Ek Kryt Bapenas 9 Okt 14

29
Konsep Ekonomi Kerakyatan Mardi Yatmo Hutomo * A. Latar Belakang Ada 4 (empat) alasan mengapa ekonomi kerakyatan perlu dijadikan paradigma baru dan strategi batu pembangunan ekonomi Indonesia. Keempat alasan, dimaksud adalah: 1. Karakteristik Indonesia Pengalaman keberhasilan Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Brazil, meniru konsep pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika, ternyata bagi negara- negara berkembang lainnya, yang menerapkan konsep yang memberikan hasil yang berbeda. Dengan mengandalkan dana pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan, mengandalkan investasi dari luar negeri, memperkuat industri substitusi ekspor, selama dua sampai tiga dasawarsa memang berhasil mendorong pertumbuhan output nasional yang cukup tinggi dan memberikan lapangan kerja cukup luas bagi rakyat. Walaupun Indonesia pernah dijuluki sebagai salah satu dari delapan negara di Asia sebagai Asian Miracle atau negara Asia yang ajaib, karena tingkat pertumbuhan ekonominya yang cukup mantap selama tiga dasa warsa, tetapi ternyata sangat rentan dengan terjadinya supply shock. Krisis mata uang Bath di Thailand, ternyata dengan cepat membawa Indonesia dalam krisis ekonomi yang serius dan dalam waktu yang amat singkat, ekonomi Indonesia runtuh. Fakta ini menunjukkan kepada kepada kita, bahwa konsep dan strategi pembangunan ekonomi yang berhasil diterapkan di suatu negara, belum tentu akan berhasil bila diterapkan di negara lain. Teori pertumbuhan Harrod-Domar, teori pertumbuhan Rostow, teori pertumbuhan David Romer, teori pertumbuhan Solow, dibangun dari struktur masyarakat pelaku ekonomi yang berbeda * Penulis adalah Staf Ahli pada Proyek Pengembangan Prasarana Perdesaan di Bappenas, dan staf pengajar Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta. /home/website/convert/temp/convert_html/55cf9004550346703ba2592c/document.doc # 1

description

book

Transcript of Ek Kryt Bapenas 9 Okt 14

BAB I

Konsep

Ekonomi KerakyatanMardi Yatmo Hutomo*A. Latar BelakangAda 4 (empat) alasan mengapa ekonomi kerakyatan perlu dijadikan paradigma baru dan strategi batu pembangunan ekonomi Indonesia. Keempat alasan, dimaksud adalah:

1. Karakteristik Indonesia

Pengalaman keberhasilan Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Brazil, meniru konsep pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika, ternyata bagi negara-negara berkembang lainnya, yang menerapkan konsep yang memberikan hasil yang berbeda. Dengan mengandalkan dana pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan, mengandalkan investasi dari luar negeri, memperkuat industri substitusi ekspor, selama dua sampai tiga dasawarsa memang berhasil mendorong pertumbuhan output nasional yang cukup tinggi dan memberikan lapangan kerja cukup luas bagi rakyat. Walaupun Indonesia pernah dijuluki sebagai salah satu dari delapan negara di Asia sebagai Asian Miracle atau negara Asia yang ajaib, karena tingkat pertumbuhan ekonominya yang cukup mantap selama tiga dasa warsa, tetapi ternyata sangat rentan dengan terjadinya supply shock. Krisis mata uang Bath di Thailand, ternyata dengan cepat membawa Indonesia dalam krisis ekonomi yang serius dan dalam waktu yang amat singkat, ekonomi Indonesia runtuh.

Fakta ini menunjukkan kepada kepada kita, bahwa konsep dan strategi pembangunan ekonomi yang berhasil diterapkan di suatu negara, belum tentu akan berhasil bila diterapkan di negara lain. Teori pertumbuhan Harrod-Domar, teori pertumbuhan Rostow, teori pertumbuhan David Romer, teori pertumbuhan Solow, dibangun dari struktur masyarakat pelaku ekonomi yang berbeda dengan struktur ekonomi masyarakat Indonesia. Setiap teori selalu dibangun dengan asumsi-asumsi tertentu, yang tidak semua negara memiliki syarat-syarat yang diasumsikan. Itulah sebabnya, untuk membangun ekonomi Indonesia yang kuat, stabil dan berkeadilan, tidak dapat menggunakan teori generik yang ada. Kita harus merumuskan konsep pembangunan ekonomi sendiri yang cocok dengan tuntutan politik rakyat, tuntutan konstitusi kita, dan cocok dengan kondisi obyektif dan situasi subyektif kita.

2. Tuntutan Konstitusi

Walaupun rumusan konstitusi kita yang menyangkut tata ekonomi yang seharusnya dibangun, belum cukup jelas sehingga tidak mudah untuk dijabarkan bahkan dapat diinterpretasikan bermacam-macam (semacam ekonomi bandul jam, tergantung siapa keyakinan ideologi penguasanya); tetapi dari analisis historis sebenarnya makna atau ruhnya cukup jelas. Ruh tata ekonomi usaha bersama uang berasas kekeluargaan adalah tata ekonomi yang memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat untuk berpartisiasi sebagai pelaku ekonomi. Tata ekonomi yang seharusnya dibangun adalah bukan tata ekonomi yang monopoli atau monopsoni atau oligopoli. Tata ekonomi yang dituntut konstitusi adalah tata ekonomi yang memberi peluang kepada seluruh rakyat atau warga negara untuk memiliki aset dalam ekonomi nasional. Tata ekonomi nasional adalah tata ekonomi yang membedakan secara tegas barang dan jasa mana yang harus diproduksi oleh pemerintah dan barang dan jasa mana yang harus diproduksi oleh sektor private atau sektor non pemerintah. Mengenai bentuk kelembagaan ekonomi, walaupun dalam penjelasan pasal 33 dinterpretasikan sebagai bentuk koperasi, tetapi tentu harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan.

3. Fakta Empirik

Dari krisis moneter yang berlanjut ke krisis ekonomi dan kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar, ternyata tidak sampai melumpuhkan perekonomian nasional. Bahwa akibat krisis ekonomi, harga kebutuhan pokok melonjak, inflasi hampir tidak dapat dikendalikan, ekspor menurun (khususnya ekspor produk manufaktur), impor barang modal menurun, produksi barang manufaktur menurun, pengangguran meningkat, adalah benar. Tetapi itu semua ternyata tidak berdampak serius terhadap perekonomian rakyat yang sumber penghasilannya bukan dari menjual tenaga kerja.

Usaha-usaha yang digeluti atau dimiliki oleh rakyat banyak yang produknya tidak menggunakan bahan impor, hampir tidak mengalami goncangan yang berarti. Fakta yang lain, ketika investasi nol persen, bahkan ternjadi penyusutan kapital, ternyata ekonomi Indonesia mampu tumbuh 3,4 persen pada tahun 1999. Ini semua membuktikan bahwa ekonomi Indonesia akan kokoh kalau pelaku ekonomi dilakukan oleh sebanyak-banyaknya warga negara.

4. Kegagalan Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi yang telah kita laksanakan selama 32 tahun lebih, dilihat dari satu aspek memang menunjukkan hasil-hasil yang cukup baik. Walaupun dalam periode tersebut, kita menghadapi 2 kali krisis ekonomi (yaitu krisis hutang Pertamina dan krisis karena anjloknya harga minyak), tetapi rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional masih di atas 7 persen pertahun. Pendapatan perkapitan atau GDP perkapita juga meningkat tajam dari 60 US dolar pada tahun 1970 menjadi 1400 US dolar pada tahun 1995. Volume dan nilai eksport minyak dan non migas juga meningkat tajam. Tetapi pada aspek lain, kita juga harus mengakui, bahwa jumlah penduduk miskin makin meningkat, kesenjangan pendapatan antar golongan penduduk dan atar daerah makin lebar, jumlah dan ratio hutang dengan GDP juga meningkat tajam, dan pemindahan pemilikan aset ekonomi dari rakyat ke sekelompok kecil warga negara juga meningkat.

Walaupun berbagai program penanggulangan kemiskinan telah kita dilaksanakan, program 8 jalur pemerataan telah kita canangkan, tetapi ternyata semuanya tidak mampu memecahkan masalah-masalah dimaksud. Oleh sebab itu, yang kita butuhkan saat ini sebenarnya bukan program penanggulangan kemiskinan, tetapi merumuskan kembali strategi pembangunan yang cocok untuk Indonesia. Kalau strategi pembangunan ekonomi yang kita tempuh benar, maka sebenarnya semua program pembangunan adalah sekaligus menjadi program penanggulangan kemiskinan.

B. Tujuan Penguatan Ekonomi KerakyatanTujuan yang akan dicapai dari penguatan ekonomi kerakyatan adalah untuk melaksanakan amanat konstitusi, khususnya mengenai: (1) perwujudan tata ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan yang menjamin keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (pasal 33 ayat 1), (2) perwujudan konsep Trisakti (berdikari di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian di bidang kebudayaan), (3) perwujudan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup rakyat banyak dikuasai negara (pasal 33 ayat 2), dan (4) perwujudan amanat bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2). Adapun tujuan khusus yang akan dicapai adalah untuk:

1. Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan

2. Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan

3. Mendorong pemerataan pendapatan rakyat

4. Meningkatkan efisiensi perekonomian secara nasional

C.Konsideran Akademis C.1. Batasan Pengertian

Kita perlu membedakan antara ekonomi rakyat, ekonomi kapitalis liberal, ekonomi sosialis komunis, ekonomi kerakyatan, dan ekonomi pemerintah. Terminologi ekonomi rakyat hanya untuk membedakan ekonomi pemerintah atau ekonomi publik. Ekonomi rakyat atau ekonomi barang private adalah ekonomi positif, yang menjelaskan bagaimana unit-unit produksi mengkombinasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan barang private dan jasa private dan mendistribusikan barang dan jasa dimaksud pada konsumen, sehingga diperoleh ketuntungan yang maksimal bagi produsen, biaya yang minimal bagi produsen, dan utility yang maksimal bagi konsumen.

Tata Ekonomi rakyat yang tidak mempermasalahkan keadilan baik pada proses produksi maupun pada proses distribusi, ini dalam terminologi politik ekonomi disebut sebagai ekonomi kapitalis liberal. Dalam ekonomi kapitalis liberal, tidak dipermasalahkan, apakah aset ekonomi hanya dimiliki oleh puluhan orang atau jutaan orang. ekonomi kapitalis liberal juga tidak mempermasalahkan, apakah barang dan jasa private hanya dinikmati oleh sedikit warga negara atau dinikmati oleh sebanyak-banyaknya warga negara. Oleh sebab itu dalam ekonomi kapitalis liberal terbentuk dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat pekerja yang hidupnya hanya dari upah menjual tenaga kerja dan ada masyarakat pemilik modal yang jumlahnya sedikit tetapi memiliki aset ekonomi nasional. Dalam tata ekonomi kapitalis liberal, diyakini bahwa keadilan dan kesejahteraan masyarakat dapat tercipta melalui mekanisme pasar. Ada invisible hand yang akan menciptakan keadilan dan pemerataan. Invisible hand ini adalah kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum yang ada dalam pasar. Oleh sebab itu tidak diperlukan intervensi pemerintah dalam perekonomian barang private. Tugas pemerintah hanyalah bagaimana menjamin mekanisme pasar berjalan dan menyediakan barang dan jasa publik.

Tata ekonomi kapitalis liberal ini pada tahap awal (prakapitalis), dianggap sebagai tata ekonomi yang tidak berkeadilan dan sulit diterima secara moral. Mekanisme pasar dengan kekuatan invisble hand yang dapat menjamin pemerataan dan keadilan ekonomi masyarakat ternyata mengalami kegagalan. Oleh sebab itu muncul antitesis dari tata ekonomi kapitalis liberal yaitu tata ekonomi etatisme atau sosialis komunis. Proses produksi dan distribusi harus diatur oleh pemerintah (yang diasumsikan tidak memiliki interest) untuk menjamin pemerataan dan keadilan. Dalam tata ekonomi ini, diyakini hanya pemerintah sebagai representasi rakyat, yang tidak memiliki interest, yang dapat menjamin kedailan baik dalam proses produksi maupun proses distribusi.

Lalu dimana posisi ekonomi kerakyatan?. Ekonomi kerakyatan adalah watak atau tatanan ekonomi rakyat, sama halnya dengan ekonomi kapitalis liberal atau ekonomi sosialis komunis, adalah watak atau tatanan ekonomi. Ekonomi kerakyatan adalah watak atau tatanan ekonomi dimana, pemilikan aset ekonomi harus didistribusikan kepada sebanyak-banyaknya warga negara. Pendistribusian aset ekonomi kepada sebanyak-banyaknya warga negara yang akan menjamin pendistribusian barang dan jasa kepada sebanyak-banyaknya warga negara secara adil. Dalam pemilikan aset ekonomi yang tidak adil dan merata, maka pasar akan selalu mengalami kegagalan, tidak akan dapat dicapai efisiensi yang optimal (Pareto efficiency) dalam perekonomian, dan tidak ada invisible hand yang dapat mengatur keadilan dan kesejahteraan.

Pemilikan aset ekonomi oleh sebagian besar warga negara tidak dapat diwakilkan oleh lembaga pemerintah. Fakta empirik menunjukkan bahwa pemerintah gagal memposisikan sebagai wakil rakyat yang tidak memiliki interest dan gagal dalam merubah barang private sebagai barang publik. Oleh sebab itu, dalam ekonomi kerakyatan, tetap menempatkan pemerintah sebagai penyedia barang publik dan jasa publik. Intervensi pemerintah dalam ekonomi rakyat hanya diperlukan untuk menjamin mekanisme distribusi aset terjadi melalui mekanisme pasar.

Ekonomi kerakyatan tidak bermakud mempertentangkan ekonomi besar dengan ekonomi kecil. Persoalan ekonomi kerakyatan bukan mempertentangkan antara wong cilik dengan wong gedhe. Ekonomi kerakyatan bukan bagaimana usaha kecil, menengah, dan usaha mikro dilindungi. Ekonomi kerakyatan bukan ekonomi belas kasihan, bukan ekonomi penyantunan kepada kelompok masyarakat yang kalah dalam persaingan. Tetapi ekonomi kerakyatan adalah tatanan ekonomi dimana aset ekonomi dalam perekonomian nasional didistribusian kepada sebanyak-banyaknya warga negara. Secara definisi ekonomi kerakyatan adalah:

(1) Tata ekonomi yang dapat memberikan jaminan pertumbuhan out put perekonomian suatu negara secara mantap dan berkesinambungan, dan dapat memberikan jaminan keadilan bagi rakyat.

(2) Tata ekonomi yang dapat menjamin pertumbuhan out put secara mantap atau tinggi adalah tata ekonomi yang sumber daya ekonominya digunakan untuk memperoduksi jasa dan barang pada tingkat pareto optimum. Tingkat pareto optimum adalah tingkat penggunaan faktor-faktor produksi secara maksimal dan tidak ada faktor produksi yang nganggur atau idle.

(3) Tata ekonomi yang dapat menjamin pareto optimum adalah tata ekonomi yang mampu menciptakan penggunaan tenaga kerja secara penuh (full employment) dan mampu menggunakan kapital atau modal secara penuh.

(4) Tata ekonomi yang dapat memberikan jaminan keadilan bagi rakyat adalah tata ekonomi yang pemilikan aset ekonomi nasional terdistribusi secara baik kepada seluruh rakyat, sehingga sumber penerimaan (income) rakyat tidak hanya dari penerimaan upah tenaga kerja, tetapi juga dari sewa modal dan deviden. Secara ekonomis, dalam perekonomian kerakyatan, model income masyarakat adalah sebagai berikut:. Dimana adalah income individu anggota masyarakat, adalah penerimaan dari upah tenaga kerja, adalah penerimaan dari deviden atau bagi hasil sisa usaha, adalah tingkat sewa modal (misalnya bunga deposito), dan adalah jumlah tabungan atau endowment yang disewakan. Dengan demikian dalam tata ekonomi kerakyatan, masyarakat bukan hanya sebagai buruh dalam perekonomian tetapi juga pemilik atau memiliki saham di sektor produksi.

Kalau ada ekonomi rakyat, maka ada ekonomi pemerintah. Ekonomi pemerintah, adalah ekonomi normatif, yang mengkaji bagaimana pemerintah menetapkan sumber dan besarnya penerimaan (tax), memproduksi barang publik dan jasa publik, dan mengalokasikan sumber daya publik (APBN, APBD) untuk memilih barang publik dan jasa publik yang harus diproduksi, sesuai arpirasi politik rakyat. Problem yang harus dipecahkan dalam ekonomi pemerintah adalah bagaimana mencapai kesejahteraan masyarakat yang paling maksimal (maximization of welfare), bagaimana meningkatkan revenew yang tidak menimbulkan distorsi dalam perekonomian, bagaimana mengelola sumber daya publik (fiscal policy dan monetary policy) yang dapat menjamin kestabilan perekonomian, dan bagaimana mengalokasikan sumber daya yang dapat menjamin keadilan dan pemerataan.

C.2. Ekonomi Kerakyatan dan Kegagalan Pasar

Bagan 1: hubungan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam perekonomian

Dalam tata ekonomi yang modern, peranan pemerintah dalam perekonomian sangat minimal. Alasannya, intervensi pemerintah yang berlebihan dalam perekonomian lebih banyak menimbulkan distrosi pasar, sehingga perekonomian tidak pernah mencapai kondisi pareto optimum. Peran pemerintah dalam perekonomian modern adalah sebatas sebagai stabilisator, peran alokasi, dan peran distribusi. Melalui pengaturan fiskal dan kebijakan moneter, pemerintah bersama bank sentral menjaga stabilitas perekonomian dari supply shock, seperti inflasi, ledakan pengangguran, fluktuasi nilai tukar rupiah, suku bunga, dll.

Melalui kewenangan pengaturan dan kebijakan fiskal, pemerintah harus menjamin pengalokasian sumber daya ekonomi untuk mencapai pareto optimum. Melalui kewenangan yang dimiliki, pemerintah juga harus menjamin terbangunnya distribusi pendapatan masyarakat dan tidak terjadinya kesenjangan ekonomi.

Melalui bagan ini, dapat dijelaskan, bahwa peran pemerintah dalam perekonomian adalah: (1) menyediakan barang dan jasa publik, (2) mengelola dana publik (penerimaan tax) untuk memproduksi barang publik dan jasa publik, (3) mengatur agar pasar input berjalan sempurna atau meminimasi terjadi distrosi pasar input dan mengatur agar pasar output berjalan sempurna atau meminimasi terjadinya distrosi pasar output.

Private sector membeli input (tenaga kerja dan modal) untuk memproduksi barang dan jasa private. Barang dan jasa private ini akan dibeli oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat membeli barang dan jasa private dari hasil upah dan hasil sewa modal. Bila pasar berjalan sempurna, maka akan selalu terjadi market clearing baik di pasar input maupun di pasar output.

Di Indonesia, yang terjadi tidak demikian. Produsen barang dan jasa private jumlahnya terbatas. Yang memproduksi 78,5 persen output nasional dalam bentuk barang dan jasa private hanya oleh 200 orang warga negara. Sedang 21,5 persen output nasional diproduksi oleh jutaan orang warga negara memalui usaha mikro, usaha kecil dan menengah. Sementara 89,5 persen tenaga kerja yang ditawarkan di pasar input dibeli oleh 99,5 persen produsen yang outputnya hanya 21,5 persen. Sedang hanya10,5 persen tenaga kerja yang dibeli oleh 0,5 persen produsen yang outputnya 78,5 persen. Sebaliknya, modal yang pergunakan oleh 0,5persen produsen mencapai sekitar 85 persen dari dari modal yang ada dalam perekonomian, dan tidak lebih dari 7 persen modal yang dipergunakan oleh 95,5 persen produsen. Dalam situasi yang demikian, maka diduga kuat:

(1) Tidak pernah terjadi market clearing baik di pasar input maupun di pasar output,

(2) Ada modal yang idle (nganggur) dalam perekonomian,

(3) Ada tenaga kerja yang idle dalam perekonomian,

(4) Perekonomian tidak efisien,

(5) Perekonomian tidak memproduksi barang dan jasa sesuai kapasitas yang dimiliki, dan

(6) Terjadi kesenjangan ekonomi antar golongan penduduk yang amat lebar.

Situasi ini akan terus makin memburuk, sebab dengan income yang rendah pada sebagian besar rakyat, maka seluruh atau sebagian besar income akan dihabiskan untuk konsumsi. Tidak ada saving. Dengan share output yang kecil dari 99,5 persen produsen yang banyak digeluti rakyat, maka di sektor ini akumulasi kapital juga tidak akan terjadi, kalaupun terjadi sangat lamban. Artinya, aset ekonomi nasional yang dimiliki oleh sebagian besar rakyat sangat kecil. Itulah sebabnya, mengapa tingkat pengangguran di Indonesia sangat tinggi, jumlah penduduk miskinnya amat tinggi, upah tenaga kerjanya amat rendah. Jadi persoalan pokok yang dihadapi dalam perekonomian Indonesia saat ini adalah pertama pemilikan aset ekonomi oleh sebagian besar rakyat yang sangat sangat kecil, sedang sebagian kecil rakyat menguasai aset ekonomi yang sangat besar. Inilah yang menyebabkan pasar atau tangan Tuhan tidak berjalan sebagaimana mestinya, yang menyebabkan perekonomian nasional tidak efisien, yang menyebabkan trickle down effect tidak berjalan, dan yang menyebabkan kemiskinan secara masip.

Problem kedua adalah problem di ekonomi barang publik atau ekonomi publik yang dijalankan pemerintah. Keputusan jenis barang publik dan jasa publik adalah keputusan politik. Karena lemahnya sebagian besar rakyat di bidang ekonomi, maka posis tawar dalam kebijakan politik juga lemah (ini fakta empirik). Akibatnya, barang publik dan jasa publik yang diproduksi pemerintah tidak sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat. Barang publik dan jasa publik yang diproduksi pemerintah adalah barang publik dan jasa publik yang tidak menguntungkan bagi sebagian besar rakyat, tetapi menguntungkan sebagian kecil rakyat.

Problem yang ketiga adalah problem di kebijakan publik. Seperti disebut dimuka, bahwa pemerintah memiliki tiga kewenangan dalam perekonomian, yaitu kewenangan atau fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Karena sebagian besar rakyat tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dan tidak memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik, maka fungsi alokasi dan fungsi distribusi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Bertolak dari tiga persoalan besar tersebut, maka ruh dari ekonomi kerakyatan adalah: bagaimana pemerintah dapat menjalankan fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi (atau bagaimana kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan kebijakan di sektor riil dijalankan), sehingga distribusi aset ekonomi kepada sebagian besar rakyat dapat terjadi tanpa mendistorsi pasar.

C.3. Ekonomi Kerakyatan dengan Pertumbuhan Ekonomi

Output nasional (Q) dapat berupa jasa dan barang. Q nasional adalah akumulasi dari jutaan Q yang diproduksi penduduk, baik yang dilakukan melalui unit-unit produksi skala besar, unit-unit produksi skala menengah, sekala kecil, maupun skala keluarga.

adalah output yang diproduksi oleh unit-unit produksi skala besar, yang pada umumnya memiliki fleksibilitas luas dalam memilih kombinasi antar faktor produksi. Problemnya adalah bagaimana memilih bundle faktor yang memaksimalkan profit dan atau meminimalkan biaya. Jumlah unit produksi skala besar ini tidak terlalu banyak, tetapi memiliki atau menguasai faktor produksi (khususnya modal dan teknologi) nasional secara masib. Share dari unit produksi skala besar ini cukup dominan dalam output nasional. Produktivitas tenaga kerja di unit produksi ini sangat tinggi, tetapi jumlah tenaga kerja yang ada di unit produksinya hanya kurang lebih 10 persen dari jumkah tenaga kerja yang ditawarkan di pasar tenaga kerja.

Sedang dan , masing-masing adalah unit produksi skala menengah, kecil, dan skala keluarga atau mikro. Unit produksi ini jumlahnya banyak mencapa 99,5 persen dari unit produksi total. Unit produksi ini share-nya terhadap output nasional hanya kurang lebih 21 persen dari total output nasional. Problem yang dihadapi oleh unit produksi ini lebih kompleks dibanding unit produksi skala besar. Fleksibilitas untuk memilih bundle faktor produksi sangat sempit, karena unit produksi ini menghadapi keterbatasan modal, keterbatasan teknologi, dan keterbatasan tenaga kerja yang rendah kualitasnya. Efisiensi di unit produksi ini sangat rendah. Produktivitas tenaga kerja di unit produksi ini juga lebih rendah bila dibanding unit produksi skala besar.

Secara nasional, model produksi dalam perekonomian kita saat ini adalah , dimana (lebih kecil dibanding , , dan . Mengapa jumlah vektor faktor teknologi lebih rendah dari faktor teknologi yang seharusnya, karena di unit-unit skala rumah tangga dan unit unit skala kecil dan menengah tidak mampu melakukan investasi di bidang teknologi. Mengapa jumlah kapital yang digunakan dalam perekonomian lebih kecil dibanding kapital yang ada dalam perekonomian, karena ada diskriminasi lembaga keuanga dalam melaksanakan fungsi intermediat. Untuk menjelaskan bagaimana diskriminasi ini terjadi, periksa berikut ini:

0

Total permintaan uang untuk produksi sebenarnya , tetapi jumlah uang yang ditawarkan oleh lembaga perbankan hanya L, sehingga terjadi excces demand sebesar (OL-OLT ). Kelebihan permintaan ini terjadi karena unit produksi skala keluarga dan skala kecil dan menengah, tidak dilayani oleh lembaga keuangan bank. Kelebihan permintaan ini selanjutnya diisi oleh lembaga keuangan non bank (rentenir, pengijon, dan sejenisnya). Mengapa bank tidak bersedia memenuhi permintaan uang kepada unit-unit produksi skala keluarga, skala kecil, dan skala menengah, karena unit-unit skala keluarga, skala kecil, dan skala menengah ini pada umumnya tidak memiliki kolateral, sehingga resiko default (macet) yang dihadapi bank cukup besar. Fenomena ini dapat dijelaskan secara matematik sebagai berikut:

Menurut logika perbankan, karena unit produksi besar memiliki kolateral dan faktor ketidak-pastiannya kecil, maka dianggap peluang kredit kembali adalah 1 atau tidak default. Sebaliknya unit produksi keluarga, unit produksi kecil, dan menengah, karena tidak memiliki kolateral dan faktor uncertenty-nya besar, maka peluang kredit yang diberikan akan kembali tidak 1 atau ada resiko default. Padahal bagi bank, kalau bank memberikan kredit kepada unit produksi besar maupun kepada unit produksi skala keluarga dan kecil sebesar L, keuntungan yang diharapkan sama. Oleh sebab itu, menurut perhitungan bank, bank hanya layak memberikan kredit kepada unit produksi skala keluarga, skala kecil, dan skala menengah, bila unit produksi skala keluarga, kecil dan menengah tersebut bersedia membayar bunga sebesar r. secara moral dan secara politis, bank tidak mungkin memberlakukan tingkat bunga yang diskriminatif kepada unit produksi skala keluarga, skala kecil, dan skala menengah. Oleh sebab itu, yang paling aman bagi bank adalah tidak memberikan kredit kepada unit produksi skala keluarga, skala kecil, dan skala menengah (bila tanpa kolateral). Jadi, kesimpulannya pasar uang tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri. Sebab pada kasus di Indonesia, pasar uang mengalami kegagalan, dan akibatnya terjadi modal yang idle dalam perekonomian.

Kegagalan pasar tidak saja terjadi di pasar uang, tetapi juga di pasar tenaga kerja. Menurut kaum ortodok atau ekonom klasik, tingkat pengangguran ditentukan oleh naik turunnya suku bunga. Sebab tingkat suku bunga bank akan menentukan naik turunnya investasi. Pada tingkat bunga rendah, maka investasi akan meningkat dan akibatnya permintaan tenaga kerja akan meningkat, sehingga tingkat pengangguran akan menurun. Artinya full employment akan terjadi dengan sendirinya melalui kekuatan pasar. tetapi kenyataan tidak demikian. Pengangguran tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh pasar melalui dinamika suku bunga bank. Untuk jelasnya lihat penjelasan grafis berikut:

Tanpa campur tangan pemerintah, perekonomian akan menggunakan tenaga kerja sebesar dengan tingkat upah . Tetapi karena ada kebijakan upah, yaitu ketentuan upah minimum regional, yang ditetapkan sebesar maka sektor produsen hanya menggunakan tenaga kerja sebesar . Dengan demikian ada tenaga kerja ingin dan yang mestinya bekerja tetapi tidak dapat bekerja sebanyak . Ini adalah inefisiensi dalam suatu perekonomian, karena perekonomian tidak mampu menggunakan faktor produksi labor untuk memproduksi barang dan jasa.

Menurut teori klasik, tingkat pengangguran yang tinggi ini dengan sendirinya akan merubah tingkat upah yang dapat diterma oleh tenaga kerja, sehingga tenaga kerja yang diserap dalam perekonomian akan meningkat. Mekanisme ini berjalan dengan sendirinya melalui instrumen tingkat bunga bank. Demikian juga kalau terjadi yang sebaliknya. Tetapi dalam praktik, ternyata tidak demikian. Dalam dunia nyata tidak pernah terjadi upah tenaga kerja turun dan dapat diterima oleh tenaga kerja. Artinya, pasar akan mengatur dengan kekuatan sendiri untuk selalu menuju pada keseimbangan, tidak pernah terjadi. Intervensi pemerintah atau bank sentral, seperti dianjurkan Keynesian, melalui kebijakan tingkat suku bunga, ternyata tidak selalu efektif sebagai instrumen untuk mengelola pasar tenaga kerja atau tingkat pengangguran. Tingkat bunga rendah tidak selalu diikuti dengan penurunan tingkat pengangguran. Sebab tingkat bunga rendah tidak selalu mendorong investasi. Dalam kondisi daya beli masyarakat rendah, maka investasi justru akan mendorong terjadinya deflasi. Oleh sebab itu, yang dibutuhkan bukan hanya instrumen moneter seperti kebijakan tingkat bunga, tetapi harus ada shock. Redistribusi aset ekonomi kepada sebanyak-banyaknya warga negara adalah salah satu bentuk shock.

Akses kredit yang lebih besar diberikan kepada unit produsen milik komunal, akan mendorong investasi dan penyerapan tenaga kerja, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga peningkatan barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian tidak akan menimbulkan deflasi maupun inflasi.

Dari uraian mengenai kegagalan pasar baik di pasar uang maupun di pasar tenaga kerja, yang dampaknya adalah terjadinya idle modal dan idle tenaga kerja dalam perekonomian, maka akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui shock dalam bentuk ekonomi kerakyatan, maka bukan saja dapat mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi juga dapat merubah level.

C.4. Ekonomi Kerakyatan dan Kesejahteraan

Dalam teori dan konsep pembangunan ekonomi apapun, tujuan akhirnya adalah kesejahteraan rakyat. Melalui pertumbuhan output yang tinggi, maka diharapkan dapat menciptaka lapangan kerja yang luas dan meningkatkan tingkat konsumsi masyarakat, yang pada akhirnya muaranya adalah bagaimana kesejaateraan rakyat tercapai. Dua ukuran dari sejumlah ukuran kesejahteraan rakyat dari sisi ekonomi adalah kemampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dan ketersediaan barang dan jasa. Kemampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa, salah satunya diukur melalui income(Y). Sedang ketersediaan barang dan jasa diukur dari tingkat out put yang diproduksi dalam perekonomian. Model ekonomi dari income individu adalah sebagai berikut:

dimana adalah income, adalah penerimaan upah, adalah penerimaan sisa hasil usaha, adalah peneriman dari sewa faktor di luar faktor tenaga kerja, adalah penerimaan transfer dari pemerintah, adalah jumlah jam kerja individu, adalah jumlah anggota keluarga yang bekerja, adalah tingkat upah yang diterima, adalah output yang dihasilkan. Dalam kenyataan, tidak semua individu memiliki 4 sumber income, seperti dijelaskan dalam model. Ada individu yang sumber penerimaannya hanya dari upah tenaga kerja atau buruh, ada idividu yang hanya memiliki sumber penerimaan dari sisa hasil usaha, ada individu yang sumber penerimaannya hanya dari transfer (seperti pensiunan, orang jompo), dan bahkan ada invidu yang sumber penerimaannya hanya dari bunga tabungan atau sewa faktor modal. Dengan demikian, ada beberapa model ekonomi yang dapat menjelaskan beberapa tipe individu menurut sumber income-nya.

Dalam rangka penguatan ekonomi kerakyatan, dimana aset dimiliki oleh sebanyak-banyaknya warga negara, maka sumber penerimaan atau income masyarakat bukan hanya dari upah, tetapi juga dari sisa hasil usaha ata deviden.. peningkatan income juga akan meningkatkan tabungan atau peningkatan faktor modal yang dapat disewakan, sehingga menambah income dari sumber sewa faktor. Model atau tipe pengembangan ekonomi kerakyatan dari sisi peningkatan income adalah model . Artinya, masyarakat yang akan kita bangun bukan masyarakat buruh, yang sumber penghasilannya dari menjual tenaga kerja, tetapi masyarakat pekerja yang sekaligus pemilik aset ekonomi. Dengan demikian, ekonomi kerakyatan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

C.5. Ekonomi Kerakyatan dan Efisiensi Perekonomian

Dari sisi model produksi, model umum yang kita kenal adalah , dimana Q adalah output barang dan jasa, A adalah teknologi produksi, K adalah modal, L adalah tenaga kerja. Selama ini hampir di semua sektor ekonomi, khususnya di sektor hilir, model produksi output adalah sebagai berikut:

out put nasional

output nasional yang diproduksi usaha besar

output nasional yang diproduksi Usaha mikro, kecil, dan menengah

Rendahnya output share nasional dari usaha menengah, usaha kecil, dan usaha mikro ini terjadi karena adanya distorsi baik di pasar input, khususnya modal maupun di pasar output. Akibatnya perekonomian tidak atau belum bekerja secara optimal. Resources ekonomi belum dapat kita gunakan secara optimal dan efisien. dengan menggunakan diagram eigenbox dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tenaga kerja

UKM

modal

USAHA BESAR

Dari diagram eigenbox diatas, tampak bahwa secara nasional terjadi penelantaran modal (capital idle) dan tenaga kerja (labor idle), yang tentu merugikan perekoniman secara nasional. Penelantaran modal terjadi karena pasar modal tidak berjalan sebagaimana mestinya. Distorsi di pasar modal, menyebabkan modal atau capital secara nasional tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Jumlah modal yang dimiliki perekonomian yang idle atau nganggur atau tidak dimanfaatkan cukup besar. Mengalirnya dana tabungan masyarakat perdesaan yang disimpan di BRI ke kota dengan jumlah yang cukup besar, sementara UKM di perdesaan mengalami kesulitan likuiditas adalah contoh dari distrosi di pasar modal.

Dengan demikian, kendala yang dihadapi UKM untuk meningkatkan share terhadap output nasional, salah satunya karena keterbatasan untuk memanfaatkan modal di pasar modal, selain juga karena tidak efisiennya dalam menggunakan teknologi produksi dan rendahnya kemampuan SDM. Dari model produksi , UKM hanya memiliki fleksibilitas sempit dalam mengkombinasikan faktor K dan faktor L. Penggunaan faktor L pada UKM sebenarnya sudah pada tingkat MPL sama dengan nol. Artinya penambahan atau pengurangan tenaga kerja tidak meningkatkan atau menurunkan output. Ini sangat tampak di sektor pertanian rakyat.

C.6. Ekonomi Kerakyatan dan Inflasi

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah ekonomi kerakyatan tidak menimbulkan inflasi yang meningkat. Kalau pengembangan ekonomi kerakyatan diikuti oleh meningkatkan banyaknya uang yang dipegang masyarakat atau meningkatkan jumlah uang beredar, tanpa diikuti oleh meningkatnya barang dan jasa yang diproduksi, maka penguatan ekonomi kerakyatan akan menimbulkan inflasi yang tinggi. situasi ini akan terjadi, kalau penguatan ekonomi kerakyatan dipahami dan atau dilakukan dengan kebijakan credit rationing kepada usaha kecil dan menengah, tanpa diikuti oleh perubahan pola produksi.

Pada pola produksi skala kecil, fleksibilitas penggunaan K dan L sangat terbatas, karena faktor teknologi sulit dilakukan perubahan. Dengan demikian, walaupun UKM diberi jatah kredit yang besar, kemampuan menyerapnya terbatas, sehingga tidak digunakan untuk produksi tetapi untuk konsumsi atau spekulasi. Pada situasi yang demikian, maka penguatan ekonomi kerakyatan akan mendorong inflasi tinggi, apalagi kalau penguatan ekonomi rakyat dilakukan melalui subsidi bunga kepada UKM, maka penurunan sewa kapital akan meningkatkan pengangguran. Akibatnya bila pemberian subsidi pada UKM mendorong peningkatan poduksi barang dan jasa, tetapi meningkatkan jumlah pengangguran, maka penguatan ekonomi kerakyatan akan mendorong inflasi meningkat.

EMBED Equation.3

Pada penguatan ekonomi kerakyatan, dimana UKM melakukan merger menjadi unit produksi skala besar atau menengah, maka faktor teknologi memiliki fleksibilitas yang lebar untuk dirubah. Sehingga unit produksi rakyat akan mampu menyerap modal lebih besar bila diberi akses kredit (tidak perlu diberi subsidi bunga maupun jatah kredit). Pada unit Produksi rakyat skala besar atau menengah, dengan teknologi yang efisien, selain akan menurunkan biaya produksi juga akan meningkatkan kualitas produk, sehingga keuntungan yang diperoleh juga akan meningkat. Keuntungan yang diperoleh akan didistribusikan kepada masyarakat dalam bentuk deviden, sehingga daya beli masyarakat juga meningkat. Dengan demikian, penguatan ekonomi kerakyatan tidak akan menimbulkan inflasi yang tinggi.

D.Konsep Operasional Ekonomi Kerakyatan: (Kebijaksanaan Moneter; K. Fiskal; K.sektor Riil)D.1. Kebijakan Moneter

Peninjauan kembali kebijakan BLM (Grant)

Dalam rangka mengembangan usaha menengah menjadi usaha besar, usaha kecil menjadi usaha menengah, dan usaha mikro menjadi usaha kecil, salah satu kendala yang dihadapi adalah modal untuk investasi dan modal untuk kerja. Karena jangkauan pasar yang masih terbatas, teknologi yang digunakan belum efisien, dan manajemen usaha yang belum efisien, maka resiko kegagalannya cukup tinggi. Tingginya resiko gagal menyebabkan resiko investasinya juga besar. Tingginya resiko investasi dan rendahnya pemilikan collateral, menyebabkan lembaga keuangan bank kurang berminat memberi pinjaman kepada UKM. Jumlah dana yang diberikan bank kepada UKM jauh dibawah tingkat perintaan UKM. Kekurangan pasokan ini selanjutnya diisi oleh lembaga kredit non bank, seperti KOSIPA, dan pengijon, dengan tingkat bunga jauh di atas tingkat bunga pasar. Intervensi pemerintah, melalui dana bantuan langsung ke masyarakat, seperti dalam Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Inpres Desa Tertinggal (IDT), dan program sejenis, ternyata kurang efektif dan kurang efisien. Kelembagaan keuangan mikro (micro finance) yang terbentuk dari program-program dimaksud, tingkat keberlanjutannya rendah, dan hampir tidak mampu memecahkan permasalahan tingkat suku bunga yang tinggi. Selain itu juga banyak menimbulkan ketergantungan kepada pemerintah dan membutuhkan biaya delivery yang tinggi.

Dari permintaan kredit yang cukup besar dari lembaga keuangan non bank, walaupun dengan tingkat bunga di atas bunga pasar, membuktikan bahwa yang dibutuhkan unit produksi rakyat sebenarnya bukan subsidi bunga dan bukan dana block grant, tetapi akses untuk mendapatkan pinjaman ke bank.

Peninjauan Kembali Kebijakan Subsidi Bunga

Asumsi bahwa UKM membutuhkan subsidi bunga untuk mendorong perkembangannya, ternyata tidak benar. Pemberian subsidi bunga ternyata justru mendorong permintaan uang bukan untuk produksi tetapi untuk konsumsi dan spekulasi. Meningkatnya permintaan uang karena subsidi bunga ini justru akan mendorong timbulnya inflasi yang tinggi. Tingkat bunga tinggi yang ditawarkan oleh money lender ternyata selalu mengalami market clearing. Artinya yang dibutuhkan Unit Produksi Rakyat, bukan subsidi bunga tetapi akses untuk mendapatkan pinjaman di lebaga keungan bank. Untuk mendapatkan akses ke lembaga keuangan bank, yang dibutuhkan bank adalah garansi atau jaminan. Dengan demikian yang dibutuhkan oleh unit produksi rakyat sebenarnya adalah jaminan pemerintah kepada bank.

D.2. Kebijakan Fiskal

Alokasi Anggaran untuk Panjaminan Kredit utuk Unit Produksi Rakyat

Seperti telah dikemukakan, bahwa yang dibutuhkan Unit Produksi Rakyat (UPR bukan UKM) sebenarnya bukan subsidi bunga dan bukan dana block grant, tetapi akses untuk mendapatkan pinjaman ke bank. Dengan demikian, intervensi yang diperlukan dari pemerintah adalah adanya penjaminan kredit untuk UKM.

Mengapa perlu penjaminan, sebab bank adalah risk aversion sehingga tidak berminat memberikan kredit kepada UKM yang memang memiliki default risk tinggi. Tidak efektifnya kebijakan credit rationing dengan mewajibkan bank menyalurkan 20 persen kredit kepada UKM dengan subsidi bunga dari pemerintah, adalah argumentasi yang cukup kuat tentang perlunya penjaminan pemerintah untuk kredit UKM.

Bunga atas deposito dana penjaminan ini selanjutnya untuk biaya fasilitasi UPR. Fasilitasi UPR ini dapat dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. pelibatan LSM dalam proses fasilitasi dengan biaya dari bunga deposito ini sekaligus dapat digunakan sebagai pembinaan LSM agar tidak digunakan oleh kepentingan asing (lembaga donor). Sebab, ketergantungan yang begitu besar dari LSM terhadap lembaga donor, telah membawa sebagian besar LSM menjadi alat kepentingan politik dan kepentingan ekonomi asing.

Strategi ini, selain tidak akan membebani anggaran belanja pemerintah yang terlalu besar, membantu penyehatan perbankan dalam negeri, juga bagian dari pembelajaran bagi UKM untuk terbiasa berhubungan dengan lembaga keuangan bank dan pembelajaran bagi UKM untuk mandiri dan efisien.

Kebijakan Perpajakan

Untuk mendorong UKM bergabung (baik di sektor pertanian, peternakan, perikanan, perdagangan, industri), maka UKM yang bergabung menjadi UPR diberi keringanan pajak. Demikian pula kepada perusahaan perkebunan inti rakyat yang bersedia menjual sahamnya kepada petani plasma, sehingga menjadi UPR, diberi keringanan pajak, baik pajak penjualan maupun pajak penghasilan.

Kebijakan Pertanahan

Lahan dalam perekonomian merupakan faktor modal yang penting. Meningkatnya jumlah petani landless dalam 3 dekade terakhir, dan hilangnya spesifikasi pemilikan komunal atas sumber daya hutan, merupakan ancaman serius dalam membangun ekonomi kerakyatan. Oleh sebab itu, perlindungan bagi masyarakat adat atas tanah ulayat, perlindungan petani melalui sertifikasi tanah, perlu dilakukan. Kebijakan pemerintah yang memberi kemudahan bagi masyarakat adat untuk memperoleh hak pemilikan atas tanah ulayat, akan membantu penguatan ekonomi rakyat.

Perusahaan Hutan Rakyat (bukan HPH tetapi mirip HPH hanya pemilikan sahamnya adalah oleh masyarakat adat setempat), akan dapat dibangun bila pemerintah mengakui hak pemilikan hutan ulayat. Demikian juga Perusahaan Perkebunan Rakyat (bukan Perkebunan Inti Rakyat, tetapi mirip PIR hanya pemilikan sahamnya oleh masyarakat adat setempat), akan dapat dibangun bila pemerintah mengakui hak pemilikan hutan ulayat.

D.3. Kebijakan Sektor Riil

Kebijakan Upah

Dari model ekonomi income masyarakat, salah satu sumber pendapatan masyarakat adalah dari upah dan gaji atau .Rendah tingginya upah dan gaji yang diterima, tergantung dari tingkat upah perjam/bulan , lama jam kerja , dan jumlah anggota keluarga yang bekerja . Tinggi rendahnya tungkat upah dan gaji ditentukan oleh kualitas tenaga kerja. Kualitas tenaga kerja bukan hanya ditentukan oleh tingat pendidikan, tetapi juga sikap mental (etos kerja, profesionalitas, dan kedisiplinan). Lama jam kerja dan jumlah anggota keluarga yang bekerja ditentukan oleh ketersediaan lapangan kerja.

Kebijakan penetapan batas Upah Minimum Regional (UMR), seperti yang selama ini digunakan pemerintah dalam melindungi kaum pekerja, sebenarnya tidak memecahkan permasalahan ketenagakerjaan. Kebijakan UMR justru menghambat tumbuh dan kerkembangnya UKM dan mendorong laju pengangguran. Intervensi pemerintah secara langsung dalam menentukan upah dan gaji pekerja, justru menimbulkan permasalahan baru yang lebih serius, seperti pengangguran dan permasalahan sektor informal. Perbaikan gaji dan upah, seharusnya diserahkan melalui mekanisme pasar tenaga kerja.

Oleh sebab itu, dalam rangka penguatan ekonomi kerakyatan dari sisi ketenagakerjaan, harus ada kebijakan baik disisi demand maupun di sisi supply. Di sisi supply, intervensi yang dibutuhkan dari pemerintah adalah peningkatan kualitas tenaga kerja. Sedang di sisi demand, intervensi yang diperlukan dari pemerintah adalah perluasan lapangan kerja. Perluasan lapangan kerja dapat dilakukan melalui instrumen kebijakan fiskal dan moneter, penumbuh kembangkan usaha-usaha ekonomi produktif, dan industrialisasi di perdesaan, seperti dijelaskan pada point (1) di atas.

Untuk meningkatkan upah buruh, jalan yang aman untuk ditempuh adalah melalui stimulus penciptaan lapangan kerja. Meluasnya lapangan kerja akan menggeser kurve demand atau permintaan, sehingga tingkat upah akan meningkat. Stimulan untuk menciptakan lapangan kerja dapat ditempu h melalui peningkatan investasi. Peningkatan investasi tidak harus menurunkan suku bunga bank, tetapi memperluas akses unit produksi rakyat untuk memperoleh pinjaman di lembaga keuangan bank.

Pertanian

Di sektor produksi, Problem ekonomi kerakyatan di sektor pertanian, sektor pedagangan, sektor kehutanan, sektor pertambangan, sektor industri, tidak sama. Dari model produksi di sektor pertanian rakyat , problem yang dihadapi mencakup aspek permodalan (K), aspek ketenagakerjaan (L), dan aspek teknologi produksi (A). Pertanian rakyat dengan unit skala usaha yang kecil-kecil (rata-rata 0,4 ha), cukup sulit untuk meningkatkan efisiensinya. Pengadaan sarana produksi pertanian dalam jumlah sedikit akan meningkatkan harga perunit sarana produksi, dan akibatnya biaya produksi per unit produk menjadi tinggi. Dengan produksi kecil dan keuntungan kecil, akan menjadi kendala untuk terjadinya akumulasi kapital di setiap unit produksi. Akibatnya hampir tidak pernah terjadi investasi baru di sektor ini, baik dalam bentuk pengadaan alat-alat mekanisasi pertanian, maupun perluasan lahan.

Dengan skala usaha kecil-kecil dengan jumlah jutaan dan tidak ada keterkiatan antara satu dengan yang lain, menyebabkan posisi tawar mereka baik di pasar input maupun di pasar output, sangat lemah. Di pasar input mereka berhadapan dengan monopoli, sedang di pasar output mereka menghadapi monopsoni. Oleh sebab itu, jalan keluar yang relatif baik adalah melalui merger antarunit usaha pertanian atau coorporate farming. Melalui coorporate farming (CF), produksi pertanian dilakukan melalui unit-unit perusahaan pertanian yang saham seluruhnya dimiliki oleh petani yang bersangkutan. Model CF tidak saja diterapkan untuk pertanian tanaman pangan, tetapi juga untuk perkebunan. Fakta empirik menunjukkan bahwa model kemitraan dalam bentuk perkebunan inti rakyat, ternyata juga tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.

Perdagangan

Struktur usaha di sektor perdagangan, seperti kita ketahui bersama, terdiri dari unsur distributor, retail besar, dan retail kecil. Perusahaan distributor pada umumnya dimiliki atau merupakan anak perusahaan dari produsen atau dimiliki oleh perusahaan terbatas yang pemilik bukan produsen tetapi sebagian sahamnya dimiliki oleh produsen. Pemilikan saham di distributor dan retail besar, pada umumnya hanya oleh sebagian kecil orang.

Dalam rangka penguatan ekonomi kerayatan, struktur pemilikan saham di distributor dan retail besar, perlu dilakukan peninjauan kembali. Intinya adalah, sebanyak-banyaknya warga negara harus memiliki saham di sektor perdagangan. Bentuknya adalah, retail-retail kecil harus membentuk koperasi. Melalui koperasi ini, retail-retail kecil memiliki saham di retail besar dan di distributor.

Kehutanan dan Pertambangan

Selama ini konsep bahwa bumi air dan segala isinya dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat , dipahami kekayaan alam, khususnya kekayaan hutan dan bahan galian dikuasai negara, lalu oleh pemerintah sebagai wakil negara mengkonsesikan kepada pihak swasta (misalnya dalam bentuk HPH, kontrak karya), kemudian penerimaan bagi hasil dan pajak atas eksploitasi sumber daya alam tersebut dibagi dua, sebagian diberikan kepada pemerintah daerah dan sebagian lagi untuk pemerintah pusat. Bagian daerah tersebut selanjutnya untuk membiayai pembangunan di daerahnya dan bagi pusat dibagikan kepada daerah bukan penghasil dan atau digunakan pusat untuk untuk membiayai pembangunan nasional. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau penduduk dimana sumber daya alam itu berada, kadang-kadang tidak merasakan manfaat atas eksploitasi sumber daya alam yang bersangkutan. Bahkan penduduk lokal harus menanggung biaya eksternalitas disekonomi yang ditimbulkan dari kegiatan eksploitasi dimaksud.

Pengakuan atas pemilikan komunal terhadap sumber daya alam yang selanjutnya melibatkan masyarakat lokal dalam eksploitasi, merupakan pilihan kebijakan yang yang cukup baik bila ditinjau dari aspek politik, aspek ekonomi, dan aspek keberlanjutan. Melalui pengakuan hak kepemilikan komunal, masyarakat bersama pemerintah secara bersama-sama dapat: (1) mengkonsesikan sepenuhnya kepada pihak investor dengan pemilikan saham bersama antara pemerintah, masyaakat lokal, dan investor, (2) melakukan kerja sama dengan pihak investor dengan pola Kerja Sama Operasional (KSO), atau (3) bersama pemerintah membentuk perusahaan yang akan mengeksploitasi sumber daya alam yang bersangkutan (MASYARAKAT

SEKTOR SWASTA

PEMERINTAH

Idle

idle

Pemerintah

(dg garansi dalam bentuk deposito)

Bunga Deposito

Untuk biaya fasilitasi

LEMBAGA KEUANGAN

BANK

USAHA KECIL,

MIKRO, DAN

MENENGAH

Masyarakat

* Penulis adalah Staf Ahli pada Proyek Pengembangan Prasarana Perdesaan di Bappenas, dan staf pengajar Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta.

Pasal 27 UUD 1945: bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pasal 33 1945: bahwa ekonomi nasional disusun dalam bentuk usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan.

Menurut data statistik, pada tahun 1970 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai sekitar 60 juta orang. Tahun 1990 jumlah penduduk miskin turun menjadi 27,2 juta jiwa dan pada tahun 1993 jumlah penduduk miskin turun 25,5 juta jiwa. Pada awal krisis ekonomi yaitu tahun 1996 jumlah penduduk miskin tinggal 15,5 juta jiwa. Perhitungan sesitivitas dari data Sesenas menunjukkan bahwa bila batas garis kemiskinan dinaikkan dari pendapatan Rp 930 perhari untuk kota dan Rp 608 hari untuk desa, menjadi Rp 1.000,- per hari, maka jumlah orang miskin di Indonesia akan meningkat dari 25,5 juta menjadi 77 juta. Dari 77 juta ini 67 juta adalah orang yang tinggal di perdesaan dan 10 juta tingal di perkotaan. Bila analisis sensitivitas ini dilanjutkan dengan melihat jumlah penduduk Indonesia yang mengkonsumsi di bawah Rp 2.000 per hari atau Rp 60.000,- per bulan, maka dari data Susenas tahun 1993, jumlah orang yang hidup dengan konsumsi di bawah Rp 2.000,- per hari mencapai 82persen penduduk Indonesia. Fakta empirik ini setidaknya dapat digunakan sebagai acuan untuk mempertanyakan relevansi dan efektivitas program-program khusus penganggulangan kemiskinan. Hasil SUSENAS tahun 1996 yang dilakukan oleh BPS, dari 26 propinsi, hanya ada satu propinsi, yaitu propinsi Kalimantan Tengah, yang jumlah penduduknya miskinnya tidak bertambah bila dibandingkan jumlah penduduk miskin pada tahun 1993 dengan tahun 1996. Sedang di 25 propinsi lainnya jumlah penduduk miskinnya meningkat. Kemudian kalau dilihat sebaran kabupaten yang penduduk miskinnya meningkat, maka persentasenya mencapai 36,08persen dari total kabupaten yang ada. Artinya, dari total kabupaten yang ada, ada 36,08persen kabupaten yang jumlah penduduk miskinnya bertambah, bila dibandingkan jumlah penduduk miskin tahun 1993 dengan jumlah penduduk miskin tahun 1996. Perubahan kesenjangan pendapatan antar golongan penduduk, dari data SUSENAS tahun 1996, ternyata persentase kabupaten yang kesenjangan pendapatan masyarakatnya makin buruk mencapai 50,52persen dari total kabupaten. Dari 26 propinsi (Tabel 1), hanya propinsi DKI Jakarta yang kesenjangan pendapatan antar golongan penduduk mengalami perbaikan di semua kota. Sedang di 25 propinsi lainnya, kesenjangan pendapatan antar golongan penduduk justru makin buruk di beberapa kabupaten/kota. Di Propinsi Jawa Timur misalnya, 44,44persen kabupaten, kesenjangan pendepatan antar golongan penduduk justru makin memburuk dari tahun 1993 hingga tahun 1996.

Pada tahun 2001, resio hutang terhadap PDB telah mencapai 90persen.

Jumlah Input yang ditawarkan dan yang diminta sama jumlahnya dalam perekonomian; atau jumlah output yang ditawarkan sama dengan jumlah output yang dminta dalam perekonomian.

Misalnya di sektor pertanian, pada skala produksi 0,4 ha maka tidak mungkin petani menggunakan teknologi pengolahan tanah yang lebih efisien, menggunakan tekonolgi pemberantasan hama dan penyakit secara efisien. sektor pertanian akan lebih efisien, kalau skala produksinya diubah menjadi skala produksi besar.

C:\Budi Cahyono\Gado-Gado\Majalah PP\Th 2001\Edisi-25\Mardi Yatmo Hutomo.doc

# 6

_1064178135.unknown

_1064182942.unknown

_1064183619.unknown

_1064185897.unknown

_1064353554.unknown

_1064354193.unknown

_1064358493.unknown

_1064358512.unknown

_1064353590.unknown

_1064186059.unknown

_1064188071.unknown

_1064185935.unknown

_1064185700.unknown

_1064185724.unknown

_1064183108.unknown

_1064183225.unknown

_1064183583.unknown

_1064178323.unknown

_1064182271.unknown

_1064182055.unknown

_1064182090.unknown

_1064179083.unknown

_1064182032.unknown

_1064178177.unknown

_1064178195.unknown

_1064178152.unknown

_1060937579.unknown

_1063892114.unknown

_1064176837.unknown

_1064177892.unknown

_1064177923.unknown

_1064177816.unknown

_1064177849.unknown

_1064176779.unknown

_1060972516.unknown

_1063891705.unknown

_1063892090.unknown

_1061020244.unknown

_1063891454.unknown

_1060972542.unknown

_1060972341.unknown

_1060972436.unknown

_1060938597.unknown

_1060766729.unknown

_1060766869.unknown

_1060767683.unknown

_1060768934.unknown

_1060769517.unknown

_1060773310.unknown

_1060937553.unknown

_1060769599.unknown

_1060769381.unknown

_1060769454.unknown

_1060768754.unknown

_1060766928.unknown

_1060767025.unknown

_1060767659.unknown

_1060766904.unknown

_1060766803.unknown

_1060766839.unknown

_1060766769.unknown

_1060551738.unknown

_1060551815.unknown

_1060766687.unknown

_1060551779.unknown

_1060551683.unknown

_1060551713.unknown

_1060551662.unknown