EFEK PENCEMARAN PERAIRAN SUNGAI KAMPAR DI … · Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan...
Transcript of EFEK PENCEMARAN PERAIRAN SUNGAI KAMPAR DI … · Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan...
EFEK PENCEMARAN PERAIRAN SUNGAI KAMPAR DI PROVINSI RIAU TERHADAP IKAN BAUNG
(Hemibagrus nemurus)
ERLANGGA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Efek
Pencemaran Sungai Kampar Di Provinsi Riau terhadap Ikan Baung (Hemibagrus
nemurus) adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Agustus 2007
Erlangga NRP C251050071
ABSTRAK
ERLANGGA. Efek Pencemaran Perairan Sungai Kampar Di Provinsi Riau terhadap Ikan Baung (Hemibagus nemurus). Dibimbing oleh ETTY RIANI dan HEFNI EFFENDI.
Muara Sungai Kampar merupakan gabungan dari beberapa aliran sungai besar dan anak sungai yang terdapat di Provinsi Riau. Aliran air yang masuk ke muara Sungai Kampar mengindikasikan banyak mengandung bahan pencemar. Hal ini terjadi karena di sepanjang sungai yang mengalir ke muara Sungai Kampar terdapat banyak pabrik-pabrik atau kegiatan industri yang beroperasi dan membuang limbahnya ke sungai. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi kandungan bahan pencemar dari berbagai aktivitas manusia yang berada di sekitar perairan Sungai Kampar, khususnya bahan pencemar yang ditimbulkan dari aktifitas industri terhadap organisme perairan.
Metode yang digunakan adalah survey lapangan dan melakukan analisa logam berat dengan menggunakan metode AAS, analisa histologi, analisis statistika setiap parameter (air, sedimen dan organ insang dan ginjal ikan baung). Hasil analisa didapatkan bahwa logam berat yaitu kandungan Pb dan Cd yang cukup tinggi terutama pada bagian hulu dan juga telah terakumulasi pada organisme ikan baung. Ini dapat dilihat dari analisa histopatologi pada insang dan ginjal ikan. Pada organ insang dan ginjal ikan baung telah mengalami perubahan bentuk akibat adanya logam berat tersebut. Analisa statisika menunjukkan interaksi yang nyata dengan nilai P > 0,05 antara faktor air, sedimen, insang dan ginjal ikan terhadap stasiun pengamatan (hulu, tengah dan hilir Sungai Kampar). Kandungan logam Cd di perairan Sungai Kampar bedasarkan analisis statistika menunjukkan tidak adanya interaksi antara parameter dengan stasiun pengamatan pada taraf p > 0,05. Ini membuktikan bahwa akibat berbagai aktifitas terutama industri yang membuang limbah yang mengandung logam berat mempengaruhi perubahan kualitas air dan organisme ikan terutama ikan baung. Kata kunci : Sungai Kampar, Logam berat, Ikan baung.
ABSTRACT ERLANGGA. Pollution Effect on Kampar River Site Riau Province to Bagridae Fish (Hemibagrus nemurus). Under the direction of ETTY RIANI and HEFNI EFFENDI.
The estuary of Kampar river was the combined of several large river stream and several small river stream in Riau Province. The stream that come in to Kampar estuary site was indicated contains of many polutans. Its problem caused by the many factory and several industrial activity who operated along the river stream then throw they pollutas into the river. This research done to find the information of pollutans evel from severals human activity around the Kampar stream, specialy the effect of industrial pollutan to water organism.
The method of the research is direct survey and AAS heavy metal analized, histology analized, statistical analize to each parameters (water, sediment, gill and kidney of Bagridae fish). The result showns that content of Pb and Cd was so high, specially on uspstream and Bagridae fish. It can be seen from the analize of gills histopatologyc and its kidney. That two organs has been transform cause of the heavy metals accumulation on its body. Statistical analize shown real interaction (P > 0,05) between water, sediment, gills and kidney to the surveying station (upstream, midstream and downstream of Kampar River). The contains of Cd on Kampar stream based on statistical analize shown that no interaction between the parameters and survey station on the level P > 0,05. This prove that several industrial activities who throw the pollutans that contain heavy metal on to the Kampar River was taking effect to the water quality and the organism specially on Bagridae fish. Keyword: Kampar River, Heavy Metal, Bagridae Fish.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak Cipta Dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm dan sebagainya
EFEK PENCEMARAN PERAIRAN SUNGAI KAMPAR DI PROVINSI RIAU TERHADAP IKAN BAUNG
(Hemibagrus nemurus)
ERLANGGA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
Judul : Efek Pencemaran Sungai Kampar Di Provinsi Riau Terhadap
Ikan Baung (Hemibagrus nemurus)
Nama : Erlangga
N R P : C251050071
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Etty Riani, M.S. Ketua
Dr.Ir.Hefni Effendi, MPhil. Anggota
Mengetahui
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr.Ir. Sulistiono, M.Sc
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 6 Agustus 2007 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala
berkat, karunia dan pertolongan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Efek Pencemaran
Perairan Sungai Kampar Di Provinsi Riau terhadap Ikan Baung (Hemibagrus
nemurus) dapat terselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibuk Dr. Ir. Etty Riani, M.S dan
Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil selaku pembimbing. Di samping itu, ucapan
terima kasih kepada Pemda Provinsi Riau atas bantuan dana selama masa studi di
Intitut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih juga di sampaikan kepada Ayah,
Ibu, serta seluruh keluarga atas kasih sayang, doa dan dukungan semangat
maupun materi pada penulis selama studi. Terima kasih juga di ucapkan kepada
seluruh teman-teman di Program studi SPL, khususnya angkatan 12 dan pegawai
sekretariat Program studi SPL, atas segala bantuannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Sekian dan terima kasih.
Bogor, Agustus 2007
Erlangga
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Siak, Riau pada 18 April 1982 dari ayah bernama
Zuarman dan ibu Erina. Penulis merupakan putra pertama dari lima bersaudara.
Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada 1994 di SDN 012
Pekanbaru, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMPN 09 Pekanbaru lulus pada
tahun 1997, dan menyelesaikan Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 10
Pekanbaru pada tahun 2000. Tahun 2005, penulis berhasil menyelesaikan
pendidikan Sarjana Strata Satu pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Riau. Tahun 2005 penulis melanjutkan studi pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL............................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xiii
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang . .................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 2
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 4
1.4 Hipotesis . ............................................................................................. 5
1.5 Kerangka Pemikiran . ........................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 7
2.1 Muara Sungai (Estuaria) ...................................................................... 7
2.2 Parameter Fisika dan Kimia Kualitas Air............................................. 8
2.3 Pencemaran . ....................................................................................... 9
2.4 Ikan Baung (Hemibagrus nemurus) ..................................................... 22
2.4 Histopatologi ........................................................................................ 24
III. BAHAN DAN METODE ......................................................................... 29
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................... 29
3.2 Bahan dan Alat .................................................................................... 29
3.3 Metode Penelitian ................................................................................ 30 3.3.1. Titik Pengambilan Sampel............................................................ 30 3.3.2. Metode Parameter Kualitas Air .................................................... 31 3.3.3. Pembuatan Preparat Histologis..................................................... 31 3.3.4. Pengukuran Kandungan Logam Berat.......................................... 32 3.3.4.1. Pengukuran Kandungan Logam Berat untuk Ikan ........... 33 3.3.4.2. Pengukuran Kandungan Logam Berat dalam Air ............ 34 3.3.4.3. Pengukuran Kandungan Logam Berat dalam Sedimen ... 35 3.3.4.4. Pengukuran Koefisien Distribusi (Kd) dan ...................... Biokonsentrasi Faktor ...................................................... 36
3.4 Analisa Data dan Penyajian Data ........................................................ 37 3.4.1. Analisa Deskriptif......................................................................... 37 3.4.2. Analisa Histopatologi ................................................................... 37
IV Gambaran Umum Lokasi Penelitian....................................................... 38
4.1 Gambaran Umum ................................................................................. 38
4.1.1. Keadaan Geografis dan Demografis............................................. 38 4.1.2. Struktur Ekonomi ......................................................................... 39 4.1.3. Kondisi Sosial Budaya.................................................................. 40
4.2. Kabupaten Kampar............................................................................... 42 4.2.1. Informasi Umum........................................................................... 42 4.2.2. Fasilitas dan Infrastruktur ............................................................. 44 4.2.3. Beberapa Potensi Daerah.............................................................. 45
4.3. Kabupaten Pelelawan ........................................................................... 46 4.3.1. Informasi Umum........................................................................... 46 4.3.2. Fasilitas dan Infrastruktur ............................................................. 48 4.3.3. Beberapa Potensi Daerah.............................................................. 49
V Hasil dan Pembahasan................................................................................ 51
5.1. Kualitas Air .......................................................................................... 51 5.1.1. Suhu .............................................................................................. 52 5.1.2. pH ................................................................................................. 52 5.1.3. Salinitas ........................................................................................ 53 5.1.4. TSS................................................................................................ 54
5.2. Logam Berat ......................................................................................... 55 5.2.1. Kandungan Logam Berat dalam Air dan Sedimen....................... 56 5.2.2. Hubungan Kandungan Logam Berat dengan Parameter .............. Kualitas Air .................................................................................. 61 5.2.3. Kandungan Logam Berat pada Insang dan Ginjal Ikan................ 63
5.3. Analisis Histopatologi .......................................................................... 67 5.3.1. Analisis Histopatologi Ginjal Ikan Baung (Hemibagrus nemurus) 68 5.3.2. Analisis Histopatologi Insang Ikan Baung (Hemibagrus nemurus) 71
5.4. Distribusi Logam Berat ........................................................................ 75
5.5. Korelasi Logam Berat pada Sedimen, Air dan Organ Ikan.................. 77
5.6. Pengelolaan Wilayah Sungai Kampar.................................................. 79
VI Kesimpulan dan Saran............................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 82
LAMPIRAN..................................................................................................... 86
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Batas maksimum cemaran logam berat dalam makanan ........................... 15
2. Standar baku mutu air terhadap logam berat.............................................. 16
3. Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut ............................................... 16
4. Klasifikasi partikel sedimen menurut skala Wenworth ............................. 18
5. Metode pengukuran parameter kualitas air ................................................ 30
6. Bahan dan alat yang dipergunakan ............................................................ 30
7. Kandungan logam berat dalam sedimen (dalam ppm)............................... 36
8. Jumlah penduduk Provinsi Riau tahun 2000 berdasarkan ........................ Sensus penduduk........................................................................................ 41
9. Jumlah penduduk msing-masing kabupaten/kota dari tahun 2000-2004... 41
10. Kepadatan penduduk Provinsi Riau menurut kabupaten/kota tahun 2004 42
11. Jumlah penduduk kabupaten/kota berdasarkan kelompok umur ............... 42
12. Nama kecamatan, luas wilayah, jumlah kelurahan dan desa ..................... di Kabupaten Pelelawan............................................................................. 48
13. Rata-rata kualitas air pada stasiun pengamatan ......................................... 51
14. Kriteria kualitas perairan berdasarkan kandungan total bahan tersuspensi 55
15. Nilai rata-rata kadar Pb (ppm) pada sedimen dan air................................. 57
16. Nilai rata-rata kadar Cd (ppm) pada sedimen dan air ................................ 59
17. Nilai rata-rata kadar Pb (ppm) pada organ ikan baung .............................. 64
18. Nilai rata-rata kadar Cd (ppm) pada organ ikan baung.............................. 65
19. Perubahan histologi ginjal ikan baung ....................................................... 68
20. Perubahan histologi insang ikan baung...................................................... 72
21. Hasil perhitungan koefisien distribusi dan biokonsentrasi faktor .............. 76
22. Korelasi logam Pb pada sedimen, air dan organ ikan ................................ 77
23. Korelasi logam Cd pada sedimen, air dan organ ikan................................ 79
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran efek pencemaran pada muara Sungai Kampar ......... terhadap ikan dalam pengelolaan lingkungan ............................................ 6 2. Skema proses alami yang terjadi jika polutan (logam berat) masuk ......... Ke lingkungan laut ..................................................................................... 12
3. Ikan baung (Hemibagrus nemurus)............................................................ 23
4. A. Struktur eksternal (bagian luar) insang ................................................. B. Struktur internal (bagian dalam) insang ................................................ 25
5. Insang yang terkena polutan....................................................................... 27
6. Peta lokasi penelitian Provinsi Riau........................................................... 29
7. Prinsip kerja spektrofotometrik.................................................................. 33
8. Nilai rata-rata kadar Pb pada sedimen dan air di setiap stasiun................. 58
9. Nilai rata-rata kadar Cd pada sedimen dan air di setiap stasiun ................ 60
10. Nilai rata-rata kadar Pb pada organ insang dan ginjal setiap stasiun......... 65
11. Nilai rata-rata kadar Cd pada organ insang dan ginjal setiap stasiun ........ 66
12. Analisis histopatologi ginjal ikan baung pada stasiun I ............................. 69
13. Analisis histopatologi ginjal ikan baung pada stasiun II............................ 69
14. Analisis histopatologi ginjal ikan baung pada stasiun III .......................... 70
15. Ginjal ikan normal...................................................................................... 70
16. Analisis histopatologi insang ikan baung pada stasiun I............................ 72
17. Analisis histopatologi insang ikan baung pada stasiun II .......................... 73
18. Analisis histopatologi insang ikan baung pada stasiun III ......................... 73
19. Insang ikan normal..................................................................................... 75
20. Histologi insang ikan normal (Sims, 2005) ............................................... 75
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Analisis sidik ragam untuk logam Pb......................................................... 87
2. Analisis sidik ragam untuk logam Cd ........................................................ 89
3. Analisis regresi logam Cd .......................................................................... 91
4. Analisis regresi logam Pb .......................................................................... 92
5. Nilai kualitas air pada tiap stasiun pengamatan ......................................... 93
6. Gambar alat penelitian (oven, desikator, timbangan elektrik, kertas......... milipore, refraktometer, petersen grabe).................................................... 94
7. Gambar alat penelitian (spektofotometer, kertas pH, vacum pump) ......... 95
8. Perairan bagian hulu dan tengah Sungai Kampar ...................................... 96
9. Perairan bagian hilir Sungai Kampar dan alat penangkapan ikan.............. 97
10. Alat transportasi dan kegiatan transportasi di perairan Sungai Kampar .... 98
11. Kegiatan showmil di bagian hilir Sungai Kampar ..................................... 99
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi
sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut telah banyak dimanfaatkan dan
memberikan sumbangan yang berarti, baik bagi peningkatan taraf hidup
masyarakat maupun sebagai penghasil devisa negara yang sangat penting.
Aktifitas perkonomian yang dilakukan di kawasan pesisir diantaranya adalah
kegiatan perikanan (tangkap dan budidaya), industri dan pariwisata.
Selain dimanfaatkan untuk kegiatan perekonomian, wilayah pesisir juga
digunakan sebagai tempat membuang limbah dari berbagai aktifitas manusia, baik
dari darat maupun di kawasan pesisir itu sendiri. Kegiatan ini memberikan
dampak yang tidak diharapkan dari kondisi biofisik pesisir yang dikenal sangat
peka terhadap perubahan lingkungan. Salah satu jenis perairan yang akan terkena
dampak adalah perairan estuaria.
Estuaria merupakan suatu habitat yang bersifat unik karena merupakan
tempat pertemuan antara perairan laut dan perairan darat. Namun wilayah pesisir
juga kerap mendapat tekanan ekologis berupa pencemar yang bersumber dari
aktifitas manusia. Melimpahnya bahan pencemar tersebut di wilayah pesisir
merupakan ancaman yang serius terhadap kelestarian perikanan laut. Menurut
Dahuri (1996) akumulasi limbah yang terjadi di wilayah pesisir, terutama
diakibatkan oleh tingginya kepadatan populasi penduduk dan aktifitas industri.
Kondisi seperti ini disinyalir juga terjadi di perairan muara Sungai Kampar.
Muara Sungai Kampar merupakan gabungan dari beberapa aliran sungai
besar dan anak sungai yang terdapat di Provinsi Riau. Aliran air yang masuk ke
muara Sungai Kampar mengindikasikan banyak mengandung bahan pencemar.
Hal ini terjadi karena di sepanjang sungai yang mengalir ke muara Sungai Kampar
terdapat banyak pabrik-pabrik atau kegiatan industri yang beroperasi dan
membuang limbahnya ke sungai. Pabrik yang paling besar masuk ke aliran Sungai
Kampar adalah jenis pabrik kertas yaitu PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and
Paper). Masuknya bahan pencemar ke dalam perairan muara sungai ini akan
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada berbagai organ tubuh, bahkan bukan
2
tidak mungkin dapat mengakibatkan kematian serta mengakibatkan spesies
tertentu yang rentan terhadap bahan pencemar menjadi hilang/punah sehingga
spesies ikan yang dijumpai menjadi berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat
Dahuri dan Arumsyah (1994) bahwa masuknya bahan pencemar ke dalam
perairan dapat mempengaruhi kualitas perairan. Apabila bahan yang masuk ke
perairan melebihi kapasitas asimilasinya, maka daya dukung lingkungan akan
menurun. Sehingga menurun pula nilai perairan dan peruntukan lainnya.
Bahan pencemar yang masuk ke muara sungai dan estuari akan tersebar
dan akan mengalami proses pengendapan, sehingga terjadi penyebaran zat
pencemar. Besar kecilnya nilai kisaran dari parameter terukur tergantung dari
volume air pengencer, toksisitas/intensitas bahan pencemar, iklim, kedalaman,
arus, topografi dan geografi, sehingga terjadi perubahan sifat fisik, kimia dan
biologi dan ketiganya akan saling berinteraksi. Apabila salah satu faktor
terganggu atau mengalami perubahan akan berdampak pada ekologi perairan.
Penyebaran bahan pencemar terutama logam berat dalam perairan dengan
proses pengendapan akan mempengaruhi siklus hidup dari hewan perairan
terutama ikan. Dengan terjadinya proses pengendapan bahan pencemar di dasar
perairan akan memberikan dampak terakumulasinya bahan pencemar dalam tubuh
organisme melalui rantai makanan. Ikan baung salah satu jenis ikan yang hidup di
dasar perairan Sungai Kampar dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat setempat,
padahal ikan baung baik secara langsung maupun tidak langsung, terkena dampak
dari bahan pencemar yang berada di dasar perairan atau dengan kata lain akan
terkontaminasi bahan pencemar. Mengingat ikan baung banyak hidup di dasar
perairan Sungai Kampar yang sudah tercemar, namun masih belum ada informasi
mengenai hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian terhadap kandungan
bahan pencemar terutama logam pada ikan baung.
1.2. Perumusan Masalah
Limbah/bahan pencemar yang masuk ke perairan dan sampai di muara
sungai, ada yang sudah terdegradasi/terlarut di badan air dan ada yang belum
terdegradasi/terendapkan di dasar perairan. Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan untuk melihat tingkat pencemaran di perairan mulai dari bagian hulu,
3
sekitar pabrik dan muara Sungai Kampar terutama di dasar perairan, serta untuk
melihat pengaruhnya terhadap ikan baung yang hidup di dalamnya.
Limbah pabrik yang masuk ke perairan sungai dan mengalir ke perairan
muara mengakibatkan perubahan kualitas perairan dan mengganggu kehidupan
organisme perairan, bahkan dapat menyebabkan kematian bagi organisme (ikan).
Hal ini disebabkan organisme perairan akan mengakumulasi bahan pencemar
yang masuk ke dalam tubuhnya. Pada suatu saat konsentrasinya akan melebihi
ambang batas, sehingga mengakibatkan kerusakan organ bahkan dapat
menyebabkan kematian bagi organisme tersebut. Kerusakan organ yang terkena
dampak/akibat dari limbah, terutama logam berat yang pertama kali adalah
insang, karena insang merupakan organ pernafasan yang berinteraksi langsung
dengan air untuk mendapatkan oksigen. Selain organ insang yang memperlihatkan
reaksi terhadap masuknya bahan pencemar ke dalam tubuh, organ ginjal juga
memberikan reaksi terhadap bahan pencemar karena sesuai dengan fungsinya
ginjal berfungsi menetralisir racun (bahan pencemar) yang telah masuk ke dalam
tubuh. Sesuai dengan fungsi kedua organ tersebut kiranya perlu melihat kerusakan
kedua organ tersebut menggunakan analisis histopatologi.
Limbah dari aktifitas pabrik yang membuang limbah cairnya ke Sungai
Kampar umumnya berupa limbah cair yang mengandung logam berat. Diketahui
bahwa sifat logam berat tersebut mudah mengendap di dasar perairan dan
berikatan dengan komponen kimia lainnya, sehingga kemungkinan terjadinya
pengakumulasian logam berat tersebut di dasar perairan juga menjadi lebih besar
(Riani, 2004). Oleh karena itu untuk melihat efek bahan pencemar terutama logam
berat di dalam perairan, diperlukan hewan uji yang berkaitan langsung dengan
kandungan logam berat di dasar perairan atau dengan kata lain perlu
mendeteksinya pada hewan uji, khususnya ikan yang habitatnya di dasar perairan.
Salah satu jenis ikan dasar yang banyak terdapat di Sungai Kampar mulai dari
hulu sampai hilir dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat setempat dan
mempunyai nilai ekonomis (jual) yang tinggi adalah ikan baung, sehingga ikan
ini dapat dijadikan sebagai hewan uji di perairan Sungai Kampar mulai dari hulu
sampai hilir.
Penelitian tentang bahan pencemar khususnya logam berat yang berada di
4
perairan Sungai Kampar belum banyak dilakukan, dalam hal ini penelitian yang
sudah dilakukan terbatas pada perubahan beberapa parameter kualitas air.
Penelitian yang masih terbatas pada kualitas air ini terlihat dari pemberitaan dari
surat kabar yang dikeluarkan oleh Bapedal Provinsi Riau yang menyatakan bahwa
dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Laboratorium Dinas Pemukiman dan
Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Riau, hasil olahan limbah PT Riau Andalan Pulp
And Paper (Riaupulp) yang dialirkan ke Sungai Kampar masih di bawah baku
mutu atau aman sesuai standar pemerintah yang berlaku. Menurut Kepala Bapedal
Provinsi Riau Khairul Zainal, Bapedal juga telah melakukan penelitian pada
tanggal 22 Maret 2006 di beberapa kawasan yang dinyatakan penduduk setempat
terkena pencemaran limbah Riau Pulp. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan
bahwa limbah cair yang dibuang ke Sungai Kampar sebelumnya sudah diolah
melalui unit pengolahan limbah Riaupulp, sehingga limbah yang dibuang ke
Sungai Kampar masih di bawah baku mutu. Dan menurut Kabid Pengendalian
Pencemaran Bapedal Riau Maruf Mariadi hasil uji laboratorium yang dilakukan
pada 14 titik memperlihatkan bahwa pH air rata-rata 7,48, B0D 5 - 88 mg/l, COD
294 mg/l, dan TSS 60 mg/l. Dengan mengacu kepada Keputusan Menteri LH No
51 Tahun 1995 maka perairan Sungai Kampar masih belum tercemar
Di Sungai Kampar telah dilakukan penelitian terhadap kualitas air, namun
pengaruh bahan pencemar khususnya logam berat yang berada di dasar perairan
terhadap organ tubuh ikan demersal, khususnya ikan baung belum pernah
dilakukan. Oleh sebab itu penelitian ini dilakukan untuk melihat efek pencemaran
di perairan Sungai Kampar di Provinsi Riau terhadap ikan demersal khususnya
ikan baung.
1.3. Tujuan Dan Manfaat
Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi
kandungan bahan pencemar dari berbagai aktivitas manusia yang berada di sekitar
perairan Sungai Kampar, khususnya bahan pencemar yang ditimbulkan dari
aktifitas industri terhadap organisme perairan. Untuk mencapai tujuan tersebut,
maka tujuan antara dari penelitian ini adalah :
1. Untuk melihat besar kandungan bahan pencemar dan kerusakan pada jaringan
5
tubuh ikan.
2. Untuk membandingkan tingkat pencemaran di dasar perairan pada bagian
hulu, sekitar pabrik dan muara Sungai Kampar.
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan akan
menjadi dasar bagi pengelolaan perairan muara Sungai Kampar yang mendapat
pasokan dari berbagai aktifitas industri di bagian hulu, khususnya aktifitas industri
kertas.
1.4. Hipotesis
1. Bahan pencemar di perairan Sungai Kampar mengakibatkan kerusakan pada
organ-organ tubuh ikan (insang dan ginjal ikan).
2. Tingkat pencemaran di dasar perairan bagian hulu, sekitar pabrik dan di muara
Sungai Kampar berbeda antara satu dengan lainnya.
1.5. Kerangka Pemikiran
Berbagai aktifitas yang dilakukan oleh manusia memberikan hasil akhir
berupa limbah yang merupakan sisa-sisa dari aktifitas yang dilakukan. Aktifitas
yang dilakukan oleh manusia adalah kegiatan industri, pertanian dan rumah
tangga. Sisa dari kegiatan tersebut jika tidak dikelola dengan baik, akan
memberikan dampak yang negatif dan dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran. Salah satu ekosistem yang menerima limbah buangan tersebut adalah
ekosistem perairan, bahkan ekosistem perairan merupakan ekosistem yang sering
dijadikan tempat pembuangan akhir dari aktifitas tersebut, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Aliran sisa buangan yang dilakukan oleh berbagai aktifitas tersebut
pertama kali akan memasuki ekosistem perairan sungai, selanjutnya akan masuk
ke perairan estuaria dan berakhir di laut lepas. Selama perjalanannya, bahan
pencemar yang masuk ke perairan akan mengalami perubahan atau mengalami
suatu proses penguraian. Di lain pihak bahan pencemar juga bisa merusak
ekosistem perairan tersebut, karena bahan pencemar ini akan mengakibatkan
terjadinya perubahan pada kualitas perairan, yang pada akhirnya akan
6
menyebabkan perubahan atau terjadinya gangguan terhadap organisme yang
hidup di dalamnya dan juga bisa menyebabkan munculnya dampak atau efek yang
tidak kecil bagi manusia yang memanfaatkan perairan tersebut, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Dengan mengetahui sumber pencemar dan alirannya serta efek yang
ditimbulkan oleh bahan pencemar dari berbagai aktifitas manusia yang terkait
terhadap organisme perairan dan kualitas perairan akan memberikan suatu
gambaran pengelolaan ekosistem perairan secara baik demi keberlanjutannya di
masa yang akan datang. Secara sederhana kerangka pemikiran dari penelitian ini,
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran efek pencemaran pada muara Sungai Kampar terhadap ikan dalam pengelolaan lingkungan
Limbah Industri Pabrik
Limbah Pertanian
Limbah Rumah Tangga
Pencemaran
Sungai
Muara Sungai
Kualitas Perairan Yang Baik
Efek Bagi Biota Perairan
(ikan)
Perubahan Kualitas Perairan
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Muara Sungai (Estuaria)
Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas
dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air
tawar (Pickard, 1967). Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan
menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan kondisi lingkungan yang
bervariasi, antara lain 1. tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang
surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi,
pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada
biotanya. 2. pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat
fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air
laut. 3. perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan
komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan
sekelilingnya. 4. tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang-
surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lain, serta topografi daerah
estuaria tersebut.
Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting antara lain :
sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang
surut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang
bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan
(feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh
besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Perairan
estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman, tempat
penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan dan
kawasan industri (Bengen, 2004).
Aktifitas yang ada dalam rangka memanfaatkan potensi yang terkandung
di wilayah pesisir, seringkali saling tumpang tindih, sehingga tidak jarang
pemanfaatan sumberdaya tersebut justru menurunkan atau merusak potensi yang
ada. Hal ini karena aktifitas-aktifitas tersebut, baik secara langsung maupun tidak
langsung, mempengaruhi kehidupan organisme di wilayah pesisir, melalui
perubahan lingkungan di wilayah tersebut. Sebagai contoh, adanya limbah
8
buangan baik dari pemukiman maupun aktifitas industri, walaupun limbah ini
mungkin tidak mempengaruhi tumbuhan atau hewan utama penyusun ekosistem
pesisir di atas, namun kemungkinan akan mempengaruhi biota penyusun lainnya.
Logam berat, misalnya mungkin tidak berpengaruh terhadap kehidupan tumbuhan
bakau (mangrove), akan tetapi sangat berbahaya bagi kehidupan ikan dan udang-
udangnya (krustasea) yang hidup di hutan tersebut (Bryan, 1976).
2.2. Parameter Fisika dan Kimia Kualitas Air.
Suhu
Suhu air di daerah estuaria biasanya memperlihatkan fluktuasi annual dan
diurnal yang lebih besar daripada laut, terutama apabila estuaria tersebut dangkal
dan air yang datang (pada saat pasang-naik) ke perairan estuaria tersebut kontak
dengan daerah yang substratnya terekspos (Kinne, 1964).
Suhu dan salinitas merupakan parameter-parameter fisika yang penting
untuk kehidupan organisme di perairan laut dan payau. Parameter ini sangat
spesifik di perairan estuaria. Kenaikan suhu di atas kisaran toleransi organisme
dapat meningkatkan laju metabolisme, seperti pertumbuhan, reproduksi dan
aktifitas organisme. Kenaikan laju metabolisme dan aktifitas ini berbeda untuk
spesies, proses dan level atau kisaran suhu.
Salinitas
Salinitas perairan menggambarkan kandungan garam dalam suatu perairan.
Garam yang dimaksud adalah berbagai ion yang terlarut dalam air termasuk
garam dapur (NaCl). Pada umumnya salinitas disebabkan oleh 7 ion utama yaitu :
natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), klorit (Cl), sulfat (SO4)
dan bikarbonat (HCO3). Salinitas dinyatakan dalam satuan gram/kg atau promil
(0/00) (Effendi, 2003)
Variasi salinitas di daerah estuaria menentukan kehidupan organisme
laut/payau. Hewan-hewan yang hidup di perairan payau (salinitas 0,5-30o/oo),
hipersaline (salinitas 40-80o/oo) atau air garam (salinitas >80o/oo), biasanya
mempunyai toleransi terhadap kisaran salinitas yang lebih besar dibandingkan
dengan organisme yang hidup di air laut atau air tawar.
9
Derajat Keasaman (pH)
Nilai derajat keasaman (pH) suatu perairan mencirikan keseimbangan
antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion
hidrogen dalam larutan (Saeni, 1989). Sebagian besar biota akuatik sensitif
terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5 (Effendi, 2003).
Padatan Tersuspensi (TSS)
Padatan tersuspensi total (total suspended solid) adalah bahan-bahan
tersuspensi (diameter > 1 m) yang tertahan pada saringan millipore dengan
diameter pori 0,45 m. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad
renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa
ke badan air (Effendi, 2003).
2.3. Pencemaran
Pencemaran perairan adalah suatu perubahan fisika, kimia dan biologi
yang tidak dikehendaki pada ekosistem perairan yang akan menimbulkan kerugian
pada sumber kehidupan, kondisi kehidupan dan proses industri (Odum, 1971).
Pencemaran perairan pesisir didefinisikan sebagai dampak negatif, pengaruh yang
membahayakan terhadap kehidupan biota, sumberdaya dan kenyamanan
ekosistem perairan serta kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem
perairan yang disebabkan secara langsung oleh pembuangan bahan-bahan atau
limbah ke dalam perairan yang berasal dari kegiatan manusia (Gesamp, 1986).
Secara garis besar sumber pencemaran perairan pesisir dan lautan dapat
dikelompokkan menjadi tujuh kelas yaitu limbah, industri, limbah cair
pemukiman (sewage) , limbah cair perkotaan (urban storm water), pertambangan,
pelayaran (shipping), pertanian dan perikanan budidaya. Sedangkan bahan
pencemar utama yang terkandung dalam buangan limbah dari ketujuh sumber
tersebut berupa sediment, unsur hara (nutrient), logam beracun (toxic metal),
pestisida, organisme eksotik, organisme pathogen, sampah dan oxygen depleting
substance (bahan yang menyebabkan oksigen terlarut dalam air berkurang)
(Dahuri,1998).
Pencemaran perairan merupakan masalah lingkungan hidup yang perlu
10
dipantau sumber dan dampaknya terhadap ekosistem. Dalam memantau
pencemaran air digunakan kombinasi komponen fisika, kimia dan biologi.
Penggunaan salah satu komponen saja sering tidak dapat menggambarkan
keadaan yang sebenarnya. Sastrawijaya (1991) menyatakan bahwa penggunaan
komponen fisika dan kimia saja hanya akan memberikan gambaran kualitas
lingkungan sesaat dan cenderung memberikan hasil dengan penafsiran dan kisaran
yang luas, oleh sebab itu penggunaan komponen biologi juga sangat diperlukan
karena fungsinya yang dapat mengantisipasi perubahan pada lingkungan kualitas
perairan.
Romimohtarto (1991) menyatakan bahwa setelah memasuki perairan
pesisir dan laut sifat bahan pencemar ditentukan oleh beberapa faktor atau
beberapa jalur dengan kemungkinan perjalanan bahan pencemar sebagai berikut :
1. Terencerkan dan tersebar oleh adukan turbulensi dan arus laut, 2. Dipekatkan
melalui a. Proses biologis dengan cara diserap ikan, plankton nabati atau oleh
ganggang laut bentik biota ini pada gilirannya dimakan oleh mangsanya, b. Proses
fisik dan kimiawi dengan cara absorpsi, pengendapan, pertukaran ion dan
kemudian bahan pencemar itu akan mengendap di dasar perairan, 3. Terbawa
langsung oleh arus dan biota (ikan).
Di sekitar perairan sungai kampar, banyak aktifitas industri, sehingga
terjadi pembuangan limbah ke perairan. Limbah industri berasal dari aktifitas
industri yang membuang hasil akhirnya ke lingkungan perairan dalam bentuk cair.
Jenis limbah industri dapat dikelompokkan menjadi 5 macam yaitu 1.bahan-bahan
organik yang terlarut, termasuk bahan-bahan yang beracun, tahan urai (persistent)
dan dapat diurai secara biologis, 2.bahan-bahan anorganik termasuk unsur-unsur
hara, 3.bahan-bahan organik yang tidak larut, 4.bahan-bahan anorganik yang tidak
larut, 5. bahan-bahan radioaktif.
Logam Berat
Logam adalah unsur alam yang dapat diperoleh dari laut, erosi batuan
tambang, vulkanisme dan sebagainya (Clark, 1986). Umumnya logam-logam di
alam ditemukan dalam bentuk persenyawaan dengan unsur lain, sangat jarang
yang ditemukan dalam elemen tunggal. Unsur ini dalam kondisi suhu kamar tidak
11
selalu berbentuk padat melainkan ada yang berbentuk cair, misalnya merkuri
(Hg). Dalam badan perairan, logam pada umumnya berada dalam bentuk ion-ion,
baik sebagai pasangan ion ataupun dalam bentuk ion-ion tunggal. Sedangkan
pada lapisan atmosfir, logam ditemukan dalam bentuk partikulat, dimana unsur-
unsur logam tersebut ikut berterbangan dengan debu-debu yang ada di atmosfir
(Palar, 2004). Menurut Palar (2004) melihat bentuk dan kemampuannya setiap
logam haruslah memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a) Memiliki kemampuan yang baik sebagai penghantar daya listrik (konduktor).
b) Memiliki kemampuan sebagai penghantar panas yang baik.
c) Memiliki rapatan yang tinggi.
d) Dapat membentuk alloy dengan logam lainnya.
e) Untuk logam yang padat, dapat ditempa dan dibentuk.
Berbeda dengan logam biasa, logam berat adalah istilah yang digunakan
secara umum untuk kelompok logam berat dan metaloid yang densitasnya lebih
besar dari 5 g/cm3 (Hutagalung et al., 1997). Dalam perairan, logam berat dapat
ditemukan dalam bentuk terlarut dan tidak terlarut. Logam berat terlarut adalah
logam yang membentuk komplek dengan senyawa organik dan anorganik,
sedangkan logam berat yang tidak terlarut merupakan partikel-partikel yang
berbentuk koloid dan senyawa kelompok metal yang teradsorbsi pada partikel-
partikel yang tersuspensi (Razak, 1980).
Menurut Darmono (1995) sifat logam berat sangat unik, tidak dapat
dihancurkan secara alami dan cenderung terakumulasi dalam rantai makanan
melalui proses biomagnifikasi. Pencemaran logam berat ini menimbulkan
berbagai permasalahan diantaranya: 1. berhubungan dengan estetika (perubahan
bau, warna dan rasa air), 2. berbahaya bagi kehidupan tanaman dan binatang, 3.
berbahaya bagi kesehatan manusia, 4. menyebabkan kerusakan pada ekosistem.
Sebagian dari logam berat bersifat essensial bagi organisme air untuk
pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, antara lain dalam pembentukan
haemosianin dalam sistem darah dan enzimatik pada biota (Darmono, 1995).
Akan tetapi bila jumlah dari logam berat masuk ke dalam tubuh dengan jumlah
berlebih, maka akan berubah fungsi menjadi racun bagi tubuh (Palar, 2004).
Sebagai contoh adalah raksa (Hg), kadmium (Cd) dan timah hitam (Pb).
12
Unsur-unsur logam berat tersebut biasanya erat kaitannya dengan masalah
pencemaran dan toksisitas. Pencemaran yang dapat menghancurkan tatanan
lingkungan hidup, biasanya berasal dari limbah-limbah yang sangat berbahaya
dalam arti memiliki daya racun (toksisitas) yang tinggi. Limbah industri
merupakan salah satu sumber pencemaran logam berat yang potensial bagi
perairan. Pembuangan limbah industri secara terus menerus tidak hanya
mencemari lingkungan perairan tetapi menyebabkan terkumpulnya logam berat
dalam sedimen dan biota perairan, seperti yang terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema proses alami yang terjadi jika polutan (logam berat) masuk ke lingkungan laut (EPA, 1973)
Dalam lingkungan perairan ada tiga media yang dapat dipakai sebagai
indikator pencemaran logam berat, yaitu air, sedimen dan organisme hidup.
Pemakaian organisme laut sebagai indikator pencemaran didasarkan pada
kenyataan bahwa alam atau lingkungan yang tidak tercemar akan ditandai oleh
kondisi biologi yang seimbang dan mengandung kehidupan yang beranekaragam.
Terdapat beberapa pengaruh toksisitas logam pada ikan, pertama pengaruh
toksisitas logam pada insang. Insang selain sebagai alat pernafasan juga
digunakan sebagai alat pengaturan tekanan antara air dan dalam tubuh ikan
Zat Pencemar
Diencerkan dan Disebarkan oleh
Masuk ke kosistem Laut
Dibawa oleh
Adukan Turbelensi
Arus Laut Dipekatkan oleh Arus Laut Biota Yang Beruaya
Proses Biologis Proses Fisis dan Kimiawi
Diserap Oleh Ikan
Diserap Oleh Plankton
Diserap Oleh Rumput Laut
Absorbsi Pengendapan Pertukaran Ion
Zooplankton Avertebrata/ Benthos
Sedimentasi
Ikan dan Mamalia
13
(osmoregulasi). Oleh sebab itu insang merupakan organ yang penting pada ikan
dan sangat peka terhadap pengaruh toksisitas logam.
A. Karakteristik logam berat
1. Cadmium (Cd)
Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat dengan penyebaran yang
sangat luas di alam, logam ini bernomor atom 48, berat atom 112,40 dengan titik
cair 321oC dan titik didih 765oC. Di alam Cd bersenyawa dengan belerang (S)
sebagai greennocckite (CdS) yang ditemui bersamaan dengan senyawa spalerite
(ZnS). Kadmium merupakan logam lunak (ductile) berwarna putih perak dan
mudah teroksidasi oleh udara bebas dan gas amonia (NH3) (Palar, 2004). Di
perairan Cd akan mengendap karena senyawa sulfitnya sukar larut (Bryan, 1976).
Menurut Clark (1986) sumber kadmium yang masuk ke perairan berasal
dari:
1. Uap, debu dan limbah dari pertambangan timah dan seng.
2. Air bilasan dari elektroplating.
3. Besi, tembaga dan industri logam non ferrous yang menghasilkan abu dan uap
serta air limbah dan endapan yang mengandung kadmium.
4. Seng yang digunakan untuk melapisi logam mengandung kira-kira 0, 2 % Cd
sebagai bahan ikutan (impurity); semua Cd ini akan masuk ke perairan melalui
proses korosi dalam kurun waktu 4-12 tahun.
5. Pupuk phosfat dan endapan sampah.
Penggunaan Cd yang paling utama adalah sebagai stabiliser
(penyeimbang) dan pewarna pada plastik dan elektroplating (penyepuh/pelapisan
logam). Selain itu digunakan pula pada penyolderan dan pencampuran logam
serta industri baterai. Akumulasinya dalam air tanah antara lain diakibatkan oleh
kegiatan elektroplating (pelapisan emas dan perak), pengerjaan bahan-bahan
dengan menggunakan pigmen/zat warna lainnya, tekstil dan industri kimia
(Darmono, 1995).
Logam kadmium atau Cd akan mengalami proses biotransformasi dan
bioakumulasi dalam organisme hidup (tumbuhan, hewan dan manusia). Dalam
biota perairan jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan
14
(biomagnifikasi) dan dalam rantai makanan biota yang tertinggi akan mengalami
akumulasi Cd yang lebih banyak. Keracunan kadmium bisa menimbulkan rasa
sakit, panas pada bagian dada, penyakit paru-paru akut dan menimbulkan
kematian. Salah satu contoh kasus keracunan akibat pencemaran Cd adalah
timbulnya penyakit itai-itai di Jepang (Palar, 2004).
2. Plumbum-Timah hitam (Pb)
Logam Pb secara alami tersebar luas pada batu-batuan dan lapisan kerak
bumi (Clark, 1986). Logam ini termasuk ke dalam kelompok logam-logam
golongan IV-A dengan nomor atom 82 dan bobot 207,2. Penyebaran Pb di bumi
sangat sedikit yaitu 0,0002 % dari seluruh lapisan bumi. Logam Pb terdapat di
perairan baik secara alamiah ataupun sebagai dampak dari aktifitas manusia.
Logam ini masuk ke perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan
air hujan. Di samping itu, proses korosifikasi dari batuan mineral akibat
hempasan gelombang dan angin, juga merupakan salah satu jalur sumber Pb yang
akan masuk ke dalam perairan (Palar, 2004).
Timbal dan persenyawaannya digunakan dalam industri baterai sebagai
bahan yang aktif dalam pengaliran arus elektron. Kemampuan timbal dalam
membentuk alloy dengan logam lain telah dimanfaatkan untuk meningkatkan sifat
metalurgi ini dalam penerapan yang sangat luas, contohnya digunakan untuk kabel
listrik, kontruksi pabrik-pabrik kimia, kontainer dan memiliki kemampuan tinggi
untuk tidak mengalami korosi (Palar, 2004). Selain itu, Pb dapat digunakan
sebagai zat tambahan bahan bakar dan pigmen timbal dalam cat yang merupakan
penyebab utama peningkatan kadar Pb di lingkungan (Darmono, 1995). Hampir
10 % dari total produksi tambang logam timbal digunakan untuk pembuatan tetra
ethyl lead atau TEL yang dibutuhkan sebagai bahan penolong dalam proses
produksi bahan bakar bensin karena dapat mendongkrak (boosting) nilai oktan
bahan bakar sekaligus berfungsi sebagai antiknocking untuk mencegah terjadinya
ledakan saat berlangsungnya pembakaran dalam mesin.
Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/l, dapat membunuh ikan.
Sedangkan krustase setelah 245 jam akan mengalami kematian, apabila pada
badan air konsentrasi Pb adalah 2,75 - 49 mg/l (Palar, 2004). Direktorat Jenderal
15
Pengawasan Obat dan Makanan (POM) No. 03725/B/SK/VII/89 membatasi
kandungan logam berat Pb maksimum pada sumberdaya ikan dan olahannya
adalah adalah 2,0 ppm. Untuk batas maksimum cemaran logam berat dalam
makanan menurut Depkes RI (1989) pada Tabel 1.
Tabel 1. Batas maksimum cemaran logam berat dalam makanan (DEPKES RI,
1989) Parameter Satuan Batas Maksimum
Merkuri (Hg) µg/kg 500 Kadmium (Cd) µg/kg 1000
Timbal (Pb) µg/kg 2000
Kandungan Logam Berat Dalam Air
Air merupakan elemen penting bagi kehidupan organisme perairan. Untuk
menjaga kualitas perairan yang mendukung kehidupan berbagai organisme maka
diperlukan suatu pengontrolan dari berbagai aktifitas manusia yang memanfaatkan
perairan baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu kegiatan
manusia yang memanfaatkan perairan adalah kegiatan industri. Sebagaimana
diketahui secara umum bahwa hasil buangan akhir dari sebuah pabrik atau
kegiatan industri bermuara ke perairan disekitarnya, meskipun perusahaan atau
pabrik tersebut telah memiliki IPAL (instalasi pengolahan air limbah). Air
buangan yang telah di olah tidak terlepas akan sisa atau residu yang mengandung
bahan berbahaya bagi kehidupan perairan baik dalam kadar yang banyak atau
sedikit.
Konsentrasi bahan pencemar yang masuk ke perairan bisa mempengaruhi
kehidupan organisme terutama yang menjadi topik disini adalah spesies ikan.
Salah satu jenis unsur kimia yang bisa menyebabkan terjadi kerusakan ekosistem
perairan adalah unsur logam berat. Sebagaimana diketahui unsur logam berat yang
masuk ke perairan berasal dari berbagai kegiatan indutsri selain bersumber dari
alam sendiri. Untuk itu sangat diperlukan suatu kajian yang melihat seberapa
besar pengaruh unsur-unsur logam berat tersebut bisa mempengaruhi ekosistem
perairan terutama yang berhubungan langsung dengan kualitas airnya.
16
Tabel 2. Standar baku mutu air terhadap logam berat
Logam Simbol Standar Baku Perikanan (mg/l)1 EPA (ppm)2
Kadmium Cd 0,01 0,0043 Krom Cr 0,05 0,016 Timbal Pb 0,01 0,065 Seng Zn 0,02 0,12 Merkuri Hg 0,002 0,0014 Keterangan : 1. PP No 82 tahun 2001 2. Environmental Protection Agency. 1973. Water Quality Criteria
Logam berat biasanya sangat sedikit dalam air secara ilmiah kurang dari 1
g/l. Menurut Palar (2004) kelarutan dari unsur-unsur logam dan logam berat
dalam badan air dikontrol oleh : (1) pH badan air, (2) jenis dan konsentrasi logam
dan khelat (3) keadaan komponen mineral teroksida dan sistem berlingkungan
redoks.
Logam berat yang dilimpahkan ke perairan, baik di sungai ataupun laut
akan dipindahkan dari badan airnya melalui beberapa proses yaitu : pengendapan,
adsorbsi dan absorbsi oleh organisme perairan. Logam berat mempunyai sifat
yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan
bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi
dibandingkan dalam air (Harahap, 1991).
Berdasarkan peraturan pemerintah kandungan logam berat yang boleh
masuk ke perairan laut mempunyai batasan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut (MENKLH, 2004)
Parameter Satuan Baku Mutu
Merkuri (Hg) Kadmium (Cd) Timbal (Pb)
mg/l mg/l mg/l
0,01 0,001 0,008
Rochyatun (1997) menyatakan walaupun terjadi peningkatan sumber
logam berat, namun konsentrasinya dalam air dapat berubah setiap saat. Hal ini
17
terkait dengan berbagai macam proses yang dialami oleh senyawa tersebut selama
dalam kolom air. Parameter yang mempengaruhi konsentrasi logam berat di
perairan adalah suhu, salinitas, arus, pH dan padatan tersuspensi total atau seston
(Nanty, 1999). Dengan sendirinya interaksi dari faktor-faktor tersebut akan
berpengaruh terhadap fluktuasi konsentrasi logam berat dalam air, karena
sebagian logam berat tersebut akan masuk ke dalam sedimen.
Kandungan Logam Berat Dalam Sedimen
Sedimen merupakan tempat tinggal tumbuhan dan hewan yang ada di
dasar. Sedimen terdiri dari bahan organik yang berasal dari hewan atau tumbuhan
yang membusuk kemudian tenggelam ke dasar dan bercampur dengan lumpur dan
bahan anorganik yang umumnya berasal dari pelapukan batuan (Sverdrup, 1966).
Kebanyakan perairan pesisir didominasi oleh substrat lunak. Substrat
lumpur berasal dari sedimen yang terbawa oleh sungai ke perairan pesisir.
Claphman (1973) menyatakan bahwa air sungai mengangkut partikel lumpur
dalam bentuk suspensi, ketika partikel mencapai muara dan bercampur dengan air
laut, partikel lumpur akan membentuk partikel yang lebih besar dan mengendap di
dasar perairan.
Sedimen estuaria adalah secara fisiologis merupakan lingkungan yang
kaku untuk kebanyakan invertebrata karena range kadar garamnya ( 14±30 0/00),
fluktuasi temperatur dan pasang surut. Banyak spesies yang umum digunakan
dalam pengujian toksisitas di perairan laut dan tawar, tidak sesuai untuk
mengukur toksisitas sedimen di estuaria karena toleransi kadar garam yang sempit
atau tidak ada spesies endemik di estuaria.
Struktur sedimen pada tiap stasiun pengamatan berbeda. Pada stasiun
pengamatan 1 struktur sedimen tergolong pada pasir kasar dan banyak batuan.
Sedangkan pada stasiun pengamatan 2 dan 3 termasuk sedimen lumpur.
Karakteristik perbedaan sedimen ikut berperan pada pola penyebaran dari
konsentrasi logam di dasar perairan.
Sedimen laut menurut asalnya diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
yaitu lythogenous, biogenous dan hydrogenous. Lythogenous adalah sedimen
yang berasal dari batuan, umumnya berupa mineral silikat yang berasal dari
18
pelapukan batuan. Biogenous adalah sedimen yang berasal dari organisme berupa
sisa-sisa tulang, gigi atau cangkang organisme, sedangkan hydrogenous
merupakan sedimen yang terbentuk karena reaksi kimia yang terjadi di laut
(Hutabarat dan Stewart, 1985).
Karakteristik sedimen akan mempengaruhi morfologi, fungsional, tingkah
laku serta nutrien hewan benthos. Hewan benthos seperti bivalva dan gastropoda
beradaptasi sesuai dengan tipe substratnya. Adaptasi terhadap substrat ini akan
menentukan morfologi, cara makan dan adaptasi fisiologis organisme terhadap
suhu, salinitas serta faktor kimia lainnya (Razak, 2002). Disamping tipe substrat,
ukuran partikel sedimen juga berperan penting dalam menentukan jenis benthos
laut (Levinton, 1982). Partikel sedimen mempunyai ukuran yang bervariasi,
mulai dari yang kasar sampai halus. Menurut Buchanan (1984) berdasarkan skala
Wenworth sedimen di klasifikasikan berdasarkan ukuran partikelnya (Tabel 4).
Sedimen terdiri dari beberapa komponen bahkan tidak sedikit sedimen
yang merupakan pencampuran dari komponen-komponen tersebut. Adapun
komponen itu bervariasi, tergantung dari lokasi, kedalaman dan geologi dasar
(Forstner dan Wittman, 1983). Pada saat buangan limbah industri masuk ke dalam
suatu perairan maka akan terjadi proses pengendapan dalam sedimen. Hal ini
menyebabkan konsentrasi bahan pencemar dalam sedimen meningkat.
Tabel 4. Klasifikasi partikel sedimen menurut skala Wenworth (Buchanan, 1984)
Ukuran partikel No. Partikel mm µm 1. Boulder (batuan) > 256 > 256x103
2. Cobble (batuan bulat) 64-256 64x103-256x103
3. Pebble (batu kerikil) 4,0-64 4000-64000 4. Granule (butiran) 2,0-4,0 2000-4000 5. Very coarse sand (pasir sangat kasar) 1,0-2,0 1000-2000 6. Coarse sand (pasir kasar) 0,5-1,0 500-1000 7. Medium sand (pasir sedang) 0,25-0,5 250-500 8. Fine sand (pasir halus) 0,125-0,25 125-250 9. Very fine sand (pasir sangat halus) 0,0625-0,125 62,5-125
10. Silt (Lumpur) 0,0039-0,0625 3,9-62,5 11. Clay (liat) < 0,0039 < 3,9
Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami
pengendapan, pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang
19
hidup di perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi
karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida (Hutagalung, 1984). Logam
berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di
dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam
sedimen lebih tinggi dibanding dalam air (Hutagalung, 1991)
Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat dan mengendap di
dasar perairan dan bersatu dengan sedimen, oleh karena itu kadar logam berat
dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air (Harahap, 1991). Konsentrasi
logam berat pada sedimen tergantung pada beberapa faktor yang berinteraksi.
Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Sumber dari mineral sedimen antara sumber alami atau hasil aktifitas
manusia.Melalui partikel pada lapisan permukaan atau lapisan dasar sedimen.
2. Melalui partikel yang terbawa sampai ke lapisan dasar.
3. Melalui penyerapan dari logam berat terlarut dari air yang bersentuhan.
Beberapa material yang terkonsentrasi di udara dan permukaan air
mengalami oksidasi, radiasi ultraviolet, evaporasi dan polymerisasi. Jika tidak
mengalami proses pelarutan, material ini akan saling berikatan dan bertambah
berat sehingga tenggelam dan menyatu dalam sedimen. Logam berat yang
diadsorpsi oleh partikel tersuspensi akan menuju dasar perairan, menyebabkan
kandungan logam di air menjadi lebih rendah. Hal ini tidak menguntungkan bagi
organisme yang hidup di dasar seperti oyster dan kepiting sebagai filter feeder,
partikel sedimen ini akan masuk ke dalam sistem pencernaannya (Williams,
1979).
Logam berat yang masuk ke sistem perairan, baik di sungai maupun lautan
akan dipindahkan dari badan airnya melalui tiga proses yaitu pengendapan,
adsorbsi, dan absorbsi oleh organisme-organisme perairan (Bryan, 1976). Dalam
lingkungan perairan, bentuk logam antara lain berupa ion-ion bebas, pasangan ion
organik, dan ion kompleks. Kelarutan logam dalam air dikontrol oleh pH air.
Kenaikan pH menurunkan kelarutan logam dalam air, karena kenaikan pH
mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi hidroksida yang membentuk
ikatan dengan partikel pada badan air, sehingga akan mengendap membentuk
20
lumpur (Palar, 2004). Selain itu, kenaikan suhu air laut dan penurunan pH akan
mengurangi adsorpsi senyawa logam berat pada partikulat. Suhu air laut yang
lebih dingin akan meningkatkan adsorpsi logam berat ke partikulat untuk
mengendap di dasar laut. Sementara saat suhu air laut naik, senyawa logam berat
akan melarut di air laut karena penurunan laju adsorpsi ke dalam partikulat.
Logam yang memiliki kelarutan yang kecil akan ditemukan di permukaan air laut
selanjutnya dengan perpindahan dan waktu tertentu akan mengendap hingga ke
dasar laut, artinya logam tersebut hanya akan berada di dekat permukaan air laut
dalam waktu yang sesaat saja untuk kemudian mengendap lagi. Hal ini ditentukan
antara lain oleh massa jenis air laut, viskositas (kekentalan) air laut, temperatur air
laut, arus serta faktor-faktor lainnya.
Daya larut logam berat dapat menjadi lebih tinggi atau lebih rendah
tergantung pada kondisi lingkungan perairan. Pada daerah yang kekurangan
oksigen, misalnya akibat kontaminasi bahan-bahan organik, daya larut logam
berat akan menjadi lebih rendah dan mudah mengendap. Logam berat seperti
Zn,Cu, Cd, Pb, Hg dan Ag akan sulit terlarut dalam kondisi perairan yang anoksik
(Ramlal, 1987). Logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam
sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang
melapisi permukaan sedimen, dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel
sedimen (Wilson, 1988).
Kandungan logam berat pada sedimen umumnya rendah pada musim
kemarau dan tinggi pada musim penghujan. Penyebab tingginya kadar logam
berat dalam sedimen pada musim penghujan kemungkinan disebabkan oleh
tingginya laju erosi pada permukaan tanah yang terbawa ke dalam badan sungai,
sehingga sedimen dalam sungai yang diduga mengandung logam berat akan
terbawa oleh arus sungai menuju muara dan pada akhirnya terjadi proses
sedimentasi (Bryan, 1976).
Mengendapnya logam berat bersama-sama dengan padatan tersuspensi
akan mempengaruhi kualitas sedimen di dasar perairan dan juga perairan
sekitarnya. Kekuatan ionik yang terdapat di air laut disebabkan adanya berbagai
kandungan anion dan kation pada air laut, sehingga memungkinkan terjadinya
proses koagulasi (penggumpalan) senyawa logam berat yang ada dan
21
memungkinkan terjadinya proses sedimentasi (pengendapan). Jika kapasitas
angkut sedimen cukup besar, maka sedimen di dasar perairan akan terangkat dan
terpindahkan. Sesuai teori gravitasi, apabila partikulat memiliki massa jenis lebih
besar dari massa jenis air laut maka partikulat akan mengendap di dasar laut atau
terjadi proses sedimentasi.
Menurut Bernhard (1981) konsentrasi logam berat tertinggi terdapat dalam
sedimen yang berupa lumpur, tanah liat, pasir berlumpur dan campuran dari
ketiganya dibandingkan dengan yang berupa pasir murni. Hal ini sebagai akibat
dari adanya gaya tarik elektro kimia partikel sedimen dengan partikel mineral,
pengikatan oleh partikel organik dan pengikatan oleh sekresi lendir organisme.
Kandungan Logam Berat Dalam Tubuh Ikan
Darmono (2001) logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk
hidup melalui beberapa jalan, yaitu: saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi
melalui kulit. Di dalam tubuh hewan logam diabsorpsi darah, berikatan dengan
protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh.
Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam detoksikasi (hati) dan ekskresi
(ginjal). Akumulasi logam berat dalam tubuh organisme tergantung pada
konsentrasi logam berat dalam air/lingkungan, suhu, keadaan spesies dan aktifitas
fisiologis (Connel dan Miller 1995).
Bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan
mengalami tiga macam proses akumulasi yaitu fisik, kimia dan biologis. Buangan
limbah industri yang mengandung bahan berbahaya dengan toksisitas yang tinggi
dan kemampuan biota untuk menimbun logam bahan pencemar mengakibatkan
bahan pencemar langsung terakumulasi secara fisik dan kimia lalu mengendap di
dasar laut. Melalui rantai makanan terjadi metabolisme bahan berbahaya secara
biologis dan akhirnya akan mempengaruhi kesehatan manusia. Akumulasi melalui
proses biologis inilah yang diesbut dengan bioakumulasi (Hutagalung, 1984).
Bahan Pencemar (racun) masuk ke tubuh organisme atau ikan melalui
proses absorpsi. Absorpsi merupakan proses perpindahan racun dari tempat
pemejanan atau tempat absorpsinya ke dalam sirkulasi darah. Absorpsi, distribusi
dan ekskresi bahan pencemar tidak dapat terjadi tanpa transpor melintasi
22
membran. Proses transportasi dapat berlangsung dengan 2 cara : transpor pasif
(yaitu melalui proses difusi) dan transpor aktif (yaitu dengan sistem transpor
khusus, dalam hal ini zat lazimnya terikat pada molekul pengemban). Bahan
pencemar dapat masuk ke dalam tubuh ikan melalui tiga cara yaitu melalui rantai
makanan, insang dan difusi permukaan kulit (Hutagalung, 1984).
Beberapa efek yang ditimbulkan oleh merkuri terhadap tubuh menurut
Palar (2004) antara lain :
1. Semua senyawa merkuri adalah racun bagi tubuh, apabila berada dalam jumlah
yang cukup.
2. Senyawa-senyawa merkuri yang berbeda, menunjukkan karakteristik yang
berbeda pula dalam daya racun yang dimilikinya, penyebarannya, akumulasi
dan waktu retensinya di dalam tubuh.
3. Biotransformasi tertentu yang terjadi dalam suatu tata linkungan dan atau
dalam tubuh organisme hidup yang telah kemasukan merkuri disebabkan oleh
perubahan bentuk atas senyawa-senyawa merkuri itu, dari satu tipe ke tipe
lainnya.
4. Pegaruh utama yang ditimbulkan oleh merkuri di dalam tubub adalah
menghalangi kerja enzim dan merusak selaput dinding (membran) sel. Keadaan
itu disebabkan karena kemampuan merkuri dalam membentuk ikatan kuat
dengan gugus yang mengandung belerang (sulfur) yang terdapat dalam enzim
atau dinding sel.
5. Kerusakan yang diakibatkan oleh logam merkuri dalam tubuh umumnya
bersifat permanen.
2.4. Ikan Baung (Hemibagrus nemurus)
Ikan baung tergolong kedalam benthopelagic, dan hidup di perairan tawar
dan payau dengan kisaran pH 7 – 8,2 dan suhu 22 – 25oC. Secara umum ikan
baung terdistribusi dibeberapa daerah atau negara yaitu; Asia: Mekong, Chao
Phraya dan Xe Bangfai basins; juga dari Malay Peninsula, Sumatra, Java, Borneo.
Ciri-ciri umum dari ikan baung adalah kepala ikan kasar, sirip lemak
dipunggung sama panjang dengan sirip dubur, pinggiran ruang mata bebas, bibir
tidak bergerigi yang dapat digerakkan, daun-daun insang terpisah. Langit-langit
23
bergerigi, lubang hidug berjauhan, yang di belakang dengan satu sungut hidung.
Sirip punggung berjari-jari keras tajam. Ikan ini tidak bersisik, mulutnya tidak
dapat disembulkan, biasanya tulang rahang atas bergerigi, 1-4 pasang sungut dan
umumnya berupa sirip tambahan.
Adapun tingkatan taksonomi ikan baung (Fish base, 2006) adalah sebagai
berikut:
Domain : Eukaryota Kingdom : Animalia Subkingdom : Bilateria Branch : Deuterostomia Infrakingdom : Chordonia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Infraphylum : Gnathostomata Class : Osteichthyes Subclass : Actinopterygii Infraclass : Actinopteri Superdivision : Neopterygii Division : Halecostomip Subdivision : Teleostei Infradivision : Elopocephala Cohort : Clupeocephala Subcohort : Otocephala Division : Ostariophysi Order : Siluriformes Family : Bagridae Genus : Hemibagrus Spesies : Hemibagrus nemurus Linneus
Gambar 3. Ikan baung (Hemibagrus nemurus)
24
2.5. Histopatologi
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas
system biologi. Peristiwa timbulnya pengaruh berbahaya atau efek toksik racun
atas makhluk hidup, melalui beberapa proses. Pertama kali makhluk hidup
mengalami pemejanan dengan racun. Berikutnya, setelah mengalami absorpsi dari
tempat pemejanannya, racun atau metabolitnya kan terdistribusi ke tempat aksi
(sel sasaran atau reseptor) tertentu yang ada di dalam diri makhluk hidup.
Ditempat aksi ini, kemudian terjadi interaksi antara racun atau metabolitnya dan
komponen penyusun sel sasaran atau reseptor. Dan sebagai akibat sederetan
peristiwa biokimia dan biofisika berikutnya, akhirnya timbul pengaruh berbahaya
atau efek toksik dengan wujud dan sifat tertentu.
Ketoksikan racun ditentukan oleh keberadaan racun ditempat aksi, dan
keadaan ini bergantung pada keefektifan absorpsi, distribusi dan eliminasi racun
tersebut. Keefektifan absorpsi racun menentukan kecepatan dan kadar atau jumlah
racun yang ada dalam sirkulasi darah. Keefektifan distribusi menentukan
kecepatan dan kadar jumlah racun yang ada dalam tempat aksi tertentu. Dan
keefektifan eliminasi, menentukan kadar atau jumlah racun dan lama tinggal racun
di tempat aksinya.
Ada berbagai kemungkinan untuk menggolongkan toksikologi. Dapat
dibedakan antara: 1. Efek toksik akut, yang mempunyai korelasi langsung dengan
absorpsi zat toksik. 2. Efek toksik kronis, yang acapa kali zat toksik dalam jumlah
kecil-diabsorpsi sepanjang jangka waktu yang lama-terakumlasi mencapai
konsentrasi toksik dan karena itu akhirnya menimbulkan gejala keracunan.
Untuk melihat perubahan yang ditimbulkan akibat masuknya bahan
pencemar pada tubuh ikan terutama pada organ pernafasan (insang) dan hati,
maka dilakukan pengamatan secara histopatologi. Histologi adalah cabang ilmu
biologi yang mempelajari tentang jaringan. Patologi adalah kajian tentang
penyakit atau kajian tentang adaptasi yang tidak cukup terhadap perubahan-
perubahan lingkungan eksternal dan internal (Spector, 1993).
25
Insang
Insang adalah organ berhubungan dengan pernapasan utama dari ikan.
insang Epithelium dari ikan adalah lokasi pertukaran gas yang utama,
keseimbangan asam basa, regulasi ion. Fungsi organ pernafasan ini adalah hal
yang penting bagi kehidupan ikan, dan untuk seluruh keberadaan ikan itu. Oleh
karena itu, jika ikan diekspos ke lingkungan yang tercemar, akan membahayakan
fungsi utama dari organ pernafasan ikan tersebut.
Insang sebagai alat pernafasan ikan, juga digunakan sebagai alat pengukur
tekanan antara air dan dalam tubuh ikan (osmoregulasi). Oleh sebab itu, insang
sangat peka terhadap pengaruh toksisitas logam. Logam kelas B sangat reaktif
terhadap ligan sulfur dan nitrogen, sehingga ikatan logam kelas B tersebut sangat
penting bagi fungsi normal metaloenzim dan juga metabolisme terhadap sel.
Bilamana metaloenzim disubsitusi oleh logam yang bukan semestinya, maka akan
menyebabkan protein mengalami deformasi dan mengakibatkan menurunnya
kemampuan katalitik enzim tersebut. Disamping gangguan sistem biokimiawi
tersebut perubahan struktur morfologi insang juga terjadi.
Insang meruapakan komponen penting dalam pertukaran gas. Insang
terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras, dengan beberapa filamen
insang di dalamnya. Tiap-tiap filamen insang terdiri atas banyak lamella. Struktur
lamella tersusun atas sel-sel epithel yang tipis pada bagian luar, membran dasar
dan sel-sel tiang sebagai penyangga pada bagian dalam. Pinggirian lamella yang
tidak menempel pada lengkung insang sangat tipis, ditutupi oleh epitelium dan
mengandung jaringan pembuluh darah kapiler.
(A) (B)
Gambar 4. A. Struktur eksternal (bagian luar) insang, b. struktur internal (bagian dalam) insang
26
Affandi dan Tang (2002), mengemukakan bahwa insang pada ikan terbagi
dua yaitu insang dalam dan insang luar. Insang dalam seperti insang septal (pada
ikan elasmobranchii) dan insang tertutup (ikan teleostei). Tiap lengkung insang
mempunyai filament (lamella primer) yang banyak dimana jumlahnya mencapai
ratusan. Jumlah filament berbeda untuk tiap ikan tergantung pada beberapa factor
seperti ukuran dan luas permukaan tubuh serta habitat hidupnya. Tiap-tiap
filament insang mempunyai banyak lamella sekunder dengan dinding tipis.
Lamella primer: ephitelium pada lamella primer terdiri dari beberapa lapis sel,
terdapat 2 bentuk sel pada lamella ini yaitu : sel monocyte merupakan sel chlorid
yang berfungsi dalam pertukaran garam, pembuangan garam pada ikan laut dan
pengambilan garam pada ikan tawar, sel monocyte yang berfungsi untuk
menghasilkan mucus. Lamella sekunder terdapat pada bagian atas dan bawah
permukaan lamella primer dan ditutupi oleh dinding (ephitellium) yang tipis.
Ephitellium tersebut terletak di bawah membran yang didukung oleh sel pillar.
Jarak antar sel pillar disebut lacunae yang menghubungkan darah arteri afferent
dan efferent. Jumlah dari lamella sekunder tergantung pada ukuran luas, luas
permukaan tubuh dan kebiasaan hidup ikan.
Sel-sel lain yang ditemukan pada lamella primer dan sekunder adalah
melanosit, limposit, makropage, sel endothelid, sel mocous, sel rodlet dan sel
chlorid. Sel chlorid terletak antara lamella sekunder pada filamen insang.
Toksisitas logam-logam berat yang melukai insang dan struktur jaringan
luar lainnya, dapat menimbulkan kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh
proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi pernapasan yakni sirkulasi dan
eksresi dari insang. Unsur-unsur logam berat yang mempunyai pengaruh terhadap
insang adalah timah, seng, besi, tembaga, kadmium dan merkuri. Percobaan yang
dilakukan terhadap ikan Carasius auratus menunjukkan bahwa urut-urutan
penyerapan logam berat oleh chemoreceptor (taste bund) dari ikan adalah
merkuri, tembaga, seng, dan timah (Widodo,1980). Perubahan yang terjadi pada
filamen insang dapat dilihat pada Gambar 5.
27
Gambar 5. Insang yang terkena polutan. (a-f) lamella, (1) epithelial lifting (2)
nekrosis (3) lamella fusion (4) hypertrophy (5) hyperplasia (6) epithelial rupture (7) mucus secresion (8) lamella anuerism (9) vascular congestion (10) mucus cell proliferation (11) Chloride cell damage early (12) chloride cell proliferation (13) leucocyte infiltration of ephitelium (14A) lamella blood sinus dilates (14B) Lamella sinus constricts. (Heath, 1987)
Ginjal
Ginjal berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang tidak
dibutuhkan oleh tubuh, termasuk polutan seperti logam berat yang toksik. Hal
tersebut menyebabkan ginjal sering mengalami kerusakan oleh daya toksik logam.
Dari perubahan terjadi pada ginjal maka tubulus ginjal lebih sering terjadi
kerusakan daripada glomerulus, disamping itu bagian proksimat lebih banyak
menderita.
Ginjal ikan baung terletak dibelakang bagian kepala/bagian depan dari
perut ikan, bersebelahan dengan jantung ikan dengan beberapa bagian memanjang
ke dalam rongga di dasar sirip dada dekat ginjal bagian depan. Jaringan ginjal
ikan lebih rapuh dan konsistensinya lebih lunak dari vertebrata lainnya.
Ginjal mempunyai peran utama dalam ekskresi metabolisme, pencernaan
dan tempat penyimpanan berbagai unsur, termasuk bahan racun. Histopathology
ginjal adalah suatu kunci indikator dari toksisitas bahan kimia dan metode
histopatologi merupakan suatu cara yang bermanfaat untuk mempelajari efek
28
bahan toksik yang terekspose dan bahan toksik yang ada di lingkungan perairan
bagi organisme.
Ginjal ikan baung terdiri dari dua bagian yaitu ginjal depan (anterior
kidney) dan ginjal belakang (posterior kidney). Ginjal ini terletak di bagian
belakang dari rongga perut pada sisi atas. Ginjal berfungsi sebagai alat
pengeluaran sisa metabolisme.
29
III. BAHAN DAN METODE
3.1.Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Sungai Kampar Provinsi Riau (Gambar 6),
laboratorium parasit dan penyakit dan laboratorium lingkungan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Adapun waktu penelitian
dilaksanakan pada bulan Juli - September 2006.
Keterangan : 1. Stasiun 1 : Hulu sungai 2. Stasiun 2 : Sekitar pabrik 3. Stasiun 3 : Muara sungai
Gambar 6. Lokasi penelitian di Provinsi Riau
3.2. Bahan dan Alat
Untuk pengukuran kualitas air, bahan dan alat yang digunakan dapat
dilihat pada Tabel 5, sedangkan untuk kegiatan lainnya yang dilakukan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Stasiun 1 Stasiun 3
Stasiun 2
30
Tabel.5. Metode pengukuran parameter kualitas air
No. Parameter Kualitas air Alat Keterangan 1 2
Fisika Suhu air (ºC) TSS
Termometer Gravimetrik
Insitu Laboratorium
3 4 5
Kimia Salinitas (ppt) pH Logam (Pb,Cd)
Refraktometer pH meter Spektofotometrik
Insitu Insitu Laboratorium
Tabel 6. Bahan dan alat yang dipergunakan No Alat Bahan 1 Penangkapan Ikan Jaring insang Dasar 2 Sedimen Petersen Grabe Pengawet 3 Histologi
Botol film, gelas objek glass, microtome, incubator, water bath, mikroskop dan kamera, scaple.
insang dan ginjal ikan BNF (buffered neutral formalin), ethanol 70 %, 80%, 90 % dan absolut, xylol, parafin
4 Logam
Spektrofotometer (AAS) air, sedimen dan organ ikan (insang dan ginjal)
3.3. Metode
3.3.1. Stasiun Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan di tiga stasiun yang dipilih atas dasar jenis
aktivitas-aktivitas di sekitarnya yang dapat menimbulkan pencemaran. Pada setiap
stasiun dilakukan 3 kali pengulangan. Penentuan stasiun tersebut adalah sebagai
berikut:
Stasiun I: Bagian hulu dari muara sungai
Stasiun II: Sekitar aktivitas pabrik
Stasiun III: Muara sungai
Pada masing-masing stasiun pengamatan diambil sampel ikan baung
(Hemibagrus nemurus). Jumlah ikan yang diambil pada masing-masing stasiun
sebanyak 3 ekor untuk dilihat perubahan karakteristik dari organ tubuh ikan yang
terkena dampak dari limbah tersebut dan untuk pengamatan histologi.
31
3.3.2.Metode Parameter Kualitas Air
Metode pengambilan dan penanganan contoh air serta metode kualitas air
mengacu pada APHA (1989).
3.3.3.Pembuatan Preparat Histologi
Pengamatan biota ikan yang terkena dampak limbah, dilakukan
pengamatan dengan menggunakan metode mikroteknik, yaitu dengan cara
membuat preparat histologis. Preparat histologis yang dibuat adalah insang dan
ginjal ikan. Adapun prosedur dalam pembuatan preparat histologis adalah:
1. Ikan dibedah dan diambil bagian insang dan ginjalnya.
2. Diawetkan dengan formalin 4 % selama 24 jam.
3. Difiksasi dengan alkohol 70 % selama 24 jam.
4. Alkohol 80%, 90%, 95 %, absolut i dan ii masing-masing 1 jam.
5. Alkohol : xylol (1:1) selama 1 jam.
6. Xylol I dan II masing-masing 1 jam
7. Infiltrasi parafin dalam oven 600 C, xylol:parafin (1:1), Parafin I dan II
masing-masing 1 jam
8. Sampel ditanam dalam cetakan dan dibiarkan mengeras.
9. Blok ditempel pada holder atau blok kayu.
10. Sampel dipotong dengan microtome dengan ketebalan 6-10 mikron.
11. Potongan ditempel pada objek glass yang sebelumnya telah diolesi dengan
glycerin albumin.
12. Sample dikeringkan pada incubator 400 C selama 24 jam lalu diwarnai
dengan HE. Proses pewarnaan dengan menggunakan hemotoxylin dan
eosin dengan langkah sebagai berikut :
Deparaffinasi dengan xylol I dan II masing-masing 2 menit.
Dimasukkan ke dalam alkohol absolut, 96 % dan 90 % masing-masing
selama 2 menit.
Kemudian dimasukkan ke dalam alkohol 80 % dan 70% masing-masing
selama 20 detik.
Dicuci dengan air mengalir lebih kurang 2 menit
Dimasukkan ke dalam haemotoxylin selama 4 menit
32
Dicuci dengan air mengalir sampai jernih.
Dimasukkan ke dalam eosin selama 1,5 menit.
Dicuci dengan air mengalir sampai jernih
Direndam dengan alkohol 70 %, 89%, 90%, absolute, xylol i dan ii
masing-masing 2 menit.
13. Ditutup dengan cover glass yang sudah di tetesi dengan entelan neu.
14. Dikeringkan dalam oven pada suhu 400 C selama 24 jam, kemudian di
amati di bawah mikroskop.
3.3.4. Pengukuran Kandungan Logam Berat
Analisa logam berat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometrik
serapan atom (AAS) yaitu dengan menggunakan prinsip berdasarkan Hukum
Lambert-Beert yaitu banyaknya sinar yang diserap berbanding lurus dengan kadar
zat. Persamaan garis antara konsentrasi logam berat dengan absorbansi adalah
persamaan linier dengan koefisien arah positif: Y = a + bX. Dengan memasukkan
nilai absorbansi larutan contoh ke persamaan garis larutan standar maka kadar
logam berat contoh dapat diketahui (Hutagalung et al., 1997).
Larutan contoh yang mengandung ion logam dilewatkan melalui nyala
udara-asetilen bersuhu 20000 C sehingga terjadi penguapan dan sebagian tereduksi
menjadi atom. Lampu katoda yang sangat kuat mengeluarkan energi pada panjang
gelombang tertentu dan akan diserap oleh atom-atom logam berat yang sedang di
analisis. Jumlah energi cahaya yang diserap atom logam berat pada panjang
gelombang tertentu ini sebanding dengan jumlah zat yang diuapkan pada saat
dilewatkan melalui nyala api udara-asetilen. Setiap unsur logam berat
membutuhkan lampu katoda yang berbeda. Keseluruhan prosedur ini sangat
sensitif dan selektif karena setiap unsur membutuhkan panjang gelombang yang
sangat pasti (Tinsley, 1979). Untuk lebih jelasnya prinsip kerja spektrofemetrik
dapat dilihat pada Gambar 7.
33
Gambar 7. Prinsip kerja spektrofotometrik
3.3.4.1. Pengukuran Kandungan Logam berat Untuk Ikan
Organ yang dibutuhkan untuk dapat digunakan dalam analisis AAS
sebesar 5 gram. Kemudian ditimbang, dilakukan pengabuan kering sesudah
penghilangan bahan-bahan organik dengan pengabuan kering, residu dilarutkan
dalam asam encer. Larutan disebarkan dalam nyala api yang ada dalam alat AAS
sehingga absorpsi/emisi logam dapat dianalisa dan diukur pada panjang
gelombang tertentu.
Adapun prosedur metode Spektrofotometrik (AAS) adalah :
(A).Larutan abu berasal dari pengabuan basah
1. Memindahkan larutan abu ke dalam labu takar. Pilih labu takar yang sesuai
sehingga diperoleh konsentrasi logam yang sesuai dengan kisaran
kerjanya.
2. Ditepatkan sampai tanda tera dengan air lalu campur sampai merata.
(B). Abu berasal dari pengabuan kering
1. Ditambahkan 5-6 ml HCN 6 N ke dalam cawan/pinggan berisi abu,
kemudian dengan ginjal-ginjal panaskan di atas hot plate (pemanas)
dengan pemanasan rendah sampai kering.
2. Ditambahkan 15 ml HCN 3N, dan cawan dipanaskan di atas pemanas
sampai mulai mendidih.
34
3. Didinginkan dan saring dengan menggunakan kertas saring, masukkan
filtrat ke dalam labu takar yang sesuai. Usahakan padatan tertinggi
sebanyak mungkin dalam cawan.
4. Ditambahkan 10 ml HCN 3N ke dalam cawan, kemudian panaskan sampai
larutan mendidih.
5. Didinginkan, saring dan masukkan filtrat ke dalam labu takar.
6. Cawan dicuci dengan air sedikitnya 3 kali, saring air cucian lalu masukkan
ke dalam labu takar.
7. Cuci kertas saring dan masukkan air cucian ke dalam labu takar.
(C). Kaliberasi alat dan penetapan sampel
1. Diset alat AAS sesuai dengan instruksi dalam manual alat tersebut.
2. Diukur larutan standar logam dan blanko.
3. Diukur larutan sampel, selama penetapan sampel, diperiksa secara periodik
apakah nilai standar konstan.
4. Dibuat kurva standar untuk masing-masing logam (nilai absorpsi/emisi vs
konsentrasi logam m/ml.
Untuk mendapatkan konsentrasi logam berat yang sebenarnya digunakan rumus:
KeringBeratPenetapanVol.xAASKSebenarnyaK =
3.3.4.2. Pengukuran Kandungan Logam berat dalam Air
1. Contoh air laut 500 ml disaring dengan kertas saring 0,45 m.
2. pH diatur kisarannya 3,5-4 dengan menambahkan dengan HNO3 pekat.
3. Ditambahkan 1 ml larutan HNO3 pekat.
4. Ditambahkan 5 ml campuran penahan buffer asetat.
5. Ditambahkan 5 ml amonium pirolidin ditiokarbonat (apdc), dikocok
sekitar 5 menit.
6. Ditambahkan 10 ml pelarut organik metil iso butil keton (mibk), dikocok
sekitar 3 menit dan biarkan ke dua fasa terpisah.
7. Ditampung fasa airnya. Fasa air ini digunakan untuk pembuatan larutan
blanko laboratorium dan standar.
8. Ditambahkan 10 ml air suling ganda-bebas ion (dddw), dan dikocok
35
sekitar 5 detik dan biarkan kedua fasa terpisah. Buang fasa airnya.
9. Ditambahkan 1 ml HNO3 pekat, dan dikocok sebentar dan dibiarkan
sekitar 15 menit.
10. Ditambahkan 9 ml air suling ganda bebas ion dan dikocok sekitar 2 menit
serta ke dua fasa dibiarkan terpisah.
11. Ditampung fasa airnya dan siap diukur dengan AAS menggunakan nyala
udara-asetilen.
3.3.4.3. Pengukuran Kandungan Logam berat dalam sedimen
1. Dimasukkan masing-masing contoh sedimen ke dalam beaker teflon
secara merata agar mengalami proses pengeringan sempurna.
2. Kemudian dikeringkan contoh sedimen dalam oven pada suhu 1050 C
selama 24 jam.
3. Contoh sedimen yang telah kering kemudian ditumbuk sampai halus.
4. Setiap contoh sedimen ditimbang sebanyak kurang lebih 4 gram dengan
alat timbang digital.
5. Contoh sedimen yang telah ditimbang dimasukkan kedalam beaker teflon
yang tertutup.
6. Selanjutnya ditambahkan 5 ml larutan aqua regia dan dipanaskan pada
suhu 1300 C.
7. Setelah semua sedimen larut, pemanasan diteruskan hingga larutan hampir
kering dan selanjutnya didinginkan pada suhu ruang dan dipindahkan ke
sentrifus polietilen.
8. Kedalamnya ditambahkan aquades hingga volumenya mencapai 30 ml dan
dibiarkan mengendap, kemudian tampung fasa airnya. Selanjutnya siap
diukur dengan AAS, menggunakan nyala udara-asetilen.
Baku mutu sedimen
Baku mutu logam berat di dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum
ditetapkan, sehingga sebagai acuan digunakan baku mutu yang dikeluarkan oleh
IADC/CEDA (1997) mengenai kandungan logam yang dapat ditoleransi
36
keberadaannya dalam sedimen berdasarkan standar kualitas Belanda, seperti dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Kandungan logam berat dalam sedimen (dalam ppm)
Logam berat Level target
Level limit
Level tes
Level intervensi
Level bahaya
Cadmium (Cd) 0,8 2 7,5 12 30 Timbal (Pb) 85 530 530 530 1000
Merkuri (Hg) 0,3 0,5 1,6 10 15 Sumber: IADC/CEDA (1997)
Keterangan :
a. Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki
nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada
sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan.
b. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai
maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem.
c. Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada
kisaran nilai antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai
tercemar ringan.
d. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada
pada kisaran nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan
sebagai tercemar sedang.
e. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar
dari baku mutu level bahaya maka harus dengan segera dilakukan
pembersihan sedimen.
3.3.4.4. Pengukuran Koefisien Distribusi (Kd) dan Biokonsentrasi Faktor
(BCF)
Untuk melihat perbandingan koefisien distribusi (Kd) logam berat dalam
air sedimen dan ikan digunakan rumus:
air berat] [Logamsedimen t]bera [LogamKd =
37
Untuk melihat tingkat biokonsentrasi faktor (BCF) digunakan rumus :
air berat] [Logamikan t]bera [LogamBCF1 =
sedimen berat] [Logamikan t]bera [LogamBCF2 =
3.4. Analisa Data dan Penyajian Data
3.4.1. Analisa Deskriptif
Keseluruhan data parameter kualitas air dan logam berat yang ada di
sedimen, badan air maupun yang terkandung pada ikan disajikan secara deskriptif.
3.4.2. Analisa Histopatologi
Disamping menganalisa besarnya kandungan logam berat yang ada dalam
tubuh ikan, dilakukan pula analisa hasil foto histologis beberapa jaringan tubuh
ikan yaitu insang dan ginjal ikan. Melalui cara ini dapat diketahui jenis-jenis
kerusakan yang diakibatkan dari adanya penetrasi logam berat ke dalam tubuh
ikan. Disamping itu juga untuk mengetahui tingkat kerusakan sel-sel pada organ.
Adapun rancangan yang digunakan adalah Rancangan Faktorial (Gasperz,
1991) dengan model matematis sebagai berikut :
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
i = 1, 2,3 j = 1,2,3
Keterangan: Yijk = Nilai kandungan logam berat di perairan Sungai Kampar yang
memperoleh kombinasi ij (taraf ke-i dari perlakuan air, sedimen, organ ikan dan taraf ke-j dari stasiun pengamatan)
µ = Pengaruh umum αi = Besar kandungan logam berat pada perlakuan ke-i βj = Besar kandungan logam berat pada stasiun ke-j (αβ)ij = Pengaruh interaksi antara perlakuan ke-i dan stasiun yang berbeda ke-j εijk = Galat percobaan (pengaruh lainnya)
38
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum
Provinsi Riau terdiri dari daerah daratan dan perairan. Di daerah perairan
terdapat 3.214 pulau besar dan kecil. Sebanyak 743 pulau telah memiliki nama
dan sisanya belum. Mayoritas pulau-pulau kecil yang tersebar di perairan laut
Cina Selatan belum berpenghuni dengan luas sekitar 329.867,61 km2, sebesar
71,33 % merupakan daerah perairan/lautan. Keberadaannya membentang dari
lereng Bukit Barisan sampai ke Laut Cina Selatan, terletak antara 1°15’ Lintang
Selatan sampai 4°45’ Lintang Utara.
Daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar
antara 2000-3000 mm/tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau serta musim
hujan. Rata-rata hujan pertahun sekitar 160 hari.
Provinsi Riau memiliki 11 kabupaten/kota yaitu : (1) Kuantan Singingi,
(2) Indragiri Hulu, (3) Indragiri Hilir, (4) Pelelawan, (5) Kampar, (6) Siak, (7)
Rokan Hulu, (8) Bengkalis, (9) Rokan Hilir, (10) Pekanbaru, dan (11) Dumai.
dengan ibukota Provinsi di Pekanbaru.
4.1.1. Keadaan Geografis dan Demografis
Secara administratif, wilayah Provinsi Riau terdiri dari 9 kabupaten dan 2
kota, dengan luas wilayah +108 ribu km2. Pada tahun 2005 jumlah penduduk
mencapai 4.614.532 jiwa, dan rata-rata kepadatan penduduknya 42 jiwa per km2.
Jumlah penduduk terbanyak pada kelompok usia 15-64 tahun (67,89 persen),
disusul kelompok usia 0-14 tahun (30,27 persen), dan di atas 65 tahun (1,84
persen). Sebagian besar kawasan dataran rendah di Riau berupa rawa dan tanah
bergambut tebal, yang dialiri empat sungai besar yaitu Rokan, Siak, Kampar, dan
Kuantan-Indragiri. Secara geografis, wilayah Provinsi Riau berbatasan dengan
Malaysia, dan berada pada jalur lalu lintas laut internasional terpadat.
39
4.1.2. Struktur Ekonomi
Provinsi Riau merupakan penghasil devisa utama minyak bumi bagi
Indonesia, dengan produksi lebih dari 600.000 barrel per hari (sekitar 60 persen
dari total produksi minyak dan gas nasional). Selain migas, Riau juga kaya akan
potensi sumber daya alam berupa hasil hutan, pertanian, perkebunan, aneka
tambang dan mineral, dan hasil laut (perikanan). Semenjak pemekaran wilayah
dan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (pada pertengahan 2004), terjadi
pergeseran komoditi unggulan ekspor Provinsi Riau. Pada umumnya produk-
produk itu dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan modal asing (PMA) di Pulau
Batam dan Bintan. Pada saat ini komoditi ekspor unggulan Provinsi Riau ialah
produk-produk primer berupa bahan baku dan setengah jadi, seperti minyak
mentah sawit (CPO), pulp dan kertas, karet (crumb rubber), kayu lapis (triplex),
kayu olahan, produk kelapa, ikan dan udang segar, batu bara, dan lain-lain.
Dalam struktur ekonomi Riau, terdapat tiga sektor yang memberikan
kontribusi tertinggi yaitu : pertanian, industri, dan perdagangan. Sumbangan
ketiga sektor itu pada pertumbuhan ekonomi Riau mencapai 80,93 persen (2005),
diperkirakan meningkat mencapai 81,41 persen (2006), dan akan naik lagi
menjadi sekitar 81,62 (2007). Pertumbuhan ekonomi Riau tanpa migas tahun
2005, berdasarkan harga konstan tahun 2000, sebesar 8 persen. Nilai ekspor non
migas tahun 2005 sekitar US $ 6.5 milyar, naik 6,5 persen dari tahun 2004 (US $
6.1 milyar). Pada tahun 2005, APBD Riau sebesar Rp 2,489 triliun (bandingkan
dengan APBD Kaltim pada tahun yang sama sejumlah Rp 2,233 triliun).
Berpijak pada visi pembangunan Riau 2020, yaitu : “Terwujudnya
Provinsi Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu dalam
lingkungan masyarakat yang agamis, sejahtera lahir dan batin di Asia Tenggara
tahun 2020” (Perda No.1/ 2004 tentang Renstra Provinsi Riau 2004-2008 dan
Master Plan Riau 2020), Riau tengah gencar melancarkan gerakan
penanggulangan K2I (kemiskinan, kebodohan, dan infrastruktur). Gerakan K2I
dijalankan, antara lain, dengan membangun berbagai kawasan industri (Pelintung,
Lubuk Gaung, Buton, Kuala Enok, dan Tenayan), dan menjadikan Kota Dumai
sebagai kawasan free trade zone (FTZ). Kota Dumai dirancang menjadi sebuah
kota multifungsi menggantikan peran dan fungsi Batam.
40
4.1.3. Kondisi Sosial Budaya
Dari segi sosial budaya, Riau termasuk daerah dengan tingkat
heterogenitas etnis yang tinggi. Selain penduduk asli (orang Melayu Riau), maka
suku bangsa lain yang cukup dominan di Riau ialah Minangkabau, Jawa, Batak,
dan Cina. Pada tahun 2003, migrasi penduduk yang masuk ke wilayah Provinsi
Riau tercatat sejumlah 240.729 orang (5,45 persen). Hal ini menyebabkan
tingginya laju pertumbuhan penduduk Riau yaitu 3,65 persen (2000-2004). Meski
tingkat migrasi penduduk cukup tinggi, namun soliditas masyarakat tampak kuat.
Ada dua faktor yang mengikat masyarakat Riau menjadi relatif solid, yaitu
kesamaan agama dan kekompakan diantara tokoh-tokoh masyarakat. Pernyataan
visi Riau sebagai ”Pusat Kebudayaan Melayu” dapat dibaca sebagai : ”Riau
adalah wilayah dengan penduduk yang hampir seluruhnya beragama Islam”.
Kesamaan agama ini merupakan faktor pengikat utama masyarakat secara sosial
budaya. Faktor kedua adalah adanya kesamaan pandangan di antara tokoh-tokoh
Masyarakat Riau (3 pilar) dalam merespon aktivitas pemerintahan sehari-hari.
Ketiga pilar tokoh Masyarakat Riau itu ialah tokoh adat (lembaga adat), tokoh
agama (MUI), dan tokoh cendekiawan (antara lain yang tergabung dalam Forum
Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau). Secara umum gambaran jumlah
penduduk Provinsi Riau tahun 2000 berdasarkan perbedaan gendernya terlihat
pada Tabel 8. Untuk peningkatan jumlah penduduk dari tahun 2000-2004 per
kabupaten/kota digambarkan pada Tabel 9. Sedangkan Tabel 10 gambaran
kepadatan penduduk/km2 pada Tahun 2004 dan berdasarkan kelompok umur pada
Tabel 11.
41
Tabel 8. Jumlah penduduk Provinsi Riau tahun 2000 berdasarkan sensus penduduk
No Kabupaten/kota Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Kuantan Singingi 110.057 106.675 216.7322. Indragiri Hulu 126.178 121.128 247.3063. Indragiri Hilir 286.559 269.142 555.7014. Pelelawan 80.530 72.419 152.9495. Siak 125.094 113.692 238.7866. Kampar 229.228 217.929 447.1577. Rokan Hulu 138.082 127.604 265.6868. Bengkalis 268.059 252.182 520.2419. Rokan Hilir 182.195 170.104 352.29910. Pekanbaru 298.464 286.976 585.44011. Dumai 89.953 83.235 173.188 J u m l a h 1.934.399 1.821.086 3.755.485
Tabel 9. Jumlah penduduk masing-masing kabupaten/kota dari tahun 2000 – 2004
No. Kabupaten/kota 2000 2001 2002 2003 2004 1. Kuantan
Singingi 21.732 220.248 235.611 240.582 241.766
2. Indragiri Hulu 247.306 250.314 263.227 282.569 284.3023. Indragiri Hilir 555.701 563.178 589.784 626.229 628.5004. Pelelawan 152.949 157.676 170.277 208.013 215.2815. Siak 238.786 250.373 272.986 273.278 279.4576. Kampar 447.157 460.894 499.291 527.736 530.9317. Rokan Hulu 265.686 269.892 286.993 327.917 328.3068. Bengkalis 520.241 529.569 562.193 632.637 649.8059. Rokan Hilir 352.299 359.558 394.647 421.281 425.20410. Pekanbaru 585.440 599.612 660.229 666.902 693.91211. Dumai 173.188 179.666 190.057 206.288 213.929 J u m l a h 3.755.485 3.841.070 4.125.295 4.413.432 4.491.393
42
Tabel 10. Kepadatan penduduk Provinsi Riau menurut kabupaten/kota tahun 2004
No. Kabupaten/kota Luas (km2) Jumlah
Penduduk Kepadatan
per/km2
1. Kuantan Singingi 7.656,03 241.766 31,582. Indragiri Hulu 8.198,26 284.302 34,683. Indragiri Hilir 11.605,97 628.500 54,154. Pelelawan 11.987,90 215.281 17,965. Siak 8.423,08 279.457 33,186. Kampar 9.756,74 530.931 54,427. Rokan Hulu 6.163,68 328.306 53,268. Bengkalis 11.614,78 649.805 55,959. Rokan Hilir 8.881,59 425.204 47,8710. Pekanbaru 446,5 693.912 1.554,1111. Dumai 1.727,38 213.929 123,85 J U M L A H 86.461,91 4.491.939 51,95
Tabel 11. Jumlah penduduk kabupaten/kota berdasarkan kelompok umur
Kelompok Umur No. Kabupaten/Kota < 2 2 - 4 5 - 9 10-14 15 - 49 50 - 64 65 +
1. Kuantan Singingi 3.231 14.244 30.103 25.648 137.632 23.255 6.469
2. Indragiri Hulu 4.949 14.222 34.391 38.047 162.850 23.510 4.600
3. Indragiri Hilir 15.330 41.762 83.526 72.965 344.318 56.262 12.066
4. Pelelawan 8.567 15.775 28.062 23.713 116.794 12.914 2.188
5. Siak 11.998 20.118 35.273 25.548 157.237 16.947 6.157
6. Kampar 18.675 33.631 66.698 63.081 288.818 42.401 14.432
7. Rokan Hulu 12.025 24.208 41.244 35.771 181.080 27.900 5.599
8. Bengkalis 18.563 45.216 69.834 70.965 356.823 50.431 20.805
9. Rokan Hilir 12.279 40.698 51.268 53.219 233.070 22.865 7.882
10. Pekanbaru 22.563 44.537 77.671 66.392 394.987 47.002 13.750
11. Dumai 6.054 13.249 24.173 22.022 120.774 15.943 4.073
J u m l a h 134.234 307.660 542.243 497.371 2.494.383 339.430 98.021
4.2. Kabupaten Kampar
4.2.1.Informasi Umum
Kabupaten Kampar terletak diantara 10°25’ Lintang Utara – 00°20’
Lintang Selatan, 100o 42’ – 103o 28’ Bujur Timur, dengan batas-batas sebagai
berikut :
Sebelah utara dengan Kabupaten Bengkalis dan Rokan Hulu.
43
Sebelah selatan dengan Kabupaten Indragiri Hulu dan Kuantan Singingi.
Sebelah barat dengan Propinsi Sumatera Barat.
Sebelah timur dengan Kabupaten Pelelawan dan Kota Pekanbaru.
Kabupaten Kampar dengan populasi 415.344 orang, dibagi dalam 13
kecamatan yang meliputi area seluas 11.707,64 km2, hampir seluruh daerah
merupakan dataran rendah, terkecuali beberapa daerah yang dilalui oleh Bukit
Barisan dengan ketinggian 200–300 m diatas permukaan laut. Iklim di Kabupaten
Kampar adalah tropis dengan suhu rata-rata 220 C – 310 C. Musim kemarau
berlangsung antara bulan Maret – Agustus, sementara musim hujan berlangsung
antara bulan September – Februari. Di Kabupaten ini terdapat tiga Sungai besar,
yaitu Siak, Rokan, dan Kampar yang salah satunya bermuara di Selat Malaka.
Sungai Kampar sepanjang 413,5 km dengan kedalaman rata – rata 7,7 m dan lebar
143 m. Sungai Siak sepanjang 90 km dengan kedalaman rata – rata 8 – 12 m.
Disamping itu terdapat lebih kurang seratus sungai yang dapat menghubungkan
satu desa ke desa lainnya.
Saat ini (tahun 2006), Kabupaten Kampar memiliki 19 kecamatan, sebagai
hasil pemekaran dari 12 kecamatan sebelumnya. Kesembilan belas kecamatan
tersebut (beserta ibu kota kecamatan) adalah:
1. Bangkinang (Ibu Kota Bangkinang) 2. Bangkinang Barat (Ibu Kota Kuok) 3. Bangkinang Seberang (Ibu Kota Muara Uwai) 4. Gunung Sahilan (Ibu Kota Gunung Sahilan) 5. Kampar (Ibu Kota Air Tiris) 6. Kampar Kiri (Ibu Kota Sungai Pagar) 7. Kampar Kiri Hilir (Ibu Kota Gema) 8. Kampar Kiri Hulu (Ibu Kota Lipat Kain) 9. Kampar Timur (Ibu Kota Kampar) 10. Kampar Utara (Ibu Kota Desa Sawah) 11. Perhentian Raja (Ibu Kota Pantai Raja) 12. Rumbio Jaya (Ibu Kota Rumbio) 13. Salo (Ibu Kota Salo) 14. Siak Hulu (Ibu Kota Pandau) 15. Tambang (Ibu Kota Tambang) 16. Tapung (Ibu Kota Petapahan) 17. Tapung Hilir (Ibu Kota Pantai Cermin) 18. Tapung Hulu (Ibu Kota Sinama Nenek) 19. XIII Koto Kampar (Ibu Kota Muara Mahat)
44
4.3.2.Fasilitas dan Infrastruktur
Transportasi
Transportasi secara umum dapat diperlancar dengan menggunakan jalan
yang sudah ada sepanjang 1.836,48 km yang terdiri dari 459,33 km jalan aspal,
849,85 km jalan kerikil, dan 527,30 km jalan tanah. Namun, transportasi sungai
tetap memegang peranan penting untuk menghubungkan desa-desa. Transportasi
udara untuk Masyarakat Kampar biasanya melalui Bandar Udara Sultan Syarif
Kasim II di Pekanbaru, yang berjarak 60 km dari Bangkinang.
Listrik
Suplai kebutuhan listrik di Kabupaten Kampar disediakan oleh PLN
cabang Bangkinang dengan 4 mesin diesel dengan menggunakan pembangkit
listrik tenaga air (PLTA) Koto Panjang dengan kapasitas 114,240 Kwh pada tahun
2001.
Telekomunikasi
Layanan telekomunikasi di Kampar disediakan oleh PT Telkom yang
disediakan untuk sambungan lokal dan interlokal, serta telepon selular.
Air Bersih
Suplai air bersih didistribusi oleh PDAM Tirta Kampar. Layanan PDAM
ini untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, perkantoran, sekolah, dan
pertokoan. Kapasitas air yang disediakan oleh PDAM tersebut tercatat sebanyak
971.818 m3.
Fasilitas Pendukung Lainnya
Terdapat beberapa bank komersial yang beroperasi di Bangkinang dan
beberapa kota lainnya, yaitu BRI, BNI, Bank Riau, dan BPR. Disamping itu
terdapat Rumah Sakit Umum dan Swasta di Bangkinang.
45
4.2.3. Beberapa Potensi Daerah
Hasil Pertanian
Lahan yang tersedia untuk pertanian seluas 17.553 ha yang terdiri dari
sawah dan ladang. Ada 3 daerah yang merupakan penghasil beras terbesar, yaitu
Kecamatan Kampar 18.670,54 ton, Kecamatan Bangkinang Barat 6.925,21 ton,
dan Kecamatan XIII Koto Kampar 6.857,97 ton beras. Beberapa daerah
perladangan terdiri dari jagung 2692 ha, singkong 997 ha, kentang manis 293 ha,
kacang 567 ha, kacang kedele 472 ha, dan buncis 232 ha.
Perkebunan
Terdapat beberapa komoditas perkebunan di Kabupaten Kampar, antara
lain minyak sawit, kelapa, karet, kopi, dan lain-lain. Lahan yang ditanami seluas
304.564 ha pada tahun 2001, 70,43% untuk kebun kelapa sawit, dan 26,90%
untuk karet. Pada area ini, 218.000 ha lahan sudah menghasilkan. 74.45% untuk
sawit dan 22.97% untuk karet.
Peternakan
Kampar adalah salah satu daerah yang memproduksi hewan ternak dalam
jumlah yang besar di Propinsi Riau, terutama untuk sapi dan kerbau, dan sampai
saat ini masih mensuplai hewan ternak untuk daerah lain di Riau.
Perikanan
Perikanan sangat potensial diadakan di daerah Kampar. Dari hasil
perikanan, diperkirakan dapat memperoleh keuntungan sebesar Rp 18,77 milyar.
Kehutanan
Hutan di Kampar meliputi area seluas 894.283 ha dan menurut fungsinya
terbagi atas hutan konversi (55,97%), hutan produksi (27,53%), hutan lindung
(4,86%) dan hutan margasatwa (7,44%).
46
Pertambangan
Batu gamping : Batu gamping ini ditemukan di Desa Gema, di belakang
Bukit Biaro dengan ketebalan 15 m dan tersebar di area seluas 15 ha. Batu
gamping dapat diproduksi untuk berbagai tujuan, seperti cat, kalsinat,
pengatur keasaman di perindustrian, menambah keasaman tanah di
pertanian, untuk keramik, atap, asbak, dan kerajinan tangan.
Kaolin : Kandungan kaolin dapat ditemukan di Sungai Sibayang, Desa
Gema dengan kedalaman 2,5 m dan menutupi tanah sepanjang 2 m. Kaolin
dapat digunakan untuk bahan baku keramik, penghambat listrik, campuran
semen, sebagai pengisi dalam proses pembuatan kertas.
Bentonit : Bentonit dapat ditemukan di 2/4 perjalanan jalan beraspal dari
Pekanbaru ke Lipat Kain, dengan ketebalan 5 – 7 m , dengan mineral yang
tersebar seluas 15 ha.
Industri
Terdapat 11 buah industri berskala besar, 60 industri menengah, dan 720
industri kecil di Kampar pada tahun 1998. Industri kecil selalu menyerap tenaga
kerja di daerah ini terutama untuk sektor pertanian dan hutan. Selain itu industri
metal, mesin, dan kimia menyerap 10,62% tenaga kerja dan industri lainnya
3,57%.
4.3.Kabupaten Pelelawan
4.3.1.Informasi Umum
Kabupaten Pelelawan terletak di bagian timur Riau Daratan. Daerah ini
tersebar di sepanjang hilir Sungai Kampar. Pelelawan adalah salah satu Kabupaten
yang besar dan memiliki posisi strategis karena dekat dengan jalur pelayaran
internasional.
Secara geografis, Kabupaten Pelelawan terletak antara 250 – 0020’
Lintang Selatan dan 1000 42’ – 1030 28’ Bujur Barat, dengan batas sebagai
berikut:
Sebelah utara dengan Kabupaten Siak dan Bengkalis.
47
Sebelah selatan dengan Kabupaten Indragiri Hulu, Hilir, dan Kuantan
Singingi.
Sebelah barat dengan Pekanbaru dan Kabupaten Kampar.
Sebelah timur dengan Kabupaten Karimun dan Kepulauan Riau.
Kabupaten Pelelawan berada di daerah seluas 12.490,42 km2, terdiri dari
10 kecamatan, ibukota kabupaten ini adalah Pangkalan Kerinci, selain itu juga
terdapat beberapa kota penting, yaitu Pangkalan Kuras, Ukui, Sorek, Langgam,
Teluk Meranti. Jumlah populasi adalah 213.399 jiwa, dan di Pangkalan Kerinci
berjumlah 47.709 jiwa.
Secara topografi, Pelelawan memiliki lokasi yang berbukit dan
bergelombang. Sungai terbesar, yaitu sungai Kampar – langsung bermuara ke
Selat Malaka. Sungai Kampar juga berfungsi sebagai media transportasi, air
minum, dan irigasi. Kabupaten ini beriklim tropis dan bertemperatur antara 220–
320 C. Jalan nasional yang menghubungkan Pekanbaru - Jambi dan Pekanbaru –
Kuala Enok, melalui Pangkalan Kerinci. Sementara jalan yang menghubungkan
kecamatan masih berupa jalan tanah yang keras.
Kabupaten Pelelawan mencakup daerah daratan dan sebagai lautan dengan
keadaan topografi datar, bergelombang dan berbukit dengan jenis tanah pada
umumnya podzolik merah kuning, dengan bahan induk batuan endapan dan beku
dan sebagian lainnya dengan jenis tanah organosol dan gleihumus dengan bahan
induk aluvial.
Di Kabupaten Pelelawan melintas sebuah sungai besar yaitu Sungai
Kampar yang berhulu di Provinsi Sumatera Barat dengan panjangnya mencapai
413, 5 kilometer dengan kedalaman rata-rata 7,7 meter dan lebar rata-rata 143
meter. Di wilayah Kabupaten Pelelawan sungai ini dapat dilayari dengan kapal
bermotor kecil.
Sesuai dengan UU RI No. 53 Tahun 1999, Kabupaten Pelelawan terdiri
atas empat kecamatan, namun setelah terbit Surat Dirjen PUOD
No.138/1775/PUOD tanggal 21 Juni 1999 tentang pembentukan sembilan
Kecamatan Pembantu di Provinsi Riau, maka Kabupaten Pelelawan dimekarkan
menjadi sembilan, yakni terdiri atas 4 kecamatan induk dan 5 kecamatan
48
pembantu. Tetapi berdasarkan SK Gubernur Provinsi Riau No. 136/TP/1443,
Kabupaten Pelelawan dimekarkan kembali menjadi 10 (sepuluh) kecamatan.
Namun setelah terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Pelelawan Nomor 06 Tahun
2005, maka sekarang ini Kabupaten Pelelawan terdiri dari 12 kecamatan (Tabel
12)
Tabel 12. Nama kecamatan, luas wilayah, jumlah kelurahan dan desa di Kabupaten Pelelawan tahun 2003
Jumlah No Kecamatan Ibukota Luas Wilayah
(Km2) Kelurahan Desa Jumlah 1 Langgam Langgam 1.324,13 1 6 7 2 Pangkalan Kerinci Pangkalan Kerinci 2.08,88 6 6 3 Pangkalan Kuras Sorek Satu 1.250,72 1 15 16 4 Ukui Ukui Satu 1.315,70 11 11 5 Pangkalan Lesung Pangkalan Lesung 472,74 8 8 6 Bunut Pangkalan Bunut 705,45 1 13 14 7 Pelelawan Pelelawan 1.565,14 10 10 8 Kuala Kampar Teluk Dalam 1.007,34 1 7 8 9 Kerumutan Kerumutan 1.174,39 8 8
10 Teluk Meranti Teluk Meranti 3.465,94 9 9 Jumlah 12.490,42 4 93 97
4.3.2. Fasilitas dan Infrastruktur
Transportasi
Jalan sepanjang 1700 km dapat menghubungkan satu daerah dengan
daerah lainnya. Sementara untuk yang lainnya adalah jalan tanah yang dipadatkan.
Kabupaten Pelelawan diseberangi oleh Sungai Kampar. Untuk melalui sungai ini,
maka dapat digunakan media transportasi berupa speedboat atau sampan motor.
Untuk transportasi udara – terdapat Bandar Udara di Pangkalan Kerinci,
yang dibangun oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP), yang bernama
Bandara Sultan Syarif Haroen Setia Negara, dengan landasan selebar 23 m, dan
panjang 1300 m di area seluas 89 ha. Namun begitu, untuk hubungan ke kota –
kota yang lebih jauh, penduduk Pelelawan juga menggunakan Bandara Sultan
Syarif Kasim II di Pekanbaru yang berjarak 70 km dari Kabupaten Pelelawan.
Untuk waktu yang akan datang, sedang dibangun Bandar udara di Desa Pangkalan
Kabung, yang berjarak 4 km dari Pangkalan Kerinci.
49
Listrik
Jumlah keseluruhan energi listrik yang tersedia di Kabupaten Pelelawan
pada tahun 2000 adalah 350,54 MW, yang melayani perindustrian dan kebutuhan
rumah tangga.
Telekomunikasi
Jaringan telepon sudah dapat dilayani di berbagai kecamatan di Pelelawan.
Sementara itu faksimili dan telepon selular baru dapat dilayani di Pangkalan
Kerinci, Pangkalan Kuras, dan Bunut. Pada tahun 2002, jaringan telepon
mencapai 2451 sambungan yang tersebar di Pangkalan Kerinci, Pangkalan Kuras,
dan Ukui. Layanan pos sudah mencapai ke seluruh daerah di Pelelawan.
Air Bersih
Air bersih disalurkan melalui sistem pemipaan dan tanpa pipa. Layanan air
bersih ini ditangani oleh Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kampar (PDAM),
yang terdiri dari 4 unit produksi dengan kecepatan 5-10 liter/detik, dan terbatas
sebagian kecilnya untuk kebutuhan rumah tangga.
Fasilitas Pendukung Lainnya
Terdapat 3 Bank komersial yang telah beroperasi di Kabupaten Pelelawan,
yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI) di Pangkalan Kerinci dan Sorek, Bank
Pembangunan Daerah (BPD), dan Bank Negara Indonesia (BNI) di Pangkalan
Kerinci. Untuk layanan kesehatan terdapat Rumah Sakit Umum dan Puskesmas
sebanyak 207 bangunan dan 114 tenaga medis.
4.3.3.Beberapa Potensi Daerah
Pertanian
Di sektor agrikultur ada beberapa komoditas seperti sayur-sayuran, pisang,
rambutan, durian, nanas, jagung, dan lainnya yang memiliki pangsa pasar lokal
dan luar negeri.
50
Perikanan
Sektor perikanan yang dapat dikembangkan di Kabupaten Pelelawan
adalah tambak udang, ikan dalam kolam, tambak ikan, dan penangkapan ikan dari
laut dan sungai.
Perkebunan
Dari sektor perkebunan, komoditas seperti minyak sawit, kelapa, dan karet
memiliki prospek yang bagus untuk dikembangkan dan dijual dipasaran domestik
serta lokal.
Hutan
Kabupaten Pelelawan memiliki potensi untuk mengembangkan kayu
tebang dan kemudian diolah menjadi bubur kayu dan kertas. Industri ini ditangani
oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper.
Pertambangan
Pertambangan di Kabupaten Pelelawan tidak dieksploitasi secara optimal.
Beberapa mineral cukup potensial di Pelelawan yaitu bahan tambang kelas C
(bentonite, pasir kuarsa, dan kaolin), gas alam, batu bara, air bawah tanah, air
Sungai Kampar.
Industri dan Perdagangan
Sampai tahun 2001, terdapat 97 industri skala kecil dan menengah yang
mempekerjakan 897 tenaga kerja. Beberapa perusahaan dagang yang
dikategorikan sebagai perusahaan besar, menengah dan kecil yaitu 11,71, dan 96
perusahaan atau total 178 perusahaan. Di sebelah barat dari kota lama Pangkalan
Kerinci terdapat kawasan industri PT RIAU ANDALAN PULP AND PAPER
(RAPP) yang merupakan industri penghasil bubur kertas dan produk kertas, yang
bahan bakunya diantaranya dipasok dari hutan tanaman industri (HTI) dengan
jenis kayu akasia.
51
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kualitas Air
Pengambilan titik sampel ditentukan berdasarkan karakteristik perairan,
yakni Stasiun 1 bagian hulu sungai, Stasiun 2 bagian tengah sungai dan stasiun 3
bagian hilir sungai. Stasiun 1 dan 2 tergolong kepada perairan tawar, sedangkan
untuk stasiun 3 tergolong ke pada perairan estuaria. Estuaria merupakan badan air
yang kompleks dan aktivitasnya dipengaruhi oleh pergerakan air tawar dan air
laut. Pergerakan kedua massa air yang berbeda ini mempengaruhi konsentrasi dan
pola penyebaran salinitas serta menentukan tipe estuaria. Estuaria dengan salinitas
tinggi menandakan adanya pengaruh air laut yang kuat, sehingga massa air laut
mendominasi estuaria, sedangkan estuaria yang memiliki salinitas rendah
mengindikasikan pengaruh air tawar yang lebih dominan.
Proses pembilasan yang terjadi di estuaria erat kaitannya dengan
percampuran massa air tawar yang disebabkan oleh adanya pasang surut. Estuaria
yang memiliki pengaruh pasang lebih kuat akan mampu membilas bahan
pencemar dan mempengaruhi proses penyebarannya. Estuaria dengan waktu
pembilasan yang cepat akan memiliki kemampuan lebih cepat untuk
membersihkan diri dari bahan pencemar yang memasukinya. Sebaliknya estuaria
dengan waktu pembilasan lebih lambat akan lebih lama mengencerkan pencemar
yang masuk ke dalamnya.
Berdasarkan analisa di laboratorium dan pengamatan secara langsung
(insitu) pada masing-masing stasiun yang dilakukan dengan 3 kali ulangan
diperoleh hasil kualitas air yang hampir mirip pada tiap stasiun pengamatan
(Tabel 13).
Tabel 13. Rata-rata kualitas air pada tiap stasiun pengamatan
Stasiun pH Suhu salinitas TSS 1 6 29 0 0,010 2 5 32 0 0,009 3 4,5 30 0,5 0,065
52
5.1.1. SUHU
Tiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap
perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan.
Oleh karena itu suhu merupakan salah satu faktor fisika perairan yang sangat
penting bagi kehidupan organisme atau biota perairan. Secara umum suhu
berpengaruh langsung terhadap biota perairan berupa reaksi enzimatik pada
organisme dan tidak berpengaruh langsung terhadap struktur dan disperse hewan
air (Nontji, 1984).
Hasil pengukuran suhu pada tiap stasiun pengamatan menunjukkan bahwa
suhu di perairan Sungai Kampar berkisar antara 29 -300C. Suhu terendah terdapat
pada bagian hulu Sungai Kampar dan tertinggi pada muara Sungai Kampar.
Tingginya suhu perairan Sungai Kampar ini berhubungan dengan letak geografis
dari Provinsi Riau yang berada pada daerah khatulistiwa, sehingga intensitas
penyinaran matahari sangat tinggi. Tingginya intensitas penyinaran matahari,
menyebabkan tingginya tingkat penyerapan panas ke dalam perairan. Kondisi
kisaran suhu perairan Sungai Kampar masih dalam batas nilai toleransi bagi
kehidupan organisme perairan pada umumnya.
Nybakken (1988) menjelaskan bahwa suhu merupakan salah satu faktor
yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran
organisme. Kaidah umum menyebutkan bahwa reaksi kimia dan biologi air
(proses fisiologis) akan meningkat 2 kali lipat pada kenaikan temperatur 100 C,
selain itu suhu juga berpengaruh terhadap penyebaran dan komposisi organisme.
Kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah antara 18-300
C. Berdasarkan hal tersebut, maka suhu perairan dilokasi penelitian sangat
mendukung kehidupan organisme yang hidup di dalamnya.
5.1.2. pH
pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena ia mengontrol tipe
dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Selain itu, ikan dan makhluk-
makhluk lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya
nilai pH, kita dapat mengetahui apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk
menunjang kehidupan mereka.
53
Nilai pH suatu perairan memiliki ciri yang khusus, adanya keseimbangan
antara asam dan basa dalam air dan yang diukur adalah konsentrasi ion hidrogen.
Dengan adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan pH,
sementara adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat dapat menaikkan kebasaan
air. Nilai derajat keasaman (pH) perairan Sungai Kampar berkisar antara 6 - 4,5.
Hal ini menunjukkan bahwa perairan Sungai Kampar cenderung bersifat asam.
Hal ini disebabkan di Provinsi Riau masih banyak terdapat daerah rawa yang
memiliki derajat keasaman yang cukup rendah. Semakin ke muara sungai semakin
banyak daerah rawa, sehingga air yang masuk dari anak sungai ke sungai induk
masih memiliki nilai derajat keasamaan yang cukup rendah. Secara umum
berdasarkan pengukuran pada setiap pengamatan dan berdasarkan perhitungan
nilai derajat keasamannya maka perairan Sungai Kampar tergolong pada kategori
layak, baik bagi organisme perairan di dalamnya maupun untuk kegiatan sektor
perikanan lainnya.
Ada 2 fungsi dari pH yaitu sebagai faktor pembatas, setiap organisme
mempunyai toleransi yang berbeda terhadap pH maksimal, minimal serta optimal
dan sebagai indeks keadaan lingkungan. Nilai pH air yang normal sekitar netral
yaitu antara 6-8, sedangkan pH air yang tercemar beragam tergantung dari jenis
buangannya. Batas organisme terhadap pH bervariasi tergantung pada suhu air,
oksigen terlarut, adanya berbagi anion dan kation serta jenis organisme. Dengan
demikian pH perairan di lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan
yang ada di dalamnya.
5.1.3. SALINITAS
Salinitas merupakan gambaran jumlah garam dalam suatu perairan
(Dahuri, et al, 1996). Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 1987).
Nilai salinitas berdasarkan pengukuran terlihat bahwa pada stasiun 3 yaitu muara
Sungai Kampar memiliki nilai salinitas yang rendah sebesar 0,5. Hal ini
disebabkan aliran atau pasokan air tawar dari bagian hulu lebih besar daripada
pasukan air lautnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sidjabat (1973) yang
menyatakan bahwa salinitas minimum terdapat pada daerah sekitar khatulistiwa
54
dan salinitas maksimum terdapat pada lintang 200 LU dan 200 LS, salinitas
mengalami penurunan ke arah kutub. Keadaan salinitas yang rendah pada daerah
sekitar khatulistiwa disebabkan oleh tingginya curah hujan. Sedangkan untuk
stasiun 1 dan 2 merupakan perairan tawar dengan salinitas seperti di perairan
tawar lainnya yakni 0.
5.1.4. TSS
Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air,
tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap, terdiri dari partikel-partikel
yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen. Misalnya tanah liat,
bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan sebagainya. Contohnya
air permukaan mengandung tanah liat dalam bentuk suspensi yang dapat bertahan
sampai berbulan-bulan, kecuali jika keseimbangannya terganggu oleh zat-zat lain
sehingga mengakibatkan terjadinya penggumpalan yang kemudian diikuti oleh
pengendapan (Kristanto, 2002).
Berdasarkan hasil pengukuran pada tiap stasiun menunjukkan bahwa
kandungan TSS di perairan Sungai Kampar dalam kriteria sangat baik yaitu
bernilai < 4 mg/l menurut Canter dan Hill (1981) (Tabel 14). Rata-rata kandungan
TSS di perairan Sungai Kampar sangat rendah. Diantara ketiga stasiun
pengamatan terlihat bahwa kandungan TSS di stasiun pengamatan tiga yaitu di
muara sungai sangat tinggi dibanding dua stasiun pengamatan lainnya. Hal ini
disebabkan karena daerah stasiun pengamatan tiga merupakan daerah muara
sungai yang merupakan perairan yang menampung segala proses atau aktifitas
yang berada di atasnya dan memungkinkan tingginya padatan tersuspensi. Salah
satu aktivitas manusia yang bisa menyebabkan terjadinya padatan tersuspensi
adalah kegiatan pembukaan lahan baik untuk pembangunan maupun untuk
kegiatan pertanian dan industri.
Peningkatan kandungan TSS di lokasi penelitian diduga berhubungan erat
dengan aliran air yang membawa bahan-bahan yang terlarut ke perairan yang
lebih rendah atau dari hulu ke hilir. Peningkatan nilai TSS ini juga dapat
disebabkan oleh banyak faktor salah satunya semakin banyak terjadi
55
penggundulan hutan yang menyebabkan terjadi pengikisan tanah yang masuk ke
perairan melalui proses run-off.
Tabel 14. Kriteria kualitas perairan berdasarkan kandungan total bahan
tersuspensi (Canter and Hill, 1981)
Kandungan Total Bahan Tersuspensi (mg/l) Kriteria Kualitas Air
< 4 4 – 10
10 – 15 15 – 20 20 - 35
Sangat Baik Baik
Sedang Miskin Buruk
5.2. Logam Berat
Sebagaimana diketahui pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh
adanya bahan pencemar yang mengandung logam berat, membahayakan bagi
hidup dan kehidupan, baik secara langsung (ekosistem perairan) maupun tidak
langsung (manusia). Keberadaan logam berat di lingkungan perairan sangat perlu
diuji keberadaannya baik di badan perairan tersebut maupun bagi organisme yang
mendiaminya. Untuk itu maka pengujian kandungan logam berat pada penelitian
ini dilakukan terhadap air, sedimen dan ikan sebagai organisme ikan uji.
Logam berat yang diamati adalah kadmium (Cd) dan timah hitam/timbal
(Pb). Pb dan persenyawaannya dapat berada di dalam badan perairan secara
alamiah dan sebagai dampak dari aktivitas manusia. Pb yang masuk ke dalam
badan perairan sebagai dampak dari aktivitas kehidupan manusia ada bermacam
bentuk. Diantaranya adalah air buangan (limbah) dari industri yang berkaitan
dengan Pb, air buangan dari pertambangan bijih timah hitam dan sisa industri
baterai. Buangan-buangan tersebut akan jatuh pada jalur-jalur perairan seperti
anak-anak sungai untuk kemudian akan dibawa terus menuju lautan.
Senyawa Pb yang ada dalam badan perairan dapat ditemukan dalam
bentuk ion-ion divalen atau ion-ion tetravalen (Pb2+, Pb4+). Ion Pb tetravalen
mempunyai daya racun yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ion Pb
divalen. Akan tetapi dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa ion Pb divalen
lebih berbahaya dibandingkan dengan ion Pb tetravelen.
56
Logam kadmium (Cd) dan bermacam-macam bentuk persenyawaannya
dapat masuk ke lingkungan, terutama sekali merupakan efek samping dari
aktivitas yang dilakukan manusia. Logam kadmium (Cd) juga akan mengalami
proses biotransformasi dan bioakumalasi dalam organisme hidup. Logam ini
masuk ke dalam tubuh bersama makanan yang dikonsumsi, tetapi makanan
tersebut telah terkontaminasi oleh logam Cd dan atau persenyawaannya. Dalam
tubuh biota perairan jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami
peningkatan dengan adanya proses biomagnifikasi di badan perairan. Disamping
itu, tingkatan biota dalam rantai makanan turut menentukan jumlah Cd yang
terakumulasi.
5.2.1. Kandungan Logam Berat dalam Air dan Sedimen
Logam berat yang masuk ke badan perairan dari berbagai macam kegiatan
baik secara langsung menggunakan logam berat tersebut dalam kegiatannya
maupun merupakan hasil sampingan dari aktivitas tersebut sangat berbeda-beda.
Masuknya bahan pencemar berupa kandungan logam berat sangat merugikan bagi
kehidupan, baik langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan dampak yang
ditimbulkan dari pencemaran oleh logam berat tersebut terutama di badan
perairan, maka sangat diperlukan kisaran konsentrasi atau nilai ambang batas dari
konsentrasi logam berat yang direkomendasikan untuk masuk dan berada di
lingkungan perairan.
Hasil analisa kandungan logam berat yaitu Pb dan Cd dalam air dan
sedimen secara jelas dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16. Berdasarkan Tabel 15
bahwa terlihat jelas bahwa kandungan logam pada sedimen dan air tidak jauh
berbeda. Kandungan logam Pb baik pada sedimen dan air secara keseluruhan di
Perairan Kampar terjadi penurunan dari stasiun 1 sampai stasiun 3 yaitu 0,028
menjadi 0,011 dengan nilai R2 = 0,8996 untuk sedimen perairan, nilai kandungan
Pb dari 0,017 menjadi 0,014 dengan nilai R2 = 0,25 untuk airnya. Perubahan
kadar Pb pada masing-masing objek uji yaitu sedimen dan air terlihat jelas pada
Gambar 8. Badan perairan yang telah terkontaminasi senyawa atau ion-ion Pb,
jumlah Pb-nya akan melebihi konsentrasi yang semestinya, sehingga dapat
menyebabkan kematian bagi biota yang terdapat dalam perairan. Bila konsentrasi
57
Pb mencapai 188 mg/l, akan dapat membunuh ikan-ikan yang berada dalam
perairan tersebut (Palar, 1994).
Tabel 15. Nilai rata-rata kadar Pb (ppm) pada sedimen dan air
Stasiun Pb (ppm) Baku Mutu 1 0,028 IADC/CEDA 1997 (1000 mg/kg)Sedimen 2 0,014 3 0,011 1 0,017 Perikanan (0,01 mg/l) Air 2 0,011 EPA (0,065 ppm) 3 0,014
Dari penelitian ini terlihat bahwa kandungan Pb di air pada stasiun dua
(sekitar pabrik) menunjukkan nilai kandungan logam Pb yang lebih rendah
dibandingkan dengan dua stasiun lainnya yaitu hulu dan hilir. Secara umum hasil
penelitian ini menunjukkan kadar logam Pb dalam badan air masih dalam kategori
layak berdasarkan ketentuan ambang batas nilai Pb di perairan yakni sebesar 0,01
mg/l. Untuk logam Pb dalam sedimen perairan terlihat bahwa kandungan logam
Pb sangat tinggi dibanding dalam badan air. Hal ini terjadi karena sifat dari bahan
logam tersebut. Sesuai dengan pendapat Hutagalung (1984) bahwa logam berat
yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami pengendapan,
pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang hidup di
perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena
adanya anion karbonat hidroksil dan klorida. Logam berat mempunyai sifat yang
mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan berikatan
dengan partikel-partikel sedimen, sehingga konsentrasi logam berat dalam
sedimen lebih tinggi dibanding dalam air (Hutagalung, 1991). Logam berat yang
terlarut dalam air akan berpindah ke dalam sedimen jika berikatan dengan materi
organik bebas atau materi organik yang melapisi permukaan sedimen, dan
penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen (Wilson, 1988).
58
0.000
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.030
Kad
ar P
b (p
pm)
I II IIIStasiun Pengamatan
SedimenAir
Gambar 8. Nilai rata-rata kadar Pb pada sedimen dan air di setiap stasiun
Tingginya kadar logam Pb baik dalam badan air ataupun pada sedimen di
stasiun satu disebabkan oleh banyak hal, antara lain adanya berbagai aktivitas
seperti pertambangan, perkebunan yang menggunakan unsur Pb dalam proses
produksinya. Selain itu pada stasiun satu atau bagian hulu Sungai Kampar,
perairannya dijadikan sebagai waduk untuk tenaga pembangkit listrik yaitu PLTA
Koto Panjang. Hal ini yang memungkinkan bahwa logam Pb lebih tinggi
dibanding dua stasiun lainnya, karena aliran airnya terhambat dengan
pembentukan waduk sehingga proses pembilasan atau self purification dari
perairan terhadap logam Pb menjadi lebih lambat. Untuk stasiun dua dan tiga yang
masih terpengaruh pasang surut, pasang surut ini akan ikut membantu proses
pembilasan logam berat, sehingga kadar Pb yang ditemukan tidak setinggi bagian
Hulu Sungai Kampar. Proses pembilasan yang terjadi di estuaria (stasiun 2 dan 3)
erat kaitannya dengan percampuran massa air laut dengan air tawar yang
disebabkan oleh adanya pasang surut. Estuaria yang memiliki pengaruh pasang
yang lebih kuat, akan mampu membilas bahan pencemar dan mempengaruhi
proses penyebarannya. Estuaria dengan waktu pembilasan berlangsung cepat akan
memiliki kemampuan lebih cepat membersihkan diri dari bahan pencemar yang
memasukinya. Sebaliknya estuaria dengan waktu pembilasan lebih lambat akan
lebih lama mengencerkan pencemar yang masuk ke dalamnya.
59
Di perairan tawar, timbal membentuk senyawa kompleks yang memiliki
sifat kelarutan rendah dengan beberapa anion, misalnya hidroksida, karbonat,
sulfida, dan sulfat. Perairan tawar alami biasanya memiliki kadar timbal < 0,05
mg/l. Pada perairan laut, kadar timbal sekitar 0,025 mg/l. Kelarutan timbal pada
perairan lunak (soft water) adalah 0,5 mg/l, sedangkan pada perairan sadah (hard
water) sekitar 0,003 mg/l. Berdasarkan batas yang ditetapkan, kadar timbal di
perairan Sungai Kampar masih dalam batas aman untuk kehidupan organisme
akuatik karena nilainya < 0,05 mg/l.
Untuk pengukuran kandungan Cd pada sedimen dan air ditunjukkan pada
Tabel 18. Kandungan Logam Cd dalam sedimen pada stasiun dua menunjukkan
nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan dua stasiun yang lainnya. Secara
keseluruhan dari hulu ke hilir terjadi penurunan kandungan Cd pada sedimen yaitu
dari 0,042188 menjadi 0,038422 dengan nilai R2 = 0,0971, sedangkan untuk
kandungan logam Cd dalam badan air terjadi peningkatan dari 0,035156 menjadi
0,045573 dengan nilai R2 = 0,75 untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar
9.
Tabel 16. Nilai rata-rata kadar Cd (ppm) pada sedimen dan air
Stasiun Cd (ppm) Baku Mutu 1 0,042188 IADC/CEDA 1997 (1000 mg/kg) Sedimen 2 0,030361 3 0,038422 1 0,035156 WHO (0,0002 mg/l) Air 2 0,035156 EPA (0,043 ppm) 3 0,045573 Perikanan (0,01mg/l)
60
0.000
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.030
0.035
0.040
0.045
0.050
Kad
ar C
d (p
pm)
I II IIIStasiun Pengamatan
SedimenAir
Gambar 9. Nilai rata-rata kadar Cd pada sedimen dan air di setiap stasiun
Kadar kadmium pada perairan tawar alami 0,0001-0,01 mg/l, sedangkan
pada perairan laut 0,0001 mg/l. Menurut WHO, kadar kadmium maksimum pada
air yang diperuntukkan bagi air minum adalah 0,005 mg/l. Pada perairan yang
diperuntukkan bagi kepentingan pertanian dan perternakan, kadar kadmium
sebaiknya tidak melebihi 0,05 mg/l. Untuk melindungi kehidupan pada ekosistem
akuatik, perairan sebaiknya memiliki kadar kadmium sekitar 0,0002 mg/l.
Kadar kadmium yang diperoleh dari hasil penelitian dari ke-3 stasiun
pengamatan menunjukkan nilai yang cukup tinggi dibandingkan dengan standar
yang ditetapkan yaitu sebesar 0.0002 mg/l. Kadar kadmium di perairan Sungai
Kampar sangat tinggi, sehingga bisa membahayakan kehidupan organisme akuatik
dan bagi manusia yang mengkonsumsi ikan baung tersebut.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar kadmium lebih tinggi dibanding
logam timbal di perairan Sungai Kampar. Hal ini berkaitan erat dengan tingkat
kelarutan logam tersebut, yakni logam Cd lebih sukar larut dibanding Pb. Selain
itu berbagai aktivitas yang terdapat di sepanjang aliran Sungai Kampar secara
langsung atau tidak langsung menggunakan logam Cd dalam aktivitasnya baik
dalam bentuk ikatan senyawa ataupun unsur. Selain itu yang menjadi masalah di
sini adalah konsentrasi logam Cd pada bagian hulu lebih tinggi dibanding bagian
tengah dan muara Sungai Kampar. Hal ini disebabkan oleh adanya aktifitas
pertambangan yang berada di sekitar bagian hulu dan juga disebabkan oleh
61
aktifitas manusia yang berada di Provinsi Sumatera Barat, karena hulu Sungai
Kampar yang mengalir di Provinsi Riau bersumber dari Sumatera Barat.
Kapasitas asimilasi didefinisikan sebagai kemampuan air atau sumber air
dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Konsentrasi dari partikel
polutan yang masuk ke perairan akan mengalami 3 macam fenomena yaitu
pengenceran (dillution), penyebaran (dispersi) dan reaksi penguraian (decoy of
reaction). Pengenceran terjadi pada arah vertikal ketika air limbah sampai di
permukaan air. Peristiwa pengenceran pada permukaan perairan akan tercapai
karena gelombang.
Romimohtarto (1991) menyatakan bahwa setelah memasuki perairan
pesisir dan laut sifat bahan pencemar ditentukan oleh beberapa faktor atau
beberapa jalur dengan kemungkinan perjalanan bahan pencemar sebagai berikut 1.
terencerkan dan tersebar oleh adukan turbulensi dan arus laut, 2. dipekatkan
melalui a. proses biologis dengan cara diserap ikan, plankton nabati atau oleh
ganggang laut bentik biota ini pada gilirannya dimakan oleh mangsanya, b. proses
fisik dan kimiawi dengan cara absorpsi, pengendapan, pertukaran ion dan
kemudian bahan pencemar itu akan mengendap di dasar perairan, 3. terbawa
langsung oleh arus dan biota (ikan).
Tingkat pencemaran atau pencampuran bahan organik dan anorganik yang
masuk ke dalam perairan sungai, danau, estuari dan laut adalah berbeda karena
kondisi hidrodinamika yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut berkaitan dengan
model percampuran (mixing) dan penyebaran (dispersion) suatu bahan, yang
berhubungan dengan kadar bahan pencemar, laju penguraian dan laju reaerasi.
(Metclaff and Eddy, 1978)
5.2.2. Hubungan Logam berat dengan Parameter Kualitas Air.
Untuk menentukan kualitas air terhadap konsentrasi logam dalam air
sangat sulit, karena erat hubungannya dengan partikel tersuspensi yang terlarut di
dalamnya. Logam-logam dalam lingkungan perairan umumnya berada dalam
bentuk ion. Ion-ion itu ada yang merupakan ion-ion bebas, pasangan ion organik,
ion-ion kompleks dan bentuk-bentuk ion lainnya.
62
pH akan mempengaruhi konsentrasi logam berat di perairan, dalam hal ini
kelarutan logam berat akan lebih tinggi pada pH rendah, sehingga menyebabkan
toksisitas logam berat semakin besar. Nilai pH pada perairan Sungai Kampar
menunjukkan bahwa dari hulu sampai hilir terjadi penurunan nilai pH dari 6 – 4,5.
Kenaikan pH pada badan perairan biasanya akan diikuti dengan semakin kecilnya
kelarutan dari senyawa-senyawa logam tersebut. Umumnya pada pH yang
semakin tinggi, maka kestabilan akan bergeser dari karbonat ke hidroksida.
Hidroksida-hidroksida ini mudah sekali membentuk ikatan permukaan dengan
partikel-partikel yang terdapat pada badan perairan. Lama-kelamaan
persenyawaan yang terjadi antara hidroksida dengan partikel-partikel yang ada di
badan perairan akan mengendap dan membentuk lumpur.
Salinitas juga dapat mempengaruhi keberadaan logam berat di perairan,
bila terjadi penurunan salinitas maka akan menyebabkan peningkatan daya toksik
logam berat dan tingkat bioakumulasi logam berat semakin besar. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa pada bagian hulu dan sekitar
pabrik yang nilai salinitas nya 0 memperlihatkan bahwa kandungan logam berat
Pb dan Cd yang tinggi dibandingkan pada perairan disekitar muara Sungai
Kampar yang memiliki nilai salainitas 0,5.
Suhu perairan mempengaruhi proses kelarutan akan logam-logam berat
yang masuk ke perairan. Dalam hal ini semakin tinggi suatu suhu perairan
kelarutan logam berat akan semakin tinggi. Pada hulu Sungai Kampar suhu
perairan menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dua stasiun lainnya,
sehingga kelarutan akan bahan pencemar di perairan semakin rendah, sehingga
kandungan akan logam Pb dan Cd pada hulu Sungai Kampar lebih tinggi
dibandingkan di tengah (sekitar pabrik) dan hilir Sungai Kampar. Hal ini sesuai
dengan pendapat Darmono (2001) yang menyatakan bahwa suhu yang tinggi
dalam air menyebabkan laju proses biodegradasi yang dilakukan oleh bakteri
pengurai aerobik menjadi naik dan dapat menguapkan bahan kimia ke udara.
Tingkah laku logam-logam di dalam badan perairan juga dipengaruhi oleh
interaksi yang terjadi antara air dengan sedimen (endapan). Keadaan ini terutama
sekali terjadi pada bagian dasar dari perairan. Dalam hal ini pada dasar perairan,
ion logam dan kompleks-kompleksnya yang terlarut dengan cepat akan
63
membentuk partikel-partikel yang lebih besar, apabila terjadi kontak dengan
permukiman partikulat yang melayang-layang dalam badan perairan. Partikel-
partikel tersebut terbentuk dengan bermacam-macam bentuk ikatan permukaan
(Palar, 2004). Sedimen yang terdapat pada perairan Sungai Kampar tergolong
pada jenis substrat berpasir dan berlumpur. Pada hulu Sungai Kampar yang
memiliki substrat berpasir dan sedikit berlumpur, mengakibatkan logam-logam
berat yang masuk ke perairan sangat tinggi. Dalam hal ini pada dasar perairan
tersebut tidak terjadi pengikatan antara ion-ion logam dengan substrat berpasir
tersebut, dan dengan nilai padatan tersuspensi yang lebih rendah dibanding pada
bagian tengah dan hilir Sungai Kampar. Sebaliknya pada muara Sungai Kampar
ion-ion logam yang masuk ke badan perairan berikatan dengan partikel-partikel
tersuspensi dengan nilai kandungan TSS yang tinggi dibandingkan pada dua
stasiun lainnya yang ada dalam badan perairan dan membentuk ikatan kompleks
yang terlarut dan mengendap di dasar perairan yang memiliki substrat berlumpur.
5.2.3. Kandungan Logam Berat Pada Insang dan Ginjal Ikan
Ikan uji yang diteliti adalah ikan baung. Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan bahwa jenis ikan baung merupakan jenis ikan yang umum ditemui dan
banyak dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Penentuan ikan baung menjadi
ikan uji adalah karena diperlukannya suatu keseragaman dalam pengambilan
sampel pada setiap stasiun dengan karakteristik yang berbeda dari hulu sampai
muara sungai. Sementara itu ikan baung yang hidup di dasar sebagaimana hewan
dasar lainnya, dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran limbah B3
(bahan berbahaya beracun) (Riani, 2004). Ikan baung terdapat pada setiap stasiun
pengamatan karena ikan baung tergolong ikan potradomous yaitu ikan yang
berasal dari daerah hulu sungai yang melakukan pemijahan di daerah muara
sungai.
Dalam memonitor pencemaran di suatu lingkungan yang dianggap
tercemar logam berat, analisis biota air sangat penting artinya daripada analisis
kualitas air. Hal ini disebabkan konsentrasi logam berat dalam air akan mengalami
perubahan dan sangat tergantung pada lingkungan dan iklim. Konsentrasi logam
berat dalam biota air biasanya senantiasa bertambah seiring dengan bertambahnya
64
waktu dan juga karena sifat dari logam yang bioakumulatif sehingga biota air
sangat baik digunakan sebagai indikator pencemaran logam dalam suatu
lingkungan perairan.
Tabel 17. Nilai rata-rata kadar Pb (ppm) pada organ ikan baung
Stasiun Pb (ppm) Baku Mutu 1 0,0139 Insang 2 0,0102 3 0,0145 1 0,0214 Ginjal 2 0,0098 3 0,0309
2,0 mg/kg (SNI 01-4106-1996)
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dan setelah dilakukan
analisis statistik didapatkan bahwa nilai kandungan Pb baik pada organ insang dan
ginjal ikan menunjukkan bahwa pada stasiun satu (bagian hulu sungai) nilai rata-
rata kandungan Pb pada insang sebesar 0,014 ppm pada ginjal 0,021 ppm, namun
di stasiun dua terjadi penurunan pada tiap organ masing-masing menjadi 0,010
ppm dan 0,010 ppm dan kadar Pb meningkat lagi pada Stasiun tiga masing-
masing sebesar 0,015 ppm dan 0,031 ppm. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 17 dan Gambar 10 dan setelah dilakukan analisis regresi didapatkan bahwa
kandungan logam Pb pada insang ikan berkorelasi positif dengan nilai R2 =
0,0222, sedangkan untuk ginjal R2 = 0,2007. Timbal juga dapat menutupi lapisan
mukosa pada organisme akuatik dan selanjutnya dapat menyebabkan sufokasi.
65
0.000
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.030
0.035
Kada
r Pb
(ppm
)
I II IIIStasiun Pengamatan
Insang
Ginjal
Gambar 10. Nilai rata-rata kadar Pb pada organ insang dan ginjal ikan setiap
stasiun
Kandungan Cd pada organ insang dan ginjal ikan terjadi penurunan
dengan kisaran 0,0276 – 0,0274 ppm dengan nilai R2 = 0,9895 pada insang ikan,
dan pada ginjal ikan juga terjadi penurunan dengan nilai R2 = 0,9954 dari 0,0338
menjadi 0,0257. Secara rata-rata kandungan Cd yang masuk ke insang dan ginjal
ikan mengalami penurunan dari hulu sampai hilir sungai. Untuk lebih jelasnya
nilai-nilai pengujian kandungan logam Cd pada organ insang dan ginjal ikan
terlihat pada Tabel 18 dan Gambar 11.
Tabel 18. Nilai rata-rata kadar Cd (ppm) pada organ ikan baung
Stasiun Cd (ppm) Baku Mutu 1 0,0276 Insang 2 0,0275 3 0,0274 1 0,0338 Ginjal 2 0,0293 3 0,0257
0,2 mg/kg (SNI 19-2896-1992)
66
0.000
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.030
0.035
Kada
r Cd
(ppm
)
I II IIIStasiun Pengamatan
InsangGinjal
Gambar 11. Nilai rata-rata kadar Cd pada organ insang dan ginjal ikan setiap
stasiun Berdasarkan analisa terhadap organ ikan yaitu insang dan ginjal, sebagian
menunjukkan nilai yang meningkat dari stasiun 1 (hulu) sampai stasiun 3 (hilir),
peningkatan pada ginjal lebih besar dibanding insang, hal ini karena pada
organisme ikan, bahan pencemar (Cd dan Pb) yang pertama sekali masuk ke
dalam tubuh ikan melalui organ pernafasan yaitu insang menyaring bahan
pencemar masuk ke dalam tubuh, selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh
melalui aliran darah dan akhirnya terakumulasi di ginjal ikan. Peningkatan
kandungan logam Pb dan Cd di ginjal terjadi karena intensitas masuknya logam
ke dalam tubuh ikan yang terus menerus, sehingga ginjal mempunyai keterbatasan
dalam menganulir bahan pencemar yang terus masuk ke dalam tubuh. Lama
kelamaan akan bisa menyebabkan perubahan dalam bentuk morfologi, reproduksi
dan genetika bahkan bisa menyebabkan kematian ikan karena keterbatasan organ
tubuh untuk mengeliminasi bahan pencemar sangat kecil dibandingkan dengan
intensitas atau banyaknya bahan pencemar yang masuk ke dalam tubuh ikan
tersebut.
Secara umum kandungan logam berat Cd lebih banyak terkandung dalam
tubuh ikan, baik insang dan ginjal ikan dibanding logam berat Pb. Hal ini sejalan
dengan pendapat Darmono (2001) bahwa jumlah akumulasi logam pada jaringan
tubuh organisme adalah dari yang besar ke yang kecil berturut-turut pada ginjal,
67
hati, insang, daging. Hal ini terbukti pada penelitian ini bahwa di dalam tubuh
ikan, ginjal yang memegang peranan penting dalam menganulir bahan pencemar
yang masuk ke dalam tubuh. Berdasarkan kekuatan penetrasi logam ke dalam
Jaringan berturut-turut ialah : Cd, Hg, Pb, Cu, Zn, Ni. Kandungan Logam Cd jelas
memiliki kekuatan penetrasi yang kuat untuk masuk ke dalam tubuh organisme
ikan dibandingkan Pb.
Kadmium juga bersifat toksik dan bioakumulatif terhadap organisme.
Toksisitas kadmium dipengaruhi oleh pH dan kesadahan. Selain itu, keberadaan
seng dan timbal dapat meningkatkan toksisitas kadmium. Polutan masuk ke dalam
tubuh organisme, masuk melalui aliran darah di respiratori epithelia atau
permukaan luar dari tubuh ikan.
Berdasarkan hasil analisa statistik terlihat bahwa kandungan logam berat
Pb (Lampiran 1) menunjukkan interaksi yang nyata dengan nilai P > 0,05 antara
faktor air, sedimen, insang dan ginjal ikan terhadap stasiun pengamatan (hulu,
tengah dan hilir Sungai Kampar). Perbedaan kandungan logam berat pada masing-
masing perlakuan (air, sedimen, insang dan ginjal) dan pada masing-masing
stasiun (hulu, tengah, hilir Sungai Kampar) menunjukkan nilai sangat nyata pada
taraf P > 0,05. Kandungan logam Cd di perairan Sungai Kampar berdasarkan
analisis statistik (Lampiran 2) menunjukkan tidak adanya interaksi antara
perlakuan dengan stasiun pengamatan pada taraf p > 0,05. Kandungan logam Cd
pada masing-masing stasiun menunjukkan tidak adanya perbedaan pada taraf P >
0,05. Sedangkan untuk masing-masing perlakuan (air, sedimen, insang dan ginjal
ikan) menunjukkan adanya perbedaan akan kandungan logam Cd.
Namun demikian data-data tersebut masih harus diperkuat oleh analisis
yang dapat menggambarkan efek yang ditimbulkan oleh bahan pencemar (logam
berat) terhadap ikan. Adapun analisis yang dapat memberi gambaran tersebut
adalah analisa histopatologi.
5.3. Analisis Histopatologi
Gambaran histopatologi organ ikan baung ini dapat dijadikan indikasi ada
atau tidak adanya pencemaran. Hal ini disebabkan analisa histopatologi organ
68
insang dan ginjal ikan akan dapat menunjukkan kerusakan jaringan yang beragam,
sehingga dapat dijadikan indikasi terjadinya pencemaran perairan Sungai Kampar
oleh logam berat maupun oleh substansi lainnya yang menyebabkan struktur sel
mengalami kerusakan.
5.3.1. Analisis Histopatologi Ginjal Ikan Baung (Hemibagrus nemurus)
Organ ginjal pada ikan baung yang terdapat di Sungai Kampar
mengindikasikan bahwa lokasi penelitian sudah tercemar oleh logam. Hal ini
terlihat dari kelainan yang terjadi pada struktur sel ginjal ikan baung tersebut.
Dalam hal ini pada ginjal terjadi mineralisasi, nekrosa, infeksi dan radang
limfosit. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 19 dan Gambar 12, 13 dan
14 dan sebagai pembanding ginjal ikan normal dapat dilihat pada Gambar 15.
Tabel 19. Perubahan histologi ginjal ikan baung
Stasiun Pengamatan
Ginjal Keterangan
I
A. Bintik hitam (adanya mineralisasi)
B. Sel radang (limfosit) C. Nekrosa pada tubulus
II
A. Pendarahan B. Nekrosa pada tubulus C. Glomerulus mengalami
infeksi D. Sel radang (limfosit)
III
A. Pendarahan B. Glomerulus mengalami
infeksi C. Nekrosa pada tubulus D. Sel radang (limfosit)
Mineralisasi : indikasi adanya bahan pencemar yang masuk ke dalam organ Nekrosa : kematian sel Pendarahan : sel yang mengalami pendarahan Sel radang limfosit : indikasi pencemaran sudah berlangsung lama pada organ tersebut
69
Gambar 12. Analisis histopatologi ginjal ikan baung pada stasiun 1 (hulu sungai
kampar). (A) Bintik hitam (adanya mineralisasi), (B) Sel radang (limfosit), (C) Nekrosa pada tubulus (Pembesaran 40x10)
Gambar 13. Analisis histopatologi ginjal ikan baung pada stasiun 2 (sekitar
pabrik) (A) Pendarahan, (B) Nekrosa pada tubulus, (C) Glomerulus mengalami infeksi, (D) Sel radang (limfosit) (Pembesaran 40x10)
A
C
B
D
A
B
C
70
Gambar 14. Analisis histopatologi ginjal ikan baung pada stasiun 3 (muara sungai kampar), (A) Pendarahan, (B) Glomerulus mengalami infeksi, (C) Nekrosa pada tubulus, (D) Sel radang (limfosit) (Pembesaran 40x10)
Gambar 15. Ginjal ikan normal
A
B C
D
71
Secara keseluruhan dari hasil analisa histopatologi menunjukkan bahwa
ginjal ikan baung mengalami peradangan (nephritis), pendarahan (hemorage),
nekrosa, gomerulus dan tubulus mengalami perusakan, serta terdapat bintik-bintik
hitam. Sel yang mengalami peradangan pada organ ginjal ikan baung di perairan
Sungai Kampar tersebut adalah sel limfosit. Sel limfosit yang radang tersebut
mengindikasikan bahwa pencemaran yang terjadi di Sungai Kampar diduga sudah
berlangsung lama.
5.3.2. Analisis Histopatologi Insang Ikan Baung (Hemibagrus nemurus)
Dalam menganalisis suatu pencemaran dalam tubuh organisme terutama
pada ikan, organ insang memiliki peranan yang penting. Insang merupakan salah
satu media masuknya berbagai macam partikel tersuspensi yang ada di perairan,
selain melalui kulit dan sistem pencernaan. Semakin lama paparan akan suatu
bahan pencemar akan berpengaruh pada kerusakan organ insang ikan yang akan
terlihat jelas melalui pengamatan histologi.
Berdasarkan hasil analisa histopatologi terhadap organ insang, pada ikan
baung terlihat adanya kelainan atau perubahan pada organ tersebut. Perubahan
tersebut antara lain adalah adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada organ
insang ikan baung di perairan Sungai Kampar yakni mengalami degenerasi,
deformasi, nekrosis dan hypertrophy seperti yang tercantum pada Tabel 20,
Gambar 16 (bagian hulu Sungai Kampar), Gambar 17 (disekitar pabrik) dan
Gambar 18 (muara Sungai Kampar).
72
Tabel 20. Perubahan histologi insang ikan baung
Stasiun Pengamatan
Insang Keterangan
I
A. Degenerasi sel-sel lamella
B. Mineralisasi C. Deformasi sel-sel
lamella D. Pembengkakan
II
A. Degenerasi sel-sel lamella
B. Mineralisasi C. Nekrosis D. Hypertrophi
III
A. Degenerasi sel-sel lamella
B. Mineralisasi C. Pembengkakan
Degenerasi : lamella insang yang mengalami lisis atau hancur Deformasi : susunan lamella yang tidak teratur Nekrosis : kematian sel Hypertrophi : pembesaran akibat suatu penyakit/pertumbuhan yang berlebihan pada suatu bagian tubuh
Gambar 16. Analisa histopatologi insang ikan baung pada stasiun 1 (hulu Sungai
Kampar) (A) Degenerasi sel-sel lamella, (B) Mineralisasi, (C) Deformasi sel-sel lamella (D) Pembengkakan (Pembesaran 40x10)
A
B
C D
73
Gambar 17. Analisa histopatologi insang ikan baung pada stasiun 2 (sekitar
pabrik) (A) Degenerasi sel-sel lamella, (B) Mineralisasi, (C) Nekrosis, (D) Hypertrophi (Pembesaran 40x10)
Gambar 18. Analisa histopatologi insang ikan baung pada stasiun 3 (muara
Sungai Kampar), (A) Degenerasi sel-sel lamella, (B) Mineralisasi, (C) Pembengkakan (Pembesaran 40x10)
C
A
B
D A B
C
74
Dari Tabel 20 dan Gambar 16, 17 dan 18 tersebut dapat dilihat bahwa
hampir semua insang ikan baung yang diambil dari perairan Sungai Kampar pada
setiap stasiun memperlihatkan terjadinya gejala kerusakan jaringan yaitu
degenerasi sel-sel lamella dan mineralisasi. Hal ini disebabkan insang merupakan
organ pertama tempat penyaringan air yang masuk ke dalam tubuh ikan, oleh
karenanya jika air di suatu perairan mengandung logam berat akan memberikan
dampak pada jaringan organ insang tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat
Darmono (2001) bahwa insang sangat peka terhadap pengaruh toksisitas logam
berat. Dengan terakumulasinya bahan pencemar (logam berat) pada insang ikan,
akan memberikan gangguan pada fungsi normal metaloenzim dan metabolisme
terhadap sel. Jika metaloenzim disubsitusi oleh yang bukan semestinya, maka
protein akan mengalami deformasi sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan
katalitik enzim tersebut.
Mineralisasi yang terdapat pada insang ikan baung secara histologi terlihat
dari adanya bintik hitam, merupakan indikasi adanya suatu bahan pencemar yang
masuk ke dalam insang ikan melalui media air. Bahan pencemar yang masuk
dalam insang ikan diduga berasal dari kandungan logam berat.
Sebagai bahan perbandingan antara organ insang ikan yang tercemar
dengan organ insang ikan normal dapat dilihat pada Gambar 19 dan 20. Pada
organ insang yang masih normal susunan struktur dari lamella-lamella masih
sangat teratur, terlihat antara lamella primer dengan lamella sekundernya, jaringan
kartilago yang berisi pembuluh darah juga masih terlihat solid.
75
Gambar 19. Insang ikan normal (1) gill raker (2) mucosal epithelium, (3)
basement membrane, (4) submucosa, (5) Bone, (6) adipose tissue, (7) efferent branchial arterioles, (8) afferent branchial artery, (9) primary lamellae, (10) secondary lamellae.
Gambar 20. Histologi insang ikan normal (sumber : Sims, 2005)
5.4. Distribusi Logam Berat
Distribusi suatu bahan pencemar dalam tatanan ekosistem sangat penting
diperhatikan, karena sangat erat kaitannya dengan keberlanjutan ekosistem
tersebut dan dampak yang akan ditimbulkan dari pendistribusian bahan pencemar
tersebut tidak terkecuali untuk ekosistem perairan. Sebagaimana diketahui,
ekosistem perairan yang terdapat di Provinsi Riau mempunyai peranan penting
bagi masyarakat adalah ekosistem perairan Sungai Kampar. Sungai Kampar
76
melewati berbagai daerah yang ada di Provinsi Riau dan dimanfaatkan langsung
oleh masyarakat untuk kehidupannya, baik dengan memanfaatkan air sungai
tersebut maupun memanfaatkan organisme yang berada di ekosistem Sungai
Kampar seperti ikan, krustasea dan organisme lainnya.
Distribusi bahan pencemar terutama logam berat menjadi faktor penting
dalam penentuan kualitas perairan bagi masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan
data yang diperoleh, koefisien distribusi logam terutama logam Pb dan Cd di
perairan Sungai Kampar, terlihat bahwa logam lebih banyak terdistribusi di
stasiun satu sedangkan pada stasiun dua dan tiga telah mengalami penurunan atau
dengan kata lain bahan pencemar sudah mengalami pengenceran. Hal ini
dikarenakan karakteristik perairan Sungai Kampar yang mengalami pasang surut
dua kali dalam sehari, dan sering terjadinya bono (gelombang besar yang datang
dari arah laut pada saat pasang), menjadi penyebab yang mempercepat perairan
melakukan purifikasi.
Polutan ditransportasikan dengan jarak yang sangat jauh. Jarak perjalanan
suatu polutan tergantung pada faktor seperti stabilitas perairan dan sifat fisik dari
polutan dan kecepatan aliran dari perairan tersebut. Selain itu faktor densitas dari
perairan juga merupakan faktor yang penting. Dalam hal ini densitas akan
meningkat jika temperatur dan konsentrasi garam ikut meningkat pula. Untuk
lebih jelasnya koefisien distribusi logam Pb dan Cd dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Hasil perhitungan koefisien distribusi dan biokonsentrasi faktor
Koefisien Distribusi Biokonsentrasi Faktor
BCF1 BCF2 No Stasiun Pb Cd Pb Cd Pb Cd 1 I 1,7220 1,2000 2,1341 1,7460 1,2393 1,4550 2 II 1,3044 0,8636 1,8155 1,6151 1,3919 1,8703 3 III 0,7706 0,8431 3,2992 1,1649 4,2816 1,3817
Faktor biokonsentrasi juga memegang peranan penting dalam
pendistribusian logam. Karena biokonsentrasi faktor melihat distribusi kandungan
logam yang terdapat di perairan, baik di badan air itu sendiri maupun di dasar
perairan yaitu pada substratnya terhadap organisme uji terutama ikan. Dengan
penentuan biokonsentrasi faktor ini, bisa memberikan gambaran dasar seberapa
77
jauh organisme perairan telah tercemar oleh bahan pencemar terutama logam
berat. Kandungan Logam Pb yang terdistribusi pada organisme ikan, baik dengan
sedimen dan air dari semua stasiun pengamatan terlihat bahwa stasiun tiga telah
mengalami pendistribusi kandungan logam dalam tubuh organisme yang paling
tinggi. Untuk logam Cd stasiun dua mempunyai nilai biokonsentrasi yang lebih
tinggi dibandingkan stasiun pengamatan lainnya.
Semua spesies hewan air sangat dipengaruhi oleh hadirnya logam yang
terlarut dalam air, terutama pada konsentrasi yang melebihi normal. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi daya toksisitas logam dalam air terhadap mahluk yang
hidup di dalamnya, yaitu sebagai berikut:
1. Bentuk ikatan kimia dari logam yang terlarut
2. Pengaruh interaksi antara logam dan toksikan lainnya.
3. Pengaruh lingkungan seperti suhu, kadar garam, pH dan kadar oksigen
yang terlarut dalam air.
4. Kondisi biota, fase siklus hidup, besarnya ukuran organisme, jenis
kelamin, dan kecukupan kebutuhan nutrisi.
5. Kemampuan biota untuk menghindar dari pengaruh polusi.
6. Kemampuan organisme untuk beraklimatisasi terhadap bahan toksik
logam.
5.5. Korelasi Logam Berat pada sedimen, air dan organ ikan.
Hasil uji korelasi logam Pb dari variabel-variabel pengamatan yaitu air,
sedimen, insang dan ginjal ikan disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22. Korelasi logam Pb pada sedimen, air dan organ ikan
Sedimen Air Insang Ginjal Sedimen 1 Air 0,7487 1 Insang 0,1721 0,7819 1 Ginjal -0,1415 0,5503 0,9508 1
Tabel 22. menunjukkan nilai korelasi antara variabel pengamatan.
Penentuan nilai korelasi antar variabel pengamatan bertujuan untuk melihat
keeratan antar variabel pengamatan terhadap kandungan logam Pb. Semakin
78
tinggi nilai korelasi atau nilai korelasi mendekati 1 dan -1 berarti keeratan antar
variabel makin erat. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai korelasi antar variabel
terhadap logam Pb bervariasi dari -0,1415 sampai 0,9508.
Hubungan keeratan antar variabel yang terlihat sangat erat adalah antar
organ insang dan ginjal ikan. Dalam hal ini nilai korelasi mendekati 1 yaitu
sebesar 0,9508 berarti bahwa semakin tinggi kandungan logam Pb dalam organ
insang, semakin tinggi juga kandungan logam Pb di ginjal ikan. Keeratan
hubungan antar insang dan ginjal ini disebabkan oleh adanya proses fisiologis
yang terjadi dalam tubuh ikan baung tersebut. Organ insang sebagai filter yang
pertama dalam masuknya bahan pencemar akan menyaring bahan pencemar
tersebut. Bahan pencemar yang tidak mampu disaring oleh insang akan
diekskresikan oleh organ ginjal, karena ginjal berfungsi dalam ekskresi yang akan
memfilter dan mengekskresikan bahan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh.
Keeratan hubungan juga terlihat pada insang dengan media air, dengan
nilai korelasi 0,7819. Keeratan hubungan antara air dan organ insang ini sejalan
dengan fungsi insang sebagai alat pernafasan bagi ikan. Dalam hal ini organ
insang berhubungan langsung dengan air dalam melakukan respirasi. Dalam air
yang terkontaminasi oleh bahan pencemar, baik secara langsung maupun tidak
langsung bahan pencemar tersebut akan ikut masuk atau terikat pada organ insang
pada saat ikan melakukan respirasi. Proses pengendapan logam berat dalam air
membutuhkan waktu yang cukup lama dan banyak faktor fisika dan kimia
perairan yang ikut mempengaruhi proses pengendapan dan pendistribusian logam
berat tersebut di perairan. Oleh karena itu maka nilai korelasi antara sedimen dan
air cukup tinggi yang mengandung arti bahwa keduanya berkorelasi cukup erat
dengan nilai 0,7487. Tingginya logam berat di perairan juga berkorelasi positif
terhadap substrat dasarnya.
Pendistribusian logam berat dalam air untuk sampai ke dasar perairan
tergantung pada faktor fisika kimia perairan tersebut serta banyaknya dan tingkat
intensitas aktivitas manusia yang bisa menyebabkan tingginya logam berat di
perairan. Korelasi atau hubungan antara variabel lainnya menunjukkan tingkat
keeratan yang tidak terlalu menonjol. Hal ini terlihat pada Tabel 22 yang nilai
korelasinya sangat kecil dan tidak mendekati nilai 1 dan -1. Hasil analisis korelasi
79
logam Cd dari variabel-variabel pengamatan yaitu air, sedimen, insang dan ginjal
ikan disajikan pada Tabel 23
Tabel 23. Korelasi logam Cd pada sedimen, air dan organ ikan
Sedimen Air Insang Ginjal Sedimen 1 Air 0,2052 1 Insang 0,2126 -0,9127 1 Ginjal 0,3756 -0,8300 0,98546 1
Tingkat keeratan antar variabel terhadap logam berat Cd, juga
menunjukkan korelasi yang sangat erat antara organ insang dengan ginjal ikan
yaitu sebesar 0,98546. Korelasi yang positif antara organ insang dan ginjal ikan
terhadap bahan pencemar disebabkan adanya proses fisiologis dalam tubuh ikan
itu sendiri yakni terjadinya akumulasi logam-logam berat tersebut pada organ
tubuh.
Tapi ada beberapa variabel yang menunjukkan nilai korelasi yang
mendekati -1, yaitu korelasi antara air dan insang dengan nilai korelasi -0,9127
dan korelasi antara air dan ginjal dengan nilai korelasi -0,8300. Nilai korelasi
tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan Cd dalam air maka
semakin rendah kandungan Cd dalam organ insang dan ginjal ikan baung yang
terdapat di Sungai Kampar. Hal ini mengandung arti bahwa proses masuknya
logam Cd pada ikan baung sangat sedikit yang melalui proses respirasi pada
insang, hal ini diduga karena logam Cd masuk melalui permukaan kulit ataupun
proses metabolisme (dari organisme lain melalui proses rantai makanan). Untuk
variabel lainnya tingkat keeratannya sangat rendah dengan nilai antara 0,2126
sampai 0,3756. Sedangkan variabel dengan tingkat keeratan yang rendah adalah
antara sedimen dengan air, serta antara insang dengan ginjal ikan.
5.6. Pengelolaan Wilayah Sungai Kampar
Pengelolaan wilayah pesisir (estuaria) tidak hanya berdasarkan seberapa
jauh pengaruh pasang dan surut suatu ekosistem, tapi sebaiknya lebih dititik
beratkan kepada keterkaitan ekosistem pesisir (estuari) dengan ekosistem lainnya
dan harus dimulai dari hulu sampai hilir suatu perairan. Konsep pengelolaan
80
wilayah pesisir terpadu adalah keterkaitan ke tiga aspek kehidupan yang ada yaitu
aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan
gambaran dari segi ekologi tentang kondisi perairan Sungai Kampar pada saat ini
yang diindikasikan tercemar oleh logam berat akibat berbagai aktivitas yang ada
di sekitarnya. Perairan Sungai Kampar yang melintas di Kabupaten Kampar dan
Pelelawan mendapat berbagai tekanan dari aktivitas di daratan. Hal ini dapat
dilihat dari jenis-jenis ikan yang terdapat di perairan sungai kampar sudah
mengalami penurunan baik jumlah maupun jenisnya. Untuk itu sangat diperlukan
kajian secara ekologis mengenai ekosistem perairan Sungai Kampar dari hulu
sampai hilir, karena tingginya tekanan yang masuk ke perairan Sungai Kampar
dapat merusak ekosistem perairan Sungai Kampar tersebut. Hal ini dapat
menyebabkan perairan yang tekanan dari luar melebihi kapasitas dari asimiliasi
perairan akan mengalami pencemaran, sehingga suatu ekosistem perairan tidak
bisa dimanfaatkan lagi sesuai dengan peruntukannya. Khususnya kualitas perairan
dengan indikator kualitas air dan organisme yang ada di dalamnya
Berdasarkan hasil analisa kandungan logam berat baik pada organisme, air
dan sedimen serta analisa histopatologi, dan tingkat pencemaran ke-3 stasiun
penelitian ini menunjukkan perbedaan yakni semakin ke hilir tingkat
pencemarannya semakin rendah. Berdasarkan data kualitas air memperlihatkan
bahwa salah satu pencemar tersebut adalah logam berat yang berasal dari limbah
industri. Mengingat bahaya yang ditimbulkan logam berat cukup besar maka
industri-industri yang membuang limbahnya ke Sungai Kampar harus mengolah
terlebih dahulu limbah yang dihasilkannya sebelum masuk (dibuang) ke Sungai
Kampar atau dengan kata lain setiap industri yang ada di sekitar Sungai Kampar
harus mempunyai IPAL (instalasi pengolahan air limbah) yang memadai sehingga
kelestarian ekosistem Sungai Kampar dapat dipertahankan.
81
VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Kandungan logam berat pada organ tubuh (insang dan ginjal) pada kan
yang ditangkap di bagian hulu sungai lebih tinggi dibanding stasiun 2 dan 3
(tengah dan muara Sungai Kampar). Interaksi kandungan Pb dengan objek
perlakuan (air, sedimen, insang dan ginjal ikan) antara stasiun pengamatan (hulu,
tengah dan muara Sungai Kampar) berbeda sangat nyata. Kandungan logam pada
insang dan ginjal ikan mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan pada kedua
organ tersebut.
Ada perbedaan tingkat pencemaran di bagian hulu, tengah (sekitar pabrik)
dan muara Sungai Kampar. Adanya perbedaan pada setiap stasiun pengamatan
ada kaitannya dengan perbedaan aktifitas yang berbeda dan kondisi sosial
ekonomi masyarakat setempat dan perbedaan karakteristik yang ada pada masing-
masing stasiun. Pada bagian hulu terdapat pembendungan aliran sungai dengan
dibentuknya PLTA Koto panjang, bagian tengah mendapat aliran pasang surut
dari laut, dan pada bagian hilir terdapat gerakan gelombang pasang yang dapat
membantu perairan dalam proses purifikasi.
6.2. Saran
Pada pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (sudah memperhatikan
ketiga aspek yaitu ekologi, ekonomi dan sosial) salah satu hal yang harus
diperhatikan secara khusus adalah industri. Dalam hal ini pada industri yang akan
membuang limbahnya ke Sungai Kampar, limbah tersebut harus diolah terlebih
dahulu sebelum dibuang ke dalam badan air atau dengan kata lain semua industri
yang membuang limbahnya ke sungai harus mempunyai IPAL (instalasi
pengolahan air limbah) .
82
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, R., dan Tang, U. 2002. Fisiologi Hewan Air.University Riau Press. Riau.
217 p. American Publich Health Assosiation; Standard Methods For The Examination Of
Water and Waste Water. American Water Works Assosiation dan Water Pollution Control Federation 1980. APHS, AWWA, WPCF. 15
th eds :
388-399 Bengen, D. G. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta
Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.
Bryan, G.W. 1976. Heavy Metal Contamination in the Sea dalam R. Johson (Ed).
Marine Pollution. London Academic Press. Buchanan, J.B. 1984. Sediment Analysis: Holme, N.A. and McIntyre, A.D.
editor. Methods For The Study of Marine Benthos. Blackwell Scientific Publications. Hal 41-65.
Canter, L.W and L.G Hill. 1981. Handbook of Variable for Environmental Impact
Assessment. Ann Arbor Science Publisher. Michigan. Clark, R. B. 1986. Marine Pollution. Claredon Press. Oxford. Claphman. 1973. Natural Ecosystem. Mcmillan Publishing Co Inc. New York. Connel, D.W and. G. J. Miller. 1995. Chemistry and Ecotoxicology of Pollution.
520 p. Dahuri, R. 1998. Pengeruh Pencemaran Limbah Industri Terhadap Potensi
Sumberdaya Laut. Makalah Pada Seminar Teknologi Pengolahan Limbah Industri Dan Pencemaran Laut. Agustus 1998. SPPT Jakarta.
Dahuri, R. 1996. An analysis of Enviromental Threath to Marine Fisheries in
Indonesia. Paper Submited for Asia Pasific Fisheries Commision (APFIC) Symposium on Enviromental Aspects of Responsible Fisheries, Soul Republic of Korea. 15-18 Oct 1996.
Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting., M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan. Jakarta : Penerbit Pradnya Paramita. Dahuri, R dan Arumsyah, S. 1994. Ekosistem Pesisir. Makalah Pada Marine and
Mangement Training. PSL UNDANA Kupang. NTT.
83
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. UI Press. Jakarta. 145 hal.
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI Press. Jakarta.
140 p. DEPKES RI. 1989. Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia nomor: 03725/B/SK/VII/89 tentang batas maksimum cemaran logam berat dalam makanan (mg/kg). Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 258 p. Environmental Protection Agency. 1973. Water Quality Criteria. Ecological
Research Series. Washington. Fortsner, U. and G.T.W. Wittman. 1983. Metal Pollution in Aquatic Enviroment.
New York. Harahap. S. 1991. Tingkat Pencemaran Air Kali Cakung Ditinjau dari Sifat
Fisika-Kimia Khususnya Logam Berat dan Keanekaragaman Jenis Hewan Benthos Makro. IPB. 167 hal.
Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. CV. Amico, Bandung [GESAMP] Group Expert on Scientific Aspect of Marine Pollution. 1986. Report
of The Seven Session. WHO (World Health Organization). Habel, R. E and Biberstein, E. L. 1957. Fundamentals of The Histology of
Domestic Animal. Cornell University Press. New York. Heath, A.G. 1987. Water Pollution and Fish Physiology. CRC Press, Inc. Boca
Raton, Florida. Hutabarat, S dan Stewart, M.E. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas
Indonesia Press. Jakarta. 159 hal. Hutagalung, H.P. 1984. Logam Berat Dalam Lingkungan Laut. Pewarta Oceana
IX No. 1. Hal 12-19 Hutagalung, H.P. 1991. Pencemaran Laut Oleh Logam Berat. Dalam Status
Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. P30-LIPI. Jakarta. Hal 45-59.
Hutagalung, H.P., D. Setiapermana., SH. Riyono. 1997. Metode Analisa Air Laut,
Sediment Dan Biota. Buku kedua. Jakarta P30-LIPI. 182: 59-77.
84
IADC/CEDA. 1997. Convention, Codes, and Conditions: Marine Disposal. Environmental Aspects of Dredging 2a. 71 hal.
Kinne, O. 1964. Marine ecology. A Comprehensive Integrated Treatise On Life In
Oceans And Coastal Water. Willey Interscience. John Willey and Sons Ltd. London, New York, Sydney, Toronto.
Kepmen LH No.51. 2004. Tentang Penetapan Baku Mutu Air Laut Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta. Leeson, C. R., Leeson, T. S and Paparo, A. A. 1985. Textbook of Histology. W.B
Saunders Company Levinton, J. F. 1982. Marine Ecology. New Jersey Prentice-Hall Inc. Englewood
Cliff. Metclaff and Eddy. 1978. Waste Water Engineering Collection, Treatment,
Disposal. Mcgrawwhill Publish. Co. Ltd. New delhi. Nanty, I. H. 1999. Kandungan Logam Berat Dalam Bahan Air Dan Sedimen Di
Muara Way Kambas Dan Way Sekampung. IPB. Nontji, A. 1984. Laut Nusantara. Jembatan. Jakarta. Nybakken, j. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia
Jakarta. Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. W.B Saunders Company.
Philadelphia. Palar, H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi dan Logam Berat. Rineka Cipta
Jakarta. 152 hlm. Pickard, G. L. 1967. Descriptive Physican Oceanography Second Edition.
Massachussets : Jones and Bartelett Publisher. Ramlal, P.S. 1987. Mercury Methylation Dimethylation Studies At Southern India
Lake. Canada Minister Of Supply And Serveces. Razak, A. 2002. Dinamika Karakteristik Fisika-Kimiawi Sediment Dan
Hubungannya Dengan Struktur Komunitas Moluska Bentik (Bivalve Dan Gastropoda) Di Muara Bandar Bakali Padang. IPB.
Razak, H. 1980. Pengaruh Logam Berat Terhadap Lingkungan . Pewarta Oseana :
2. Jakarta. LON-LIPI.
85
Riani, E. 2004. Pemanfaatan Kerang Hijau Sebagai Biofilter Perairan Teluk Jakarta. Pemda DKI – Jakarta.
Romimohtarto, K. 1991. Pengantar Pencemaran Laut. LON LIPI. Saeni, MS 1984. Kimia Lingkungan. Bahan Pengajaran. Bogor: Pusat Antar
Universitas IPB, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 151 hal.
Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Penerbit PT. Rineka Cipta
Jakarta. Sidjabat, M. 1973. Pengantar Oseanografi. IPB. Bogor. Sims, D. E. 2005. Department of Biomedical Sciences. Atlantic Veterinary
College at the University of Prince Edward Island 550 University Avenue, Charlottetown, PE Canada C1A 4P3. [email protected]
Spector, W.G. 1993. Pengantar Patologi Umum. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 310 hal. Sverdrup, H. U, M.W. Johson, R.H. Fleming. 1966. The oceans : Physics,
Chemistry and General Biology. Modern Asia Edition. New Jersey Prentice-Hall Inc.
UNESCO/WHO/UNEP. 1992. Water Quality Assessment. Edited by Chapman,
D. Chapman and Hall Ltd. London. 585 p. Widodo, J, 1980. Toksisitas Biota Laut Disebabkan oleh Pencemaran Merkuri.
LPPL Semarang. 6 p. Williams, J. 1979. Introduction to Marine Pollution Control. New York: A
Wiley Interscience Publication. 173 hal. Wilson, D.N. 1988. Cadmium-Market Trends And Influences In Cadmium 87.
Proceedings Of The International Cadmium Conference London: Cadmium Association.
www.fishbase.org. 2006. Hemibagrus nemurus. www.riau.go.id www.pelelawan.go.id www.kampar.go.id
86
LAMPIRAN
87
Lampiran 1. Analisis sidik ragam untuk logam Pb Anova: Two-Factor With Replication SUMMARY Sedimen Air Insang Ginjal Total
Hulu Count 3 3 3 3 12 Sum 0.085393696 0.049590056 0.041576691 0.06425265 0.240813092 Average 0.028464565 0.016530019 0.013858897 0.02141755 0.020067758 Variance 3.27242E-05 0 3.9916E-05 1.51856E-07 4.68878E-05
Tengah Count 3 3 3 3 12 Sum 0.043121947 0.033060037 0.030702039 0.029319388 0.136203412 Average 0.014373982 0.011020012 0.010234013 0.009773129 0.011350284 Variance 4.06023E-05 2.27701E-05 2.06603E-07 2.19115E-09 1.51017E-05
Hilir Count 3 3 3 3 12 Sum 0.031843229 0.041325046 0.04364884 0.09269171 0.209508826 Average 0.01061441 0.013775015 0.014549613 0.030897237 0.017459069 Variance 5.25199E-08 2.27701E-05 4.19544E-05 3.4151E-06 8.04361E-05
Total Count 9 9 9 9 Sum 0.160358873 0.123975139 0.11592757 0.186263748 Average 0.017817653 0.013775015 0.012880841 0.020695972 Variance 8.47581E-05 1.70776E-05 2.45494E-05 8.48529E-05
88
ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit Sample 0.000480467 2 0.000240234 14.09232858 8.95408E-05 3.402826105Columns 0.000357244 3 0.000119081 6.985424115 0.00153677 3.008786572Interaction 0.000800306 6 0.000133384 7.824447188 9.67769E-05 2.508188824Within 0.000409131 24 1.70471E-05 Total 0.002047149 35
89
Lampiran 2. Analisis sidik ragam untuk logam Cd Anova: Two-Factor With Replication SUMMARY Sedimen Air Insang Ginjal Total
Hulu Count 3 3 3 3 12 Sum 0.126565167 0.10546875 0.082889152 0.101261168 0.416184238 Average 0.042188389 0.03515625 0.027629717 0.033753723 0.03468202 Variance 1.38859E-05 1.52588E-05 5.63147E-06 1.01145E-05 3.73893E-05
Tengah Count 3 3 3 3 12 Sum 0.091082129 0.10546875 0.08258937 0.08775759 0.366897838 Average 0.03036071 0.03515625 0.02752979 0.02925253 0.03057482 Variance 0.000218454 6.10352E-05 4.38377E-05 7.00971E-06 6.88037E-05
Hilir Count 3 3 3 3 12 Sum 0.115265527 0.13671875 0.082159336 0.077105033 0.411248646 Average 0.038421842 0.045572917 0.027386445 0.025701678 0.034270721 Variance 4.72709E-06 5.08626E-06 6.05227E-06 1.23941E-06 7.55991E-05
Total Count 9 9 9 9 Sum 0.332912824 0.34765625 0.247637859 0.26612379 Average 0.036990314 0.038628472 0.027515318 0.02956931 Variance 8.66495E-05 4.74718E-05 1.38916E-05 1.6804E-05
90
ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit Sample 0.000122792 2 6.13959E-05 1.877875241 0.174702534 3.402826105Columns 0.00080397 3 0.00026799 8.196831137 0.000626299 3.008786572Interaction 0.000411079 6 6.85132E-05 2.095568454 0.091458397 2.508188824Within 0.000784664 24 3.26943E-05 Total 0.002122505 35
91
Lampiran 3. Analisis regresi logam Cd
y = -0.0019x + 0.0408R2 = 0.0971
0.00000.00500.01000.01500.02000.02500.03000.03500.04000.0450
Hulu Tengah Hilir
Stasiun Pengamatan
Kad
ar C
d (p
pm)
Sedimeny = 0.0052x + 0.0282
R2 = 0.75
0.0000
0.0050
0.0100
0.0150
0.0200
0.0250
0.0300
0.0350
0.0400
0.0450
0.0500
Hulu Tengah Hilir
Stasiun Pengamatan
Kad
ar C
d (p
pm)
Air
y = -0.0001x + 0.0278R2 = 0.9895
0.0273
0.0273
0.0274
0.0274
0.0275
0.0275
0.0276
0.0276
0.0277
0.0277
Hulu Tengah Hilir
Stasiun Pengamatan
Kada
r Cd
(ppm
)
Insang
y = -0.004x + 0.0376R2 = 0.9954
0.0000
0.0050
0.0100
0.0150
0.0200
0.0250
0.0300
0.0350
0.0400
Hulu Tengah Hilir
Stasiun Pengamatan
Kad
ar C
d (p
pm)
Ginjal
92
Lampiran 4. Analisis regresi logam Pb
y = -0.0089x + 0.0357R2 = 0.8996
0.0000
0.0050
0.0100
0.0150
0.0200
0.0250
0.0300
Hulu Tengah Hilir
Stasiun Pengamatan
Kada
r Pb
(ppm
)
Sedimen
y = -0.0014x + 0.0165R2 = 0.25
0.00000.00200.00400.00600.00800.01000.01200.01400.01600.0180
Hulu Tengah Hilir
Stasiun Pengamatan
Kada
r Pb
(ppm
)
Air
y = 0.0003x + 0.0122R2 = 0.0222
0.00000.00200.00400.00600.00800.01000.01200.01400.0160
Hulu Tengah Hilir
Stasiun Pengamatan
Kada
r Pb
(ppm
)
Insang
y = 0.0047x + 0.0112R2 = 0.2007
0.0000
0.0050
0.0100
0.0150
0.0200
0.0250
0.0300
0.0350
Hulu Tengah Hilir
Stasiun Pengamatan
Kada
r Pb
(ppm
)
Ginjal
93
Lampiran 5. Nilai kualitas air pada tiap stasiun pengamatan.
Stasiun Ulangan pH Suhu Salinitas TSS 1 6 29 0 0,0112 6 29 0 0,0111 3 6 29 0 0,0081 5 32 0 0,0102 5 32 0 0,0072 3 5 32 0 0,0101 4,5 30 0,5 0,1432 4,5 30 0,5 0,0163 3 4,5 30 0,5 0,035
Nilai kandungan Pb (ppm) pada tiap stasiun pengamatan
Stasiun Sedimen Air Insang Hati 1 0,022 0,017 0,010 0,021 2 0,032 0,017 0,011 0,022 3 0,032 0,017 0,021 0,021
Rata-rata 0,028 0,017 0,014 0,021 4 0,011 0,008 0,011 0,010 5 0,022 0,008 0,010 0,010 6 0,011 0,017 0,010 0,010
Rata-rata 0,014 0,011 0,010 0,010 7 0,010 0,008 0,011 0,033 8 0,011 0,017 0,022 0,029 9 0,011 0,017 0,011 0,031
Rata-rata 0,011 0,014 0,015 0,031 Nilai kandungan Cd (ppm) pada tiap stasiun pengamatan
Stasiun Sedimen Air Insang Hati 1 0,0465 0,0352 0,0277 0,0350 2 0,0401 0,0391 0,0252 0,0362 3 0,0400 0,0313 0,0300 0,0301
Rata-rata 0,0422 0,0352 0,0276 0,0338 4 0,0154 0,0430 0,0351 0,0279 5 0,0308 0,0352 0,0245 0,0323 6 0,0449 0,0273 0,0230 0,0276
Rata-rata 0,0304 0,0352 0,0275 0,0293 7 0,0394 0,0469 0,0302 0,0258 8 0,0359 0,0430 0,0260 0,0246 9 0,0400 0,0469 0,0259 0,0268
Rata-rata 0,0384 0,0456 0,0274 0,0257
94
Lampiran 6. Gambar alat penelitian (oven, desikator, timbangan elektrik, kertas milipore, refraktometer, petersan grabe)
(A) Oven
(B) Desikator
(C) Timbangan elektrik
(D) Kertas milipore
(F) Refraktometer
(G) Petersen grabe
95
Lampiran 7. Gambar alat penelitian (spektrofotometer, kertas pH, vacum pump)
(A) Spektrofotmetrik
(B) Kertas pH
(C) Vacum pump
96
Lampiran 8. Perairan bagian hulu dan tengah Sungai Kampar
(A) Perairan bagian hulu Sungai Kampar
(B) Perairan bagian tengah Sungai Kampar
97
Lampiran 9. Perairan bagian hilir Sungai Kampar dan alat penangkapan ikan
(A) Perairan bagian hilir Sungai Kampar
(B) Alat penangkapan ikan
98
Lampiran 10. Alat transportasi dan kegiatan transpotasi di perairan Sungai Kampar
(A) Alat transportasi di Perairan Sungai Kampar
(B) Kegiatan transportasi di perairan Sungai Kampar
99
Lampiran 11. Kegiatan showmil di bagian hilir Sungai Kampar