/gigi antagonis.

Mandibula.

3. Dislokasi dari :

Gigi sebelahnya.

Sendi temporo mandibula.

4. Berpindah akar gigi :

Masuk ke jaringan lunak.

Masuk ke dalam sinus maxillaris.

5. Perdarahan berlebihan :

Selama pencabutan gigi.

Setelah pencabutan gigi selesai.

6. Kerusakan dari :

Gusi.

Bibir.

Saraf alveolaris inferior/cabangnya.

Saraf lingualis.

Page 55: Ekstraksi Gigi

Lidah dan dasar mulut.

7. Rasa sakit pasca pencabutan gigi karena :

Kerusakan dari jaringan keras dan jaringan lunak.

Dry socket .

Osteomyelitis akut dari mandibula.

Arthritis traumatik dari sendi temporo mandibula.

8. Pembengkakan pasca operasi :

Edema.

Hematoma.

Infeksi.

Trismus.

Terjadinya fistula oro antral.

Sinkop.

Terhentinya respirasi.

Terhentinya jantung.

Keadaan darurat akibat anastesi.

C. Penanggulangan komplikasi (Howe,1999).

1. Kegagalan anastesi.

Kegagalan anastesi biasanya berhubungan dengan teknik anastesi yang

salah atau dosis obat anastesi tidak cukup (Howe,1999).

Kegagalan pencabutan gigi.

Bila gigi gagal dicabut dengan menggunakan aplikasi tang atau elevator

dengan tekanan yang cukup mak a instrumen tersebut harus dikesampingkan dan

dicari sebab kesulitan. Pada kebanyakan kasus lebih mudah dicabut dengan

tindakan pembedahan (Howe,1999).

Page 56: Ekstraksi Gigi

2. Fraktur.

Fraktur mahkota gigi.

Fraktur mahkota gigi selama pe ncabutan mungkin sulit dihindarkan pada

gigi dengan karies besar sekali atau restorasi besar. Namun hal ini sering juga

disebabkan oleh tidak tepatnya aplikasi tang pada gigi, bila tang diaplikasikan

pada mahkota gigi bukan pada akar atau masa akar gigi, atau dengan sumbu

panjang tang tidak sejajar dengan sumbu panjang gigi. Juga bisa disebabkan oleh

pemilihan tang dengan ujung yang terlalu lebar dan hanya memberi kontak satu

titik sehingga gigi dapat pecah bila ditekan. Dapat pula disebabkan karena tangkai

tang tidak dipegang dengan kuat sehingga ujung tang mungkin terlepas/bergeser

dan mematahkan mahkota gigi. Selain itu juga fraktur mahkota gigi bisa

disebabkan oleh pemberian tekanan yang berlebihan dalam upaya mengatasi

perlawanan dari gigi. Untuk itulah operator harus bekerja sesuai dengan metode

yang benar dalam melakukan pencabuant gigi. Tindakan penanggulangannya

dapat dilakukan dengan memberitahukan kepada pasien bahwa ada gigi yang

tertinggal kemudian dicari penyebabnya secara klinis dengan melalui bantuan

radiografi. Pemeriksaan dengan radiografi dilakukan untuk memperoleh petunjuk

yang berguna untuk mengidentifikasi ukuran dan posisi fraktur gigi yang

tertinggal. Selanjutnya operator mempersiapkan alat yang diperlukan untuk

menyelesaikan pencabutan dan menginformasikan perkiraan waktu yang

diperlukan untuk tindakan tersebut. Sedangkan metode yang digunakan bisa

dengan cara membelah bifurkasi (metode tertutup) atau dengan dengan

pembedahan melalui pembukaan flap (metode terbuka) (Howe,1999).

Page 57: Ekstraksi Gigi

Fraktur akar gigi.

Fraktur yang menyebabkan fraktur mahkota mungkin juga menyebabkan

fraktur akar. Meskipun idealnya semua fragmen akar harus dikeluarkan, tetap i

alangkah bijaksana untuk meninggalkannya pada keadaan-keadaan/kasus-kasus

tertentu. Akar gigi dapat dianggap sebagai fragmen akar gigi bila kurang dari 5

mm dalam dimensi terbesarnya. Pada pasien yang sehat sisa akar dari gigi sehat

jarang menimbulkan masalah dan dalam kebanyakan kasus fragmen akar tersebut

boleh ditinggalkan kecuali bila posisinya memungkinkan untuk terlihat secara

jelas. Pencabutan dari 1/3 apikal akar palatal molar atas bila harus mengikut

sertakan pembuangan sejumlah besar tulang alveolar dan mungkin dipersulit

dengan terdorongnya fragmen kedalam sinus maxlillaris atau menyebabkan

terbentuknya fistula oro antral pada kebanyakan kasus lebih baik dipertimbangkan

untuk ditinggalkan dan tidak diganggu. Dan jika diindikasikan untuk dikeluarkan

sebaiknya didahului dengan pemeriksaan radiografi dan dilakukan oleh operator

yang berpengalaman dengan menggunakan teknik pembuatan flap (Howe,1999).

Fraktur tulang alveolar.

Fraktur tulang alveolar dapat disebabkan oleh terjepitnya tulang alveolar

secara tidak sengaja diantara ujung tang pencabut gigi atau konfigurasi dari akar

gigi itu sendiri, bisa pula bentuk dari tulang alveolar yang tipis atau adanya

perubahan patologis dari tulang itu sendiri. Penanggulangannya dengan cara

membuang fragmen alveolar yang telah kehilangan sebagian besar perlekatan

periosteal dengan menjepitnya dengan arteri klem dan melepaskannya dari

jaringan lunak. Selanjutnya bagian yang tajam bisa dihaluskan dengan bone file

dan dapat dipertimbangkan apakah diperlukan penjahitan untuk mencegah

perdarahan (Howe,1999).

Page 58: Ekstraksi Gigi

Fraktur tuber maxillaris

Fraktur tuber maxillaris kadang-kadang dapat terjadi karena penggunaan

elevator yang tidak terkontrol, dapat pula disebabkan geminasi patologis antara

gigi molar kedua atas yang telah erupsi dengan gigi molar ketiga atas yang tidak

erupsi. Penanggulangannya maka kita harus meninggalkan pemakaian tang atau

elevator dan dibuat flap muko periosteal bukal yang luas, tuber yang fraktur dan

gigi tersebut kemudian dibebaskan dari jaringan lunak pada palatal dengan alat

tumpul (raspatorium) dan kemudian gigi dikeluarkan dari soketnya. Flap jaringan

lunak kemudian dilekatkan satu sama lain dan dijahit (Howe,1999).

Fraktur gigi yang berdekatan atau gigi antagonis.

Fraktur seperti ini dapat dihindarkan dengan cara pemeriksaan pra operasi

secara cermat apakah gigi yang berdekatan dengan gigi yang akan dicabut

mengalami karies, restorasi besar, atau terletak pada arah pencabutan. Bila gigi

yang akan dicabut merupakan gigi penyokong jembatan maka jembatan harus

dipotong dulu dengan carborundum disk atau carborundum disk intan s ebelum

pencabutan. Bila gigi sebelahnya terkena karies besar dan tambalannya goyang

atau overhang maka harus diambil dulu dan ditambal denga tambalan semenatra

sebelum pencabutan dilakukan. Tidak boleh diaplikasikan tekanan pada gigi yang

berdekatan selama pencabutan dan gigi lain tidak boleh digunakan sebagai

fulkrum untuk elevator kecuali bila gigi tersebut juga akan dicabut pada

kunjungan yang sama. Gigi antagonis bisa fraktur jika gigi yang akan dicabut tiba-

tiba diberikan tekanan yang tidak terkendali dan tang membentur gigi tersebut.

Teknik pencabutan yang terkontrol secara cermat dapat mencegah kejadian

tersebut. Penggunaan mouth gags dan penyangga gigi yang tidak bijaksana dapat

menyebabkan kerusakan pada gigi lain selain gigi yang akan dicabut, terutama

Page 59: Ekstraksi Gigi

pada anastesi umum. Adanya gigi dengan restorasi besar atau gigi goyang,

mahkota tiruan atau jembatan harus dicatat dan diperhatikan oleh anastesi. Gigi-

gigi tersebut harus dihindarkan bila mungkin dan mouth gags/pengganjal gigi

dipasang ditempat yang aman dari hal-hal diatas (Howe,1999).

Fraktur mandibula.

Fraktur mandibula dapat terjadi bila digunakan tekanan yang berlebihan

dalam mencabut gigi. Bila tidak dapat dicabut dengan tekanan sedang maka harus

dicari penyebabnya dan diatasi. Selain itu juga bisa disebabkan oleh adanya hal-

hal patologis yang melemahkan misalnya, adanya otseoporosis senile,atrofi,

osteomyelitis, post terapi radiasi atau osteo distrofi seperti osteitis deforman,

fibrous displasia, atau fragile oseum. Fraktur mandibula pada saat pencabutan gigi

bisa pula disebabkan oleh gigi yang tidak erupsi, kista atau tumor. Pada keadaan

tersebut pencabutan gigi hanya boleh dilakukan setelah pemeriksaan radiografis

yang cermat serta dibuat splint sebelum operasi. Pasien harus diberitahu sebelum

operasi tentang kemungkinan fraktur mandibula dan bila komplikasi ini terjadi

penanganannya harus sesegera mungkin. Untuk alasan-alasan tersebut sebagian

besar dapat ditangani dengan baik oleh ahli bedah mulut. Bila fraktur terjadi pada

praktek dokter gigi maka dilakukan fiksasi ekstra oral dan pasien dirujuk

secepatnya ke Rumah Sakit terdekat yang ada fasilitas perawatan bedah mulut

(Howe,1999).

3. Dislokasi.

Dislokasi dari gigi yang berdekatan. Dislokasi dari gigi yang berdekatan

selama pencabutan ini dapat dihindari dengan menggunakan elevator yang tepat

dan sebagian besar tekanan dititik beratkan pada septum interdental. Selama

Page 60: Ekstraksi Gigi

penggunaan elevator jari harus diletakkan pada gigi yang berdekatan dengan gigi

yang akan dicabut untuk mendeteksi adanya kegoyangan pada gigi yang

berdekatan dengan gigi yang akan dicabut (Howe,1999).

Dislokasi dari sendi temporo mandibula.

Dapat terjadi pada pasien dengan riwayat dislokasi rekuren tidak boleh

dikesampingkan. Komplikasi ini pada pencabutan dapat dicegah bila pembukaan

rahang bawah tidak sampai maksimal dan bila rahang bawah dipegang (fiksasi)

dengan baik oleh operator selama pencabutan. Dislokasi dapat pula disebabkan

oleh penggunaan mouth gags yang ceroboh. Jika terjadi dislokasi maka mouth

gags harus dikurangi regangannya (Howe,1999).

Cara penanggulangan dislokasi temporo mandibular joint operator berdiri

didepan pasien dan menempatkan ibu jarinya kedalam mulut pada Krista oblique

eksterna, dilateral gigi molar bawah yang ada, dan jari-jari lainnya berada ditepi

bawah mandibula secara ekstra oral, tekan kebawah dari kedua ibu jari, kemudian

dorong ke posterior, kemudian lepaskan sehingga rahang oklusi selanjutnya

dilakukan fiksasi dengan elastic verban (fiksasi ekstra oral). Kemudian pasien

diingatkan agar tidak membuka mulut terlalu lebar atau menguap terlalu sering

selama beberapa hari pasca operasi. Perawatan dislokasi temporo mandibular joint

tidak boleh terlambat karena dapat menyebabkan spasme otot akibatnya

mempersulit pengembalian sendi temporo mandibular joint pada tempatnya

kecuali dibawah anastesi umum (Howe,1999).

4. Berpindahnya akar gigi.

Masuknya akar gigi ke dalam jaringan lunak.

Berpindahnya akar gigi masuk kedalam jaringan lunak merupakan

komplikasi yang biasanya terjadi karena akar gigi tidak dipegang secara efektif

Page 61: Ekstraksi Gigi

pada keadaan lapang pandang yang terbatas. Komplikasi ini dapat dihindari bila

operator mencoba untuk memegang akar dengan pandangan langsung.

Masuknya akar gigi ke dalam sinus maxillaris.

Komplikasi ini biasanya pada pencabutan gigi premolar/molar rahang atas

dan yang lebih sering akar palatal. Adanya sinus yang besar adalah faktor

predisposisi tapi insiden ini dapat dikurangi bila petunjuk sederhana ini

diperhatikan (Howe,1999).:

a. Jangan menggunakan tang pada akar gigi posterior atas kecuali bila

panjang gigi atau akar gigi terlihat cukup besar baik dalam arah palatal dan bukal,

sehingga ujung tang dapat mencengkram akar gigi dan operator dapat melihatnya

dengan jelas.

b. Tinggalkan 1/3 ujung akar palatal molar atas bila tertinggal selama

pencabutan dengan tang kecuali bila ada indikasi positif untuk mengeluarkannya.

c. Jangan mencoba mencabut akar gigi atas yang patah dengan

memasukkan instrument kedalam soket. Bila di indikasikan unutk pencabutan

sebaiknya dibuat flap muko periosteal yang luas dan buang tulang secukupnya

sehingga elevator dapat dimasukkan diatas permukaan akar yang patah sehingga

semua tekanan dapat dialihkan pada akar gigi yang tertinggal dan cenderung

menggerakkannya kebawah jauh dari sinus. Adanya riwayat perforasi sinus dari

riwayat pencabutan sebelumnya tidak boleh diabaikan, karena kemungkinan

pasien memiliki sinus maxillaris yang besar. Bila akar masuk ke sinus maxillaris

maka pasien harus dirujuk ke ahli bedah mulut atau ahli THT dan tindakan

pencabutan gigi serta penutupan fistula oro antral dilakukan dengan anastesi

umum (Howe,1999).

Page 62: Ekstraksi Gigi

5. Perdarahan berlebihan.

Perdarahan berlebihan mungkin merupakan komplikasi pencabutan gigi.

Oleh karena itu anamnesis harus dilakukan secara cermat untuk mengungkap

adanya riwayat perdarahan sebelum melakukan pencabutan gigi. Bila pasien

mengatakan belum pernah mengalami perdarahan berlebihan maka harus dicari

keterangan yang lebih terperinci mengenai riwayat tersebut. Perhatikan secara

khusus hubungan waktu antara perdarahan dengan lamanya pencabutan (trauma

jaringan) dan banyaknya perdarahan dan pemeriksaan laboratorium harus

dilakukan (diindikasikan). Riwayat keluarga pasien yang pernah mengalami

perdarahan akibat suatu tindakan operasi juga amat penting. Pasien dengan adanya

riwayat diatas harus dirujuk ke ahli hematologi untuk dilakukan pemeriksaan lebih

cermat sebelum tindakan pencabutan gigi dilakukan. Bila pasien memiliki riwayat

perdarahan pasca pencabutan maka sangat bijaksana jika membatasi jumlah gigi

yang akan dicabut pada kunjungan pertama dan menjahit jaringan lunak serta

memonitro penyembuhan pasca pencabutan gigi. Bila tidak terjadi komplikasi

maka jumlah gigi yang akan dicabut pada kunjungan berikutnya dapat

ditingkatkan secara perlahan-lahan. Perembesan darah secara konstan selama

pencabutan gigi dapat diatasi dengan aplikasi gulungan tampon atau dengan

penggunaan suction. Perdarahan yang lebih parah dapat diatasi dengan pemberian

tampon yang diberi larutan adrenalin : aqua bidest 1 : 1000 dan dibiarkan selama 2

menit dalam soket. Perdarahan yang disebabkan pembuluh darah besar jarang

terjadi dan bila ini terjadi maka pembuluh darah tersebut harus ditarik dan dijepit

dengan arteri klem kemudian dijahit/cauter. Perdarahan pasca operasi dapat terjadi

karena pasien tidak mematuhi instruksi atau sebab lain yang harus segera

ditemukan. Cara penanggulangan komplikasi seperti pada kebanyakan kasus

Page 63: Ekstraksi Gigi

disarankan untuk melakukan penjahitan pada muko periosteal, jahitan horizontal

terputus paling cocok dan untuk tujuan ini harus diletakkan pada soket sesegera

mungkin. Tujuan dari penjahitan ini adalah bukan untuk menutup soket tetapi

untuk mendekatkan jaringan lunak diatas soket untuk mengencangkan muko

perioteal yang menutupi tulang sehingga menjadi iakemik. Karena pada

kebanyakan kasus perdarahan tidak timbul dari soket tetapi berasal dari jaringan

lunak yang berada disekitarnya, selanjutnya pasien diinstruksikan untuk menggigit

tampon selama 5 menit setelah penjahitan. Bila perdarahan belum teratasi maka

kedalam soket gigi dapat dimasukkan preparat foam gelatin atau fibrin (surgicel,

kalsium alginat) setelah itu pasien disuruh menggigit tampon dan kemudian

dievaluasi kembali dan bila tetap tidak dapat diatasi sebaiknya segera dirujuk ke

Rumah sakit terdekat untuk memperoleh perawatan lebih intensif lagi

(Howe,1999).

6. Kerusakan.

Kerusakan pada gusi.

Dapat dihindari dengan pemilihan tang secara cermat serta teknik

pencabutan gigi yang baik. Bila gusi menempel pada gigi yang akan dicabut dari

soketnya, gusi harus dipisahkan secara hati-hati dari gigi dengan menggunakan

asrpatorium (dengan gunting/scalpel) sebelum gigi dikeluarkan.

Kerusakan pada bibir.

Bibir bawah dapat terjepit diantara pegangan tang dengan gigi anterior,

bila tidak diperhatikan dengan baik. Tangan operator yang terampil dapat

membuat bibir bebas dari kemungkinan tersebut.

Kerusakan saraf alveolaris inferior.

Page 64: Ekstraksi Gigi

Kerusakan dapat dicegah atau dikurangi hanya dengan diagnosis pra

operasi dan pembedahan secara cermat.

Kerusakan saraf mentalis.

Kerusakan saraf mentalis dapat terjadi selama pencabutan gigi premolar

bawah atau oleh infeksi akut jaringan disekitarnya.

Kerusakan saraf lingualis.

Saraf lingualis dapat rusak oleh pencabutan dengan trauma yang besar

pada gigi molar bawah dimana jaringan lunak lingual terkena bor sebelum

pembuangan tulang.

Kerusakan pada lidah dan dasar mulut.

Lidah dan dasar mulut tidak akan mengalami kerusakan jika aplikasi tang

dan penggunaan elevator dilakukan secara hati-hati dan terkontrol. Komplikasi ini

lebih banyak terjadi pada pencabutan gigi dengan anastes i umum. Jika operator

menggunakan elevator tanpa kontrol yang tepat maka dapat meleset mengenai

lidah atau dasar mulut, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak.

Perdarahan dapat diatasi dengan menarik lidah dan penjahitan (Howe,1999).

7. Rasa sakit pasca operasi.

Rasa sakit pada jaringan keras.

Rasa sakit dapat diakibatkan trauma jaringan keras karena terkena

instrument atau bor yang terlalu panas selama pembuangan tulang. Dengan

pencegahan secara teknsi melalui irigasi dan menghaluskan tepi tulang tajam

dengan bone file serta membersihkan soket tulang sete lah pencabutan dapat

menghilangkan kemungkinan penyebab rasa saki t pasca pencabutan gigi

(Howe,1999).

Page 65: Ekstraksi Gigi

Kerusakan jaringan lunak.

Kerusakan jaringan lunak dapat terjadi oleh beberapa sebab misalnya insisi

yang kurang dalam sehingga bentuk flapnya compang camping yang membuat

proses penyembuhan menjadi lambat. Flap yang terlalu kecil retraksi untuk

membesarkan flap mungkin diperlukan, dan bila jaringan lunak tidak dilindungi

seperlunya maka jaringan lunak bisa tersangkut bor (Howe,1999).

Dry Socket.

Keadaan klinis merupakan ostetiis yang terlokalisir yang melibatkan

semua atau sebagian tulang padat pembatas soket gigi atau lamina dura.

Penyebabnya tidak jelas tetapi terdapat banyak faktor predisposisi seperti faktor

infeksi sebelum, selama atau setelah pencabutan gigi merupakan faktor pemicu

namun banyak juga gigi dengan abses dan infeksi dicabut tanpa menyebabkan dry

socket. Meskipun benar bahwa setelah penggunaan tekanan yang berlebihan

selama pencabutan gigi dapat menimbulkan rasa sakit yang berlebihan tetapi ini

tidak selalu terjadi, dan komplikasi ini dapat juga terjadi pada pencabutan gigi

yang sangat mudah. Banyak ahli menduga bahwa pemakaian vaso konstriktor

dalam larutan anastesi lokal dapat memicu terjadinya dry socket dengan

mempengaruhi aliran darah dalam tulang, dan keadaan ini lebih sering terjadi pada

pencabutan gigi dibawah anastesi lokal dibandingkan dengan anastesi umum.

Komplikasi dry socket lebih sering terjadi pada pencabutan gigi bawah dari pada

gigi atas. Cara penanggulangannya bila terjadi dry socket adalah ditujukan untuk

menghilangkan sakit dan mempercepat penyembuhan. Soket harus diirigasi

dengan larutan normal saline hangat dan semua bekuan darah degenerasi dikuret.

Tulang yang tajam dihaluskan dengan bone file/knabel tang kemudian diberi resep

antibiotika dan analgetika yang adekuat (Howe,1999).

Page 66: Ekstraksi Gigi

8. Pembengkakan pasca operasi.

Edema.

Pembengkakan pasca operasi selama pencabutan gigi dapat menimbulkan

edema traumatik sehingga menghambat penyembuhan luka. Hal ini biasanya

disebabkan trauma instrumen tumpul, retraksi berlebihan dari flap yang tidak baik

atau tersangkut putaran bor merupakan faktor predisposisi keadaan ini

(Howe,1999).

Hematoma.

Penjahitan yang terlalu kencan g dapat menyebabkan pembengkakan pasca

operatif akibat edema atau terbentuk hematoma dapat menyebabkan robeknya

jaringan lunak serta putusnya ikatan jahitan (Howe,1999).

Infeksi.

Penyebab yang sering terjadi pembengkakan pasca operasi adalah infeksi

pada daerah bekas penc abutan karena masuknya mikroorganisme yang patogen.

Bila terdapat pus dan fluktuasi positif harus harus dilakukan insisi dan drainase

serta pemberian antibiotika yang adekuat. Sedang jika infeksi cukup parah atau

telah meluas ke submaxilla dan sublingual sebaiknya segera dirujuk ke Rumah

Sakit yang mempunyai fasilitas Bedah Mulut (Howe,1999).

Trismus.

Trismus dapat didefinisikan sebagai ketidak mampuan membuka mulut

akibat spasme otot. Keadaan ini dapat disebabkan edema pasca operasi,

pembentukan hematoma atau peradangan jaringan lunak. Pasien dengan arthritia

traumatik sendi temporo mandibular joint juga dapat memiliki keterbatasan

membuka mulut (gerakan mandibula). Terapi trismus bervariasi tergantung

Page 67: Ekstraksi Gigi

penyebabnya. Kompres panas/penyinaran dengan solux atau kumur-kumur dengan

normal saline hangat dapat mengurangi rasa sakit pada kasus ringan, tapi pada

kasus lain kadang-kadang diperlukan pemberian antibiotika, anti inflamasi atau

analgetika yang mengandung muscle relaxan, neurotropik vitamin atau dirujuk

kepada spesialis bedah mulut ahli temporo mandibular joint untuk mengurangi

gejalanya (Howe,1999).

Terjadinya fistula oro antral.

Bila terjadi komplikasi tersebut maka harus segera dilakukan penutupan

dengan flap muko periosteal (merujuk ke ahli bedah mulut/THT) (Howe,1999).

Sinkop (takut berlebihan/over ansieti).

Serangan sinkop ini mempunyai gejala-gejala pusing, lemah, mual diiringi

kulit menjadi pucat, dingi dan berkeringat kemudian dilanjutkan dengan

kehilangan kesadaran. Pertolongan pertama harus dilakukan dengan secepatnya

dan sedetikpun pasien tidak boleh lepas dari pengawasan/kehilangan komunikasi

verbal. Kepala pasien direndahkan dengan merubah posisi sandaran kursi. Pakaian

pasien dilonggarkan, kepala dimiringkan perhatikan jalan nafas. Jika pasien sudah

sadar baru diberikan cairan yang mengandung glukosa. Biasanya kesembuhan

pasien spontan dan terkadang pencabutan gigi dapat dilanjutkan. Jika kesadaran

tidak kembali maka pertolongan pertama harus segera diberikan karena penyebab

pingsan mungkin bukan berasal dari sinkop. Dan harus segera diberikan oksigen

serta pertolongan medis lain harus segera dipanggil. Bila pernafasan terhenti

dengan tanda-tanda otot skelet menjadi lemah dan pupil dilatasi (melebar) maka

pasien harus segera dibaringkan dilantai dan jalan nafas harus dilapangkan dengan

mengeluarkan semua peralatan atau benda asing dan kemudian dilakukan

resusitasi (Howe,1999).

Page 68: Ekstraksi Gigi

2.6 Prinsip-Prinsip Pencabutan Gigi

a. Asepsis

Untuk menghindarkan atau memperkecil bahaya inflamasi, seharusnya

bekerja secara asepsis, artinya melakukan pekerjaan dengan menjauhkan segala

kemungkinan kontaminasi dari kuman atau menghindari organisme patogen.

Asepsis secara praktis merupakan suatu teknik yang digunakan untuk

memberantas semua jenis organisme. Tindakan sterilisasi dilakukan pada tim

operator, alat-alat yang dipergunakan, kamar operasi, pasien terutama pada daerah

pembedahan (Howe,1999).

b. Pembedahan atraumatik

Pada saat ekstraksi gigi harus diperhatikan untuk bekerja secara hati-hati,

tidak kasar, tidak ceroboh, dengan gerakan pasti, sehingga membuat trauma

sekecil mungkin. Tindakan yang kasar menyebabkan trauma jaringan lunak,

memudahkan terjadinya inflamasi dan memperlambat penyembuhan. Peralatan yang

digunakan haruslah tajam karena dengan peralatan yang tumpul akan memperbesar

terjadinya trauma (Howe,1999).

c. Akses dan lapangan pandang baik

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi akses dan lapangan pandang

yang baik selama proses ekstraksi gigi. Faktor-faktor tersebut adalah posisi kursi,

posisi kepala pasien, posisi operator, pencahayaan, retraksi dan penyedotan darah

atau saliva. Posisi kursi harus diatur untuk mendapatkan akses terbaik dan

kenyamanan bagi operator dan pasien. Pada ekstraksi gigi maksila, posisi pasien

lebih tinggi dari dataran siku operator dengan posisi sandaran kursi lebih rendah

Page 69: Ekstraksi Gigi

sehingga pasien duduk lebih menyandar dan lengkung maksila tegak lurus dengan

lantai. Sedangkan ekstraksi gigi pada mandibula, posisi pasien lebih rendah dari

dataran siku operator dengan posisi sandaran kursi tegak dan dataran oklusal

terendah sejajar dengan lantai. Pencahayaan harus diatur sedemikian rupa agar

daerah operasi dapat terlihat dengan jelas tanpa bayangan hitam yang membuat

gelap daerah operasi. Retraksi jaringan juga dibutuhkan untuk mendapatkan

lapangan pandang yang jelas. Daerah operasi harus bersih dari saliva dan darah

yang dapat mengganggu penglihatan ke daerah tersebut sehingga dibutuhkan

penyedotan pada rongga mulut (Howe,1999).

d. Tata Kerja Teratur

Bekerja sistematis agar dapat mencapai hasil semaksimal mungkin dengan

mengeluarkan tenaga sekecil mungkin. Penting untuk mengetahui cara kerja yang

berbeda untuk setiap pembedahan, sehingga dapat menggunakan tekanan

terkontrol sesuai dengan urutan tindakan (Howe,1999).