EFEKTIVITAS PENGUMPULAN DAN KONTRIBUSI PAJAK BEA …repository.utu.ac.id/173/1/BAB I_V.pdf ·...
Transcript of EFEKTIVITAS PENGUMPULAN DAN KONTRIBUSI PAJAK BEA …repository.utu.ac.id/173/1/BAB I_V.pdf ·...
EFEKTIVITAS PENGUMPULAN DAN KONTRIBUSIPAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH
DAN BANGUNAN (BPHTB) DI KABUPATENACEH BARAT
SKRIPSI
OLEH
FAWARDINUR
NIM : 07C20101013
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNANFAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS TEUKU UMARMEULABOH, ACEH BARAT
2013
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah berwenang dalam mengatur kehidupan bernegara, menjalankan
fungsinya dalam penyelenggaran Negara sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku dalam suatu Negara. Pemerintah sudah semestinya bertanggung
jawab pada kehidupan rakyatnya. Peranan pemerintah sangat besar dalam
menjalankan kehidupan masyarakatnya.
Salah satu fungsi Negara adalah melindungi Negara dan rakyat. Dalam
menjalankan roda pemerintahan dan melaksanakan fungsinya tersebut, pemerintah
atau penguasa setempat memerlukan modal yang besar. Untuk memperoleh dana
yang besar, pemerintah menyediakan pos penerimaan yaitu Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Salah satu penerimaan Negara yang masuk dalam
APBN adalah penerimaan Pajak.
Pajak Merupakan salah satu jenis penerimaan yang bersumber dari dalam
negeri, sering dikemukakan bahwa pemungutan pajak masih perlu ditingkatkan
yang tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, sehingga menuntut adanya
penyempurnaan Undang-Undang perpajakan. diharapkan penerimaan Negara
yang bersumber dari sektor pajak dapat lebih maksimal.
Besarnya peran yang diberikan oleh pajak sebagai sumber dana dalam
pembangunan nasional, maka tentunya perlu lebih digali lagi potensi pajak yang
ada dalam masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi perekonomian serta
perkembangan bangsa ini.
Menurut Suandy (2008, h.48) Pajak adalah prestasi kepada pemerintah
yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa
2
ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individu
maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Masalah perpajakan di Indonesia bukan menjadi persoalan pemerintah
pusat saja. Melainkan juga menjadi perhatian Pemerintah Daerah
(Pemda).Terutama sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang pemerintah daerah. Pada saat ini prinsip otonomi daerah adalah otonomi
yang luas, nyata dan bertangung jawab pembiayaan pemerintah dan pembangunan
daerah yang berasal dari PAD. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber
pembiayaan yang paling penting dimana komponen utamanya adalah penerimaan
yang berasal dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah.
Tabel 1Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Barat
Tahun 2006-2012
No TahunPendapatanAsli Daerah
(PAD)
PendapatanAsli Daerah (PAD)
RealisasiPenerimaan
(Rp)
Persentase(%)
1. 2006 17.141.428.849
1. Hasil Pajak Daerah 2.677.764.737 81,642. Hasil Retribusi Daerah 5.175.526.175 98,743. Hasil pengelolaan
Kekayaan Daerahyang Dipisahkan
1.071.298.467 81,42
4. Lain-Lain PendapatanAset daerah
8.216.839.470 110,16
2. 2007 21.710.256.581
1. Hasil Pajak Daerah 3.267.762.844 77,712. Hasil Retribusi Daerah 5.828.349.170 83,423. Hasil pengelolaan
Kekayaan DaerahyangDipisahkan
1.560.293.789 90,45
4. Lain-Lain PendapatanAset daerah
11.053.850.778 133,25
3. 2008 40.423.494.271
1. Hasil Pajak Daerah 4.187.599.822 104,192. Hasil Retribusi Daerah 6.286.372.001 91,233. Hasil pengelolaan
Kekayaan Daerahyang Dipisahkan
1.606.020.789 77,40
4. Lain-Lain PendapatanAset daerah 28.343.501.658 189,44
3
4. 2009 27.874.493.673
1. Hasil Pajak Daerah 4.276.502.262 94,232. Hasil Retribusi Daerah 5.990.145.924 75,913. Hasil pengelolaan
Kekayaan DaerahyangDipisahkan
1.658.387.037 71,02
4. Lain-Lain PendapatanAset daerah
11.584.981.880 128,09
5. 2010 24.272.574.383
1. Hasil Pajak Daerah 4.870.897.008 105,772. Hasil Retribusi Daerah 5.977.950.136 72,773. Hasil pengelolaan
Kekayaan DaerahyangDipisahkan
2.993.230.076 100,00
4. Lain-Lain PendapatanAset daerah
5.040.878.010 66,42
6. 2011 21.042.866.954
1. Hasil Pajak Daerah 5.860.183.148 51,002. Hasil Retribusi Daerah 5.364.089.688 71,823. Hasil pengelolaan
Kekayaan DaerahyangDipisahkan
2.216.828.812 70,87
4. Lain-Lain PendapatanAset daerah
2.186.838.368 49,36
7. 2012 24.727.256.869
1. Hasil Pajak Daerah 6.087.693.450 87,542. Hasil Retribusi Daerah 7.243.203.111 38,063. Hasil pengelolaan
Kekayaan DaerahyangDipisahkan
2.522.369.293 100,00
4. Lain-Lain PendapatanAset daerah
1.988.340.235 88,15
Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) AcehBarat (September 2013)
Pajak daerah berdasarkan Undang-Undang Nomur 28 Tahun 2009 adalah
kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Retribusi daerah atau retribusi berdasarkan
Undang-Undang Nomur 28 Tahun 2009 adalah pemungutan daerah sebagai
pembayaran atau jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan
atau diberikan oleh pemerintah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
4
Disisi lain masyarakat sebagai pihak yang diberi perlindungan memiliki
kewajiban untuk ikut serta dalam menjalankan fungsinya yang bias ditujukan
melalui keikut sertaanya dalam pembiayaan Negara.
Pajak daerah sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintah
dan pembangunan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu
sumber potensi pajak yang patut digali sesuai dengan situasi dan kondisi
perekonomian serta perkembangan pembangunan bangsa sekarang ini adalah
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB).
Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari
pajak pusat menjadi pajak daerah merupakan langkah strategis dalam pelaksanaan
desentralisasi fiskal di Indonesia. Disamping memiliki justifikasi teknis,
pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah akan dapat meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas belanja
daerah (local spending quality). Peningkatan kualitas belanja daerah akan
memperbaiki kualitas pelayanan publik yang merupakan tujuan dari kebijakan
otonomi daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, salah satu jenis pajak pusat yang dialihkan menjadi pajak
daerah adalah BPHTB. Kebijakan pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah
dilakukan melalui suatu proses pembahasan rancangan Undang-Undang yang
cukup panjang antara pemerintah dan dewan perwakilan rakyat. Dengan
mempertimbangkan berbagai faktor strategis serta kondisi daerah yang berbeda-
beda, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menyepakati
5
pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah dengan beberapa kondisi, antara lain (1)
pemungutan BPHTB dapat dilakukan oleh daerah secara optimal, dan (2)
pelayanan kepada masyarakat tidak mengalami penurunan. Masa transisi
pengalihan BPHTB ditetapkan selama 1 (satu) tahun sejak berlakunya UU Nomor
28 Tahun 2009 dan mulai efektif menjadi pajak daerah pada tanggal 1 Januari
2011. Selama masa transisi, Pemerintah melakukan berbagai kegiatan untuk
mempersiapkan daerah menerima pengalihan BPHTB dari pemerintah pusat. .
Tujuan Pembentukan Undang-Undang Tentang BPHTB adalah perlu
adanya pemungutan pajak atas Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah
pengeluaran pemerintah sebagai upaya kemandirian bangsa untuk memenuhi
pengeluaran pemerintah berkaitan dengan tugasnya dalam menyelenggarakan
pemerintahan umum dan pembangunan.
Menurut data Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah
(DPKKD) Aceh Barat, hanya sebesar 24 persen yang disetor melalui DPKKD
Aceh Barat, sedangkan 10 persen lainnya disetor langsung oleh wajib pajak itu
sendiri sehingga jumlah setoran pajak seluruhnya mencapai 34 persen. Realisasi
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Kabupaten Aceh Barat sangat minim.
Tabel 2Realisasi Penerimaan Pajak BPHTB Aceh Barat
Tahun 2006-2010
No TahunRealisasi Penerimaan BPHTB Aceh Barat
(Rp)1. 2006 1.551.703.8452. 2007 3.835.279.3033. 2008 3.005.795.7944. 2009 2.798.207.9975. 2010 3.128.512.140
Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) AcehBarat (September 2013)
6
Tabel 3Realisasi Penerimaan Pajak BPHTB Aceh Barat
Tahun 2011-2012
No TahunRealisasi Penerimaan BPHTB Aceh Barat
(Rp)1. 2011 1.326.388.2462. 2012 418.335.195
Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) AcehBarat (September 2013)
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang akan dituangkan dalam
bentuk skripsi dengan judul Efektivitas Pengumpulan Dan Kontribusi Pajak
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten
Aceh Barat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Seberapa Besar Kontribusi
BPHTB terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui seberapa besar
Kontribusi BPHTB terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Secara teoritis berguna bagi pengembangan ilmu ekonomi yang berkaitan
dengan pemahaman tentang pajak khususnya Pajak Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
b. Secara praktis berguna sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah untuk
berperan aktif dalam meningkatkan Pendapatan Daerah yang bersumber
7
dari pajak khususnya Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan sebagai bahan rujukan bagi peneliti atau pihak-pihak yang
ingin mengkaji tentang pajak khususnya Pajak Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB).
1.5 Sistematika Penelitian
Bagian Pertama Pendahuluan, dalam bab ini menjelaskan tentang Latar
Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
Bagian Kedua Tinjauan Pustaka, dalam bab ini akan memaparkan
mengenai Pengertian Pajak, Tinjauan Pajak berbagai Aspek, Pembagian Pajak
Menurut Golongan, Sifat, dan Pungutannya, jenis pajak,Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Fungsi Pajak, Pemungutan
Pajak, Tinjauan Umum tentang BPHTB, dan Pendapatan Asli Daerah
Bagian Ketiga Metode Penelitian, dalam bab ini menjelaskan tentang
Ruang lingkup Penelitian, Data Penelitian, Metode Analisis Data, Definisi
Operasional Variabel.
Bagian Keempat Hasil Penelitian dan Pembahasan, dalam bab ini
Menjelaskan tentang Statistik Deskriptif Variabel Penelitian, Hasil Penelitian dan
pembahasan.
Bagian Keenam Penutup, dalam bab ini penulis hanya mengemukakan
simpulan dan saran.
II. TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Pengertian Pajak
Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus-
menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan
tujuan tersebut perlu memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah
satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa/ negara dalam
pembiayaan pembangunan dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam
berupa pajak.
Pembangunan nasional Indonesia bertujuan untuk mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur, material, dan spiritual berdasarkan Pancasila, di
dalam wadah negara kesatuan republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan
bersatu, dalam suasana perikehidupan bangsa yang damai, tentram, tertib, dan
dinamis, serta dalam lingkungan pergaulan hidup dunia yang merdeka,
bersahabat, tertib, dan damai. Sementara, yang menjadi hakikat pembangunan
nasional Indonesia ialah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan
masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan
kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan, yaitu
dengan cara menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak.
Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat
(wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan
9
tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung. Pajak digunakan untuk
pembiayaan pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama.
Menurut Adriani (2003, h.147) Pajak adalah iuran kepada negara yang
dapat dipaksakan, yang terutang oleh wajib pajak membayarnya menurut
peraturan derngan tidak mendapat imbalan kembali yang dapat ditunjuk secara
langsung.
Menurut Rachmat Sumitro (2005, h.46) Pajak adalah iuran rakyat kepada
kas negara (peralihan kekayaan dari kas rakyat ke sektor pemerintah berdasarkan
Undang-Undang) dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen
prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai
pengeluaran umum.
Menurut Smeets (2004, h.61) Pajak adalah Prestasi pemerintah yang
terutang melalui norma-norma sumum, dan dapat dipaksakan tanpa adanya kontra
prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual, maksudnya adalah
membiayai pengeluaran pengeluaran pemerintah.
Unsur- unsur pokok dalam defenisi pajak adalah:
a. Iuran / pungutan
b. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
c. Pajak dapat dipaksakan
d. Tidak menerima kontra prestasi
e. Untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah.
Dari pengertian-pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-
ciri yang melekat pada pengertian pajak, yaitu:
a. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang serta pelaksanaannya.
10
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi
individual pemerintah
c. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah
d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bila
dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk
membiayai.
e. Pajak nasib rakyat banyak. Oleh karena itu menurut pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang dasar 1945 Segala pajak untuk keperluan negara
berdasarkan Undang-undang.
Menurut Rachmat (2005, h.341) Undang-Undang pajak adalah produk
hukum dan oleh karena itu harus tunduk pada norma-norma hukum, baik
mengenai pembuatnya, pelaksanaanya, maupun mengenai materinya.
1.1.1 Prinsip-Prinsip Perpajakan
Ada dua prinsip yang lazim digunakan dalam prinsip perpajakan di
Indonesia khususnya yaitu:
a. Prinsip keuntungan, yaitu menyatakan bahwa individu harus dibebani
pajak dengan proporsi untuk keuntungan yang mereka dapatkan dari
program-program pemerintah. Sama seperti orang membayar uang secara
pribadi dalam proporsi untuk konsumsi mereka atau roti pribadi, pajak
seseorang harus berkaitan dengan pemakaian mereka atau barang-barang
kolektif.
b. Prinsip kemampuan untuk membayar, yang menyatakan bahwa jumlah
pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus berkaitan dengan
11
pendapatan atau kesehatan, semakin tinggi pula pajaknya. Biasanya sistem
pajak yang diatur dengan prinsip kemampuan membayar juga bersifat
redistributive yang berarti bahwa mereka mendapatkan dana dari orang-
orang dengan pendapatan yang tinggi untuk meningkatkan pendapatan dan
konsumsi kelompok-kelompok yang lebih miskin (Samuel Nordhaus
2003, h,392)
1.2 Tinjauan Pajak Berbagai Aspek
Masalah perpajakan tidaklah sederhana hanya dengan menyerahkan
sebagian penghasilan kepada negara, tetapi harus ditinjau dari berbagai aspek :
a. Aspek Ekonomi
Dari sudut pandang ekonomi pajak merupakan penerimaan Negara yang
digunakan untuk mengarahjkan kehidupan masyarakat menuju sejahtera. Dalam
kehidupan ekonomi, sebagian besar kegiatan ekonomi dilakukan melalui
mekanisme pasar bebas, mekanisme ini tidak akan berjalan lancar apabila tidak
didukung oleh pemerintah dalam menunjang sarana dan prasarana, untuk itu
pemerintah memerlukan pajak dari masyarakat. Pelayanan yang diberikan
pemerintah merupakan suatu kepentingan umum untuk kepuasan bersama,
sehingga pajak yang mengalir dari masyarakat nantinya akan kembali ke
masyarakat pula. Hal ini erat kaitannya dengan kebijakan ekonomi yang mengarah
pada dukungan pemenuhan kenaikan pendapatan masyarakat melalui distribusi
pendapatan.
Hubungan antara aspek ekonomi dengan pajak adalah dengan adanya
pajak maka pemerintah dapat membangun prasarana ekonomi yang nantinya erat
kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi,
12
negara tidak dapat meningkatkan kesejahteraan warganya. Demikian pula, tanpa
adanya kesadaran membayar pajak oleh warga maka pemerintah tidak mampu
untuk meningkatkan prasarana ekonomi.
b. Aspek Hukum
Dasar yang digunakan pemerintah dalam memngatur masalah keuangan
negara adalah Pasal 23A Amandemen UUD 1945 termasuk didalamnya pajak dan
pungutan lainnya yang bersifat memaksa untuk keperluan negara yang diatur
dalam Undang-Undang.
c. Aspek Keuangan
Pajak dipandang penting sebagai penerimaan negara, sehingga kondisi
keuangan negara tidak lagi semata-mata dari penerimaan berupa minyak dan gas
akan tetapi menjadikan pajak sebagai salah satu dari penerimaan utama negara.
Alat ukur yang digunakan sebagai indikator efektif dan produktifnya pemungutan
pajak yaitu dalam fungsinya pengumpulan penerimaan negara berupa pajak.
Kecendrungan umum dengan semakin maju suatu sistem pajak suatu negara, akan
semakin tinggi tax ratio. Tax ratio adalah perbandingan antara penerimaan pajak
dan jumlah Produk Domestik Bruto (PDB).
d. Aspek Sosiologi
Pajak pada aspek sosiologis ditinjau dari segi masyarakat yaitu
menyangkut akibat-dampak terhadap masyarakat atas pungutan hasil yang
diserahkan kepada negara. Jelaslah bahwa pajak sebagai sumber penerimaan
negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan
ekonomi, sehingga nantinya akan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat secara merata.
13
Dari beberapa pengertian pajak, tersimpul ciri-ciri yang melekat pada
pengertian pajak yaitu :
a. Pajak dipungut berdasarkan dengan kekuatan Undang-Undang serta aturan
pelaksanaannya.
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi
individual oleh pemerintah.
c. Pajak dipungut oleh Negara (baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah).
d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran Pemerintah, yang bila dari
pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai
public investment.
e. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter, yaitu mengatur
(Waluyo 2007, h.8)
1.3 Pembagian Pajak Menurut Golongan, Sifat dan pungutannya
2.3.1 Menurut Golongan
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang dikenakan secara periodik atau berulang-
ulang yang mempunyai daftar dan pembayarannya tidak dapat
dilimpahkan pada orang lain. Contohnya pajak penghasilan.
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang dikenakan secara insidental yaitu
pada saat terpenuhinya keadaan, perbuatan dan peristiwa yang ditentukan
dalam Undang-Undang pajak, tidak mempunyai daftar dan jumlahnya
dapat dilimpahkan pada orang lain. Contoh Bea materai, Bea Lelang,
Pajak Pertambangan Nilai, Bea Balik Nama, dan sebagainya.
14
2.3.2 Menurut sifat
a. Pajak Subyektif, yaitu pajak yang berpangkat atau berdasarkan pada
subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh
:Pajak penghasilan
b. Pajak Obyektif, yaitu pajak yang berpangkat pada obyeknya tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh Pajak Pertambangan
Nilai
3.3.3 Menurut Lembaga Pemungutan
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut Oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh pajak
penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai.
b. Pajak daerah, Yaitu Pajak yang di pungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah, yang terdiri dari Pajak
Propinsi, contoh Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor dan Pajak Kabupaten/kota, contoh Pajak Hotel dan
Restoran ( pengganti pajak Pembangunan), Pajak Hiburan, Pajak Reklame,
Pajak Penerangan Jalan dan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan
Pengertian Pajak menurut Feldmann dalam buku De Over heidsmiddelen
Van Indonesia (terjemahan) Pajak adalah presentasi yang dipaksakan sepihak oleh
dan terutang kepada pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara
umum) tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup
pengeluaran-pengeluaran umum.
15
Pengertian pajak menurut Soeparman dari disertasinya yang berjudul Pajak
Bardasarkan Azas Gotong Royong, menyatakan Pajak adalah iuran wajib berupa
uang atau barang yang dipungut oleh pengusaha berdasarkan norma-norma
hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam
mencapai kesejahteraan umum. Dari definisi diatas tidak tampak isilah
“dipaksakan” karena bertitik tolak pada istilah “iuran wajib”. Sisi lainnya yang
berhubungan kontraprestasi menekan pada mewujudkan kontraprestasi itu
diperlukan pajak.
Pengertian pajak menurut Smeets dalam buku De Economische betekenis
belastingen (terjemahan) Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang
melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakannya.tanpa adanya
kontraprestasi yang dapat ditunjukan dalam hal yang individual, dimaksudkan
untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
2.4 Jenis-Jenis Pajak
2.4.1. Menurut Administratif Yuridis
Penggolongan pajak dari sisi administratif yuridis menghasilkan apa yang
sering dikenal sebagai pajak langsung dan pajak tidak langsung. Suatu jenis pajak
dikatakan sebagai pajak langsung apabila dipungut secara periodik. Jadi berulang-
ulang, tidak hanya satu kali pungut, dengan menggunakan penetapan sebagai
dasar dan kohir. Misalnya, Pajak Penghasilan (PPh). Adapun pajak tidak langsung
dipungut secara insidental (tidak berulang-ulang). Jadi pajak tidak langsung hanya
dipungut sesekali ketika terpenuhi seperti yang dikehendaki oleh ketentuan
Undang-Undang. Misalnya Bea Materai atau Pajak Pertambahan Nilai.
16
2.4.2 Berdasarkan Titik Tolak Pungutannya
Pembedaan pajak dengan menggunakan dasar titik tolak pungutan akan
menghasilkan dua jenis pajak, yakni pajak subjektif dan pajak objektif.
a. Pajak subjektif adalah pajak yang pengenaannya berpangkal pada diri
orang/badan yang dikenai pajak (wajib pajak).
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang pengenaannya berpangkal pada objek
yang dikenai pajak, dan untuk mengenakan pajaknya harus dicari
subjeknya (Adriani, 2003, h.86)
2.4.3 Berdasarkan Sifatnya
Pembagian pajak berdasarkan sifatnya akan memunculkan apa yang
disebut pajak bersifat pribadi dan pajak kebendaan:
a. Pajak yang bersifat pribadi atau juga yang bisa disebut sebagai bersifat
perorangan, adalah pajak yang dalam penetapannya memperhatikan
keadaan diri serta keluarga wajib pajak.
b. Pajak yang bersifat kebendaan adalah pajak yang dipungut tanpa
memperhatikan diri dan keadaan si wajib pajak. Pajak yang bersifat
kebendaan ini umumnya merupakan pajak tidak langsung
(Adriani,2003 h.90)
2.4.4 Berdasarkan Kewenangan Pemungutannya
Dengan mendasarkan pada kewenangan pemungutannya, pajak dapat
digolongkan menjadi dua, yakni pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat
(pajak pusat) dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (pajak daerah).
a. Pajak Pusat, yakni pajak yang kewenangan pemungutannya berada pada
pemerintah pusat. Tergolong jenis pajak ini antara lain Pajak Penghasilan
17
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPn.BM), Bea Materai dan Cukai.
b. Pajak daerah, yakni pajak yang kewenangan pemungutannya berada pada
pemerintah daerah, baik pada pemerintah propinsi maupun pemerintah
kabupaten/kota. (Adriani, 2003, h,120)
2.5 Undang-Undang No.28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi
Daerah
Menurut pengaturan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pada bab II tentang pajak dan jenis pajak,
pasal 2 adalah sebagai berikut:
2.5.1 Jenis Pajak Provinsi
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, jenis
pajak terdiri atas:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
Pajak kendaraan bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan atau
penguasaan kendaraan bermotor, semua kendaraan beroda beserta gandengannya
yang digunakan di semua jenis jalan darat dan gerakkan oleh peralatan teknik
berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu
sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang
bersangkutan, termasuk alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda
dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang
dioperasikan di air.
18
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah Pajak atas penyerahan hak
milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian kedua pihak atau perbuatan
sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan,
atau pemasukan ke dalam badan usaha.
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pajak bahan bakar kendaraan bermotor adalah pajak atas penmgunaan
bahan bakar kendaraan bermotor. Bahn bakar kendaran bermotor adalah semua
jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaran bermotor.
d. Pajak Air Permukaan
Pajak Air permukaan adalah pajak atas pengambilan dan atau pemanfaatan
air permukaan. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan
tanah, tidak termasuk air laut, baik yang berada dilaut maupun didarat.
e. Pajak Rokok.
Pajak pokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh
pemerintah.
2.5.2 Jenis Pajak Kabupaten/Kota
a. Pajak Hotel
Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan dihotel. Hotel
adalah fasilitas penyedia jasa penginapan atau peristirahatan termasuk jasa terkait
lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk
pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya,
serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
19
b. Pajak Restoran
Pajak restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan minuman dengan dipungut
bayaran, yang juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya
termasuk jasa boga/catering.
c. Pajak Hiburan
Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan semua
jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan keramaian yang dinikmati dengan
dipungut bayaran.
d. Pajak Reklame
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Reklame
adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya
dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan,
mempromosikan, atau utuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang,
atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, atau dinikmati oleh
umum.
e. Pajak Penerangan Jalan
Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik
yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalh pajak atas kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam
atau permukaan bumi untuk dimamfaatkan.
20
g. Pajak Parkir
Pajak Parkir adalah Pajak atas penyelenggaran tempat parkir diluar badan
jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang
disediakan sebagai suatu usaha, termasuk tempat penitipan kendaraan bermotor.
h. Pajak Air Tanah
Pajak air tanah adalah pajak atas pengambilan dan pemamfatan air tanah.
Air tanah adalah air yang tedapat kualitas dalam lapisan tanh atau batuan di bawah
permukaan tanah.
i. Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan
pengusahaan sarang burung walet.
j. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan
Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan adalah pajak perolehan
hak atas tanah dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimamfaatkan oleh
orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan, dan Pertambangan.
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan
hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah
perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah
dan bangunan oleh orang pribadi atau Badan (Sapto, 2010,h.19).
2.6 Fungsi pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak
21
merupakan sumber pendapatan Negara untuk membiayai semua pengeluaran
termasuk pengeluaran pembangunan.
Pajak yang dipungut oleh pemerintah mempunyai fungsi sebagai :
a. Fungsi Budgetaire (Anggaran)
Pajak merupakan suatu alat (sumber) untuk memasukan uang ke kas
negara sebanyak-banyaknya yang nantinya akan dipergunakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran rutin negara.
Contoh Dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negara.
b. Fungsi Regulerend (Mengatur)
Pajak adalah suatu alat untusk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang sifatnya
mengatur dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya yang
sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pajak
sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam
bidang sosial dan ekonomi dalam menyelenggarakan politiknya dalam segala
bidang. Bahkan pada negara modern fungsi mengatur justru menjadi tujuan politik
dari pajak
Contoh Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk
mengurangi gaya hidup konsumtif (Adriani, 2003, h,187)
2.7 Pemungutan Pajak
2.7.1. Dasar Hukum
Pemungutan pajak di Indonesia diatur dalam Pasal 23 A Undang-undang
Dasar yang berbunyi Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Berdasarkan ketentuan tersebut
maka pemungutan terhadap segala jenis pajak harus didasarkan pada Undang-
22
Undang. Yang berhak memungut pajak adalah pemerintah sebagai Fiskus
(pemungut pajak). Pajak merupakan peralihan kekayaan dari masyarakat ke
pemerintah untuk membiayai pengeluaran negara dengan tidak mendapatkan
kontrak prestasi yang langsung tetapi bukan berarti pemerintah yang menentukan
tarif secara sembarangan karena menurut Undang-Undang Dasar 1945.
Pembuatan Undang-undang Dasar 1945, Pembuatan Undang-Undang dilakukan
oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara bersama-sama.
Sedangkan Pengaturan pajak berdasarkan Undang-Undang berarti mengenai
masalah tarif besarnya Pajak sudah merupakan kesepakatan antara presiden
( pemerintah) dan DPR.
2.7.2 Azas Pemungutan pajak
Salah satu, aspek yang penting dalam hukum perpajakan adalah wewenang
fiskus (petugas pemungut pajak) dalam memungut pajaknya dari masyarakat.
yang diutamakan dalam pemungutan pajak adalah unsur keadilan sebab apabila
keadaan tidak tercapai dalam pemungutan pajak, maka dapat menimbulkan
pengaruh yang sangat negatif dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dapat juga
disebut sebagai asas-asas pajak atau asas dalam pengenaan pajak. Menurut
(Santoso,2002,h,671) Dalam pemungutan pajak haruslah diperhatikan azas-
azasnya, yaitu;
a. Falsafah Hukum
Meninjau Pemungutan Pajak dari sudut falsafahnya, sehingga pajak itu
menjadi adil
23
b. Yuridis
Pemungutan pajak harus berdasarkan peraturan atau Undang-Undang yang
berdasarkan kepastian hukum.
c. Ekonomis
Pemungutan pajak jangan sampai menunggu kehidupan ekonomis dari
Wajib Pajak. Jadi jangan sampai akibat adanya pemungutan pajak terhadap
seseorang maka orang tersebut melarat, yang dikenakan pajak adalah pendapatan
bukan modal.
d. Finansial
Finansial adalah Pemungutan pajak disesuaikan dengan fungsinya, yaitu
fungsi untuk obligasi kas negara.
2.8 Tinjauan Umum Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB)
2.8.1 Pengertian dan Dasar Hukumnya
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan
oleh orang perseorangan pribadi atau badan. Objek pajak BPHTB adalah
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB adalah orang pribadi
atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. BPHTB
merupakan pajak yang harus dibayar akibat perolehan hak atas tanah dan
bangunan meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak
milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.
24
Undang-Undang BPHTB. Tahun 2000, UU BPHTB mengalami perubahan
oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2000. Kedua Undang-Undang ini
memberikan kewenangan kepada DJP untuk memungut BPHTB dari rakyat
Indonesia. Dasar hukum terbaru Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 yang
berlaku mulai 1 Januari 2001.
Pengertian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah
sebagai berikut:
a. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
b. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau
bangunan oleh orang pribadi atau badan;
c. Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, beserta
bangunan diatasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Santoso, 2002, h,432)
Prinsip-prinsip dasar yang dianut UU BPHTB adalah sebagai berikut:
a. Pemenuhan kewajiban BPHTB berdasarkan sistem self assessment, yaitu
Wajib Pajak menghitung dan menyetorkan pajak terhutang dan
melaporkannya ke Kantor Pelayanan PBB;
b. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak
(NPOP) atau NJOP PBB jika NPOP < NJOP PBB.
25
c. Dikenakan sanksi kepada Wajib Pajak maupun kepada pejabat-pejabat
umum yang melakukan pelanggaran ketentuan atau tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini.
d. Hasil dari penerimaan BPHTB sebagian besar diserahkan kepada Daerah
dengan komposisi 80% untuk Daerah dan 20% untuk Pusat.
e. Tidak diperkenankan ada pungutan lain atas pihak yang memperoleh hak
atas tanah dan bangunan sejak Undang-Undang BPHTB berlaku
(Santoso,2002, h,402)
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak terhutang
dan harus dibayar oleh pihak yang memperoleh suatu hak atas tanah dan
bangunan agar akta peralihan hak seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, atau
risalah lelang, atau surat keputusan pemberian hak atas tanah dapat dibuat dan
ditanda tangani oleh Pejabat yang berwenang.
2.8.2 Objek Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Menurut Mardiasmo (2002, h,27) Objek BPHTB adalah perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan yang meliputi:
a. Pemindahan hak, yang meliputi jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah
wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan
hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang;
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap
dan hadiah.
b. Pemberian hak baru, yang meliputi kelanjutan pelepasan hak, dan di luar
pelepasan hak.
26
Sedangkan hak atas tanah meliputi, hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 mengenal pengecualian objektif,
yaitu pajak yang dikecualikan yang tidak dikenakan BPHTB. Objek yang tidak
dikenakan BPHTB adalah objek yang diperoleh:
a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
c. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh
Menteri;
d. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum
dengan tidak adanya perubahan nama;
e. Karena wakaf;
f. Karena warisan;
g. Untuk digunakan kepentingan ibadah (Mardiasmo,2002,h,37)
Sedangkan objek yang pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Daerah adalah objek pajak yang diperoleh karena hibah wasiat dan hak
pengelolaan. Saat terutang Pajak BPHTB untuk :
a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b. Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda tanganinya akta;
c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda tanganinya akta;
d. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke Kantor Pertanahan;
27
e. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta;
g. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tatap;
i. Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan
peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
j. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
adalah sejak tanggal ditandatanganinya dan diterbitkannya surat keputusan
pemberian hak;
k. Pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal
ditandatanganinya dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
l. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
m. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
n. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
o. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
(Mardiasmo,2002,h,46)
Tempat pajak terutang adalah di wilayah kabupaten, kota, atau propinsi
yang meliputi letak tanah dan bangunan. Cara pembayaran pajak adalah wajib
pajak membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya
28
surat ketetapan pajak ke kas Negara melalui Kantor Pos/Bank BUMN/BUMD
dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
2.8.3 Tarif, Dasar Pengenaan, NPOPTKP, dan Cara Perhitungan BPHTB
Tarif Bea Perolehan Haka atas Tanah dan Bangunan setelah menjadi Pajak
Daerah ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dengan Peraturan
Daerah. Yang menjadi dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (NPOP). NPOP ini didasarkan pada :
a. Harga transaksi yaitu harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak
pihak yang berkepentingan. Harga transaksi ini digunakan terhadap
perolehan hak yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak pihak
berkepentingan. Harga transaksi ini digunakan terhadap perolehan hak
yang terjadi karena jual beli, dan penunjukan pembeli dalam dagang.
b. Nilai pasar adalah harga rata rata dari transaksi jual-beli secara wajar yang
terjadin bangunan. Nilai pasar ini digunakan terhadap perolehan hak yang
terjadi karena Tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan, pelaksaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, hadiah, penggabungan usaha, peleburan usaha,
pemekaran usaha, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak, pemberian hak baru diluar pelepasan hak
c. Nilai Jual Objek Pajak yang di pakai sebagai dasar pengenaan BPHTB
adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan sebagai dasar
penggunaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terutang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan.
29
NJOP PBB ini digunakan terhadap semua perolehan hak atas tanah dan
bangunan apabila nilai transaksi tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP PBB
maka yang digunakan NJOP PBB, tetapi apabila nilai transaksi atau nilai pasar
lebih tinggi dari NJOP PBB maka yang digunakan sebagai dasar pengenaan
BPHTB adalah nilai transaksi atau nilai pasar. Apabila NJOP PBB belum
ditetapkan oleh mentri keuangan.
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP
diberikan untuk setiap perolehan hak sebagai pengurang penghitungan BPHTB
terutang. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan menyatakan bahwa Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan secara regional paling banyak Rp
60.000,000- (enam puluh juta rupiah). Dalam hal perolehan hak karena waris, atau
hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan
pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP regional paling banyak Rp
300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Besarnya NPOPTKP ditetapkan oleh
Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri Keuangan untuk setiap kabupaten/kota
dengan mempertimbangkan pendapat Pemda setempat. Ketentuan besarnya
NPOPTKP diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 113 Tahun 2000. NPOPTKP
regional adalah penetapan NPOPTKP untuk masing-masing wilayah
Kota/Kabupaten. Penetapan NPOPTKP ini lebih lanjut ditetapkan oleh Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
30
Dalam perhitungan BPHTB yang harus diperhatikan adalah Objek
BPHTB, dasar pengenaan (NPOP), Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP) dan Tarif BPHTB. Besarnya BPHTB Terutang di hitung
dengan tarif pajak BPHTB dengan Nilai Perolehan Objek Kena Pajak
(NPOPKP). NPOPKP didapatkan dari NPOP dikurangi dengan NPOPKP.
Perhitungan tersebut dapat diilustrasikan dengan rumus sebagai berikut:
BPHTB terutang = Tarif x (NPOP – NPOPTKP)
= Tarif x NPOPKP
2.9 Pendapatan Asli Derah (PAD)
2.9.1 Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor
pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah disebutkan bahwa
sumber pendapatan terdiri dari pendapatan asli daerah, bagi hasil pajak dan bukan
pajak.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh dari
sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah.
Pendapatan Daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih dalam periode anggaran tertentu (UU.No 32
Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah), pendapatan daerah berasal dari
31
penerimaan dari dana perimbangan pusat dan daerah, juga yang berasal daerah itu
sendiri yaitu pendapatan asli daerah serta lain-lain pendapatan yang sah.
Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah adalah sistem
pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan
bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi,
dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran
penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. (UU.No 32 Tahun 2004).
Pengertian pendapatan asli daerah menurut Undang-Undang No. 28 Tahun
2009 yaitu sumber keuangan daerah yang digali dari wilayah daerah yang
bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah.
Menurut Nurcholis (2007,h,182), pendapatan asli daerah adalah
pendapatan yang diperoleh daerah dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah,
laba perusahaan daerah, dan lain-lain yang sah.
Menurut Santoso (2002,h,23) Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan
salah satu komponen sumber pendapatan daerah sebagaimana yang telah diatur
dalam pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah, berdasarkan pasal 79 UU 22/1999 disimpulkan bahwa sesuatu yang
diperoleh pemerintah daerah yang dapat diukur dengan uang karena kewenangan
(otoritas) yang diberikan masyarakat dapat berupa hasil pajak daerah dan retribusi
daerah. Sumber pendapatan daerah terdiri dari:
32
a. Hasil Pajak Daerah diperoleh dari Hasil Retribusi Daerah yaitu Hasil
Perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
b. Dana Perimbangan
c. Pinjaman Daerah
d. Lain-lan pendapatan daerah yang sah
Dalam pasal 79 mengisyaratkan bahwa dalam penyelenggaraan fungsi-
fungsi pemerintahan daerah, kepala daerah Kabupaten/Kota. Dengan kata lain,
diharapkan kepada kepala daerah Kabupaten/Kota didalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan daerah tidak terus menerus selalu
menggantungkan dana (anggaran) dari pusat melalui pembangian dana
perimbangan. Dalam administrasi keuangan daerah PAD adalah pendapatan
daerah yang diurus dan diusahakan sendiri oleh daerah yang dimaksud sebagai
sumber PAD guna pembangunan. Berdasarkan ketentuan maka PAD dapat
disimpulkan sebagai:
a. PAD merupakan sumber pendapatans daerah dengan mengelola dan
memanfaatkan potensial daerahnya.
b. Di dalam mengelola, mengolah dan memanfaatkan potensi daerah, PAD
dapat berupa pemungutan pajak, retribusi dan lain-lain pendapatan daerah
yang sah.
2.9.2. Pendapatan Daerah Asli
Pendapatan daerah asli terdiri dari :
a. Hasil Pajak Daerah
b. Hasil Retribusi Daerah
33
c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah
lainnya yang dipisahkan
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah (Ahmad Yani, 2002, h.39)
Klasifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terbaru berdasarkan
Nomor 13 Tahun 2006 terdiri dari Hasil Pajak Daerah, Hasil retribusi daerah,
Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya
yang dipisahkan, Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Jenis pajak daerah
dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan Undang-
Undang tentang pajak daerah dan retribusi daearh. Jenis hasil pengelolaan
kekayaaan daerah yang dipisahkan dan dirinci oleh menurut obyek pendapatan
yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah,
bagian laba penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah atau BUMN,
dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau
kelompok usaha masyarakat.
Jenis-jenis Pendapatan Asli daerah yang sah disediakan untuk
menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam pajak daerah,
retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup hasil penjualan kekayaan
daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas
tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan, atau pun bentuk
lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan jasa oleh
daerah, penerimaan keuntungan dari selisih tukar rupiah terhadap mata uang
asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan
denda pajak, pendapatan denda retribusi. Pendapatan hasil eksekusi atau jaminan,
34
pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pendapatan dari
angsuran atau cicilan penjualan (Gregory, 2009, h.12)
Pendapatan Asli Daerah merupakan suatu pendapatan yang menunjukkan
kemampuan suatu daerah dalam menghimpun sumber-sumber dana untuk
membiayai pengeluaran rutin. Jadi dapat dikatakan bahwa pendapatan asli daerah
sebagai pendapatan rutin dari usaha-usaha pemerintah daerah dalam
memamfaatkan potensi-potensi sumber keuangan daerahnya sehingga dapat
mendukung pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daearh
(Rusyadi 2005, h.52)
Pendapatan asli daerah tidak seluruhnya memiliki kesamaan, terdapat pula
sumber-sumber pendapatan lainnya, yaitu penerimaan lain-lain yang sah, menurut
Devas bahwa kelompok penerimaan lain-lain dalam pendapatan daerah Tingkat II
mencakup berbagai penerimaan kecil-kecil, seperti hasil penjualan alat berat dan
bahan jasa. Penerimaan dari swasta, bunga simpanan giro dan Bank serta
penerimaan dari denda kontraktor. Namun walaupun demikian sumber
penerimaan daerah sangat bergantung pada potensi daerah itu sendiri.
a. Otonomi Daerah
Daerah hukum pelaksanaan otonomi daerah Indonesia adalah pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut pembagian daerah Indonesia atas
daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan Undang-Undang dengan memandang dan mengingat dasar
pemusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak urus daerah yang
bersifat istimewa. Dalam penjelasan pasal tersebut dirumuskan Daerah Indonesia
akan dibagi dalam daerah propinsi dan propinsi akan dibagi pula dalam daerah
35
yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat daerah
administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan
Undang-Undang. Secara etimologis kata otonomi berasal dari bahasa Latin,
“Autos” yang berarti “sendiri” dan “Nomos” aturan. Amran Muslimin mengatakan
otonomi itu termasuk salah satu sari azas-azas pemerintahan negara, dimana
pemerintah suatu negara dalam pelaksanaan kepentingan umum untuk mencapai
tujuan.
Otonomi mempunyai makna kebebasan atas kemandirian tetapi bukan
kemerdekaan. Kemerdekaan terbatas atau kemandirian itu adalah wujud
pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Kewenangan otonomi
luas adalah keleluasaan daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan yang
mencakup kewenangan semua bidang luar negeri, pertahanan, keamanan,
peradilan moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Selain itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, penggerakan dan
evaluasi. Otonomi nyata merupakan keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang hidup dan berkembang
didaerah. Sedang otonomi yang bertanggungjawab maksudnya ialah: berupa
perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekwensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul
oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, adalah berupa
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi keadilan dan pemerataan, serta
36
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan keutuhan negara kesatuan
Republik Indonesia
Jadi otonomi untuk daerah propinsi diberikan secara terbatas meliputi
kewenangan lintas kabupaaten dan kota, dan kewenangan dibidang pemerintahan
lainnya.
Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman.
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas dan
bertanggungjawab
3. Pelaksanaan otonomi yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah propinsi merupakan
otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah,
serta antar daerah.
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian
daerah otonomi da karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota
tidak ada lagi wilayah administratif.
6. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibangun oleh
pemerintah atau pihak lain, seperti badan otoritass, kawasan industri,
kawasan perumahan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan,
37
kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku
ketentuan daerah otonomi.
7. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan
maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
8. Pelaksanaan asas desentralisasi diletakkan pada daerah propinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan
kewenangan sebagai wilayah administrasi.
Administrasi untuk melaksanakan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Pelaksanaan asas tugas pembantuan
dimungkinkan tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari
pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan
prasarana, serta sumberdaya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan
dan pertanggungjawaban kepada yang menugaskan.
Agar pelaksanaan tugas otonomi dapat berjalan dengan baik perlu
memperhatikan sumber pendapatan daerah, teknologi, struktur organisasi
pemerintah daerah, dukungan hukum, perilaku masyarakat, faktor kemimpinan.
Disamping itu hal-hal yang mempengaruhi pengembangan otonomi daerah
menurut Yosef (2004, h.75) sebagai berikut :
a. Faktor manusia pelaksana yang baik
b. Faktor keuangan daerah yang cukup dan baik
c. Faktor peralatan yang cukup dan baik
38
b. Pelaksanaan Otonomi Daerah
Sebagaimana diketahui, selama ini khususnya daerah kabupaten banyak
bergantung pada pemerintah pusat, karena terbatasnya jumlah dana yang berkaitan
dengan sumber dana yang telah diatur oleh pemerintah pusat. Dengan
ketergantungan pemerintah daerah dalam hal dana bagi penyelenggaraan urusan,
akan sulit untuk mencapai tujuan otonomi daerah terutama bagi daerah yang
kurang berkembang.
Menurut Pamudji (2006, h.138) Pemerintahan daerah dapat melaksanakan
fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan
pelayanan dan pembangunan. Keuangan inilah merupakan salah satu dasar kriteria
untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah
tangganya sendiri.
Salah satu faktor penting dalam pelaksanaan otonomi daerah menyangkut
atau keuangan daerah. Dengan kemampuan ekonomi maksudnya adalah adanya
kemampuan daerah secara ekonomis artinya dapat menjadikan daerah berdiri
sendiri tanpa ketergantungan dengan pusat. Dengan demikian jelas sumber-
sumber penerimaan daerah meliputi dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah
adalah pendapatan asli daerah yang meliputi hasil pajak daerah, retribusi daerah,
hasil perusahaan milik daerah, pengelolaan kekayaan daerah serta lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah.
2.9.3 Sumber Pendapatan Asli Daerah
Adapun sumber-sumber pendapatan asli menurut Undang-Undang RI
No.32 Tahun 2004 pasal 157 tentang pemerintah daerah Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang terdiri dari:
39
a. Hasil Pajak Daerah
Hasil Pajak yaitu Pungutan daerah menurut peraturan yang ditetapkan oleh
daerah untuk pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik. Pajak
daerah sebagai pungutan yang dilakukan pemerintah daerah yang hasilnya
digunakan untu pengeluaran umum yang balas jasanya tidak langsung diberikan
sedang pelaksanannya bisa dapat dipaksakan.
b. Hasil Retribusi Daerah
Hasil Retribusi daerah yaitu pungutan yang telah secara sah menjadi
pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa
atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik pemerintah daerah
bersangkutan. Retribusi daerah mempunyai sifat-sifat yaitu pelaksanaannya
bersifat ekonomis, ada imbalan langsung walau harus memenuhi persyaratan-
persyaratan formil dan materiil, tetapi ada alternatif untuk mau tidak membayar,
merupakan pungutan yang sifatnya budgetetairnya tidak menonjol, dalam hal-hal
tertentu retribusi daerah adalah pengembalian biaya yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah daerah untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat.
c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan.
Hasil perusahaan milik daerah merupakan pendapatan daerah dari
keuntungan bersih perusahaan daerah yang berupa dana pembangunan daerah dan
bagian untuk anggaran belanja daerah yang disetor ke kas daerah, baik perusahaan
daerah yang dipisahkan,sesuai dengan motif pendirian dan pengelolaan, maka
sifat perusahaan dareah adalah suatu kesatuan produksi yang bersifat menambah
40
pendapatan daerah, memberi jasa, menyelenggarakan kemamfaatan umum, dan
memperkembangkan perekonomian daerah.
d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
Pendapatan daerah yang sah ialah pendapatan-pendapatan yang tidak
termasuk dalam jenis-jenis Pajak Daerah, Retribusi Daerah, pendapatan dinas-
dinas. Lain-lain usaha daerah yang sah mempunyai sifat yang pembuka bagi
pemerintah daerah untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan baik berupa
materi dalam kegitan tersebut bertujuan untuk menunjang, melapangkan, atau
memantapkan suatu kebijakan daerah disuatu bidang tertentu.
e. Dana perimbangan
Dana perimbangan diperoleh melalui bagian pendapatan daerah dari
penerimaan pajak bumi dan bangunan baik dari pedesaan, perkotaan,
pertambangan sumber daya alam dan serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum,
dan dana alokasi khusus. Lain-lain pendapatan daerah yang sah adalah pendapatan
daerah dari sumber lain misalnya sumbangan pihak ketiga kepada daerah yang
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
2.9.4 Pengaruh Kontribusi Pemungutan BPHTB Terhadap Pendapatan
Asli Daerah (PAD)
Menurut Andriani (2003, h,231) Kontribusi berasal dari bahasa inggris
yaitu contribute, contribution, maknanya adalah keikutsertaan, keterlibatan,
melibatkan diri maupun sumbangan. Berarti dalam hal ini kontribusi dapat berupa
materi atau tindakan. Hal yang bersifat materi misalnya seorang individu
memberikan pinjaman terhadap pihak lain demi kebaikan bersama. Dalam
41
penelitian ini, konteks kontribusi merupakan seberapa besar sumbangan
penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam pos
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Aceh Barat. Diharapkan dengan semakin
tinggi kontribusi penerimaan BPHTB maka akan semakin besar pula PAD Aceh
Barat.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang Lingkup penelitian adalah Efektivitas Pengumpulan dan Kontribusi
Pajak di Kabupaten Aceh Barat khususnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB). Mengingat luasnya Aspek penelitian penulis membatasi
penelitian ini selama 7 Tahun (2006-2012).
3.2 Data Penelitian
3.2.1 Jenis dan Sumber data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh baik yang belum diolah maupun yang
telah diolah, baik dalam bentuk angka ataupun dalam bentuk uraian. Dalam
penelitian ini data sekunder yang diambil literature yang relevan dengan judul
penelitian seperti buku-buku, majalah, artikel, waktu/periode petunjuk teknis dan
lain–lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data
sekunder yang diambil dari Kantor Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan
Daerah (DPKKD)
3.2.2 Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan Untuk mendapatkan informasi dan data-data
sekunder, dilakukan melalui tinjauan dan kajian literatur, peraturan-peraturan,
dokumen serta berbagai materi rujukan lain yang relevan dengan penelitian.
43
2. Observasi Langsung
Pengumpulan data dengan Observasi langsung dilakukan dengan
mengadakan pengamatan langsung ke obyek penelitian yang mana telah
direncanakan secara sistematik dan berkaitan dengan tujuan penelitian serta
mengadakan interaksi sosial dengan pihak- pihak yang dianggap dapat
memberikan dukungan dan informasi yang dibutuhkan selama berlangsungnya
aktifitas penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuantitatif dengan mendatangi
instansi yang terkait yaitu kantor Dinas Pengelolaan Keuangan dan kekayaan
Daerah (DPPKD), perpustakaan untuk memperoleh data yang akan dibahas dalam
penelitian ini.
3.3 Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif
deskriptif untuk menginterprestasikan hasil data perhitungan tersebut serta
menyertai dan melengkapi gambaran yang diperoleh dari analisis data kualitatif
untuk memecahkan masalah yang diteliti yang akhirnya akan menarik kesimpulan
dari pengolahan data tersebut. Adapun langkah-langkah pengolahan datanya
adalah sebagai berikut:
3.3.1 Analisis Efektifitas
Analisis Efektifitas merupakan hubungan antara realisasi penerimaan
pajak BPHTB terhadap target penerimaan pajak BPHTB yang memungkinkan
apakah besarnya pajak BPHTB sesuai dengan target yang ada.
Menurut Ruslan (2006,h,189) Besarnya efektifitas dapat dihitung dengan
langkah sebagai berikut:
44
1. Membuat tabel penerimaan BPHTB tahun 2006-2012, dan realisasi
penerimaan pendapatan daerah Kabupaten Aceh Barat tahun 2006-2012
2. Menyusun tabel analisis efektivitas BPHTB yaitu perbandingan antara
penerimaan dan potensi BPHTB pada tahun 2006-2012, Rumus yang
digunakan dalam menghitung tingkat efektivitas BPHTB adalah:
Efektivitas BPHTB = %100Re
xBPHTBPotensi
BPTHBPenerimaanalisasi
Tabel 4Interpretasi Nilai Efektifitas
Persentase Kriteria>100% Sangat Efektif
90-100% Efektif80-90% Cukup Efektif60-80% Kurang Efektif<60% Tidak Efektif
Sumber: Depdagri, Kepmendagri No.690.900.327dalam Yulia Anggara Sari, 2010
3.3.2 Analisis laju Pertumbuhan
Menyusun tabel laju pertumbuhan pendapatan daerah Kabupaten Aceh
Barat dari tahun 2006-2012, sehingga dapat diketahui tingkat perkembangan
penerimaan pendapatan daerah di Aceh Barat.
Menurut Abdul, (2004, h,163) dalam Yulia, (2010,h.75) Adapun untuk
menghitung laju pertumbuhan dari penerimaan pendapatan daerah digunakan
rumus sebagai berikut:
Gx = %100)1(
)1(x
tx
txXt
45
Keterangan:
Gx = Laju pertumbuhan penerimaan BPHTB Aceh Barat pertahun
Xt = Realisasi penerimaan Aceh Barat tertentu
X(t-1) = Realisasi penerimaan Pajak BPHTB pada tahun sebelumnya.
3.3.3 Analisis Kontribusi
Menyusun tabel analisis kontribusi realisasi BPHTB terhadap Pendapatan
Daerah. Demi mengetahui bagaimana dan seberapa besar kontribusi BPHTB
maka untuk mengklasifikasikan kriteria kontribusi BPHTB terhadap Pendapatan
Daerah Menurut Halim (2004,h.342) digunakan rumus sebagai berikut :
Kontribusi BPHTB = %100Re
Rex
erimaanPADalisasiPen
BPTHBPenerimaanalisasi
Tabel 5Kriteria Kontribusi
Persentase Kriteria0,00-10% Sangat Kurang
10,10%-20% Kurang20,10%-30% Sedang30,10%-40% Cukup Baik40,10%-50% BaikDiatas 50% Sangat Baik
Sumber: Depdagri, Kepmendagri No.690.900.327dalam Yulia Anggara Sari, 2010
Berdasarkan teknik pengumpulan data dan instrumen penelitian yang
digunakan, maka teknik analisis dalam penelitian ini adalah dengan cara
menganalisis data secara kuantitatif dan akan disajikan secara deskriptif evaluatif.
Teknik ini di pergunakan untuk menggambarkan masalah yang ada berdasarkan
jawaban yang sesuai dengan kenyataan di lapangan, selanjutnya dianalisa
kemudian ditarik suatu kesimpulan dan saran. Jadi penulis berupaya untuk
meneliti dan menemukan fakta atau informasi seluas mungkin untuk mendapatkan
gambaran dari permasalahan yang selanjutnya akan dianalisa guna mencari solusi
46
dan alternatif terhadap Analisis pajak khususnya Pajak BPHTB sebagai sumber
Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh.
3.4 Definisi Operasional Variabel
Agar tidak menimbulkan pengertian ganda tentang variabel- variabel
utama pada penelitian ini, maka akan dijelaskan definisi masing-masing variabel
sebagai berikut
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (variabel x) adalah pajak
yang dikenakan atas perolehan perolehan hak atas tanah dan bangunan yang
mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan
oleh orang perseorangan pribadi atau badan.
Pajak Asli Derah (variabel y) adalah pungutan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang ditetapkan melalui peraturan daerah dan dikenakan pada semua objek pajak
seperti orang atau badan, bergerak atau tidak bergerak di Kabupaten Aceh Barat
pada kurun waktu 2006-2012.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian
Analisis Statistik Deskriptif adalah variable terikat, variabel bebas dan
variabel kontrol, penelitian ini digunakan untuk mengetahui besarnya kontribusi
BPHTB dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Aceh
Barat sehingga akan memberikan gambaran yang jelas mengenai kebijakan yang
harus diambil dalam rangka meningkatkan pembangunan ekonomi daerah.
Wajib pajak merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
perkembangan daerah secara keseluruhan maupun dalam ruang lingkup pedesaan
karena wajib pajak merupakan obyek pajak yang merupakan pengerak
pembangunan bangsa dan Negara. Oleh sebab itu berbagai hali diupayakan oleh
pemerintah untuk meningkatkan penerimaan dalam bidang perpajakan.
4.1.1 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga diatur
melalui Peraturan daerah tentang Qanun Aceh Barat Bahwa berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah, Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan jenis Pajak Daerah yang
pungutannya menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten atau kota, dalam
Peraturan Daerah yang menjadi obyek pajak adalah pengguna hak tanah dan
bangunan.
48
Tabel 6Penerimaan BPHTB Tahun 2006-2012, dan Realisasi Penerimaan Pendapatan
Daerah Kabupaten Aceh Barat Tahun 2006-2012
No TahunRealisasi Penerimaan BPHTB Aceh
Barat(Rp)
1. 2006 1.551.703.8452. 2007 3.835.279.3033. 2008 3.005.795.7944. 2009 2.798.207.9975. 2010 3.128.512.1406. 2011 1.326.388.2467. 2012 418.335.195
Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) AcehBarat (September 2013)
4.1.2 Pajak Daerah
Pajak daerah di kabupaten Aceh Barat merupakan pajak yang dipungut
oleh pemerintah pada wajib pajak. Penarikan pajak dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Aceh Barat di berbagai subsektor dalam meningkatkan Pajak
daerah yang pembayarannya disatukan ke dalam rekening dan disetorkan ke
DPKKD.
Potensi Pajak daerah di kabupaten Aceh Barat sangat potensial untuk
digali. Dari sisi penerimaan pajak daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) yang memiliki penerimaan terbesar dari penerimaan pos-pos
Pajak Daerah Kabupaten Aceh Barat. Dengan semakin meningkatnya penerimaan
pajak daerah berbagai subsektor diharapkan semakin meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD).
49
4.2 Hasil Penelitian Dan Pembahasan
4.2.1 Efektifitas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Setelah menjabarkan hal-hal yang melatar belakangi penelitian, teori-teori
yang telah mengukuhkan penelitian, maupun metode penelitian yang digunakan,
maka pada bab ini akan dipaparkan mengenai hasil dari penelitian.
Tingkat efektifitas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
di Kabupaten Aceh Barat dihitung dengan membandingkan antara realisasi
penerimaan pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dengan
target Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Tabel 7Analisis efektivitas BPHTB Tahun 2006-2012
No TahunTarget Potensi
BPTHB((Rp)
RealisasiBPHTB(Rp)
EfektivitasBPTHB
(%)Keterangan
1. 2006 1.500.000.000 1.551.703.845 103,44 Sangat efektif2. 2007 2.700.000.000 3.835.279.303 142,04 Sangat Efektif
3. 2008 2.470.137.193 3.005.795.794 121,68 Sangat Efektif
4. 2009 3.489.792.531 2.798.207.997 80,18 Cukup Efektif5. 2010 3.438.456.444 3.128.512.140 90,98 Efektif6. 2011 4.229.983.444 1.326.388.246 31,35 Tidak Efektif7. 2012 500.000,000 418.335.195 83,66 Cukup Efektif
Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) AcehBarat (September 2013)
Berdasarkan tabel penerimaan efektivitas BPHTB diatas, dapat diketahui
tingkat efektivitas penerimaan BPHTB dari Tahun 2006 - 2012 untuk selanjutnya
dapat dikategorikan pada tingkat tertentu, yaitu tidak efektif, kurang efektif,
cukup efektif, efektif, atau bahkan sangat efektif. Tingkat efektivitas mulai tahun
2006 sampai dengan Tahun 2008 secara berturut-turut yaitu sebesar 103.44 %,
142.04 %, 121,68 % hal ini menunjukkan bahwa secara umum tingkat efektivitas
penerimaan BPHTB dari Tahun 2006 sampai dengan 2008 termasuk pada kategori
50
sangat Efektif, karena realisasi penerimaan BPHTB dari Tahun 2006 sampai 2008
melebihi target potensi BPHTB di lihat berdasarkan interpretasi nilai efektifitas.
Dan pada tahun 2009 diperoleh efektivitas penerimaan BPHTB sebesar 80.18 %,
termasuk dalam kategori cukup efektif, karena realisasi penerimaan BPHTB
menurun 19.82 % dari target potensi BPHTB di lihat berdasarkan interpretasi
nilai efektifitas. Pada tahun 2010 diperoleh efektivitas penerimaan BPHTB
sebesar 90.98 % termasuk dalam kategori efektif, karena realisasi penerimaan
BPHTB menurun 0,02 % dari target potensi BPHTB di lihat berdasarkan
interpretasi nilai efektifitas. Kemudian dengan diberlakukannya UU No. 28
Tahun 2009 maka pemungutan BPHTB dipungut oleh Pemerintah Daerah Aceh
Barat yang dimulai per tanggal 1 Januari 2011 diperoleh efektivitas penerimaan
BPHTB sebesar 31,35% yang termasuk dalam kategori Tidak efektif, karena
realisasi penerimaan BPHTB sangat menurun dari target potensi BPHTB yang
telah ditetapkan, tidak mencapai angka 50 persen dalam realisasi penerimaan
BPHTB di ukur berdasarkan interpretasi nilai efektifitas yang telah ditetapkan,
sebab target yang di tentukan oleh kewenangan pemerintah daerah terlalu tinggi
dari target pada tahun sebelumnya. Dan pada Tahun 2012 diperoleh efektivitas
penerimaan BPHTB sebesar 83.66 % termasuk dalam katagori Cukup efektif,
karena realisasi penerimaan BPHTB menurun 16.34 % dari target potensi
BPHTB di lihat berdasarkan interpretasi nilai efektifitas.
4.2.2 Laju Pertumbuhan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB)
Dengan menggunakan analisis Laju pertumbuhan kita dapat mengetahui
seberapa besar pertumbuhan penerimaan pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
51
Bangunan (BPHTB) selama tahun pengamatan, berikut ini adalah tabel
pertumbuhan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) selama
kurun waktu 7 tahun dari Tahun 2006-2012 dapat kita lihat sebagai berikut:
Tabel 8Laju Pertumbuhan Pendapatan Daerah Kabupaten Aceh Barat
Tahun 2006-2012
No TahunRealisasi BPHTB
(Rp)
Persentase LajuPertumbuhan
(%)1. 2006 1.551.703.845 -2. 2007 3.835.279.303 1,47
3. 2008 3.005.795.794 -21,63
4. 2009 2.798.207.997 -6,905. 2010 3.128.512.140 11,806. 2011 1.326.388.246 -57,607. 2012 418.335.193 -68,45
Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) AcehBarat (September 2013)
Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa laju pertumbuhan BPHTB
mengalami fluktuasi pada setiap tahunnya. Pada Tahun 2007 dan 2010 laju
pertumbuhan penerimaan BPHTB mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu
menjadi sebesar 1,47% dan 11,80% dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan
diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009, BPHTB dikategorikan sebagai
Penerimaan Pajak Daerah. Penerimaan pajak BPHTB per tanggal 1 Januari 2011
dialihkan dari yang semula dipungut oleh pemerintah Pusat dan beralih dipungut
oleh Pemerintah Daerah. Laju pertumbuhan BPHTB mengalami penurunan
menjadi -57,60 % pada Tahun 2011 dan -68,45 % pada Tahun 2012.
4.2.3 Kontribusi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Kontribusi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam
peningkatan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Aceh Barat dihitung dengan
membandingkan jumlah Penerimaan pajak BPHTB dengan jumlah penerimaan
52
Pajak Daerah. Besarnya Kontribusi BPHTB terhadap Pajak Daerah dalam
meningkatkan PAD di Kabupaten Aceh Barat dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 9Analisis Kontribusi Realisasi BPHTB Terhadap Pendapatan Asli Daerah.
Tahun 2006-2012
No TahunRealisasiBPHTB(Rp)
PendapatanAsli Daerah
(Rp)
Kontribusi(%)
Keterangan
1. 2006 1.551.703.845 17.141.428.849 9,05 Sangat kurang2. 2007 3.835.279.303 21.710.256.581 17,66 Kurang
3. 2008 3.005.795.794 40.423.494.271 7,43 Sangat kurang
4. 2009 2.798.207.997 27.874.493.673 10,03 Kurang5. 2010 3.128.512.140 24.272.574.383 12,88 Kurang6. 2011 1.326.388.246 21.042.866.954 6,30 Sangat kurang7. 2012 418.335.193 24.727.256.869 1,69 Sangat kurang
Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) AcehBarat (September 2013)
Berdasarkan data diatas, realisasi penerimaan dari Pemerintah Pusat
sebagai pembanding terhadap pendapatan daerah karena pada Tahun 2006-2010
pemungutan pajak masih dilakukan oleh Pemerintah Pusat . Kemudian diberikan
kepemerintah daerah sebagai dana perimbangan pajak bagi hasil dari BPHTB
yang diterima oleh Pemerintah Daerah. Sedangkan pemungutan BPHTB per
Tahun 2011 sudah dilakukan oleh Pemerintah daerah Aceh Barat. Berdasarkan
analisis rincian data di atas, kontribusi penerimaan BPHTB terhadap PAD Tahun
2006 dan 2008 sebesar 9.05 % dan 7.43 % dapat dikategorikan sebagai sangat
kurang. Pada Tahun 2007, 2009, dan 2010 kontribusi penerimaan BPHTB
meningkat menjadi 17.66%, 10.03%, dan 12.88 % yang dapat dikategorikan
kurang. semenjak diberikan kepemerintah daerah sebagai dana perimbangan
pajak bagi hasil dari BPHTB yang diterima oleh Pemerintah Daerah semakin
terjadi Penurunan kontribusi pada Tahun 2011 menjadi 6.30% dapat dikatagorikan
53
sebagai sangat kurang. Dan terjadi lagi penurunan pada Tahun 2012 menjadi
1.69%, dapat dikatagorikan sebagai sangat kurang.
Rendahnya kontribusi BPHTB Berdasarkan keterangan data tabel diatas
karena kontribusi BPHTB dihitung berdasarkan hitungan realisasi penerimaan
BPHTB atas pembagian dengan realisasi penerimaan PAD dan di lihat melalui
kriteria kontribusi dalam persentase.
V. PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan
mengenai tingkat efektivitas pemungutan dan kontribusi BPHTB terhadap
Pendapatan Asli Daerah dapat disimpulkan bahwa:
a. Tingkat efektivitas pemungutan BPHTB yang dilakukan pada Tahun 2006-
2012 didapatkan nilai teringgi pada Tahun 2006,2007,2008 dengan
kriteria sangat efektif. Efektivitas terendah terjadi pada Tahun 2011
dengan kriteria tidak efektif.
b. Laju pertumbuhan penerimaan BPHTB terendah terjadi pada Tahun 2012
sebesar -68,45% dan laju pertumbuhan penerimaan BPHTB tertinggi
terjadi pada Tahun 2010 sebesar 11,80 %
c. Kontribusi BPHTB terhadap Pendapatan Asli Daerah terendah pada Tahun
2006 sebesar 9.05 % dan pada tahun 2012 sebesar 1.69 % termasuk dalam
kategori sangat kurang atau rendah. Dengan demikian sumbangan atau
manfaat yang diberikan oleh penerimaan BPHTB terhadap Pendapatan
Asli Daerah pada Tahun 2006-2012 masih rendah. Rendahnya kontribusi
BPHTB karena kontribusi BPHTB dihitung berdasarkan hitungan realisasi
penerimaan BPHTB atas pembagian dengan realisasi penerimaan PAD dan
di lihat melalui kriteria kontribusi dalam persentase, Akan tetapi
Pendapatan Asli Daerah tidak hanya dipengaruhi oleh penerimaan BPHTB
saja, karena masih terdapat penerimaan pendapatan lainnya yang dapat
mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
55
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan penulis
maka saran untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut:
a. Perolehan pendapatan BPHTB secara nominal memang sangat kurang,
dengan demikian perlu diadakan upaya untuk melakukan peningkatan
penerimaan BPHTB dengan mengadakan program sosialisai kepada
masyarakat serta peningkatan kesadaran masyarakat atas kewajiban wajib
pajak yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan BPHTB terhadap
perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Aceh Barat.
b. Pemerintah daerah Aceh Barat hendaknya meningkatkan kinerjanya,
dengan cara memberikan pelayanan yang ramah kepada masyarakat atau
wajib pajak agar wajib pajak nyaman dalam melakukan transaksi
pembayaran pajak BPHTB yang dapat meningkatkan perolehan
pendapatan daerah.
c. Pemerintah menurunkan nilai objek pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan supaya penerimaan pajak BPHTB menjadi meningkat.
d. Bagi badan dan wajib pajak agar selalu membayar pajak tepat pada
waktunya agar Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Aceh Barat menjadi
meningkat.
e. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian yang
lebih spesifik tentang data-data yang akan diperoleh dan lingkup yang
lebih luas seperti lingkup Kabupaten Aceh Barat.