EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...
Transcript of EKSISTENSI WAYANG POTEHI DI JAKARTA Disusun Oleh: ASTRI ...
EKSISTENSI WAYANG POTEHI
DI JAKARTA
Disusun Oleh:
ASTRI PRAWITA
0906641951
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI CINA
DEPOK
2013
Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014
Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014
Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014
EKSISTENSI PERTUNJUKAN WAYANG POTEHI DI JAKARTA
Astri Prawita
Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424,
Indonesia
E-mail : [email protected]
Abstrak
Latar belakang penelitian ini adalah untuk memaparkan pertunjukan Wayang Potehi secara jelas mulai dari
asal-usul Wayang Potehi, penjelasan mengenai pertunjukan Wayang Potehi serta fungsi pertunjukan Wayang Potehi.
Selain itu latar belakang dari penelitian ini adalah membuktikan bahwa eksistensi pertunjukan Wayang Potehi di
Jakarta masih ada sejak masa kolonial hingga saat ini meskipun peminatnya mengalami penurunan dan sempat tidak
diizinkan untuk tampil di depan publik semasa zaman orde baru, serta membuktikan bahwa pemain Wayang Potehi
yang bukan masyarakat Tionghoa tidak terpengaruh dengan adanya stereotip negatif tentang msayarakat Tionghoa
di Indonesia. Adapun manfaat penelitian ini adalah manfaat praktis yang dapat memberikan sumbangan pemikiran,
berupa pengetahuan mengenai pertunjukan Wayang Potehi dan perkembangannya mulai dari masa kolonial sampai
saat ini dan manfaat teoritis yang diharapkan dapat menjadi penjelasan nyata yang bermanfaat bagi pembaca sebagai
bahan penulisan dan pemikiran. Berdasarkan penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa pertunjukan Wayang
Potehi merupakan kesenian yang telah berakulturasi dengan kebudayaan Jawa, dalam perkembangannya ia telah
melakukan beberapa perubahan dalam pertunjukannya untuk dapat menyesuaikan dengan kebudayaan setempat.
Sampai saat ini pertunjukan Wayang Potehi masih sering digelar meskipun mengalami penurunan jumlah penonton.
The Existance of Wayang Potehi Show in Jakarta
Abstrac
The background of this research is to explain Wayang Potehi show clearly starting from the history of
Wayang Potehi, explanation about Wayang Potehi show and the function of the show. Besides that, the background
of this research is to to prove that the existence of Wayang Potehi show has been on going since colonial era until
now, although the number of interested person is declining and even once upon a time, it was not allowed to perform
in public show in new order era, and also to prove that the player of Wayang Potehi who are not Chinese, are not
affected by the negative stereotype about Chinese society in Indonesia. As for the benefit of this research is
beneficial practice which can provide thoughtful contribution of knowledge about Wayang Potehi Show and its
development since colonial era until now and theoretical benefits which is expected to be an actual explanation that
has benefits to the readers as a writing material and thought. Based on this research, it can be concluded that
Wayang Potehi show is the culture that has been acculturated with Java culture, in its development it has made some
changes in the show to adapt with the local culture. Although the number of audience is decreasing, but Wayang
Potehi show is still performed until now.
Keywords : Wayang Potehi Show; The Existence of The Show; Culture
Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014
1. Pendahuluan
1.1.Latar Belakang Masalah
Tiongkok merupakan negara dengan jumlah
penduduk terbanyak nomor satu di dunia dengan
kebudayaan yang kaya. Penduduknya pun banyak
tersebar ke seluruh wilayah dunia. Indonesia
merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang
menjadi negara tujuan mereka bermigrasi.
Masyarakat Tionghoa telah berimigrasi ke Indonesia
dengan membawa kebudayaannya sejak sebelum
Indonesia merdeka.
Meskipun telah berada di Indonesia dalam
waktu yang lama, akan tetapi keberadaan mereka di
tengah-tengah bangsa Indonesia tidak begitu saja
dapat diterima oleh pemerintah ataupun masyarakat
Indonesia itu sendiri. Ada stereotip negatif mengenai
orang Tionghoa seperti orang Tionghoa itu suka
berkelompok-kelompok, menjauhkan diri dari
pergaulan sosial dan suka tinggal di kawasan
tersendiri 1.
Pada tahun 1966, Presiden Soeharto
mengeluarkan kebijakan asimilasi untuk masyarakat
Tionghoa di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk
membuat mereka lebih melebur dengan masyarakat
Indonesia. Akan tetapi kerusuhan Mei 1998
menunjukkan bahwa meskipun masyarakat Tionghoa
telah menjalankan kebijakan asimilasi sejak tahun
1965, mereka tetap saja tidak dapat diterima oleh
masyarakat Indonesia. Skiner (1967) menyebutnya
sebagai sindroma “sekali Yahudi, tetap Yahudi”
(h.112). Dapat diartikan bahwa masyarakat Indonesia
menganggap masyarakat Tionghoa tetaplah
masyarakat Tionghoa meskipun telah berusaha
berbaur ke dalam masyarakat Indonesia. Sampai saat
ini pun masih terdapat pemikirian dan juga rasa
sentimen seperti itu
Saat diterapkan kebijakan asimilasi dalam
kurun waktu 33 tahun ini, banyak kebudayaan
Tionghoa yang telah berasamilasi dengan
kebudayaan setempat, salah satunya adalah Wayang
1 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia dalam
krisis, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan (1994).
Hlm .26
Potehi yang telah berakulturasi dengan kebudayaan
Jawa. Tetapi selama berada di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto banyak larangan yang ditetapkan
untuk masyarakat Tionghoa. Mereka tidak boleh
mementaskan kebudayaan mereka sendiri di depan
khalayak ramai. Apabila ingin menggelar
pertunjukan Wayang Potehi, mereka hanya
diperbolehkan menggelar pertunjukan tersebut di
kelenteng, tidak boleh di tempat umum. Sampai pada
Indonesia di bawah kepemimpinan presiden
Abdurrahman Wahid pada tahun 1998 barulah
masyarakat Tionghoa memiliki kebebasan untuk
secara terang-terangan melaksanakan perayaan serta
menampilkan kebudayaannya.
Melihat kenyataan bahwa kebudayaan
masyarakat Tionghoa sempat tidak boleh
dipertunjukkan di depan umum selama 33 tahun,
yaitu sejak tahun 1965-1998 2
dan banyaknya
stereotip negatif terhadap masyarakat Tionghoa,
penulis menemukan beberapa masalah, yaitu
Bagaimanakah keeksistensian Wayang Potehi di
Jakarta? Apakah dengan adanya kebijakan yang
diberlakukan untuk masyarakat Tionghoa pada
zaman orde baru berdampak besar terhadap
keeksistensian Wayang Potehi di Jakarta? Mengapa
masyarakat Indonesia bersedia untuk menjadi bagian
dalam pertunjukan Wayang Potehi?
Beberapa hal inilah yang membuat penulis
tertarik untuk memilih topik ini sebagai topik yang
patut diteliti. Berdasarkan permasalahan-
permasalahan yang telah disebutkan dalam paragraf
sebelumnya, maka tujuan dari penulisan ini adalah
untuk membuktikan bahwa Wayang Potehi
merupakan produk kebudayaan yang telah menjadi
identitas bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih
dilestarikan bukan saja oleh masyarakat Tionghoa
peranakan3
tetapi juga masyarakat Indonesia
meskipun pertunjukan Wayang Potehi mengalami
penurunan dalam hal jumlah penonton di Jakarta.
2 Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari
Identitas, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama
(2010). Hlm.29 3 Orang Tionghoa yang lahir di Indonesia
Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014
2. Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam
penulisan jurnal ini adalah metode kualitatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara
melakukan wawancara dengan nara sumber, selain
itu juga dengan cara melakukan studi kepustakaan.
Wawancara dilakukan dengan metode wawancara
tak berstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan
berupa garis-garis besar permasalahan yang akan
ditanyakan. Nara sumber untuk penelitian ini adalah
Ibu Dwi Woro Retno Mastuti selaku dosen wayang
FIB UI dan peneliti Wayang Potehi serta penjaga
kelenteng Fu De Gong atau Vihara Amurva Bhumi,
Ibu Chynthia. Kelenteng tersebut merupakan salah
satu kelenteng di Jakarta yang sering mengadakan
pertunjukan Wayang Potehi. Penulis juga
melakukan pengumpulan data melalui studi
kepustakaan, mengumpulkan data dari buku maupun
media elektronik seperti internet. Website-website
tersebut dipilih oleh penulis sebagai bahan referensi
karena dapat memberikan informasi mengenai
Wayang Potehi dengan jelas dan terperinci.
Langkah selanjutnya adalah interpretasi.
Menganalisa data-data yang telah terkumpul.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Asal-Usul Wayang Potehi
Asal-usul wayang potehi tidak dapat
dipisahkan dengan sejarah kedatangan masyarakat
Tionghoa ke Indonesia sebab Wayang Potehi
merupakan kesenian yang dibawa oleh masyarakat
Tionghoa. Mereka telah bermigrasi ke Indonesia
sebelum masa kolonial dan menetap di pantai utara
Pulau Jawa. Teluk Jakarta merupakan tempat mereka
bermukim sejak abad XVI. Mereka bermigrasi ke
Indonesia dalam bentuk kelompok-kelompok kecil
dari Provinsi Fujian dan Guangdong.4
4 Dyah Tjaturrini, Wayang Potehi : Suatu Kajian
Tentang Kesenian Tradisional China Semarang,
Depok, Universitas Indonesia (2006). Hlm. 33
Wayang Potehi berasal dari distrik
Quanzhou5. Lalu dibawa oleh para imigran Cina ke
Indonesia sekitar abad 16-19. Penelitian telah
menunjukkan bahwa pertunjukan Wayang Potehi
lebih banyak ditemukan di Jawa Timur dibanding
Jawa Barat atau Jawa Tengah. Sebagian besar dalang
Wayang potehi berasal dari Jawa Timur, seperti
Sidoarjo, Tulungagung, Kediri dan Surabaya. 6
Wayang Potehi merupakan wayang boneka
tiga dimensi yang terbuat dari kain dan dimainkan
dengan cara memasukkan tangan ke dalam kain
tersebut. Potehi berasal dari dialek Hokkian, yang
terdiri dari kata pao “布” kain, tay “袋” kantung, dan
hie “戯 ” wayang. Terkadang Potehi disebut juga
dengan bu “布” kain, dai “袋” kantung, pi “皮” kulit,
ying “影” bayangan dan xi”戏” memainkan.7
Menurut legenda, wayang potehi pertama
kali diciptakan oleh lima narapidana yang dijatuhkan
hukuman mati pada masa Dinasti Tang (617-918).
Mereka bermain dengan sebuah kain persegi empat
yang salah satu ujungnya diikat sehingga terbentuk
seperti boneka yang memiliki kepala, badan dan
tangan. Hal ini dilakukan untuk menghibur diri
mereka sendiri sehingga tidak teringat dengan
hukuman mati yang akan mereka jalani. Boneka
tersebut digerakkan seperti sedang memainkan
wayang. Perlengkapan makan dan masak merupakan
alat musik yang digunakan untuk mengiringi
permainan tersebut pada saat itu. Raja Tiu Ong
mendengar hal tersebut lalu meminta mereka untuk
tampil di depan raja. Akhirnya mereka berhasil
membuat Raja Tiu Ong senang sehingga mereka
dibebaskan dari hukuman mati. Setelah keluar dari
penjara, mereka tetap menggelar pertunjukan
Wayang Potehi sehingga Wayang Potehi dapat
dikenal oleh khalayak ramai8.
Sejak abad ke 17, Wayang Potehi menyebar
ke Tiongkok bagian Timur lalu ke Asia Timur dan
Tenggara, termasuk Taiwan, Hongkong dan Jawa.
Wayang Potehi merupakan bentuk miniatur dari
Opera Beijing. Setiap riasan pada wayang memiliki
artinya tersendiri. Kisah yang diangkat dalam
pertunjukan wayang ini adalah tentang kepahlawanan,
raja dan juga kehidupan dewa.
5 Distrik yang terletak di sebelah Tenggara Provinsi
Fujian 6 Dwi Woro Retno Mastuti, Draft Wayang Potehi
Gudo, Hlm. 5 7 Ibid, Hlm. 4
8 Ibid
Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014
3.2 Pertunjukan Wayang Potehi
Wayang Potehi terdiri dari kepala, tangan,
kaki dan sepatu. Tingginya 30 cm dan lebarnya 15
cm, ukuran kepalanya ± 5 cm. Kayu merupakan
bahan yang digunakan untuk membuat kepala, kaki
dan tangan. Sementara itu, baju Wayang Potehi
dibuat dari kain blacu.9
Wayang Potehi merupakan kesenian yang
sarat akan pesan dan makna. Simbol, plesetan, dan
dialog dalam pertunjukan merupakan cara untuk
menyampaikan pesan tersebut. Cerita-cerita yang
dibawakan mengandung pesan-pesan universal, tidak
hanya untuk kepercayaan tertentu. Cerita yang sering
dibawakan biasanya berupa kisah kepahlawan rakyat,
ajaran Konghucu, cerita-cerita rakyat, roman sejarah
yang diterjemahkan dan juga kisah mengenai bakti
seorang anak terhadap orang tua. Cerita-cerita yang
biasa dimainkan adalah Sie Jin Kwie, Poei Sie Giok,
Jhi Gu Nau Tong Tiauw, Kho Han Bun, Sam Kok,
Sam Pek Eng Tay, Li Si Bin, Koan Kong dan cerita-
cerita yang mengandung ajaran Konghucu lainnya10
.
Wayang Potehi merupakan kesenian yang berasal
dari Tiongkok yang telah berakulturasi dengan
budaya Jawa. Banyak karakter dalam Wayang Potehi
yang dipinjam ke dalam karakter ketoprak Jawa,
seperti tokoh Sie Jin Kwie menjadi Joko Sudiro, Li Si
Bin menjadi Prabu Lisan Puro, dan Kerajaan Thai
Toy Tong menjadi Kerajaan Tanjung Anom11
. Selain
itu, kesenian ini juga dapat dikatakan unik karena
sebuah Wayang Potehi bisa saja mewakili lebih dari
satu karakter. Apabila kostum dan aksesoris kepala
yang ia pakai diganti, maka karakter wayang tersebut
juga ikut berubah.
Waktu pertunjukan Wayang Potehi berbeda-
beda, tergantung tujuan kelenteng yang
bersangkutan menggelar pertunjukan tersebut. Ada
yang mengadakan saat Imlek ataupun pada saat
ulang tahun kelenteng. Ada kelenteng yang
menggelar pertunjukan Wayang Potehi sebanyak
dua kali dalam sehari. Durasinya dua jam pada
setiap pertunjukannya. Pertunjukan pertama
berlangsung dari pukul 15.00-17.00 dan pertunjukan
kedua berlangsung dari pukul 19.00-21.00.
Meskipun dalam sehari ada dua pertunjukan, tapi
9 Ibid, Hlm. 6
10Ibid, Hlm. 3
11Ch Dwi Anugrah, Wayang Potehi, Perekat
Kebersamaan,
http://www.bentarabudaya.com/news.php?id=80
(diakses pada 15 Juni 2013 pukul 20.00 WIB)
cerita yang dibawakan berbeda. Pada pertunjukan
pertama, cerita yang dimainkan biasanya adalah Sie
Jin Kwie lalu pada pertunjukan kedua cerita yang
dimainkan adalah Ngo Ho Peng See dan lima naga
dengan kekuatan gaib. Ada juga perbedaan dalam
hal durasi pementasan. Pertunjukan yang
diselenggarakan di luar kelenteng berbeda dengan
yang dilaksanakan di dalam kelenteng. Durasi
pertunjukan di luar kelenteng hanya satu jam. Selain
itu, tempat pementasan juga mempengaruhi tema
cerita yang akan ditampilkan. Jika tampil di dalam
kelenteng maka tema cerita asli Tiongkok yang akan
dibawakan, seperti legenda Dinasti Tang, Dinasti
Song. Sementara itu cerita yang dibawakan untuk
pertunjukan di luar kelenteng biasanya adalah
cerita-cerita terkenal, seperti Sun Go Kong, Sam Pek
Eng Tay, Sie Jin Kwie, dan Pendekar Gunung Liang
Xiang12
. Jumlah hari pementasan dipengaruhi oleh
besarnya uang yang diberikan kepada pemain
Wayang Potehi. Semakin banyak uang yang
dikumpulkan semakin lama pertunjukan yang dapat
dilaksanakan. Lama pertunjukan di setiap tempat
berbeda-beda, paling lama dapat mencapai 30 hari.
Panggung Wayang Potehi disebut dengan
pay low. Warna merah merupakan warna yang
mendominasi panggung tersebut karena dalam
kepercayaan orang Tionghoa warna merah
menandakan kebahagiaan. Penggung yang digunakan
untuk pertunjukan di luar kelenteng adalah miniatur
rumah yang permanen atau yang bongkar pasang.
Apabila pertunjukan dilaksanakan di dalam kelenteng
maka panggung yang digunakan adalah meja. Untuk
panggung di luar kelenteng, panggung memiliki pintu
di sisi kiri dan kanan. Bagian tengah merupakan
ruang untuk pertunjukan wayang dan di bagian
belakang merupakan tempat untuk dalang, asisten
dalang, pemain musik dan perlengkapan pertunjukan
lainnya. Ada tata cara yang harus dilakukan ketika
panggung baru dipergunakan untuk pertama kali.
Persembahan akan diletakkan di atas meja tambahan.
Persembahan ini disebut dengan sam seng, atau 3
binatang. Binatang-binatang tersebut terdiri dari
binatang yang hidup di air (ikan), yang hidup di
udara (unggas) dan yang hidup di darat (babi)13
.
Pertunjukan Wayang Potehi membutuhkan dua orang
atau lebih untuk memainkan wayang tersebut.
Mereka adalah dalang dan asisten dalang (jijiu)
Dalang bertugas untuk menyampaikan cerita
sementara itu asisten dalang bertugas untuk
menyiapkan dan menata peralatan pentas, seperti
12
Dwi Woro Retno Mastuti, Draft Wayang Potehi
Gudo, Hlm. 9 13
Ibid
Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014
wayang, busana, senjata, dan perlengkapan
pangggung lainnya. Masing-masing dari mereka
dapat memainkan dua buah wayang. Sebelum
Wayang Potehi mulai ditampilkan, dalang dan
asistennya menyiapkan wayang dengan cara
mengatur berdasarkan urutan tampil mereka dalam
sebuah adegan. Sebanyak 20-25 wayang bisa
digunakan dalam satu adegan14
.
Rangkaian pertunjukan Wayang Potehi
ketika digelar untuk kegiatan keagamaan di kelenteng,
yaitu pertama, pertunjukan dimulai ditandai dengan
dimainkannya musik. Kemudian dalang akan
membaca doa pembuka. Ia memohon kepada dewa
agar melimpahkan berkah kepada orang yang
membuat nazar tersebut. Setelah itu, ada monolog
pembuka yang disampaikan oleh salah satu karakter
wayang, dilanjutkan dengan dialog antar karakter,
lalu ada adegan perang dan terakhir adalah
penutupan15
.
Dalang akan memulai pertunjukan dengan
mengeluarkan 4 buah Wayang Potehi untuk
mewakilkan 4 dewa. Nama-nama dewa tersebut
adalah Bie Tjo (Dewa Panjang Umur), Gong Kiem
Liong (Dewa Kemakmuran), Tjho Kok Kioe (Dewa
Kedudukan), dan Tjhai Tjoe (Dewa Anak Pintar).
Keempat dewa itu disebut Hok Lok Sioe Tjwan
(Umur panjang, keberuntungan baik, kedudukan dan
keturunan). Sehabis dalang membacakan doanya,
acara dilanjutkan dengan dalang membaca doa ritual
pembuka dan berterima kasih ke dewa di depan para
penganut Khonghucu yang membuat nazar ke
dewa16
.
Kegiatan selanjutnya disebut Jejer atau
narasi, ini adalah saat dalang memulai pertunjukan
yang sebenarnya. Dalam bagian ini, dalang
menceritakan Suluk dari karakter Wayang Potehi.
Berbeda karakter maka berbeda Suluk. Untuk cerita
yang dibawakan dalam pertunjukan, penonton boleh
menentukannya sendiri tidak harus dari dalang17
.
Alat musik orkestra dalam pertunjukan
Wayang Potehi disebut dengan Lauw Tay 18
. Pemain
musik biasanya berjumlah 3-4 orang. Seiring dengan
perkembangan zaman, mereka sudah tidak lagi hanya
memainkan lagu-lagu tradisional Tiongkok saja,
mereka juga suka memainkan lagu-lagu Tiongkok
14
Ibid, Hlm. 8
15Ibid
16Ibid, Hlm. 8-9
17Ibid, Hlm. 9
18Ibid, Hlm. 8.
modern. Alat-alat musik yang dipergunakan dalam
pertunjukan Wayang Potehi, yaitu :
a. 锣 luo : Gong
b. 镲 cha : Kecer atau simbal kecil
c. 钹 bo : Simbal
d. 笛仔 dizai : Suling bambu
e. 弦仔 xianzai : Rebab
f. 鼓 gu : Tambur
g. 嗳仔 aizai : Terompet
h. 月琴 yueqin : Gitar
3.3 Fungsi Wayang Potehi
Wayang Potehi memiliki dua Fungsi, yaitu :
a. Fungsi Ritual
b. Fungsi Hiburan
Wayang Potehi memiliki fungsi ritual ketika
dimainkan di dalam kelenteng. Saat itu, pertunjukan
Wayang Potehi merupakan sarana bagi orang
Tionghoa untuk menyembah dewa dan leluhur.
Mereka menggunakan media tersebut untuk
menunjukkan rasa terima kasih mereka atas
kesuksesan bisnis yang telah diperoleh, namun bisa
juga diselenggarakan dalam rangka ulang tahun
kelenteng. Mereka percaya bahwa mengadakan
pertunjukan Wayang Potehi di halaman kelenteng
akan mendatangkan kekayaan dan berkah yang
berlimpah. Ketika berfungsi sebagai ritual maka
pertunjukan tidak mempedulikan jumlah penonton
yang hadir. Pertunjukan tetap akan dilaksanakan
meskipun tidak ada penonton yang datang. Cerita
wayang ditampilkan secara berseri. Satu cerita dapat
menghabiskan waktu maksimal tiga bulan untuk
menyelesaikannya.
Saat ini Wayang Potehi juga sering tampil
untuk mengisi acara di pusat perbelanjaan besar di
Jakarta dalam rangka hari raya Imlek. Tidak hanya
itu saja terkadang pertunjukan Wayang Potehi
diadakan untuk mengisi acara di Museum Wayang
ataupun di pementasan teater. Oleh karena itu,
Wayang Potehi sudah tidak lagi hanya memiliki
fungsi ritual saja, namun juga memiliki fungsi
hiburan.
3.4 Eksistensi Wayang Potehi
Pada saat pemerintahan Belanda di
Indonesia, masyarakat Tionghoa dianggap sebagai
orang asing atau Vreemde Oosterliingen (Foreign
Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014
Oriental)19
. Status itu membuat posisi dan status
sosial mereka berbeda dengan masyarakat Indonesia.
Mereka dapat melakukan hal apapun meskipun
merupakan suku minoritas. Kebebasan tersebut
termasuk dalam hal seni dan budaya, seperti mereka
diperbolehkan dengan bebas menggelar pertunjukan
Wayang Potehi. Pertunjukan Wayang Potehi
diizinkan dilaksanakan di tempat-tempat umum.
Sehingga banyak masyarakat yang mengenal Wayang
Potehi dan menggemari wayang tersebut. Ditambah
lagi kondisi pada saat itu media elektonik belum
menjamur seperti zaman reformasi ini akibatnya
pertunjukan Wayang Potehi merupakan hiburan yang
ditunggu-tunggu oleh penonton. Dengan demikian,
masa-masa ini dapat dikatakan sebagai masa
kejayaan bagi keeksistensian Wayang Potehi.
Memasuki zaman orde baru, Wayang Potehi
kehilangan masa jayanya. Ia sempat mati suri selama
33 tahun . Kejadian tersebut berlangsung sejak tahun
1965-1998. Pada kurun waktu inilah hal-hal yang
berhubungan dengan Tiongkok tidak diizinkan
beredar ataupun ditampilkan di depan publik.
Pada zaman kepemimpinan Presiden
Soeharto, banyak sekali kebijakan-kebijakan yang
dibuat agar masyarakat Tionghoa berasimilasi dan
pada saat itu kesenian maupun perayaan hari besar
masyarakat Tionghoa juga tidak boleh ditampilkan
secara terang-terangan di depan umum. Ada
pandangan dari masyarakat Indonesia bahwa
masyarakat Tionghoa merupakan etnis minoritas di
Indonesia tetapi terlihat mengeksklusifkan dirinya.
Sejak tahun 1965, Presiden Soeharto
menerapkan kebijakan asimilasi yang mewajibkan
masyarakat Tionghoa di Indonesia untuk melepas
kebudayaannya serta bahasa Mandarin dan juga
terdapat larangan dari pemerintah yang sangat
berkaitan dengan Wayang Potehi. Larangan tersebut,
yaitu Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang
agama, kepercayaan, dan adat istiadat masyarakat
Tionghoa di Indonesia20
. Mereka hanya diizinkan
untuk menggelar perayaan ataupun kesenian di
lingkup internal saja atau tidak dilaksanakan secara
mencolok. Pemerintah pada saat itu merasa perlu
mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk masyarakat
Tionghoa di Indonesia agar proses asmilasi dapat
berjalan lancar.
19
Dyah Tjaturrini, Wayang Potehi : Suatu Kajian
Tentang Kesenian Tradisional China Semarang,
Depok, Universitas Indonesia (2006). Hlm. 35 20
Nurcholish Madjid, dkk, Kapok Jadi Nonpri,
Bandung, Zaman Wacana Mulia (1998). Hlm. 87
Terlihat bahwa rumah dan kelenteng
merupakan satu-satunya tempat yang aman bagi
mereka untuk menggelar pertunjukan. Namun pada
kenyataannya menurut Dwi Woro Retno Mastuti,
meskipun ada pernyataan bahwa mereka diizinkan
untuk melakukan tradisi dan kebudayaan di kelenteng
tetapi tetap saja ketika mereka menggelar
pertunjukan Wayang Potehi di kelenteng, terkadang
ada petugas pemerintah yang merazia mereka
sehingga harus segera menghentikan pertunjukan
yang sedang mereka lakukan. Jadi bisa dikatakan
bahwa cukup susah menemukan tempat yang aman
bagi mereka bila ingin menggelar pertunjukan
Wayang Potehi.
Pada zaman reformasi barulah masyarakat
Tionghoa peranakan Indonesia dapat dengan bebas
menampilkan kebudayaan mereka di depan umum
bahkan hari raya Imlek pun juga menjadi hari raya
yang diakui di Indonesia. Hal ini dapat terjadi
dikarenakan Abdurrahman Wahid yang
berkedudukan sebagai presiden pada saat itu
mencabut Peraturan Pemerintah no. 14/196721
.
Kelenteng-kelenteng di Jakarta yang sampai
saat ini masih menggelar pertunjukan Wayang Potehi
diantaranya, yaitu Kelenteng Fu De Gong yang
berlokasi di Jatinegara, Kelenteng Kwee Goan Say
atau Vihara Satrya Dharma di Jakarta Barat dan
Kelenteng Kim Tek Ie di Jakarta Barat. Kelenteng Fu
De Gong merupakan kelenteng yang cukup rutin
menggelar pertunjukan Wayang Potehi setiap
tahunnya. Mereka biasa menggelar pertunjukan saat
ulang tahun kelenteng, yaitu bulan 9 tanggal 15.
Sebelumnya mereka harus bertanya terlebih dahulu
kepada dewa perlukah mereka menggelar
pertunjukan Wayang Potehi. Apabila menurut dewa
tidak perlu menggelar pertunjukan Wayang Potehi
maka tidak akan diadakan pertunjukan pada tahun
tersebut. Mereka biasa menggelar pertunjukan
Wayang Potehi minimal 10 hari dan maksimal
sebulan. Menurut pemelihara Kelenteng Fu De Gong,
penonton Wayang Potehi mengalami penurunan
drastis sejak tahun 2000an. Saat ini penonton
pertunjukan Wayang Potehi hanya 1-2 orang saja
malah terkadang tidak ada sama sekali, berbeda
dengan sekitar 20 tahun yang lalu penonton sampai
memenuhi jalan di depan kelenteng dimana
pertunjukan Wayang Potehi biasa digelar. Berhubung
pertunjukan Wayang Potehi di kelenteng ini memiliki
fungsi ritual maka ada tidaknya penonton bukanlah
masalah bagi mereka karena memang tujuan utama
21
Dyah Tjaturrini, Wayang Potehi : Suatu Kajian
Tentang Kesenian Tradisional China Semarang,
Depok, Universitas Indonesia (2006). Hlm. 45
Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014
mereka adalah untuk mengungkapkan rasa syukur
kepada dewa dan memang dilaksanakan sebagai
tontonan untuk dewa. Kondisi penonton yang sedikit
bahkan tidak ada sama sekali tersebut sama halnya
dengan nasib pertunjukan Wayang Potehi di
Kelenteng Kwee Goan Say. Penontonnya hanyalah
karyawan kelenteng atau jamaah yang hendak
sembahyang. Itu pun mereka tidak menyimak dengan
benar22
.
Meskipun pergelaran Wayang Potehi telah
diizinkan untuk tampil ke depan masyarakat luas,
tetapi tetap saja Wayang Potehi tidak dapat mencapai
masa kejayaannya seperti keadaan sebelum masa
orde baru. Seperti halnya gambaran mengenai jumlah
penonton pertunjukan Wayang Potehi di beberapa
kelenteng yang telah disebutkan dalam paragraf
sebelumnya. Ada masalah serius yang dihadapi
dalam hal keeksistensian Wayang Potehi di Jakarta,
yaitu kekurangan penerus untuk meneruskan
pertunjukan Wayang Potehi dan kurangnya minat
masyarakat luas untuk menonton pertunjukan
Wayang Potehi. Hal-hal ini merupakan akibat dari
kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah untuk
masyarakat Tionghoa di Indonesia pada masa orde
baru.
Wayang Potehi memiliki fungsi ritual bagi
penganut Khonghuchu untuk berdoa kepada dewa,
namun selama kurun waktu 33 tahun tersebut banyak
masyarakat Tionghoa yang berganti agama sehingga
mereka pun meninggalkan tradisi mereka menggelar
pertunjukan Wayang Potehi. Jadi, hal ini merupakan
salah satu faktor pemain Wayang Potehi sulit
menemukan penerus mereka.
Faktor lain sulitnya menemukan penerus
pemain Wayang Potehi, yaitu sebagian generasi
muda masyarakat Tionghoa peranakan Indonesia
tidak mengenal kebudayaan leluhur mereka sendiri.
Pada saat mereka dibesarkan, kebudayaan ataupun
tradisi seni mereka tidak dapat dengan bebas
dipertunjukkan. Mereka tidak dapat memiliki buku-
buku sebagai bahan bacaan atau pengetahuan tentang
negeri Tiongkok, media elektonik pun tidak
mendukung. Pantaslah bila mereka kurang
mengetahui dan mengenal kebudayaan leluhur
22
Isyanto, Nonton Jenderal Tek Jing Beraksi di Teluk
Gong, http://www.shnews.co/detile-23113-
nonton-jenderal-tek-jing-beraksi-di-teluk-
gong.html# (diakses pada 23 Januari 2014 pukul
20.00)
mereka sendiri. Minat untuk ingin mengenal apalagi
meneruskan warisan Wayang Potehi sangat sulit
didapatkan saat ini. Bisa saja seorang Tionghoa
peranakan tidak pernah menonton sama sekali
Wayang Potehi ataupun merasa Wayang Potehi
merupakan sesuatu yang menjemukan. Ada juga
faktor ekonomi. Faktor ini yang membuat masyarakat
Tionghoa sendiri tidak ingin menjadi pemain
Wayang Potehi karena penghasilan dari profesi
sebagai pemain Wayang Potehi dianggap tidak
seberapa. Selain itu, masyarakat Indonesia juga tidak
dapat menyaksikan pertunjukan Wayang Potehi di
tempat umum seperti zaman reformasi saat ini.
Akibat dari itu semua adalah dalang, asisten dalang
maupun pemusik pertunjukan Wayang Potehi sulit
menemukan penerus, padahal dalang Wayang Potehi
yang ada saat ini tidak banyak dan sudah tidak muda
lagi. Untuk menumbuhkan rasa suka generasi muda
terhadap Wayang Potehi bisa saja para pengajar di
sekolah-sekolah mengajak muridnya untuk menonton
pertunjukan tersebut. Jadi, generasi muda dapat
mengenal dan tumbuh rasa suka terhadap pertunjukan
Wayang Potehi, sebab pemain Wayang Potehi sangat
membutuhkan penerus agar pertunjukan Wayang
Potehi tidak punah.
Dalang Wayang Potehi tidak hanya
masyarakat Tionghoa peranakan tetapi juga terdapat
masyarakat Indonesia yang semuanya berasal dari
Jawa. Mereka ikut berperan dalam melestarikan
keberadaan Wayang Potehi di Indonesia. Meskipun
tidak ada darah Tionghoa mengalir sedikit pun di diri
dalang itu dan agama mereka juga berbeda dengan
dalang Tionghoa peranakan, tetapi mereka tetap
bersedia ikut berpartisipasi menggelar pertunjukan.
Mereka tidak terpengaruh dengan masih adanya
masyarakat umum yang sentimen terhadap
masyarakat Tionghoa. Biasanya pemain Wayang
Potehi yang bukan Tionghoa peranakan adalah
mereka yang tinggal berdekatan dengan kelenteng.
Mereka awalnya sering menonton pertunjukan
Wayang Potehi saat kecil, setelah itu mulai mencari
tahu dengan bertanya kepada pemain-pemainya, rasa
ingin tahu itu pun berlanjut dengan mencoba bermain
alat-alat musik Wayang Potehi terlebih dahulu, lalu
mencoba menjadi dalang. Dengan begitu dapat
terseleksi dengan sendirinya posisi apa yang cocok
untuk mereka dan yang mereka minati. Jadi, niat
mereka memang murni ingin mempelajari kesenian
asal negeri Tiongkok ini dan tidak terpengaruh
dengan adanya stereotip negatif mengenai
masyarakat Tionghoa.
Menurut Dwi Woro Retno Mastuti, jumlah
dalang Wayang Potehi saat ini berjumlah sekitar 13
orang. 3-5 orang diantaranya merupakan dalang Jawa.
Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014
Dalang paling muda saat ini telah berumur 53 tahun.
Dalang berdarah Indonesia yang terkenal diantaranya
adalah Bambang Sutrisno, Sukar Murjiono, Edy
Mulyanto. Sementara itu dalang-dalang Tionghoa
diantaranya adalah Thio Tian Gie dan Sing Tjon Eng
Tin. Untuk sekali pementasan biasanya pemain
Wayang Potehi memasang tarif Rp 6.000.000-Rp
7.000.000/hari apabila dilakukan di luar kelenteng.
Tetapi apabila dilaksanakan di kelenteng, tarifnya
sekitar Rp.300.000/hari. Penghasilan yang didapat
oleh pemain Wayang Potehi terbilang tidak banyak,
tetapi mereka tetap setia melakukannya sehingga
Wayang Potehi masih dapat bertahan sampai saat ini.
Penyebab-penyebab Wayang Potehi hanya
memiliki sedikit peminat, yaitu :
a. Banyak penonton yang merasa bahwa
cerita Wayang Potehi aneh
b. Tidak mengenal karakter-karakter
dalam cerita
c. Seiring dengan perkembangan zaman,
banyak generasi muda lebih memilih
untuk menonton film dibanding
menonton wayang
d. Menganggap menonton Wayang Potehi
mengahabiskan waktu saja karena
beberapa pertunjukan menghabiskan
waktu sampai berbulan-bulan
Penonton yang tidak begitu mengenal cerita
yang disajikan dalam pertunjukan Wayang Potehi
mungkin akan merasa bosan dan bahkan
meninggalkan pementasan sebelum acara tersebut
selesai. Ada juga yang hanya melihatnya sambil lalu.
Meskipun dalam cerita Wayang Potehi banyak
mengandung ajaran nilai-nilai moral yang dapat
menjadi suri tauladan, itu tidak dapat menjadi
jaminan bagi masyarakat umum untuk menonton
pertunjukan Wayang Potehi.
Saat ini, pementasan Wayang Potehi sudah
menggunakan bahasa melayu bahkan bahasa Jawa.
Hal ini dikarenakan wayang tersebut telah
berakulturasi dengan kebudayaan setempat. Jadi
masyarakat Indonesia yang tidak bisa berbahasa
hokkian pun juga dapat menikmati pertunjukan
Wayang Potehi. Masyarakat umum dapat menikmati
pertunjukan Wayang Potehi tidak hanya di
kelenteng saja, saat ini mereka dapat
menyaksikannya di pusat perbelanjaan besar di
Jakarta maupun di museum wayang. Meskipun
sudah banyak perubahan dalam hal pertunjukan, tapi
tetap saja saat ini Wayang Potehi mengalami
penurunan dalam hal jumlah penonton atau pun
peminatnya.
4. Kesimpulan
Wayang Potehi merupakan produk kesenian
Tionghoa yang telah berakulturasi dengan
kebudayaan Jawa. Ia dibawa oleh masyarakat
Tionghoa yang berasal dari Provinsi Fujian. Masa-
masa sebelum orde baru merupakan masa cerah bagi
keeksistensian Wayang Potehi.
Kesenian ini sempat tidak diizinkan tampil
dengan bebas di depan umum seiring dengan
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah Indonesia untuk masyarakat Tionghoa
sejak tahun 1965. Sebagian dari mereka harus
sembunyi-sembunyi untuk menggelar pertunjukan
Wayang Potehi. Baru diizinkan kembali untuk dapat
dengan bebas tampil di depan umum pada era
kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid.
Selama 33 tahun Wayang Potehi tidak dapat tampil
dengan bebas di depan umum.
Hal tersebut memiliki dampak besar yang
masih dapat dirasakan sampai saat ini. Banyak
masyarakat Tionghoa peranakan yang belum pernah
menonton Wayang Potehi ataupun tidak mengetahui
adanya wayang tersebut. Bagi generasi Tionghoa
peranakan yang lahir pada saat orde baru, mereka
tidak dapat mengetahui berbagai hal mengenai
Wayang Potehi karena kebijakan pada saat itu
melarang beredarnya buku-buku yang mengandung
unsur-unsur kebudayaan Tiongkok. Selain itu,
masyarakat Indonesia juga dalam kurun waktu 33
tahun tersebut banyak yang tidak mengetahui
Wayang Potehi karena memang Wayang Potehi
tidak boleh ditampilkan di depan umum. Akibatnya
adalah saat ini pemain Wayang Potehi sulit
menemukan penerusnya dan kurangnya minat
penonton. Banyak generasi saat ini yang tidak
tertarik dengan pertunjukan Wayang Potehi dan
banyak generasi Tionghoa peranakan yang telah
lupa dengan kebudayaan leluhurnya akibat
kebudayaan Tionghoa sempat terpasung selama 33
tahun di Indonesia.
Meskipun penonton Wayang Potehi
mengalami penurunan sehingga saat ini hanya
sedikit di Jakarta, akan tetapi ada pemain Wayang
Potehi yang selalu setia untuk melestarikannya.
Dalangnya pun bukan hanya masyarakat Tionghoa
saja, akan tetapi juga ada dalang yang berdarah
Indonesia. Mereka berasal dari Jawa. Hal ini
memperlihatkan bahwa meskipun banyak stereotip
negatif tentang masyarakat Tionghoa di Indonesia
tapi mereka tidak terpengaruh. Ini juga
menggambarkan bahwa Wayang Potehi merupakan
Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014
kesenian yang telah menjadi identitas bangsa
Indonesia.
Sampai saat ini pertunjukan Wayang Potehi
masih tetap dilaksanakan sehingga masyarakat luas
masih dapat menikmati pertunjukan ini. Seiring
dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh
Abdurrahman Wahid, saat ini masyarakat umum
dapat menyaksikan pertunjukan Wayang Potehi
tidak hanya di kelenteng-kelenteng tapi terkadang
di museum wayang, di pusat-pusat perbelanjaan
besar ataupun di pementasan teater dalam rangka
tertentu. Banyak cara yang dapat dilakukan agar
pertunjukan Wayang Potehi akan terus ada untuk
selamanya. Baik dari segi mendapatkan penerus
pemain Wayang Potehi maupun menumbuhkan
minat masyarakat terhadap Wayang Potehi. Semua
itu dilakukan agar pertunjukan Wayang Potehi dapat
bertambah peminatnya dan tidak kehilangan penerus
pemainnya sehingga Wayang Potehi akan selalu ada
dan generasi yang akan datang tetap dapat
menikmati pertunjukan Wayang Potehi.
DAFTAR ACUAN
Buku
Coppel, Charles A. 1994. Tionghoa Indonesia dalam
krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Dawis, Aimee. 2010. Orang Indonesia Tionghoa
Mencari Identitas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Tan, Melly G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Madjid, Nurcholish, dkk. 1998. Kapok Jadi Nonpri.
Bandung: Zaman Wacana Mulia.
Tesis
Tjaturrini, Dyah. 2006. Wayang Potehi : Suatu
Kajian Tentang Kesenian Tradisional China
Semarang. Depok: Universitas Indonesia.
Laporan Penelitian
Dwi Woro Retno Mastuti. 2013. Draft Wayang
Potehi Gudo.
Publikasi Elektronik
Ch Dwi Anugrah, Wayang Potehi, Perekat
Kebersamaan,
http://www.bentarabudaya.com/news.php?id=80
(diakses pada 15 Juni 2013 pukul 20.00 WIB)
Isyanto, Nonton Jenderal Tek Jing Beraksi di Teluk
Gong, http://www.shnews.co/detile-23113-
nonton-jenderal-tek-jing-beraksi-di-teluk-
gong.html# (diakses pada 25 Januari 2014 pukul
21.00)
Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014
Eksistensi wayang…, Astri Prawita, FIB UI, 2014