Ego pLantum, Deus incrementum dabit

41
Pidato Pengukuhan Guru Besar RUANG DAN TEMPAT UNTUK BERBAGI Kebutuhan Rumah Bagi Wanita Pekerja Industri Pendekatan Psikologi Sosial Lilianny Sigit Arifin 6 Februari 2007 Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UNIVERSITAS KRISTEN PETRA

Transcript of Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Page 1: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Pidato Pengukuhan Guru Besar

RUANG DAN TEMPAT UNTUK BERBAGIKebutuhan Rumah Bagi Wanita Pekerja Industri

Pendekatan Psikologi Sosial

Lilianny Sigit Arifin6 Februari 2007

Jurusan ArsitekturFakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

UNIVERSITAS KRISTEN PETRASURABAYA

Page 2: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

belajar tentang dunia bisa dilakukan dengan membaca buku, tetapi

belajar tentang kehidupan hanya bisa dilakukan dengan membaca manusia

Tuhan sudah mengajarkan pada kita bahwa warna pelangi itu indah.Ciptakanlah pelangi dalam hidup ini.

jangan takut akan kehilangan warna kitakarena

saat kau berjalan hanya dengan sesama warna, pelangi itu tidak akan pernah muncul

tetapi berjalanlah bersama dengan warna yang lain

makahidupmu akan menjadi lebih indah

seindah pelangiyang diciptakan Tuhan

(lilianny s arifin)2007

2

Page 3: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Selamat Pagi Hadirin.Puji Syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena pagi ini saya mempunyai kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan Hadirin.

Yth. Ketua Senat Universitas Kristen Petra, Bapak Ir. Paul Nugraha, M.Eng, M.Ed. beserta segenap anggotanya.Yth. Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Petra, Prof. Dr. J.E.Sahetapy, S.H., M.A. dan anggota pengurusnya.Yth. Koordinator Kopertis Wilayah VII, Prof.Dr.Ir.H.Nadjadji Anwar, M.Sc.Yang saya kasihi rekan-rekan dosen.Yang saya cintai para mahasiswa.dan para undangan yang saya hormati.

Ibu Bapak, merupakan sebuah tradisi bagi sebuah perguruan tinggi untuk menggelar acara pidato pengukuhan, ketika dosennya mencapai jabatan akademik tertinggi sebagai Guru Besar. Acara seremonial seperti ini terkadang terlihat membosankan (semoga tidak hari ini) namun saya ingin mengajak hadirin untuk sebentar memahami arti kata “tradisi”.Perkataan ‘tradisi’, berasal dari bahasa latin “trado – transdo”, yang berarti ‘sampaikanlah kepada yang lain’. Banyak orang mencoba mendefinisikan apa itu tradisi. Namun aspek yang tak dapat dipungkiri bahwa dalam tradisi ada makna untuk melanjutkan ke generasi berikutnya.

Saya melihat nafas yang sama antara makna tradisi dan makna sebuah ilmu yang harus selalu disampaikan kepada orang lain, oleh sebab itu pagi ini dengan rendah hati saya akan menyampaikan pemikiran saya tentang makna sebuah “Ruang dan Tempat Untuk Berbagi” (A Place for Sharing) bagi para wanita pekerja industri dan akan saya akhiri dengan sebuah ajakan tentang makna A Place for Sharing, bagi kita semua sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan berakal budi. Oleh karena itu saya memberi penekanan judul pidato ini:

Ruang dan Tempat Untuk Berbagi “Dari Cerita Menjadi Pengetahuan”

Ibu, Bapak yang saya hormati, untuk melihat dari sudut pandang yang sama tentang istilah Kebutuhan Rumah (Housing Needs) perkenankanlah saya menyitir definisi-definisi yang pernah dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut,

3

Page 4: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Pemahaman Kebutuhan Rumah (“Housing Needs”)

Saat membicarakan masalah perumahan, istilah “kebutuhan/needs” sering digunakan dengan pengertian yang berbeda-beda, kadang diartikan secara kuantitatif atau kualitatif. Secara kuantitatif, kebutuhan rumah dengan cepat sekali dihubungkan dengan jumlah dari rumah yang dibutuhkan. Secara kualitatif, kebutuhan rumah mempunyai maksud pada kebutuhan setiap individu terhadap sebuah tipe rumah. Robinson (1979) memberikan definisi secara kuantitatif yang dihubungkan dengan standar minimum dan kemampuan ekonominya,

"... the quantity of housing that is required to provide accommodation of an agreed minimum standard and above for a population given its size, household composition, age distribution, etc. without taking into account the individual household's ability to pay for the housing assigned to it.” (quoted from King, 1998:14).

Di Indonesia, masalah “kebutuhan rumah” juga selalu menunjukkan pada jumlah rumah yang harus dibangun. Perkiraan jumlah kebutuhan rumah dihitung berdasarkan pertumbuhan penduduk dan koefisien rumah yang mengalami kerusakan. Menganut metoda penilaian kondisi rumah dari Amerika , rumah dibagi dalam 3 kategori: a) rumah permanen dengan standar baik; b) rumah semi-permanen dengan standar dan infrastruktur yang kurang namun bisa diperbaiki; c) rumah yang tidak bisa diperbaiki (reyot). Penelitian Struyk di Indonesia menyatakan,

"... (c) the housing needs are the result of a calculation of the household affordability with the households being classified into two categories, whether they can afford the unit allocated or require a subsidy; (d) the outcome is the number of houses that have to be upgraded and the number of new houses that have to be built" (Struyk, 1990: 24).

Pengertian secara kuantitiatif yang berhubungan dengan tipe bangunan juga sangat bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Kalau Glaeser (1985) melihat bahwa kebutuhan rumah akan lebih nyaman bila terbuat dari kayu dan kaca, dan menolak bahwa kebutuhan individu dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya penghuninya.

4

Page 5: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Hardoy dan Satterthwaite (1986: 247) memberikan fokus bahwa kebutuhan individu dan keluarga mempunyai masing-masing kebutuhannya akan rumah. Bagi kaum muda yang belum menikah kebutuhan rumah lebih didasarkan pada kemungkinan untuk membayar sedikit dan menabung sisanya, hal ini berbeda bagi keluarga dengan beberapa anak yang sudah mempunyai penghasilan tetap. Sedangkan Hole (1967:117) menyatakan bahwa kebutuhan akan rumah lebih baik didasarkan pada latar belakang sosial penghuni daripada sekedar membangun.

Mangin (1964), Hole (1967), Turner (1972), Hardoy dan Satterthwaite (1986) adalah beberapa pakar perumahan yang memberikan makna terhadap kebutuhan rumah secara kualitatif daripada kuantitatif. Tabel di bawah menunjukkan bahwa definisi secara kuantitatif lebih sering dipakai sebagai penentu kebijaksanaan. Mereka melihat kebutuhan rumah sebagai sebuah barang yang harus diproduksi sesuai permintaan pasar sesuai dengan teori ekonomi yang konvensional.

Tabel 1. Macam Definisi “kebutuhan rumah” (housing needs)

Sumber Definisi Housing NeedTurner, John F.C (1972, 174)

“... the conceptual error of understanding housing as a noun and of identifying values and objects instead of understanding housing as action and seeing values in the roles that procedures and product play in people’s lives.”

Scottish Housing Advisory Committee(1972, 11)

“Housing need has many dimensions. It involves consideration of the number of households in relation to the number of houses.”“… the quality and adequacy of houses and their environment, the relationship between the size of houses and households, the balance between different forms of tenure, the location, type and cost of existing houses, all have to be taken into account.”

Watson, C.J, et al.,(1974, 31)

“Housing need is the estimation of potential households in each of the projection years, representing the minimum number of dwellings that must be provided to meet the needs of the expected future population.”

Dolbeare, Cushing N (1976, 48, 50)

“Housing need is to estimate the housing production. As population has grown, so have housing needs.”

5

Page 6: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Tabel 1. Macam Definisi “kebutuhan rumah”(housing needs) (lanjutan)

Sumber Definisi Housing NeedLemer, Andrew C. (1981, 387)

“Housing need is the number of dwelling units required to accommodate all households at some particular standard.”

Prasong Eiam-anant (1982:141)

“The housing need derives from many factors. In order to analyze housing in more detail, one should break down housing needs into physical, economic and social components.”

Nasayao, Delia P. (1983, 10)

“Housing need is the number of dwelling units to be built or improved to provide households with separate units of acceptable quality.”

Robert R Nathan Associates, Inc. (1984, 8)

“Physical housing needs are projected for the number of new dwelling units required to meet population growth, the number of upgradeable units, the number of substandar units that are not upgradeable and therefore require replacement, and the number of additional dwelling units required to alleviate overcrowding.”

Joan Ash(1985, 27, 29-38)

“Quantitative housing need refers to the number of dwellings that are needed by the households.”“Qualitative housing need refers to the space standars, type of household.”

Ahmad, Kausar Bashir(1991, 157)

“Housing needs must be considered in respect of basic needs and cultural needs.”

Mathur, G.C(1993, 3)

“Housing need is to the number of units that estimated by the number of new households, replacement and backlog.”

Laveratt & Nash (1995:39)

The concept of housing need is invested with a number of political, emotional and social meanings. Moreover, it is not a static concept.

Dalam pemaparan ini saya lebih cenderung untuk memberikan fokus pada kebutuhan rumah secara kualitatif, tipe rumah yang seperti apa yang sesuai dengan kebutuhan wanita pekerja industri, macam pembayaran, hubungan relasi dengan pemilik rumah, dan lingkungan yang diharapkan.

6

Page 7: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Hadirin yang terhormat,

Dari definisi kebutuhan akan rumah tersebut di atas, terlihat bahwa untuk mengenali lebih dalam akan kebutuhan rumah perlu didekati dengan cara psikologi sosial, yaitu suatu cabang dari ilmu psikologi yang lebih menekankan pada respon psikologis individu terhadap stimulus yang berupa interaksi individu-individu tersebut dalam suatu masyarakat. Dalam paparan ini masyarakat atau kelompok masyarakat yang didekati adalah wanita pekerja muda. Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan yang mungkin dapat melengkapi pendekatan ilmu ekonomi. Dengan pendekatan psikologi sosial permasalahan kebutuhan rumah perlu dinyatakan secara berbeda.

Permasalahan Akan Kebutuhan Rumah

Sudah merupakan kegiatan tipikal, di setiap negara, pemerintah selalu mempersiapkan rumah yang siap pakai untuk masyarakat yang tidak mampu membeli rumah yang disediakan oleh pasar perumahan. Sehingga dasar pertimbangan pemerintah selalu berdasarkan pada kemampuan ekonomi yaitu masyarakat berpenghasilan rendah dan kemampuan finansialnya. Walaupun sulit untuk mengatakan bahwa pembangunan perumahan tidak harus hanya didasarkan pada kemampuan ekonomi, tetapi melihat beberapa perumahan menengah ke bawah yang kosong, maka perumahan seharusnya tidak hanya berdasarkan pada tingkatan ekonomi saja tetapi juga pada karakteristik penghuninya. Hal ini juga ditemukan oleh Michelson dalam studinya di Amerika,

“.... that because of the focus on income, families which had a low income due to poor health, lived in the same public housing with families which had a low income due to social problems, and that young migrants and aged people were provided with the same kind of accommodation as low-income families. It is not surprising that many families found public housing undesirable, because public housing is planned according to the economic status of the occupants rather than with their needs and their daily activities in mind”. Michelson (1977: 24)

Bila kita memakai dasar penghasilan, maka wanita pekerja industri akan dikategorikan sebagai masyarakat berpenghasilan sangat rendah sehingga kemampuan mereka atau daya bayar mereka rendah. Selama pemerintah

7

Page 8: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

membangun proyek perumahan dengan kategorisasi penghasilan, maka wanita pekerja industri tidak akan pernah memperoleh kesempatan rumah yang layak. Turner mengatakan bahwa kegagalan pemerintah dalam penyediaan rumah disebabkan oleh pemahaman yang tidak tepat terhadap target grup yang dilayani.

"… the reasons for the failure of conventional housing action - of programs and projects for replacement of substandar dwellings - were shown to lie in the mismatches between people's need and the housing supplied by institutions." Turner (1972: 174)

Kemampuan pemerintah dalam memformulasikan kebijakan penanaman modal asing dalam bidang industri dengan menawarkan biaya tenaga produksi yang murah, menjadi bumerang bagi upaya penyediaan perumahan. Secara tidak sengaja harusnya kebijakan perumahan juga murah, namun kenyataannya, daya bayar wanita pekerja industri tidak pernah masuk sebagai salah satu kebijakan perumahan. Adanya gap ini dikemukakan oleh Gilbert,

“The establishment of cheap labour force is helpful to industry but it is also detrimental. [The] national governments may respond to industrial interests, vaguely sympathetic to spontaneous settlements because of cheap labour it offers, by failing to formulate a consistency housing policy.” Gilbert (1992: 152)

Kebutuhan rumah bagi wanita pekerja industri tidak dapat dengan mudah disamakan sebagai rumah untuk berpenghasilan rendah. Studi dari Arifin (1996), Porpora (1995), Lie and Lund, (1994); Yap dan Rahman (1993), mengatakan bahwa sebagian besar wanita pekerja industri adalah gadis migran dan mereka mempunyai karakter yang berbeda dari sekedar berpenghasilan rendah. Hal ini juga diperkuat oleh Hardoy dan Satterthwaite bahwa berbeda kelompok berpenghasilan rendah berbeda kebutuhan tipe bangunannya,

"There has been a tendency for governments to assume that 'the poor' or 'lower-income groups' form a homogeneous category. 'Standard solutions' in the form of public housing projects or core housing or site and

8

Page 9: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

services schemes are seen as the answer." Hardoy and Satterthwaite (1986:247)

Pondok Boro di Surabaya, pada tahun 1985 juga tetap tidak diminati setelah setahun diresmikan (Silas, 1985). Kegagalan penyediaan rumah oleh pemerintah juga terjadi pada perumahan Pruit dan Igoe di St Louis, Amerika yang diruntuhkan tahun 1972. Peristiwa ini menunjukkan pemahaman para perencana dan arsitek yang kurang terhadap calon penghuninya. Kegagalan ini juga didukung oleh kebijakan politik yang lebih terpaku pada jumlah proyek yang harus dibangun, dan juga kebijakan untuk mereplikasikan proyek perumahan tidaklah selalu tepat, terutama bila target grup adalah wanita pekerja industri.

Data lapangan terakhir menunjukkan, setiap unit perumahan di Pondok Boro, yang asalnya didisain dalam bentuk barak sudah disekat-sekat menjadi 6 ruangan dan dihuni oleh para karyawan lapangan Pemerintah Kota. Demikian juga Rusun Sewa Warugunung yang pada ide awalnya dibangun untuk kebutuhan buruh, ternyata banyak ditempati oleh mereka yang bukan buruh. Demikian pula bangunan rumah susun yang dibangun oleh pengembang untuk buruh di Batam banyak yang kosong (Kompas, April 2006).

Beberapa pertanyaan , mengapa gadis migran yang bekerja sebagai pekerja industri memilih tinggal pada kamar sewa yang ada pemilik rumahnya sebagai pondokan, walaupun harga sewanya lebih mahal daripada perumahan yang disediakan oleh pemerintah lokal. Bagaimana mereka menggunakan ruangannya? Bagaimana mereka memilih kamar sewanya? Pengalaman apa yang telah mendorong mereka untuk memilih rumah pondokan tertentu?

Pertanyaan ini merupakan sebuah seri dari refleksi seorang wanita pekerja industri memilih rumahnya. Refleksi ini menjadi penting dalam memahami karakteristik mereka sebagai subyek penelitian. Sehingga fenomena bahwa wanita pekerja industri mempunyai daya bayar yang rendah harus di konsep ulang, dan didefinisikan ulang secara utuh bukan saja dari faktor ekonomi, tetapi sosial budaya dan juga psikologi sosialnya. Diharapkan pendekatan ini dapat memberikan kontribusi terhadap tipe kebutuhan rumah bagi wanita pekerja industri.

9

Page 10: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Mengembangkan Sebuah Model “Kebutuhan Rumah”

Paparan ini bertujuan memberikan kontribusi bagi perkembangan teori yang meningkatkan pemahaman terhadap kebutuhan wanita pekerja industri akan rumah. Kata-kata teori memberikan suatu pandangan yang sangat kental sekali dengan pandangan positivistik, yang selalu menghubungkan sebuah obyek dengan fokus pada sebab akibat sehingga selalu berawal dari sebuah hipotesa untuk dites. (Neuman, 1997, Burgess, 1995). Pemahaman teori tersebut tidak mencukupi untuk studi eksplorasi yang mendalam, karena penelitian yang berangkat dari sebuah hipotesa lebih cenderung mengkonstruksikan definisi (daripada mencari makna), membuat generalisasi (daripada memahami masalah) dan mencari data dari banyak relativitas pendapat (daripada dari sebuah subyek yang mendalam). Neuman menegaskan bahwa,

“.... that the process of theorizing becomes grounded, rather than logical deductive”. Neuman (1997:334)

Konstruksi teori dalam penelitian untuk paparan ini adalah merupakan sebuah proses interaktif antara peneliti, partisipan dan literatur yang ada. Cerita dari partisipan dan keterbatasan literatur tentang wanita pekerja industri dirajut bersama bukan untuk menemukan sebuah pernyataan tetapi lebih merupakan bagian dari upaya untuk memahami makna dari sebuah cerita. Rosenwald (1988) mengatakan bahwa memahami cerita dari partisipan adalah sebuah dinamika untuk mengembangkan sebuah teori.

Paparan ini memberikan fokus pada tingkat lokal dari subyektivitas masing-masing partisipan, karena pemahaman yang mendalam terhadap sebuah cerita akan membawa kita pada sebuah pembentukan makna secara berulang. Pemahaman harus diupayakan untuk memaklumi sebuah makna dan belajar bagaimana dan mengapa wanita pekerja industri memilih sebuah rumah. Makna rumah bagi seseorang ataupun seorang wanita pekerja industri tidak bisa didapat hanya dengan melalui kuesioner. Pembangunan makna ini merupakan sebuah proses pemaknaan yang dipengaruhi konteks budaya, kepercayaan, kekuatan dan kedekatan relasi antara peneliti dan partisipan.

Istilah model akan dipakai dalam paparan ini sebagai ganti dari kata teori, seperti dikatakan Burgess (1995) bahwa istilah teori dan model dapat dipakai bergantian, karena model adalah gambaran dari sebuah teori. Dalam model, visualisasi relasi antar faktor lebih mudah dipahami.

10

Page 11: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Model Kebutuhan Rumah dengan Pendekatan Psikologi Sosial

Pendekatan psikologi sosial memungkinkan untuk melakukan analisis baik pada tingkat individual maupun tingkat kelompok/ masyarakat tertentu. Sebagai sebuah konsekuensi penelitian ini harus berdasarkan pada pengalaman individual (gadis migran) yang hidup dalam sebuah kelompok masyarakat tertentu (industri), di mana terjadi interaksi lingkungan, kebiasaan, dan perilaku yang bertentangan, namun mereka harus menjalaninya.

Model yang ditawarkan dalam paparan ini merupakan diagram tumpang tindih yang menggambarkan relasi dunia desa dan kota, dunia individu dan kelompok. Berdasarkan pada model ini, wanita pekerja industri secara simultan hidup di dua dunia tersebut, pengalaman-pengalaman masa lalu di desa dan pengalaman saat kini di kota.

Pola Berpikir seorang gadis dalam menyikapi kebutuhan rumah di kota dibentuk juga oleh latar belakang budaya mereka di desa. Sebagai anak perempuan, mereka diharapkan mampu melakukan perannya dengan tuntutan perilaku sebagai gadis desa, bahkan harapan keluarga di desanya akan tetap digantungkan pada gadis yang telah menjadi pekerja di kota.

Gaya hidup di kota perlahan membawa perubahan pola berpikir seorang gadis desa, karena mereka menjadi bagian dari masyarakat industri di kota, tawaran lingkungan untuk mengikuti trend baju dan kosmetik menjadi bagian dari kehidupan pekerja industri.

Hubungan relasi antara desa dan kota akan mempengaruhi peran sosial, perilaku dan pola berpikir. Norma dan kenangan yang ada di desa, perasaan jauh dari desa akan mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan masyarakat industri di kota. Konsep model kebutuhan wanita pekerja industri secara simultan dapat digambarkan sebagai berikut.

11

Page 12: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Diagram 1. Model Kebutuhan Rumah Wanita Pekerja Industri

Kebutuhan Rumah Wanita Pekerja Industri : Dari Cerita Menjadi Pengetahuan.

Dalam paparan ini saya telah mencoba memakai pendekatan psikologi sosial dengan metoda ‘life story’ untuk menggali makna dan kebutuhan rumah. Secara teori, saya harus mampu melihat peran – peran yang dijalankan oleh para partisipan, tetapi secara empiris saya juga harus mampu berempati pada perkembangan kepribadian seorang remaja. Kedekatan saya dengan partisipan adalah suatu kewajiban yang harus saya ciptakan selama proses interpretasi, analisis dan penulisan. Berikut saya sertakan cuplikan cerita dari ke tiga peran yang mempengaruhi proses kebutuhan dan pemilihan sebuah rumah,

Sebagai Gadis DesaWanita pekerja industri, sebagai gadis desa cenderung untuk menghargai norma-norma yang ditanamkan oleh orang tuanya. Perjalanan hidup manusia di desa diyakini dengan konsep “metu, manten, mati” Norma tradisional bahwa seorang gadis harus menjadi istri, mempunyai anak dan menjadi ibu yang baik bagi keluarganya. Selain itu masyarakat di desa mempunyai sikap hidup ‘nrimo’ sehingga mencerminkan sebuah filosofi hidup “alon-alon asal kelakon’. Pandangan ini sering diartikan sebagai sikap hidup nrimo yang malas, yang tidak mau berusaha, yang fatalistik. Saya

12

------------------------

Gadis Migran

Gadis Berpenghasilan

Gadis Desa

Tipe Kebutuhan

Rumah

Pribadi Wanita Pekerja Industri

Masyarakat Desa

Masyarakat Kota

Perilaku & Peran Sosial yg didapat

Perilaku & Peran Sosial yg dimiliki

Pola Hidup dan Pikir

Tingkat masyarakat

Tingkat individu

Page 13: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

lebih setuju dengan pernyataan Magnis (1995) bahwa ‘nrimo’ bukanlah sebuah cara berpikir fatalistik, tetapi merupakan pola pikir yang berfokuskan pada relasi vertikal, antara mikro kosmos dan makro kosmos.

” Mbak kulo niki cuman tiyang cilik. Emak sanjang tiyang niku mesti ‘nrimo’ kaleh kersane Gusti Allah. Kulo mboten katene mikir tumbas omah, saged tilem enten mriki, mboten kademen, pun sae” tutur Nem.

"Mbak, dadi tiyang niku, sejatine mboten sae nggadhah karep kagedhen. Angan-angan kulo mboten muluk-muluk saged anggadhah omah, kulo mung pengin saged omah-omah lan nggadhah yogo” tutur Sumi. "Mbak, tiyang jawa niku mesti nrimo kaleh karepe Gusti Allahe. Piyambake mboten saged ngubah dalane Gusti. Bapak kulo sanjang yen syukur nek saben dinane wis iso mangan lan urip apik, dadi wong iku ojo ngoyo-ngoyo, saben wong duwe dalane dhewe-dhewe. Sing penting nduk, kowe mesti kuat nglakoni seneng lan susahe urip. Dadine kulo nggeh mboten ngoyo-ngoyo ajenge tumbas omah barang”, tutur Parmi.

Sebagai gadis yang berpenghasilan Wanita pekerja industri, sebagai gadis mandiri yang mempunyai penghasilan, cenderung untuk mempunyai gaya hidup konsumtif. Dengan jenjang usia remaja, mereka sangat mudah sekali mengikuti ajakan teman dan promosi dari media. Namun sifat keakraban dan guyub yang mereka dapat di desa tetap berlanjut.

"Kulo seneng banget saged nyambut damel enten kuto, kulo saged tumbas nopo mawon sing kulo seneng. Wonten mriki enten katah supermarket lan toko. Mbak, kulo nggadhah tigo lipstik sing warnane macem-macem lo, dadine yen klambine pink nggeh lipstike pink, yen damel klambine abang nggeh lipstike sing abang. Kulo nggeh nggadhah jepit rambut katah. niki mbak sae to”, tutur Nem.

“Saniki kulo seneng, soale kulo saged tumbas klambi piyambak. Lah nek teng deso niku mboten wonten

13

Page 14: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

pilihane mbak. Yen enten kuto niki wah seneng maceme katah lan sae-sae. Kulo yen mantuk teng deso niku seneng yen saged ganti klambi samben dinane, .... kulo saged pamer nek kerja ning kuto niku enak” tutur Narti.

"Kulo seneng saged nyambut ten kuto, saged nggadhah konco akeh, lan saged tumbas nopo mawon sing kulo karep. Yen sonten kulo saged mlampah-mlampah kale konco, andok bareng. Kulo remen nggadhah konco sak kamar, mboten kesepen, saged crito-crito yen wayah sedih.” tutur Eva.

Sebagai gadis migranWanita pekerja industri, sebagai gadis migran cenderung untuk memilih rumah pondokan di kampung yang mempunyai ibu pondokan untuk mengimitasikan kehidupan keluarga di desa.

"Bapak lan Ibu Djoko niku sae banget. Kulo biasa dolan kaleh anake Rurin, 8 tahun, kelas kaleh. Kulo saged belajar saking bukune Rurin. Katah buku dongeng sing kulo seneng woco. Kadang yen wayah sore kulo nggeh ningali televisi bareng-bareng wonten ruang tamu ngajeng.”tutur Tri. "Mbak, kulo pun krasan mondok wonten mriki, Bu Marjono niku tiyangne sae kaleh bocah-bocah sing mondok. Yen nimbali geh ..nduk-nduk.... Kulo biasa ngrencangi Ibu nyapu lan masak. Kadang kulo ngrencangi wonten warung ngajengan, geh goreng telo, geh korah-korah. Yen pun mari kulo biasane diparingi telo kaleh. Yen kulo lagi paceklik yotro.... biasane kulo mung tumbas supermie, lan Ibu maringi kulo segane” tutur Nem.

Secara ringkas faktor-faktor yang ditemukan dalam cerita kehidupan para partisipan disajikan dalam tabel berikut:

Table 2. Interpretasi terhadap Faktor yang ditemukan

14

Page 15: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Karakteris-tik Wanita Pekerja Industri

Dasar Teori

Faktor Temuan

Interpretasi

Gadis Desa

Pola Hidup& Pikir

Pola Hidup Nrimo

Norma bagi seorang anak perempuan/ gadis di desa adalah menikah, menjadi istri yang baik dan mempunyai anak. Norma ini bersama dengan Pola hidup ‘nrimo’ membentuk kepribadian gadis desa menjadi anak yang patuh orang tua dan bercita-cita menabung untuk menikah.

Perilaku & Peran Sosial Yang Dimiliki

Relasi Orangtua dan AnakMenikah dan Mempunyai anak

Gadis Migran

Pola Hidup& Pikir

Kebersamaan ‘Guyub’

Jenjang pencarian jati diri seorang remaja ingin selalu dipandang dan diterima oleh kelompoknya. Di kota mereka ingin menjadi bagian dari gadis kota, tetapi pengalaman ‘guyub’ di desa mewarnai keputusan mereka dalam memilih pondokan. Berbagi kamar, cerita dan makanan dalam upaya menciptakan imitasi suasana ‘guyub’.

Perilaku & Peran Sosial Yang Dimiliki DanDiharap-kan

Bagian masyarakat industri di kota dan keluarga di desaMentraktir Teman (slametan, guyub, andok) dan mengimitasi suasana keluarga.

15

Page 16: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Table 2. Interpretasi terhadap Faktor yang ditemukan (lanjutan)

Karakteris-tik Wanita Pekerja Industri

Dasar Teori

Faktor Temuan

Interpretasi

Gadis Berpeng-hasilan

Perilaku & Peran Sosial Yang Dimiliki& Diharap-kan

Mandiri Sebagai gadis yang mempunyai penghasilan, mereka mempunyai niat yang besar untuk membantu ekonomi keluarganya dan sekolah saudara-saudaranya di desa. Namun mereka juga menikmati kebebasan untuk menjadi cantik penampilannya (beli baju dan kosmetik)

Pendukung Ekonomi bagi Keluarga di desa. Konsumtif pada baju dan kosmetik.

Wanita perkerja industri dalam paparan ini menunjukkan potensinya memainkan beberapa peran, di mana setiap peran dipengharuhi oleh dua kehidupan pada saat bersamaan di desa dan di kota, yaitu sebagai gadis migran pada tingkat masyarakat, dan peran gadis desa juga sebagai pekerja yang mandiri di tingkat individu.

Sangat sulit untuk mampu menjalankan ketiga peran di dua dunia, norma-norma di desa akan dibawanya saat mereka berada di kota, dan saat mereka ke desa, kehidupan kota akan dibawanya pulang karena sekarang dia adalah seorang gadis yang berpenghasilan. Tuntutan peran ini terjadi secara simultan, sebagai gadis desa, ada rasa patuh terhadap orang tua dan kewajibannya terhadap keluarga di desa, tetapi di sisi lain, sebagai gadis remaja, mereka masih dalam proses untuk menemukan jati dirinya, ada sikap untuk menjadi mandiri dan ingin menjadi bagian dari kelompoknya, yaitu sebagai gadis kota.

Dari cerita di atas kita memperoleh pengetahuan baru, bagaimana wanita pekerja industri menggunakan ruangannya? Bagaimana mereka memilih kamar sewanya? Pengalaman apa yang telah mendorong mereka untuk memilih rumah pondokan tertentu? Pengetahuan ini memperkaya teori perumahan sebelumnya.

16

Page 17: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Teori Turner (1974) dalam bukunya ‘housing as a verb’ mengatakan perumahan adalah sebuah proses. Belajar dari pengalaman wanita pekerja industri, kini kita memperoleh konsep baru bahwa rumah bukanlah sekedar produk (pandangan positivisme) atau proses, tetapi rumah adalah awal dan tempat kehidupan, bukan sekedar ruang untuk bernaung tetapi juga tempat untuk berbagi. Paparan ini telah menunjukkan bahwa kamar pondokan bagi mereka adalah sebuah ekspresi tempat untuk berbagi cerita, makan dan tidur. Tempat untuk saling membagi duka dan suka bersama sahabatnya.

Ruang dan Tempat untuk Berbagi : Sebuah Refleksi Bagi Kita ke Depan

Kita sudah belajar dari paparan tentang wanita pekerja industri, bagaimana mereka memberikan makna pada sebuah “rumah”? Bagaimana kita memberikan makna terhadap rumah kita sendiri? atau rumah yang masih kita idamkan ?

Sudah saatnya kita sebagai bangsa Indonesia, kembali kepada akar kelompok kita masing-masing. Menghargai tradisi yang pernah kita dapatkan untuk dikembangkan (bukan dihapus). Sejatinya tradisi Timur tidak pernah memisahkan bayinya pada ruang tersendiri, kedekatan ibu dan bayinya menciptakan kebutuhan ruang yang hangat, ada suasana saling berbagi. Namun bila kita menengok tradisi Barat, sejak anak mereka masih bayi mereka sudah memisahkan ruang tidur untuk bayinya secara fisik. Hal-hal kecil ini seolah-olah kini sudah merasuk dalam setiap pemikiran para arsitek Indonesia untuk menciptakan ruang yang tidak berakar dari kebutuhan penghuninya.

Contoh lain, yang dapat kita renungkan yaitu kehadiran kamar mandi di rumah kita. Adat Timur letak kamar mandi terpisah dari bangunan utama sebuah rumah, tetapi karena keterbatasan lahan, maka sekarang letak kamar mandi berada di dalam rumah, hal ini masih bisa kita toleransi dengan harapan setiap pagi dan sore anggota keluarga rumah masih mempunyai kesempatan untuk saling ‘berebut’ (ada nilai keakraban) memakai kamar mandi, di sini ada nilai kolektivisme. Namun nilai privasi yang kita adopsi dari Barat, memboyong kamar mandi ke dalam ruang tidur (bagaikan hotel saja) merupakan penelanan mentah-mentah yang lebih berakar pada individualisme. Apakah penataan ini menjadi lebih bermakna?

Contoh lain lagi, yaitu kehadiran teras. Kalau orang Jawa Timur amat akrab sekali dengan kata ‘cangkrukan’ (ngobrol bareng, kadang ngrumpi juga).

17

Page 18: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Nah kehadiran teras untuk ‘ngobrol’ dan ‘ngopi’ masih bisa kita temukan pada perumahan jaman kolonial. Ada yang berupa teras dengan dikelilingi ‘badukan’ (tembok pendek untuk duduk-duduk) di waktu sore, ada yang beratap dan disebut ‘beranda’. Pada rumah-rumah jaman sekarang fungsi teras ini semakin hilang. Apakah benar kita sudah terkontaminasi sifat individualisme dari Barat dengan slogannya ‘time is money’ sehingga hubungan relasi dianggap tidak berguna bila tidak mendatangkan uang ?

Memasuki era postmodern ini, sudah selayaknya kita menyadari kegagalan era modernisasi yang memuja ekonomi, yang mengagungkan standarisasi dan efisiensi. Rumah masa depan adalah rumah yang mampu memberikan ‘kenangan’. Cerita dari wanita pekerja industri memberikan pelajaran yang indah buat kita, bagaimana kemandiriannya sebagai gadis berpenghasilan tidak merubah semua pola hidup dan pikirnya. Wanita pekerja industri adalah manusia yang tahu menghargai kenangan. Bagaimana dengan kita, apakah kita sudah mampu menciptakan kenangan di rumah bagi anak dan cucu kita di hari esok?

Semoga cerita dan ajakan refleksi saya pagi hari ini, memberikan kekuatan untuk melihat makna rumah.

Ibu Bapak yang saya hormati, sebelum saya akhiri pidato pagi ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa terima kasih saya.

Apa yang saya raih saat ini bukanlah hasil kerja saya sendiri, melainkan banyak orang yang telah ikut membentuk dan mewarnai perjalanan karir saya. Kepada mereka semua saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan harapan untuk selalu berbagi dalam hidup ini,

Kepada Pak Daniel Rindingpadang, lebih dari 25 tahun sejak mahasiswa sampai saat ini, uluran tangannya telah memberikan kabar gembira bagi saya. Begitu juga untuk teman baru saya yang mungil, mbak Nita, yang dengan setia selalu membangkitkan semangat para dosen yang akan mengurus kenaikan pangkat dan jabatan.

Dengan rasa hormat saya ingin mengungkapkan betapa besar pengaruh dari pendidik saya yang dengan sabar membimbing saya membuat Tugas Akhir S1 dan mengawali tugas menjadi seorang dosen yaitu, Alm. Pak Krisdianto. Terima kasih Pak Kris.

18

Page 19: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Terima kasih juga kepada Prof. Seisuke dan Alm. Prof. Dale, yang selalu memberikan semangat saat saya mengalami kejenuhan dalam proses doktoral saya. Juga kepada Prof. Yap Kioe Sheng yang cukup “killer” dalam mengkritisi disertasi saya. Thank you Prof.

Terima kasih saya sampaikan kepada OSW/EED Jerman, khususnya Father Dressel, Dr. Rudolf Ficker, Sibila Raspe, dan Susanne Werner yang telah menjadi malaikat dengan membiayai studi lanjut saya bersama keluarga. Juga kepada Pak Paul Nugraha yang telah memberikan saya surat rekomendasi sehingga saya layak mendapat beasiswa OSW, terima kasih Pak Paul.

Saya jadi teringat saat saya baru lulus SMA, bersama kedua sahabat saya Lilik Susiani dan Inggraini Utoyo, kami bertiga naik bemo untuk mengikuti tes masuk di Petra ini. Terimakasih atas indahnya persahabatan kita. Juga kepada Kosen, A Yen, Chi Yen, Adi, Gimul dan Iman yang mengantar saya dalam dunia mahasiswa yang indah.

Saat menapak kehidupan sebagai mahasiswa, anugerah melimpah dalam bentuk beasiswa tak dapat saya lupakan, untuk itu saya berterimakasih kepada Bapak Endro Wicaksono, saat itu selaku direktur program kemahasiswaan, yang telah menawarkan kesempatan beasiswa Supersemar kepada saya selama saya kuliah di UK Petra ini.

Ketika kita ingin pekerjaan kita berhasil baik, kita dituntut untuk disiplin. Kekaguman saya dalam hal disiplin terpacu saat saya diperbolehkan mengambil 23 sks oleh Bapak MI Adicipto, selaku Dekan Fakultas Teknik Arsitektur, di mana saat itu kita masih mengunakan sistem tingkat (18 sks). Terima kasih banyak kepada Pak Adi. Juga atas kesempatan yang diberikan oleh Pak Adi yang merekrut saya menjadi dosen di sini. Tanpa titik awal ini, karir saya mungkin akan berbeda.

Kehidupan kampus memberikan sebuah nuansa yang dinamis ketika kita berjumpa dengan mahasiswa, terima kasih para mahasiswa, saya merasa selalu muda ketika tiba saat berdiskusi dengan mahasiswa, berbagi ilmu dengan mahasiswa adalah kesempatan yang menyenangkan. Kelangsungan pekerjaan kita sebagai pendidik di kampus tidak akan berjalan lancar tanpa dukungan dari perpustakaan dan biro non akademis yang lain. Terima kasih Bu Widiati, Bu Komang, Pak Resmana, Pak Tono, Pak Budi, Pak Aditya, Bu Dian, Bu Nita, Bu Lucy dan Bu Inggrid di Humas, Bu Supit, Bu Rani,

19

Page 20: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Bu Ira, Bu Endah atas kerjasamanya. Saya juga bersyukur atas layanan mbak Nanik dan mbak Rini, operator yang selalu ramah.

Juga rekan-rekan di jurusan lain yang selalu memberikan dukungan, Bu Ester H Kuntjara, Bu Liliek Soelistyo, Pak Jani Rahardjo, Pak Handoko Sugiharto, Bu Istiawati, Bu Arlinah, Pak Takim Andriono, Bu Monica Santoso dan Prof. Benyamin Lumantarna, Prof Thomas Santoso.

Banyak dukungan dan kritikan yang telah membuat saya menjadi lebih bijaksana, terima kasih sobat-sobatku di jurusan arsitektur semuanya. Terima kasih Bu Maria, Bu Wanda, Bu Lisda, Bu Altre, Bu Lucy, Bu Anik, Bu Joyce, Bu Shelly, Bu Titien, Bu Rully, Bu Christine, Bu Eunike, Bu Susan, yang telah menjadi teman diskusi dalam pekerjaan dan kehidupan kewanitaan saya. Juga buat Pak Bisatya, Pak Nugroho, Pak Handinoto, Pak Kuncoro, Pak Irwan, Pak Achmad, Pak Loekito, terima kasih telah berbagi ilmu saat saya mahasiswa sampai saya jadi rekan sekerja. Buat Pak Samuel, Pak Timoticin, Pak Freddy, Pak Benny, Pak Frans, Pak Danny, Pak Jimmy, Pak Andhi, Pak Paulus, Pak Riduan, Pak Sulendra, Pak Agus Dwi, Pak Rony Gunawan, Pak Roni, dan juga Pak Steve, terima kasih telah menjadi teman yang kompak.

Hari ini menjadi lebih indah atas sumbangan kasih Ibu Bapak yang tergabung dalam panitia, terima kasih banget.

Ibu Bapak, kasih yang selalu mengalir dari keluarga akan selalu mendorong kita untuk berkarya. Terima kasih buat Suami, anak-anakku Mia dan Frans, Ibu dan saudara-saudaraku.

Semoga kita semua selalu mampu melihat anugerah Tuhan Yang Maha Agung lewat tangan-tangan kecil di sekeliling kita. AMIN.

20

Page 21: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Daftar Pustaka

Arifin, Lilianny S, 1996, Needs Assessment of Women Industrial Workers: A Socio-Psychological Approach, Bangkok, Unpublished Special Study at Asian Institute of Technology Bangkok.

Brydon, Lynne and Sylvia Chant, 1989, Women in the Third World, England, Edward Edgar Publishing Ltd.

Changani, A. S., 1976, Industrial Workers Housing: A Case Study of Industrial sites in Bangkok, Thailand, Bangkok, Unpublished Master Thesis, Bangkok, Asian Institute of Technology Bangkok.

Chia, Kwang Chye, 1981, The Housing Crisis of The Female Migrant Workers: A Case Study of The Bayan Lepas Free Trade Zone, Penang, Malaysia, Bangkok, Master Thesis Asian Institute of Technology Bangkok.

Cooper, Clare, 1974, The House as a symbol of Self , in “Designing for Human Behaviour” by John Lang, Pensylvania, Dowden Hutchinson & Ross Inc.

De Jong, S, 1976, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, Yogyakarta, Kanisius.

Drakakis, Smith D, 1987, The Third World City, in Women in the Third World, England, Edward Edgar Publishing Ltd.

Guba, Egon G and Lincoln, Yvonna, S., 1994, Competing Paradigms in Qualitative Research, in Handbook of Qualitative Research edited by Norman K Denzin and Yvonna S Lincoln, Thousand Oaks, Sage Publication, p.105-117.

Hardjowirogo, Marbangun, 1989, Manusia Jawa, Jakarta, CV Haji Masagung.

Hardoy, Jorge E and Satterthwaite, David, 1986, The Nature of Housing Need Among Lower Income Groups, section of article “Shelter, Infrastructure and Services in Third Cities”, Great Britain, Pergamon Journals Ltd., Habitat International Vol.10, No.3, p.247-250.

ILO, 1996, Globalization Chnages the Face of TCF Industries, in the Journal Of World of Work No.18, International Labor Office Geneva, p.22-25.

King, Peter, 1998, Needs and Choice in Housing: An Individualist Approach, Scandinavia, Scandinavian Housing & Planning Research No.15, p.5-17.

Koentjaraningrat, 1997, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Men and the Culture in Indoneisa), Jakarta, Djambatan, p.329-354.

21

Page 22: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Lilananda, Rudy P, 1993, Perumahan Buruh Swakarsa di Kawasan Industri Rungkut di Surabaya, (Community Based Low Cost Housing for Factory Workers in Rungkut, Surabaya), Surabaya, Petra Christian University.

Magnis, Suseno Franz, 1981, Javanische Wiesheit und Ethik, (translated), Munchen, R Oldenbourg Verlag.

Magnis, Suseno Franz, 1991, Wayang dan Panggilan Manusia, Jakarta, PT Gramedia.

Michelson, William, 1977, Environmental Choice, Human Behaviour and Residential Satisfaction, New York, Oxford University Press.

Mulder, Neils, 1996, Pribadi dan Masyarakat Jawa, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.

Neuman, W Lawrence, 1997/2000, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, United States of America, Allyn and Bacon.

Nguyen, Thi Ai Thu, 1994, Housing For Workers in Hanoi (Demand, Supply, and Housing Condition): A Case Study of Phuong Mai Subdistrict, Master thesis of Asian Institute of Technology, Bangkok.

Piyatarna, P.K., 1990, Accommodation Problems of Women Factory workers: A Case Study of the Katunayake Export Processing Zone in Colombo, Sri Lanka, Master Thesis of Asian Institute of Technology, Bangkok.

Rahman, Aminur, 1993, Housing Women Factory Workers in The Northern Corridor of The Bangkok Metropolitan Region, Master Thesis, Asian Institute of Technology, Bangkok..

Silas, Johan, 1985, Five Critical Issues on Housing Policy Formulation, Jakarta, Regional Center for Research on Human Settlements, ESCAP.

Turner, John F.C,1972, Housing as A Verb, chapter 7 of “Freedom to Build by eds., John F.C. Turner and Robert Fichter, New York, The Macmilan Company, p.148-175.

Wong, Aline K, 1984, Women's Work and Family Life; The Case of Electronic Workres in Singapore, Working Paper 64, United States, Michigan State University.

Yap, Kioe Sheng and Rahman, Aminur, 1993, Housing Women Factory Workers in The Northern Corridor of Bangkok, Working Paper No.7, Bangkok, Asian Institute of Technology.

Zhang, Heather Xiaoquan, 1999, Female Migration and Urban Labour Markets in Tianjin, in journal of "Development and Change", Vol.30, UK, Blackwell Publishers Ltd., p.21-41.

22

Page 23: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Daftar Riwayat Hidup

Nama Lengkap : Ir. Lilianny Sigit Arifin, M Sc, Ph.De-mail : [email protected]/tanggal lahir : Trenggalek, 7 Nopember 1960Agama : KatolikNama Suami : John L. Arifin Simohartono, SH, MBA.Nama Anak : Maria Immaculata Arifin

Fransiscus Asisi ArifinRiwayat Pendidikan: 1996 - 2003 : Ph.D , Urban Environmental Management, Asian

Insititute Of Technology, Bangkok 1988 – 1989 : M Sc, Human Settlement Development, Asian Insititute

Of Technology, Bangkok 1979 – 1983 : Ir., Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra,

Surabaya 1976 – 1979 : SMAK Santa Agnes, Surabaya. 1973 – 1979 : SMPK Santa Agnes, Surabaya 1967 – 1972 : SDK Johanes Gabriel, Surabaya.

Riwayat Pekerjaan 1985 - sekarang : Dosen Tetap Jurusan

Arsitektur, Universitas Kristen Petra, Surabaya 2005 - sekarang : Kepala Laboratorium

Pemukiman dan Perkotaan, Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra, Surabaya

2000 - sekarang : Kepala Studio Merancang Semester Satu, Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra, Surabaya

1998 - 1999: Research Fellowship di the Human Settlement Development Program, AIT, Bangkok.

1990 - 1994 : Kepala Laboratorium Struktur Bangunan, Jurusan Arsitektur, Universitas Krsiten Petra, Surabaya

1992 - 1993 : Kepala Humas, Universitas Kristen Petra, Surabaya

1984 - 1985 : Asisten Dosen Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra, Surabaya

1983 - 1985 : Staf Referensi Perpustakaan, Universitas Kristen Petra, Surabaya.

23

Page 24: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

Mata Kuliah yang diasuh: Merancang Dasar – AR.100 Sejarah dan Teori Arsitektur – AR.330 Arsitektur Tematis – AR.641 Eksplorasi : Perumahan , Informal Sektor dan Psikologi – AR.751.B

Pengabdian Masyarakat: Renovasi Gereja Katolik Kristus Raja, Surabaya Pengabdian Masyarakat “Rintisan Program PADU”, Kerjasama

dengan Dinas P&K Jatim di Mojokerto Disain Bangunan & Perhitungan Biaya Pembangunan Gereja

Oikumene Kotabaru di Kalimantan Selatan. Disain Gereja dan Sekolah Teologi Gereja Kristen di Madiun, Pendamping Kuliah Kerja Lapangan di Kediri Penyuluhan tentang Mainan Edukasi Reviewer: International Journal for Housing Studies, UK

Keanggotaan: Asia Pacific Networking for Housing Research (APNHR)

Publikasi (Tahun 2000 – Sekarang) :

2006: Arsitektur Nusantara Ala Mangunwijaya: menggali makna vernakular, majalah arsitektur SEARCH, Himpunan Mahasiswa Arsitektur, UK Petra, Surabaya, September 2006.

2006 : Makna Akulturasi Pada Keraton Sumenep dan Mesjid Jamik, Madura, KOMPAS, Jakarta, 5 Februari 2006.

2005 : The Sustainable “Tongkonan” Structure in Celebers Indonesia, (together with Eunike Julistiono) presented at The 2005 Sustainbale World Conference, Tokyo, 27-30 September 2005.

2005 - Housing Needs of Women industrial Workers in Surabaya: Insight from Life Story Approach , HABITAT Journal, Elsevier, United Kingdom, Vol 29, 2, June 2005,.

2004 – The Meaning of Public Open Space From The Asian’s Teenagers Esperience. Case of Surabaya (together with Christine Wonoseputro) presented at the 3rd international Conference of Asian Strees in National University of Singapore, Singapore, 6-7 July 2004.

24

Page 25: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

2004 – The Down Town of Colonial Influence in Housing Expression. Case Study Housing in Seruni, Surabaya, presented at 1st international conference of Urban History, KTLV and Unair, 23-25 August 2004.

2004 – The Natural Setting of tropical Architecture. Case Study Mangunwijaya’s Artefacts, (together with Steve Kardinal) presented at the 1st International Conference of Tropical Architecture in National University of Singapore, Singapore, 26-28 February 2004.

2004 - Factors affecting Type of Housing. Case Study: Migrated Women Industrial Workers in Surabaya, presented at the 2nd international conference of APNHR/ Asia Pasific Network for Housing Research, HongKong, 4-5 February 2004.

2003 – Networking to Enrich modern Asian Archtiecture for Education Purposes: The Case of Myanmar and Surabaya. (together with Timoticin Kwanda and Roni Ang), at the international conference of 3rd mAAN – modern Asian Archtiecture Network, 28-30 Agustus 2003, in Surabaya)

2003 – Housing Preferences for migran women workers: Conflict Culture Beyond Housing presented at The International Conference “Housing and Sustainable Urban Development, Kuala Lumpur, 1-4 Juli 2003.

2002 – Tinjau Ulang Arsitektur Tradisional demi Arsitektur Nusantara: Sebuah Antithesis (presented at The National Conference of “Arsitektur Nusantara”), Malang, 15 October 2002.

2002 – The Contribution of Kampung to the City Development (presented together with Maria I H), at The International Conference of “Sustainable Livelihood in The Integration Informal Settlements in Asia, Latin America and Africa, Surabaya, 10 October 2001.

2002 – Ferrocement as Sustainable Building Material for Floating House in Kalimantan, (presented together with Wanda W Canadarma) at the International Conference Sustainable Building Materials, Jakarta, 13-14 Oktober 2002.

2001 - Housing Needs’ Model for Young Women Industrial Workers, International Journal for Housing Science and Its Applications, Vol. 25 No. 2, Miami, USA.

2000 - The Role of Household Rental Rooms in Maintaining the Quality of Women Factory Workers'Lives A Socio-Psychological Approach Case Study:Rental Rooms Surrounding Surabaya Industrial Estate Rungkut Indonesia, (presented at Internasional Housing Conference, Work and Development: The Role of Home Based Enteprises), University of Newcastle Upon Tyne, England, 26-28 April 2000

25

Page 26: Ego pLantum, Deus incrementum dabit

KINI KU TAHU

jadi seorang profesorku tak pernah impikan

namun,kini ku tahubiar langkahku kecil tapi ku setia tuk melangkah terus

mimpi kecilku jadi pramugariagar kujelajah dunia kini perlahan ku tapak tiap negara berbagi pengalaman dan pandangan

kini ku tahuwalau aku tak sanggup membangun dunia tapi aku telah ikut membangun manusia

dan kini……ku pahami arti kesetiaan yang dikatakan Tuhan“setialah pada hal-hal yang kecil...... “dan kebahagiaan akan menyelinap selalu.

Ego Plantum, Deus Incrementum Dabit

Ucapan syukur,Lilianny S Arifin

26