Ekstradisi Dlm Teori Dan Praktik-2009

download Ekstradisi Dlm Teori Dan Praktik-2009

of 40

Transcript of Ekstradisi Dlm Teori Dan Praktik-2009

EKSTRADISI PRAKTIK

DALAM

TEORI

DAN

PROF.DR.ROMLI ATMASASMITA,SH.,LL.M.

HANYA TERBATAS

UNTUK

LINGKUNGAN

1

PROGRAM S2 INTERNASIONAL

HUKUM

PIDANA

UNIVERSITAS PADJADJARAN

DAFTAR ISI Bab I Bab II Bab III Bab IV Bab V Sejarah Ekstradisi Karakteristik ekstradisi Prinsip-prinsip ekstradisi Ekstradisi dalam praktik Penutup

2

Bab I Sejarah EkstradisiIstilah ekstradisi berasal dari bahasa latin, extradere atau menyerahkan. Secara etimologis, kalimat ekstradisi berasal dari dua suku kata, yaitu, extra dan tradition; ekstradisi artinya suatu konsep hukum yang berlawanan dengan tradisi yang telah berabad abad dipraktikan antar bangsa-bangsa. Praktik tradisi tersebut adalah kewajiban setiap negara untuk menjadi asylum (pelindung) bagi siapa saja yang memohon perlindungan, dan tradisi untuk memelihara kehormatan (hospitality) sebagai negara (tuan rumah) atas mereka yang memohon perlindungan tersebut. Arti atau makna lain dari ekstradisi adalah terdapat hubungan atau keterkaitan kepentingan antara dua negara yaitu negara yang meminta ekstradisi atau requesting State party, dan negara yang dimintakan ekstradisi, atau requested State party. Berdasarkan sejarah ekstradisi maka ekstradisi sesungguhnya mencerminkan hubungan yang bersifat politis antar negara-negara yang berkepentingan sehingga hubungan ekstradisi dapat dilakukan secara formal melalui suatu perjanjian atau secara informal,atas dasar hubungan baik (comity). Bassiouni membagi perkembangan ekstradisi periode sebagai berikut: dalam empat

Periode pertama, adalah sejak sebelum masehi sampai dengan abad ke 17, di mana ekstradisi hanya diperuntukkan bagi penjahat poliitk dan kejahatan penodaan terhadap agama.3

Periode kedua, adalah dari abad 18 sampai dengan pertengahan abad 19,yaitu ekstradisi mulai dilandaskan pada perjanjian internasional dan terutama ditujukan terhadap mereka yang melakukan kejahatan militer. Periode ketiga, adalah dari tahun 1833 sampai dengan sekarang, dimana ekstradisi juga diperuntukkan bagi kejahatan-kejahatan umum(konvensional). Periode keempat, adalah ekstradisi yang terjadi setelah tahun 1948, yaitu sejalan dengan perkembangan hak asasi manusia, maka pelaksanaan ekstradisi disyaratkan untuk tidak melanggar hak asasi tersangka, terdakwa atau terpidana(buron). Perjanjian ekstradisi yang pertama adalah terjadi pada tahun 1280 SM antara Raja Ramses II dari Mesir dan Raja Hattusili III dari Hitites. Model perjanjian ekstradisi abad tersebut kemudian diikuti oleh di masa kerajaan Yunani dan Kekaisaran Romawi. Namun demikian ekstradisi di masa kerajaan tersebut didasarkan alasan-alasan politis untuk menjaga stabilitas politik kerajaan ybs sehingga ekstradisi di masa itu hanya untuk kejahatan-kejahatan politik dan bukan untuk kejahatan biasa. Sejarah ekstradisi masa kini sudah jauh berbeda dari masa abad pertengahan sampai dengan masa keemasan kerajaan Romawi baik dari sisi filosofi, misi dan tujuan yang hendak dicapai. Begitupula dapat dikatakan bahwa, ekstradisi di masa kerajaan tersebut bersifat terbatas atau limitedextradition; sedangkan di masa kini bersifat tidak terbatas atau unlimited extradition. Ekstradisi di masa kerajaan dapat dikatakan merupakan politica extradition, sedangkan di masa kini, non-political extradition atau kejahatan politik masa kini termasuk non-extraditable crime. Perkembangan lingkup ekstradisi di atas dimungkinkan karena sejak berakhirnya Perang Dunia Ke II, pengaruh perkembangan hak asasi manusia seiring dengan munculnya4

kejahatan baru seperti genosida dan kejahatan kemanusiaan, telah memberikan pengaruh dan warna tersendiri terhadap kewajiban suatu negara untuk bekerjasama dengan negara lain dalam ekstradisi. Pengaruh tersebut tampak dari semakin kurang efektifnya pelaksanaan ekstradisi dari negara peminta ke negara yang diminta antara lain juga disebabkan oleh beberapa prinsip ekstradisi yang akan diuraikan secara rinci dalam Bab III. Perubahan nyata karakter ekstradisi abad 20 sampai dengan abad 21 adalah, bahwa ekstradisi bukan lagi semata-mata merupakan hak dan kewajiban sebagaimana dinyatakan dalam suatu perjanjian,melainkan juga ekstradisi adalah juga merupakan bagian dari hak asasi tersangka, terdakwa atau terpidana, untuk menyatakan pendapatnya terhadap permintaan suatu negara untuk meng-ekstradisikan ybs dari negara di mana ybs berada ke negara peminta. Perkembangan praktik ekstradisi pada periode kedua sampai dengan keempat dan sesudahnya, khusus ditujukan untuk memperlancar perdagangan antar negara yang sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat internasional. Kejahatan yang sering terjadi dalam konteks ini adalah pembajakan di laut (piracy) yang dianggap menghambat arus perdagangan antar benua sehingga dinyatakan pembajakan di laut sebagai kejahatan internasional. Penetapan pembajakan di laut sebagai kejahatan internasional menyebabkan setiap negara berkewajiban untuk menangkap dan menahan serta mengadili pelaku kejahatan pembajakan di manapun mereka berada dan tidak perlu memperdulikan asal usul dari pelaku atau korbannya.Konsep hukum, mengenai aut dedere aut punere dari Grotius (1627) berasal dari maraknya kejahatan pembajakan di laut ketika itu. Ekstradisi telah mengalami perubahan esensi makna dilihat dari dua sisi sistem hukum, baik sistem hukum Common Law, maupun dari sisi sistem hukum Civil Law. Bagi negara penganut sistem Common Law, ekstradisi telah ditempatkan bukan hanya sebagai kewajiban negara untuk menghormati dan menjalankan kewajibannya sesuai dengan5

permintaan negara peminta, melainkan ekstradisi telah ditempatkan sebagai bagian dari hak tersangka, terdakwa atau terpidana untuk menyatakan persetujuan atau penolakannya. Atas dasar pandangan baru mengenai karakter ekstradisi tersebut maka prosedur ekstradisi dalam sistem Common Law, merupakan suatu judicial procedure. Yang dimaksud dengan judicial procedure adalah, persetujuan atau penolakan untuk meng-ekstradisi seseorang pelaku kejahatan sangat tergantung dari proses pemeriksaan sidang pengadilan di mana pelaku kejahatan ybs dapat menyatakan hak-nya untuk menerima atau menolak di-ekstradisi dengan didampingi penasehat hukum. Ekstradisi melalui prosedur judisial yang dilaksanakan di negara-penganut sistem hukum Common Law, sangat menghormati prinsip-prinsip due process of law di mana perlindungan hukum atas hak asasi tersangka/terdakwa selalu didahulukan dari pada meneliti syarat formal permintaan ekstradisi itu sendiri. Penolakan atau penerimaan permintaan ekstradisi di dalam tradisi sistem hukum Common Law, tidak tergantung dari pemenuhan persyaratan formal suatu permohonan ekstradisi, melainkan tergantung dari kebenaran materiel dari alasan-alasan permohonan ekstradisi tersebut diajukan terhadap seorang tersangka/terdakwa. Kebenaran materiel ini akan dibuktikan di dalam suatu proses peradilan yang memakan waktu yang lama(maksimal satu tahun).1 Prosedur ekstradisi di dalam sistem Civil Law, tidak berbeda jauh dari konsep dan pemikiran Grotius, tigaratus tahun yang lampau, yaitu sangat tergantung dari sikap politik negara ybs dan persetujuan atau penolakan permintaan ekstradisi sangat tergantung dari syarat-syarat formal, kelengkapan dokumen (syarat administratif) dalam permohonan ekstradisi dimaksu. Keputusan akhir berada di1

Contoh kasus permohonan esktradisi untuk terdakwa Hendra Rahardja dari Pemerintah Indonesia kepada Pemerintah Australia, diselesaikan melalui suatu proses peradilan yang lama (lebih dari satu tahun) sejak pengadilan tingkat rendah (court of first instance) sampai pada Pengadilan Federal. Saat buku ini ditulis, pemerintah Indonesia sedang mengajukan permohonan ekstradisi untuk terdakwa, Adrian Kiki, kepada pemerintah Australia, yang masih menunggu proses peradilannya.

6

tangan seorang presiden selaku kepala negara setelah menerima pertimbangan dari Ketua Mahkamah Agunng dan Menteri Hukum dan HAM. Prosedur ekstradisi model ini dikenal sebagai administrative procedure. Prosedur penyelesaian permohonan ekstradisi dalam tradisi sistem hukum Civil Law tersebut telah berhasil mengembalikan tersangka/terdakwa yang dimintakan ekstradisi dengan efektif dibandingkan dengan tradisi sistem hukum Common Law.2 Uraian lengkap mengenai perbedaan prosedur ekstradisi di dalam kedua sistem hukum di atas, akan dibahas dalam Bab IV.

BAB II KARAKTER EKSTRADISI3 Di dalam teori dan praktik hukum internasional, ekstradisi memiliki 4(empat) karakter sebagai berikut: 1. Ekstradisi sebagai suatu kewajiban negara; 2. Ekstradisi tanpa perjanjian; 3. Ekstradisi dengan perjanjian bilateral2

Prosedur dan syarat-syarat formal untuk permintaan ekstradisi dapat dipelajari dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi dan di beberapa perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan beberapa negara anggota Asean, yaitu, Malaysia, Fillipina, Thailand. Selain itu, perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dan Australia, Korea Selatan dan Cina. 3 Dikutip dan dialih-bahasa Indonesia dari Bassiouni ,International Extradition and World Public Order; Oceana Publications, Inc;1974

7

4. Ekstradisi dengan perjanjian multilateral Ekstradisi sebagai kewajiban negara Grotius dan Vattel, sependapat bahwa kewajiban negara adalah menuntut dan menghukum pelaku kejahatan, atau menyerahkan ybs ke negara yang berkepentingan. Vattel menegaskan bahwa dalam hal kejahatan serius, ekstradisi merupakan kewajiban hukum suatu negara (legal obligation) berdasarkan hukum internasional. Sedangkan Grotius, berbeda dengan Vattel, menekankan ekstradisi merupakan kewajiban moral suatu negara untuk menyerahkan pelaku kejahatan kepada Negara peminta (requesting state). Pufendorf, berbeda dengan Grotius dan Vattel, menegaskan bahwa ekstradisi merupakan imperfect obligation ,suatu kewajiban yang bersifat semu yang menuntut suatu kebersamaan untnuk melaksanakan hukum internasional secara penuh dan efektif. Praktik ekstradisi sampai saat ini mencerminkan pandangan Pufendorf di atas dibandingkan dengan pendapat Grotius dan Vattel., namun terdapat kecenderungan menguatkan pendapat Grotius dan Vattel. Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tahun 1840 telah meletakkan prinsip tidak ada kewajiban untuk mengekstradisi tanpa suatu perjanjian. Sejak Putusan MA Amerika Serikat ini, maka pelaksanaan ekstradisi selalu berdasarkan suatu perjanjian. Putusan Pengadilan Federal Inggris mengenai ekstradisi telah dilaksanakan sejak tahun 1815.Bahkan Inggris telah memiliki Undang-undang Ekstradisi tahun 1870, yang menegaskan bahwa ekstradisi tidak dapat dilaksanakan tanpa ada suatu perjanjian terlebih dulu. Pendekatan di atas disebut sebagai pendekatan Common Law atas ekstradisi. Pendekatan Civil Law dalam ekstradisi yang berlaku di negara-negara yang menganut sistem hukum Civil Law, menunjukkan kehendak kuat untuk melaksanakan ekstradisi tanpa suatu perjanjian, dengan pemikiran bahwa dasar8

ekstradisi adalah resiprositas atau comity. Sebagai contoh, Menteri Kehakiman Perancis telah mengeluarkan Surat Edaran tanggal 30 Juli 1872 yang ekstradisi dapat dilakukan atas dasar resiprositas jika belum ada perjanjian ekstradisi sepanjang hukum internasional tidak melarangnya. Indonesia berbeda dengan negara-negara asal kelahiran sistem hukum Civil Law pada umumnya, justru di dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1979, membolehkan ekstradisi dilaksanakan dengan perjanjian ekstradisi atau tanpa perjanjian ekstradisi namun cukup berdasarkan prinsip resiprositas. 4 Atas dasar ketentuan UU Nomor 1 tahun 1979 maka Indonesia telah mengakui bahwa perjanjian internasional merupakan sumber hukum, dan juga comity atau arrangement diakui sebagai sumber hukum perjanjian ekstradisi, sepanjang antara kedua negara dipenuhi/dijamin ditaatinya prinsip resiprositas.5 Ekstradisi tanpa perjanjian Selain ekstradisi dengan perjanjian masih banyak negara tanpa perjanjian ekstradisi telah melaksanakan ekstradisi, contoh, Brasil dengan 10 negara; Thailand, dengan tiga negara; Inggris dengan 44 negara, dan Amerika Serikat dengan 44 Negara. Implementasi ekstradisi tanpa suatu perjanjian dilaksanakan melalui suatu proses yang disebut, arrangement. Pengertian istilah ini mengandung arti luas dan penting serta diterapkan dalam suatu pertukaran nota diplomatik mengenai seseorang individu tertentu. Sesungguhnya ekstradisi tanpa perjanjian di masa sekarang hampir jarang terjadi sehubungan dengan semakin4

Baca dan pelajari UU Nomor 1 tahun 1979 yang merupakan Payung Hukum (Umbrella Act) untuk setiap perjanjian ekstradisi yang akan dilaksanakan pemerintah Indonesia dengan negara lain. 5 Contoh, kasus peradilan terdakwa, Okky, yang telah melakukan pembunuhan di Amerika Serikat, dan diadili di Indonesia, tanpa melalui suatu perjanjian bilateral antara kedua negara. Peradilan terdakwa,warga negara Indonesia yang melakukan pembunuhan di Hongkong, terdakwa di-serahkan kepada pemerintah Indonesia dan diadili di Indonesia,tanpa perjanjian ekstradisi.

9

kompleksnya hubungan internasional dalalm era globalisasi pasca perang dingin dan penuh dengan perbedaan kepentingan yang amat menyolok antar sesama negara. Ekstradisi tanpa perjanjian sepenuhnya dilandaskan pada pemikiran aliran monistik mengenai hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang banyak dianut di negara-negara penganut sistem hukum Civil Law dibandingkan dengan negara penganut sistem hukum Common Law. Namun demikian banyak negara pendukung ekstradisi tanpa perjanjian telah menetapkan syarat yang ketat mengenai terlaksananya ekstradisi ini, antara lain, seperti UU Esktradisi Jerman (1929) telah mensyaratkan esktradisi tanpa perjanjian dapat dilaksanakan jika ada jaminan bahwa asas resiprositas akan dipenuhi oleh negara lain terhadap Jerman. Amerika Serikat dalam Putusan Mahkamah Agung 1886 dan dikuatkan dalam Putusan MA tahun 1933 menegaskan sebagai berikut: ...(T)he principles of International law recognize no right to extradition apart from treaty. While a government may, if agreeable to its own constitution and laws, voluntarily exercises the power to surrender a fugitive from justice to the country from which he has fled, and it has been said that it is under a moral duty to do so....the legal right to demand his extradition and correlative duty to surrender him to the demanding country exist only when created by treaty.6 Pendapat Mahkamah Agung Irlandia, mengenai ekstradisi berbeda dengan pendapat Mahkamah Agung Amerika Serikat di atas, menyatakan sebagai berikut: A study of the history of estradition shows that a change has come about in the attitude of States in regard to it. Grotius and other well-known writers took the view that according to the law and usage of civilized nations every sovereign state was obliged to grant extradition freely and without qualification or restriction. In the view of other jurists6

Dikutip dari Bassiouni, Extradition and World Public Order;1974; hlm 12.

10

of high authorithy extradition was at most a duty of imperfect obligation. Perbedaan pandangan mengenai ekstradisi dengan perjanjian dan ekstradisi dengan resiprositas atau comity telah menimbulkan pandangan ketiga bahwa esktradisi merupakan perjanjian (hanya diperjanjikan secara) bilateral. Esktradisi merupakan perjanjian bilateral Implementasi ekstradisi dengan perjanjian bilateral saat ini telah menempati posisi yang kuat di antara negara anggota PBB. Bahkan Indonesia telah memiliki perjanjian serupa dengan lebih dari 5(lima) negara baik di Asia maupun dengan negara lain.7 Negara-negara yang terikat pada perjanjian ekstradisi mengakui bahwa esktradisi harus diperjanjikan dan sangat penting dalam hubungan kedua negara khusus dalam penyerahan seorang pelaku kejahatan. Di dalam beberapa konvensi telah ditegaskan bahwa kejahatan tertentu adalah kejahatan yang dapat diekstradisikan (extraditable crimes), seperti dalam Konvensi pemberantasan pemalsuan mata uang (1929); Konvensi PBB Pemberantasan Perdagangan Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988; Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003; dan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional Terorganisasi ,2000, dan juga Konvensi PBB tentang Kejahatan di dalam Penerbangan ,1963. Namun demikian dalam praktik, perjanjian bilateral dalam ekstradisi tidak efektif disebabkan 4(empat) faktor sebagai berikut: (1) Setiap Negara sering enggan mengikatkan diri pada perjanjian bilateral ekstradisi dan menempatkan ekstradisi sebagai tidak termasuk prioritas dalam hubungan internasional dan ekstradisi tidak termasuk isu penting

7

Indonesia telah memiliki perjanjian bilateral ekstradisi dengan, Malaysia,Thailand, Fillipina, Australia, Korea Selatan, China, Singapura, India dan Perancis.

11

yang dapat memaksa perjanjian tersebut.(2) Bahwa

negara

untuk

melaksanakan

banyak negara tidak mengedepankan ekstradisi sehingga memaksa terjadinya perubahan perundangundangan nasional. Terjadinya konflik-konflik di belahan dunia dan peperangan sering merupakan hambatan implementasi perjanjian ekstradisi terutama mengenai hal-hal yang dikecualikan dari ekstradisi, yaitu kejahatan politik (political offences). oleh suatu negara yang baru merdeka tidak serta merta negara baru wajib melaksanakan ekstradisi yang telah diperjanjikan oleh negara terdahulu.

(3)

(4) Suksesi

Ekstradisi atas dasar perjanjian multilateral Esktradisi dengan perjanjian multilateral semakin disukai di belahan dunia sehubungan dengan keberadaan berbagai organisasi regional seperti organisasi negara Amerika Serikat; organisasi Negara Afrika Selatan; dan Organisasi Negara Uni Eropa. Perjanjian multilateral dalam ekstradisi dibedakan dalam dua bentuk, yaitu: pertama, perjanjian ekstradisi yang menggantikan,menambah atau melengkapi perjanjian bilateral ekstradisi, seperti Perjanjian Ekstradisi Liga Arab, dan Perjanjian Uni Eropa tentang Ekstradisi. Bentuk Kedua, perjanjian ekstradisi mulilateral di mana Negara pihak mengadopsi secara resiprokal model undang-undang nasional yang telah disetujui seperti negara-negara yang tergabung dalam Commonwealth Nations dan Perjanjian Negara-negara Nordic. Model perjanjian multilateral tersebut di atas telah dapat mengurangi perbedaan-perbedaan dalam perundang-undangan nasional ekstradisi di negara-negara ybs. Bahkan di masa12

datang ada kecenderungan untuk memunculkan suatu common law of extradition, dan suatu saat diharapkan dapat menghasilkan satu Universal Convention on Extradition yang dapat dijadikan landasan hukum ekstradisi yang berlaku bagi seluruh negara anggota PBB. Ekstradisi Abad 20 Abad 21 Perkembangan Ekstradisi pada abad 20 telah mengalami perubahan besar dibandingkan dengan sejak awal perkembangannya. Perkembangan awal ekstradisi sesuai dengan prinsip hukum internasional di mana Individu dipandang bukan subjek hukum internasional; tetapi akhir abad 19 dan awal abad 20, dengan semakin pesat perkembangan hak asasi manusia, individu tidak lagi dijadikan OBJEK ekstradisi melainkan telah ditempatkan sebagai SUBJEK dalam setiap perjanjian ekstradisi dan pelaksanaan perjanjian Ekstradisi. Perkembangan ekstradisi tersebut diperkuat dengan keberadaan Model Law on Extradition (1990) yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa . Prinsip ekstradisi yang disetujui secara universal tercantum dalam Model Law on Extradition Perserikatan Bangsa-Bangsa MLEUN(1990), yaitu: prinsip Tidak Menyerahkan Kejahatan Politik, dan Penolakan atas dasar Kebahayaan proses penuntutan atau Peradilan yang Tidak Jujur, atau Penghukuman yang tidak dikehendaki(contoh,hukuman mati).8 MLE -UN(1990) tersebut memuat 18 pasal dan yang sangat mencolok adalah secara rinci diatur perihal penolakan permohonan ekstradisi, baik yang bersifat wajib(mandatory) maupun bersifat pilihan (optional), sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 3 yang mengatur mengenai Penolakan yang bersifat wajib (mandatory grounds for refusal), dan Pasal 4 yang mengatur mengenai, Penolakan yang bersifat opsional (Optional ground for refusal). Tidak ada satupun ketentuan dalam MLE

8

United Nations Model Law on Extradition ,New York, 14 December 1990

13

UN(1990), yang mengatur mengenai Menerima permohonan ekstradisi.

kewajiban

untuk

Bertolak dari inti dari MLE-UN( 1990), terkesan bahwa PBB lebih mendahulukan mengenai prosedur daripada efektivitas pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional. Sedangkan tujuan utama dari konvensi-konvensi PBB mengenai kejahatan transnasional (Konvensi Palermo,2000) adalah meningkatkan kerjasama antara negara anggota PBB untuk mencegah dan memberantas kejahatan transnasional yang terorganisasi.9 Implikasi dari perkembangan ekstradisi terkait perkembangan Hak Asasi Manusia, telah mengubah konsep ekstradisi semula yang hanya didasarkan pada meningkatkan efektivitas hubungan antara negara peminta (requesting State) dan Negara yang diminta (requested State) untuk tujuan pencegahan dan pemberantasan kejahatan, berubah tidak lagi bertumpu pada masalah tersebut melainkan lebih mengutamakan pada bagaimana cara yang benar dan tidak mengurangi efektivitas proses hubungan antara negara dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional. Untuk memodernisasi konsep klasik mengenai ekstradisi, Bassiouni mengusulkan kerangka kerja konseptual , yaitu dengan mempertimbangkan 5(lima) faktor yang saling berkaitan satu sama lain,sebagai berikut: (1) Pengakuan kepentingan nasional dari Negara yang menjadi pihak dalam ekstradisi; (2) Adanya kewajiban internasional untuk memelihara, mempertahankan ketertiban dunia; (3) Pelaksanaan efektif standar minimum tentang, Kejujuran dan Keadilan terhadap hubungan antara Negara yang terikat dalam perjanjian ekstradisi9

Baca dan pelajari Pasal 1 jo Pasal 3 Konvensi Palermo, 2000

14

(4) Kewajiban kolektif dari seluruh Negara memberantas kejahatan(5) Menyeimbangkan

seluruh faktor2 di atas dalam kerangka kerja Penegakan Hukum.10 atas bekerja atas dasar

Kelima faktor berkaitan di pertimbangan sebagai berikut:

(1) Kewajiban untuk memelihara ketertiban dunia tidak boleh melanggar kedaulatan negara. Kepentingan ketertiban dunia harus dipertimbangkan dalam lingkup kepentingan nasional sebab konsep ini dilandaskan pada kemerdekaan nasional dalam ketergantungan internasional. Implementasi hak individual dalam proses ekstradisi bukan hanya masalah kepentingan kemanusiaan sematamata akan tetapi merupakan pengakuan individu sebagai pihak (subjek hukum) di dalam hubungan kepentingan antar negara dan masyarakat internasional.(2) Kerjasama

yang seimbang dan bantuan dalam masalah pidana menguatkan efektivitas ketertiban domestik di seluruh negara dan tidak harus tergantung dari efektivitas kompromi politik atau pengabaian hak individual

(3) Melekatkannya kepada Penegakan Hukum merupakan penjaga dan menjamin eksistensi dan keberhasilan umat manusia. Di dalam dunia yang serba terbelah dalam faksi-faksi secara regional maupun internasional adalah sangat naif jika seluruh faktor-faktor yang diuraikan dalam Usulan (proposal) di atas dapat dipandang setara atau salah satu lebih dari yang lain. Perjanjian multilateral pertama dalam bidang ekstradisi abad 20, adalah Perjanjian ekstradisi Organisasi Negara-Negara Amerika tahun 1933; disusul duapuluh tahun kemudian oleh10

Bassiouni, opcit.hlm 46-47

15

Perjanjian Negara Arab untuk Ekstradisi, 1952, dan Konvensi Eropa tentang Ekstradisi tahun 1957, dan Perjanjian Esktradisi antara Negara-negara anggota Commonwealth untuk Penyerahan Penjahat tahun 1966. Tahun 1995 Konvensi Uni Eropa tentang Ekstradisi Yang Disederhanakan. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyusun petunjuk (guidance) dalam pembuatan esktradisi yang disebut,Model Treaty on Extradition( General Assembly Resolution 45/116 tanggal 14 Desember 1990)-(LAMPIRAN 1). Bandingkan dengan UU Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan beberapa Perjanjian Ekstradisi antara Pemerintah Indonesia dan Negara Anggota Asean, Australia, Korea Selatan dan Cina.

Bab IIIPrinsip-prinsip ( Standar Internasional) Ekstradisi (The Principles of Extradition).16

Pengertian istilah,principle di dalam perjanjian ekstradisi sering disamakan dengan istilah,syarat-syarat atau dasardasar penolakan ekstradisi. Pengertian istilah, principle dianggap tepat dalam konteks hubungan internasional khusus dalam perjanjian ekstradisi untuk mencerminkan bahwa normanorma hukum perjanjian internasional yang dilandaskan sepenuhnya pada pengakuan Negara selaku subjek hukum internasional tetap dapat dipelihara dan dipegang teguh. Sesungguhnya, semua prinsip-prinsip ekstradisi yang dicantumkan baik dalam MLE PBB 1990 maupun di dalam teks perjanjian Ekstradisi (bahasa Inggeris) harus dibaca sebagai syarat-syarat ekstradisi dalam konteks norma-norma hukum (pidana) nasional. Merujuk kepada penggunaan istilah tersebut di atas tampak bahwa, norma-norma hukum perjanjian internasional sangat hati-hati untuk tidak menimbulkan persepsi bahwa norma-norma hukum internasional tentang ekstradisi (MLE UN 1990) mencerminkan suatu pemaksaan yang absolut kepada negara anggota PBB. Atas dasar pertimbangan inilah maka di dalam ketentuan MLE UN 1990, dicantumkan istilah, mandatory grounds, dan optional grounds di dalam kerangka pemikiran yang disebut principles. Ditetapkannya dua sifat kewajian bagi setiap Negara untuk mengikatkan diri ke dalam suatu perjanjian ekstradisi di bawah payung hukum MLE UN 1990, memberikan peluang kepada setiap Negara untuk memilih dengan kesadaran akan hak dan kewajibannya, tunduk dan taat pada substansi suatu perjanjian ekstradisi beserta akibat hukum yang akan dihadapi Negara ybs. Bertolak dari esensi substansi MLE UN 1990 di atas, PBB telah menetapkan suatu pedoman/petunjuk sebagai berikut:(1) ekstradisi

bukan suatu kewajiban internasional per se, melainkan merupakan pilihan (option) bagi negara-negara17

anggota PBB sepanjang dianggap perlu dan penting untuk dilakukan.(2)

ekstradisi bukanlah semata-mata suatu (norma) perjanjian melainkan merupakan komitmen moral setiap Negara untuk menentukan kepentingan dan relevansi suatu ekstradisi bagi kepentingan nasional dan kepentingan kerjasama internasional. ekstradisi bukanlah semata-mata bertujuan untuk menyerahkan seseorang tersangka/terdakwa, melainkan merupakan komitmen setiap Negara untuk bersikap jujur, adil dan tidak memihak serta tidak diskriminatif yang dapat merugikan kepentingan tersangka/terdakwa. bukan hanya merupakan pencerminan efektivitas hubungan internasional di satu sisi, dan di sisi lain, dipandang sebagai komoditi yang patut diperjualbelikan oleh setiap negara; melainkan harus dipandang sebagai upaya setiap Negara untuk selalu menghormati dan memelihara komitmen terhadap hak asasi tersangka/terdakwa. yang terpenting di dalam pelaksanaan ekstradisi sesuai dengan MLE UN 1990, adalah bukan terletak pada efektivitas penegakan hukum lintas batas teritorial melainkan terletak pada bagaimana seharusnya suatu prosedur ekstradisi harus dilaksanakan oleh setiap negara.

(3)

(4) Ekstradisi

(5) qz

Kesimpulan sementara di atas diperkuat oleh ketentuan-ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 MLE UN 1990 sebagai berikut: Pasal 3 MLE UN 1990, Mandatory grounds for refusal; berbunyi sebagai berikut: Extradition shall not be granted in any of the following circumstances:

18

(a) If the offence for which extradition is requested is regarded by the requested State as an offence of a political nature; (b) If the requested State has substantial grouns for believing that the request for extradition has been made for the purpose of prosecuting a person on account of that persons race, religion, nationality,ethnic,origin,political opinions, sex or status, or that persons position may be prejudiced for any of those reasons; (c) If the offence for which extradition is requested is an offence under military law, which is not also an offence under ordinary criminal law; (d) If there has been a final judgement rendered against the person in the requested State in respect of the offence for which the persons extradition is requested; (e) If the person whose extradition is requested has, under the law of either Party, become immune from prosecution or punishment for any reason, including lapse of time or amnesty; (f) If the person whose extradition is requested has been or would be subjected in the requesting State to torture or cruel,inhuman or degrading treatment or punishment or if that person has not received or would not receive the minimum guarantee in criminal proceedings, as contained in the International Comvenant on Civil and Political Rights, article 14; (g) If the judgement of the requesting State has been rendered in absentia, the convicted person has not had sufficient notice of the trial or the opportunity to arrane fo his or her defence and he has not had or will not have the opportunity to have the case retried in his or her presence.

19

Pasal 4 MLE(1990),Optional grounds for refusal, berbunyi sebagai berikut: Extradition may be refused in any of the following circumstances: (a) If the person whose extradition is requested is a national of the requested State. Where extradition is refused on this ground, the requested State shall, if the other State so requests, submit the case to its competent authorities with a view to taking appropriate action against the person in respect of the offence for which extradition had been requested; (b) If the competent authorities of the requested State have decided either not to institute or to terminate proceedings against the person for the offence in respect of which extradition is requested; (c) If a prosecution in respect of the offence for which extradition is requested is pending in the requested State against the peson whose extradition is requested; (d) If the offence for which extradition is requested is requested carries the death penalty under the law of the requesting State,unless that State give such assurance as the requested State considers sufficient that the death penalty will not be imposed or, if imposed will not be carried out; (e) If the offence for which extradition is requested has been committed outside the territory of either Party and the law of the requested State does not provide for jurisdiction over such an offence committed out side its territory in comparable circumstances; (f) If the offence for which extradition is requested under the law of the requested State as having been committed in whole or in part within that State. Where extraditionis refused on this ground, the requested State shall, if the20

other State so request, submit the case to its competent authorities with a view to taking appropriated action against the persons for the offence for which extradition had been requested; (g) If the person whose extradition is requested is requested has been sentenced or would be liable to be tried or sentenced in the requesting State by an extraordinary or adhoc court or tribunal; (h) If the requested State, while also taking into account the nature of the offence and the interest of the requesting State, considers that, in the circumstances of the case, the extradition of that person would be incompatible with humanitarian considerationss in a view of the age, health or other personal circumstances of that person. Berdasarkan MLE UN 1990 di atas, maka ekstradisi di bedakan dalam dua bentuk penolakan yaitu penolakan yang bersifat wajib (mandatory obligation),dan penolakan yang bersifat opsional (non-mandatory obligation). Prinsip Penolakan Ekstradisi (Mandatory obligation) meliputi: yang bersifat wajib

1. Tidak Menyerahkan kejahatan politik2.

Alasan penuntutan di negara Peminta (requesting State) atas dasar perbedaan ras, etnis, agama, nasionalitas,pendapat politik, jenis kelamin

3. Kejahatan militer4.

Telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap di negara Yang Diminta (requested State) Jika orang yang karena kejahatannya dimintakan ekstradisi adalah memiliki imunitas dari penuntutan atau penghukuman dengan alasan apapun termasuk kadaluarsa atau karena amnesti21

5.

6. Jika orang yang kejahatannya dimintakan ekstradisi akan dikenakan penyiksaan, perlakuan yang kejam dan di luar batas perikemanusiaan atau terhadap orang ybs tidak ada jaminan minimum dari Negara yang Meminta Ekstradisi (Negara Peminta) akan diperlakukan sesuai dengan standar Konvenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Hak Politik7.

Jika Putusan Pengadilan Negara Peminta telah dijatuhkan secara in absensia untuk kejahatan yang dimintakan ekstradisi.

Penolakan Ekstradisi yang bersifat opsional (nonmandatory obligation) termasuk:1.

Alasan orang yang diminta untuk diekstradisi adalah warga negara dari Negara yg diminta ekstradisi (Negara Diminta/Requested State) Jika pejabat yg berwenang di Negara Diminta tidak ada niat untuk menghentikan penuntutan terhadap seseorang yg dimintakan esktradisi Jika penuntutan atas seseorang yg dimintakan ekstradisi ditunda di negara yang Diminta Jika kejahatan atas mana seseorang ybs dimintakan ekstradisi diancam dengan pidana mati di Negara Yang Meminta ekstradisi; kecuali Negara Peminta memberikan jaminan bahwa, terhadap orang yang dimintakan ekstradisi itu tidak akan dijatuhi pidana mati sekalipun UU yang berlaku mengatur tentang pidana mati Jika kejahatan untuk mana seseorang yang dimintakan esktradisi terjadi di luar wilayah teritorial Negara yang Diminta atau Negara yang Meminta, dan Negara Yang Diminta di mana seseorang ybs berdiam, tidak memiliki yurisdiksi atas kejahatan dengan locus delicti dimaksud22

2.

3.

4.

5.

6. Jika Kejahatan untuk mana seseorang dimintakan ekstradisi telah dilakukan seluruhnya atau sebagian di Negara Diminta. Jika permintaan ekstradisi ditolak atas alasan ini maka pihak Berwenang di Negara Yang diminta wajib melaksanakan penuntutan terhadap orang dimaksud7.

Jika seseorang untuk kejahatan mana dimintakan esktradisi telah dijatuhi hukuman atau akan diadili dan dihukum di negara yang Meminta oleh pengadilan Adhoc atau pengadilan khusus

8. Jika Negara Diminta, mempertimbangkan bahwa, ekstradisi terhadap orang ybs akan bertentangan dengan pertimbangan kemanusiaan baik dari sisi usia, kesehatan atau keadaan pribadi ybs.

Dilihat dari jumlah alasan-alasan penolakan ekstradisi di atas tampak bahwa PBB lebih mengutamakan kepentingan tersangka/terdakwa yang dimintakan ekstradisi dibandingkan dengan meningkatkan kerjasama efektif dan efisien antar negara, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam setiap perjanjian dengan pencegahan dan pemberantasan kejahatan.

Prinsip Prinsip Kekecualian untuk Tindak Politik(The Political Offence Exception).

Pidana

Perkembangan ekstradisi sejak awal kelahirannya pada abad 15 sd 16, disepakati bahwa yang dapat diekstradisikan hanya kejahatan politik (makar) dan kejahatan penodaan terhadap agama. Perkembangan Ekstradisi selama tahun 1700 dan awal 1800 , justru kejahatan politik termasuk kejahatan tidak dapat diekstradisi (non-extraditable crime) sampai dengan tahun 1830-an. Gagasan bahwa tersangka tidak dapat diekstradisikan untuk tindak pidana yang memiliki motivasi politik,23

dikemukakan oleh Belgia dan Perancis. Pengakuan tersebut dikuatkan di dalam MLE UN 1990 yang menegaskan bahwa, kejahatan politik merupakan kejahatan yang tidak dapat diekstradisi-kan dan bersifat wajib(mandatory obligation). Berbeda dengan MLE UN 1990, Konvensi Palermo(2000) juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa prinsip penolakan ekstradisi ini bersifat mandatory. Kegagalan untuk secara spesifik memasukkan prinsip ini ke dalam Konvensi Palermo berdampak sangat signifikan mengingat lingkup dari political offence yang luas telah menyebabkan Negara-negara cenderung menghindari perjanjian ekstradisi dengan Negara yang masih memiliki masalah-masalah politik. Kegagalan ini bukan suatu kebetulan melainkan memang diusulkan dan disepakati oleh negara peserta konfrensi, agar kekecualian prinsip tindak pidana politik tidak secara spesifik dimasukkan dalam Pasal 16 (Ekstradisi) karena Konvensi Palermo sendiri telah membatasi pada beberapa tindak pidana transnasional terorganisasi yang serius saja.11 Namun demikian Pasal 16(7) Konvensi Palermo telah menyediakan suatu jalan keluar dari masalah kejahatan politik dimaksud, yaitu dengan menyatakan sebagai berikut: Extradition shall be subject to the conditions provided for by the domestic law of the requested State Party or by applicable extradition treaties, including, inter alia.. the grounds upon which the requested State Party may refuse extradition. Prinsip penolakan atas dasar kejahatan politik dewasa ini semakin sirna terutama dengan peristiwa terorisme pemboman World Trade Cenre di New York,Amerika Serikat. Terorisme selalu dikaitkan dengan motivasi politik dan disponsori oleh negara sehingga sulit untuk tidak mengatakan bahwa terorisme bukan kejahatan politik. Jalan keluar agar prinsip ini tetap dipertahankan akan tetapi di sisi lain tidak perlu dipertahankan, berangkat dari pembedaan antara kejahatan politik murni11

Pelajari Pasal 16 Konvensi Palermo tentang Ekstradisi.Dalam pasal tersebut tidak ada satupun ketentuan yang menegaskan bahwa kejahatan politik merupakan nonextraditable crime.

24

(pure political crime), dan kekerasan yang bermotif politik (politically motivated violence). Namun demikian dengan perkembangan kejahatan terorisme yang merupakan semi kejahatan internasional maka terorisme sudah seharusnya tidak lagi ditempatkan sebagai kejahatan politik atau kejahatan yang bermotivasi politik sehingga terorisme merupakan extraditable crime. Perkembangan istilah kejahatan politik (political crime) tampaknya di masa mendatang akan semakin berkurang makna dan relevansinya di dalam kerangka kerja PBB di dalam menciptakan suatu dunia yang tertib dan damai. Pernyataan tersebut sejalan dengan Laporan Panel Tingkat Tinggi yang disponsori Sekjen PBB pada tahun 200412 yang menyatakan antara lain sebagai berikut: Konsep keamanan bersama saat ini (abad 21,pen) berpijak pada tiga pilar dasar. Ancaman pada masa sekarang tidak mengenal batas negara,saling berhubungan dan harus di atasi tidak hanya pada tingkat nasional namun juga pada tingkat regional dan global. Tidak ada satupun negara, betapapun kuatnya, mampu dengan usahanya sendiri, bebas dari ancaman-ancaman yang ada. Kita tidak boleh beranggapan bahwa setiap Negara selalu mampu atau bersedia memenuhi tanggung jawabnya untuk melindungi rakyatnya dengan tidak merugikan negara tetangganya. Perbedaan-perbedaan kekuatan, tingkat kemakmuran,dan letak geograpfis sangat menentukan persepsi kita tentang ancaman-ancaman yang paling besar terhadap kelangsungan hidup manusia.Perbedaan fokus telah mengarahkan kita untuk menolak persepsi pihak lain tentang ancaman-ancaman paling besar terhadap kelangsungan hidup mereka. Secara jelas telah dinyatakan bahwa tanpa ada adanya kesepakatan bersama akan adanya ancaman-ancaman maka tidak ada tercipta keamanan bersama. Salah satu ancaman di antara 6(enam ) ancaman12

Baca dan teliti LAPORAN PANEL TINGKAT TINGGI PBB TAHUN 2004

25

dimaksud adalah Kejahatan Linta Batas Negara Terorganisasi dan Terorisme. Inti laporan Panel Tingkat Tinggi PBB tersebut di atas,menjelaskan bahwa, sikap politik pemerintah mengenai ancaman-ancaman sebagaimana diuraikan di atas seharusnya pada abad 21 ini dibatasi sekecil mungkin karena perbedaan sikap politik terhadap kejahatan lintas batas negara hanya akan menempatkan Negara-negara tersebut berada dalam dunianya sendiri terasing dari pergaulan internasional; sikap mana merupakan faktor pencetus peningkatan kejahatan lintas batas terorganisasi, bukan sebaliknya. Prinsip Penolakan ekstradisi atas dasar keyakinan bahwa penuntutan akan dilakukan atas dasar perbedaan ras,agama, etnis, pendapat politik, jenis kelamin, dan kebangsaan. Perkembangan prinsip ini diakibatkan oleh perkembangan demokrasi di banyak negara terutama di negara-negara maju. Seiring dengan perkembangan demokrasi itu maka perkembangan hak asasi manusia (individu) semakin pesat dan diakui di segala bidang kehidupan termasuk dalam bidang politik,sosial, ekonomi dan hukum.13 Perkembangan demokrasi dan HAM di atas mengakibatkan terjadi perubahan pandangan negara terhadap prosedur ekstradisi. Perubahan pandangan ini yaitu, Negara Yang Diminta (requested State) semakin enggan menyetujui permintaan ekstradisi dari suatu negara yang diyakini belum memiliki pemerintahan yang demokratis dan menghormati HAM. Prinsip ini telah dimasukkan ke dalam MLE UN 1990 mencerminkan perkembangan pengakuan masyarakat internasional yang tampak membingungkan bagi Ahli Hukum13

Baca dan teliti Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah disahkan berdasarkan Undang-undang Nomor 11 tahun 2005 ; dan Konvenan Hak-Hak Ekonomi dan Sosial yang telah disahkan berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 2005.

26

Pidana karena di satu sisi, ditegaskan di dalam Konvensi Palermo 2000 dan Konvensi Merida Anti Korupsi 2003 diperlukan peningkatan kerjasama dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional termasuk korups, tetapi di sisi lain, perhatian dan pertimbangan hak asasi tersangka/terdakwa juga wajib diperhatikan oleh setiap negara di dalam perjanjian ekstradisi. Bahkan semakin kuat perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa maka semakin besar tingkat kesulitan dan hambatan yang dihadapi untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional. Prinsip penolakan atas dasar kejahatan yang dimintakan ekstradisi adalah kejahatan militer Prinsip penolakan ekstradisi atas dasar kejahatan militer juga dianut secara universal dan tidak ada penjelasan khusus mengenai prinsip ini kecuali bahwa kejahatan militer adalah kejahatan untuk orang tertentu(militer) dan peradilan kejahatan militer merupakan kekhususan yang unik dari satu sistem hukum negara kepada sistem hukum negara lain Prinsip Double Jeopardy atau Non-bis in iden sebagai alasan penolakan ekstradisi Prinsip ini dijadikan alasan penolakan ekstradisi karena menjatuhi hukuman dua kali untuk perkara yang sama terhadap seseorang terdakwa merupakan pelanggaran terhadap prinsip kemanusiaan dan due process of law dan bertentangan dengan asas kemanusiaan. Sekalipun prinsip penolakan ekstradisi ini bersifat opsional merujuk pada MLE UN 1990, akan tetapi tidak ada negara yang mau melanggar prinsip ini. Prinsip ne bis in idem dianut secara universal di banyak UU Pidana negara-negara di dunia, sehingga kemungkinan ekstradisi dengan melanggar prinsip ini sangat kecil sekali, kecuali kejahatan yang dimintakan esktradisi atas seseorang berbeda baik norma dan substansi maupun sanksi pidananya.

27

Prinsip tidak meng-ekstradisi jika terhadap seseorang yang dimintakan ekstradisi telah dijatuhi hukuman in absensia di negara Peminta Prinsip ini dilandasi atas perlindungan hak asasi seseorang yang dimintakan ekstradisi karena di dalam proses peradilan in absentia, terdakwa tidak memperoleh kesempatan untuk melakukan pembelaan sehingga proses peradilan tersebut dipandang melanggar prinsip-prinsip, fair trial, Impartiality and integrity dari peradilan. Prinsip peradilan in absentia juga tidak dianut dalam sistem hukum acara pidana (KUHAP) Indonesia, kecuali untuk tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi, pencucian uang dan terorisme. Dalam praktik ekstradisi, pelanggaran atas prinsip merupakan alasan penolakan ekstradisi. Prinsip penolakan ekstradisi didasarkan atas imunitas dari penuntutan atau karena daluarsa (lapse of time) Prinsip ini masih berlaku dalam hal kejahatan yang dimintakan ekstradisi adalah kejahatan biasa (conventional crimes) dan tidak berlaku terhadap kejahatan luar biasa atau pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights).14 Begitu pula prinsip ini masih merujuk kepada hak imunitas pada pejabat diplomatik sesuai dengan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik (1961). Prinsip penolakan karena daluarsa tidak berlaku dalam hal kejahatan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 5 Statuta ICC.15

Prinsip Spesialitas (The Rule of Specialty) Prinsip ini melarang,tanpa persetujuan negara yang diminta (requested State); mengadili atau menghukum tersangka atas tindak pidana yang tidak dimintakan ekstradisi, dan tindak14

Pelajari Statuta ICC Pasal 27 yang menegaskan bahwa status jabatan tersangka/terdakwa tidak menghapuskan penuntutan dan peradilan atas ybs. 15 Pelajari Pasal 29 Statuta ICC

28

pidana tersebut dilakukan sebelum yang bersangkutan diekstradisi. Ketentuan (prinsip) ekstradisi ini tidak menghalangi adanya perubahan dari tuntutan. Sebagai contoh, jika seseorang telah diekstradisi karena fraud (perbuatan curang), ybs dapat dituntut melakukan penggelapan sepanjang fakta dari tindak pidana tersebut adalah fakta yang diuraikan dalam permintaan ekstradisi. Ketentuan mengenai prinsip ini berlaku universal dan dalam praktik tidak menghalangi seorang pelaku kejahatan di adili sekalipun atas kejahatan yang tidak dirujuk dalam permintaan ekstradisi. Namun demikian untuk tujuan ini, Negara Peminta (Requesting State) memerlukan persetujuan dari Negara Yang Diminta (Requested State). Untuk memperoleh persetujuan dari Negara Yang Diminta, maka diperlukan tambahan permintaan (supplementary request) dari Negara Peminta kepada Negara Yang Diminta mengenai tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelaku ybs.16 Prinsip Double Criminality (Dual Criminality) Prinsip ini menuntut agar kejahatan yang dimintakan ekstradisi harus merupakan kejahatan dan diancam pidana di negara yang diminta (requested State), dan juga masih ada syarat lain, yaitu minimum ancaman pidana, seperti, 4 tahun. Sekalipun ekstradisi tidak diperjanjikan, syarat prinsip ini tetap saja diterapkan. Hambatan praktik untuk memenuhi persyaratan prinsip ini sering terjadi karena sulit menyamakan dua sistem hukum yang berbeda satu sama lain. Ada dua arti tentang pengertian istilah, double criminality, yaitu pertama, dalam arti abstrak, kejahatan dianggap diancam pidana di negara yang diminta; dan arti kedua, dalam arti konkrit, jika unsur-unsur tindak pidana dipenuhi oleh UU di kedua negara (peminta dan yg diminta).

16

Ketentuan ini juga diatur dalam Statuta ICC Pasal 101

29

MLE UN 1990 menganut pendekatan yang mudah yaitu double criminality in abstracto sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 2 (2) (a): In determining whether an offence is an offence punishable under laws of both Parties, it shall not matter whether...the laws of the Parties place the acts or omissions constituting the offence within the same category of offence or denominate the offence by the same category. Persyaratan prinsip double criminality masih menimbulkan masalah, yaitu pertama; dapat dipersoalkan secara hukum, apakah prinsip ini harus sudah diatur pada saat kejahatan yg dimintakan ekstradisi telah dilakukan; atau pada saat dimintakan ekstradisi. Masalah kedua, dari prinsip ini adalah, jika hukum di negara yang meminta ekstradisi (requesting State) dapat diterapkan ke luar batas teritorial (extraterritorial jurisdiction) sedangkan di negara yang diminta ekstradisi (requested State) hal ini tidak diperbolehkan. Masalah ketiga, yaitu jika terjadi beberapa tindak pidana yang berbeda-beda yang dimintakan ekstradisi, tetapi hanya satu atau dua kejahatan dari yang dimintakan ekstradisi tersebut dapat memenuhi prinsip double criminality. Prinsip hukum umum Ekstradisi menurut MLE UN 1990, bahwa, kejahatan yang dimintakan ekstradisi harus memenuhi prinsip double criminality; akan tetapi syarat minimum hukuman (4 tahun) masih dapat ditunda untuk beberapa jenis kejahatan tertentu. Konvensi Palermo (UN TOC, 2000), Pasal 16 ayat 1 juga menganut prinsip dual criminality(double criminality).17 Di dalam Pasal 16 ayat (2) Konvensi Palermo(2000)18 secara17

Pasal 16 ayat 1 Konvensi Palermo: This article shall apply to offences covered by this Convention or in cases where an offence referred to in article 3,paragraph 1(a) or (b), involves an organized criminal group and the person who is the subject of the request Party for extradition is located in the territory of the requested State party,provided that the offence ...is punishable under the domestic law of both the requesting State Party and the requested State Party. 18 Pasal 16 ayat 2 Konvensi Palermo(2000):If the request for extradition includes several separate serious crimes, some of which are not covered by this article, the requested State Party may apply this article also in respect of the latter offences

30

berbeda telah menegaskan sepanjang permintaan ekstradisi mengenai beberapa kejahatan tertentu dan serius, yang tidak termasuk dalam ketentuan ini, maka Negara Yang Diminta dapat membolehkan untuk semua jenis kejahatan serius yang tercantum dalam Surat permintaan ekstradisi. Pasal 16(2) bertujuan pertama, untuk membatasi ekstradisi pada kejahatan serius saja dan sekaligus membolehkan ekstradisi untuk kejahatan lain yang tidak harus melibatkan organisasi kejahatan. Prinsip Tidak Menyerahkan Extradition of Nationals) Warga Negara (Non-

Sekalipun banyak Negara menghendaki mengekstradisi-kan warga negaranya ke Negara Peminta, akan tetapi ketika diminta mengekstradisikan warganya, banyak negara berpandangan bahwa hal tersebut tidak dapat dilakukan. Pertimbangan diberlakukanya prinsip ini adalah, adanya kewajiban Negara untuk melindungi warga negaranya, kurang percaya terhadap kejujuran dari proses hukum di Negara Peminta, sangat merugikan kepentingan pembelaan bagi warga negara ybs jika harus diadili menurut hukum asing(bukan yang berlaku di negaranya); dan banyak kerugian berada dalam penahanan di negara asing. Prinsip ini tidak berlaku di antara Negara-negara penganut sistem hukum Common Law seperti Amerika Serikat dan Inggris. Hal ini disebabkan atas pertimbangan bahwa negara-negara Common Law System, kurang memiliki komitmen untuk memberlakukan hukum nasionalnya ke luar batas teritorial negaranya dibandingkan dengan Negara penganut sistem hukum Civil Law. Negara penganut sistem hukum Common Law juga beranggapan bahwa menuntut dan mengadili pelaku warga negaranya dengan locus delicti di negara lain akan mengalami kesulitan di dalam proses pembuktian. Jika Negara Yang Diminta tetap menolak untuk mengekstradisi maka kewajiban Negara ybs untuk menuntut dan mengadili pelaku kejahatan ybs. Ketentuan ini merupakan wujud nyata dari prinsip aut31

dedere aut judicare-extradite or prosecute. Jika langkah hukum tersebut dilakukan maka Negara dimaksud telah dianggap menerapkan asas nasional aktif. Dalam praktik, beberapa Negara segan untuk melakukan penuntutan warga negaranya yang telah melakukan kejahatan di negara lain. Untuk mengatasi masalah ini, Konvensi Palermo(2000) 6 ayat 10 memiliki kesamaan pandangan dengan Pasal 6(9) (a) Konvensi Narkotika 1988, dan UN Model Treaty on Extradition. Ketentuan tersebut menegaskan: the authorities of such a State shall take their decision and conduct their proceedings in the same manner as in the case of any other offence of a grave nature under the domestic law of the State Party. Di beberapa Negara Eropa, keengganan untuk mengekstradisi warga negaranya sudah berkurang karena seperti Belanda telah mengubah Konstitusi Belanda dan menyusun draft UU yang membolehkan ekstradisi warga negaranya sepanjang warga negara ybs dikembalikan ke Belanda untuk melaksanakan pidananya di Belanda. Setelah perjanjian Schengen Antara Negara anggota Uni Eropa khusus Belanda, Belgia,Perancis, Luxemburg,dan Spanyol, maka perjanjian ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual assistance in criminal matters) dipandang tidak efektif, dan digantikan dengan Konvensi tentang Penangkapan (Arrest Warrant Convention, tahun ......). Perjanjian antara Thailand dan Amerika Serikat tidak menganut prinsip penolakan atas dasar nasionalitas. Konvensi Palermo (2000) Pasal 16 ayat 11, menguatkan fenomena ekstradisi terkini dengan menegaskan sebagai berikut: Whenever a State Party is permitted under its domestic law to extradite or otherwise surrender one of its nationals only upon the condition that the person will be returned to that State Party to serve the sentence imposed as a result of the trial or proceedings for which the extradition of the person agree with32

this option and other terms that they may deem appropriate, such a conditional extradition or surrender shall be sufficient to discharge the obligation set forth in paragraph 10 of this article. Prinsip penolakan Ekstradisi atas dasar peradilan yang tidak jujur dan perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan. Prinsip ini sesungguhnya bertentangan dengan prinsip nonintervensi atas masalah peradilan domestik suatu negara, dan bertentangan dengan prinsip pacta sunt servanda yang telah diakui sejak berabad yang lampau. Namun demikian dengan meningkatnya pengakuan individu sebagai subjek hukum (pidana) internasional, dan perkembangan hak asasi manusia, prinsip ini diterima sebagai dasar penolakan ekstradisi. Prinsip ini sekaligus telah memperkuat keberadaan hukum hak asasi manusia atau hukum humaniter internasional. Prinsip ini dicantumkan dalam Kovensi Palermo(2000) Pasa 16 (14) sebagai berikut: Nothing in this Convention shall be interpreted as imposing an obligation to extradite if the requested State Party has substantial grounds for believing that the request has been made for the purpose of prosecuting or punishing a person on accountnof that persons sex,race,religion,nationality,ethnic origin or political opinion or that compliance with the request would cause prejudice to that personss position for any one of these reasons. Prinsip ini merupakan prinsip penolakan yang bersifat wajib(mandatory obligation) sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 3 (f) MLE UN 1999. Mengenai prinsip penolakan atas dasar perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan, diatur di dalam Pasal 16 (13) Konvensi Palermo(2000):

33

Any person regarding whom proceedings are being carried out in connection with any of the offences to which this article applies shall be guaranteed fair treatment at all stages of proceedings, including enjoyment of all rights and guarantees provided by the domestic law of the State Party in the territory of which that person is present. Bertitik tolak pada prinsip-prinsip penolakan ekstradisi baik yang bersifat wajib(mandatory obligation) maupun bersifat opsional (non-mandatory obligation), tampak proses ekstradisi akan semakin sulit dan perjanjian ekstradisi tidak semakin efektif. Hal ini semakin terbukti dengan berbagai praktik ekstradisi yang akan diuraikan dalam Bab IV.

BAB IV PRAKTIK EKSTRADISI34

Praktik ekstradisi masa lampau atau disebut, traditional extradition regime telah berkembang dan berubah pesat pada masa kini, sehingga dikenal The new improved extradition regime. Tabel di bawah ini membedakan kedua model rezim dimaksud19 The new improved The traditional extradition extradition regime regime Bilateral/perjanjian dua pihak Multilateral /perjanjian banyak pihak Limited scope of Broad scope of offence/lingkup offence/lingkup kejahatan kejahatan luas terbatas Need to present prima facie An arrest warrant evidence/perlu bukti awal yg suffices/cukup dengan cukup perintah penangkapan Extradition of nationals not Nationals can be possible/ekstradisi warga extradited,although conditios negara tidak boleh may be imposed/ekstradisi warga negara dibolehkan dengan syarat tertentu Broad grounds for Few grounds for refusal/alasan refusal/alasan penolakan yang penolakan diperkecil/dikurangi luas No reference to the expected Human rights standard treatment or punishment of applied/hak asasi manusia the suspect/tidak ada rujukan dijadikan rujukan khusus ttg perlakuan atau hukuman Slow/lamban Trend towards mutual recognition and the backing of warrants/cenderung ke arah pengakuan timbal balik dan memperkuat penangkapan birokratis good practices standards followed/standar praktik yang terbaik,seperti konsultasi19

Dikutip dari Matti Joutsen, International Cooperation Against Transnational Organized Crime: Extradition and Mutual Legal Assistance in Criminal Matters; 119th International Traiining Course Visiting Experts Papers; halaman 130-131

35

sebelum menolak ekstradisi Berdasarkan tabel perbandingan di atas dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut: 1. Perjanjian dua pihak(bilateral treaty) meningkat dan menggantikan perjanjian banyak pihak (multilateral treaty). Perjanjian dua pihak lebih banyak disukai oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law, namun demikian banyak juga yang menggunakan perjanjian banyak pihak, yang terkadang menyulitkan praktik ekstradisi. 2. Perjanjian ekstradisi tradisional didasarkan pada daftar sejumlah kejahatan; kejahatan tertentu yang tidak ada dalam daftar, tidak akan dapat diekstradisikan (nonextraditable crimes). Perjanjian ekstradisi terkini lebih fleksibel dapat diperluas terhadap kejahatan lainnya3.

Pengadilan di negara yang menganut sistem hukum Common Law mensyaratkan dipenuhinya prima facie evidence(bukti awal) bahwa tersangka benar-benar telah melakukan kejahatan. Perbedaan sistem hukum pembuktian antara beberapa negara mengenai syarat tersebut terbukti menghambat ekstradisi. Perkembangan terkini, sudah cukup jika Negara Peminta telah dapat menunjukkan Surat perintah Penangkapan(Arrest 20 warrant). Prinsip penolakan ekstradisi atas dasar nasionalitas merupakan prinsip yang mutlak dan menyulitkan efektivitas ekstradisi. Jika prinsip ini dipertahankan setidak-tidaknya dapat dituntut dan diadili di negara asal warga negara ybs. Perkembangan terkini, banyak negara yang diminta membolehkan ekstradisi dilakukan terhadap warga negara sendiri dengan syarat jika setelah dituntut dan diputus oleh pengadilan di Negara yang

4.

20

Model terkini dalam kerjasama penyidikan dan penuntutan kejahatan yang berlaku di antara Negara anggota Uni Eropa sejak tahun .....

36

Meminta, dapat dikembalikan ke negara asalnya untuk melaksanakan hukuman.21 5. Perkembangan terkini, alasan kejahatan politik dihapuskan di banyak negara dan syarat-syarat prinsip penolakan ekstradisi telah banyak dikurangi6.

Kecenderungan pelaksanaan ekstradisi saat ini adalah memberikan hak yang lebih banyak kepada seseorang yang diminta untuk diekstradisi dan juga dijadikan bahan pertimbangan bagaimana orang ybs diperlakukan atau dihukum di negara Peminta. Persyaratan dimaksud antara lain tidak boleh dilaksanakan atas dasar gender, ras, kebangsaan, asal etnis atau paham politik.

7. Kecenderungan lain dari perkembangan pelaksanaan ekstradisi adalah mengurangi prosedur yang tidak perlu termasuk komunikasi langsung dan prosedur (ekstradisi) yang disederhanakan.

Beberapa keuntungan dan kerugian perjanjian dua pihak (bilateral treaty) dan perjanjian banyak pihak (multilateral treaty). Banyak Negara lebih menyukai perjanjian dua pihak daripada perjanjian banyak pihak dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Bahwa perjanjian dua pihak dapat disesuaikan dengan keperluan khusus dari kedua negara pihak, dan bahkan dapat diperluas, diubah atau dihentikan dengan cara yang relatif lebih mudah disesuaikan dengan tuntutan keadaan. 2. Kedua Negara pihak dapat lebih mengawasi perencanaan, pelaksanaan dan tindak lanjut perjanjian tersebut21

atas dari

Pola ekstradisi terbaru ini telah dilaksanakan antara Belanda dan Perancis. Prinsip penolakan ektradisi atas dasar nasionalitas juga tidak dianut lagi antara Thailand dan Amerika Serikat, dan antara Negara-negara yang tergabung dalam Commonwealth Nations (bekas jajahan Inggeris).

37

Sebaliknya, dalam perjanjian banyak pihak (multilateral):1.

Negara-negara pihak harus memiliki komitmen atas beberapa ketentuan yang telah disepakati bersama dan lebih sulit daripada perjanjian bilateral dalam hal melakukan pengawasan atas perencanaan, implementasi dan tindak lanjut perjanjian tsb Dalam perjanjian banyak pihak, diperlukan infrastruktur dalam bentuk investasi sumber daya, dan bersamaan dengan keperluan tersebut, perjanjian banyak pihak menciptakan stabilitas kerjasama internasional.

2.

3. Perjanjian banyak pihak mewakili keinginan untuk menciptakan kelembagaan yang mapan didasarkan atas solidaritas timbal balik dan tanggungjawab bersama4.

Menyepakati perjanjian banyak pihak menguntungkan negara untuk tidak mengikatkan diri kepada banyaknya perjanjian dua pihak yang berbeda-beda dan masingmasing menuntut prosedur yang berbeda-beda Perluasan perjanjian banyak pihak mengurangi kesempatan pelaku kejahatan untuk menghindari peradilan pidana dengan cara memasuki wilayah Negara yang tidak terikat ke dalam perjanjian dimaksud.22

5.

22

Matti Joutsen,International Cooperation Against Transnational Organized Crime: The General Development; visiting experts paper; Resource Materials Series No.59;halaman 90.

38

39

40