efusi pleura

73
KATA PENGANTAR egala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena terselesaikannya, case besar yang berjudul “ Efusi pleura dextra ec TB paru”. Case ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta diajukan guna memenuhi persyaratan penilaian di Kepaniteraan Klinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Mardi Rahayu, Kudus. S Penghargaan dan rasa terima kasih disampaikan kepada dr. Luluk Adipratikto, Sp.P yang telah memberikan dorongan, bimbingan, dan pengarahan dalam pembuatan case besar ini. Penyusun juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan case besar ini. Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan case besar ini masih jauh dari sempurna, baik mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dari penyusun dalam mengerjakan penyusunan case besar ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua. 1

description

makalah kasus kecil vinia tentang efusi pleura stase interna kudus periode agustus 2013 dengan dokter pembimbing dr. Luluk, Sp.P.

Transcript of efusi pleura

KATA PENGANTAR

egala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

terselesaikannya, case besar yang berjudul “Efusi pleura dextra ec TB paru”. Case ini

disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta diajukan guna memenuhi

persyaratan penilaian di Kepaniteraan Klinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Mardi Rahayu,

Kudus.

SPenghargaan dan rasa terima kasih disampaikan kepada dr. Luluk Adipratikto, Sp.P yang

telah memberikan dorongan, bimbingan, dan pengarahan dalam pembuatan case besar ini.

Penyusun juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik

secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan case besar ini.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan case besar ini masih jauh dari sempurna,

baik mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh

keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dari penyusun dalam mengerjakan penyusunan case

besar ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini memberikan informasi bagi

masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Kudus, Agustus 2013

Penyusun

1

DAFTAR ISI

Kata Pengantar..............................…………………………….…………………………….....1

BAB I. Pendahuluan……………………..............................….……………………………... 3

BAB II. Tinjauan Pustaka ............................................................................................................4

BAB III. Kasus............................................................................................................................22

BAB IV. Pembahasan........................………………………………………………………..39

BAB V. Kesimpulan...................................................................................................................49

Daftar Pustaka….………………………………………….......................................................50

2

BAB I

PENDAHULUAN

Efusi pleura TB sering ditemukan di negara berkembang termasuk di Indonesia meskipun

diagnosis pasti sulit ditegakkan. Efusi pleura timbul sebagai akibat dari suatu penyakit, sebab itu

hendaknya dicari penyebabnya. Gambaran klinik dan radiologik antara transudat dan eksudat

bahkan antara efusi pleura tuberkulosis dan non tuberkulosis hampir tidak dapat dibedakan,

sebab itu pemeriksaan laboratorium menjadi sangat penting. Setelah adanya efusi pleura dapat

dibuktikan melalui pungsi percobaan, kemudian diteruskan dengan membedakan eksudat dan

transudat dan akhirnya dicari etiologinya. Apabila diagnosis efusi pleura tuberkulosis sudah

ditegakkan maka pengelolaannya tidak menjadi masalah, efusinya ditangani seperti efusi pada

umumnya, sedangkan tuberkulosisnya diterapi seperti tuberkulosis pada umumnya.1

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia.

Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada

tahun 2002. 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Hampir sekitar sepertiga penduduk dunia telah

terinfeksi kuman tuberkulosis. TB ekstra paru berkisar antara 9,7 sampai 46% dari semua kasus

TB. Organ yang sering terlibat yaitu limfonodi, pleura, hepar dan organ gastro intestinal lainnya,

organ genitourinarius, peritoneum, dan perikardium. Pleuritis TB merupakan TB ekstraparu

kedua terbanyak setelah limfadenitis TB. Angka kejadian pleuritis TB dilaporkan bervariasi

antara 4% di USA sampai 23% di Spanyol.2

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Efusi pleura

Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan di rongga pleura.

Penumpukan cairan dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan karena

terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura viseralis.1,3

Etiologi

Cairan pleura terakumulasi jika pembentukan cairan melebihi absorpsi cairan pleura.

Normalnya, cairan pleura memasuki rongga pleura dari kapiler dalam pleura parietalis dan

diangkut melalui jaringan limfatik yang terletak dalam pleura parietalis. Cairan juga dapat

memasuki rongga pleura dari ruang interstitium paru melalui pleura viseralis atau dari kavum

peritoneum melalui lubang kecil yang ada pada diafragma. Saluran limfe memiliki kapasitas

menyerap 20 kali lebih besar cairan daripada cairan yang dihasilkan dalam keadaan normalnya.

Oleh karenanya, efusi pleura dapat terbentuk jika ada pembentukan cairan pleura yang

berlebihan dari (pleura parietalis, ruang interstitium paru, atau kavum peritoneum) atau jika ada

penurunan pengangkutan cairan oleh jaringan limfatik.3

Patofisiologi

Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan di dalam rongga pleura. Jumlah

cairan di rongga pleura tetap, karena adanya tekanan hidrostatis pleura parietalis sebesar 9 cm

H2O. Akumulasi cairan pleura dapat terjadi apabila tekanan osmotik koloid menurun misalnya

pada penderita hipoalbuminemia dan bertambahnya permeabilitas kapiler akibat ada proses

peradangan atau neoplasma, bertambahnya tekanan hidrostatis akibat kegagalan jantung dan

tekanan negatif intrapleura apabila terjadi atelektasis paru. Efusi pleura berarti terjadi

pengumpulan sejumlah besar cairan bebas dalam kavum pleura. Kemungkinan penyebab efusi

antara lain : (1) penghambatan drainase limfatik dari rongga pleura, (2) gagal jantung yang

menyebabkan tekanan kapiler paru dan tekanan perifer menjadi sangat tinggi sehingga

menimbulkan transudasi cairan yang berlebihan ke dalam rongga pleura (3) sangat menurunnya

4

tekanan osmotik kolora plasma, jadi juga memungkinkan transudasi cairan yang berlebihan (4)

infeksi atau setiap penyebab peradangan apapun pada permukaan pleura dari rongga pleura, yang

memecahkan membran kapiler dan memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan ke

dalam rongga secara cepat.2,3

Atas dasar kejadiannya efusi dapat dibedakan atas transudat dan eksudat pleura.

Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena disertai peningkatan

tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatik karena tekanan osmotic koloid yang menurun. Eksudat

dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi. Cairan keluar langsung dari kapiler

sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini juga mengandung banyak sel

darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya rendah sekali atau nihil sehingga berat

jenisnya rendah.2

Gejala klinis

Adanya timbunan cairan mengakibatkan rasa nyeri karena pergesekan, setelah cairan

cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.

Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada

pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosis), banyak keringat,

batuk.

Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan

pleural yang signifikan.

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan

berpindah tempat. Bagian yang sakit akan tertinggal bergerak dalam pernapasan, fremitus

melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk

permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).

Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas

garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan

mendorong mediastinum ke sisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler

melemah dengan ronkhi.

5

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan radiologik mempunyai nilai yang tinggi dalam menegakkan diagnosis efusi

pleura, meskipun tidak berguna dalam menentukan faktor penyebabnya. Pada foto toraks terlihat

perselubungan homogen dengan batas atas yang cekung atau datar, dan sudut kostofrenikus yang

tumpul; cairan dengan jumlah yang sedikit hanya akan memberikan gambaran berupa

penumpulan sudut kostofrenikus. Cairan berjumlah kurang dari 100 ml tidak akan terlihat pada

foto toraks yang dibuat dengan teknik biasa. Bayangan homogen baru dapat terlihat jelas apabila

cairan efusi lebih dari 300 ml. Apabila cairan tidak tampak pada foto postero-anterior (PA),

maka dapat dibuat foto pada posisi dekubitus lateral.

Efusi pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan dikonfirmasi

dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks posisi lateral decubitus dapat diketahui adanya cairan

dalam rongga pleura sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan dengan posisi AP atau PA paling

tidak cairan dalam rongga pleura sebanyak 300 ml. Pada foto thoraks posisi AP atau PA

ditemukan adanya sudut costophrenicus yang tidak tajam.4

Thorakosentesis / punksi pleura

Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan

pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui thorakosentesis (pengambilan cairan

melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke dalam rongga dada dibawah

pengaruh pembiusan lokal dan mengalirkan cairan) atau dengan memasukkan chest tube (tube

thoracostomy) pada dada dan membiarkannya selama beberapa hari, kadang disambungkan

dengan suction.5,6 Aspirasi cairan pleura berguna sebagai sarana diagnostik maupun terapeutik.

Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada

bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan memakai jarum kateter nomor 14-16.

c.   Analisa cairan pleura

Bila efusi pleura telah didiagnosis, penyebabnya harus diketahui, kemudian cairan pleura

diambil dengan jarum, yaitu melalui torakosentesis / punksi pleura. Setelah didapatkan cairan

efusi dilakukan pemeriksaan seperti:5,6

Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH), albumin, amylase, pH, dan

glukosa.

6

Dilakukan pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui kemungkinan terjadi

infeksi bakteri.

Pemeriksaan hitung sel.

Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan.1

Transudat Eksudat

Kadar protein dalam efusi

(g/dl)

< 3 > 3

Kadar protein dalam efusi < 0,5 > 0,5

Kadar protein dalam serum

Kadar LDH dalam efusi (IU) < 200 > 200

Kadar LDH dalam efusi < 0,6 > 0,6

Kadar LDH dalam serum

Berat jenis cairan efusi < 1,016 > 1,016

Rivalta Negatif Positif

Tabel 1. Perbedaan cairan transudat dan eksudat.7

Biopsi

Diagnosis dari pleuritis TB secara umum ditegakkan dengan analisis cairan pleura dan

biopsi pleura. Biopsi pleura parietal telah menjadi tes diagnositik yang paling sensitif untuk

Pleuritis TB. Pemeriksaan histopatologis jaringan pleura menunjukkan peradangan

granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA positif.1,5,6

Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh,

penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan. Biopsi pleura perlu dipikirkan setelah

hasil pemeriksaan sitologik ternyata negatif. Diagnosis keganasan dapat ditegakkan dengan

biopsi pleura tertutup pada 60% penderita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa biopsi yang

dilakukan berulang (dua sampai empat kali) dapat meningkatkan diagnosis sebesar 24%. Biopsi

pleura dapat dilakukan dengan jarum.1

Ultrasonografi (USG)

7

Adalah alat diagnostik noninvasif menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi diatas

20.000 hertz (>20 kilohertz) untuk menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.8

Obyek didalam tubuh akan memantulkan kembali gelombang suara yang kemudian akan

ditangkap oleh suatu sensor, gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan

di layar.

Gambaran normal thorax

Gambaran dinding dada normal terdiri dari lapisan jaringan lunak, otot dan fascia adalah

echogenic. Tulang rusuk digambarkan seperti garis echogenic diatas lapisan jaringan lunak, otot

dan fascia. Pleura parietal digambarkan seperti dua garis echogenic dibawah tulang rusuk.

Gambar 1. Gambaran normal USG toraks.9

Aplikasi klinis USG toraks

1. Kelainan pleura

Efusi pleura tampak seperti lapisan hipoechoic diantara pleura parietal dan visceral. Gerakan

bagian paru yang atelektasis dapat terlihat melalui cairan pleura. Efusi pleura paling baik terlihat

dari dinding luar dada dibelakang linea midaksilaris pada posisi terlentang dengan probe

mengarah ke atas. Pasien yang duduk atau berdiri dapat terlihat dari posterior atau lateral dinding

dada. Transudat dan eksudat terlihat anechoic atau hypoechoic. Efusi pleura dengan echogenicity

merata tampak seperti badai salju umumnya menandakan empiema yang mengandung protein

atau sisa jaringan. Lokulasi atau kantong-kantong empiema menandakan empiema kompleks dan

lebih bagus terlihat dengan USG toraks dari CT scan. Perbedaan antara abses paru dan empiema

kadang sulit karena pusat hypoechoic atau daerah echogenic digambarkan sama pada lapisan

8

darah. Penebalan pleura, empiema dan pelebaran pleura digambarkan hypoechoic. Efusi ganas,

lesi metastasis atau mesotelioma umumnya terlihat hypoechoic.

Gambar 2. Efusi pleura luas dan minimal.9

2. Pneumotoraks

Udara terlokalisir dalam kavum pleura paling bagus terlihat pada posisi terlentang dengan posisi

probe dipegang tegak lurus di dinding anterior dada. Kedalaman pneumotoraks tidak dapat

diukur. Pneumotoraks umumnya didiagnosis dengan tidak terdapat tanda gerakan normal pleura

viseral dan parietal seperti ekor komet dan terdapat gambaran gema yang berlebihan.

3. Pneumonia

Konsolidasi paru yang menempel dinding dada atau efusi pleura terkantong tampak echogenic.

Gambaran serupa terlihat pada perdarahan paru, karsinoma bronkoalveolar dan infark paru.

9

Struktur hyperechoic yang bercabang menandakan air bronchogram. Paru yang atelektasis

umumnya hypoechoic tanpa ada air bronchogram.

4. Kanker paru atau metastasis diparu

Gambaran tumor paru pada USG toraks dapat terlihat dengan baik. Massa tumor dekat pleura

tampak hypoechoic. Gambaran tumor pancoast dengan USG toraks dibanding CT scan lebih

baik. MRI memberikan gambaran terbaik dibanding USG toraks dan CT scan.

5. Biopsi dengan penuntun USG toraks

Biopsi jarum dengan penuntun USG toraks belum banyak dilakukan. Penelitian besar dengan

menggunakan USG dibanding CT scan belum ada yang melakukan. Ahli paru di Amerika dan

Jerman melakukan biopsi jarum dengan bantuan USG toraks. Negara-negara lain belum banyak

yang melakukan meskipun penggunaan USG toraks lebih murah dan mudah jika dibanding CT

scan tapi dikarenakan keterampilan operator pengguna USG toraks belum banyak sehingga

masih jarang yang melakukan. Massa subpleura, dinding dada dan dalam pleura dapat dibiopsi

jarum dengan penuntun USG toraks.

Posisi pasien pada pemeriksaan USG toraks:9

10

Indikasi Penggunaan USG Thorax

Indikasi penggunaan USG toraks pada awalnya hanya terbatas pada kasus-kasus gawat

darurat. Penggunaan pada kasus darurat dikarenakan pemeriksaan radiologi membutuhkan ruang

khusus dan alat yang lebih besar dan rumit untuk dijalankan sedang USG toraks lebih kecil dan

tidak memerlukan ruangan khusus. Penggunaan USG toraks dapat langsung dikerjakan

disamping tempat tidur pasien tanpa harus memindahkan pasien. Pemeriksaan juga dapat

langsung dilakukan oleh dokter diruang gawat darurat tanpa perlu dokter ahli radiologi. Berikut

ini indikasi penggunaan USG toraks :

1. Membedakan efusi pleura atau penebalan pleura.

2. Mendeteksi efusi pleura dan pemandu untuk punksi terutama efusi yang minimal dan

terlokalisir.

3. Membedakan efusi pleura dan kelumpuhan diafragma, dilihat dari gambaran radiologi

meragukan.

4. Menentukan pneumotoraks terutama dalam keadaan gawat darurat dan peralatan

radiologi tidak tersedia atau masih menunggu lama hasil radiologi.

5. Menilai invasi tumor ke pleura atau dinding dada dan memandu biopsi jarum untuk

tumor.

6. Mengevaluasi pasien dengan pleuritis yang sangat nyeri.

Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti,

diagnosis pasti ditegakkan melalui punksi, biopsi dan analisa cairan pleura.

Penatalaksanaan

Setelah diagnosis efusi pleura ditegakkan, penyebab terjadinya harus diidentifikasi.

Terapi biasanya bertujuan mengobati penyebab yang mendasari.

I. Jika pernafasan tidak adekuat, terapi oksigen dapat diberikan.

II. Pemberian antibiotik jika terbukti ada infeksi.

III. Tirah baring, bertujuan untuk menurunkan kebutuhan oksigen karena peningkatan

aktivitas akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga dyspnea akan semakin

meningkat pula.

11

Efusi pleura TB

Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis

yang dikenal juga dengan nama pleuritis TB. Peradangan rongga pleura pada umumnya secara

klasik berhubungan dengan infeksi TB paru primer. Berbeda dengan bentuk TB di luar paru,

infeksi TB pada organ tersebut telah terdapat kuman Mycobacterium Tuberculosis pada fase

basilemia primer.

Efusi pleura TB bisa ditemui dalam 2 bentuk. Pertama dalam bentuk cairan serosa,

bentuk ini yang paling banyak dijumpai. Bentuk kedua yang jauh lebih jarang adalah empiema

TB. Bentuk kedua ini merupakan gagalnya efusi pleura TB primer yang gagal mengalami

resolusi berlanjut ke proses supuratif kronik.

Proses di pleura terjadi akibat penyebaran atau perluasan proses peradangan melalui

pleura viseral sebagai proses hipersensitivitas tipe lambat. Mekanisme ini berlaku pada beberapa

kasus tetapi data epidemiologi terbaru pleuritis TB mengarahkan mekanisme patogenik lain pada

sebagian besar proporsi kasus. Pada pasien dewasa yang lebih tua kelainan pada pleura

berhubungan dengan reaktivasi TB paru. Efusi pleura harus dicurigai akibat penyebaran infeksi

sebenarnya ke ruang pleura dibandingkan prinsip reaksi imunologi terhadap antigen

Mycobacterium Tuberculosis. Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam

akut disertai batuk non produktif (94%) dan nyeri dada (78%) tanpa peningkatan leukosit darah

tepi. Penurunan berat badan dan malaise biasa dijumpai, demikian juga menggigil. Sebagian

besar efusi pleura TB bersifat unilateral (95%), agak lebih sering di sisi kanan. Jumlah cairan

efusi bervariasi dari sedikit hingga banyak, meliputi setengah dari hemithoraks. Jumlah maupun

terjadinya efusi tidak mempengaruhi prognosis.

TB paru

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB

(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga

mengenai organ tubuh lainnya.10

12

Epidemiologi

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia namun hingga saat ini TB masih

menjadi masalah kesehatan dunia yang utama. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia

telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.11

Secara persentase 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada

negara-negara berkembang. Prevalensi tertinggi terjadi pada Asia dengan 65% kasus, hal ini

berhubungan dengan tingkat kepadatan penduduk (gambar 1).

Dari kasus-kasus diatas sebanyak 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling

produktif secara ekonomis (20-49 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan

kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan.

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB global antara lain antara lain:

1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang

sedang berkembang.

2. Kegagalan program TB yang diakibatkan oleh:

Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan

Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat,

diagnosis kasus yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya)

Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar,

gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)

Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG

Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis

ekonomi atau pergolakan masyarakat

Peningkatan penduduk dunia umur

Dampak pandemi infeksi HIV

13

Gambar 1. Insiden TB dunia

Sumber : Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di

Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien

sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada

539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per

100.000 penduduk.

Prevalensi tertinggi terdapat di NTT dengan angka kejadian 0,74 %, sedangakn

prevelensi terendah terdapat di Bali dengan angka kejadian 0,08 %.11

Faktor resiko kejadian tuberkulosis

Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru adalah:

1. Umur

Insidensi tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai pada usia dewasa muda, pada

usia produktif, yaitu umur 20 – 49 tahun.

Berdasarkan penelitian kohort Gustafon, et all terdapat suatu efek dosis respon, yaitu

semakin tua umur akan meningkatkan risiko menderita tuberkulosis dengan odds rasio

pada usia 25-34 tahun adalah 1, 36 dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun

adalah 4,08.

2. Jenis Kelamin

Hampir tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas.

Namun, menurut penelitian Gustafon P., et all menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai

14

risiko 2,58 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan wanita. Mungkin hal

ini berhubungan interaksi sosial. Walaupun insiden tuberkulosis paru pada wanita lebih

rendah daripada pria, perkembangan infeksi TB paru menjadi penyakit TB paru pada

wanita lebih cepat dibandingkan dengan pria.

3. Gizi

Terdapat bukti yang jelas bahwa gizi buruk mengurangi daya tahan tubuh terhadap

penyakit tuberkulosis. Faktor ini sangat penting, baik pada orang dewasa maupun pada

anak. Menurut Hernilla, et all, orang yang menkonsumsi vitamin C lebih dari 90 mg/hari

dan mengkonsumsi lebih dari rata-rata jumlah sayuran, buah-buahan, dan berry, secara

signifikan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit tuberkulosis.

4. Kondisi Lingkungan Rumah

Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi lingkungan rumah dalam risiko kejadian

infeksi tuberkulosis adalah kepadatan rumah, intensitas cahaya yang masuk, dan

kelembapan udara.

Intensitas cahaya yang alami, yaitu sinar matahari, sangat berperan dalam penularan

kuman TB karena kuman TB relatif tidak tahan terhadap terhadap sinar matahari

(Depkes, 2006). Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko 3,7 kali

untuk menularkan tuberkulosis dibandingkan dengan rumah yang tidak dimasuki sinar

matahari.

Kelembapan udara mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Rumah yang memiliki

kelembapan lebih dari 60% memiliki risiko terkena infeksi tuberkulosis. 10,7 kali

dibandingkan dengan rumah yang kelembapannya lebih kecil dari 60%.

5. Pendidikan

Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau masyarakat

dan perilaku terhadap penggunaan sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Proporsi

kejadian TB lebih banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai pendidikan yang

rendah, dimana kelompok ini lebih banyak mencari pengobatan tradisional dibandingkan

pelayanan medis.

6. Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan

penyakit, karena dengan pendapatan yang cukup maka akan ada kemampuan

15

menyediakan biaya kesehatan serta mampu menciptakan lingkungan rumah yang sehat

dan makanan yang bergizi. Sembilan puluh persen penderita TB terjadi pada penduduk

dengan status ekonomi rendah dan umumnya terjadi pada negara berkembang termasuk

Indonesia.

7. Riwayat Penyakit Penyerta

Beberapa penyakit penyerta tertentu rentan tertular penyakit tuberkulosis seperti

penderita penyakit HIV/AIDS, hepatitis akut, kelainan hati kronik, gangguan ginjal,

diabetes melitus, dan penderita pengguna kortikosteroid.

Penelitian yang dilakukan oleh Tanjung (1998) mendapatkan bahwa dari 733 penderita

TB paru, penderita juga menderita diabetes melitus 11,7 %, hipertensi 9,28%, kelainan hati

2,7%, kelainan jantung 1,9%, kelainan ginjal 0,9% dan struma 0,4%.

Penderita diabetes melitus memiliki risiko 2-3 kali lebih sering untuk terkena penyakit

tuberkulosis paru. Efek hiperglikemi pada penderita diabetes melitus sangat berperan terhadap

mudahnya pasien diabetes mellitus terkena infeksi. Pada penderita TB paru dengan diabetes

mellitus, kepekaan terhadap kuman TB meningkat, reaktifitas fokus infeksi lama, cenderung

lebih banyak kavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih banyak positif. Selain itu,

pasien TB dengan diabetes melitus memiliki respon yang rendah terhadap pengobatan OAT dan

sering terjadi multi-drug resistant.

Meningkatnya prevalensi HIV/AIDS di Indonesia membawa dampak peningkatan

insidens TB serta masalah TB lainnya, seperti TB milier, TB ekstraparu, serta MDR-TB. Adanya

imunokompromais pada penderita HIV/AIDS menyebabkan mudahnya penderita tersebut

terinfeksi kuman TB dan cepatnya perkembangan infeksi TB menjadi penyakit TB.11,12

Cara penularan

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan

dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu

yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari

langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam

keadaan yang gelap dan lembab.

16

Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari

parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien

tersebut.

Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi

percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.11

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe

pasien, yaitu:

1) Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang

dari satu bulan (4 minggu).

2) Kasus kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan

telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif

(apusan atau kultur).

3) Kasus setelah putus berobat (Default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4) Kasus setelah gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada

bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5) Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan

pengobatannya.

6) Kasus lain:

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk

Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai

pengobatan ulangan.

17

Catatan:

TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default

maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik,

bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.11,12

Gejala klinis

Gejala utama pasien TB paru adalah

1) Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.

2) Gejala tambahan : dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu

makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam haritanpa kegiatan

fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.

3) Pemeriksaan dahak mikroskopis

Dilakukan untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan

menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan

dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan

yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).

S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.

Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk

mengumpulkan dahakpagi pada hari kedua.

P (Pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun

tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

S (sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak

pagi.11

DIAGNOSIS

Diagnosis TB paru

• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi -

sewaktu (SPS).

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB

(BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak

mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan da

18

uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan

indikasinya.

• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto

toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering

terjadi overdiagnosis.

• Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

• Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.11,12

Sumber : Pedoman Nasional – Penanggulangan Tuberkulosis 2007

Diagnosis TB ekstra paru.

• Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada meningitis

TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada

limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-

lainnya.10,11

PENGOBATAN TUBERKULOSIS

Prinsip pengobatan:

OAT kombinasi,jumlah dan dosis sesuai kategori pengobatan.

Pengggunaan OAT kombinasi dosis tetap (KDT) lebih menguntungkan.

Hindari monoterapi.

Untuk menjamin kepatuhan pasien dilakukan pengawasan langsung (DOTS).

JENIS OBAT SIFAT Dosis yang direkomendasikan

Harian 3x seminggu

IZONIAZID (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)

RIFAMPICIN (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)

19

PYRAZINAMIDE (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)

STREPTOMYCIN (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)

ETHAMBUTOL (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

• Pasien baru TB paru BTA positif.

• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

• Pasien TB ekstra paru

Berat Badan Tahap Intensif

tiap hari selama 56 hari

RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu selama 16 minggu

RH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

Pasien kambuh

Pasien gagal

Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan

20

tiap hari selama 56 hari

RHZE (150/75/400/275)

3 kali seminggu selama 16 minggu

RH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

KOMPLIKASI TUBERKULOSIS

Penyakit tuberkulosis paru tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi.

Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.

Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura empisema, laringitis, usus.

Komplikasi lanjut : obstruksi jalan napas, SOFT (Sindrom Obstruksi Pasca

Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat SOPT / fibrosis paru, kor pulmonal,

amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada

TB Milier dan kavitas TB. 10,11,12

BAB III

KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A

Jenis Kelamin : Laki-laki

21

Umur : 25 tahun

Agama : Islam

Suku bangsa : Jawa

Status pernikahan : Menikah

Alamat : Ketanjung RT 02 RW 04

No RM : 353533

Tanggal Masuk RS : 16 Juli 2013

Dikasuskan Tanggal : 16 Juli 2013

B. ANAMNESIS

Diambil dari autoanamnesis : Tanggal 16 Juli 2013

Keluhan Utama : Batuk sejak 2 minggu SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

2 minggu sebelum masuk rumah sakit os mengeluh batuk. Batuk disertai dahak

berwarna putih, dahak sulit dikeluarkan. Batuk darah disangkal oleh os. Sesak nafas juga

dirasakan os, tidak ada mengi saat sesak. Rasa berdebar-debar dan keringat dingin

disangkal oleh os. Sesak nafas berkurang setelah os beristirahat. Sesak nafas pada malam

hari sewaktu tidur disangkal oleh os. Sesak nafas tidak dipicu oleh perubahan cuaca,

stress, maupun lingkungan. Selain itu, os merasakan nyeri pada dada kanannya. Nyeri

tidak menjalar ke bahu maupun lengan. Nyeri dirasakan hilang timbul dan tidak

dipengaruhi oleh perubahan posisi. Bengkak pada kedua tungkai disangkal oleh os.

Os juga mengeluh badannya lemas, sering meriang, dan berkeringat pada malam

hari kurang lebih sudah 3 minggu SMRS. Penurunan berat badan tidak diketahui oleh os

namun os mengatakan menjadi tidak nafsu makan. BAB lunak warna kuning 1 kali

sehari, BAK warna kuning dengan frekuensi 5-6 kali sehari. Menurut os, di lingkungan

kerjanya ada beberapa orang yang mengeluh batuk disertai darah. Kebiasaan merokok

22

disangkal oleh os. Os mengatakan tidak pernah dan tidak sedang menjalani pengobatan

TB paru.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat mengalami penyakit yang sama disangkal oleh os.

Riwayat penyakit jantung disangkal oleh os.

Riwayat pengobatan paru selama 6 bulan disangkal oleh os.

Riwayat asma disangkal oleh os.

Riwayat alergi disangkal oleh os.

Riwayat kencing manis disangkal oleh os.

Riwayat hipertensi disangkal oleh os.

Riwayat Keluarga :

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti pasien.

Riwayat penyakit DM, alergi, asma, TB paru, hipertensi, sakit jantung dan ginjal

dalam keluarga disangkal oleh pasien.

C. PEMERIKSAAN JASMANI

a. Pemeriksan umum

Keadaan umum : tampak lemas

Kesadaran : compos mentis

Tanda vital :

Tekanan darah: 120/80 mmHg

Nadi : 82 kali/menit (irama regular, kuat angkat)

Nafas : 20 kali/menit

Suhu aksila : 36,7o C

Berat badan : 49 kg

Tinggi badan : 165 cm

BMI : 17,99 kg/m2

b. Pemeriksaan Fisik

23

Kulit : ikterik (-), sianosis (-), pucat (-), lesi (-), ptechie (-)

Kepala : normocephali, turgor dahi cukup, tidak teraba benjolan

Mata : edem palpebra (-/-), konjungtiva palpebra pucat (-/-), sclera ikterik (-/-),

pupil isokor diameter 3 mm, refleks cahaya (+/+)

Hidung : pernafasan cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)

Mulut : bibir sianosis (-), tonsil T1-T1 tenang, faring hiperemis (-), atrofi papil

lidah (-), perdarahan gusi (-), hipertrofi ginggiva (-)

Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid, deviasi

trakea (+) ke kiri, retraksi suprasternal (-), JVP 5-2 cmH20

Thorax

Inspeksi : bentuk thorax normal, pergerakan dinding dada tidak simetris saat statis

dan dinamis = tampak thoraks kanan tertinggal, tipe pernafasan

thoracoabdominal, retraksi sela iga (-), spider naevi (-), vena kolateral (-),

tidak ada benjolan

Palpasi : fremitus kanan melemah, nyeri tekan pada thoraks kanan (+), sela iga

tidak melebar

Pulmo

Anterior Posterior

Inspeksi Pergerakan dinding

dada tidak simetris saat

statis dan dinamis,

tampak paru kanan

tertinggal

Pergerakan dinding

dada tidak simetris saat

statis dan dinamis,

tampak paru kanan

tertinggal

Palpasi Sela iga tidak melebar,

fremitus fokal melemah

pada sisi sebelah kanan,

nyeri tekan (+) pada sisi

sebelah kanan

Sela iga tidak melebar,

fremitus fokal melemah

pada sisi sebelah

kanan, nyeri tekan (+)

pada sisi sebelah kanan

Perkusi Kiri : Sonor di seluruh Kiri : Sonor di seluruh

24

lapangan paru, Kanan :

redup mulai ICS II,

Batas paru hati dan

peranjakan hati sulit

dinilai

lapang paru, kanan :

redup mulai ICS III

Auskultasi Kiri : Suara nafas dasar

vesikuler, suara nafas

tambahan: ronkhi (-),

wheezing (-)

Kanan : Suara nafas

dasar vesikuler

melemah, suara

tambahan ronkhi basah

(+), wheezing (-)

Kiri : Suara nafas dasar

vesikuler, suara nafas

tambahan: ronkhi (-),

wheezing (-)

Kanan : Suara nafas

dasar vesikuler

melemah, suara

tambahan ronkhi basah

(+), wheezing (-)

Cor

Inspeksi : ictus cordis tampak di ICS V linea midclavicula sinistra

Palpasi : ictus cordis teraba 1 cm medial dari ICS V linea

midclavicula sinistra

Perkusi : Batas kanan : sulit dinilai

Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra

Pinggang jantung : ICS III linea midclavicula sinistra

Batas kiri : ICS V 1 cm medial linea

midclavicula sinistra

Auskultasi : BJ I-II murni regular, gallop (-), murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : datar, tidak tampak pelebaran vena, tidak tampak luka

bekas operasi, striae (-), caput medusa (-), tidak ada

benjolan

Auskultasi : bising usus (+) normal

25

Perkusi : timpani, shifting dullness (-), area traube timpani, liver

span 8 cm

Palpasi : supel, tidak teraba massa, nyeri tekan epigastrium (-)

Hati : tidak teraba

Lien : tidak teraba

Ginjal : nyeri ketok CVA (-), ballotemen (-)

Genital : tidak dilakukan

Ekstremitas :

Superior Inferior

Sianosis -/- -/-

Edema -/- -/-

Akral hangat +/+ +/+

Clubbing finger -/- -/-

Palmar eritem -/- -/-

26

Ekstremitas Dextra Sinistra

Superior

Otot : tonus Normotonus Normotonus

Otot : Massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Normal Normal

Gerakan Tidak terbatas Tidak terbatas

Kekuatan +5 +5

Edema - -

Inferior

Otot : tonus Normotonus Normotonus

Otot : massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Normal Normal

Gerakan Tidak terbatas Tidak terbatas

Kekuatan +5 +5

Edema - -

D. Pemeriksaan penunjang

Tanggal 16 /0 7 /2013

HEMATOLOGI

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 12,1 g/dl L 13,2 - 17,3

Leukosit 5,58 ribu 3,8 - 10,6

Eosinofil 0,2 % L 1-3

Basofil 0,2 % 0-1

Neutrofil 74,7 % H 50-70

Limfosit 12,7 % L 25-40

Monosit 12,2% H 2-8

MCV 80 fl 80-100

MCH 27,5 pg 26-34

MCHC 34,4 % 32-36

Hematokrit 35,2% L 40-52

Trombosit 508 ribu H 150-440

Eritrosit 4,4 juta 4,4-5,9

RDW 12,6 % 11,5-14,5

PDW 10,1 fl 10-18

MPV 9,6 mikro m3 6,8-10

LED 70/92 mm/jam H 0-10

27

KIMIA

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Gula darah sewaktu 111 mg/dl 75-110

Trigliserida 81 mg/dl < 160

LDL 113,6 mg/dl H < 100

Uric acid 4,16 mg/dl 3,5-7,2

Ureum 37,5 mg/dl 19-44

Creatinin darah 1,1 mg/dl 0,9-1,3

Albumin 3,4 g/dl 3,4-4,8

SGOT 39,3 U/l 0-50

SGPT 43,8 U/l 0-50

Natrium 126,6 mmol/l L 135-147

Kalium 4,48 mmol/l 3,5-5

Calcium 6,9 mmol/l L 8,5-10,1

IMUNOSEROLOGI

Anti HIV stik negative

E. Daftar Abnormalitas

1. batuk berdahak sejak 2 minggu lalu

2. sesak nafas

3. nyeri dada kanan yang hilang timbul

4. lemas, meriang, keringat pada malam hari sejak 3 minggu lalu

5. nafsu makan turun

6. pergerakan thoraks kanan tertinggal

7. nyeri tekan pada paru kanan

28

8. redup di hemithoraks kanan

9. suara nafas vesikuler melemah pada hemithoraks kanan dan terdapat ronkhi basah

pada paru sebelah kanan

10. total protein 4,8 g/dl

11. LDH 874 U/l

F. Assessment

Efusi pleura dextra tipe eksudatif ec TB paru

Dasar diagnosis:

Sesuai dengan abnormalitas 1-11

IPDx :

X-foto thoraks

Sputum BTA (sps)

Ukur kadar glukosa dan amylase dalam cairan pleura

Sitologi cairan pleura

Pemeriksaan hitung jenis sel cairan pleura

Pemeriksaan kultur dan pewarnaan cairan pleura

Biopsi pleura dengan jarum

IPTx :

Torakosentesis

O2 nasal canule 2 liter

Codein 10 mg 3 x 1 tablet

OAT : 2 HRZE dan 4H3R3

Selama 2 bulan meminum : Rifampicin 1 x 450 mg (setiap hari)

INH 1 x 300 mg (setiap hari)

Pyrazinamide 3 x 500 mg (setiap hari)

Etambutol 3 x 500mg (setiap hari)

Selama 4 bulan selanjutnya : INH 1 x 300 mg (seminggu 3 kali)

29

Rifampicin 1 x 450 mg (seminggu 3 kali)

IPMx :

Monitoring keluhan pasien

Monitoring pemeriksaan fisik pasien

IPEx :

Menjelaskan penyakit kepada pasien

Menjelaskan pentingnya keteraturan minum obat

Menasihati pasien agar istirahat yang cukup

G. Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

PROGRESS NOTE

Follow up tanggal 17 Juli 2013 pukul 10.00

KU : lemas Kesadaran: compos mentis

S : Batuk dan sesak nafas masih dirasakan tapi sudah berkurang dari kemarin, nyeri dada kanan

juga masih dirasakan, demam (-)

O :

TD: 90/60 mmHg N : 82x/menit RR : 20x/menit Suhu aksilla : 36OC

Pulmo

30

Cor

Inspeksi : ictus

cordis tampak di

ICS V linea

midclavicula

sinistra

Palpasi

: ictus cordis

teraba 1 cm

medial dari ICS

V linea

midclavicula

sinistra

Perkusi : Batas

kanan

: sulit dinilai

Batas

atas

: ICS II linea

parasternalis

sinistra

Pinggang jantung : ICS III linea midclavicula sinistra

Batas kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicula sinistra

Auskultasi : BJ I-II murni regular, gallop (-), murmur (-)

31

Anterior Posterior

Inspeksi Pergerakan dinding

dada tidak simetris saat

statis dan dinamis,

tampak paru kanan

tertinggal

Pergerakan dinding

dada tidak simetris saat

statis dan dinamis,

tampak paru kanan

tertinggal

Palpasi Sela iga tidak melebar,

fremitus fokal melemah

pada sisi sebelah kanan,

nyeri tekan (+) pada sisi

sebelah kanan

Sela iga tidak melebar,

fremitus fokal melemah

pada sisi sebelah

kanan, nyeri tekan (+)

pada sisi sebelah kanan

Perkusi Kiri : Sonor di seluruh

lapangan paru, Kanan :

redup mulai ICS II,

Batas paru hati dan

peranjakan hati sulit

dinilai

Kiri : Sonor di seluruh

lapang paru, kanan :

redup mulai ICS III

Auskultasi Kiri : Suara nafas dasar

vesikuler, suara nafas

tambahan: ronkhi (-),

wheezing (-)

Kanan : Suara nafas

dasar vesikuler

melemah, suara

tambahan ronkhi basah

(+), wheezing (-)

Kiri : Suara nafas dasar

vesikuler, suara nafas

tambahan: ronkhi (-),

wheezing (-)

Kanan : Suara nafas

dasar vesikuler

melemah, suara

tambahan ronkhi basah

(+), wheezing (-)

Hasil laboratorium tanggal 17 /0 7 /2013

Natrium 133,2 mmol/l

Kalium 3,83 mmol/l

Calcium 6,91 mmol/l

URIN LENGKAP

Albumin negative

Reduksi negative

Bilirubin negative

Reaksi/Ph 6,0

Urobilinogen +3

Benda keton negative

Nitrit negative

Berat jenis 1,025

Darah samar negative

Leukosit negative

Vitamin C negative

Epitel ren 0

Epitel sel 4-6

Eritrosit 1-2

Leukosit 1-2

Silinder 0

Parasit negative

Bakteri negative

Jamur negative

Kristal negative

MIKROBIOLOGI

P. BTA (sputum) negative

A: Efusi pleura dextra tipe eksudatif dengan perbaikan gejala klinis

32

P : - Torakosentesis telah dilakukan tidak ada cairan pleura yang keluar

- Torakosentesis ulang

- Lanjutkan terapi

Follow up tanggal 18 Juli 2013 pukul 15.00

KU : lemas Kesadaran: compos mentis

S : Os masih batuk sedikit (+), sesak nafas dan nyeri dada kanan masih dirasakan tapi sudah

berkurang dari kemarin, demam (-)

O :

TD: 110/70 mmHg

N : 82x/menit

RR : 20x/menit

Suhu aksilla :

36,8OC

Pulmo

33

Anterior Posterior

Inspeksi Pergerakan dinding

dada tidak simetris saat

statis dan dinamis,

tampak paru kanan

tertinggal

Pergerakan dinding

dada tidak simetris saat

statis dan dinamis,

tampak paru kanan

tertinggal

Palpasi Sela iga tidak melebar,

fremitus fokal melemah

pada sisi sebelah kanan,

nyeri tekan (+) pada sisi

sebelah kanan

Sela iga tidak melebar,

fremitus fokal melemah

pada sisi sebelah

kanan, nyeri tekan (+)

pada sisi sebelah kanan

Perkusi Kiri : Sonor di seluruh

lapangan paru, Kanan :

redup mulai ICS II,

Batas paru hati dan

peranjakan hati sulit

dinilai

Kiri : Sonor di seluruh

lapang paru, kanan :

redup mulai ICS III

Auskultasi Kiri : Suara nafas dasar

vesikuler, suara nafas

tambahan: ronkhi (-),

wheezing (-)

Kanan : Suara nafas

dasar vesikuler

melemah, suara

tambahan ronkhi basah

(+), wheezing (-)

Kiri : Suara nafas dasar

vesikuler, suara nafas

tambahan: ronkhi (-),

wheezing (-)

Kanan : Suara nafas

dasar vesikuler

melemah, suara

tambahan ronkhi basah

(+), wheezing (-)

Cor

Inspeksi : ictus cordis tampak di ICS V linea midclavicula sinistra

Palpasi : ictus cordis teraba 1 cm medial dari ICS V linea midclavicula sinistra

Perkusi : Batas kanan : sulit dinilai

Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra

Pinggang jantung : ICS III linea midclavicula sinistra

Batas kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicula sinistra

Auskultasi : BJ I-II murni regular, gallop (-), murmur (-)

Hasil pemeriksaan penunjang tanggal 18/07/2013

USG THORAX

34

Tampak cairan bebas supradiafragma kanan dengan septasi

Titik 1 : (posterior kanan)

Jarak ke kutis 2,07 cm dengan kedalaman -/+ 4,74 cm

Titik 2 : (posterolateral kanan)

Jarak ke kutis -/+ 1,88 cm dengan kedalaman -/+ 4,9 cm

Tak tampak efusi pleura kiri

Kesan:

Mendukung gambaran efusi pleura kanan (suspek gambaran empyema dengan septasi)

A: Efusi pleura dextra tipe eksudatif dengan perbaikan gejala klinis

P : Lanjutkan terapi

Follow up tanggal 19 Juli 2013 pukul 16.00

KU : lemas Kesadaran: compos mentis

S : Os masih batuk sedikit, sesak nafas dan nyeri dada kanan (-), demam (-)

O :

TD: 110/70 mmHg N : 80x/menit RR : 20x/menit Suhu aksilla : 37OC

Pulmo

35

Cor

Inspeksi : ictus cordis tampak di ICS V linea midclavicula sinistra

Palpasi : ictus cordis teraba 1 cm medial dari ICS V linea midclavicula sinistra

Perkusi : Batas kanan : ICS IV linea parasternal dekstra

Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra

Pinggang jantung : ICS III linea midclavicula sinistra

36

Anterior Posterior

Inspeksi Pergerakan dinding

dada simetris saat statis

dan dinamis

Pergerakan dinding

dada simetris saat statis

dan dinamis

Palpasi Sela iga tidak melebar,

fremitus simetris

Sela iga tidak melebar,

fremitus simetris

Perkusi Sonor di seluruh lapang

paru, Batas paru hati :

linea midclavicula

dextra ICS V, batas

peranjakan hati : linea

midclavicula dextra ICS

VI

Sonor di seluruh lapang

paru

Auskultasi Kiri : Suara nafas dasar

vesikuler, suara nafas

tambahan: ronkhi (-),

wheezing (-)

Kanan : Suara nafas

dasar vesikuler

melemah, suara

tambahan ronkhi basah

(+), wheezing (-)

Kiri : Suara nafas dasar

vesikuler, suara nafas

tambahan: ronkhi (-),

wheezing (-)

Kanan : Suara nafas

dasar vesikuler

melemah, suara

tambahan ronkhi basah

(+), wheezing (-)

Batas kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicula sinistra

Auskultasi : BJ I-II murni regular, gallop (-), murmur (-)

Hasil analisa cairan pleura tanggal 19/07/2013

KIMIA

Total protein 4,80 g/dl L 6,0-8,0

LDH 874 U/l H 313-618

CAIRAN

Sel 340 sel/mikroL L < 1000

A: Efusi pleura dextra tipe eksudatif dengan perbaikan gejala klinis

P : - Torakosentesis telah dilakukan cairan pleura yang keluar sebanyak ± 150 cc berwarna

kuning jernih

- Analisa cairan pleura

- Lanjutkan terapi

Follow up tanggal 20 Juli 2013 pukul 11.00

KU : lemas Kesadaran: compos mentis

S : Batuk, sesak nafas, dan nyeri dada kanan (-), demam (-)

O :

TD: 120/70 mmHg N : 80x/menit RR : 20x/menit Suhu aksilla : 36,2OC

Pulmo

37

Cor

Inspeksi : ictus

cordis tampak di

ICS V linea midclavicula sinistra

Palpasi : ictus cordis teraba 1 cm medial dari ICS V linea midclavicula sinistra

Perkusi : Batas kanan : ICS IV linea parasternal dekstra

Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra

Pinggang jantung : ICS III linea midclavicula sinistra

Batas kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicula sinistra

Auskultasi : BJ I-II murni regular, gallop (-), murmur (-)

A: Efusi pleura dextra tipe eksudatif dengan perbaikan gejala klinis

P : Os diijinkan pulang dan lanjutkan terapi

38

Anterior Posterior

Inspeksi Pergerakan dinding

dada simetris saat statis

dan dinamis

Pergerakan dinding

dada simetris saat statis

dan dinamis

Palpasi Sela iga tidak melebar,

fremitus simetris

Sela iga tidak melebar,

fremitus simetris

Perkusi Sonor di seluruh lapang

paru, Batas paru hati :

linea midclavicula

dextra ICS V, batas

peranjakan hati : linea

midclavicula dextra ICS

VI

Sonor di seluruh lapang

paru

Auskultasi Kiri : Suara nafas dasar

vesikuler, suara nafas

tambahan: ronkhi (-),

wheezing (-)

Kanan : Suara nafas

dasar vesikuler

melemah, suara

tambahan ronkhi basah

(+), wheezing (-)

Kiri : Suara nafas dasar

vesikuler, suara nafas

tambahan: ronkhi (-),

wheezing (-)

Kanan : Suara nafas

dasar vesikuler

melemah, suara

tambahan ronkhi basah

(+), wheezing (-)

BAB IV

PEMBAHASAN

Efusi pleura dextra ec TB paru

Epidemiologi Tuberkulosis

Secara persentase 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada

negara-negara berkembang. Prevalensi tertinggi terjadi pada Asia dengan 65% kasus, hal ini

berhubungan dengan tingkat kepadatan penduduk. Dari kasus-kasus diatas sebanyak 75% pasien

TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (20-49 tahun).

Faktor resiko kejadian tuberkulosis

Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru adalah:

1. Umur

Insidensi tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai pada usia dewasa muda, pada

usia produktif, yaitu umur 20 – 49 tahun.

Berdasarkan penelitian kohort Gustafon, et all terdapat suatu efek dosis respon, yaitu

semakin tua umur akan meningkatkan risiko menderita tuberkulosis dengan odds rasio

pada usia 25-34 tahun adalah 1, 36 dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun

adalah 4,08.

2. Jenis Kelamin

Hampir tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas.

Namun, menurut penelitian Gustafon P., et all menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai

risiko 2,58 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan wanita. Mungkin hal

ini berhubungan interaksi sosial. Walaupun insiden tuberkulosis paru pada wanita lebih

rendah daripada pria, perkembangan infeksi TB paru menjadi penyakit TB paru pada

wanita lebih cepat dibandingkan dengan pria.

3. Gizi

Terdapat bukti yang jelas bahwa gizi buruk mengurangi daya tahan tubuh terhadap

penyakit tuberkulosis. Faktor ini sangat penting, baik pada orang dewasa maupun pada

anak. Menurut Hernilla, et all, orang yang menkonsumsi vitamin C lebih dari 90 mg/hari

39

dan mengkonsumsi lebih dari rata-rata jumlah sayuran, buah-buahan, dan berry, secara

signifikan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit tuberkulosis.

4. Kondisi Lingkungan Rumah

Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi lingkungan rumah dalam risiko kejadian

infeksi tuberkulosis adalah kepadatan rumah, intensitas cahaya yang masuk, dan

kelembapan udara.

Intensitas cahaya yang alami, yaitu sinar matahari, sangat berperan dalam penularan

kuman TB karena kuman TB relatif tidak tahan terhadap terhadap sinar matahari

(Depkes, 2006). Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko 3,7 kali

untuk menularkan tuberkulosis dibandingkan dengan rumah yang tidak dimasuki sinar

matahari.

Kelembapan udara mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Rumah yang memiliki

kelembapan lebih dari 60% memiliki risiko terkena infeksi tuberkulosis. 10,7 kali

dibandingkan dengan rumah yang kelembapannya lebih kecil dari 60%.

5. Pendidikan

Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau masyarakat

dan perilaku terhadap penggunaan sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Proporsi

kejadian TB lebih banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai pendidikan yang

rendah, dimana kelompok ini lebih banyak mencari pengobatan tradisional dibandingkan

pelayanan medis.

6. Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan

penyakit, karena dengan pendapatan yang cukup maka akan ada kemampuan

menyediakan biaya kesehatan serta mampu menciptakan lingkungan rumah yang sehat

dan makanan yang bergizi. Sembilan puluh persen penderita TB terjadi pada penduduk

dengan status ekonomi rendah dan umumnya terjadi pada negara berkembang termasuk

Indonesia.

7. Riwayat Penyakit Penyerta

Beberapa penyakit penyerta tertentu rentan tertular penyakit tuberkulosis seperti

penderita penyakit HIV/AIDS, hepatitis akut, kelainan hati kronik, gangguan ginjal,

diabetes melitus, dan penderita pengguna kortikosteroid.

40

Penelitian yang dilakukan oleh Tanjung (1998) mendapatkan bahwa dari 733 penderita

TB paru, penderita juga menderita diabetes melitus 11,7 %, hipertensi 9,28%, kelainan

hati 2,7%, kelainan jantung 1,9%, kelainan ginjal 0,9% dan struma 0,4%.

Penderita diabetes melitus memiliki risiko 2-3 kali lebih sering untuk terkena penyakit

tuberkulosis paru. Efek hiperglikemi pada penderita diabetes melitus sangat berperan

terhadap mudahnya pasien diabetes mellitus terkena infeksi. Pada penderita TB paru

dengan diabetes mellitus, kepekaan terhadap kuman TB meningkat, reaktifitas fokus

infeksi lama, cenderung lebih banyak kavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih

banyak positif. Selain itu, pasien TB dengan diabetes melitus memiliki respon yang

rendah terhadap pengobatan OAT dan sering terjadi multi-drug resistant.

Meningkatnya prevalensi HIV/AIDS di Indonesia membawa dampak peningkatan

insidens TB serta masalah TB lainnya, seperti TB milier, TB ekstraparu, serta MDR-TB.

Adanya imunokompromais pada penderita HIV/AIDS menyebabkan mudahnya penderita

tersebut terinfeksi kuman TB dan cepatnya perkembangan infeksi TB menjadi penyakit

TB.

perkembangan infeksi TB menjadi penyakit TB.

Pada kasus ditemukan :

Usia dari Os adalah 25 tahun, hal ini sesuai dengan hasil penelitian epidemiologi

yang menyatakan umur penderita TB terbanyak adalah pada rentang umur 20-49

tahun.

Jenis kelamin dari Os adalah pria, hal ini sesuai dengan hasil penelitian epidemiologi

yang menyatakan tuberkulosis banyak terjadi pada pria.

Gizi dari Os termasuk baik, hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian epidemiologi

yang menyatakan tuberkulosis banyak pada gizi buruk.

Pendidikan dari Os adalah sampai SMA (Sekolah Menengah Atas), hal ini sesuai

dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa penderita TB terbanyak ditemukan

pada penderita dengan tingkat pendidikan rendah.

Pekerjaan dari Os adalah buruh, hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa

penderita TB terbanyak adalah penderita dengan status ekonomi rendah.

41

Gejala Klinis

Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam akut disertai batuk non

produktif (94%) dan nyeri dada (78%) tanpa peningkatan leukosit darah tepi. Penurunan berat

badan dan malaise biasa dijumpai, demikian juga menggigil. Sebagian besar efusi pleura TB

bersifat unilateral (95%), agak lebih sering di sisi kanan. Jumlah cairan efusi bervariasi dari

sedikit hingga banyak, meliputi setengah dari hemithoraks. Jumlah maupun terjadinya efusi tidak

mempengaruhi prognosis.

Pada kasus, Os mengalami batuk produktif dengan dahak berwarna putih. Os juga

mengalami nyeri dada dan mengeluh badannya lemas, sering meriang, dan berkeringat pada

malam hari kurang lebih sudah 3 minggu SMRS. Penurunan berat badan tidak diketahui namun

pasien mengatakan menjadi tidak nafsu makan. Menurut pasien, di lingkungan kerjanya ada

beberapa orang yang mengeluh batuk disertai darah. Hal ini sesuai dengan gejala klinis yang

ditemukan pada efusi pleura.

Pemeriksaan Fisik

Pada efusi pleura didapatkan:

Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan

pleural yang signifikan.

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan

berpindah tempat. Bagian yang sakit akan tertinggal bergerak dalam pernapasan, fremitus

melemah (raba dan vocal), dan pada perkusi didapati daerah pekak.

Pada kasus, pemeriksaan fisik ditemukan adanya pergerakan dinding dada tidak simetris

saat statis dan dinamis = tampak thoraks kanan tertinggal, fremitus kanan melemah, nyeri tekan

pada thoraks kanan (+), perkusi redup pada daerah yang kanan, dan pada auskultasi ditemukan

suara napas vesikuler melemah dengan rhonki basah pada paru kanan. Hal ini sesuai dengan

pemeriksaan fisik yang ditemukan pada efusi pleura.

42

Diagnosis TB Ekstra Paru

Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada meningitis

TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada

limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lainnya.

Pada kasus, Os mengeluhkan adanya nyeri pada dada dan Os diperiksa sputumnya

hasilnya negatif. Tetapi saya tetap menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan BTA untuk

lebih memastikan diagnosis.

Pemeriksaan Lain

Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan radiologik mempunyai nilai yang tinggi dalam menegakkan diagnosis efusi

pleura, meskipun tidak berguna dalam menentukan faktor penyebabnya. Pada foto toraks terlihat

perselubungan homogen dengan batas atas yang cekung atau datar, dan sudut kostofrenikus yang

tumpul; cairan dengan jumlah yang sedikit hanya akan memberikan gambaran berupa

penumpulan sudut kostofrenikus. Cairan berjumlah kurang dari 100 ml tidak akan terlihat pada

foto toraks yang dibuat dengan teknik biasa. Bayangan homogen baru dapat terlihat jelas apabila

cairan efusi lebih dari 300 ml. Apabila cairan tidak tampak pada foto postero-anterior (PA),

maka dapat dibuat foto pada posisi dekubitus lateral.

Efusi pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan dikonfirmasi

dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks posisi lateral decubitus dapat diketahui adanya cairan

dalam rongga pleura sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan dengan posisi AP atau PA paling

tidak cairan dalam rongga pleura sebanyak 300 ml. Pada foto thoraks posisi AP atau PA

ditemukan adanya sudut costophrenicus yang tidak tajam.

Thorakosentesis / punksi pleura

Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan

pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui thorakosentesis (pengambilan cairan

melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke dalam rongga dada dibawah

pengaruh pembiusan lokal dan mengalirkan cairan) atau dengan memasukkan chest tube (tube

thoracostomy) pada dada dan membiarkannya selama beberapa hari, kadang disambungkan

dengan suction. Aspirasi cairan pleura berguna sebagai sarana diagnostik maupun terapeutik.

43

Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada

bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan memakai jarum kateter nomor 14-16.

Analisa cairan pleura

Bila efusi pleura telah didiagnosis, penyebabnya harus diketahui, kemudian cairan pleura

diambil dengan jarum, yaitu melalui torakosentesis / punksi pleura. Setelah didapatkan cairan

efusi dilakukan pemeriksaan seperti:

Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH), albumin, amylase, pH, dan

glukosa.

Dilakukan pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui kemungkinan terjadi

infeksi bakteri.

Pemeriksaan hitung sel.

Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan.

Transudat Eksudat

Kadar protein dalam efusi

(g/dl)

< 3 > 3

Kadar protein dalam efusi < 0,5 > 0,5

Kadar protein dalam serum

Kadar LDH dalam efusi (IU) < 200 > 200

Kadar LDH dalam efusi < 0,6 > 0,6

Kadar LDH dalam serum

Berat jenis cairan efusi < 1,016 > 1,016

Rivalta Negatif Positif

Biopsi

Diagnosis dari pleuritis TB secara umum ditegakkan dengan analisis cairan pleura dan

biopsi pleura. Biopsi pleura parietal telah menjadi tes diagnositik yang paling sensitif untuk

Pleuritis TB. Pemeriksaan histopatologis jaringan pleura menunjukkan peradangan

granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA positif.

Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh,

penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan. Biopsi pleura perlu dipikirkan setelah

hasil pemeriksaan sitologik ternyata negatif. Diagnosis keganasan dapat ditegakkan dengan

44

biopsi pleura tertutup pada 60% penderita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa biopsi yang

dilakukan berulang (dua sampai empat kali) dapat meningkatkan diagnosis sebesar 24%. Biopsi

pleura dapat dilakukan dengan jarum.

Ultrasonografi (USG)

Adalah alat diagnostik noninvasif menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi diatas

20.000 hertz (>20 kilohertz) untuk menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.

Obyek didalam tubuh akan memantulkan kembali gelombang suara yang kemudian akan

ditangkap oleh suatu sensor, gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan

di layar.

Aplikasi klinis USG toraks

1. Kelainan pleura

Efusi pleura tampak seperti lapisan hipoechoic diantara pleura parietal dan visceral. Gerakan

bagian paru yang atelektasis dapat terlihat melalui cairan pleura. Efusi pleura paling baik terlihat

dari dinding luar dada dibelakang linea midaksilaris pada posisi terlentang dengan probe

mengarah ke atas. Pasien yang duduk atau berdiri dapat terlihat dari posterior atau lateral dinding

dada. Transudat dan eksudat terlihat anechoic atau hypoechoic. Efusi pleura dengan echogenicity

merata tampak seperti badai salju umumnya menandakan empiema yang mengandung protein

atau sisa jaringan. Lokulasi atau kantong-kantong empiema menandakan empiema kompleks dan

lebih bagus terlihat dengan USG toraks dari CT scan. Perbedaan antara abses paru dan empiema

kadang sulit karena pusat hypoechoic atau daerah echogenic digambarkan sama pada lapisan

darah. Penebalan pleura, empiema dan pelebaran pleura digambarkan hypoechoic. Efusi ganas,

lesi metastasis atau mesotelioma umumnya terlihat hypoechoic.

2. Pneumotoraks

Udara terlokalisir dalam kavum pleura paling bagus terlihat pada posisi terlentang dengan posisi

probe dipegang tegak lurus di dinding anterior dada. Kedalaman pneumotoraks tidak dapat

diukur. Pneumotoraks umumnya didiagnosis dengan tidak terdapat tanda gerakan normal pleura

viseral dan parietal seperti ekor komet dan terdapat gambaran gema yang berlebihan.

3. Pneumonia

Konsolidasi paru yang menempel dinding dada atau efusi pleura terkantong tampak echogenic.

Gambaran serupa terlihat pada perdarahan paru, karsinoma bronkoalveolar dan infark paru.

45

Struktur hyperechoic yang bercabang menandakan air bronchogram. Paru yang atelektasis

umumnya hypoechoic tanpa ada air bronchogram.

4. Kanker paru atau metastasis diparu

Gambaran tumor paru pada USG toraks dapat terlihat dengan baik. Massa tumor dekat pleura

tampak hypoechoic. Gambaran tumor pancoast dengan USG toraks dibanding CT scan lebih

baik. MRI memberikan gambaran terbaik dibanding USG toraks dan CT scan.

5. Biopsi dengan penuntun USG toraks

Biopsi jarum dengan penuntun USG toraks belum banyak dilakukan. Penelitian besar dengan

menggunakan USG dibanding CT scan belum ada yang melakukan. Ahli paru di Amerika dan

Jerman melakukan biopsi jarum dengan bantuan USG toraks. Negara-negara lain belum banyak

yang melakukan meskipun penggunaan USG toraks lebih murah dan mudah jika dibanding CT

scan tapi dikarenakan keterampilan operator pengguna USG toraks belum banyak sehingga

masih jarang yang melakukan. Massa subpleura, dinding dada dan dalam pleura dapat dibiopsi

jarum dengan penuntun USG toraks.

Indikasi Penggunaan USG Thorax

Indikasi penggunaan USG toraks pada awalnya hanya terbatas pada kasus-kasus gawat

darurat. Penggunaan pada kasus darurat dikarenakan pemeriksaan radiologi membutuhkan ruang

khusus dan alat yang lebih besar dan rumit untuk dijalankan sedang USG toraks lebih kecil dan

tidak memerlukan ruangan khusus. Penggunaan USG toraks dapat langsung dikerjakan

disamping tempat tidur pasien tanpa harus memindahkan pasien. Pemeriksaan juga dapat

langsung dilakukan oleh dokter diruang gawat darurat tanpa perlu dokter ahli radiologi. Berikut

ini indikasi penggunaan USG toraks :

1. Membedakan efusi pleura atau penebalan pleura.

2. Mendeteksi efusi pleura dan pemandu untuk punksi terutama efusi yang minimal dan

terlokalisir.

3. Membedakan efusi pleura dan kelumpuhan diafragma, dilihat dari gambaran radiologi

meragukan.

4. Menentukan pneumotoraks terutama dalam keadaan gawat darurat dan peralatan

radiologi tidak tersedia atau masih menunggu lama hasil radiologi.

5. Menilai invasi tumor ke pleura atau dinding dada dan memandu biopsi jarum untuk

tumor.

46

6. Mengevaluasi pasien dengan pleuritis yang sangat nyeri.

Pada kasus, dilakukan punksi pleura pada tanggal 17 Juli 2013 tapi tidak ada cairan

pleura yang keluar maka dari itu dilakukanlah usg thorax untuk mendeteksi apakah benar adanya

efusi pleura (usg merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang amat sensitif untuk kelainan

berupa cairan di rongga tubuh) dan sebagai pemandu untuk punksi terutama efusi yang minimal

dan terlokalisir. Setelah itu dilakukan punksi pleura yang kedua pada tanggal 19 Juli 2013

dimana didapatkan cairan pleura sebanyak ± 150 cc berwarna kuning jernih. Dilakukanlah

analisa cairan pleura dimana didapatkan hasil berupa LDH 874 U/l dan protein total 4,08 g/dl,

dimana cairan pleura tersebut termasuk tipe yang eksudatif.

Untuk memastikan efusi pleura ini terjadi akibat TB paru maka harus dilakukan lagi

pemeriksaan histopatologi terhadap jaringan pleura, dimana hasilnya menunjukkan peradangan

granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA positif.

Pengobatan

Pengobatan TB paru meliputi:

JENIS OBAT SIFAT Dosis yang direkomendasikan

Harian 3x seminggu

IZONIAZID (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)

RIFAMPICIN (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)

PYRAZINAMIDE (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)

STREPTOMYCIN (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)

ETHAMBUTOL (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

47

Pada kasus dengan berat badan 49 kg diberikan:

OAT : 2 HRZE dan 4H3R3

Selama 2 bulan meminum : Rifampicin 1 x 450 mg (setiap hari)

INH 1 x 300 mg (setiap hari)

Pyrazinamide 3 x 500 mg (setiap hari)

Etambutol 3 x 500mg (setiap hari)

Selama 4 bulan selanjutnya : INH 1 x 300 mg (seminggu 3 kali)

Rifampicin 1 x 450 mg (seminggu 3 kali)

Hal ini tidak sesuai dengan panduan pengobatan TB dimana pyrazinamide diberikan 3 x 500 mg

(setiap hari) dan etambutol diberikan 3 x 500mg (setiap hari) seharusnya diberikan dalam dosis

tunggal pyrazinamide 1 x 1500 mg dan etambutol 1 x 1500 mg (setiap hari).

48

BAB V

KESIMPULAN

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi yang banyak ditemui di

Indonesia. Organ yang sering terlibat yaitu limfonodi, pleura, hepar dan organ gastro intestinal

lainnya, organ genitourinarius, peritoneum, dan perikardium. Pleuritis TB merupakan TB ekstra

paru kedua terbanyak setelah limfadenitis TB. Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kita

dapat menentukan diagnosis tersebut.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, os diduga

menderita efusi pleura dextra ec TB paru.

49

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus KS, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.

Jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.hal.2329-31.

2. Efusi pleura. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25638/4/Chapter

%20II.pdf, 30 Juli 2013.

3. Diunduh dari eprints.undip.ac.id/12318/1/2003PPDS.pdf, 30 Juli 2013.

4. Richard L. Disorder of the pleura and mediastinum. Harrison’s principle of internal medicine.

18th ed. Editor: Fauci Antony, Braunwald Eugene, Kasper Dennis. USA: McGraw Hill;

2008.p.1658-61.

5. Murtala B. Deteksi efusi pada radiografi thoraks posisi supine. 11 Juni 2006. Diunduh dari

http://med.unhas.ac.id, 30 Juli 2013.

6. Abrahamian FM. Pleural effusion. Diunduh dari www.emedicine.com/med/topic462.htm, 30

Juli 2013.

7. Rubins J. Pleural effusion. Diunduh dari www.emedicine.com/med/topic1843.htm, 30 Juli

2013.

8. Moore C, Molina A, Lin H. Ultrasonography in community emergency departments in the

United States: Access to ultrasonography performed by consultants and status of emergency

physician performed ultrasonography. USA: Ann Emerg Med; 2006.p.47,147-53.

9. Yang P, Luh K, Chang D. Value of sonography in determining the nature of pleural effusion:

analysis of 320 cases. AJR Am J Roentgenol; 2004.p.159,29-33.

10. Amin, Zulkifli, Bahar, Asril. Tuberkulosis paru. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III.

Edisi V. Interna Publishing: Jakarta; 2009.hal.2231-9.

11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional penanggulangan

tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta; 2007.hal.13-35.

12. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison’s

principle of internal medicine. 18th ed. USA: McGraw Hill; 2008.p.5625-51.

50