Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017...

40
ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai Penelitian Tanaman Serealia, Jalan Dr. Ratulangi No. 274, Maros 90514 Tel: (0411) 371 016-371 529, Faks: (0411) 371 961, Surel: [email protected] Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung Effectiveness of the Formula Bacillus subtilis TM4 in Controlling Maize Diseases Nurasiah Djaenuddin*, Nurnina Nonci, Amran Muis Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros 90514 ABSTRAK Rhizoctonia solani penyebab penyakit hawar pelepah dan upih daun serta Bipolaris maydis penyebab penyakit hawar daun merupakan patogen penting pada tanaman jagung. Penggunaan biopestisida merupakan salah satu alternatif untuk mengendalikan penyakit ini. Penelitian dilakukan untuk menentukan efektivitas formula bakteri Bacillus subtilis dalam menghambat perkembangan penyakit hawar pelepah dan upih daun R. solani dan hawar daun B. maydis di lapangan. Pengujian formula biopestisida dilakukan dengan dua cara aplikasi, yaitu perendaman benih jagung untuk pengendalian R. solani dan penyemprotan untuk pengendalian B. maydis di lapangan. Formula bakteri antagonis B. subtilis TM4 efektif menekan perkembangan penyakit penyakit hawar pelepah dan upih daun melalui perlakuan benih tetapi tidak efektif untuk menekan perkembangan penyakit hawar daun melalui penyemprotan formula. Kata kunci: Bacillus subtilis, biopestisida, Bipolaris maydis, penyakit hawar daun, Rhizoctonia solani ABSTRACT Banded leaf and sheath blight (BLSB) and maydis leaf blight (MLB) caused by Rhizoctonia solani and Bipolaris maydis, respectively are considered as important diseases in maize. The use of biopesticides is an alternative method to control the diseases. This study was conducted to determine the effectiveness of bacterial formula Bacillus subtilis to inhibit the development of BLSB and MLB on the plant. Testing of biopesticide formula was done in two different applications, i.e. seed treatment for BLSB control and leaf spraying in the field for MLB. The results showed that the B.subtilis formula effectively suppressed the development of BLSB but it was not effectively suppressed the development of MLB . Key words: Bacillus subtilis, biopesticide, Bipolaris maydis, leaf blight disease, PENDAHULUAN Cendawan patogenik yang sering merusak tanaman jagung di antaranya adalah Rhizoctonia solani penyebab penyakit hawar pelepah dan upih daun dan Bipolaris maydis penyebab penyakit hawar daun. Beberapa cara telah ditempuh untuk mengatasi permasalahan penyakit tanaman seperti penggunaan fungisida, dan rekayasa genetika untuk menghasilkan tanaman yang tahan penyakit. Namun semakin tingginya kesadaran

Transcript of Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017...

Page 1: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

ISSN: 0215-7950

113

Volume 13, Nomor 4, Juli 2017Halaman 113–118

DOI: 10.14692/jfi.13.4.113

*Alamat penulis korespondensi: Balai Penelitian Tanaman Serealia, Jalan Dr. Ratulangi No. 274, Maros 90514Tel: (0411) 371 016-371 529, Faks: (0411) 371 961, Surel: [email protected]

Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung

Effectiveness of the Formula Bacillus subtilis TM4 in Controlling Maize Diseases

Nurasiah Djaenuddin*, Nurnina Nonci, Amran MuisBalai Penelitian Tanaman Serealia, Maros 90514

ABSTRAK

Rhizoctonia solani penyebab penyakit hawar pelepah dan upih daun serta Bipolaris maydis penyebab penyakit hawar daun merupakan patogen penting pada tanaman jagung. Penggunaan biopestisida merupakan salah satu alternatif untuk mengendalikan penyakit ini. Penelitian dilakukan untuk menentukan efektivitas formula bakteri Bacillus subtilis dalam menghambat perkembangan penyakit hawar pelepah dan upih daun R. solani dan hawar daun B. maydis di lapangan. Pengujian formula biopestisida dilakukan dengan dua cara aplikasi, yaitu perendaman benih jagung untuk pengendalian R. solani dan penyemprotan untuk pengendalian B. maydis di lapangan. Formula bakteri antagonis B. subtilis TM4 efektif menekan perkembangan penyakit penyakit hawar pelepah dan upih daun melalui perlakuan benih tetapi tidak efektif untuk menekan perkembangan penyakit hawar daun melalui penyemprotan formula.

Kata kunci: Bacillus subtilis, biopestisida, Bipolaris maydis, penyakit hawar daun, Rhizoctonia solani

ABSTRACT

Banded leaf and sheath blight (BLSB) and maydis leaf blight (MLB) caused by Rhizoctonia solani and Bipolaris maydis, respectively are considered as important diseases in maize. The use of biopesticides is an alternative method to control the diseases. This study was conducted to determine the effectiveness of bacterial formula Bacillus subtilis to inhibit the development of BLSB and MLB on the plant. Testing of biopesticide formula was done in two different applications, i.e. seed treatment for BLSB control and leaf spraying in the field for MLB. The results showed that the B.subtilis formula effectively suppressed the development of BLSB but it was not effectively suppressed the development of MLB .

Key words: Bacillus subtilis, biopesticide, Bipolaris maydis, leaf blight disease,

PENDAHULUAN

Cendawan patogenik yang sering merusak tanaman jagung di antaranya adalah Rhizoctonia solani penyebab penyakit hawar pelepah dan upih daun dan Bipolaris maydis

penyebab penyakit hawar daun. Beberapa cara telah ditempuh untuk mengatasi permasalahan penyakit tanaman seperti penggunaan fungisida, dan rekayasa genetika untuk menghasilkan tanaman yang tahan penyakit. Namun semakin tingginya kesadaran

Page 2: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Djaenuddin et al.

114

masyarakat terhadap bahaya fungisida sintetik dan daya beli yang terus meningkat terhadap bahan pangan organik menyebabkan perlunya penggunaan agens hayati sebagai alternatif pengendalian penyakit tanaman (Suryadi et al. 2015). Di Filipina perlakuan benih jagung menggunakan agens hayati bakteri antagonis Bacillus subtilis BR23 dapat menekan perkembangan R. solani dan meningkatkan hasil panen hingga 27% dibandingkan dengan menggunakan fungisida kimiawi (Muis dan Quimio 2006).

Beberapa isolat B. subtilis diketahui virulen sebagai agens hayati penyakit tanaman jagung. Bakteri ini telah teruji secara in vitro mampu menekan perkembangan B. maydis, R.solani dan Fusarium moniliforme dengan menggunakan metode kultur ganda yaitu uji diffusible toxic metabolite dan uji senyawa volatil (Muis et al. 2015b). Potensi yang dimiliki B.subtilis TM4 dan dua isolat terbaik lainnya (hasil seleksi in vitro) dalam menekan patogen tanaman jagung kemudian dikembangkan pada pengujian lebih lanjut di rumah kaca dan dievaluasi viabilitasnya pada bahan pembawa untuk memperoleh formula biopestisida B.subtilis yang tepat untuk mengendalikan penyakit hawar pelepah dan upih daun R. solani di rumah kaca (Muis et al. 2015a). Selanjutnya akan dikembangkan lagi pada skala lapangan.

Penelitian ini bertujuan menentukan keefektifan formula bakteri B. subtilis TM4 dalam menghambat perkembangan R. solani dengan perlakuan benih dan B. maydis dengan penyemprotan suspensi di lapangan.

BAHAN DAN METODE

BahanBenih jagung yang digunakan ialah varietas

Anoman yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. Bakteri B. subtilis TM4 berasal dari tanah pertanaman jagung di daerah Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Isolat ini merupakan hasil seleksi terakhir dari tiga isolat B. subtilis terbaik yang memiliki populasi bakteri terbanyak setelah dicampurkan dengan bahan pembawa (Muis et al. 2015a). Formula B. subtilis TM4 dibuat

dengan bahan pembawa talk, ditambah ekstrak khamir 0.25%, CMC 1%, dan gum arabic 0.5%. Konsentrasi bakteri dalam formula B. subtilis TM4 sebesar 1.3 × 109 cfu mL-1.

Cendawan patogen diisolasi dari tanaman jagung yang menunjukkan gejala penyakit hawar pelepah dan upih daun untuk R. solani dan hawar daun untuk B. maydis Keduanya diisolasi pada medium agar-agar dekstrosa kentang (ADK) mengikuti prosedur Postulat Koch.

Inokulum R. solani disiapkan dengan membiakkan 5 mm2 biakan R. solani dalam 150 g substrat campuran sekam dan beras (3:1) steril. Inokulum dikemas dalam kantong plastik dan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 minggu. Inokulum B. maydis disiapkan dengan membuat suspensi dari 1 cawan petri biakan cendawan B. maydis yang berumur 7 hari dengan 1 L air steril. Suspensi dengan kerapatan konidium 106 cfu mL-1 digunakan sebagai inokulum.

Aplikasi Formula B. subtilis TM4 terhadap R. solani Penyebab Penyakit Hawar Pelepah dan Upih Daun

Sebanyak 150 g inokulum R. solani diinfestasikan dengan mencampurkannya ke tanah petak perlakuan berukuran 1 m × 5 m saat 4 minggu sebelum tanam, kecuali pada petak kontrol negatif. Aplikasi formula B. subtilis pada benih dilakukan dengan merendam 1 kg benih jagung dalam 8 g formula B. subtilis TM4 yang telah dicampur 30 mL air selama 2 jam.Sementara untuk perlakuan fungisida juga diberikan pada benih sebelum tanam sesuai dengan dosis fungisida yang tertera pada label.

Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 ulangan. Perlakuan terdiri atas perlakuan benih dengan formula B. subtilis, fungisida dengan bahan aktif tembaga oksida 65%, kontrol positif (tanpa formula B. subtilis, tetapi tanah diinokulasi R. solani) dan kontrol negatif (tanpa formula B.subtilis dan tanpa inokulasi R. solani).

Variabel pengamatan ialah skor penyakit yang diamati pada umur 30, 45, 60 dan 90 hari setelah tanam (HST) kemudian ditransformasi

Page 3: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Djaenuddin et al.

115

ke persentase serangan. Selain itu peubah yang diamati ialah bobot tongkol basah, jumlah tongkol pada saat panen, dan hasil panen per ha. Keparahan penyakit (KP) dihitung berdasarkan rumus:

N × VKP = × 100%, dengan(ni × vi)∑

i

i=0

n, jumlah daun/pelepah yang terserang pada setiap kategori; V, nilai skor pada setiap daun/pelepah yang terserang; Z, nilai skor tertinggi; N, jumlah daun/pelepah yang diamati.

Nilai skor penyakit hawar pelepah dan upih daun pada tanaman jagung ditentukan mengikuti Ahuja and Payak (1983): Skor 1, gejala hanya pada 1 pelepah daun paling bawah dengan lesio sangat kecil dan sedikit; Skor 2, gejala pada 2 pelepah daun bagian bawah dengan lesio yang melebar; Skor 3, gejala sudah sampai pada pelepah daun keempat dari bawah, lesio banyak dan menyatu; Skor 4, sama dengan skala 3, hanya saja terjadi perubahan warna dengan lesio yang kecil-kecil; Skor 5, gejala pada semua pelepah, kecuali 2 ruas di bawah tongkol; Skor 6, gejala penyakit sudah sampai pada 1 ruas di bawah tongkol; Skor 7, gejala penyakit sudah sampai pada tempat melekatnya tongkol, tetapi tongkol belum terinfeksi; Skor 8, gejala penyakit sudah sampai pada tongkol dan permukaan daun memutih seperti pita, ukuran tongkol tidak normal dan beberapa tanaman ada yang sudah mati; Skor 9, seperti skor 8, batang mengerut, bentuk tongkol tidak normal, dan susunan biji tidak teratur, umumnya tanaman mati sebelum waktunya dan sklerotium banyak dijumpai pada tongkol dan rambutnya.

Uji Formula dan Suspensi B.subtilis TM4 terhadap B. maydis Penyebab Penyakit Hawar Daun Jagung

Pengujian dilaksanakan dengan menyiapkan petak uji berukuran 1 m x 5 m yang ditanami jagung dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm. Jagung berumur 14 HST diinokulasi dengan penyemprotan suspensi B. maydis (1 × 106 cfu mL-1). Dosis yang digunakan ialah 1 L per 100 tanaman. Tanaman yang tidak disemprot suspensi B. maydis digunakan sebagai kontrol negatif.

Formula B. subtilis TM4 untuk penyemprotan dibuat dengan mencampurkan 3 g formula B. subtilis TM4 ke dalam 1 L air, sedangkan suspensinya dibuat dari 5 ose koloni B. subtilis TM4 umur 2 hari pada medium agar-agar nutrien yang disuspensikan dalam 50 mL akuades steril. Suspensi untuk perlakuan ini memiliki kerapatan 109 cfu mL-1. Perlakuan penyemprotan dengan formula B.subtilis, suspensi B.subtilis, dan fungisida dilakukan pada 1 dan 15 hari setelah inokulasi patogen B.maydis.

Penelitian ini disusun dalam RAK yang terdiri atas 5 perlakuan dengan 4 ulangan. Perlakuan terdiri atas penyemprotan tanaman jagung dengan formula B.subtilis TM4, suspensi B.subtilis (tanpa formula), fungisida dengan bahan aktif mankozeb 0.1%, kontrol positif (inokulasi dengan B.maydis), dan kontrol negatif (tanpa inokulasi B.maydis).

Pengamatan keparahan penyakit dilakukan pada tanaman berumur 30, 45, dan 60 HST, pada 10 tanaman yang diambil secara acak tiap barisnya. Penyakit hawar daun pada tanaman jagung dinilai mengikuti Sharma (1983): Skor 0, tidak ada gejala penyakit; Skor 1, 1–2 lesio yang tersebar pada daun yang lebih rendah; Skor 2, jumlah lesio sedang pada daun yang lebih rendah; Skor 3, jumlah lesio banyak pada daun yang lebih rendah, beberapa pada daun tengah; Skor 4, jumlah lesio banyak pada daun yang lebih rendah dan tengah, lesio meluas ke daun atas; Skor 5, lesio berlimpah pada hampir semua daun, tanaman mengering hingga mati.

Tingkat keparahan penyakit pada 30, 45, dan 60 HST dihitung berdasarkan persamaan seperti diuraikan pada pengujian aplikasi formula B. subtilis terhadap penyakit hawar pelepah dan upih daun (R. solani). Peubah lain yang diamati ialah bobot tongkol basah, jumlah tongkol pada saat panen, dan hasil panen per ha.

HASIL

Formula B. subtilis TM4 mampu menekan keparahan penyakit hawar pelepah dan upih daun pada umur 45 HST dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Selanjutnya laju keparahan penyakit hawar pelepah dan upih daun meningkat lebih dari 7 kali pada umur

Page 4: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Djaenuddin et al.

116

60 HST, dan hampir 10 kali pada umur 90 HST. Intensitas penyakit hawar pelepah dan upih daun tidak mampu ditekan dengan penggunaan formula B .subtilis TM4 maupun fungisida berbahan aktif tembaga oksida 65%. Keparahan penyakit pada ketiga perlakuan tersebut cukup tinggi dan sama dengan keparahan penyakit pada perlakuan kontrol positif. Kontrol dengan tanah yang tidak diinokulasi dengan R. solani pada umur panen juga terserang penyakit meskipun tidak separah tiga perlakuan lainnya.

Tanaman yang diberi fungisida (tembaga oksida) memperlihatkan bobot tongkol basah lebih tinggi daripada perlakuan formula B. subtilis TM4 dan kontrol positif. Jumlah tongkol tidak berbeda nyata antarperlakuan, sedangkan hasil panen perlakuan formula B. subtilis TM4 berbeda nyata dengan kontrol negatif namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (fungisida dan kontrol positif) (Tabel 2).

Semua perlakuan yang dicoba tidak berbeda nyata terhadap keparahan penyakit hawar daun yang disebabkan oleh B. maydis pada 3 waktu pengamatan (Tabel 3). Bobot tongkol basah perlakuan B. subtilis TM4 tidak berbeda nyata dengan perlakuan fungisida tetapi berbeda nyata dengan kontrol positif dan negatif. Tanaman jagung yang diberi formula B. subtilis TM4, suspensi bakteri B. subtilis TM4, dan fungisida mankozeb tidak menunjukkan bobot tongkol basah, jumlah tongkol, dan hasil panen yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol positif maupun negatifnya pada semua perlakuan (Tabel 4).

PEMBAHASAN

Potensi formula B. subtilis dalam menekan perkembangan penyakit hawar pelepah dan upih

daun R. solani melebihi kemampuan fungisida yang digunakan, ini terlihat pada pengamatan 45 HST. Hal tersebut mengindikasikan bahwa B. subtilis menghasilkan senyawa anticendawan yang efektif menghambat perkembangan cendawan R. solani. Sebagian besar senyawa peptida yang dihasilkan oleh B. subtilis seperti basilomisin, mikobasilin, dan fungistatin, merupakan antibiotik yang bersifat racun terhadap cendawan patogen tular tanah (Awais et al. 2010) dan menghasilkan hormon pertumbuhan seperti etilen, auksin dan sitokinin (Gnanamanickam 2007). Kemampuan B. subtilis sebagai agens hayati telah dilaporkan oleh Prihatiningsih et al. (2015), dimana B. subtilis B315 memiliki mekanisme antibiosis dan mekanisme lain yaitu penginduksi ketahanan sistemik.

Penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan formula B. subtilis memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan penelitian Muis et al. (2015b) bahwa bakteri antagonis B. subtilis selain mampu menekan perkembangan cendawan R. solani in vitro, juga meningkatkan daya kecambah dan vigor benih jagung. Formula bakteri antagonis B. subtilis TM4 tidak berpengaruh negatif terhadap daya kecambah benih bahkan memengaruhi kemampuan B. subtilis dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman (Muis et al. 2015a). Beberapa strain B. subtilis mampu menekan perkembangan R. solani dan Fusarium spp. di antaranya, B. subtilis CE1, B. subtilis BFS01, B. subtilis BR23, dan BS100 (Suriani dan Muis 2016).

Pengaruh aplikasi penyemprotan formula B. subtilis TM4 dalam menekan penyakit hawar daun terlihat dari persentase keparahan penyakit hingga akhir pengamatan. Aplikasi

Tabel 1 Keparahan penyakit (%) hawar pelepah dan upih daun Rhizoctonia solani pada tanaman jagung yang diberi beberapa perlakuan

Perlakuan Keparahan penyakit pada … HST30 45 60 90

Formula Bacillus subtilis TM4 0.3 b 6.4 c 47.8 a 63.4 abFungisida (tembaga oksida) 4.5 ab 11.7 b 45.7 a 75.0 aKontrol positif 8.9 a 19.2 a 47.0 a 83.5 aKontrol negatif 0.0 b 0.0 d 6.3 b 32.1 b

Angka dalam kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%

Page 5: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Djaenuddin et al.

117

Tabel 2 Hasil panen tanaman jagung pada beberapa perlakuan terhadap penyakit hawar pelepah dan upih daun Rhizoctonia solani

Perlakuan Bobot tongkol basah (kg)

Jumlah tongkol (tongkol)

Hasil panen(kuintal ha-1)

Formula Bacillus subtilis TM4 1.3 b 13.3 a 12.10 bFungisida (tembaga oksida) 1.7 a 15.6 a 14.83 abKontrol positif 1.3 b 13.3 a 11.78 bKontrol negatif 2.0 a 15.9 a 18.09 a

Angka dalam kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%

Tabel 3 Keparahan penyakit (%) hawar daun Bipolaris maydis pada tanaman jagung yang diberi beberapa perlakuan

Perlakuan Keparahan penyakit pada … HST30 45 60

Formula Bacillus subtilis TM4 28.3 a 36.8 a 56.5 aSuspensi Bacillus subtilis TM4 28.1 a 40.0 a 57.8 aFungisida (Mankozeb) 27.4 a 32.5 a 59.0 aKontrol positif 30.0 a 41.3 a 58.0 aKontrol negatif 26.3 a 32.3 a 59.8 a

Angka dalam kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%

Tabel 4 Hasil panen tanaman jagung pada beberapa perlakuan terhadap penyakit hawar daun Bipolaris maydis

Perlakuan Bobot tongkol basah (kg)

Jumlah tongkol (tongkol)

Hasil (kuintal ha-1)

Formula Bacillus subtilis TM4 6.8 b 31.4 a 61.23 bSuspensi Bacillus subtilis TM4 7.4 ab 31.6 a 67.07 abFungisida (Mankozeb) 7.0 b 31.0 a 63.37 bKontrol positif 7.9 a 34.1 a 71.75 aKontrol negatif 8.2 a 33.9 a 74.00 a

Angka dalam kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%

formula B. subtilis memberikan respons positif dalam menekan penyakit hawar daun dengan nilai keparahan penyakit yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (tanpa aplikasi). Hal ini diduga bakteri antagonis tersebut menghasilkan senyawa antimikrob yang berperan sebagai pengurai dinding sel patogen sehingga dapat menghambat perkembangan cendawan B. maydis. Tingkat kerapatan inokulum 6 × 104 konidium mL-1 telah dilapor-kan oleh Altaf et al. (2016) dapat digunakan untuk mengevaluasi keefektifan ketahanan varietas jagung. Bakteri antagonis B. subtilis dapat menekan pertumbuhan cendawan patogen melalui aktivitas anticendawan yang dapat mendegradasi dinding sel patogen sehingga pertumbuhan sel cendawan tidak optimal (Khaeruni et al. 2013). Hasil penelitian ini

didukung oleh penelitian lain yang menemukan adanya kemampuan B. subtilis dalam menghasilkan antibiotik (Kumar et al. 2009).

Pada penelitian ini patogen diaplikasikan lebih dahulu dari antagonisnya sehingga patogen lebih dominan menguasai ruang/inang yang mengakibatkan antagonis tidak mampu bekerja efektif karena asupan makanannya tidak cukup. Menurut Hussain et al. (2016) untuk penyaringan kultivar jagung yang efektif terhadap penyakit hawar daun, inokulasi dengan patogen B. maydis harus dilakukan pada tahap pertumbuhan awal (awal pertumbuhan 6 daun).Demikian juga hormon maupun enzim yang berperan dalam mekanisme pemacu pertumbuhan yang dihasilkan B. subtilis menjadi lemah. Hal inilah yang menyebabkan hasil panen pada perlakuan formulasi B. subtilis

Page 6: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Djaenuddin et al.

118

lebih rendah daripada perlakuan fungisida. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Zongzheng et al. (2009) bahwa inokulasi B. subtilis memberikan efek yang baik untuk meningkatkan pertumbuhan radikal dan embrio tanaman; dan setelah inokulasi morfologi tanaman meningkat secara nyata.

Perlakuan benih dengan formula B. subtilis TM4 efektif menekan perkembangan cendawan patogen tular tanah R. solani dengan keparahan penyakit hingga akhir pengamatan 63.4% dibandingkan dengan kontrol positif yang keparahan penyakitnya mencapai 83.5%. Namun, penyemprotan tanaman jagung dengan formula B. subtilis TM4 tidak efektif menekan perkembangan B. maydis.

DAFTAR PUSTAKA

Ahuja SC, Payak MD. 1983. A rating scale for banded leaf and sheath blight of maize. Indian Phytopathol. 36:338–340.

Altaf M, Raziq F, Khan I, Hussain H, Shah B, Ullah W, Naeem A, Adnan M, Junaid K,

Shah SRA, Attaullah, Iqbal M. 2016. Study of the response of different maize cultivars to various inoculums levels of Bipolaris maydis (Y. Nisik & C. Miyake) shoemaker under field conditions. J Entomol Zool Stu. 4(2):533–537.

Awais M, Pervez A, Yaqub A, and Shah MM. 2010. Production of antimicrobial metabolites by Bacillus subtilis immobilized in polyacrylamide gel. J Zool. 42(33):267–275.

Gnanamanickam SS. 2007. Plant-Associated Bacteria.Ed ke-1. Berlin (DE): Springer.

Hussain H, Raziq F, Khan I, Shah B, Altaf M, Attaullah, Ullah W, Naeem A, Adnan M, Junaid K, Shah SRA, Iqbal M. 2016. Effect of Bipolaris maydis (Y. Nisik & C. Miyake) shoemaker at various growth stages of different maize cultivars. J. of Entomol and Zool Stu. 4(2): 439–444.

Khaeruni A, Asrianti, Rahman A. 2013. Efektifitas limbah cair pertanian sebagai medium perbanyakan dan formulasi Bacillus subtilis sebagai agens hayati patogen tanaman. J Agroteknos. 3(3):144–151.

Kumar A, Saini P, Shrivastava JN. 2009. Production of peptide antifungal antibiotic and biocontrol activity of Bacillus subtilis. Indian J Exp Biol. 47:57–62.

Muis A, Djaenuddin N, Nonci N. 2015a. Evaluasi lima jenis inert carrier dan formulasi Bacillus subtilis untuk pengendalian hawar pelepah jagung (Rhizoctonia solani Kuhn). J HPT Tropika. 15(2):164–169.

Muis A, Djaenuddin N, Nonci N. 2015b. Uji virulensi beberapa isolat bakteri antagonis putative Bacillus subtilis (Ehrenberg) Cohn sebagai agens pengendali hayati penyakit tanaman jagung. Bul Pen Tan Serealia. 1(1):8–15.

Muis A, Quimio AJ. 2006. Biological control of banded leaf and sheath blight disease (Rhizoctonia solani Kuhn) in corn with formulated Bacillus subtilis BR23. Indo J Agric Sci. 7(1):1–7. DOI: http://dx.doi.org/10.21082/ijas.v7n1.2006.p1-7.

Prihatiningsih N, Arwiyanto T, Hadisutrisno B, dan Widada J. 2015. Mekanisme antibiosis Bacillus subtilis B315 untuk pengendalian penyakit layu bakteri kentang. J HPT Tropika. 15(1):64–71. DOI: https://doi.org/10.23960/j.hptt.11564-71.

Sharma RC. 1983. Techniques of Scoring for Resistance to Important Diseases of Maize. All India coord. Maize Improvement Project. New Delhi (IN): Indian Agric Res Inst.

Suriani, Muis A. 2016. Prospek Bacillus subtilis sebagai agen pengendali hayati patogen tular tanah pada tanaman jagung. J Litbang Pert. 35(1):37–45. DOI: http://dx.doi.org/10.21082/jp3.v35n1.2016.p37-45.

Suryadi Y, Samudra IM, Priyatno TP, Susilowati DN, Lestari P, Sutoro. 2015. Aktivitas anticendawan Bacillus cereus 11UJ terhadap Rhizoctonia solani and Pyricularia oryzae. J Fitopatol Indones 11(2):35–42. DOI: https://doi.org/10.14692/jfi.11.2.35.

Zongzheng Y, Xin L, Zhong L, Jinzhao P, Jin Q, Wenyan Y. 2009. Effect of Bacillus subtilis SY1 on antifungal activity and plant growth. Int. J Agric Biol. 2(4):55–61.

Page 7: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

119

ISSN: 0215-7950

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper, Kampus Dramaga IPB, Bogor 16680.Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected]

Volume 13, Nomor 4, Juli 2017Halaman 119–126

DOI: 10.14692/jfi.13.4.119

Sensitivitas Colletotrichum spp. pada Cabai terhadap Benomil, Klorotalonil, Mankozeb, dan Propineb

Sensitivity of Colletotrichum spp. on Chili to Benomyl, Chlorotalonil, Mancozeb, and Propineb

Desta Andriani, Suryo Wiyono, Widodo*Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Pengendalian penyakit antraknosa pada cabai yang disebabkan oleh beberapa spesies Colletotrichum dengan aplikasi fungisida yang intensif menggunakan satu jenis bahan aktif dapat menyebabkan terjadinya resistensi. Resistensi ditandai dengan berkurangnya sensitivitas patogen terhadap fungisida meskipun dengan rekomendasi di atas anjuran. Tujuan penelitian ialah menentukan tingkat sensitivitas 3 spesies Colletotrichum dari cabai terhadap 4 fungisida berbahan aktif benomil, klorotalonil, mankozeb, dan propineb. Pengujian dilakukan menggunakan teknik makanan beracun pada berbagai konsentrasi, yaitu dengan mengukur hambatan relatif diamater koloni Colletotrichum spp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua isolat Colletotrichum sudah sangat resisten terhadap bahan aktif klorotalonil bahkan pada 10 kali konsentrasi anjuran. Beberapa isolat Colletotrichum memberikan respons resisten sampai sangat resisten tehadap bahan aktif mankozeb dan propineb pada konsentrasi anjuran, walaupun masih sensitif pada 5 kali konsentrasi anjuran. Isolat Colletotrichum yang diuji masih sensitif terhadap bahan aktif benomil.

Kata kunci: antraknosa, benomil, klorotalonil, mankozeb, propineb, sensitivitas

ABSTRACT

Anthracnose caused by several species of Colletotrichum is one of limiting factors for chilli production. Up to now the control of antrachnose disease still rely on regular and intensive application of synthetic fungicides. Application of similar active ingredients of synthetic fungicides may create resistance of the pathogens. This study was conducted to evaluate the sensitivity of three species of Colletotrichum against four commercial fungicides with different active ingredients, i.e. benomyl, chlorotalonil, mancozeb, and propineb. The sensitivity level and the potential occurrence of resistance of Colletotrichum were observed based on relative inhibition rate using poisoning food method. The results showed that all isolates were highly resistant to chlorotalonil, even up to ten times of the highest recommended concentrations. The tested fungal isolates were resistant or highly resistant to the recommended concentrations of mancozeb and propineb, but they were still sensitive when the concentrations were increased up to five times. Isolates of Colletotrichum spp. showed sensitive to highly sensitive response to benomyl.

Key words: antrachnose, benomyl, chlorotalonil, mancozeb propineb, sensitivity

Page 8: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Andriani et al

120

PENDAHULUAN

Cabai merupakan tanaman hortikultura yang mempunyai arti ekonomi tinggi sehingga banyak dibudidayakan di Indonesia. Produktivitas cabai tahun 2014 sebesar 8.37 ton ha-1 (BPS 2015) padahal potensi produktivitasnya mampu mencapai 20 ton ha-1

(Syukur et al. 2010). Salah satu faktor pembatas dalam produktivitas ialah penyakit antraknosa pada tanaman cabai karena dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai 50% (Prathiba et al. 2013). Herwidyarti et.al (2013) melaporkan kehilangan hasil produksi cabai di Indonesia sebesar 44% dengan masa inkubasi cepat; sedangkan menurut Widodo (2007) kehilangan hasil mencapai 80% dimusim penghujan. Tiga spesies cendawan Colletotrichum yang menginfeksi buah cabai ialah C. gloeosporioides, C. acutatum (Kim et al. 2007), dan C. capsici (Sangdee et al. 2011).

Upaya yang umum dilakukan untuk menanggulangi penyakit ini ialah dengan penggunaan fungisida secara intensif. Saat ini terdapat lebih dari 24 bahan aktif tunggal maupun campuran fungisida yang terdaftar untuk pengendalian penyakit antraknosa pada cabai (Dirjen PSP 2015). Bahan aktif yang umum diaplikasikan di lapangan untuk pengendalian antraknosa ialah klorotalonil, mankozeb, propineb (Suganda et al. 2001), dan benomil yang sering dipakai dalam perlakuan benih (Setiyowati et al. 2007). Keterbatasan pengetahuan petani sering menyebabkan satu jenis fungisida atau bahan aktif yang sama digunakan secara terus-menerus untuk waktu yang lama. Suganda et al. (2001) melaporkan beberapa fungisida tidak direkomendasikan untuk pengendalian penyakit antraknosa pada cabai tetapi diaplikasikan juga pada tanaman.

Penggunaan satu jenis bahan aktif fungisida secara intensif dapat menyebabkan terjadinya mutasi gen patogen sehingga sensitivitasnya terhadap fungisida berkurang (Ziogas et al. 2005). Suganda et al. (2001) melaporkan bahwa tingkat sensitivitas Colletotrichum yang diisolasi dari daerah Cikole Lembang memiliki sensitivitas yang rendah terhadap Cu-hidroksida, difenokonazol, mankozeb,

maneb, klorotalonil, dan propineb. Oleh karena itu, perlu ditentukan tingkat sensitivitas terkini dan kemungkinan munculnya ketahanan beberapa spesies Colletotrichum penyebab antraknosa cabai terhadap benomil, klorotalonil, mankozeb, dan propineb di sentra penanaman cabai di Pulau Jawa dan Sumatera.

BAHAN DAN METODE

Penyiapan Colletotrichum spp.Seluruh isolat Colletotrichum spp.

yang digunakan merupakan koleksi Klinik Tanaman Departeman Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang dikoleksi pada tahun 2014–2015. Isolat Colletotrichum spp. tersebut terdiri atas tiga spesies yang telah diremajakan pada medium agar-agar dekstrosa kentang (ADK) (Tabel 1). Bahan aktif fungisida yang digunakan adalah fungisida komersial dari toko pertanian di Bogor.

Tingkat Sensitivitas Colletotrichum spp. terhadap Bahan Aktif Fungisida

Tingkat sensitivitas Colletotrichum spp. ditentukan dari tingkat hambatan relatif bahan aktif fungisida terhadap diameter koloni Colletotrichum spp. pada medium ADK yang dicampur dengan berbagai konsentrasi bahan aktif fungisida dengan metode peracunan medium tumbuh. Konsentrasi bahan aktif yang dipakai berdasarkan konsentrasi anjuran produsen dalam formulasi, yaitu benomil (1000 ppm), klorotalonil (900 ppm), mankozeb (3600 ppm), dan propineb (1000 ppm).

Spesies Asal Galur

C. gloeosporioidesBandung BDG 1524Tanggamus TGM 1105Bogor CKB 15Bandung BDG 1523

C. acutatum Brebes BRB 07AMojokerto MJK 02AKampar KMP 1536

C. capsici Payakumbuh PYK 1507Bogor BGR 15103

Tabel 1 Sembilan isolat Colletotrichum spp koleksi Klinik Tanaman, IPB.

Page 9: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Andriani et al

121

Konsentrasi bahan aktif dibuat dengan mencampurkan suspensi fungisida ke dalam medium ADK steril dengan suhu 40–45 °C dalam erlenmeyer dengan takaran sesuai konsentrasi yang diujikan. Sebanyak 10 mL medium tersebut dituang ke dalam cawan petri sedangkan medium ADK yang tidak dicampur fungisida digunakan sebagai kontrol. Ujung pertumbuhan koloni Colletotrichum spp. dipotong dengan pengebor gabus diameter 0.5 cm dan diletakkan di tengah cawan petri yang berisi medium perlakuannya (Joshi et al. 2013). Perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Pengukuran diameter dilakukan ketika koloni perlakuan kontrol sudah memenuhi cawan. Tingkat hambatan relatif (THR) diameter koloni dihitung menggunakan rumus:

THR = d1 – d2d1 × 100%, dengan

d1, diameter koloni patogen uji pada kontrol; d2, diameter koloni pada perlakuan. Data dianalisis menggunakan analisis probit untuk menentukan konsentrasi yang menghambat 50% pertumbuhan diameter koloni (IC50) Colletotrichum spp.

Potensi Perkembangan Resistensi Colletotrichum spp. terhadap Bahan Aktif Fungisida

Potensi perkembangan resistensi isolat Colletotrichum spp. terhadap bahan aktif fungisida diukur dari perubahan tingkat sensitivitas melalui metode subkultur berulang yang dimulai dari konsentrasi penghambatan

relatif > 90%. Koloni disubkulturkan kembali pada medium yang baru dengan konsentrasi yang sama. Tingkat hambatan relatif ditentukan dengan metode Joshi et al.(2013). Pengujian ini dihentikan ketika terjadi perubahan tingkat sensitivitas masing-masing Colletotrichum spp. terhadap bahan aktif fungisida yang diujikan. Tingkat sensitivitas Colletotrichum spp. terhadap bahan aktif fungisida ditentukan berdasarkan nilai THR (Kumar et al. 2007), yaitu THR > 90%, sangat sensitif (SS); 75% < THR ≤ 90%, sensitif (S); 60% < THR ≤ 75%, resisten sedang (RS); 40% < THR ≤ 60%, resisten (R); THR ≤ 40%, sangat resisten (SR). Tingkat sensitivitas juga di tentukan pada 5 dan 10 kali konsentrasi anjuran, tingkat sensitivitas pada kosentrasi digunakan untuk menentukan potensi perkembangan resistensi Colletotrichum spp.

THR dianalisis menggunakan piranti lunak SAS 9.0 dengan uji lanjut duncan multiple range test (DMRT) dan dilanjutkan menggunakan program POLO PC untuk mengetahui nilai IC50.

HASIL Sensitivitas Colletotrichum spp. terhadap Bahan Aktif Fungisida

Interaksi antara Colletotrichum spp. dan bahan aktif fungisida berpengaruh terhadap THR (Tabel 1). Berdasarkan tingkat hambatan relatif tersebut, semua Colletotrichum yang diuji sudah menunjukkan reaksi resistensi

Tabel 1 Tingkat hambatan relatif bahan aktif fungisida terhadap Colletotrichum spp pada konsentrasi anjuran

Galur Colletotrichum spp Fungisidaa

Benomil Klorotalonil Mankozeb PropinebC. gloeosporioides BDG 1524 100.00 i 23.91 cd 50.21 d 60.49 de

TGM 1105 100.00 i 15.01 bc 48.09 d 50.15 dCKB 15 92.65 h 5.62 b 41.87 d 72.76 f

C. acutatum BDG 1523 75.08 f 15.76 bc 50.19 d 59.13 dBRB 07A 78.74 f -1.66 b 55.41 d 54.64 dMJK 02A 76.77 f 17.19 abcd 59.54 d 53.06 d

C. capsici KMP 1536 84.00 g -7.37 a 55.20 d 56.45 dPYK 1507 97.85 i 29.37 cd 35.14 cd 53.93 dBGR 15103 76.02 f 44.68 d 33.75 cd 66.57 e

aLajur dan kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan (DMRT) α 5%

Page 10: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Andriani et al

122

(resisten sampai sangat resisten) terhadap bahan aktif klorotalonil. Semua galur Colletotrichum yang diuji masih dalam kriteria sensitif terhadap bahan aktif benomil, tetapi sudah resisten terhadap bahan aktif mankozeb dan propineb. C. gloeosporioides memiliki tingkat sensitivitas bervariasi hanya terhadap propineb, tetapi pada C. capsici variasi tersebut terjadi terhadap semua bahan aktif yang diuji. Semua galur C. acutatum menunjukkan reaksi ketahanan yang sama terhadap semua bahan aktif tersebut (Tabel 2).

Semua galur Colletotrichum yang diuji sudah menunjukkan resistensi terhadap bahan aktif klorotalonil, dan masih sensitif terhadap bahan aktif benomil jika konsentrasinya

dinaikkan 5 sampai 10 kali dari anjuran produk komersialnya. Sementara itu, sebagian besar galur Colletotrichum masih sensitif terhadap bahan aktif mankozeb dan propineb jika konsentrasinya ditingkatkan 5 sampai 10 kali dari anjuran (Tabel 3). Tingkat sensitivitas galur Colletotrichum spp. terhadap masing-masing bahan aktif ditandai juga dengan perbedaan perkembangan diameter koloni (Gambar 1).

Bahan aktif benomil memiliki nilai IC50 di bawah konsentrasi anjuran, tetapi nilai IC50 bahan aktif klorotalonil di atas konsentrasi anjuran. Nilai IC50 untuk bahan aktif propineb dan mankozeb berada pada rentang konsentrasi anjuran dan beberapa di bawah anjuran ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 2 Tingkat sensitivitas Colletotrichum spp. terhadap bahan aktif fungisida

Galur Colletotrichum Sensitivitasa

Benomil Klorotalonil Mankozeb PropinebC. gloeosporioides BDG 1524 SS SR R RS

TGM 1105 SS SR R RCKB 15 SS SR R RS

C. acutatum BDG 1523 S SR R RBRB 07A S SR R RMJK 02A S SR R R

C. capsici KMP 1536 S SR R RPYK 1507 SS SR SR RBGR 15103 S R SR RS

aSS, sangat sensitif; S, sensitif; RS, resisten sedang; R, resisten; SR, sangat resisten.

Tabel 3 Tingkat sensitivitas Colletotrichum spp. terhadap bahan aktif fungisida pada tiga konsentrasi

aSS, sangat sensitif; S, sensitif; RS, resisten sedang; R, resisten; SR, sangat resisten; konsentrasi bahan aktif sesuai anjuran ialah 1x.

Galur ColletotrichumKonsentrasi bahan aktifa

Benomil Klorotalonil Mankozeb Propineb1x 5x 10x 1x 5x 10x 1x 5x 10x 1x 5x 10x

C. gloeosporioidesBDG1524 SS SS SS SR R R R S SS RS S STGM1105 SS SS SS SR SR SR R RS SS R RS SCKB15 SS SS SS SR SR R R S S RS S SS

C. acutatumBDG1523 S SS SS SR SR SR R S SS R RS SBRB07 S SS SS SR SR SR R SS SS R RS SMJK02 S SS SS SR R R R RS SS R S S

C. capsici KMP1536 S SS SS SR SR SR R SS SS R RS SPYK1507 SS SS SS SR SR SR SR S SS R S SBGR15103 S SS SS R SR SR SR RS RS RS S S

Page 11: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Andriani et al

123

Gambar 1 Perbandingan pertumbuhan diameter koloni Colletotrichum spp. (umur 7 HSI) pada berbagai konsentrasi anjuran bahan aktif fungisida.

Bahan aktifGalur Colletotrichum spp.

BDG 1524

TGM 1105

CKB 15

BDG 1523

BRB 07A

MJK 02A

KMP 1536

PYK 1507

BGR 15103

Benomil 6 0 2 140 76 127 248 6 139Klorotalonil 9925 37 857 17 604 10 090 33 976 14 180 28 360 22 364 28Mankozeb 1948 3094 596 2226 1496 1370 1607 2969 3003Propineb 432 902 190 376 435 358 557 687 449

Tabel 4 Nilai IC50 bahan aktif fungisida terhadap galur Colletotrichum spp.

Bahan aktif Galur ColletotrichumPerkembangan reaksi

Kultur awal

Subkultur ke-1

Subkultur ke-2

Subkultur ke-3

Benomil C. gloeosporioides BDG 1524 SS S S STGM 1105 SS SS RS RCKB 15 SS S S RS

C. acutatum BDG 1523 SS S S SBRB 07A SS SS S SMJK 02A SS S S RS

C. capsici KMP 1536 SS S S SPYK 1507 SS SS S SBGR 15103 SS S S S

Mankozeb C. gloeosporioides BDG 1524 SS SS SS SSTGM 1105 SS SS SS SS

C. acutatum BDG 1523 SS S S SBRB 07A SS SS SS SSMJK 02A SS SS SS SS

C. capsici KMP 1536 SS SS SS SSPYK 1507 SS S S S

Propineb C. gloeosporioides CKB 15 SS RS R R

Tabel 5 Perkembangan resistensi Colletotrichum spp. terhadap bahan aktif fungisida

SS, sangat sensitif; S, sensitif; RS, resisten sedang; R, resisten; SR, sangat resisten.

C. gloeosporioides BDG 1524 TGM 1105 CKB 15

C. acutatumBDG 1523 BRB 07A MJK 02A

C. capsici KMP 1536 PYK 1507 BGR15103

Benomil

Klorotalonil

Mankozeb

Propineb

Kontrol

Page 12: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Andriani et al

124

Perkembangan Resistensi Colletotrichum spp. terhadap Bahan Aktif Fungisida

Potensi perkembangan resistensi terhadap benomil terjadi dengan cepat pada C. gloeosporioides TGM 1105. Pada subkultur ke-3 galur ini sudah tahan. Galur Colletotrichum spp. lebih lama berkembang menjadi resisten terhadap bahan aktif mankozeb. Perkembangan resistensi terhadap bahan aktif propineb hanya diuji pada C. gloeosporioides CKB 15 saja. C. gloeosporioides CKB 15 sudah resisten terhadap propineb setelah subkultur ke-2 dan ke-3 (Tabel 5).

PEMBAHASAN

Tingkat hambatan relatif bahan aktif benomil, klorotalonil, mankozeb dan propineb terhadap pertumbuhan koloni galur Colletotrichum spp. uji berbeda-beda. Perbedaan nilai IC50 pada masing-masing bahan aktif menyebabkan adanya perbedaan tingkat sensitivitas. Rendah dan tingginya nilai IC50 suatu bahan aktif dari sensitivitas isolat Colletotrichum spp. disebabkan karena isolat yang digunakan sudah terpapar dalam jangka waktu yang lama dengan bahan aktif tertentu. Cendawan patogen memiliki mekanisme untuk mendegradasi senyawa toksik menjadi senyawa yang kurang toksik atau tidak toksik jika bahan aktif tersebut diaplikasikan secara terus-menerus.

Petani di Indonesia cenderung meng-gunakan fungisida yang sama bahan aktifnya secara terus-menerus jika pada awal mencoba sudah mengetahui keefektifannya. Ketika keefektifannya menurun maka petani akan meningkatkan konsentrasinya. Pemakaian jenis bahan aktif dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai cenderung beragam di setiap daerah. Bahan aktif propineb dan mankozeb digunakan oleh sebagian besar petani di Jawa Barat (Suganda et al. 2001) sedangkan petani di Jawa Tengah, umumnya menggunakan bahan aktif klorotalonil dan mankozeb (Afriyanto et al. 2009)

Perbedaan cara kerja bahan aktif juga memengaruhi tingkat sensitivitas isolat terhadap bahan aktif yang digunakan. Benomil

merupakan fungisida sistemik bersifat spesifik mengganggu mitosis β-tubulin dan pembelahan sel (FRAC 2016). Bahan aktif benomil bersifat eradikan dengan menghambat pertumbuhan miselium sebelum atau setelah infeksi. Bahan aktif ini sering digunakan sebagai perlakuan benih (Setiyowati et al. 2007). Diduga hal tersebut yang menyebabkan isolat Colletotrichum masih sensitif bahkan sangat sensitif terhadap bahan aktif benomil. Benomil dapat dideteksi dari urutan gen β-tubulin, mutasi akan terjadi pada nukleotida tunggal sehingga menyebabkan perubahan pada kodon 198 atau 200 (Peres et al. 2004).

Mekanisme resistensi pada bahan aktif multi site mode of action belum banyak diteliti karena resistensi yang terjadi akan melibatkan banyak mutasi gen sehingga perubahan pada gen sulit diprediksi (Kumar dan Rani 2013). Klorotalonil, mankozeb, dan propineb merupakan fungisida umum yang bersifat kontak menghambat lebih dari satu situs biokimia organel patogen (FRAC 2016). Kumar et al. (2007) melaporkan fungisida dengan mekanisme multi site mode of action seperti mankozeb secara umum bersifat nonsistemik yang memiliki risiko yang rendah untuk perkembangan resistensi cendawan terhadap bahan aktif tersebut. Resistensi patogen terhadap bahan aktif multi site mode of action propineb terjadi karena patogen terus-menerus terkena paparan bahan aktif tersebut. Patogen dengan siklus penyakit polisiklik seperti Colletotrichum spp. memungkinkan inokulum patogen selalu tersedia sehingga aplikasi fungisida selalu dilakukan sepanjang musim tanam. Hal tersebut memicu timbulnya ketahanan patogen terhadap fungisida yang diaplikasikan (Lim dan Choi 2006). Aplikasi fungisida dilakukan secara terjadwal dengan selang waktu 7–10 hari sehingga risiko terpaparnya patogen terhadap fungisida terjadi sepanjang musim tanam. Hal ini menyebabkan munculnya resistensi patogen yang tinggi dan dipengaruhi oleh penggunaan fungisida dengan bahan aktif yang sama sepanjang musim tanam (Darajat 2014).

Perbedaan tingkat sensitivitas antarisolat pada spesies yang sama disebabkan karena

Page 13: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Andriani et al

125

isolat yang digunakan berasal dari daerah yang berbeda. Perbedaan frekuensi apikasi juga memengaruhi tingkat sensitivitas galur patogen terhadap bahan aktif fungisida (Kumar et al. 2007; Joshi et al. 2013). Respons sensitivitas yang berbeda terjadi pada setiap spesies penyebab antraknosa yang diisolasi dari daerah di Lembang Jawa Barat (Suganda et al. 2001). Keragaman genetik setiap spesies diduga juga memengaruhi respons sentisitivitasnya terhadap bahan aktif fungisida. Ketahanan cenderung terjadi pada patogen yang mempunyai tingkat keragaman genetik dan adaptasi yang tinggi (Kumar dan Rani 2013). Menurut Suganda et al.(2001) perlu dilakukan rotasi pemakaian fungisida terutama dilihat dari cara kerja dan bahan aktif agar ketahanan isolat Colletotrichum spp. dapat ditekan.

Beberapa bahan aktif fungisida cenderung sudah tidak efektif terhadap Colletotrichum spp. penyebab antraknosa cabai di daerah sentra penanaman cabai di Jawa dan Sumatera. Fungisida yang bersifat sistemik masih efektif untuk Colletotrichum spp. tetapi dapat memicu terjadinya ketahanan dengan cepat sehingga tidak dianjurkan dilakukan secara intensif.

DAFTAR PUSTAKA

Afriyanto, Nurjazuli, Budiyono. 2008. Kajian keracunan pestisida pada petani penyemprot cabe di Desa Candi Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. J Kesling Indones. 8(1):10–20.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Indonesia Statistical Yearbook of Indonesia 2015. Jakarta (ID):BPS Indonesia.

[Dirjen PSP] Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian. 2015. Pestisida Pertanian dan Kehutan Terdaftar 2014. Jakarta (ID): Dirjen PSP.

[FRAC] Fungicide Resistance Action Committe. 2015. FRAC Code List©*2015: Fungicides sorted by mode of action (including FRAC Codenumbering) [Internet]. [diunduh 2016 Agu 4]. Tersedia pada: http: //www.frac.info/docs/default-source/publications/frac-code-list/frac-

code-list- 2015 final C2AD7 AA36764. pdf? Sfvrsn=4.

Darajat YM. 2014. Perbandingan pola penggunaan pestisida pada petani sayuran dan petani tanaman hias di kecamatan Cipanas kabupaten Cianjur. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Herwidyarti KH, Ratih S, Resiworo DJS. 2013. Keparahan penyakit antraknosa pada cabai (Capsicum annuum L) dan berbagai jenis gulma. J Agrotek Trop. 1(1):102–106.

Joshi MS, Sawant DM, Gaikwad AP. 2013.Variation in fungi toxicant sensitivity of Colletotrichum gloeosporioides isolates infecting fruit crops. J Food Agric Sci. 3(1):6–8. DOI: 10.5897/ISABB-JFAS11.042.

Kim SH, Yoon JB, Do JW, Park HG. 2007. Resistance to anthracnose caused by Colletotrichum acutatum in chilli pepper (Capsicum annuum L.). J Crop Sci Biotech. 10(4):277–280.

Kumar AS, Eswara NPR, Hariprasad KR, Devi MC. 2007. Evaluation of fungicidal resistance among Colletotrichum gloeosporioides isolates causing mango anthracnose in agri export zone of Andhra Pradesh India. Plant Pathol Bull. 6(3):157–160.

Kumar S, Rani A. 2013. Fungicide resistance: a major challenge in plant disease control. Int J App Biosci. 1(3):35–47.

Lim TH, Choi YH. 2006. Response of several fungicides of Colletotrichum gloeosporioides isolates obtained from persimmons in Sangju. Kor J Plant Pathol. 12(22):99–10.

Prathiba VH, Rao AM, Ramesh S, Nanda C. 2013. Estimation of fruit quality parameter in anthracnose infected chili fruits. Int J Agric Food Sci Technol. 4(2):57–60.

Peres NAR, Souza NL, Peever TL, Timmer LW. 2004. Benomyl sensitivity of isolates of Colletotrichum acutatum and C. gloeosporioides from citrus. Plant Dis. 88(2):125–130. DOI: https://doi.org/10.1094/PDIS.2004.88.2.125.

Sangdee A, Sachan S, Khankhum S. 2011. Morphological, pathological and

Page 14: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Andriani et al

126

molecular variability of Colletotrichum capsici causing anthracnose of chilli in the North-East of Thailand. Afr J Microbiol. 5(25):4368–4372. DOI: https://doi.org/10.5897/AJMR11.476.

Setiyowati H, Surahman M, Wiyono S. 2007. Pengaruh seed coating dengan fungisida benomil dan tepung cúrcuma terhadap patogen antraknosa terbawa benih dan viabilitas benih cabai besar (Capsicum annuum L.). J Agron Indones. 35(3):176–182.

Suganda T, Yulia E, Hidayat Y. 2001. Variabilitas sensitivitas jamur Colletotrichum spp. asal sentra pertanaman cabai merah Jawa Barat terhadap beberapa bahan aktif fungisida. J Agrikultur. 12:122–129.

Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R, Kusumah DA. 2010. Evaluasi daya hasil cabai hibrida dan daya adaptasinyadiempat lokasi dalam dua tahun. J Agron Indones. (38)1:43–51.

Widodo. 2007. Status of chili anthracnose in Indonesia. First International Symposium on Chili Anthracnose; 2007 September 17-19; Seoul. Seoul (KR): Seoul National University.

Ziogas BN, Markoglou AN, Spyropoulou V. 2005. Effect to phenylpyrrole resistance mutations on ecological fitness of Botrytis cinerea and their genetical basis in Ustilago maydis. Eur J Plant Pathol. 1(113):83–100.DOI: https://doi.org/10.1007/s10658-005-1227-7.

Page 15: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

ISSN: 0215-7950

127

Volume 13, Nomor 4, Juli 2017Halaman 127–135

DOI: 10.14692/jfi.13.4.127

*Alamat penulis korespondensi: Laboratorium Genetika, Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Jalan Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta, 55281 Tel: 0274-580839;0274-6492354; 0274-6492355; Surel:[email protected]

Penanda Molekuler Inter Simple Sequence Repeat untuk Menentukan Ketahanan Tanaman Jagung terhadap Penyakit Bulai

Inter Simple Sequence Repeat as Molecular Marker to Determine Resistance to Downy Mildew in Maize

Polikarpia Wilhelmina Bani*, Budi Setiadi Daryono, PurnomoUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281

ABSTRAK

Penyakit bulai yang disebabkan oleh cendawan Peronosclerospora maydis dapat menurunkan hasil dan kualitas jagung secara nyata. Sifat ketahanan terhadap penyakit bulai pada tanaman jagung diperlukan untuk penetapan strategi pengendalian penyakit. Penanda molekuler biasanya digunakan untuk melihat variasi ketahanan tanaman terhadap penyakit. Penelitian ini menguji 5 primer inter simple sequence repeat (ISSR) sebagai penanda molekuler untuk menentukan ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit bulai. Rata-rata polimorfik 5 primer ISSR yang digunakan ialah 72.84%. Primer ISSR 808 (AG) 8C mampu membedakan jagung kultivar Talenta yang tahan bulai dari kultivar Pulut yang rentan.

Kata kunci: kultivar tahan, Peronosclerospora maydis, polimorfik, primer

ABSTRACT

Downy mildew disease of maize, caused by the fungus Peronosclerospora maydis, can cause serious yield loss. Molecular markers-based method is usually performed to look for the variation of resistance in plants. In this study, 5 primers of inter simple sequence repeat (ISSR) was evaluated for molecular marker to determine maize resistance to downy mildew. The average polymorphic of 5 ISSR primers was 72.84%. Primer ISSR 808 (AG) 8C was able to differentiate resistant cultivar (cv Talenta) from susceptible cultivar (cv Pulut).

Key words: Peronosclerospora maydis, polymorphic, primer, resistant cultivar

Page 16: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Bani et al

128

PENDAHULUAN

Jagung (Zea mays) merupakan tanaman pangan penting bagi Indonesia dan dunia. Salah satu kendala biotik yang mengganggu ialah penyakit bulai yang disebabkan cendawan dari genus Peronosclerospora, Sclerospora, dan Scleropthora. Tiga spesies cendawan semu dari genus Peronosclerospora yang menyebabkan penyakit bulai cukup berbahaya karena dapat menyebabkan kehilangan hasil panen hingga 100% (Rustiani 2015).

Keanekaragaman genetika dalam varietas jagung di Indonesia berpotensi menjadi sumber karakter unggulan guna mengatasi berbagai kendala dalam budi daya jagung di Indonesia. Informasi hubungan kekerabatan di antara materi pemuliaan berperan penting dalam pemilihan tetua secara efisien melalui program pemuliaan tanaman (Pabendon et al 2007). Analisis variasi genetika dapat dilakukan melalui identifikasi karakter morfologi dan molekuler. Identifikasi karakter morfologi tanaman ialah identifikasi terhadap karakter luar tanaman baik kualitatif maupun kuantitatif. Identifikasi karakter morfologi memiliki kelemahan, yaitu penampilan sering dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Oleh karena itu, identifikasi karakter molekuler dibutuhkan untuk melengkapi informasi morfologi dalam menentukan tetua yang digunakan dalam pemuliaan tanaman dan perakitan varietas (Valdemar et al. 2002).

Penanda molekuler inter simple sequence repeat (ISSR) merupakan penanda molekuler yang umumunya digunakan untuk studi keanekaragaman genetika, filogeni, penandaan gen, pemetaan genom dan biologi evolusi pada berbagai tanaman (Reddy et al. 2002). Penanda molekuler ISSR menggunakan primer tunggal untuk menargetkan daerah identik antara mikrosatelit, yaitu daerah pengulangan simple sequence repeat (SSR). Primer ISSR terdiri atas 8 unit dinukleotida berulang (atau 6 unit trinukleotida berulang) dan satu atau lebih jangkar nukleotida yang dirancang untuk menargetkan akhir wilayah mikrosatelit dan mencegah dimerisasi primer. Urutan berulang pada SSR yang tidak dipisahkan oleh ISSR

akan cenderung mengalami self annealed. Primer ISSR menghasilkan polimorfisme setiap kali salah satu genom kehilangan urutan berulang atau ketika terjadi delesi, insersi atau translokasi yang mengubah jarak antara urutan berulang. Biasanya dinukleotida jangkar mengait pada ujung 3’ atau 5’ menunjukkan polimorfisme tinggi (Blair et al. 1999). Oleh karena itu, digunakan penanda molekuler ISSR untuk mengamati variasi genetika pada jagung berdasarkan karakter molekuler dan mendeteksi gen ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung.

Penelitian mengenai variasi genetika pada jagung menggunakan karakter molekuler dengan penanda ISSR sudah dilakukan oleh Valdemar et al. (2002), Idris et al. (2012), dan Antonio et al. (2011). Hasil-hasil penelitian tersebut digunakan sebagai acuan untuk studi variasi genetika pada jagung dengan aplikasi penanda ISSR.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah 12 kultivar jagung yaitu ‘Gama GS’ (Fakultas Biologi UGM), ‘Gama SG’ (Fakultas Biologi UGM), ‘Bisi-816’ (PT. BISI International, Tbk.), ‘Pioneer-21’ (Thailand), ‘Lagaligo’ (Balitseral Maros), ‘Talenta’ (PT. Agri Makmur Pertiwi), ‘Pulut’ (Balitseral Maros), ‘Pena Molo’ (NTT), ‘Pena Fatu’ (NTT), ‘Pena Kikis’ (NTT), ‘Pena Moi’ (NTT), dan ‘Pena Boto’ (Masyarakat/petani lokalNTT).

Karakterisasi FenotipePenanaman dan pengamatan karakter

fenotipe dilakukan di Pusat Inovasi dan Agro Teknologi (PIAT) UGM Desa Kalitirto, Sleman, DIY. Pengukuran karakter fenotipe dilakukan saat jagung berumur100 hari setelah tanam (HST) ketika tanaman jagung mencapai masak fisiologis. Persentase ketahanan jagung terhadap infeksi penyakit bulai di lapangan dilakukan dengan menghitung insidensi penyakit (IP) menggunakan rumus:

IP = nN × 100%, dengan

Page 17: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Bani et al

129

n, jumlah tanaman yang terserang dan N, jumlah tanaman yang diamati.

Karakter fenotipe yang diamati berjumlah 15 karakter terdiri atas 2 karakter habitus tanaman (tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol), 1 karakter batang (diameter batang), 3 karakter daun (panjang daun, lebar daun dan jumlah daun), 1 karakter malai (jumlah malai), 1 karakter waktu berbunga (umur berbunga), 6 karakter tongkol (panjang tongkol, diameter tongkol, bobot tongkol, jumlah biji per baris, jumlah baris biji per tongkol, dan bobot 100 biji per tongkol), dan 1 karakter ketahanan fenotipeik terhadap infeksi penyakit bulai di lapangan. Ketahanan jagung terhadap penyakit bulai dihitung berdasarkan persentase jagung yang terinfeksi penyakit bulai di lapangan (Rais et al. 2002). Respons ketahanan jagung dapat dibedakan atas kategori sangat rentan (> 60%), rentan (41–60%), agak tahan (21–40%), tahan (11–20%), dan sangat tahan (0–10%). Analisis hubungan kekerabatan karakter fenotipe menggunakan program multi variate statistical package (MVSP).

Isolasi DNAProsedur isolasi DNA mengikuti metode

Kit Nucleon Phytopure (GE Healthcare, UK) dengan modifikasi pada bobot daun, volume pereaksi, jumlah kloroform, dan jumlah resin. Daun tanaman jagung dipotong dan sebanyak 0.3 g diberi nitrogen cair kemudian digerus menggunakan pistil. Sampel dimasukkan ke dalam tabung 1.5 μL dan ditambahi 400 μL pereaksi “phytopure I”. Selanjutnya, 100 μL pereaksi “phytopure II” ditambahkan dan diinkubasi pada suhu 65 °C selama 10 menit di penangas air. Setelah diinkubasi, sampel diletakkan dalam lemari es selama 20 menit, kemudian dimasukkan 400 μL kloroform dingin dan ditambahkan 50 μL resin phytopure. Sampel yang sudah diberi resin phytopure disentrifugasi dengan kecepatan 3000 × g selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke tabung baru ukuran 1.5 mL, ditambahi isopropanol atau propanol dingin dengan volume yang sama dengan volume supernatan,

kemudian disentrifugasi pada kecepatan 1000 ×g selama 10 menit. Pelet DNA yang diperoleh dicuci dengan cara menambahkan 100 μL etanol 70% dan selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 10 000 × g selama 5 menit. Pelet DNA kering selanjutnya ditambahi 50 mL bufer 1×TE.

Analisis ISSR-PCRCampuran PCR terdiri atas 10.5 μL

aquabides, 12.5 μL mastermix Dream TaqTM Green (Thermo Fisher Scientific), 1 μL primer (sikuen-807, sikuen-810, sikuen-814, sikuen-841, dan sikuen-808), dan 1 μL templat DNA dari 1/75 konsentrasi isolat DNA. Pelaksanaan amplifikasi dilakukan pada suhu denaturasi 94 °C selama 2 menit, aneling bervariasi bergantung pada jenis primer (45–51°C) sintesis 72°C selama 1 menit, siklus diulang sebanyak 40 kali; dan perpanjangan basa-basa nukleotida pada suhu 72 °C selama 5 menit (Idris et al. 2012). Produk amplifikasi dipisahkan dengan elektroforesis pada gel agarosa 2% pada tegangan 100 volt selama 30–45 menit. Visualisasi pita DNA dilakukan menggunakan transiluminator sinar UV.

Analisis DataData fenotipe agronomi yang diperoleh

dianalisis dengan program Microsoft Excel untuk mengetahui nilai rata-rata setiap parameter karakter fenotipe. Data matriks kemiripan dibuat dalam bentuk dendogram menggunakan metode unweightedpair-group methode using arithmeticaverage (UPGMA). Kemudian, data dianalisis principal component analysis (PCA) untuk mendapatkan data pengelompokan dari 12 kultivar jagung.

Data molekuler berdasarkan penanda ISSR didasarkan pada kemunculan pita DNA. Profil pita DNA diterjemahkan ke dalam data biner dengan ketentuan nilai 0 bila pita DNA tidak muncul dan nilai 1 bila terdapat pita DNA pada suatu posisi yang sama dari individu yang dibandingkan. Pengelompokan data matrik (cluster analysis) dan pembuatan dendogram menggunakan metode UPGMA.

Page 18: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Bani et al

130

HASIL

Analisis pengelompokan yang diturunkan dari matriks kemiripan fenotipe tanaman jagung menghasilkan 2 kelompok. Kelompok A terdiri atas kultivar Pulut, sedangkan kelompok B terdiri atas 11 kultivar lainnya. Lebih lanjut, kelompok B terbagi lagi menjadi 3 subkelompok, yaitu subkelompok 2, 3, dan 4. Kultivar Pulut memisah dari kelompok B (subkelompok 2, 3, dan 4) dan membentuk subkelompok 1 karena perbedaan mendasar pada ketahanan fenotipe terhadap penyakit bulai. Kultivar Pulut memberikan respons sangat rentan atau 100% terinfeksi penyakit bulai. Kultivar ‘Pena Moi’, ‘Pena Kikis’, ’Pena Boto’ dan ‘Pena Fatu’ membentuk subkelompok 2 karena persamaan 9 karakter fenotipe, yaitu tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, diameter batang, jumlah percabangan malai, bobot tongkol, dan jumlah biji per baris. ‘Pena Molo’ terpisah dan membentuk subkelompok 3 karena dari 15 karakter fenotipe tidak memiliki kesamaan dengan 3 kelompok lainnya. Kultivar ‘Bisi-816’, ‘Pioneer-21’, ‘Gama GS’, ‘Gama SG’, ‘Lagaligo’, dan ‘Talenta’ berada pada subkelompok 4 dengan tingkat kemiripan 0.78% untuk 10 karakter fenotipe, yaitu tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, diameter batang, waktu berbunga,

jumlah percabangan malai, panjang tongkol, dan jumlah biji per baris. Pengelompokan kultivar pada subkelompok 1 dan 2 didominasi oleh kultivar yang rentan terhadap penyakit bulai di lapangan dan kultivar jagung lokal Pulau Timor; sedangkan subkelompok 3 dan 4 didominasi oleh kultivar yang tahan dan sangat tahan terhadap penyakit bulai di lapangan dan kultivar yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian (Gambar 1).

Seluruh data fenotipe digunakan dalam analisis lanjutan menggunakan program PCA dengan tujuan mengetahui variabel atau karakter fenotipe yang paling berperan dalam pengelompokan kultivar untuk mendapatkan 5 kelompok (A, B, C, D, dan E) (Gambar 2).Pada kelompok A terdapat kultivar ‘Pena Fatu’, ‘Pena Boto’, ‘Pena Kikis’, dan ‘Pena Moi’; pada kelompok B terdapat kultivar ‘Gama SG’, ‘Gama GS’, dan ‘Pena Molo’; dan pada kelompok C terdapat kultivar ‘Talenta’, ‘Bisi-816’, dan ‘Lagaligo’. Kultivar ‘P-21‘ pada axis 2 (kelompok D) dan ‘Pulut’ pada axis 1 (kelompok E) terpisah, masing-masing membentuk kelompok sendiri. Kedua kultivar ini berada di luar kelompok A, B, dan C yang artinya memiliki tingkat kesamaan yang rendah dengan anggota kelompoknya. Hasil analisis PCA juga menunjukkan bahwa variabel atau karakter fenotipe yang paling berperan dalam pengelompokan kultivar ialah waktu berbunga, diameter batang dan jumlah biji per baris.

Gambar 1 Filogenetika berdasarkan karakter fenotipe 12 kultivar jagung. TL, ‘Talenta’; P-21, ‘Pioneer-21’; SG, ‘Gama SG’; GS, ‘Gama GS’; BS, ‘Bisi-816’; LG, ‘Lagaligo’; PL, ‘Pulut’; PM, ‘Pena Molo’; PF, ‘Pena Fatu’; PB, ‘Pena Boto’; PK, ‘Pena Kikis’; PMI, ‘Pena Moi’.

0.5 0.6 0.7 0.8 0.90.4 1Koefisien kesamaan umum Gower

PLPMIPKPBPFPMBSP-21GSSGLGTL

Page 19: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Bani et al

131

Pengelompokan kultivar membentuk 2 kelompok besar (A dan B) pada kemiripan 0.78% dan terdapat pembagian sebanyak 5 subkelompok. Kelompok A terbagi lagi menjadi subkelompok 1 dan 2; sedangkan kelompok B terbagi menjadi subkelompok 3, 4, dan 5. Tidak terdapat pengelompokan antar kultivar yang menunjukkan perbedaan antara kultivar yang tahan dan rentan penyakit bulai. Antara kultivar yang tahan dan kultivar yang rentan tidak memisah atau tetap menyatu membentuk satu subkelompok yang sama. Namun, penanda molekuler ISSR menghasilkan pengelompokan kultivar berdasarkan pada daerah asal jagung, yakni kultivar jagung lokal Pulau Timor pada kelompok A dan kultivar yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian pada kelompok B (Gambar 3). Ketahanan 12 kultivar sangat bervariasi, yaitu terdapat kultivar yang sangat tahan, tahan, agak tahan, rentan, dan sangat rentan (Tabel 1).

Analisis ISSR dengan amplifikasi meng-gunakan 5 primer menghasilkan 404 pita DNA yang terdiri atas 58 pita DNA polimorfik (72.84%) dan 1 pita DNA monomorfik (Tabel 2).Lokus pita DNA polimorfik terdapat berkisar antara 8 untuk (CT)8A sampai 15 untuk (AG)8T.

Berdasarkan pengamatan respons varietas, kultivar ‘Bisi-816’ tergolong tahan dengan nilai

IP sebesar 20%. Kultivar dengan respons rentan ialah ‘Pena Boto’, ‘Pioneer-21’, ‘Pena Moi’, dan ‘Pena Kikis’ dengan IP berturut-turut 48.31%, 48.71%, 51%, dan 56%. Kultivar dengan respons agak tahan ialah ‘Pena Fatu’ dengan IP sebesar 25.71%; sedangkan kultivar dengan respons sangat rentan ialah ‘Pulut’, ‘Gama SG’, dan ‘Gama GS’ dengan IP berturut-turut 100%, 89%, 87.80%. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Kementerian Pertanian RI maka kultivar ‘Talenta’, ‘Bisi-816’ dan ‘Lagaligo’ terbukti sangat tahan terhadap penyakit bulai di lapangan. Begitu pula dengan kultivar ‘Pioneer-21’ dan ‘Pulut’ terbukti rentan terhadap penyakit bulai di lapangan. Kultivar ‘Gama GS’ dan, ‘Gama SG’, ke-5 jagung lokal Pulau Timor yaitu ‘Pena Molo’, ‘Pena Fatu’, ‘Pena Boto’, ‘Pena Kikis’, dan ‘Pena Moi’ belum didaftarkan di Kementrian Pertanian (Kementan) sehingga penelitian ini memberikan informasi baru mengenai status ketahanannya terhadap penyakit bulai di lapangan.

PEMBAHASAN

Semakin tinggi nilai indeks kesamaan maka hubungan kekerabatan di antara sampel yang diuji semakin dekat. Apabila indeks kesamaan >70% ini menggambarkan bahwa varietas yang

Gambar 2 Plot principal component analysis (PCA) 12 kultivar jagung. TL, ‘Talenta’; P-21, ‘Pioneer-21’; SG, ‘Gama SG’; GS, ‘Gama GS’; BS, ‘Bisi-816’;LG, ‘Lagaligo’; PL, ‘Pulut’; PM, ‘Pena Molo’; PF, ‘Pena Fatu’; PB, ‘Pena Boto’; PK, ‘Pena Kikis’; PMI, ‘Pena Moi’.

Page 20: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Bani et al

132

Tabel 1 Persentase ketahanan jagung yang terinfeksi penyakit bulai di lapangan

Kultivar jagung

∑ total individu

∑ yang terinfeksi

Insidensi penyakit (%)

Respons tanamanPenelitian Kementerian Pertanian*

Talenta 164 2 1.00 Sangat tahan Tahan Pioneer-21 164 80 48.78 Rentan Agak rentanGama GS 164 144 87.80 Sangat rentan -Gama SG 164 146 89.00 Sangat rentan -Bisi-816 164 34 20.00 Tahan TahanLagaligo 164 17 10.00 Sangat tahan TahanPulut 80 80 100.00 Sangat rentan Agak tahanPena Molo 111 4 3.60 Sangat tahan -Pena Fatu 70 18 25.71 Agak tahan -Pena Boto 89 43 48.31 Rentan -Pena Kikis 82 46 56.00 Rentan -Pena Moi 66 34 51.00 Rentan -

*Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (Rais et al. 2002).

Primer Jumlah pita DNA

Total lokus

Jumlah lokus polimorfik

Jumlah lokus monomorfik

Polimorfisme (%)

807 95.0 15.0 15.0 - 15.78810 69.0 13.0 13.0 - 18.84814 61.0 8.0 8.0 - 13.11841 97.0 12.0 11.0 1.0 11.34808 82.0 11.0 11.0 - 13.41Total 404.0 59.0 58.0 1.0 72.48Rata-rata 80.8 11.8 11.6 0.2 14.49

Tabel 2 Polimorfisme pita DNA hasil amplifikasi ISSR

Gambar 3 Pohon Filogenetika 12 kultivar jagung berdasarkan penanda ISSR. TL, ‘Talenta’; P-21, ‘Pioneer-21’; SG, ‘Gama SG’; GS, ‘Gama GS’; BS, ‘Bisi-816’;LG, ‘Lagaligo’; PL, ‘Pulut’; PM, ‘Pena Molo’; PF, ‘Pena Fatu’; PB, ‘Pena Boto’; PK, ‘Pena Kikis’; PMI, ‘Pena Moi’. sht, tanaman sehat; skt, tanaman sakit.

0.8 0.84 0.88 0.92 0.960.76 1Koefisien kesamaan umum Gower

PMsktPFsktPKsktPBsktPBshtPM1sktPM1shtPFshtPKshtPMshtGSsktBSsktTLshtP21sktLGsktLGshtGSshtTLsktSGsktBSshtP21shtPLSGsht

Page 21: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Bani et al

133

dibandingkan memiliki kesamaan yang dekat sehingga variasi genetika semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh tingginya persamaan dan kemiripan karakter pada varietas tersebut, karena semakin tinggi persamaan karakter antarvarietas, maka semakin rendah tingkat keragamannya (Mustofa et al. 2013).

Penghanyutan genetika (gene flow) dan seleksi pada lingkungan yang berbeda dapat menyebabkan diversitas genetika yang lebih besar dibandingkan dengan jarak wilayah tempat tumbuh tanaman. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa meskipun suatu genotipe jagung berasal dari tempat yang sama, namun bila lingkungan tempat tumbuhnya berbeda akan memengaruhi diversitas genetika. Semakin banyak persamaan karakter fenotipe yang dimiliki menunjukkan bahwa semakin dekat hubungan kekerabatan, sebaliknya semakin sedikit persamaan karakter yang dimiliki semakin jauh hubungan kekerabatannya (Sokal dan Sneath 1963).

Tingkat polimorfisme pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Valdemar et al. (2002) pada studi diversitas genetika jagung menggunakan ISSR. Selain itu, hasil penelitian ini mendekati hasil penelitian Idris et al. (2012) dan Antonio et al. (2011) yang menggunakan penanda molekuler ISSR untuk analisis variasi genetika pada jagung dengan persentase polimorfik berturut-turut 85.4% dan 89.05%.

Variasi fenotipe plasma nutfah jagung dapat dipengaruhi oleh lingkungan seperti jenis tanah, pH, ketinggian dan kelembapan. Faktor lingkungan cenderung memengaruhi karakter kuantitif seperti tinggi tanaman, diameter batang, ukuran daun, dan ketahanan terhadap penyakit bulai. Tingkat ketahanan jagung terhadap patogen penyebab penyakit bulai cukup beragam, bergantung pada variabilitas genetik, variabilitas fenotipik, dan interaksi antara genetika dengan lingkungannya. Kultivar yang sangat tahan, tahan maupun agak tahan mampu menghambat perkembangan patogen sehingga patogen tersebut tidak dapat berkembang dan menyebar; sebaliknya yang terjadi pada tumbuhan rentan dan sangat rentan. Respons tanaman terhadap

patogen dipengaruhi oleh faktor genetika dan lingkungan (Azrai et al. 2006). Ketahanan 12 kultivar jagung dalam penelitian ini sesuai dengan lokasi budi daya, yaitu di lokasi terbuka dengan suhu dan kelembapan yang mendukung untuk pertumbuhan Peronosclerospora pada malam hari. Pertumbuhan P. maydis di bawah suhu 24 oC sesuai dengan keadaan pada lokasi budi daya dan penularannya dari tanaman sakit ke tanaman sehat terjadi melalui angin pada pagi hari.

Analisis hubungan kekerabatan dengan program multi variate statistical package (MVSP) berdasarkan karakter fenotipe menunjukkan nilai indeks kemiripan yang rendah artinya variasi karakter fenotipe sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perubahan fenotipe suatu kultivar jagung. Berdasarkan hasil penelitian ini, penanda molekuler ISSR menghasilkan pengelompokan kultivar berdasarkan pada daerah asal jagung, yaitu kultivar jagung lokal Pulau Timor pada kelompok A dan kultivar yang diterbitkan Kementerian Pertanian pada kelompok B. Selain pengelompokan tersebut, resistensi tanaman terhadap patogen dikendalikan oleh gen tanaman tersebut. Interaksi gen tahan berpengaruh pula terhadap perkembangan suatu penyakit, di mana pada varietas tahan perkembangannya akan lebih lambat dibanding dengan varietas yang rentan. Secara genetika sifat ketahanan varietas tahan biasanya dipengaruhi oleh adanya sejumlah gen yang menyusun kromosom, di mana tanaman disusun oleh beberapa gen tahan yang dikenal dengan ketahanan horizontal. Gen tahan mengendalikan metabolisme produksi toksin yang dihasilkan oleh tanaman yang dapat menekan perkembangan penyakit (Muis et al. 2015).

Penelitian terdahulu tentang ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit bulai dilaporkan ada tanaman yang tahan, agak tahan, rentan, dan sangat rentan. Hasil penelitian ini mengindikasikan tanaman jagung lokal lebih tahan terhadap penyakit bulai dibandingkan dengan varietas impor (Hartatik 2007). Pengamatan karakter fenotipe jagung lokal

Page 22: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Bani et al

134

NTT memperkuat hasil penelitian sebelumnya bahwa jagung lokal tahan terhadap penyakit bulai.

Identifikasi lokus karakter kuantatif ketahanan penyakit bulai pada jagung menggunakan penanda molekuler RFLP sudah dilaporkan (Azrai 2003). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ada 2 penanda yang berasosiasi sangat kuat dengan gen ketahanan penyakit bulai, yaitu interval penanda bnl18.23-bnl5.47a, dan bnl5.47a. Pemanfaatan penanda molekuler dapat mempercepat proses seleksi dan hasilnya lebih menyakinkan dibandingkan dengan pemuliaan secara konvensional.

Penggunaan penanda molekuler ISSR untuk menentukan ketahanan jagung terhadap penyakit bulai pada varietas jagung yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian RI dan jagung lokal NTT diperoleh pita spesifik pada primer ISSR 808 teramplifikasi pada ukuran 300 pb pada kultivar ‘Talenta’. Disimpulkan bahwa penanda molekuler ISSR dapat menentukan adanya ketahanan pada vairetas jagung terhadap penyakit bulai. Sifat ketahanan tanaman sering dikendalikan oleh gen-gen inti dan atau gen-gen sitoplasma sehingga penggunaan penanda molekuler sangat penting untuk mendeteksi gen ketahanan. Akan tetapi, publikasi tentang gen ketahanan penyakit bulai pada tanaman jagung menggunakan penanda molekuler masih belum banyak dilakukan. Informasi tentang gen ketahanan penyakit bulai pada tanaman penting dalam program pemuliaan tanaman.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Saija dan Romli dari Pusat Inovasi dan Agro Teknologi, UGM atas bantuannya dalam budi daya jagung. Penelitian ini didanai oleh Hibah Insinas 2015, Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Nomor: 147 /M/Kp/IV/2015).

DAFTAR PUSTAKA

Antonio T, Do Amaral J, Erica C, De Olivera, Leandro SAG, Carlos AS, Liliam SC,

Thiago R, Da Concencao S, Cassio V, Keila S,Da Silva. 2011. Assesment of genetic diversity among maize accessions using inter simple sequence repeat markers. Afr J Biotech. 10(69):15462–15469.

Azrai M. 2003. Identifikasi lokus karakter kuantitatif ketahanan penyakit bulai pada jagung menggunakan marka RFLP. Bioteknologi Pertanian. 8(1):8–14.

Azrai M, Hajrial A, Jajah K, Memen S, Jan RH. 2006. Analisis genetik ketahananjagung terhadap bulai. J Pen Pert Tan Pangan. 25(2):71–77.

Blair MW, McCouch SR, Panaud O. 1999. Inter simple sequence repeat (ISSR) amplification for analysis of microsatellite motif frequency and fingerprinting in rice (Oryza sativa L.). Theoretical Appli Gen. 98:780–792. DOI: https://doi.org/10.1007/s001220051135.

Hartatik S. 2007. Pewarisan sifat ketahanan tanaman jagung (Zea mays L.) terhadap penyakit bulai. Agroteksos. 17(2):99–103.

Idris AE, Nada BH, Samia OY, Ali IA, Haitham KA, El-Amin. 2012. Maize (Zea mays L.) genotypes diversity study by utilization of inters-simple sequence repeat (ISSR) markers. Aus J Basic App Sci. 6(10):42–47.

Muis A, Nurnia N, Marcia BP. 2015. Skrining ketahanan S1 Jagung terhadap penyakit bulai dan pembentukan Galur S2 tahan penyakit bulai. Bul. Plasma Nutfah. 21(1):17–24. DOI: https://doi.org/10.21082/blpn.v21n1.2015.p17-24.

Mustofa Z, I Made B, Gamar BNS. 2013. Variasi genetik jagung (Zea mays L.) berdasarkan karakter fenotipik tongkol jagung yang dibudidaya di Desa Jono Oge. EJIP BIOL. 2(3):33–41.

Pabendon MB, Azrai, Kasim M, Wijaya MJ. 2007. Prospek penggunaan markah molekuler dalam program pemuliaan jagung. Maros (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Balitsereal.

Rais SA, Tiur SS, Sri GB, Ida HS, Machmud M. 2002. Evaluasi ketahanan plasma nutfah terhadap penyakit hawar daun bakteri dan blas, dan jagung terhadap penyakit

Page 23: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Bani et al

135

bulai. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Hlm 52–62.

Rustiani UM, Sinaga MS, Hidayat SH, Wiyono S. 2015. Tiga spesies Peronosclerospora penyebab penyakit bulai jagung di Inonesia. Berita Biologi. 14(1):29–37.

Sokal, Sneath. 1963. Principles of Numerical Taxonomy. San Francisco (US): WH Freeman.

Reddy MP, Sarla N, Siddiq EA. 2002. Inter simple sequence repeat (ISSR)

polymorphism and its application in plant breeding. Euphytica. 128:9–17. DOI: https://doi.org/10.1023/A:1020691618797.

Valdemar PC, Paulo MR, Claudete FR, Josue MF, Rosangela MPM. 2002. Assesment of genetic diversity in maize (Zea mays L.) landraces using inter simple sequence repeat (ISSSR) markes. Crop Breed App Biotech. 2(4):557–568. DOI: https://doi.org/10.12702/1984-7033.v02n04a09.

Page 24: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

ISSN: 0215-7950

136

Volume 13, Nomor 4, Juli 2017Halaman 136–144

DOI: 10.14692/jfi.13.4.136

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680. Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362; Surel: [email protected]

Keefektifan Perlakuan Fisik dan Minyak Atsiri untuk Mengeliminasi Bakteri Clavibacter michiganensis subsp.

michiganensis pada Benih Tomat

The Effectiveness of Physical and Essential Oil Treatment to Eliminate Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis

on Tomato Seed

Siti Tri Wahyuni, Ali Nurmansyah, Giyanto*Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis merupakan bakteri penyebab penyakit kanker pada tomat. Bakteri ini bersifat tular benih dan dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai 70%. Perlakuan benih merupakan salah satu alternatif untuk mengendalikan penyakit ini. Tujuan penelitian ialah menentukan perlakuan fisik dan minyak atsiri yang efektif mengeliminasi C. michiganensis subsp. michiganensis dari benih tomat. Penelitian terdiri atas 4 percobaan, yaitu penapisan minyak atsiri, penentuan treatment window perlakuan, perlakuan fisik dan minyak atsiri pada benih tomat terinfeksi, dan kombinasi perlakuan fisik dan minyak atsiri pada benih tomat terinfeksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak sirih mempunyai daya hambat paling besar (27.33 mm). Perlakuan air panas suhu 53 °C selama 25 menit pada benih terinfeksi mampu mengeliminasi C. michiganensis subsp. michiganensis dari benih tomat sebesar 90.94%. Perlakuan panas kering pada suhu 60 °C selama 24 jam dan minyak sirih konsentrasi 0.25% dapat mengeliminasi C. michiganensis subsp. michiganensis berturut-turut sebesar 85.13% dan 99.82%. Kombinasi perlakuan air panas suhu 55 °C, minyak sirih konsentrasi 0.5%, dan panas kering suhu 60 °C mampu mengeliminasi bakteri C. michiganensis subsp. michiganensis sebesar 99.99% dengan persentase daya berkecambah mencapai 100%. Perlakuan kombinasi ini dapat direkomendasikan untuk perlakuan benih tomat yang terinfeksi C. michiganensis subsp. michiganensis.

Kata Kunci: air panas, daya kecambah benih, minyak sirih, panas kering

ABSTRACT

Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis is the causal agent of bacterial canker disease of tomato. The bacteria is seed borne and may cause yield loss up to 70%. Seed treatment is an alternative method for controlling bacterial canker. The objective of the research was to study the effectiveness of physical and essential oil treatment for elimination of C. michiganensis subsp. michiganensis from tomato seed. Research was conducted in 4 separate experiments, i.e. (1) screening essential oils to control C. michiganensis subsp. Michiganensis; (2) to determine the treatment window of physical and essential oil treatment; (3) to determine the physical and essential oil treatment on tomato seed infested by C. michiganensis subsp. Michiganensis; and (4) to determine the effectiveness of treatment combination of physical and essential oil. The results showed that betel oil at concentration of 8% had the greatest inhibitory level (approximately 27.33 mm). Hot water treatment (53 °C) for 25 minutes reduced 90.94% of C. michiganensis subsp. michiganensis population; whereas dry heat treatment (60 °C, 24

Page 25: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Wahyuni et al

137

hours) and betel oil treatment at 0.25% concentration reduced C. michiganensis subsp. michiganensis population (85.13 and 99.82% respectively). The combination of betel oil (0.5%), hot water (55 °C), and dry heat treatments (60 °C) was the most effective control method, because it reduced 99.99% of C. michiganensis subsp. michiganensis population and maintained the germination level of seed up to 100%. This combination might be recommended for seed treatment to eliminate C. michiganensis subsp. michiganensis.

Key words: betel oil, dry heat, hot water, seed germination

PENDAHULUAN

Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis merupakan bakteri tular benih penyebab penyakit kanker pada tanaman tomat. Bakteri ini menimbulkan kehilangan hasil hingga 20% di Canada, 20-30% di Perancis, dan 70% di USA (Dhanvantari dan Brown 1993; EPPO 2013; CABI 2016). Menurut Peraturan Menteri Pertanian No.51/Permentan/KR.010/9/2015, bakteri ini termasukdalam organisme penganggu tumbuhan karantina (OPTK) kategori A2, dengan penyebaran masih terbatas di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan (Kementan 2015).

Pengendaliaan C. michiganensis subsp. michiganensis secara kimiawi menggunakan tembaga hidroksida yang diaplikasikan dengan mankozeb dan antibiotik streptomisin dilaporkan oleh Kasselaki et al. (2011) dan Werner et al. (2012). Akan tetapi, penggunaan antibiotik dapat menimbulkan resistensi pada patogen dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, pengendalian alternatif perlu dikembangkan.

Minyak atsiri yang dapat digunakan mengendalikan bakteri patogen tanaman di antaranya ialah minyak cengkeh, minyak sirih, minyak pala dan minyak serai. Perendaman benih tomat dalam minyak cengkeh dengan konsentrasi 0.5% dapat mengeliminasi bakteri C. michiganensis subsp. michiganensis lebih dari 99 % (Zainal et al. 2010). Minyak serai konsentrasi 1–2% dapat mengambat pertumbuhan bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae secara in vitro (Rachmawati 2009). Ekstrak sirih dengan konsentrasi 2% mampu menghambat pertumbuhan bakteri X. campestris pv. campestris sebesar 100 % secara

in vitro dan 99.9 % pada benih kubis terinfeksi (Fitriawati 2012). Menurut Kusumaningrum et al. (2003), minyak pala dengan konsentrasi 1%dapat menghambat pertumbuhan bakteri X. campestris dari tanaman brokoli secara in vitro.

Tujuan penelitian ialah menentukan keefektifan perlakuan fisik dan minyak nabati untuk mengeliminasi bakteri C. michiganensis subsp. michiganensis pada benih tomat tanpa merusak kualitas benih.

BAHAN DAN METODE

Benih tomat yang digunakan ialah varietas Tymoti F1 yang beredar di pasaran, C. michiganensis subsp. michiganensis merupakan koleksi Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian, Jakarta. Minyak atsiri yang digunakan adalah minyak atsiri komersial yang diproduksi oleh Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), Bogor; yakni berasal dari tanaman sirih (Piper betle), cengkeh (Syzygium aromaticum), serai (Cymbopogon citratus), dan pala (Myristica fragrans).

Penapisan Minyak Atsiri terhadap C. michiganesis subsp. michiganensis secara in vitro

Bakteri C. michiganensis subsp. michiganensis diremajakan pada medium yeast dextrose calcium agar (YDCA). Pengayaan bakteri dilakukan dari satu koloni tunggal bakteri dan disuspensikan ke dalam 500 mL medium nutrient broth (NB). Suspensi bakteri pada medium NB kemudian diinkubasi di inkubator bergoyang dengan kecepatan 150 rpm selama 24 jam (Rahma 2013).

Penapisan daya hambat minyak atsiri dilakukan menggunakan metode difusi cakram. Minyak atsiri yang digunakan terdiri

Page 26: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Wahyuni et al

138

atas minyak cengkeh, minyak serai, minyak sirih, dan minyak pala dengan konsentrasi 0.125, 0.25, 0.5, 1, 2, 4, dan 8%. Stok minyak atsiri dibuat dengan melarutkan minyak atsiri dalam air steril. Sebanyak 100 µL suspensi bakteri C. michiganensis subsp. michiganensis disebar secara merata pada medium nutrient broth yeast agar (NBYA). Kertas whatman berdiameter 0.5 cm diletakkan di atas permukaan medium yang sudah diberi suspensi bakteri. Kertas whatman ditetesi 10 µL minyak atsiri dan diinkubasi selama 48 jam. Sebagai kontrol negatif digunakan kertas whatman yang ditetesi air steril. Daya hambat minyak atsiri diamati dengan mengukur diameter zona bening di sekitar kertas whatman. Minyak atsiri yang mempunyai daya hambat paling baik digunakan untuk uji lanjut.

Penentuan Treatment Window Perlakuan Benih

Treatment window merupakan interval suhu atau dosis perlakuan untuk menghasilkan populasi patogen yang menurun, tetapi daya berkecambah benih tetap tinggi. Penentuan treatment window dilakukan pada bakteri C. michiganensis subsp. michiganensis dan benih tomat secara in vitro (Forsberg 2014). Perlakuan air panas diberikan dengan merendam benih dan tabung berisi suspensi bakteri (OD=0.2, 600 nm) setara dengan 3 × 108 cfu mL-1 di dalam penangas air pada suhu 40, 45, 50, 51, 52, 53, 54, 55, dan 60 °C selama 25 menit. Perlakuan panas kering dilakukan dengan menempatkan benih dan tabung berisi suspensi bakteri (OD=0.2, 600 nm) di dalam oven pada suhu 40, 45, 50, 60, dan 70 °C selama 24 jam. Perlakuan minyak sirih dilakukan dengan merendam benih dalam larutan minyak sirih pada konsentrasi 0.125, 0.25, 0.5, 1, 2, 4, dan 8% selama 25 menit.

Benih yang diberi perlakuan ditanam pada nampan plastik yang dilapisi tisu lembap. Pengamatan dilakukan terhadap vigor dan daya berkecambah benih. Suspensi bakteri yang diberi perlakuan diinkubasi di dalam inkubator bergoyang dengan kecepatan 150 rpm selama 24 jam. Kepadatan sel diukur berdasarkan nilai OD menggunakan spektrofotometer.

Data yang diperoleh dibuat grafik hubungan antara suhu atau konsentrasi perlakuan dengan daya berkecambah benih dan populasi bakteri. Interval suhu dan konsentrasi yang mampu menurunkan populasi bakteri dan mempertahankan daya kecambah benih yang tinggi (treatment window) digunakan untuk perlakuan selanjutnya.

Perlakuan Fisik dan Minyak Atsiri pada Benih Terinfeksi C. michiganensis subsp. michiganensis

Benih tomat diinokulasi C. michiganensis subsp. michiganensis secara buatan dengan merendamnya dalam suspensi bakteri (OD= 0.2, 600 nm) selama 60 menit. Selanjutnya benih dikeringanginkan selama 24 jam.

Perlakuan air panas dilakukan dengan merendam benih terinfeksi di dalam penangas air pada suhu 50, 53, dan 55 °C selama 25 menit.Perlakuan panas kering dilakukan dengan memasukkan benih tomat ke dalam oven pada suhu 60 dan 65 °C selama 24 jam. Perlakuan minyak sirih dilakukan dengan merendam benih tomat di dalam larutan minyak sirih konsentrasi 0.125, 0.25, dan 0.5% selama 25 menit.

Benih tomat yang telah diberi perlakuan ditanam pada nampan plastik berisi medium tanam steril yang berisi campuran tanah dan pupuk kandang (1:1 v/v). Peubah yang diamati ialah vigor dan daya berkecambah.

Pengaruh perlakuan terhadap populasi bakteri dilakukan dengan mengekstraksi benih tomat yang sudah diberi perlakuan dalam larutan NaCl 0.8% dengan perbandingan 1:10. Sebanyak 100 µL suspensi disebar pada medium NBYA kemudian diinkubasi selama 72 jam. Kepadatan populasi C. michiganensis subsp. michiganensis diamati dengan menghitung koloni yang tumbuh pada medium

Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan minyak atsiri terdiri atas 3 konsentrasi: 0.125, 0.25, dan 0.5%. Perlakuan air panas terdiri atas 3 suhu: 50, 53, dan 55 °C, sedangkan pengovenan terdiri atas 2 perlakuan, yaitu suhu 60 dan 65 °C. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Data yang diperoleh dianalisis ragam menggunakan SAS 9.1.3 dan dilanjutkan uji Duncan pada α 5%.

Page 27: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Wahyuni et al

139

Kombinasi Perlakuan Fisik dan Minyak Atsiri pada Benih Terinfeksi C. michiganensis subsp. michiganensis

Kombinasi perlakuan diberikan dengan merendam benih di dalam larutan minyak sirih konsentrasi 0.125, 0.25, dan 0.5% selama 25 menit di dalam gelas piala. Benih tersebut dipanaskan di dalam penangas air pada suhu 50, 53, dan 55 °C. Benih kemudian di oven pada suhu 60 dan 65 °C selama 24 jam.

Rancangan percobaan yang digunakan ialah split split plot dalam RAL dengan petak utama suhu panas kering, anak petak suhu air panas, dan anak anak petak konsentrasi minyak sirih. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Peubah yang diamati ialah viabilitas benih dan populasi bakteri. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam menggunakan SAS 9.1.3 dan dilanjutkan uji Duncan pada α 5%.

HASIL

Daya Hambat Minyak Atsiri terhadap C. michiganensis subsp. michiganensis

Pemberian minyak sirih dengan konsentrasi 8% menghasilkan diameter zona bening paling lebar (Tabel 1). Oleh karena itu, minyak sirih digunakan untuk uji lanjut.

Treatment Window Perlakuan BenihPerlakuan air panas pada suhu 50 °C

dapat menurunkan populasi C. michiganensis subsp. michiganensis dan suhu 55 °C

dapat mematikan bakteri ini. Perlakuan ini menghasilkan daya berkecambah benih tomat di atas 80% (Gambar 1a). Populasi bakteri C. michiganensis subsp. michiganensis menurun setelah perlakuan panas kering suhu 60 °C dan tidak menurunkan daya berkecambah benih (Gambar 1b). Perlakuan panas kering suhu 70 °C dapat mematikan bakteri. Perlakuan minyak sirih dengan konsentrasi 8% dapat mengeliminasi populasi C. michiganensis subsp. michiganensis. Perlakuan minyak sirih dengan konsentrasi lebih dari 0.5% menyebabkan daya berkecambah di bawah 80%. (Gambar 1c).

Berdasarkan treatment window, suhu perlakuan yang dapat digunakan untuk per-lakuan benih tomat terinfeksi C. michiganensis subsp. michiganensis ialah 50, 53, dan 55 °C untuk perlakuan air panas, suhu 60 dan 65 °C untuk perlakuan panas kering, dan konsentrasi 0.125, 0.25, dan 0.5% untuk perlakuan minyak sirih (Gambar 1a, 1b, dan 1c).

Perlakuan Fisik dan Minyak Atsiri pada Benih Terinfeksi C. michiganensis subsp. michiganensis

Perlakuan air panas yang direkomendasikan untuk perlakuan benih tomat ialah pada suhu 53 °C selama 25 menit. Perlakuan ini mengeliminasi bakteri hingga 90.94% dengan daya berkecambah sebesar 86.67%. Perlakuan panas kering yang paling baik ialah pada suhu 60 °C selama 24 jam dengan vigor dan daya berkecambah sama dengan perlakuan air panas

Tabel 1 Diameter zona bening dari aktivitas minyak atsiri terhadap bakteri Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis secara in vitro

Konsentrasi (%)

Diameter zona bening (mm)a

Minyak cengkeh Minyak sirih Minyak serai Minyak pala0 0.00 i 0.00 i 0.00 i 0.00 i0.25 9.00 efg 7.00 fgh 6.33 gh 5.67 h0.50 9.67 def 7.67 fgh 6.67 gh 6.33 gh1 11.33 de 7.67 fgh 7.00 fgh 7.00 fgh2 12.00 d 15.67 c 7.33 fgh 7.33 fgh4 17.33 bc 19.67 b 8.00 fgh 8.00 fgh8 19.33 b 27.33 a 9.00 efg 10.67 de

aAngka-angka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada α 5%)

Page 28: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Wahyuni et al

140

pada suhu 53 °C. Pemberian minyak sirih konsentrasi 0.125, 0.25, dan 0.5% pada benih terinfeksi menghasilkan daya kecambah benih tomat yang sama dan persentase eliminasi bakteri di atas 99% (Tabel 2).

Kombinasi Perlakuan Fisik dan Minyak Atsiri pada Benih Terinfeksi C. michiganensis subsp. michiganensis

Kombinasi perlakuan air panas suhu 55 °C,minyak sirih 0.5% selama 25 menit, dan panas kering pada suhu 60 °C selama 24 jam mampu mengeliminasi populasi bakteri paling

tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Kombinasi tersebut menghasilkan daya berkecambah benih hingga 100% (Tabel 3).

PEMBAHASAN

Minyak sirih mempunyai daya hambat paling besar terhadap C. michiganensis subsp. michiganensis dibandingkan dengan minyak cengkeh, minyak serai, dan minyak pala. Keefektifan minyak sirih dalam menghambat bakteri disebabkan kandungan senyawa flavonoid, tanin, dan minyak atsiri. Flavonoid mempunyai sifat sebagai koagulator protein, mengganggu integritas sel bakteri dengan membentuk senyawa kompleks pada permukaan sel bakteri. Minyak atsiri sirih mengandung senyawa kavikol, allipirokatekol, kavibetol, metil kavikol, metil eugenol, 1.8-sineol, eugenol, kariofilena, dan kadinena (Suppakul et al. 2006). Senyawa-senyawa tersebut bersifat hidrofobik dan menyebabkan peningkatan permeabilitas membran sel bakteri sehingga sel bakteri akan mengalami kerusakan. Ekstrak sirih konsentrasi 2% mampu mematikan X. campestris pv.campestris sebesar 100% secara in vitro dan 99.9% pada benih kubis terinfeksi (Fitriawati 2012).

Perlakuan air panas suhu 53 °C selama 25 menit dapat direkomendasikan untuk perlakuan benih tomat karena perlakuan ini dapat menurunkan populasi bakteri dengan daya berkecambahnya di atas 80%. Secara umum pengaruh panas terhadap bakteri patogen meliputi perubahan dalam struktur dinding dan inti sel, denaturasi protein, kerusakan mitokondria, gangguan pada membran vakuola, sitoplasma, keluarnya senyawa lipid, kerusakan hormon, berkurangnya oksigen pada jaringan, dan gangguan metabolisme di dalam sel bakteri (Nega et al. 2003). Perlakuan air panas suhu 55 °C selama 25 menitmenyebabkan daya berkecambah benih rendah. Air panas suhu tersebut tidak mampu mematahkan dormansi benih, tetapi menyebabkan kerusakan benih khususnya bagian embrio sehingga menurunkan perkecambahan benih. Perlakuan air panas

Gambar 1 Pengaruh perlakuan fisik dan minyak sirih terhadap daya berkecambah benih tomat dan populasi bakteri. a, air panas; b, suhu kering; dan c, minyak sirih. tw, daerah treatment window. K, Kontrol; , Daya kecambah (%); dan , Populasi bakteri (log cfu mL-1).

0

2

4

6

8

10

12

0

20

40

60

80

100

120

0.05 0.25 0.50 0.125 1 2 4 8

tw

Konsentrasi (%)

a

b

c

024681012

020406080

100120

kontrol 40 45 50 60 70K 40 45 50 7060

tw

Suhu (°C)

Day

a be

rkec

amba

h (%

)

Popu

lasi

bak

teri

(log

cfu

mL-1

)

024681012

020406080

100120

Kon

trol

40 45 50 51 52 53 54 55 60

tw

K 40 45 50 51 52 53 54 55 60Suhu (°C)

Page 29: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Wahyuni et al

141

suhu 50 °C selama 60 menit dapat mengurangi populasi bakteri X. campestris pv. carotae pada benih wortel dan mampu mengeliminasi populasi bakteri tersebut pada suhu 53 °C selama 10 menit (Nega et al. 2003). Panas kering merusak struktur dinding sel bakteri dan menyebabkan terjadinya denaturasi dan agregasi protein sehingga bakteri menjadi inaktif (Kubota et al. 2012). Perlakuan panas kering pada suhu 60 °C selama 24 jam juga dapat mematikan bakteri P. stewartii subsp. stewartii sebesar 100 % secara in vitro (Nalis et al. 2015).

Peningkatan vigor dan daya berkecambah benih tomat setelah perlakuan minyak sirih disebabkan minyak sirih menekan populasi bakteri C. michiganensis subsp. michiganensis. Pemberian perlakuan minyak sirih dapat menekan populasi bakteri C. michiganensis subsp. michiganensis pada benih tomat terinfeksi, menaikkan vigor, dan daya berkecambah benih tomat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Zainal et al (2010), yaitu ekstrak daun sirih dapat mengeliminasi bakteri C. michiganensis subsp. michiganensis dan menghasilkan perkecambahan benih, laju perkecambahan, dan keseragaman tumbuh

yang tinggi setelah benih diberi perlakuan. Kombinasi perlakuan air panas suhu 55 °C,

minyak sirih konsentrasi 0.5% selama 25 menit dan panas kering dengan suhu 60 °C selama 24 jam efektif mengeliminasi populasi bakteri C. michiganensis subsp. michiganensis pada benih tomat dibandingkan dengan perlakuan yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Oleh karena itu, kombinasi ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif mengileminasi C. michiganensis subsp. michiganensis pada benih tomat. Perlakuan panas kering selain bertujuan mengeliminasi populasi C. michiganensis subsp. michiganensis, juga mengeringkan benih agar lebih lama disimpan.

Pengaruh perlakuan panas kering setelah perlakuan minyak sirih dan air panas meningkatkan daya berkecambah benih tomat. Hasil penelitian Farooq et al. (2006), pemberian panas kering suhu 50 °C dan 60 °Cselama 24 jam pada benih tomat mampu meningkatkan daya berkecambah dan vigor dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan.

Perlakuan yang paling efektif untuk mengendalikan bakteri C. michiganensis subsp. michiganensis pada benih tomat ialah

Tabel 2 Vigor, daya berkecambah benih, dan populasi bakteri Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis pada berbagai taraf suhu air panas, panas kering, dan konsentrasi minyak sirih

Perlakuan Vigor benih (%)a

Daya berkecambah (%)a

Populasi bakteri(log10 cfu g-1 benih)a

Persentase eliminasib

Air PanasKontrol 61.11 b 71.11 ab 6.59 a 0.0050 °C 81.11 a 82.22 a 5.86 b 81.2053 °C 80.00 a 86.67 a 5.55 c 90.9455 °C 45.56 b 52.22 b 5.28 d 95.04

Panas Kering 60 °C 68.89 a 81.11 a 5.81 b 85.1365 °C 57.78 a 67.78 a 5.42 c 94.23

Minyak Sirih0.125% 93.33 a 94.45 a 4.16 b 99.630.25% 91.11 a 92.22 a 3.82 c 99.820.50% 75.55 ab 80.00 a 3.76 c 99.84

a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada α 5%).b Dihitung dengan rumus = ([T0–TS]/T0) x 100%; T0, populasi bakteri C. michiganensis subsp. michiganensis tanpa perlakuan benih; dan TS, populasi bakteri C. michiganensis subsp. michiganensis setelah perlakuan.

Page 30: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Wahyuni et al

142

Tabe

l 3 D

aya

berk

ecam

bah

beni

h to

mat

dan

pop

ulas

i bak

teri

Cla

viba

cter

mic

higa

nens

is su

bsp.

mic

higa

nens

is h

asil

dari

kom

bina

si b

erba

gai t

araf

ko

nsen

trasi

min

yak

sirih

, suh

u ai

r pan

as d

an su

hu p

anas

ker

ing

Ove

nan

Air

pana

sM

inya

k si

rihV

igor

(%

)D

aya

berk

ecam

bah

(%)

Popu

lasi

bak

teri

(log

10 c

fu g

-1 b

enih

)0.

125%

0.25

%0.

50%

0.12

5%0.

25%

0.50

%0.

125%

0.25

%0.

50%

Kon

trol

Kon

trol

93.3

3 a

91.1

1 a

75.5

5 b

94.4

5 ab

92.2

2 ab

cd 8

0.00

g4.

16 a

bc3.

82 b

cde

3.76

bcd

ef50

°C 4

.44

kl 5

.56

kl 7

.78

kl95

.56

ab70

.00

hi 5

9.97

j4.

56 a

3.54

cde

fgh

3.32

efg

hij

53 °C

10.0

0 jk

l 5

.56

kl13

.33

hijk

l84

.44

cdef

g77

.78

gh 8

2.22

efg

4.33

ab

3.16

efg

hij

3.06

efg

hij

55 °C

22.2

2 fg

hi25

.56

fg11

.11

jkl

77.7

8 gh

82.2

2 ef

g 6

3.33

ij4.

12 a

bcd

3.26

efg

hij

2.90

ghi

jk60

°CK

ontro

l61

.113

c37

.78

de45

.56

d81

.11

fg84

.44

cdef

g 9

1.11

abc

de3.

56 c

deg

3.41

cde

fgh

3.42

cde

fgh

50 °C

20.0

0 fg

hij

15.5

6 fg

hijk

23.3

3 fg

h92

.22

abcd

92.2

2 ab

cd 9

3.33

abc

3.43

cde

fgh

3.26

efg

hij

3.20

efg

hij

53 °C

23.3

3 fg

h12

.22

ijkl

32.2

2 ef

90.0

0 bs

def

91.1

1 ab

cde

92.

22 a

bcd

3.41

cde

fgh

3.36

def

ghi

3.31

efg

hij

55 °C

68.8

9 bc

6.6

7 kl

14.4

4 hi

jkl

65.5

6 a

97.7

8 b

100.

00 a

3.34

def

ghij

3.16

efg

hij

1.80

m65

°CK

ontro

l68

.89

bc

72.2

2 b

72.2

2 b

95.5

6 ab

97.7

8 ab

100.

00 a

3.02

efg

hijk

2.56

ijkl

2.28

klm

50 °C

31.1

1 ef

23.3

3 fg

h37

.78

de97

.78

ab97

.78

ab 9

7.78

ab

3.21

efg

hij

3.02

efg

hijk

2.74

hijk

53 °C

10.0

0 jk

l 6

.67

kl37

.78

de94

.44

ab93

.33

acb

94.

44 a

b3.

15 e

fghi

j3.

00 fg

hijk

2.55

jkl

55 °C

12.2

2 ijk

l 5

.56

kl 3

.33

l81

.11

fg83

.33

defg

83.3

3 de

fg3.

22 e

fghi

j3.

18 e

fghi

j1.

96 k

lA

ngka

-ang

ka y

ang

diik

uti h

uruf

yan

g sa

ma

pada

kol

om y

ang

sam

a pa

da p

euba

h ya

ng sa

ma

men

unju

kkan

tida

k be

rbed

a ny

ata

men

urut

uji

DM

RT 5

%)

Page 31: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Wahyuni et al

143

kombinasi perlakuan minyak sirih dengan konsentrasi 0.5 %, air panas pada suhu 55 °C selama 25 menit, dilanjutkan panas kering pada suhu 60 °C selama 24 jam. Kombinasi perlakuan ini hampir memusnahkan populasi bakteri C. michiganensis subsp. michiganensis dan mempertahankan daya berkecambah benih mencapai 100%.

DAFTAR PUSTAKA

[CABI] Centre in Agricultural and Biologcal Instiute. 2016. Datasheet: Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis (bacterial canker tomato). http://www.cabi.org/isc/datasheet/15338. [diakses 22 Maret 2016].

Dhanvantari BN, Brown RJ. 1993. Improved seed treatments for control of bacterial canker of tomato. Can J Plant Pathol. 15(3):201–205. DOI:https://doi.org/10.1080/07060669309500823.

[EPPO] European and Mediterranian Plant Protection Organization. 2013. Data Sheets on quarantine pests Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis. https://www.eppo.int/QUARANTINE/data_sheets/bacteria.[ diakses 2016 Mei 25].

Farooq M, Basra SMA, Salem BA, Nafees M. 2008. Germination, seedling vigor and electrical conductivity of seed leachates as affected by dry heat treatment of tomato seeds. Acta Horti. 771:43–50. DOI:http://dx.doi.org/ 10.17660/ActaHortic.2008.771.5.

Fitriawati N. 2012. Keefektifan ekstrak empat jenis tumbuhan dan kitosan terhadap bakteri Xanthomonas campestris pv. campestris penyebab penyakit busuk hitam pada kubis [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Forsberg G. 2001. Heat sanitation of cereal seeds with a new, efficient, cheap and environmentally friendly method. Di dalam: Proceedings of Symposium no. 76 of the British Crop Protection Council: Seed Treatment, Challenges and Opportunities. Farnham (UK): BCPC. Hlm. 69–72.

Kasselaki AM, Goumas D, Tamm L, Fuchs J, Cooper J, Leifert C. 2011. Effect of alternative strategies for the disinfestion of tomato seed infected with bacterial canker (Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis). J Life Sci. 58(2011):145–147. DOI:10.1016/j.nj12.2011.07.001.

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2015. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51/Permentan/KR.010/9/2015 tentang Jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina. Jakarta (ID): Kementan.

Kubota M, Hagiwara N, Shirakawa T. 2012. Disinfection of seeds of cucurbit crops infested with Acidovorax citrulli with dry heat treatment. J Phytopathol. 12:1–5. DOI: https://doi.org/10.1111/j.1439-0434.2012.01913.x.

Nalis S, Suastika G, Giyanto. 2015. Perlakuan panas kering dan bakterisida untuk menekan infeksi Pantoea stewartii subsp. stewartii pada benih jagung manis. J Fitopatol Indones. 11(4): 128–135. DOI: 10.14692/jfi.11.4.128.

Nega E, Ulrich R, Welner S, Jahn M. 2003. Hot water treatment of vegetable seed, an alternative seed treatment method to control seedborne pathogens in organik farming. J Plant Dis Prot. 110(3):220–234.

Rahma H. 2013. Kajian penyakit layu stewart pada jagung yang disebabkan oleh Pantoea stewartii subsp. stewartii dan pengendaliannya [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rachmawati AY. 2009. Pengaruh perlakuan matriconditioning plus bakterisida sintetis atau nabati untuk mengendalikan hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) terbawa benih serta meningkatkan viabilitas dan vigor benih padi (Oryza sativa) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sen Y, Wolf JVD, Visser RGF, Van Heusden S. 2015. Bacterial canker of tomato: current knowledge of detection, management, resistance, and interations. Plant Dis. 99(1): 4–13. DOI: https://doi.org/10.1094/PDIS-05-14-0499-FE.

Page 32: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Wahyuni et al

144

Suppakul P, Sanlaead N, Phoopuritham P. 2006. Antimicrobial and antioxidant activity of betel oil. Kasetsart J. 40(1):91–100.

Werner NA, Fulbrigt DW, Podolsky R, Bell J, Hausbeck MK. 2012. Limiting populations and spread of Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis on seedling tomatoes in the greenhouse. Plant Dis: 85(5):535–542.

Zainal Abidin, Anwar A, Ilyas S, Giyanto. 2010. Efektifitas ekstrak tumbuhan untuk mengeliminasi Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis pada benih tomat. J Agron Indones. 38(1):52–59.

Page 33: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

145

ISSN: 0215-7950

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper, Kampus IPB,Darmaga, Bogor 16680 Tel: 0251-7533525, Faks : 0251-8629364, Surel: [email protected]

Volume 13, Nomor 4, Juli 2017Halaman 145–152

DOI: 10.14692/jfi.13.4.145

Identifikasi Molekuler Fitoplasma yang Berasosiasi dengan Tanaman Kaktus Hias Opuntia sp.

Molecular Identification of Phytoplasma Associated with Ornamental Opuntia sp.

Ariny Prasetya, Kikin Hamzah Mutaqin*, Meity Suradji Sinaga, GiyantoInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Kaktus (Opuntia sp.) merupakan tanaman sukulen yang populer dijadikan tanaman hias. Jenis kaktus hias tertentu di Indonesia yang menunjukkan gejala proliferasi dan pola mosaik hijau telah dilaporkan terinfeksi fitoplasma. Namun, fitoplasma yang berasosiasi dengan gejala pada kaktus tersebut belum teridentifikasi secara molekuler. Penelitian ini bertujuan mendiagnosis fitoplasma yang berasosiasi dengan Opuntia sp. secara molekuler, yaitu menggunakan PCR standar dikombinasikan dengan nested-PCR, kloning, dan perunutan DNA. PCR standar dilakukan menggunakan pasangan primer P1/P7, dilanjutkan dengan nested-PCR dengan pasangan primer R16F2n/R16R2 dan fU5/rU3 secara terpisah yang dapat mengamplifikasi target gen 16S rRNA berturut-turut pada ukuran 1.2 kpb dan 880 pb. Amplikon DNA hasil nested-PCR dengan pasangan primer R16F2n/R16R2 selanjutnya dipilih untuk dikloning, dan perunutan nukleotida. Analisis BLASTn menunjukkan bahwa fitoplasma pada Opuntia sp. memiliki kedekatan dengan fitoplasma grup 16SrII. Analisis filogenetika dan RFLP in silico menunjukkan bahwa galur fitoplasma yang menginfeksi Opuntia sp. termasuk anggota subgrup 16SrII-C (cactus witches’ broom phytoplasma). Identifikasi dan klasifikasi molekuler cactus witches’broom phytoplasma pada tanaman Opuntia sp. baru pertama kali dilaporkan di Indonesia.

Kata kunci: analisis BLASTn, grup 16SrII-C, nested-PCR, RFLP in silico

ABSTRACT

Cactus species (Opuntia sp.) is a popular ornamental succulent plant. Some ornamental cactus species in Indonesia showing proliferation and green mosaic pattern symptoms have been reported to be associated with phytoplasma infection. However, further molecular identification for accurate classification of the causal phytoplasma has not been done. This study aimed to diagnose phytoplasma associated with Opuntia sp. based on molecular methods involving PCR standard combined with nested-PCR, cloning and DNA sequencing. Standard PCR was carried out using P1/P7 primers followed by nested-PCR using R16F2n/R16R2 or fU5/rU3 primer pairs which amplify the 16S rRNA gene targets of 1.2 kb and 880 bp, respectively. Amplified fragment of nested-PCR using R16F2n/R16R2 primers was chosen to be cloned and sequenced for further identification and classification of phytoplasma. BLASTn analysis showed that the phytoplasma from Opuntia sp. was closely related to 16SrII group. Phylogenetic analysis and in silico RFLP indicated that phytoplasma strain infecting Opuntia sp. was a member of subgroup 16SrII-C (cactus witches’ broom phytoplasma). This is a newly report of cactus witches’ broom phytoplasma on Opuntia sp. in Indonesia.

Key words: BLASTn analysis, group of 16SrII-C, nested-PCR, RFLP in silico

Page 34: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Prasetya et al

146

PENDAHULUAN

Kaktus (Opuntia sp.) termasuk tanaman yang rentan terhadap infeksi fitoplasma. Penyakit yang disebabkan fitoplasma pada Opuntia spp. bergejala khas seperti sapu dan pola mosaik hijau pada epidermis (Cai et al. 2008) dan telah dilaporkan di berbagai negara antara lain Cina, Libanon, Meksiko, dan Italia (Dewir 2016).

Klasifikasi dan penamaan fitoplasma berdasarkan pada gen 16S rRNA mengacu pada sistem taksonomi untuk bakteri yang tidak dapat dikulturkan (Murray dan Schleifer 1994). Total dari 19 grup yang telah diketahui (grup16S rRNA atau subgrup 16Sr) dapat dibedakan dengan analisis restriction fragment length polymorphism (RFLP) dari amplifikasi sikuen 16S rRNA atau 28 grup berdasarkan analisis RFLP in silico (Wei et al. 2007). Keberadaan fitoplasma pada Opuntia sp. berhasil dideteksi oleh Mutaqin (2000) melalui teknik PCR standar menggunakan pasangan primer P1/P7, namun belum diidentifikasi galur fitoplasmanya. Titer fitoplasma dalam jaringan tanaman yang sangat rendah sering menghasilkan false negative dalam PCR standar. Oleh karena itu pengamatan fitoplasma dilakukan melalui nested-PCR menggunakan pasangan primer untuk re-amplifikasi DNA sasaran secara internal dalam wilayah sasaran PCR standar (Gundersen dan Lee 1996). Penelitian ini bertujuan mendiagnosis fitoplasma yang berasosiasi dengan Opuntia sp. dengan PCR standar yang dikombinasikan dengan nested PCR, kloning dan perunutan DNA.

BAHAN DAN METODE

Isolasi DNA Total Fitoplasma Tanaman kaktus yang diduga terinfeksi

fitoplasma diperoleh dari Tangerang-Banten, Indonesia (S: 06°15.651’; E: 106°36.098’). Isolasi DNA total kaktus ini dilakukan sesuai prosedur kerja kit ekstraksi DNeasy Plant Mini Kit (Qiagen, Germany).

Sebanyak 0.1 g tanaman kaktus sakit digerus dan ditambahi 400 µL bufer AP1 dan

4 µL RNase A. Hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabung mikro ukuran 2 mL dan divortex perlahan, diinkubasikan selama 10 menit padasuhu 65 °C sambil dibolak-balik setiap 5 menit,selanjutnya ditambah 130 µL bufer P3, dihomogenkan, dan diinkubasikan dalam es selama 5 menit. Selanjutnya suspensi disentrifugasi pada kecepatan 14 000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang terbentuk diambil dan dipindahkan ke kolom ungu, dan disentrifugasi pada kecepatan 14 000 rpmselama 2 menit. Larutan yang ada pada tabung penampung diambil dan dipindahkan ke tabung mikro ukuran 2 mL. Selanjutnya, larutan ditambahi bufer AW1 sebanyak 1.5 kali volume. Campuran suspensi dipindahkan ke kolom putih dan disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Setelah itu, kolom bagian atas dipindahkan ke tabung penampung baru dan ditambahi 500 µL bufer AW2 dan disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Larutan yang berada di kolom bagian bawah dibuang. Kemudian larutan pada kolom atas ditambahkan lagi 500 µL bufer AW2, dan disentrifugasi pada kecepatan 14 000 rpm selama 2 menit. Kolom bagian atas dipindahkan ke tabung mikro ukuran 2 mL dan ditambahkan bufer AE sebanyak 50 µL, diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang dan disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 1 menit untuk menampung DNA total hasil ekstraksi yang akan digunakan sebagai cetakan untuk amplifikasi DNA fitoplasma.

Amplifikasi DNA FitoplasmaDeteksi fitoplasma dengan PCR standar

menggunakan pasangan primer P1/P7 (Deng dan Hiruki 1991; Schneider et al. 1995). Reaksi PCR standar pada volume total 25 µLterdiri atas 12.5 µL 2X DreamTaq Green PCR Master Mix (Thermo Scientific, USA), 1 µL (5 pmol) primer forward dan reverse, 1 µL (20 ng µL-1) DNA templat, dan 9.5 µL air bebas nuklease. PCR standar dilakukan dengan program denaturasi awal pada suhu 92 °C selama 1 menit; sebanyak 35 siklus denaturasi pada suhu 95 °C selama 1 menit, penempelan primer pada suhu 55 °C selama 1 menit, dan ekstensi pada suhu 72 °C selama

Page 35: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Prasetya et al

147

1.5 menit, ekstensi akhir pada suhu 72 °C selama 10 menit. Amplikon DNA hasil PCR standar (pengenceran 1:30) selanjutnya digunakan sebagai DNA templat dalam nested-PCR menggunakan pasangan primer R16F2n/R16R2 (Gundersen dan Lee 1996) dan fU5/rU3 (Lorenz et al. 1993). Nested-PCR dilakukan dengan kondisi reaksi dan siklus yang sama dengan PCR standar. PCR standar/nested-PCR menggunakan mesin PCR Applied Biosystems Veriti 96 Well Thermal Cycler (Applied Biosystems, USA).

DNA hasil amplifikasi PCR di-elektroforesis menggunakan gel agarosa 1% yang mengandung peqgreen (PeqLab) pada tegangan 70 Volt DC selama 45 menit. Fragmen DNA diamati pada Molecular Imager (BioRad Gel DocTMXR+) yang dilengkapi dengan Image LabTM Software.

Kloning dan Perunutan DNA Fitoplasma Amplikon DNA hasil nested-PCR meng-

gunakan primer R16F2n/R16R2 dipurifikasi menggunakan GeneJET Gel Extraction Kit (Thermo Scientific, USA). Elusi DNA diligasikan pada vektor TA-kloning pTZ57R/T (InsTAClone kit) dan ditransformasi pada sel bakteri Escherichia coli DH5α sesuai dengan petunjuk pembuat kit (Thermo Scientific, USA). Klon rekombinan diseleksi dengan koloni PCR menggunakan pasangan primer M13/pUC (-20) forward dan M13/pUC (-26) reverse.

Transforman yang positif mengandung DNA sisipan diperbanyak dalam media Luria Bertani cair 2 mL yang mengandung 50 mg mL-1 antibiotik ampisilin. Plasmid DNA fitoplasma dipurifikasi menggunakan GeneJET Plasmid Miniprep Kit (Thermo Scientific, USA). Perunutan nukleotida DNA fitoplasma dilakukan di Laboratorium First Base Malaysia. Hasil perunutan nukleotida diolah menggunakan perangkat lunak Sequence Scanner v1.0 dan CLC sequence viewer 6.7.1.

Analisis Urutan Nukleotida 16S rRNASikuen nukleotida dikonfirmasi ke

pangkalan data sikuen nukleotida di National Center for Biotechnology Information (NCBI)

melalui program basic local alignment search tool (BLAST) untuk melihat kemiripannya dengan sikuen DNA fitoplasma yang telah tersimpan di GenBank. Hubungan kekerabatan genetika dianalisis dengan piranti lunak MEGA 7.0.18 menggunakan metode neighbor-joining dalam bootstrap 1000 ulangan. Acholeplasma laidlawii (M23932) digunakan sebagai pembanding di luar grup. Pohon filogenetika dikonstruksi berdasarkan wilayah gen 16S rRNA CaWB-Tng dan strain referensi subgrup fitoplasma 16SrII-A (peanut witches broom phytoplasma, L33765), 16SrII-B (Ca. Phytoplasma aurantifolia), 16SrII-C (cactus witches’ broom phytoplasma, AJ293216), dan anggota subgrup 16SrII yang menginfeksi tanaman kaktus berdasarkan Cai et al. (2008).

Analisis restriction fragment length polymorphism (RFLP) secara in silico terhadap sikuen DNA yang ada dilakukan dengan program pDRAW32 (AcaClone Software, http://www.acaclone.com). Pemotongan sikuen DNA secara in silico pada komputer menggunakan 17 macam enzim restriksi, yakni AluI, BamHI, BfaI, BstUI, DraI, EcoRI, HaeIII, HhaI, HinfI, HpaI, HpaII, KpnI, MboI, MseI, RsaI, SspI, dan TaqI. Identifikasi pola RFLP in silico dan penghitungan koefisien kesamaan dilakukan menurut Wei et al. (2007).

HASIL

Deteksi Fitoplasma Tanaman Opuntia sp. yang terinfeksi

fitoplasma di daerah Tanggerang-Banten menunjukkan gejala pertumbuhan tunas-tunas batang berukuran kecil dalam jumlah banyak (proliferasi) dan adanya pola mosaik warna hijau kemerah-merahan atau putih pucat (Gambar 1).

Deteksi fitoplasma dengan PCR standar menggunakan pasangan primer P1/P7 hanya mengamplifikasi secara universal kelompok fitoplasma pada daerah sepanjang gen 16S rRNA-spacer region-pangkal gen 23S rRNA. Hasil PCR standar tidak memperlihatkan adanya pita DNA berukuran ± 1800 pb (Gambar tidak ditampilkan).

Page 36: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Prasetya et al

148

Deteksi fitoplasma juga dilakukan melalui amplifikasi DNA dengan metode nested-PCR. Amplifikasi menggunakan amplikon DNA PCR standar yang diencerkan dan pasangan primer R16F2n/R16R2 dan fU5/rU3 berhasil mengamplifikasi fragmen DNA fitoplasma pada wilayah gen internal 16S rRNA dari situs primer P1/P7. Hasil deteksi dengan nested-PCR berhasil mengamplifikasi pita DNA berukuran ± 1250 pb dan ± 880 pb (Gambar 2).

Analisis Urutan Nukleotida 16S rRNAFitoplasma yang menyebabkan proliferasi

dan mosaik pada Opuntia sp. (CaWB-Tng) menunjukkan tingkat kemiripan 99% dengan semua isolat fitoplasma yang terdapat pada pangkalan data GenBank serta jumlah basa yang sama dan sejajar (query cover) 99–100%. Tingkat kemiripan (99%) dan query cover (99%) tertinggi, yaitu dengan Ca. Phytoplasma aurantifolia isolat TP01 pada Tephrosia purpurea (Fabaceae) yang ditemukan di India (HG792252). Ca. Phytoplasma aurantifolia isolat TP01 merupakan fitoplasma anggota grup 16SrII (peanut witches’ broom (PnWB) group).Analisis filogenetika menunjukkan CaWB-Tng memiliki hubungan kekerabatan cukup dekat dengan fitoplasma subgrup 16SrII-C (AJ293216) (Gambar 3).

Perbandingan pola RFLP 16S rRNA CaWB-Tng dan CaWB-Cina (AJ293216) dilakukan secara in silico menggunakan 17 enzim restriksi untuk melihat pola

pemotongan pita DNA antara keduanya (Gambar 4). Penggunaan enzim MseI pada RFLP in silico memperlihatkan adanya satu pita DNA yang berbeda ukuran. Pola pita DNA CaWB-Tng terdiri atas enam pita berukuran 544, 259, 131, 109, 60, dan 50 pb. Sedangkan, CaWB (AJ293216) menghasilkan enam pita DNA berukuran 544, 259, 131, 92, 60, dan 50 pb. Nilai koefisien kesamaan antara CaWB-Tng dengan galur referensi subgrup 16SrII ialah di atas 0.92. CaWB-Tng memiliki nilai koefisien kesamaan tertinggi, yaitu 0.98 dengan CaWB phytoplasma isolat YN01 (AJ293216) asal Cina, anggota subgrup fitoplasma 16SrII-C (Tabel 1).

PEMBAHASAN

Fitoplasma merupakan bakteri patogen obligat yang tidak memiliki dinding sel dari kelas Mollicute. Sistem penamaannya masih sebatas Ca. Phytoplasma spp. (Dickinson et al. 2013) sehingga sulit untuk menentukan karakter fenotipe yang berguna untuk identifikasi dan klasifikasi fitoplasma (Lee et al. 2000). Pada awal tahun 1990an, teknik PCR dikembangkan untuk mendeteksi keberadaan fitoplasma di dalam jaringan tanaman dan serangga vektor (Namba et al. 1993).

Infeksi fitoplasma pada tanaman poinsettia menyebabkan pertumbuhan tunas aksilari lebih banyak sehingga tanaman menghasilkan banyak bunga dan berukuran kecil yang menarik

Gambar 1 Gejala infeksi fitoplasma subgrup 16SrII-C pada Opuntia sp.: a, Opuntia sp terinfeksi fitoplasma; b, Gejala proliferasi; dan c, Pola mosaik hijau kemerahan atau hijau pucat.

b ca

Page 37: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Prasetya et al

149

Gambar 2 Fragmen DNA fitoplasma hasil nested-PCR menggunakan primer R16F2n/R16R2 untuk lajur 1 dan 2, dan primer fU3/rU5 untuk lajur 3 dan 4. M, Penanda 1 kb (Thermo Scientific); 1 dan 3, Opuntia sp. sakit; 2 dan 4, kontrol negatif (air bebas nuklease).

M 4321

1250 pb880 pb

untuk ditumbuhkan dalam pot (Bertaccini dan Duduk 2009). Gejala proliferasi dan mosaik pada Opuntia sp. memberikan penampilan yang lebih menarik pada tanaman sehingga terus dibudidayakan dan diperjuabelikan yang menyebabkan fitoplasma tersebar luas. Hal ini dapat berisiko terhadap keanekaragaman hayati tanaman famili Cactaceae. Penularan fitoplasma ke tanaman lainnya dapat terjadi melalui vektor serangga. Oleh karena itu, lalu lintas tanaman kaktus perlu diwaspadai untuk menghindari penyebaran penyakit.

Fragmen DNA fitoplasma yang tidak terlihat pada PCR standar dapat terjadi karena konsentrasi DNA fitoplasma yang rendah sehingga belum cukup untuk memperlihatkan adanya fragmen DNA saat divisualiasasi pada gel agarosa. Menurut Bertaccini et al. (2007), konsentrasi DNA fitoplasma kurang dari 1% dari DNA total yang diekstraksi dari jaringan tanaman. Konsentrasi sel fitoplasma di dalam jaringan floem bergantung pada lingkungan, bagian tanaman, dan spesies tanaman. Selain itu, adanya inhibitor di dalam tanaman seperti

Gambar 3 Pohon filogenetika yang menggambarkan hubungan kekerabatan CaWB-Tng dengan strain fitoplasma grup 16SrII yang tersimpan di GenBank menggunakan program MEGA 7.0.18.

Page 38: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Prasetya et al

150

tanin dan polisakarida dapat memengaruhi keberhasilan amplifikasi DNA saat proses PCR (Adhikari et al. 2012).

Oleh karena itu, optimasi amplifikasi DNA perlu dilakukan menggunakan teknik nested-PCR. Pada penelitian ini, amplikon PCR standar yang diencerkan dijadikan cetakan pada teknik nested-PCR dimaksudkan untuk mengurangi konsentrasi inhibitor sehingga amplifikasi DNA fitoplasma lebih optimal.

Terbentuknya pita DNA berukuran ± 1250 pbdan ± 880 pb pada tahap nested-PCR membuktikan keberadaan fitoplasma di dalam jaringan tanaman.

Analisis filogenetika menggambarkan hubungan kekerabatan urutan nukleotida DNA fitoplasma yang diperoleh dan urutan nukleotida gen 16S rRNA fitoplasma lainnya yang telah tersimpan di GenBank. Fitoplasma yang menginfeksi Opuntia sp. memiliki

No. Aksesi Galur pembanding Subgrup Koefisien kesamaan terhadap galur pembanding

L33765 PnWB Phytoplasma 16SrII-A 0.92U15442 Ca. Phytoplasma aurantifolia 16SrII-B 0.92AJ293216 CaWB Phytoplasma 16SrII-C 0.98EU099563 CaWB Phytoplasma 16SrII-C 0.98EU099556 CaWB Phytoplasma 16SrII-F 0.95EU099558 CaWB Phytoplasma 16SrII-G 0.95EU099569 CaWB Phytoplasma 16SrII-H 0.94EU099552 CaWB Phytoplasma 16SrII-I 0.92EU099572 CaWB Phytoplasma 16SrII-J 0.92EU099568 CaWB Phytoplasma 16SrII-K 0.95EU099546 CaWB Phytoplasma 16SrII-L 0.92

Tabel 1 Koefisien kesamaan hasil analisis pola RFLP in silico CaWB-Tng terhadap galur pembanding dari GenBank

Gambar 4 Analisis RFLP in silico menggunakan 17 enzim restriksi pada gel agarosa 3%. a, pola RFLP in silico CaWB-Tng; b, pola RFLP in silico CaWB (AJ293216, 16SrII-C); M, molecular weight φX174DNA-HaeIII digestion.

A

B

M AluI

Bam

HI

BfaI

BstU

I

Dra

IEc

oRI

Hae

III

Hha

IH

infI

Hpa

IH

paII

KpnI

Mbo

IM

seI

RsaI

SspI

TaqI

M

Page 39: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Prasetya et al

151

kekerabatan dengan fitoplasma anggota subgrup 16SrII-C, (cactus withes’ broom phytoplasma). Nilai koefisien kesamaan berdasarkan RFLP in silico juga menunjukkan CaWB-Tng memiliki tingkat kesamaan yang tinggi dengan subgrup 16SrII-C. Fitoplasma subgrup 16SrII-C sebelumnya telah dilaporkan menginfeksi Opuntia ficus-indica di Italia (AY995133) dan Cina (JN582265; EU099563) (Dewir 2016). Hasil penelitian ini merupakan identifikasi molekuler fitoplasma cactus witches’ broom group (16SrII-C) pada Opuntia sp. yang menunjukkan gejala proliferasi dan pola mosaik hijau.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada BPPSDMP Kementerian Pertanian dan BBKP Soekarno Hatta atas beasiswa dan dana penelitian serta fasilitas laboratorium yang diberikan kepada AP.

DAFTAR PUSTAKA

Adhikari S, Chattopadhyay SK, Ghosh PD. 2012. A simplified high yielding genomic DNA extraction protocol for three chemotypically different plant species. Ind J Biotech. 11:337–340.

Bertaccini A. 2007. Phytoplasmas: diversity, taxonomy, and epidemiology. Front Biosci. 12(2):673–689. DOI: https://doi.org/10.2741/2092.

Bertaccini A, Duduk B. 2009. Phytoplasma and phytoplasma diseases: a review of recent research. Phytopathol Mediterr. 48:355–378. DOI: http://dx.doi.org/10.14601/Phytopathol_Mediter-3300.

Cai H, Wei W, Davis RE, Chen H, Zhao Y. 2008. Genetic diversity among phytoplasmas infecting Opuntia species: virtual RFLP analysis identifies new subgroups in the peanut witches’-broom phytoplasma group. Int J Syst Evol Microbiol. 58:1448–1467. DOI: https://doi.org/10.1099/ijs.0.65615-0.

Deng S, Hiruki C. 1991. Amplification of 16SrRNA genes from culturable and

non culturable mollicutes. J Microbiol Method. 14:53–61. DOI: https://doi.org/10.1016/0167-7012(91)90007-D.

Dewir YH. 2016. Cacti and succulent plant species as phytoplasma hosts: a review. Phytopathogenic Mollicutes. 6(1):1–9. DOI: https://doi.org/10.5958/2249-4677.2016.00001.3.

Dickinson M, Tuffen M, Hodgetts J. 2013. The phytoplasma: an introduction. Di dalam: Dickinson M, Tuffen M,Hodgetts J, editor. Phytoplasma Methods and Protocols. NewYork (US): Humana Press. hlm 1–14. DOI: https://doi.org/10.1007/978-1-62703-089-2_1.

Gundersen DE, Lee IM. 1996. Ultrasensitive detection of phytoplasmas by nested-PCR assays using two universal primer pairs. Phytopathol Mediterr. 35:144–151.

Lee IM, Davis RE, Gundersen-Rindal DE. 2000. Phytoplasma: phytopathogenic mollicutes. Annu Rev Microbiol. 54:221–255. DOI: https://doi.org/10.1146/annurev.micro.54.1.221.

Lorenz KH, Schneider B, Ahrens U, Seemüller E. 1995. Detection of the apple proliferation and pear decline phytoplasmas by PCR amplification of ribosomal and nonribosomal DNA. Phytopathology. 85:771–776. DOI: https://doi.org/10.1094/Phyto-85-771.

Murray RGE, Schleifer KH. 1994. Taxonomic notes: a proposal for recording the properties of putative taxa of procaryotes. Int J Syst Bacteriol. 44(1):174–176. DOI: https://doi.org/10.1099/00207713-44-1-174.

Mutaqin KH. 2000. Deteksi dan pembandingan fitoplasma asal rumput bermuda (Cynodon dactylon (L.) Pers.) dan inang lainnya menggunakan teknik PCR-RFLP serta penularannya dengan wereng daun [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Namba S, Kato S, Iwanami S, Oyaizu H, Shiozawa H, Tsuchizaki T. 1993. Detection and differentiation of plant-pathogenic mycoplasmalike organisms using polymerase chain reaction. Phytopathology. 83:786–91. DOI: https://doi.org/10.1094/Phyto-83-786.

Page 40: Efektivitas Formula Bacillus subtilis TM4 untuk ...ISSN: 0215-7950 113 Volume 13, Nomor 4, Juli 2017 Halaman 113–118 DOI: 10.14692/jfi.13.4.113 *Alamat penulis korespondensi: Balai

J Fitopatol Indones Prasetya et al

152

Schneider B, Seemuller E, Smart CD, Kirkpatrick BC. 1995. Phylogenetic classification of plant pathogenic m y c o p l a s m a - l i k e o r g a n i s m s o r phytoplasmas. Di dalam: Razin S, Tully JG, editor. Molecular and Diagnostic Procedures in Mycoplasmology. London (UK): Academic Pr. hlm 369–380. DOI: https://doi.org/10.1016/B978-012583805-4/50040-6.

Wei W, Davis RE, Lee IM, Zhao Y. 2007. Computer-simulated RFLP analysis of 16S rRNA genes: identification of ten new phytoplasma groups. Int J Syst Evol Microbiol. 57:1855–1867. DOI: https://doi.org/10.1099/ijs.0.65000-0.