EFIKASI DIRI.pdf

43
19 BAB II KONSEP EFIKASI DIRI DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA A. Efikasi Diri 1. Sejarah dan Pengertian Efikasi diri Dasar teori efikasi diri (self efficacy) dikembangkan dari teori kognitif sosial oleh presiden APA (1974) dan profesor dari Universitas Stanford, Albert Bandura (1977). Teori kognitif sosial berasumsi, setiap orang mampu menjadi agensi manusia, atau pekerjaan yang disengaja dari berbagai tindakan, dan beberapa agensi beroperasi dalam satu proses yang disebut hubungan segitiga timbal balik. Penyebab timbal- balik adalah model multi arah yang memberi kesan hasil agensi di masa mendatang sebagai fungsi tiga gaya yang saling berhubungan : pengaruh kondisi lingkungan, tingkah laku manusia dan faktor pribadi seperti kognitif, afektif, dan proses biologi. Bandura (1997) mengatakan, efikasi diri secara eksplisit berhubungan dengan diri dalam arah hubungan kemampuan yang dicapai dalam menyelesaikan tugas khusus, sebagai prediktor kuat tentang perilaku. Dalam Kamus besar bahasa Indonesia kata efikasi (efficacy) diartikan sebagai kemujaraban atau kemanjuran. Maka secara harfiah, Efikasi diri dapat diartikan sebagai kemujaraban diri. Secara kontekstual, Bandura dan Wood (1989: 806) menyatakan efikasi diri (self-efficacy) sebagai : “beliefs in one’s capabilities to mobilize the motivation, cognitive resources, and courses of action needed to meet given situational demands”. Efikasi diri adalah keyakinan terhadap kemampuan seseorang untuk 19

Transcript of EFIKASI DIRI.pdf

  • 19

    BAB II KONSEP EFIKASI DIRI DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA

    A. Efikasi Diri

    1. Sejarah dan Pengertian Efikasi diri

    Dasar teori efikasi diri (self efficacy) dikembangkan dari teori kognitif sosial

    oleh presiden APA (1974) dan profesor dari Universitas Stanford, Albert Bandura

    (1977). Teori kognitif sosial berasumsi, setiap orang mampu menjadi agensi manusia,

    atau pekerjaan yang disengaja dari berbagai tindakan, dan beberapa agensi beroperasi

    dalam satu proses yang disebut hubungan segitiga timbal balik. Penyebab timbal-

    balik adalah model multi arah yang memberi kesan hasil agensi di masa mendatang

    sebagai fungsi tiga gaya yang saling berhubungan : pengaruh kondisi lingkungan,

    tingkah laku manusia dan faktor pribadi seperti kognitif, afektif, dan proses biologi.

    Bandura (1997) mengatakan, efikasi diri secara eksplisit berhubungan dengan diri

    dalam arah hubungan kemampuan yang dicapai dalam menyelesaikan tugas khusus,

    sebagai prediktor kuat tentang perilaku.

    Dalam Kamus besar bahasa Indonesia kata efikasi (efficacy) diartikan sebagai

    kemujaraban atau kemanjuran. Maka secara harfiah, Efikasi diri dapat diartikan

    sebagai kemujaraban diri.

    Secara kontekstual, Bandura dan Wood (1989: 806) menyatakan efikasi diri

    (self-efficacy) sebagai : beliefs in ones capabilities to mobilize the motivation,

    cognitive resources, and courses of action needed to meet given situational

    demands. Efikasi diri adalah keyakinan terhadap kemampuan seseorang untuk

    19

  • 20

    menggerakkan motivasi, sumber-sumber kognitif, dan serangkaian tindakan yang

    diperlukan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dari situasi yang dihadapi.

    Dalam kehidupan manusia memiliki keyakinan diri itu merupakan hal yang

    sangat penting. Keyakinan diri mendorong seseorang untuk memahami secara

    mendalam atas situasi yang dapat menerangkan tentang mengapa seseorang ada yang

    mengalami kegagalan dan atau yang berhasil. Dari pengalaman itu, ia akan mampu

    untuk mengungkapkan keyakinan diri, yang menurut Kurniawan (Maryati, 2008: 47)

    keyakinan diri merupakan panduan untuk tindakan yang telah dikonstruksikan dalam

    perjalanan pengalaman interaksi sepanjang hidup individu.

    Efikasi diri yang berasal dari pengalaman tersebut yang akan digunakan untuk

    memprediksi perilaku orang lain dan memandu perilakunya sendiri. Lebih lanjut lagi

    Crick & Dodge (Maryati, 2008: 48) menjelaskan efikasi diri merupakan representasi

    mental individu atas realitas, terbentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lalu dan

    masa kini, dan disimpan dalam memori jangka panjang. Dimana skema-skema

    spesifik, keyakinan-keyakinan, ekspektasi-ekspektasi yang terintregrasi dalam sistem

    keyakinan akan mempengaruhi intrepertasi individu terhadap situasi spesifik. Proses

    intrepretasi individu terhadap situasi spesifik ini pada gilirannya diprediksi akan

    mempengaruhi perilaku seseorang.

    Definisi efikasi diri pun terus berkembang, Bandura (1997: 3) mengartikan

    efikasi diri sebagai keyakinan akan kemampuan individu untuk dapat mengorganisasi

    dan melaksanakan serangkaian tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai suatu

    hasil yang diinginkan.

  • 21

    Secara Kontekstual, Bandura memberikan definisi bahwa efikasi diri adalah

    keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimilikinya untuk menghasilkan

    tingkatan performa yang terrencana, dimana kemampuan tersebut dilatih, digerakkan

    oleh kejadian-kejadian yang berpengaruh dalam hidup seseorang.

    Bagaimana individu itu bersikap, bertingkah laku, dan memotivasi diri dapat

    menjadi salah satu sumber kekuatan individu dalam memunculkan efikasi diri,

    sehingga dijelaskan pula oleh Wicaksono (2008) efikasi diri adalah sebuah unsur

    yang bisa mengubah getaran pemikiran biasa; dari pikiran yang terbatas, menjadi

    suatu bentuk padanan yang masuk ke dalam koridor spiritual; dan merupakan dasar

    dari semua "mukjizat", serta misteri yang tidak bisa dianalisis dengan cara-cara ilmu

    pengetahuan. Keyakinan itu merupakan sebuah media tunggal dan satu-satunya, yang

    memungkinkan untuk membangkitkan suatu kekuatan dari sumber energi tanpa batas

    di dalam diri dan mengendalikannya untuk dimanfaatkan demi kebaikan manusia itu

    sendiri, serta merupakan suatu keadaan pikiran, yang bisa dirangsang atau diciptakan

    oleh perintah peneguhan secara terus menerus lewat pikiran dan perkataan positif,

    sampai akhirnya meresap ke dalam pikiran bawah sadar.

    Berangkat dari asumsi-asumsi di atas bahwa efikasi diri seseorang dapat

    mengarahkan tindakan-tindakan seseorang bukan hanya dengan orang lain tetapi juga

    dengan lingkungan yang lebih luas. Efikasi diri memiliki fungsi adaptif yang

    memungkinkan individu memenuhi persyaratan-persyaratan sosiokultural dan

    tuntutan kognitif. Efikasi diri juga memungkinkan Individu untuk dapat

    mengorganisasikan dunianya dalam cara-cara yang konsisten secara psikologis,

  • 22

    melakukan prediksi, menemukan kesamaan, dan menghubungkan pengalaman-

    pengalaman baru dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, bahkan memunculkan

    kekuatan pikiran yang dapat dibawa hingga kedalam alam bawah sadarnya. Dari hal-

    hal tersebut McGillicuddy-DeLisi (Maryati, 2008: 49) mendefinisikan efikasi diri

    sebagai alat dalam menetapkan prioritas, mengevaluasi kesuksesan, maupun alat

    untuk memelihara efikasi diri .

    Tidak jauh berbeda Nuron, dkk (Maryati, 2008: 49) menyatakan bahwa efikasi

    diri mencakup kontrol diri, dimana efikasi diri merupakan keyakinan diri bahwa

    mereka memilki keterampilan-keterampilan yang dituntut dalam memenuhi

    kebutuhan-kebutuhan spesifik. Efikasi diri sendiri menurut Robbin (Hambawany,

    2007) adalah keyakinan atau kemampuan yang dimiliki seseorang untuk meraih

    sukses dalam tugas.

    Efikasi diri yang telah dijelaskan adalah merupakan keyakinan diri seperti

    dijelaskan dan diperkuat pula oleh Spears dan Jordon (Maryati, 2008: 50) yang

    mengistilahkan keyakinan sebagai efikasi diri yaitu kenyakinan seseorang bahwa

    dirinya akan mampu melaksanakan tingkah laku yang dibutuhkan dalam suatu tugas.

    Pikiran individu terhadap efikasi diri menentukan seberapa besar usaha yang akan

    dicurahkan dan seberapa lama individu akan tetap bertahan dalam menghadapi

    hambatan atau pengalaman yang tidak menyenangkan.

    Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa inti dari efikasi diri

    adalah keyakinan atas kemampuan diri. Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang

  • 23

    untuk mengkoordinir kemampuan dirinya sendiri yang dimanifestasikan dengan

    serangkaian tindakan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan dalam hidupnya.

    2. Proses Terjadinya Efikasi diri

    Menurut Bandura (1997) efikasi diri berakibat pada suatu tindakan manusia

    melalui beberapa jenis proses, antara lain yaitu:

    a. Proses Motivasional

    Individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan meningkatkan usahanya untuk

    mengatasi tantangan dengan menunjukkan usaha dan keberadaan diri yang positif.

    Hal tersebut memerlukan perasaan keunggulan pribadi (sense of personal-efficacy).

    b. Proses Kognitif

    Efikasi diri yang dimiliki individu akan berpengaruh terhadap pola pikir yang

    bersifat membantu atau menghambat. Bentuk-bentuk pengaruhnya, yaitu:

    1) Jika efikasi diri semakin tinggi maka semakin tinggi pula penetapan suatu tujuan

    dan akan semakin kuat pula komitmen terhadap tujuan yang ingin dicapai.

    2) Ketika menghadapi situasi-situasi yang kompleks, individu mempunyai keyakinan

    diri yang kuat dalam memecahkan masalah yang dihadapi dan mampu

    mempertahankan efisiensi berpikir analitis. Sebaliknya, jika individu bersifat ragu-

    ragu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya maka biasanya tidak efisien

    dalam berpikir analitis.

    3) Efikasi diri berpengaruh terhadap antisipasi tipe-tipe gambaran konstruktif dan

    gambaran yang diulang kembali. Individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan

  • 24

    memiliki gambaran keberhasilan yang diwujudkan dalam penampilan dan perilaku

    yang positif dan efektif. Sebaliknya individu yang merasa tidak mampu cenderung

    merasa mempunyai gambaran kegagalan.

    4) Efikasi diri berpengaruh terhadap fungsi kognitif melalui pengaruh yang sama

    dengan proses motivasional dan pengolahan informasi. Semakin kuat keyakinan

    individu akan kapasitas memori, maka semakin kuat pula usaha yang dikerahkan

    untuk memproses memori secara kognitif dan meningkatkan kemampuan memori

    individu tersebut.

    c. Proses Afektif

    Efikasi diri berpengaruh terhadap seberapa banyak tekanan yang dialami oleh

    individu dalam situasi-situasi yang mengancam. Individu yang percaya bahwa dirinya

    dapat mengatasi situasi-situasi yang mengancam yang dirasakannya, tidak akan

    merasa cemas dan terganggu dengan ancaman tersebut.

    3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi diri

    Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efikasi diri. Menurut

    Greenberg dan Baron (Hambawany, 2007) mengatakan ada dua faktor yang

    mempengaruhi efikasi diri , yaitu:

    a. Pengalaman langsung, sebagai hasil dari pengalaman mengerjakan suatu tugas

    dimasa lalu (sudah pernah melakukan tugas yang sama dimasa lalu).

    b. Pengalaman tidak langsung, sebagai hasil observasi pengalaman orang lain dalam

    melakukan tugas yang sama (pada waktu individu mengerjakan sesuatu dan

  • 25

    bagaimana individu tersebut menerjemahkan pengalamannya tersebut dalam

    mengerjakan suatu tugas).

    Hal yang tidak jauh berbeda diungkapkan pula oleh Bandura (2007) bahwa

    efikasi diri seseorang dipengaruhi pula oleh:

    a. Pencapaian prestasi. Faktor ini didasarkan oleh pengalaman-pengalaman yang

    dialami individu secara langsung. Apabila seseorang pernah mengalami

    keberhasilan dimasa lalu maka dapat meningkatkan efikasi diri nya.

    b. Pengalaman orang lain. Individu yang melihat orang lain berhasil dalam

    melakukan aktivitas yang sama dan memiliki kemampuan yang sebanding dapat

    meningkatkan efikasi diri nya. Individu yang pada awalnya memiliki efikasi diri

    yang rendah akan sedikit berusaha untuk dapat mencapai keberhasilan seperti yang

    diperoleh orang lain.

    c. Bujukan lisan. Individu diarahkan dengan saran, nasehat, bimbingan sehingga

    dapat meningkatkan keyakinan bahwa kemampuan-kemampuan yang dimiliki

    dapat membantu untuk mencapai apa yang diinginkan.

    d. Kondisi emosional. Seseorang akan lebih mungkin mencapai keberhasilan jika

    tidak terlalu sering mengalami keadaan yang menekan karena dapat menurunkan

    prestasinya dan menurunkan keyakinan akan kemampuan dirinya.

    Keempat faktor diatas didukung oleh pendapat Ivancevich dan Matteson

    (Maryati, 2008) yang menyatakan bahwa pencapaian prestasi, pengalaman orang lain,

    bujukan lisan, kondisi emosional memegang peranan penting didalam

    mengembangkan efikasi diri, faktor tersebut dianggap penting sebab ketika seseorang

  • 26

    melihat orang lain berhasil maka akan berusaha mengikuti jejak keberhasilan orang

    tersebut.

    Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

    mempengaruhi keyakinan diri yang diungkap dalam efikasi diri yaitu Pengalaman

    langsung, pengalaman tidak langsung, pencapaian prestasi, pengalaman orang lain,

    bujukan lisan, kondisi emosional.

    4. Aspek-aspek Efikasi Diri

    Selain faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efikasi diri, adapula aspek-

    aspek yang terdapat dalam efikasi diri. Menurut Bandura (2007) ada tiga aspek

    efikasi diri :

    a. Magnitude. Aspek ini berkaitan dengan kesulitan tugas. Apabila tugas-tugas yang

    dibebankan pada individu disusun menurut tingkat kesulitannya, maka perbedaan

    efikasi diri secara individual mungkin terbatas pada tugas-tugas yang sederhana,

    menengah atau tinggi. Individu akan melakukan tindakan yang dirasakan mampu

    untuk dilaksanakannya dan akan tugas-tugas yang diperkirakan diluar batas

    kemampuan yang dimilikinya.

    b. Generality. Aspek ini berhubungan dengan luas bidang tugas atau tingkah laku.

    Beberapa pengalaman berangsur-angsur menimbulkan penguasaan terhadap

    pengharapan pada bidang tugas atau tingkah laku yang khusus sedangkan

    pengalaman yang lain membangkitkan keyakinan yang meliputi berbagai tugas.

  • 27

    c. Strength. Aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang

    terhadap keyakinannya. Tingkat efikasi diri yang lebih rendah mudah digoyangkan

    oleh pengalaman-pengalaman yang memperlemahnya, sedangkan orang yang

    memilki efikasi diri yang kuat akan tekun dalam meningkatkan usahanya meskipun

    dijumpai pengalaman yang memperlemahnya.

    Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aspek-aspek

    dalam efikasi diri yaitu magnitude, generality, strength, keyakinan terhadap

    kemampuan mengahadapi situasi yang tidak menentu yang mengandung unsur

    kekaburan, tidak dapat diprediksikan, dan penuh tekanan, keyakinan terhadap

    kemampuan menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif dan melakukan tindakan

    yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil, keyakinan mencapai target yang telah

    ditetapkan. Individu menetapkan target untuk keberhasilannya dalam melakukan

    setiap tugas, keyakinan terhadap kemampuan mengatasi masalah yang muncul,

    kognitif, motivasi, afeksi, seleksi.

    5. Pengaruh Efikasi Diri pada Tingkah Laku

    Menurut Bandura, efikasi diri akan mempengaruhi bagaimana individu

    merasakan, berpikir, memotivasi diri sendiri, dan bertingkah laku. Efikasi diri atau

    kapabilitas yang dimiliki individu akan mempengaruhi tingkah lakunya dalam

    beberapa hal, seperti:

    a. Tindakan Individu, efikasi diri menentukan kesiapan individu dalam

    merencanakan apa yang harus dilakukannya. Individu dengan keyakinan diri

  • 28

    tinggi tidak mengalami keragu-raguan dan mengetahui apa yang harus

    dilakukannya.

    b. Usaha, efikasi diri mencerminkan seberapa besar upaya yang dikeluarkan

    individu untuk mencapai tujuannya. Individu dengan keyakinan terhadap

    kemampuan diri tinggi akan berusaha maksimal untuk mengetahui cara-cara

    belajar serta kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan minatnya. Individu dengan

    keyakinannya terhadap kemampuan diri tinggi akan berusaha mencapai tujuan

    yang telah ditetapkan.

    c. Daya tahan individu dalam menghadapi hambatan atau rintangan dan kegagalan,

    individu dengan efikasi diri tinggi mempunyai daya tahan yang kuat dalam

    menghadapi rintangan atau kegagalan, serta dengan mudah mengembalikan rasa

    percaya diri setelah mengalami kegagalan. Individu juga beranggapan bahwa

    kegagalan dalam mencapai tujuan adalah akibat dari kurangnya pengetahuan,

    bukan karena kurangnya keahlian yang dimilikinya. Hal ini membuat individu

    berkomitmen terhadap tujuan yang ingin dicapainya. Individu akan menganggap

    kegagalan sebagai bagian dari proses, dan tidak menghentikan usahanya.

    d. Ketahanan individu terhadap keadaan tidak nyaman, dalam situasi tidak nyaman,

    individu dengan efikasi diri diri tinggi menganggap sebagai suatu tantangan,

    bukan merupakan sesuatu yang harus dihindari. Ketika individu mengalami

    keadaan tidak nyaman dalam usaha untuk mencapai tujuan yang diminati, ia akan

    tetap berusaha bertahan dengan mengabaikan ketidaknyamanan tersebut dan

    berkonsentrasi penuh.

  • 29

    e. Pola pikir, situasi tertentu akan mempengaruhi pola pikir individu. Individu

    dengan efikasi diri tinggi, pola pikirnya tidak mudah terpengaruh oleh situasi

    lingkungan dan tetap memiliki cara pandang yang luas dari beberapa sisi. Cara

    pandang individu yang luas memungkinkan individu memiliki alternatif pilihan

    kegiatan belajar yang banyak dari bidang yang diminati.

    f. Stress dan depresi, bagi individu yang memiliki efikasi diri rendah, kecemasan

    yang terbangkitkan oleh stimulus tertentu akan membuatnya mudah merasa

    tertekan. Jika perasaan tertekan tersebut berkelanjutan, maka dapat

    mengakibatkan depresi. Dalam upaya memilih karir yang sesuai dengan

    minatnya, jika individu menganggap realitas sulitnya jalur yang harus ditempuh,

    prospek dunia kerja di masa depan dan sebagainya sebagai sumber kecemasan,

    dan individu meragukan kemampuannya, maka individu akan menjadi lebih

    mudah tertekan.

    g. Tingkat pencapaian yang akan terealisasikan, Individu dengan efikasi diri tinggi

    dapat membuat tujuan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki serta mampu

    menentukan bidang pendidikan sesuai dengan minat dan kemampuannya

    tersebut.

  • 30

    B. Kemandirian Belajar

    1. Konsep Belajar

    Belajar adalah suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan

    manusia pada umumnya dan pendidikan pada khususnya baik sengaja maupun tidak

    sengaja. Hal ini sesuai dengan kodrati manusia ingin selalu maju ke arah optimalisasi

    menurut tuntutan perkembangan zaman.

    Untuk mencapai semua itu, maka belajar sangat mutlak diperlukan. Belajar

    adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan

    lingkungan (Hamalik, 2001: 28). Menurut W.S. Winkel (1997) bahwa belajar adalah

    suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan

    lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman,

    keterampilan, dan nilai-sikap.

    Belajar adalah suatu tahapan perubahan tingkah laku individu yang relatif

    menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan

    proses kognitif (Syah, 2003:68).

    Cronbach (Djamarah, 2002:12) berpendapat bahwa learning is shown by

    change in behavior as a result of experience. Belajar diartikan sebagi suatu aktivitas

    yang ditunjukan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.

    Whiterington (Sukmadinata, 2003:155) mengungkapkan bahwa belajar

    merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai pola-pola

    respons yang baru yang berbentuk keterampilan sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan

    kecakapan.

  • 31

    Piaget (Dimyati&Mudjiono, 2002:13) berpendapat bahwa pengetahuan

    dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus-menerus dengan

    lingkungan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek

    semakin berkembang. Perkembangan intelektual menurut Piaget melalui empat

    tahapan sebagai berikut ; sensori motor (0;0-2;0), pra-operasional (2;0-7;0),

    operasinal konkret (7;0-11;0), operasional formal (11;0- ke atas).

    Carl Rogers (Dimyati&Mudjiono, 2002:116) bahwa proses pendidikan

    (belajar) bukan terfokus pada pengajaran saja, akan tetapi pada siswa yang belajar.

    Rogers berpendapat bahwa manusia tidak harus mempelajari hal-hal yang tak ada

    artinya, akan tetapi mempelajari apa yang bermakna pada dirinya

    Dari pendapat-pendapat di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan

    belajar merupakan sebuah proses panjang yang dilakukan oleh individu yang di

    dalamnya terdapat perubahan tingkah laku, sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

    Proses perubahan ini terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan di

    sekitarnya serta dari pengalaman yang didapatkan melalui proses tersebut. Selain itu

    individu juga mendapatkan sebuah kebermaknaan dalam proses belajar,

    kebermaknaan itulah yang mendorong perubahan dalam diri individu.

    2. Ciri-ciri Belajar

    Dari definisi belajar di atas, terdapat tiga kata kunci yang merupakan ciri

    belajar, yaitu proses, perubahan perilaku dan pengalaman.

  • 32

    a. Proses

    Belajar adalah proses mental dan emosional atau proses berpikir dan

    merasakan. Seseorang dikatakan belajar bila pikiran dan perasaannya aktif. Aktivitas

    pikiran dan perasaan itu sendiri tidak dapat diamati orang lain, akan tetapi terasa oleh

    yang bersangkutan.

    b. Perubahan Perilaku

    Hasil belajar berupa perubahan perilaku atau tingkah laku. Seseorang yang

    belajar akan berubah atau bertambah perilakunya, baik yang berupa pengetahuan,

    keterampilan motorik atau penguasaan nilai-nilai (sikap). Terkait dengan perubahan

    perilaku dalam belajar, Syamsudin (2003: 158) menjelaskan bahwa ciri perubahan

    yang merupakan perilaku belajar diantaranya:

    1) Intensional, yaitu pengalaman atau praktik tersebut dengan sengaja dan disadari

    dilakukan dan bukan secara kebetulan. Dengan demikian perubahan yang

    disebabkan oleh kemantapan dan kematangan atau keletihan atau karena penyakit

    tidak dipandang sebagai hasil belajar.

    2) Positif, yaitu sesuai seperti yang diharapkan (normatif) atau kriteria keberhasilan

    (criteria of success) baik dipandang dari segi siswa (tingkat kemampuan, bakat

    khusus, tugas perkembangan dan sebagainya) maupun dari segi guru (tuntutan

    masyarakat orang dewasa sesuai dengan tingkat standar kulturalnya).

    3) Efektif, yaitu membawa pengaruh dan makna tertentu bagi pelajar itu (sampai

    batas waktu tertetu perubahan tersebut relatif menetap dan setiap saat diperlukan

    dapat direproduksi dan dipergunakan seperti dalam pemecahan masalah (problem

  • 33

    solving), baik dalam ujian, ulangan dan sebagainya maupun dalam penyesuaian

    diri dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka mempertahankan kelangsungan

    hidupnya.

    c. Pengalaman

    Belajar adalah mengalami, bahwa dalam belajar terjadi interaksi antar

    individu dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.

    3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar

    Meskipun para guru telah berusaha melancarkan segala kompetensinya,

    namun tat kala sampai pada suatu saat harus melakukan evaluasi berdasarkan data

    dan informasi hasil pengukuran proses dan hasil belajar, maka para guru dihadapkan

    kepada beberapa kenyataan adanya perbedaan pencapaian hasil belajar siswanya.

    Djamarah (2002: 141) memandang bahwa belajar bukanlah aktivitas yang

    berdiri sendiri. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa,

    yaitu:

    1. Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa. Faktor internal

    terdiri dari 1) Faktor fisiologis, berupa penglihatan, pendengaran, penciuman,

    struktur tubuh, cacat tubuh, dan lain-lain; 2) Faktor psikologis, terdiri dari faktor

    intelektual (inteligensi, bakat khusus, dan lain-lain) dan faktor non-intelektual

    (konsep diri, sikap, motivasi, penyesuaian diri, kemandirian, dan lain-lain).

    b) Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa. Faktor eksternal

    terdiri dari 1) Faktor lingkungan sosial, terdiri dari: keluarga, sekolah,

  • 34

    masyarakat dan kelompok; 2) Faktor lingkungan budaya, terdiri dari: adat

    istiadat, IPTEK dan kesenian; 3) Faktor lingkungan fisik, terdiri dari: fasilitas

    rumah, fasilitas belajar, dan lain-lain; 4) Faktor lingkungan spiritual yaitu faktor

    keagamaan.

    4. Teori-teori Belajar

    a. Teori Belajar Sosial (Albert Bandura)

    Teori belajar sosial Bandura dikembangkan dari tiga asumsi yaitu : 1) individu

    melakukan pembelajaran dengan meniru apa yang ada di lingkungannya terutama

    tingkah laku- tingkah laku orang lain; 2) terdapat hubungan yang kuat antara pelajar

    dengan lingkungannya; 3) hasil pembelajaran adalah berupa kode tingkah laku visual

    dan verbal yang diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari.

    Bandura (Ratna Wilis Dahar, 1996: 27) mengemukakan bahwa dalam

    pandangan belajar sosial manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekutan dari

    dalam, dan juga tidak dipukul oleh stimulus-stimulus lingkungan. Tetapi, fungsi

    psikologi diterangkan sebagai interaksi yang kontinu dan timbal balik dari

    determinan-determinan pribadi dan determinan-determinan lingkungan.

    Terdapat empat konsep dasar dalam teori belajar sosial, yaitu seperti

    dipaparkan oleh Ratna Wilis Dahar (1996: 28-30) berikut ini.

    1) Pemodelan (modelling) : Bandura memperhatikan bahwa penganut-penganut

    Skinner memberi penekanan pada efek-efek dari konsekuensi-konsekuensi pada

    perilaku dan tidak mengindahkan fenomena pemodelan, yaitu meniru perilaku

  • 35

    orang lain dan pengalamaan vicarious, yaitu belajar dari keberhasilan dan

    kegagalan orang lain. Bandura berpendapat bahwa sebagian besar belajar yang

    dialami manusia tidak dibentuk dari konsekuensi-konsekuensi, melainkan

    manusia itu belajar dari suatu model.

    2) Fase belajar, menurut Bandura terdapat empat fase belajar dari model yaitu (a)

    fase perhatian (attentional phase) yaitu memberikan perhatian pada model. Untuk

    dapat menarik perhatian siswa model belajar harus menarik, menimbulkan minat

    dan populer; fase retensi (retention phase) yaitu fase penyajian simbolik dari

    penampilan model dalam memori jangka panjang. Dalam hal ini peranan kata-

    kata, nama-nama, atau bayangan kuat yang dikaikan dengan kegiatan-kegiatan

    yang dimodelkan dalam mempelajari dan mengingat perilaku menjadi sangat

    penting; fase reproduksi (reproduction phase) dalam fase ini bayangan (imagery)

    atau kode-kode simbolik verbal dalam memori membimbing penampilan yang

    sebenarnya dari perilaku yang baru diperoleh; fase motivasi (motivational phase)

    yaitu fase terakhir dalam belajar observasional, dimana siswa akan meniru suatu

    model, karena siswa berasumsi dengan meniru suatu model akan meningkatkan

    kemungkinan untuk mendapatkan penguatan (reinforcement).

    3) Belajar vicarious, yaitu proses belajar dengan memperlihatkan penguatan (baik

    positif atau negatif) terhadap perilaku tertentu, dengan tujuan memberikan proses

    pembelajaran bagi siswa yang tidak mau melihat model secara langsung.

    4) Pengaturan sendiri, pengaturan sendiri ( self regulation) menurut Bandura

    didasarkan pada hipotesis bahwa manusia mengamati perilakunya sendiri,

  • 36

    mempertimbangkan perilaku itu terhadap kriteria yang disusunnya sendiri, dan

    kemudian memberi penguatan pada dirinya sendiri.

    b. Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Gestalt

    Gestalt adalah sebuah teori belajar yang dikemukakan oleh Koffka dan Kohler

    dari Jerman. Teori ini berpandangan bahwa keseluruhan lebih penting dari bagian-

    bagian. Sebab keberadaan bagian-bagian itu didahului oleh keseluruhan. Misalnya

    seorang pengamat yang mengamati aeaeorang dari kejauhan. Orang yang jauh itu

    pada mulanya hanyalah satu titik hitam yang terlihat semakin dekat dengan si

    pengamat. Semakin dekat orang itu dengan si pengamat maka semakin jelas terlihat

    bagian-bagian atau unsur-unsur anggota tubuh orang tersebut. Si pengamat dapat

    berkata bahwa orang itu mempunyai kepala, tangan , kaki, dahi, mata, hidung, mulut,

    telinga, baju, celana, kaca mata, jam tangan, ikat pinggang, dan sebagainya.

    Dalam belajar menurut teori gestalt, yang terpenting adalah penyesuaian

    pertama, yaitu mendapatkan respon atau tanggapan yang tepat. Belajar yang

    terpenting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau

    memperoleh insight. Belajar dengan pengertian lebih dipentingkan daripada hanya

    memasukkan sejumlah kesan. Prinsip-prinsip belajar menurut teori gestalt :

    1) belajar berdasarkan keseluruhan;

    2) belajar adalah suatu proses perkembangan;

    3) anak didik sebagai organisme keseluruhan;

    4) terjadi transfer;

  • 37

    5) belajar adalah reorganisasi pengalaman;

    6) belajar harus dengan insight;

    7) belajar lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keinginan, dan tujuan; dan

    8) belajar berlangsung terus menerus.

    c. Teori Systematic Behavior ( Clark C Hull)

    Prinsip-prinsip yang digunakan oleh Hull pada dasarnya sama dengan yang

    digunakan oleh para Behaviorist yaitu dasar stimulu-respon dan adanya

    reinforcement.

    Hull (Purwanto, 2000:97) mengemukakan bahwa suatu kebutuhan atau

    keadaan terdorong (oleh motif, tujuan, maksud, aspirasi dan ambisi) harus ada

    dalam diri seseorang yang belajar, sebelum suatu respon dapat diperkuat atas dasar

    pengurangan kebutuhan itu.

    Menurut teori ini efisiensi belajar akan tergantung pada besarnya tingkat

    pengurangan dan kepuasan motif yang menyebabkan timbulnya usaha belajar berupa

    respon-respon yang dibuat oleh individu yang belajar. Dua hal yang sangat penting

    dalam proses belajar dari Hull ialah adanya incentive motivation ( motivasi insentif)

    dan drive stimulus reduction (pengurangan stimulus pendorong) (Purwanto, 2000:98)

  • 38

    d. Teori Belajar Gagne

    Menurut Gagne (Willis, 1996: 134) belajar adalah suatu proses untuk

    memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan dan tingkah laku

    serta pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi

    Menurut Gagne segala sesuatu yang dipelajari oleh manusia dapat dibagi

    menjadi lima kategori yang disebut the domainds of learning, yaitu sebagai berikut:

    1) keterampilan motoris (motor skill)

    2) informasi verbal

    3) kemampuan intelektual

    4) strategi kognitif

    5) sikap

    5. Definisi Kemandirian Belajar

    Para ahli psikologi menggunakan dua istilah yang berkaitan dengan

    kemandirian yaitu independence dan autonomy (Steinberg, 1993: 286). Seiring

    dengan pertambahan usia seseorang maka terjadilah perubahan pada tugas

    perkembangannya. Begitu pula perubahan dalam penggunaan istilah-istilah yang

    menunjukan kemandirian.

    Dalam kamus psikologi kata autonomy (otonomy) diartikan sebagai keadaan

    pengaturan diri, atau kebebasan individu manusia untuk memilih, menguasai dan

    menentukan dirinya sendiri (Chaplin, 2001).

  • 39

    Istilah independence dan autonomy sering dipertukarkan secara bergantian

    (interchangeable). Secara umum kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama yaitu

    kemandirian tetapi secara konseptual kedua istilah tersebut berbeda dengan perbedaan

    yang sangat tipis. Lebih lanjut Steinberg menegaskan bahwa independence

    menunjukan pada kapasitas seseorang memperlakukan dirinya sendiri, sehingga anak

    yang sudah memiliki independence akan mampu melakukan sendiri aktivitas dalam

    kehidupan tanpa adanya pengaruh pengawasan orang lain.

    Kemandirian yang mengarah pada konsep independence merupakan bagian

    dari perkembangan autonomy selama masa remaja, namun autonomy mencakup

    aspek yang lebih luas lagi, yaitu aspek emosional, behavioral dan nilai. Steinberg

    (1993: 265) membagi kemandirian menjadi 3 bagian yaitu kemandirian emosional

    yang berhubungan dengan interaksi remaja dengan orang tua, kemandirian perilaku

    yaitu kemandirian dalam mengambil keputusan dan melaksanakannya, dan

    kemandirian nilai yaitu kemandirian yang berhubungan dengan seperangkat prinsip

    dan nilai tentang benar dan salah, penting dan tidak penting.

    Chaplin (2004) kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti keadaan

    pengaturan diri. Sejalan dengan pengertian diatas Ryan & Lynch (Ara, 1998: 17)

    mengemukakan bahwa Kemandirian adalah kemampuan untuk mengatur tingkah

    laku menseleksi dan membimbing keputusan serta tindakan seseorang tanpa

    pengawasan dari orang tua.

  • 40

    Conell (Ara 1998: 17) menyatakan bahwa Autonomy is experience of choice

    in the intuition maintenance and regulation of behavior and the experience of

    connectedness between ones action and personal goals and values.

    Kemandirian adalah pengalaman melalui pengaturan dan pemeliharaan intuisi

    serta perilaku yang menghubungkan antara tujuan, tindakan seseorang dan nilai-nilai.

    Artinya bahwa dengan adanya kesempatan untuk mengawali, menseleksi, menjaga

    dan mengatur tingkah laku, menunjukan adanya suatu kebebasan pada setiap individu

    yang mandiri untuk menentukan sendiri perilaku yang hendak ia tampilkan,

    menentukan langkah hidupnya, tujuan hidupnya dan nilai-nilai yang akan dianut serta

    diyakininya.

    Wrightsman dan Deaux (Ara, 1998: 18) memberikan pengertian kemandirian

    sebagai suatu tingkah laku yang tidak conformity maupun anti conformity yang

    menunjukan bahwa orang yang mandiri mampu mempertahankan hak dan

    kepentingannya sebagai individu tanpa menginjak hak dan kepentingan orang lain.

    Berkaitan dengan definisi kemandirian, Kartadinata (1988: 78) menyatakan

    kemandirian sebagai kekuatan motivasional dalam diri individu untuk mengambil

    keputusan dan menerima tanggung jawab atas konsekuensi keputusan itu. Lebih

    lanjut Barnadib (Sukoco, 2009) mengemukakan bahwa kemandirian meliputi perilaku

    mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau masalah, mempunyai rasa

    percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.

    Kemandirian sebagai kerpribadian atau sikap mental harus dimiliki oleh setiap

    orang yang didalamnya terkandung unsur-unsur dengan watak-watak yang ada dan

  • 41

    perlu dikembangkan agar tumbuh menyatu dalam menentukan sikap dan perilaku

    seseorang menuju karah kewiraswastaan artinya kemampuan yang tumbuh dan

    berkembang seiring dengan pemahaman dan konsep hidup yang mengarah pada

    kemampuan, kemauan, keuletan, ketekunan dalam bidangnya.

    Penjelasan di atas menjelaskan mengenai kemandirian lalu bagaimana

    kaitannya kemandirian dalam hal belajar? Belajar sebenarnya merupakan kegiatan

    individual dan berlanjutan, yang mana dalam prosesnya memerlukan totalitas dari

    kepribadian individu yang menjalaninya. Kemandirian adalah aspek esensial dari

    perkembangan kepribadian individu. Kecakapan mengambil keputusan dan

    keberanian menerima tanggung jawab adalah esensi kemandirian, sehingga agar

    proses belajar ini membuahkan kesuksesan dalam memperoleh hasil belajar yang baik

    maka kemandirian dalam belajar ini perlu dimiliki.

    Berkaitan dengan definisi dari kemandirian belajar, lebih lanjut Burtiham

    (1999: 12) mengemukakan bahwa kemandirian belajar adalah perilaku siswa yang

    bebas (otonom) dan bertanggung jawab dalam menentukan tujuan belajar,

    merencanakan dan melaksanakan, memelihara serta menilai hasil aktivitas belajarnya

    tanpa ada ketergantungan pada orang lain.

    Menurut Setiawan (2004) kemandirian belajar adalah aktivitas yang

    berlangsung lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab

    sendiri dari belajar.

    Karnita (2007) berpendapat bahwa kemandirian belajar merupakan suatu

    keadaan atau kondisi aktivitas belajar dengan kemampuan sendiri, tanpa bergantung

  • 42

    kepada orang lain. Ia selalu konsisten dan bersemangat belajar dimanapun dan

    kapanpun. Dalam dirinya sudah melembaga kesadaran dan kebutuhan belajar

    melampaui tugas, kewajiban dan target jangka pendek; nilai dan prestasi. Dengan

    kata lain merupakan kondisi sadar pada belajar sepanjang hayat (long life education).

    Kemandirian belajar merupakan salah satu ciri kepribadian yang penting yang

    dapat membantu individu untuk mencapai tujuan belajar, serta untuk menyelesaikan

    tugas-tugas belajarnya.

    Jika disimpulkan dari keseluruhan pengertian diatas maka kemandirian

    belajar dapat dipahami sebagai rangkaian aktivitas dalam belajar yang dilakukan

    untuk mencapai tujuan tertentu, atas dasar tanggung jawab, kesadaran serta

    kemampuan sendiri tanpa ketergantungan dengan orang lain.

    6. Aspek-aspek Kemandirian Belajar

    Konsep kemandirian belajar pada penelitian ini mengambil konsep

    kemandirian steinberg. Steinberg (1993: 265) menyatakan bahwa kemandirian terdiri

    dari tiga aspek yaitu kemandirian emosional, kemandirian perilaku dan kemandirian

    nilai yang dipaparkan sebagai berikut:

    a) Kemandirian emosional, yaitu aspek kemandirian yang terkait dengan perubahan

    dalam hubungan dekat dari seorang individu, terutama dengan orang tua.

    Kemandirian dalam hal emosional ini ditandai dengan: (1) De-idealize yaitu tidak

    menganggap orang tuanya sebagai sosok yang ideal dan sempurna dalam artian

    bahwa orang tuanya tidak selamanya benar dalam menentukan sikap dan

  • 43

    kebijakan, (2) Parent as people yaitu mampu melihat orang tuanya seperti orang

    lain pada umumnya, (3) Non-dependency yaitu kemampuan untuk tidak

    bergantung pada orang tua maupun orang dewasa pada umumnya dalam

    mengambil keputusan, menentukan sikap dan bertanggung jawab dengan

    keputusan yang diambil dan (4) Individuation yaitu kemampuan untuk menjadi

    pribadi yang utuh terlepas dari pengaruh orang lain. (Steinberg, 1993: 290).

    a) Kemandirian perilaku diartikan sebagai kemampuan dalam mengambil keputusan

    dan melaksanakannya. Kemandirian perilaku ini ditandai dengan (1) kemampuan

    seseorang dalam mengambil keputusan yaitu dengan mengidentifikasi alternatif

    pemecahan masalah untuk jangka panjang, mampu menemukan akar masalah,

    sadar akan resiko yang akan diterima, merubah tindakan yang akan diambil

    berdasarkan informasi baru, mengenal dan memperhatikan kepentingan orang-

    orang yang memberikan nasihat dan mampu mengevaluasi kemungkinan dalam

    mengatasi masalah; (2) tidak rentan terhadap pengaruh orang lain yaitu memiliki

    inisiatif dalam mengambil keputusan serta memiliki ketegasan diri terhadap

    keputusan yang diambil; dan (3) memiliki kepercayaan diri yang ditandai dengan

    memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan dan yakin terhadap potensi

    dimiliki. (Steinberg, 1993: 295).

    b) Kemandirian nilai, yaitu kemandirian yang memiliki seperangkat prinsip tentang

    benar-salah, penting dan tidak penting. Kemandirian nilai ini ditandai dengan: (1)

    abstrack belief yaitu memiliki keyakinan moral, isologi dan keyakinan agama

  • 44

    yang abstrak yang hanya didasarkan pada kognitif saja, benar dan salah, baik dan

    buruk; (2) principal belief yaitu memiliki keyakinan yang prinsipil bahwa nilai

    yang dimiliki diyakini secara ilmiah dan kontekstual yang memiliki kejelasan

    dasar hukum sehingga jika nilai yang dianut dipertanyakan oleh orang lain, maka

    ia akan memiliki argumentasi yang jelas sesuai dengan dasar hukum yang ada; (3)

    independent belief yaitu yakin dan percaya pada nilai yang dianut sehingga

    menjadi jati dirinya sendiri dan tidak ada seorang pun yang mampu merubah

    keyakinan yang ia miliki. (Steinberg, 1993: 303)

    7. Karakteristik Individu Yang Memiliki Kemandirian Belajar

    Untuk memberikan gambaran mengenai individu yang memiliki kemandirian

    belajar, maka kita perlu memahami karakteristik atau ciri dari individu yang memiliki

    kemandirian berdasarkan aspek-aspek kemandirian yang telah diuraikan diatas.

    Adapun karakteristik individu yang mandiri menurut Ara (1998: 28), yaitu:

    a. Memiliki kebebasan untuk bertingkah laku, membuat keputusan dan tidak merasa

    cemas, takut atau malu bila keputusan yang diambil tidak sesuai dengan pilihan

    atau keyakinan orang lain.

    b. Mempunyai kemampuan untuk menemukan akar masalah, mencari alternatif

    pemecahan masalah, mengatasi masalah dan berbagai tantangan serta kesulitan

    lainnya, tanpa harus mendapat bimbingan dari orang tua atau orang dewasa

    lainnya dan juga dapat membuat keputusan dan mampu melaksanakan yang

    diambil.

  • 45

    c. Mampu mengontrol dirinya atau perasaannya sehingga tidak memiliki rasa takut,

    ragu, cemas, tergantung dan marah yang berlebihan dalam berhubungan dengan

    orang lain.

    d. Mengandalkan diri sendiri untuk menjadi penilai mengenai apa yang terbaik bagi

    dirinya serta berani mengambil resiko atas perbedaan kebutuhan dan nilai-nilai

    yang diyakininya serta perselisihan dengan orang lain.

    e. Menunjukan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain, yang

    diperlihatkan dalam kemampuannya membedakan kehidupan dirinya dengan

    kehidupan orang lain, namun tetap menunjukan loyalitas.

    f. Memperlihatkan inisitif yang tinggi melalui ide-idenya dan sekaligus

    mewujudkan idenya tersebut. Juga ditunjukan dengan kemauannya untuk

    mencoba hal yang baru.

    g. Memiliki kepercayaan diri yang kuat dengan menunjukan keyakinan atas segala

    tingkah yang ia lakukan dan menunjukan sikap yang tidak takut menghadapi

    suatu kegagalan.

    Sedangkan karakteristik orang yang mandiri menurut Surya (2008), yaitu:

    a. Mengenal diri sendiri dan lingkungannya sebagaimana adanya. Individu yang

    mandiri memiliki kemampuan pengenalan terhadap keadaan, potensi,

    kecenderungan, kekuatan dan kelemahan diri sendiri seperti apa adanya,

    mengenal kondisi objektif yang ada diluar diri sendiri.

    b. Menerima diri sendiri dan lingkungannya secara positif dan dinamik.

  • 46

    c. Mampu menetapkan satu pilihan dari berbagai kemungkinan yang ada

    berdasarkan pertimbangan yang matang terutama dalam mengambil keputusan.

    d. Mengarahkan diri sendiri, menuntut kemampuan individu untuk mencari dan

    menempuh berbagai jalan raya agar apa yang menjadi kepentingan dirinya dapat

    terselenggara secara positif dan dinamik.

    e. Mewujudkan diri sendiri, mampu merencanakan dan menyelenggarakan

    kehidupan diri sendiri baik sehari-hari maupun dalam jangka panjang sehingga

    segenap potensi dan kemampuan yang dimiliki dapat berkembang secara optimal.

    Burtiham (1999: 42) anak yang telah memiliki kemandirian belajar

    menunjukan sikap dan kebiasaan dalam belajarnya baik itu menyangkut aspek emosi,

    perilaku maupun nilai. Kemandirian belajar dalam aspek emosi ditandai dengan

    dimilikinya motivasi intrinsik dalam belajar. Kemandirian belajar pada aspek perilaku

    ditandai dengan munculnya penampilan belajar yang mampu mendisiplinkan dirinya

    tentang belajar yang baik. Sedangkan dalam aspek nilai ditandai dengan adanya

    orientasi belajar yang jelas.

    8. Perkembangan Kemandirian Belajar Siswa SMP

    Ditilik dari segi usia, siswa Sekolah Menegah Pertama (SMP) termasuk

    kedalam fase remaja awal (13-14 tahun). Konopka dalam Pikunas (1976)

    mengemukakan bahwa masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting

    dalam siklus perkembangan siswa dan merupakan masa transisi (dari masa anak ke

  • 47

    masa dewasa) yang diarahkan kepada perkembangan masa dewasa yang sehat.

    (Yusuf, 2006: 7).

    Sementara Salzman (Yusuf, 2006: 184) mengemukakan bahwa remaja

    merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua

    kearah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri dan

    perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.

    Secara psikologis, menurut Piaget (Hurlock, 1996: 206) masa remaja adalah

    masa dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak

    tidak lagi merasa di bawah tingkatan-tingkatan orang dewasa yang lebih tua

    melainkan dalam tingkatan yang sama sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

    Salah satu isu yang menarik untuk dikaji pada masa remaja adalah mengenai

    masalah kemandirian (autonomy). Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa bagi

    remaja, pencapaian kemandirian merupakan dasar untuk menjadi orang dewasa yang

    sempurna. Kedewasaan yang ingin dicapai oleh remaja dapat mendasari dalam

    menentukan sikap, mengambil keputusan secara tepat, serta keajegan dalam

    menentukan dan melakukan prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan (Budiman,

    2008).

    Perkembangan kemandirian remaja diawali dengan perkembangan

    kemandirian emosional. Hal tersebut ditandai dengan pemutusan ikatan infantile anak

    kepada orangtua. Kesulitan remaja dalam meutuskan keterikatan emosional dengan

    orangtua seringkali ditunjukkan dengan sikap menentang keinginan atau aturan

    orangtua yang pada akhirnya disebut sebagai pemberontakkan terhadap orangtua.

  • 48

    Sementara itu, budaya keterikatan antara anak dan orangtua masih banyak dibiasakan

    pada keluarga-keluarga di Indonesia, tidak seperti budaya barat yang telah

    memberikan kebebasan (dari segi tempat tinggal) kepada anak remajanya.

    Lepasnya ikatan-ikatan emosional remaja akan menentukan pengambilan

    keputusan bagi remaja tanpa harus mendapat dukungan dari orangtua merupakan

    kemandirian yang bersifat independence.

    Setelah siswa mandiri secara emosional, maka siswa akan mandiri secara

    perilaku. Sebagai konsekuensi dari lepasnya ikatan emosional dari orang lain. Begitu

    pula dalam hal belajar, perkembangan kemandirian belajar siswa diawali dengan

    lepasnya keterikatan emosional antara siswa dengan orang lain, terutama dengan

    orangtua. Siswa dapat melakukan kegiatan belajarnya tanpa harus tergantung kepada

    orang lain, siswa dapat memilih aktivitas ekstrakurikuler sesuai dengan minatnya,

    serta dapat menentukkan strategi belajarnya sendiri.

    Perkembangan kemandirian belajar siswa yang terakhir adalah kemandirian

    yang berkaitan dengan nilai atau prinsip yang diyakininya. Kemandirian perilaku

    ditandai dengan kemampuan siswa untuk memaknai seperangkat prinsip atau aturan

    tentang benar dan salah, penting dan tidak penting, misalnya siswa akan memiliki

    keyakinan untuk tidak mencontek pada saat ulangan, memilih hadir ke sekolah tepat

    waktu daripada membolos dengan teman-teman yang lain. Tindakan tersebut didasari

    oleh prinsip atau nilai yang tertanam dalam keyakinan diri siswa.

    Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif

    selama perkembangan. Dalam hal ini, remaja akan terus belajar untuk bersikap

  • 49

    mandiri dalam menghadapi berbagai tuntutan peran di lingkungan belajarnya

    sehingga akhirnya mampu berpikir dan bertindak sendiri. Bernadib (Mutadin, 2002)

    mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kemandirian

    belajar remaja yaitu:

    Faktor dalam diri siswa, diantaranya: 1) memiliki hasrat bersaing untuk maju

    demi kebaikannya sendiri; 2) mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk

    mengatasi masalah yang dihadapi; 3) memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan

    tugas-tugasnya; dan 4) bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya.

    Faktor dari luar diri siswa, diantaranya: 1) lingkungan keluarga yang meliputi

    pola pengasuhan, serta hubungan harmonis dalam keluarga; 2) lingkungan sekolah

    meliputi kebijakan sekolah dalam sistem pembelajaran yang mendukung keberhasilan

    siswa mencapai prestasi belajar, ketersediaan sarana dan prasarana sebagai media dan

    sumber belajar, serta hubungan harmonis antar anggota sekolah; dan 3) lingkungan

    teman sebaya yang biasanya ditandai dengan adanya sikap konformitas terhadap

    teman sebaya.

    C. Peran Bimbingan dan Konseling dalam meningkatkan Efikasi Diri dan

    Mengembangkan Kemandirian Belajar Siswa

    Pendidikan di sekolah dilaksanakan sebagai upaya untuk memberikan

    perubahan-perubahan positif terhadap tingkah laku dan sikap diri siwa yang sedang

    berkembang menuju kedewasaannya dimana proses ini dipengaruhi oleh berbagai

    faktor seperti pembawaan, kematangan, dan lingkungan. Sekolah sebagai salah satu

  • 50

    faktor lingkungan yang mempengaruhinya ikut memberikan pengaruh dalam

    membimbing siswa agar pribadinya berkembang secara optimal sesuai dengan

    potensi yang dimilikinya. Namun dalam proses perkembangannya itu siswa tidak

    dapat lepas dari berbagai tuntutan lingkungan, salah satunya adalah tugas-tugas

    belajar yang harus dicapainya.

    Bimbingan dan konseling merupakan salah satu bantuan yang diberikan

    kepada individu sebagai upaya untuk membantu individu dalam mengatasi

    permasalahan yang timbul di dalam hidupnya agar pertumbuhan serta perkembangan

    fisik dan psikis individu dapat berjalan secara maksimal dan optimal. Bimbingan itu

    sendiri seperti yang dikemukakan oleh Abin Syamsudin (1996: 188) adalah proses

    pemberian bantuan yang diberikan kepada agar yang bersangkutan dapat mencapai

    taraf perkembangan dan kebahagiaan secara optimal, dengan melalui proses

    pengenalan, pemahaman, penerimaan, pengarahan, perwujudan, serta penyesuaian

    diri, baik dirinya sendiri maupun terhadap lingkungannya. .

    Adapun selain dari istilah bimbingan yang telah dipaparkan sebelumnya, ada

    satu istilah lagi yang sangat erat kaitannya dengan bimbingan yakni konseling.

    Keduanya baik bimbingan maupun konseling merupakan satu kesatuan yang tidak

    dapat dipisahkan karena konseling merupakan bagian integral dari bimbingan bahkan

    menjadi inti dari keseluruhan layanan bimbingan. Winkel (1997: 64) menyatakan

    bahwa konseling adalah suatu proses yang berorientasikan belajar, yang dilaksanakan

    dalam suatu lingkungan sosial antara seorang konselor yang memiliki kemampuan

    professional dalam keterampilan psikologis berusaha membantu seorang konseli

  • 51

    dengan metode yang tepat untuk kebutuhan konseli tersebut dalam hubungannya

    dengan keseluruhan program ketenagakerjaan supaya dapat mempelajari lebih baik

    tentang dirinya sendiri, belajar bagaimana memanfaatkan pemahaman tentang dirinya

    untuk realistis sehingga konseli dapat menjadi individu yang lebih produktif.

    Setiap individu, mulai dari kanak-kanak, remaja sampai dewasa termasuk

    siswa sekolah menengah atas tidak akan terlepas dari suatu masalah, baik itu masalah

    yang berhubungan dengan pribadi, sosial, pendidikan, karier dan nilai. Dalam

    hubungannya belajar, siswa yang memiliki efikasi diri yang rendah akan

    menampilkan aktivitas belajar yang tidak maksimal. Diantaranya, tidak memiliki

    keyakinan dalam menjawab soal-soal sehingga lebih memilih untuk mencontek,

    mudah putus asa saat menemui tugas yang sulit serta selalu bergantung pada

    kemampuan orang lain karena tidak yakin akan kemampuan yang dimilikinya sendiri.

    Perilaku-perilaku tersebut akan menjadi penghambat proses perkembangan siswa,

    sementara itu proses perkembangan yang paling sering menjadi isu adalah

    perkembangan kemandirian. Jika perilaku siswa tersebut tidak tertangani maka akan

    mempengaruhi siswa dalam mengembangkan dirinya menjadi individu yang mandiri.

    Pada akhirnya, hambatan tersebut nantinya akan berpengaruh pada keberhasilan

    siswa di sekolah.

    Secara khusus, layanan bimbingan dan konseling di sekolah bertujuan untuk

    membantu siswa agar mereka dapat mencapai tujuan-tujuan perkembangan yang

    meliputi aspek pribadi sosial, belajar dan karir. Berdasarkan uraian di atas, maka

  • 52

    remaja memerlukan bimbingan yang lebih fokus pada pribadi dan hubungannya

    dengan belajar. Oleh karena itu disinilah bimbingan dan konseling berperan.

    Bimbingan belajar di sekolah ditujukan supaya siswa dapat mencapai prestasi

    belajar dan menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Melalui layanan

    bimbingan dan konseling, diharapkan siswa dapat memahami potensi yang

    dimilikinya, mampu meyakini akan kemampuan dirinya, mampu mengambil

    keputusan dan inisiatif, serta mampu melakukan serangkaian aktivitas yang sesuai

    dengan tujuan pribadinya sendiri tanpa pengaruh dari orang lain. Dengan demikian,

    siswa mampu menampilkan perannya baik di lingkungan sosial maupun di

    lingkungan belajarnya.

    Bantuan yang diberikan oleh pihak bimbingan dan konseling jika

    dihubungkan dengan efikasi diri dan kemandirian belajar siswa, menitikberatkan pada

    penjelasan dan pemahaman tentang bagaimana menanamkan keyakinan diri siswa

    agar siswa mampu melihat potensi yang dimilikinya dapat mendukung proses

    belajarnya di sekolah yang pada akhirnya, siswa mampu melakukan aktivitas belajar

    sendiri atas keyakinan sendiri sehingga mengembangkan kemandirian siswa dalam

    belajar.

    Permasalahan yang telah diuraikan di atas, dapat difasilitasi oleh konselor

    sesuai dengan fungsi bimbingan dan konseling itu sendiri. Bimbingan dan konseling

    tidak hanya berfungsi sebagai pemahaman dan pencegahan maka fungsi lainnya pun

    harus dilakukan. Fungsi dari bimbingan dan konseling itu sendiri harus bersifat

  • 53

    melengkapi satu sama lain agar tujuan dari bimbingan akan tercapai dengan baik.

    Adapun fungsi bimbingan konseling secara keseluruhan adalah:

    1) Fungsi pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bertujuan

    memberikan pemahaman pada siswa tentang diri dan lingkungannya sesuai

    dengan kebutuhan perkembangan siswa.

    2) Fungsi pencegahan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bertujuan

    membantu siswa terhindar dari berbagai permasalahan yang dapat mengganggu,

    menghambat maupun menimbulkan kesulitan bagi proses penyesuaian diri siswa.

    3) Fungsi perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bertujuan

    mengatasi berbagai permasalahan yang dialami siswa.

    4) Fungsi pemeliharaan dan pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling

    yang bertujuan memelihara dan mengembangkan berbagai potensi dan kondisi

    positif siswa dalam rangka pengembangan diri secara mantap dan berkelanjutan.

    Masalah keyakinan diri siswa akan kemampuannya merupakan hambatan

    besar bagi siswa untuk mengembangkan diri. Keterikatan dengan sebaya dapat

    menjadi media untuk mengembangkan efikasi diri siswa. Salah satu upaya bimbingan

    dan konseling dalam meningkatkan efikasi diri ialah dengan konseling teman sebaya.

    Penelitian Fathiyah dan Farida Harahap (2008) menunjukkan efektivitas

    konseling sebaya untuk meningkatkan efikasi diri remaja terhadap perilaku berisiko.

    Secara kuantitatif hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya kecenderungan

    peningkatan efikasi diri siswa yang diberi konseling sebaya. Secara kualitatif hasil

    penelitian menunjukkan peningkatan efikasi diri subjek penelitian ditinjau dari

  • 54

    kognitif, motivasi, afektif, dan kecenderungan perilakunya. Dengan demikian, adanya

    teman sebaya sebagai media konseling diharapkan siswa dapat meningkatkan efikasi

    dirinya, sehingga berdampak pada perilaku-perilaku yang dapat mendukung

    perkembangan kemandirian belajarnya di sekolah.

    Burtiham (1999: 14) menyatakan bahwa kemandirian belajar merupakan salah

    satu bentuk perilaku yang dapat dikembangkan konselor sebagai fasilitator bagi siswa

    untuk mengembangkan diri. Adapun disini peran konselor untuk menjalankan

    fungsinya yaitu melalui kegiatan bimbingan dan konseling.

    Berkaitan dengan upaya bimbingan dan konseling, Lowry (Euis, 2007)

    mengemukakan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memfasilitasi

    perkembangan kemandirian belajar pada siswa, yaitu:

    1. Membantu siswa mengidentifikasi langkah awal

    untuk belajar dan mengembangkan bentuk ujian dan laporan yang relevan.

    2. Mendorong siswa untuk memandang pengetahuan dan kebenaran secara

    kontekstual, memandang nilai kerangka kerja sebagai konstruk sosial, dan

    memahami bahwa mereka dapat bekerja secara perorangan atau dalam

    kelompok.

    3. Menciptakan suasana kemitraan dengan siswa melalui negosiasi tujuan,

    strategi, dan kriteria evaluasi.

    4. Jadilah seorang manajer belajar daripada sebagai penyampai informasi.

    5. Membantu siswa menyusun kebutuhannya untuk merumuskan tujuan

    belajarnya.

  • 55

    6. Mendorong siswa menyusun tujuan yang dapat dicapai melalui berbagai cara

    dan menawarkan beberapa contoh performan yang berhasil.

    7. Menyiapkan contoh-contoh pekerjaan yang sudah berhasil.

    8. Meyakinkan siswa agar menyadari tujuan, strategi, sumber, dan kriteria

    evaluasi belajar yang telah ditetapkan.

    9. Melatih siswa berinkuiri, mengambil keputusan, mengembangkan dan

    mengevaluasi diri.

    10. Bertindak sebagai pembimbing dalam mencari sumber-sumber belajar.

    11. Membantu menyesuaikan sumber belajar dengan kebutuhan siswa.

    12. Membantu siswa mengembangkan sikap dan perasaan positif.

    13. Memahami tipe personality dan jenis belajar siswa.

    14. Menggunakan teknik pengalaman lapangan dan pemecahan masalah sebagai

    dasar pengalaman belajarorang dewasa.

    15. Mengembangkan pedoman belajar yang berkualitas tinggi termasuk

    kiat belajar terprogram.

    Oleh karena itu, diharapkan melalui layanan bimbingan dan konseling dapat

    meningkatkan efikasi diri siswa sehingga siswa dapat mengembangkan sikap-sikap

    yang mendukung perkembangan kemandirian belajarnya. Hal tersebut dapat

    mendorong siswa dalam menghadapi tantangan dan hambatan dalam kehidupan

    sekarang dan di masa yang akan datang.

  • 56

    Sebagaimana uraian di atas, jelaslah kiranya bahwa melalui pemberian

    layanan bimbingan dan konseling, individu diharapkan dapat memecahkan

    masalahnya sendiri, memahami dan menyesuaiakan diri dengan lingkunagnnya

    sebagai upaya tetap dapat hidup serasi dan harmonis bersama lingkungan dimanapun

    individu itu berada.

    D. Kerangka Berpikir Mengenai Hubungan Antara Efikasi Diri dengan

    Kemandirian Belajar

    Keyakinan akan kemampuan yang dimiliki (efikasi diri) memegang peran

    penting dalam menggerakkan aktivitas remaja dalam perkembangan kemandiriannya,

    efikasi diri yang kuat akan menjadi dasar bagi remaja untuk melepaskan diri dari

    ketergantungan terhadap orang lain terutama terhadap orangtua. Remaja mulai

    memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat mencapai keberhasilan dengan segenap

    kemampuan yang dimilikinya. Keyakinan yang kuat akan mendorong remaja untuk

    lebih mandiri dengan mengandalkan kemampuannya sendiri. Demikian pula

    sebaliknya, kemandirian yang terbentuk pada remaja akan memicu dirinya untuk

    melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan kemampuan diri yang

    berujung pada meningkatnya efikasi diri.

    Efikasi diri merupakan perantara bagi proses perkembangan dari masa kanak-

    kanak menuju kedewasaan. Remaja akan mengarahkan dirinya berdasarkan

    kemampuan-kemampuan yang ia yakini mampu untuk ditampilkan dalam rangka

  • 57

    mencapai tujuan-tujuan hidup yang telah ia rencanakan (Zimmerman dan Cleary,

    2006: 45).

    Berhubungan dengan aktivitas belajar, siswa dengan efikasi diri yang baik

    akan melakukan perencanaan yang matang serta memiliki ketekunan untuk

    menyelesaikan tugas-tugas belajarnya. Siswa yang memiliki keyakinan bahwa dirinya

    dapat menyelesaikan tugas dengan kemampuannya sendiri cenderung lebih matang

    dalam merencanakan waktu-waktu belajarnya, memiliki inisiatif untuk mencari

    sumber-sumber belajar tanpa instruksi orang lain, serta lebih percaya diri ketika ujian.

    Sehingga pengalaman dalam melakukan aktivitas-aktivitas tersebut akan mendorong

    remaja untuk mengerahkan kemampuan dirinya dalam rangka mencapai tujuan dalam

    hidupnya. Adapun menurut (Mustaqim, 2009: 41), dengan efikasi diri seseorang

    akan terdorong untuk menjalani pilihan-pilihan hidup yang telah ia tentukan sendiri,

    menjadi seorang individu yang mandiri.

    Siswa yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan terdorong untuk tidak

    tergantung pada orang lain, seperti mengerjakan tugas rumah ketika diingatkan oleh

    orangtua, mencari sumber belajar ketika diperintah oleh guru, dan sebagainya.

    Sehingga pada akhirnya cenderung menjadi individu yang mandiri dalam belajar,

    yaitu remaja yang selalu penuh inisiatif untuk menyelesaikan tugas-tugas belajar atas

    dorongan kesadaran dan kemampuan sendiri tanpa ketergantungan dengan orang lain.

    Apabila seseorang memiliki efikasi diri yang tinggi, maka cenderung akan

    memiliki perencanaan yang matang, memiliki ketekunan, berinisiatif dalam mencari

    sumber-sumber belajar, percaya diri dan tidak mudah merasa tertekan, mampu

  • 58

    menetapkan target prestasinya, dapat berpikir positif serta keinginan untuk tidak

    tergantung dengan orang lain.

    Dengan perilaku-perilaku yang ditampilkan oleh individu yang memiliki

    efikasi diri yang tinggi tersebut, maka segenap keyakinan tersebut menjadi dasar bagi

    siswa untuk tidak selalu mengandalkan orang lain yang pada akhirnya mendorong

    siswa untuk lebih mandiri dalam belajarnya dan tidak menggantungkan diri pada

    orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Sebaliknya, apabila seseorang

    mempunyai efikasi diri yang rendah maka kecenderungan senantiasa selalu

    memandang diri tidak mampu akan berpengaruh pada tingkah laku yang ditampilkan

    dengan tidak baik, begitu pula dalam mengembangkan kemandiriannya dalam belajar.

    Untuk menguji hubungan antara kemandirian belajar dengan efikasi diri, maka

    dalam penelitian ini peneliti merumuskan efikasi diri sebagai variabel independen

    atau variabel bebas (X) sedangkan kemandirian belajar sebagai variabel dependen

    atau variabel terikat (Y).

    Variabel X yaitu efikasi diri merupakan variabel bebas, yang di dalamnya

    terdapat aspek-aspek magnitude, generality, dan strength. Variabel Y yaitu

    kemandirian belajar merupakan variabel, yang didalamnya terdapat aspek-aspek

    kemandirian emosional, kemandirian perilaku dan kemandirian nilai.

    Maka berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana

    hubungan antara kemandirian belajar dengan efikasi diri yang selanjutnya alur

    kerangka berpikir tersebut dituangkan dalam grafik berikut ini :

  • 59

    Skema 2.1 Kerangka Berpikir

    E. Kajian Temuan Terdahulu

    Adapun kajian temuan terdahulu yang menyajikan data dan berhubungan

    dengan penelitian yang berjudul Hubungan Antara Kemandirian Belajar dengan

    Efikasi diri Siswa adalah sebagai berikut :

    1. Berg, Silbereisen, dan Vondracek (1997) menunjukkan ada hubungan yang positif

    antara separasi (kemandirian emosional) dengan Self-Efficacy (efikasi diri )

    vokasional. Keyakinan atas kemampuannya untuk mengeksplorasi lingkungan di luar

    keluarga dan membuat pilihan-pilihan yang sesuai dirinya akan memberi dasar untuk

    merasa nyaman saat memisahkan diri secara emosional dengan orangtuanya.

    2. Penelitian Maryati (2008) diperoleh rerata empiric tentang aspek Efikasi diri pada

    subjek penelitian yang tergolong tinggi ditunjukkan oleh rerata empirik (RE) =

    88,260 dan rerata hipotetik (RH) = 186. Rerata empiric (RE) kreativitas = 104,000.

    Kondisi ini dapat diartikan aspek-aspek yang ada pada variabel keyakinan diri yaitu:

    a) aspek keyakinan terhadap kemampuan mengahadapi situasi yang tidak menentu

    yang mengandung unsur kekaburan, tidak dapat diprediksikan, dan penuh tekanan, b)

    keyakinan terhadap kemampuan menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif dan

    melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil, c) keyakinan

    Variabel X (efikasi diri)

    Variabel Y (Kemandirian Belajar)

  • 60

    mencapai target yang telah ditetapkan. Pada dasarnya sudah menjadi bagian dari

    karakter subjek dalam berperilaku.

    3. Penelitian Hadi Warsito (2004) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan

    kausal yang positif dan signifikan antara self-efficacy (efikasi diri ) dengan

    penyesuaian akademik mahasiswa. Artinya bahwa seseorang yang memiliki efikasi

    diri yang tinggi akan memiliki penyesuaian akademik yang tinggi juga, sedangkan

    seseorang yang memiliki efikasi diri rendah akan memiliki penyesuaian akademik

    rendah.

    4. Hasil penelitian Indriani (2006) diketahui bahwa skor maksimal (ideal) untuk mata

    pelajaran Akuntansi siswa kelas XI-IPS adalah 6,5. Dari nilai hasil ulangan diketahui

    ada sebanyak 35 siswa (39,33%) yang mendapat nilai diatas skor ideal, sedangkan 54

    siswa (60,67%) masih mendapatkan nilai dibawah 6,5 atau dibawah skor ideal. Dari

    54 siswa yang mendapat nilai dibawah skor ideal tersebut dimungkinkan siswa

    tersebut memiliki kemandirian belajar yang relatif rendah. Hal ini disebabkan

    kebanyakan siswa menganggap bahwa setiap mata pelajaran relatif sulit, sehingga

    setiap tugas yang diberikan oleh guru tidak dikerjakan sendiri terlebih dahulu, tetapi

    kebanyakan dari mereka hanya mencontek pekerjaan dari temannya.

    5. Data lain yang tentang kemandirian belajar remaja adalah hasil penelitian Nurrani

    (2009) yang menunjukkan bahwa secara umum siswa SMK memiliki tingkat

    kemandirian belajar yang tersebar pada setiap kategori pencapaian yaitu tinggi sekali

    1.39 %, tinggi 38,2 %, sedang 41 %, rendah 17,4 % dan rendah sekali 2.08 %; dari

    data penelitian diketahui bahwa siswa SMK belum mencapai kemandirian belajar

  • 61

    yang optimal yakni 60.5 % sedangkan siswa yang telah mencapai kemandirian belajar

    secara optimal sebesar 39.6 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemandirian

    belajar siswa secara umum belum mencapai taraf optimal.

    Hasil temuan di atas merupakan salah satu bukti bahwa betapa pentingnya

    mengembangkan kemandirian belajar di sekolah dengan meningkatkan Efikasi diri

    siswa. Sehingga dalam melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar siswa dapat

    mencapai prestasi dan memenuhi standar keberhasilan belajar yang telah ditetapkan

    dalam Undang-Undang Pendidikan.