Ekologi Musang Rinjani Paradoxurus hermaphroditus rindjanicus
-
Upload
teguh-rianto -
Category
Documents
-
view
1.250 -
download
3
Transcript of Ekologi Musang Rinjani Paradoxurus hermaphroditus rindjanicus
MUSANG RINJANI (Paradoxurus hermaphroditus rindjanicus Mertens, 1929)
DAN UPAYA PENGELOLAAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI
Oleh
TEGUH RIANTO
E353100145
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
2
I. PENDAHULUAN
Musang Rinjani (Paradoxurus hermaphroditus rindjanicus) merupakan hewan
menyusui (Mamalia) yang termasuk dalam suku musang dan garangan (Viverridae),
salah satu species dari tiga spesies bangsa Carnivora yang ada di P. Lombok selain
musang rase (Viverricula indica baliensis) dan kucing hutan (Felis bengalensis).
Musang Rinjani atau Ujat (bahasa lokal Sasak) termasuk subspesies dari musang
luwak (Paradoxurus hermaphrodites) endemik P. Lombok khususnya kawasan
Gunung Rinjani (Kitchener et al, 2002, Straus, 1931).
Musang Rinjani lebih sering dijumpai di kawasan-kawasan dekat pemukiman
dan perkebunan penduduk dibandingkan kawasan hutan dan dianggap hama oleh
penduduk sekitar kawasan karena sasaran pakannya adalah ayam ternak milik
penduduk dan buah-buahan di ladang perkebunan sehingga penduduk memburu satwa
ini untuk dibunuh (BTNGR, 2009).
Kawasan hutan Gunung Rinjani meliputi 26,5% dari luas daratan P. Lombok.
Kawasan hutan Gunung Rinjani juga merupakan kawasan hutan terluas atau sekitar
86,11% dari luas keseluruhan hutan P. Lombok (BTNGR, 1997). Kawasan hutan
Gunung Rinjani seluas 125.740 ha terdiri atas beberapa fungsi kawasan, termasuk di
dalamnya sekitar 41.330 ha kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan Taman
Nasional Gunung Rinjani (TNGR) (Anonim, 2000, BTNGR, 1997). Sehingga
ancaman terhadap populasi ini dapat berbeda-beda tergantung fungsi kawasan
tersebut. Kemungkinan terbesar kejadian ancaman adalah di kawasan hutan produksi
yang berbatasan langsung dengan kawasan pemukiman atau perkebunan masayarakat
sehingga kawasan hutan TNGR sebagai kawasan konservasi merupakan benteng
terakhir bagi perlindungan satwa tersebut. Dari 53 spesies mamalia endemik P.
Lombok sebagian besar bertahan di kawasan TNGR termasuk musang Rinjani
(BTNGR, 1997, BTNGR, 2009).
Sebagai satwa arboreal yang tergantung kepada hutan sebagai tempat hidup
dan mencari makan, ancaman terbesar bagi perkembangan populasi liar spesies ini
adalah perubahan habitat terutama oleh aktivitas manusia (penebangan illegal dan
3
legal) maupun oleh aktivitas alam sendiri (tegakan mati, kebakaran atau aktivitas
vulkanik) serta perburuan oleh penduduk sekitar (Anonim, 2000, BTNGR 2009).
Belum banyak penelitian yang mendeskripsikan dengan jelas spesies ini,
mengungkap status taksonominya berkaitan dengan subspesies lain di pulau-pulau
sekitarnya seperti Paradoxurus hermaphrodites sumbanus (P. Sumba) dan
Paradoxurus hermaphrodites balinus (P. Bali) yang secara geografik sangat
berdekatan, populasi dan habitat spesifik serta peranannya dalam ekosistem. Makalah
ini disusun untuk memberikan telaah ekologis musang Rinjani beserta tindakan
pengelolaan yang diperlukan dengan harapan dapat berguna bagi pengelolaan dan
perlindungan musang Rinjani, demi kelangsungan hidup dan kelestarian salah satu
spesies endemik kawasan Gunung Rinjani ini.
II. JENIS, POPULASI DAN SEBARAN
A. Klasifikasi dan Morfologi
Musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus) merupakan spesies dengan
banyak anggota subspesies. Beberapa ahli berdebat mengenai anggota subspesies
maupun anggota dari Genus Paradoxurus. Pada awalnya Genus Paradoxurus hanya
terdiri dari 3 (tiga) spesies yaitu musang luwak/musang palem Asia (Paradoxurus
hermaphroditus), musang coklat Jerdoni (Paradoxurus jerdoni) dan musang emas
(Paradoxurus zeylonensis) (Straus, 1931, Wilson and Reader, 2005). Tetapi menurut
penelitian Payne et al. (2000) subspesies lignicolor, endemik Kepulauan Mentawai
adalah spesies musang tersendiri. Dikoreksi lagi tahun 2009 oleh Grove et al,
berdasarkan analisis genetik yang membandingkan spesimen dari 3 (tiga) mayor zona
biotik di Srilanka dan menyatakan sebagai spesies tersendiri musang emas wet-zone
(Paradoxurus aureus), musang emas dry-zone (Paradoxurus stenocephalus), musang
palem coklat (Paradoxurus montanus) terpisah dari musang emas Srilanka
(Paradoxurus zeylonensis).
Kajian ulang mengenai nama dan status taksonomi dari subspesies rindjanicus
(Mertens, 1929), balicus (Sody, 1933) maupun sumbanus (Schwarz, 1910) perlu
dilakukan karena terbatasnya penelitian-penelitian taksonomi yang mendeskripsikan
subspesies-subspesies ini. Wilson dan Reader (2005) bahkan tidak menyebutkan
4
adanya subspesies rindjanicus ini. Sedangkan Mertens (1929) dalam Straus (1931)
dan Kitchener et al. (2002) menyatakan rindjanicus sebagai subspesies tersendiri.
Straus (1931) tidak menyebutkan adanya subspesies sumbanus, tapi mendeskripsikan
subspesies rindjanicus sebagai subspesies dengan sebaran P. Sumba. Jadi masih ada
kerancuan penamaan dan taksonomi antara subspesies rindjanicus maupun sumbanus.
Menurut Straus (1931) dan Kitchener et al. (2002), klasifikasi musang Rinjani
termasuk famili Viverridae, subfamili Paradoxurinae, genus Paradoxurus, spesies
Paradoxurus hermaphroditus, subspesies Paradoxurus hermaphroditus rindjanicus.
Secara fisik bahkan tidak terdapat perbedaan mencolok antara musang Rinjani
dengan musang luwak lainnya. Menurut Kitchener et al. (2002) musang Rinjani pada
bagian kepala sampai dengan ekor berwarna sangat gelap bahkan mendekati hitam.
Ukuran panjang dari kepala ke pangkal ekor 38 cm, dari ujung ekor sampai pangkal
ekor 40 cm, daun telinga ukuran 34, serta panjang kaki 70 cm. Warna rambut gelap
hampir mendekati hitam dengan warna hitam hijau lumut disisi punggung dan agak
pucat pinggala disisi dada perut.
Ciri-ciri tersebut sebenarnya juga terdapat pada musang luwak pada umumnya
atau subspesies-subspesies lain seperti philippensis di Filipina atau javanicus yang ada
di P. Jawa. Boudet (2009) bahkan menyarankan untuk dilakukan revisi taksonomi atas
subspesies-subspesies yang ada karena sedikit sekali penelitian-penelitian taksonomi
yang mendukung klasifikasi. Kitchener et al. (2002) dalam publikasinya menyarankan
untuk ditinjau kembali pentelaan musang Rinjani untuk mendukung taksonominya.
Gambar 1. Musang Rinjani.
Sumber : BTNGR, 2009
5
B. Populasi dan Sebaran
Musang luwak merupakan hewan endemik khas orientalis tersebar di Asia
Tengah, Selatan dan Tenggara. Wilson dan Reader (2005) menyebutkan ada sekitar 65
subspesies musang luwak di dunia ini, tanpa subspesies rindjanicus sedangkan Straus
(1931) menyebutkan ada 64 subspesies termasuk subspesies rindjanicus tanpa
subspesies sumbanus. Musang luwak tersebar dari India and Sri Lanka, Cina bagian
Selatan sampai Semenanjung Malaya ke Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan
Filipina. Di beberapa wilayah mempunyai sebaran luas dan beberapa lagi endemik
(subspesies). Beberapa catatan juga menyebutkan spesies ini terdapat di Selandia Baru
dan Papua Nugini, kemungkinan sebagai hasil introduksi (Myers et al., 2008, IUCN,
2010, Wilson and Reader, 2005).
Belum banyak catatan penelitian mengenai sebaran spesifik musang Rinjani di
P. Lombok, informasi terakhir dari inventarisasi di habitat spesifik yang telah
teridentifikasi yaitu kawasan Sembalun bahwa dugaan kepadatan populasi musang
Rinjani di kawasan itu sejumlah 60 ekor per 100 Ha (BTNGR, 2009). Populasi di luar
kawasan tersebut hanya sebatas informasi dari masyarakat yang menyatakan bahwa
populasinya melimpah, dan hal ini harus dibuktikan melalui penelitian.
Status spesies musang luwak secara umum dalam kategori endangered
Gambar 2. Sebaran Musang luwak (P. hermaphroditus)
(dimodifikasi dari Googlemaps).
6
(terancam) pada tahun 1996 kemudian dikoreksi lagi statusnya di tahun 1999 menjadi
least concern (beresiko rendah), yang bisa menjadi indikasi bahwa populasinya
meningkat stabil. Untuk spesies musang Rinjani secara khusus menurut IUCN belum
ada (IUCN, 2010)
III. HUBUNGAN DENGAN MANUSIA
A. Nilai Ekologis
Spesies ini merupakan nokturnal omnivora, pakan utama musang luwak atau
musang pada umumnya adalah buah-buahan, termasuk Ficus spp., Palem dan ceri-
ceri-an seperti Kopi. Terkadang spesies ini juga memakan vertebrata kecil, reptil,
ataupun serangga. Pakan spesifik musang Rinjani berupa buah-buahan dari Ficus spp
seperti Are (Ficus sp.), Goak (Ficus fistula) serta Kue (nama local), Prabu (Bischoffia
javanica) dan Menjerong (nama lokal) (BTNGR, 2009). Berdasarkan catatan-catatan
penelitian, dipercaya musang luwak atau musang pada umumnya merupakan agen
permudaan hutan, sebagai pemencar biji-biji tanaman hutan karena musang hanya
memakan buah yang telah masak. Sistem pencernaannnya yang kurang sempurna
ternyata memberikan implikasi positif bagi eksosistem hutan. Sistem pencernaannya
sederhana, hanya memproses kulit dan daging buah sedangkan biji-biji dikeluarkan
bersama kotoran. Dari sinilah permudaan terjadi bersama kotoran-kotoran yang
tersebar di tempat-tempat yang dilaluinya (Ho, 2009, Ismail, 2004, Mudappa et al.
2010, TROPENTAG, 2009,).
B. Nilai Ekonomis
Musang diperlukan dalam industri parfum. Beberapa parfum terkenal dunia
menggunakan bahan dari hormon musang yang mengandung zat kimia tertentu yang
sangat harum baunya. Ekstraksi hormon ini dikenal sebagai civet musk, yang bernilai
ekonomi tinggi (Adebe, 2000, Anonim, 2003, Morris, 1992). Civet musk di beberapa
negara Afrika merupakan bahan komoditas ekspor yang penting, bahkan di Ethiopia
menyumbang sekitar 90% civet musk dunia (Adebe, 2000).
Di kalangan pecinta kopi, musang luwak terkenal karena produksi biji kopi
kualitas tinggi dari hasil pencernaannya. Kopi luwak merupakan kopi termahal di
pasaran dunia, dijual dengan harga $100-$600 per pon atau sekitar Rp 1.000.000- Rp
7
6.000.000 per setengah kilogram, di Amerika Serikat dijual sekitar $175 (Anonim,
2010, Michele, 2010). Untuk menikmati secangkir kopi luwak di California orang
harus membayar $30 (Sandoval, 2010).
IV. PERMASALAHAN DAN KONDISI LAPANGAN
Musang luwak hidup dengan range habitat yang bervariasi. Spesies ini telah
ditemukan di berbagai habitat termasuk hutan hujan tropis basah sampai hutan musim,
baik hutan primer maupun sekunder, ditemukan juga di perkebunan serta telah
beradaptasi pada kawasan-kawasan dekat manusia, di habitat dataran rendah sampai
dengan ketinggian diatas 2.000 mdpl (Myers et al., 2008, IUCN, 2010).
Musang Rinjani, menurut hasil inventarisasi yang dikerjakan oleh pihak
pengelola TNGR pada tahun 2009, spesies ini lebih menyukai kawasan hutan
sekunder dengan tipe habitat yang kering dan dekat dengan pemukiman penduduk.
Beberapa pengamatan visual lain juga menyatakan bahwa spesies ini menyukai
daerah-daerah dengan intensitas keterjumpaan dengan manusia yang tinggi meskipun
kadang bisa dijumpai juga di hutan konifer pada ketinggian sekitar 2.000 mdpl di
seputaran areal perkemahan Danau Segara Anak, TNGR (BTNGR, 2009).
Masih menurut hasil inventarisasi yang sama, habitat spesifik musang Rinjani
di kawasan Sembalun, TNGR merupakan kawasan hutan sekunder dengan intensitas
penutupan tajuk sekitar 10-20%, dengan jumlah pepohonan yang sedikit (semi
savana). Menurut informasi lapangan, ada kecenderungan pergeseran range habitat
spesifik musang Rinjani dari kawasan basah hutan hujan pegunungan yang ada di atas
mendekati kawasan pemukiman yang lebih kering di bawahnya. Belum ada catatan
penelitian yang membuktikan adanya fenomena ini tapi bisa dijelaskan bahwa
kemungkinan hal ini berkaitan dengan ketersedian pakan di daerah ketinggian dimana
pohon-pohon besar tidak lagi bisa menjadi suplai untuk kebutuhan makanannya.
Ada beberapa faktor yang bisa mengancam kelestarian spesies tersebut
berkaitan dengan fenomena di atas :
- Perburuan musang Rinjani oleh penduduk untuk dibunuh mungkin tidak ada
dalam tujuan khusus kecuali jika penduduk secara tidak sengaja menemukan
8
sarang atau menemukan satu atau dua individu spesies ini di lahan mereka.
Tidak bisa dipungkiri bahwa di kawasan tersebut, kehadiran musang Rinjani
tidak diinginkan oleh penduduk sekitar yang menganggap sebagai hama karena
memakan ternak penduduk terutama ayam. Sebenarnya bisa dijelaskan bahwa
musang Rinjani atau musang luwak pada umumnya bukan merupakan
karnivora sejati tidak seperti keluarga Kucing, struktur gigi musang tidak
dirancang sebagai pemangsa yang harus memakan daging sebagai pakan
utamanya (Ismail, 2004). Musang lebih bisa disebut frugivora dari pada
carnivora dalam batasan perilaku makannya (Mudappa et al., 2010). Musang
juga merupakan hewan nokturnal sehingga ayam penduduk yang
dikandangkan seharusnya bukan menjadi sasaran.
- Habitat musang Rinjani spesifik Kawasan Sembalun merupakan kawasan
intensif dengan kebakaran hutan dan penggembalaan sapi yang memungkinkan
degradasi habitat terjadi. Kebakaran hutan merupakan fenomena alam yang
setiap tahun terjadi pada kawasan Sembalun dan sekitarnya yang beriklim
dingin dan kering. Penggembalaan sapi di daerah ini bisa berarti dengan
penggembala atau tanpa penggembala, banyak kejadian penggembalaan sapi
adalah tanpa penggembala yang berarti sapi di lepas begitu saja kedalam
kawasan hutan yang tidak jarang masuk kawasan hutan TNGR. Kegiatan ini
merupakan kegiatan harian dan belum ada solusi antara pihak pengelola
kawasan dengan para pemilik ternak yang sampai menggembalakan sapinya ke
kawasan.
Faktor-faktor di atas mungkin belum sekompleks terhadap apa yang menimpa
musang luwak yang ada di dunia, selain dianggap hama, musang di beberapa belahan
dunia diburu untuk diambil mantel, daging, diekstrasi untuk parfum atau dibunuh
karena dianggap sebagai penyebar penyakit tertentu. Sehingga sebelum populasinya
menurun ataupun terancam, sudah selayaknya pihak pengelola membuat suatu
tindakan pengelolaan demi mendukung kelestarian dan keberlangsungan musang
endemik subspesies P. Lombok ini.
9
V. UPAYA PENGELOLAAN
A. Pengamanan dan Perlindungan
Kegiatan pengamanan dan perlindungan kawasan merupakan rutinitas yang
sangat penting dalam pengelolaan sebuah kawasan konservasi. Dalam mengemban
amanat undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya dan undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
yang diterjemahkan secara teknis sebagai upaya melindungi dan mengamankan
kawasan dari gangguan manusia, baik yang berada di sekitar maupun yang jauh dari
kawasan namun menpunyai akses yang tinggi terhadap kawasan tersebut.
Untuk pelaksanaan pengamanan dan perlindungan kawasan di kawasan
Sembalun yang merupakan habitat spesifik musang Rinjani (yang telah
teridentifikasi) telah ada 2 buah pos pengamanan dengan anggota pengamanan
sebanyak 6 orang. Dalam melaksanakan tugasnya mereka mengadakan patroli harian
pada wilayah kerja masing-masing khususnya pada kawasan dengan gangguan
kawasan yang cukup intensif, sekaligus melakukan pemantauan terhadap satwa-satwa
lain yang juga ditemui.
Persoalan yang dihadapi pihak pengelola dalam hal ini petugas pengamanan di
lapangan adalah bahwa pada kenyataannya range habitat musang Rinjani tidak hanya
di dalam kawasan hutan TNGR tetapi menyebar sampai diluar kawasan, sebagian
besar populasi membuat sarang dekat dengan pemukiman penduduk. Ketika terjadi
perburuan atau pembunuhan musang Rinjani oleh penduduk di luar kawasan hutan
taman nasional, petugas tidak bisa mengambil tindakan hukum apapun karena status
satwa ini memang tidak termasuk hewan yang oleh dilindungi undang-undang.
Bahkan termasuk kedalam daftar satwa buru (Lampiran Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No. 461/Kpts-II/1999 tentang Penetapan Musim Berburu
Jenis-jenis Satwa Buru di Taman Buru dan Areal Buru). Ketika hal ini terjadi,
pendekatan sosial kemasyarakatan sebagai upaya preventif akan lebih efektif.
B. Pendekatan Sosial Kemasyarakatan
Upaya pendekatan secara sosial kemasyarakatan spesifik perlindungan
terhadap musang Rinjani belum pernah dilakukan mengingat pihak pengelola sendiri
10
sangat kekurangan informasi mengenai populasi dan sebaran spesies ini baik di
kawasan Gunung Rinjani maupun keseluruhan P. Lombok. Upaya yang telah
dilakukan pada dasarnya adalah untuk pengamanan dan perlindungan kawasan secara
keseluruhan sesuai tugas pokok dan fungsi TNGR sebagai kawasan konservasi. Apa
yang seharusnya dikerjakan pengelola adalah bagaimana merubah pandangan
masyarakat tentang musang Rinjani sebagai satwa yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia bukan sebagai hama.
Pendekatan sosial kemasyarakatan juga sebaiknya diarahkan untuk tujuan
pengelolaan lain tidak hanya spesifik perlindungan musang. Program-program sosial
kemasyarakatan seperti pembinaan daerah penyangga, sebaiknya disusun dengan
selalu mengarahkan masyarakat kepada usaha-usaha yang mengurangi aktivitas-
aktivitas yang secara langsung bersinggungan dengan kawasan taman nasional.
C. Studi Bioekologi Spesifik dan Monitoring Populasi
Sebaran, habitat spesifik, populasi minimum untuk kelangsungan hidup
popluasi serta kondisi populasi aktual secara keseluruhan kawasan TNGR ataupun di
P. Lombok sendiri belum teridentifikasi oleh pihak pengelola maupun kalangan
akademisi. Peran ekologis musang Rinjani terhadap permudaan hutan di kawasan
Gunung Rinjani secara spesifik masih perlu untuk dikaji lebih dalam. Studi-studi
spesifik untuk mengetahui potensi sebagai satwa budidaya juga penting dilakukan
demi kelestarian dan kelangsungan hidup musang Rinjani. Mengingat potensi
ekonominya yang cukup tinggi upaya ini dapat dianggap sebagai bukti yang nyata
kepada masyarakat bahwa perlindungan dapat juga menghasilkan keuntungan secara
ekonomi seperti halnya civet musk di Afrika ataupun Kopi Luwak di P. Jawa atau
Filipina yang merupakan spesies-spesies kerabat dekatnya. Dalam kaitannya dengan
penghasil kopi, mungkin tujuan kedua ini dapat lebih cepat tercapai mengingat
masyarakat P. Lombok dalam kesehariannya akrab dengan kopi yang diproduksi
secara tradisional.
Dalam inventarisasi dan monitoring, informasi populasi sebaiknya juga
dikumpulkan dari luar kawasan taman nasional, dalam arti populasi semua kawasan di
P. Lombok teridentifikasi dan termonitoring dari waktu ke waktu. Ini penting demi
status spesies yang bersangkutan kedepannya.
11
D. Pembinaan habitat
Pembinaan habitat dikerjakan secara terpadu dengan spesies satwa yang
simpatrik dengan musang Rinjani. Pembinaan habitat diperlukan agar kondisi
lingkungan tempat berlindung, mencari makan dan aktivitas lainnya dapat terpenuhi
dan populasinya dapat berkembang secara alami. Pembinaan habitat terutama dengan
pengkayaan jenis tanaman pakan serta pohon sebagai pelindung ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan keseharian satwa serta mengurangi gangguan yang sifatnya
berasal dari manusia.
E. Kerjasama Pihak Terkait
Kerjasama antara pengelola, kombaga konservasi, akademisi, pesantren
maupun pihak-pihak terkait lain yang ada di P. Lombok diperlukan sebagai upaya
pengelolaan kawasan dalam kerangka holistik. Output salah satu kegiatannya dapat
diarahkan kepada spesifik perlindungan spesies-spesies endemik yang ada di P.
Lombok terutama spesies-spesies endemik yang belum banyak diungkap melalui
penelitian-penelitian, spesies-spesies yang belum diketahui status populasinya, dan
spesies-spesies endemik yang belum dilindungi oleh undang-undang.
Musang Rinjani atau spesies endemik P. Lombok lain yang tidak terdaftar
dalam spesies yang dilindungi undang-undang merupakan masalah yang perlu dikaji
terutama pihak-pihak yang berkompeten mengingat beberapa kawasan hutan di P.
Lombok semakin menurun daya dukungnya terhadap hidupan liar beserta turunannya
dan status populasi suatu spesies dapat berubah dengan cepat.
Kerjasama ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk kampanye konservasi yang
lebih luas, spesies-spesies endemik P. Lombok termasuk musang Rinjani dapat
dijadikan sebagai flagship spesies untuk menarik simpati masyarakat. Tujuan
pendidikan konservasi bagi masyarakat bisa diarahkan kepada pemahaman tentang
kekayaan keaneragaman hayati yang ada di P. Lombok dan potensi pemanfaatannya
bagi kesejahteraan di masa depan.
12
VI. KESIMPULAN
Musang luwak pada umumnya termasuk musang Rinjani mempunyai peran
ekologi dan keuntungan ekonomi yang penting. Disatu sisi sebagai penentu
keseimbangan ekosistem dengan perannya sebagai agen permudaan alam dan di pihak
lain merupakan komoditas yang komersil untuk bermacam-macam produk. Penelitian
yang lebih spesifik tentang musang Rinjani diperlukan untuk pembuktian peranan
spesies tersebut dalam kaitannya dengan regenarasi ekosistem hutan kawasan Gunung
Rinjani secara khusus dan kawasan P. Lombok secara umum serta dalam upaya
perlindungan dan pengelolaan kedepannya.
Upaya pengelolaan harus mampu memberikan dua arah keuntungan yaitu
kelestarian satwa dan manfaat yang nyata kepada masyarakat. Upaya pengelolaan
yang sifatnya hanya melindungi tidak akan berhasil karena akan selalu dihadapkan
pada persoalan benefit value yang akan diperoleh masyarakat sebagai ganti ketika
suatu upaya pengelolaan membatasi masayarakat terhadap sumberdaya kawasan
termasuk satwa.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim], 2000. Teori dan Praktek Inventarisasi dan Pemetaan Flora - Fauna
Kawasan Hutan Gunung Rinjani Lombok – NTB. Hasil Kerjasama Dinas
Kehutanan NTB, WWF Nusra dan BTNGR. Mataram
[Anonim]. 2003. Animal Ingredients. Perfumes. com.
http://www.perfumes.com/eng/materials_animal.htm [ 19 Desember 2010].
[Anonim]. 2010. Luxury List Item: Kopi Luwak Exotic Coffee $100-$600 Per Pound.
Imaginelifestyles.com.
http://www.imaginelifestyles.com/luxuryliving/2010/10/luxury-list-item-kopi-
luwak-exotic-coffee-100-600-pound [19 Desember 2010]
Boudet C. 2009. Paradoxurus hermaphroditus : Common Palm Civet, Toddy Cat.
Mammals'Planet : All Planet's Mammals on One Website.
http://planet-
mammiferes.org/drupal/en/node/38?indice=Paradoxurus+hermaphroditus
[13 Desember 2010]
[BTNGR] Balai Taman Nasional Gunung Rinjani. 1997. Rencana Pengelolaan Taman
Nasional 1998-2023. Mataram.
13
[BTNGR] Balai Taman Nasional Gunung Rinjani. 2009. Laporan Identifikasi Musang
Rinjani (Paradoxurus hermaphroditus rindjanicus) di Kawasan Hutan Resort
Sembalun Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wil. II. Mataram.
[BTNGR] Balai Taman Nasional Gunung Rinjani. 2010. Statistik Balai Taman
Nasional Gunung Rinjani Tahun 2009. Mataram
Groves CP, Rajapaksha C, Mamemandra-Arachchi K. 2009. The Taxonomy of the
Endemic Golden Palm Civet of Sri Lanka". Zoological Journal of the Linnean
Society Vol.155: 238–251. http://doi:10.1111/j.1096-3642.2008.00451.x [13
Desember 2010]
Ismail A. 2004. Manusia dan Sekitaran : Paradoxurus hermaphroditus (Common
Palm Civet). Universitas Kebangsaan Malaysia.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2010.
IUCN Redlist of Threatened Species version 2010.4 Paradoxurus
hermaphroditus (Common Palm Civet, Mentawai Palm Civet).
http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/41693/0 [16 Desember 2010]
Ho WP. 2009. The Role of Masked Palm Civet (Paguma larvata) and Small Indian
Civet (Viverricula indica) in Seed Dispersal in Hongkong, China. The
University of Hong Kong
Kitchener DJ, Boeadi, Charlton L, Maharadatunkamsi. 2002. Mamalia Pulau
Lombok (Alih bahasa: Tyas Agung Pribadi dan Ibnu Maryanto). Terjemahan
dari : Wild Mammals of Lombok Island.
Michele A. 2010. The Civet Cat: An Endangered Animal - Its Dung Is Considered a
Delicacy and Aphrodisiac! http://hubpages.com/hub/Fox-Dung-Coffee-For-
Sale-The-Civet-Cat [19 Desember 2010].
Morris C. 1992. Dictionary of Science and Technology. California : Academic Press
Inc.
Mudappa D, Kumar A ,Chellam R. 2010 Diet and Fruit Choice of the Brown Palm
Civet Paradoxurus jerdoni, a Viverrid Endemic to the Western Ghats
Rainforest, India. Journal - Tropical Conservation Science Vol.3 (3):282-300.
Myers PR, Espinosa C, Parr S, Jones T, Hammond GS, Dewey TA. 2008.
Paradoxurus hermaphroditus : Asian Palm Civet. The Animal Diversity Web.
University of Michigan Museum of Zoology.
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Paradoxurus
_hermaphroditus.html [13 Desember 2010]
Payne J, Francis CM, Phillipps K, Kartikasari SN. 2000. Panduan Lapangan Mamalia
di Kalimantan, Sabah, Sarawak & Brunei Darussalam. The Sabah Society,
Wildlife Conservation Society-Indonesia Programme dan WWF Malaysia.
14
Sandoval E. 2010. Dayly News. Plucked from Civet Feces, 'Cat Poo Coffee' is NYC's
most Expensive at $30 per Cup. Dayly News : Selasa, 27 Juli 2010.
http://www.nydailynews.com/ny_local/2010/07/27/2010-07-
27_this_coffee_smells_like__30_cup_of_joe_comes_from_felines_feces.html
[19 Desember 2010].
Straus WL. 1931. Man's Place among the Mammals. Journal of Mammalogy Vol. 12
(2) : 171-185.
[TROPENTAG] The Annual Conference on Tropical and Subtropical Agricultural
and Natural Resource Management. 2009. The African civet cat (Viverra
civetta) and Its Life Supporting Role in the Livelihood of Smallholder
Farmers in Ethiopia. Conference on International Research on Food Security,
Natural Resource Management and Rural Development October 6-8, 2009.
University of Hamburg.
Wilson DE, Reeder DM. 2005. Mammal Species of the World : a Taxonomic and
Geoghrapic Reference. John Hopkins University.