efusi pleura
-
Upload
annisa-nurul-zahra -
Category
Documents
-
view
90 -
download
8
description
Transcript of efusi pleura
KATA PENGANTAR
egala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
terselesaikannya, case besar yang berjudul “Efusi pleura dextra ec TB paru”. Case ini
disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta diajukan guna memenuhi
persyaratan penilaian di Kepaniteraan Klinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Mardi Rahayu,
Kudus.
SPenghargaan dan rasa terima kasih disampaikan kepada dr. Luluk Adipratikto, Sp.P yang
telah memberikan dorongan, bimbingan, dan pengarahan dalam pembuatan case besar ini.
Penyusun juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan case besar ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan case besar ini masih jauh dari sempurna,
baik mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dari penyusun dalam mengerjakan penyusunan case
besar ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini memberikan informasi bagi
masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Kudus, Agustus 2013
Penyusun
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..............................…………………………….…………………………….....1
BAB I. Pendahuluan……………………..............................….……………………………... 3
BAB II. Tinjauan Pustaka ............................................................................................................4
BAB III. Kasus............................................................................................................................22
BAB IV. Pembahasan........................………………………………………………………..39
BAB V. Kesimpulan...................................................................................................................49
Daftar Pustaka….………………………………………….......................................................50
2
BAB I
PENDAHULUAN
Efusi pleura TB sering ditemukan di negara berkembang termasuk di Indonesia meskipun
diagnosis pasti sulit ditegakkan. Efusi pleura timbul sebagai akibat dari suatu penyakit, sebab itu
hendaknya dicari penyebabnya. Gambaran klinik dan radiologik antara transudat dan eksudat
bahkan antara efusi pleura tuberkulosis dan non tuberkulosis hampir tidak dapat dibedakan,
sebab itu pemeriksaan laboratorium menjadi sangat penting. Setelah adanya efusi pleura dapat
dibuktikan melalui pungsi percobaan, kemudian diteruskan dengan membedakan eksudat dan
transudat dan akhirnya dicari etiologinya. Apabila diagnosis efusi pleura tuberkulosis sudah
ditegakkan maka pengelolaannya tidak menjadi masalah, efusinya ditangani seperti efusi pada
umumnya, sedangkan tuberkulosisnya diterapi seperti tuberkulosis pada umumnya.1
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia.
Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada
tahun 2002. 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Hampir sekitar sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi kuman tuberkulosis. TB ekstra paru berkisar antara 9,7 sampai 46% dari semua kasus
TB. Organ yang sering terlibat yaitu limfonodi, pleura, hepar dan organ gastro intestinal lainnya,
organ genitourinarius, peritoneum, dan perikardium. Pleuritis TB merupakan TB ekstraparu
kedua terbanyak setelah limfadenitis TB. Angka kejadian pleuritis TB dilaporkan bervariasi
antara 4% di USA sampai 23% di Spanyol.2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Efusi pleura
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan di rongga pleura.
Penumpukan cairan dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan karena
terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura viseralis.1,3
Etiologi
Cairan pleura terakumulasi jika pembentukan cairan melebihi absorpsi cairan pleura.
Normalnya, cairan pleura memasuki rongga pleura dari kapiler dalam pleura parietalis dan
diangkut melalui jaringan limfatik yang terletak dalam pleura parietalis. Cairan juga dapat
memasuki rongga pleura dari ruang interstitium paru melalui pleura viseralis atau dari kavum
peritoneum melalui lubang kecil yang ada pada diafragma. Saluran limfe memiliki kapasitas
menyerap 20 kali lebih besar cairan daripada cairan yang dihasilkan dalam keadaan normalnya.
Oleh karenanya, efusi pleura dapat terbentuk jika ada pembentukan cairan pleura yang
berlebihan dari (pleura parietalis, ruang interstitium paru, atau kavum peritoneum) atau jika ada
penurunan pengangkutan cairan oleh jaringan limfatik.3
Patofisiologi
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan di dalam rongga pleura. Jumlah
cairan di rongga pleura tetap, karena adanya tekanan hidrostatis pleura parietalis sebesar 9 cm
H2O. Akumulasi cairan pleura dapat terjadi apabila tekanan osmotik koloid menurun misalnya
pada penderita hipoalbuminemia dan bertambahnya permeabilitas kapiler akibat ada proses
peradangan atau neoplasma, bertambahnya tekanan hidrostatis akibat kegagalan jantung dan
tekanan negatif intrapleura apabila terjadi atelektasis paru. Efusi pleura berarti terjadi
pengumpulan sejumlah besar cairan bebas dalam kavum pleura. Kemungkinan penyebab efusi
antara lain : (1) penghambatan drainase limfatik dari rongga pleura, (2) gagal jantung yang
menyebabkan tekanan kapiler paru dan tekanan perifer menjadi sangat tinggi sehingga
menimbulkan transudasi cairan yang berlebihan ke dalam rongga pleura (3) sangat menurunnya
4
tekanan osmotik kolora plasma, jadi juga memungkinkan transudasi cairan yang berlebihan (4)
infeksi atau setiap penyebab peradangan apapun pada permukaan pleura dari rongga pleura, yang
memecahkan membran kapiler dan memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan ke
dalam rongga secara cepat.2,3
Atas dasar kejadiannya efusi dapat dibedakan atas transudat dan eksudat pleura.
Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena disertai peningkatan
tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatik karena tekanan osmotic koloid yang menurun. Eksudat
dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi. Cairan keluar langsung dari kapiler
sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini juga mengandung banyak sel
darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya rendah sekali atau nihil sehingga berat
jenisnya rendah.2
Gejala klinis
Adanya timbunan cairan mengakibatkan rasa nyeri karena pergesekan, setelah cairan
cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosis), banyak keringat,
batuk.
Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan
pleural yang signifikan.
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan
berpindah tempat. Bagian yang sakit akan tertinggal bergerak dalam pernapasan, fremitus
melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk
permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum ke sisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler
melemah dengan ronkhi.
5
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologik mempunyai nilai yang tinggi dalam menegakkan diagnosis efusi
pleura, meskipun tidak berguna dalam menentukan faktor penyebabnya. Pada foto toraks terlihat
perselubungan homogen dengan batas atas yang cekung atau datar, dan sudut kostofrenikus yang
tumpul; cairan dengan jumlah yang sedikit hanya akan memberikan gambaran berupa
penumpulan sudut kostofrenikus. Cairan berjumlah kurang dari 100 ml tidak akan terlihat pada
foto toraks yang dibuat dengan teknik biasa. Bayangan homogen baru dapat terlihat jelas apabila
cairan efusi lebih dari 300 ml. Apabila cairan tidak tampak pada foto postero-anterior (PA),
maka dapat dibuat foto pada posisi dekubitus lateral.
Efusi pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan dikonfirmasi
dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks posisi lateral decubitus dapat diketahui adanya cairan
dalam rongga pleura sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan dengan posisi AP atau PA paling
tidak cairan dalam rongga pleura sebanyak 300 ml. Pada foto thoraks posisi AP atau PA
ditemukan adanya sudut costophrenicus yang tidak tajam.4
Thorakosentesis / punksi pleura
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui thorakosentesis (pengambilan cairan
melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke dalam rongga dada dibawah
pengaruh pembiusan lokal dan mengalirkan cairan) atau dengan memasukkan chest tube (tube
thoracostomy) pada dada dan membiarkannya selama beberapa hari, kadang disambungkan
dengan suction.5,6 Aspirasi cairan pleura berguna sebagai sarana diagnostik maupun terapeutik.
Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada
bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan memakai jarum kateter nomor 14-16.
c. Analisa cairan pleura
Bila efusi pleura telah didiagnosis, penyebabnya harus diketahui, kemudian cairan pleura
diambil dengan jarum, yaitu melalui torakosentesis / punksi pleura. Setelah didapatkan cairan
efusi dilakukan pemeriksaan seperti:5,6
Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH), albumin, amylase, pH, dan
glukosa.
6
Dilakukan pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui kemungkinan terjadi
infeksi bakteri.
Pemeriksaan hitung sel.
Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan.1
Transudat Eksudat
Kadar protein dalam efusi
(g/dl)
< 3 > 3
Kadar protein dalam efusi < 0,5 > 0,5
Kadar protein dalam serum
Kadar LDH dalam efusi (IU) < 200 > 200
Kadar LDH dalam efusi < 0,6 > 0,6
Kadar LDH dalam serum
Berat jenis cairan efusi < 1,016 > 1,016
Rivalta Negatif Positif
Tabel 1. Perbedaan cairan transudat dan eksudat.7
Biopsi
Diagnosis dari pleuritis TB secara umum ditegakkan dengan analisis cairan pleura dan
biopsi pleura. Biopsi pleura parietal telah menjadi tes diagnositik yang paling sensitif untuk
Pleuritis TB. Pemeriksaan histopatologis jaringan pleura menunjukkan peradangan
granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA positif.1,5,6
Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh,
penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan. Biopsi pleura perlu dipikirkan setelah
hasil pemeriksaan sitologik ternyata negatif. Diagnosis keganasan dapat ditegakkan dengan
biopsi pleura tertutup pada 60% penderita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa biopsi yang
dilakukan berulang (dua sampai empat kali) dapat meningkatkan diagnosis sebesar 24%. Biopsi
pleura dapat dilakukan dengan jarum.1
Ultrasonografi (USG)
7
Adalah alat diagnostik noninvasif menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi diatas
20.000 hertz (>20 kilohertz) untuk menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.8
Obyek didalam tubuh akan memantulkan kembali gelombang suara yang kemudian akan
ditangkap oleh suatu sensor, gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan
di layar.
Gambaran normal thorax
Gambaran dinding dada normal terdiri dari lapisan jaringan lunak, otot dan fascia adalah
echogenic. Tulang rusuk digambarkan seperti garis echogenic diatas lapisan jaringan lunak, otot
dan fascia. Pleura parietal digambarkan seperti dua garis echogenic dibawah tulang rusuk.
Gambar 1. Gambaran normal USG toraks.9
Aplikasi klinis USG toraks
1. Kelainan pleura
Efusi pleura tampak seperti lapisan hipoechoic diantara pleura parietal dan visceral. Gerakan
bagian paru yang atelektasis dapat terlihat melalui cairan pleura. Efusi pleura paling baik terlihat
dari dinding luar dada dibelakang linea midaksilaris pada posisi terlentang dengan probe
mengarah ke atas. Pasien yang duduk atau berdiri dapat terlihat dari posterior atau lateral dinding
dada. Transudat dan eksudat terlihat anechoic atau hypoechoic. Efusi pleura dengan echogenicity
merata tampak seperti badai salju umumnya menandakan empiema yang mengandung protein
atau sisa jaringan. Lokulasi atau kantong-kantong empiema menandakan empiema kompleks dan
lebih bagus terlihat dengan USG toraks dari CT scan. Perbedaan antara abses paru dan empiema
kadang sulit karena pusat hypoechoic atau daerah echogenic digambarkan sama pada lapisan
8
darah. Penebalan pleura, empiema dan pelebaran pleura digambarkan hypoechoic. Efusi ganas,
lesi metastasis atau mesotelioma umumnya terlihat hypoechoic.
Gambar 2. Efusi pleura luas dan minimal.9
2. Pneumotoraks
Udara terlokalisir dalam kavum pleura paling bagus terlihat pada posisi terlentang dengan posisi
probe dipegang tegak lurus di dinding anterior dada. Kedalaman pneumotoraks tidak dapat
diukur. Pneumotoraks umumnya didiagnosis dengan tidak terdapat tanda gerakan normal pleura
viseral dan parietal seperti ekor komet dan terdapat gambaran gema yang berlebihan.
3. Pneumonia
Konsolidasi paru yang menempel dinding dada atau efusi pleura terkantong tampak echogenic.
Gambaran serupa terlihat pada perdarahan paru, karsinoma bronkoalveolar dan infark paru.
9
Struktur hyperechoic yang bercabang menandakan air bronchogram. Paru yang atelektasis
umumnya hypoechoic tanpa ada air bronchogram.
4. Kanker paru atau metastasis diparu
Gambaran tumor paru pada USG toraks dapat terlihat dengan baik. Massa tumor dekat pleura
tampak hypoechoic. Gambaran tumor pancoast dengan USG toraks dibanding CT scan lebih
baik. MRI memberikan gambaran terbaik dibanding USG toraks dan CT scan.
5. Biopsi dengan penuntun USG toraks
Biopsi jarum dengan penuntun USG toraks belum banyak dilakukan. Penelitian besar dengan
menggunakan USG dibanding CT scan belum ada yang melakukan. Ahli paru di Amerika dan
Jerman melakukan biopsi jarum dengan bantuan USG toraks. Negara-negara lain belum banyak
yang melakukan meskipun penggunaan USG toraks lebih murah dan mudah jika dibanding CT
scan tapi dikarenakan keterampilan operator pengguna USG toraks belum banyak sehingga
masih jarang yang melakukan. Massa subpleura, dinding dada dan dalam pleura dapat dibiopsi
jarum dengan penuntun USG toraks.
Posisi pasien pada pemeriksaan USG toraks:9
10
Indikasi Penggunaan USG Thorax
Indikasi penggunaan USG toraks pada awalnya hanya terbatas pada kasus-kasus gawat
darurat. Penggunaan pada kasus darurat dikarenakan pemeriksaan radiologi membutuhkan ruang
khusus dan alat yang lebih besar dan rumit untuk dijalankan sedang USG toraks lebih kecil dan
tidak memerlukan ruangan khusus. Penggunaan USG toraks dapat langsung dikerjakan
disamping tempat tidur pasien tanpa harus memindahkan pasien. Pemeriksaan juga dapat
langsung dilakukan oleh dokter diruang gawat darurat tanpa perlu dokter ahli radiologi. Berikut
ini indikasi penggunaan USG toraks :
1. Membedakan efusi pleura atau penebalan pleura.
2. Mendeteksi efusi pleura dan pemandu untuk punksi terutama efusi yang minimal dan
terlokalisir.
3. Membedakan efusi pleura dan kelumpuhan diafragma, dilihat dari gambaran radiologi
meragukan.
4. Menentukan pneumotoraks terutama dalam keadaan gawat darurat dan peralatan
radiologi tidak tersedia atau masih menunggu lama hasil radiologi.
5. Menilai invasi tumor ke pleura atau dinding dada dan memandu biopsi jarum untuk
tumor.
6. Mengevaluasi pasien dengan pleuritis yang sangat nyeri.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti,
diagnosis pasti ditegakkan melalui punksi, biopsi dan analisa cairan pleura.
Penatalaksanaan
Setelah diagnosis efusi pleura ditegakkan, penyebab terjadinya harus diidentifikasi.
Terapi biasanya bertujuan mengobati penyebab yang mendasari.
I. Jika pernafasan tidak adekuat, terapi oksigen dapat diberikan.
II. Pemberian antibiotik jika terbukti ada infeksi.
III. Tirah baring, bertujuan untuk menurunkan kebutuhan oksigen karena peningkatan
aktivitas akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga dyspnea akan semakin
meningkat pula.
11
Efusi pleura TB
Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis
yang dikenal juga dengan nama pleuritis TB. Peradangan rongga pleura pada umumnya secara
klasik berhubungan dengan infeksi TB paru primer. Berbeda dengan bentuk TB di luar paru,
infeksi TB pada organ tersebut telah terdapat kuman Mycobacterium Tuberculosis pada fase
basilemia primer.
Efusi pleura TB bisa ditemui dalam 2 bentuk. Pertama dalam bentuk cairan serosa,
bentuk ini yang paling banyak dijumpai. Bentuk kedua yang jauh lebih jarang adalah empiema
TB. Bentuk kedua ini merupakan gagalnya efusi pleura TB primer yang gagal mengalami
resolusi berlanjut ke proses supuratif kronik.
Proses di pleura terjadi akibat penyebaran atau perluasan proses peradangan melalui
pleura viseral sebagai proses hipersensitivitas tipe lambat. Mekanisme ini berlaku pada beberapa
kasus tetapi data epidemiologi terbaru pleuritis TB mengarahkan mekanisme patogenik lain pada
sebagian besar proporsi kasus. Pada pasien dewasa yang lebih tua kelainan pada pleura
berhubungan dengan reaktivasi TB paru. Efusi pleura harus dicurigai akibat penyebaran infeksi
sebenarnya ke ruang pleura dibandingkan prinsip reaksi imunologi terhadap antigen
Mycobacterium Tuberculosis. Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam
akut disertai batuk non produktif (94%) dan nyeri dada (78%) tanpa peningkatan leukosit darah
tepi. Penurunan berat badan dan malaise biasa dijumpai, demikian juga menggigil. Sebagian
besar efusi pleura TB bersifat unilateral (95%), agak lebih sering di sisi kanan. Jumlah cairan
efusi bervariasi dari sedikit hingga banyak, meliputi setengah dari hemithoraks. Jumlah maupun
terjadinya efusi tidak mempengaruhi prognosis.
TB paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.10
12
Epidemiologi
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia namun hingga saat ini TB masih
menjadi masalah kesehatan dunia yang utama. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia
telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.11
Secara persentase 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada
negara-negara berkembang. Prevalensi tertinggi terjadi pada Asia dengan 65% kasus, hal ini
berhubungan dengan tingkat kepadatan penduduk (gambar 1).
Dari kasus-kasus diatas sebanyak 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling
produktif secara ekonomis (20-49 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB global antara lain antara lain:
1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang
sedang berkembang.
2. Kegagalan program TB yang diakibatkan oleh:
Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat,
diagnosis kasus yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya)
Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar,
gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG
Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat
Peningkatan penduduk dunia umur
Dampak pandemi infeksi HIV
13
Gambar 1. Insiden TB dunia
Sumber : Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di
Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien
sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada
539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per
100.000 penduduk.
Prevalensi tertinggi terdapat di NTT dengan angka kejadian 0,74 %, sedangakn
prevelensi terendah terdapat di Bali dengan angka kejadian 0,08 %.11
Faktor resiko kejadian tuberkulosis
Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru adalah:
1. Umur
Insidensi tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai pada usia dewasa muda, pada
usia produktif, yaitu umur 20 – 49 tahun.
Berdasarkan penelitian kohort Gustafon, et all terdapat suatu efek dosis respon, yaitu
semakin tua umur akan meningkatkan risiko menderita tuberkulosis dengan odds rasio
pada usia 25-34 tahun adalah 1, 36 dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun
adalah 4,08.
2. Jenis Kelamin
Hampir tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas.
Namun, menurut penelitian Gustafon P., et all menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai
14
risiko 2,58 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan wanita. Mungkin hal
ini berhubungan interaksi sosial. Walaupun insiden tuberkulosis paru pada wanita lebih
rendah daripada pria, perkembangan infeksi TB paru menjadi penyakit TB paru pada
wanita lebih cepat dibandingkan dengan pria.
3. Gizi
Terdapat bukti yang jelas bahwa gizi buruk mengurangi daya tahan tubuh terhadap
penyakit tuberkulosis. Faktor ini sangat penting, baik pada orang dewasa maupun pada
anak. Menurut Hernilla, et all, orang yang menkonsumsi vitamin C lebih dari 90 mg/hari
dan mengkonsumsi lebih dari rata-rata jumlah sayuran, buah-buahan, dan berry, secara
signifikan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit tuberkulosis.
4. Kondisi Lingkungan Rumah
Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi lingkungan rumah dalam risiko kejadian
infeksi tuberkulosis adalah kepadatan rumah, intensitas cahaya yang masuk, dan
kelembapan udara.
Intensitas cahaya yang alami, yaitu sinar matahari, sangat berperan dalam penularan
kuman TB karena kuman TB relatif tidak tahan terhadap terhadap sinar matahari
(Depkes, 2006). Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko 3,7 kali
untuk menularkan tuberkulosis dibandingkan dengan rumah yang tidak dimasuki sinar
matahari.
Kelembapan udara mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Rumah yang memiliki
kelembapan lebih dari 60% memiliki risiko terkena infeksi tuberkulosis. 10,7 kali
dibandingkan dengan rumah yang kelembapannya lebih kecil dari 60%.
5. Pendidikan
Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau masyarakat
dan perilaku terhadap penggunaan sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Proporsi
kejadian TB lebih banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai pendidikan yang
rendah, dimana kelompok ini lebih banyak mencari pengobatan tradisional dibandingkan
pelayanan medis.
6. Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan
penyakit, karena dengan pendapatan yang cukup maka akan ada kemampuan
15
menyediakan biaya kesehatan serta mampu menciptakan lingkungan rumah yang sehat
dan makanan yang bergizi. Sembilan puluh persen penderita TB terjadi pada penduduk
dengan status ekonomi rendah dan umumnya terjadi pada negara berkembang termasuk
Indonesia.
7. Riwayat Penyakit Penyerta
Beberapa penyakit penyerta tertentu rentan tertular penyakit tuberkulosis seperti
penderita penyakit HIV/AIDS, hepatitis akut, kelainan hati kronik, gangguan ginjal,
diabetes melitus, dan penderita pengguna kortikosteroid.
Penelitian yang dilakukan oleh Tanjung (1998) mendapatkan bahwa dari 733 penderita
TB paru, penderita juga menderita diabetes melitus 11,7 %, hipertensi 9,28%, kelainan hati
2,7%, kelainan jantung 1,9%, kelainan ginjal 0,9% dan struma 0,4%.
Penderita diabetes melitus memiliki risiko 2-3 kali lebih sering untuk terkena penyakit
tuberkulosis paru. Efek hiperglikemi pada penderita diabetes melitus sangat berperan terhadap
mudahnya pasien diabetes mellitus terkena infeksi. Pada penderita TB paru dengan diabetes
mellitus, kepekaan terhadap kuman TB meningkat, reaktifitas fokus infeksi lama, cenderung
lebih banyak kavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih banyak positif. Selain itu,
pasien TB dengan diabetes melitus memiliki respon yang rendah terhadap pengobatan OAT dan
sering terjadi multi-drug resistant.
Meningkatnya prevalensi HIV/AIDS di Indonesia membawa dampak peningkatan
insidens TB serta masalah TB lainnya, seperti TB milier, TB ekstraparu, serta MDR-TB. Adanya
imunokompromais pada penderita HIV/AIDS menyebabkan mudahnya penderita tersebut
terinfeksi kuman TB dan cepatnya perkembangan infeksi TB menjadi penyakit TB.11,12
Cara penularan
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan
dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu
yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab.
16
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.11
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe
pasien, yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk
Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan.
17
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default
maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik,
bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.11,12
Gejala klinis
Gejala utama pasien TB paru adalah
1) Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
2) Gejala tambahan : dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam haritanpa kegiatan
fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
3) Pemeriksaan dahak mikroskopis
Dilakukan untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan
menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan
dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan
yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.
Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahakpagi pada hari kedua.
P (Pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
S (sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi.11
DIAGNOSIS
Diagnosis TB paru
• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi -
sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan da
18
uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto
toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis.
• Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
• Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.11,12
Sumber : Pedoman Nasional – Penanggulangan Tuberkulosis 2007
Diagnosis TB ekstra paru.
• Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada meningitis
TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada
limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-
lainnya.10,11
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Prinsip pengobatan:
OAT kombinasi,jumlah dan dosis sesuai kategori pengobatan.
Pengggunaan OAT kombinasi dosis tetap (KDT) lebih menguntungkan.
Hindari monoterapi.
Untuk menjamin kepatuhan pasien dilakukan pengawasan langsung (DOTS).
JENIS OBAT SIFAT Dosis yang direkomendasikan
Harian 3x seminggu
IZONIAZID (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
RIFAMPICIN (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
19
PYRAZINAMIDE (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
STREPTOMYCIN (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
ETHAMBUTOL (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
• Pasien TB ekstra paru
Berat Badan Tahap Intensif
tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
20
tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
3 kali seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
KOMPLIKASI TUBERKULOSIS
Penyakit tuberkulosis paru tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura empisema, laringitis, usus.
Komplikasi lanjut : obstruksi jalan napas, SOFT (Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat SOPT / fibrosis paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada
TB Milier dan kavitas TB. 10,11,12
BAB III
KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
21
Umur : 25 tahun
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Status pernikahan : Menikah
Alamat : Ketanjung RT 02 RW 04
No RM : 353533
Tanggal Masuk RS : 16 Juli 2013
Dikasuskan Tanggal : 16 Juli 2013
B. ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis : Tanggal 16 Juli 2013
Keluhan Utama : Batuk sejak 2 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
2 minggu sebelum masuk rumah sakit os mengeluh batuk. Batuk disertai dahak
berwarna putih, dahak sulit dikeluarkan. Batuk darah disangkal oleh os. Sesak nafas juga
dirasakan os, tidak ada mengi saat sesak. Rasa berdebar-debar dan keringat dingin
disangkal oleh os. Sesak nafas berkurang setelah os beristirahat. Sesak nafas pada malam
hari sewaktu tidur disangkal oleh os. Sesak nafas tidak dipicu oleh perubahan cuaca,
stress, maupun lingkungan. Selain itu, os merasakan nyeri pada dada kanannya. Nyeri
tidak menjalar ke bahu maupun lengan. Nyeri dirasakan hilang timbul dan tidak
dipengaruhi oleh perubahan posisi. Bengkak pada kedua tungkai disangkal oleh os.
Os juga mengeluh badannya lemas, sering meriang, dan berkeringat pada malam
hari kurang lebih sudah 3 minggu SMRS. Penurunan berat badan tidak diketahui oleh os
namun os mengatakan menjadi tidak nafsu makan. BAB lunak warna kuning 1 kali
sehari, BAK warna kuning dengan frekuensi 5-6 kali sehari. Menurut os, di lingkungan
kerjanya ada beberapa orang yang mengeluh batuk disertai darah. Kebiasaan merokok
22
disangkal oleh os. Os mengatakan tidak pernah dan tidak sedang menjalani pengobatan
TB paru.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat mengalami penyakit yang sama disangkal oleh os.
Riwayat penyakit jantung disangkal oleh os.
Riwayat pengobatan paru selama 6 bulan disangkal oleh os.
Riwayat asma disangkal oleh os.
Riwayat alergi disangkal oleh os.
Riwayat kencing manis disangkal oleh os.
Riwayat hipertensi disangkal oleh os.
Riwayat Keluarga :
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti pasien.
Riwayat penyakit DM, alergi, asma, TB paru, hipertensi, sakit jantung dan ginjal
dalam keluarga disangkal oleh pasien.
C. PEMERIKSAAN JASMANI
a. Pemeriksan umum
Keadaan umum : tampak lemas
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital :
Tekanan darah: 120/80 mmHg
Nadi : 82 kali/menit (irama regular, kuat angkat)
Nafas : 20 kali/menit
Suhu aksila : 36,7o C
Berat badan : 49 kg
Tinggi badan : 165 cm
BMI : 17,99 kg/m2
b. Pemeriksaan Fisik
23
Kulit : ikterik (-), sianosis (-), pucat (-), lesi (-), ptechie (-)
Kepala : normocephali, turgor dahi cukup, tidak teraba benjolan
Mata : edem palpebra (-/-), konjungtiva palpebra pucat (-/-), sclera ikterik (-/-),
pupil isokor diameter 3 mm, refleks cahaya (+/+)
Hidung : pernafasan cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : bibir sianosis (-), tonsil T1-T1 tenang, faring hiperemis (-), atrofi papil
lidah (-), perdarahan gusi (-), hipertrofi ginggiva (-)
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid, deviasi
trakea (+) ke kiri, retraksi suprasternal (-), JVP 5-2 cmH20
Thorax
Inspeksi : bentuk thorax normal, pergerakan dinding dada tidak simetris saat statis
dan dinamis = tampak thoraks kanan tertinggal, tipe pernafasan
thoracoabdominal, retraksi sela iga (-), spider naevi (-), vena kolateral (-),
tidak ada benjolan
Palpasi : fremitus kanan melemah, nyeri tekan pada thoraks kanan (+), sela iga
tidak melebar
Pulmo
Anterior Posterior
Inspeksi Pergerakan dinding
dada tidak simetris saat
statis dan dinamis,
tampak paru kanan
tertinggal
Pergerakan dinding
dada tidak simetris saat
statis dan dinamis,
tampak paru kanan
tertinggal
Palpasi Sela iga tidak melebar,
fremitus fokal melemah
pada sisi sebelah kanan,
nyeri tekan (+) pada sisi
sebelah kanan
Sela iga tidak melebar,
fremitus fokal melemah
pada sisi sebelah
kanan, nyeri tekan (+)
pada sisi sebelah kanan
Perkusi Kiri : Sonor di seluruh Kiri : Sonor di seluruh
24
lapangan paru, Kanan :
redup mulai ICS II,
Batas paru hati dan
peranjakan hati sulit
dinilai
lapang paru, kanan :
redup mulai ICS III
Auskultasi Kiri : Suara nafas dasar
vesikuler, suara nafas
tambahan: ronkhi (-),
wheezing (-)
Kanan : Suara nafas
dasar vesikuler
melemah, suara
tambahan ronkhi basah
(+), wheezing (-)
Kiri : Suara nafas dasar
vesikuler, suara nafas
tambahan: ronkhi (-),
wheezing (-)
Kanan : Suara nafas
dasar vesikuler
melemah, suara
tambahan ronkhi basah
(+), wheezing (-)
Cor
Inspeksi : ictus cordis tampak di ICS V linea midclavicula sinistra
Palpasi : ictus cordis teraba 1 cm medial dari ICS V linea
midclavicula sinistra
Perkusi : Batas kanan : sulit dinilai
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea midclavicula sinistra
Batas kiri : ICS V 1 cm medial linea
midclavicula sinistra
Auskultasi : BJ I-II murni regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : datar, tidak tampak pelebaran vena, tidak tampak luka
bekas operasi, striae (-), caput medusa (-), tidak ada
benjolan
Auskultasi : bising usus (+) normal
25
Perkusi : timpani, shifting dullness (-), area traube timpani, liver
span 8 cm
Palpasi : supel, tidak teraba massa, nyeri tekan epigastrium (-)
Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : nyeri ketok CVA (-), ballotemen (-)
Genital : tidak dilakukan
Ekstremitas :
Superior Inferior
Sianosis -/- -/-
Edema -/- -/-
Akral hangat +/+ +/+
Clubbing finger -/- -/-
Palmar eritem -/- -/-
26
Ekstremitas Dextra Sinistra
Superior
Otot : tonus Normotonus Normotonus
Otot : Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Normal Normal
Gerakan Tidak terbatas Tidak terbatas
Kekuatan +5 +5
Edema - -
Inferior
Otot : tonus Normotonus Normotonus
Otot : massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Normal Normal
Gerakan Tidak terbatas Tidak terbatas
Kekuatan +5 +5
Edema - -
D. Pemeriksaan penunjang
Tanggal 16 /0 7 /2013
HEMATOLOGI
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12,1 g/dl L 13,2 - 17,3
Leukosit 5,58 ribu 3,8 - 10,6
Eosinofil 0,2 % L 1-3
Basofil 0,2 % 0-1
Neutrofil 74,7 % H 50-70
Limfosit 12,7 % L 25-40
Monosit 12,2% H 2-8
MCV 80 fl 80-100
MCH 27,5 pg 26-34
MCHC 34,4 % 32-36
Hematokrit 35,2% L 40-52
Trombosit 508 ribu H 150-440
Eritrosit 4,4 juta 4,4-5,9
RDW 12,6 % 11,5-14,5
PDW 10,1 fl 10-18
MPV 9,6 mikro m3 6,8-10
LED 70/92 mm/jam H 0-10
27
KIMIA
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Gula darah sewaktu 111 mg/dl 75-110
Trigliserida 81 mg/dl < 160
LDL 113,6 mg/dl H < 100
Uric acid 4,16 mg/dl 3,5-7,2
Ureum 37,5 mg/dl 19-44
Creatinin darah 1,1 mg/dl 0,9-1,3
Albumin 3,4 g/dl 3,4-4,8
SGOT 39,3 U/l 0-50
SGPT 43,8 U/l 0-50
Natrium 126,6 mmol/l L 135-147
Kalium 4,48 mmol/l 3,5-5
Calcium 6,9 mmol/l L 8,5-10,1
IMUNOSEROLOGI
Anti HIV stik negative
E. Daftar Abnormalitas
1. batuk berdahak sejak 2 minggu lalu
2. sesak nafas
3. nyeri dada kanan yang hilang timbul
4. lemas, meriang, keringat pada malam hari sejak 3 minggu lalu
5. nafsu makan turun
6. pergerakan thoraks kanan tertinggal
7. nyeri tekan pada paru kanan
28
8. redup di hemithoraks kanan
9. suara nafas vesikuler melemah pada hemithoraks kanan dan terdapat ronkhi basah
pada paru sebelah kanan
10. total protein 4,8 g/dl
11. LDH 874 U/l
F. Assessment
Efusi pleura dextra tipe eksudatif ec TB paru
Dasar diagnosis:
Sesuai dengan abnormalitas 1-11
IPDx :
X-foto thoraks
Sputum BTA (sps)
Ukur kadar glukosa dan amylase dalam cairan pleura
Sitologi cairan pleura
Pemeriksaan hitung jenis sel cairan pleura
Pemeriksaan kultur dan pewarnaan cairan pleura
Biopsi pleura dengan jarum
IPTx :
Torakosentesis
O2 nasal canule 2 liter
Codein 10 mg 3 x 1 tablet
OAT : 2 HRZE dan 4H3R3
Selama 2 bulan meminum : Rifampicin 1 x 450 mg (setiap hari)
INH 1 x 300 mg (setiap hari)
Pyrazinamide 3 x 500 mg (setiap hari)
Etambutol 3 x 500mg (setiap hari)
Selama 4 bulan selanjutnya : INH 1 x 300 mg (seminggu 3 kali)
29
Rifampicin 1 x 450 mg (seminggu 3 kali)
IPMx :
Monitoring keluhan pasien
Monitoring pemeriksaan fisik pasien
IPEx :
Menjelaskan penyakit kepada pasien
Menjelaskan pentingnya keteraturan minum obat
Menasihati pasien agar istirahat yang cukup
G. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
PROGRESS NOTE
Follow up tanggal 17 Juli 2013 pukul 10.00
KU : lemas Kesadaran: compos mentis
S : Batuk dan sesak nafas masih dirasakan tapi sudah berkurang dari kemarin, nyeri dada kanan
juga masih dirasakan, demam (-)
O :
TD: 90/60 mmHg N : 82x/menit RR : 20x/menit Suhu aksilla : 36OC
Pulmo
30
Cor
Inspeksi : ictus
cordis tampak di
ICS V linea
midclavicula
sinistra
Palpasi
: ictus cordis
teraba 1 cm
medial dari ICS
V linea
midclavicula
sinistra
Perkusi : Batas
kanan
: sulit dinilai
Batas
atas
: ICS II linea
parasternalis
sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea midclavicula sinistra
Batas kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicula sinistra
Auskultasi : BJ I-II murni regular, gallop (-), murmur (-)
31
Anterior Posterior
Inspeksi Pergerakan dinding
dada tidak simetris saat
statis dan dinamis,
tampak paru kanan
tertinggal
Pergerakan dinding
dada tidak simetris saat
statis dan dinamis,
tampak paru kanan
tertinggal
Palpasi Sela iga tidak melebar,
fremitus fokal melemah
pada sisi sebelah kanan,
nyeri tekan (+) pada sisi
sebelah kanan
Sela iga tidak melebar,
fremitus fokal melemah
pada sisi sebelah
kanan, nyeri tekan (+)
pada sisi sebelah kanan
Perkusi Kiri : Sonor di seluruh
lapangan paru, Kanan :
redup mulai ICS II,
Batas paru hati dan
peranjakan hati sulit
dinilai
Kiri : Sonor di seluruh
lapang paru, kanan :
redup mulai ICS III
Auskultasi Kiri : Suara nafas dasar
vesikuler, suara nafas
tambahan: ronkhi (-),
wheezing (-)
Kanan : Suara nafas
dasar vesikuler
melemah, suara
tambahan ronkhi basah
(+), wheezing (-)
Kiri : Suara nafas dasar
vesikuler, suara nafas
tambahan: ronkhi (-),
wheezing (-)
Kanan : Suara nafas
dasar vesikuler
melemah, suara
tambahan ronkhi basah
(+), wheezing (-)
Hasil laboratorium tanggal 17 /0 7 /2013
Natrium 133,2 mmol/l
Kalium 3,83 mmol/l
Calcium 6,91 mmol/l
URIN LENGKAP
Albumin negative
Reduksi negative
Bilirubin negative
Reaksi/Ph 6,0
Urobilinogen +3
Benda keton negative
Nitrit negative
Berat jenis 1,025
Darah samar negative
Leukosit negative
Vitamin C negative
Epitel ren 0
Epitel sel 4-6
Eritrosit 1-2
Leukosit 1-2
Silinder 0
Parasit negative
Bakteri negative
Jamur negative
Kristal negative
MIKROBIOLOGI
P. BTA (sputum) negative
A: Efusi pleura dextra tipe eksudatif dengan perbaikan gejala klinis
32
P : - Torakosentesis telah dilakukan tidak ada cairan pleura yang keluar
- Torakosentesis ulang
- Lanjutkan terapi
Follow up tanggal 18 Juli 2013 pukul 15.00
KU : lemas Kesadaran: compos mentis
S : Os masih batuk sedikit (+), sesak nafas dan nyeri dada kanan masih dirasakan tapi sudah
berkurang dari kemarin, demam (-)
O :
TD: 110/70 mmHg
N : 82x/menit
RR : 20x/menit
Suhu aksilla :
36,8OC
Pulmo
33
Anterior Posterior
Inspeksi Pergerakan dinding
dada tidak simetris saat
statis dan dinamis,
tampak paru kanan
tertinggal
Pergerakan dinding
dada tidak simetris saat
statis dan dinamis,
tampak paru kanan
tertinggal
Palpasi Sela iga tidak melebar,
fremitus fokal melemah
pada sisi sebelah kanan,
nyeri tekan (+) pada sisi
sebelah kanan
Sela iga tidak melebar,
fremitus fokal melemah
pada sisi sebelah
kanan, nyeri tekan (+)
pada sisi sebelah kanan
Perkusi Kiri : Sonor di seluruh
lapangan paru, Kanan :
redup mulai ICS II,
Batas paru hati dan
peranjakan hati sulit
dinilai
Kiri : Sonor di seluruh
lapang paru, kanan :
redup mulai ICS III
Auskultasi Kiri : Suara nafas dasar
vesikuler, suara nafas
tambahan: ronkhi (-),
wheezing (-)
Kanan : Suara nafas
dasar vesikuler
melemah, suara
tambahan ronkhi basah
(+), wheezing (-)
Kiri : Suara nafas dasar
vesikuler, suara nafas
tambahan: ronkhi (-),
wheezing (-)
Kanan : Suara nafas
dasar vesikuler
melemah, suara
tambahan ronkhi basah
(+), wheezing (-)
Cor
Inspeksi : ictus cordis tampak di ICS V linea midclavicula sinistra
Palpasi : ictus cordis teraba 1 cm medial dari ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas kanan : sulit dinilai
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea midclavicula sinistra
Batas kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicula sinistra
Auskultasi : BJ I-II murni regular, gallop (-), murmur (-)
Hasil pemeriksaan penunjang tanggal 18/07/2013
USG THORAX
34
Tampak cairan bebas supradiafragma kanan dengan septasi
Titik 1 : (posterior kanan)
Jarak ke kutis 2,07 cm dengan kedalaman -/+ 4,74 cm
Titik 2 : (posterolateral kanan)
Jarak ke kutis -/+ 1,88 cm dengan kedalaman -/+ 4,9 cm
Tak tampak efusi pleura kiri
Kesan:
Mendukung gambaran efusi pleura kanan (suspek gambaran empyema dengan septasi)
A: Efusi pleura dextra tipe eksudatif dengan perbaikan gejala klinis
P : Lanjutkan terapi
Follow up tanggal 19 Juli 2013 pukul 16.00
KU : lemas Kesadaran: compos mentis
S : Os masih batuk sedikit, sesak nafas dan nyeri dada kanan (-), demam (-)
O :
TD: 110/70 mmHg N : 80x/menit RR : 20x/menit Suhu aksilla : 37OC
Pulmo
35
Cor
Inspeksi : ictus cordis tampak di ICS V linea midclavicula sinistra
Palpasi : ictus cordis teraba 1 cm medial dari ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas kanan : ICS IV linea parasternal dekstra
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea midclavicula sinistra
36
Anterior Posterior
Inspeksi Pergerakan dinding
dada simetris saat statis
dan dinamis
Pergerakan dinding
dada simetris saat statis
dan dinamis
Palpasi Sela iga tidak melebar,
fremitus simetris
Sela iga tidak melebar,
fremitus simetris
Perkusi Sonor di seluruh lapang
paru, Batas paru hati :
linea midclavicula
dextra ICS V, batas
peranjakan hati : linea
midclavicula dextra ICS
VI
Sonor di seluruh lapang
paru
Auskultasi Kiri : Suara nafas dasar
vesikuler, suara nafas
tambahan: ronkhi (-),
wheezing (-)
Kanan : Suara nafas
dasar vesikuler
melemah, suara
tambahan ronkhi basah
(+), wheezing (-)
Kiri : Suara nafas dasar
vesikuler, suara nafas
tambahan: ronkhi (-),
wheezing (-)
Kanan : Suara nafas
dasar vesikuler
melemah, suara
tambahan ronkhi basah
(+), wheezing (-)
Batas kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicula sinistra
Auskultasi : BJ I-II murni regular, gallop (-), murmur (-)
Hasil analisa cairan pleura tanggal 19/07/2013
KIMIA
Total protein 4,80 g/dl L 6,0-8,0
LDH 874 U/l H 313-618
CAIRAN
Sel 340 sel/mikroL L < 1000
A: Efusi pleura dextra tipe eksudatif dengan perbaikan gejala klinis
P : - Torakosentesis telah dilakukan cairan pleura yang keluar sebanyak ± 150 cc berwarna
kuning jernih
- Analisa cairan pleura
- Lanjutkan terapi
Follow up tanggal 20 Juli 2013 pukul 11.00
KU : lemas Kesadaran: compos mentis
S : Batuk, sesak nafas, dan nyeri dada kanan (-), demam (-)
O :
TD: 120/70 mmHg N : 80x/menit RR : 20x/menit Suhu aksilla : 36,2OC
Pulmo
37
Cor
Inspeksi : ictus
cordis tampak di
ICS V linea midclavicula sinistra
Palpasi : ictus cordis teraba 1 cm medial dari ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas kanan : ICS IV linea parasternal dekstra
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea midclavicula sinistra
Batas kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicula sinistra
Auskultasi : BJ I-II murni regular, gallop (-), murmur (-)
A: Efusi pleura dextra tipe eksudatif dengan perbaikan gejala klinis
P : Os diijinkan pulang dan lanjutkan terapi
38
Anterior Posterior
Inspeksi Pergerakan dinding
dada simetris saat statis
dan dinamis
Pergerakan dinding
dada simetris saat statis
dan dinamis
Palpasi Sela iga tidak melebar,
fremitus simetris
Sela iga tidak melebar,
fremitus simetris
Perkusi Sonor di seluruh lapang
paru, Batas paru hati :
linea midclavicula
dextra ICS V, batas
peranjakan hati : linea
midclavicula dextra ICS
VI
Sonor di seluruh lapang
paru
Auskultasi Kiri : Suara nafas dasar
vesikuler, suara nafas
tambahan: ronkhi (-),
wheezing (-)
Kanan : Suara nafas
dasar vesikuler
melemah, suara
tambahan ronkhi basah
(+), wheezing (-)
Kiri : Suara nafas dasar
vesikuler, suara nafas
tambahan: ronkhi (-),
wheezing (-)
Kanan : Suara nafas
dasar vesikuler
melemah, suara
tambahan ronkhi basah
(+), wheezing (-)
BAB IV
PEMBAHASAN
Efusi pleura dextra ec TB paru
Epidemiologi Tuberkulosis
Secara persentase 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada
negara-negara berkembang. Prevalensi tertinggi terjadi pada Asia dengan 65% kasus, hal ini
berhubungan dengan tingkat kepadatan penduduk. Dari kasus-kasus diatas sebanyak 75% pasien
TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (20-49 tahun).
Faktor resiko kejadian tuberkulosis
Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru adalah:
1. Umur
Insidensi tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai pada usia dewasa muda, pada
usia produktif, yaitu umur 20 – 49 tahun.
Berdasarkan penelitian kohort Gustafon, et all terdapat suatu efek dosis respon, yaitu
semakin tua umur akan meningkatkan risiko menderita tuberkulosis dengan odds rasio
pada usia 25-34 tahun adalah 1, 36 dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun
adalah 4,08.
2. Jenis Kelamin
Hampir tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas.
Namun, menurut penelitian Gustafon P., et all menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai
risiko 2,58 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan wanita. Mungkin hal
ini berhubungan interaksi sosial. Walaupun insiden tuberkulosis paru pada wanita lebih
rendah daripada pria, perkembangan infeksi TB paru menjadi penyakit TB paru pada
wanita lebih cepat dibandingkan dengan pria.
3. Gizi
Terdapat bukti yang jelas bahwa gizi buruk mengurangi daya tahan tubuh terhadap
penyakit tuberkulosis. Faktor ini sangat penting, baik pada orang dewasa maupun pada
anak. Menurut Hernilla, et all, orang yang menkonsumsi vitamin C lebih dari 90 mg/hari
39
dan mengkonsumsi lebih dari rata-rata jumlah sayuran, buah-buahan, dan berry, secara
signifikan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit tuberkulosis.
4. Kondisi Lingkungan Rumah
Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi lingkungan rumah dalam risiko kejadian
infeksi tuberkulosis adalah kepadatan rumah, intensitas cahaya yang masuk, dan
kelembapan udara.
Intensitas cahaya yang alami, yaitu sinar matahari, sangat berperan dalam penularan
kuman TB karena kuman TB relatif tidak tahan terhadap terhadap sinar matahari
(Depkes, 2006). Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko 3,7 kali
untuk menularkan tuberkulosis dibandingkan dengan rumah yang tidak dimasuki sinar
matahari.
Kelembapan udara mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Rumah yang memiliki
kelembapan lebih dari 60% memiliki risiko terkena infeksi tuberkulosis. 10,7 kali
dibandingkan dengan rumah yang kelembapannya lebih kecil dari 60%.
5. Pendidikan
Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau masyarakat
dan perilaku terhadap penggunaan sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Proporsi
kejadian TB lebih banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai pendidikan yang
rendah, dimana kelompok ini lebih banyak mencari pengobatan tradisional dibandingkan
pelayanan medis.
6. Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan
penyakit, karena dengan pendapatan yang cukup maka akan ada kemampuan
menyediakan biaya kesehatan serta mampu menciptakan lingkungan rumah yang sehat
dan makanan yang bergizi. Sembilan puluh persen penderita TB terjadi pada penduduk
dengan status ekonomi rendah dan umumnya terjadi pada negara berkembang termasuk
Indonesia.
7. Riwayat Penyakit Penyerta
Beberapa penyakit penyerta tertentu rentan tertular penyakit tuberkulosis seperti
penderita penyakit HIV/AIDS, hepatitis akut, kelainan hati kronik, gangguan ginjal,
diabetes melitus, dan penderita pengguna kortikosteroid.
40
Penelitian yang dilakukan oleh Tanjung (1998) mendapatkan bahwa dari 733 penderita
TB paru, penderita juga menderita diabetes melitus 11,7 %, hipertensi 9,28%, kelainan
hati 2,7%, kelainan jantung 1,9%, kelainan ginjal 0,9% dan struma 0,4%.
Penderita diabetes melitus memiliki risiko 2-3 kali lebih sering untuk terkena penyakit
tuberkulosis paru. Efek hiperglikemi pada penderita diabetes melitus sangat berperan
terhadap mudahnya pasien diabetes mellitus terkena infeksi. Pada penderita TB paru
dengan diabetes mellitus, kepekaan terhadap kuman TB meningkat, reaktifitas fokus
infeksi lama, cenderung lebih banyak kavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih
banyak positif. Selain itu, pasien TB dengan diabetes melitus memiliki respon yang
rendah terhadap pengobatan OAT dan sering terjadi multi-drug resistant.
Meningkatnya prevalensi HIV/AIDS di Indonesia membawa dampak peningkatan
insidens TB serta masalah TB lainnya, seperti TB milier, TB ekstraparu, serta MDR-TB.
Adanya imunokompromais pada penderita HIV/AIDS menyebabkan mudahnya penderita
tersebut terinfeksi kuman TB dan cepatnya perkembangan infeksi TB menjadi penyakit
TB.
perkembangan infeksi TB menjadi penyakit TB.
Pada kasus ditemukan :
Usia dari Os adalah 25 tahun, hal ini sesuai dengan hasil penelitian epidemiologi
yang menyatakan umur penderita TB terbanyak adalah pada rentang umur 20-49
tahun.
Jenis kelamin dari Os adalah pria, hal ini sesuai dengan hasil penelitian epidemiologi
yang menyatakan tuberkulosis banyak terjadi pada pria.
Gizi dari Os termasuk baik, hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian epidemiologi
yang menyatakan tuberkulosis banyak pada gizi buruk.
Pendidikan dari Os adalah sampai SMA (Sekolah Menengah Atas), hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa penderita TB terbanyak ditemukan
pada penderita dengan tingkat pendidikan rendah.
Pekerjaan dari Os adalah buruh, hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa
penderita TB terbanyak adalah penderita dengan status ekonomi rendah.
41
Gejala Klinis
Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam akut disertai batuk non
produktif (94%) dan nyeri dada (78%) tanpa peningkatan leukosit darah tepi. Penurunan berat
badan dan malaise biasa dijumpai, demikian juga menggigil. Sebagian besar efusi pleura TB
bersifat unilateral (95%), agak lebih sering di sisi kanan. Jumlah cairan efusi bervariasi dari
sedikit hingga banyak, meliputi setengah dari hemithoraks. Jumlah maupun terjadinya efusi tidak
mempengaruhi prognosis.
Pada kasus, Os mengalami batuk produktif dengan dahak berwarna putih. Os juga
mengalami nyeri dada dan mengeluh badannya lemas, sering meriang, dan berkeringat pada
malam hari kurang lebih sudah 3 minggu SMRS. Penurunan berat badan tidak diketahui namun
pasien mengatakan menjadi tidak nafsu makan. Menurut pasien, di lingkungan kerjanya ada
beberapa orang yang mengeluh batuk disertai darah. Hal ini sesuai dengan gejala klinis yang
ditemukan pada efusi pleura.
Pemeriksaan Fisik
Pada efusi pleura didapatkan:
Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan
pleural yang signifikan.
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan
berpindah tempat. Bagian yang sakit akan tertinggal bergerak dalam pernapasan, fremitus
melemah (raba dan vocal), dan pada perkusi didapati daerah pekak.
Pada kasus, pemeriksaan fisik ditemukan adanya pergerakan dinding dada tidak simetris
saat statis dan dinamis = tampak thoraks kanan tertinggal, fremitus kanan melemah, nyeri tekan
pada thoraks kanan (+), perkusi redup pada daerah yang kanan, dan pada auskultasi ditemukan
suara napas vesikuler melemah dengan rhonki basah pada paru kanan. Hal ini sesuai dengan
pemeriksaan fisik yang ditemukan pada efusi pleura.
42
Diagnosis TB Ekstra Paru
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada meningitis
TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada
limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lainnya.
Pada kasus, Os mengeluhkan adanya nyeri pada dada dan Os diperiksa sputumnya
hasilnya negatif. Tetapi saya tetap menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan BTA untuk
lebih memastikan diagnosis.
Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologik mempunyai nilai yang tinggi dalam menegakkan diagnosis efusi
pleura, meskipun tidak berguna dalam menentukan faktor penyebabnya. Pada foto toraks terlihat
perselubungan homogen dengan batas atas yang cekung atau datar, dan sudut kostofrenikus yang
tumpul; cairan dengan jumlah yang sedikit hanya akan memberikan gambaran berupa
penumpulan sudut kostofrenikus. Cairan berjumlah kurang dari 100 ml tidak akan terlihat pada
foto toraks yang dibuat dengan teknik biasa. Bayangan homogen baru dapat terlihat jelas apabila
cairan efusi lebih dari 300 ml. Apabila cairan tidak tampak pada foto postero-anterior (PA),
maka dapat dibuat foto pada posisi dekubitus lateral.
Efusi pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan dikonfirmasi
dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks posisi lateral decubitus dapat diketahui adanya cairan
dalam rongga pleura sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan dengan posisi AP atau PA paling
tidak cairan dalam rongga pleura sebanyak 300 ml. Pada foto thoraks posisi AP atau PA
ditemukan adanya sudut costophrenicus yang tidak tajam.
Thorakosentesis / punksi pleura
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui thorakosentesis (pengambilan cairan
melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke dalam rongga dada dibawah
pengaruh pembiusan lokal dan mengalirkan cairan) atau dengan memasukkan chest tube (tube
thoracostomy) pada dada dan membiarkannya selama beberapa hari, kadang disambungkan
dengan suction. Aspirasi cairan pleura berguna sebagai sarana diagnostik maupun terapeutik.
43
Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada
bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan memakai jarum kateter nomor 14-16.
Analisa cairan pleura
Bila efusi pleura telah didiagnosis, penyebabnya harus diketahui, kemudian cairan pleura
diambil dengan jarum, yaitu melalui torakosentesis / punksi pleura. Setelah didapatkan cairan
efusi dilakukan pemeriksaan seperti:
Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH), albumin, amylase, pH, dan
glukosa.
Dilakukan pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui kemungkinan terjadi
infeksi bakteri.
Pemeriksaan hitung sel.
Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan.
Transudat Eksudat
Kadar protein dalam efusi
(g/dl)
< 3 > 3
Kadar protein dalam efusi < 0,5 > 0,5
Kadar protein dalam serum
Kadar LDH dalam efusi (IU) < 200 > 200
Kadar LDH dalam efusi < 0,6 > 0,6
Kadar LDH dalam serum
Berat jenis cairan efusi < 1,016 > 1,016
Rivalta Negatif Positif
Biopsi
Diagnosis dari pleuritis TB secara umum ditegakkan dengan analisis cairan pleura dan
biopsi pleura. Biopsi pleura parietal telah menjadi tes diagnositik yang paling sensitif untuk
Pleuritis TB. Pemeriksaan histopatologis jaringan pleura menunjukkan peradangan
granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA positif.
Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh,
penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan. Biopsi pleura perlu dipikirkan setelah
hasil pemeriksaan sitologik ternyata negatif. Diagnosis keganasan dapat ditegakkan dengan
44
biopsi pleura tertutup pada 60% penderita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa biopsi yang
dilakukan berulang (dua sampai empat kali) dapat meningkatkan diagnosis sebesar 24%. Biopsi
pleura dapat dilakukan dengan jarum.
Ultrasonografi (USG)
Adalah alat diagnostik noninvasif menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi diatas
20.000 hertz (>20 kilohertz) untuk menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.
Obyek didalam tubuh akan memantulkan kembali gelombang suara yang kemudian akan
ditangkap oleh suatu sensor, gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan
di layar.
Aplikasi klinis USG toraks
1. Kelainan pleura
Efusi pleura tampak seperti lapisan hipoechoic diantara pleura parietal dan visceral. Gerakan
bagian paru yang atelektasis dapat terlihat melalui cairan pleura. Efusi pleura paling baik terlihat
dari dinding luar dada dibelakang linea midaksilaris pada posisi terlentang dengan probe
mengarah ke atas. Pasien yang duduk atau berdiri dapat terlihat dari posterior atau lateral dinding
dada. Transudat dan eksudat terlihat anechoic atau hypoechoic. Efusi pleura dengan echogenicity
merata tampak seperti badai salju umumnya menandakan empiema yang mengandung protein
atau sisa jaringan. Lokulasi atau kantong-kantong empiema menandakan empiema kompleks dan
lebih bagus terlihat dengan USG toraks dari CT scan. Perbedaan antara abses paru dan empiema
kadang sulit karena pusat hypoechoic atau daerah echogenic digambarkan sama pada lapisan
darah. Penebalan pleura, empiema dan pelebaran pleura digambarkan hypoechoic. Efusi ganas,
lesi metastasis atau mesotelioma umumnya terlihat hypoechoic.
2. Pneumotoraks
Udara terlokalisir dalam kavum pleura paling bagus terlihat pada posisi terlentang dengan posisi
probe dipegang tegak lurus di dinding anterior dada. Kedalaman pneumotoraks tidak dapat
diukur. Pneumotoraks umumnya didiagnosis dengan tidak terdapat tanda gerakan normal pleura
viseral dan parietal seperti ekor komet dan terdapat gambaran gema yang berlebihan.
3. Pneumonia
Konsolidasi paru yang menempel dinding dada atau efusi pleura terkantong tampak echogenic.
Gambaran serupa terlihat pada perdarahan paru, karsinoma bronkoalveolar dan infark paru.
45
Struktur hyperechoic yang bercabang menandakan air bronchogram. Paru yang atelektasis
umumnya hypoechoic tanpa ada air bronchogram.
4. Kanker paru atau metastasis diparu
Gambaran tumor paru pada USG toraks dapat terlihat dengan baik. Massa tumor dekat pleura
tampak hypoechoic. Gambaran tumor pancoast dengan USG toraks dibanding CT scan lebih
baik. MRI memberikan gambaran terbaik dibanding USG toraks dan CT scan.
5. Biopsi dengan penuntun USG toraks
Biopsi jarum dengan penuntun USG toraks belum banyak dilakukan. Penelitian besar dengan
menggunakan USG dibanding CT scan belum ada yang melakukan. Ahli paru di Amerika dan
Jerman melakukan biopsi jarum dengan bantuan USG toraks. Negara-negara lain belum banyak
yang melakukan meskipun penggunaan USG toraks lebih murah dan mudah jika dibanding CT
scan tapi dikarenakan keterampilan operator pengguna USG toraks belum banyak sehingga
masih jarang yang melakukan. Massa subpleura, dinding dada dan dalam pleura dapat dibiopsi
jarum dengan penuntun USG toraks.
Indikasi Penggunaan USG Thorax
Indikasi penggunaan USG toraks pada awalnya hanya terbatas pada kasus-kasus gawat
darurat. Penggunaan pada kasus darurat dikarenakan pemeriksaan radiologi membutuhkan ruang
khusus dan alat yang lebih besar dan rumit untuk dijalankan sedang USG toraks lebih kecil dan
tidak memerlukan ruangan khusus. Penggunaan USG toraks dapat langsung dikerjakan
disamping tempat tidur pasien tanpa harus memindahkan pasien. Pemeriksaan juga dapat
langsung dilakukan oleh dokter diruang gawat darurat tanpa perlu dokter ahli radiologi. Berikut
ini indikasi penggunaan USG toraks :
1. Membedakan efusi pleura atau penebalan pleura.
2. Mendeteksi efusi pleura dan pemandu untuk punksi terutama efusi yang minimal dan
terlokalisir.
3. Membedakan efusi pleura dan kelumpuhan diafragma, dilihat dari gambaran radiologi
meragukan.
4. Menentukan pneumotoraks terutama dalam keadaan gawat darurat dan peralatan
radiologi tidak tersedia atau masih menunggu lama hasil radiologi.
5. Menilai invasi tumor ke pleura atau dinding dada dan memandu biopsi jarum untuk
tumor.
46
6. Mengevaluasi pasien dengan pleuritis yang sangat nyeri.
Pada kasus, dilakukan punksi pleura pada tanggal 17 Juli 2013 tapi tidak ada cairan
pleura yang keluar maka dari itu dilakukanlah usg thorax untuk mendeteksi apakah benar adanya
efusi pleura (usg merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang amat sensitif untuk kelainan
berupa cairan di rongga tubuh) dan sebagai pemandu untuk punksi terutama efusi yang minimal
dan terlokalisir. Setelah itu dilakukan punksi pleura yang kedua pada tanggal 19 Juli 2013
dimana didapatkan cairan pleura sebanyak ± 150 cc berwarna kuning jernih. Dilakukanlah
analisa cairan pleura dimana didapatkan hasil berupa LDH 874 U/l dan protein total 4,08 g/dl,
dimana cairan pleura tersebut termasuk tipe yang eksudatif.
Untuk memastikan efusi pleura ini terjadi akibat TB paru maka harus dilakukan lagi
pemeriksaan histopatologi terhadap jaringan pleura, dimana hasilnya menunjukkan peradangan
granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA positif.
Pengobatan
Pengobatan TB paru meliputi:
JENIS OBAT SIFAT Dosis yang direkomendasikan
Harian 3x seminggu
IZONIAZID (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
RIFAMPICIN (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
PYRAZINAMIDE (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
STREPTOMYCIN (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
ETHAMBUTOL (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)
47
Pada kasus dengan berat badan 49 kg diberikan:
OAT : 2 HRZE dan 4H3R3
Selama 2 bulan meminum : Rifampicin 1 x 450 mg (setiap hari)
INH 1 x 300 mg (setiap hari)
Pyrazinamide 3 x 500 mg (setiap hari)
Etambutol 3 x 500mg (setiap hari)
Selama 4 bulan selanjutnya : INH 1 x 300 mg (seminggu 3 kali)
Rifampicin 1 x 450 mg (seminggu 3 kali)
Hal ini tidak sesuai dengan panduan pengobatan TB dimana pyrazinamide diberikan 3 x 500 mg
(setiap hari) dan etambutol diberikan 3 x 500mg (setiap hari) seharusnya diberikan dalam dosis
tunggal pyrazinamide 1 x 1500 mg dan etambutol 1 x 1500 mg (setiap hari).
48
BAB V
KESIMPULAN
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi yang banyak ditemui di
Indonesia. Organ yang sering terlibat yaitu limfonodi, pleura, hepar dan organ gastro intestinal
lainnya, organ genitourinarius, peritoneum, dan perikardium. Pleuritis TB merupakan TB ekstra
paru kedua terbanyak setelah limfadenitis TB. Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kita
dapat menentukan diagnosis tersebut.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, os diduga
menderita efusi pleura dextra ec TB paru.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus KS, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.hal.2329-31.
2. Efusi pleura. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25638/4/Chapter
%20II.pdf, 30 Juli 2013.
3. Diunduh dari eprints.undip.ac.id/12318/1/2003PPDS.pdf, 30 Juli 2013.
4. Richard L. Disorder of the pleura and mediastinum. Harrison’s principle of internal medicine.
18th ed. Editor: Fauci Antony, Braunwald Eugene, Kasper Dennis. USA: McGraw Hill;
2008.p.1658-61.
5. Murtala B. Deteksi efusi pada radiografi thoraks posisi supine. 11 Juni 2006. Diunduh dari
http://med.unhas.ac.id, 30 Juli 2013.
6. Abrahamian FM. Pleural effusion. Diunduh dari www.emedicine.com/med/topic462.htm, 30
Juli 2013.
7. Rubins J. Pleural effusion. Diunduh dari www.emedicine.com/med/topic1843.htm, 30 Juli
2013.
8. Moore C, Molina A, Lin H. Ultrasonography in community emergency departments in the
United States: Access to ultrasonography performed by consultants and status of emergency
physician performed ultrasonography. USA: Ann Emerg Med; 2006.p.47,147-53.
9. Yang P, Luh K, Chang D. Value of sonography in determining the nature of pleural effusion:
analysis of 320 cases. AJR Am J Roentgenol; 2004.p.159,29-33.
10. Amin, Zulkifli, Bahar, Asril. Tuberkulosis paru. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III.
Edisi V. Interna Publishing: Jakarta; 2009.hal.2231-9.
11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional penanggulangan
tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta; 2007.hal.13-35.
12. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison’s
principle of internal medicine. 18th ed. USA: McGraw Hill; 2008.p.5625-51.
50