Eiko San Oid

21
Eikosanoid, Intoleransi Aspirin dan Saluran Nafas Atas – Standar Terkini dan Kemajuan Terbaru Terapi Desensitisasi O. Pfaar, L. Klimek Pusat Rhinologi dan Alergi, Wiesbaden, Jerman Pada tahun 1992, Widal, dkk. pertama kali mendeskripsikan reaksi intoleransi terhadap asam asetilsalisilat (ASA, aspirin) dan terhadap obat anti inflamasi nonsteroid lainnya (NSAIDs). Gambaran klinisnya mempunyai gejala trias klasik (Trias Samters) yaitu aspirin menginduksi asma bronkial (dengan serangan asma akut yang berat), sensitivitas aspirin serta rhinosinusitis kronis dan polip nasal. Pada beberapa kasus, polip nasal merupakan gejala awal sensitivitas ASA yang mengindikasikan saluran nafas atas terlibat dalam proses patogenesis. Karena itu, fokus pada artikel ini pada saluran nafas atas pada pasien dengan intoleransi ASA. Pada dekade terakhir, tidak adanya bukti menunjukkan bahwa intoleransi ASA berhubungan dengan metabolisme abnormal asam arakidonat yang menyebabkan produksi leukotrien (LTs) yang berlebihan. Hasil ketidakseimbangan eikosanoid leukotrien dan prostaglandin dapat menjadi kunci penting patofisiologi penyakit ini. Insidensi hipersensitivitas aspirin populasi keseluruhan mulai dari 0,6% sampai 2,5% dan pada pasien asma dari 4,3% sampai 11%. Selain riwayat pasien, challenge tests dengan Lysin-aspirin dilakukan sebagai pilihan diagnostik. Selain terapi farmakologi dan bedah, terapi 1

Transcript of Eiko San Oid

Page 1: Eiko San Oid

Eikosanoid, Intoleransi Aspirin dan Saluran Nafas Atas –

Standar Terkini dan Kemajuan Terbaru Terapi Desensitisasi

O. Pfaar, L. Klimek

Pusat Rhinologi dan Alergi, Wiesbaden, Jerman

Pada tahun 1992, Widal, dkk. pertama kali mendeskripsikan reaksi intoleransi terhadap asam

asetilsalisilat (ASA, aspirin) dan terhadap obat anti inflamasi nonsteroid lainnya (NSAIDs). Gambaran

klinisnya mempunyai gejala trias klasik (Trias Samters) yaitu aspirin menginduksi asma bronkial

(dengan serangan asma akut yang berat), sensitivitas aspirin serta rhinosinusitis kronis dan polip nasal.

Pada beberapa kasus, polip nasal merupakan gejala awal sensitivitas ASA yang mengindikasikan

saluran nafas atas terlibat dalam proses patogenesis. Karena itu, fokus pada artikel ini pada saluran

nafas atas pada pasien dengan intoleransi ASA. Pada dekade terakhir, tidak adanya bukti menunjukkan

bahwa intoleransi ASA berhubungan dengan metabolisme abnormal asam arakidonat yang

menyebabkan produksi leukotrien (LTs) yang berlebihan. Hasil ketidakseimbangan eikosanoid

leukotrien dan prostaglandin dapat menjadi kunci penting patofisiologi penyakit ini. Insidensi

hipersensitivitas aspirin populasi keseluruhan mulai dari 0,6% sampai 2,5% dan pada pasien asma dari

4,3% sampai 11%. Selain riwayat pasien, challenge tests dengan Lysin-aspirin dilakukan sebagai

pilihan diagnostik. Selain terapi farmakologi dan bedah, terapi desensitisasi ASA merupakan satu-

satunya terapi spesifik. Seperti dijelaskan pertama kali oleh Stevenson, dkk. pada awal 1984,

pemberian oral dengan maksud desensitisasi awal dimana dosis aspirin naik bertahap diikuti dosis

tetap tiap harinya. Beberapa tahun terakhir ini, banyak publikasi berbagai protokol desensitisasi dan

rute pemberian. Saat ini, rute intravena sebagai awal desentisisasi telah dijelaskan dimana dapat

memberikan kemungkinan terapi baru dalam penatalaksanaan pasien dengan intoleransi ASA.

Key words: Trias Samter, polip nasal, sensitif aspirin, intoleransi aspirin, desensitisasi aspirin, rute

intravena.

1

Page 2: Eiko San Oid

PENDAHULUAN

Segera setelah aspirin (asam asetilsalisilat: ASA) ditemukan pada kasus reaksi

anafilaktoid berat setelah meminum aspirin yang dijelaskan oleh Hirschberg pada

tahun 1899 (1). Widal, dkk. adalah yang pertama menggambarkan hubungan

sensitivitas aspirin, Aspirin-induced Asthma (AIA) dan polip nasal pada tahun 1922 (2). Gambaran klinis secara keseluruhan kemudian ditunjukkan dalam studi Samter

dan Beers (3). Pada beberapa kasus, polip nasal muncul sebagai gejala awal

sensitivitas ASA (4). Ini dapat mengindikasikan bahwa saluran nafas atas terlibat

dalam proses patogenesis. Karena itu, penekanan pada artikel ini terfokus pada

saluran nafas atas pada pasien dengan intoleransi ASA.

Intoleransi ASA: eikosanoid dan metabolisme asam arakidonat.

Dekade terakhir ini, pengetahuan tentang mekanisme patofisiologi yang

mendasari intoleransi ASA difokuskan dalam beberapa studi. Telah ditemukan bukti

bahwa patogenesis intoleransi aspirin bukan reaksi yang dimediasi IgE tetapi karena

metabolisme abnormal asam arakidonat yang mengimplikasi jalur Lipooksigenase

(LO) dan siklooksigenase (CO) (4,5). Deviasi ini menghasilkan ketidakseimbangan

sintesis kedua eikosanoid, leukotrien dan prostaglandin. Prostaglandin anti inflamasi,

terutama E2, menurun dan sintesis sisteinil-leukotrien seperti leukotrien-A4, -B4, -C4, -

D4 meningkat (5,6) (Gambar. 1).

Membran Fosfolipid2

Page 3: Eiko San Oid

Fosfolipase A2

Asam Arakidonat

5-Lipoxygenase COX 1

Leukotrien LTA4 Prostaglandin A2

PGD2 PGE2 = Bronkodilatasi

PGF2α Vasodilatasi

Gambar. 1. Mekanisme pasti intoleransi aspirin dan juga terapi desensitisasi ASA masih belum jelas.

Buktinya bahwa intoleransi ASA tidak berhubungan dengan reaksi IgE tetapi karena metabolisme

abnormal asam arakidonat melibatkan jalur Lipoxygenase (LO) dan Cyclooxygenase (CO). Deviasi ini

menghasilkan ketidakseimbangan sintesis eikosanoid terhadap leukotrien proinflamasi yang dominan.

Prevalensi intoleransi ASA

Intoleransi ASA seharusnya diabaikan: pada populasi 500 pasien dengan AIA

dipelajari di European Network of Aspirin-Induced Asthma (AIANE), 18% tidak

diketahui intoleransi aspirin sebelum meminum aspirin (7). Yang lebih menarik, pasien

dengan AIA juga menderita rhinosinusitis walaupun 34% tidak tahu penyakitnya

sebelum dilakukan percobaan (8,9). Data lain mengungkapkan rata-rata insidensi dari

0,6% sampai 2,5% dan dewasa dengan asma 4,3% sampai 11% (8).

3

Leukotrien LTA4

LTB4 = Kemotaksis

LTC4 = Vasokontriksi

Bronkospasme

Permeabilitas ↑

LTE4 = Permeabilitas ↑

PGD2

PGF2α

PGE2 = Bronkodilatasi

Vasodilatasi

Page 4: Eiko San Oid

Gejala Klinis

Pada kebanyakan kasus sensitivitas ASA didapatkan pola khas: rhinitis sering

menjadi gejala klinis pertama selama tiga dekade, sering setelah infeksi pernafasan

akibat virus. Setelah beberapa bulan seiring kongesti nasal kronik, hiposmia, rhinore

kronik, polip nasal dapat dijumpai (8,9). Akhirnya, penyakit dengan AIA: 20% pasien

AIA mengalami asma ringan dan intermiten, 30% asma sedang yang dapat dikontrol

dengan steroid inhalasi dimana 50% pasien menjadi kronik, asma ketergantungan

kortikoid sering dihubungkan oleh reaksi anafilaktoid sistemik (9).

Saluran Nafas Atas: “key-area” intoleransi ASA

Rhinosinusitis ditemukan sebagai gejala dominan pada 500 pasien dengan

intoleransi ASA pada berbagai pusat survei Szczeklik dan Nizankowska (10).

Menariknya, gejala nasal ditemukan pada rata-rata umur 30 tahun, sering sebagai

hasil infeksi virus pernafasan. Pada kasus ini sekret dari hidung menahun dan sering

berair. Sensasi hiposmia ditemukan pada 55%. Pada umumnya gejala pertama asma

muncul dua tahun kemudian.

Polip Nasal

Pada 70% pasien dengan intoleransi ASA dapat ditemukan polip nasal,

sedangkan pada populasi keseluruhan prevalensi polip nasal hanya sekitar 4% (10,11).

Tipe polip pasien intoleransi ASA adalah pertumbuhan agresifnya yang melibatkan

semua sinus paranasal bilateral (12). Dengan cara CT-Scan pansinus dapat

membuktikan secara radiologi pada semua kasus dengan AIA pada studi Amerika (9).

Hubungan patogenesis antara intoleransi ASA dan asal mula polip nasal

masih belum jelas: agen infeksius seperti virus, bakteri atau jamur sebagai faktor

primer yang dapat mengaktivasi epitel sel nasal dan sitokin proinflamasi seperti

eotaksin dan faktor pertumbuhan, dan memicu proses inflamasi (11,13,14). Penjelasan

lebih lanjut yang mungkin adalah perbedaan gen HLA (15), penurunan angka apoptosis

sel inflamasi lokal seperti eosinofil (16) atau peranan berbeda dari siklooksigenase 1 4

Page 5: Eiko San Oid

dan siklooksigenase 2 yang mempunyai fungsi regulasi khusus dalam patogenesis

polip nasal (17).

Yang menarik, angka rekurensi polip nasal setelah reseksi pada pasien

intoleransi ASA sangat tinggi: dalam studi Jantii-Alanco, dkk. angka rekurensi

hampir tiga kali lebih besar pada AIA daripada asma intrinsik nonintoleran (18).

Diagnosis

Empat temuan khas dari riwayat pasien sesuai terhadap intoleransi aspirin dan

NSAID lainnya (5,6,7): i) gejala khas reaksi pernafasan setelah pemberian aspirin; ii)

serangan asma disertai kongesti nasal kronik dan rhinore yang cair dan banyak; iii)

frekuensi tinggi serangan asma berat; iv) frekuensi tinggi polip nasal.

Sejauh ini, validasi dan tingkat kepercayaan tes in vitro tidak tersedia untuk

diagnosis intoleransi aspirin. Tes provokasi masih sebagai alat diagnostik yang valid

terhadap sensitivitas aspirin: namun, challenge test diragukan dan hanya digunakan

pada keadaan klinis khusus yang dipersiapkan untuk reaksi anafilaksis. Empat tipe tes

aspirin dapat dipakai tergantung cara pemberian: oral, inhalasi, nasal dan intravena (7).

Pada kasus dengan gejala nasal yang dominan, nasal challenge test dengan

aspirin merupakan metode pilihan karena tingkat keamanannya dan kehandalannya (19). Pada kasus dengan hasil tes negatif pada nasal challenge test tetapi dugaan kuat

AIA dari riwayat pasien, bronkial dan atau oral challenge test harus dipakai (5,7).

Terapi

Prevensi dengan COX-1 selektif

Aturan umum terhadap penatalaksanaan AIA sesuai dengan petunjuk

penanganan asma. Lebih lanjut, serangan asma pada AIA sering berat, dan berpotensi

diterapi seumur hidup. Ini mendasari pentingnya mengedukasi pasien untuk

menghindari ASA dan semua reaksi lainnya, nonselektif inhibitor COX (Tabel 1) (5,6).

Namun, COX-2 selektif aman digunakan pada sebagian besar pasien yang sensitif

aspirin (20).5

Page 6: Eiko San Oid

Tabel 1. NSAID yang bereaksi dengan aspirin (5).

Jalur Penghambat NSAID

Inhibitor dominan COX-1 dan COX-2

Piroxicam

Indomethacin

Sulindac

Tolmetin

Diclofenac

Naproxen

Naproxen sodium

Ibuprofen

Fenoprofen

Ketoprofen

Flubiprofen

Asam Mefenamat

Meklofenamat

Ketorolac

Etodolac

Diflunisal

Oksifenbutazon

Fenilbutazon

Inhibitor lemah COX-1 dan COX-2Asetaminofen

Salsalat

Inhibitor relatif COX-2Nimesulide

Meloxicam

Inhibitor selektif COX-2Celecoxib

Rofecoxib

Pembedahan

Pertumbuhan polip di nasal dan sinus paranasal yang sangat besar di reseksi

secara endoskopi atau teknik mikroskopi. Namun, angka rekurensi cukup tinggi: studi

prospektif 227 pasien operasi polip nasal antara 1993 dan 2001 membuktikan angka

6

Page 7: Eiko San Oid

rekurensi yang sangat tinggi pada grup AIA dibandingkan dengan pasien yang toleran

ASA (21).

Desensitisasi Aspirin

Pada tahun 1976, Zess dan Lockey menjelaskan penemuan paradoksal bahwa

pasien intoleransi ASA mengalami 3 hari periode refrakter setelah diberi aspirin oral (22). Laporan ini menandai pilihan terapi baru dalam penatalaksanaan pasien sensitif

aspirin: apakah mungkin menangani proses inflamasi saluran nafas dengan

medikamentosa yang sama, yang disangka menyebabkan gejala. Berdasarkan temuan,

beberapa protokol desensitisasi dan rute pemberian telah diuraikan dua dekade

terakhir: bronkial, endonasal, oral, rute intravena.

i) Pemberian bronkial

Rute pemberian ini dikembangkan dengan dasar toleransi refrakter dapat

dicapai dengan provokasi ulang menggunakan inhalasi lysin-aspirin (23).

ii) Pemberian endonasal

Pada kasus dengan gejala nasal yang dominan seperti polip rhino-nasal rute

ini menunjukkan efektifitasnya. Sebuah studi Patriarca, dkk. 43 pasien mengalami

polip nasal desensitisasi intranasal ditunjukkan dengan peningkatan dosis lisin

asetilsalisilat (LAS) dari 20, 200, dan 2000 mikrogram aspirin sampai dosis

maksimum 2000 mikrogram tiap minggu dicapai (24). Pemantauan selama 5 tahun,

angka rekurensi polip nasal rendah pada kelompok yang diberi aspirin

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Saat ini, first randomized, double-blind,

kontrol plasebo, percobaan cross-over desensitisasi topikal dengan dosis rendah

(16 mg) pemberian intranasal pada pasien sensitif aspirin dengan polip nasal telah

dilaporkan (25). Studi ini menunjukkan hanya efek klinis buruk dengan terapi

desensitisasi endonasal tetapi peningkatan yang signifikan di tingkat mikroskopik.

iii) Pemberian oral7

Page 8: Eiko San Oid

Stevenson, dkk. yang pertama menjelaskan dua kasus pasien AIA yang

menjalani terapi desensitisasi dengan peningkatan dosis aspirin diikuti dengan

terapi harian (26). Menariknya, kedua pasien menunjukkan perbaikan terhadap

asma sensitif aspirin sebaik penurunan polip nasal. Hanya 4 tahun kemudian

kelompok yang sama dari first randomized, double-blind, kontrol plasebo,

percobaan cross-over desensitisasi aspirin pada 25 pasien dengan asma sensitif

aspirin dengan dosis harian antara 325 dan 1300 mg setelah 3 bulan periode (27).

Survei ini dapat menjelaskan perbaikan signifikan gejala rhino-nasal sebaik

penurunan kebutuhan kortikosteroid nasal dari kelompok ASA yang diterapi

dibandingkan dengan plasebo. Namun, hanya setengah pasien mengalami

perbaikan gejala asma.

Sejumlah 107 pasien yang didiagnosa sensitif aspirin dengan gejala

rhinosinusitis dan AIA dilibatkan dalam survei retrospektif 6 tahun yang lalu.

Studi ini, 65 pasien yang diterapi dengan desensitisasi aspirin dimana 42 pasien

kelompok kontrol dihindari semua NSAID. Data ini, jelas menunjukkan

keuntungan klinis terapi desensitisasi pasien sensitif aspirin berdasarkan

penurunan jumlah kunjungan rumah sakit dan IGD, infeksi saluran nafas atas dan

operasi sinus sebaik perbaikan sensasi penciuman. Menariknya, 20% dari 65

pasien kelompok terapi dilaporkan mengalami keluhan di perutnya.

Antara 1988 dan 1994 studi pantauan jangka panjang pada desensitisasi

aspirin dengan dosis oral harian 1300 mg telah dilantik (29). Pentingnya studi ini

adalah penemuan bahwa desensitisasi aspirin kenyataannya mengurangi

pertumbuhan agresif dan angka rekurensi polip sinunasal pasien sensitif aspirin

setelah waktu yang lama. Kebutuhan operasi sinunasal menurun dari 1 operasi per

3 tahun menjadi 1 operasi per 9 tahun. Namun, jumlah kunjungan IGD dan

kebutuhan kortikosteroid inhalasi tidak berubah dalam studi ini.

Studi selanjutnya pada 172 pasien dengan desain studi yang sama

menjelaskan penurunan angka sinusitis purulen dari rata-rata 5 kali per tahun

sebelum terapi menjadi kurang dari setengahnya (30). Menariknya, respon klinis 8

Page 9: Eiko San Oid

angka terapi dari 67% terbukti segera 6 bulan yang menunjukkan bahwa efek

terapi awal terapi desensitisasi. Lebih lanjut, hasil ini bertahan selama 1 sampai 5

tahun.

Disisi lain, 9% terhentinya terapi jangka panjang karena gejala gastritis yang

rendah dibandingkan data dari kelompok yang sama dari 1996 (26). Penulis

menghubungkan temuan ini terhadap penggunaan misoprostol dan proton pump

inhibitor, keduanya tersedia saat ini.

iv) Pemberian intravena

Publikasi studi saat ini efek samping yang mungkin dengan menggunakan rute

intravena telah dipelajari untuk desensitisasi ASA (31). Sebanyak 36 pasien dengan

riwayat jelas intoleransi ASA, polip sinunasal (rekuren) dan hasil tes yang positif

menggunakan sel darah putih perifer (32) diterapi dengan menaikkan dosis lysine-

aspirin intravena dibawah kondisi rumah sakit (Tabel. 2a dan Tabel. 2b). Jumlah

total reaksi sistemik diobservasi sebanyak n = 27 atau 6,6% dari semua dosis

terapi. Semua reaksi sistemik, 81% reaksi derajat 1 dan 19% reaksi derajat 2.

Reaksi sistemik dari derajat 3 dan 4 tidak ditemukan.

Tabel 2a. Adapsi desensitisasi oleh aplikasi i.v. pada pasien dengan intoleransi tingkat rendah (31).

Hari (Rumah Sakit) Dosis harian lysin-aspirin dalam mg (diberikan pagi dan sore)

1

2

3

4

5

50 50

100 100

200 200

300 300

400 400

Dosis maintenance 300 mg aspirin tiap hari, peroral

Tabel 2b. Adaptasi desensitisasi oleh aplikasi i.v. pada pasien dengan intoleransi tingkat tinggi (31).

Hari (Rumah Sakit) Dosis harian lysin-aspirin dalam mg (diberikan pagi dan sore)

1 25 25

9

Page 10: Eiko San Oid

2

3

4

5

6

50 50

100 100

200 200

400 400

500 500

Dosis maintenance 300 mg aspirin tiap hari, peroral

Survei ini menunjukkan rute intravena untuk fase peningkatan awal

desensitisasi ASA sebagai prosedur aman tanpa komplikasi berat dibandingkan

dengan rute peroral. Kontras dengan rute oral, rute intravena mempunyai

keuntungan memutus aplikasi ASA dengan menghentikan terapi infus dalam

kasus (permulaan) reaksi sistemik. Tidak diragukan, banyak studi dibutuhkan

investigasi aplikasi intravena melihat aspek keamanannya dan perbandingan

terhadap aplikasi oral dalam fase awal terapi.

DAFTAR PUSTAKA

10

Page 11: Eiko San Oid

1. Hirschberg VG. Anaphylactoid reaction to aspirin (1902) (classical article). Allergy Proc

1990; 11: 249-252.

2. Widal MF, Abrami P, Lenmoyez J. Anaphylaxie et idiosyncrasie. Presse Med 1922; 30:

189-192.

3. Samter M, Beers RF. Intolerance to aspirin. Clinical studies and consideration of its

pathogenesis. Ann Intern Med 1968; 68: 975-983.

4. Szczeklik A, Stevenson DD. Aspirin-induced asthma: Advances in pathogenesis,

diagnosis, and management. J Allergy Clin Immunol 2003; 111: 913-921.

5. Babu KS, Salvi S. Aspirin and Asthma. Chest 2000; 118: 1470-1478.

6. Pfaar O, Klimek L. Aspirin desensitization in aspirin intolerance: update on current

standards and recent improvements. Curr Opin Allerg Clin Immunol 2006; 6: 161-166.

7. Szczeklik A, Nizankowska E, Duplaga M. Natural history of aspirin-induced asthma.

AIANE Investigators. European Network on Aspirin-Induced Asthma. Eur Respir J

2000; 16(3): 432-436.

8. Szczeklik A, Sanak M, Niz E, Kielbasa B. Aspirin intolerance and the cyclooxygenase-

leukotriene pathways. Curr Opin Pulm Med 2004; 10: 51-56.

9. Berges-Gimeno MP, Simon RA, Stevenson DD. The natural history and clinical

characteristics of aspirin-exacerbated respiratory disease. Ann Allergy Asthma Immunol

2002; 89(5): 474-478.

10. Szczeklik A, Nizankowska E. Clinical features and diagnosis of aspirin induced asthma.

Thorax 2000; 55 (Suppl 2): 42-44.

11. Bachert C, Watelet JB, Gevaert P, Van Cauwenberge P. Pharmacological management of

nasal polyposis. Drugs 2005; 65(11): 1537-1552.

12. Picado C, Mullol J. The nose in aspirin-sensitive asthma. In Eicosanois, aspirin and

asthma. A Szczeklik, RJ Gryglewski, J Vane (eds). New York, Marcel Dekker 1998 pp.

493-505.

13. Pawliczak R, Lewandowska-Polak A, Kowalski ML. Pathogenesis of nasal polyps: an

update. Curr Allergy Asthma Rep 2005; (6): 463-471.

14. Min JW, Jang AS, Park SM, et al. Comparison of plasma eotaxin family level in aspirin-

induced and aspirin-tolerant asthma patients. Chest 2005; 128(5): 3127-3132.

11

Page 12: Eiko San Oid

15. Molnar-Gabor E, Endreffy E, Rozsasi A: HLA-DRB1. –DQA1, and –DQB1 genotypes in

patients with nasal polyposis. Laryngoscope 2000; 110(3 Pt 1): 422-425.

16. Kowalski ML, Grzegorczyk J, Pawliczak R, Kornatowski T, Wagrowska-Danilewicz M,

Danilewicz M. Decreased apoptosis and distinct profile of infiltrating cells in the nasal

polyps of patients with aspirin hypersensitivity. Allergy 2002; 57(6): 493-500.

17. Gosepath J, Brieger J, Mann WJ. New immunohistologic findings on the differential role

of cyclooxygenase 1 and cyclooxygenase 2 in nasal polyposis. Am J Rhinol 2005; 19(2):

111-116.

18. Jantii-Alanco S, Holopainen E, Malmberg H. Recurrence of nasal polyps after surgical

treatment. Rhinology 1989; 8: 59-64.

19. Milewski M, Mastalerz L, Nizankowska E. Nasal provocation test with lysine-aspirin for

diagnosis of aspirin-sensitive asthma. J Allergy Clin Immunol 1998; 101: 581-586.

20. Stevenson DD, Simon RA. Lack of cross reactivity between Rofecoxib and aspirin-

sensitive patients with asthma. J Allergy Clin Immunol 2001; 108: 47-51.

21. Albu S, Tornescu E, Mexca Z, Nistor S, Necula S, Cozlean A. Recurrence rates in

endonasal surgery for polyposis. Acta Otorhinolaryngol Belg 2004; 58(1): 79-86.

22. Zeiss CR, Lockey RF. Refractory period to aspirin in a patient with aspirin-induced

asthma. J Allergy Clin Immunol 1976; 57(5): 440-448.

23. Schmitz-Schumann M, Schaub E, Virchow C. Inhalation provocation test with lysine-

acetylsalicylic acid in patients with analgetics-induced asthma. Prax Klin Pneumol 1982;

36(1): 17-21.

24. Patriarca G, Schiavino D, Nucera E, Papa G, Schinco, Fais G. Prevention of relapse in

nasal polyposis. Lancet 1991; 337(8755): 1488.

25. Parikh AA, Scadding GK. Intranasal lysine-aspirin in aspirin-sensitive nasal polyposis: a

controlled trial. Laryngoscope 2005; 115(8): 1385-1390.

26. Stevenson DD, Simon RA, Mathison DA. Aspirn-sensitive asthma: tolerance to aspirin

after positive oral aspirin challenges. J Allergy Clin Immunol 1980; 66: 82-88.

27. Stevenson DD, Pleskow WW, Simon RA, Mathison DA, Lumry WR, Schatz M. Aspirin-

sensitive rhinosinusitis asthma: a double blind cross over study of treatment with aspirin.

J Allergy Clin Immunol 1984; 73: 500-507.

12

Page 13: Eiko San Oid

28. Sweet J, Stevenson DD, Simon RA, Mathison DA. Long-term effects of aspirin

desensitization – treatment for aspirin-sensitive rhinosinusitis-asthma. J Allergy Clin

Immunol 1990; 85: 59-65.

29. Stevenson DD, Hankammer MA, Mathison DA, Christiansen SC, Simon RA. Aspirin

desensitization treatment of aspirin-sensitive patients with rhinosinusitis-asthma: long-

term outcomes. J Allergy Clin Immunol 1996; 98(4): 751-758.

30. Berges-Gimeno P, Simon RA, Stevenson DD. Long-term treatment with aspirin

desensitization in asthmatic patients with aspirin-exacerbated respiratory disease. J

Allergy Clin Immunol 2003; 111: 180-186.

31. Pfaar O, Spielhaupter M, Wrede H, et al. Aspirin desensitization on patients with aspirin

intolerance and nasal polyps – a new therapeutic approach by the intravenous route.

Allergologie 2006; 8: 322-331.

32. Schaefer D, Lindethal U, Wagner M, Bolcskei PL, Baenkler HW. Effect of prostaglandin

E2 on eicosanoid release by human bronchial biopsy specimens from normal and

inflamed mucosa. Thorax 1996; 51(9): 919-923.

13