Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

40
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat menyerang berbagai organ tubuh, namun sebagain besar menyerang paru. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar, khususnya di negara berkembang. Beberapa fakta menunjukkan hal ini antara lain: 1 1. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah pasien TB terbanyak ke-4 di dunia setelah India, Cina dan Afrika Selatan.. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% (tahun 2008) dari total jumlah pasien TB di dunia 2. Data yang didapat dari WHO (World Health Organization) pada tahun 2002, terdapat 22 negara di dunia yang memiliki jumlah penderita TB terbesar di dunia. 3. Tahun 2004 tercatat 211.753 kasus baru tuberkulosis di Indonesia, dan diperkirakan sekitar 300 kematian terjadi setiap hari. Setiap tahunnya kasus baru tuberkulosis bertambah seperempat juta. 4. Penemuan kasus BTA positif (case detection rate, CDR) mengalami peningkatan selama periode 2003-2006 dan tahun 2007 menunjukkan penurunan di bawah target global (70%). Angka penemuan kasus TB paru tahun 2003 1

Transcript of Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

Page 1: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat menyerang berbagai organ

tubuh, namun sebagain besar menyerang paru. Tuberkulosis merupakan masalah

kesehatan masyarakat terbesar, khususnya di negara berkembang. Beberapa fakta

menunjukkan hal ini antara lain:1

1. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah pasien TB terbanyak ke-4 di dunia

setelah India, Cina dan Afrika Selatan.. Diperkirakan jumlah pasien TB di

Indonesia sekitar 5,8% (tahun 2008) dari total jumlah pasien TB di dunia

2. Data yang didapat dari WHO (World Health Organization) pada tahun 2002,

terdapat 22 negara di dunia yang memiliki jumlah penderita TB terbesar di dunia.

3. Tahun 2004 tercatat 211.753 kasus baru tuberkulosis di Indonesia, dan

diperkirakan sekitar 300 kematian terjadi setiap hari. Setiap tahunnya kasus baru

tuberkulosis bertambah seperempat juta.

4. Penemuan kasus BTA positif (case detection rate, CDR) mengalami peningkatan

selama periode 2003-2006 dan tahun 2007 menunjukkan penurunan di bawah

target global (70%). Angka penemuan kasus TB paru tahun 2003 sebesar 42%,

tahun 2005 sebesar 54%, tahun 2006 sebesar 76% yang berarti mencapai target

global, namun pada tahun 2007 kembali menurun sebesar 69%.

Dengan penanganan yang tepat, TB merupakan penyakit yang dapat

disembuhkan. Pemerintah juga telah menetapkan pedoman diagnosis dan

penatalaksanaan tuberkulosis. Pengobatan TB memakan waktu yang cukup lama dan

rentan untuk timbulnya efek samping. Sebagian besar pasien TB, dalam perjalanan

pengobatannya tidak selalu dijumpai adanya efek samping. Tetapi pada beberapa

pasien didapatkan efek samping yang dirasakan memberat. Penting bagi pasien untuk

dimonitoring atau dipantau selama pengobatan terhadap efek samping yang mungkin

timbul sehingga dapat dideteksi secara dini dan dilakukan tindakan untuk mengurangi

efek samping tersebut.

1

Page 2: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengobatan TB

Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah

antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium.Aktifitas

obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas

sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid,

Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut

sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal

membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin.Rifampisin dan

pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. 2

Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino

Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin.

Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin

umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat

primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai

alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB. 2

Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan,

maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :

Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk

mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.

Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan

dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly ObservedTreatment)

oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

2

Page 3: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

1. Tahap Intensif

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan

perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan

obat. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif

(konversi) dalam 2 bulan.

2. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun

dalam jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan penting untuk

membunuh kuman persister (dormant)sehingga mencegah terjadinya

kekambuhan

Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap

dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi

OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau2HRZES/5HRE. Kode huruf

tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni : 2

H = Isoniazid

R = Rifampisin

Z = Pirazinamid

E = Etambutol

S = Streptomisin

3

Page 4: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau

frekwensi.Angka 2 didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2

bulan, tiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf,

seperti pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali seminggu ( selama 4 bulan).

Kemasan obat dalam bentuk :

Obat tunggal,

Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin,

Pirazinamid dan Etambutol.

Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)

Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet

Tabel 1. Panduan OAT dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia

Kategori 1 • 2HRZE/4H3R3

Kategori 2 • 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

OAT sisipan • HRZE

Kategori anak • 2HRZ/4HR

1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)1

Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan.

Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan

tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Lama pengobatan seluruhnya 6

bulan

Obat ini diberikan untuk:

• Penderita baru TB Paru BTA Positif.

• Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif

• Penderita TB Ekstra Paru, kasus baru

Page 5: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

2. Kategori -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) 1

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan

HRZES setiap hari.Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah

itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang

diberikan tiga kali dalam seminggu. Lama pengobatan 8 bulan.

Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya

pernah diobati, yaitu:

• Penderita kambuh (relaps)

• Penderita gagal (failure)

• Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

3. OAT Sisipan (HRZE)1

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif

dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan

kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat

sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 – 50

kg: 1 tablet Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet

Pirazinamid 500mg, 3 tablet Etambutol 250 mg Satu paket obat sisipan

berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil.

Tabel 2. Jenis dan dosis OAT1

ObatDosis

(mg/KgBB/hr)

Dosis yg dianjurkanDosisMaks (mg)

Dosis mg/KgBB

Harian (mg/KgBB/hr)

Intermitten (mg/KgBB/kali)

<40 40-60 >60

R 8-12 10 10 600 300 450 600H 4-6 5 10 300 150 300 450Z 20-30 25 35 750 1000 1500E 15-20 15 35 750 1000 1500S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000

v

Page 6: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

Saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix Dose Combination (FDC).

Obat ini pada dasarnya adalah regimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam

tablet yang ada sudah berisi 2,3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan.WHO

sangat menganjurkan pemakaian OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan

keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam bentuk kombipak apalagi dalam

bentuk lepas.

Keuntungan penggunaan OAT FDC:

a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu

kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan

penderita.

b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah

pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat

meningkatkan kepatuhan penderita.

c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita

tidak bisa memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan.

d. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC akan lebih mudah

pengelolaannyadan lebih murah pembiayaannya.3

Tabel 3. Jenis OAT FDC2

Fase Intensif Fase Intensif2 bulan 4 bulan

BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/mingguRHZE

150/75/400/275

RHZ150/75/400

RHZ150/150/500

RH150/75

RH150/150

30-3738-5455-70>71

2345

2345

2345

2345

2345

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang

dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih

termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat

vi

Page 7: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk

kerumah sakit / dokter spesialis paru / fasilitas yang mampu menanganinya.2

4. Kategori Anak

Diagnosis TB anak ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan

teliti (termasuk riwayat kontak dengan pasien TB dewasa), pemeriksaan fisis

termasuk analisis terhadap kurva pertumbuhan serta hasil pemeriksaan penunjang

uji tuberkulin, radiologi, serta pemeriksaan sputum BTA bila memungkinkan.)

Pada anak, batuk bukan merupakan gejala utama TB. Pada anak sangat

sulit sekali mengambil sampel dahak, maka diagnosis TB anak dapat

menggunakan criteria lain yaiotu denganb menggunakan system pembobotan

(scoring system). Apabila diagnosis hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis

dan foto toraks atau laboratorium saja, sering terjadi misdiagnosis, underdiagnosis

atau overdiagnosis.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat program Pedoman

Nasional Tuberkulosis Anak (PNTA) yaitu pembobotan (scoring system) yaitu

pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.

Tabel 4. Sistem pembobotan (scoring system) untuk diagnosis TB pada

anak

vii

Page 8: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak jelas Laporan

keluarga,

BTA tidak

jelas

BTA (+)

Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10

mm, atau ≥ 5

mm pada

keadaan

imunosupresi)

Berat badan

/keadaan gizi

Bawah garis

merah (KMS)

atau BB/U <

80%

Klinis gizi

buruk (BB/U

< 60%)

Demam tanpa

sebab jelas

> 2 minggu

(jelas)

Batuk* > 3 minggu

Pembesaran

kelenjar limfe

coli, aksila,

inginal,

> 1cm, jumlah

> 1, tidak nyeri

Pembengkakan

tulang/sendi

panggul, lutut

Ada

pembengkakan

Foto toraks Normal /

tidak jelas

Kesan TB

Catatan:

Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter

Gejala batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk

kronik lainnya seperti : asma, sinusitis dan lain-lain

viii

Page 9: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat

langsung didiagnosis tuberkulosis

Berat badan dinilai saat pasien datang

Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak

Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari setelah

penyuntikan) harus dievaluasi dengan system scoring TB anak.

Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi

lebih lanjut.

Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (≥6) didiagnosis

sebagai TB anak dan ditatalaksana dengan OAT (obat anti tuberkulosis).

Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kea rah TB kuat

maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnosis lainnya sesuai indikasi,

seperti :

Pemeriksaan mikrobiologi spesimen bilasan lambung, cairan

pleura, cairan serebrospinal, cairan ascites atau spesimen lain.

Pemeriksaan patologi anatomi dengan spesimen hasil operasi dan

atau biopsy.

Pemeriksaan pencitraan di luar paru sesuai indikasi jika perlu

menggunakan CT-Scan.

Pemeriksaan lain seperti funduskopi.

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan

dalam waktu minimal 6 bulan. Terapi TB anak dibagi menjadi 2 tahap, intensif

dan lanjutan. Pada tahap intensif selama 2 bulan awal, mulai bulan ketiga dan

selanjutnya merupakan tahap lanjutan. Pada tahap intensif diberikan paduan >3

OAT. Sedangkan pada tahap lanjutan diberikan paduan 2 obat H dan R.

Pemberian OAT pada anak dilakukan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun

tahap lanjutan, Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

ix

Page 10: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

Tabel 5. Dosis Obat Anti-Tuberkulosis pada anak

Obat Dosis Harian

(mg/KgBB/hari)

Dosis maksimal

(mg per hari)

Isoniazid (H) 5-15* 300

Rifampisisn ** (R) 10-20 600

Pyrazinamide (z) 15-40 2000

Streptomisin (S) 15-40 1000

Catatan:

* Bila Isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh

melebihi 10 mg/Kg?BB/hari

** Rifampisisn tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain

karena bioavailabilitas rifampisin dapat terganggu. Rifampisisn dapat

diabsorbsi dengan baik melaui sistem gastrointestinal pada saat perut

kosong (1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan).

Obat Kombinasi Dosis tetap (KDT)

Obat KDT untuk anak terdiri dari KDT tahap intensif dan KDT tahap

lanjutan. Satu tablet KDT tahap intensif berisi isoniazid 50 mg, rifampisisn 75

mg, dan pirazinamid 150 mg. Sedangkan satu tablet KDT berisi isoniazid 50 mg

dan rifampisin 75 mg.

Tabel 6. Dosis OAT anak dalam bentuk KDT

Berat Badan (kg) KDT Tahap intensif H50,

R75, Z150 2 bulan, tiap

hari

KDT tahap lanjutan H50,

R75 4 bulan, Tiap Hari

05-09 1 tablet 1 tablet

10-14 2 tablet 2 tablet

15-19 3 tablet 3 tablet

20-32 4 tablet 4 tablet

Catatan:

Bayi dengan berat badan kurang dari 5 Kg dirujuk ke RS

Anak dengan BB > 33 Kg, diberikan obat lepas dengan dosis sesuai tabel 5

x

Page 11: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah

Obat KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh, dikunyah

(chewable), atau dilarutkan dalam air (dispersable).

2.2 Efek Samping OAT : 5

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek

samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu

pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan

selama pengobatan.

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 &

5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka

pemberian OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)4,5

Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,

kesemutan, rasa terbakar di kaki dannyeri otot. Efek ini dapat dikurangi

dengan pemberian piridoksin dengan dosis terendah 10 mg perhari atau

dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat

diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom

pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat

timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau

ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada

keadaan khusus.

Insidens dan derajat keparahan reaksi isoniazid yang merugikan berkaitan

dengan dosis dan lama pemberiannya

A. Reaksi Imunologis

xi

Page 12: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. Telah dilaporkan

terjadi lupus ertitematosus sistemis yang dipicu oleh obat

B. Toksisitas langsung

Hepatitis yang terinduksi isoniazid merupakan efek toksik utama

yang paling sering terjadi. Hal ini berbeda dengan sedikit peningkatan

pada aminotransferasi hati (hingga tiga atau empat kali nilai normal), yang

tidak membutuhkan penghentian obat dan dijumpai pada 10-20% pasien,

yang biasanya asimtomatik. Hepatitis klinis yang disertai hilangnya nafsu

makan, mual, muntah, ikterus dan nyeri kuadran kanan atas terjadi pada

1% resipien isoniazid dan dapat mematikan, terutama jika obat tidak

segera dihentikan. Terdapat bukti, histologis terjadinya kerusakan dan

nekrosis hepatoselular. Risiko hepatitis bergantung pada usia, dan jarang

terjadi pada usia di bawah 20 tahun, sebesar 0,3% pada pasien berusia 21-

35 tahun, 1,2% pada pasien berusia 36-50 tahun, dan 2,3% pada pasien

berusia 50 tahun atau lebih. Risiko hepatitis lebih besar pada pecandu

alcohol dan kemungkinan selama kehamilan serta pada masa

pascapersalinan. Timbulnya hepatitis akibat isoniazid menjadi

kontraindikasi bagi pelanjutan pemberian obat tersebut.

Neuropati perifer diamati pada 10-20% pasien yang mendapat

dosis lebih besar dari 5 mg/kg/hari tetapi jarang dijumpai pada pemberian

dosis dewasa standar sebesar 300 mg. Keadaaan ini lebih sering dijumpai

pada asetilator lambat dan pasien dengan keadaan kondisi presdiposisi,

seperti malnutrisi, alkoholisme, diabetes, AIDS dan uremia. Neuropati

terjadi akibat defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid meningkatkan ekskresi

piridoksin, dan toksisitas ini cepat dipulihkan melalui pemberian

piridoksin dengan dosis serendah 10 mg/hari. Toksisitas sistem saraf

pusat, yang lebih jarang ditemui, meliputi hilangnya daya ingat, psikosis

dan kejang. Kesemuanya ini juga berespons terhadap piridoksin.

Berbagai rekasi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya

anemia defisiensi piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna. Isoniazid

xii

Page 13: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

dapat menurunkan metabolisme fenitoin sehingga meningkatkan

toksisitasnya dalam darah.

2. Rifampisin1, 3, 6

Rifampin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urin,

keringat, air mata dan lensa kontak (lensa yang lunak dapat terwarnai secara

permanen).

A. Reaksi Imunologis

Efek samping meliputi ruam dan demam.

B. Toksisitas Langsung

Efek samping yang sesekali mucul meliputi trombositopenia dan nefritis.

Rifampin dapat menimbulkan ikterus kolestatik dan sesekali hepatitis.

Rifampin sering menyebabkan proteinuria rantai-ringan. Jika diberikan kurang

dari dua kali seminggu, rifampin menyebabkan sindrom seperti flu yang

ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan

terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut. Rifampin sanagt menginduksi

kebanyakan isoform sitokrom P450 ( CYP 1A2, 2C9, 2C19, 2D6, dan 3A4)

yang meningkatkan eliminasi berbagai obat lain seperti metadon,

antikoagulan, siklosporin, beberapa antikonvulsan, penghambat protease,

beberapa penghambat reverse transciptase nonnukleosida, kontrasepsi, dan

obat lain. Pemberian rifampin menurunkan kadar semua obat tersebut dalam

serum. Efek lain seperti timbul sindrom seperti flu yang ditandai dengan

demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait

dengan nekrosis tubular akut.

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan

pengobatan simptomatik ialah :

- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah

kadang kadang diare

- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :

xiii

Page 14: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus

distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus

- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah

satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan

diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang

- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

3. Pirazinamid 4,5

Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1-5%

penderita),

General

Demam, porphyry, dysuria jarang dilaporkan. Hiperurisemia dialami oleh

semua penggunanya dan tidak menjadi alasan penghentian terapi.

Hiperurisemia dapat mencetuskan artritis pirai akut.

Gastrointestinal

Efek samping utama adalah reaksi hati. Hepatotoksisitas tampaknya

berhubungan dengan dosis, dan dapat muncul kapan saja selama terapi.

Gangguan GI termasuk mual, muntah dan anoreksia juga telah dilaporkan.

Hematologi dan limfatik

Trombositopenia dan anemia sideroblastik dengan erythroid hiperplasia,

vakuolasi dari eritrosit dan konsentrasi besi serum meningkat j arang

terjadi pada penggunaan obat ini. Efek samping pada mekanisme

pembekuan darah juga jarang dilaporkan.

Efek lainnya

Arthralgia dan milagia ringan dilaporkan sering terjadi. Reaksi

hipersensitivitas termasuk ruam, urtikaria, pruritus juga telah dilaporkan.

Demam, timbulnya jerawat, fotosensitifitas, porfiria, disuria dan nefritis

interstisial telah dilaporkan jarang terjadi.

4. Etambutol 4,5,6

xiv

Page 15: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi. Efek samping yang

paling sering terjadi adalah neuritis retrobulbar, yang menyebabkan

penurunan ketajaman penglihatan dan buta warna merah-hijau. Efek samping

yang terkait dosis ini lebih sering terjadi pada dosis 25 mg/kg/hari yang

diberikan selama beberapa bulan. Pada dosis 15mg/kg/hari atau kurang,

gangguan penglihatan sangat jarang terjadi. Pemeriksaan ketajaman visual

secara teratur sebaiknya dilakukan jika dosis sebesar 25 mg/kg/hari

digunakan. Etambutol relatif dikontraindikasikan pada anak yang terlalu muda

untuk dapat diperiksa ketajaman penglihatan dan diskriminasi warna merah-

hijaunya. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu

setelah obat dihentikan.

Okular

Efek samping pada bagian penglihatan termasuk penurunan ketajaman

penglihatan (termasuk irreversible blindness), Optic neuropathy (termasuk

neuritis optic atau retrobulbar neuritis), scotoma, dan buta warna.

Karakteristik toksisitas penglihatan pada pemberian ethambutol6

Secara klasik, toksistas berhubungan dengan dosis dan lama pemberian, dan

bersifat reversibel ketika obat dihentikan.

o Dose-related

Insidens retrobulbar neuritis akibat ethambutol dilaporkan

bervariasi antara 18% pasien yang menerima lebih dari 35 mg/kg

per hari, 5-6% dengan 25mg/kg per hari dan kurang dari 1%

dengan 15 mg/kg per hari dari ethambuthol HCL dengan

pemberian lebih dari 2 bulan. Belum ada dosis aman yang

dilaporkan, dengan toksisitas dilaporkan pada dosis yang lebih

rendah dari 12,3 mg/kg per hari.

o Duration-related

xv

Page 16: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

Manifestasi dari gangguan penglihatan biasanya terlambat dan

umumnya tidak berkembang sampai setidaknya 1,5 bulan setelah

pengobatan. Mean Interval antara onset terapi dengan efek samping

dilaporkan pada 3 sampai 5 bulan. Manifestasi gangguan setelah

12 bulan pemberian obat juga dilaporkan terjadi. Perlu

diperhatikan bahwa laporan ini menunjukkan sebagian kecil dari

pasien yang diterapi dengan eksternal validitas yang tidak

diketahui.

Retrobulbar neuritis menyebabkan penurunan ketajaman

penglihatan dan penurunan penglihatan warna merah dan hijau biasa

terjadi pada terapi dengan ethambutol dam memerlukan monitoring secara

berkala terhadap ketajaman penglihatan dan perbedaan warna. Optic

neuritis sering terjadi pada pemberian dosis lebih dari 15 mg/kg/hari.

Pemberian terapi sebaiknya dihentikan, ketika didapatkan tanda gangguan

pada penglihatan. Kerusakan dapat mengenai pada saraf perifer maupun

sentral dari nervus optikus. Scotoma juga sering terjadi. Kerusakan

biasanya terjadi setelah 2 bulan pemberian terapi bahkan dapat lebih cepat

terjadi. Faktor predisposisi termasuk penurunan fungsi renal, diabetes, dan

kejadian optic neuritis sebelumnya akibat penggunaan alkohol atau

tembakau. Walaupun gangguan penglihatan tersebut bersifat reversibel

setelah beberapa bulan penghentian ethambutol, kasus kebutaan yang

irreversibel dan kerusakan penglihatan juga telah ada dilaporkan.

Toksisitas terhadap penglihatan dapat lebih parah pada pasien

dengan kerusakan renal, yang dicurigai akibat adanya penumpukan obat di

dalam tubuh.

Metabolik

Efek samping pada metabolik meliputi hiperurisemia dan faktor presipitasi

dari terjadinya gout. Hiperurisemia telah dilaporkan pada lebih dari 66%

pasien yang menerima terapi dan tidak tergantung pada dosis. Biasanya,

lebih menuju kepada arthralgia sendi dan gout arthritis setelah 1 sampai 2

xvi

Page 17: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

bulan terapi. Gejala biasanya menghilang setelah 15 hari sejak obat

dihentikan.

Hepatik

Efek samping termasuk toksisitas liver. Peningkatan sementara dan

asimptomatik dari LFT terjadi pada 10% pasien. Jaundice jarang

dilaporkan terjadi. Peningkatan LFT, biasanya tanpa perubahan dari

bilirubin, terjadi pada 10% pasien yang diterapi dengan ethambutol.

Peningkatan ini menghilang secara spontan ketika pemberian obat

dihentikan. Jaundice asimptomatik juga jarang terjadi pada pemberian

terapi ethambutol

Hipersensitivitas

Efek samping hipersensitivitas termasuk reaksi anafilaktik/anafilaktoid.

Reaksi hipersensitifitas termasuk demam, dan reaksi pada kulit (rash,

dermatitis exfoliatif), lichen-planus reaction, dan toxic epidermal

necrolysis. Reaksi hipersensitifitas ditunjukkan dengan demam (spiking

fever), rash, mual, hipotensi, dan eosinofilia. Lichen-planus-like reactions

termasuk hiperpigmentasi dan desquamasi jarang dilaporkan terjadi, sama

seperti toxic epidermal necrolysis.

Hematologi

Efek samping pada hematologis termasuk trombositopenia, leucopenia dan

neutropenia.

Respiratori

Efek samping pada saluran pernafasan termasuk pulmonary infiltrates

dengan atau tanpa eosinofilia

Gastrointestinal

Keluhan pada gastrointestinal jarang pada pemberian terapi ethambutol

dan biasa berhubungan dengan reaksi hipersensitifitas.

Pseudomembranous colitis dilaporkan terjadi ketika ethambutol diberikan

bersamaan dengan rifampin dan isoniazid. Efek samping yang lain

termasuk mual, muntah, nyeri abdomen, anorexia.

xvii

Page 18: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

Sistem Saraf

Efek samping termasuk sakit kepala, pusing berputar, dan rasa tebal serta

kesemutan pada ekstremitas akibat peripheral neuritis.

Psikiatrik

EFek samping termasuk gangguan menta, disorientasi dan halusinasi.

Dermatologi

Efek samping meliputi dermatitis, erythema multiforme, dan pruritus.

Muskuloskeletal

Efek samping termasuk gangguan sendi

Renal

Efek samping pada renal jarang terjadi seperti reversible renal

insufficiency. Terjadi gangguan pada renal meliputi peningkatan kreatinin

serum dan idiosyncratic interstitial nephritis.

5. Streptomisin4,5

Reaksi Simpang Aminoglikosida secara umum

Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas dan

nefrotoksisitas lebih mungkin dijumpai bila terapi dilanjutkan selama lebih

dari 5 hari, pada dosis yang lebih tinggi, pada lansia, dan pada keadaan

insufisiensi ginjal. Penggunaan aminoglikosida secara bersamaan dengan

diuretik kuat (misalnya furosemid, asam etakrinat) atau antimikroba laninnya

yang bersifat nefrotoksik (misalnya, vankomisin atau amfoterisin) dapat

memperparah nefrotoksisitas dan harus dihindari bila memungkinkan.

Ototoksisitas dapat bermanifestasi sendiri baik berupa kehilnagan

pendengaran, yang awalnya menimbulkan tinnitus, atau berupa kerusakan

vestibular yang ditandai adanya vertigo, ataksia, dan hilangnya keseimbangan.

Nefrotoksisitas menyebabkan peningkatan kadar kreatinin dalam serum atau

penurunan clearance kreatinin meskipun indikasi paling awal terjadinya

toksistas seringkali berupa peningkatan kadar terendah (trough)

aminoglikosida serum. Neomisin, kanamisin dan amikasin adalah obat-obat

yang paling bersifat ototoksik. Streptomisin dan gentamisin paling bersifat

xviii

Page 19: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

vestibulotoksik. Neomisin, tobramisin, dan gentamisin paling bersifat

nefrotoksik.

Pada dosis yang sangat tinggi, aminoglikosida dapat menimbulkan efek

yang mirip kurare dengan blokade neuromuskular yang menimbulkan paralisis

pernafasan. Paralisis tersebut biasanya bersifat reversibel dengan pemberian

kalsium glukonat (diberikan segera) atau neostigmin. Hipersensitivitas tidak

sering terjadi.

Reaksi Simpang Streptomisin5

Demam, ruam, kulit, dan manifestasi alergi lainnya dapat terjadi akibat

hipersensitivitas terhadap streptomisin. Hal ini paling sering terjadi akibat

paparan yang lama dengan obat ini, baik pada pasien yang menjalani

pengobatan dalam jangka panjang (misalnya tuberkulosis) maupun pada

petugas media yang bertugas menangani obat ini. Desensitisasi kadang-kadang

berhasil.

Rasa nyeri di tempat suntikan biasa terjadi tetapi tidak hebat. Efek toksik

yang paling serius pada penggunaan streptomisin adalah gangguan vestibular,

berupa vertigo dan hilangnya keseimbangan. Frekuensi dan keparahan

gangguan ini berhubungan langsung dengan umur, pasien, kadar obat dalam

darah, dan lama pemberian. Disfungsi vestibular dapat terjadi setelah beberapa

minggu dengan kadar obat yang relatif rendah dalam darah. Toksisitas

vestibular cenderung bersifat ireversibel. Streptomisin yang bdiberikan selama

kehamilan dapat menyebabkan ketulian pada neonates sehingga

penggunaannya pada kasus ini relatif dikontraindikasikan.

xix

Page 20: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

Tabel 7. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya 2

Efek Samping Kemungkinan Penyebab

Tatalaksana

Minor OAT TeruskanTidak nafsu makan, mual,

sakit perutRifampisin Obat diminum malam

sebelum tidurNyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol

Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki

INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100 mgperhari

Warna kemerahan pada air seni

Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa

Mayor Hentikan ObatGatal dan kemerahan

pada kulitSemua jenis OAT Beri antihistamin &

dievaluasi ketatTuli Streptomisin Streptomisin dihentikan

Gangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus)

Streptomisin Streptomisin dihentikan

Ikterik / Hepatitis ImbasObat (penyebab lain

disingkirkan)

Sebagian besar OAT Hentikan semua OATSampai ikterik menghilang

dan boleh diberikanhepatoprotektor

Muntah dan confusion(suspected drug-induced

pre-icteric hepatitis)

Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT &lakukan uji fungsi hati

Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutolKelainan sistemik,termasuk syok dan

purpura

Rifampisin Hentikan Rifampisin

Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal

singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil

meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian

pasien menghilang, namun pada sebagian pasien malah menjadi suatu kemerahan

kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan

tersebut menghilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu

dirujuk.

xx

Page 21: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

Pada unit pelayanan kesehatan rujukan (UPK Rujukan) penanganan kasus-kasus

efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka

pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan

menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat

mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.

Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas

atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT

dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai prinsip dechallenge-

rechallenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis

rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reaksi

hipersensitivitas.

Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui,

misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan

TB dapat diberikan lagi tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat

tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu

diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.

Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan)

terhadap Isoniasid (INH) atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis

OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting)

dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi

hipersensitivitas terhadap Isoniasid (INH) dan atau Rifampisin tersebut

HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan

lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab

mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat.

Dari semua lini pertama pengobatan TB, isoniazid , pyrazinamide dan

rifampisin dapat mengakibatkan kerusakan pada hati. (drug induced-hepatitis),

sebagai tambahan rifampisin dapat mengakibatkan jaundice yang asimptomatik

tanpa ada buktinya nyata telah terjadinya hepatitis. Sangat penting untuk

xxi

Page 22: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

menyingkirkan kemungkinan lain dari penyebab hepatitis selain dari akibat

regimen pengobatan TB.

Manajemen hepatitis akibat pengobatan TB tergantung dari :

Fase pengobatan; pasien dalam pengobatan fase intensif atau fase lanjutan.

Keparahan dari penyakit hati

Keparahan dari TB

Kemampuan dari unit kesehatan untuk menangani efek samping dari OAT.

Bila diperkirakan penyebab dari gangguan hati adalah disebabkan karena obat

anti-TB, semua obat TB tersebut harus dihentikan pemberiannya. Jika penyakit

TB sangat berat dan diperkirakan tidak aman untuk menghentikan pengobatan

TB, regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan

fluoroquinolone dapat mulai diberikan.

Bila pengobatan TB telah dihentikan. Perlu untuk menunggu fungsi hati

kembali normal dan gejala klinis (seperti mual, nyeri abdomen) menghilang

sebelum memberikan kembali obat anti-TB. Jika tidak memungkinkan melakukan

tes fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu setidaknya 2 minggu setelah

menghilangnya jaundice dan tenderness pada abdomen bagian atas sebelum

memulai pengobatan TB. Jika gejala dan tanda tidak menghilang dan penyakit

hati bertambah parah, pemberian regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari

streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan (atau

dilanjutkan) selama total 18-24 bulan.

Ketika drug-induced hepatitis menghilang, obat dapat diberikan kembali

satu persatu. Jika gejala muncul kembali atau LFT menjadi abnormal setelah obat

diberikan. Obat terakhir yang ditambahkan harus dihentikan. Beberapa ahli

menganjurkan untuk memulai dengan rifampisin karena hampir sedikit

samadengan isoniazid atau pyrazinamid dalam menyebabkan hepatotoksik dan

merupakan agen yang paling efektif. Setelah 3-7 hari, isoniazid dapat mulai

diberikan. Pada pasien yang pernah mengalami jaundice dan tahan terhadap

xxii

Page 23: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

pemberian kembali dari rifampisin dan isoniazid, dianjurkan untuk menghindari

pyrazinamide.

Regimen alternatif tergantung dari obat mana yang berimplikasi menyebabkan

hepatitis.

Jika rifampisin berimplikasi, regimen yang dianjurkan adalah tanpa

rifampisin dengan 2 bulan isoniazid, ethambutol dan streptomycin diikuti

dengan 10 bulan isoniazid dan ethambutol

Jika isoniazid tidak dapat digunakan, 6-9 bulan dari rifampisin,

pyrazinamide dan ethambutol dapat dipertimbangkan.

Jika pyrazinamide dihentikan sebelum pasien menyelesaikan fase intensif,

total terapi dari isoniazid dan rifampisin dapat diperpanjang hingga 9

bulan.

Bila isoniazid maupun rifampisin tidak dapat digunakan, regimen

nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan

fluoroquinolone dapat dilanjutkan selama total 18-24 bulan.

Pemberian kembali obat secara satu persatu merupakan pendekatan yang

optimal, terutama jika hepatitis pasien sudah berat. Program nasional kontrol TB

menggunakan tablet FDC yang terbatas untuk setiap unit obat TB terpisah yang

digunakan untuk pengobatan dengan pendekatan diatas. Bagaimanapun, jika,

suatu unit kesehatan di suatu daerah tidak memiliki anti TB secara terpisah,

(single anti TB-drugs) pengalaman klinis pada daerah dengan sumber daya

terbatas telah menunjukkan kesuksesan dengan menggunakan pendekatan sebagai

berikut, baik tergantung hepatitis dengan jaundice yang terjadi pada fase intensif

atau lanjutan.

Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase intensif dari pengobatan

TB dengan isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambuthol; ketika

hepatitis menghilang, ulangi kembali semua obat kecuali ganti

pyrazinamid dengan streptomycin untuk menyelesaikan 2 bulan dari

permulaan terapi, diikuti rifampisin dan isoniazid selama 6 bulan pada fase

lanjutan.

xxiii

Page 24: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase lanjutan, ketika hepatitis

menghilang, ulangi kembali isoniazid dan rifampisin untuk menyelesaikan

4 bulan dari terapi lanjutan.

xxiv

Page 25: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek

samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu

pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan

selama pengobatan, antara lain :

1. Efek Samping Isoniazid berupa hepatitis, neuritis perifer, dan

hipersensitivitas.

2. Efek Samping Rifampisin berupa reaksi kulit, gejala pada

gastrointestinal, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati,

cairan tubuh berwarna oranye kemerahan.

3. Efek samping Pyrazinamide berupa toksisitas hati, artralgia, gejala

pada gastrointestinal dan hipersensitivitas.

4. Efek samping Etambutol berupa neuritis optik, ketajaman penglihatan

berkurang, nuta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang,

hipersensitivitas dan gejala pada gastrointestinal.

5. Efek samping Streptomisin berupa ototoksik dan nefrotoksik.

3.2 Saran

Penting bagi pasien untuk dimonitoring atau dipantau selama pengobatan

terhadap efek samping yang mungkin timbul sehingga dapat dideteksi secara dini

dan dilakukan tindakan untuk mengurangi efek samping tersebut. Oleh karena itu

perlu adanya penjelasan dan edukasi terhadap efek samping dari pemberian OAT.

xxv

Page 26: Efek samping-obat-anti-tuberkulosis

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. 2010. Panduan Tatalaksana Tuberkulosis.

Jakarta

2. World Health Organisation. 2003. Treatment of tuberculosis:

guidelines for national programmes. 3 rd ed. Geneva`: WHO. Hal. 28-

35

3. Dahlan, Z. 1997. Diagnosis dan Penatalaksanaan

Tuberkulosis.Tinjauan Kepustakaan. Cermin Dunia Kedokteran

No.115. Jakarta. Hal. 8-12

4. Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit

Tuberkulosis. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik

Direktorat Jenderal. Edisi 2. Cetakan kedua . Jakarta Dep Kes RI

5. Katzung, 2004. Farmakologi Klinik. Edisi ke 4. EGC. Jakarta.

6. RYC Chan, et al, 2006. Ocular toxicity of ethambutol: review article.

Hong Kong. Medical Journal. Vol 12. No 1. February 2006.

7. Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis.

xxvi