efektivitas fenilefrin dibandingkan epinefrin

11
Tujuan: Untuk mengevaluasi efektivitas phenylephrine dibandingkan dengan nor-epinephrine pada pasien dengan syok septik di ICU rumah sakit tersier di Pakistan. Metode: Penelitian ini dilakukan di ICU Rumah Sakit Holy Family, Rawalpindi Medical College, Rawalpindi, Pakistan selama 1 tahun dari bulan Januari 2011 sampai Desember 2011. Penelitian ini dilakukan terhadap 42 pasien dengan syok septik yang dibagi ke dalam 2 kelompok secara acak. Grup A merupakan kelompok yang menerima phenylephrine, sementara itu Grup B merupakan kelompok yang menerima nor-adrenaline. Tujuannya adalah untuk mencapai SBP > 90 mmHg dan atau MAP > 75 mmHg. Respon dianggap signifikan jika subjek mencapai dan mempertahankan target terapi yang telah ditetapkan selama 4 – 6 jam secara terus menerus pada dosis yang spesifik. Hasil: tidak terdapat perbedaan yang berarti pada jumlah cairan infus yang diberikan kepada kedua grup. Kebutuhan infus maksimal phenylephrine dan nor-adrenaline masing – masing adalah 4.37 ± 1.87 µg/kg/min dan 3.98 ± 1.31 µg/kg/min. Terdapat peningkatan yang signifikan pada level SBP post- treatment (75.41 ± 3.22 vs. 103.24 ± 12.32, P < 0.05 pada grup A dan 73.89 ± 5.60 vs. 112.45 ± 3.64, P < 0.05 pada grup B), MAP (48.35 ± 4.28 vs. 77.38 ± 3.17, P < 0.05 pada grup A dan 47.15 ± 5.02 vs. 75.45 ± 8.24, P < 0.05 pada grup B) dan urine output (0.22 ± 0.02 vs. 0.51 ± 0.04, P < 0.05 pada grup A dan 0.19 ± 0.06 vs. 0.55 ± 0.07, P < 0.05 pada grup B) pada kedua grup. Penurunan heart rate ditemukan tidak signifikan pada grup B (post treatment heart rate pada grup A 114.23 ± 4.86

description

penatalaksanaan shock septic

Transcript of efektivitas fenilefrin dibandingkan epinefrin

Tujuan: Untuk mengevaluasi efektivitas phenylephrine dibandingkan dengan nor-epinephrine pada pasien dengan syok septik di ICU rumah sakit tersier di Pakistan.Metode: Penelitian ini dilakukan di ICU Rumah Sakit Holy Family, Rawalpindi Medical College, Rawalpindi, Pakistan selama 1 tahun dari bulan Januari 2011 sampai Desember 2011. Penelitian ini dilakukan terhadap 42 pasien dengan syok septik yang dibagi ke dalam 2 kelompok secara acak. Grup A merupakan kelompok yang menerima phenylephrine, sementara itu Grup B merupakan kelompok yang menerima nor-adrenaline. Tujuannya adalah untuk mencapai SBP > 90 mmHg dan atau MAP > 75 mmHg. Respon dianggap signifikan jika subjek mencapai dan mempertahankan target terapi yang telah ditetapkan selama 4 6 jam secara terus menerus pada dosis yang spesifik.Hasil: tidak terdapat perbedaan yang berarti pada jumlah cairan infus yang diberikan kepada kedua grup. Kebutuhan infus maksimal phenylephrine dan nor-adrenaline masing masing adalah 4.37 1.87 g/kg/min dan 3.98 1.31 g/kg/min. Terdapat peningkatan yang signifikan pada level SBP post-treatment (75.41 3.22 vs. 103.24 12.32, P < 0.05 pada grup A dan 73.89 5.60 vs. 112.45 3.64, P < 0.05 pada grup B), MAP (48.35 4.28 vs. 77.38 3.17, P < 0.05 pada grup A dan 47.15 5.02 vs. 75.45 8.24, P < 0.05 pada grup B) dan urine output (0.22 0.02 vs. 0.51 0.04, P < 0.05 pada grup A dan 0.19 0.06 vs. 0.55 0.07, P < 0.05 pada grup B) pada kedua grup. Penurunan heart rate ditemukan tidak signifikan pada grup B (post treatment heart rate pada grup A 114.23 4.86 vs. 145 8.65 pada grup B) mengindikasikan bahwa phenylephrine tidak menimbulkan takikardia.Kesimpulan: infus phenylephrine ditemukan lebih baik dibandingkan dengan nor-adrenaline dalam mengembalikan parameter hemodinamik dan metabolik dan mempertahankan stabilitas hemodinamik tanpa hasil negatif pada perawatan intensif dengan septikemia.

Kata kunci: syok septik, septikemia, phenylephrine, nor-adrenaline

Syok merupakan tahapan terakhir yang telah dihubungkan dengan kondisi seperti infark miokard, sepsis mikrobial, emboli paru, trauma signifikan, dan anafilaksis, yang mencetuskan gangguan perfusi jaringan, hipoksia selular, dan kekacauan metabolik yang akan berujung pada kerusakan selular yang mengakibatkan disfungsi organ progresif, dan kematian. Pada septikemia, terjadi deplesi volume intravaskular pada syok septik, inadekuat, dan distribusi aliran darah regional yang tidak seragam. Penurunan resistensi perifer bersamaan dengan hipotensi.Resusitasi cairan secara agresif bersamaan dengan pemberian antibiotik telah menjadi terapi lini pertama sepsis. Maskipun begitu, mortalitasnya tetap tinggi dengan hipotensi arterial berat dan kegagalan organ yang sulit diatasi dengan pemberian terapi antibiotik, penambahan cairan, dan pemberian vasopressor. Alasan utama mengapa hal ini bisa terjadi mungkin akibat vasodilatasi perifer yang terjadi pada pasien. Data terbaru memperkirakan bahwa oksigenasi jaringan adalah faktor penentu utama morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan syok septik.Dalam rangka mengembalikan tonus pembuluh darah sistemik sehingga memastikan perfusi jaringan yang adekuat, agen vasoaktif direkomendasikan untuk pasien dengan kondisi tersebut, yang digunakan untuk mengatasi perubahan hemodinamik yang berhubungan dengan syok yang lama. Agen vasoaktif digunakan untuk memanipulasi distribusi relatif aliran darah dan mengembalikan perfusi jaringan. Dopamine telah dipertimbangkan sebagai agen vasoaktif lini pertama pada tata laksana syok septik. Akan tetapi terdapat kekhawatiran yang berkaitan dengan takiaritmia, peningkatan kebutuhan oksigen miokardial, iskemia usus, dan efek endokrin yang tidak diinginkan akibat penggunaan dopamine. Melalui dopamine reseptor, dopamine meningkatkan cardiac output dengan meningkatkan kontraktilitas miokardial, dan pada dosis tertentu meningkatkan denyut jantung. Bagaimanapun beberapa penelitian merekomendasikan penggunaan presser agent (agen presser) yang lain hanya untuk pasien yang resisten terhadap dopamine.Noradrenalin dianggap lebih baik dari fenilefrin dalam hal peningkatan kontraktilitas miokard akibat tindakan tambahan pada 1-reseptor di volume-resusitasi pasien.Namun, stimulasi tambahan dari 1-reseptor dengan adanya infus dopamin yang sedang berlangsung membuat pemeliharaan peningkatan denyut jantung dan peningkatan berturut-turut curah jantung tidak akan tercapai, sehingga pengisian jantung tidak memadai. Di sisi lain, Fenilefrin meningkatkan resistensi vaskuler sistemik dengan mengorbankan penurunan denyut jantung tanpa perbaikan pada cardiac output.Fenilefrin memiliki aktivitas alpha murni sehingga menyebabkan vasokonstriksi veno-arterial. Hal ini menyebabkan efek minimal terhadap kontraktilitas jantung atau konduktivitas. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan sistolik, diastolik, dan mean arterial pressure. Hal ini memiliki sedikit efek pada denyut jantung atau kontraktilitas sehingga potensi aritmia minimal. Terkait peningkatan kebutuhan oksigen dapat menyebabkan iskemia koroner pada pasien yang rentan, meskipun ini membutuhkan teori yang besar. Efek vasokonstriksi fenilefrin ini telah dikaitkan dengan penurunan perfusi ginjal dan limpa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas fenilefrin dibandingkan dengan norepinefrin pada pasien dengan syok septik di unit perawatan intensif sebuah rumah sakit perawatan tersier di Pakistan.

METODOLOGIPenelitian ini dilakukan di Intensive Care Unit (ICU) Holy Family Hospital, Rawalpindi Medical College, Rawalpindi,Pakistan, selama 1 tahun yaitu dari januari 2011 sampai dengan desember 2011. Penyakit dalam, critical care, dan departemen anestesi dikoordinasikan secara bersamaan untuk melakukan penelitian. Sebanyak 42 peserta dengan manifestasi shock sepsis berpartisipasi pada peneitian ini. Penelitian ini teah disetujui oleh komite etik dari rumah sakit tersebut dan informed consent tertulis tanda persetujuan partisipan pada penelitian ini. Shock sepsis didefinisikan sebagai hipotensi persisten, terdapat adanya disfungi organ satu atau lebih, tedapat dua atau lebih infeksi dengan manifestasi klinis sepsis.Hipotensi persisten ditandai dengan systolic arterial blood pressure (SBP) < 90 mmHg atau mean arterial pressure (MAP) < 60 mmHg, meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan yang cukup dan infus dosis farmakologis dopamin 25 g/kg/min selama 45-60 menit. Kriteria sepsis adalah suhu tubuh yang tinggi lebih dari 38C atau kurang dari 36C, nadi lebih dari 90 x/min, nafas lebih dari 20 x/min, atau CO2 arteri < 32 mmHg pada gas darah arteri, leukosit >1200/mm3, atau 90 mm Hg dan atau MAP > 75 mm Hg. Semua parameter diukur setiap 30 menit dan penambahan dosis obat dilakukan jika target tidak tercapai. Pemberian cairan IV berkala dilakukan sehingga dapat mempertahankan CVP dalam rentang normal bersamaan dengan infus dopamine 25 g/kg/min dilanjutkan selama waktu penelitian. Respon dianggap signifikan jika subjek mencapai dan mempertahankan target terapi yang telah ditentukan selama 4 6 jam secara terus menerus pada dosis yang spesifik.Semua analisis statistik diolah dengan menggunakan SPSS version 15, StatXact 6, and SAS version 8.2. Student's t-test digunakan untuk menguji perbedaan ordinal dan variabel kontinyu. Chi-square test digunakan untuk membandingkan proporsi. P-value < 0.05 dianggap signifikan secara statistik. HASILTidak terdapat perbedaan karakteristik pada kedua grup yang diteliti (Tabel 1). ARDS dan abses merupakan penyebab syok tersering (Tabel 2). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada parameter pre-treatment pada kedua grup (Tabel 3).Tabel 1. Karakteristik Subjek PenelitianParameterGrup A PhenylephrineGrup B Noradrenaline95% CIP Value

Jenis Kelamin/Total2121NSNS

Laki-laki16%14%

Perempuan5%7%

Usia (tahun)47 4.248 3.30.010.21

Berat badan (Kg)59 3.161 2.70.020.18

Tinggi badan (cm)168.3 1.8163.8 3.50.010.11

BMI (Kg/m2)21.4 0.820.3 1.10.010.14

Tabel 2. Penyebab Utama SepsisPenyebab Utama SepsisGrup A (n=21)Grup B (n=21)P Value

ARDS89NS

Abses65NS

Pneumonia/RTI32NS

Polytrauma23NS

Fascitis22NS

Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada jumlah infus cairan yang diberikan selama fase penelitian pada kedua grup. Kebutuhan Infus maksimal phenylephrine dan nor-adrenaline adalah 4.37 1.87 g/kg/min and 3.98 1.31 g/kg/min. pada kedua grup.Tabel 3. Parameter Pre-TreatmentPre-treatment parametersGrup A (n=21)Grup B (n=21)P-Value

Tekanan darah sistolik75.41 3.2273.89 5.60NS

Heart rate145.74 6.85148.21 2.43NS

MAP48.35 4.2847.15 5.02NS

Output urin 0.22 0.020.19 0.06NS

Laktat serum3.28 0.473.35 0.39NS

Terdapat peningkatan signifikan pada level SBP post-treatment (75.41 3.22 vs. 103.24 12.32, P < 0.05 pada grup A dan 73.89 5.60 vs. 112.45 3.64, P < 0.05 pada grup B), MAP (48.35 4.28 vs. 77.38 3.17, P < 0.05 pada grup A dan 47.15 5.02 vs. 75.45 8.24, P < 0.05 pada grup B) dan urine output (0.22 0.02 vs. 0.51 0.04, P < 0.05 pada grup A dan 0.19 0.06 vs. 0.55 0.07, P < 0.05 pada grup B) pada kedua grup (Tabel 4 dan 5).Tabel 4. Parameter Pre dan Post-Treatment pada Grup A (Phenylephrine)ParameterPre-treatmentPost-treatmentP Value

Tekanan darah sistolik75.41 3.22103.24 12.32< 0.05*

Heart rate (kali/menit)145.74 6.85114.23 4.86< 0.05*

MAP48.35 4.2877.38 3.17< 0.05*

Output urin0.22 0.020.51 0.04< 0.05*

Laktat Serum3.28 0.472.85 0.42< 0.05*

Tabel 5. Parameter Pre dan Post-Treatment pada Grup A (Noradrenaline)ParameterPre-treatmentPost-treatmentP Value

Tekanan darah sistolik 73.89 5.60112.45 3.64< 0.05*

Heart rate (kali/menit)148.21 2.43145 8.65NS

MAP47.15 5.0275.45 8.24< 0.05*

Output urin0.19 0.060.55 0.07< 0.05*

Laktat Serum3.35 0.392.79 0.35< 0.05*

Terdapat reduksi denyut jantung selama post treatment yang signifikan secara statistik pada grup A. Penurunan denyut jantung tidak signifikan pada grup B, sehingga studi ini simenunjukkan adanya peran phenylephrine daam mengedalikan takikardi selama pasien mengalami septicemia ( denyut nadi post treatment grup A 114.234.86 vs 1458.65 pada grup B).Tabel 6. Parameter pre dan post treatment pada kedua kelompokParameterGrup AGrup BNilai P

TD Sistolik103.2412.32112.453.64N.S

HR114.234.861458.65