eklmpsia
-
Upload
apul-munte -
Category
Documents
-
view
77 -
download
6
Transcript of eklmpsia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepuluh persen dari semua kehamilan adalah dikomplikasikan dengan
hipertensi. Eklampsia dan preeklampsia merupakan setengah dari seluruh kasus ini di
seluruh dunia dan telah dikenal dan diketahui selama bertahun-tahun tanpa
memahami tentang penyakit ini. Pada abad kelima, Hippocrates mengetahui bahwa
nyeri kepala, kejang dan penurunan kesadaran merupakan tanda yang berhubungan
dengan kehamilan. Pada tahun 1619, Varandeus memperkenalkan istilah eklampsia
dalam dunia gynecology.1
Eklampsia sendiri didefinisikan sebagai keadaan klinis dengan kejang atau
konvulsi yang tidak dapat dijelaskan ataupun perubahan status mental dengan adanya
tanda dan gejala dari preeklampsia. Eklampsia merupakan komplikasi dari
preeklampsia berat. Hal ini terjadi secara tipikal selama atau sesudah kehamilan
diatas 20 minggu ataupun selama periode postpartum. 1
Manifestasi klinis dari preeklampsia adalah termasuk hipertensi dan
proteinuria dengan atau tanpa kelainan sistemik bersamaan yang melibatkan ginjal,
liver, atau darah. Terdapat juga manifestasi janin pada preeklampsia seperti
pertumbuhan janin terhambay, pengurangan cairan amnion, dan oksigenasi janin yang
terganggu. Sindroma HELLP merupakan bentuk berat dari preeklamsia dan
melibatkan hemolisis, peningkatan enzim hati, serta penurunan jumlah platelet. 1
Eklampsia terjadi pada sekitar 0,05 sampai 0,12% dari seluruh kehamilan.
Mortalitas maternal dari eklampsia berkisar dari 0 sampai 14%, dan perdarahan
merupakan satu dari penyebab kematian tersebut. Eklampsia masih merupakan salah
satu penyebab tersering dari kematian ibu diseluruh dunia, meskipun perbaikan dalam
hal antenatal care telah mengurangi insidensinya di negara-negara Barat. Dari 20
kematian akibat kelainan hipertensi di Inggris selama 1991-1993, 11 kasus
merupakan eklampsia. Oleh karena akibatnya yang mengancam nyawa, ketika terjadi
kejang dan gangguan kesadaran pada wanita hamil, eklampsia merupakan kecurigaan
pertama. 2
Anestesiolog memegang peranan yang penting dalam penanganan dari ibu
hamil dengan kejang. Kontrol cepat dari kejang sangat dibutuhkan untuk mencegah
kerusakan serebral akibat hipoksia. Antikonvulsan dapat diberikan seperti diazepam,
MgSO4 dan phenitoin.The Eclampsia Trial menyimpulkan bahwa MgSO4
merupakan obat pilihan untuk eklampsia; phenytoin dapat menyebabkan morbiditas
maternal dan neonatal yang lebih tinggi; serta diazepam dan phenytoin lebih sering
terjadi kejang berulang dibandingkan dengan MgSO4. Mempertahankan jalan nafas
serta pernafasan yang adekuat selama kejang harus menjadi prioritas utama. Selain
itu, respon terhadap intubasi trakeal pada kehamilan dengan hipertensi lebih tinggi,
dengan peningkatan tekanan arteri sistemik dan pulmoner serta pulmonary capillary
wedge pressure. 2
2.2 Manfaat dan Tujuan
Laporan kasus ini diselesaikan guna melengkapi tugas dalam menjalani
program pendidikan profesi dokter di Departemen Anastesi dan Terapi Intensif, selain
itu untuk memberikan pengetahuan kepada penulis dan pembaca mengenai
penanganan perioperatif pasien seksio cesarea dengan eklampsia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Preeklampsia merupakan komplikasi pada lebih dari 8% kehamilan. Hal ini
merupakan kondisi yang umum dapat dilihat oleh seorang anestesiolog obstetri
dimana pasien yang sebelumnya sehat-sehat dapat berubah menjadi sangat kritis.
Trias klasik dari preeklampsia yaitu hipertensi, proteinuria, dan edema. Kondisi
tertentu dapat menjadi faktor predisposisi seorang wanita menjadi preeklampsia.
Berdasarkan risk ratio yang paling tinggi, kondisi-kondisi ini termasuk angiotensin T-
235 homozigot, penyakit ginjal kronis, sindroma antifosfolipid, hipertensi kronis,
riwayat preeklampsia, kehamilan multipel, nulliparrous, kehamilan diatas 40 tahun,
diabetes, dan ras afro-amerika. Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang
terjadi setelah umur kehamilan diatas 20 minggu atau pada periode postpartum dan
kembali normal dalam 3 bulan setelah persalinan atau onset kehamilan diatas 20
minggu dengan paling sedikit salah satu dari dibawah ini: 3
- Proteinuria diatas 300mg/24 jam
- Oliguria atau rasio kreatinin serum-plasma diatas 0,09 mmol/l
- Nyeri kepala dengan hiperefleksia, eklampsia, klonus, atau gangguan
penglihatan.
- Peningkatan enzim hati, plasma glutathione S-transferase-alpha 1-1, serum
alanine aminotransferase atau nyeri abdomen kuadran kanan
- Trombositopenia, peningkatan lactate dehydrogenase (LDH), hemolisis,
disseminated intravascular coagulation (DIC)
- Intrauterine growth retardation
Eklampsia didefinisikan sebagai keadaan klinis dengan kejang yang tidak
dapat dijelaskan atau perubahan status mental dimana terdapat gejala dan tanda dari
preeklampsia. Eklampsia merupakan komplikasi dari peeklampsia berat. Penyakit ini
terjadi pada kehamilan dengan usia 20 minggu atau lebih ataupun pada periode
postpartum. 1
Preeklampsia dapat diklasifikasikan sebagai ringan ataupun berat berdasarkan
keparahan tanda dan gejala seperti pada tabel. Merupakan anggapan yang salahbhawa
terdapat perubahan perlahan dari preeklampsia ringan ke preeklampsia berat sampai
ke eklampsia, karena sebanyak 25% sampai 40% pasien akan mempunyai tekanan
darah yang normal pada saat kejang pertama. 3
Ringan Berat
Tekanan darah sistolik < 160 mmHg ≥ 160 mmHg
Tekanan darah diastolik < 110 mmHg ≥ 110 mmHg
Protein urin < 5g/24 jam ≥ 5g/ 24 jam
Dipstick + atau 2+ Dipstick 3+ atau 4+
Urine output > 500mL/24 jam ≤ 500 mL/24 jam
Nyeri kepala Tidak ada Ada
Gangguan penglihatan Tidak ada Ada
Nyeri epigastrium Tidak ada Ada
Nyeri abdomen atas
kanan
Tidak ada Ada
Edema pulmoner Tidak ada Ada
Sianosis Tidak ada Ada
Sindroma HELLP Tidak ada Ada
Jumlah trombosit >100.000/mm3 <100.000/mm3
2.2 Patofisiologi
Eklampsia merupakan perkembangan dari preeklampsia berat menjadi kejang
dan koma dan disangkakan sebagai ensefalopati hipertensi, edema vasogenik
mengakibatkan iskemia, edema atau perdarahan dari korteks. Penyebab dari
preeklampsia dan eklampsia masih belum jelas. Berbagai teori tentang etiologinya
yaitu diantaranya adalah invasi trofoblas anormal, abnormalitas koagulasi, kerusakan
endothel, maladaptasi kardiovaskular, fenomena imunologis, predisposisi genetik,
serta defisiensi atau kelebihan diet. 4
Dipercaya bahwa terdapat aliran darah serebral abnormal pada saat hipertensi
yang ekstrem. Mekanime kompensasi perfusi serebral terganggu. Pembuluh darah
menjadi dilatasi dengan peningkatan permeabilitas dan terjadi edema serebral dan
menyebabkan iskemik dan ensefalopati. Pada hipertensi yang ekstrem, kompensasi
normal vasokonstriksi menjadi defektif. Pada beberapa autopsi didapat temuan yang
konsisten dengan adanya pembengkakan dan nekrosis fibrinoid dari dinding
pembuluh darah. 4
Terdapat berbagai perubahan uterovaskular yang terjadi pada wanita yang
hamil. Hal ini dipercaya oleh karena interaksi allograft antara fetal dan maternal dan
menyebabkan perubahan vaskular sistemik dan lokal. Perubahan sistem ini
berkontribusi pada pathologi otak pada eklampsia dengan menghambat regulasi
perfusi serebral. 4
Banyak faktor yang berkontribusi pada fenomena ini. Disfungsi sel endothel
terjadi pada pembuluh darah wanita dengan hipertensi. Faktor yang berhubungan
dengan difungsi endothel adalah seperti cellular fibronectin, von Willebrand factor,
cell adhesion molecule (seperi, P-selectin, vascular endothelial adhesion molecule-1
[VCAM-1], dan intercellular adhesion molecle-1 [ICAM-1]), dan sitokin (seperti,
interleukin-6[IL-6] dan tumor necrosis factor-α [TNF-α]) telah terbukti meningkat
pada sirkulasi sistemik dari wanita yang menderita penyakit ini. Antiangioogenic
factor seperti placental protein fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) dan activin A
dipercaya berantagonis dengan VEGF. Peningkatan level dari protein-protein ini
menyebabkan reduksi dari VEGF dan menginduksi terjadinya disfungsi endothel
sistemik dan lokal. 4
Reactive oxygen species telah ditunjukkan berhubungan dengan banyak proses
seluler seperti angiogenesis, pertumbuhan jaringan, dan differensiasi. Oxidative stress
telah ditunjukkan menstimulasi produksi Activin A dan sekresi dari sel plasenta dan
endothel. Peningkatan level dari activin A secara signifikan berhubungan dengan
stress oksidatif. Selain itu, stress oksidatif juga dihubungkan dengan disfungsi
endothel pada pasien preeklampsia. Penelitian pada model tikus hamil telah
ditemukan bahwa terdapat disregulasi dari ROS signaling pathway. Bocornya protein
dari sirkulasi dan edema anasarka merupakan sekuel dari disfungsi endothel dan
merupakan salah satu faktor penentu pada preeklampsia dan eklampsia. 4
Dari penelitian juga ditemukan bahwa stress oksidatif, inflamsi, dan disfungsi
sel endothel lebih lanjut akan dimediasi oleh peningkatan aktifitas leukosit sistemik.
Penelitian histokimia menunjukkan adanya peningkatan infiltrasi neutrofil yang
predominan pada pembuluh darah pada pasien dengan eklampsia. 4
Sebagian besar gejala yang berhubungan dengan preeklampsia, termasuk
iskemia plasenta, vasokonstriksi sistemik, dan peningkatan aggregasi platelet,
disebabkan oleh ketidakseimbangan produksi dari prostasiklin dan tromboksan.
Selama kehamilan normal plasenta memproduksi jumlah yang seimbang diantara
kedua prostaglandin ini, namun pada kehamilan preeklampsia, terdapat 7 kali lebih
banyak tromboksan daripada prostasiklin. Etiologi alternatif lainnya juga
berhubungan dengan penghambatan migrasi normal trofoblas dari arteriol plasenta
selama trimester kedua, sehingga menghambat sirkulasi plasenta dengan resistensi
rendah dan aliran tinggi untuk berkembang. Kerusakan endothel juga menjadi sentral
dari perkembangan preeklampsia dan terjadi oleh karena berkurangnya perfusi
plasenta dan adanya produksi dan pelepasan substansia-substansia (kemungkinana
lipid peroxidase). Fungsi endothel abnormal berkontribusi dalam peningkatan dari
resistensi perifer dan abnormalitas lainnya pada preeklampsia melalui pelepasan dari
fibronectin, endothelin, dan substansia lainnya. 5
Gambar 2.1 Perbandingan antara keseimbangan dari prostasiklin dan tromboksan pada kehamilan
normal dengan ketidakseimbangan dari peningkatan tromboksan dan penurunan prostasiklin pada
kehamilan preeklamsia.
Iskemia plasenta diakibatkan oleh pelepasan renin uterus dan peningkatan
angiotensin. Vasokonstriksi arteriol yang luas terjadi, menyebabkan hipertensi,
hipoksia, dan kerusakan endothel. Perlengketan platelet pada tempat kerusakan
endothel dapat menyebabkan koagulopati. Peningkatan sekresi aldosteron yag
dimediasi angiotensin dapat menyebabkan reabsorpsi dari sodium dan edema.
Proteinuria juga dapat disebabkan oleh iskemia plasenta, dimana akan menyebabkan
degenerasi jaringan lokal dan melepaskan tromboplastin sehingga menyebabkan
deposisi dari fibrin pada pembuluh darah glomerular yanng konstriksi, dan
selanjutnya terjadi peningkatan permeabilitas albumin dan protein plasma lainnya.
Lebih lanjut, dipercaya bahwa penurunan produksi dari prostaglandin E, vasodilator
poten yang diskresikan oleh trofoblas, yang secara normal akan menyeimbangkan
efek hipertensi dari sistem renin-angiotensi. Sindroma HELLP yang merupakan betuk
khusu dari preeklampsia berat ditandai dengan adanya hemolisis, peningkatan emzim
liver, dan jumlah platelet yang rendah (trombositopenia). Sebaliknya, peningkatan
tekanan darah dan proteinuria dapat hanya ringan saja. 5
Gambar 2.2 Skema perubahan patofisiologis dari preeklampsia-eklampsia pada kehamilan.
Preeklampsia-eklampsia berat merupakan penyakit multisistem. Peningkatan
aliran darah serebral secara global tidak berkurang, namun hipoperfusi fokal dapat
terjadi. Pemeriksaan postmortem menunjukkan adanya nekrosis di bagian proksimal
dari prekapiler yang mengalami trmbosis, menunjukkana adanya vsokonstriksi yang
kuat. Edema serebral dan fokus kecil degeneratif dihubungkan dengan hipoksia.
Perdarahan petekial adalah umum terjadi pada awal onset dari konvulsi. Gejala yang
berhubungan pada perubahan ini seperti nyeri kepala, vertigo, kebutaan kortikal,
hiperrefleksia, dan konvulsi. Peningkatan tekanan darah berhubungan buruk dengan
insidensi kejang. Perdarahan dan edema serebral merupakan penyebab 50% dari
kematian oleh karena preeklampsia-eklampsia. 5
Konstriksi arteriol okular yang kuat menyebabkan penglihatan yang kabur,
bahkan kebutaan yang temporer. Gagal jantung dapat terjadi ppada kasus yang berat
sebagai akibat dari vasokonstriksi perifer dan peningkatan viskositas darah sekunder
akibat hemokonsentrasi. Hipertrofi ventrikel kiri, perdarahan subendokardial, cloudy
swelling, dan degenarsi lemak dan hialin dapat terjadi. 5
Penurunan suplai darah ke liver dapat menyebabkan nekrosis periportal.
Perdarahan subkapsilar dapat menyebabkan nyri epigastrium. Sangat jarang, dapat
juga terjadi ruptur dari kapsul liver yang sangat teregang dan perdarahan masif ke
dalam rongga abdomen. Mungkin terdapat juga peningkatan AST, LDH, ALP serum,
namun bilirubin tidak berubah. 5
Di ginjal, terdapat pembengkakan sel endothel glomerulus dan deposis fibrin,
menyebabkan konstriksi dari lumen kapiler. Aliran darah renal dan glomerular
filtration rate berkurang, sehingga terjadi penurunan klirens dari asam urat, dan pada
kasus yang berat, sehingga penurunan klirens dari ureum dan kreatinin. Oliguria dan
proteinuria merupakan gejala khas dari preeklampsia berat. Tingkat keparahan dari
keterlibatan ginjal ditunjukkan dari derajat proteinuria, yang dapat mencapai level
nfrotik yaitu 10-15g/24 jam. 5
Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi pulmoner telah dilaporkan pada
beberapa kasus berat. Hal ini dipercaya bukan merupakan msalah klinis yang penting
karena tekanan parsial oksigen arteri yang msih dalam batas normal. Sebaliknya
edema jalan nafas, yang dapat terjadi pada preeklampsia berat, merupakan hal yang
menjadi perhatian karena hal ini dapat menyebabkan kesulitan respiratorik dan susah
untuk melakukan intubasi trakeal. Edema pulmoner terjadi pada sekitar 2% dari
pasien preeklampsia sebagai hasil dari gagal jantung, overload sirkulasi, ataupun
aspirasi dari isi lambung selama terjadi konvulsi. 5
Penurunan dari aliran darah interviloous dapat terjadi akibat vasokonstriksi
atau perkembangan dari lesi oklusif pada arteri desidua, meskipun tekanan darah
maternal tinggi. Pemeriksaan histologis pada plasenta menunjukkan adanya iskemia
noduler dan berbagai tingkat infark. Nekrosis dari jaringan pendukung dapat
menyebabkan ruptur dari pembuluh darah kotiledon dan terjadi perdarahan.
Selanjutnya dapat juga meluas secara retroplasental, menyebabkan abruptio plasenta.
Penurunan aliran darah plasenra dapat menyebabkan hipoksia janin kronis serta
malnutrisi. Resiko untuk terjadi IUGR, kelahiran prematur, dan kematian perinatal
adalah lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan normal dan berkorelasi dengan
keparahan dari preeklampsia. 5
Meskipun preeklampsia terjadi retensi air dan sodium, namun perpindahan
dari cairan dan protein dari intravaskular ke dalam kompartemen ekstravaskular dapat
menyebabkan hipovolemia, hipoproteinemia, dan hemokonsentrasi. Fenomena ini
lebih lanjut di perberat dengan adanya proteinuria. Resiko dari hipoperfusi
uteroplasental dan outcome fetal yang jelek berhubungan dengan pengurangan
plasma dan protein maternal. 5
2.3 Penatalaksanaan
2.3.1 Penanganan di Instalasi Gawat Darurat
Kejang pada eklampsia merupakan suatu kegawatan yang dapat mengancam
jiwa dan membutuhkan penanganan segera untuk mengurangi tingkat morbiditas dan
mortalitas maternal. 1
Prioritas pertama dari penanganan di gawat darurat adalah untuk mencegah
cedera pada ibu dan menyediakan support pada sistem respiratorik dan
kardiovaskular. Oksigen tambahan harus segera diberikan. Kemudian pasien
diposisikan dengan posisi miring ke kiri, posisi ini mengurangi resiko untuk
terjadinya aspirasi dan akan memperbaiki aliran darah ke uterus dengan mengurangi
obstruksi dari vena cava oleh uterus gravida. Selama kejang pasien harus kita proteksi
dengan cara menjaga bed pasien agar pasien tidak terjatuh, menggunakan spatel
tongue diantara gigi pasien agar lidah tidak tergigit, dan menghisap lendir di rongga
mulut jika diperlukan. Setelah kejang berakhir, akses intravena harus didapatkan
dengan menggunakan jarum abocath no.16 ataupun 18, yang kemudian berguna
untuk memberikan cairan dan obat-obatan serta untuk mengambil spesimen darah.
Cairan intravena harus dibatasi dengan menggunakan larutan isotonik untuk
mengganti urine output ditambah dengan 700 mL/hari untuk mengganti insensible
loss. 1
Usaha untuk mempersingkat atau menghilangkan kejang yang pertama kali
biasanya tidak diperlukan. Magnesium sulfate diberikan untuk mencegah dan
mengatasi kejang yang berikutnya pada wanita dengan eklampsia. Magnesium sulfate
diberikan secara intravena dengan loading dose sebesar 4-6 g selama 20 menit diikuti
dengan maintenance dose sebesar 1-2 g/jam dalam bentuk drip infus. Sebanyak 10%
dari wanita dengan eklampsia akan mengalami kejang tambahan setelah mendapatkan
magnesium sulfate. Bolus 2 g magnesium berikutnya dapat diberikan lagi pada kasus
ini. Syarat pemberian magnesium sulfat adalah harus tersedia antidotum magnesium
sulfat yaitu kalsium glukonas 10%, diberikan iv secara perlahan, apabila terdapat
tanda – tanda intoksikasi MgSO4, refleks patella positif, frekuensi pernafasan > 16
kali / menit, produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam ).
Untuk kasus yang jarang pasien masih mengalami kejang terus menerus meskipun
telah mendapat terapi magnesium yang adekuat, maka kejang dapat diberikan sodium
amobarbital, 250 mg secara intravena selama 3-5 menit. Selain itu cara yang lebih
umum digunakan adalah dengan memberikan lorazepam (Ativan) 4 mg IV selama 2-5
menit (dapat diulangi dalam 5-15 menit sampai dosis maksimum 8 mg dalam 12 jam
atau diazepam (valium), 5-10 mg IV secara lambat (dapat diulangi setiap 15 menit
samapi mencapai 30 mg), kedua cara ini sesuai seperti pada protokol untuk status
epileptikus. 1
Tekanan darah harus dikontrol dengan tujuan utama untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik diantara 140 dan 160 mmHg dan tekanan darah diastolik antara
90 dan 110 mmHg dengan memberikan obat-obatan antihipertensi sesuai yang
diperlukan (seperti, hidralazine, labetolol). Hipertensi berat harus segera diatasi
setelah infus magnesium diberikan. Dosis bolus intravena yang direkomendasikan
adalah 5-10 mg hidralazine atau 20-40 mg labetalol setiap 15 menit jika diperlukan.
Obat-obatan antihipertensi poten lain seperti sodium nitroprusside atau nitroglycerin
juga dapat digunakan namun jarang dibutuhkan. Evaluasi harus dilakukan untuk tidak
menurunkan tekanan darah terlalu drastis, dimana penurunan yang berlebihan dapat
menyebabkan perfusi uteroplasenta yang tidak adekuat serta terjadi fetal distress. Oral
nifedipine (40-120 mg/hari) dengan atau tanpa labetalol (600-2400 mg/hari) dapat
juga diberikan. 1,4
Sesuai dengan perjalanan klinis penyakit, maka status neurologis pasien harus
secara reguler diperiksa untuk mengawasi jika terdapat tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial ataupun perdarahan (seperti, pemeriksaan funduskopi, saraf
kranialis). Evaluasi terhadap cairan yang diberikan dan urine output, laju nafas ibu,
serta oksigenasi harus dilakukan. Selain itu pengawasan terhadap status fetus juga
harus dilakukan. Monitoring yang lebih invasif seperti pulmonary arterial pressure
jarang diindikasikan, namun dapat membantu pada pasien dengan edema pulmoner
atau oliguria/anuria. 1,4
Setelah kejang terkontrol dan pasien telah mendapatkan kembali
kesadarannya, kondisi medis lainnya harus diperiksa untuk mencari kemungkinan
lain penyebab dari kejang. 1
Diuretik hanya diberikan jika terdapat edema pulmoner, gagal jantung
kongestif serta edema anasarka. 4
Laju jantung fetus serta kontraksi uterus harus selalu di awasi. Bradikardia
fetus merupakan hal yang sering ditemukan selama kejang eklampsia dan dilaporkan
terjadi selama 30 detik sampai 9 menit. Interval waktu dari onset kejang sampai pada
jatunya laju jantung fetus adalah sekitar 5 menit atau kurang. Takikardia transisional
dapat terjadi setelah bradikardia. Setelah bradikardia inisial, selama fase pemulihan,
laju jantung janin dapat menunjukkan hilangnya variabilitas jangka pendek dan
panjang dan juga terdapat deselerasi akhir. Kelainan ini disebabkan mungkinkarena
berkurangnya aliran darah uterus yang disebabkan oleh vasospasme kuat dan
hiperaktivitas uterus selama kejang. Jika laju jantung janin tidak membaik setelah
kejang, evaluasi lebih lanjut harus dilakukan. Janin dengan pertumbuhan terhambat
dan prematur memerlukan waktu lebih lama untuk pulih setelah kejang. Abruptio
plasenta dapat terjadi jika hiperaktivitas uterus masih ada dan bradikardia fetus
menetap. 1
Terapi defenitif dari preeklampsia-eklampsia adalah melahirkan fetus dan
plasenta setelah pasien telah stabil terlebih dahulu. Semua kehamilan dengan
eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin.
Jangan melakukan usaha apapun untuk melahirkan bayi baik pervaginam maupun
seksio cesarea sampai fase akut dari kejang ataupun koma telah dilewati. Cara
melahirkan bayi harus berdasarkan indikasi obstetri namun tetap diingat fakta bahwa
persalinan pervaginam lebih dipilih dari sudut pandang ibu. Steroid dapat diberikan
untuk mengantisipasi persalinan emergensi jika kehamilan kurang dari 32 minggu.
Betamethasone 12 mg intramuscular setiap 24 jam X 2 dosis atau dexamethasone 6
mg intramuskular setiap 12 jam X 4 dosis adalah direkomendasikan. Penanganan
nyeri maternal pada saat persalinan adalah vital dan dapat diatasi baik dengan opioid
sistemik maupun anestesia epidural. Jika tidak ada malpresentasi fetus ataupun
distress fetus, oksitosin ataupun prostaglandin dapat diberikan untuk menginduksi
persalinan. Seksio cesarea dapat dipilih pada pasien dengan serviks yang tidak bagus
dan umur kehamilan 30 minggu atau kurang, dimana induksi pada keadaan ini akan
menghasilkan fase intrapartum yang lebih lama dan seringkali tidak berhasil untuk
mencegah seksio cesarea dengan tingginya komplikasi intrapartum yang terjadi.
Komplikasi intrapartum yang dapat terjadi adalah seperti pertumbuhan janin
terhambat, pola denyut jantung bayi yang buruk (30%), serta abrupsio plasenta
(23%). Tanpa memandang umur kehamilan, iduksi yang lama dengan perburukan
klinis yang signifikan dari kardiovaskular, hematologis, renal, hepatik, dan/atau
status neurologi dari ibu adalah secara umum merupakan indikasi uuntuk dilakukan
seksio cesarea. 1,4
2.3.2 Persiapan Pra-anesthesia
Perhatian khusus harus diberikan pada penilaian jalan nafas (airway). Edema
wajah ataupun stridor dapat merupakan indikasi adanya edema pada jalan nafas
sehingga akan membuat intubasi menjadi sulit. 6
Pasien-pasien dengan preeklampsia biasanya adalah hipovolemik dan lebih
cenderung untuk terjadinya hipotensi dengan pemberian anesthesia neuraksial.
Pasien-pasien ini juga beresiko untuk terjadi edema pulmoner; oleh karena itu, hidrasi
yang adekuat harus diberikan. Cairan preload berupa kristaloid sebanyak 500 sampai
1000 mL adalah biasanya cukup pada neuroaksial. Monitoring sentral yang invasif
seperti pemasangan CVC dapat diindikasikan pada pasien yang mengalami edema
pulmoner ataupun oliguria yang tidak responsif dengan pemberian cairan. Monitoring
tekanan darah intra-arteri diindikasikan pada hipertensi yang refraktorik, terutama
jika infus antihipertensi diperlukan. 6
Meskipun preeklampsia dihubungkan dengan retensi air dan sodium yang
berlebihan, hipovolemia dapat terjadi karena perpindahan cairan dan protein ke dalam
kompartemen ekstravaskular. Hubungan terbalik antara volume intravaskular dan
keparahan hipertensi telah ditunjukkan, dan pasien dengan tekanan diastolik sangat
tinggi diharapkan mempunyai CVP yang negatif. Pengembalian volume intravaskular
yang hati-hati dapat menghasilkan perbaikan perfusi jaringan maternal, dimana
dengan pemberian cairan maka terdapat kenaikan pulmonary capillary wedge
pressure dan cardiac index dam penurunan resistensi vaskular perifer dan laju jantung
maternal. Pada keadaan hipertensi, central venous pressure bukan pilihan cara untuk
pengukuran preload. 5
Pemeriksaan laboratorium wajib dilakukan termasuk pemeriksaan darah
lengkap. Peningkatan hematokrit mengindikasikan adanya hipovolemia.
Trombositopenia terjadi pada sekitar 15% pasien preeklampsia. Jumlah trombosit
kurang dari 70.000/mm3 meningkatkan resiko terjadinya hematoma epidural.
Pemeriksaan fungsi trombosit berguna untuk mengevaluasi kelayakan pasien untuk
dilakukan anestesia regional, yaitu jika jumlah trombosit 70.000 sampai
100.000/mm3. 6
Pemeriksaan faal hati, ureum kreatinin adalah esensial untuk menentukan
tingkat keparahan dari preeklampsia atau mendeteksi adanya sindroma HELLP.
Pemeriksaan AGDA dan foto thoraks dilakukan jika terdapat tanda dan gejala edema
pulmoner. 6
2.3.3 Anesthesia Untuk Persalinan Per Vaginam
Persalinan per vaginam pada kehamilan dengan hipertensi dan tidak adanya
fetal distress merupakan rencana anesthesia yang dapat diterima. Seksio cesarea
adalah dibutuhkan jika terdapat fetal distress, dimana merefleksikan suatu perburukan
yang progresif dari sirkulasi uteroplasental. Tanpa memandang teknik anesthesia
yang dipilih, penting untuk melanjutkan monitoring HR fetus sampai operasi dimulai,
terutama jika terdapat fetal distress. 6
Analgesia epidural merupakan teknik yang dipilih sebagai analgesia
persalinan, jika tidak dikontraindikasikan. Anestesia epidural dapat mengurangi level
katekolamin maternal dan dapat memfasilitasi kontrol tekanan darah pada saat
persalinan. Preeklampsia mengganggu perfusi uteroplasenta dikarenakan komponen
vasospastik dari penyakit tersebut. Anestesia epidural dapat memperbaiki aliran darah
intervillous pada peeklampsia, sehingga memperbaiki sirkulasi uteroplasenta dan
sebagai hasil fetus pun semakin baik. 6
Oleh karena pasien ini beresiko untuk dilakukannya seksio cesarea maka
pemasangan epidural lebih awal dapat memfasilitasi penggunaan anesthesia epidural
pada seksio cesarea, sehingga mencegah resiko dilakukannya general anesthesia.
Anestesia epidural dilakukan infus berkelanjutan dari larutan anestesi lokal yang
mengandung ropivacaine atau bupivacaine dikombinasikan dengan opioid, dengan
tetap mempertahankan posisi uterus di sebelah kiri serta monitoring denyut jantung
janin. Oleh karena hipersensitifitas pembuluh darah maternal terhadap katekolamin,
maka larutan anetesi yang dipilih adalah tanpa mengandung epinefrin. 6
2.3.4 Anesthesia Untuk Seksio Cesarea
Epidural Anesthesia
Anesthesia epidural pada pasien dengan preeklampsia-eklampsia memberikan
keuntungan dimana blokade simpatis yang gradual; hal ini memberikan stabilitas
kardiovaskular dan mencegah terjadinya depresi neonatus. Pengurangan vasospasm
dan hipertensi yang didapat menghasilkan aliran darah uteroplasenta yang baik.
Teknik regional ini juga mengurangi resiko terjadinya komplikasi jalan nafas dan
mencegah perubahan hemodinamik yang berhubungan dengan intubasi.
Teknik epidural ini juga memberikan fleksibilitas sebagai contoh untuk seksio
cesarea yang lama. Pada wanita yang memakai tenik ini dengan kateter epidural yang
terpasang untuk persalinan pervaginam, pada saat emergensi untuk dilakukan seksio
cesarea, anesthesia dapat diberikan melalui kateter ini.
Obat-obatan anesthetik yang digunakan harus memberikan blok sensorik
onset cepat dengan durasi aksi yang tepat. Agen yang biasa digunakan termasuk 2-
chloroprocaine, lidocaine, bupivacaine. Jika dibandingkan dengan anesthesia spinal,
dosis anesthetik lokal yang diberikan sangat besar untuk mendapatkan level adekuat
seksio cesarea. Kateter epidural berisiko untuk migras, dan biarpun aspirasi yang
negatif, tidak secara pasti menghilangkan resiko penempatan intravaskular ataupun
intrathecal. Oleh karena volume yang besar dapat berpotensi terjadi toksisitas
anesthetik lokal. Pertama, kateter harus diaspirasi sebelum digunakan dan test dose
yang sesuai harus dilakukan. Kedua, zat anesthetik harus diberikan dalam dosis
terfraksinasi. Terakhir, obat-obatan yang lebih aman (mis, chloroprocaine dan
lidocaine) atau anesthetic lokal amide baru (mis, ropivacaine dan levobupicaine) lebih
dipilih.
Anestesia Spinal
Anestesia spinal secara tradisional cenderung untuk dihindari pada pasien
dengan preeklampsia dikarenakan resiko untuk terjadinya hipotensi berat. Namun,
pada pasien dengan preeklampsia berat, besarnya penurunan tekanan darah maternal
adalah sama setelah pemberian baik anestesia spinal maupun epidural pada seksio
cesarea. Sama seperti pemberian anestesia epidural, pemberian hidrasi intravena yang
dilakukan sebelum anestesia spinal adalah hal yang penting. Tekanan darah sistolik
berkurang lebih dari 30% dari sebelum dilakukan blok, penatalaksanaan yang
diberikan terdiri dari penggeseran uterus ke kiri dan penambahan infus cairan yang
dikombinasikan dengan dosis kecil baik ephedrine (5 mg IV) ataupun phenylephrine
(100 μg IV). Level sensorik T4 merupakan batas yang digunakan untuk seksio
cesarea, tetap diingat bahwa kebutuhan anestesia pada pasien dengan kehamilan
adalah berkurang. Pada sebagian besar instansim bupivacaine (12-15 mg) adalah
adekuat untuk mencapai level sensorik T4 dan 120 menit durasi anestesia. Obat—
obatan opioid seperti, meperidine (10 mg) atau morphine (0,1-0,2 mg) harus
ditambahkan sebagai analgesia postoperative. 6
General Anesthesia
Meskipun penggunaan general anesthesia untuk seksio cesarea secara
dramatis telah menurun dalam dekade terakhir ini, hal ini tetap diperlukan untuk
penanganan beberapa situasi, seperti perdarahan maternal, koagulopati nyata,
kelainan fetal yang mengancam nyawa, atau kasus-kasus pasien menolak untuk
dilakukan anesthesia regional.
General anesthesia diindikasikan pada pasien preeklampsia yang menjalani
seksio cesarea yang menolak untuk dilakukan anestesia regional atau yang
mempunyai penyakit koagulopati. Berdasarkan pengalaman, pasien yang
membutuhkan seksio cesarea untuk fetal distress telah ditangani paling banyak
dengan anestesia umum, dengan alasan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
anestesia regional sangat merugikan fetus. Namun, anestesia spinal yang dapat
dilakukan dengan cepat dapat mencegah efek depresi pernafasan dari obat pada fetus
dan menghindarkan resiko intubasi trakea yang gagal atau sulit. Anestesia umum
dapat dipilih jika perdarahan atau sepsis merupakan alasan untuk dilakukan seksio
cesarea emergensi. Dengan adanya fetal distress, denyut jantung janin harus diawasi
secara terus-menerus ketika akan mempersiapkan induksi anestesia. 6
Resiko anestesia umum pada pasien dengan preeklampsia yaitu sulitnya untuk
dilakukan intubasi dikarenakan adanya edema laring, kemungkinan terjadi aspirasi isi
lambung, peningkatan sensitivitas terhadap obat muscle relaxant nondepolarizing,
peningkatan respon terhadap laringoskop dan intubasi trakea, dan aliran darah
plasenta yang terganggu. Mortalitas anestesia umum pada pasien ini hampir selalu
dikarenakan karena sulitnya managemen jalan nafas ataupun gagalnya intubasi
trakea. 6
Sebelum dilakukan induksi anestesia, sangat penting untuk mengembalikan
volume cairan intravaskular dan kontrol tekanan darah. Induksi anestesia biasanya
digunakan thiopental ditambah dengan succinylcholine untuk memfasilitasi intubasi
trakea. Penggunaan dosis defasciculating obat nondepolarizing muscle relaxant
sebelum pemberian succinylcholine tidak diperlukan, dimana terapi magnesium (yang
merupakan sering digunakan sebagai terapi pada pasien ini) akan memperkuat efek
fasciculation yang dihasilkan succinylcholine. 6
Edema yang berlebihan pada saluran nafas bagian atas dapat mengganggu
visualisasi dari pembukaan glotis, dan pembengkakan dari laring dapat membuat kita
untuk memakai pipa ETT yang lebih kecil. Edema laring biasanya terjadi sebagai
bagian dari edema seluruh tubuh dan wajah yang terjadi pada pereeklampsia; namun
dapat juga terjadi dengan hanya sedikit tanda dan gejala. Penting untuk mencegah
usaha yang berulang untuk pemasangan laringoskop, karena hal ini akan
memperburuk edema yang sudah ada. Pada pasien dengan preeklampsia dengan
gangguann koagulasi, jika ada trauma akibat laringoskop dapat berakibat pada
perdarahan. 6
Respon tekanan darah sistemik terhadap laringoskop direk dan pemasangan
ETT adalah meningkat pada pasien dengan preeklampsia, oleh karena itu
mempertinggi resiko terjadinya perdarahan serebral. Selain itu, pentingnya
menurunkan respon pressor ini adalah dapat terjadi juga peningkatan konsumpsi
oksigen miokardial, aritmia, dan edema pulmoner, begitu juga penurunan signifikan
cari aliran darah ke uterus yang dapat membahayakan janin. Idealnya, short-duration
laringoscopy adalah metode yang paling bagus untuk meminimalisasikan respon
tekanan darah dan denyut jantung akibat pemasangan ETT. Hydralazine (5-10 mg IV
diberikan 10-15 menit sebelum induksi anestesia), labetolol (10-10 mg IV 5-10 menit
sebelum dilakukan induksi anestesia), ataupun nitroglycerin (1-2 μg/kg IV sesaat
sebelum dilakukan pemasangan laringoskop) dapat diberikan untuk mengontrol
respon tekanan darah sistemik ini. 6
Anestesia volatile dosis rendah (0,5-1,0 MAC) dengan atau tanpa 50% NO
dapat digunakan sebagai dosis maintenance. Pada pasien-pasien ini, penentu utama
terjadinya depresi pernafasan janin adalah lamanya interval antara insisi uterus dan
persalinan, dengan durasi anestesia menjadi penting jika hanya dengan pemberian
yang lama (>20 menit) sebelum persalinan. Setelah persalinan, anestesia ditambahkan
dengan opioid. Potensiasi obat muscle relaxant dengan magnesium dapat terjadi, dan
oleh karena itu peripheral nerve stimulator adalah penting untuk pengawasan fungsi
neuromuskular. 6
Teknik General Anesthesia
Menurut Gambling, pertama-tama dapat diberi 30 mL 0,3 M sodium sitrat per
oral dan metoclopramide 10 mg intravena sesaat sebelum induksi anestheisa. Setelah
denitrogenasi, induksi anesthesia dapat dilakukan dengan cara rapid-sequence,
dengan dilakukan penekanan pada krikoid, sampai ETT terpasang dan cuff diinflasi.
Sebelumnya sodium thiopental 4-5 mg/kg (dosis yang lebih tinggi dari biasanya)
untuk induksi anesthesia; namun sekarang, propofol 2 mg/kg telah menggantikan
thiopental, dan lebih sering digunakan. Succinylcholine 1,5 mg/kg dapat diberikan
untuk mendapatkan intubasi yang efektif. ETT no 6 atau 6.5 dapat digunakan pada
kasus edema jalan nafas yang tidak terdeteksi. Rocuronium, vecuronium, ataupun
atracurium dapat juga digunakan sebagai relaksan otot. Untuk mendapatkan
kedalaman anesthesia yang adekuat, dapat diberikan isoflurane 0,7% sampai 1% atau
sevoflurane 1% sampai 2% dalam 50% NO dan 50% O2 sebelum persalinan, untuk
mengontrol hipertensi dan mencegah pasien terbangun. 7
Setelah melahirkan bayi, dapat diberikan fentanyl 3-5 μg/kg secara intravena,
dan konsentrasi dari NO dapat dinaikkan menjadi 66%. Hipertnsi jarang memerlukan
pengobatan setelah persalinan. Faktanya, sesaat setelah persalinan, hipotensi lebih
sering terjadi dibandingkan hipertensi, dengan teknik anesthesia apapun. Magnesium
sulfat dapat diberikan sepanjang anesthesia kecuali sampai terjadi hipotensi. Sebelm
bangun dapat diberikan ondansentron 4 mg dan dexamethasone 4 mg secara intravena
untuk profilaksis mual dan muntah. Morphine 5 sampai 10 mg secara intravena dapat
diberikan sebagai analgesia postoperatif awal. 7
Penanganan Post-Operative
Terapi definitif dari preeklampsia-eklampsia adalah dengan melahirkan janin
dan fetus. Sebelum persalinan, dan selama masa post-partum sesaat sesudahnya,
penanganan adalah suportif dan berfokus pada kontrol tekanan darah, pencegahan
kejang, maintenance perfusi plasenta dan pencegahan komplikasi. Jika komplikasi
dapat dicegah, penyakit ini normalnya akan sembuh sempurna setelah melahirkan.
Transfer ibu ke tertiary center sebelum persalinan harus dipikirkan kiak unti neonatal
level III tidak ada. Wanita hamil dan postpartum mempunyai penanganan yang
khusus dimana tidak semua staff bangsal berpengalaman dengan hal itu. Rujukan ke
ICU sebelum persalinan dapat dilakukan pada kasus-kasus yang berat, atau ketika
bangsal obstetri mempunyai kurang alat dan pengalaman untuk monitoring intensif.
Karena prematuritas merupakan penyebab utama dari morbiditas neonatal,
penanganan neonatus juga merupakan hal yang penting. Setelah persalinan, kasus-
kasus berat harus ditangani di ICU selama 24-72 jam. 7
Pasien biasanya dirujuk ke ICU untuk penanganan postpartum, terutama
setelah persalinan dengan seksio cesarea. Resiko edema pulmoner adalah paling besar
setelah persalinan dan kebanyakan kematian maternal terjadi pada saat itu. Setelah
persalinan, sering terjadi perbaikan awal dengan adanya kambuh dalam 24 jam
pertama. Terapi magnesium harus diteruskan untuk diteruskan untuk 24 sampai 48
jam. Obat-obatan antihipertensi dapat dikurangi sesuai dengan tekanan darah.
Beberapa pasien dapat memerlukan perubahab ke medikasi oral yang perlu
dilanjutkan sampai beberapa minggu. Dukungan psikologis adalah penting, terutama
jika terdapat outcome neonatus yang buruk. Pemulihan penuh dari disfungsi organ
yang terjadi pada preeklampsia-eklampsia biasanya akan normal kembali dalam 6
minggu. 7
Prinsip perawatan post-op atau post-partum pada pasien dengan preeklampsia-
eklampsia adalah: 7
1. Analgesia: Wanita yang menjalani seksio cesarea dapat diberikan opioid
epidural atau intratechal kecuali terdapat kontraindikasi. Pasien dapat
diberikan morfin 2,5 sampai 3,0 mg secara epidural atau 0,1 sampai 0,15
secara intratechal, tanpa memandang terapi yang lain, oleh karena obsrvasi
yang ketat masih harus tetap dilakukan paling sedikit untuk 24 jam.
Pemberian NSAIDs bersamaan dapat memperbaiki dan memperpanjang
analgesia intraspinal opioid setelah seksio cesarea.
2. Balans cairan: Tabel balans cairan pasien harus dibuat secara ketat dan
dipertahankan paling sedikit 24 jam atau sampai diuresis normal. Pemasukan
total tidak boleh melebihi 75 ml/hari sampai kelebihan cairan ekstraseluler
dapat dimobilisasi.
3. MgSO4: MgSO4 dapat diberikan paling sedikit untuk 24 jam postpartum atau
sampai diuresis maternal tercapai. Durasi terapi bervariasi dari satu literatur
ke yang lain dan tampaknya bersifat empiris namun secara tipikal
berhubungan dengan tingkat penyembuhan dari hipertensi, oliguria, dan/atau
koagulopati, begitu juga dengan keadaan umum pasien. Kejang pada
postpartum akhir dapat juga terjadi.
4. Kontrol hemodinamik: hal ini perlu untuk memberikan terapi antihipertensi
untuk mencegah hipertensi rebound ketika pasien mengalami nyeri pasca-
operasi.
Pada beberapa kasus, preeklampsia berat-eklampsia, dengan atau tanpa
sindroma HELLP, menetap lebih dari 24 sampai 48 jam postpartum. Pasien dengan
hipertensi persisten, oliguria, dan trombositopenia mempunyai morbiditas dan
mortalitas yang lebih tinggi, terutama jika kelainan ini tidak dapat diatasi juga dalam
72 sampai 96 jam postpartum.7
BAB 3
LAPORAN KASUS
Seorang wanita 32 tahun dengan berat badan 60 kg, G4P3A0, datang ke IGD
RSHAM, rujukan dari rumah sakit luar dengan keluhan utama kejang. Hal ini dialami
os sejak beberapa jam sebelum masuk RSUP HAM. Pasien telah mengalami empat
kali kejang sebelum masuk RSHAM. Kejang pertama kali terjadi tanggal 20 maret
2011 pukul 07.00 wib di rumah. Pasien kemudian dibawa ke RSU Kisaran dan disana
kejang terjadi sebanyak dua kali dan di IGD RSHAM tanggal 21 Maret 2011 pukul
19.00 wib pasien mengalami kejang lagi sebanyak 1 kali. Riwayat penurunan
kesadaran (+). Riwayat gangguan penglihatan/mata kabur (+) dalam beberapa hari
yang lalu, tidak disertai dengan demam dan riwayat benturan kepala. Riwayat perut
mulas mau melahirkan (-). Riwayat keluar lendir bercampur darah pada kemaluan (-).
Riwayat keluar air banyak (-). BAK dan BAB dalam batas normal.
Riwayat penyakit terdahulu tidak dijumpai
Riwayat pemakaian obat dijumpai yaitu nifedipine 10 mg, infus MgSO4 40% 14 gtt/i
HPHT 25 Juli 2010. TTP 1 Januari 2011 dan ANC sebanyak 6 kali pada bidan.
Riwayat kehamilan:
1. Perempuan, aterm 3400gr lahir di rumah dibantu bidan sekarang berusia 11 tahun
dan sehat.
2. Perempuan, aterm 3000gr lahir di rumah dibantu bidan sekarang berusia 9 tahun
dan sehat.
3. Laki-laki, aterm 3000gr lahir di rumah dibantu bidan sekarang berusia 7 tahun dan
sehat.
4. Hamil sekarang.
TIME SQUENSE
21/03/2011
Masuk RSUP HAM, IGD, pukul 14.12 Wib
21/03/2011, pukul 16.00 Wib
Pasien konsul anestesi untuk dilakukan operasi
21/03/2011, pukul 19.00 WIB
Dilakukan operasi seksio cesarea emergency
Primary Survey
Airway : Clear
Breathing : Spontan
Frekuensi nafas : 32 x/i
Suara Pernafasan : vesikuler
Suara Tambahan : -
Circulation : Akral : hangat/ merah/ kering
Tekanan Darah : 180/100 mmHg
Nadi : 110 x/i ,tekanan/volume: cukup
Disability : Alert
Environment : Edema pretibial (+)
Secondary Survey
B1 : Airway clear, RR: 32 x/men, SP: vesikuler ka=ki, ST: -/-.
Riw. asma(-), batuk(-), alergi(-), sesak(-)
MLP I, JMH>6cm, GL: bebas.
B2 : Akral H/M/K, TD: 180/100 mmHg (setelah diberi Nifedipin 10 mg, pkl.15.00),
HR: 110 x/men, t/v cukup, reg. Temp. 38,9°C
B3 : Sens: CM, pupil isokor, ø 3 mm/3mm, RC +/+, Riw. sakit kepala(+). Kejang
(+), frek.4x , durasi kejang <10 mnt
B4 : UOP(+), vol. 150 cc, warna coklat
B5 : Abdomen membesar asimetris, distensi, DJJ 156m x/I, teregang kanan, terbawah
, TFU 2 jari bawah processus xiphoideus, gerak(+), His(-)
B6 : Oedem pretibial (+)
Status Obstetri
TFU : 28 cm His : (-)
Tegang : kiri DJJ : 165x/i
Terbawah : bokong Eb : 2000-2200 gram
Gerak : (+) VT : serviks tetutup (setelah pemberian regim MgSO4)
Hasil Lab Tanggal 21 Maret 2011
Darah rutin: Hb 11,3 g/dl, Leukosit 17.400/mm3, Ht: 33,7 %, Trombosit
179.000/mm3.
RFT: Ureum 30 mg/dL, Kreatinin 1,25 mg/dL, Asam urat 9,0 mg/dL
LFT: SGOT 71 IU/L, SGPT 25 IU/L, Alkali Fosfatase 86 IU/L, bilirubin total 1,89
mg/dl, bilirubin direk 1,14 mg/dl, albumin 2,2 g/dL
KGD adrandom: 153 mg/dl
Elektrolit: Na/K/Cl : 138/4,2/103
Faal hemostasis: PT/INR/aPTT/TT : 15,2(12,6)/1,21/33,8(31,6)/13,4(12)
AGDA: pH 7,299; pCO2 33,5; pO2 132,3; HCO3 16,1; Total CO2 17,1; BE -9,2;
Saturasi O2 98,5%
Diagnosa sementara :
Eklampsia + MG + KDR (32-34 mg) + LS + AH + belum inpartu
Penanganan di IGD:
- Pertahankan jalan napas agar tetap bebas.
- Tongue spatula terpasang
- Oksigen 4 L/menit.
- Infus terpasang dua jalur dengan abbocath no.18G, diberikan cairan Ringer
Laktat. .
- Pemasangan NGT dan kateter urine
- MgSO4 : Loading dose 40% (10 cc) 4 gr/ bolus IV perlahan
Maintenance dose 40% (30cc) dalam 500 cc RL 1 gr/jam, 14
gtt/i
- Inj Dexamethason 15 mg IM
- Nifedipine 10 mg/15 menit, maksimal dose 120 mg/hari
- Inj Cefotaxime 1gr/IV, skin test dahulu
- R/ stabilisasi selama 4-6 jam dan terminasi kehamilan secara SC
- Pemeriksaan laboratorium
Konsul Kardiologi tanggal 21/03/2011
Kesan : Sinus Takikardia
Berdasarkan pembacaan EKG pasien dikategorikan ’Low risk’ untuk tindakan operasi
Operasi:
Tindakan : SC emergency
Anestesi : GA-ETT
ASA : 3E
Posisi : Supine
Pemeriksaan Fisik Pra-Anesthesia
B1 : Airway clear, RR: 28 x/men, SP: vesikuler ka=ki, ST: -/-.
Riw. asma(-), batuk(-), alergi(-), sesak(-)
MLP I, JMH>6cm, GL: bebas.
B2 : Akral H/M/K, TD: 160/100 mmHg, HR: 130 x/men, t/v cukup, reg. Temp.
38,7°C
B3 : Sens: CM, pupil isokor, ø 3 mm/3mm, RC +/+, Riw. sakit kepala(+). Kejang
(+), frek.4x , durasi kejang <10 mnt
B4 : UOP(+), vol. 150 cc, warna coklat
B5 : Abdomen membesar asimetris, distensi, DJJ 170 x/I, teregang kanan, terbawah ,
TFU 2 jari bawah processus xiphoideus, gerak(+), His(-)
B6 : Oedem pretibial (+)
Persiapan Alat : Intubasi set dewasa ETT 6,5 dan 7,0
Intubasi set bayi, ETT 2,5 non cuff
Infus set mikro Suction set bayi, nasal canul dan
ambu bag bayi
Persiapan obat GA ETT
Persiapan obat emergensi
Teknik Anestesi
1. Head up 30°
2. Suction aktif
3. Premedikasi: fentanyl 50 μg
4. Oksigensi O2 4 L/i
5. Induksi propofol 120 mg (titrasi), eye lid reflex (-), sellick manuver
6. Inj. Roculax 50 mg
7. Intubasi dengan ETT no 6.5, Cuff (+), SP ka=ki, fiksasi, maintenance O2 4L/i
8. Maintenance (setelah delivery) O2 2 L, N2O 2 L, Isoflurane 0,5-1 %
Durante Operasi
- Hemodinamik:
TD = 120 – 172/ 68 – 109 mmHg
HR = 96 – 130 x/i
RR = 14 x/i
- Saturasi O2 : 95 – 100 %
- Cairan :
Pre-Op = 500 cc RL
Durante-Op = 1000 cc RL + HES 500 cc
- Perdarahan : + 800 cc
- Maintenance + penguapan : + 620 cc
- UOP = 100 cc/1 jam
- Keadaan bayi: Apgar Score = 3/8, laki-laki, 1900 gr, 44 cm, anus (+)
- Delivery time = 8 menit
- Lama operasi = 1 jam 40 menit
Post-Operasi
B1: Airway: clear , RR: 22x/i,Suara pernafasan: vesikular ka=ki, ST : -, SpO2 99%
B2: Akral: d/p/k, TD: 144/86 mmHg, HR: 98 x/men, t/v kuat/cukup, reg,
B3: Sens: CM, pupil isokor Φ 3 mm/3 mm, RC +/+
B4: UOP (+), vol. 100 cc/jam, warna kuning pekat.
B5: Abdomen soepel, peristaltik (+), luka operasi tertutup verband, mual(-), muntah
(-)
B6: Oedem pretibial (-)
Rencana Post-Op
- Bed rest, head up 30˚
- Nasal canul 2 l/i
- Diet MSS
- IVFD RL + MgSO4 40% 30cc (12gr) 14 gtt/I
- IVFD RL+Oksitosin 10-5-5
- Inj. Ampicillin 1gr/12 jam/IV
- Inj. Gentamycin 80 mg/12 jam/IV
- Inj. Ketorolac 30mg/8jam/IV
- Inj. Tramadol 100 mg/8 jam/IV
- Inj.Ranitidin 50 mg/12 jam
Follow Up Pasca Bedah
22 Maret 2011
S : -
O : B1 : airway : clear, RR 20x/I, suara pernafasan vesicular, ST; -/-
B2 : akral H/M/K, TD : 150/100 HR : 110x/I, t/v cukup
B3 : Sens CM, pupil isokor, diameter 3mm/3mm
B4 : UOP (+), Vol 50cc/I warna kuning.
B5 : abdomen soepel. Peristaltik (+), luka operasi tertutup perban
B6 : oedem +/+
A : Post SC d/t eclampsia = MG + AH (H-2)
P :
- Bed rest, head up 30
- Diet MB 1800 kkal, 60 gr protein/hari
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ketorolak 30mg /8 jam /IV
- Inj. Tramadol 100 mg/12 jam/IV
- Inj. Ampicillin 1gr/8jam/iv
- Inj. Gentamycin 80mg/12 jam
- Nifedipine 3x10mg
- HCT 2x25 mg
- IVFD RL + MgSO4 40% (30cc) 20gtt/i
- IVFD RL + Oxytoxin 10-5-5 20gtt/i
- R/pasang CVC
Koreksi Albumin : (3,5-2,2) x 0,8 x 60 = 60 = 3 fls albumin = 1 fls/hari
Konsul Neurologi 22 Maret 2011
Tidak dijumpai keluhan kelainan neurologis.
Konsul Mata 22 Maret 2011
Funduscopy normal
23 Maret 2011
S : -
O : B1 : airway : clear, RR 20x/I, suara pernafasan: vesicular, ST; -/-, SpO2 : 98%
B2 : akral H/M/K, TD : 160/110 HR : 84x/I, t/v cukup, CVP: 13 cmH2O
B3 : Sens: CM, pupil isokor, diameter 3mm/3mm
B4 : UOP (+), Vol 100cc/jam, warna kuning.
B5 : abdomen sopel, Peristaltik (+), luka operasi tertutup perban
B6 : oedem +/+
A : Post SC d/t eclampsia + MG + AH (H-2)
P :
- Diet MB 1800 kkal, 60 gr protein/hari
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ketorolac 30mg /8 jam /IV
- Inj. Tramadol 100 mg/8 jam/IV
- Inj. Ampicillin 1gr/8jam/iv
- Inj. Gentamycin 80mg/12 jam
- IVFD RL + MgSO4 40% (30cc) 20gtt/i
- IVFD RL + Oxytoxin 10-8-8, 10gtt/i
Pada tanggal 24 Maret 2011 pasien dipindahkan ke ruangan RB2 (obgyn) untuk
dirawat di bangsal.
BAB 4
DISKUSI
Pasien wanita 32 tahun datang dengan keluhan utama kejang yang dialami
sejak beberapa jam sebelumnya. Pasien telah mengalami empat kali kejang sebelum
masuk. Riwayat penurunan kesadaran dijumpai. Riwayat gangguan penglihatan/mata
kabur dijumpai sejak beberapa hari yang lalu. Saat ini merupakan kehamilannya yang
ke-4 (G4P3A0).
Dari pemeriksaan fisik dijumpai tekanan darah os 180/100, dengan RR
32x/menit, HR 110x/ menit, sensorium compos mentis, pada saat di IGD dijumpai
kejang sebanyak 2x dengan durasi < 10 menit, pada abdomen perut membesar
asimetris, distensi, dengan bagian terbawah bokong, tinggi fundus uteri 2 jari di
bawah prosesus xiphoideus, gerak dijumpai, his tidak dijumpai, denyut jantung janin
156x/menit, pada tungkai dijumpai oedem pretibial. Berdasarkan hal-hal ini pasien
didiagnosa dengan eklampsia.
Eklampsia merupakan suatu keadaan yang gawat darurat yang dapat
mengancam jiwa baik ibu maupun janin, dimana pada ibu beresiko terjadi perdarahan
serebral dan edema pulmoner yang bisa berakibat fatal, dan pada bayi bisa terjadi
fetal distress. Penanganan awal di IGD, sama seperti pasien gawat darurat lainnya,
jalan nafas harus kita pertahankankan adekuat, kemudian kita beri oksigenasi yang
cukup, serta pasang IV line dan kateter urine. Pada saat di IGD terjadi kejang, maka
jalan nafas kita pertahankan, selain itu untuk mencegah cedera, maka pada lidah
dipasang tongue spatula. Selanjutnya, kejang harus diatasi dan cegah supaya tidak
berulang, dimana untuk pasien eklampsia, drug of choice nya adalah pemberian
Magnesium sulfat secara intravena dengan loading dose sebesar 4-6 g selama 20
menit diikuti dengan maintenance dose sebesar 1-2 g/jam dalam bentuk drip infus,
pada pasien ini diberi magnesium sulfat 40% dengan loading dose 4 gr (10cc) IV
diberi perlahan, serta maintenance dose 1 gr/jam magnesium sulfat 40% 30 cc dalam
500 cc RL 14 gtt/ menit.
Selanjutnya tekanan darah kita kontrol, pada pasien ini diberikan Nifedipine
10 mg setiap 15 menit dengan dosis maksimal 120 mg/hari. Karena pasien ini
direncanakan akan diterminasi kehamilannya, maka untuk maturasi janin diberi
dexamethason 15 mg intramuskular. Untuk mengatasi sepsis yang juga terjadi
ditandai dengan takikardia, takipnea, dan leukositosis pada pasien ini maka diberi
antibiotik empirik dengan spektrum luas yaitu Cefotaxime 1gr per 8 jam secara
intravena.
Terapi definitif dari eklampsia adalah dengan melahirkan janin, maka pada
pasien ini direncanakan dilakukan persalinan dengan cara seksio cesarea emergency
setelah pasien stabil. Untuk tindakan anestesi dipilih dengan general anesthesia
dengan pemasangan ETT. Pasien berdasarkan status fisik diklasifikasikan sebagai
ASA 3E yaitu dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas rutin terbatas karena
keluhan tersebut. Untuk prosedur anestesi, head up terlebih dahulu, suction aktif,
premedikasi dngan fentanyl 50μg, oksigenasi 4l/menit, induksi dengan propofol 120
mg, beri muscle relaxant rocuronium (Roculax) 50 mg, kemudian dilakukan intubasi
dengan ETT no 6.5, maintenance O2 4L/i, kemudian maintenance (setelah delivery)
dengan O2 2 L, N2O 2 L, Isoflurane 0,5-1 %. Operasi berlangsung 1 jam 40 menit,
dengan insisi pada menit ke-5, dan delivery pada menit ke-18, dengan bayi laki-laki
1900 gr, 44 cm, dengan apgar score 4/8. Durante operasi, tekanan darah berkisar 120
– 172/ 68 – 109 mmHg, heart rate berkisar 96 – 130 x/i , saturasi O2 berkisar 95 –
100 %, cairan yang digunakan selama pre-op 500 cc RL dan durante-op 1000 cc RL
di tangn kanan, dan HES 500 cc di tangan kiri, perdarahan yang terjadi sebanyak +
800 cc, dengan urine output sebesar 100 cc per jam.
Setelah operasi, pasien kesan stabil dengan hemodinamik respiratory rate 22
x/menit, heart rate 98x/menit, tekanan darah 144/86 mmHg, saturasi O2 99%,
kesadaran kompos mentis, urin 100 cc/jam. Pasien kemudian dipindahkan ke ICU
pasca bedah untuk perawatan intensif post-operasi dengan rencana terapi pemberian
MgSO4 lanjutan dosis maintenance untuk mencegah rekurensi pasca persalinan,
pemberian oksitosin untuk mencegah perdarahan dari uterus, pengendalian infeksi
dengan antibiotik ampicillin dan gentamisin intravena untuk mencakup bakteri gram
positif dan negatif, pemberian analgesik kombinasi dengan ketorolac dan tramadol
untuk mengatasi nyeri post-op. Setelah dirawat selama 2 hari di ICU pasien dapat
dipindahkan ke bangsal.
BAB 5
KESIMPULAN
Eklampsia adalah keadaan klinis yang ditandai dengan kejang atau konvulsi
yang tidak dapat dijelaskan ataupun perubahan status mental dengan adanya tanda
dan gejala dari preeklampsia. Eklampsia merupakan salah satu penyebab tersering
dari kematian ibu diseluruh dunia.
Penanganan eklampsia meliputi mempertahankan jalan nafas, oksigenasi,
serta oksigenasi yang cukup, mengatasi kejang dengan pemberian Mg SO4,
mengontrol tekanan darah dengan obat-obat pilihan seperti labetolol, hidralazine dan
nifedifine. Terapi definitif adalah persalinan, dimana dalam keadaan darurat dapat
dilakukan seksio cesarea. Anestesia yang digunakan meliputi epidural, spinal dan
general anesthesia sesuai indikasi. Untuk post-operasi, hemodinamik tetap dijaga,
dimana pemberian MgSO4 tetap dilanjutkan sampai 48-72 jam, pemberian
antihipertensi sampai tekanan darah terkontrol, serta pemberian analgetik untuk nyeri
pasca operasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ross, M. G., Eclampsia. Departement of Obstetrics and Gynecology, Harbor-
UCLA Medical Center. 2010. Available From:
http://emedicine.medscape.com/article/253960-overview
1. Cheng, A. Y., Kwan, A., Perioperative Management of Intra-Partum Seizure.
Anaesth Intensive Care 1997;25:535-538.
2. Birnbach, D. J., Browne, I. M., Anesthesia for Obstetrics. In: Miller, R. D.,
Miller’s Anesthesia 7th Edition. San Fransisco: Churchill Livingstone Elsevier.
2010.
3. Guy, A. M., Silverberg, M. A., Pregnancy, Eclampsia. Departement of
Emergency, State University of New York Downstate Medical Center. 2009.
Available From:
http://emedicine.medscape.com/article/797603-overview
4. Braveman, F. R., Scavone, B. M., Wong, C. A., Obstetrical
Anesthesia.Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock,
M. C., Clinical Anesthesia 7th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2009.1149-1154.
5. Braveman, F. R., Pregnancy-Associated Diseases. In: Hines, R. L., Marschall,
K. E., Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease 5th Edition. Philadelphia:
Churchill Livingstone. 2008.
6. Kee, W. D. N., Gin, T., In: Bersten, A. D., Soni, N., Oh’s Intensive Care
Manual 6th Edition. Butterworth Philadelphia: Heinemann Elsevier. 2009. 665-
670.
7. Gambling, D. R., Hypertensive Disorders. In: Chestnut, D. H., Obstetric
Anesthesia Principles and Practice 3rd Edition. Philadelphia: Elsevier. 2004.