Eklampsia Master
-
Upload
irene-djedoma -
Category
Documents
-
view
155 -
download
4
Transcript of Eklampsia Master
BAB I
PENDAHULUAN
Eklampsia merupakan suatu kondisi obstetrik penting yang menyebabkan mortalitas dan
morbiditas ibu di seluruh dunia. Dilaporkan ada sekitar 50.000 kematian ibu setiap tahun di
seluruh dunia oleh karena eklampsia.1 Angka kejadian pre-eklampsia dan eklampsia di
dunia menurut WHO sekitar 0,51–3,84%, sedangkan di Indonesia angka kejadian pre-
eklampsia dan eklampsia di beberapa rumah sakit pendidikan sangat bervariasi berkisar
antara 3,4–8,5 %.2 Sampai saat ini belum diketahui dengan jelas penyebab pre-eklampsia,
namun beberapa teori tentang patogenesis pre-eklampsia telah diajukan oleh banyak ahli
diantaranya teori iskemik plasenta, radikal bebas, kerusakan endotel, dan teori diet yang
dapat digunakan untuk mencegah semakin beratnya penyakit. Demikian pula halnya
dengan teori terjadinya kejang pada pre-eklampsia yang sampai saat ini belum jelas
diketahui.3 Hal ini menyebabkan kejadian kejang pada pre-eklampsia sulit diprediksi,
seperti yang dilaporkan oleh Mushambi (1996) dimana 38% eklampsia terjadi tanpa
prodroma yang dikenal sebagai tanda imminent eklampsia. Demikian pula hubungan
kejang dengan tingginya tekanan darah yang tidak relevan.4 Manifestasi nerologis
eklampsia sama dengan manifestasi klinis ensefalopati hipertensif, yaitu sakit kepala,
perubahan visus, gangguan kesadaran, dan akhirnya kejang. Pada pencitraan otak dari
penderita eklampsia ditemukan adanya edema di daerah korteks serebri, terutama di lobus
oksipitalis. Patologi tersebut terjadi karena meningkatnya secara tiba-tiba tekanan darah
sehingga mengganggu sistem otoregulasi otak, meskipun masih terdapat kontroversi
apakah kejang pada eklampsia hanya disebabkan karena peningkatan tekanan darah yang
berakibat vasopasme pembuluh darah otak, ataukah ada mekanisme lainnya. Hal ini karena
tidak semua eklampsia berasal dari pre-eklampsia berat dan tidak semua penderita
mengalami tanda klinis imminent eklampsia.3,5 MgSO4 sebagai terapi untuk mencegah dan
menghilangkan kejang yang sedang berlangsung, telah diakui sebagai obat yang efektif,
meskipun dosis dan cara pemberiannya masih tidak seragam.6 Berikut ini akan diuraikan
1
sebuah kasus eklampsia, dari segi faktor predisposisi, cara mendiagnosis, penatalaksanaan,
dan prognosis eklampsia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Eklampsia adalah kelainan akut pada ibu hamil, saat hamil tua, persalinan atau masa
nifas ditandai dengan timbulnya kejang atau koma, dimana sebelumnya sudah
menunjukkan gejala-gejala pre-eklampsia (hipertensi, edema, proteinuria).7
2.2 Faktor Risiko
Risiko adalah ciri yang dimiliki oleh seseorang yang dapat atau berhubungan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas. Pada preeklamsia telah dikenal beberapa
faktor risiko.2,3,4,8
Risiko yang berhubungan dengan kehamilan :
Primigravida
Umur yang ekstrim (terlalu muda atau terlalu tua) untuk kehamilan
Kehamilan multipel
Mola hidatidosa
Infeksi saluran kencing pada kehamilan
Hydrops fetalis
Risiko yang berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu dan riwayat penyakit
keluarga :
Riwayat pernah pre-eklampsia
Hipertensi kronis
Penyakit ginjal
Obesitas
3
Diabetes gestasional, diabetes mellitus tipe I
Antiphospholipid antibodies dan hiperhomocysteinemia.
2.3 Epidemiologi
Eklampsia merupakan penyebab utama kematian maternal dan perinatal di dunia.
Maternal mortality rate kira-kira 4,2%. Perinatal mortality rate lebih tinggi, dengan
rentang 13%-30%.6 Angka kejadian pre-eklampsia berat dan eklampsia di dunia
menurut WHO sekitar 0,51–3,84%, sedangkan di Indonesia angka kejadian pre-
eklampsia-eklampsia di beberapa rumah sakit pendidikan sangat bervariasi berkisar
antara 3,4-8,5 %. Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar, Ardhana K & Suwardewa TGA
(1997) mendapatkan angka kejadian pre-eklampsia berat sebesar 1,82%, dan angka
kejadian eklampsia sebesar 0,25%. Wirawan & Jaya Kusuma (2000) mendapatkan
angka kejadian pre-eklampsia sebesar 3,86%. Penelitian Darmaja & Suwardewa TGA
(2001) mendapatkan angka kejadian eklampsia sebesar 0,42%.2 Di negara yang telah
berkembang, kejadian eklampsia lebih jarang terjadi, hal ini disebabkan karena
adanya perbaikan kualitas pelayanan antenatal dan makin baiknya fasilitas pelayanan
kesehatan di tempat itu.8 Eklampsia dapat terjadi antepartum (50%), intrapartum
(25%), atau post partum (25%).3 Penderita dengan eklampsia memiliki tanda dan
gejala yang luas, dari hipertensi ringan sampai kegagalan multiorgan. Sebagian besar
(64,5%) eklampsia mengalami gejala dan tanda imminent eklampsia sebelum kejang,
dengan gejala yang paling banyak adalah sakit kepala.9
2.4 Patogenesis
Sampai saat ini mekanisme kejang pada eklampsia belum jelas, apakah disebabkan
oleh karena tekanan darah yang tinggi atau adanya mekanisme lainnya yaitu
kebocoran pembuluh darah kapiler serebri yang mengakibatkan ekstravasasi plasma
ke jaringan otak sehingga menyebabkan kejang. Terjadinya hipertensi pada penderita
pre-eklampsia-eklampsia diawali dengan gagalnya proses remodeling arteria spiralis.
Seperti diketahui bahwa pembentukan plasenta melalui proses proliferasi, migrasi dan
invasi tropoblas ke dalam desidua (interstitial) dan ke dalam lumen arteria spiralis
4
(invasi endovaskular). Permulaan dari proses ini sudah terjadi pada umur kehamilan
4-6 minggu, yang akan berakhir pada umur kehamilan 16-20 minggu. Hasil akhir dari
proses ini adalah lapisan muskularis, endotel dan lamina elastik internal diganti oleh
sel sel tropoblas sehingga lumen arteria spiralis menjadi lebar dan elastis, yang
menimbulkan aliran darah yang besar ke plasenta. Pada kehamilan normal
vasodilatasi lumen arteria spiralis ini dapat meningkatkan aliran darah uteroplasenta
sampai 10 kali lipat. 3,4
Pada pre-eklampsia terjadi maladaptasi invasi tropoblast oleh berbagai faktor
sehingga sirkulasi ruang intervilus menjadi tidak adekuat. Keadaan ini menimbulkan
stres oksidatif kronis pada plasenta, yang kemudian menghasilkan banyak ROS
(Reactive Oxygen Species). Interaksi radikal bebas dengan asam lemak tak jenuh pada
membran sel endotel menghasilkan peroksida lipid yang menyebabkan disfungsi
endotel. Endotel merupakan organ terluas dalam tubuh yang memiliki berbagai
fungsi. Selain barier mekanik intra dan ekstra vaskuler, endotel berperan dalam
mengendalikan aliran darah dan tahanan perifer melalui mediator kimiawi yang
dihasilkannya yaitu Nitric Oxide (NO), Prostasiklin (PGI2) dan Endothelial Deriving
Hyperpolarizing Factor (EDHF) yang kesemuanya merupakan vasodilator yang kuat.
Pada kehamilan normal terjadi peningkatan aktifitas Nitric Oxyde Syntase (NOS) dan
Cyclooxygenase (COX) sehingga terjadi peningkatan produksi NO dan PGI2. NO
mengaktivasi cGMP, demikian juga PGI2 mengaktivasi cAMP di dalam otot polos
vaskuler. Secara bersamaan juga terjadi penurunan kalsium intraseluler dan
sensitivitas sel terhadap Ca2+. EDHF yang dihasilkan oleh sel endotel juga membuka
K+ channels yang menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi membran sel. Semua
proses tersebut menyebabkan terjadinya relaksasi sel otot polos vaskuler, penurunan
tahanan perifer dan penurunan tekanan darah.3,4
Pada disfungsi endotel yang disebabkan oleh pre-eklampsia terjadi
penghambatan aktifitas NOS, sehingga produksi NO menurun. Demikian juga faktor
dari plasenta mengakibatkan terlepasnya Endotelin-1 (ET1) dan tromboksan A2
(TXA2) yang merupakan suatu endothelium deriving contracting factor yang
5
menyebabkan kontraksi otot polos vaskuler. Secara bersamaan juga terjadi aktivasi
Renin Angiotensin System (RAS) di ginjal sehingga terjadi pelepasan Angiotensin II .
Semua substansi diatas bersama-sama mengaktivasi reseptor spesifik di sel otot polos
vaskuler yang menyebabkan peningkatan Ca2+ intrasel, aktivasi Protein Kinase C
(PKC) yang akhirnya menyebabkan peningkatan konstriksi pembuluh darah, dan
menimbulkan manifestasi klinis hipertensi dan tahanan perifer yang meningkat.3,5
Mekanisme terjadinya kejang pada eklampsia belum jelas. Secara patologis
pada jaringan otak ditemukan tanda-tanda yang sama dengan jaringan otak yang
mengalami suatu ensefalopati hipertensif. Kelainan itu adalah nekrosis fibrinoid,
trombosis arteriola, mikroinfark dan perdarahan petekia. Ensefalopati hipertensif
adalah suatu sindroma klinik subakut yang ditandai oleh sakit kepala, gangguan visus
dan kejang serta tanda tanda neurologis lainnya sperti perubahan mental, dan fokal
neurologik yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah. Sindroma ini
biasanya bersifat reversibel ketika tekanan darah segera diturunkan, namun bisa fatal
6
Gambar 1. Implantasi normal plasenta pada trimester ketiga dibandingkan dengan
defek implantasi yang menyebabkan terjadinya preeklampsia
kehamilan dan restriksi pertumbuhan janin intrauterin.
bila tanda tanda klinis ini tidak diketahui. Pembuluh darah serebral mempunyai
kemampuan untuk mengatur aliran darahnya sendiri, dimana sistem regulasi itu
dikenal sebagai cerebral autoregulation. Perfusi cerebral akan dipertahankan oleh
sistem tersebut, sehingga kecepatan aliran darah serebral tetap sebesar 50-55
ml/menit/100gr jaringan otak. Untuk mempertahankan kondisi tersebut maka
pembuluh darah serebral yang mempunyai komponen miogenik dan neurogenik itu
akan dilatasi bila tekanan darah turun, demikian juga sebaliknya bila tekanan darah
meningkat. Keadaan itu tercapai pada range tekanan darah yang lebar, dan dapat
diukur dengan mean arterial blood pressure (MABP) sebesar 60-120 mmHg.3,4
Pada pre-eklampsia tanda-tanda ensefalopati hipertensif tersebut merupakan
gejala dari imminent eklampsia atau impending eklampsia. Ada 2 teori terjadinya
ensefalopati hipertensif, yang pertama adanya spasme pembuluh darah serebral
sebagai respon terhadap adanya hipertensi akut atau peningkatan tekanan darah yang
tiba-tiba. Vasospasme ini menyebabkan ischemic injury, nekrosis arteriolar dan
disrupsi dari blood brain barier sehingga menyebabkan terjadinya edema sitotoksik.
Teori kedua menyatakan bahwa sindrom itu berasal dari adanya breakthrough dari
sistem otoregulasi otak sehingga menyebabkan dilatasi berlebihan. Awalnya terjadi
vasospame pada pembuluh darah, kemudian terjadi overdistensi pasif dari pembuluh
darah serebral yang akhirnya menyebabkan nekrosis muskularis pembuluh darah dan
rusaknya dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan bocornya cairan ke
jaringan sekitarnya. Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik. Kombinasi
dua mekanisme ini lebih beralasan dalam mekanisme terjadi eklampsia. Jadi, sindrom
eklamsia menyebabkan aktivasi endotelial yang berhubungan dengan kebocoran sel
interendotelial yang terjadi pada tekanan darah yang lebih rendah dibandingkan yang
menyebabkan edema vasogenik dan telah kehilangan batas autoregulasinya. Hal ini
dikenal sebagai posterior reversible encelopathy syndrome-PRES.
Hasil akhir dari mekanisme tersebut adalah terjadinya edema serebri fokal.
Inervasi saraf simpatis pada arterola serebral melindungi otak terhadap peningkatan
tekanan darah dan kerusakan komponen miogenik akibat disfungsi endotel, namun
7
proteksi itu lebih banyak terjadi di bagian anterior, sedangkan di bagian posterior
arteria serebralis posterior tidak, sehingga pada keadaan breakthrough sistem
autoregulasi itu maka daerah serebral yang sering mengalami kerusakan adalah di
daerah lobus oksipital dan bagian otak di posterior lainnya. Hal ini yang
menyebabkan timbulnya gangguan visus sampai kebutaan atau disebut cortical
blindness.3,4
Batas atas dari MABP bervariasi antara individu. Pada seorang yang
sebelumnya tidak menderita hipertensi, peningkatan MABP diatas 125 mmHg sudah
menimbulkan tanda-tanda ensefalopati hipertensif, sedangkan pada seseorang yang
mengalami hipertensi kronik, terjadi hipertropi medialis pada pembuluh darah
serebral, sehingga MABP menjadi lebih tinggi, dan dibutuhkan tekanan darah yang
lebih tinggi lagi untuk menimbulkan ensefalopati hipertensif. Misalnya seorang
primigravida yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal, bisa mengalami
kejang pada saat tekanan darahnya naik menjadi 180/120 mmHg, namun pada
penderita lain dengan hipertensi kronik pada tekanan darah tersebut bisa
asimptomatik atau hanya mengalami sedikit keluhan sakit kepala yang tidak berarti.3,4
Walaupun patologi otak pada penderita eklampsia menunjukkan bukti adanya
ensefalopati hipertensif seperti nekrosis fibrinoid pada arteriola serebral, trombosis,
mikroinfark dan perdarahan petekia, namun hal ini saja tidak dapat menerangkan
secara keseluruhan patologi susunan saraf pusat, seperti misalnya adanya perdarahan
retina, eksudat dan papil edema yang merupakan tanda khas dari ensefalopati
hipertensif, pada eklampsia kelainan tersebut jarang dijumpai. Juga hubungannya
dengan tingginya tekanan darah yang tidak relevan, dimana sebanyak 20% dari
eklampsia ternyata berasal dari hipertensi ringan dengan tekanan darah 140/90
mmHg. Karena itu patogenesis eklampsia sampai saat ini tidak sepenuhnya dapat
dimengerti, tetapi walaupun demikian plasenta, ginjal dan otak merupakan organ
yang sering mengalami perubahan patologik akibat disfungsi endotel.3,4
2.5 Manifestasi Klinis dan Diagnosis
8
Diagnosis eklampsia dibuat berdasarkan adanya kejang yang bersifat umum, sekali
atau lebih diikuti atau tidak dengan koma, dan tidak ditemukan adanya kondisi
neurologis lainnya yang berhubungan dengan kejang tersebut. Kejang pada eklampsia
biasanya berlangsung 60-75 detik dan tidak lebih dari 3-4 menit. Tergantung dari
waktu terjadinya, eklampsia bisa terjadi antepartum, intrapartum dan post partum.
Eklampsia sebagian besar didahului oleh tanda tanda prodroma yang kita sebut
dengan tanda tanda imiment eklampsia atau impending eklampsia. Tanda-tanda
tersebut sesuai dengan tanda-tanda ensefalopati hipertensif.3
Kejang pada eklampsia dibagi menjadi 4 fase yaitu10 :
Fase 1. Tingkat awal atau aura. Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata
penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar, demikian pula tangan dan
kepala yang berputar ke kanan dan kiri.
Fase 2. Kemudian timbul tingkat kekejangan tonik yang berlangsung kurang lebih 30
detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku sehingga wajah terlihat kaku,
tangan menggenggam dan kaki membengkok ke dalam. Pernafasan berhenti, muka
mulai menjadi sianotik. Lidah dapat tergigit.
Fase 3. Stadium ini kemudian disusul tingkat kekejangan klonik yang berlangsung
antara 1-2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan berulang-
ulang dalam tempo waktu yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat
tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka
menunjukkan kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tidak sadar. Kejang ini dapat
sedemikian hebatnya, sehingga seringkali tubuh penderita terjatuh dari tempat tidur.
Akhirnya, kejang berhenti dan penderita menarik nafas secara mendengkur.
Fase 4. Penderita memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu
sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi
pula bahwa sebelum itu muncul serangan baru dan berulang, sehingga penderita tetap
dalam koma.
9
Penderita juga dapat mengalami kenaikan suhu tubuh sampai di atas 39°C
yang disebabkan karena perdarahan intraserebral, dimana kenaikan suhu tubuh ini
merupakan salah satu tanda prognosis yang buruk. Pada eklampsia yang terjadi
antepartum, bisa timbul tanda-tanda persalinan, demikian juga pada eklampsia yang
terjadi intrapartum, kontraksi yang sudah ada bisa bertambah kuat, sehingga harus
diwaspadai terjadinya solusio plasenta, terutama bila disertai dengan fetal bradikardia
yang lebih dari 5 menit. Keadaan berbahaya lainnya yang bisa mengikuti kejang
adalah adanya edema paru. Edema paru merupakan salah satu komplikasi akut
eklampsia. Edema paru adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada interstitial paru
dan ruang alveoli. Keadaan ini merupakan komplikasi akut eklampsia, yang bisa
terjadi bersamaan atau segera setelah kejang berlangsung. Tanda penting dari edema
paru adalah sesak nafas dan pada pemeriksaan fisik paru didapatkan ronkhi pada
paru. Edema paru disebabkan karena aspirasi pneumonitis atau karena gagal jantung.
Selain edema paru komplikasi lainnya adalah keluhan tentang hilangnya penglihatan
pada penderita eklampsia (cortical blindness) yang terjadi sekitar 10% dari kasus pre-
eklampsia dan eklampsia. Kebutaan ini disebabkan oleh ablasio retina atau iskemia
lobus optikus. Keadaan ini biasanya reversibel dan penglihatan kembali normal
beberapa saat sampai 1 minggu setelah melahirkan.4
2.6 Komplikasi
Munro (2000) melaporkan beberapa komplikasi eklampsia yang terjadi pada pengamatan
sebanyak 383 penderita eklamsia di Southern General Hospital, Glasgow tahun 1999
sebagai berikut11:
Depresi pernafasan (87) 23 %
DIC (33) 9 %
Sindrom HELLP (27) 7 %
Gagal ginjal (24) 6 %
Edema paru (18) 5 %
ARDS (7 ) 1,8%
10
CVA (7) 1,8%
Gagal jantung (6) 1,6 %
Kematian (6) 1,6 %
2.7 Diagnosis Banding
Beberapa kondisi klinis yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding eklampsia adalah
sebagai berikut12 :
Penyakit serebrovaskular : perdarahan intraserebral, thrombosis arteri serebral
Penyakit hipertensi : ensefalopati hipertensif, pheochromcytoma
Space-occupying lesion : tumor atau abses otak
Gangguan metabolik : hipoglikemia, uremia
Infeksi : meningitis, encephalitis
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk menunjang diagnosis eklampsia
adalah, sebagai berikut :
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Hitung trombosit
3. Elektrolit
4. Protein kuantitatif
5. Fungsi liver
6. Blood smear
7. Asam urat
8. Glukosa serum
Pemeriksaan elektromedik yang diperlukan adalah pemeriksaan CT scan kepala tanpa
atau dengan kontras. CT scan merupakan teknik pemeriksaan radiologis yang aman
11
untuk kehamilan bila dikerjakan setelah trimester pertama. Pertimbangan untuk
melakukan CT scan pada penderita eklampsia terutama pada penderita yang
mengalami kejang ulangan, atau mengalami kelainan hasil laboratorium yang
bermakna. Gambaran lesi otak yang biasanya nampak adalah edema serebri,
khususnya didaerah lobus oksipitalis, perdarahan serebral dan infark serebri.
Pemeriksaan elektromedik yang lebih superior dibandingkan dengan CT scan adalah
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Magnetic Resonance Angiography (MRA).
Namun penggunaan MRA sangat terbatas pada eklampsia karena dalam waktu 2
minggu lesi otak tersebut sudah menghilang diikuti dengan membaiknya gejala-gejala
klinis. Hampir semua lesi otak pada eklampsia bersifat reversibel, karena disebabkan
oleh kegagalan mekanisme otoregulasi atau vasospasme transien.4
Edema serebri pada penderita pre-eklampsia dan eklampsia berhubungan
dengan kelainan laboratorium akibat adanya disfungsi endotel. Pada sebuah
penelitian digunakan morfologi sel sel darah merah dan LDH sebagai indikator
disfungsi endotel, karena iregularitas dinding endotel itu akan menyebabkan disrupsi
dari sel darah merah menjadi schistocyte, anisocytes, microspherpcytes dan terjadi
pelepasan LDH. Pemeriksaan marker endotel hendaknya dilakukan pada penderita
pre-eklampsia dan eklampsia. Apabila terdapat abnormalitas sebaiknya segera
diberikan terapi antihipertensi untuk mencegah ensefalopati hipertensif.3,4
2.9 Penatalaksanaan
Kejang pada penderita eklampsia merupakan suatu life-threatening emergency yang
harus mendapatkan penanganan yang adekuat untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas ibu dan anak. Sebanyak 60% kematian maternal pada eklampsia
disebabkan karena perdarahan serebral yang disebabkan oleh karena peningkatan
tekanan darah. Pada prinsipnya penanganan eklampsia terdiri dari 5 hal penting
yaitu3,4:
1. Menjaga jalan nafas ibu
12
Pada penderita eklampsia yang sedang mengalami kejang, mencegah
tergigitnya lidah dan aspirasi dari cairan sekresi yang berasal dari saluran
makanan harus menjadi prioritas utama penanganan eklampsia. Penderita
dengan eklampsia hendaknya ditempatkan pada tempat yang cukup terang,
tidak gelap. Pada waktu kejang, penderita ditempatkan sedemikian rupa
sehingga kepala dalam posisi miring ke kiri untuk memperbaiki aliran darah
ke uterus, dan tempatkan bantalan lidah untuk melindungi lidah agar tidak
tergigit. Sekresi yang banyak di rongga mulut segera dihisap, namun terlalu
jauh masuk ke dalam rongga mulut untuk menghindari reflek vagal. Untuk
menjamin oksigenasi, berikan oksigen sungkup 5-6 L/menit.
2. Menghentikan kejang dan mencegah kejang ulangan
Sampai saat ini MgSO4 merupakan obat pilihan untuk menghentikan kejang
dan mencegah serangan kejang ulangan pada penderita eklampsia. Kerja
MgSO4 tidak saja sebagai anti kejang, namun juga bersifat sebagai vasodilator
serebral dengan cara menghambat masuknya ion Ca2+ ke dalam sel melalui
NMDA (N-Methyl-D-aspartate) yang merupakan subtipe dari glutamate
channel. Di samping itu MgSO4 juga dapat memperbaiki fungsi endotel.
MgSO4 dapat diberikan secara intermiten maupun kontinyu dengan pompa
infus.
13
Sebagai fungsi neuroprotektif, MgSO4 menurunkan terjadinya pinositosis
yang terjadi akibat kerusakan sawar darah otak akibat hipertensi akut. Terapi
MgSO4 akan merestriksi perpindahan air dan elektrolit ke otak melalui
transpor transeluler, sehingga membatasi terjadinya formasi edema dan
meningkatkan hasil akhir dari segi klinis pada eklampsia.
14
Gambar 2. Efek antikonvulsan Magnesium sulfat
15
Gambar 3. Efek vaskular dari magnesium sulfat
Gambar 4. Efek magnesium sulfat pada edema serebri dan sawar darah otak
Rekomendasi pemberian MgSO4 sebagai berikut7 :
1. Loading dose:
a. Berikan 4 gram MgSO4 20% intravena; 1 gram per menit
b. Berikan 10 gram MgSO4 50% intramuskular:
Kuadran atas sisi luar kedua bokong:
5 gram pada bokong kanan
5 gram pada bokong kiri
2. Dosis pemeliharaan :
Berikan MGSO4 5 gram 50% tiap 4 jam bergantian salah satu bokong dalam waktu 24 jam.
3. Syarat pemberian MgSO4 adalah :
a. Refleks patela harus positif
b. Tidak ada tanda-tanda depresi pernapasan (respirasi lebih dari16x/menit)
c. Produksi urin tidak kurang dari 25 cc/jam atau 150 cc/ 6 jam
4. Apabila terdapat kejang-kejang lagi, diberikan sekali saja MgSO4 dan bila masih timbul kejang lagi dapat diberikan Pentotal 5 mg/kg berat badan IV pelan.
5. Bila terdapat tanda-tanda keracunan MgSO4, berikan Kalsium glukonas 10% sebagai antidotum, 10 cc IV pelan selama 3 menit atau lebih
6. Apabila sebelumnya sudah diberikan pengobatan diazepam, maka dilanjutkan dengan pengobatan MgSO4.
Pemberian MgSO4 dengan cara diatas memberikan kadar plasma obat dalam
batas batas dosis terapi yang aman yaitu 4-7 mEq/L. Namun penderita yang
mendapatkan pengobatan dengan MgSO4 tetap harus diamati kemungkinan
adanya gejala-gejala toksisitas, yaitu hilangnya reflek patela dan depresi
sampai henti nafas. Kedua tanda klinis itu harus diperiksa setiap jam. Karena
MgSO4 diekskresikan lewat ginjal, maka pada penderita dengan kelainan
ginjal atau oliguria (produksi urin < 100 cc per 4 jam) harus dilakukan
16
pemeriksaan kadar MgSO4 serum. Dosis awal MgSO4 yang diberikan pertama
kali aman untuk penderita yang mengalami gangguan fungsi ginjal, namun
pada pemberian dosis ulangan, pemeriksaan fungsi ginjal harus dilakukan
dimana bila kadar kreatinin serum melebihi 1,3 mg/dl , maka dosis MgSO4
diberikan setengah dari dosis standar. Reflek patella akan menghilang pada
kadar MgSO4 mencapai 10 mEq/L. Bila melebihi 10-12 mEq/L
maka terjadi sedangkan depresi nafas dan bila kadar plasma MgSO4 melebihi
12 mEq/L akan terjadi paralisis otot pernafasan. Bila terjadi tanda-tanda
toksisitas tersebut maka MgSO4 harus segera dihentikan dan diberikan
antidotumnya yaitu kalsium gluconas 1 gram intravenous.
3. Pengendalian tekanan darah dan mencegah komplikasi
Tujuan dari penurunan tekanan darah pada eklampsia adalah untuk
menurunkan risiko terjadinya perdarahan serebral, gagal jantung, infark
miokard dan solusio plasenta. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu
cepat karena dapat membahayakan ibu dan janin. Target terapi pada
eklampsia adalah menurunkan tekanan darah segera sebesar 10 mmHg sistolik
dan diastolik dari pra-pengobatan dan mempertahankan MABP < 125 mmHg ,
tetapi tidak boleh lebih kecil dari 105 mmHg, atau diastolik 90-110 mmHg.
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan pada pemberian obat antihipertensi
pada eklampsia adalah kapan memulai terapi, obat apa yang digunakan,
berapa besar dosisnya, bagaimana memantaunya dan kapan menghentikan
terapi antihipertensi. Hipertensi pada umumnya harus diterapi tanpa
memandang penyebabnya untuk mengurangi risiko perdarahan serebral,
namun pada eklampsia seringkali tingginya tekanan darah tidak sesuai dengan
beratnya gejala klinis atau makin tingginya kemungkinan kejadian kejang.
Sebagian ahli tidak memberikan antihipertensi pada hipertensi ringan, dimana
tekanan darah sistolik 140- 160 mmHg dan diastolic 90-110 mmHg, namun
pada saat ini telah disepakati untuk memberikan antihipertensi pada tekanan
darah sistolik > 160 mmHg dan diastolik > 109 mmHg. Target terapi yang
harus dicapai adalah MABP 105-125 mmHg yang bertujuan untuk
17
mempertahankan sistem otoregulasi serebral, tetapi tetap dapat
mempertahankan sirkulasi uteroplasenta.
Harus diingat bahwa tingginya tekanan darah bukanlah satu-satunya faktor
predisposisi untuk menentukan prognosis penyakit. Beberapa tanda klinis dan
laboratorium lainnya seperti nilai hematokrit, protenuria, peningkatan enzim
hati, ada tidaknya tanda-tanda IUGR (Intra Uterine Growth Restriction) harus
tetap diamati. Jadi tujuan utama dari pengobatan antihipertensi adalah untuk
mencegah komplikasi yang berbahaya pada ibu akibat tingginya tekanan
darah, tetapi tetap dapat melindungi kehamilan dan janin yang dikandungnya.
Pemberian obat antihipertensi tidak dapat mengendalikan penyakit secara
keseluruhan. Morbiditas dan mortalitas hanya dapat dicegah dengan cara
melahirkan bayi.4
Obat antihipertensi yang yang direkomendasikan untuk hipertensi akut adalah3 :
Nama Obat Onset Dosis Pemberian
1. Hydralazine 10-20 menit 5-10 mg setiap 20 menit sampai maksimal 30mg
2. Labetalol 10-15 menit 10-20 mg IV, kemudian 40-80 mg setiap 10 menit sampai maksimal 300 mg/hari, infus lanjut 1-2 mg/jam.
3. Nifedipine 5-10 menit 10 mg PO, diulang setiap 30 menit, kemudian 10-20 mg setiap 4-6 jam sampai maksimal 240 mg/ 24 jam.
4. Sodium 0,5-5 menit 0,25- 5 ug/kg/min IV infusion. Risiko keracunan
Nitroprusside sianida pada fetus jika pengobatan lama.
Diantara obat-obat antihipertensi di atas yang sering diberikan saat ini adalah
nifedipine oral. Meskipun belum direkomendasikan oleh POGI namun
pemakaian obat ini didukung oleh banyak penelitian. Penelitian meta analisis
yang membandingkan hidralasine, labetalol, nifedipine dan antihipertensi
yang lainnya telah dilakukan oleh Magee (2003) dengan hasil bahwa
18
hidralasine berhubungan dengan kecenderungan terjadinya hipertensi
persisten dibandingkan dengan nifedipine dan antihipertensi lainnya, juga
lebih sering menimbulkan palpitasi dan flushing dibandingkan dengan
nifedipine. Disimpulkan bahwa pemakaian hidralasin menimbulkan efek
samping lebih banyak dibandingkan dengan nifedipine.4
Adapula panduan yang meggunakan batasan penggunaan obat
antihipertensi bila tekanan darah sistol lebih atau sama dengan 180 mmHg
atau diastol lebih dari atau sama dengan 110 mmHg dapat digunakan injeksi 1
ampul clonidine ynag dilarutkan dalam 10 cc larutan ( mula-mula disuntikkan
5 cc per;ahan-lahan selam 5 menit, 5 menit kemudian tekanan darah diukur,
bila belum ada penurunan maka diberikan lagi 5 cc intravena dalam 5 menit
sampai tekanan darah diatol normal dilanjutkan dengan nifedipne 3x 10 mg).
Namun bila tekanan darah sistol kurang dari 180 mmHg dan diastol kurang
dari 110 mmHg antihipertensi yang dapat digunakan adalah Nifedipin 3x 10
mg. Tujuan terapi adalah tercapainya penurunan tekanan darah diastolik
sampai 100-110 mmHg. 4
Salah satu komplikasi dari eklampsia adalah edema paru dan dapat
dipertimbangkan pemberian diuretik dan apabila terdapat kelainan fungsi
ginjal (bila faktor renal sudah teratasi) diberikan furosemid injeksi 40 mg/im.
Begitu juga pemberian terhadap kardiotonika, diberikan atas indikasi misalnya
adanya tanda-tanda parah jantung.4
4. Manajemen cairan atau memperbaiki keadaan umum ibu
Salah satu penyebab kematian ibu pada eklampsia adalah kegagalan
kardiorespirasi. Pada seorang penderita eklampsia terjadi vasospame
menyeluruh yang mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi organ. Studi
tentang volume cairan ekstravaskuler pada penderita pre-eklampsia-eklampsia
menunjukkan bahwa volume plasma menurun sampai 50% dibandingkan
dengan kehamilan normal. Penurunan volume plasma ini adalah akibat
maldistribusi volume cairan ekstraseluler. Selain itu pada pre-eklampsia juga
19
terjadi penurunan aliran darah ke ginjal . Keadaan ini memudahkan penderita
mengalami edema dan pemberian cairan harus mempertimbangkan keadaan
ini.
Untuk mencegah terjadinya komplikasi iatrogenik seperti edema paru, gagal
jantung kiri, dan adult respiratory distress syndrome maka kesimbangan
antara cairan masuk dan keluar harus dimonitor. Untuk menambah tekanan
onkotik plasma, seringkali digunakan cairan koloid, namun belum ada bukti
pemberian ini lebih bermanfaat dibandingkan dengan cairan kristaloid.
Kecepatan pemberian cairan intravenous yaitu 80 cc/jam (1 ml/kg/jam).
Terdapat kontroversi apakah monitoring dengan CVP dapat membantu
mengetahui adanya overload cairan, sebab pada pre-eklampsia terdapat
korelasi yang buruk dengan volume plasma. Bila CVP dipakai untuk
monitoring maka nilainya harus dipertahankan pada nilai dibawah 5 cm H2O.
Secara rutin kristaloid sering dipakai untuk hidrasi sebelum tindakan anestesia
regional. Pada penderita ini ekspansi volume bisa menurunkan COP lebih
lanjut dan karena itu secara teoritis akan lebih menguntungkan bila
menggunakan kristaloid dibandingkan dengan koloid. Karena belum terdapat
bukti jenis cairan mana yang lebih baik dipakai, maka bila kristaloid yang
dipakai untuk hidrasi monitor PCWP dianjurkan. Jenis cairan yang digunakan
adalah ringer laktat atau ringer asetat. Ringer asetat dianggap memiliki
kelebihan karena proses pembentukan bikarbonat dari asetat terjadi di otot,
sedangkan laktat menjadi bikarbonat memerlukan fungsi hepar yang baik,
dimana pada pre-eklampsia sering terjadi gangguan hepar. 4
5. Manajemen persalinan
Melahirkan bayi merupakan terapi definitif dari eklampsia. Semua kehamilan
dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan
keadaan janin. Bila penderita ada dalam persalinan atau persalinan per
vaginam memenuhi syarat, maka persalinan pervaginam merupakan cara yang
terbaik untuk penderita pre-eklampsia-eklampsia. Sikap dasar adalah bila
20
kehamilan diakhiri bila sudah terjadi stabilisasi (pemulihan). Stabilisasi
hemodinamik dan metabolisme ibu dapat dicapai dalam 4-8 jam setelah sa;ah
satu atau lebih dari keadaan berupa 1.) setelah pemberian obat anti kejang
terakhir; 2.)setelah kejang terakhir; 3.) setelah pemberian obat anti hipertensi
terakhir; 4.) penderita mulai sadar (responsif dan orientasi).
Untuk memulai persalinan hendaknya diperhatikan hal-hal seperti kejang
sudah dihentikan dan diberikan antikejang untuk mencegah kejang ulangan,
tekanan darah sudah terkendali, dan hipoksia telah dikoreksi. Induksi
persalinan dapat dilakukan bila hasil KTG normal. Pemberian drip oksitosin
dilakukan bila nilai skor pelvik ≥5. Pada skor pelvik yang rendah dan
kehamilan masih sangat preterm, seksio sesaria lebih baik dibandingkan
dengan persalinan pervaginam.
Seksio sesaria dilakukan bila : 1.) syarat drip oksitosin tidak dipenuhi atau
adanya kontraindikasi drip oksitosin; 2.) persalinan belum terjadi dalam waktu
12 jam; 3.) bila hasil KTG patologis. Pada seksio sesaria, analgesia epidural
menjadi pilihan untuk anestesia, karena tidak mempengaruhi COP, aliran
darah ke plasenta tidak dipengaruhi dan pengendalian tekanan darah lebih
baik. Hipovolemia bisa terjadi pada pemakaian obat obat regional anestesia,
karena itu diperlukan loading cairan sebanyak 400-500 ml kristaloid sebelum
anestesia regional dilakukan untuk mencegah hipotensi dan fetal distress.
Kontraindikasi anesthesia regional adalah bila terdapat DIC, atau bila kadar
trombosit dibawah 100.000. Pada keadaan dimana harus dilakukan anestesia
umum, maka perhatian terhadap kemungkinan adanya edema laring, yang
dapat mempersulit intubasi serta dapat menyebabkan obstruksi respirasi post-
operatif atau henti jantung harus diperhatikan. Laringoskop telah diketahui
dapat menyebabkan reflek hipertensi yang dapat memperburuk keadaan
penderita. Ergometrin tidak boleh diberikan, sehingga untuk mencegah
perdarahan post partum dapat diberikan infus oksitosin (40 IU/dalam
dekstrose).4
21
6. Manajemen post-partum
Setelah melahirkan penderita masih harus diawasi selama 24 jam. Obat
antihipertensi harus tetap diberikan sampai MABP <125 mmHg. Post partum
eklampsia biasanya terjadi dalam 24-48 jam setelah melahirkan, karena itu
terapi MgSO4 tetap harus diberikan sampai 24 jam post-partum atau 24 jam
setelah kejang terakhir. Pemeriksaan laboratorium dilakukan setelah 24 jam
persalinan.4
2.10 Prognosis
Prognosis eklampsia ditentukan oleh Kriteria Eden (1922)7 :
1. Koma yang sudah lama
2. Nadi diatas 120 per menit
3. Suhu diatas 103° F
4. Tekanan darah sistolik diatas 200 mmHg
5. Kejang lebih dari 10 kali
6. Proteinuria lebih dari 10 gram/liter
7. Tidak ada edema
Prognosis ibu adalah buruk bila ditemukan dua atau lebih dari gejala tersebut.
BAB III
22
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : NKS
Umur : 30 tahun
Suku/Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Pendidikan : Tamat SD
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Klusu Pejeng Gianyar
MRS : 14 September 2013 pk. 17.00 WITA
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri kepala
Pasien datang diantar oleh keluarganya ke VK RSUD Sanjiwani dalam keadaan
tidak sadar setelah mengalami kejang ±15 menit saat masuk di IRD RSUD
Sanjiwani. Pasien dikeluhkan kejang-kejang dengan gerakan menghentak-hentak
dengan posisi kepala miring ke kiri Kejang-kejang diawali dengan pandangan yang
mendadak gelap dan nyeri kepala dan kejang dikatakan berlangsung ± 45 detik dan
pasien kebingungan serta tidak ingat kejadian sesaat setelah kejang selesai.
Sebelumnya, keluarga pasien membawa pasien ke RSUD Sanjiwani karena
riwayat kejang ± 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Kejang dikatakan
berlangsung ±1 menit dengan gerakan yang menghentak-hentak. Pasien kemudian
segera dibawa ke RSUD Sanjiwani.
Pasien memiliki riwayat kejang yang sama sebelumnya yaitu saat kehamilan anak
pertama. Kejang dikatakan berlangsung selama dua kali saat kehamilan anak
23
pertamanya. Riwayat kejang sebelumnya di luar masa kehamilan tidak ada. Pasien
memiliki riwayat penyakit darah tinggi yang dialaminya saat kehamilan anak
pertamanya yang mulai terjadi saat umur kehamilan 32 minggu. Riwayat penyakit
darah tinggi pada kehamilan saat ini mulai diketahui saat usia kehamilan 32 minggu
dengan tekanan darah 150/100 mmHg. Sebelumnya pasien kontrol teratur di bidan
dan hasil pengukuran tekanan darah selalu dalam batas normal.
Keluhan sakit perut disangkal. Keluar air dari kemaluan disangkal, keluar darah
campur lendir tidak ada, gerak anak baik dirasakan mulai 16 minggu usia kehamilan
dan sampai saat ini dirasakan masih aktif. Berat badan meningkat sesuai dengan
umur kehamilan. Tidak ada riwayat panas badan.
HPHT : 14 Januari 2013
TP : 20 November 2013
ANC : teratur di SpOG (+), USG (+)
Riwayat Obstetrik : I= ♀, 2000 gram, FE e.c eklampsia, RSUP Sanglah, umur
kehamilan 6 bulan, usia saat ini= 6 tahun
II= Ini
Riwayat Menstruasi :
Menarche : 14 tahun
Siklus haid : 28 hari, Lama : 3-4 hari
Riwayat Perkawinan : 1x selama 7 tahun
Riwayat Kontrasepsi : IUD, dilepas ±1 tahun yang lalu
Riwayat Imunisasi : TT 2 x (TT1 : 7 Juli 2013, TT2 : 27 Juli 2013)
Riwayat penyakit dahulu :
Hipertensi (+) saat kehamilan anak pertama.
24
Diabetes mellitus (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Asma (-)
Epilepsi (-)
Riwayat penyakit dalam keluarga :
Riwayat hipertensi di keluarga (+) ibu kandung pasien
Riwayat pengobatan :
Saat mengalami kejang di IRD RSUD Sanjiwani, pasien diberikan injeksi
diazepam 10 mg IM.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
Kesadaran : Somnolen
Tanda Vital : Tekanan darah 170/100 mmHg
Nadi 88 x/menit
Napas 20 x/menit
Suhu 36,5 oC
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 157 cm
Status Generalis
Mata : Anemis ( -/- ), Ikterus ( -/- ), Reflek cahaya (+/+)
Jantung : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Paru : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : ~ Status Obstetrikus
Ekstremitas : Odem -/- Refleks patella (+/+)
+/+
Status Obstetrik
25
Pemeriksaan Luar :
Tinggi fundus uteri ½ bpx- pusat (24 cm)
His (-)
DJJ (+) 146 x/menit
VT (14 Septemeber 2013, 17.05 WITA): PØ 4 cm, eff. 75%, sedang posterior,
ketuban (+), teraba kepala, denominator
belum jelas, ↓ H I, tidak teraba bagian
kecil / tali pusat.
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (14/09/13)
Pemeriksaan Nilai Satuan
URINE LENGKAP
Protein +2 mg/dl
PH 7,0 -
Leukosit Penuh cell/lpb
Eritrosit Penuh cell/lpb
KIMIA
BUN 48 mg/dl
SC 1,3 mg/dl
AST 30 IU/L
ALT 15 IU/L
Glu 83 mg/dl
DARAH RUTIN
WBC 14,63 103/µL
HGB 9 gr/dl
26
PLT 160 103/µL
HCT 27,4 %
BT 1’ – 4 ‘ -
CT 7’ – 12’ -
3.5 Diagnosis
G2P0101, 34-35 minggu, T/H, letak kepala, eklampsia (PBB 1860 gram)
3.6 Resume
Penderita NKS, perempuan, 32 tahun, datang diantar oleh keluarganya ke VK
RSUD Sanjiwani dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami kejang ±15 menit
saat masuk di IRD RSUD Sanjiwani. Pasien dikeluhkan kejang-kejang dengan
gerakan menghentak-hentak dengan posisi kepala miring ke kiri . Sebelumnya,
keluarga pasien membawa pasien ke RSUD Sanjiwani karena riwayat kejang ± 30
menit sebelum masuk rumah sakit. Penderita melakukan ANC teratur di dokter
kandungan dan rutin dilakukan USG. Pasien memiliki riwayat kejang yang sama
saat mengandung anak pertamanya. Tidak ada riwayat kejang di luar kehamilan.
Riwayat hipertensi dalam keluarga ada pada ibu kandung penderita. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan: Tekanan darah 170/100 mmHg, Nadi 88 x/menit, RR
20 x/menit, Suhu 36,5 oC. Dari status general ditemukan edema pada kedua
ekstremitas bawah. Dari status obstetrikus didapatkan TFU 24 cm, His (-), DJJ (+)
146x/ menit. Dari VT didapatkan PØ 4 cm, eff. 75%, sedang posterior, ketuban (+),
teraba kepala, denominator belum jelas, ↓ H I, tidak teraba bagian kecil / tali pusat.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan proteinuria +2.
3.7 Penatalaksanaan
27
Rencana diagnosis : (-)
Rencana terapi
- MRS
- O2 10 lpm
- IVFD RL 20 tetes per menit
- Injeksi MgSO4 20% 4 gr IV
- Dilanjutkan dengan MgSO4 40% 10 gr IM bokong kanan-kiri
- Dower catheter
- Usul SC cito
- Konsul anestesi
Rencana monitoring
Observasi keluhan, denyut jantung janin, tanda vital, tanda intoksikasi
MgSO4, produksi urin, tanda inpartu.
Rencana edukasi
KIE penderita dan keluarga tentang rencana perawatan
3.8 Catatan Kemajuan dan Laporan Partus
14 Oktober 2008
17.10 Refleks Patela (+)
Vital Score: GCS= E4V5M6 TD = 170/100 mmHg N= 78 x/menit RR=
20x/ menit Tax=36,50c
His (+) DJJ= 145x/menit
Tx/
28
- Infus RL → 20 tts/menit
- MgSO4 20% 4 gr IV pelan
- MgSO4 40 % 10 gr IM ( bokong kanan/bokong kiri)
- Observasi tanda vital, keluhan, produksi urin
18.10 TD = 170/100 mmHg N= 78 x/menit RR= 18x/ menit
His (+) DJJ= 143x/menit
19.10 Vital Score: GCS= E4V5M6 TD = 170/100 mmHg N= 78 x/menit
RR= 20x/ menit Tax=36,50c
His (+) DJJ= 148x/menit
20.30. Dilakukan sectio caesarea cito
22.00 Lahir bayi, SC, laki-laki, tidak segera menangis, AS : 3.3.4, BBL
2.500 gram, PBL 50 cm, kelainan (-)
Follow up :
Tgl Subjektif Objektif Assesment Planning
14/9/20
13
(23.00)
Nyeri luka
operasi (+)
Status Present :
TD= 150/100 mmHg Nadi= 88x/menit
RR= 18x/menit Tax= 36,50c
Status General :
Mata : Anemis (-)
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal reguler
murmur(-)
Pulmo: Ves (+/+) Rhonki (-/-)
Wheezing (-/-)
Abdomen: ~ status obstetrik
Ekstremitas: hangat +/+ Edema -/-
+/+ +/+
P0202 post SC hari 0
+follow-up eklampsia
Dx :
DL@6 jam post op, LFT, BUN/SC
Tx:
Rawat inap ICU
IVFD RL 20 tpm
DC 1x 24 jam
Cefotaxime 3x1gr
Sulfas ferous 3x 200 mg
Analgetik
Injeksi MgSO4 5 gram IM (boka)
29
Status Obstetri :
Abdomen : tinggi fundus uteri 3 jari di
bawah pusat
Kontraksi (+) baik
Luka operasi terawat
Protein dalam urin= +3
15/9/13
(05.00)
Nyeri luka
operasi (+),
BAK (+)
lewat selang,
mobilisasi (+)
Status Present :
TD= 150/100 mmHg Nadi= 88x/menit
RR= 18x/menit Tax= 36,50c
Status General :
Mata : Anemis (-)
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal reguler
murmur(-)
Pulmo: Ves (+/+) Rhonki (-/-)
Wheezing (-/-)
Abdomen: ~ status obstetrik
Ekstremitas: hangat +/+ Edema -/-
+/+ +/+
Status Obstetri :
Abdomen : tinggi fundus uteri 3 jari di
bawah pusat
Kontraksi (+) baik
Luka operasi terawat
Protein dalam urin= +3
P0202 post SC hari I
+follow-up eklampsia
Tx:
Rawat inap ICU
IVFD RL 20 tpm
DC 1x 24 jam
Cefotaxime 3x1gr
Analgetik
Nifedipine 3x 10 mg(bila MAP≥125)
Injeksi MgSO4 5
gram IM (boki)
Mx:
Keluhan , vital sign,
tanda eklampsia,
CM-CK
15/9/13
(11.00)
Status Present :
TD= 150/100 mmHg Nadi= 88x/menit
RR= 18x/menit Tax= 36,50c
P0202 post SC hari I
+follow-up eklampsia
Tx:
Rawat inap ICU
30
Status General :
Mata : Anemis (-)
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal reguler
murmur(-)
Pulmo: Ves (+/+) Rhonki (-/-)
Wheezing (-/-)
Abdomen: ~ status obstetrik
Ekstremitas: hangat +/+ Edema -/-
+/+ +/+
Status Obstetri :
Abdomen : tinggi fundus uteri 3 jari di
bawah pusat
Kontraksi (+) baik
Luka operasi terawat
IVFD RL 20 tpm
DC 1x 24 jam
Cefotaxime 3x1gr
Sulfas ferous 3x 200 mg
Analgetik
Nifedipine 3x 10 mg(bila MAP≥125)
Injeksi MgSO4 5
gram IM (boka)
Mx:
Keluhan , vital sign,
tanda eklampsia,
CM-CK
Status Present :
TD= 140/100 mmHg Nadi= 88x/menit
RR= 18x/menit Tax= 36,50c
Status General :
Mata : Anemis (-)
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal reguler
murmur(-)
Pulmo: Ves (+/+) Rhonki (-/-)
Wheezing (-/-)
Abdomen: ~ status obstetrik
Ekstremitas: hangat +/+ Edema -/-
+/+ -/-
Status Obstetri :
Abdomen : tinggi fundus uteri 3 jari di
P0202 post SC hari 1
+follow-up eklampsia
Dx :
DL@6 jam post op,
Tx:
IVFD RL 20 tpm
DC 1x 24 jam
Cefotaxime 3x1gr
Sulfas ferous 3x 200 mg
Analgetik
Nifedipine 3x10 mg (bila MAP≥ 125)
Injeksi MgSO4 5
gram IM (boki)
Mx:
Keluhan , vital sign,
31
bawah pusat
Kontraksi (+) baik
Luka operasi terawat
Protein dalam urin= +2
tanda eklampsia,
CM-CK
16/9/13
(06.00)
Nyeri luka
operasi (+),
mobilisasi (+)
Status Present :
TD= 130/90 mmHg Nadi= 88x/menit
RR= 18x/menit Tax= 36,50c
Status General :
Mata : Anemis (-)
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal reguler
murmur(-)
Pulmo: Ves (+/+) Rhonki (-/-)
Wheezing (-/-)
Abdomen: ~ status obstetrik
Ekstremitas: hangat +/+ Edema -/-
+/+ +/+
Status Obstetri :
Abdomen : tinggi fundus uteri 3 jari di
bawah pusat
Kontraksi (+) baik
Luka operasi terawat
Protein dalam urin= +2
P0202 post SC hari II
+follow-up eklampsia
Tx:
IVFD RL 20 tpm
Aff DC 1x 24 jam
Cefotaxime 3x1gr
Sulfas ferous 3x 200 mg
Analgetik
Nifedipine 3x 10
mg(bila
MAP≥125)
Mx:
Keluhan , vital sign,
tanda eklampsia,
CM-CK
17/9/13
(06.00)
Nyeri luka
operasi (+),
mobilisasi (+)
Status Present :
TD= 130/100 mmHg Nadi= 88x/menit
RR= 18x/menit Tax= 36,50c
Status General :
Mata : Anemis (-)
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal reguler
murmur(-)
P0202 post SC hari II
+follow-up eklampsia Tx:
IVFD RL 20 tpm
Aff DC 1x 24 jam
Cefotaxime 3x1gr
Sulfas ferous 3x 200 mg
32
Pulmo: Ves (+/+) Rhonki (-/-)
Wheezing (-/-)
Abdomen: ~ status obstetrik
Ekstremitas: hangat +/+ Edema -/-
+/+ +/+
Status Obstetri :
Abdomen : tinggi fundus uteri 3 jari di
bawah pusat
Kontraksi (+) baik
Luka operasi terawat
Protein dalam urin= +2
Analgetik
Nifedipine 3x 10
mg(bila
MAP≥125)
Mx:
Keluhan , vital sign,
tanda eklampsia,
CM-CK
BAB IV
PEMBAHASAN
33
Penderita ♀, 32 tahun, beralamat di Klusu Pejeng Gianyar, Bali, Hindu, datang diantar oleh
keluarganya ke VK RSUD Sanjiwani dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami kejang
±15 menit saat masuk di IRD RSUD Sanjiwani. Pasien dikeluhkan kejang-kejang dengan
gerakan menghentak-hentak dengan posisi kepala miring ke kiri . Sebelumnya, keluarga
pasien membawa pasien ke RSUD Sanjiwani karena riwayat kejang ± 30 menit sebelum
masuk rumah sakit. Hal yang akan dibahas pada kasus ini adalah :
1. Faktor risiko
2. Diagnosis
3. Penatalaksanaan
4. Prognosis
4.1 Faktor risiko
Risiko adalah ciri yang dimiliki oleh seseorang yang dapat atau berhubungan
dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Risiko preeklampsia dan eklampsia
yang berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu dan riwayat penyakit keluarga
dapat berupa riwayat pernah pre-eklampsia, hipertensi kronis, penyakit ginjal, dan
obesitas.
Berdasarkan anamnesis yang didapatkan dari pasien dan keluarga pasien,
disimpulkan bahwa faktor resiko yang berhubungan dengan terjdinya eklampsia
pada pasien ini adalah riwayat pernah mengalami preeklamsia dan eklamsia pada
kehamilan pertamanya. Selain itu pula, didapatkan adanya riwayat hipertensi dalam
keluarga pada ibu kandung penderita.
4.2 Diagnosis
Eklampsia adalah kejang dan atau koma yang terjadi pada ibu hamil yang
sebelumnya menderita preeklampsia, tanpa diketahui adanya penyebab lain.
Diagnosis eklampsia dibuat berdasarkan adanya kejang yang bersifat umum, sekali
34
atau lebih diikuti atau tidak dengan koma, dan tidak ditemukan adanya kondisi
neurologis lainnya yang berhubungan dengan kejang tersebut. Eklampsia dapat
terjadi antepartum (50%), intrapartum (25%), atau post partum (25%).3 Penderita
dengan eklampsia memiliki tanda dan gejala yang luas, dari hipertensi ringan
sampai kegagalan multiorgan. Sebagian besar (64,5%) eklampsia mengalami gejala
dan tanda imminent eklampsia sebelum kejang, dengan gejala yang paling banyak
adalah sakit kepala.9
Pada kasus ini dari anamnesis didapatkan pasien datang diantar oleh
keluarganya ke VK RSUD Sanjiwani dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami
kejang ±15 menit saat masuk di IRD RSUD Sanjiwani. Pasien dikeluhkan kejang-
kejang dengan gerakan menghentak-hentak dengan posisi kepala miring ke kiri
Kejang-kejang diawali dengan pandangan yang mendadak gelap dan nyeri kepala
dan kejang dikatakan berlangsung ± 45 detik dan pasien kebingungan serta tidak
ingat kejadian sesaat setelah kejang selesai. Sebelumnya, keluarga pasien
membawa pasien ke RSUD Sanjiwani karena riwayat kejang ± 30 menit sebelum
masuk rumah sakit. Kejang dikatakan berlangsung ±1 menit dengan gerakan yang
menghentak-hentak. Pada pasien ini terlihat adanya tanda-tanda imminent
eklampsia yaitu nyeri kepala dan pandangan yang mendadak gelap sebelum
terjadinya kejang.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan darah yaitu 170/100
mmHg. Selain itu dari pemeriksaan urin lengkap didapati adanya proteinuria sebesar
+2. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didukung oleh pemeriksaan
penunjang berupa hasil laboratorium urine pasien, pasien kemudian didiagnosis
menderita eklampsia.
Dari kejadian tersebut dapat disimpulkan bahwa eklampsia yang terjadi
adalah eklampsia antepartum yang didahului oleh preeklampsia berat. Sedangkan
kejang yang terjadi pada penderita ini berlangsung sampai fase 3 tingkatan kejang
eklampsia.
4.3 Penatalaksanaan
35
Hal yang paling mendasar pada penatalaksanaan penderita dengan eklampsia adalah
menjaga jalan nafas, menghentikan kejang dan mencegah kejang ulangan,
mengendalikan tekanan darah dan mencegah komplikasi, memperbaiki keadaan
umum ibu, manajemen terhadap persalinan, dan post partum.
Untuk mempertahankan jalan napas, pada bagian belakang leher diletakkan
bantalan dari kain agar kepala dalam posisi ekstensi. Setelah itu diberikan oksigen
melalui kanul untuk mempertahankan pernapasan yang adekuat. Kejang dihentikan
dengan pemberian MgSO4 berdasarkan prosedur tetap yang digunakan di RSUD
Sanjiwani. Rekomendasi pemberian yaitu pemberian 4 gram MgSO4 20%
intravena, 1 gram per menit yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian 10 gram
MgSO4 50% intramuskular (5 gram pada bokong kanan, 5 gram pada bokong kiri).
Untuk dosis pemeliharaan, pasien diberikan MgSO4 5 gram 50% tiap 4 jam
bergantian salah satu bokong dalam waktu 24 jam. Namun penderita yang
mendapatkan pengobatan dengan MgSO4 tetap harus diamati kemungkinan adanya
gejala-gejala toksisitas, yaitu hilangnya reflek patela dan depresi sampai henti nafas.
Kedua tanda klinis itu diperiksa setiap jam. Karena MgSO4 diekskresikan lewat
ginjal, maka sangat penting untuk mengukur keseimbangan cairan dan fungsi ginjal.
Pengendalian tekanan darah dilakukan dengan pemberian nifedipin 3x10
mg. Nifedipin merupakan Calsium-channel blocker yang dipilih karena
berdasarkan penelitian terbukti efektif pada hipertensi dalam kehamilan dengan efek
samping terhadap janin yang hampir tidak ada.
Pada pasien ini, selama pengawasan di ruang VK, perawatan di ICU dan
ruang Drupadi, pasien dilakukan pengawasan tekanan darah secara berkala. Selama
perawatan, pasien tidak diberikan terapi nifedipine dengan alasan MABP < 125
mmHg.
Pada seorang penderita eklampsia terjadi vasospame menyeluruh yang
mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi organ. Penurunan volume plasma ini
adalah akibat maldistribusi volume cairan ekstraseluler. Selain itu pada pre-
eklampsia juga terjadi penurunan aliran darah ke ginjal . Keadaan ini memudahkan
36
penderita mengalami edema dan pemberian cairan harus mempertimbangkan
keadaan ini. Untuk mencegah terjadinya komplikasi iatrogenik seperti edema paru,
gagal jantung kiri, dan adult respiratory distress syndrome maka kesimbangan
antara cairan masuk dan keluar harus dimonitor.
Untuk mengisi deplesi cairan dan menjaga keseimbangan cairan baik di
intrasel maupun ekstrasel, jenis cairan yang digunakan pada pasien ini adalah ringer
laktat. Pada penderita pre-eklampsia-eklampsia menunjukkan bahwa volume plasma
menurun sampai 50% dibandingkan dengan kehamilan normal. Penurunan volume
plasma ini adalah akibat maldistribusi volume cairan ekstraseluler. Selain itu pada
pre-eklampsia juga terjadi penurunan aliran darah ke ginjal . Keadaan ini
memudahkan penderita mengalami edema. Pada penderita eklampsia dapat terjadi
kebocoran plasma yang menyebabkan edema, sehingga produksi urin harus terus
dipantau.
Melahirkan bayi merupakan terapi definitif dari eklampsia. Semua
kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan
keadaan janin. Sikap dasar adalah bila kehamilan diakhiri bila sudah terjadi
stabilisasi (pemulihan). Stabilisasi hemodinamik dan metabolisme ibu dapat dicapai
dalam 4-8 jam. Bila penderita ada dalam persalinan atau persalinan per vaginam
memenuhi syarat, maka persalinan pervaginam merupakan cara yang terbaik untuk
penderita pre-eklampsia-eklampsia. Untuk memulai persalinan hendaknya
diperhatikan hal-hal seperti kejang sudah dihentikan dan diberikan antikejang untuk
mencegah kejang ulangan, tekanan darah sudah terkendali, dan hipoksia telah
dikoreksi. Pada skor pelvik yang rendah dan kehamilan masih sangat preterm,
seksio sesaria lebih baik dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Seksio
sesaria dilakukan bila : 1.) syarat drip oksitosin tidak dipenuhi atau adanya
kontraindikasi drip oksitosin; 2.) persalinan belum terjadi dalam waktu 12 jam; 3.)
bila hasil KTG patologis.
Pada pasien ini, keputusan untuk menterminasi kehamilan merupakan cara
yang dipilih pada manajemen pasien eklampsia ini. Terminasi yang digunakan
37
adalah melalui tindakan sectio sesarea. Berdasarkan pertimbangan klinis yaitu nilai
skor pelvik <5, maka tindakan yang dilakukan melakukan terminasi dengan seksio
sesarea. Tindakan seksio sesarea dilakukan dengan memenuhi kriteria terminasi
yaitu dilakukan setelah kejang terakhir dan saat pasien sudah mulai sadar dan
orientasi.
Setelah melahirkan penderita masih harus diawasi selama 24 jam. Obat
antihipertensi harus tetap diberikan sampai MABP <125 mmHg. Post partum
eklampsia biasanya terjadi dalam 24-48 jam setelah melahirkan, karena itu terapi
MgSO4 tetap harus diberikan sampai 24 jam post-partum atau 24 jam setelah kejang
terakhir. Pemeriksaan laboratorium dilakukan setelah 24 jam persalinan.4
Pada pasien ini, pemantauan tetap diawasi ketat selama 24 jam, pasca operasi, dan
perawatan di ruangan. Obat antihipertensi dipertimbangkan diberikan bila MABP
pasien ≥ 125 mmHg. Terapi MgSO4 tetap diberikan dalam 24 jam post partum.
Pemeriksaan lab juga tetap dilakukan setelah 24 jam pasca persalinan.
4.4 Prognosis
Prognosis eklampsia ditentukan oleh kriteria Eden (tahun 1922) :
1. Koma yang sudah lama
2. Nadi diatas 120 per menit
3. Suhu diatas 103° F
4. Desakan darah sistolik diatas 200 mmHg
5. Kejang lebih dari 10 kali
6. Proteinuria lebih dari 10 gram/liter
7. Tidak ada edema
Bila ditemukan dua atau lebih dari gejala tersebut, maka prognosis ibu adalah
buruk. Pada penderita hanya terdapat satu kriteria yang memenuhi yaitu edema pada
ekstremitas, sehingga dapat disimpulkan kalau prognosisnya baik.
38
Telah dilaporkan kasus seorang wanita, 32 tahun, Hindu dengan diagnosis
G2P0101, 34-35 minggu, T/H, letak kepala, eklampsia (PBB 1860 gram).
Penegakan diagnosis preeklampsia berat pada kasus ini didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pasien datang dalam keadaan tidak
sadar setelah mengalami kejang ± 15 menit sebelumnya. Paien juga mengelhkan
nyeri kepala dan pandangan yang menjadi gelap sesaat sebelum kejang. Tekanan
darah pada saat pemeriksaan didapatkan 170/100 mmHg, dan pemeriksaan
penunjang tanggal 14 September 2013 didapatkan hasil proteinuria +2. Hal yang
paling mendasar pada penatalaksanaan penderita dengan eklampsia adalah menjaga
jalan nafas, menghentikan kejang dan mencegah kejang ulangan, mengendalikan
tekanan darah dan mencegah komplikasi, memperbaiki keadaan umum ibu,
manajemen terhadap persalinan, dan post partum. Pasien kemudian dilakukan
tindakan seksio sesarea cito. Bayi kemudian lahir dengan AS 3.3.4,BBL 2.050
gram. Untuk mempertahankan jalan napas, pada bagian belakang leher diletakkan
bantalan dari kain agar kepala dalam posisi ekstensi. Setelah itu diberikan oksigen
melalui kanul untuk mempertahankan pernapasan yang adekuat. Kejang dihentikan
dengan pemberian MgSO4 berdasarkan prosedur tetap yang digunakan di RSUD
Sanjiwani. Rekomendasi pemberian yaitu pemberian 4 gram MgSO4 20%
intravena, 1 gram per menit yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian 10 gram
MgSO4 50% intramuskular (5 gram pada bokong kanan, 5 gram pada bokong kiri).
Untuk dosis pemeliharaan, pasien diberikan MgSO4 5 gram 50% tiap 4 jam
bergantian salah satu bokong dalam waktu 24 jam. Pada pasien ini, selama
pengawasan di ruang VK, perawatan di ICU dan ruang Drupadi, pasien dilakukan
pengawasan tekanan darah secara berkala. Selama perawatan, pasien tidak diberikan
terapi nifedipine dengan alasan MABP < 125 mmHg. Untuk mengisi deplesi cairan
dan menjaga keseimbangan cairan baik di intrasel maupun ekstrasel, jenis cairan
yang digunakan pada pasien ini adalah ringer laktat. Keadaan ibu membaik setelah 2
hari dirawat di nifas dengan tekanan darah 130/90 mmHg tanpa keluhan subjektif
namun hasil laboratorium tetap menunjukkan protein+2 di dalam urin.
40
Setelah melahirkan penderita masih harus diawasi selama 24 jam. Obat
antihipertensi harus tetap diberikan sampai MABP <125 mmHg. Post partum
eklampsia biasanya terjadi dalam 24-48 jam setelah melahirkan, karena itu terapi
MgSO4 tetap harus diberikan sampai 24 jam post-partum atau 24 jam setelah kejang
terakhir. Pemeriksaan laboratorium dilakukan setelah 24 jam persalinan.
Pada pasien ini, pemantauan tetap diawasi ketat selama 24 jam, pasca operasi, dan
perawatan di ruangan. Obat antihipertensi dipertimbangkan diberikan bila MABP
pasien ≥ 125 mmHg. Terapi MgSO4 tetap diberikan dalam 24 jam post partum.
Pemeriksaan lab juga tetap dilakukan setelah 24 jam pasca persalinan.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Ramin K. D. The Prevention and Management of Eclampsia. Obstet Gynecol Clin N.
Am. 1999, 26; 489 – 503.
2. Surya, IGP. Profil Penderita Pre-eklampsia dan Eklampsia. Bagian/SMF Obstetri dan
Ginekologi FK Unud. Denpasar. 2004
3. Cuningham FG, Grant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JH, Wensrom KD.
Hypertensive Disorder in Pregnancy, In : Williams Obstetrics 21 th ed., New York, Mc
Graw-Hill Co, 2001,p. 568-585.
4. Jayakusuma, AAN. Diagnosis dan Penatalaksanaan Eklampsia Denpasar: Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan, Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS.
Sanglah. 2004
5. Angsar, MD. Hipertensi Dalam Kehamilan. Edisi II. Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi
FK Unair. Surabaya. 2003. pp.28-32
6. Haryono, RR. Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka Kematian Ibu pada
Penderita Pre-eklampsia dan Eklampsia. Sumatra Utara : Pidato pengukuhan Jabatan
Guru Besar Tetap, Bagian Obsetri dan Ginekologi FK Sumatra Utara. Kampus USU.
2006
7. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi K Unud/RS Sanglah. Bagian Obstetri dan
Ginekologi FK Unud/RS Sanglah. Denpasar. 2004. pp.13-15
8. Jayakusuma, AAN. Manajemen Resiko pada Pre-eklampsia (Upaya Menurunkan
Kejadian Pre-eklampsia dengan Pendekatan Berbasis Resiko). Denpasar: Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan, Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS.
Sanglah. 2004
9. Julie S, Moldenhauer, Baha M, Sibai. Hypertensive Disorder In Danforth’s Obstetrics
and Gynecology, 9th Ed; 2003. Chapter 16
42