EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...

13
EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI PRAWITA 0906641951 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI CINA DEPOK 2013 Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014

Transcript of EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...

Page 1: EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...

EKSISTENSI WAYANG POTEHI

DI JAKARTA

Disusun Oleh:

ASTRI PRAWITA

0906641951

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI CINA

DEPOK

2013

Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014

Page 2: EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...

Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014

Page 3: EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...

Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014

Page 4: EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...

EKSISTENSI PERTUNJUKAN WAYANG POTEHI DI JAKARTA

Astri Prawita

Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424,

Indonesia

E-mail : [email protected]

Abstrak

Latar belakang penelitian ini adalah untuk memaparkan pertunjukan Wayang Potehi secara jelas mulai dari

asal-usul Wayang Potehi, penjelasan mengenai pertunjukan Wayang Potehi serta fungsi pertunjukan Wayang Potehi.

Selain itu latar belakang dari penelitian ini adalah membuktikan bahwa eksistensi pertunjukan Wayang Potehi di

Jakarta masih ada sejak masa kolonial hingga saat ini meskipun peminatnya mengalami penurunan dan sempat tidak

diizinkan untuk tampil di depan publik semasa zaman orde baru, serta membuktikan bahwa pemain Wayang Potehi

yang bukan masyarakat Tionghoa tidak terpengaruh dengan adanya stereotip negatif tentang msayarakat Tionghoa

di Indonesia. Adapun manfaat penelitian ini adalah manfaat praktis yang dapat memberikan sumbangan pemikiran,

berupa pengetahuan mengenai pertunjukan Wayang Potehi dan perkembangannya mulai dari masa kolonial sampai

saat ini dan manfaat teoritis yang diharapkan dapat menjadi penjelasan nyata yang bermanfaat bagi pembaca sebagai

bahan penulisan dan pemikiran. Berdasarkan penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa pertunjukan Wayang

Potehi merupakan kesenian yang telah berakulturasi dengan kebudayaan Jawa, dalam perkembangannya ia telah

melakukan beberapa perubahan dalam pertunjukannya untuk dapat menyesuaikan dengan kebudayaan setempat.

Sampai saat ini pertunjukan Wayang Potehi masih sering digelar meskipun mengalami penurunan jumlah penonton.

The Existance of Wayang Potehi Show in Jakarta

Abstrac

The background of this research is to explain Wayang Potehi show clearly starting from the history of

Wayang Potehi, explanation about Wayang Potehi show and the function of the show. Besides that, the background

of this research is to to prove that the existence of Wayang Potehi show has been on going since colonial era until

now, although the number of interested person is declining and even once upon a time, it was not allowed to perform

in public show in new order era, and also to prove that the player of Wayang Potehi who are not Chinese, are not

affected by the negative stereotype about Chinese society in Indonesia. As for the benefit of this research is

beneficial practice which can provide thoughtful contribution of knowledge about Wayang Potehi Show and its

development since colonial era until now and theoretical benefits which is expected to be an actual explanation that

has benefits to the readers as a writing material and thought. Based on this research, it can be concluded that

Wayang Potehi show is the culture that has been acculturated with Java culture, in its development it has made some

changes in the show to adapt with the local culture. Although the number of audience is decreasing, but Wayang

Potehi show is still performed until now.

Keywords : Wayang Potehi Show; The Existence of The Show; Culture

Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014

Page 5: EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...

1. Pendahuluan

1.1.Latar Belakang Masalah

Tiongkok merupakan negara dengan jumlah

penduduk terbanyak nomor satu di dunia dengan

kebudayaan yang kaya. Penduduknya pun banyak

tersebar ke seluruh wilayah dunia. Indonesia

merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang

menjadi negara tujuan mereka bermigrasi.

Masyarakat Tionghoa telah berimigrasi ke Indonesia

dengan membawa kebudayaannya sejak sebelum

Indonesia merdeka.

Meskipun telah berada di Indonesia dalam

waktu yang lama, akan tetapi keberadaan mereka di

tengah-tengah bangsa Indonesia tidak begitu saja

dapat diterima oleh pemerintah ataupun masyarakat

Indonesia itu sendiri. Ada stereotip negatif mengenai

orang Tionghoa seperti orang Tionghoa itu suka

berkelompok-kelompok, menjauhkan diri dari

pergaulan sosial dan suka tinggal di kawasan

tersendiri 1.

Pada tahun 1966, Presiden Soeharto

mengeluarkan kebijakan asimilasi untuk masyarakat

Tionghoa di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk

membuat mereka lebih melebur dengan masyarakat

Indonesia. Akan tetapi kerusuhan Mei 1998

menunjukkan bahwa meskipun masyarakat Tionghoa

telah menjalankan kebijakan asimilasi sejak tahun

1965, mereka tetap saja tidak dapat diterima oleh

masyarakat Indonesia. Skiner (1967) menyebutnya

sebagai sindroma “sekali Yahudi, tetap Yahudi”

(h.112). Dapat diartikan bahwa masyarakat Indonesia

menganggap masyarakat Tionghoa tetaplah

masyarakat Tionghoa meskipun telah berusaha

berbaur ke dalam masyarakat Indonesia. Sampai saat

ini pun masih terdapat pemikirian dan juga rasa

sentimen seperti itu

Saat diterapkan kebijakan asimilasi dalam

kurun waktu 33 tahun ini, banyak kebudayaan

Tionghoa yang telah berasamilasi dengan

kebudayaan setempat, salah satunya adalah Wayang

1 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia dalam

krisis, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan (1994).

Hlm .26

Potehi yang telah berakulturasi dengan kebudayaan

Jawa. Tetapi selama berada di bawah kepemimpinan

Presiden Soeharto banyak larangan yang ditetapkan

untuk masyarakat Tionghoa. Mereka tidak boleh

mementaskan kebudayaan mereka sendiri di depan

khalayak ramai. Apabila ingin menggelar

pertunjukan Wayang Potehi, mereka hanya

diperbolehkan menggelar pertunjukan tersebut di

kelenteng, tidak boleh di tempat umum. Sampai pada

Indonesia di bawah kepemimpinan presiden

Abdurrahman Wahid pada tahun 1998 barulah

masyarakat Tionghoa memiliki kebebasan untuk

secara terang-terangan melaksanakan perayaan serta

menampilkan kebudayaannya.

Melihat kenyataan bahwa kebudayaan

masyarakat Tionghoa sempat tidak boleh

dipertunjukkan di depan umum selama 33 tahun,

yaitu sejak tahun 1965-1998 2

dan banyaknya

stereotip negatif terhadap masyarakat Tionghoa,

penulis menemukan beberapa masalah, yaitu

Bagaimanakah keeksistensian Wayang Potehi di

Jakarta? Apakah dengan adanya kebijakan yang

diberlakukan untuk masyarakat Tionghoa pada

zaman orde baru berdampak besar terhadap

keeksistensian Wayang Potehi di Jakarta? Mengapa

masyarakat Indonesia bersedia untuk menjadi bagian

dalam pertunjukan Wayang Potehi?

Beberapa hal inilah yang membuat penulis

tertarik untuk memilih topik ini sebagai topik yang

patut diteliti. Berdasarkan permasalahan-

permasalahan yang telah disebutkan dalam paragraf

sebelumnya, maka tujuan dari penulisan ini adalah

untuk membuktikan bahwa Wayang Potehi

merupakan produk kebudayaan yang telah menjadi

identitas bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih

dilestarikan bukan saja oleh masyarakat Tionghoa

peranakan3

tetapi juga masyarakat Indonesia

meskipun pertunjukan Wayang Potehi mengalami

penurunan dalam hal jumlah penonton di Jakarta.

2 Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari

Identitas, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama

(2010). Hlm.29 3 Orang Tionghoa yang lahir di Indonesia

Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014

Page 6: EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...

2. Metode Penelitian

Metode yang penulis gunakan dalam

penulisan jurnal ini adalah metode kualitatif.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara

melakukan wawancara dengan nara sumber, selain

itu juga dengan cara melakukan studi kepustakaan.

Wawancara dilakukan dengan metode wawancara

tak berstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan

berupa garis-garis besar permasalahan yang akan

ditanyakan. Nara sumber untuk penelitian ini adalah

Ibu Dwi Woro Retno Mastuti selaku dosen wayang

FIB UI dan peneliti Wayang Potehi serta penjaga

kelenteng Fu De Gong atau Vihara Amurva Bhumi,

Ibu Chynthia. Kelenteng tersebut merupakan salah

satu kelenteng di Jakarta yang sering mengadakan

pertunjukan Wayang Potehi. Penulis juga

melakukan pengumpulan data melalui studi

kepustakaan, mengumpulkan data dari buku maupun

media elektronik seperti internet. Website-website

tersebut dipilih oleh penulis sebagai bahan referensi

karena dapat memberikan informasi mengenai

Wayang Potehi dengan jelas dan terperinci.

Langkah selanjutnya adalah interpretasi.

Menganalisa data-data yang telah terkumpul.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Asal-Usul Wayang Potehi

Asal-usul wayang potehi tidak dapat

dipisahkan dengan sejarah kedatangan masyarakat

Tionghoa ke Indonesia sebab Wayang Potehi

merupakan kesenian yang dibawa oleh masyarakat

Tionghoa. Mereka telah bermigrasi ke Indonesia

sebelum masa kolonial dan menetap di pantai utara

Pulau Jawa. Teluk Jakarta merupakan tempat mereka

bermukim sejak abad XVI. Mereka bermigrasi ke

Indonesia dalam bentuk kelompok-kelompok kecil

dari Provinsi Fujian dan Guangdong.4

4 Dyah Tjaturrini, Wayang Potehi : Suatu Kajian

Tentang Kesenian Tradisional China Semarang,

Depok, Universitas Indonesia (2006). Hlm. 33

Wayang Potehi berasal dari distrik

Quanzhou5. Lalu dibawa oleh para imigran Cina ke

Indonesia sekitar abad 16-19. Penelitian telah

menunjukkan bahwa pertunjukan Wayang Potehi

lebih banyak ditemukan di Jawa Timur dibanding

Jawa Barat atau Jawa Tengah. Sebagian besar dalang

Wayang potehi berasal dari Jawa Timur, seperti

Sidoarjo, Tulungagung, Kediri dan Surabaya. 6

Wayang Potehi merupakan wayang boneka

tiga dimensi yang terbuat dari kain dan dimainkan

dengan cara memasukkan tangan ke dalam kain

tersebut. Potehi berasal dari dialek Hokkian, yang

terdiri dari kata pao “布” kain, tay “袋” kantung, dan

hie “戯 ” wayang. Terkadang Potehi disebut juga

dengan bu “布” kain, dai “袋” kantung, pi “皮” kulit,

ying “影” bayangan dan xi”戏” memainkan.7

Menurut legenda, wayang potehi pertama

kali diciptakan oleh lima narapidana yang dijatuhkan

hukuman mati pada masa Dinasti Tang (617-918).

Mereka bermain dengan sebuah kain persegi empat

yang salah satu ujungnya diikat sehingga terbentuk

seperti boneka yang memiliki kepala, badan dan

tangan. Hal ini dilakukan untuk menghibur diri

mereka sendiri sehingga tidak teringat dengan

hukuman mati yang akan mereka jalani. Boneka

tersebut digerakkan seperti sedang memainkan

wayang. Perlengkapan makan dan masak merupakan

alat musik yang digunakan untuk mengiringi

permainan tersebut pada saat itu. Raja Tiu Ong

mendengar hal tersebut lalu meminta mereka untuk

tampil di depan raja. Akhirnya mereka berhasil

membuat Raja Tiu Ong senang sehingga mereka

dibebaskan dari hukuman mati. Setelah keluar dari

penjara, mereka tetap menggelar pertunjukan

Wayang Potehi sehingga Wayang Potehi dapat

dikenal oleh khalayak ramai8.

Sejak abad ke 17, Wayang Potehi menyebar

ke Tiongkok bagian Timur lalu ke Asia Timur dan

Tenggara, termasuk Taiwan, Hongkong dan Jawa.

Wayang Potehi merupakan bentuk miniatur dari

Opera Beijing. Setiap riasan pada wayang memiliki

artinya tersendiri. Kisah yang diangkat dalam

pertunjukan wayang ini adalah tentang kepahlawanan,

raja dan juga kehidupan dewa.

5 Distrik yang terletak di sebelah Tenggara Provinsi

Fujian 6 Dwi Woro Retno Mastuti, Draft Wayang Potehi

Gudo, Hlm. 5 7 Ibid, Hlm. 4

8 Ibid

Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014

Page 7: EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...

3.2 Pertunjukan Wayang Potehi

Wayang Potehi terdiri dari kepala, tangan,

kaki dan sepatu. Tingginya 30 cm dan lebarnya 15

cm, ukuran kepalanya ± 5 cm. Kayu merupakan

bahan yang digunakan untuk membuat kepala, kaki

dan tangan. Sementara itu, baju Wayang Potehi

dibuat dari kain blacu.9

Wayang Potehi merupakan kesenian yang

sarat akan pesan dan makna. Simbol, plesetan, dan

dialog dalam pertunjukan merupakan cara untuk

menyampaikan pesan tersebut. Cerita-cerita yang

dibawakan mengandung pesan-pesan universal, tidak

hanya untuk kepercayaan tertentu. Cerita yang sering

dibawakan biasanya berupa kisah kepahlawan rakyat,

ajaran Konghucu, cerita-cerita rakyat, roman sejarah

yang diterjemahkan dan juga kisah mengenai bakti

seorang anak terhadap orang tua. Cerita-cerita yang

biasa dimainkan adalah Sie Jin Kwie, Poei Sie Giok,

Jhi Gu Nau Tong Tiauw, Kho Han Bun, Sam Kok,

Sam Pek Eng Tay, Li Si Bin, Koan Kong dan cerita-

cerita yang mengandung ajaran Konghucu lainnya10

.

Wayang Potehi merupakan kesenian yang berasal

dari Tiongkok yang telah berakulturasi dengan

budaya Jawa. Banyak karakter dalam Wayang Potehi

yang dipinjam ke dalam karakter ketoprak Jawa,

seperti tokoh Sie Jin Kwie menjadi Joko Sudiro, Li Si

Bin menjadi Prabu Lisan Puro, dan Kerajaan Thai

Toy Tong menjadi Kerajaan Tanjung Anom11

. Selain

itu, kesenian ini juga dapat dikatakan unik karena

sebuah Wayang Potehi bisa saja mewakili lebih dari

satu karakter. Apabila kostum dan aksesoris kepala

yang ia pakai diganti, maka karakter wayang tersebut

juga ikut berubah.

Waktu pertunjukan Wayang Potehi berbeda-

beda, tergantung tujuan kelenteng yang

bersangkutan menggelar pertunjukan tersebut. Ada

yang mengadakan saat Imlek ataupun pada saat

ulang tahun kelenteng. Ada kelenteng yang

menggelar pertunjukan Wayang Potehi sebanyak

dua kali dalam sehari. Durasinya dua jam pada

setiap pertunjukannya. Pertunjukan pertama

berlangsung dari pukul 15.00-17.00 dan pertunjukan

kedua berlangsung dari pukul 19.00-21.00.

Meskipun dalam sehari ada dua pertunjukan, tapi

9 Ibid, Hlm. 6

10Ibid, Hlm. 3

11Ch Dwi Anugrah, Wayang Potehi, Perekat

Kebersamaan,

http://www.bentarabudaya.com/news.php?id=80

(diakses pada 15 Juni 2013 pukul 20.00 WIB)

cerita yang dibawakan berbeda. Pada pertunjukan

pertama, cerita yang dimainkan biasanya adalah Sie

Jin Kwie lalu pada pertunjukan kedua cerita yang

dimainkan adalah Ngo Ho Peng See dan lima naga

dengan kekuatan gaib. Ada juga perbedaan dalam

hal durasi pementasan. Pertunjukan yang

diselenggarakan di luar kelenteng berbeda dengan

yang dilaksanakan di dalam kelenteng. Durasi

pertunjukan di luar kelenteng hanya satu jam. Selain

itu, tempat pementasan juga mempengaruhi tema

cerita yang akan ditampilkan. Jika tampil di dalam

kelenteng maka tema cerita asli Tiongkok yang akan

dibawakan, seperti legenda Dinasti Tang, Dinasti

Song. Sementara itu cerita yang dibawakan untuk

pertunjukan di luar kelenteng biasanya adalah

cerita-cerita terkenal, seperti Sun Go Kong, Sam Pek

Eng Tay, Sie Jin Kwie, dan Pendekar Gunung Liang

Xiang12

. Jumlah hari pementasan dipengaruhi oleh

besarnya uang yang diberikan kepada pemain

Wayang Potehi. Semakin banyak uang yang

dikumpulkan semakin lama pertunjukan yang dapat

dilaksanakan. Lama pertunjukan di setiap tempat

berbeda-beda, paling lama dapat mencapai 30 hari.

Panggung Wayang Potehi disebut dengan

pay low. Warna merah merupakan warna yang

mendominasi panggung tersebut karena dalam

kepercayaan orang Tionghoa warna merah

menandakan kebahagiaan. Penggung yang digunakan

untuk pertunjukan di luar kelenteng adalah miniatur

rumah yang permanen atau yang bongkar pasang.

Apabila pertunjukan dilaksanakan di dalam kelenteng

maka panggung yang digunakan adalah meja. Untuk

panggung di luar kelenteng, panggung memiliki pintu

di sisi kiri dan kanan. Bagian tengah merupakan

ruang untuk pertunjukan wayang dan di bagian

belakang merupakan tempat untuk dalang, asisten

dalang, pemain musik dan perlengkapan pertunjukan

lainnya. Ada tata cara yang harus dilakukan ketika

panggung baru dipergunakan untuk pertama kali.

Persembahan akan diletakkan di atas meja tambahan.

Persembahan ini disebut dengan sam seng, atau 3

binatang. Binatang-binatang tersebut terdiri dari

binatang yang hidup di air (ikan), yang hidup di

udara (unggas) dan yang hidup di darat (babi)13

.

Pertunjukan Wayang Potehi membutuhkan dua orang

atau lebih untuk memainkan wayang tersebut.

Mereka adalah dalang dan asisten dalang (jijiu)

Dalang bertugas untuk menyampaikan cerita

sementara itu asisten dalang bertugas untuk

menyiapkan dan menata peralatan pentas, seperti

12

Dwi Woro Retno Mastuti, Draft Wayang Potehi

Gudo, Hlm. 9 13

Ibid

Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014

Page 8: EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...

wayang, busana, senjata, dan perlengkapan

pangggung lainnya. Masing-masing dari mereka

dapat memainkan dua buah wayang. Sebelum

Wayang Potehi mulai ditampilkan, dalang dan

asistennya menyiapkan wayang dengan cara

mengatur berdasarkan urutan tampil mereka dalam

sebuah adegan. Sebanyak 20-25 wayang bisa

digunakan dalam satu adegan14

.

Rangkaian pertunjukan Wayang Potehi

ketika digelar untuk kegiatan keagamaan di kelenteng,

yaitu pertama, pertunjukan dimulai ditandai dengan

dimainkannya musik. Kemudian dalang akan

membaca doa pembuka. Ia memohon kepada dewa

agar melimpahkan berkah kepada orang yang

membuat nazar tersebut. Setelah itu, ada monolog

pembuka yang disampaikan oleh salah satu karakter

wayang, dilanjutkan dengan dialog antar karakter,

lalu ada adegan perang dan terakhir adalah

penutupan15

.

Dalang akan memulai pertunjukan dengan

mengeluarkan 4 buah Wayang Potehi untuk

mewakilkan 4 dewa. Nama-nama dewa tersebut

adalah Bie Tjo (Dewa Panjang Umur), Gong Kiem

Liong (Dewa Kemakmuran), Tjho Kok Kioe (Dewa

Kedudukan), dan Tjhai Tjoe (Dewa Anak Pintar).

Keempat dewa itu disebut Hok Lok Sioe Tjwan

(Umur panjang, keberuntungan baik, kedudukan dan

keturunan). Sehabis dalang membacakan doanya,

acara dilanjutkan dengan dalang membaca doa ritual

pembuka dan berterima kasih ke dewa di depan para

penganut Khonghucu yang membuat nazar ke

dewa16

.

Kegiatan selanjutnya disebut Jejer atau

narasi, ini adalah saat dalang memulai pertunjukan

yang sebenarnya. Dalam bagian ini, dalang

menceritakan Suluk dari karakter Wayang Potehi.

Berbeda karakter maka berbeda Suluk. Untuk cerita

yang dibawakan dalam pertunjukan, penonton boleh

menentukannya sendiri tidak harus dari dalang17

.

Alat musik orkestra dalam pertunjukan

Wayang Potehi disebut dengan Lauw Tay 18

. Pemain

musik biasanya berjumlah 3-4 orang. Seiring dengan

perkembangan zaman, mereka sudah tidak lagi hanya

memainkan lagu-lagu tradisional Tiongkok saja,

mereka juga suka memainkan lagu-lagu Tiongkok

14

Ibid, Hlm. 8

15Ibid

16Ibid, Hlm. 8-9

17Ibid, Hlm. 9

18Ibid, Hlm. 8.

modern. Alat-alat musik yang dipergunakan dalam

pertunjukan Wayang Potehi, yaitu :

a. 锣 luo : Gong

b. 镲 cha : Kecer atau simbal kecil

c. 钹 bo : Simbal

d. 笛仔 dizai : Suling bambu

e. 弦仔 xianzai : Rebab

f. 鼓 gu : Tambur

g. 嗳仔 aizai : Terompet

h. 月琴 yueqin : Gitar

3.3 Fungsi Wayang Potehi

Wayang Potehi memiliki dua Fungsi, yaitu :

a. Fungsi Ritual

b. Fungsi Hiburan

Wayang Potehi memiliki fungsi ritual ketika

dimainkan di dalam kelenteng. Saat itu, pertunjukan

Wayang Potehi merupakan sarana bagi orang

Tionghoa untuk menyembah dewa dan leluhur.

Mereka menggunakan media tersebut untuk

menunjukkan rasa terima kasih mereka atas

kesuksesan bisnis yang telah diperoleh, namun bisa

juga diselenggarakan dalam rangka ulang tahun

kelenteng. Mereka percaya bahwa mengadakan

pertunjukan Wayang Potehi di halaman kelenteng

akan mendatangkan kekayaan dan berkah yang

berlimpah. Ketika berfungsi sebagai ritual maka

pertunjukan tidak mempedulikan jumlah penonton

yang hadir. Pertunjukan tetap akan dilaksanakan

meskipun tidak ada penonton yang datang. Cerita

wayang ditampilkan secara berseri. Satu cerita dapat

menghabiskan waktu maksimal tiga bulan untuk

menyelesaikannya.

Saat ini Wayang Potehi juga sering tampil

untuk mengisi acara di pusat perbelanjaan besar di

Jakarta dalam rangka hari raya Imlek. Tidak hanya

itu saja terkadang pertunjukan Wayang Potehi

diadakan untuk mengisi acara di Museum Wayang

ataupun di pementasan teater. Oleh karena itu,

Wayang Potehi sudah tidak lagi hanya memiliki

fungsi ritual saja, namun juga memiliki fungsi

hiburan.

3.4 Eksistensi Wayang Potehi

Pada saat pemerintahan Belanda di

Indonesia, masyarakat Tionghoa dianggap sebagai

orang asing atau Vreemde Oosterliingen (Foreign

Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014

Page 9: EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...

Oriental)19

. Status itu membuat posisi dan status

sosial mereka berbeda dengan masyarakat Indonesia.

Mereka dapat melakukan hal apapun meskipun

merupakan suku minoritas. Kebebasan tersebut

termasuk dalam hal seni dan budaya, seperti mereka

diperbolehkan dengan bebas menggelar pertunjukan

Wayang Potehi. Pertunjukan Wayang Potehi

diizinkan dilaksanakan di tempat-tempat umum.

Sehingga banyak masyarakat yang mengenal Wayang

Potehi dan menggemari wayang tersebut. Ditambah

lagi kondisi pada saat itu media elektonik belum

menjamur seperti zaman reformasi ini akibatnya

pertunjukan Wayang Potehi merupakan hiburan yang

ditunggu-tunggu oleh penonton. Dengan demikian,

masa-masa ini dapat dikatakan sebagai masa

kejayaan bagi keeksistensian Wayang Potehi.

Memasuki zaman orde baru, Wayang Potehi

kehilangan masa jayanya. Ia sempat mati suri selama

33 tahun . Kejadian tersebut berlangsung sejak tahun

1965-1998. Pada kurun waktu inilah hal-hal yang

berhubungan dengan Tiongkok tidak diizinkan

beredar ataupun ditampilkan di depan publik.

Pada zaman kepemimpinan Presiden

Soeharto, banyak sekali kebijakan-kebijakan yang

dibuat agar masyarakat Tionghoa berasimilasi dan

pada saat itu kesenian maupun perayaan hari besar

masyarakat Tionghoa juga tidak boleh ditampilkan

secara terang-terangan di depan umum. Ada

pandangan dari masyarakat Indonesia bahwa

masyarakat Tionghoa merupakan etnis minoritas di

Indonesia tetapi terlihat mengeksklusifkan dirinya.

Sejak tahun 1965, Presiden Soeharto

menerapkan kebijakan asimilasi yang mewajibkan

masyarakat Tionghoa di Indonesia untuk melepas

kebudayaannya serta bahasa Mandarin dan juga

terdapat larangan dari pemerintah yang sangat

berkaitan dengan Wayang Potehi. Larangan tersebut,

yaitu Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang

agama, kepercayaan, dan adat istiadat masyarakat

Tionghoa di Indonesia20

. Mereka hanya diizinkan

untuk menggelar perayaan ataupun kesenian di

lingkup internal saja atau tidak dilaksanakan secara

mencolok. Pemerintah pada saat itu merasa perlu

mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk masyarakat

Tionghoa di Indonesia agar proses asmilasi dapat

berjalan lancar.

19

Dyah Tjaturrini, Wayang Potehi : Suatu Kajian

Tentang Kesenian Tradisional China Semarang,

Depok, Universitas Indonesia (2006). Hlm. 35 20

Nurcholish Madjid, dkk, Kapok Jadi Nonpri,

Bandung, Zaman Wacana Mulia (1998). Hlm. 87

Terlihat bahwa rumah dan kelenteng

merupakan satu-satunya tempat yang aman bagi

mereka untuk menggelar pertunjukan. Namun pada

kenyataannya menurut Dwi Woro Retno Mastuti,

meskipun ada pernyataan bahwa mereka diizinkan

untuk melakukan tradisi dan kebudayaan di kelenteng

tetapi tetap saja ketika mereka menggelar

pertunjukan Wayang Potehi di kelenteng, terkadang

ada petugas pemerintah yang merazia mereka

sehingga harus segera menghentikan pertunjukan

yang sedang mereka lakukan. Jadi bisa dikatakan

bahwa cukup susah menemukan tempat yang aman

bagi mereka bila ingin menggelar pertunjukan

Wayang Potehi.

Pada zaman reformasi barulah masyarakat

Tionghoa peranakan Indonesia dapat dengan bebas

menampilkan kebudayaan mereka di depan umum

bahkan hari raya Imlek pun juga menjadi hari raya

yang diakui di Indonesia. Hal ini dapat terjadi

dikarenakan Abdurrahman Wahid yang

berkedudukan sebagai presiden pada saat itu

mencabut Peraturan Pemerintah no. 14/196721

.

Kelenteng-kelenteng di Jakarta yang sampai

saat ini masih menggelar pertunjukan Wayang Potehi

diantaranya, yaitu Kelenteng Fu De Gong yang

berlokasi di Jatinegara, Kelenteng Kwee Goan Say

atau Vihara Satrya Dharma di Jakarta Barat dan

Kelenteng Kim Tek Ie di Jakarta Barat. Kelenteng Fu

De Gong merupakan kelenteng yang cukup rutin

menggelar pertunjukan Wayang Potehi setiap

tahunnya. Mereka biasa menggelar pertunjukan saat

ulang tahun kelenteng, yaitu bulan 9 tanggal 15.

Sebelumnya mereka harus bertanya terlebih dahulu

kepada dewa perlukah mereka menggelar

pertunjukan Wayang Potehi. Apabila menurut dewa

tidak perlu menggelar pertunjukan Wayang Potehi

maka tidak akan diadakan pertunjukan pada tahun

tersebut. Mereka biasa menggelar pertunjukan

Wayang Potehi minimal 10 hari dan maksimal

sebulan. Menurut pemelihara Kelenteng Fu De Gong,

penonton Wayang Potehi mengalami penurunan

drastis sejak tahun 2000an. Saat ini penonton

pertunjukan Wayang Potehi hanya 1-2 orang saja

malah terkadang tidak ada sama sekali, berbeda

dengan sekitar 20 tahun yang lalu penonton sampai

memenuhi jalan di depan kelenteng dimana

pertunjukan Wayang Potehi biasa digelar. Berhubung

pertunjukan Wayang Potehi di kelenteng ini memiliki

fungsi ritual maka ada tidaknya penonton bukanlah

masalah bagi mereka karena memang tujuan utama

21

Dyah Tjaturrini, Wayang Potehi : Suatu Kajian

Tentang Kesenian Tradisional China Semarang,

Depok, Universitas Indonesia (2006). Hlm. 45

Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014

Page 10: EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...

mereka adalah untuk mengungkapkan rasa syukur

kepada dewa dan memang dilaksanakan sebagai

tontonan untuk dewa. Kondisi penonton yang sedikit

bahkan tidak ada sama sekali tersebut sama halnya

dengan nasib pertunjukan Wayang Potehi di

Kelenteng Kwee Goan Say. Penontonnya hanyalah

karyawan kelenteng atau jamaah yang hendak

sembahyang. Itu pun mereka tidak menyimak dengan

benar22

.

Meskipun pergelaran Wayang Potehi telah

diizinkan untuk tampil ke depan masyarakat luas,

tetapi tetap saja Wayang Potehi tidak dapat mencapai

masa kejayaannya seperti keadaan sebelum masa

orde baru. Seperti halnya gambaran mengenai jumlah

penonton pertunjukan Wayang Potehi di beberapa

kelenteng yang telah disebutkan dalam paragraf

sebelumnya. Ada masalah serius yang dihadapi

dalam hal keeksistensian Wayang Potehi di Jakarta,

yaitu kekurangan penerus untuk meneruskan

pertunjukan Wayang Potehi dan kurangnya minat

masyarakat luas untuk menonton pertunjukan

Wayang Potehi. Hal-hal ini merupakan akibat dari

kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah untuk

masyarakat Tionghoa di Indonesia pada masa orde

baru.

Wayang Potehi memiliki fungsi ritual bagi

penganut Khonghuchu untuk berdoa kepada dewa,

namun selama kurun waktu 33 tahun tersebut banyak

masyarakat Tionghoa yang berganti agama sehingga

mereka pun meninggalkan tradisi mereka menggelar

pertunjukan Wayang Potehi. Jadi, hal ini merupakan

salah satu faktor pemain Wayang Potehi sulit

menemukan penerus mereka.

Faktor lain sulitnya menemukan penerus

pemain Wayang Potehi, yaitu sebagian generasi

muda masyarakat Tionghoa peranakan Indonesia

tidak mengenal kebudayaan leluhur mereka sendiri.

Pada saat mereka dibesarkan, kebudayaan ataupun

tradisi seni mereka tidak dapat dengan bebas

dipertunjukkan. Mereka tidak dapat memiliki buku-

buku sebagai bahan bacaan atau pengetahuan tentang

negeri Tiongkok, media elektonik pun tidak

mendukung. Pantaslah bila mereka kurang

mengetahui dan mengenal kebudayaan leluhur

22

Isyanto, Nonton Jenderal Tek Jing Beraksi di Teluk

Gong, http://www.shnews.co/detile-23113-

nonton-jenderal-tek-jing-beraksi-di-teluk-

gong.html# (diakses pada 23 Januari 2014 pukul

20.00)

mereka sendiri. Minat untuk ingin mengenal apalagi

meneruskan warisan Wayang Potehi sangat sulit

didapatkan saat ini. Bisa saja seorang Tionghoa

peranakan tidak pernah menonton sama sekali

Wayang Potehi ataupun merasa Wayang Potehi

merupakan sesuatu yang menjemukan. Ada juga

faktor ekonomi. Faktor ini yang membuat masyarakat

Tionghoa sendiri tidak ingin menjadi pemain

Wayang Potehi karena penghasilan dari profesi

sebagai pemain Wayang Potehi dianggap tidak

seberapa. Selain itu, masyarakat Indonesia juga tidak

dapat menyaksikan pertunjukan Wayang Potehi di

tempat umum seperti zaman reformasi saat ini.

Akibat dari itu semua adalah dalang, asisten dalang

maupun pemusik pertunjukan Wayang Potehi sulit

menemukan penerus, padahal dalang Wayang Potehi

yang ada saat ini tidak banyak dan sudah tidak muda

lagi. Untuk menumbuhkan rasa suka generasi muda

terhadap Wayang Potehi bisa saja para pengajar di

sekolah-sekolah mengajak muridnya untuk menonton

pertunjukan tersebut. Jadi, generasi muda dapat

mengenal dan tumbuh rasa suka terhadap pertunjukan

Wayang Potehi, sebab pemain Wayang Potehi sangat

membutuhkan penerus agar pertunjukan Wayang

Potehi tidak punah.

Dalang Wayang Potehi tidak hanya

masyarakat Tionghoa peranakan tetapi juga terdapat

masyarakat Indonesia yang semuanya berasal dari

Jawa. Mereka ikut berperan dalam melestarikan

keberadaan Wayang Potehi di Indonesia. Meskipun

tidak ada darah Tionghoa mengalir sedikit pun di diri

dalang itu dan agama mereka juga berbeda dengan

dalang Tionghoa peranakan, tetapi mereka tetap

bersedia ikut berpartisipasi menggelar pertunjukan.

Mereka tidak terpengaruh dengan masih adanya

masyarakat umum yang sentimen terhadap

masyarakat Tionghoa. Biasanya pemain Wayang

Potehi yang bukan Tionghoa peranakan adalah

mereka yang tinggal berdekatan dengan kelenteng.

Mereka awalnya sering menonton pertunjukan

Wayang Potehi saat kecil, setelah itu mulai mencari

tahu dengan bertanya kepada pemain-pemainya, rasa

ingin tahu itu pun berlanjut dengan mencoba bermain

alat-alat musik Wayang Potehi terlebih dahulu, lalu

mencoba menjadi dalang. Dengan begitu dapat

terseleksi dengan sendirinya posisi apa yang cocok

untuk mereka dan yang mereka minati. Jadi, niat

mereka memang murni ingin mempelajari kesenian

asal negeri Tiongkok ini dan tidak terpengaruh

dengan adanya stereotip negatif mengenai

masyarakat Tionghoa.

Menurut Dwi Woro Retno Mastuti, jumlah

dalang Wayang Potehi saat ini berjumlah sekitar 13

orang. 3-5 orang diantaranya merupakan dalang Jawa.

Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014

Page 11: EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...

Dalang paling muda saat ini telah berumur 53 tahun.

Dalang berdarah Indonesia yang terkenal diantaranya

adalah Bambang Sutrisno, Sukar Murjiono, Edy

Mulyanto. Sementara itu dalang-dalang Tionghoa

diantaranya adalah Thio Tian Gie dan Sing Tjon Eng

Tin. Untuk sekali pementasan biasanya pemain

Wayang Potehi memasang tarif Rp 6.000.000-Rp

7.000.000/hari apabila dilakukan di luar kelenteng.

Tetapi apabila dilaksanakan di kelenteng, tarifnya

sekitar Rp.300.000/hari. Penghasilan yang didapat

oleh pemain Wayang Potehi terbilang tidak banyak,

tetapi mereka tetap setia melakukannya sehingga

Wayang Potehi masih dapat bertahan sampai saat ini.

Penyebab-penyebab Wayang Potehi hanya

memiliki sedikit peminat, yaitu :

a. Banyak penonton yang merasa bahwa

cerita Wayang Potehi aneh

b. Tidak mengenal karakter-karakter

dalam cerita

c. Seiring dengan perkembangan zaman,

banyak generasi muda lebih memilih

untuk menonton film dibanding

menonton wayang

d. Menganggap menonton Wayang Potehi

mengahabiskan waktu saja karena

beberapa pertunjukan menghabiskan

waktu sampai berbulan-bulan

Penonton yang tidak begitu mengenal cerita

yang disajikan dalam pertunjukan Wayang Potehi

mungkin akan merasa bosan dan bahkan

meninggalkan pementasan sebelum acara tersebut

selesai. Ada juga yang hanya melihatnya sambil lalu.

Meskipun dalam cerita Wayang Potehi banyak

mengandung ajaran nilai-nilai moral yang dapat

menjadi suri tauladan, itu tidak dapat menjadi

jaminan bagi masyarakat umum untuk menonton

pertunjukan Wayang Potehi.

Saat ini, pementasan Wayang Potehi sudah

menggunakan bahasa melayu bahkan bahasa Jawa.

Hal ini dikarenakan wayang tersebut telah

berakulturasi dengan kebudayaan setempat. Jadi

masyarakat Indonesia yang tidak bisa berbahasa

hokkian pun juga dapat menikmati pertunjukan

Wayang Potehi. Masyarakat umum dapat menikmati

pertunjukan Wayang Potehi tidak hanya di

kelenteng saja, saat ini mereka dapat

menyaksikannya di pusat perbelanjaan besar di

Jakarta maupun di museum wayang. Meskipun

sudah banyak perubahan dalam hal pertunjukan, tapi

tetap saja saat ini Wayang Potehi mengalami

penurunan dalam hal jumlah penonton atau pun

peminatnya.

4. Kesimpulan

Wayang Potehi merupakan produk kesenian

Tionghoa yang telah berakulturasi dengan

kebudayaan Jawa. Ia dibawa oleh masyarakat

Tionghoa yang berasal dari Provinsi Fujian. Masa-

masa sebelum orde baru merupakan masa cerah bagi

keeksistensian Wayang Potehi.

Kesenian ini sempat tidak diizinkan tampil

dengan bebas di depan umum seiring dengan

kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintah Indonesia untuk masyarakat Tionghoa

sejak tahun 1965. Sebagian dari mereka harus

sembunyi-sembunyi untuk menggelar pertunjukan

Wayang Potehi. Baru diizinkan kembali untuk dapat

dengan bebas tampil di depan umum pada era

kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid.

Selama 33 tahun Wayang Potehi tidak dapat tampil

dengan bebas di depan umum.

Hal tersebut memiliki dampak besar yang

masih dapat dirasakan sampai saat ini. Banyak

masyarakat Tionghoa peranakan yang belum pernah

menonton Wayang Potehi ataupun tidak mengetahui

adanya wayang tersebut. Bagi generasi Tionghoa

peranakan yang lahir pada saat orde baru, mereka

tidak dapat mengetahui berbagai hal mengenai

Wayang Potehi karena kebijakan pada saat itu

melarang beredarnya buku-buku yang mengandung

unsur-unsur kebudayaan Tiongkok. Selain itu,

masyarakat Indonesia juga dalam kurun waktu 33

tahun tersebut banyak yang tidak mengetahui

Wayang Potehi karena memang Wayang Potehi

tidak boleh ditampilkan di depan umum. Akibatnya

adalah saat ini pemain Wayang Potehi sulit

menemukan penerusnya dan kurangnya minat

penonton. Banyak generasi saat ini yang tidak

tertarik dengan pertunjukan Wayang Potehi dan

banyak generasi Tionghoa peranakan yang telah

lupa dengan kebudayaan leluhurnya akibat

kebudayaan Tionghoa sempat terpasung selama 33

tahun di Indonesia.

Meskipun penonton Wayang Potehi

mengalami penurunan sehingga saat ini hanya

sedikit di Jakarta, akan tetapi ada pemain Wayang

Potehi yang selalu setia untuk melestarikannya.

Dalangnya pun bukan hanya masyarakat Tionghoa

saja, akan tetapi juga ada dalang yang berdarah

Indonesia. Mereka berasal dari Jawa. Hal ini

memperlihatkan bahwa meskipun banyak stereotip

negatif tentang masyarakat Tionghoa di Indonesia

tapi mereka tidak terpengaruh. Ini juga

menggambarkan bahwa Wayang Potehi merupakan

Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014

Page 12: EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...

kesenian yang telah menjadi identitas bangsa

Indonesia.

Sampai saat ini pertunjukan Wayang Potehi

masih tetap dilaksanakan sehingga masyarakat luas

masih dapat menikmati pertunjukan ini. Seiring

dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh

Abdurrahman Wahid, saat ini masyarakat umum

dapat menyaksikan pertunjukan Wayang Potehi

tidak hanya di kelenteng-kelenteng tapi terkadang

di museum wayang, di pusat-pusat perbelanjaan

besar ataupun di pementasan teater dalam rangka

tertentu. Banyak cara yang dapat dilakukan agar

pertunjukan Wayang Potehi akan terus ada untuk

selamanya. Baik dari segi mendapatkan penerus

pemain Wayang Potehi maupun menumbuhkan

minat masyarakat terhadap Wayang Potehi. Semua

itu dilakukan agar pertunjukan Wayang Potehi dapat

bertambah peminatnya dan tidak kehilangan penerus

pemainnya sehingga Wayang Potehi akan selalu ada

dan generasi yang akan datang tetap dapat

menikmati pertunjukan Wayang Potehi.

DAFTAR ACUAN

Buku

Coppel, Charles A. 1994. Tionghoa Indonesia dalam

krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Dawis, Aimee. 2010. Orang Indonesia Tionghoa

Mencari Identitas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Tan, Melly G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Madjid, Nurcholish, dkk. 1998. Kapok Jadi Nonpri.

Bandung: Zaman Wacana Mulia.

Tesis

Tjaturrini, Dyah. 2006. Wayang Potehi : Suatu

Kajian Tentang Kesenian Tradisional China

Semarang. Depok: Universitas Indonesia.

Laporan Penelitian

Dwi Woro Retno Mastuti. 2013. Draft Wayang

Potehi Gudo.

Publikasi Elektronik

Ch Dwi Anugrah, Wayang Potehi, Perekat

Kebersamaan,

http://www.bentarabudaya.com/news.php?id=80

(diakses pada 15 Juni 2013 pukul 20.00 WIB)

Isyanto, Nonton Jenderal Tek Jing Beraksi di Teluk

Gong, http://www.shnews.co/detile-23113-

nonton-jenderal-tek-jing-beraksi-di-teluk-

gong.html# (diakses pada 25 Januari 2014 pukul

21.00)

Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014

Page 13: EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...

Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014