EFEKTIFITAS BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA...

21

Transcript of EFEKTIFITAS BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA...

PENDAHULUAN

Limbah cair industri tahu adalah

limbah yang dihasilkan dari proses

pembuatan tahu, dimana industri tahu di

Indonesia didominasi oleh usaha-usaha

berskala kecil dan dengan modal yang

terbatas. Sumber daya manusia yang

terlibat pada umumnya bertaraf

pendidikan yang relatif rendah serta

belum banyak yang melakukan usaha

pengolahan limbah.

EFEKTIFITAS BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA

PENINGKATAN MUTU LIMBAH CAIR PABRIK TAHU

Harimbi Setyawati

1, Mochtar Asroni

2, Luluk Sutri Wulandari

3,

Faradilla Sandy 4

1,3,4 Program Studi Teknik Kimia, Institut Teknologi Nasional Malang

2 Program Studi Teknik Mesin, Institut Teknologi Nasional Malang

Email : [email protected]

Abstrak

Limbah cair industri tahu merupakan salah satu sumber pencemar yang mengandung bahan organik yang tinggi sehingga dibutuhkan pengolahan limbah yang memadai. Dalam upaya

mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh limbah cair, maka proses pengolahan limbah wajib

dilakukan sebelum limbah tersebut dibuang ke badan perairan. Dalam penelitian ini akan

dilakukan proses pengolahan limbah cair industri tahu dengan proses koagulasi flokulasi. Proses

ini disertai dengan penambahan koagulan organik (biji kelor) dan koagulan anorganik (aluminium

sulfat). Penelitian ini menggunakan variasi kecepatan pengadukan cepat, yaitu 80 rpm, 90 rpm,

100 rpm, 110 rpm, dan 120 rpm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil terbaik yaitu pada

penggunaan koagulan organik biji kelor. Dimana koagulan dapat menurunkan kadar BOD hingga

100 mg/L, kadar COD hingga 96 mg/L, dan juga kadar TSS hingga 98 mg/L.

Kata Kunci: biji kelor, aluminium sulfat, koagulasi, flokulasi, limbah cair industri tahu

Abstract

Liquid waste of tofu industry is one of pollutant sources that contains high organic matter so that it

is required insufficient treatment. In an effort to overcome the problems caused by liquid waste,

process of waste treatment must be done before the waste is disposed into the river. In this research

would be done liquid waste treatment process of tofu industry by coagulation flocculation process.

This process is accompanied by the addition of organic coagulants (moringa seeds) and anorganic

coagulant (aluminum sulfate). This study uses a variation of fast mixing speed of 80 rpm, 90 rpm,

100 rpm, 110 rpm and 120 rpm. The results showed that the best results are on the use of organic

coagulants moringa seeds. Where coagulant can reduce BOD levels up to 100 mg / L, COD levels

up to 96 mg / L, and TSS levels up to 98 mg / L.

Keywords: moringa seeds, aluminium sulfate, coagulation, flocculation, tofu industrial waste water

Karakteristik buangan limbah

industri tahu mengandung berbagai jenis

pencemaran lingkungan, meliputi BOD,

COD, TSS dan pH. Pembuangan

limbah cair tahu ke badan air tanpa

proses penanganan yang baik akan

berdampak pada penurunan kualitas

lingkungan sehingga diperlukan suatu

pengolahan limbah cair (Munawaroh,

2013).

Teknik pengolahan limbah cair

dibagi menjadi tiga metode yaitu

pengolahan secara fisika, biologi dan

kimia. Pengolahan limbah secara fisika

merupakan proses fisika yang

melibatkan tahapan pemisahan materi

tersuspensi dari fase fluidanya.

Sedangkan pengolahan secara biologi

dengan cara memanfaatkan aktivitas

mikoorganisme untuk mendegradasi

polutan-polutan yang terdapat dalam air

limbah. Serta pengolahan limbah secara

kimia merupakan proses pengolahan

limbah yang memanfaatkan reaksi-

reaksi kimia dalam bentuk

pengolahannya misalnya seperti:

netralisasi, oksidasi, reduksi, penukaran

ion, dan koagulasi. Pada penelitian ini

menggunakan proses koagulasi.

Koagulasi adalah proses dimana proses

destabilisasi koloid dalam limbah cair

dengan menambahkan bahan kimia

(koagulan) (Afshari, 2007).

Koagulan merupakan bahan kimia

yang dibutuhkan air untuk membantu

proses pengendapan partikel-partikel

yang tidak mengendap dengan

sendirinya. Koagulan di bagi menjadi

dua yaitu koagulan organik dan

koagulan anorganik. Koagulan organik

adalah salah satu alternatif yang dapat

dijadikan sebagai pengganti koagulan

kimia, koagulan organik yang biasa

digunakan pada umumnya berasal dari

biji tanaman antara lain biji asam jawa,

biji kecipir dan biji kelor. Sedangkan

koagulan anorganik yang digunakan

dalam industri pengolahan air di

antaranya Aluminium Sulfat

(Al2(SO4)3), Ferric Sulphate Fe2(SO4)3,

dan Polyaluminium Chloride (PAC)

(Coniwanti, 2013).

Berdasarkan pada penelitian

terdahulu yang telah dilakukan oleh Tya

Yunitasari dan Nurul Indrawati

menggunakan koagulan serbuk biji kelor

dan serbuk biji asam jawa pada limbah

cair industri tahu dengan dosis koagulan

2000 mg/L serta variasi waktu

pengadukan cepat yaitu 1, 1,5, 2, 2,5,

dan 3 menit masih mengandung kadar

TSS >200 mg/L. Sedangkan untuk kadar

BOD dan COD sudah memenuhi standar

baku mutu limbah cair industri tahu,

yaitu untuk kadar COD <300 mg/L dan

kadar BOD <150 mg/L. Oleh karena itu,

pada penelitian ini selain bertujuan

untuk menurunkan kadar BOD dan COD

juga untuk menurunkan kadar TSS

sehingga kurang dari 200 mg/L dengan

penambahan proses penyaringan. Maka

diharapkan pada penelitian ini limbah

cair industri tahu sesuai dengan baku

mutu Peraturan Menteri Lingkungan

Hidup Republik Indonesia No. 5 Tahun

2014 agar limbah cair industri tahu

dapat aman untuk dibuang ke

lingkungan.

Perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah bagaimana

efektifitas koagulan organik dan

koagulan anorganik dalam menurunkan

kadar COD, BOD, dan TSS pada limbah

cair industri tahu.

Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui efektifitas koagulan

organik dan koagulan anorganik dalam

menurunkan kadar COD, BOD, dan TSS

pada limbah cair industri tahu.

METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan bertujuan

untuk mengetahui efektifitas koagulan

organik dan anorganik dengan proses

koagulasi pada limbah cair industri tahu.

Dengan begitu, diharapkan agar

penelitian ini dapat menurunkan kadar

COD, BOD, dan TSS pada limbah cair

industri tahu. Sebelum melakukan

penelitian inti, akan dilakukan penelitian

pendahuluan terlebih dahulu. Penelitian

pendahuluan meliputi penentuan dosis

optimum koagulan dengan

menggunakan alat flokulator dengan

metode jar test. Dari penelitian

pendahuluan didapatkan hasil dosis

optimum koagulan, yang kemudian akan

dilanjutkan dengan proses koagulasi-

flokulasi dengan alat flokulator. Proses

koagulasi-flokulasi dilakukan dengan

menggunakan variabel-variabel yang

sudah ditentukan. Kemudian akan

dilakukan tes COD, BOD, dan TSS pada

saat sebelum dan sesudah koagulan

dimasukkan ke dalam sampel limbah

cair industri tahu. Sampel limbah cair

industri tahu yang digunakan diperoleh

di Kota Malang. Sedangkan untuk

analisa dilakukan di Laboratorium

Teknik Lingkungan Institut Teknologi

Nasional Malang.

Prosedur Penelitian

1. Penentuan dosis optimum koagulan

organik dan koagulan anorganik

dengan menggunakan metode jar

test.

- Persiapkan alat jar test yang akan

digunakan.

- Masukkan limbah cair industri

tahu ke dalam 4 buah beaker glass

dengan volume masing-masing

1000 ml.

- Tambahkan koagulan serbuk biji

kelor dengan dosis koagulan

organik tertentu (2000, 4000,

6000, 8000, 10000 mg/L).

- Kemudian dilanjutkan dengan

proses koagulasi dengan kecepatan

pengadukan cepat sebesar 100 rpm

selama 3 menit.

- Selanjutnya diikuti dengan proses

flokulasi dengan kecepatan

pengadukan lambat sebesar 40

rpm selama 15 menit.

- Setelah pengadukan selesai,

selanjutnya dilakukan sedimentasi

selama 60 menit.

- Setelah sedimentasi selesai,

lakukan proses penyaringan

dengan menggunakan media

saringan kain katun.

- Kemudian lakukan analisa untuk

menentukan dosis optimum yang

didasarkan pada tingkat kejernihan

supernatan dan seberapa banyak

flok yang mengendap.

- Selanjutnya ulangi langkah-

langkah diatas dengan

menggunakan koagulan anorganik

aluminium sulfat untuk penentuan

dosis optimum.

- Setelah didapatkan hasil, maka

gunakan dosis optimum kedua

koagulan ini untuk prosedur

selanjutnya.

2. Prosedur penelitian terhadap dosis

optimum koagulan organik biji kelor

dan koagulan anorganik aluminium

sulfat serta kecepatan pengadukan

cepat terhadap kadar BOD, COD, dan

TSS dari limbah cair industri tahu

dengan metode jar test.

- Analisa awal pada sampel limbah

cair industri tahu meliputi BOD,

COD, dan TSS.

- Kemudian limbah dimasukkan ke

dalam 4 buah beaker glass dengan

volume masing-masing 1000 ml.

- Tambahkan koagulan serbuk biji

kelor atau koagulan aluminium

sulfat dengan dosis optimum yang

telah didapatkan pada penelitian

pendahuluan.

- Selanjutnya dilakukan proses

koagulasi dengan kecepatan

pengadukan cepat sebesar 80 rpm,

90 rpm, 100 rpm, 110 rpm dan 120

rpm selama 3 menit.

- Kemudian diikuti proses flokulasi

dengan kecepatan pengadukan

lambat 40 rpm selama 15 menit.

- Setelah pengadukan selesai,

selanjutnya dilakukan sedimentasi

selama 60 menit.

- Setelah sedimentasi selesai,

lakukan proses penyaringan

dengan menggunakan media

saringan kain katun.

- Selanjutnya lakukan analisa akhir

meliputi BOD, COD, dan TSS

untuk mendapatkan hasil data dan

kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. BOD

Dari hasil analisa didapatkan hubungan

antara kecepatan pengadukan cepat

terhadap nilai BOD yang dapat

digambarkan dengan grafik di bawah

ini:

BOD (Biochemichal Oxygen

Demand) didefinisikan sebagai

banyaknya oksigen yang diperlukan oleh

mikroorganisme untuk memecahkan

bahan-bahan organik yang terdapat di

dalam air (Muhajir, 2013).

Dari gambar 1. dapat dilihat

adanya penurunan nilai BOD pada

limbah cair industri tahu.

Koagulan organik (biji kelor) dan

anorganik (tawas) yang digunakan

adalah koagulan dengan kadar air 0%.

Sedangkan untuk ukuran koagulan

organik (biji kelor) maupun anorganik

(tawas) adalah ukuran 100 mesh.

Penelitian ini dilakukan dengan variasi

Gambar 1. Grafik Hubungan antara Kecepatan Pengadukan Cepat dan BOD pada Berbagai Jenis

Koagulan Organik (Biji Kelor) dan Koagulan Anorganik (tawas)

berbagai kecepatan pengadukan cepat

yaitu 80, 90, 100, 110, dan 120 rpm.

Pada analisa sampel BOD diatas masih

ada yang belum memenuhi ketentuan

limbah layak buang berdasarkan pada

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup

Republik Indonesia No. 5 Tahun 2014

Tentang Baku Mutu Air Limbah yaitu

dengan kadar BOD layak buang

maksimal sebesar 150 mg/L.

Dari Gambar 4.1. terlihat bahwa

pada saat penggunaan serbuk biji kelor

dan serbuk aluminium sulfat (tawas)

pada dosis yang sama terjadi perbedaan

nilai BOD. Dengan dosis 2000 mg/L

serbuk biji kelor dan serbuk aluminium

sulfat (tawas) mampu menurunkan nilai

BOD pada limbah cair industri tahu

optimum pada kecepatan pengadukan

cepat 100 rpm masing-masing 100 mg/L

dan 120 mg/L, dimana apabila melihat

nilai BOD limbah cair industri tahu awal

dapat dikatakan bahwa dengan proses

koagulasi-flokulasi dapat menurunkan

kadar BOD masing-masing 91,67 % dan

90,00 %. Hal ini disebabkan dengan

proses pengadukan akan meningkatkan

kesempatan antar partikel untuk

bereaksi. Serta mempunyai kemampuan

untuk mengikat bahan-bahan organik

dalam limbah cair industri tahu menjadi

cepat mengendap dan menggumpal,

menggabungkan partikel serbuk biji

kelor maupun serbuk aluminium sulfat

(tawas) dengan bahan organik maupun

anorganik dalam air limbah. Hal ini

sudah sesuai dengan teori Susanto

(2008) bahwa kecepatan pengadukan

merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi proses koagulasi-

flokulasi.

Sedangkan dengan kecepatan

dibawah 100 rpm masih mengandung

nilai BOD yang cukup tinggi, hal ini

disebabkan karena flok belum terbentuk

dengan sempurna. Begitupun dengan

kecepatan di atas 100 rpm mengalami

kenaikan nilai BOD tetapi nilai tersebut

masih memenuhi baku mutu standar

BOD air limbah industri tahu sesuai

dengan Keputusan Menteri Lingkungan

Hidup Republik Indonesia No. 5 Tahun

2014.

2. COD

Dari hasil analisa didapatkan hubungan

antara kecepatan pengadukan cepat

terhadap nilai COD yang dapat

digambarkan dengan grafik di bawah

ini:

COD (Chemical Oxygen Demand)

atau kebutuhan oksigen kimia (KOK)

adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan

untuk mengoksidasi zat-zat organik

yang ada dalam sampel air (Muhajir,

2013).

Dari gambar 2. dapat dilihat

adanya penurunan nilai COD pada

limbah cair industri tahu. Koagulan

organik (biji kelor) dan anorganik

(tawas) yang digunakan adalah koagulan

dengan kadar air 0%. Sedangkan

untuk ukuran koagulan organik (biji

kelor) maupun anorganik (tawas) adalah

ukuran 100 mesh. Penelitian ini

dilakukan dengan variasi berbagai

kecepatan pengadukan cepat yaitu 80,

90, 100, 110, dan 120 rpm. Pada analisa

sampel COD diatas masih ada yang

belum memenuhi ketentuan limbah

Gambar 2. Grafik Hubungan antara Kecepatan Pengadukan Cepat dan COD pada Berbagai Jenis

Koagulan Organik (Biji Kelor) dan Anorganik (tawas)

layak buang berdasarkan pada

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup

Republik Indonesia No. 5 Tahun 2014

Tentang Baku Mutu Air Limbah yaitu

dengan kadar COD layak buang

maksimal sebesar 300 mg/L.

Dari gambar 2. terlihat adanya

penyimpangan pada koagulan

aluminium sulfat (tawas) dengan

kecepatan pengadukan 80 rpm dan 90

rpm, dimana nilai BOD cukup tinggi

hingga melebihi standar baku mutu air

buangan limbah industri tahu.

Penyimpangan ini mungkin disebabkan

karena pada kecepatan pengadukan

tersebut tidak semua partikel koagulan

bereaksi membentuk flok-flok dalam

limbah cair industri tahu, dan

disebabkan kecepatan pengadukannya

terlalu lambat. Juga dikarenakan

banyaknya kandungan zat-zat organik

dan anorganik yang terkandung di dalam

limbah cair industri tahu tersebut

sehingga penurunan nilai COD yang

didapatkan tidak bisa mencapai baku

mutu yang telah ditentukan oleh

Keputusan Menteri Negara Lingkungan

Hidup Republik Indonesia No. 5 Tahun

2014. Hal ini juga sesuai dengan teori

Susanto (2008), bahwa kecepatan

pengadukan merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi proses koagulasi-

flokulasi.

Sedangkan pada gambar 2. juga

ditunjukkan hasil optimum penggunaan

koagulan organik serbuk biji kelor yakni

pada setiap kecepatan pengadukan cepat

80, 90, 100, 110, dan 120 rpm,

didapatkan hasil nilai COD berturut-

turut sebesar 192 mg/L, 156 mg/L, 96

mg/L, 156 mg/L, dan 192 mg/L. Untuk

penggunaan koagulan anorganik serbuk

aluminium sulfat (tawas) didapatkan

hasil optimum pada setiap kecepatan

pengadukan cepat 100, 110, dan 120

rpm, didapatkan nilai COD sebesar 168

mg/L, 180 mg/L, dan 204 mg/L. Hasil

ini sudah sesuai dengan Keputusan

Menteri Lingkungan Hidup Republik

Indonesia No. 5 Tahun 2014 Tentang

Baku Mutu Air Limbah.

Menurut teori dari Indrawati

(2016), bahwa kecepatan pengadukan

akan berpengaruh terhadap terbentuknya

flok, dimana pada penurunan nilai COD

ini didapatkan hasil kecepatan

pengadukan cepat 100 rpm. Pada

kecepatan 100 rpm ini lah flok terbentuk

sempurna sehingga dapat menurunkan

nilai COD. Jadi, penggunaan koagulan

organik serbuk biji kelor lebih efektif

dibandingkan penggunaan koagulan

anorganik serbuk aluminium sulfat

(tawas), hal ini dikarenakan pada

penggunaan koagulan organik serbuk

biji kelor dengan kecepatan pengadukan

cepat 100 rpm dapat menurunkan nilai

COD hingga mencapai 96 mg/L,

sedangkan pada penggunaan koagulan

anorganik serbuk aluminium sulfat

(tawas) dengan kecepatan pengadukan

cepat 100 rpm hanya dapat menurunkan

nilai COD hingga mencapai 168 mg/L.

3. TSS

Dari hasil analisa didapatkan

hubungan antara kecepatan pengadukan

cepat terhadap nilai TSS yang dapat

digambarkan dengan grafik di bawah

ini:

Dimana apabila melihat nilai COD

limbah cair industri tahu awal dapat

dikatakan bahwa dengan proses

koagulasi-flokulasi yang telah dilakukan

dapat menurunkan kadar COD masing-

masing 91,67 % dan 85,42 %.

Efektifitas penggunaan koagulan

organik serbuk biji kelor ini dikarenakan

terdapat kandungan protein kationik

yang berupa 4αL-rhamnosyloxy-benzyl-

isothiocyanate (Coniwanti, 2013).

TSS (Total Suspended Solid)

adalah residu dari padatan total yang

tertahan oleh saringan dengan ukuran

partikel maksimal atau lebih besar dari

ukuran partikel koloid (Muhajir, 2013).

Dari gambar 3. dapat dilihat

adanya penurunan nilai TSS pada

limbah cair industri tahu. Koagulan

organik (biji kelor) dan anorganik

(tawas) yang digunakan adalah koagulan

dengan kadar air 0%. Sedangkan untuk

ukuran koagulan organik (biji

kelor) maupun anorganik (tawas) adalah

ukuran 100 mesh. Penelitian ini

dilakukan dengan variasi berbagai

kecepatan pengadukan cepat yaitu 80,

90, 100, 110, dan 120 rpm. Pada analisa

sampel TSS diatas masih ada yang

belum memenuhi ketentuan limbah

layak buang berdasarkan pada

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup

Republik Indonesia No. 5 Tahun 2014

Tentang Baku Mutu Air Limbah yaitu

dengan kadar TSS layak buang

maksimal sebesar 200 mg/L.

Gambar 3. Grafik Hubungan antara Kecepatan Pengadukan Cepat dan TSS pada Berbagai Jenis

Koagulan Organik (Biji Kelor) dan Anorganik (Tawas)

Dari gambar 3. terlihat adanya

penyimpangan pada koagulan

aluminium sulfat (tawas) dengan

kecepatan pengadukan 80 rpm dan 90

rpm, dan juga penyimpangan terjadi

pada koagulan serbuk biji kelor dengan

kecepatan pengadukan 80 rpm. Dimana

nilai TSS cukup tinggi hingga melebihi

standar baku mutu air buangan limbah

industri tahu. Penyimpangan ini

disebabkan karena pada kecepatan 80

dan 90 rpm koagulan biji kelor dan

aluminium sulfat (tawas) tidak mampu

mengikat partikel-partikel sisa koloid

sehingga terjadi pengendapan dan

pengumpulan flok dengan ukuran yang

lebih kecil. Selain itu, juga disebabkan

karena ukuran partikel yang kecil

tersebut menganggu proses penyaringan

sehingga masih ada padatan yang

tertahan pada kertas saring.

Akan tetapi dari penggunaan

kedua jenis koagulan organik tersebut,

koagulan organik serbuk biji kelor lebih

efektif dibandingakan koagulan

anorganik serbuk aluminium sulfat

(tawas). Hal ini dikarenakan pada

penggunaan koagulan organik serbuk

biji kelor dengan kecepatan pengadukan

cepat 100 rpm mampu menurunkan nilai

TSS sebesar 98 mg/L. Efektifitas

penggunaan koagulan organik serbuk

biji kelor ini dikarenakan terdapat

kandungan protein kationik yang berupa

4αL-rhamnosyloxy-benzylisothiocyanate

(Coniwanti, 2013).

Perbandingan Hasil Analisa

Penelitian Terdahulu Dan Penelitian

Sekarang

Perbandingan hasil analisa pada

penelitian terdahulu yang telah

dilakukan oleh Pamilia Coniwanti, Indah

Desfia Mertha, dan Diana Eprianie

dengan penelitian yang dilakukan

sekarang mempunyai perbedaan variabel

yaitu dosis serbuk aluminium sulfat

(tawas) yaitu masing-masing sebesar

1000 mg/L dan 2000 mg/L, dimana jika

semakin besar dosis koagulan yang

digunakan maka semakin baik hasil

yang didapatkan. Pada penelitian

Pamilia Coniwanti, Indah Desfia

Mertha, dan Diana Eprianie ini

menggunakan dosis koagulan 1000

mg/L maka pada proses koagulasi-

flokulasinya hanya mampu menurunkan

kadar COD dan TSS masing-masing 231

mg/L dan 155 mg/L. Hal ini disebabkan

karena dosis koagulan 1000 mg/L

(dosis koagulannya lebih sedikit

dibandingkan dengan dosis koagulan

pada penelitian sekarang yaitu 2000

mg/L) maka hasilnya pun kurang

optimum jika dibandingkan dengan

penelitan sekarang. Akan tetapi dari

kedua penelitian ini memiliki hasil yang

paling bagus pada kecepatan

pengadukan cepat 100 rpm. Maka dari

itu kami dapat membandingkan hasil uji

analisa dari kedua penelitian tersebut,

dimana pada tabel 4.6. menyatakan

bahwa dari kedua penelitian ini mampu

menurunkan nilai BOD dan TSS dari

limbah cair industri tahu dengan

menggunakan koagulan anorganik

aluminium sulfat (tawas). Persentase

penurunan nilai COD dan TSS pada

penelitian sekarang lebih tinggi

dibandingkan persentase penurunan nilai

COD dan TSS pada penelitian terdahulu,

yang masing-masing sebesar 91,67 %

dan 97,92 %.

Data yang diperoleh pada saat

penelitian menunjukkan bahwa serbuk

biji kelor maupun serbuk aluminium

sulfat (tawas) layak digunakan sebagai

koagulan organik maupun anorganik

untuk proses koagulasi-flokulasi limbah

cair industri tahu. Tetapi dari kedua

koagulan organik tersebut, koagulan

organik serbuk biji kelor yang paling

efektif digunakan untuk proses

koagulasi-flokulasi limbah cair industri

tahu hal ini dikarenakan persentase

penurunan nilai BOD, COD dan TSS

menggunakan koagulan organik serbuk

biji kelor lebih besar dari pada

menggunakan koagulan anorganik

serbuk aluminium sulfat (tawas).

Efektifitas penggunaan koagulan

organik serbuk biji kelor adalah protein

kationik yang larut dalam air yang

berupa 4αL-rhamnosyloxy-benzyl-

isothiocyanate (Hadipoetyanti, 2012).

Zat aktif 4-(α-L-rhamnosyloxy)

benzyl isothiocyanate mampu

mengadsorbsi partikel-partikel air

limbah. Dengan pengubahan bentuk

menjadi bentuk yang lebih kecil, maka

zat aktif dari biji kelor tersebut akan

semakin banyak karena luas permukaan

biji kelor semakin besar. Apabila

kandungan air di dalam biji kelor

besar, maka kemampuannya dalam

menyerap limbah cair semakin kecil

karena zat aktif tersebut tidak berada

di permukaan biji kelor tetapi

tertutupi oleh air sehingga kelembaban

biji kelor harus kecil (Aminah, 2013).

Ketika ditambahkan ke dalam

limbah cair industri tahu dan diikuti

dengan pengadukan cepat, protein

kationik yang dihasilkan biji kelor

tersebut terdistribusi keseluruh bagian

cairan limbah cair industri tahu dan

kemudian berinteraksi dengan partikel-

partikel bermuatan negatif yang berasal

dari material organik pada limbah cair

industri tahu tersebut. Akibatnya

partikel-partikel koloid limbah

mengalami destabilisasi dan membentuk

flok-flok mikro melalui mekanisme

adsorbsi. Dengan pengadukan lambat

yang dilakukan pada tahap berikutnya,

flok-flok mikro tersebut dibawa ke

dalam proses kontak sehingga

bertubrukan satu sama lain. Akibatnya

flok-flok mikro bergabung dan

menempel sesamanya lalu membentuk

flok-flok makro dan mengendap.

Kelebihan dari penggunaan

koagulan organik serbuk biji kelor

adalah koagulan dapat bekerja ganda

karena kandungan protein kationiknya

yang berupa 4αL-rhamnosyloxy-benzyl-

isothiocyanate, selain bisa mengikat

material organik pada limbah cair

industri tahu juga mampu mengadsorpsi

partikel-partikel koloid air limbah.

Dengan pengubahan bentuk menjadi

bentuk yang lebih kecil, maka zat aktif

dari biji kelor tersebut akan semakin

banyak karena luas permukaan biji kelor

semakin besar. Apabila kandungan air di

dalam biji kelor besar, maka

kemampuannya dalam menyerap limbah

cair semakin kecil karena zat aktif

tersebut tidak berada di permukaan biji

kelor tetapi tertutupi oleh air sehingga

kelembaban biji kelor harus kecil

(Bangun, 2013).

Mekanisme Reaksi Antara Limbah

Cair Industri Tahu Dengan Koagulan

Organik (Biji Kelor) dan Anorganik

(Aluminium Sulfat).

Limbah cair industri tahu

mengandung bahan-bahan organik yang

tinggi seperti protein, karbohidrat dan

lemak. Protein yang terkandung pada

limbah cair industri tahu yaitu sebesar

40-60% (Sugiharto, 1994).

Protein ialah polimer alami yang

terdiri atas sejumlah unit asam amino

(amino acid) yang berikatan satu dengan

yang lainnya lewat ikatan amida/peptide

(Hart, 1990).

Salah satu asam amino yang

terkandung di limbah cair industri tahu

adalah asam glutamat, yang memiliki

titik isoelektrik 3,2.

Struktur kimia asam glutamat adalah:

Gambar 4. Struktur kimia asam glutamat

Mekanisme reaksi limbah cair industri

tahu dengan koagulan organik serbuk

biji kelor

Pada limbah cair industri tahu

mengandung asam glutamat dengan titik

isoelektrik 3,2. Asam glutamat ini

mempunyai muatan negatif (-)

dikarenakan titik isoelektriknya berada

dibawah pH proses koagulasi-flokulasi

yaitu 4. Sedangkan untuk metionin yang

terkandung dalam biji kelor memiliki

titik isoelektrik 5,7, titik ini berada di

atas pH proses koagulasi-flokulasi yaitu

4, maka metionin ini mempunyai

muatan positif (+). Metionin mempunyai

struktur kimia seperti dibawah ini:

Gambar 5. Struktur kimia metionin

Jika pH larutan lebih kecil dari

titik isoelektriknya maka protonnya ada,

jika pH larutan lebih besar dari titik

isoelektriknya maka protonnya tidak ada

(Hart, 1990).

Pada metionin ini protonnya

bertambah karena pH proses koagulasi-

flokulasi lebih kecil dari titik isoelektrik

metionin (5,7), maka struktur kimia

metionin menjadi sebagai berikut:

HOOC-CH2CH2-CH-CO2H

NH2

Gambar 6. Struktur kimia metionin dalam

keadaan asam

Kedua asam amino ini bisa

direaksikan karena sama-sama

merupakan protein dan mempunyai

muatan yang berbeda sehingga pada

proses koagulasi-flokulasi kedua protein

ini saling tarik menarik dan berikatan

sehingga membentuk flok (Tarigan,

2010).

Mekanisme reaksi limbah cair industri

tahu dengan koagulan anorganik serbuk

aluminium sulfat (tawas)

Alum merupakan salah satu

koagulan yang paling lama dikenal dan

paling luas digunakan. Alum padat akan

langsung larut dalam air tetapi

larutannya bersifat korosif

terhadap aluminium, besi, dan beton

sehingga tangki-tangki dari bahan-bahan

tersebut membutuhkan lapisan

pelindung. Rumus kimia alum adalah

Al2(SO4)3.18H2O. Ketika ditambahkan

ke dalam air, alum bereaksi dengan air

dan menghasilkan ion-ion bermuatan

positif.

Pembentukan flok aluminium

hidroksida merupakan hasil dari reaksi

antara

koagulan yang bersifat asam dan

alkalinitas alami air (biasanya

mengandung

kalsium bikarbonat). Pembentukan flok

aluminium hidroksida merupakan hasil

dari reaksi antara koagulan yang bersifat

asam dan alkalinitas alami air (biasanya

mengandung kalsium bikarbonat).

Flok aluminium hidroksida tidak

dapat larut pada rentang pH yang relatif

rendah, dan akan bervariasi tergantung

air yang diolah. Oleh karenanya, kontrol

pH menjadi penting dalam koagulasi,

tidak hanya untuk menyisihkan

kekeruhan dan warna, tetapi juga untuk

menjaga residu terlarut tetap berada

dalam jumlah minimum untuk

membantu sedimentasi. pH optimum

untuk koagulasi menggunakan alum,

sangat tergantung pada karakteristik air

yang diolah, biasanya berada dalam

rentang 5-8 (Kristijarti, 2013).

CH3S-CH2CH2-CH-CO2H

+NH3

KESIMPULAN

1. Proses koagulasi-flokulasi limbah

cair industri tahu dengan

menggunakan koagulan organik

serbuk biji asam jawa dan koagulan

anorganik aluminium sulfat (tawas)

dengan ukuran partikel 100 mesh

dapat menurunkan kadar BOD, COD

dan TSS.

2. Pada proses koagulasi-flokulasi

limbah cair industri tahu dengan

menggunakan koagulan anorganik

serbuk aluminium sulfat (tawas)

kadar 0% dengan dosis 2000 mg/L

yang paling optimal adalah saat

kecepatan pengadukan cepat 100

rpm, yang menghasilkan kadar COD

168 mg/L, BOD 120 mg/L dan TSS

144 mg/L.

3. Pada proses koagulasi-flokulasi

limbah cair industri tahu dengan

menggunakan koagulan serbuk biji

kelor kadar 0% dengan dosis 2000

mg/L yang paling optimal adalah saat

kecepatan pengadukan cepat 100

rpm, yang menghasilkan kadar COD

96 mg/L, BOD 100 mg/L dan TSS 98

mg/L.

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, S., Bangun, A.R., Hutahean,

R.A., Ritonga, M.Y. 2013. Pengaruh

Kadar Air, Dosis dan Lama

Pengendapan Koagulan Serbuk Biji

Kelor sebagai Alternatif Pengolahan

Limbah Cair Industri Tahu. Jurnal

Teknik Kimia USU Vol. 2, No. 1

Ariyanto, A., Pangidoan, Syahroni.

2013. Pengolahan Air Bersih di

Lingkungan Kampus Universitas

Pasir Pengaraian dengan Sistem Up

Flow. Laporan Penelitian, Teknik

Sipil, Universitas Pasir Pengaraian

Coniwanti, P., Eprianie, D., Mertha, I.D.

2013. Pengaruh Beberapa Jenis

Koagulan Terhadap Pengolahan

Limbah Cair Industri Tahu dalam

Tinjauannya Terhadap Turbidity,

TSS dan COD. Jurnal Teknik Kimia

USU Vol. 19, No. 3

Dreifyana, W. 2015. Komparasi Biji

Kelor Berkulit dan Biji Kelor Tanpa

Kulit Pada Proses Koagulasi

Flokulasi Limbah Cair Kopi Metode

Basah. Skripsi, Teknik Pertanian,

Universitas Jember

Enrico, B. 2008. Pemanfaatan Biji Asam

Jawa (Tamarindus indica) Sebagai

Koagulan Alternatif dalam Proses

Penjernihan Limbah Cair Industri

Tahu. Tesis, Teknik Kimia,

Universitas Sumatera Utara.

Hadipoentyanti, E. 2012. Septoria

centellae Penyebab Bercak Daun

Pada Tanaman Pegagan (Centella

asiatica). Warta Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Industri,

Vol. 18, No. 2.

Hart, H., Craine, L. E., Hart, D. J. 1990.

Kimia Organik Suatu Bahan Kuliah

Singkat Edisi Sebelas. Jakarta:

Erlangga

Hastuti, R., Nisa, D.A. 2016.

Pemanfaatan Serbuk Biji Kelor

Sebagai Koagulan pada Proses

Koagulasi Flokulasi Limbah Cair

Industri Tahu Dengan Variasi

Massa Koagulan dan Waktu

Pengadukan. Malang : Institut

Teknologi Nasional

Hayati, E., I. 2015. Pemanfaatan Serbuk

Biji Asam Jawa (Tamarindusindica

L) untuk Pengolahan Limbah Cair

Industri Tempe. Proposal Skripsi,

MIPA Kimia, Universitas Negeri

Semarang.

Indrawati, N., Yunitasari, T. 2016.

Efektivitas Serbuk Biji Kelor dan

Serbuk Biji Asam Jawa sebagai

Koagulan Organik. Laporan

Penelitian, Teknik Kimia, Institut

Teknologi Nasional Malang.

Kaswinarni, F. 2013. Kajian Teknis

Pengolahan Limbah Padat dan Cair

Industri Tahu. Laporan Penelitian,

Teknik Kimia, Universitas

Diponegoro.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup.

2014. Baku Mutu Air Limbah Bagi

Usaha dan atau Kegiatan

Pengolahan Kedelai. Jakarta : KEP-

51/MENLH/5/2014.

Krisnadi, A., D. 2015. Kelor Super

Nutrisi. E-book: Gerakan Swadaya

Masyarakat.

Kristijarti, A., P., Marieanna, Suharto, I.

2013. Penentuan Jenis Koagulan

dan Dosis Optimum untuk

Meningkatkan Efisiensi Sedimentasi

dalam Instalasi Pengolahan Air

Limbah Pabrik Jamu X. Laporan

Penelitian, LPPM, Universitas

Katolik Parahyangan.

Kusnarjo. 2012. Utilitas Pabrik Kimia.

Teknik Kimia: Institut Teknologi

Sepuluh November, Surabaya.

Muhajir, M., S. 2013. Penurunan

Limbah Cair BOD dan COD Pada

Industri Tahu Menggunakan

Tanaman Cattail (Typha

Angustifolia) dengan Sistem

Constructed Wetland. Skripsi, MIPA

Kimia, Universitas Negeri

Semarang.

Mulyarto, A., R., Afshari, K., Nurika, I.

2007. Pemanfaatan Biji Asam Jawa

(Tamarindus Indica) Sebagai

Koagulan Pada Proses Koagulasi

Limbah Cair Tahu Koagulan Pada

Proses Koagulasi Limbah Cair Tahu

(Kajian Konsentrasi Serbuk Biji

Asam Jawa dan Lama Pengadukan).

Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 8,

No.3.

Putri, Y., U. 2010. Studi Pembuatan

Tepung Biji Kecipir (Psophocarpus

Tetragonolobus (L) Dc) Dengan

Metode Penggilingan Basah dan

Analisis Sifat Fisika-Kimia Serta

Karakteristik Fungsionalnya.

Skripsi, Teknik Pertanian, Institut

Pertanian Bogor.

Reynold, Richard. 1996. Unit

Operations and Process an

Environmental Engineering. Jakarta:

Aksara Bintang Utama.

Suardiningsih, D. 2013. Perbedaan Kain

Katun Dengan Poliester Pada

Busana Kuliah Ditinjau Dari Aspek

Kenyamanan. Skripsi, Teknologi

Jasa dan Produksi, Universitas

Negeri Semarang.

Subekti, S. 2011. Pengolahan Limbah

Cair Tahu Menjadi Biogas Sebagai

Bahan Bakar Alternatif. Prosiding

Seminar Nasional Sains dan

Teknologi, Universitas Wahid

Hasyim Semarang.

Susanto, R. 2008. Optimasi Koagulasi

Flokulasi dan Analisis Kualitas Air

Pada Industri Semen. Skripsi,

Program Studi Kimia, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Utami, S., D., R. 2004. Uji Kemampuan

Koagulan Alami dari Biji Trembesi

(Samanea saman), Biji Kelor

(Moringa oleifera), dan Kacang

Merah (Phaseolus vulgaris) dalam

Proses Penurunan Kadar Fosfat

Pada Limbah Cair Industri Pupuk.

Laporan Penelitian, Teknik

Lingkungan, Institut Teknologi

Surabaya.

Yuliastri, I., R. 2010. Penggunaan

Serbuk Biji Kelor (Moringa oleifera)

Sebagai Koagulan dan Flokulan

dalam Perbaikan Kualitas Air

Limbah dan Air Tanah. Skripsi,

Program Studi Kimia, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah