Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

132
ETIKA EKOLOGI : PERSPEKTIF TASAWUF NASR TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Magister Agama pada Program Studi Islam dan Modernitas OLEH : EKA JULAIHA, S.Ag NIM : 298-IM-029 PROGRAM STUDI ISLAM DAN MODERNITAS PROGRAM PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2002

description

about ekologi tasawuf

Transcript of Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

Page 1: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

ETIKA EKOLOGI : PERSPEKTIF TASAWUF NASR

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh

Gelar Magister Agama pada Program Studi Islam dan Modernitas

OLEH :

EKA JULAIHA, S.Ag

NIM : 298-IM-029

PROGRAM STUDI ISLAM DAN MODERNITAS

PROGRAM PASCASARJANA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2002

Page 2: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

ii

Lembar Persetujuan Pembimbing

Tesis dengan judul: ETIKA EKOLOGI: PERSPEKTIF

TASAWUF NASR yang ditulis oleh Eka Julaiha, S.Ag No. Pokok:

298-IM-029, Program Studi Islam dan Modernitas disetujui untuk

dibawa kedalam ujian/penilaian Tesis

Pembimbing I Pembimbing II

(DR. YUNASRIL ALI) (DR. A. WAHIB MU’THI)

Tanggal: 17-7-2002 Tanggal: 17-7-2002

Page 3: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

iii

PEDOMAN TRANSLITERASI

f = ف a = ا q = ق b = ب

k = ك t = ت

l = ل ts = ث m = م j = ج n = ن h = ح w = و kh = خ h = ه d = د ’ = ء dz = ذ y = ي r = ر z = ز

s Untuk mad dan diftong = س sy â = a panjang = ش

sh î = i panjang = ص dl û = u panjang = ض

aw = اوth = ط

uw = اوzh = ظ ay = اي ‘ = ع iy = ايgh = غ

Page 4: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat

menyelesaikan tesis ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah

kepada Nabi Muhammad S.A.W. dan keluarganya, yang telah mengukir peradaban

dunia dengan islam sebagai agama tauhid yang haq.

Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam rangka menyelesaikan studi

Pascasarjana (S2) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Tesis yang berjudul ''ETIKA

EKOLOGI: PERSPEKTIF TASAWUF NASR'' ini, mencoba mengelaborasi

pemikiran Seyyed Hossein Nasr dalam bidang tasawuf dengan fokus kajian tentang

pendekatan tasawuf terhadap alam/lingkungan.

Tentunya dalam penulisan tesis ini, tidak terlepas dari dukungan dan bantuan

berbagi pihak, baik berbentuk spiri t maupun dalam bentuk material .

Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu penulis baik selama menjalankan studi yang penuh dengan perjuangan

maupun dalam masa penulisan tesis yang sangat membutuhkan waktu, tenaga,

segenap pikiran, serta kesabaran. Ucapan terima kasih perlu penulis sampaikan

kepada:

Page 5: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

v

1. Prof.Dr.Azyumardi Azra, selaku Rektor UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, yang

terus-menerus melakukan perbaikan mutu pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah

yang dipimpinnya.

2. Prof. Dr. H. Sayyid Aqil munawwar, yang tetap melaksanakan tugas beratnya

sebagai Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ditengah-tengah

kesibukannya sebagai Menteri Agama RI.

3. Asisten Direktur I dan II juga ketua program studi Islam dan Modernitas yang

aktif membantu Program Pascasarjana, baik dalam kegiatan peningkatan

akademis maupun lain-lainnya.

4. Dr.Yunasril Ali dan Dr. A Wahib Mu'thi, selaku pembimbing I dan pembimbing

II dalam penulisan tesis ini, yang dengan sangat teliti dan sabar membimbing

penulis, juga kepada Dr. Mulyadi Kartanegara, walaupun bimbingan bersama

beliau tidak sampai selesai, sehubungan dengan pindah tugas ke Yokyakarta.

5. Seluruh Staf Program Pascasarjana dan staf perpustakaan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang setia membantu dan melayani penulis baik selama

dalam proses studi maupun saat-saat penulisan tesis ini.

6. Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A. Ketua STAIN ''Sultan Maulana Hasanuddin

Banten'' Serang, tempat penulis bertugas sejak tahun 2000, yang tak henti-

Page 6: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

vi

hentinya memberikan dukungan kepada penulis baik selama studi maupun dalam

masa-masa penyelesaiannya tesis ini.

7. Ketua Jurusan Syari'ah dan sekjur,Ketua Program Studi dan Seluruh staf jurusan

Syari'ah yang telah memberikan toleransi kepada penulis saat-saat penulis tidak

maksimal melaksanakan tugas-tugas staf di Jurusan Syari'ah,karena kesibukan

penulisan tesis.

8. Terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya khusus kepada kedua

orang tua,yang tak mungkin dapat menghitung jasa-jasa beliau dan tak pernah

mengeluh untuk mencurahkan segenap cinta kasihnya.

9. Terima kasih dan rasa sayang kepada adik-adikku:Toifur,Juhaeriah,Iil Rohilah,

maftuhatu Rizkiah dan Anis Puad yang dengan senang hati mensuport kakaknya

untuk disebut satu persatu,dari mereka penulis belajar,dari mereka saran dan

kritik telah memberikan konstribusi yang tak ternilai harganya untuk proses

kematangan intelektual penulis.

Dengan penuh kesadaran,penulis merasakan bantuan yang tak ternilai harganya dari

semuanya,tetapi tanggung jawab inetelektual terhadap isi dan pemikiran dalam tesis

ini,sepenuhnya ada pada penulis.Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan tesis

dapat memberika konstribusi kepada hazanah keilmuan kita dan memberikan

mamfaat yang besar kepada semua.

Page 7: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

vii

Serang,Juni 2002

Eka juliaha

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... ii

TRANSLITERASI ..................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR................................................................................................ iv

DAFTAR ISI............................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1

B. Perumusan Masalah........................................................................ 14

C. Tujuan Penelitian............................................................................ 15

D. Metode Penelitian........................................................................... 16

E. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 16

F. Sistematika Pembahasan................................................................ 17

BAB II BIOGRAFI SEYYED HOSSEIN NASR

A. Pendidikan dan Kegiatan Intelektual............................................. 19

B. Karya-karya dan Pemikirannya ..................................................... 24

BAB III PENDEKATAN TEORI ETIKA EKOLOGI

Page 8: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

viii

A. Pendekatan Tasawuf Terhadap Alam............................................ 30

B. Hubungan Tuhan, Manusia, dan Alam ......................................... 37

C. Kedudukan Manusia....................................................................... 46

BAB IV NILAI-NILAI ETIKA LINGKUNGAN: PERSPEKTIF TASAWUF NASR

A. Tauhid: Visi Keilahian Lingkungan...................................................... 63

B. Sufisme: Pembebasan Manusia Modern .............................................. 75

C. Kosmologi Islam: Ajaran Tentang Keseimbangan Ekolog................ 92

D. Khilafah dan Amanah Sebagai Etika Tindakan................................... 107

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................................. 113

B. Saran-saran............................................................................................... 117

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 120

Page 9: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kelahiran modernisme telah membangun peradaban manusia secara

spektakuler dan memberikan keuntungan kepada kehidupan manusia, berupa

kenikmatan dan kemudahan hidup yang tidak ada bandingannya. Sains modern

membantu manusia dalam memperoleh kekayaan yang melimpah ruah, memudahkan

komunikasi, bahkan menguasai ruang angkasa.1

Namun kemajuan sains dan tekhnologi dengan nilai-nilai modernitas yang

inheren didalamnya, disamping memberikan kemudahan bagi manusia, juga telah

memberi implikasi krisis global secara serius, kompleks, dan multidimensional, yang

segi-seginya menyentuh hampir setiap aspek kehidupan. Dari masalah ekonomi,

politik.sains dan tekhnologi, kualitas lingkungan, sampai kepada hubungan sosial

manusia. Krisis tersebut sudah meliputi krisis dalam dimensi-dimensi intelektual,

moral, dan spiritual.2

Terjadinya bencana alam di berbagai belahan bumi (seperti:banjir, longsor,

dan kebakaran hutan)adalah bukti paling nyata dari dampak krisis modernisme

tersebut, yang seringkali melahirkan pertanyaan, apakah alam raya ini diciptakan

1 Sains modern dengan prinsip-prinsip dasarnya: rasionalitas, empiris, netralitas etik, dan obyektivitas telah dianggap oleh manusia modern sebagai jaminan kebenaran untuk menjawab berbagai permasalahan kehidupan. Lihat Syamsul Arifin, Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: Sipress, 1996), h. 125.

2 Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, diterjemahkan oleh M. Thoyibi (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999), h. 3.

Page 10: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

2

oleh Sang khalik buat manusia ataukah sebaliknya manusia menjadi bagian dari alam

itu sendiri.Itulah salah satu pertanyaan penting yang kini diajukan banyak kalangan

yang mulai skeptis terhadap teologi lingkungan.3

Memang secara naluriah manusia memiliki potensi kepedulian ekologis,

namun pada tingkat aktualitasnya kepedulian ekologis manusia justru dikuasai oleh

akal dan egonya yang seringkali kontra produktif, sehingga pertumbuhan potensi

ekologi pada manusia memliki kementahan. Alam dipandang oleh manusia modern

sebagai sesuatu yang mutlak, harus dimanfaatkan dan ditaklukan secara struktural

demi kepentingan manusia. Dari itu pemaknaan hidup tidak lagi sebagai pengabdian

untuk menata kehidupan secara harmonis, melainkan telah mengukuhkan suatu

tatanan hukum yang sangat meracuni budaya yang berwawasan kemanusiaan.4

Dampak krisis juga dapat dilihat dari benyaknya statistik penderita depresi,

kegelisahan psikologis, dan sebagainya. Dampak terjelas dari ekologi sekuler

terhadap ekologi manusia yang kita lihat adalah adaya banjir dan polusi dimana-

mana, menipisnya lapisan ozon, tata lingkungan yang parsial, limbah industri, dan

polusi-polusi lain yang menimbulkan beragam penyakit. Ribuan macam penyakit

sekarang hadir dimana-mana sebagai implikasi dari sebuah ekosistem yang rusak dan

lahir karena tidak adaya kearifan manusia menjaga lingkungan.5

3 Ekologi seperti disebutkan sebagai kehidupan yang di dalamnya terdapat keharmonisan

hubungan dan kesatuan manusia dengan unsur-unsur kehidupan kosmologisnya yang harus menjadi orientasi kehidupan masa depan. Lihat Syamsul Arifin. Op. Cit., h. 17.

4 Mujiyono, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif al-Qur`an (Jjakarta: Paramadina, 2001), h. 3.

5 Syamsul Arifin, Op. Cit., hh. 175-6.

Page 11: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

3

Sementara itu, komunitas masyarakat yang belum maju sains dan

tekhnologinya, yakni masyarakat pra industri, tampak lebih kuat prilaku ekologis dan

kearifan lingkungannya yang disebut masyarakat berimbang (equibrian society),

dibandingkan dengan komunitas masyarakat maju dimana sifat kontra ekologis dan

ketidakarifan lingkungan yang disebut masyarakat berimbang (equilibrian society),

dibandingkan dengan komunitas masyarakat maju dimana sifat kontra ekologis dan

ketidakarifan lingkungan jauh lebih nampak. Sehingga konsekuensinya, mereka

menjadi masyarakat yang kurang atau tidak berimbang (unequilibrian society).6

Pergeseran prilaku ini karena adanya tuntutan keinginan dan kebutuhan masyarakat

yang semakin meningkat dan sebagai akibat dari perkembangan dan populasi

penduduk.

Krisis ekologi juga disebabkan terjadinya perbedaan watak ilmu pengetahuan

dan tekhnologi ketika terjadi perkembangan dari yang bersifat evolutif beralih kepada

perkembangan yang bersifat revolutif. Perkembagan bersifat evolutif yang disebut

dengan iptek tradisional cenderung masih terjalin dalam budaya yang ada, masih

menjaga keharmonisan sistem perubahan, disamping masih mengarah pada manusia,

sehingga persoalan etika sebagai persoalan fundmental dalam perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi masih dikembangkan dalam kerangka etik kemanusiaan

unversal. Keadaan ini kemudian mengalami perubahan fundamental setelah ilmu

pengetahuan dan tekhnologi meniggalkan watak evolutifnya dan berubah secara

revolutif .Dalam perkembangan secara revolutif. Pertimbangan etika yang

mempersoalkan baik buruknya (aspek aksiologis) ilmu pengetahuan dan tekhnologi

6 Mujiono, Loc. Cit.

Page 12: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

4

sudah mulai diabadikan bahkan selanjutnya pertimbangan etik tersebut menjadi tidak

ada.7

Krisis ekologi juga bersumber dari asumsi dominasi manusia atas alam,

dimana perkembangan sains dan tekhnologi dalam rangka eksplorasi dan eksploitasi

alam untuk kepentingan manusia. Hal ini kemudian melahirkan wujud sains dan

tekhnologi yang angkuh dan berimplikasi kepada ekologi yang kacau. Secara historis

–filosofis, wujud ekologi tersebut, berakar kuat pada pandangan rasionalisme dan

humanisme Barat yang menempatkan manusia sebagai segala-segalanya

Pengertian alam semesta sebagai sesuatu yang bersifat organik,.hidup.dan

spritual, digantikan oelh pengertian bahwa dunia ini laksana sebuah mesin. Ilmu

dalam perkembangan modern,didasarkan atas sesuatu metode penelitian yang baru

yang dikembangan dengan sedemikian kuat oleh Francis Bacon,dengan melibatkan

deskripsi matemats dan metode penalaran analitik yang disusun oleh Rene Descartes.

Semangat Bacon menimbulkan perubahan yang luar bisa pada hakikat tujuan

penelitian ilmiah, sejak zaman kuno tujuan ilmu adalah untuk mencari kearifan,

dengan memahami tatanan dan kehidupan yan harmonis dengan alam, ilmu di cari

demi keangungan Tuhan''dengan sikap dasar ilmuannya ekologis,pada abad modern,

sikap tersebut berubah dari sikap ekologis-integratif kepada sikap penonjolan diri.

Sejak Bacon,Tujuan Ilmua berubah menjadi pengetahuan yang digunakan untuk

menguasai dan mengendalikan alam,sehingga tujuan pengetahuan yang digunakan

untuk menguasai tujuan-tujuan yang sama sekali anti ekologis.

7 Syamsul Arifin, Op. Cit., h. 174.

Page 13: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

5

Dalam pandangan Bacon, alam harus ''diburu dalam pengembaraannya'',

“diikat dalam pelayanan'', dan dijadikan ''budak''. Alam harus ''dimasukkan ke dalam

kerangkeng'' dan tujuan ilmuan adalah ''mengambil rahasia alam secara paksa''.

Perubahan pandangan ini, menjadi suatu yang penting, sebagai perubahan

yang revolusioner dalam perkembangan perdaban Barat lebih jauh. Pandangan

Bacon kemudian disempurnakan oleh dua tokoh terkemuka abad ke tujuh yakni:

Rene Descartes dan Newton.

Visi Descartes tentang kepastian pengetahuan ilmiah, menyandarkan

keseluruhan pendangannya tentang alam pada pemisahan fundamental antara dua

alam yang mendiri dan terpisah,yaitu alam pikiran atau res cogitans, ''berada

berpikir'', dan alam materi atau res extensa ''benda luas''. Bagi Descartes, alam

semesta materi adalah sebuah mesin dan tidak lebih dari sekedar mesin, tidak ada

tujuan, kehidupan, atau spiritualitas di dalam materi. Alam bekerja sesuai dengan

materi hukum-hukum mekanik, dimana segala sesuatu dalam alam dapat diterangkan

dalam pengertian tatanan dan gerak dari bagian-bagiannya. Perubahan drastis

gambaran alam dari organisasi menjadi mekanik ini, mempunyai pengaruh yang

sangat kuat pada sikap manusia terhadap lingkungan alam. Jika pandangan dunia

organik telah menyiratkan suatu tata nilai yang kondusif terhadap prilaku ekologis,

maka pada pandangan ala Descartes telah memberikan persetujuan ''ilmiah'' pada

manipulasi dan eksploitasi yang menjadi karakteristik kebudayaan Barat. Bahkan

Descartes mempunyai pandangan yang sama dengan Bacon, bahwa tujuan ilmu

Page 14: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

6

adalah penguasaan dan pengendalian alam, yang menugaskan bahwa pengetahuan

ilmiah dapat digunakan untuk ''mengubah kita menjadi tuan dan pemilik alam”.8

Dalam suatu pernyataan lebih jauh disebutkan bahwa ternyata agama-agama

monoteisme universal juga bertanggung jawab terhadap kerusakan besar lingkungan

hidup ini, seperti diungkapkan oleh Lynn White Jr., bahwa ilmu dan teknologi

modern adalah berakar dalam ajaran Yahudi-Kristiani, yakni tentang penciptaan.

White membebankan seluruh masalah kerusakan lingkungan hidup diakibatkan oleh

ilmu dan tekhnologi yang berdasar kepada ilmu kepercayaan kristiani.

Dengan ringkasan yang dibuat oleh White bahwa ''Allah merencanakan

semuanya secara ekspilisit untuk kepentingan dan kuasa manusia; apa pun dalam

dunia ciptaan fisik tidak mempunyai maksud lain daripada melayani keinginan

manusia. Kendatipun tubuh manusia dibuat dari tanah, ia bukan bagian dari alam

saja; ia dibuat menurut gambar Allah. Kekristenan adalah agama yang paling

antroposentris yang pernah muncul di dunia dimana manusia sedikit banyak berbagi

dalam transendasi Allah tehadap alam. Kekristenan, dalam kontras mutlak dengan

agama kafir kuno dan agama-agama Asia, tak hanya menciptakan dualisme manusia

dan alam, tetapi juga menegaskan bahwa telah menjadi kehendak Tuhan, manusia

mengeruk (exploits) terhadap alam untuk tujuan manusia sendiri”.9

Pro dan kontra tesis White ini, disambut oleh pandangan Arnold Toynbee,

yang memandang krisis lingkungan hidup disebabkan juga oleh agama-agama

8 Capra, Op. Cit., hh. 52-63.

9 Dalam “Al-Kitab Ibrani” , Kitab yang dipakai dalam kalangan Kristen Protestan.

Page 15: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

7

monoteis yang telah menghilangkan rasa hormat terhadap alam yang Ilahi, sehingga

ketamakan manusia menjadi tak dapat ada yang menahannya. Dan menurutnya krisis

itu hanya dapat diobati dengan berbalik kembali dari pandangan monoteis ke

pandangan panteis yang lebih tua dan pernah juga lebih universal.10

Doktrin Kristiani tersebut teah mendorong timbulnya etika eksploitatif

terhadap alam.Dari etika demikian, kemudian mendorong timbulnya sains fisika

berikut sains kealaman lainnya, dan dunia modern yang sekuler. Keadaan inilah yang

telah menimbulkan berbagai bentuk krisis dunia baru seperti ancaman perang,

kerusakan lingkungan, kelangkangan pangan dan sumber daya alam, kehampaan

spritual dan sebagainya.11

Lebih jauh, kemudian ajaran etika kristiani tersebut dikembangkan, baik oleh

kepitalisme ataupun sosialis-komunis yang telah banyak menimbulkan kerusakan

ekologis. Kapitalisme dengan memberikan penekanan dibidang produksi dengan

tujuan meraih keuntungan ekonomi (economic benefit) setinggi-tingginya, telah

melahirkan adanya eksploitasi alam secara besar-besaran dengan menekan biaya

ekonomi (economic cost) yang murah. Sama halnya dalam negara sosialis komunis

dengan dukungan rezim politik yang diktator, hal itu semakin mempengaruh keadaan

lingkungan manusia.12

10 Syamsul Arifin. Op. Cit., h. 180. 11 Ahmad S yafi’ i Ma`ar i f, P eta Bumi In tlektua l Is la m d i Indonesia (Bandung:

Mizan, 1993), h . 13. 12 Mujiyono, Op. Cit., h. 5.

Page 16: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

8

Etika ekologi nonreligi diatas mengalami kewajran karena memang

berkembang di Barat, sebuah kawasan yang telah menyelesaikan hubungan agama

dan dunia dengan wilayah masing-masing. Karena itu doktrin filsafat sains (Barat)

menganggap realitas kosmis (alam) ini sama sekali tidak memiliki tujuannya sendiri.

Alam, tak ubahnya sebuah mesin raksasa secara mekanis tis . Tak ada

' 'The Other ' ' yang mengatasi alam, sehingga berposisi netral, sebagaimana

netralitas sains. Agar bertujuan, alam harus tunduk mutlak pada kemauan manusia.13

Masyarakat Barat kemudian, yang sering digolongkan the post industrial

society, suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran materi sedemikian

rupa dengan perangkat tekhnologi serba mekanisme dan otomat, bukannya semakin mendekati

kebahagiaan hidup, melainkan sebaliknya, kian dihinggapi rasa cemas akibat

kemewahan hidup yang diraihnya. Mereka telah menjadi pemuja ilmu dan tekhnologi

dengan tanpa disadari integritas kemanusiaanya terduksi, lalu terperangkap pada

jaringan sistem rasionalitas yang sangat tidak humanis.14

Sementara itu, meskipun secara ideal, agama Islam sebagai superstruktur

ideologis masyarakat muslim dengan memliki nilai-nilai yang cukup intens dalam

rekayasa lingkungan, namun secara faktual tampilan perilaku ekologis di permukaan

mayarakat Islam tampak bervariasi dan cenderung masih bersifat potensial, sehingga

belum aktual. Kajian ijtihadyah ekologis juga tampak belum mempunyai rumusan

13 Ibid. 14 Lihat Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Longmen, 1975), h. 4.

Page 17: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

9

yang memadai untuk dapat secara representatif menjawab krisis ekologis yang terjadi

di dunia modern ini.15

Kekacauan yang dimunculkan oleh perdaban manusia dalam kehidupannya

pada masa modern ini telah melahirkan banyak tokoh-tokoh yang bersifat kritis,

terutama para sarjana yang menekuni tradisi-tradisi keagamaan dunia, dan kemudian

dikenal dengan sebutan kaum tradisionalis dan neo-tradisionalis. Menurut mereka,

kekacauaan kerohanian maunsia modern merupakan tanggung jawab dari peradaban

Barat modern, yang telah tercerabut dari akar spritual trasendentalnya, dan telah

sepenuhnya bersifat antroposentris.16

Disinilah perkembangan pemikiran tentang etika ekologi menunjukan suatu

optimisme bagaimana masa depan manusia modern dapat terbingkai dengan nilai-

nilai keagamaan, khususnya melalui perspektif tasawuf sebagai dimensi esotorik

Islam, dengan upaya penelusuran kembali arti dan makna hidup yang hakiki. Dengan

memberikan landasan teologis terhadap modernitas, sehingga manusia modern tidak

mengalami split personality (keterpecahan jiwa) dalam menjalani kehidupannya di

dunia yang dibangun menjadi sebuah peradaban manusia yang bersifat global.

Oleh sebab itu, mengapa krisis ekologi dianggap sangat berkaitan erat dengan

modernisme dan mengapa persoalan masa depan dikaitkan dengan persoalan ekologi

yang kemudian persoalan etika dianggap sebagi wacana ekologi masa depan. Dalam

15 Ibid., h. 6. 16 Ibid.

Page 18: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

10

pandangan ekologi manusia, Syamsul Arifin, dengan mengutip James Robertson

dalam bukunya, The Sane Alternative:A Choice of Future menulis, bahwa Robertson

menawarkan skenario''Sehat, Humanistik, dan Ekologis'' (SHE) dengan menekankan

perlunya keseimbangan (equilibrium) dalam diri manusia secara pribadi, dengan

orang lain, dan antara manusia dengan alam dalam menghadapi masa depan yang

penuh tantangan. Keharmonisan ekologi, baik dalam pengertian ilmiahnya maupun

dalam pengertian empirik adalah sebagai kehidupan yang didalamnya terdapat

keharmonisan hubungan dan kesatuan manusia dengan kehidupan kosmilogisnya. Ini

harus menjadi titik tolak dan orientasi bagi kehidupan masa depan.17

Peradaban Barat modern yang menafikan adanya hal-hal yang transenden

telah menimbulkan kebangkrutan moralitas yang mengakibatkan terjadinya beberapa

krisis kemanusiaan, seperti Alienasi, ketidakbermaknaan hidup, dan kebingungan

spiritual. Hal inilah yang kemudian menimbulkan terjadinya kultus, kerusakan

ekologi, dan merajalelanya perdagangan oba-obat bius.

Ungkapkan senada juga dinyatakan oleh Frans Magnis Suseno (budayawan)

yang dikutip oleh Syamsul, bahwa sekarang ini sedang berlangsung kerusakan paling

gawat di negara-negara komunis Eropa Timur dimana danau-danau dan sungai yang

besar dicemari radioaktif. Dibeberapa daerah industri Jerman Timur dan Polandia

angka kematian anak-anak berkisar 10 kali lebih buruk daripada Eropa Barat. Suatu

17 Syamsul Arifin, “Ekologi Manusia” dalam Ulumul Qur`an, edisi khusus No. 5 & 6 vo. V.

1994

Page 19: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

11

gambaran Krisis Ekologi manusia yang memprihatinkan. Gambaran ini menjadi

pelajaran penting bagi dunia Islam untuk tidak mengulangi kesalahan yang telah

dibuat oleh negara-negara yang nota bene lebih maju ilmu pengetahuan dan

tekhnologinya.18

Fritjof Capra pernah menggambarkan bahwa krisis yang sama dan bersifat

multidimensi ini adalah ''krisis perseksif'', krisis yang pernah terjadi dalam fisika

selama tahun 1920-an, ia muncul dari kenyataan bahwa kita berusaha menerapkan

konsep-konsep dari pandangan dunia yang telah usang, pandangan mekanistis

sains cartesian dan newtonian-kepada realitas yang memang sudah tidak dapat lagi

dipahami dalam tema konsep-konsep. Sekarang kita hidup dalam dunia yang saling

berhubungan secara global, dimana fenomena –fenomena biologis, fisik, sosial,

maupun lingkungan saling ketergantungan. Maka untuk menjelaskan dunia ini secara

memadai kita memerlukan sebuah perspektif ekologis, yang tidak ditemukan dalam

pandangan dunia cartesian.19 Dan yang kita perlukan adalah sebuah ''Paradigma''

pemikiran, persepsi, dan nilai yang kita miliki. Gejala awal dari perubahan ini bisa

dilihat dari pergeseran konsepsi realitas mekanistis kepada konsepsi realitas bersifat

holistik yang menurut Capra akan mendominasi masa depan.

Untuk itulah, dalam tataran filosofis spritual, Islam dianggap mempunyai

legitimasi yang kuat untuk mengembangkan etika ekologi universal. Peluang kepada

18 Ibid., h. 102. 19 Capra, Titik Balik Peradaban h. xx.

Page 20: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

12

kesadaran itu menjadi optimis dengan melihat keadaaan ekologi yang sudah

mencapai titik krisis sehingga akan menggugah kesadaran ekologi (ecological

awareness). Untuk selanjutnya mencari solusi yang tidak didasarkan pada deduksi-

deduksi rasionalistik, tapi lebih mendasar lagi kembali kepada pesan-pesan perenial

yang terdapat dalam semua agama universal.20

Bagi umat Islam, disamping perlu kembali mengelaborasi pesan-pesan

universal al-Qur'an, juga perlu membuktikan dengan penciptaan infrastruktur

teknologi, ekonomi, politlik, dan ekologi dengan berdasarkan pada landasan spiritual

yang telah ada. Pada persoalan inilah umat Islam menghadapi tantangan berat karena

radius persoalannya telah sampai pada adanya dominasi struktural barat.21

Inilah yang diingatkan oleh Marshall Hodgson bahwa hal itu bisa dilakukan

apabila kaum muslimin bisa mengenali dengan baik visi dan tradisi yang dimilikinya.

Tradisi, menurut Hodgson, bukan sebagai ''seperangkat perilaku'' melainkan sebagai

''suatu dialog yang hidup dan berakar pada prefensi bersama atas peristiwa-peristiwa

kreatif tertentu'' dari masa lampau. Oleh karena itu, tradisi itu ''bukan lawan dari

kemajuan melainkan sarana baginya''. Maka tradisi itu sebernanya adalah aktualisasi

komulatif dari visi yang bersifat kontinu.22

Dalam konteks inilah, pemikiran Seyyed Hossein Nasr selanjutnya dipanggil

Nasr, mempunyai posisi penting untuk dikaji. Nasr selain memiliki basis tradisi Islam

20 Ibid. 21 Ibid. 22 Mochtar Pabotinggi, Visi, Tradisi, dan Hegemoni Budaya Muslim (Jakarta: Yayasan Obor:

1986) h. 193.

Page 21: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

13

yang kuat yaitu kultur persia dari tanah kelahirannya Iran, ia juga banyak

menghabiskan masa perambahan intelektualnya di Barat, tempat tumbuh pesatnya

sains dan tekhnologi. Nasr adalah tokoh yang dalam pemikiranya mengesankan dua

arus pemikiran yang dikonfrotasikan antara satu dan lainnya, yaitu matefisika Barat

disatu pihak dan paham matefisika Islam dipihak lain. Yang terakhir ini lebih

menekankan kepada faham sufisme, meskipun Nasr sendiri tampaknya belum sampai

pada tingkat seorang sufi yang dikenal didunia Islam.23

Dalam pencapaian maksudnya, Nasr selalu meramu paham sufisme yang

dikuasainya dengan pengalaman dan hasil studi hasil di Barat. Nasr mulai merasakan

akan kekeringan spritual pada masyarakat Barat, sehingga mensosialisasikan tasawuf

pada diri mereka merupakan keniscayaan. Dalam hal ini, ada tiga alasan utama, yaitu:

pertama, turut serta berbagi peran dalam penyelamatan kemanusiaan dari kondisi

kebingungan sebagai akibat hilangnya nilai-nilai spritual. Kedua , memperkenalkan

literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris Islam, baik terhadap masyarakat

Islam yang mulai melupakannya, maupun non Islam, khususnya terhadap masyarakat

Barat. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa sungguhnya bahwa

aspek esoterik Islam, yakni sufisme, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila

wilayah ini kering dan tidak lagi berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran

Islam.24

23 Komarudin Hidayat, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme

(Jakarta: Paramadina: 1998), h. 266. 24 Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M. (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1999) h. 263.

Page 22: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

14

Oleh karena itu, dalam menjawab berbagai permasalahan kemanusiaan di

dalam Islam, kata kuncinya, menurut Nasr, ada dalam tasawuf yang digunakan dalam

menjawab masalah yang dihadapi. Dari tela'ah tersebut ajaran ini akan dipakai

menghadapi persoalan penaklukan alam, yang kini merupakan persoalan penting di

Barat dan bahkan di dunia Islam. Hanya saja didunia Islam hal itu tampaknya masih

belum menggugah kesadaran dan belum menarik perhatian kebanyakan cerdik

cendikia Islam, walaupun masalah itu akan segera mereka hadapi sebagai masalah

gawat.25 Atas pemikiran diatas inilah paradigma baru akan dicoba untuk ditampilkan

sebagai alternatif dari paradigma sekuler, yang telah merambah kebanyakan

pemikiran umat manusia yang menimbulkan kekerasan terhadap lingkungan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, secara komprehensif penulis dapat

membuat pokok-pokok permasalahan tentang Etika Ekologi: Perspektif

Tasawuf Seyyed Hossein Nasr ini, ke dalam perumusan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah konsep Etika Ekologi Nasr, kaitan dengan pandangan

Tauhid, sebagai landasan etik bagi hubungan antara Tuhan, manusia, dan

alam.

2. Bagaimanakah pemikiran Nasr tentang konsep kosmologi Islam dan

prinsip-prinsip keharmonisan hubungan manusia dan alam untuk dapat

25 Ibid., h. 232.

Page 23: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

15

menciptakan keseimbangan Ekologi. Hal ini penting, karena persoalan

Ekologi berakar pada persoalan yang bersifat filosofis dan spiritual.

3. Bagaimanakah konsep Tasawuf Nasr teraplikasikan, sebagai jawaban

terhadap krisis Ekologi dialami oleh manusia modern.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk menulusuri pemikiran Tasawuf Nasr, dalam kaitanya dengan ide-

idenya tentang Tauhid lingkungan. Analisis terhadap pemikiran Nasr tersebut

diharap mampu menumbuhkan apresiasi kita terhadap lingkungan dan untuk

mengambil pelajaran serta hikmah didalamnya.

2. Untuk mengetahui apa konsep Nasr tentang kosmologi Islam sebagai prinsip-

prinsip keharmonisan dan keseimbangan hubungan antara manusia alam dan

selanjutnya dapat menciptakan keseimbangan Ekologi.

3. Untuk mengetahui bagaimanakah konsep tasawuf Nasr mampu menjadi solusi

terhadap krisis Ekologi yang dialami oleh manusia modern.

D. Metode Pembahasan

Dalam penelitian tesis ini, penulis bertumpu pada penelitian kepustakaan

(library Research), yaitu mempelajari berbagai data dari bahan-bahan yang berkaitan

dengan materi, baik berupa buku-buku, artikel-artikel, penelitian-penelitian yang

berkaitan dengan materi serta sumber lainnya yang mendukung dan memperkaya

data-data.

Page 24: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

16

Dalam penyajian data-data, penulis mempergunakan metode deskriptif-

analitis, yaitu presentasi data yang objektif melalui proses analisi kritis terhadap

barbagi data yang telah diperoleh dari berbagai sumber. Proses analisis kritis ini

dilakukan, terutama sekali berkenaan dengan pandangan Nasr yang berkaitan dengan

materi yang dibahas.

E.Tinjauan Pustaka

Sejauh ini ada beberapa tulisan mengenai pemikiran Nasr yang sudah terbit,

baik dalam bentukbuku maupun artikel. Namun, tulisan mengenai pemikiran Nasr

yang berkenaan dengan etika ekologi secara utuh dan komprohensif belum

ditemukan.

Azyumardi Azra dalam artikelnya ''Memperkenalkan Nasr (Jakarta 1993),

yang ditulis menjelang kedatangan Nasr ke Indonesia tahun 1993, memaparkan ide-

ide nasr yang dielaborasi dari karya-karya Nasr. Menurut Azyumardi Azra, bahwa

Nasr, seperti tercermin dalam pemkirannya, kritis terhadap modernisme dan

mengambil bentuk kembali kepada ''Islam Tradisional ''bahkan lebih dari itu Nasr

sangat mungin pula adalah seorang ''Neo-Sufisme'' yang menerima pluralisme dan

perenialisme dalam kehidupan keagamaan. Pandangan Nasr tentang sufisme

berkaitan pula dengan teorinya tentang ''rim dan axis''

Kemudian sebuah tesis yang ditulis oleh Chatib Saepullah, mahasiswa

Pascasarjana (S2) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, memuat pemikiran Nasr tentang

epistemologi. Dari hasil penelitiannya terhadap pemikiran epistemologi Nasr

Page 25: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

17

diungkap bahwa Nasr telah melakukan evaluasi kritis tentang kegagalan ilmu

pengetahuan modern yang bersifat antroposentris.

Dalam kaitan ini, Nasr menawarkan suatu filsafat pengetahuan yang

didasarkan atas prinsip-prinsip agama. Dengan mencoba melakukan rekonsiliasi

epistemologis antara agama dan ilmu pengetahuan, dimana methode memperoleh

pengetahuan tidak hanya secara empiris dan rasional, tetapi juga dengan jalan intuisi.

Nasr juga mendukung gagasan kemajemukan metodologi dan

mendasarkannya kepada prinsip tauhid. Nasr sepakat dengan pendapat para filosof

Islam yang dimulai oleh Al-Kindi dan mengalami penyempurnaan secara bertahap

oleh Al-Farabi, tentang adanya tingkatan/hirarki ilmu pengetahuan. Menurutnya,

objek pengetahuan adalah segala realitas dan realitas itu abadi, universal, memiliki

kesatuan dan hirarkis. Realitas tertinggi adalah hakikat ilahi, kemudian realitas nama

dan sifat-Nya, realitas malaikat, realitas jiwa atau alam ilahi, kemudian realitas fisik.

Adanya kesatuan hirarki realitas itu melahirkan hirarki pengetahuan, yaitu

pengetahuan intelektual, rasional, dan indrawi.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan ini, penulis menggunakan sistematika

pembahasan sebagai berikut:

Bab I, Pendahuluan: latar belakang masalah, perumusan masala, metode

pembahsan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka serta sistematika pembahasan .

Bab II, Biografi Seyyed Hossein Nasr: kehidupan awal dan pendidikan,

aktivitas intelektual dan karya-karyanya.

Page 26: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

18

Bab III, Pendekatan Teori Etika Ekologi: pendekatan tasawuf terhadap alam,

hubungan Tuhan, manusia, dan alam, dan kedudukan manusia.

Bab IV, Nilai-nilai Etika Lingkungan: perspektif tasawuf Nasr: tauhid: visi

keilahian lingkungan, sufisme: pembebasan manusia modern, kosmolgi Islam:

ajaran tentang keseimbangan ekologi, khilafah dan amanah sebagai etika tindakan.

Bab V, Penutup: Kesimpulan dan saran-saran.

Page 27: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

19

BAB II

SEKILAS TENTANG BIOGRAFI SEYYED HOSSEIN NASR

A. Pendidikan dan Kegiatan Intelektual

Ssyyed Hossein Nasr lahir pada tahun 199 M di Teheren, Iran. Ayahnya

seorang ulama terkenal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama dalam

tradisi dan lingkungan ulama Syia'ah Tradisional. Iran adalah sebagai negara tempat

lahirnya para sufi,filosofi,ilmuan,dan penyair muslim terkemuka.1

Pendidikan awal Nasr dimulai di teheren, kota kelahirannya. Kemudian ayah

Nasr mengirimnya belajar kepada sejumlah ulama besar Iran, termasuk kepada

Ayatullah Muhammad Husin Thabathaba'i (1310 H/1892 M-1401 H/1981 M),

seoarang ahli tafsir dan penulis Tafsir al-Mizân, selama 20 tahun. Setelah

menamatkan pendidikan menegah di Iran, Nasr melanjutkan pendidikannya di

Massachusets Institut of Technology (MIT), Amerika Serikat, dalam bidang sejarah

sains, khususnya sains Islam, hingga memperoleh gelar B.Sc. (Bahelor of Science).

Pendidikan selanjutnya di Harvard University dan berkonsentrasi pada bidang yang

sama. Gelar Ph.D-nya diraih pada tahun 1958 dibawah bimbingan seorang orientalis

terkenal, Hamilton A-R Gibb, dengan disertai tentang berbagai teori kosmologi

1 Seperti beberapa nama, Mulla Sadra dan Sabziwari dalam bidang filsafat; Jalaluddin Rumi,

Hafidz dan sa`di bidang tasawuf dan syi`ar; Umar Khayam dan Al-Biruni dll. Secara lebih lengkap lihat Nasr, Science and Civilization in Islam: An Introduction to Islamic Kosmological Doctrine (Cambridge: Harvard University press, 1964), Bab: VIII & XII.

Page 28: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

20

Islam. Revisi disertasi tersebut diterbitkan menjadi buku yang berjudul Sciense and

Civillzation in Islam (1968).2

Iran sebagai negeri yang menjadi latar belakang sosial dan intlektual Nasr,

dapat dipandang sebagai tempat yang merepresentasikan kontinuitas perkembangan

pemikiran keagamaan, khususnya filsafat dan sufisme di dunia Islam hingga abad-

abad terakhir. Filsafat Islam, seperti yang diakui Nasr sendiri, memiliki kehidupan

yang lebih lama di bagian timur ketimbang di bagian barat dunia Islam. Bahkan, di

persia, filsafat Islam tetap bertahan hidup selama beberapa abad terakhir. Berbagai

ajaran pemikiran Islam yang berkembang selama tiga abad mencapai puncaknya

dalam periode Safawid di Persia dengan Isfahannya. Tokoh terpenting dari

ajaran in i ialah Sadr al-Din Shirazi, yang dikenal sebagai Mulla Sadra (lahir di Shiraz

tahun 979/171). Ia merupakan tokoh yang berpengaruh dalam kelanjutan tradisi

Islam sampai hari ini dan dianggap sebagai metafisikawan muslim terbesar.3

Selama periode Qajar, Teheran secara bertahap meningkat menjadi pusat studi

filsafat Islam, banyak guru-guru yang terkenal di akhir periode Qajar dan Pahlevi itu,

seperti Mirza Mahdi Asytiyani (w. 1373/1953), Sayyid Abu al-Hasan Qazwini

(w. 1394/1975) yang mengajar di Teheran. Setelah Perang Dunia II, Qum juga

menjadi suatu pusat pengajaran filsafat Islam yang penting, dengan salah seorang

tokoh utamanya 'Allamah Sayid Mohammad Hossein Thabathaba'i (w. 1402/1981)

2 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoev, Cet. Ke-4, 1999), jilid 2, h. 80-2. 3 Nasr, Intlektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis, diterjemahkan oleh Suharsono dan

Djamaluddin MZ (Yogyakarta: CIIS Press, 1995), h. 77.

Page 29: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

21

yang menulis Ushul-I Falsafah wa Rawish-I Ri'alism ( The Principle of Philosophy

and the Method of Realism ).4

Di Iran, filsafat tetap tumbuh dan berkembang dengan mengambil bentuk baru

yang disebut filsafah hikmah. Secara struktur filsafah ini merupakan kombinasi unik

dari pemikiran rasional dan intuisi gnostik atau filsafat rasional dan pengalaman

mistik. Ia dapat dikatakan suatu bentuk khusus filsafat skolastik yang didasarkan atas

intuisi eksistensial realitas. Tampaknya secara historis, kecenderungan ini bersumber

dari pandangan-pandangan metafisik Ibn 'Arabi dan Suhrawardi. Namun demikian,

filsafah Islam merupakan filsafah rasional yang memiliki struktur logika yang jelas

yang dipengaruhi pula oleh Ibn sina. Tokoh terkemuka dari aliran filsafah ini ialah

Mir Damad, Shadr al-Din al-Shirazi, dan Mulla Hadi Subziwari. Mir Damad adalah

guru dari Shadr al-Din al-Shirazi yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra.

Selanjutnya sistem filsafah yang dikembangkan oleh Mulla Shadra merupakan sistem

yang paling berpengaruh dn banyak pengikut di Iran. Karya-karyanya banyak dikaji

baik di kalangan madrasah-madrasah tradisional maupun dibeberapa universitas

modern.5

Selain secara geografis-historis, tradisi keagamaan syi'ah juga menjadi faktor

pendukung berkembangnya pemikiran filsafah di Persia. Kalau kalangan Sunni

menolak hampir seluruh filsafah setelah Ibn Rusyd, kecuali logika dan

kesinambungan pengaruh filsafah dalam metode argumentasi, juga beberapa paham

4 Ibid. 5 Ibid.

Page 30: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

22

kosmologis yang masih ada dalam formulasi teologi dan doktrin sufi tertentu, tetapi

dikalangan syi'ah filsafah aliran peripatetik dan illuminasi terus diajarkan dan

merupakan tradisi yang hidup sepanjang zaman di sekolah-sekolah agama Syi'ah.6

Filsafah peripatetik yang dasar-dasarnya diletakkan oleh al-Farabi adalah

filsafat yang mengarah ke suatu filsafat yang berdasarkan penggunaan kemampuan

logika dan bertumpu hakikatnya pada metode sylogistik. Aspek rasionalitas aliran ini

mencapai puncaknya pada Ibn Rusyd, yang menjadi tokoh paham filsafat Aristoteles.

Aliran peripatetik ini bertumpu kuat pada metode sylogis Aristoteles dan berupaya

mencapai kebenaran dengan cara argumen berdasar nalar. Sedangkan aliran

Illuminasi (Isyraqi) tokoh pentingnya adalah Suhrawardi. Aliran ini mengambil

doktrin dari ajaran Plato, Persia kuno dan wahyu Islam itu sendiri, dengan

memandang intuisi intlektual dan illuminasi (penerangan) sebagai metode dasar dan

diturut secara bersamaan dengan penggunaan nalar. Aliran illuminasi ini

menggabungkan metode penalaran dan metode intuisi intlektual.7

Selanjutnya, dalam kegiatan intlektual Nasr setelah studi di Barat, diangkat

menjadi guru besar sains dan filsafat Islam pada universitas Teheran. Pada tahun

1962-1965 ia diangkat sebagai guru besar tamu di Harvard University dan dalam

periode yang sama, ia juga dipercayai sebagai pemegang pertama Agha Khan Chair

untuk kajian Islam yang baru saja dibentuk di Amerika University, Beirut. Setelah

6 Seyyed Hossein Nasr, Sains, h. 271. 7 Ibid.

Page 31: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

23

untuk kajian Islam yang baru saja dibentuk di Amerika University, Beirut. Setelah

selesai bertugas di Harvard, kembali mengajar di Teheran yang kemudian menjadi

dekan Fakultas Sastra dan Seni (1968-1972). Nasr juga pernah memangku jabatan

pembantu rektor Universitas Teheran yaitu pada tahun 1970-1971. Kemudian

diangkat sebagai konselor Arya Mehr University of Tecnology, Teheran sampai ia

meninggalkan Iran menjelang meletusnya Revolusi Islam Iran (1979).

Pada masa kekuasaan Syah Mohammad Reza Pahlevi (1919-1980), Nasr

termasuk pendiri Akademi Filsafat Iran yang diangkat sebagai presiden lembaga

ilmiah tersebut salama periode 1975-1976. Selain itu ia bersama Ayatullah Murtadha

Mutahhari (1919-1979), Ali Syari'ati (1933-1977), dan beberapa tokoh lain, pada

akhir 1965 mandirikan Husyaimah Irsyah, lembaga yang bertujuan mengembangkan

ideologi Islam berdasarkan perspektif Syi’ah, yang kemudian menjadi pusat

kaderisasi pemuda militan revolusioner. Menjelang ditutupnya Husyaimiah Irsyad

oleh rezim Syah pada tahun 1973, Nasr dan Mutahhari keluar dari lembaga ini, yang

menurutnya telah dikuasai oleh Ali Syari’ati. Nasr sangat mengecam Ali Syari’ati

yang dalam pandangannya keliru menampilkan Islam sebagai agama revolusioner

dengan menghilangkan aspek spiritualnya. Menjelang revolusi Iran, Nasr berada di

Amerika Serikat dan memutuskan untuk tidak kembali ke Iran. Ia mengajar

diberbagai universitas, seperti Temple University, Philadelphia, dan akhirnya di

Goerge Washington University.8

8 Ensiklopedi Islam, Jilid 2, hh. 80-2.

Page 32: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

24

B. Karya-karya dan Pemikirannya

Nasr telah banyak menulis barbagai buku, antara lain; Three Moslems Sage

(Tiga Muslim yang Bijak), Ideals and Realities in Islam (Cita-cita dan Realitas dalam

Islam: 1964), An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Suatu Pengantar

Ajaran Cosmologi Islam), Science and Civilization in Islam (Ilmu Pengetahuan dan

Peradaban dalam Islam), Sufi Essays (Esai tantang Sufi), An Anotated Bibliography

of Islamic Science (Bibliograpi Beranotasi Sains Islam), Man and Nature (Manusia

dalam Alam), The Spritual Crisis of Modern Man (Krisis Spiritual Manusia Modern),

Islam and the Plight of Modern Man (Islam dan Kegelisahan Manusia Modern),

Islamic Sceince: An Illustrated Study (Sains Islam: Sebuah Studi Bergambar), The

Transendent Theosophy of Sadr ad-Din-as-Shirazi (Teosofi Transeden Sadruddin

Syirazi), Islamic Arts and Spirituality (Seni Islam dan Spiritualitas), Need For a

Socred Science (Kebutuhan Terhadap Sains Kudus), Islamic Life and Thought

(Kehidupan dan Pemikiran Islam), Knowledge and the Sacred (Pengetahuan dan

Kekudusan), The Isalmic Philosophy of Science (Filsafat Ilmu Pengetahuan Islam),

dan Traditional Islam in the Modern World (Islam Tradisional di Dunia Modern:

1987). Sebagian buku-bukunya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.9

Filsafat secara khusus mendapat tempat istimewa dalam perhatian dan

pemikiran Nasr. Seperti dalam pandangan tentang filsafat:

9 Ibid.

Page 33: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

25

Falsafah in Islam satisfied a certain need for causality among certain types of man, provided the necessary logical and rational tools for cultivation and development of many of arts and sciences, enabled muslim to encounter, and finally become a handmaid to illumination and gnosis, thus creating a bridge between the regour of logic and the acstacy of spiritual union10

Filsafat perenial manjadi salah satu tema penting dalam pemikiran

tradisionalis, yang Nasr terlibat dalam wacana tersebut.bagi Nasr, perenialisme

merupakan diskursus penting, dimana Islam harus ikut serta di dalamnya.

Perenialisme atau filsafat perenial merupakan pemikiran kefilsafatan yang

menyangkut metafisika universal dan dalam Islam merupakan terjemahan dari

istilah Arab “al-hikmah al-atiqah (pengertiannya secara harfiah adalah

“kebijaksanaan yang tua”). Dikalangan para filosof Islam, gagasan perenialisme

sudah diperkenalkan lebih dulu oleh Ibn Maskaweh dengan karyanya berjudul al-

Hikmah al-Khalidah (Everlasting Wisdom, kebijaksanaan abadi), di dalam karya-

karyanya itu, ia telah banyak membicarakan pemikiran-pemikiran dan tulisan orang-

orang suci dan para filosof, termasuk orang yang berasal dari Persia Kuno, India,dan

Romawi. Tradisi intlektual Islam ini, secara hostoris telah menampakkan diri dalam

dua aspek, yaitu gnostik (irfan) dan filsafat hikmah, dimana dalam memandang

sumber-sumber kebenaran, menurut filsafat ini sudah terdapat di dalam ajaran para

nabi terdahulu.

10 Falsafah dalam Islam dapat memenuhi kebutuhan tertentu tentang hukum kausalitas bagi

orang-orang tertentu. Ia memberikan perlengkapan yang penting bagi logika dan rasio untuk menumbuhkan dan mengembangkan berbagai seni dan ilmu pengetahuan. Falsafah juga berfungsi sebagai landasan perjuangan Muslim, di samping sebagai jembatan yang menghubungkan antara semangat logika dan kepuasan spiritual. Lihat Nasr, “The Meaning and Role of Philosophy in Islam”, dalam Studi Islamica, Vol. 37, Paris, 1973, h. 79.

Page 34: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

26

Istilah perennis diduga untuk pertama kali digunakan oleh Agustinus

Steuchus (1497-1548) sebagai judul karyanya De perenni Philosophia yang

diterbitkan pada tahun 1540. Istilah itu kemudian dimasyhurkan oleh filosof modern,

Leibnitz.11 Menurut Huxley, filsafat perenial merupakan metafisika yang

menganggap bahwa dalam dunia wujud, kehidupan dan jiwa secara substansial

terdapat realitas ketuhanan, atau etika yang menempatkan tujuan akhir manusia dalam

mengetahui dasar semua wujud yang imanen maupun transenden adalah abadi dan

universal.12

Inti filsafat ini menyelidiki terutama tentang Yang Esa, substansi realitas

ketuhanan yang memancar ke berbagai wujud, kehidupan, jiwa. Filsafat ini juga

mempunyai banyak cabang dan rantinnya yang berhubungan dengan kosmologi,

antropologi, seni, dan disiplin lainnya dan memandang segala sesuatu secara religius

dan menentang segala bentuk relativisasi. Bersamaan dengan itu, filsafat ini

menentang konsepsi-konsepsi kebenaran parokial, yaitu melihat sesuatu panjelmaan

tertentu dari suatu kebenaran sabagai kebenaran itu sendiri.13

Filsafat perenial manganggap bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi

esoterik terdapat suatu pengetahuan dan pesan-pesan keagamaan yang sama, yang

dikemas dalam berbagai bantuk simbol. Dalam agama Hindu dan Budha ada yang

11 Seyyed Hossein nasr, “Preface” dalam Frithjof Schuon, Islam and the Perenial Philosophy,

(London: Word of Islam, Festival Publishing co. 1976), h. vii. 12 Aldous Huxley, The Perennial Philosophy (London: Fontana Books, 1959), h. 9. 13 Nasr, “Filsafat Perenial: Perspektif Alternatif untuk studi Agama”, dalam Ulumul Qur`an,

Vol III, no. 3, 1992, h. 92.

Page 35: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

27

disebut Sanata Dharma , yaitu kebijaksanaan abadi yang harus menjadi

kontekstualisasi agama itu dalam situasi apa pun. Sehingga agama memanifestasikan

diri dalam bentuk etis dalam keluhuran hidup manusia.14

Selanjutnya, bagi kaum perenialis, tauhid dalam Islam bukan hanya milik

Islam, melainkan lebih sebagai jantung agama. Islam sebagai agama, tak lain

adalah penegasan kembali tauhid, dan semua agama dipandang sebagai pengulangan

dalam penegasan gagasan tauhid, tetapi dalam iklim dan bahasa yang berbeda. Oleh

kerena itu, dalam setiap agama gagasan tauhid akan ditemukan.15

Pemikiran Nasr tersebut berdasarkan pada kerangka dasar sufisme. Tasawuf,

seperti yang dikatakan Nasr sebagai dimensi dalam dari wahyu keislaman, adalah

upaya yang luhur dan sebagai upaya untuk mencapai kemurnian tauhid. Sedangkan

tauhid bagi umat Islam adalah menjadi landasan etika yang paling dasar ketika

pertama kali menyatakan keislamannya. Semua orang Islam yakin akan ketuhanan

(tauhid) sebagaimana terungkap dalam pengertiannya yang paling universal, yang

terdapat di dalam lafaz syahadat “la illaha illa Allah”,namun bagi Nasr, hanya oleh

seorang sufilah konsep kesatuan itu telah mampu malaksanakan. Hanya ia yang

menyaksikan Tuhan di mana-mana. Manurut Nasr, kebanyakan manusia menyakini

keesaan Tuhan, namun sesungguhnya dia hidup dan berbuat seolah-olah dengan

banyak Tuhan. Dengan demikian mereka sebetulnya talah terjangkit dosa politeisme

14 Budhi Munawar Rahman, “Kebijasanaan Perenial dan Kritik Terhadap Modernisme”,

Kompas 22 Mei 1993. 15 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (New York: Crossroad, 1981), h. 17.

Page 36: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

28

atau syirik. Maka tasawuf berusaha menelanjangi syirik ini dan oleh kerenanya

tasawuf mengobati jiwa dari penyakit yang parah dan tasawuf bertujuan untuk

menjadikan manusia utuh kembali sebagaimana ketika ia ditaman firdaus. Dengan

kata lain, tujuan tasawuf adalah pengutuhan manusia kembali dengan seluruh

kedalaman dan keluasaan keberadaannya. Dengan seluruh keluasan yang tercakup

dalam pribadi manusia universal. (Insan Kamil). Tujuan tasawuf untuk mencapai

keadaan paling murni ini, bukan melalui peniadaan akal pikiran sebagaimana sering

terjadi di dalam praktek kesalehan gerak keagamaan tertentu, namun melalui

pengutuhan tiap unsur dari wujud seseorang menuju pusatnya sendiri secara benar.16

Untuk lebih khusus mengikuti pemikiran Nasr terhadap masalah-masalah

modernisme diperjelas oleh metodologi pemikitannya, yaitu metode komparasi yang

dipergunakan Nasr untuk dapat memahami kontradiksi-kontradiksi dalam tradisi

filsafat Timur dan Barat. Menurut Nasr, filsafat yang harus dipahami dalam metode

ini adalah filsafat dengan dua pengertian sebagai proses pemikiran secara terpadu

dengan pengalaman spiritual dan sebagai proses pemikiran yang sama sekali terlepas

dari pengalaman spiritual, karena bagi Nasr, manusia kontemporer telah kehilangan

bahasa kebijaksanaannya secara seragam, manusia-manusia modern tidak lagi

memiliki landasan bersama untuk memungkinkankomunikasi yang berarti, terutama

sekali diantara dunia modern dan tradisi-tradisi timur.17

16 Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, h. 36-8. 17 Seyyed Hossein Nasr, Nestapa Manusia Modern diterjemahkan oleh Anis Mahyudin

(Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), h. 48.

Page 37: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

29

Selanjutnya, istilah “tradisi” menurut pengertian dasar yang dipergunakan

oleh para “tradisionalis” merupakan term yang menyiratkan sesuatu yang sakral

seperti kalam dalam Islam yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu ataupun

pengungkapan dan pengembangan pekan sakral itu di dalam sejarah kemanusiaan

tertentu, dalam suatu cara yang mengimplikasikan baik kesinambungan horizontal

dengan sumber-sumber ataupun dengan mata rantai vertikal yang menghubungkan

tiap denyut kehidupan tradisi yang sering diperbincangkan dengan realitas transenden

metahistorikal. Oleh karena itu dalam pengertian yang mendasar, tradisi bisa

berarti al-din, dalam pengertian seluas-luasnya yang mencakup seluruh aspek agama

dalam percabangannya. Bisa pula disebut al-sunnah, yaitu apa yang didasarkan pada

model-model sakral dan menjadi tradisi sebagaimana umumnya dipahami. Bisa juga

diartikan “silsilah” yaitu rantai yang mengkaitkan setiap periode episode tahap

kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada sumber-sumber, seperti yang

digambarkan Nasr, bagai sebuah pohon dimana akar-akarnya tertanam melalui

wahyu di dalam sifat ilahi dan dari pohon tradisi itu tumbuh batang dan cabang-

cabang sepanjang zaman. Di jantung pohon tradisi itu berdiam agama. Tradisi

menyiratkan kebenaran yang langgeng dan tetap. Kebijaksanaan yang oleh prinsip-

prinsipnya yang langgeng terhadap berbagai situasi ruang dan waktu.18

18 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, diterjemahkan oleh

Luqman harun dan Thahiruddin Lubis (Bandung: Pustaka, 1987), h. 3.

Page 38: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

30

BAB III

PENDEKATAN TEORI DAN ETIKA EKOLOGI

A. Pendekatan Tasawuf Terhadap Alam

Descartes adalah diantara tokoh filsafat modern yang terkenal dengan

pernyataannya “Cotigo ergo sum”, saya berfikir maka saya ada”. Pernyataan tersebut

menyimpulkan bahwa hakekat manusia adalah pikirannya dan bahwa semua benda

yang dapat kita tangkap secara jelas dan benar. Cotigo Descartes ini telah

membuat pikiran menjadi lebih pasti dari pada materi dan membawa pada kesimpulan

bahwa akal dan pikiran merupakan dua hal yang terpisah dan berbeda secara

mendasar. Descartes menyandarkan keseluruhan pandangannya tentang alam pada

pemisahan fundamental antara dua alam yang mandiri dan terpisah, yaitu alam

pikiran, (res cotitaris), dan alam meteri atau res extansa, atau “benda ruang”.1

Baik pikiran maupun materi merupakan ciptaan Tuhan yang menampilkan

titik referensi yang sama, yang menjadi sumber tatanan alam yang pasti dan sumber

cahaya penalaran yang memungkinkan manusia mengenali tatanan alam ini. Dalam

pandangan Descartes tersebut, eksistensi Tuhan masih dianggap sangat esensial

dalam filsafat alamnya. Tapi pada abad-abad berikutnya para ilmuan

menghilangkan setiap referensi eksplisit kepada Tuhan dan mengembangkan teori-

teori mereka sesuai dengan pemisahan Descartes terhadap ilmu-ilmu kemanusiaan

1 Capra, Op. Cit., h. 61.

Page 39: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

31

yang memusatkan pada rescogitans dan ilmu-ilmu alam memusatkan pada res

extanse.2

Dalam pandangan Descartes, alam materi adalah sebuah mesin dan tidak lebih

dari itu, tidak ada tujuan kehidupan dan spiritualitas di dalam materi. Alam bekerja

sesuai dengan hukum mekanik, dan segala sesuatu dalam alam materi dapat

diterangkan dalam pengertian tatanan. Gambaran alam mekanik inilah yang telah

menjadikan paradigma ilmu bersifat antroposentris3 setelah masa Descartes, dan

mempunyai pengaruh yang sangat kuat pada sikap manusia terhadap lingkungan

alam. Pandangan tersebut dikenal dengan “pandangan sekuler”, dimana manusia

menjadi pusat kemanusiaannya (antroposentris). Paradigma antroposentris tersebut

masuk ke dalam seluruh struktur pemikiran modern yang berkembang sejak abad

XVIII dan momentumnya paling jelas adalah abad ke-20 ini.4

Berbeda dengan pandangan sekuler, pendekatan tasawuf terhadap alam cukup

memiliki kearifan terhadap lingkungan. Berdasarkan kepada pengertian yang dalam

bahwa Tuhan menciptakan alam karena Dia ingin melihat “citra diri-Nya”. Alam

diciptakan atas dasar citra Tuhan, sehingga puncak dari kesadaran kehidupan etik

manusia dalam tercapainya kulitas ketuhanan dalam dirinya atau tercapainya citra

Ilahi dalam diri seseorang.

2 Ibid., h. 62. 3 Suatu pandangan yang hanya mengutamakan kepentingan manusia, sebagai satu-satunya

pertimbangan bagi seluruh kebijakan ekologis yang dianggap relevan sebagai pertimbangan moral atau manusia sebagai “egoisme species” dalam istilah Frankena-sebagai satu-satunya “moral patieni” . Lihat Alois A. Nugroho, Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 92.

4 Ibid.

Page 40: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

32

Untuk meraih kualitas citra ilahi itulah dalam Islam terdapat cara untuk

mencapai kehidupan yang benar dengan menekankan keseimbangan dalam

kehidupan.Islam memanifestasikan diri dalam kesatuan syari'ah (hukum tuhan) dan

thariqah(jalan spiritual yang sering disebut sufisme atau tasawuf). Syari'ah sebagai

dimensi eksoterik Islam,yang berurusan dengan aspek lahiriah, sedangkan thariqah

merupakan d imensi esoterik Islam, yang berurusan dengan aspek

ba th inia h .5

Sufisme atau tasawuf dalam istilah qur'aninya disebut "ihsan" (berbuat

kebaikan)atau kebajikan tertinggi6. Pengertian tasawuf tersebut, lebih jelas

diungkapkan oleh Harun Nasution, bahwa tasawuf adalah tercapainya kedudukan

akan adanya hubungan kedekatan dengan Tuhan. Kesadaran akan adanya komunikasi

dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan

berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan dapat mengambil bentuk

ittihad yakni bersatu dengan Tuhan.7

Selanjutnya, untuk dapat memahami pendekatan tasawuf terhadap alam,

terdapat beberapa pandangan tasawuf terhadap alam, yakni:

5 Lihat Amin Abdullah. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1996), hh. 148-58. 6 Kautsar Azhari Noor, “menyemarakkan Dialog Agama: Perspektif Kaum Sufi” dalam

Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1996) h. 62. 7 Harun Nasution: Falsafah dan mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 56.

Page 41: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

33

a. Alam sebagai wahyu (ayat) Tuhan.

Islam memandang alam bukan sebagai realitas yang independen. Akan tetapi,

alam adalah sebagai ayat-ayat Tuhan, untuk memahami-Nya sebagai Realitas

Absolut. Alam sebagai simbol bagi adanya realitas metefisika, sebagai cermin

universal yang merefleksikan eksistensinya yang berada diatas dunia. Alam dikatakan

sebagai bayang-bayang Tuhan. Alam semesta berasal dari yang Tak Terbatas dan

Yang Mutlak, oleh kerena itu diberikannya alam sebagai kunci yang menyingkap

rahasia-rahasia wujud manusia sendiri bagaimana rahasia-rahasia alam semesta.

Perwujudan yang mutlak dalam bentuk simbol-simbol (rumuz) tersebut adalah

suatu aspek ontologis dan merupakan wahyu mengenai tatanan kenyataan yang lebih

tinggi di dalam tatanan yang lebih rendah melalui mana manusia bisa dibimbing

kembali ke arah dunia yang lebih tinggi. Maka memahami simbol-simbol adalah

menerima susunan bertingkat-tingkatan alam semesta dan tingkatan-tingkatan hidup

yang jamak.8

b. Adanya kesatuan dan salingberhubungan alam menuju kelangggengan.

Dari sudut pandang ajaran metafisik dan kosmologi (tasawuf) terdapat

beberapa unsur yang langgeng didalam hubungan manusia dan alam. Pertama, adalah

bahwa lingkungan kosmik bukanlah kenyataan akhir, namun memiliki ciri-ciri nisbi

dan khayali. Jika seseoarang memahami apa yang dimaksud dengan yang Mutlak

(mutlaq), maka dengan pernyataan yang sama seseorang memahami yang nisbi

8 Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, h. 118.

Page 42: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

34

(muqayyad) dan akan sampai pada kesimpulan bahwa semua yang tidak mutlak sudah

barang tentu nisbi.9 Kedua, aspek dunia sebagai tirai (hijab) dalam bahasa tasawuf

adlah dengan sendirinya merupakan suatu unsur yang langgeng dari kosmos. Alam

semesta dalam aspek kosmiknya, selalu maya dan akan terus sebagai maya. Yang

Mutlak selalu mutlak dan yang nisbi selalu nisb. Di sini sifat alam yang berubah

melahirkan kenyataan yang langgeng yang bersifat metafisika yang

mentrasendensikannya. Membuktikan nisbinya kejadian-kejadian adalah buat

mengetahui, dengan memperluas pengetahuan yang sama, tentang yang Mutlak dan

Yang Langgeng.10

Proses perubahan alam ini dipandang sebagai pola-pola yang tetap, yang

denga pengulangan memadukan waktu dan proses ke dalam citra kekekalan dari

adanya kesatuan dan salinghubungan dalam seluruh hirarki realitas.

c. Keindahan dan keselarasan alam, adalah aspek ontologi alam.

Segala kejadian atau jagad raya ini disebut sebagai ''cosmos'' (Cosmos berasal

dari bahasa Yunani), sedangkan dalam bahasa Arab disebut sebgai ''alam'' ('alam),

satu akar kata dengan ''ilm'' (ilmu pengetahuan) dan ''alamat'' (alamiah, pertanda).

Disebut demikian karena jagat raya ini adalah pertanda adanya Sang Maha Pencipta,

yaitu Tuhan Yang maha Esa.

9 Ibid., h. 116. 10 Ibid., h. 117.

Page 43: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

35

Sebagai pertanda adanya Tuhan, jagad raya menjadi sumber pelajaran dan

ajaran bagi manusia. Salah satu pelajaran yang diambil dari pengamatan terhadap

alam saemesta ialah keserasian, kearmonisan, dan ketertiban. Alam raya diciptakan

sebagai haq, tidak bathil, tidak dalam keadaan kacau, melainkan tertib dan indah

tanpa cacad,11 makanya disebut unsur kualitatif dan kerohanian alam yang

merupakan aspek ontologi alam sendiri.12

Sebagai sesuatu yang serba baik dan serasi, alam yang juga berhikmah, penuh

maksud dan tujuan, tidak sia-sia. Alam raya adalah eksistensi teleogis. Hakikat

alam yang penuh hikmah, harmonis, dan baik itu mencerminkan hakikat Tuhan,Yang

Maha Pencipta.

Seperti yang dijelaskan oleh Isma'il al-Faruqi:

Hakikat cosmos adalah teleogis, penuh maksud, memenuhi maksud Penciptanya, dan cosmos bersifat demikian adalah karena adanya rancangan. Alam tidaklah diciptakan sia-sia, atau secara main-main, Alam bukanlah hasil suatu kebetulan, suatu ketidaksengajaan. Alam diciptakan dalam kondisi sempurna. Semua yang ada begitu harmonis dan memenuhi suaut tujuan Universal. Alam ini adalah benar-benar satu ''cosmos'' (Keharmonisan) bukan suatu kekacauan.13

Penciptaan alam penuh hikmah dan mempunyai tujuan ini, disebutkan dalam

firman Allah SWT.Surat al-Imran/3:190-191

الذين . إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب

11 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1986), h. 290. 12 Ibid., h. 239. 13 Isma`il dan Lois Lamyu, al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillas

Pub. CO., 1986), h. 74.

Page 44: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

36

يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والأرض ربنا

لقتا خارمالن ذابا عفقن كانحباطلا سذا به Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi (jagad raya) pastilah terdapatayat-ayat bagi mereka yang berakal budi.Yaitu mereka yang selalu ingat kepada Allah SWT,baik pada saat berdiri,saat duduk,maupun pada saat berada pada lambung-lambung mereka(berbaring),lagi pula pemikiran kejadian seluruh langit dan bumi ini,(seraya berkata),''ya Tuhan kami,tidaklah engkau menciptakan ini semuam secara bathil.Maha suci Engkau,maka Lindungilah kami dari azab neraka.

d. Alam saebagai mi'raj (the ladder)

Bagi seorang sufi, alam merupakan tempat bagi perjalanan spritualnya

''spritual voyage''.14 Dalam hubungan manusia dengan alam semesta, manusia

memandang eksistensi alam dalam tingkatan wujud uinisversal (al-wujud al-kulli).

Dengan ini manusia dapat mengetahui secara pasti darimana ia datang, mengapa ia

hidup dan kemana ia akan pergi. Al-Qur'an memberikan ketentuan ini dalam kata-

kata yang agung: ''Sungguh, kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami

kembali''.15

Seperti pengajaran yang bijak dari Ibn Sina, yang menjelaskan kesempurnaan

jiwa rasional, yaitu cita-cita yang harus dicapai oelh seorang sufi. Gagasan kuncinya

adalah perubahan jiwa dengan menerima apa yang ada di baliknya. Dimulai sebagai

14 Mulla Shadra mengungkapkan bahwa ada empat safar yang harus dilakukan. Pertama, safar min al-khalaq ila al-Haq (safar dari lam makhluk menuju Tuhan); kedua, safar fi al-Haq ma’a al-Haq (safar dalam Allah bersama Allah); ketiga, safar min al-Haq ila al-khalq ma`a al-Haq (safar dari Allah menuju mahkluk bersama Allah); dan keempat, safar fi al-khalq ma’a al-Haq (safar bersama Allah dalam makhluk). Dikutip dari Hussein Shahab “Madzhab Tasawuf Perspektif Ahlul Bait” dalam Kuliah-kuliah Tasawuf (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), hh. 85-94.

15 Q.S. Al-Baqarah/2: 191

Page 45: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

37

suatu ''akal materi'' (al-aql al-hayulani). Disini Ibn Sina ingin menggambarkan ''jalan

yang harus dilintasi untuk maju dari tahap potensi murni menuju aktualita total.

''Materi'' dalam ''Akal Materi'' tidak berarti terbuat dari materi dalam pengertian

modern. ''melainkan belum menjadi bentuk '' dalam pengertian Aristoteles, yakni

sifat-sifat rasional dan intelektualnya yang akan dapat memberinya identitas manusia

yang khas sebagaimana jiwa yang murni.16

B. Hubungan Tuhan,Manusia,dan Alam.

Ajaran Islam menekankan keesaan Tuhan. Bahwa di luar segala sesuatu dan

di atas segala sesuatu adalah keesaan-Nya,seperti disebutkan dalam al-Qur'an:

دأح الله وقل ه .دمالص الله .ولدي لمو لدي لم .دا أحكفو له كني لمو Katakanlah,Dialah Allah yang Maha Esa,Allah tempat bergantung segala Sesutu,Dia tidak pernah beranank dan tiada pula diperanakkan,dan tidak ada seorangpun yang menyamai-Nya.17

Kerangka teologis dari ajran Keesaan Tuhan inilah yang mendasari segala

ide, pemikiran dan sikap, tindakan manusia dalam mempresepsi kehidupannya.18

Termasuk juga dasar hubungan Tuhan-manusia dan alam. Bahkan dinyatakan dalam

al-Qur'an bahwa manusia mengikararkan keesaam Allah dan Kekuasaan-Nya sejak

16 Sachiko Murata, The Tao of Islam, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti & M.S. Nasrullah

(Bandung: Mizan, Cet. Ke IV 1998), h. 343. 17 Qs: Al-Ikhlâsh/112: 1-4 18 M. Tasri dan Elza Peldi Taher. “pengantar” dalam Agama dan Dialog Antar Peradaban

(Jakarta: Paramadina, 1996), h. xi-xiii.

Page 46: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

38

sebelum penciptaanya didunia, seperti dalam ungkapan al-Qur'annya :''Alastu bi

rabbikum'', ''Tidakakah aku ini Tuhannmu'', ''balâ syahidnâ,'' ya kami

menyaksikannya ''.19

Allah SWT, selain sebagai pencipta alam semesta, juga adalah pemeliharaan

dan tempat kembalinya segala sesuatu. Ini berarti bahwa hubungan Allah dengan alam

semesta tidaklah terbatas hanya sebagai pemulaan segala sesuatu, tetapi akhir

kembali alam semesta adalah hanya kepada-Nya.20 Maka bagi seorang muslim hidup

harus dengan kesadaran bahwa dia bukan hanya berasal dari Allah, tetapi ia

dipelihara setiap saat oleh-Nya dan akhirnya ia akan kembali kepada-Nya seperti

halnya setiap ciptaan.

Kesadaran ini yang sebetulnya menjadi kecenderungan alamiah manusia

untuk meyakini apa yang disaebut Rudolf Otto sebagai nominous.21 Yakni perasaan

dan keyakinan terhadap adanya Yang Maha Kuasa, yang lebih agung, yang tidak

bisa dijangkau dan dikuasai oelh akal manusia. Dengan adanya kesadaran akan

adanya wujud yang lebih tinggi (Ultimate Being) ini akan menjadi referensi bagi

tindakan manusia,baik dalam keadaaan bahagia,sedih ataupun takut. Bahkan hal itu

menjadi acuan dalam pencarian rasa aman dan damai. Dengan demikian, maka

sejarah manusia hamper sepenuhnya berarti mencari dan mendekati Wujud tertinggi.

19 Q.S.: Al-A`râf/7: h. 172. 20 Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, diterjemahkan oleh Thayyibi (bandung:

Mizan, 1994), h. 30. 21 Rudlof Otto, The Idea of The Holy (Oxford: Oxford University Press, 1958), h. 5.

Page 47: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

39

Bagi manusia, keinsafan akan kehadiran Wujud tertinggi (Ultimate Being) ini

bukan hanya mendatangkan kebahagiaan,tetapi juga memberikan bimbingan dalam

menemukan otoritas yang kepadanya manusia harus menyandarkan harapan dan cita-

cita dalam hidupnya. Demikian pula, cinta dan dedikasinya. Dengan keinsafan seperti

itu, kebesaran kekuasaan manusia yang sebenarnya semu dan nisbi menjadi

karakter yang mutlak dan total yang melekat pada identitas ketuhanan.22 Maka

dengan adanya kesadaran akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan, manusia

mendapatkan tempat bergantung bagi segala dedikasi dan cita-cita hidupnya, di

tenga-tengah kehidupan manusia yang serba Nisbi dan tak berdaya, sebab hanya

Tuhanlah yang mempunyai kekuasaan yang haq.

Selain itu, keinsafan akan ketuhanan itu itdak hanya berhenti pada sikap

percaya dan mengakui'tetapi juga melahirkan sikap taat dan setia.taat untuk selalu

menghubungkan diri dengan kekudusan tuhan. Setia untuk selalu menyembah dan

mengabdi kepada-Nya. Etos dari rasa kesetiaan dan ketaatan itu diantaranya

terwujud dengan ritus-ritus dan upacara-upacara keagamaan,yang berfungsi sebagai

sarana yang menghubungkan menusia dengan Tuhan. Oleh kerena itu, merupakan

suatu kewajaran apabila fenomena peribadatan dan kepercayaan itu disebut sebagai

ciri universal masyarakat manusia.23

22 M. Nasir Tama dan Elza peldi Taher, “Pengantar” dalam “Agama dan Dialog Antar

Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996), hh. xi-xiii. 23 Betty R. Scharf, The Sociological Study of Relegion (London: Hutchinso and Co. Ltd.,

1970), h.1.

Page 48: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

40

Dalam pandangan tauhid terdapat tiga prinsip realitas yang mendasari

hubungan tuhan-manusia-alam yang akan memberikan penjelasan holistic seluruh

realitas. Pertama, dualitas yang menjelaskan bahwa realitas terdiri hanya dari dua

jenis: Khalik dan makhluk. Dengan kedudukan manusia sebagai mahluk, manusia

tidak mungkin menjadi pencipta, menguasai seluruh realitas secara absolute. Ia harus

runduk pada apa yang menjadi ketentuan al-khalik.24 Kedua, ideasionalitas.

Meskipun pada prinsip pertama terdapat dualitas dan pemisahan yang tegas antara

khalik dan makhluk,sebenarnya keduanya terdapat hubungan ideasional yang

memungkinkan manusia dapat memahami-Nya (al-khalik), bukan dalam pengertian

meteri,tapi hasil ciptaaan tuhan di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang

aksiomatik berupa hokum alam (Sunattullah). Ketiga, adalah teleologi yang

menjelaskan sifat kosmos yang bertujuan, melayani tujuan Penciptanya, dan

melakukan hal itu berdasarkan rancangan.25

Realitas tuhan sebagai wujud mutlak,tergambar dengan jelas dalam nama-

nama dan sifat-sifat-Nya. Dia adalah sebagai Sumber Rahmat, Yang Maha

Pengampun, Yang Maha Pemelihara, Yang Maha Tahu, Yang Maha Mendengar dan

sebagainya. Nama-nama ini, di sebut dalam al-Qur'an sebagai nama-nama Allah

SWT yang indah (Al-asmu'u Al-husna), ini juga bermakna bahwa dimana pun Allah

SWT berada, ia mewahyukan diri-Nya kepada ummat manusia.26

24 Ismail Raji al Faruqi, Tauhid, h. 10. 25 Ibid. 26 Nasr, menjelajah Dunia Modern, h. 35.

Page 49: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

41

Tentang nama-nama dan sifat-sifat Tuhan ini, al-Qur'an sering mengacu

kepada kata wajh (wajah) seperti contoh dalam ayat: "kemanapun engkau

menghadap, disanalah wajah Allah."27. Karena itu, "wajah" (wajh) berarti sejumlah

nama dan sifat Tuhan yang ada dalam dunia ciptaan. Dalam hal ini ada aspek ilahiah

yang berada di atas dan di luar penciptaan dan yang tidak ada kaitannya dengan

hukum penciptaan. Wajah Allah SWT. adalah benar-benar aspek ilahiah yang

mewujud dan berkaitan dengan penciptaan dan karenanya mencakup nama-nama dan

sifat-sifat Tuhan yang berhubungan dengan aksi kreatif serta eksistensi hukum

penciptaan. Seperti dalam Al-Qur'an dinyatakan: "Segala sesuatu pasti binasa,

kecuali wajah-Nya.28” Ini mengandung makna bahwa segala sesuatu di alam ini,

manusia, langit dan bumi serta isinya akan musnah. Namun nama-nama dan sifat-sifat

Allah SWT, yang menjadi sumber dan awal segala sesuatu tetap ada.29

Penciptaan dan kemaujudan alam adalah berdasarkan kepada kehendak bijak

tuhan, tatanan kemaujudannya berdasarkan kepada kebaikan dan rahmat-Nya, oleh

kerena itu, agar maujud alam dapat mencapai kesempurnaan, maka alam haruslah

berkutuk satu yakni menuju kesempurnaan tuhan dan bahwa alam pada hakikatnya

dari (milik) Allah dan kembali kepada-Nya.30 Pandangan dunia tauhid ini

memberikan ruh, tujuan, dan makna kepada kehidupan, karena ia menempatkan

menusia dijalan kesempurnaan yang itdak ada batasnya, dan didalamnya terkandung

27 Q.S. Al-Baqarah/2: 115. 28 Q.S. Al-Qashash/28: 88. 29 Nasr, Menjelajah dunia Modern, Op. Cit., h. 37. 30 Q.S. al-Baqarah/2: 156.

Page 50: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

42

komitmen dan tanggung jawab individu terhadap yang lainnya dalam menemukan

makna. Alam adalah mahluk yang terlestarikan melalui santunan dan kehendak

Ialhi. Makanya tatanan yang ada adalah tatanan yang terbaik dan paling sempurna.31

Hubungan tuhan dengan lingkungan ini meliputi hubungan struktural, yaitu

tuhan sebagai pencipta lingkungan dan sebagai pemilliknya; serta hubungan

fungsional, yaitu tuahn sebagai pemeliharaan lingkungan.32

Tuhan sebagai pencipta lingkungan mengacu kepada ayat-ayat penciptaan

yang menyatakan tuhan sabagai pencipta secara kreatif, 'Badi' (Pencipta atau

creator),seperti disebutkan dalam al-Qur'an:

وهء ويكل ش لقخة واحبص له كنت لمو لدو كون لهى يض أنالأرات وومالس ديعبليمء عيبكل ش

Dia pencipta langit dan bumi.bagaiman dia mempunyai anak,padahal dia tidak mempunyai istri? Dia menciptakan segala sesuatu; dan dia mengatahui segala sesuatu.” 33

Disini tuhan adalah sebagai Pencipta atau khalaq. Alam semesta bukan

realitas yang berdiri sendiri. Alam semesta menyandarkan eksistensinya sepenuhnya

pada pemeliharaan Tuhan. Lebih dari itu, seluruh keteraturan, keselarasan, dan

hukumnya berasal dari Allah SWT. Keselarasan yang mengagumkan dalam alam

ciptaan adalah refleksi tauhid, perwujudan Yang Maha Esa di dunia yang serba

ragam ini.

31 Syamsul arifin, Op. Cit., h. 185 32 Mujiyono, Op. Cit. 33 Q.S. Al-An’am/6 : 101

Page 51: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

43

Hukum alam bukanlah sebagai hukum independen yang berjalan dengan

sendirinya, seolah-olah dunia memiliki inpendensi ontologis. Hukum-hukum ini

adalah sebagai refleksi kebijaksanaan Allah dan juga perwujudan kehendak-Nya.

Allah-lah yang berkehendak bahwa matahari terbit setiap pagi di timur dan terbenam

di barat. Al-Qur'an sendiri selalu mendorong manusia untuk mempelajari hukum

alam dengan menerima pengetahuan yang selalu bersandar pada pengetahuan tentang

Allah SWT dan harus selalu berdasar pada kesadaran bahwa dunia tidak independen

total denga sendirinya,tetapi mengambil sumber keberadaannya, hukumnya,

keselarasan dan transpormasinya dari sumber segala-segalanya, yaitu Allah SWT.34

Al-Qur'an memberi penjelasan bahwa manusia diberi kekuatan untuk

mengatur segala sesuatu melalui kenyataan bahwa Allah SWT. mengajarkan nama-

nama kepada Adam, memberi manusia tanggung jawab perwalian terhadap alam.

Takhsir atau penaklukan alam bukan berarti perebutan dan dominasi terhadap alam

secara buta serta egois, tetapi itu berarti hidup selaras dengan alam, memperhatikan

kebijaksanaan Allah melalui alam dan memanfaatkan kemurahan secara bijak

sesuai dengan tujuan akhir manusia, yaitu hidup sebagai seorang muslim yang baik

dan kembali kepada sang pencipta. Disinilah hukum moral (etika Islam) harus

menjadi kesadaran pada manusia berlaku tidak hanya terhadao masyarakat manusia,

tetapi juga mencakup hewan, tumbuhan, dan lain-lain dari alam.35

34 Nasr, Menjelajah Dunia Modern, h. 48. 35 Ibid.

Page 52: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

44

Kemudian, unsur penting dari kesadaran kita tentang Tuhan adalah kesadaran

etis tentang Tuhan sebagai itempat kembali. Implikasinya adalah bahwa manusia

harus hidup secara etis di dunia ini, bukan karena takut pada uhkum eksternal, tetapi

takut kepada Allah SWT. kecintaan kepada Allah dan pengetahuan tentang Allah

berlandaskan pada ketakutan fundamental terhadap-Nya dan itulah sebabnya

dikatakan ra 's al-hikmah makhafat Allah (awal mula kebijaksanaan adalah ketakutan

terhadap Allah). Ketakutan itu berkaitan bukan hanya terhadap keangugan Allah

SWT, tetapi juga terhadap kemuliaan manusia,terhadap kenyataan bahwa kita telah

diberi tanggung jawab sebagai manusia dan dianugrahi kebebasan untuk mengikuti

ajaran Allah atau mengingkarinya.36

Sebagai ringkasan, ajaran Islam berdasarkan ajaran menyeluruh tentang watak

ilahiah. Syahadah berisi ajaran yang utuh tentang Allah karena menghalau relativitas,

kemenduaan, kemungkinan lain dari keilahian, dan berisi pengetahuan tentang Tuhan

berdasarkan Keesaan-Nya.Allah adalah Esa, Absolut, Tak Terbatas, serta sumber

segala kebaikan dialam semesta. Dia adalah sumber seluruhu realitas. Milik-Nyalah

segala ''harta tersembunyi.'' Tak ada satu pun di alam semesta yang berjalan di muka

bumi,yang tidak diketahui oleh Allah SWT. Dan tak ada yang hidup tanpa

ditahbiskan serta dilindungi oleh kehendak-Nya. Manusia hidup dalam sebuah

lingkungan yang sangat bergantung kepada Allah dan membuka setiap kesempatan

serta setiap tempat menuju transendensi yang tak lain adalah Allah SWT. Islam

sangat menekankan Transendensi Allah yang berada di atas segalanya adalah Dia.

36 Ibid., h. 51.

Page 53: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

45

Dia sangat dekat kepada manusia seperti dinyatakan dalam ayat al-Qur'an, ''Dan

Kami Lebih Dekat kepadanya daripada urat lehernya''.37 Bahkan Allah SWT lebih

dekat kepada lita melebihi diri kita sendiri.Disini,pada satu sisi Dia beanr-benar

berada di luar dan di atas kita; pada sisi lain Dia menjadi pusat keberadab kita. Itulah

sebabnya mengapa Dia mengatakan, ''Jiwa kaum beriman adalah mahkota Yang

Maha Penyayang''.38

Pelajaran penting dari kesadaran tersebut tentunya senantiasa mengigat

realitas kematian dan kehidupan sesudah mati.Konsekuensi tertinggi prilaku

kemanusian kita dan tanggung jawab kepada Allah terhadap apa yang kita

lakukan,harus senantiasa mengigat berkah utama kehidupan manusia, yang

memungkinkan kita,dengan rahmat Allah SWT,memliki kebebasan bertindak dan

menerima ajaran Allah SWT. Atas dasar kebebasan dan bukan berdasarkan paksaan.

Tanpa realitas eskatalogi,ajaran agama lain akan kehilangan pengaruhnya, dan

penekanan spiritual kehidupan manusia di dunia ini sebagai bagian dan berkah

realitas kemanusiaan akan menghilang,meninggalkan kehidupan menusia tanpa arti

apa-apa.39

37 Q.S. Qaaf/50: 16. 38 Nasr, Menjelajah Dunia Modern. H. 40. 39 Ibid., h. 54.

Page 54: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

46

C. Kedudukan Manusia

Manusia sebagai Mahluk yang diberi kemampuan membaca (alam) telah

menempatkan dia dalam kedudukannya yang lebih tinggi, yakni sebagai khalifah.

Kedudukam demikian merupakan konsekuensi pemberian potensi yang inheren dalam

penciptaannya, yaitu akal. Kedudukan manusia sebagi khalifah disempurnakan pula

dengan kedudukannya sebagai hamba Allah ('abd Allah). Jika pada kedudukan

pertama, manusia dituntut aktif untuk memelihara dan memakmurkan alam dalam

bentuk pembudidayaan yang konstruktif bagi kehidupan semesta, maka pada

kedudukan kedua, manusia dituntut pasrah (hanief) kepada Allah.40 Dengan

demikian, kedudukan manusia yang kedua dalam kaitannya dengan kedudukan

pertama akan dituntut melakukan transendensi dalam merealisasikan fungsi

kekhalifahannya. Tanpa ditopang kedudukannya sebagai 'abd Allah, kekhalifahan

akan barakibat pada sikap antroposentrisme mutlak. Kedudukan ini pula yang akan

memberikan kesadaran etis pada diri manusia bahwa kekhalifahan yang diterimanya

merupakan amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan

penunjukkan itu, maka martabat manusia menjadi sangat tinggi; ia adalah puncak

ciptaan-Nya.41

40 Bahwa orientasi ilmiah manusia harus dibimbing oleh nilai ruhaniah yaitu nilai yang

memancar dari rasa makna paling mendalam dengan berasakan kesadaran sebagai makhluk yang berasal dari Tuhan. Lihat Nurcholish Majid. Islam Doktrin dan Peradaban, h. 304. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat dalam Pidato pengukuhan Guru Besar Dr. Nurcholish Majid dengan judul “Kekhalifahan Manusia, Hukum Keseimbangan, dan Reformasi Bumi

41 Ibid.

Page 55: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

47

Konsep khilafah yang melekat pada manusia ini, jika dikaitkan dengan

tanggungjawab ekologis manusia, niscaya akan melahirkan sistem keyakinan yang

mempercayai bahwa secara oprasional pemeliharaan tuhan terhadap lingkungan

adalah tidak secara langsung, melainkan diserahkan kepada sunnah limgkungan,

sunnah al-bi'ah, dimana manusia menjadi bagian dari salah satu komponen dalam

ekosistem.42

Kekhalifahan manusia terhadap lingkungan ini mempunyai nilai yang

strategis,yakni sebagai pengelolah lingkungan.atau dapat disebut bahwa manusia

memiliki peran fungsional sebagai "kepanjangan tangan" Tuhan dalam mengelola

lingkungan. Manusia menjadi perwakilan Tuhan atau penerima tanggung jawab,

penerima amanah Tuhan. Rumusan ini didasarkan pada landasan spiritual al-Qur'an

surat al-Ahzab/33:72:

إنا عرضنا الأمانة على السموات والأرض والجبال فأبين أن يحملنها وأشفقن منها

وحملها الإنسان إنه كان ظلوما جهوالSungguh kami telah mengemukakan amanah kepada langit,bumi,dan gunung,maka semuannya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan menghianatinya,dan dipikullah amanah itu oleh menusia.sesungguhnya manusia amat lazimdan amat bodoh.

Term amânah dalam ayat tersebut, menurut raghid al-isfahani adalah kata

benda jadian (mashdar), yang berarti mandat dan kepercayaan43 Sedangkan dalam

42 Mujiono, Op. Cit., h. 186. 43 Al-Raghib al-Isfahani, Mu`jam Mufradat al-Fadz al-Qur`an, Ed. Nadim Marashily, (Beirut:

Dar al-Fikr, 1972),. Hh. 21-2.

Page 56: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

48

perspektif al-Qur'an, seperti yang dijelaskan mujiono, bahwa amanah mengandung

arti memahaesakan Tuhan, tauhid, keseimbangan, 'adalah, belajar huruf jijaiyah,

tahaji dan akal pemikiran, al-aqlu. Di sini pengertian akal pikiran dianggap lebih

sesuai. Pengertiannya adalah manusia yang berakallah yang mampu bertauhid,

berkeseimbangan dan belajar berbagai ilmu. Maka bisa dipahami jika dalam konteks

ayat ini amanah berarti mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh Allah kepada

manusia sebagai mahluk yang berakal. Langit, bumi, dan gunung menyatakan tidak

mampu menerima mandat itu, ketika Tuhan menawarkan amanah tersebut kepadanya,

disebabkan mereka tidak memiliki potensi rasional. Sedangkan manusia bersedia

menerima mandat yang ditawarkan oleh Allah kepadanya. Karena manusia meyakini

bahwa dirinya mampu menerima amanah tersebut karena ia merupakan makhluk

rasiional yang mampu bertanggung jawab.44

Dijelaskan oleh al-Qur'an surat al-Baqarah/2ayat30:

ذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها وإ

ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إني أعلم ما ال تعلمون Ingatlah saat tuhanmu berbincang-bincang dengan malaikat dengan perbincangan sebagai berikut:"sesungguhnya aku mau menjadikankhalifah di bumi".akankah engkau meu menjadikan perusak lingkungan dan penumpah darah ...?padahal kami selalu memuji-muji-Mu serta mensicikan-Mu".tuhan kemudian menjawab,"sungguh aku tahu yang engkau tidak tahu".

44 Ibid., h. 187.

Page 57: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

49

Kata kunci dari pokok pikiran ayat tersebut adalah term "khalifah" (Term

“khalifah" dalam bentuk tunggal diungkapkan dalam al-Qur'an sebanyak dua kali,

yakni pada QS.Al-Baqarah/2:30 dan surat al-had/ayat 26). Kata khalifah secara

etimologis merupakan bentuk kata profesional dari kata dasar khalifun yang berarti

pihak yang tepat menggantikan posisi pihak yang memberi kepercayaan. Sedangkan

secara terminologis kata khalifah mamiliki makna fungsional bagwa manusia sebagai

mandataris, yakni pihak yang diberi tanggung jawab si pemberi mandat, Tuhan.45

Menurut Quraish Shihab, term khalifah yang terdapat dalam surat al-Baqarah

ayat 30 ini tidaklah berkonotasi politis. Sebab diungkapkan dalam bentuk tunggal,

khalifah, dan subyeknya berupa orang pertama tunggal, ya' mutakallim; Inni

(Sungguh Aku). Pengangkatan Adam sebagai khalifah dalam bentuk tunggal ini,

diungkapkan Tuhan kepada adam ketika itu sendiri dalam arti tidak ada pihak lain

yang terlibat dengan pengangkatan tersebut.46

Menurut Thabathaba'i,47 term khalifah dalam ayat ini, tidak berkonotasi

politis individual, melainkan berkonotasi kosmologis komunal. Oleh karena itu, term

khalifah yang oprasionalisasinya dilakukan Adam, sesungguhnya tidak dimasukkan

Adam sebagai individu, tetapi sebagai simbol komunitas spesies manusia. Dengan

kata lain, sesungguhnya term Adam sebagai penyandang mandataris dimaksudkan

45 lihat; Muhammad Fu`ad `Abd al-Bâqî, Mu’jam al-Musfahras li-al-Alfadz al-Qur`an,

Beirut: al-Fikri. Tth), h. 156. 46 Lihat Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an (Bandung: Mizan, 1993), hh. 156-9. 47 Thabathaba’i, Muhammad al-Husain, Tafsir al-Mizan (Persia: Dar al-Kutub al-Islamiyyah:

1342 [th. Persia]) jld. I. Hh. 116-17.

Page 58: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

50

sebagai spesies manusia, bukan Adam sebagai seorang pribadi. Dengan demikian,

penyandang predikat khalifah adalah seluruh spesies manusia, Adam hanyalah

sebagai simbol spesies manusia.48

Berdasarkan uraian diatas maka term khalifah cenderung berkonotasi kultural

ekologis. Artinya, manusia diangkat sebagai khalifah adalah mengemban misi

ekologis. Sehingga kekhalifahan manusia terdapat linkungan akan mampu

menciptakan lingkungan yang lestari. Sebab, kemahapengelolaan Tuhan terhadap

lingkungan adalah bersifat potensial, dan aktualisasi tidak lain adalah

dipercayakan kepada manusia.ringkasnya, tuhanlah sebagai pengelolah potensial

lingkungan dan manusia menjadi pengelola aktual lingkungan.inilah bentuk kerja

sama tuhan dengan manusia dalam mengelola lingkungan.49

Manusia akan menjadikan mahluk yang paling sempurnah (ahsanu taqwim)

apabila ia dapat mengemban amanah yang diberikan tuhan,karena kemulian dan

kesempurnaannya barasal dari kehidupannya dalam kesaksian dan kesadaran terhadap

Allah SWT dan dari prilaku sebagai ciptaan yang merefleksikan aspek kebijaksanaan

dan kekuasaan Allah SWT di dunia. Sebab, walau seluruh makhluk memiliki

kemuliaan dalam arti bahwa mereka diciptakan oleh Allah dan merefleksikan aspek

kebijaksanaan Tuhan, manusia adalah satu-satunya pusat mahluk di dunia ini, dan

itulah sebabnya mengapa hanya manusialah yang menjadi khalifah atau hamba Allah

SWT dalam arti sesungguhnya. Manusia memiliki kekuatan untuk

48 Mujiyono, Op. Cit., h. 189.

49 Ibid.

Page 59: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

51

mendominasi seluruh ciptaan lainnya karena manusia diberi kesadaran untuk

memahami sifat Allah dan menaati perintah-Nya, serta memiliki kebebasan dan

kemungkinan untuk mengingkarinya.50

Berkaitan dengan kesempurnaan itu pula, tuhan "menundukkan" alam

(taskhir) dan menyediakan segala isinya bagi manusia sehingga memungkinkan

manusia menjalankan fungsi kekhalifahannya.51 Doktrin taskhir ini meskipun

terkesan antroposentris, tetapi berkorelasi kuat dengan tauhid. Sebab ketika seseorang

menyatakan diri tidak mempercayai kemutlakan apapun selain Allah Yang Maha

Mutlak (Tuhan) itu sendiri, maka ia telah melakukan "devaluasi radikal" atau

"sekularisasi" terhadap objek-objek kesucian selain tuhan, karena Dialah Yang

Maha Suci. Dengan demikian, hanya dengan tauhid, yang secara langsung dan

konsekuen mengimplikasikan taskhir, dimana manusia dapat menjalankan tugasnya

dengan benar sebagai khalifah Allah di bumi.52

Selanjutnya,menurut konsep etiko teologis,bahwa secara hirarki batiniah

kosmis,alam dan manusia sama-sama ciptaan Allah dam sama-sama menghamba dan

berdimensi spritual,karena itu pemampaatan alam oleh menusia tidak boleh

mengabaikan spiritualitasnya apalagi mereduksinya secara ekstrem. Makna taskhir

tidak berarti menempatkan alam lebih rendah dari manusia,atau sebagai realitas yang

terpisah dari realitas kedirian manusia.Alam dan manusia merupakan satu kesatuan

50 Nasr, Menjelajah Dunia Modern, h. 42. 51 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999) h. 222-

223. 52 Ibid.

Page 60: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

52

kosmis yang sama-sama berada dalam spektum penciptaan. Inilah konsep tauhid

yang meletakkan prisipi dasar relasional lingkungan hidup dengan pandangan dunia

(world view) musllim. Seluruh aktivitas muslim termasuk yang berkenaan dengan

alam harus senantiasa terdorong oleh kekuatan trasendental yang melingkar memusat

untuk mencapai titik akhir (sentrum),yakni ridha Allah.Ruang aktivitas inilah, yang

dalam terminologi Islam disebut sebagai penghambatan manusia pada Tuhannya.

Sehingga aktivitas itu selalu berada dalam dimensi ibadah . Di sini artinya, Islam

tetap merentangkan diri antara antroposentrisme dan teosentrisme tanpa mereduksi

salah satunya.

Berdasarkan perspektif ekologis,manusia adalah makhluk lingkungan (homo

ekologis), dengan pengertiian bahwa manusia dalam melaksanakan fungsinya sebagai

salah satu sub dari sistem ekologis,manusia adalah makhluk yang memiliki

kecennderungan untuk selalu memahami dan beradaptasi dengan lingkungannya.53

Manusia menjadi makhluk yag diberi kemampuan berpikir,akan mempunyai

implikasi prinsipil yang sangat luas bagi eksistensi dirinya.Yakni manusia berfungsi

sebagai khalifah di bumi, dan manusia akan diminta pertanggungjawabannya di

hadapan Tuhan tentang bagaimana ia melaksanakan tugas suci kekhalifannya itu.54

Untuk memahami keistimewaan manusia dari makhluk tuhan yang lainnya,

Mujiyono secara luas memaparkan tentang potensi yang dilimiki manusia.Bahwa

53 Ibid., h. 2.

54 Nurcholish, Agama Doktrin dan Peradaban, h. 302.

Page 61: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

53

manusia sebagai makhluk multidimensi. Realitaas multidimensional inilah yang

menempatkan manusia dalam posisi paling tinggi dan paling mulia dalam hirarki

hakekatnya karena dua potensi yang dimiliki manusia.Yakni karena manusia

memiliki potensi biotik fisik yang spesifik dan memliki potensi ruhaniah yang

berkembang secara dinamis.

Seperti tertuang dalam Q.S.al-Isra'/17ayat 70:

بحر ورزقناهم من الطيبات وفضلناهم ولقد كرمنا بني ءادم وحملناهم في البر وال

على كثري ممن خلقنا تفضيال Dan sesunguhnya telah kami muliakan anak-anak adam,kami sediakan (Lingkungan dengan daa dukungnya) didaratan dan lautan,Kami anugrahkan rizki yang banyak untuk mereka dan kami lebihkan mereka dengan kelebiihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.

Potensi fisik manusia memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk lainnya,

diantaranya adalah kelebihan postur tubuh dan fungsi organ tubuh yang sempurna;

contoh fungsi tangan yang mempunyai kemampuan selaras dengan kemajuan alam

pikirannya. Kemampuan bicara yang sempurna, sehingga kemampuan ini bukan saja

menjadi realitas aktual dalam kehidupan manusia, tetapi telah menjadi simbol verbal

keistimewaan manusia. Manusia merupakan makhluk yang mampu bertindak katau

berkomunikasi melalui simbol. Simbol adalah bersifat sosial, sehingga tidak dapat

dipahami secara alamiah melainkan hanya oleh komunitas pemakinya. Karena

kemampuan memakai simbol tersebut,maka manusia dapat mengaktualisasikan

Page 62: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

54

kemampuan memakai simbol tersebut, maka manusia dapat mengaktualisasikan

keinginannya dalam simbol bahasa. Bahasa pun berkembang secara dinamis dengan

mengikuti alam pemikiran manusia.Oleh karena itu, berkembanglah bahasa dari

bahasa lisan kepada bahasa tulisan, dari yang sederhana sampai yang bersifat

kompleks. Dan manusia juga mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap

lingkungan. Tingginya daya adaptasi ini menghantarkan manusia menjadi makhluk

yang bebas lingkungan. Dalam pengertian, manusia merupakan makhluk yang tidak

terikat dengan habitat serta profesinya secara ketat. Manusia dapat hidup dalam

berbagai daerah panas, begitupun sebaliknya.manusia adalah makhluk yang tidak

tergantung pada makanan tertentu dengan sifatnya sebagai makhluk omnifora.

Rendahnya tingkat ketergantungan manusia pada makanan tertentu dan rendahnya

kadar keterikatannya dengan habittnya memungkinkan ia menyesuaikan diri dengan

habitat barunya.55

Sedangkan kaitannya dengan kelebihan manusia secara ruhaniah, dalam diri

manusia terdapat tiga potensi yang bersifat ruhaniah, yaitu kemampuan rasional,

kemampuan moral, dan kemampuan spritual religius. Ketiga potensi tersebut

merupakan satu entitas bagi manusia, sehingga jika salah satu potensi tadi terlepas,

akan berakibat hilangnya manusia dan kemanusiaan.

55 Mujiono, Op. Cit., hh. 158-64.

Page 63: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

55

1. Kemampuan beragama.

Religiusitas merupakan realitas dalam kehidupan manusia, menjadi

karakteristik manusia dan tidak berkembang dalam kehidupan selain manusia. hal ini

karena manusia merupakan makhluk spiritual. Dikatakan makhluk spirtual karena

walaupun manusia merupakan makhluk materi, tetapi ia merupakan makhluk yang

memiliki kemampuan berhubungan secara ruhaniah dengan Allah SWT. Hubungan

spritual manusia dengan Tuhan menjadi realitas dalam diri manusia sebagai makhluk

beragama, dimana inti keberagamaannya adalah pengakuan bahwa Allah itu benar-

benar ada dan dipercaya sebagai Kebenaran Mutlak.٥٦ Hal ini didasarkan pada

Al-Qur'an surat al-Ruum/30:30:

هجو فأقم لق الله ذلكديل لخبا ال تهليع اسالن ة الله التي فطرنيفا فطرين حللد ك الدين القيم ولكن أكثر الناس ال يعلمون

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetapkanlah atas) firman Allah yang telah menciptakan menusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak tahu.

Munculnya keberagamaan pada manusia, seperti disimpulkan oleh R.Otto,

bahwa pengalaman riligius berupa pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Suci

adalah muncul dibalik rahasia yang menakjubkan, menakutkan, dan sekaligus

menarik.

Lebih lanjut, seperti yang diungkapkan Nurcholish,bahwa diri manusia

memiliki kecenderungan naluriah kearah kebaikan dan kebenaran (hanifiah).

56 Ibid., h. 183-50.000.

Page 64: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

56

Dorongan kesucian itu ada dalam diri manusia yang paling dalam dan paling murni,

yakni hati nurani. Dorongan kesucian dan kebenaran yang mutlak adalah datang dari

Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan yang sebenarnya. Maka kecenderungan

murni manusia adalah kepada Allah SWT dan dia itu adalah asal dan tujuan yang

sebenarnya.

Menurut Nurcholish, kesucian manusia juga dapat ditafsirkan sebagai

kelanjutan perjanjian primordial antara manusia dan tuhan,yakni suatu perjanjian

menusia dengan tuhan sebelum ia lahir kedunia,bahwa ia akan mengakui Tuhan

sebagai pelindung dan pemelihara (Rabb) satu-satu-nya. Sesungguhnya jin dan

manusia diciptakan Allah hanyalah untuk tunduk dan menyembah kepada-Nya saja.

Inilah paham ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid). Bertauhid, dengan segala

konsekuensinya, itulah makna hidup manusia yang hakiki. Yaitu suatu makna hidup

atas dasar keinsafan bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-

Nya. Makna hidup yang hakiki itu melampui tujuan-tujuan duniawi (teresterial),

menembus tujuan hidup ukhrawi (celesterial).

Meskipun secara naluriah menusia itu suci, ia juga memiliki hawa nafsu

(keinginan diri sendiri ) yang sering membuatnya melakukan kesalahan dan mudah

tergoda oleh setan untuk melanggar larangan Tuhan. kisah kejatuhan adam dan

istrinya ke bumi sebagai bukti akan hak tersebut.adam dan hawa yang diyakini

sebagai manusia pertama, telah melupakan perjanjian primordialnya dengan Tuhan.

Namun, Allah menunjukkan kasih-Nya kepada adam dengan memberinya

pengajaran (kalimah). Pengajaran itulah yang menjadi petunjuk bagi Adam dan

Page 65: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

57

keturunannya untuk menempuh kehidupan dimuka bumi yang penuh godaan, agar

mendapat keselamatan dan kebahagiaan.pengajaran kalimah dalam kisah adam dan

istrinya itu kini disebut agama (al-din). Dengan demikian, agama pada hakikatnya

tetap bersifat kemanusiaan.agama yang dituntunkan Allah melalui para Rasul-Nya

yang memberikan tuntunan hidup,merupakan kelanjutan perjanjian primordial

manusia. Karena itu, agama disebut juga perjanjian (mîtsâq atau 'aqd) dan intinya

adalah sikap tunduk (dîn) yang benar kepada Allah serta sikap penuh pasrah (Islâm)

kepada-Nya.57

2.kemampuan berfikir(rasional)

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan rasional.

sehingga dengan kemampuan akalnya manusia mampu memahami realitas alam dan

lingkungannya. Manusia dapat memahami hukum alam dan sunnah lingkungan.

Manusia diangkat sebagai khalifah di muka bumi karena kemampuannya

mendayagunakan alam secara maksimal dan bertanggung jawab.

Hukum nasution menyebutkan bahwa akal dalam terminologi Islam bukanlah

otak dalam pengertian anatomi,malainkan daya berfikir yang terdapat dalam jiwa

manusia.murtadha muthahhari menyatakan,akal merupakan potensi gaib yang tidak

dimiliki oleh mehluk lain.akal mampu menuntun menusia kepada pemahaman diri

dan alam. Akal juga mampu melawan hawa nafsu. Selanjutnya, Al-Ghozali

57 Nurcholish, Islam dan Peradaban, hh. xii-xiii.

Page 66: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

58

menyatakan bahwa akal merupakan sifat yang membedakan manusia dari binatang.

Dengan akalnya manusia mampu menerima bermacam-macam ilmu yang

memerlukan pemikiran. Dengan demikian, akal merupakan daya misterius yang

menjadi sumber tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan manusia, sebagai alat

untuk memahami realitas konkret alam dan lingkungan sehingga kemampuan rasional

yang dimiliki manusia ini dalam perspektif ekologis,mampu menjadikan niche

ekologis manusia lebih strategis dan dominan dalam ekosistem.58

Rene Descartes menyatakan bahwa manusia adalah mahluk rasional.

Eksistensi menusia ditentukan oleh kemampuan daya berfikirnya.dengan akal budi

manusia dapat berkembang secara dinamis dan tak berhingga. Menusia memiliki

kesadaran diri dan berkemauan yang dinamis, sehingga ia menjadi mahluk yang

berbudaya.sebab dengan kesadaran yang rasionalnya itu,ia mampu mengembangkan

ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga walaupun secara fisik kekuatan manusia

dianggap lemah, dengan aktualisasi penalarannya ia mampu menguasai dan

mengalahkan kekuatan mahluk lain yang lebih kuat.

Dengan demikian, aktualisasi penggunaan penalaran menempatkan niche

ekologisnya.akibatny,terjadilah merjinalisasi komponen-komponen lain dalam

ekosistam.inilah awal terjadinya proses disharmoni hubungan manusia dengan

lingkungan,yang potensial dituding sebagai akar penyebab terjadinya kerusakan

58 Mujiono, Op. Cit, hh. 165-70.

Page 67: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

59

lingkungan antropogenetik.oleh karena itu,pengembangan dan aktualisasi potensi

rasional mutlak harus diimbangi dengan pengembangan kemampuan moral yang

berwawasan lingkungan agar keseimbangan ekosistem dan optimalisasi daya dukung

lingkungan tetap lestari.59

3. kemampuan moral

Menempuh jalan hidup bermoral pada dasarnya bukanlah suatu keharusan

yang dipaksakan dari luar diri manusia, ia merupakan fitrah manusia itu sendiri.

Sehingga menempuh jalan hidup bermoral tidak lain adalah untuk memenuhi

naturnya itu. Manusia,menurut kejadiaan asalnya,adalah mahluk pemilik fitrah yang

suci dan baik, dan karenanya berpembawaan suci dan baik. Kesucian dan kebaikan

fitri dan alami itu mambawa rasa aman dan tentram dalam dirinya. Sebaliknya,

kejahatan bukan sifat fitri manusia,karena itu,kejahatan membawa kegelisahan dan

konflik dalam diri manusia.

Di samping fitrah tadi,manusai juga memiliki sifat lemah,karena sifat itu

manusia tidak selalu tunduk kepada fitrah-nya sendiri.meskipun kejahatan sering

disebabkan oleh faktor yang datang dari luar,namun ia masuk kedalam diri manusia

melalui suatu kualitas yang inheren padanya,yaitu sefat lemah.maka kejahatan pun

merupakan bagian dari diri manusia,dan dipandang dari sifat menyimpang dari

kefitriannya.sehingga karena ketegangan antara dua kecenderungan itu membuat

59 Ibid.

Page 68: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

60

manusia dipandang sebagai mahluk inderterminis moralis,dimana ia bebas

menentukan dan memilih sendiri tindakannya,baik maupun buruk, yang kemudian

manusia harus mempertanggungjawabkan penentuan dari pilihan-pilihannya itu.

Adanya dua kesadaran ini,yaitu kesadaran akan kejahatan dan kebaikan,serta

fungsinya sebagai locus kesadaran moral,disebutkan dalam Q.S.al-Syamsu/91:7-10:

وقد خاب من . قد أفلح من زكاها. فألهمها فجورها وتقواها. ونفس وما سواها

دساهاDan demi pribadi manusia, serta bagaimana dia (Tuhan) menyempurnakannya. kemudian diilhamkan oleh-Nya kepada pribadi kejahatan dan kebaikan.maka sungguh kebahagiaanlah orang yang memilahara kesuciannya dan sunnguh celakalah orang yang membenamkannya (dalam kejahatan).

Potensi moral ini pada dasarnya sangat berkorelasi dengan potensi rasional,

dua potensi itu bagaikan dua sisi mata uang, satu sisi dari potensi ruhaniah manusia

itu adalah sisi moral dan sisi yang lain adalah sisi rasional.potensi rasional bekerja

dengan otak dengan mengembangkan kekuatan penalaran logisnya. Sedangkan

potensi moral bekerja dengan inti yang ada di dada dengan mengembangkan suara

hati dan nurani.potensi rasional bekerja untuk memahami dimensi realitas fisik

alamiah,sedangkan potensi moral bekerja untuk memahami dimensi metafisis yang

bersifat spritual.Denagan denmikian,penekanan pengembangan salah satu aspek akan

menmbulkan kepentingan yang seius.Pengembangan potensi penalaran dengan

mengesampingkan ikatan moral alan menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi

Page 69: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

61

yang liar dan dikuasai nafsu,Sebaliknya,penegembangan potensi penalaran dengan

mengesampingkan keterkaitannya dengan pengembangan nasional akan menjadikan

manusia terjebak dalam hubungan normatif yang memiliki kesadaran moral cukup

tinggi, tetapi tidak mengusai ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Oleh karena itu,

kedua potensi ruhaniah manusia harus dikembangkan secara simultan agar

berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi sarat dengan muatan moral.

Secara etomologis, moralitas berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata Mos,

kata Mos adalah jamak dari kata Mores yang berarti kebiasaan, adat istiadat.

Sedangkan secara terminologis moralitas dipahami sebagai norma atau ukuran dalam

menentukan baik buruknya manusia sebagai manusia,bukan sebagai peran tertentu

dan terbatas. Dalam lektur Islam,moralitas lazim dikenal dengan istilah al-Akhlâk

dan al-Adâb. Akhlak merupakan tolak-ukur untuk memilah prilaku manusia yang

terpuji, mahmûdah dan prilaku manusia yang tercela, madzmûmah berdasarkan nilai-

nilai religius Islam. Prilaku dapat dikategorikan terpuji jika prilaku tersebut

selaras dengan suara hati yang berpihak pada kebenaran, keadilan, dan tanggung

jawab. Sebaliknya, prilaku dapat dikategorikan sebagai prilaku tercela jika

bertentangan dengan suara hati. Demikian halnya, al-adâb lazim digunakan untuk

mengungkapkan aspek kualitas ruhaniah.Sebaaimana terjelma dalam ungkapan

rasullah SAW.Yang diriwayatkan oleh Ahmad:

رواه أمحد. إمنا بعثت ألمتم مكارم األخالق ''Bahwasanya aku diutus, hanyalah untuk menyempurnakan Akhlak” .

Page 70: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

62

Selanjutnya, manusia dikatakan sebagai makhluk bermoral karena manusia

merupakan makhluk yang memiliki empat unsur moralitas yakni suara hati,

kepribadian, kebebasan dan tanggung jawab. Empat unsur tersebut merupakan satu

kesatuan yang utuh dalam diri manusia, sehingga tidak adanya salah satu dari

keempat unsur tersebut akan mengurangi bahkan menghilangkan hakikat manusia dan

kemanusiaannya.Empat unsur itu pula yang tidak dimiliki oleh hewan atau mahkluk

selain manusia.60 Al-Qur`an memperkenalkan manusia sebagai makhluk bermoral

tersebut dengan menggunakan berbagai term yakni term suara hati dan nurani, qalb

dan fuad, tanggung jawab, lubb dan kebebasan atau kesadaran diri, dan sadar

kebebasan.

60 Ibid., hh. 172-3.

Page 71: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

63

BAB IV

NILAI-NILAI ETIKA LINGKUNGAN: PERSPEKTIF TASAWUF NASR

A. Tauhid:Visi Keilahian Lingkungan

Konsep sentral Nasr adalah Unitas. Ia adalah paham kesatupaduan dan

interrelasi dari segala yang ada, yakni dengan merenungkan kesatupaduan kosmos,

seseorang dapat menuju ke arah kesatupaduan Ilahi yang dibayangkan dalam

kesatupaduan alam dan lingkungan. Ide unitas ini menjadi dasar kosmologi Islam,

yang pada hakikatnya adalah kesatuan dan gradasi segala sesuatu. Bahwa secara

metafisik, realitas pada akhirnya adalah satu dan tidak banyak, tetapi secara

kosmologis, dunia nyata hanyalah satu dari keadaan wujud yang banyak.1

Jika diibaratkan sebuah teks,alam bagaikan selembar bahan penuh lambang-

lambang yang harus dibaca menurut maknanya dan dur'an adalah padanan teks

tersebut dalam kata-kata manusia; kalimat-kalimatnya disebut âyât (tanda-tanda).

Persis seperti fenomena alam. Alam dan Qur'an keduanya meneaskan kehadiran dan

pemujaan terhadap Tuhan, menegaskan tentang keilahian alam dan lingkungan.

Seperti dalam firman Allah:

هأن كبكف بري لمأو قالح هأن مله نيبتى يتح فسهمفي انا في اآلفاق واتنءاي همرينس

دهيء شيلى كل شع

1 Seyyed Hossein Nasr, Sains, hh. 1-5.

Page 72: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

64

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda [kekuasaan]Kami

disegenap ufuk dan pada diri-diri mereka sendiri sehingga jelas bagi mereka

bahwa al-Qur'an itu adalah kebenaran.2

Oleh karena itu, kalau Al-Qur'an dikatakan sebagai wahyu yang diturunkan

dengan lambang bahasa dan kata yang terhimpun (the recorded Qur'an), maka

sesungguhnya alam ini juga merupakan wahyu atau Qur'an of creation (al-Qur'an

al-tadwin) yang mempunyai nilai serta sumber saebagaimana recorded Qur'an yang

diturunkan.Baik wahyu al-qur'an secara tertulis maupun al-Qur'an dalam bentuk

ayat-ayat dan lambang yang terhampar dalam alam rayat ini,semua itu mencakup

gagasan-gagasan ataupun pola dasar tentang semua kenyataan yang ada. Al-Qur'an

sebagai wahyu yang diturunkan kepada menusia adalah suatu hal yang tudak dapat

dipisahkan dengan "wahyu kosmis "yang juga sebagai " kitab tuhan". Inilah yang

dalam perspektif sufistik dikatakan bahwa alam melambangkan sifat-sifat dan nama-

nama tuhan atau dikatakan tuhan,melalui nama-nama-Nya menampakkan diri-Nya

dalam alam.3

Bagi ahli-ahli hukum teks ini perspektif saja,alam hanya ada dalam pikiran

mereka sebagai panggung yang dibutuhkan bagi tindakan manusia.sebaliknya, bagi

seorang gnostik atau Sufi, ayat al-Qur'an disebut juga lambang, seperti juga semua

alam ini adalah lambang. Bagi seorang gnostik, jika tradisi penafsiran simbolis ayat-

2 Q.S., Asy-Syûra/41: 53. 3 Kautsar Azhari Noer, “Menyemarakkan dialog Agama “dalam Dekonstruksi Madzhab

Ciputat, ed. Edi A. Effendi (Bandung: aman wacana mulia, 1999), hh. 64-6.

Page 73: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

65

ayat Kitab Suci tidak ada lagi karena ayat-ayat itu diturunkan menjadi arti

harfiahnya, manusia masih akan tahu kawajibannya terhadap Tuhan dan lingkungn,

tapi "teks kosmis" tak akan dapat dipahami. Fenomena alam akan hilang

hubungannya dengan tingkat realitas yang lebih tinggi, sebagaimana hilangnya

hubungan antara mereka; semua ini hanya akan menjadi "fakta" Inilah persisnya yang

tak dapat diterima oleh kapasitas intlek dan malah oleh peradaban Islam secara

keseluruhan. Sebaliknya, semangat Islam menekankan kesatupaduan alam dan

lingkungan, kesatupaduan itu menjadi tujuan sains kosmologi, dan ini dilukiskan

dengan jalinan yang bersambungan pada arabeska (lukisan hiasan bentuk bunga atau

tumbuhan) yang menyatukan kemewahan kehidupan tumbuhan denagn kristal-kristal

geometris dari ayat-ayat al-Qur'an.4 Lukisan ini memberikan gambaran saling

hubungan secara harmonis antara ayat-ayat kosmos yang nampak dengan ayat-

ayat yang terkandung dalam al-Qur'an menuju dengan realitas metefisika.

Memancarkan adanya keindahan alam hakiki dibalik penampakan alam dengan

tatanannya yang begitu selaras.

Banyaknya manifestasi kehadiran ilahi tersebut,selanjutnya dikonsepsikan

dalam lima hirarki realitas(al-hadharât al-ilâhiah al-khamsah), yaitu dunia hakikat

ilahi (lâhût), dunia Nama dan Sifat Ilahi atau Kecerdasan Universal, atau yang

dikenal dengan Wujud Murni (lâhût), dunia yang dipahami atau dunia zat malaikat

4 Nasr, Sains dan Peradaban Islam, h. 4.

Page 74: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

66

(jabarût), dunia psikis dan menifestasi "halus" (malakût),dan terakhir daerah dunia

fana atau fisik.yang dikuasai manusia (nâsût).5

Keberadaan tertinggi realitas adalah asensi ilahi (al-Dzat), derajat yang

diistilahkan sebagai hahut yakni Diri Tertinggi dan Wujud Tak Terbatas, Wujud Tak

Tergapai dan merupakan prinsip yang tidak dapat disifati dan ditentukan, oleh karena

itu Absolut Murni. Tuhan sebagai Wujud Tak Terbatas yang berada diatas persepsi

atau imajinasi manusia yang serba nisbi. Karena apabila Tuhan itu dapat

digambarkan dalam pikiran manusia, yang kemudian dianggap sebagai hakikat

Tuhan, maka menjadi setarap dengan kemampuan manusia. Tuhan seperti ini menjadi

mustahil. Sedangkan keadaan kedua yang disebut lâhût merupakan kecerdasan

universal, dapat dipersamakan dengan prinsip kreatif atau wujud murni, yaitu prinsip

antalogis dari kesuluruhan kosmos. Karena itu merupakan Yang Absolut terhadap

seluruh ciptaan.6

Memperjelas hal tersebut diatas, Prinsip Pengajaran Ibn 'Arabî, begitu

diapresiasi oleh Nasr dengan penjelasannya tentang tanzih (Mensucikan-Nya) dan

tasybih (Menyerupakan-Nya). Konsep tersebut bertolak dari pandangan bahwa

segenap wujud yang ada pada hakikatnya adalah hanya mempunyai satu realitas.

Realitas Tunggal "yang benar-benar ada itu ialah Allah". Adapun alam semesta yang

5 Ibid., h. 74. Lihat juga pada Seyyed Hossein Nasr, Knowledg and the Sacred (New York:

Crossroad Publishing Co., 1981), h. 129. 6 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 148.

Page 75: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

67

serba ganda ini sebagai wadah tajalli dari nama-nama dan sifat-sifat Allah

dalam wujud yang serba terbatas. Nama-nama dan sifat-sifat itu sendiri identik

dengan zat-Nya yang mutlak. Karena itu menurut Ibn 'Arabi, Allah itu mutlak dari

segi esensinya-Nya, tetapi menampakkan diri pada alam semesta yang serba terbatas.

Akan tetapi, dengan konsep ini bukan berarti Ibn 'Arabi menganggap Tuhan itu sama

dengan mahluk, alam semesta dan lingkungan berarti juga Tuhan. Baginya, wujud

yang hakiki adalah wujud Allah dari segi esensi-Nya, bukan dari segi sifat-sifat-Nya;

sedangkan daripada-Nya adalah khayal belaka.7 Dalam pandangan Ibn 'Arabî,

Tuhan sebagai esensi yang mutlak tanpa nama dan sifat, tidak mungkin dikenal,

bahkan ia dapat dikatakan Tuhan kalau tidak ada yang bertuhan kepada-Nya.

Dengan kata lain, menurut Ibn 'Arabi, Tuhan itu hanya dapat dikenal melalui tajalli-

Nya pada alam empiris yang serba ganda dan serba terbatas ini, tetapi wujudnya

yang hakiki tetaplah transeden, tidak dapat dikenal oleh siapa pun dan tak mungkin

terjangkau oleh manusia dalam pengertian yang apapun.

Ajaran ketuhanan yang dikemukakan Ibn 'Arabi ini, seakan-akan sebagai

warisan dari ajaran ketuhanan Plotinus, yang mengajarkan bahwa Yang Maha Esa

(The One) itu ada dimana-mana. Dalam hal ini sebenarnya terdapat perbedaan

fundamental antara kedua doktrin tersebut. Perbedaan bahwa Yang Maha

7 Ibn Arabî yang mempunyai nama Muhyi al-din Muhammad ibn ‘Ali Al-Hatimi, lahir di

Murcia (Spanyol) pada tanggal 17 Ramadhan 560 H. (29 Juli 1165 M) adalah tokoh sufi yang terkenal ajarannya dengan “Wahdatul Wujud”, bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal yakni “yang benar-benar ada itu ialah Allah SWT.” Lihat Fushush, h. 111, 119 dikutip oleh Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi oleh Al-Jili, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 50.

Page 76: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

68

esa-nya Plotinus ada dimana-mana dan menjadi sebab wujud; sedangkan Yang Maha

Esanya Ibn 'Arabi ada dimana-mana sebagai Esensi, dan tidak dimana-mana sebagai

Esensi Universal yang berada diatas semua "di mana" dan "bagaimana". Jadi,

Plotinus melihat hubungan Tuhan dengan alam semesta dalam bentuk emanasi,

sedangkan Ibnu 'Arabi melihatnya dalam bentuk tajalli.8 Perbedaan mendasar antara

ajaran emanasi (faidl) dan tajalli ini adalah bahwa emanasi bersifat vertikal, dengan

melalui emanasi segala sesuatu mengalir dari Yang Awal secara vertikal dan gradual,

sehingga menjadikan alam semesta yang serba ganda; sedangkan tajalli bersifat

horizontal, karena segenap fenomena maknawi dan empiris muncul dan berubah

sebagai manifestasi dari al-Haq. Hubungan antara yang real dan fenomena

disini merupakan hubungan antara potensial dan yang katual, dimana peralihan

antara yang pertama dan berikutnya terjadi di luar patokan ruang dan waktu,

karena tajalli Tuhan itu terjadi sebagai suatu proses abadi yang tiada henti-hentinya.

Menurut pandangan Ibn 'Arabi bahwa sebab terjadinya tajalli Allâh sebagai

Realitas Absolut pada aalam yang serba nisbi ini adalah karena Allah ingin melihat

citra diri-Nya dan ingin dikenal melalui alam tersebut. Untuk itu, Ia

memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam. Dengan demikian, alam

fenomena merupakan perwujudan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah yang abadi.

Tanpa adanya alam ini, nama-nama dan sifat-sifat itu akan kehilangan makna dan

8 Lihat Frederick Copleston, A. History of Philosophy (New York: An Image Book, 1985),

vol. I, h. 467. Dan lihat Ibid.

Page 77: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

69

akan senantiasa berada dalam bentuk potensialitasnya pada zat Tuhan. Demikian

pula, Zat Yang Mutlak itu sendiri akan tetap dalam kesendirian-Nya, tanpa dapat

dikenal oleh siapapun. Di sinilah letak urgensi wujud alam sebagai wadah tajalli

Ilahi, yang padanya Tuhan melihat citra diri-Nya dalam wujud yang terbatas.9

Ajaran wahdat al-wujûd Ibn 'Arabî tersebut, bertolak dari asumsi bahwa

Tuhan itu adalah satu wujud mutlak, tidak terbatas, kadim dan abadi; Tuhan adalah

sumber dan asas dari semua yang ada, yang pernah ada dan yang akan ada; lalu

pandangan itu secara berangsur-angsur mengambil bentuk acosmism, yang

memandang alam fenomena ini hanya sebagai bayang-bayang dari realitas yang ada

di baliknya. Dari pengertian ini, Tuhan-dari segi esensi-Nya-tetap transeden. Yang

imanem hanya-dari segi-nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Hal ini tentu berbeda dengan

panteisme murni yang memandang Tuhan imanem dalam segala sesuatu dan

berintegrasi dengannya, sehingga segala sesuatu bersifat Ilahi.10

Dijelaskan pula dalam ontologi dan emanasi Ibn Sina bahwa untuk

membedakan wujud murni dengan eksistensi dunia, terdapat perbedaan fundamental

antara wajib (wujûb), kontingensi (imkan) dan ketidakmungkinan (imtina’). Wujud

Yang Wajib adalah realitas yang harus ada dan tidak bisa tidak ada. Realiats yang

tidak eksis menunjukkan kontradiksi dan itu tidak mungkin. Maka hanya ada satu

realitas, yaitu Wujud Yang Wajib (wâjib al-wujûd), yaitu Tuhan. Mumtani' al-Wujud

9 Afifi, A.F., Filsafat Mistis Ibbn Arabî diterjemahkan oleh Syahrir Mawi dan Mahdi Rahman

(Jjakarta: Gaya Media Pratama, 1995), hh. 13-28. 10 Ibid.

Page 78: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

70

adalah wujud yang tidak dapat ada secara objektif, baginya haruslah terdapat

kontradiksi. Semua wujud yang terlepas dari wujud yang wajib, adalah wujud-wujud

yang bergantung (mumkin al-wujud); karena dianggap sebagai kuiditas, maka ia

dapat eksis dan dapat pula tidak eksis.11

Perenungan oleh Wujud Yang Wajib dalam diri-Nya sendiri menurunkan

Intlek Pertama; dan dari perenungan Intlek Pertama bagi Wujud Yang Wajib dan

juga dirinya sendiri sebagai wujud kontingen dan sebagai yang diharuskan oleh

Wujud Yang Wajib (al-wâjib bi'l hayr), berperanan untuk penurunan Intlek Kedua,

Jiwa Bidang Pertama. Proses itu berlanjut terus dalam cara demikian sampai pada

Intlek Kesepuluh dan Bidang Kesembilan, dan disinilah jiwanya diturunkan. Bidang

Kesembilan ini adalah bidang Bulan yang sesuai dengan sembilan surga astronomi

Ptolemius, yang telah dimodifikasi oleh astronom-astronom muslim.12

Di bawah tingkat kesepuluh berdiri bidang-bidang pada empat elemen,

diperintah oleh Akal (Intlek) Kesepuluh, yakni "pemberi bentuk-bentuk'' ( wâhib al-

suwar) bagi semua keberadaan dalam wilayah sublunar. Wilayah sublunar itu diatur

dalam tatanan hirarkis, yang terdiri dari tiga kerajaan yang dipimpin oleh

manusia, yang mewakili titik kembalinya pada Yang Azali. Dengan makna-makna

pengetahuan, ia dapat naik melalui tingkat-tingkat manifestasi kosmik untuk

mencapai persatuan dengan Intelek Aktif (al-aql al- fa'al) . Jiwanya naik dari keadaan

potensial menuju aktal, yakni menjadi intellectual in actu. Dari teori emanasi tersebut

11 Seyyed Hosseinj Nasr, Intlektual Islam, Teologi, Filsafat dan Gnosis, h. 40 Lihat Juga Nasr, Islamic Cosmological Doktrines. H. 202.

12 Ibid.

Page 79: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

71

maka alam semesta terdiri atas suatu hirarki luas yang mulai dengan sepuluh Intelek,

yang memancar dari segala sesuatu dan puncaknya Wujud Yang Wajib. Di

bawahnya berdiri berwujud-wujud bidang sublunar, yang terbentang dari materi prima

sampai manusia, yang mulai memancarkan pendakian dan berakhir dengan kembali

kepada dunia yang dapat dimengerti secara murni. Alam semesta diturunkan melalui

perenungan yang kemudian kembali ke asalnya melalui pengetahuan.13

Prinsip ajaran wahdat al-wujûd Ibn Arabî, dalam tasawuf Nasr, memberikan

gambaran tentang bentuk-bentuk hubungan manusia dengan lingkungannya. Bahwa

karena alam ini merupakan perwujudan dari nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, maka

keteraturan yang terdapat di alam dan lingkungan ini adalah suatu bentuk kepatuhan

alam atau apa yang disebut Nasr sebagai kemusliman jagat raya dimana alam begitu

serba taat (Islam) pada sunnatullah.14

Pandangan Nasr kemudian, tetap mengakui realitas alam ini sebagai objektif

adanya dengan hukum-hukumnya yang tetap melekat padanya. Akan tetapi, dengan

tegas disebutkan bahwa dalam hakekat alam semesta ada kesatuan yang tunggal,

cermin keesaan dan kemahakuasaan Tuhan.15

Prinsip-prinsip sufistik yang bersahaja tentang kesatuan dan

kesalinghubungan alam ini, dikatakan Nasr sebagai suatu kesatuan yang bersumber

13 Ibid. 14 Seperti yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat. Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan

Krisis Modernisme 15 Ibid., h. 240.

Page 80: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

72

langsung dari kesatuan prinsip ketuhanan.16 Prinsip kesalinghubungan inilah yang

kemudian dipandang remeh dalam dunia ilmu pengetahuan modern, dan ilmu

pengetahuan modern membatasi pada prinsip kesalinghubungan antar bagian-bagian

dari alam dan memisahkan tiap-tiap bagian itu dari alam, seperti dicontohkan Nasr:

Secara ideal, menurut fisika Newtonian, dalam mempelajari jatuhnya tubuh kita bisa dengan hanya menjumlah kekuatan grafitasi yang berlaku atasnya dengan mengetahui massa dan jarak setiap partikel benda di dunia material. Tapi, karena hal ini tidak mungkin, kita percaya saja bahwa bumi merupakan pusat daya tarik dan melupakan semua bagian lain dari dunia material. Sebagai akibatnya, kita mampu memperoleh figure angka-angka yang tepat dengan menerapkan hukum Newton terhadap kejadian yang disederhanakan – Namun jika suatu yang sangat fundamental telah hilang dan diabaikan, yaitu kegunaan dasar bahwa jatuhnya tubuh sebenarnya berkaitan semua partikel alam semesta melalui suatu tenaga yang oleh Plato disebut eros dan oleh Ibn Sina disebut ‘isyq.17

Hilangnya aspek hubungan dalam penerapan ilmu kealaman modern inilah

yang akhirnya melahirkan kerusakan alam sebegitu hebat dan mengancam kita.

Dengan malapetaka yang lebih buruk, dan selanjutnya dikatakan Nasr, sejak itulah

para ahli ekologi menyadari dan menentukan bahwa secara keseluruhan, alam

lingkungan ini benar-benar rumit namun selaras hingga tak ada bagian yang tak

berfungsi selain memiliki hubungan dengan bagian-bagian yang lain.

Seperti Puisi yang dikutip Nasr, yang ditulis penyair Barat John Donee (empat

abad silam): “Tak seorangpun merupakan suatu pulau, sepenuhnya diri sendiri, setiap

orang adalah sekeping benua, bagian dariku; jika sepotong awan dihanyutkan

16 Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, h. 240. 17 Ibid., h. 291.

Page 81: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

73

laut, maka Eropa akan merana.18” Dengan puisinya ini, John Donee, menggambarkan

kesatuan setiap jiwa dengan alam, kesatuan dirinya dengan setiap jiwa dan alam,

begitu juga kesatuan setiap bagian dari alam ini. Karena jiwa dan alam menyatu

begitu utuh, maka setiap orang akan merasa dirinya sebagai bagian dari setiap bagian

alam ini. Ketidakharmonisan setiap bagian dari alam ini akan menjadi penderitaan

bagi semuanya.

Masa sesudah itu kemudian, Wordswort menggambarkan tentang kesadaran

jiwa tercerahkan, dimana segala bentuk alam terpadu. Suatu kesadaran yang

membawa manusia kepada Yang Tak Terbats, sebagaimana dilukiskan dalam baris-

baris berikut:

Keluhuran sesuatu kian dalam kian terpadu Yang tinggal di sana adalah cahaya matahari Dan laut berpusar dan udara segar Dan langit biru dan dalam jiwa manusia gerak Dan rohlah yang mendorong segala benda yang berpikir, segala objek semua pikiran Dan memutarnya bersama segala hal.19

Wordswort begitu menjiwai adanya relitas yang menyatu dari seluruh

eksistensi alam ini. Alam akhirnya akan terpadu dengan Realits Absolut.

Kesempurnaan alam adalah jika seluruhnya menjadi satu, sehingga setiap jiwa

menjadi bagian dari setiap alam. Gambaran alam yang teratur dan harmonis menjadi

obsesi puisinya bergerak menuju gambaran kesatuan seluruh realitas kepada Tuhan

sebagai Realitas mutlak.

18 Ibid.

19 Ibidi., h. 242.

Page 82: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

74

Prinsip unity (al-tauhid) dalam Islam mengandung perspektif metafisik.

Menurut Nasr ilmu pengetahuan Barat harus melengkapi dan mempelajarinya. Bahwa

keseluruhan lingkungan sebagai kesatuan yang kompleks yang saling berhubungan,

yang mencakup adanya tingkatan-tingkatan kejiwaan dan kerohanian dari realitas dan

akhirnya pembenaran mengenai Sumber segala yang ada. Bahwa objek-objek atau

benda-benda mati memiliki hubungan dengan makhluk-makhluk hidup dan bahwa

semua bagian-bagian dari dunia jasmani ini saling berhubungan dengan prinsip-

prinsip hubungan satu sama lain antara tingkatan-tingkatan wujud yang lebih rendah

memperoleh hakikatnya dari tingkatan wujud yang lebih tinggi, yang karenanya tak

terpisahkan. Oleh karena itu, menurut Nasr, jika bumi yang fana ini terjerumus ke

dalam ketakserasian dan kekacauan, sebenarnya oleh karena sains modern selalu

berusaha selama ini, untuk mempertahankannya sebagai wujud yang benar-benar fana

dari realitas yang mentransendensikannya.20 Selanjutnya, dengan doktrin tauhid

dalam Islam, mengutamakan integrasi atau keterpaduan. Tuhan adalah satu, dari

begitulah manusia yang diciptakan menurut “gambaran-Nya”, harus terpadu dan

menyatu.21

Oleh karena itu, bagi Nasr, meski dewasa ini setiap orang menyerukan

perdamaian, namun kedamaian tak pernah tercapai. Karena itu, secara metafisik

adalah absurd mengharapkan suatu perdamaian tetapi melupakan Tuhan yang

20 Ibid., h. 247. 21 Ibid., h. 26.

Page 83: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

75

memiliki kedamaian. Kedamaian dalam kehidupan manusia bersumber dari

perdamaian dengan Tuhan dan juga dengan alam.

Seperti diungkapkan Nasr:

Demikianlah maka tidaklah mungkin memperbaiki kekacauan dalam bidang kealaman ini, tanpa menyingkirkan penyebabnya, yang tidak lain dengan berupaya memikirkan keterpisahan tingkat kehidupan yang fana dari tingkatan yang lebih tinggi lagi, pandangan ekologis dewasa ini telah mampu mengatasi keterpisahan dan pengkotak-kotakan bidang studi kealaman, namun belum bisa mengatasi masalah-masalah yang lebih mendasar, mencakup manusia sendiri, moleh karena manusialah yang sebenarnya mendapat gangguan akibat ketidak seimbangan ekologi dengan faktor-faktor non biologisnya. Perlawanan spiritual manusia terhadap langit telah mencemarkan bumi, dan tak ada upaya yang benar-benar berhasil dalam memperbaiki situasi yang terjadi dibumi tanpa mengakhiri perlawanan terhadap langit. Karena itu hanya cahaya langit yang tertangkap di bumi melalui kemunculan para pencari dan kehidupan kontemplatif yang terdapat dalam tradisis kemanusiaan asli yang relegius yang dapat menjaga keselarasan dan keindahan alam dan dalam kenyataan yang juga menjunjung tinggi keseimbangan kosmis.22

B. Sufisme: Pembebasan Manusia Modern

Terminologi “modern” dalam pandangan Nasr tidak dimaksudkan sebagai

“kontemporer” maupun “mengikuti zaman”; tidak pula diartikan sebagai sesuatu yang

berhasil menaklukan dan mendominasi alam semesta. Tetapi, menurut Nasr,

“modern” berarti sesuatu yang terpisah dari yang Transenden, dari prinsip-prinsip

langgeng yang dalam realitas mengatur materi dan yang diberitakan kepada manusia

melalui wahyu dalam pengertiannya paling universal. Modern dalam pandangan Nasr

di pertentangkan dengan “tradisi” (al-din); karena seperti disebutkan bahwa: “tradisi”

menyiratkan sesuatu yang sakral, mengimplikasikan baik keseimbangan

22 Ibid., h. 248.

Page 84: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

76

horizontal dengan sumber maupun mta rantai vertikal yang menghubungkan setiap

denyut kehidupan. Yakni tradisi yang diperbincangkan dengan Realitas transenden

meta historikal.23

Menurut Nasr, paling tidak ada tiga dasar dari karakteristik pemikiran modern

yang mesti di catat. Pertama, antromorfisme, satu bentuk pemikiran yang

menyangkal setiap prinsip yang lebih tinggi daripada manusia, karena akal dan indera

manusialah yang menentukan warna sains modern. Karakterisitk kedua dari

modernisme yang erat kaitannya dengan antropomorfisme adalah tiadanya prinsip-

prinsip yang menjadi ciri dunia modern. Dalam hal ini, Nasr menegaskan bahwa baik

empirisme, rasionalisme, maupun rasionalisme empirik tidak dapat bertindak sebagai

prinsip-prinsip dalam pengertian metafisika. Ketiganya yakni empirisme,

rasionalisme atau rasionalisme empiris, hanya absah pada tingkatyan masing-masing,

tapi mereka tercerai berai dari prinsip-prinsip abadi. Menurut Nasr, satu-satunya yang

boleh dikatakan mempunyai prinsip-prinsip tertentu dalam pengertian metafisik

adalah matematika; dengan alasan bahwa matematika merupakan satu sains platonik

dengan hukum-hukumnya, karena diproses dan dihasilkan oleh pikiran manusia; dan

terus memantulkan prinsip-prinsip metafisika, karena akal sendiri tidak mungkin

berbuat lain kecuali menayangkan fakta bahwa ia merupakan refleksi kecerdasan

Ilahi. Sedangkan karakteristik ketiga adalah tidanya kepekaan terhadap yang

23 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terjemah oleh

Luqman Hakim (Bandung: Pustaka, 1996), cet. Ke I, h. 3.

Page 85: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

77

sakral. Sehingga manusia modern secara praktis dapat didefiniskan sebagai jenis

manusia yang telah kehilangan kepekaan ini, dan pemikirannya memperlihatkan

secara mencolok tiadnya kepekaan terhadap yang sakral.24

Inilah kemudian, yang dianggap telah melahirkan Teologi Modernisme yang

menjadi mainstream pemikiran paradigmatik manusia modern dan menjadi landasan

tegaknya sejarah peradaban modern. Teologi modernisme yang bertolak dari deisme

dan agnotisisme menjadi dasar dari mainstream modernisme tersebut. Teologi ini

dikaitkan muncul bersamaan dengan renaisance sebagai antitesis dari era scholastik

dengan teologi klasiknya yang membelenggu.25

Tujuan dari teologi modernisme tersebut adalah untuk membebaskan manusia

dari dogmatika nilai agama yang memasung kemerdekaan dan kreatifitas manusia

dalam merespon dunianya. Proses yang ditempuh dalam teologi ini adalah “proses

penyadaran” manusia akan eksistensinya sebagai bagian terpentng dari lingkungan

kosmosnya. Untuk mengatasi dunianya, kesadaran kosmis ditempatkan dan

dikedepankan lebih dari segala-galanya. Karen dalam pandangan modernisme, agama

dan ajaran moralitas lainnnya dipandang telah cukup gagal dalam membangun

kesadaran kosmis. Karena itu agama, ditempatkan hanya pada level subordinat dari

sistem kesadaran tersebut.26

24 Ibid., hh. 98-110. 25 Syamsul Arifin, et. Al., OP. Cit., h. 24. 26 Ibid.

Page 86: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

78

Kalaupun agama tetap diyakini, keyakinan itu tak lebih dari fenomena

keberagaman primordial-tradisional, atau suatu keyakinan yang sekedar bersifat

palliative, yang tidak menyembuhkan apapun dari sistem kesadaran dan

masyarakatnya. Bahkan dengan menyimak keprihatinan Pitirim A. Sorokin, agama

dan moralitas sebagian besar akan sekedar menjadi gaya atau mode.27 Agama pada

manusia modern tidak lagi menjadi pusat kesadaran dalam seluruh gerak

kehidupannya, tetapi ia hanya dijadikan sebagai komitmen nilai yang bersifat

insidentil dan sesaat.

Dalam suasana demikian, agama benar-benar tidak memperoleh tempat

sentral dalam sistem sosial, politik, ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan. Dan

teologi modernisme akan menjadi teologi yang justru melakukan desakralisasi atau

sekulerisasi peran agama. Karenanya, nilai kebenaran tidak lagi dirujuk dari doktrin

dan narasi agama, karena agama dalam sejarahnya telah dipandang sebagai biang

konflik dan kemandegan kratifitas manusia dalam merespon realitas dunia kosmik.

Dalam prosesnya kemudian, kebenaran mulai dicari dan realitas yang menggejala

pada dunia empirik. Dan pendekatan filosofis yang digunakan adalah rasionalisme-

positivisme plus empirisme. Ini tidak saja terjadi pada sains alam, tetapi juga

brimplikasi pada sains-sains sosial.28

Karena agama telah disisihkan, maka ontologi modernisme sama sekali tidak

menyisakan sedikit pun unsur Tuhan, atau unsur kebenaran metafisik di dalamnya.

27 Ibid. 28 Ibid., h. 25.

Page 87: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

79

Bahkan, seperti yang terkenal dari ungkapan Neitzsche bahwa “Tuhan telah mati”.

Dan para tokoh modernis lainnya sepakat dengan jargonnya, “deus otiosus”, Tuhan

telah pensiun. Inilah gambaran dari serpihan teologi deisme dan agnotisisme.

Dalam dataran epistemologis, modernisme dibangun di atas fondsi

rasionalisme cartesian yang memisahkan secara diskrit antara realits fisik dan

metafisik, antara jiwa dan materi, antara byang sakral dan yang duniawi, yang pada

gilirannya mengajak masyarakat modern untuk melihat dan mengapresiasikan realitas

dunia ini, tak ubahnya sebuah mesin raksasa tanpa unsur spiritual yang namanya

Tuhan, yang seharusnya terlibat aktif menggerakkannya.

Pembagian Cartesian yang dualitas ini mengukuhkan atau memancangkan

tegaknya filsafat mekanistis ats alam, dimana Tuhan benar-benar tak hadir dalam

regularitas kosmos. Epistemologi ini kemudian sangat memuja subyek “aku” dalam

menentukan kebenaran, yakni dengan semboyannya, cogito rgo sum; “saya berpikir

maka saya ada”. Inilah awal bangkitnya antroposentrisme dan humanisme di Barat,

dimana manusia menjadi subyek dari segala-galanya.

Masih dalam kawasan modernisme, hampir tak ada struktur pengetahuan yang

menyertakan konsepsi kebenaran metafisik. Modernisme tidk ditopang oleh suatu

kerangka pandangan yang utuh, yang akan memberikan penjelasan secara utuh pula

tentang corak masyarakat masa depan yang diidamkan. Modernisme yang

dikembangkan atas premis-premis pemikiran rasionalisme, empirisme, dan

positivisme, sengaja melupakan dimensi yang amat mendasar, yakni tentang

kemajuan manusia di masa depan yang seharusnya bersendikan spiritualitas (agama).

Page 88: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

80

Karena itu, kehidupan modern sekarang ini tampak dengan wajah antagonistik. Satu

pihak, modernisasi telah mendatangkan kemajuan spektakuler dalam bidang material.

Tetapi, dipihak lain, modernisasi menghasilkan wajah kemanusiaan yang buram,

seperti terlihat pada akibat-akibat kemanusiaan yang ditimbulkan.29

Beberapa akibat tersebut misalnya, manusia modern semakin tidak mengenal

dan terasing dengan dirinya dan Tuhannya setelah mengalami kehidupan yang

demikian mekanistik, munculnya kegelisahan dan kegersangan psikologis atau batin

yang disebabkan kehidupan spiritual tercerabut dalam modernisasi; dan akibat yang

paling para adalah krisis tentang makna dan tujuan hidup (mening and purpose of

life).

Krisis spiritualitas yang di alami manusia modern yang tergambar di atas,

menurut Nasr, adalah berkar pada polusi jiwa manusia yang timbul sejak manusia

Barat mengambil alih peran ketuhanan di muka bumi dengan menyingkirkan dimensi

Ilahi dari kehidupannya dan menyatakan indenpendensinya dari kehidupan akhirat.

Sedangkan sufisme, diakui Nasr, merupakan tradisi hidup yang kaya dengan

khazanah doktrin metafisis dan kosmologis, sehingga sufisme diyakini dapat

menghidupkan kembali banyak aspek kehidupan rohani Barat yang tengah dilanda

krisis.30

29 Ibid. H. 27.

30 Ensiklopedia Islam, hh. 80-2

Page 89: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

81

Sufisme ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh. Sufisme meniupkan semangat

ke dalam seluruh struktur Islam, baik dalam manifestasi sosial maupun intelektual.

Dalam pandangannya yang positif terhadap tasawuf, Nasr berpendapat bahwa

sufisme dapat menjadi jawaban atas krisis spiritualitas modern, khususnya di dunia

Barat dann dapat mempengaruhi Barat melalui tiga upaya: pertama, mempraktekkan

sufisme secara aktif; kedua, menyajikan Islam secara lebih menarik sehingga orang

dapat menemukan praktek-praktek sufisme yang benar; dan tiga, memfungsikan

sufisme sebagai alat untuk kebangkitan spiritualisme.

Nasr, kemudian menyatakan bahwa kehidupan di dunia ini tampaknya masih

tidak memiliki horizon spiritual. Hal ini bukan karena horizon spiritual itu tidak ada,

tetapi karena yang menyaksikan panorama kehidupan kontemporer ini seringkali

adalah manusia yang ada pada pinggir lingkaran eksistensi yang hanya dapat

menyaksikan segala sesuatu dari sudut pandangannya sendiri. Ia senantiasa tidak

perduli dengan jari-jari lingkaran eksistensi dan sama sekali lupa dengan pusat

lingkaran eksistensi yang dapat dicapainya melalui jari-jari tersebut.31

Seperti masalah penghancuran lingkungan oleh teknologi, krisis ekologi, dan

lain-lain semacamnya, semua menurut Nasr bersumber dari penyakit amnesis atau

pelupa yang diidap oleh manusia modern. Manusia modern telah lupa, siapakah ia

sesungguhnya, karena hidup dipinggir lingkaran eksistensinya sendiri, ia telah

memperoleh pengetahuan dunia yang secara kualitatif bersifat dangkal, walaupun

31 Seyyed Hossein Nasr, Living Sufisme (London: Mandala Books, 1980), h. 18-19. juga

diterbitkan dengan judul Sufisme sseys, (New York: State University of New York Press, 1972).

Page 90: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

82

secara kuantitatif sangat mengagumkan. Ia telah memproyeksikan citra pribadinya

yang eksternal dan palsu kepada dunia. Kemudian setelah mengenal dunia dalam

pengertian-pengertian eksternal tersebut ia mencoba merekonstruksikan citra

pribadinya berdasarkan pengetahuan eksternal tersebut. Maka terjadilah serangkaian

“kejatuhan” yang menyebabkan manusia terisolasi ke arah bawah di antara citra

pribadinya yang semakin bersifat eksternal dengan dunia sekeliling dirinya,

sedangkan ia semakin jauh dari pusat eksistensinya dan dari lingkaran kosmisnya.32

Dimana pun kita tidk dapat menemukan kecenderungan manusia modern

untuk memecahkan problem-problemnya tanpa mempertimbangkan faktor-faktor

penyebab dari problem-problem tersebut. Hal ini dikatakan Nasr nyata sekali di

dalam sains-sains humanitas secara umumnya dan sains-sains yang berkepentingan

dengan manusia, yaitu sans-sains yang diperkirakan dapat memberikan wawasan

mengenai sifat hakiki manusia yang khas. Manusia modern yang memberontak

melawan Allah, telah menciptakan sebuah sains yang tidak berdasarkan cahaya

intelek, berbeda dengan yang kita saksikan di dalam sains-sains Islam tradisional. Di

dalam domainnya sendiri keberhasilan sains ini sedmikian besarnya, sehingga sains-

sains yang lain segera mencontohnya. Hal inilah yang menimbulkan positivisme yang

dangkal, menurut pengertian lama, dicampurvaurkan dengan analisa logis, akrobatik

mental, atau teori ionformasi semata-mata.33

32 Sayyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, h. 4.

33 Ibid.

Page 91: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

83

Dekadensi humanistik pada zaman modern ini adalah karena manusia secara

mendasar telah kehilangan pengetahuan langsung mengenai diri dan keakuan yang

senantiasa dimilikinya, karena ia bergantung kepada pengetahuan eksternal yang

tidak langsung berhubungan dengan dirinya, yaitu pengetahuan yang hendak

dicarinya dari luarnya. Pengetahuan ini secara literal “bersifat dangkal”, diperoleh

dari pinggir lingkaran eksistensi dan tidak mengandung kesadaran mengenai

interioritas, mengenai aksis dan jari-jari lingkaran eksistensi yang senantiasa

menghadang manusia dan menghubungkannya seperti seberkas sinar kepada matahari

ilahiah.34

Dengan pertimbangan terhadap latar belakang inilah kita harus menganalisis

dan menjawab masalah-masalah yang timbul karena perbenturan antara konsep

mengenai manusia yang tradisional dengan yang modern.

Menurut Nasr, pencarian spiritual dan mistikal bersifat perenial. Dan ini

merupakan kebutuhan yang natural dalam manusia secara kolektif. Ketika masyarakat

atau suatu kolektivitas manusia berhenti mengakui kebutuhan yang nyata ini, dan

ketika semakin sedikit manusia yang menyusuri jalan mistikal, pada saat itu pula

masyarakat tersebut ambruk ditimpa beban berat strukturnya. Atau masyarakat

itumencair akibat ketidakmampuan menyembuhkan penyakit-penyakit psyikis, karena

masyarakat itu menolak memberikan kepada anggotanya makanan yang dapat

mengenyangkan rohani yang lapar.35

34 Ibid. 35 Nasr, Sufi sseys, h. 27.

Page 92: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

84

Kemudian Nasr mengingatkan, bahwa sufisme haruslah dipahami sebagai

sebuah dimensi tradisi Islam. Menurutnya, ini perlu ditegaskan karena tidak jarang

sufisme ditarik keluar konteksnya dan disejajarkan dengan gegagabah dalam

pembahasan tentang tradisi mistikal di Barat dan Timur lainnya.

Pandangan Nasr tentang sufisme tersebut memberikan penjelas terhadap

teorinya tentang rim dan axis. Nasr menerapkan konsep ini ke dalam sufisme dengan

menyatakan hakikat (realitas) dunia ini terdiri dari dua aspek : al-zhâhir (lahir,

outward) dan al-bâathin (batin, inward), ini sesuai dengan sifat Tuhan; di dalam al-

Qur`an Ia menyebut diri-Nya sebagai al-Zhâahir dan al-Bâathin. Dalam kerangka ini,

bentuk lahiriah benda-benda tidaklah ilusi belaka; mereka mempunyai hakikat pada

level mereka sendiri. Tetapi, secara langsung menyatakan adanya gerakan ke arah

pemisahan dan pengunduran dari “principle” yang berada di “pusat” yang dapat

diidentifikasi sebagai “yang batin”. Hidup pada tataran “lahir” berarti sekedar

menyukuri eksistensi, tetapi merasa puas semata-mata dengan yang “lahir” berarti

menghianati watak manusia itu sendiri. Karena tujuan eksistensi manusia adalah

perjalanan dari outward ke inward, dari pinggiran (periferi) lingkaran eksistensi ke

pusat Transenden. Sehingga dengan cara tersebut, makhluk dapat kembali kepada

asal muasalnya.36

36 Nasr, Islam and the Plight of Modern Man. Op. Cit., hh. 45-7.

Page 93: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

85

Menurut Nasr, sufisme memberikan sarana lengkap bagi manusia untuk

mencapai tujuan mulia tadi. Tuhan sendiri memungkinkan bagi manusia terjadinya

perjalanan dari “outward” ke “inward” dengan menurunkan wahyu; dimana

wahyupun dalam Islam mempunyai dimensi “lahir” dan dimensi “bathin”. Dimensi

bathin atau esoterik ini sebagian besarnya berkaitan dengan sufisme, meski dalam

konteks shi’isme, esoterisme Islam juga termanifestsi dalm bentuk-bentuk lain.37

Nasr juga menyatakan bahwa dalam pandangan Islam, sufisme eksis dalam

setiap wahyu atau tradisi yang ntegral, karena itu, menurutnya, dalam bahasa-bahasa

Islam orang sering mengacu kepada “sufisme agama ini” “sufisme agama itu” hal ini,

dalam pandangan Nasr terjdi karena tasawuf – seperti juga al-din atau al-Islam dalam

pengertian universal – bersifat perenial dan sekaligus universal.38

Orang mengartikan “al-Islâm” sebagai pengertian agama dalam pengertian

universal, maka jenis esoterisme (atau tasawuf) yang diperaktikkan mesti termasuk ke

dalam agama tertentu atau “Islam” yang menjadi sumber esoterisme itu. Dan jjika

mengartikan al-Islâm sebagai agama yang diwahyukan melalui al-Qur`an, maka

tasawuf yang absah untuk dipraktekkan haruslah yang bersumber dari wahyu Qur`ani,

dimana dalam hal apapun, suatu jalan esoteris yang valid tdak bisa dipisahkan dari

kerangka obyektif wahyu atqau ajaran gama yang menjadi sumbernya. Karena itu,

orang tidak dapat mempraktekkan esoterisme buddhis dalam konteks syari`ah Islam

atau sebaliknya.

37 Ibid. 38 Ibid.

Page 94: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

86

Nasr kembali mengingatkan pentingnya keterkaitan sufisme dengan agama.

Menurutnya, orang dalam situasi apapun tidak dapat mengklaim berpijak di atas ajran

eksoteris agama; mempraktikkan esoterisme tanpa eksoterisme ibarat mennam pohon

di awang-awang. Orang bisa melakukan perjalanan menuju Tuhan hanya sebagai

bagian dari kemanusiaan sakral (ummah) – atau tubuh mistik dalam theologi kristen –

yang telah dibentuk dan disucikan Tuhan melalui wahyu.39

Ajaran sufi ini pada garis besarnya meliputi dua ajaran dasar: tentang

‘Kesatuan Transenden Wujud’ (wahdah al-wujûd) dan Manusia Universal atau

Manusia Sempurna (al-Insan al-kamil). Segala kejadian adalah ayat yang memuat

Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan dan memperoleh wujudnya dari Wujud Tunggal

sebagai satu-satunya yang ‘ada’. Manusia adalah satu-satunya makhluk di bumi ini

yang berkedudukan sentral dan diciptakan dengan maksud supaya ia menunjukkan

Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan dengan cara yang menyeluruh dan sadar. Menjadi

seorang wali dalam Islam adalah dengan melaksanakan semua kemungkinan dari

keadaan manusia menjadi Insan kamil. Karena Insan Kamil adalah cermin yang

memancarkan semua Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan. Melalui Insan Kamil Tuhan

merenungi diri-Nya dan segala hal yang telah Ia jelmakan ke dalam wujud.40

Manusia tradisional; mengimani Allah, memasrahkan dan melekatkan dirinya

kepada Allah lewat berbagai bentuk penyembahan, kesalehan, dan kecenderungan

39 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (London: George Allen Unwin, 1981),

h. 193.

40 Nasr, Tasawuf Dulu dan sekarang, h. 18.

Page 95: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

87

mereka kepada jalan spiritualitas, Tetapi manusia modern tidak memiliki iman atau

keprcayaan kepada Akal Tertinggi (Supreme Intellegence),41 dan juga tidak

melekatkan dirinya kepada Allah lewat penyerahan diri. Ia mengikuti garis lintasan

peluru yang linier yang akan mengantarkan dirinya pda pesawat yang bergerak

horizontal, yang dianggap sebagai suatu kemajuan. Pesawat yang tidak pernah

dilanggar oleh aspirasi spiritual yang berdimensi vertikal. Tidak ada iman,

kepasrahan, kecemasan instingtif, dan kecintaan spontan terhadap Allah seperti yang

bisa kita temui dalam hati manusia tradisional. Kesadaran spiritual yang berakar pada

suara batin manusia telah dibungkam oleh teriakan kers suara lahirnya. Mikrokosmos

jiwa manusia telah menjelma menjadi ego mikropisnya, dan sebagian besar ego ini

menyebar keseluruh penjuru dunia bagai tebaran atom yang masing-masng berusaha

mencapai kesatuan dalam dirinya, namun tanpa pertolongan prinsip prinsip kesatuan.

Seperti pepohon yang tidk pernah membayangkan luasnya hutan, atau setitik air yang

tidak pernah bergabung dengan lautan.42

Di luar capaian-capaian teknologis,mkepercayaan terhadap diri dan kemajuan

manusia sepanjang sejarah tidak lagi punya daya pikat. Jikapun ada kepercayaan

dalam dirinya itu tidak punya kekuatan untuk menggerakkan jiwa. Pemahaman hidup

masih memerlukan kepercayan (keimanan) manusia, namun nyatanya keimanan telah

ditenggelamkan oleh ego yang pada dirinya sendiri tidak mempunyai kekuatan

41 Ibid.

42 Ibid.

Page 96: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

88

untuk meyakinkan. Dalam mentalitas manusia modern, egotelah menggantikan

kedudukan jiwa sebagai kekuatan kesadaran batin, kendaraan bagi dorongan

ambisiusnya, dan modus operandi bagi aspirasi-aspirasi batinnya. Keberadaan diri

manusia tradisional yang paling kental muncul dari pernyataan tentang jiwanya.

Sementara pada manusia kontemporer hal itu keluar dari egonya. Keduanya

menunjukkan model eksistensi yang paralel, namun dalam level ekspresi yang sama

sekali berbeda. Ego memandang ke dalam dirinya sendiri, sedangkan jiwa

merefleksikan cahaya akal ilahiah dalam mengantisipasi pemenuhan diri dan

transendesi jiwa.43

Kelekatan manusia kepada Allah telah digantikan oleh kelekatan kepada dunia

bentuk dan dunia kepemilikan. Manusia modern tidak lagi berupa sebuah buku

terbuka yang menanti guratan penaa ilahi, untuk menentukan tujuan dalam jiwanya.

Ia mengingkari pertemuannya dengan penciptanya, dan karena itu mengingkari janji

masa depan baginya dalam level realitas yang berbeda. Ia menjadi sebuah sistem

tertutup, telah ditentukan – bukan oleh Allah, melainkan oleh gerakan aneh ego yang

selalu berubah dan perjumpaan-perjumpaan kebetulan dengan dunia yang sukar sekali

dimengerti. Intelgensinya telah direduksi menjadi hanya pencari fakta dan

sekumpulan data, dan mata hatinya yang dulu pernah secara sungguh-sungguh dididik

oleh manusia tradisional, kini tertutup sudah.

Dewasa ini manusia modrn dikatakan Nasr, sangat pintar melupakan hakikat

yang inti dari ajaran dan gagasan-gagasan yang sebenarnya memiliki arti yang

43 Ibid.

Page 97: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

89

langgeng. Manusia modern telah melecehkan kebutuhan hakiki dunia modern. Oleh

karena itu menurut Nasr, jika secara keseluruhan manusia modern tidak lagi

memahami kebenaran-kebenaran agama dn hikmah yang bersifat langgeng, maka

pudarnya visi intelektual semacam ini sebenarnya sebagian besar berkaitan tak

berartinya lagi keberadaan sebagian umat manusia.44

Lebih jauh lagi, jiwa manusia yang pernah dianggap sebagai ruang yang subur

dan terbuka bagi tumbuhnya realitas-realitas abadi, kini terperangkap dalam

sekumpulan ilusi yang diabadikan oleh ego yang mengabdi pada diri sendiri, dan

karenanya mereduksi jiwa pencari diri menjadi sekedar bayangan ego ketimbang

refleksi Ruh Ilahi, Ilusi tersebut tak lain adalah bahwa manusia percaya dirinya

mampu merealisasi dan memfungsikan keberadaannya sendiri di dunia ini tanpa

dukungan dan berkat Allah. Ego menciptakan ilusi, dan ilusi memuaskan ego dalam

mengabdikan lingkaran realitas palsu yang menentang kebenaran.45

Keadaan manusia modern yang pasrah menerima keadaan dirinya dan

keterbatasan memandang benda-benda, yang biasa disebut sebagai “keadaan genting

manusia modern yang eksistensial”,46 inilah tipe manusia yang tak mampu

mempertajam daya kritisnya terhadap dirinya sendiri dan dengan demikian tak lagi

kritis memandang kebenaran-kebenaran obyektif, yang secara hakiki merupakan satu-

44 Ibid., h. 255. 45 Ibid. 46 Ibid.

Page 98: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

90

satunya kemungkinan buat dijadikan timbangan dan ukuran bagi nilai manusia dan

kemanusiannya.47

Disinilah Nasr, kemudian memproyeksikan Islam dengan tepat bagi dunia

modern. Yakni dengan jalan, pertama, Islam seperti dikatakan Nasr, berasal dari

Hakikat yang benar-benar mutlak dan berisi amanat yang datang dari langit, amanat

dari Yang Tetap. Ia merupakan imbauan langsung dari Yang mutlak kepada manusia,

mengajaknya berhenti mengembara dalam labirin kenisbian dan kembali kepada

Yang Mutlak dan Esa. Manusia lahir, hidup dan mati selalu mencari makna, dan

pencarian makna ini adalah pokok. Agama benar-benar memenuhi kebutuhan akan

makna ini dan dapat memiliki arti sebagai tempat berlindung ditengah badai

kepelbagaian dan ketakmenentuan manifestasi semesta dan ditengah badai

ketakpastian wujud yang sesaat dan fana. Kedua, Islam menyembuhkan salah satu

penyakit dunia modern, yakni sekulerisasi48 yang melampaui batas, satu proses yang

tak lain merupakan penjauhan benda-benda dari makna spiritualnya. Terhadap

sekulerisasi yang melampaui batas, Islam menyajikan suatu pandangan hidup yang

benar-benar suci dan suatu kebebasan yang dimulai dengan kepatuhan pada kehendak

Ilahi di dalam rangka merambah jalan naik menuju Yang Tak Terbatas. Dalam Islam

47 Ibid. 48 Sekulerisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia “pertama-tama dari agama dan

kemudian dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya”, juga berarti “terlpasnya dunia dari pengrtian-pengertian religius dan religius-semu, terhalaunya semua pandangan-pandangan dunia yang tertutup, terpatahkannya semua mitos supranatural dan lambang-lambang suci ...”, “defatalisasi sejarah”, penemuan manusia akan kenyataan bahwa dia ditinggalkan dengan dunia di tangannya, sehingga dia tidak bisa lagi menyalahkan nasib atau kemalangan atas apa yang diperbuatnya ...; manusialah yang mengalihkan perhatiannya lepas dari dunia-dunia di atas sana ke arah dunia ini dan waktu kini. Selanjutnya lihat Syed Muhammad Al-Naqub Al-Attas, Islam dan Sekulerisme diterjemahkan oleh Karsidjo Djojosuwarno (Kuala Lumpur: ABIM, 1972), h. 17.

Page 99: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

91

tak ada jarak antara yang suci dan yang duniawi atau kehidupan temporal; Melalui

syari`ah yang mengendalikan seluruh kehidupan manusia. Setiap kegiatan manusia

memperoleh dimensi transenden; ia jadi suci dan karenanya bermakna. Islam

sebagaimana setiap kebenaran lain yang diwahyukan datang dari Tuhan. Oleh

karenanya, dunialah yang harus di dorong supaya menyesuaikan diri dengan

kebenaran ini dan bukan sebalinya. Ketiga, doktrin tauhid sendiri dalam Islam

mengutamakan integrasi atau kepaduan. Sedangkan manusia modern merana akibat

pengkotak-kotakan yang melampaui batas di dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan

sebagaimana dalam kehidupan sosialnya. Dengan tekanan teknologi, ikatan sosial dan

juga kepribadian manusia condong pencah berantakan. Maka cita Islam dan tauhid

atau kesatuan tegak kuat menentang kejamakan dan pengkotak-kotakan ini,

memulihkan kecendrungan sentragul manusia yang membuat jiwa dan energinya

tercerai-berai dan mengajak manusia kembali kepada pusat hidupnya. Keempat,

Islam memelihara keseimbangan antara keperluan badani dan kebutuhan rohani,

antara keutamaan dunia dan akhirat. Kedamaian tak mungkin didapatkan dalam suatu

peradaban yang menyusutkan seluruh kesejahteraan manusia sebagai melulu makhluk

dunia fana. Membuat peradaban semacam itu tak mampu memberikan kepuasan

ruhani akibat dari perpaduan materialisme yang melampaui batas dan pseude-

spiritual yang jauh lebih berbahaya. Maka pesan Islam dalam hal ini, agar manusia

modern mampu memelihara keseimbangan dan memenuhi kebutuhannya tidak hanya

kepada kemampuannya sebagai hewan berpikir, namun juga sebagai wujud yang lahir

untuk mencapai kebakaan. Hanya menyibukkan diri dengan kebutuhan jasmani

Page 100: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

92

membuat manusia terjerumus ke dalam perbudakan dn melahirkan problem-problem

yang secara fisik sekalipun tak mungkin dipecahkan.49

Akhirnya, Islam sebagai agama terakhir bagi umat manusia, dan memandang

agama dalam perwujudan universalnya, memiliki semua hal yang dibutuhkan bagi

realisasi kerohanian dalam arti yang luhur; Tasawuf dikatakan Nasr, adalah

merupakan pilihan untuk tujuan ini. Oleh karena tasawuf merupakan dimensi esoterik

dalam Islam, maka hanya Islam yang dapat membimbing mereka dalam Istana batin

kesenangan dan kedamaian yang bernama tasawuf. Dan hanya Islam yang merupakan

tempat mengintai “surga Firdaus”, seperti ungkapan sufistik yang bersahaja: “Adalah

bukan aku yang mennggalkan dunia, tetapi dunialah yang meninggalkan aku”. Bagi

Nasr pembebasan batin dalam kenyataan, bisa berpadu dengan aktivitas lahir yang

intens. Tasawuf sampai kepad perpadun kehidupan aktif dan kentemplatif selaras

dengan sifat penyatuan Islam sendiri terhadap kedua bentuk kehidupan ini.50

C. Kosmologi Islam: Dasar-dasar Keseimbangan Ekologi

Dalam al-Qur`an, ada lebih dari 750 ayat yang menunjukkan kepada

fenomena alam raya. Hampir seluruh ayat ini memerintahkan manusia untuk

mempelajari kitab (hal-hal yang berhubungan dengan) penciptaan dan merenungkan

isinya. Dalam visi al-Qur`an, fenomena alam merupakan tanda-tanda Yang

Mahakuasa, dan suatu pemahaman tentang alam adalah analog dengan pemahaman

tanda-tanda yang bisa membawa kita meraih pengetahuan tentang Tuhan. Sehingga

49 Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, hh. 256-63. 50 Ibid., h. 264.

Page 101: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

93

memahami al-Qur`an bukanlah usaha yang bermakna, kecuali jika ia dapat membantu

kita untuk memahami Sang Pencipta Yang Mahabijak di dunia ini dan untuk

mendekatkan diri kepada-Nya.51

Kosmologi Islam sendiri tergantung dari semangat dan bentuk khas wahyu

Islam, tidak hanya dalam prinsip umumnya, tetapi juga dalam formulasi dan

terminologi. Terdapat benih dari kosmologi yang lengkap di dalam al-Qur`an.

Tentang ini dijelaskan oleh kaum sufi, filosof, dan saintis angkatan akhir. Al-Qur`an

berbicara tentang tujuh bumi dan tujuh langit, hal Tahta /Kursi (kursî) dan arasy Ilahi

(arsy), mengenai gunung, gunung kosmis qaf, dan soal pohon kosmis, yang semuanya

menjadi unsur penting dalam kosmolohgi Islam. Ayat-ayat al-Qur`an terpenting

mengenai subyek ini, yang tafsirnya berkembang menjadi naskah dasar kosmologi

Islam, adalah ayat Kursi dan ayat Nur. Yang pertama menyatakan secara agung,

kebergantungan segala sesuatu kepada Allah; yang kedua menggariskan dalam satu

set lambang-lambang penting, mengenai kosmologi maupun psikologi

spiritual.52 Ayat Kursi yang berbunyi sebagai berikut:

الله لا إله إلا هو الحي القيوم لا تأخذه سنة ولا نوم له ما في السموات وما في الأرض من ذا الذي يشفع عنده إال بإذنه يعلم ما بين أيديهم وما خلفهم وال يحيطون

شيء من علمه إلا بما شاء وسع كرسيه السموات والأرض ولا يئوده حفظهما وهو بظيمالع ليالع

51 Sirajuddin Zar, “Menafsirkan Kembali Kosmologi Al-Qur`an” dalam Ummul Qur`an, No. 3

Vol. V, Tahun 1994, hh. 48=-51, atau lihat Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, hh. 286-91. 52 Nasr, Sains dan Peradaban dalam Islam, h. 75.

Page 102: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

94

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa`at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung”.53

Sedangkan ayat an-Nûr, praktis menciptakan satu kewajiban bagi orang alim

untuk menulis komentarnya tentangnya. Karenanya, terdapat banyak komentar

mengenai ayat ini. Oleh filosof dan saintis ternama seperti al-Farabi, Ibn Sina, al-

Ghozali, dan Mulla Sadra, masing-masing menarik makna tertentu dari banyaknya

tingkat penafsiran, yang disebabkan oleh ayat suci ini sendiri54

الله نور السموات والأرض مثل نوره كمشكاة فيها مصباح المصباح في زجاجة كادة يبيلا غرة وقيرة لا شونتيكة زاربة مرجش من وقدي يرد كبا كوهة كأناججالز

ولو لم تمسسه نار نور على نور يهدي الله لنوره من يشاء ويضرب الله زيتها يضيءليمء عيبكل ش اللهاس وثال للنالأم

Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti rongga dalam dinding, di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, bila kaca itu seakan-akan (bintang) yang bercahaya, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak bercahaya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah Timur dan tidak pula di Barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir bercahaya, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya-Nya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu55

53 Q.S. Al-Baqarah/2: 255. 54 Nasr, Loc. Cit. 55 Q.S. An-Nûr/24: 35.

Page 103: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

95

Ibn Sina dalam komentarnya mengenai ayat ini, menafsirkannya secara

mikrokosmis, komentar ini dimuat dalam bab ketiga karya agung filsafat terakhirnya,

buku pedoman dan catatan.

“Di antara kemampuan jiwa, terdapat kecakapan yang dimiliki jiwa, karena ia perlu tumbuh dan menjadi sempurna, sehingga ia dapat mencapai keadaan kecerdasan dalam perbuatan. Kemampuan pertama ialah yang menyiapkan jiwa untuk menerima pengertian, sebagian menamakannya intellektus materialis; inilah seruk tersebut, Di atas ini ada kemampuan lain, yang dimiliki jiwa, jika ia telah menerima pengertian-pengertian pertama, dan siap untuk menerima yang kedua. Pengertian kedua bisa di dapat melalui refleksi atau dengan niat (yaitu yang lebih kuat). yang pertama dilambangkan oleh pohon zaitun, yang kedua oleh minyak zaitun itu sendiri. Dalam kedua hal itu, jiwa pada tingkat ini dinamakan intellectus in habitu, dan seperti kaca, Sedangkan jiwa mulia yang memilik kemampuan suci, untuk itu diungkapkan yang minyaknya hampir nyala memang berlaku. Setelah tingkat inilah, jiwa mempunyai kemampuan dan kesempurnaan; dan kesempurnaan inilah yang “melihat” kecerdasan itu sendiri dalam perbuatan, dalam intuisi yang mewakili kecerdasan tersebut di dalam pikiran, sehingga ia jels bagi pikiran. Sentuhan kecerdasan tersebut di dalam pikiran adalah bagaikan cahaya di atas cahaya. Setelah itu adalah kemampuan yang dapat melahirkan dan menemukan kecerdasan, yang sebelumnya telah diperoleh jiwa, tanpa ia harus mendapatkannya sekali lagi. Kemampuan ini, yang bagaikan dicahayai oleh dirinya sendiri, ialah seperti lampu. Kesempurnaan tadi disebutkan intellectus in habitu dan kemampuan itu intellectus in actu. Dan yang menyebabkan jiwa-jiwa melewati tingkat-tingkat ini dari intellectus in habitu ke intellectus in actu. Dan dari intelektus materialis ke intellectus in habitu ialah kecerdasan aktif, yang seperti api.56 Kosmologi dan Kosmografi Islam juga berdasarkan angelologi (ilmu tentang

malaikat) yang diturunkan dari al-Qur`an. Penjelasan mengenai kosmos selalu

mempertimbangkan bukan saja segi jasmani dan duniawi, tetapi juga semua

manifestasi formal, jadi termasuk juga dunia malaikat. Kenyataannya angelologi, al-

Qur`an dikembangkan pengarang muslim menjadi satu sistem yang terprinci,

56 Ibn Sina, Al-Isyarat wal Tanbihat (Kairo: Dar al-Ma`arif, 1959), hh. 364-7, dikutip oleh

Nasr, dalam Sains dan Peradaban dalam Islam, h. 75.

Page 104: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

96

meskipun filosof dan orang bijak tertentu, seperti Suhrawardi, juga mengggunakan

kosmografi, yang membahas susunan langit, maupun geografi dan sejarah alam;

Sebagai contoh juga, karya Abu Yahya al-Qazwini yang menakjubkan (yang disebut

Pliniusnya bangsa Arab)-membahas kosmologi dan kosmografi Islam berdasarkan

pada studi tentang malaikat, yang bertindak sebagai pengegrak dan pengarah dunia

Alam.57

Menurut Nasr, doktrin keesaan (tauhid) adalah formulasi metafisika yang

paling dalam. Oleh karena itu, jika syahadah pada prspektif teologi dan syari`i harus

diartikan sebagai penegasan keesaan Allah dan sangkalan terhadap seluruh

politeisme, dalam perspektif sufi rumusan tersebut menjadi dasar doktrin dan

pengetahuan yang paling sempurna tentang “kesatuan wujud”, (Wahdat al-Wujûd:

tiada Tuhan selain Wujud Murni,” karena tidak bisa ada dua peringkat realits, yang

sama-sama independen. Pengertiannya adalah “tiada realitas, keindahan, atau

kekuatan kecuali Realitas, Keindahan dan Kekuatan yang Mutlak”. Sehingga

dikatakan bahwa syahadah prtama dalam kesaksian dasar Islam menjadi sumber

semua metafisika Islam. Pada tingkat metafisik mengandung arti “ketiadaan” semua

wujud, dan berhingga dihadapan Yang Tak Berhingga juga memadukan segala

kekhususan ke dalam Yang Universal. Pada tingkatan kosmologi syahadah

menyatukan kesatuan segala benda, maka Keesaan prinsip Ilahi ialah kesatuan semua

manifestasi dan interelasi segala wujud.

57 Nasr, Science and Civilization in Islam (New York: New American Library, 1968), h. 97.

Page 105: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

97

Nasr lebih lanjut menegaskan, bahwa tujuan dari semua metafisika adalah

untuk sampai ke pengetahuan Keesaan Ilahi (al-tauhid) begitu pula tujuan segla sains

kosmologi adalah untuk menyatakan kesatuan seluruh eksistensi. Tujuan dasar

menyatukan kesatuan semua yang ada inilah yang menurut Nasr menjadi milik sains

Alam.58 Dari konsepsi ini, menurut Nasr, kosmologi mampu menjadi “alat integrasi

konseptual” karena bertujuan untuk mengadakan sebuah pengetahuan yang

memperlihatkan kesalingterkaitan segala sesuatu dan mengadakan hubungan dengan

tingkatan hirarki kosmik satu sama lain kepada hirarki kosmik yang tertinggi. Dengan

demikian, ia menjadi sebuah pengetahuan yang memungkinkan terjadinya integrasi

kenaekaragaman ke dalam keterpaduan.59

Kosmologi sufi bukan bertalian dengan aspek-aspek kuantitatif benda-benda

sebagaimana di dalam ilmu pengetahuan modrn, tetapi dengan aspek-aspek kualitatif

dan simboliknya. Ia menagkap cahaya di ats benda-benda, sehingga dengan

demikian benda-benda itu menjadi subyek perenungan (tafakur) yang berniali, mudah

dimengerti dan jernih, hilang kekaburan dan kegelapan yang lazim. Fungsi utama

kosmologi dan ilmu pengetahuan alam sufi ini adalah untuk menunjukkan suatu

prototipe alam semesta dan untuk membuktikan salinghubungan antara semua benda

dan kesatuan seluruh kehidupan kosmik yang diperlihatkan demikian hidup oleh

alam. Seakan-akan hanya satu yang perlu diperhatikan dalam meninjaunya.60

58 Ibid. 59 Ibid. 60 Nasr, Tasawuf Dulu dn Sekarang, h. 47.

Page 106: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

98

Dinyatakan dalam al-Qur`an, bahwa Allah adalah Yang Awal dan Yang

Akhir, Yang tersembunyi dan Yang Nampak. Yang awal mengandung arti bahwa

seluruh realitas kosmos itu berasal dari-Nya dan Yang Akhir bermakna bahwa

seluruh realitas kosmos akan kembali dan berakhir kepada-Nya. Sedangkan

pandangan tentang Allah sebagai Yang Tersembunyi dan Yang Tampak akan

berhubungan dengan ‘ruang’-‘ruang yang ‘sesuai’ dan ‘sakral’. Dipandang sebagai

Yang Tampak, karena Allah menjadi realits yang mencakup semua dan segalanya,

yang ‘meliputi’ dan merangkum kosmos. Sedangkan pandangan tentang Allah

sebagai Yang tersembunyi, bahwa jika kosmos dipandang sebagai satu set lingkaran

konsentris, maka manifestasi fisik dan kasarlah lingkaran yang terluar, dan Hakikat

Ilahi adalah lingkaran paling dalam. Ia dapat dianggap sebagai lambang

mikrokosmos, yaitu manusia, padanya hal fisik ialah yang paling dinyatakan terluar

dan sifat spiritualnya ialah yang paling tersembunyi.61

Dengan pandangan kosmologi sufistik inilah Nasr kemudian mengkritik

pengetahuan Barat yang telah kehilangan visi keilahiannya, telah tumpul penglihatan

intellektus-nya62 dalam melihat realitas kehidupan. Karena intellektus di atas

disfungsional, maka sesungguhnya pengetahuan yang dicapai oleh manusia modern

akan tidak lebih dari pengetahuan yang terpecah-pecah, tidak utuh dan bukannya

wawasan yang mendatangkan kearifan untuk melihat hakikat alam semesta sebagai

suatu kesatuan yang tunggal, sebagai cermin keesaan dan kemahakuasaan Tuhan. Hal

61 Nasr, Science and Civilization in Islam. Op. Cit., 75.

62 Nasr, Religion & The Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996) hh. 126-

Page 107: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

99

ini karena porsi intellektus tidak mendapat tempat yang wajar dalam pengembangan

metafisika Barat kontemporer, terutama sejak berkembangnya aliran Cartesian-

dualism. Sejak rasionalisme yang tersistematisasikan ini berkembang, manusia lalu

dilihatnya hanya memiliki tiga dimensi: psikis, fisik, dan rasio (mind) sementara

dimensi spiritualnya sama sekali tidak mendapatkan tempat.63

Padahal menurut pandangan sufistik, konsepsi metafisika pada mulanya

merupakan ‘ilmu yang suci’ (scientia sacra) atau ‘pengetahuan keilahian’ (Divine

Knowledge), bukannya filsafat yang profan’ (profane philosophy) seperti yang

berkembang di Barat. Sehingga metafisika Barat yang mestinya berintikan ‘kecintaan

kepada kebijakan’ (the love of wisdom) beralih pada ‘kebencian pada kebijakan’ (the

hate of widsom). Metafisika Barat berubah dari philosophia yang hanya mampu

melahirkan kensepsi rohaniah yang semu.64

Menurut Nasr, walaupun kesadaran psikis diakui dapat memberikan

penyadaran humanis, tetapi sesungguhnya ia tidak mampu melahirkan nilai etika dan

estetika yang luhur, seperti halnya yang dilahirkan oleh penghayatan keilahian, yang

terpancar dari titik pusat, lagi absolut. Keindahan dan budi yang lahir dari kesadaran

psikis, bukan spiritual, hanyalah bersifat terbagi-bagi dan sementara. Keindahan dan

kebaikan tidak dapat diraih tanpa seseorang membuka lebar-lebar matahatinya (the

eye of the heart), atau visi intellectus-nya. Yang kemudian senantiasa mengadakan

pendakian rohani ke arah titik pusat, meski dalam dimensi lainnya seseorang hidup

63 Komarudin Hidayat, Op. Cit, h. 269. 64 Ibid.

Page 108: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

100

dalam ruang dan waktu. Dengan disiplin ilmu dan teknologi yang dikuasainya,

seseorang dapat memahami rahasia watak alam sehingga dapat mengelolanya,

sementara matahatinya menyandarkan bahwa alam yang dikelolanya adalah sesama

makhluk Tuhan yang mengisyaratkan Sang Penciptanya, Yang Rahman dan Rahim

yang mencakup segalanya.65

Berbeda dengan pandanganNasr tentang realitas, ilmu pengetahuan modern

memandang bahwa realitas adalah segala sesuatu yang bersifat empiris, profan, dan

tak bermakna spiritual. Seperti bagan umum hal ihwal dari pola susunan tubuh alam

semesta, hewan, dan manusia. Jika pandangan Nasr bertolak dari yang Ilahi dan

melihat rantai eksistensi ke bawah sebagai suatu jarak yang semakin bertambah dari

pusat dan diiringi penyusutan kualitas secara berangsur-angsur, pengetahuan modern

yang banyak dipengaruhi oleh teori evolusi, cenderung bertolk dari benda mati dan

memandang manusia sebagai mata rantai terakhir dari rantai tersebut.

Dari eksistensi terendah (pelikan, benda mati) sampai kepada eksistensi yang

lebih tinggi (tumbuh-tumbuhan) dibedakan oleh adanya “hidup” Meskipun perbedaan

antara hidup dan mati itu ada, para ilmuan tidak membicarakan “kekuatan hidup” itu

karena ia tak pernah ditemukan berwujud. Tak ada di dalam hukum, konsep ataupun

rumusan fisika dan kimia modern sesuatu yang dapat menerangkan kekuatan-

kekuatan seperti itu. Semakin dalam direnungkan, semakin jelas dijumpai adanya

65 Ibid.

Page 109: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

101

sesuatu yang disebut “ketaksinambungan ontologik” atau disebut lompatan dalam

tingkatan eksistensi. Demikian pula suatu lompatan dalam tingkatan eksistensi

dijumpai pada peralihan eksistensi dari tingkatan tumbuhan ke hewan atau dari hewan

ke tingkat manusia, memiliki kekuatan khas di atas kekuatan hewan yaitu kekuatan

berpikir dan sekaligus sadar akan pemikirannya.66

Ilmu pengetahuan modern hampir tak pernah berurusan dengan kekuatan-

kekuatan seperti itu. Menurutnya, “hidup” itu tak lain hanyalah bersifat fisika: suatu

sifat dengan paduan-paduan khusus atom-atom tertentu. Demikian pula “kesadaran”

tak lain kecuali sifat hidup. Selanjutnya, antara kesadaran dan penyadaran diri hampir

tak pernah dibedakan secara fundamental. Akibatnya dalam pemikiran modern,

semakin tidak pasti tentang apakah benar-benar ada perbedaan nyata antara hewan

dan manusia. Ilmu pengetahuan modern tidak memiliki metode untuk menjelaskan

“hidup” dan “kesadaran” sebagai kesadaran.

Sesuai dengan konsepsi ilmiah tentang alam dan pandangan dunia reduksionis

dan materialistik, menurut Nasr, ilmu pengetahuan modern mengabaikan dan

menyangkal segala aspek metafisik, spiritual, kualitatif, dan estetis alam semesta.

Seperti yang diungkapkan Eddington dan Whitehead, dengan tepat memberikan

gambaran bahwa ilmu pengetahuan modern adalah sejenis pengetahuan yang dipilih

secara subyektif karena ia hanya berurusan dengan aspek-spek realitas alam semsta

yang mampu dipelajari oleh apa yang disebut metode ilmiah.67

66 Lihat E. F. Schumacher, A. Keluar dari Kemelut, diterjemahkan oleh Mochtar Pabotinggi

(Jakarta: LP3ES, 1981), h. 18-20. 67 Nasr, Man and Nature, h. 28.

Page 110: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

102

Sebagai bandingan, dalam ilmu pengetahuan modern telah dicapai

keberhasilan yang banyak dalam menentukan apa yang dalam sejarah intlektual Barat

disebut “hukum alam”. Akan tetapi, “hukum-hukum alam” dalam ilmu pengetahuan

modern itu telah kehilangan signifikansi spiritual dan metafisikanya. Bahkan, “hukum

alam” yang dihasilkan dalam rumusan Barat sering ditemukan ketidaksesuaiannya

dan bertentangan antara “hukum-hukum alam” dengan “hukum-hukum Tuhan” yang

ditemukan dalam agama. Sedangkan dalam Islam tidak pernah ada perpecahan antara

“hukum-hukum alam” dengan “hukum-hukum Tuhan”. Semua hukum merefleksi dari

prinsip Ilahi. Ajaran Islam memberikan justifikasi filosofis dan religius bagi kesatuan

ilmu pengetahuan.68

Adanya perbedaan pandangan dan lahirnya berbagai pemikiran tentang ilmu

pengetahuan tersebut, tak lain karena adanya perbedaan tingkat fakultas yang dimiliki

manusia. Fakultas-fakultas itu adalah intelek, imajinasi, rasio, dan indra.69 Intlek di

sini, digunakan dalam pengertian asal, intellectus (latin) atau, dalam bahasa al-Qur`an

disebut ‘aql yang berarti mengikat manusia ke asalnya (origin). Secara etimologis,

intellect atau ‘aql mempunyai makna yang sama dengan agama karena agama

mengikatkan manusia kepada Tuhan. Sedangkan dalam paham modern, telah

mengalami reduksionis dan menjadi hanya reason semata-mata.70

68 Osman Bakar, Tantangan Sains (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999), h. 84-85. 69 Nasr, Sains dan Peradaban dalam Islam, loc. Cit h. 18. 70 Nasr, Knowledge and the Sacred, h. 14. Uraian lebih rinci tentang ilmu huduri dapat dilihat dalam Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles

of Epistemelogis in Islamic Philosopy; Knowledge by Presence (New York: State University of New York Press, 1992).

Page 111: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

103

Dalam hal ini yang dimaksud Nasr dengan intelek ialah mata hati (`ain al-

qalb, the eye of the heart) yang dipandang sebagai pusat eksistensi manusia. Ia

merupakan cahaya yang terdapat di dlam jiwa manusia, ia juga sebagai sarana

utama untuk memperoleh pengetahuan dan mengetahui tentang realitas tertinggi,

serta dapat menembus tabir maya sehingga dapat mengetahui realitas sebagaimana

adanya. Yang menjadi obyek pengetahuan intlektual adalah realitas-realitas yang tak

berubah, dalam istilah Plato disebut form. Tetapi kemudian, meskipun intlek

merupakan sinar dalam diri manusia, manusia sendiri berada jauh dari hakikat

primordial untuk dapat memfungsikan anugrah Tuhan itu. Untuk itu, ia memerlukan

wahyu agar dapat mengaktualisasikan intleknya sebagai mana seharusnya. Untuk

membersih persepsi, manusia harus mendekatkan diri kepada wahyu sebagai sarana

pencerahan intleknya. Jika suatu saat intlek manusia dapat berfungsi sebagaimana

mestinya, secara alami, ia akan dapat melihat sesuatu dalam ketuhanan (in divine)

atau ilmu hudhuri.71

Pemaparan di atas, menunjukkan bahwa antara intelek dan wahyu memiliki

hubungan erat, karena wahyu disebut juga ‘intelek universal’. Dalam istilah Ibn

Taimiyah, disebut al-fitrah al-munazzalah. Jika intelek manusia suci, ia akan

memperoleh intuisi. Suatu bentuk isyarat langsung yang diberikan Tuhann kepada

manusia. Wahyu merupakan perwujudan makrokosmik dari Intelek Universal,

kalimat Allah, yang memberikan suatu kerangka kerja bagi perwujudan mikrokosmik

Intelek di dalam diri manusia dan suatu hukum Tuhan yang melindungi manusia dari

71 Ibid.

Page 112: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

104

nafsu-nafsunya sendiri dan menjadikan intelek mungkin untuk tetap sehat atau salim.

Bagi Nasr, wahyu bagaikan logos sebagai tempat menyimpan pengetahuan suci. Ia

bukanlah sebagai teks literal melainkan seperti manusia yang memiliki dimensi-

dimensi seperti badan, jiwa, dan moral.72

Fakultas lain untuk memperoleh pengetahuan adalah rasio. Pengetahuan yang

diperoleh rasio bersifat diskursif dan parsial. Ia merupakan aspek pasif dan refleksi

intelek dalam dunia manusia. Meskipun demikian, ia dapat diintegrasikan ke dalam

pengetahuan intelektual, sehingga mendapat pengetahuan yang memuaskan. Obyek

pengetahuan rasional ini adalah realitas-realitas eksistensi, bukan noumena atau

esensi. Dan salah satu kemampuan rasio adalah membuat sintesis dari fakta-fakta dan

pengalaman-pengalaman yang dihasilkan oleh indera. Selain rasio, manusia memiliki

fakultas indera yang dapat menghasilkan pengalaman dan fakta-fakta. Pengetahuan

ini bersifat eksternal. Ia berada di pinggiran dan bersifat dangkal serta tidak

berhubungan langsung dengan manusia.73

Di dunia Islam bentuk pengetahuan tertinggi adalah kearifan atau ma`rifah.

Bahwa pengetahuan tidak saja bergantung pada diri seseorang, tetapi juga keadaan

diri seseorang tergantung pada pengetahuannya. Suatu pengetahuan yang menerangi

wujud keseluruhan si ilmuan berbeda dengan filsafat yang difahami terbatas sebagai

pengetahuan teoritis murni, terpisah dari kesadaran spiritual dengan membatasi akal

pada nalar manusia saja. Dengan demikian, perjalanan manusia dalam mencari

pengetahuan berarti suatu transformasi jiwa dan menyangkut suatu fenomologi

72 Op. Cit., h. 18. 73 Nasr, Nestapa Manusia Modern, Op. Cit., h. 15.

Page 113: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

105

tersendiri. Tingkat terakhir pengetahuan ialah suatu realisasi “subyektif” dari

pengetahuan “obyektif” tanpa adanya pemisahan subjek objek. Sehingga pengetahuan

seorang arif akan membawanya kepada pengetahuan penyebab ontologisnya dan

memandang segala sesuatu sebagai manifestasi prinsip Ilahi yang mengatasi semua

determinasi.74

Hubungan esensial hierarki kutub subjektif dengan kutub objektif

pengetahuan dapat digambarkan dalam suatu hubungan yang mencakup gagasan

tentang korespondensi satu-satu antara kedua kutub. Setiap tingkat eksistensi kosmik

memiliki eksistensi yang bersesuaian dalam diri manusia. Tidak ada sesuatu pun

dalam makrokosmos yang tidak diturunkan dari metakosmos, aykni prinsip Ilahiah.

Dilihat dari sudut pandang kesadaran, akal merupakan fakultas pengetahuan

manusia yang tertinggi dan yang dapat dipersamakan dengan matahati (`ain al-qalb)

karena dalam bahasa al-Qur`ann dan hadits-hadits Nabi, qalb secara esensial berarti

tempat kedudukan pengetahuan atau alat untuk mencapai pengetahuan. Akal

manusia, alam makrokosmik, dan wahyu al-Qur`an membentuk tiga aspek

fundamental dalam gagasan komprehensif tentang wahyu dalam Islam. Ketiganya

berkaitan secara integral, berkaitan dengan garis sentral dalam Islam, untuk bahwa

dengan fitrah-Nya Tuhan mencipta dan memberi pengetahuan.75

74 Nasr, Science and Civilization in Islam, Op. Cit. H. 314. 75 Nasr, Islamic Cosmological Doctrine, Op. Cit.

Page 114: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

106

Disinilah perubahan struktur masyaerakat yang timpang dan perubahan sikap

terhadap alam lingkungan yang bersifat eksploitatif hanya bisa dimungkinkan jika

manusia sebagai subjek lebih memusatkan perhatian kepada unsur etika-praxis yang

sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kreativitas subjektivit manusia.76

Manifestasi dari nilai-nilai kosmologi Islam tersebut, yakni pada dimensi

metafisik, spiritual, kualitatif, dan estetis alam semesta akan melahirkan pengetahuan

manusia secara utuh sehingga dapat menyikap tabir al-Haq. Hal itu akan berimplikasi

baik terhadap spirit manusianya dan pada tataran praktis akan tercipta keseimbangan

ekologi dalam lingkungan hidup manusia-manusia spiritual. Dengan termanifestsikan

kepada pemaknaan yang hakiki terhadap alam dan lingkungan. Alam adalah refleksi

cahaya nama dan sifat-sifat ilahhi yang rahman, rahim, dan indah.

Dengan berlandaskan prinsip-prinsip metafisik, akan dapat membangun

kembali keselarasan, dan karena itu meluluhkan kerakusan manusia dari sikap

berkuasanya atas alam, serta mendorongnya memadukan keinginannya dalam

mendayagunakan sumber-sumber alam dengann sifat tafakkur dan cinta yang

kemudian mengubah manusia dari peranannya sebagai perampok bumi, menjadi

khalifah Tuhan di bumi (khalîfat Allâh fi al-ardh). Menurut Nasr sejauh mengenai

alam, adalah mereka yang memahami tasawuf yang mempunyai kewajiban dan tugas

76 Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1999). Cet. Ke II, h. 67.

Page 115: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

107

menyebarluaskan. Mereka yang bertalian dengan kebenaran, mencintai alam dn

merenungkan bentuk-bentuknya tanpa henti sebagai ayat-ayat Tuhan.77

D. Khalifah dan Amanah Sebagai Etika Tindakan

Penciptaan manusia oleh Tuhan sebagai salah satu tema utama dalam al-

Qur`an, diungkapkan, baik secara filosofis dengan bahasa simbolis maupun secara

biologis dengan menggunakan idiom-idiom sains alam. Secara filosofis, al-Qur`an

menunjukkan penciptaan, tujuan, dan arti kehidupan manusia. Tuhan menciptakan

manusia sesuai dengan kehendak-Nya, oleh karena itu manusia sebagai makhluk

ciptaan Tuhan yang tertinggi, menjadi adi karya-Nya, dengan dilengkapi seluruh

perangkat esensial untuk menjalankan misi istimewanya. Peringkat-peringkat itu

adalah:

Pertama, sebagai makhluk bermoral, manusia merupakan jembatan kosmis

tempat lewat kehendak Ilahi, dalam totalitas dan etika yang tinggi menembus ruang

dan waktu dan menjadikannyaa aktual. Dengan dilengkapi akal (`aql) dan

kemampuan mengkonseptualisasi, manusia diberi petunjuk melalui wajhyu Tuhan

dalam term-term keutamaan moral. Manusia sebagai ciptaan Tuhan tertinggi, adalah

makhluk teomorfis, yang di dalamnya terdapat roh Tuhan, sehingga dikatakan

malaikatpun harus bersujud di hadapannya.78

77 Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, h. 250.

78 Parvez Manzoor “Lingkungan dan Nilai-nilai dalam Perspektif Islam” dalam Ulumul Qur`an Edisi Khusus, No. 5 & 6 Vol. V. 1994.

Page 116: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

108

Alam kemudian, menjadi tempat untuk menguji manusia. Manusia

diperintahkan untuk membaca tanda-tandanya. Alam diciptakan dengan begitu teratur

dan dapat dipahami oleh manusia. Dengan kemampuan pemahaman ini manusia

mencapai derajat makhluk yang paling mulia. Juga jika alam tidak bisa dipahami

manusia, hal itu berarti menindas dan menurunkan derajat manusia yang terpaksa

merendahkan diri di hadapan alam. Ini akan menjadi seperti diungkapkan kaum sufi,

tabir yang menutupi wajah Tuhan. Karenanya, keteraturan alam dan kerasionalannya

untuk diteliti adalah bagian dari moralitas.

Manusia dengan kesadaran etisnya, mampu menerima alam sebagai amanat

dan sebagai tempat perjuangan moralnya. Disinilah terdapat pengertian bahwa

seluruh dasar etika ekologi Islam terletak pada gagasan al-Qur`an tentang khilafah

dan amanat. Alam yang dimiliki Tuhan diberikan kepada manusia semata-mata

sebagai sebuah amanat. Hak manusia untuk menguasai alam hanyalah dengan

kebajikan teomorfisnya, bukan untuk memberontak menentang Tuhan.79

Konsekuensi tertinggi dari penerimaan amanah oleh manusia adalah

menyerahkan penilaian atas tingkah lakunya kepada pertimbangan ketuhanan dari

setiap kegiatan manusia yang memiliki konsekuensi-konsekuensi hukum (syari`at).

Maka dlam syari`at tidak ada pertentangan antara yang terinternalisasi dn hukum

yang tereksternalisasi, antara niat yang tersembunyi dan tindakan-tindakan yang

nyata. Syari`at adalah doktrin dan jalan (path) sekaligus. Syari`at adalah manifestasi

kehendak ketuhanan dan secara bersamaan merupakan pemecahan bagi manusia yang

79 Ibid.

Page 117: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

109

menjadi kehendak pelaksana kehendak itu. Ia eternal (berdasar pada wahyu Tuhan)

dan temporal (dilakukan dalam sejarah manusia); Stabil (Qur`an dan Sunnah) dan

dinamis (ijma dan ijtihad). Syari`ah sebagai bagian agama Islam yang sangat

mendasar, sehingga menjadi muslim adalah menerima perintah-perintah syari’ah.80

Ungkapan Parfez Monzoor tersebut, sejalan dengan ungkapan Nasr bahwa

syari`ah merupakan inti agama Islam, sehingga seseorang dapat dikatakan sebagai

muslim jika ia menerima legitimasi syari`ah yang merupakan perjalanan konkrit

kehendak Allah di tengah masyarakat manusia. Allah sendiri adalah pembuat

undang-undang tertinggi (al-Syâri`) dan hanya hukum-Nyalah yang mengikat dan

permanen dalam kehidupan manusia, dimana al-Qur`an dan Hadits Nabi merupakan

sumber fundamental hukum Islam.81

Di sini dalam pengertian universal, Islam bagi Nasr, dikatakan mempunyai

tiga tingkatan makna Yakni: Pertama, semua makhluk di alm ialah Muslim, yaitu

“menyerah kepada kehendak Ilahi”. Sehingga diumpamakann suatu bunga tak bisa

tidak selain menjadi bunga, intan mau tak mau akan berkilau karena Allah yang

membuatnya demikian; semuanya harus patuh. Kedua, semua manusia yang dengan

kemauannya menerima aturan wahyu yang suci adalah Muslim karena menyerahkan

kemauan mereka kepad aturan tersebut. Sedangkan yang terakhir, ialah tingkat ilmu

dan pengertian murni. Yaitu tingkat perenungan, gnostik (`arif). Tingkat yang

dianggap sepanjang sejarah Islam sebagai tingkat tertinggi dan paling komprehensif.

80 Ibid. 81 Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, h. 56.

Page 118: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

110

Seorang gnostik adalah Muslim karena seluruh dirinya diserahkann kepada Allah; ia

sendiri tidak punya eksistensi individual yang lain. Ia bagaikan burung-burung danj

bunga-bunga dalam penyerahan etis dirinya kepada pencipta; serupa dengan unsur

kosmos lainnya, ia merefleksikan kecerdasan Ilahi pada derajatnya sendiri. Ia

merefleksikan itu secara aktif sedangkan semua benda lain tadi secara pasif;

partisipsinya dilakukan dengan kesadaran. Jadi ilmu dan sains dirumuskan berbeda

dari keingin tahu semata dan bahkan dari spekulasi analitis. Gnostik menurut

pandangan ini “satu dengan alam” ia mengenalnya “dari dalam” ia sebenarnya telah

menjadi saluran rahmat bagi alam. Islam-nya dan Islam alam adalah pasangan yang

melengkapi.82

Karena itu sufisme, secara tegas diungkapkan Nasr, adalah spesifik milik

Islam, yang di dalamnya seseorang tidak bisa memiliki jalur thariqah sebagai

methode pendakian spiritual secara spesifik bagi sufi, sebelum seseorang memasuki

lingkaran syari`ah. Hubungan syari`ah sebagai aspek esoteris Islam yang sifatnya

formal dan legalistis dengan aspek esoteris, sering digambarkan Nasr dengan

lambang lingkaran, dengan titik pusat sebagai pautan ruji-ruji. Setiap muslim yang

menjalani hukum Tuhan adalah sebuah titik pusat, dan seseorang tidak dapat menuju

pusat tanpa menjalani syari`at secara kontinyu, karena sesungguhnya garis lingkar

atau syari`at adalah refleksi titik pusat.

82 Nasr, Sains dan Peradaban dalam Islam, h. 4.

Page 119: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

111

Seperti secara dialektis syari`ah dijelaskan juga oleh Parvez, merupakan

metodologi sejarah dalam Islam. Dengan penerapannya, kepentingan-kepentingan

sementara (temporal) dinilai oleh kepentingan-kepentingan abadi (eternal). Pilihan-

pilihan moral diubah menjadi pilihan-pilihan tindakan nyata. Perasaan-perasaan

etispun tercermin dalam hukum yang disusun. Syari`at pada aplikasinya juga menjadi

metodologi pemecahan masalah dalam Islam yang par cexcellence. Setiap pemikiran

teoretis muslim, sebagai contoh dalam pencarian etika lingkungan, harus melalui

kerangka obyektif syari`ah untuk menjadi bagian dari sejarah muslim, yang jika

kemudian dikonsepsikan oleh negara-negara Islam dapat membuat keputusan-

keputusan aktual dalam masalah ekologi. Syar`ah tidak saja dbutuhkan untuk

pembuatan keputusan dalam konteks Islam, tetapi realisme moralnya juga

memberikan paradigma-paradigma yang sempurna untuk pembahasan teoretis

tentang filsafat ekologi Islam, dimana syari`at bekerja dengan postulat-postulat

universal dan memiliki sebuah metodologi yang meyakinkan dan tegas. Jawaban-

jawabannya akan diberikan dalam term-term strategi tindakan. Semua itu menjadikan

validitasnya bersifat universal.83

83 Parvez Manzoor, Loc. Cit.

Page 120: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

113

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemikiran Nasr dalam pergaulan intelektual neo tradisionalis saat ini,

memberikan kontribusi yang sangat berharga di tengah-tengah kultur dan peradabann

yang sangat didominasi oleh sains modern. Gagasan orisinil Nasr untuk memberikan

landasan etiss-teologis terhadap modernisme ini, banyak mengapresiasi tasawuf

sebagai dasar teologi-filosofis dalam kritik tajamnya terhadap modernisme di Barat.

Dalam mengembangkan ide-idenya, Nasr sebagai tokoh neo tradisionalis, terlihat

mempunyai perhatian yang serius terhadap khazanah intlektual Islam klasik,

meskipun ia dibesarkan dalam dunia pendidikan di Barat modern dan menunjukkan

isyarat yang kuat bahwa Nasr menghayati kehidupan esoterik dengan tetap

memapankan ketaatan kepada syari`ah. Tradisionalisme Nasr kelihatan utuh ketika

kita telusur pemikirannya secara integral dalam upayanya mengkonsepsikan sebuah

paradigma baru sains. Nasr banyak merujuk kepada keilmuan Islam klasik. Ia juga

kelihatan begitu apresiatif terhadap “paradigma baru” yang dibangun oleh Thomas

Kuhn.

Dari pemikiran Nasr yang penulis teliti dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

1. Konsep al-tauhid (unitas) dalam pemikiran Nasr, menjadi dasar bagi landasan

pemikiran filosofi sufistiknya. Tauhid menjadi dasar bagi seluruh bangunan

keilmuannya. Konsekuensi tertinggi dari penerimaan tauhid sebagai dasar

Page 121: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

114

etikanya, melahirkann sistem keyakinan (tauhid) yang menghantar Nasr kepada

konsep yang mapan tentang hubungan antara Tuhan, manusia dan alam.

Implikasinya adalah akan tercermin secara jelas dalam prilaku etik manusia

termasuk prilaku ekologisnya. Tuhan sebagai Realitas Absolut, ingin melihat

citra diri-Nya, maka alam diciptakan berdasarkan citra Tuhan, dan manusia

adalah pencitraan diri-Nya yang paling sempurna. Hal ini memberikan

kedudukan yang tinggi bagi manusia. Namun sebagai sama-sama ciptaan,

manusia dan alam mempunyai hubungan fungsional dimana keduanya sebagai

makhluk yang diciptakan Tuhan yang hanya mengabdi kepada Tuhan.

Kedudukan yang sama secara fungsional menjadikan manusia harus

memperlakukan alam secara seimbang dan bertanggung jawab. Sebagai

pemelihara manusia tidak boleh bersifat eksploitatif, karena alam pun memiliki

dimensi ilahiah dan mempunyai kedudukan yang sama sebagai ciptaan Tuhan.

Bahwa alam adalah sama-sama ciptaan dan sama-sama hanya mengabdi kepada

Tuhan serta semuanya akan menyatu bersama Tuhan sebagai tempat kembalinya

segala sesuatu. Disinilah, pandangan baru tentang etika ekologi, menjadi konsep

ideal dalam pemikiran Nasr. Konsep tentang keseluruhan prikehidupan di dalam

keharmonisan hubungan dan kesersian manusia dengan unsur-unsur

kosmologinya yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip ajaran tradisional

tentang alam dan menjadi asas bagi kelangsungan dan keseimbangan ekosistem.

2. Kosmologi Islam menurut Nasr, mampu untuk menjadi “alat integrasi

konseptual”. Hal ini, karena konstruksi dari kosmologi Islam yang dikembangkan

Page 122: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

115

Nasr seperti terlihat juga dalam sains-sains Islam yang dibangun oleh ilmuan

Islam seperti Ibn Sina dan Al-Kindi, bertujuan untuk mengadakan sebuah

pengetahuan yang memperlihatkan kesalingterkaitan segala sesuatu sah

mengadakan hubungan dengan tingkat-tingkat hierarki kosmik satu sama lain dan

akhirnya dengan Perinsip Tertinggi, sedangkan sains modern bersama

aplikasinya, dengan pandangan yang sempit, menyingkirkan pengetahuan tentang

kosmologi dari wacananya. Kosmologi kata Nasr, adalah “ilmu sakral (Seintia

sacra) yang menjelaskan dunia materi dan wahyu serta doktrin metafisis dimana

intlektus yang dimiliki manusia memiliki fungsi untuk dapat melihat realitas

secara utuh dan memahami adanya hierarki realitas. Adanya kemampuan melihat

hierarki ini, akan dapat membantu manusia untuk memahami realits secara

hakiki dan akan dapat menjelaskan secara objektif tentang realitas alam itu

sendiri, karena manusia yang dapat memahami hierarki realitas akan dapat

menatap bayang-bayang Tuhan yang diisyaratkan oleh alam semesta.

Keharmonisan alam bagi Nasr hanya akan dapat dicapai jika manusia modern

dapat memahami adanya hierarki seluruh eksistensi termasuk adanya hierarki

ilmu pengetahuan. Pemahan adanya hierarki tersebut, menjadi sangat penting

ketika kita hendak memahami lebih jauh tentang yang esensial dan hakiki

mengenai manusia, baik mengenai sifat-sifatnya maupun mengenai transformasi

spiritualnya dalam upaya mencari jati dirinya sebagai manusia, makhluk spiritual

yang harus mampu bertransendensi kepada Tuhannya.

Page 123: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

116

3. Kegagalan sains modern untuk melihat hakikat sesuatu, menurut Nasr karena

sifatnya yang mereduksi seluruh kualitas hanya kepada kuantitas atau kepada

matrial substansial, di mana pandangan dunia metafisis absen dalam sains

modern. Manusia hidup dengan roti semata-mata, membunuh semua tuhan, dan

menyatakan kemerdekaannya dari kekuatan surgawi. Makanya, kelemahan

modernisme di Barat, dipandang Nasr sebagai kegagalan sains dalam

mengkonstruksi paradigma yang dibangunnya yang hanya bersifat positivistik.

Dalam hal ini, teorinya tentang rim dan axis, dengan jelas mampu

menggambarkan teralienasinya manusia modern di tengah-tengah kemajuan sains

dan teknologi yang diusahakannya. Maka dengan memakai pendekatan tasawuf,

Nasr kemudian memunculkan pemikiran dan proyeksinya bagi manusia modern

agar dapat menangkap cahaya ilahi pada langit dunia. Gnostik bagi pandangan

tasawuf Nasr “satu dengan alam” ia mengenalnya “dari dalam’ dan sebenarnya

telah menjadi saluran rahmat bagi alam. Konsekuensi etis dari prinsip ini manusia

yang mengemban tugas sebagai “khalifat Allâh fi al-ardh” dengan

pemahamannya secara mendasar dari dimensi metafisik, akan melahirkan

pengetahuan manusia secara utuh sehingga dapat menyikap tabir al-Haq. Hal itu

akan berimplikasi baik terhadap spirit manusianya dan pada tataran praktis akan

tercipta keseimbangan ekologi dalam lingkungan hidup manusia-manusia

spiritual. Dengan termanifestsikan kepada pemaknaan yang hakiki terhadap alam

dn lingkungan. Alam adalah refleksi cahaya nama-nama dan sifat-sifat ilahi yang

indah. Pengetahuan ini, juga akan dapat membangun kembali keselarasan dan

Page 124: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

117

karena itu meluluhkan kerakusan manusia modern dari sikap berkuasanya atas

alam, serta mendorongnya memadukan keinginannya dalam mendayagunakan

sumber-sumber alam dengan sifat tafakkur dan cinta. Jika krisis dalam dunia

Barat saat ini menjadi begitu akut, maka Nasr sangat yakin, hal itu akan dapat di

atasi oleh umt Islam dengan memakai pendekatan tasawuf untuk memberikan

kesadaran kepada manusia modern akan kebutuhan terhadap sesuatu yang

bersifat spiritualitas Islam atau hanya bisa didapatkan dalam ilmu-ilmu

ketimuran. Rujukan Nasr terhadap ilmu-ilmu ketimuran ini, memberikan

penjelasan kepada kita bahwa Nasr adalah seorang tokoh perenialis dan

membawa kepada pengetahuan ideal bahwa semua manusia memiliki kesadaran

fitri tentang Tuhannya. Seperti yang menjadi kesadaran para perenialis bahwa

tauhid bukan hanya milik Islam, melainkan jantung setiap agama.

B. Saran-saran

Posisi pemikiran Nasr dalam pergumulan intlektual masa kini memberikan

penegasan kembali akan kekayaan khazanah intlektual Islam klasik yang kaya dengan

doktrin metafisik dan akan dapat memberikan pengertian secara memadai untuk

menjadi landasan bagi kemajuan ilmu secara integral.

Gagasannya yang sangat menaruh perhatian terhadap sufisme ini,

meyakinkan tentang pentingnya aspek esoterik Islam tersebut dan dijadikan

penolakan terhadap pengaruh dan gelombang modernisme yang telah melahirkan

Page 125: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

118

krisis peradaban yang sangat akut. Hal itu karena sains modern yang menjadi

penopang kemajuan Barat, telah kehilangan visi keilahiannya; sehingga peradaban

yang dilahirkannya walaupun secara material telah memberikan begitu kemudahan

dan fasilitas hidup yang spektakuler, tetapi secara spiritual ternyata kering dari nilai-

nilai ilahiah yang sebetulnya sangat dibutuhkan oleh manusia modern.

Tentu saja sufisme yang dianggap penting oleh nasr, baru akan menjawab

kebutuhan manusia modern, jika a dikemas tidak bersifat apologetis terhadap

peradaban Barat. Disini kita perlu mempertanyakan modernisme dalam gagasan-

gagasan Nasr ketika modernisme begitu dikonfrontasikan dengan tradisionalisme

Islam. Apakah Nasr hanya sekedar sangat idealis dan romantik. Sebab dalam gagasan

Nasr tanpa tidak jelas batasannya, apa sesungguhnya ada modernisme Islam,

sehingga hakekat modernisme yang dipahami Islam boleh jadi bukan seperti

modernisme Barat yang dikecam oleh Nasr,

Kemudian, penolakan Nasr untuk Islam dengan realitas zaman terlihat belum

jelas alternatifnya, jika modrnisme dianggap salah atau tidak ada yang bisa diambil

manfaatnya sama sekali. Padahal akan sulit dihindari jika kita tidak secara jelas

mengidentifikasi persoalan-persoalan modrnisme yang mana telah memberikan arti

kepada umat manusia dan modernisme yang telah merusak tatanan spiritual manusia;

khususnya umat Islam yang kondisinya memang masih ketinggalan secara sains dan

teknologi.

Hal yang sangat mendasar adalah bahwa perlunya kita mengkonsepsikan

tentang etika ekologi Islam untuk dapat menangkal krisis yang lebih besar pada era

Page 126: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

119

ini. Krisis ekologi yang sudh akut sebetulnya adalah dampak dari krisis polusi jiwa

manusia yang sudah sangat jauh dari nilai-nilai Ilahiah. Krisis inipun sebetulnya

sudah lama menjadi kesadaran tidak saja bagi masyarakat tradisionalis yang

memegang teguh nilai-nilai kehidupan yang hakiki bahkan bagi mereka yang modern

yang sudah lebih dulu merasakan dampak berbagai krisis termasuk bahaya

modernisme saat ini, adalah krisis ekologis. Mengkonsepsikan etika ekologi saat ini

menjadi kebutuhan mendesak jika kita tidak ingin melihat kerusakan alam yang lebih

hebat. Maka tugas kitalah sebagai generasi hari ini untuk dapat segera mengantisipasi

berbagai permasalahan tentag kerusakan lingkungan. Baik perumusan itu bersifat

teologi-filosofis, maupun perumusan yang bersifat etis-praktis.

Page 127: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

120

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdullah, Amin. Studi Agama: Normativitas dan Historistias, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. Cet. Ke I. 1996.

Abdullah, Taufiq. “Agama Sebagai Kekuatan Sosial” dalam Taufiq Abdullah (Ed.),

Metodologi Pnelitian Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.

Afifi, A.E., Filsafat Mistis Ibnu Arabi diterjemahkan oleh Syahrir Mawi dan Mahdi

Rahman, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995.

Attas, Syehed Muhammad Al-Naquib al-, Islam dan Sekulerisme. Terjemahan.

Bandung: Pustaka, 1981.

Ali, Fachry. Agama Islam dan Pembangunan. Yogyakarta: PLP2M, 1985.

Ali Hasan, Ibrahim. Al-Islam wal-Bi`ah, Al-Qhahirah: Wajâratu al-Auqâf, 1420 M/

2000 H.

Ali, Yunasiril. Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi

oleh Al-Jilli, Jakarta: Paramadina. 1997.

Arifin Syamsul, et.al. spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta:

Sipress, 1986.

Azhari Noor, Kautsar. “Menyemarakkan Dialog Agama: Perspektif kaum Sufi”

dalam Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat, Jakarta: Zaman Wacana

Mulia, Cet. ke I. 1999.

Baiquni, Ahmad. Al-Qur`an dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Dana Bhakti Prima

Yasa, 1986.

Bakar, Osman, Tantangan Sains, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999.

Baqi, Muhammad Fuad al-, Abdul. Mu`jam al-Musfahras li al-Alfadz al-Qur`an,

Beirut: Al-Fikri, T.th.

Baqir, Haidar dan Basro, Syafiq (ed.) Ijtihad dlam Sorotan, Bandung: Mizan 1993.

Page 128: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

121

Capra, Frijof. The Turning Point: Titik Balik Peradaban: Masyarakat dan

Kembangkitan Kebudayaan, diterjemahkan oleh M. Thoyibi, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000.

Copleston, Fredarich A. History of Philosophy, New York: An Image book, 1985,

Vol

Ensiklopedia Islam: Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hove.

Faruqi, Ismail Raji al-, Tauhid, Bandung; penerbit Pustaka, 1982. Heddy, Suwarsoni, et. Al., Pengantar Ekolog, Jakarta: Rajwali Press, 1986.

Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas, Jakarta: Paramadina, 1986

Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban

Islam, diterjemahkan oleh Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina.

1999.

Huxley, Aldous. The Pereniall Philosophy, London: Fontana Books, 1959.

Isfahani, Al-Raghib al-, Mu`jam Mufradat al-Fadz al-Qur`an (ed) Nadim Marashaly

Beirut: Dar al-Fikri, 1972.

Jacob, Teuku. Manusia Ilmu dan Teknologi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988.

Kuntoewijoyo, Budaya dan Masyarakat, Tiara Wacana, 1987.

Ma`arif, Syafi`i Ahmad, Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia , Bandung: Mizan,

1993.

Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan peradaban, Jakarta: Paramadina, 1983. -------------, dalam Edy. A. Effendy, Ed., Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat.

Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.

-------------, Cita-cita Politik Islam Reformasi, Jakarta: Paramadina: 1999.

Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kulitatif, Edisi III, Yogyakarta: Rake

Sarsin, 1998. Mujiono, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Qur`an, Jakarta: Paramadina,

2001.

Murata, Sachiko. The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam

Kosmologi dan Teologi Islam, Bandung: Mizan. Cet. Ke VI. 1981.

Page 129: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

122

Nasr, Seyyed Hossein, Terj. Mahyudin, Science and Civization in Islam, Bandung:

Pustaka 1988.

------------, Ideals and Realities of Islam. London: George allen & Unwin, 1975.

------------, Islamic Life and Thought, London: George allen & Unwin, 1981.

------------, Islam dan Nestapa Manusia Modern, Bandung: Pustaka, 1983.

------------, Islam dalam Cita dan Fakt,. Jakarta: Leppenas, 1981.

------------, Knowledge and the Sacred, New York: Crossroad Publishing Co., 1981.

------------, man and Nature, London: Mandala books, 1976.

------------, “Mulla Sadra.” Dalam M.M. Sharif, A. History of Muslim Philosophy,.

Wisbaden; Ottohorrassoeitz, 1968.

------------, Pengenalan Doktrin Kosmologi Islam, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka, 1992.

------------, “Preface.” Dalam Frithjof schoun, Islam and the perenial Philosoophy,.

London: Word of Islam festifal Publishing co., 1976.

------------, Sains dan Peradaban dlam Islam, ditrejemahkan oleh Mahyudin.

Bandung: Pustaka, 1986.

------------, Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung: Mizan, 1993.

------------, “Suhrawardi.” Dalam M.M. Sharif. A. History of Muslim Philosophy.

Wisbaden: Ottohor-rasswitz, 1986.

------------, Three Muslim Sages. New York: Karapan Books, 1976.

------------, Traditional Islam in The Modern Word, London: KPI Limited, 1987.

------------, Islam and Plight of Modern Man, London: longman, 1975.

------------, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis, Yogyakarta: CIIS Press.,

1995.

------------, Tasawuf: Dulu dan Sekarang, diterjemahkan oleh M Thoyibi, Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1991.

------------, Sience and Civilization in Islam, An introduction to Islamic Kosmological

Doctrine. Cambridge: harvard University press, 1964.

Page 130: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

123

------------, Relegion & The Order of Nature, New York, Oxford University Press.

1996.

Nasution, Harun. Filsafat & Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang. Cet. ke

IX. 1995.

Nugraha, A. Alois. Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis, Jakarta: Grasingo, 2001.

Noer, Deliar. Perubahan Pembaruan dan Kesadaran Menghadapi Abad ke-21.

Jakarta: Dian Rakyat, 1988.

Noer, Kautsar Azhari. “Menyemarakkan Dialog Agama” dalam Dekonstruksi

Madzhab Ciputat, ed. Edi A.effendi, Bandung: Zaman Wacana Mulia,

1999.

Otto, Rudlof. The Idea of the Holy, Oxsford: University Press, 1958.

Pabotinggi, Moechtar, Islam: antara Visi, tradisi, dan Hegemoni dunia Muslim,

Jakarta: Paramadina, 2001.

Schuon, Frithjof. Islam and the Perenial Philosophy, London: Word of Islam Festival

Publishing Co., 1978.

------------, Understanding Islam, London: Mandala Books, 1976.

Schumacher, E.F. keluar dari Kemelut, Jakarta: LP3ES, 1989.

Scharf, betty R. The Sosiological Study of Relegion, London: faber and Faber.

Shahab, Husen. “Mazhab Tasawuf Perspektif Ahlul Bait” dalam Kuliah-kuliah

Tasawuf, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.

Sihab Alwi, Islam Inklusif, Jakarta: 1986.

Shihab, Quraish. Membumikan al-Qur`an, Bandung: Mizan, 1995.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1998.

Siuryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Raja Grafindo Persada,

1997.

Page 131: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

124

Thabathaba`i, M.H. Islam Syi`ah, diterjmahkan oleh Johan Effendi, Jakarta:

Grafitipers, 1989.

Thoyibi, Teologi Industrialisasi, Surakarta: Muhammadiyah University press, 1995.

Tibi, Bassam, terj. Yudian W. Asmin, Krisis peradaban Islam Modern; Sebuah

Kultur Pra Industri, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.

Artikel Makalah:

Abdullah, Amin. Al-Ghozali “Di Muka Cermin” Immanuel Kant: Kajian Kritis

Konsepsi Etika dan Agama dalam Ulumul Qur`an

Arifin, Syamsul. “Agama dan Masa Depan Ekologi Manusia” dalam Ulumul Qur`an.

Edisi Khusus No. 5 & 6 Vol. V. 1994.

Baqir, Haidar. “Sains Islami: Suatu Alternatif” dalam Ulumul Qur`an Vol 1 April-

Juni, 1985.

Kartanegara, Mulyadhi. “Sufi Approach To Nature” , Makalah.

Manzoor, Parvez, “Lingkungan dan Nilai-nilai dalam Perspektif Islam dalam Ulumul

Qur`an, Vol. V. 1994.

Nasr, Seyyed Hossein, “The Meaning and Role of Philosophy in Islam” dalam Studi

Islamica, Vol. 37 Paris, 1973.

Rahman, Budi Munawar, “Kebijakan Perenial dan Kritik Terhadap Modernisme”

Kompas, 1995.

Zar, Sirajuddin. “Menafsirkan Kembali Kosmologi Al-Qur`an” dalam Ulumul

Qur`an, No. 3 Vol. V. 1994.

Page 132: Eka Julaiha_Etika Ekologi Perspektif Tasawuf Nasr

125

RIWAYAT HIDUP

Nama : Eka Julaiha, S. Ag.

Tempat tanggal lahir : Serang, 18 Desember 1971

Alamat rumah : Ciomas LPI Al-Halimi Padarincang Serang-Banten

Pekerjaan : Dosen STAIN “Sultan Maulana Hasanuddin Banten”

Serang

Alamat Kantor : Jln. Jendral Sudirman No. 30 Serang

Tlp. (0254) 200323

Pendidikan :

-SDN Ciomas I : 1984

-MTs1 Cisaat : 1987

-M.A. Barugbug : 1990

-IAIN “Sunan Gunung Djati” Serang Fak. Syari`ah : 1997

-Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengalaman Orgtanisasi :

-SMF IAIN “Sunan Gunung Djati” Serang Tahun 1994-1995

-HMI Kom. Fak. Syari`ah IAIN “Sunan Gunung Djati” Serang Tahun 1993

-KOHATI Cab. Serang Tahun 1995-1996

-KOHATI ICMI Propinsi Banten Tahun 2002- Sekarang

Karya Ilmiah :

- Upaya Intra Doktrinal Reform bagi Prospektif Hukum Keluarga di Indonesia

Skripsi), Etika Ekologi: Perspektif Tasawuf Nasr (Tesis), dan sejumlah Makalah serta

Artikel.