Efek Samping Pada Penderita HIV

12
Efek Samping Pada Penderita HIV/MDR-TB Koinfeksi yang Menerima Pengobatan Antiretroviral dan Pengobatan anti-TB Lini Kedua di Mumbai, India Petros Isaakidis 1 *, Bhanumati Varghese 1 , Homa Mansoor 1 , Helen S. Cox 2,3 , Joanna Ladomirska 1 ,Peter Saranchuk 2 , Esdras Da Silva 1 , Samsuddin Khan 1 , Roma Paryani 1 , Zarir Udwadia 4 , Giovanni Battista Migliori 5 , Giovanni Sotgiu 6 , Tony Reid 7 1 Me´decins Sans Frontie` res, Mumbai, India, 2 Me´decins Sans Frontie` res, South African Medical Unit (SAMU), Cape Town, South Africa, 3 University of Cape Town, Cape Town, South Africa, 4 Parmanand Deepchand Hinduja National Hospital and Medical Research Centre (Hinduja), Mumbai, India, 5 World Health Organization Collaborating Centre for Tuberculosis and Lung Diseases, Fondazione S. Maugeri, Care and Research Institute, Tradate, Italy, 6 Epidemiology and Medical Statistics Unit, Department of Biomedical Sciences, University of Sassari, Sassari, Italy, 7 Me´ decins Sans Frontie`res, Opertational Research Unit, Brussels, Belgium Abstrak Latar Belakang: Efek samping yang signifikan telah banyak di laporkan pada pasien yang menjalani pengobatan untuk Multi Drug and Extensively Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB & XDR-TB). Namun, beberapa data menunjukkan kemungkinan efek samping yang terjadi pada pasien koinfeksi MDR atau XDR TB/ HIV dengan pengobatan antituberkulosis dan antiretroviral (ART) pada program yang telah di atur sedemikian rupa. Metode: Me´decins Sans Frontie`res (MSF) mendukung sebuah program pengobatan berbasis komunitas pada pasien yang MDR-TB yang terinfeksi HIV di lingkungan perdesaan kumuh di Mumbai sejak tahun 2007. Pasien sedang menjalani pengobatan untuk kedua

Transcript of Efek Samping Pada Penderita HIV

Page 1: Efek Samping Pada Penderita HIV

Efek Samping Pada Penderita HIV/MDR-TB Koinfeksi yang Menerima Pengobatan Antiretroviral dan Pengobatan anti-TB Lini Kedua di Mumbai, India

Petros Isaakidis1*, Bhanumati Varghese1, Homa Mansoor1, Helen S. Cox2,3, Joanna Ladomirska1,Peter Saranchuk2, Esdras Da Silva1, Samsuddin Khan1, Roma Paryani1, Zarir Udwadia4, Giovanni Battista Migliori5, Giovanni Sotgiu6, Tony Reid7

1 Me´decins Sans Frontie` res, Mumbai, India, 2 Me´decins Sans Frontie` res, South African Medical Unit (SAMU), Cape Town, South Africa, 3 University of Cape Town, Cape Town, South Africa, 4 Parmanand Deepchand Hinduja National Hospital and Medical Research Centre (Hinduja), Mumbai, India, 5 World Health Organization Collaborating Centre for Tuberculosis and Lung Diseases, Fondazione S. Maugeri, Care and Research Institute, Tradate, Italy, 6 Epidemiology and Medical Statistics Unit, Department of Biomedical Sciences, University of Sassari, Sassari, Italy, 7 Me´ decins Sans Frontie`res, Opertational Research Unit, Brussels, Belgium

Abstrak

Latar Belakang: Efek samping yang signifikan telah banyak di laporkan pada pasien yang

menjalani pengobatan untuk Multi Drug and Extensively Drug Resistant Tuberculosis (MDR-

TB & XDR-TB). Namun, beberapa data menunjukkan kemungkinan efek samping yang

terjadi pada pasien koinfeksi MDR atau XDR TB/ HIV dengan pengobatan antituberkulosis

dan antiretroviral (ART) pada program yang telah di atur sedemikian rupa.

Metode: Me´decins Sans Frontie`res (MSF) mendukung sebuah program pengobatan

berbasis komunitas pada pasien yang MDR-TB yang terinfeksi HIV di lingkungan perdesaan

kumuh di Mumbai sejak tahun 2007. Pasien sedang menjalani pengobatan untuk kedua

penyakit ini dan pengelolaan efek samping terhadap pengobatan telah dilakukan hingga

pasien rawat jalan jika memungkinkan.

Hasil: Antara Mei 2007 dan September 2011, 67 pasien coinfeksi HIV/MDR-TB menjalani

pengobatan dengan obat-obatan anti-TB dan ART; 43,3% perempuan, umur rata-rata 35,5

tahun (range interkuartil: 30,5-42) dan durasi rata-rata pengobatan anti-TB adalah 10 bulan

(range 0,5-30). Secara keseluruhan, efek samping yang sering didapatkan pada penelitian

kohort ini: 71%, 63% dan 40% masing-masing dari pasien menderita satu atau lebih ringan,

efek samping berat atau ringan. Namun jarang mengancam jiwa atau melemahkan. Efek

samping yang paling sering terjadi adalah gejala gastrointestinal (45% dari pasien),neuropati

perifer (38%), hipotiroid (32%), gangguan psikiatrik (29%) dan hipokalemia (23%). Eleven

patients were hospitalized for AE and one or more suspect drugs had to be permanently

Page 2: Efek Samping Pada Penderita HIV

discontinued in 27 (40%). No AE led to indefinite suspension of an entire MDR-TB zor ART

regimen.

Kesimpulan: Efek samping sering terjadi pada kelompok pasien HIV/ MDR-TB di Mumbai

dalam penelitian kohort ini tetapi tidak lebih sering dari pada pasien non-HIV dengan

pengobatan anti-TB yang sama. Kebanyakan efek samping yang timbul berhasil diatasi

dengan rawat jalan melalui program pengobatan berbasis komunitas, meskipun dengan

sumber daya yang terbatas. Kekhawatiran tentang efek samping yang besar dalam

pengelolaan pasien koinfeksi sering terjadi. Bagaimanapun, efek samping seharusnya tidak

menyebabkan keterlambatan pada saat keadaan darurat untuk meningkatkan pemberian

antiretroviral obat anti tuberkulosis lini kedua.

Penyunting: Isaakidis P, Varghese B, Mansoor H, Cox HS, Ladomirska J, et al. (2012) Adverse Events among HIV/MDR-TB Co-Infected Patients Receiving Antiretroviral and Second Line Anti-TB Treatment in Mumbai, India. PLoS ONE 7(7): e40781. doi:10.1371/journal.pone.0040781.

Editor: Robert J. Wilkinson, Institute of Infectious Diseases and Molecular Medicine, Africa Selatan

Diterima March 29, 2012; diterima June 13, 2012; Dipublikasikan July 11, 2012

Copyright: ©2012 Isaakidis et al. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original author and source are credited.

Pendanaan: Me´decins Sans Frontie´res private funds. The funders had no role in study design, data collection and analysis, decision to publish, or preparation of the manuscript.

Minat Kompetisi: The authors have declared that no competing interests exist.

Introduksi

Meskipun pengobatan Multidrug-resistant dan Extensively-drug-resistant Tuberculosis (MDR-TB & XDR-TB) dan obat-obatan Antiretroviral (ART) telah menunjukkan dapat memulihkan gejala pasien, pengobatan pada pasien MDR-TB yang disertai infeksi HIV tetap saja menjadi sebuah tantangan yang besar. Tantangan yang dihadapi berupa pasien harus mengkomsumsi banyak obat pil setiap harinya, menerima obat suntikan intramuskular dalam waktu yang lama dan

adanya potensi ketergantungan dan interaksi antar obat antiretroviral dengan obat anti tuberkulosis lini kedua.

Kini, sangat sedikit penelitian yang melaporkan on ambulatory efek samping3,4,7-12. In addition, ada banyak penurunan yang serius dalam pelaporan efek samping terhadap pasien yang menjalani pengobatan MDR-TB yang disertai infeksi HIV, khususnya melalui program dengan sumber daya yang terbatas.

Page 3: Efek Samping Pada Penderita HIV

Me´decins Sans Frontie`res (MSF) telah melakukan pengobatan terhadap pasien MDR-TB yang disertai infeksi HIV di Mumbai sejak Mei 2007. Pengobatan MDR-TB telah tersedia untuk umum di Mumbai hanza pada akhir tahun 2010.

Laporan ini bertujuan untuk menggambarkan efek samping yang terjadi pada pasien MDR-TB disertai infeksi HIV yang menjalani pengobatan anti tuberkulosis lini kedua dan atiretroviral. Laporan ini juga bertujuan untuk membangun tingkat resolusi terhadap efek samping setelah manjemen dan frekuensi yang tepat pemantauan untuk deteksi dini efek samping selama pengobatan.

Metode

Desain penelitian Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, desain kohort obeservasi dengan menggunakan data yang telah terkumpul secara rutin pada tiap konsultasi pasien dan data pasien yang masuk juga data elektronik yang tersedia.

Cara dan populasi penelitianMSF telah menjalankan sebuah

klinik khusus bagi pasien HIVdi Mumbai, India sejak tahun 2006. Sebuah komponen MDR-TB telah ditambahkan ke dalam program pengobatan HIV pada Mei tahun 2007. Semua pasien yang terinfeksi HIV dengan MDR-TB dan suspek MDR-TB dengan temuan klinis dan riwayat pengobatan TB, dan pasien yang baru memulai pengobatan MDR-TB dan ART diantara Mei 2007 dan September 2011, merupakan kriteria inklusi penelitian ini. Pasien yang dilibatkan dimulai dari pengobatan awal MDR-TB untuk menentukan hasil pengobatan MDR-TB mereka, jenis efek samping yang berbeda-

beda, bisa banyak atau kurang mungkin terjadi selama periode yang berbeda dari pengobatan.

Protokol pengobatan dan tindak lanjut

Semua pasien menerima pengobatan secara individual hingga pasien menjalani pengobatan dengan rawat jalan melalui program berbasis masyrakat yang akan kami jelaskan di bagian lainnya4. Kesimpulannya, regimen pengobatan telah diatur untuk tiap-tiap pasien, berdasarkan hasil Drug Susceptibility Test (DST) pasien terhadap riwayat pengobatan lini pertama atau lini kedua. Sebuah regimen pengobatan yang terstandarisasi telah digunakan sebagai pengobatan empiris pada pasien yang memerlukan pengobatan inisiasi segera karena tingkat keparahan penyakit mereka, atau pasien dengan hasil kultur tuberkulosis negatif, tetapi memiliki suspek MDR-TB yang sangat tinggi berdasarkan riwayat pengobatan dan atau kontak dengan pasien MDR-TB. Regimen yang telah terstandarisasi terdiri dari 6 macam obat, yaitu: Pyrazinamide, Cycloserin dan p-aminosalicylic acid (PAS). Regimen standar telah dimodifikasi setelah hasil DST tersedoia,atau pengobatan dilanjutkan sama seperti pada pasien dengan hasil kultur negatif. Pasien menjalankan pengobatan selama 18 bulan pada program untuk tingkat awal., berdasarkan panduan WHO pada saat itu5. Sekarang, pasien harus menjalani pengobatan sekurang-kurangnya selama 20 bulan, berdasarkan panduan WHO terbaru pada tahun 2011.13

Pasien dievaluasi oleh tim multidisiplin yang telah terlatih seperti dokter, perawat, pekerja sosial dan seorang psikologis dan tim ini memantau

Page 4: Efek Samping Pada Penderita HIV

pemberian obat secara teratur. Dokter memeriksa pasien secara klinis setiap dua minggu pada pengobatan bulan pertama dan sebulan sekali setelahnya. Pada tingkat masyarakat hubungan struktur kesehatan umum maupun swasta dan Non-Governmental Organizations (NGOs) bertindak sebagai penyediaan Directly Observed Therapy (DOT). Penyedia DOT sudah dilatih untyk mendukung pasien dan melaporkan efek samping yang terjadi.

Pada setiap kunjungan ke klinik, pasien dinilai secara klinis untuk pengobatan dan efek samping sesuai dengan protokol di klinik tersebut. Tabel 1 menunjukkan definisi efek samping dan tingkatan yang digunakan di klinik, sesuai dengan alat pemantauan, frekuensi pemantauan dan prinsip dasar pengaturannya. Tingkat keparahan dari efek samping ditentukan oleh kriteria laboratorium (setiap kali diukur) atau berdasarkan kepada efek toleransi dan kepatuhan pasien. Efek samping akan ditatalakasana secara agresif dengan urutan sebagai berikut, maju ke langkah berikutnya apabila tidak ada bantuan dari intervensi yang telah dilakukan sebelumnya: konseling dan pengobatan simptomatik, pembagian total dosis obat yang dicurigai mengganggu aktivitas obat dari sekali sehari menjadi dua kali sehari, pengurangan total dosis obat dengan satu kelas tinggi, dan substitusi obat yang dicurigai dapat mempengaruhi aktivitas obat lainnya. Untuk penyakit yang sangat parah atau peristiwa yang mengancam jiwa, perintah ini tidak dilakukan.

Pasien, kecuali yang sudah memakai ART, memulai pengobatan antiretroviral segera setelah terjadi toleransi terhadap obat TB lini kedua, terlepas dari jumlah CD4. Dua Nucleoside/ Tide Reverse Transcriptase inhibitors

(NRTIs) dan satu Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) yang digunakan untuk pasien yang mengkonsumsi ART lini pertama, sementara pasien yang membutuhkan ART lini kedua menerima regimen protease inhibitor yang sama dengan NRTIs.14

Pengumpulan data dan analisaInformasi demografi dan klinis

secara sistematis dicatat dalam file klinis standar yang dirancang khusus untuk suatu program. Informasi tentang semua pasien secara prospektif dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam database elektronik. Informasi tentang HIV dan terapi antiretroviral dikumpulkan dalam file pasien yang sama tetapi dimasukkan dalam database yang terpisah. Setiap pasien memiliki kode identifikasi unik yang digunakan dalam kedua database. Personil terlatih secara teratur mengevaluasi klinis, pengobatan, dan data laboratorium dari catatan individu pasien dan memasukkan catatan tersebut ke dalam kedua database. Seorang manajer sepanjang waktu secara rutin memeriksa entri data untuk akurasi dan kelengkapan.

Data dari semua pasien yang memulai pengobatan MDR-TB antara Mei 2007 dan September 2011 dimasukkan dalam analisis. Karakteristik pasien saat masuk ke dalam program pengobatan MDR-TB dan timbulnya efek samping hingga akhir periode penelitian dirangkum dengan menggunakan statistik deskriptif. Kami menggunakan uji chi-square dan uji Fisher untuk menilai perbedaan antara kategori variabel. Model univariat dan multivariat berpasangan digunakan untuk menilai faktor risiko yang terkait dengan terjadinya efek samping. Faktor yang terkait dengan efek samping pada analisis univariat dengan p<0,20 dipilih untuk dimasukkan kedalam regresi logistik analisis multivariat. Kami juga mencoba untuk menilai apakah terjadinya efek samping yang parah berhubungan dengan hasil pengobatan yang tidak

Page 5: Efek Samping Pada Penderita HIV

menguntungkan (didefinisikan sebagai kematian, kesulitan, atau kegagalan pengobatan)15. Sebuah nilai p yang kurang dari 0,05 berarti menunjukkan signifikansi statistik. SPSS merupakan suatu perangkat lunak pada komputer (versi 16.0, Chicago, IL) digunakan untuk analisis data.

Etika penelitanStudi ini telah memenuhi kriteria

untuk laporan program pengumpulan data secara rutin, yang ditetapkan oleh Medecins Sans frontie`res Independent Ethics Review Board, Jenewa, Swiss. Karena penelitian ini merupakan pengumpulan data yang dilakukan dari pemantauan secara rutin, informasi persetujuan dari pasien tidak didapatkan. Suatu komitee etik ternama secara khusus menyetujui dan membebaskan tindakan inform consent.

Hasil

Karakteristik pasienAntara Mei 2007 dan September

2011, sebanyak 81 pasien yang terinfeksi HIV didiagnosis dengan MDR-TB (67 bakteriologis dikonfirmasi dan 14 belum dikonfirmasi) dan terdaftar di klinik MSF. Dari jumlah tersebut, 67 pasien HIV/ MDR-TB koinfeksi (53 bacteriologically dikonfirmasi dan 14 belum dikonfirmasi) yang telah menerima setidaknya dua minggu terapi anti-TB-MDR dilibatkan kedalam dalam analisa selanjutnya. Dua puluh sembilan pasien (43,3%) perempuan dan dua pasien (3,0%) adalah individu transgender. Usia rata-rata pasien adalah 35,5 tahun (kisaran interkuartil [IQR] 30,5-42) dandurasi rata-rata terapi MDR-TB pada saat analisis adalah 10 (kisaran 0,5-30) bulan.

Tuberkulosis dan HIV karakteristik klinis dan sejarah pengobatan Secara keseluruhan, 59 pasien (88,1%) menderita TB paru, dua belas diantaranya didiagnosis dengan tuberkulosis paru dan ekstra-paru. Tiga pasien didiagnosis

dengan Entensively Drug-Resistant Tuberkulosis (XDR-TB). Semua kecuali lima pasien (92,5%) telah menerima pengobatan TB sebelumnya. Pengobatan TB dilakukan setengah di sektor publik dan setengah di swasta atau kedua sektor. Setengah dari pasien memiliki riwayat paparan obat TB lini kedua sebelumnya, yang paling sering diantaranya adalah fluoroquino-Lones. Tabel 2 menunjukkan obat yang diresepkan, dosis maksimum dan jumlah pasien per obat yang diresepkan. Median durasi penggunaan narkoba suntik adalah enam bulan (kisaran 0,5-24).

Rata-rata nilai CD4 pasien pada saat MDR-TB dengan pengobatan inisiasi adalah 152 sel/ ul (IQR: 91-220). Empat puluh empat pasien (65,7%) sudah mengkonsumsi ART sebelum didiagnosis MDR-TB adalah dibuat. Dari 23 subjek yang tidak memakai ART pada terapi TB fase inisisasi, 19 pasien memulai pengobatan rata-rata 1,1 bulan setelah memulai pengobatan MDR-TB (IQR: 1,1-4,7). Empat pasien yang tidak pernah memulai pengobatan ART: salah satu dari mereka tewas dan tiga hilang dari pematauan. Tiga puluh tiga dan sepuluh pasien masing-masing diobati dengan lini pertama, berbasis NNRTI ART dan lini kedua protease inhibitor berbasis ART. Tabel 2 adalah daftar obat ARV dan dosis yang biasa digunakan untuk mengobati pasien HIV / MDR-TB dalam program ini.

Hasil pengobatanHasil pengobatan pada penelitian kohort di Mumbai ini, termasuk respon immunologis, yang ditandai dengan peningkatan CD4, telah dilaporkan tempat lain4. Secara keseluruhan, pada akhir tahun 2011, di antara 67 pasien yang sedang menjalani pengobatan, 13 pasien (19,4%) berhasil diobati (yaitu sembuh atau menyelesaikan pengobatan), 14 pasien (20,9%) meninggal, 9 pasien lalai dalam berobat (13,4%), 2 pasien (3,0%) gagal pengobatan dan 29 pasien (43,3%) masih hidup dan dalam masa pengobatan.

Page 6: Efek Samping Pada Penderita HIV

Efek sampingSecara keseluruhan, 71%, 63% dan 40% dari pasien masing-masing mengalami satu atau lebih efek samping ringan, sedang atau berat. Efek samping yang paling sering dihubungkan dengan pemberian sycloserin, etionamid dan p-aminosa- asam lisilik. Ada 151 episode efek samping selama penelitian, 29 dari mereka memilki efek samping yang berat (Tabel 3). Untuk pasien yang memiliki lebih dari satu episode dari efek samping yang sama (misalnya dua atau tiga kali mengalami gejala gastrointestinal) kami menghitungnya menjadi satu kali yang paling parah dari mereka. Di antara mereka yang pernah mengalami efek samping, jumlah rata-ratanya adalah dua (kisaran 1-6).

Peristiwa yang mengancam jiwa jarang ditemukan pada penelitin yang dilakukan di Mumbai ini: hanya satu pasien mengalami hipokalemia berat delapan minggu setelah pengobatan inisiasi dan dua pasien (3,0%) mengalami gangguan ginjal yang parah, yang didiagnosis setelah 16 dan 24 minggu menjalani terapi. Tidak ada kasus drug-induced hepatitis dalam kelompok ini.

Gejala gastrointestinal paling sering terjadi, gejala ini terjadi hampir pada setengah dari pasien, setelah rata-rata (IQR) sembilan minggu (3-19). Neuropati perifer terjadi pada 25 pasien (37%), dengan delapan pasien menderita neuropati parah. Hipotiroid juga sering terjadi, hampir sepertiga dari pasien (31%) memiliki perubahan pada tes fungsi tiroid, dengan waktu rata-rata pengobatan MDR-TB 16 minggu. Efek samping psikiatri juga sering terjadi pada awal pengobatan, hampir sepertiga pasien gangguan kejiwaan dan pada delapan pasien Sycloserin dan/ atau Efavirenz harus dipindahkan dari rejimen pengobatan. Hipokalemia sering terjadi (22%) setelah rata-rata 16 minggu pengobatan. Kebanyakan efek samping

terjadi lebih awal, antara bulan kedua dan bulan keempat pengobatan anti-TB (Tabel 3). Semua efek samping awalnya menimbulkan gejala. Setiap usaha yang dilakukan adalah untuk menunda penghentian permanen dari setiap agen kecuali pada efek samping yang mengancam jiwa atau cukup parah untuk mengganggu pengobatan terlepas dari pengelolaan yang optimal. Diduga obat berkurang dosisnya atau dihentikan sementara. Bahkan, penghentian sementara adalah apa yang paling sering dilakukan untuk peristiwa yang mengancam jiwa. Re-introduksi selalu mengusahakan peningkatan gejala, tanda dan/ atau hasil laboratorium. Karena profil resistensi TB pada penelitian ini cenderung rumit disebabkan adanya pasien yang sudah menerima sebagian besar obat anti-TB lini kedua, maka perlu ditemukan obat alternatif lainnya, dan ini merupakan sebuah tantangan. Seringkali, tidak ada obat alternatif. Dua puluh tujuh pasien (40%) diperlukan penghentian pengobatan permanen setidaknya satu obat yang bermasalah (paling sering PAS dan sycloserin) karena suatu peristiwa yang merugikan. Namun, tidak ada pasien yang mengalami efek samping berupa suspensi tak terbatas dari obat suntik atau seluruh Pengobatan MDR-TB atau terapi antiretroviral.

Sebelas pasien dirawat di rumah sakit karena efek samping selama penelitian. Alasan utama rawat inap adalah adanya penyakit penyerta yang mengancam jiwa (gangguan ginjal berat, hipokalemia), kejang atau gangguan kejiwaan berat. Tiga pasien meninggal selama rawat inap, delapan pasien dipulangkan dengan status sembuh. Rawat inap umumnya dalam waktu yang singkat (kurang dari seminggu) dan hanya dua dari sebelas pasien harus dirawat di rumah sakit lebih dari sekali, keduanya disebabkan oleh hipokalemia. Melihat hasil pengobatan akhir, efek samping mungkin memberikan kontribusi untuk mempersulit kedua pasien ini. Untuk empat pasien, efek

Page 7: Efek Samping Pada Penderita HIV

samping mungkin telah berkontribusi terhadap kematian mereka (dua meninggal dengan gagal ginjal akut, satu pasien bunuh diri dan untuk satu lagi penyebabnya kematian tidak diketahui), meskipun kami tidak bisa mengkonfirmasi hal ini karena pasien sakit parah dan memiliki komorbiditas lain (yaitu: penyakit ginjal kronis, pankreatitis kronis, alkoholisme, depresi klinis dan eritroderma akut). Timbulnya efek samping tidak terdapat adanya perbedaan secara signifikan antara laki-laki dan perempuan atau antara pasien berusia, ≤ 36 tahun dan pasien lebih tua (p = 0,45 dan 0,80 masing masing). Demikian pula, tidak ada perbedaan statistik signifikan yang ditemukan antara pasien dengan tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru, pasien yang sebelumnya telah menerima obat anti tuberkulosis lini kedua atau tidak, atau antara pasien yang menjalani pengobatan ART lini pertama dan ART lini kedua.

Pada penelitian ini pasien terinfeksi HIV yang menjalani pengobatan ART, toksisitas karena ART saja sudah sangat jarang terjadi. Penghentian ART secara keseluruhan tidak dibutuhkan. Perlu dikhawatirkan tatalaksana tenofovir dengan aminoglikosida dan disertai kapreomisin, dan risiko yang terkait aditif toksisitas ginjal. Demikian pula tatalaksana efavirenz dan cycloserine berpotensi meningkatkan risiko terjadinya efek samping kejiwaan. Terakhir, perhatian yang besar harus ditujukan kepada tatalaksana stavudine dan etionamid, cycloserin atau isoniazid dosis tinggi dan risiko terjadinya neuropati perifer. Namun, hanya lima dari 34 pasien yang memakai efavirenz menimbulkan gejala kejiwaan yang parah dan penghentian pengobatan. Di antara 15 pasien yang memakai tenofovir dan obat suntik anti-TBC, dua diantaranya menyebabkan terjadinya gangguan ginjal yang memerlukan penghapusan tenofovir dari regimen antiretroviral. Akhirnya, setidaknya dua pasien dengan neuropati

perifer berat stavudine kemungkinan besar adalah penyebabnya dan harus dihentikan pemberiannya.

Pada analisis univariat, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara efek samping parah dengan hasil pengobatan yang tidak baik.[Odds Ratio: 1,12 (95% CI: 0,41-3,07)]. Tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik demografi dan klinis dengan timbulnya efek samping dalam analisis univariat dan multivariat.