EFEK PEMBERIAN GETAH TANAMAN PATAH TULANG...

68
EFEK PEMBERIAN GETAH TANAMAN PATAH TULANG (Euphorbia tirucalli) TERHADAP JUMLAH MAKROFAG PADA MODEL PERLUKAAN AKUT. THE EFFECTS OF PENCIL TREE (Euphorbia tirucalli) SAP ADMINISTRATION MACROPHAGE NUMBER IN AN ACUTE INJURY MODEL. SILVANI REZY PATA’DUNGAN N111 14 025 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

Transcript of EFEK PEMBERIAN GETAH TANAMAN PATAH TULANG...

EFEK PEMBERIAN GETAH TANAMAN PATAH TULANG (Euphorbia tirucalli) TERHADAP JUMLAH

MAKROFAG PADA MODEL PERLUKAAN AKUT.

THE EFFECTS OF PENCIL TREE (Euphorbia tirucalli) SAP ADMINISTRATION MACROPHAGE NUMBER IN

AN ACUTE INJURY MODEL.

SILVANI REZY PATA’DUNGAN

N111 14 025

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

EFEK PEMBERIAN GETAH TANAMAN PATAH TULANG (Euphorbia tirucalli) TERHADAP JUMLAH MAKROFAG PADA

MODEL PERLUKAAN AKUT.

THE EFFECTS OF PENCIL TREE (Euphorbia tirucalli) SAP ADMINISTRATION MACROPHAGE NUMBER IN AN ACUTE

INJURY MODEL.

SKRIPSI

untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi

syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana

SILVANI REZY PATA’DUNGAN

N111 14 025

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

v

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan

rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efek

Pemberian Getah Tanaman Patah Tulang (Euphorbia tirucalli) Terhadap

Jumlah Makrofag Pada Model Perlukaan Akut”. Skripsi ini diajukan untuk

memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana

Pendidikan (S1) di Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar.

Penulis menyadari bahwa selama penyusunan skripsi ini, tidak

terlepas dari dukungan berbagai pihak baik dalam bentuk doa, kritikan saran,

maupun motivasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankan penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Farmasi, Ketua Prodi, seluruh staf

pengajar, staf pegawai dan laboran Fakultas Farmasi Universitas

Hasanuddin yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian

studi kami.

2. Dosen pembimbing penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini

pembimbing utama Yulia Yulisrini Djabir, MBM.Sc., M.Si., Ph.D., Apt.

pembimbing pertama Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si., Apt. dan pembimbing

kedua dr. M. Aryadi Arsyad, M.Biomed.Sc, Ph.D yang dengan sepenuh

hati dan sabar meluangkan waktu, tenaga dan ilmunya untuk

membimbing dan memberikan masukan serta arahan kepada penulis

selama mengerjakan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

vii

3. Bapak Usmar, S.Si., M.Si., Apt. yang juga selaku pembimbing akademik

yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan ilmunya sejak penulis

memulai awal perkuliahan sampai penyelesaian tugas akhir ini.

4. Ibu Orpa Yusuf selaku orang tua yang sangat penulis sayangi, ibu yang

telah membesarkan, menafkahi, mendidik, menyayangi dengan tulus,

selalu memberikaan motivasi, doa dan dukungan selama ini sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Saudara-saudara penulis, Ferdy, Dewita, Jastor, Jendry, Inri, dan Rezky

yang begitu peduli, selalu memotivasi, mendoakan, menghibur, dan telah

membantu biaya pendidikan penulis.

6. Terima kasih untuk teman-teman terbaik penulis sebagai teman jalan

Jihan, Arsita, Riska, Iis, Nia, Cata, teman ibadah Rezky, Mersi, Elvi, Indy,

Iren, dan teman doa Vio, Zindy, dan Fian yang selalu hadir dan

menemani penulis dari mulai semester pertama perkuliahan hingga

sekarang, teman seperjuangan, yang selalu menemani, menasehati, dan

memberikan motivasi-motivasi, doa, serta semangat kepada penulis.

7. Terima kasih untuk teman seperjuangan penelitian Jihan Fahira, Arsita

Handayani, dan Riska Ade Irma yang selalu setia menemani,

menasehati, memberikan motivasi dan dukungan selama awal penelitian

hingga penyusunan skripsi.

8. Teman-teman angkatan 2014 (HIOS14MIN) sebagai teman seperjuangan

penulis dalam perkuliahan dan praktikum, selalu setia menemani dan

memberikan kebersamaan dan kekeluargaan dalam suka maupun duka.

viii

ix

ABSTRAK

SILVANI REZY PATA’DUNGAN. Efek Pemberian Getah Tanaman Patah Tulang (Euphorbia tirucalli) Terhadap Jumlah Makrofag Pada Model Perlukaan Akut (dibimbing oleh Yulia Yusrini Djabir, Gemini Alam, dan M. Aryadi Arsyad).

Salah satu tumbuhan yang banyak digunakan oleh masyarakat Sulawesi Selatan sebagai obat tradisional untuk mengobati luka adalah getah tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli), yang getahnya mengandung euphol, taraksasterol, lakterol, kutschuk (zat karet). Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek pemberian getah tanaman patah tulang terhadap jumlah makrofag pada jaringan luka pada hari ke-3, hari ke-7, dan hari ke-14 pada hewan model perlukaan akut. Sebanyak 9 ekor tikus dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok I luka dianalisis pada hari ke-3, kelompok II hari ke-7 dan kelompok III hari ke-14. Setiap tikus memiliki 3 area luka yang diberi perlakuan yang berbeda, masing-masing area diberi kode. Luka A sebagai kontrol yang tidak dioleskan apa-apa, luka B diolesi 1 tetes getah tanaman patah tulang, dan luka C diolesi dengan salep gentamisin 0,0810 gram sekali sehari pada area luka. Diberikan perlakuan selama 14 hari berturut-turut. Pada hari ke-3, hari ke-7, dan hari ke-14 area luka diambil kemudian dibuat menjadi preparat histopatologi dan diamati dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 100x dan 400x. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian getah tanaman patah tulang meningkatkan jumlah makrofag pada hari ke-3, walaupun secara statistik tidak signifikan (p>0,05). Pemberian getah menurunkan jumlah makrofag secara signifikan pada hari ke-7 (p<0,05), sedangkan pada hari ke-14 pemberian getah tanaman patah tulang memperlihatkan sedikit jumlah makrofag. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian getah tanaman patah tulang dapat mengoptimalkan jumlah makrofag dibandingkan dengan kontrol. Secara statistik pemberian getah tanaman patah tulang dan salep terhadap jumlah makrofag tidak berbeda secara signifikan.

Kata Kunci: Luka Akut, Getah Patah Tulang (Euphorbia tirucalli), Makrofag

x

ABSTRACT

SILVANI REZY PATA’DUNGAN. The Effects Of Pencil Tree (Euphorbia Tirucalli) Sap Administration Macrophage Number In An Acute Injury Model (supervised by Yulia Yusrini Djabir, Gemini Alam, dan M. Aryadi Arsyad). People in South Sulawesi have been using pencil tree (Euphorbia tirucalli) sap as traditional medicine to treat wounds. The sap contains euphol, taraxa sterol, lacterol, kutschuk (rubber subtance). This study aimed to examine the effects of pencil tree sap administration on macrophage number on day 3, day 7, and day 14 of acute injury model. As many as 9 rats divided into 3 groups. In group I the wound was analyzed on day 3, group II on day 7, and group III on day 14. Each rat has 3 different wounded areas treated and coded. Wound A was not treated act as control, wound B was treated with 1 drop of pencil tree sap, and wound C was treated with gentamicin ointment 0.0810 grams once daily in the wound area. The treatment was given for 14 days. On day 3, day 7, and day 14 the wound area was taken and then made into histopathological slides and observed under a light microscope with magnification 100x and 400x. The results showed that pencil tree sap administration increased the macrophage number on day 3, although statistically insignificant (p>0,05). Pencil tree sap administration significantly decreased the macrophages number on day 7 (p<0,05), while on day 14 the pencil tree sap administration showed a few macrophages. It is showed that pencil tree sap administration improved the macrophage number compared with controls. Statistical analysis showed administration of the pencil tree sap and gentamicin ointment did not differ significantly in improving macrophage number. Keywords: Ancute Injury, Sap Pencil Tree (Euphorbia tirucalli),

Macrophage

xi

DAFTAR ISI

halaman

UCAPAN TERIMA KASIH vi

ABSTRAK ............................................................................................ … ix

ABSTRACT ......................................................................................... ….. x

DAFTAR ISI ............................................................................................. xi

DAFTAR TABEL ..................................................................... …………. xiii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiv

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvi

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

I.1 Latar Belakang ............................................................................... 1

I.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 3

I.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 4

II.1 Uraian Tumbuhan Euphorbia tirucalli ............................................. 4

II.1.1 Taksonomi Tumbuhan .............................................................. 5

II.1.2 Manfaat dan Kandungan Kimia ................................................ 6

II.2 Tinjauan Hewan Percobaan ........................................................... 6

II.2.1 Taksonomi Tikus Putih (Rattus Norvegicus) ............................. 6

II.2.2 Hewan Tikus Putih Sebagai Model Perlukaan Akut. ................ 7

II.3 Kulit ................................................................................................ 7

II.3.1 Anatomi Kulit ............................................................................ 7

II.3.2 Fisiologi Kulit ............................................................................ 9

II.4 Luka .............................................................................................. 10

xii

II.4.1 Pengertian Luka .................................................................... 10

II.4.2 Jenis-Jenis Luka ..................................................................... 11

II.4.3 Faktor Penyebab Luka ........................................................... 11

II.3.4 Proses Penyembuhan Luka ................................................... 12

II.5 Makrofag ....................................................................................... 17

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN .................................................. 20

III.1 Alat dan Bahan ............................................................................ 20

III.2 Metode Kerja ............................................................................... 20

III.2.1 Penyiapan Hewan Coba ........................................................ 20

III.2.2 Determinasi Sampel Tanaman Patah Tulang ........................ 21

III.2.3 Cara Memperoleh Getah Tanaman Patah Tulang ................. 21

III.3 Prosedur Percobaan .................................................................... 21

III.3.1 Pembuatan Luka Pada Tikus ................................................ 21

III.3.2 Perlakuan .............................................................................. 21

III.4 Pembuatan Preparat Histopatologi Kulit ..................................... 22

III.5 Analisis Hispatologi Luka ............................................................. 25

III.6 Perhitungan Jumlah Makrofag ..................................................... 25

III.7 Analisis Statistik ........................................................................... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 27

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 36

V.1 Kesimpulan .................................................................................. 36

V.2 Saran ........................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 37

LAMPIRAN ............................................................................................. 40

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Tahap Pewarnaan preparat ......................................................... 24

2. Hasil Perhitungan Jumlah Makrofag Pada Hari Ke-3 .................. 42

3. Hasil Perhitungan Jumlah Makrofag Pada Hari Ke-7 ................... 42

4. Hasil Perhitungan Jumlah Makrofag Pada Hari Ke-14 ................. 42

5. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov pada hari ke-3 ............................. 43

6. Hasil Uji Analisis One Way Anova pada hari ke-3 ....................... 43

7. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov pada hari ke-7 ............................. 44

8. Hasil Uji Analisis One Way Anova pada hari ke-7 ....................... 44

9. Hasil Uji Post Hoc Test pada hari ke-7 ........................................ 45

10. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov pada hari ke-14 ........................... 45

11. Hasil Uji Analisis One Way Anova pada hari ke-14 ..................... 46

halaman

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar

1. Tanaman Patah Tulang ............................................................... 5

2. Anatomi Kulit ................................................................................ 9

3. Proses Penyembuhan Luka ......................................................... 17

4. Peran Makrofag Fagositosis ........................................................ 19

5. Tampilan histopatologi makrofag pada luka................................. 19

6. Hasil Grafik rerata pada hari ke-3 ................................................ 28

7. Hasil pengamatan histopatologi luka pada hari ke-3 ................... 29

8. Hasil Grafik rerata pada hari ke-7 ................................................ 30

9. Hasil pengamatan histopatologi luka pada hari ke-7 ................... 31

10. Hasil Grafik rerata pada hari ke-14 .............................................. 33

11. Hasil pengamatan histopatologi luka pada hari ke-14 ................. 34

12. Pembagian hewan coba sesuai dengan kelompok ...................... 47

13. Persiapan hewan coba untuk proses perlakuan .......................... 47

14. Persiapan alat dan bahan ............................................................ 47

15. Tanaman Penelitian ..................................................................... 47

16. Pembiusan tikus dengan menggunakan eter …. ....... 48

17. Proses pencukuran bulu tikus ...................................................... 48

18. Hasil pencukuran ......................................................................... 48

19. Pembuatan luka dengan alat biopsy punch ................................. 48

20. Hasil pembuatan luka .................................................................. 49

halaman

xv

21. Pemberian salep pada luka tikus ................................................. 49

22. Pemberian 1 tetes getah patah tulang pada luka tikus ................ 49

23. Proses setelah perlakuan ............................................................ 49

24. Proses fiksasi sampel selama 48 jam .......................................... 50

25. Proses dehidrasi .......................................................................... 50

26. Alat floathing bath/ pemanas ....................................................... 50

27. Alat pemotongan blok .................................................................. 50

28. Proses mencetak blok ................................................................. 51

29. Proses pewarnaan preparat ......................................................... 51

30. Hasil preparat histopatologi ......................................................... 51

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Skema Kerja ................................................................................. 40

2. Analisis Statistik ............................................................................ 42

3. Gambar Penelitian ......................................................................... 47

4. Surat Keterangan Determinasi Tanaman ...................................... 52

5. Surat Rekomendasi Persetujuan Etik ............................................ 53

halaman

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Luka adalah rusaknya komponen jaringan dimana secara spesifik

terdapat subtansi jaringan yang rusak atau hilang pada kulit akibat proses

patalogis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ

tertentu. Berdasarkan lama waktu penyembuhannya, luka dibagi menjadi 2

jenis, yaitu luka akut dan luka kronik. Kriteria luka akut adalah luka baru,

mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan.

Contohnya adalah luka sayat, luka bakar, dan luka tusuk. Kriteria luka kronik

adalah luka yang gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak

berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali.

Contohnya adalah ulkus diabetes, ulkus vena, ulkus arteri (iskemi) (Potter

dan Perry, 2006).

Penyembuhan luka adalah suatu proses yang terjadi secara normal.

Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan

memulihkan dirinya dengan meningkatkan aliran darah ke daerah yang rusak

untuk membantu suplai nutrsi dan sel-sel imun yang dibutuhkan pada proses

penyembuhan (Perdanakusuma, 2007). Penyembuhan luka memilki 3 fase

yaitu fase inflamasi yang berperan terjadinya proses makrofag (berlangsung

sampai hari ke-3 atau hari ke-4), fase proliferasi dimana yang berperan

adalah fase fibrolas walaupun makrofag masih ikut berperan (berlangsung 3-

24 hari), fase maturasi yang berperan adalah remodelling kolagen, kontraksi

2

luka dan pematangan parut, dan dimulai pada minggu ke-3 setelah

perlukaan dan memerlukan waktu lebih dari 2 tahun (Flanagan, 2000).

Makrofag memiliki peran penting dalam proses penyembuhan luka.

Penipisan makrofag pada fase inflamasi mengakibatkan penutupan luka

yang terganggu dan pembentukan jaringan pada luka. Makrofag memiliki

peran menguntungkan selama perbaikan luka dengan makrofag yang

mengatur berbagai proses, seperti pengangkatan sel-sel mati, dan epitelial

luka kembali (Timothy dan Luisa, 2013).

Saat ini masyarakat Indonesia mulai mengutamakan penggunaan

obat secara alami (herbal medicine), dalam kebijakan nasional mengenai

pengembangan kesehatan, obat tradisional telah diberi peran dalam usaha

pencegahan dan pengobatan, serta peningkatan taraf kesehatan.

Keuntungan tanaman obat tradisional yaitu mudah diperoleh dan dapat

ditanam di pekarangan rumah sendiri (Rahayu dkk, 2016).

Salah satu tumbuhan yang banyak digunakan oleh masyarakat

Sulawesi Selatan sebagai obat tradisional untuk mengobati luka, khususnya

pada luka akut adalah getah tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli) dari

famili Euphorbiaceae, dan tanaman ini mudah diperoleh dan ditanam

dipekarangan rumah (Rahayu dkk, 2016). Tanaman ini sebelumnya telah

diteliti bahwa getah dari tanaman patah tulang mengandung getah asam

(latex acid) yang mengandung euphol, taraksasterol, lakterol, kutschuk (zat

karet), alkaloid, tanin, flavonoid, steroid, triterpenoid, dan hidroquinon

(Toana dan Nasir, 2010). Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa

3

penggunaan ekstrak tanaman patah tulang (Eurphorbia tirucalli) memiliki

aktifitas antibakteri yang dapat mencegah infeksi pada luka (Yi Q et al,

2017). Selain itu, menurut Marrakchi et al. (2009), menunjukkan adanya efek

antiinflamasi tanaman patah tulang (Eurphorbia tirucalli).

I.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah penggunaan

topikal getah tanaman patah tulang (Eurphorbia tirucalli) dapat mengurangi

fase inflamasi pada luka akut dilihat berdasarkan jumlah makrofagnya?

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji efek pemberian getah

tanaman patah tulang (Eurphorbia tirucalli) terhadap jumlah makrofag pada

jaringan luka pada hari ke-3, 7, dan 14 pada hewan model perlukaan akut.

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Uraian Tumbuhan Patah Tulang (Euphorbia tirucalli)

Tanaman Patah tulang (Euphorbia tirucalli) berasal dari Afrika Timur

tropis dan endemik di negara-negara seperti Angola, Eritrea, Ethiopia,

Sudan, Tanzania. Saat ini tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli) banyak

didistribusikan di Eropa selatan, Asia dan Amerika dan terus diperkenalkan

karena fitur hias dan obatnya. Tanaman ini menyukai tempat terbuka yang

terkena cahaya matahari langsung. Di Indonesia, ditanam sebagai tanaman

pagar, tanaman hias di pot, tanaman obat, atau tumbuh liar. Dapat

ditemukan dari dataran rendah sampai ketinggian 600 m. Tanaman patah

tulang (Euphorbia tirucalli) adalah semak belukar, kaktus yang tidak

berbentuk, bercabang banyak, yang memiliki ketinggian 2-5 m namun bisa

tumbuh hingga 15 m dengan penyebaran 2-4 m. Batang dan cabang

utamanya berkayu dan kecoklatan dan bisa menebal hingga diameter 25 cm.

Tanaman ini tumbuh dengan satu atau beberapa batang dengan pangkal

berkayu, bercabang banyak, dan bergetah seperti susu yang beracun (Wal

et al, 2013).

Tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli) mempunyai ranting yang

bulat silindris berbentuk pensil, beralur halus membujur, dan berwarna hijau.

Rantingnya setelah tumbuh sekitar satu jengkal akan segera bercabang dua

yang letaknya melintang, demikian seterusnya sehingga tampak seperti

percabangan yang terpatah-patah. Daunnya jarang, terdapat pada ujung

5

ranting yang masih muda, kecil-kecil, bentuknya lanset, panjang 7-25 mm,

dan cepat rontok. Bunga majemuk, tersusun seperti mangkuk, warnanya

kuning kehijauan seperti ranting. Jika masak, buahnya akan pecah dan

melemparkan biji-bijinya. Ciri khas tumbuhan patah tulang (Euphorbia

tirucalli) adalah tidak memiliki daun dan hanya tersusun atas batang-batang

yang mirip tulang belulang (Wal et al, 2013). Menurut Julianus dkk. (2011),

tumbuhan ini merupakan salah satu tumbuhan yang mempunyai sifat toksik

terhadap kulit dan mata dari lapisan lendir. Getahnya yang berwarna putih

seperti susu, bersifat toksik (Julianus dkk, 2011).

Tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli) juga dikenal dengan nama

susuru (Sunda), kayu urip, pacing tawa, tikel balung(Jawa), kayu jaliso, kayu

leso, kayu langtolangan, kayu tabar (Madura), patah tulang (Sumatera)

(Toana dan Nasir, 2010).

II.1.1 Taksonomi Tanaman (Wal et al, 2013).

Tanaman Euphorbia tirucalli dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Malpighiales.

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Euphorbia

Spesies : Euphorbia tirucalli

Gambar 1. Tanaman Patah Tulang (Euphorbia tirucalli) (Wal et al, 2013).

6

II.1.2 Manfaat dan Kandungan Kimia

Patah tulang (Euphorbia tirucalli) sebelumnya telah diteliti bahwa

getah dari tanaman patah tulang yang berwarna putih memiliki manfaat yaitu

mengobati luka akut, penyakit menular, dan tumor (Meloreis et al, 2015).

Dan juga memiliki aktifitas antibakteri yang dapat mencegah infeksi pada

luka (Yi Q et al, 2017), dan menunjukkan adanya efek antiinflamasi tanaman

patah tulang (Eurphorbia tirucalli) (Marrakchi et al, 2009).

Selain itu, tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli) mengandung

getah asam (latex acid) yang mengandung euphol, taraksasterol, lakterol,

kutschuk (zat karet), alkaloid, tanin, flavonoid, steroid, triterpenoid, dan

hidroquinon (Toana dan Nasir, 2010).

II.2 Tinjauan Hewan Percobaan

II.2.1 Taksonomi Tikus Putih (Rattus Norvegicus)

Tikus putih (Rattus norvegicus) atau disebut juga tikus norwegia

adalah salah satu hewan yang umum digunakan dalam eksperimental

laboratorium. Taksonomi tikus putih (Rattus norvegicus) adalah sebagai

berikut (Krinke, 2000).

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Order : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus

7

II.2.2 Penggunaan Hewan Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Sebagai

Model Perlukaan Akut

Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang

sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna

mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala

penelitian atau pangamatan laboratorik. Tikus termasuk hewan mamalia,

oleh sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh

berbeda dibanding dengan mamalia lainnya. Selain itu, penggunaan tikus

sebagai hewan percobaan juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan

kemampuan hidup tikus hanya 2-3 tahun dengan lama produksi 1 tahun.

Dalam penelitian sebelumnya penggunaan tikus putih sangat baik dalam

pembuatan luka akut dikarenakan permukaan kulit lebih luas atau sangat

normal dalam proses pembuatan luka akut dan sangat mudah untuk diamati.

Kelebihan lainnya sebagai hewan laboratorium adalah sangat mudah

ditangani, dapat ditinggal sendirian dalam kandang asal dapat mendengar

suara tikus lain dan berukuran cukup besar sehingga memudahkan

pengamatan (Smith dan Mangkoewijoyo, 1998).

II.3 Kulit

II.3.1 Anatomi Kulit

Kulit merupakan organ terbesar tubuh yang terdiri dari lapisan sel di

permukaan. Fungsi kulit adalah perlindungan terhadap cidera dan

kehilangan cairan. Pengaturan suhu, sensasi melalui saraf kulit dan ujung

akhirnya yang bersifat sensoris (misalnya untuk rasa sakit), dan sebagai

barrier dan invasi mikroorganisme patogen ataupun toksin. Kulit terdiri dari

8

tiga lapisan yaitu epidermis, dermis dan jaringan subkutan (Brunner dan

Suddarth, 2001).

II.3.1.1 Epidermis

Epidermis merupakan lapisan luar kulit yang utamanya disusun oleh

sel-sel epitel. Sel-sel yang terdapat dalam epidermis antara lain: keratinosit

(sel terbanyak pada lapisan epidermis), melanosit, sel merkel dan

langehans. Epidermis terdiri dari lima lapisan, dari yang paling dalam yaitu

stratum basale, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lucidum dan

stratum corneum (Price, 2005).

II.3.1.2 Dermis

Dermis merupakan lapisan yang kaya akan serabut saraf, pembuluh

darah, dan pembuluh darah limfe. Selain itu dermis juga tersusun atas

kelenjar keringat, sebasea, dan folikel rambut. Dermis terdiri atas dua lapisan

yaitu lapisan papilaris dan lapisan retikularis, sekitar 80% dari dermis adalah

lapisan retikularis (Price, 2005).

II.3.1.3 Jaringan subkutan atau hypodermis

Jaringan subkutan atau hypodermis merupakan lapisan kulit yang

paling dalam. Lapisan ini terutamaberupa jaringanadiposa yang memberikan

bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal seperti otot dan tulang.

Jaringan ini memungkinkan mobilitas kulit, perubahan kontur tubuh dan

penyekatan panas tubuh (Price, 2005).

9

Gambar 2. Anatomi Kulit (Hivesguy, 2013)

II.3.2 Fisiologi Kulit

II.3.2.1 Proteksi

Kulit merupakan barrier fisik antara jaringan di bawahnya dan

lingkungan luar. Kulit memberikan perlindungan dari abrasi, dehidrasi,

radiasi ultraviolet, dan invasi mikroorganisme (Gunstream, 2000). Sebagian

besar mikroorganisme mengalami kesulitan untuk menembus kulit yang utuh

tetapi dapat masuk melalui kulit yang luka dan lecet. Selain proteksi yang

diberikan oleh lapisan tanduk, proteksi tambahan diberikan oleh keasaman

keringat dan adanya asam lemak dalam sebum, yang menghambat

pertumbuhan mikroorganisme (Gibson, 2002).

II.3.2.2 Sensasi

Kulit terdiri dari ujung saraf dan reseptor yang dapat mendeteksi

stimulus yang berhubungan dengan sentuhan, tekanan, temperatur dan

nyeri (Gunstream, 2000). Sensasi raba, nyeri, perubahan suhu dan tekanan

Batang rambut

Stratum Korneum Lapisan Tanduk

Stratum spinosum Lapisan basale

Stratum Spinosum Lapisan Basale

Otot Pili Arektor Kelenjar Sebaseous

Folikel Rambut

Papila Batang

rambut Serat Saraf

Pembuluh Darah

Kelenjar Keringat

Reseptor Tekanan

Vena

Arteri

Ujung Saraf Sensorik

Hypodermis

Dermis

Epidermis

Pori-pori

Lapisan Papilari

10

pada kulit dan jaringan subkutan, ditransmisikan melalui saraf sensorik

menuju medula spinalis dan otak (Gibson, 2002).

II.3.2.3 Regulasi Suhu

Selama periode kelebihan produksi panas oleh tubuh, sekresi keringat

dan evaporasi melalui permukaan tubuh membantu menurunkan temperatur

tubuh (Gunstream, 2000).

II.3.2.4 Penyimpanan

Kulit bekerja sebagai tempat penyimpanan air dan lemak, yang dapat

ditarik berdasarkan kebutuhan (Gibson, 2002).

II.3.2.5 Ekskresi

Produksi keringat oleh kelenjar keringat menghilangkan sisa-sisa

metabolisme dalam jumlah kecil seperti garam, air, dan senyawa organik

(Gunstream, 2000).

II.4 Luka

II.4.1 Pengertian Luka

Luka adalah rusaknya komponen jaringan dimana secara spesifik

terdapat subtansi jaringan yang rusak atau hilang pada kulit akibat proses

patalogis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ

tertentu. Luka dapat digambarkan sebagai gangguan dalam kontinuitas sel-

sel kemudian diikuti dengan penyembuhan luka yang merupakan pemulihan

kontinuitas tersebut (Potter dan Perry, 2006).

11

II.4.2 Jenis-Jenis Luka

Menurut Potter dan Perry (2006), berdasarkan lama waktu

penyembuhannya, luka dibagi menjadi 2 jenis, yaitu luka akut dan luka

kronik:

II.4.2.1 Luka Akut

Luka akut adalah luka yang mengalami proses penyembuhan, yang

terjadi akibat proses perbaikan integritas fungsi dan anatomi secara terus-

menerus, sesuai dengan tahap dan waktu yang normal. Kriteria luka akut

adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu

yang diperkirakan. Contohnya adalah luka sayat, luka bakar, dan luka tusuk

(Potter dan Perry, 2006)

II.4.2.2 Luka Kronik

Luka kronik adalah luka yang gagal melewati proses perbaikan untuk

mengembalikan integritas fungsi dan anatomi sesuai dengan tahap dan

waktu yang normal. Kriteria luka kronik adalah luka yang gagal sembuh

pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan

punya tendensi untuk timbul kembali. Contohnya adalah ulkus diabetes,

ulkus vena, ulkus arteri (iskemi) (Potter dan Perry, 2006).

II.4.3 Faktor Penyebab Luka

Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, ada

banyak faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka, yaitu

(Morrison, 2004):

12

II.4.3.1 Faktor Intrinsik

Faktor intrinstik meliputi faktor- faktor patofisiologi umum (misalnya,

gangguan kardiovaskuler, malnutrisi, gangguan metabolik dan endokrin,

penurunan daya tahan terhadap infeksi) dan faktor fisiologi normal yang

berkaitan dengan usia dan kondisi lokal yang merugikan pada tempat luka

(misalnya, eksudat yang berlebihan, dehidrasi, infeksi luka, trauma

kambuhan, penurunan suhu luka, edema, pengelupasan jaringan yang luas,

dan produk metabolik yang berlebihan).

II.4.3.2 Faktor Ekstrinsik

Faktor ekstrinsik meliputi penatalaksanaan luka yang tidak tepat

(misalnya, pengkajian luka yang tidak tepat, penggunaan bahan perawatan

luka primer yang tidak sesuai, dan teknik penggantian balutan yang

ceroboh).

II.3.4 Proses Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka adalah suatu proses yang terjadi secara normal.

Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan

memulihkan dirinya dengan meningkatkan aliran darah ke daerah yang rusak

untuk membantu suplai nutrsi dan sel-sel imun yang dibutuhkan pada proses

penyembuhan (Perdanakusuma, 2007). Penyembuhan luka memilki 3 fase

yaitu fase inflamasi yang berperan terjadinya proses makrofag (berlangsung

sampai hari ke-3 atau hari ke-4), fase proliferasi dimana yang berperan

adalah fase fibrolas walaupun makrofag masih ikut berperan (berlangsung 3-

24 hari), fase maturasi yang berperan adalah remodelling kolagen, kontraksi

13

luka dan pematangan parut, dan dimulai pada minggu ke-3 setelah

perlukaan dan memerlukan waktu lebih dari 2 tahun (Flanagan, 2000).

II.3.4.1 Inflamasi

Fase inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler yang

terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang

hendak dicapai adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area

luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan

dimulainya proses penyembuhan (Potter dan Perry, 2005).

Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan

keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi

vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan substansi vasokontriksi

yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya

terjadi penempelan endotel yang akan menutupi pembuluh darah (Potter dan

Perry, 2005). Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan

sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth

Factor (IGF), Platelet-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming

Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya kemostaksis

neutrofil, makrofag, mast sel, sel endothelial dan fibroblas (Potter dan Perry,

2005).

Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi leukosit

Polimorfonuklear (PMN). Agregrat trombosit akan mengeluarkan mediator

inflamasi Ttransforming Growth Factor beta-1 (TGF β1) yang juga

14

dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF β1 akan mengaktivasi fibroblast

untuk mensintesis kolagen (Potter dan Perry, 2005).

Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan

terjadi vasodilatasi kapiler stimulasi saraf sensoris (local sensoris nerve

ending), local reflex action, dan adanya substansi vasodilator yaitu histamin,

serotonin dan sitokin. Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga

mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma

darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara

klinis terjadi edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis

(Potter dan Perry, 2005).

Makrofag selain berfungsi memakan sel-sel yang rusak juga berperan

untuk mensintesis kolagen. Makrofag berperan dalam pembentukan jaringan

granulasi dan memproduksi growth factor, dimana growth factor selanjutnya

berperan penting dalam proses re-epitelisasi, pembentukan pembuluh

kapiler baru dan angiogenesis (Potter dan Perry, 2005).

II.3.4.2 Fase Proliferasi

Fase ini berlangsung pada hari ke-4 sampai hari ke-24. Jaringan

granulasi terdiri dari fibroblas, sel inflamasi, pembuluh darah baru, fibronectin

dan hyularonic acid. Pemulihan dimulai dalam waktu 24 jam setelah jejas

melalui migrasi fibroblas dan induksi proliferasi fibroblas dan sel endotel.

Dalam 3 sampai 5 hari, muncul jenis jaringan khusus yang mencirikan

terjadinya penyembuhan, yang disebut jaringan granulasi. Gambaran

histopatologisnya ditandai dengan proliferasi fibroblas dan kapiler baru yang

15

halus dan berdinding tipis di dalam ECM (extracelullar matrix) yang longgar.

Jaringan granulasi kemudian mengumpulkan matriks jaringan ikat secara

progresif, yang akhirnya menghasilkan fibrosis padat (pembentukan jaringan

parut) yang dapat melakukan remodeling lebih lanjut sesuai perjalanan

waktu (Flanagan, 2000).

Fibroblas banyak ditemukan pada jaringan ikat yang berproliferasi dan

aktif mensintesis komponen matriks pada proses penyembuhan luka dan

perbaikan jaringan yang rusak. Pada saat jaringan mengalami peradangan,

maka fibroblas akan segera bermigrasi kearah luka, berproliferasi dan

memproduksi matriks kolagen untuk memperbaiki jaringan yang rusak

(Potter dan Perry, 2005).

Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen

telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai

growth factor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet (Potter dan Perry,

2005)

II.3.4.3 Fase Maturasi

Fase ini dimulai hari ke-24 setelah perlukaan dan berakhir sampai

kurang lebih dari 12 bulan.Tujuan dari fase maturasi ini adalah

menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan

penyembuhan yang kuat dan bermutu (Flanagan, 2000).

Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna

kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan

16

serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut.

Kekuatan dari jaringan parut akan memuncak pada minggu

ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase

proliferasi akan 13 dilanjutkan pada fase maturasi. Selain pembentukan

kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase.

Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi

akan berubah menjadi kolagen yang lebih kuat dan struktur yang lebih baik

(proses remodelling) (Flanagan, 2000).

Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan

keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan.

Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau

hypertropic scar, sebaliknya produksiyang berkurang akan menurunkan

kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka (Syamsul dan Wim,

2005).

Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan

kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan

aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap

penderita, namun hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologi

masing-masing individu, lokasi serta luasnnya luka (Syamsul dan Wim,

2005).

17

Gambar 3. Proses Penyembuhan Luka (Advan, 2014)

II.5 Makrofag

Makrofag adalah sel darah putih yang menelan dan mencerna

patogen. Makrofag terbentuk dari sel-sel darah putih yang disebut monosit.

Monosit adalah tipe terbesar dari sel darah putih. Monosit diproduksi dalam

sumsum tulang dan beredar di dalam darah di mana saja dari satu sampai

tiga hari. Sel-sel ini keluar pembuluh darah dengan melewati pembuluh

darah endotelium untuk masuk ke dalam jaringan. Setelah mencapai tujuan

mereka, monosit berkembang menjadi makrofag atau menjadi sel-sel

kekebalan lainnya yang disebut sel dendritik. Sel dendritik membantu dalam

pengembangan kekebalan antigen (Timothy dan Luisa, 2013).

Fungsi Makrofag adalah :

1) Makrofag membantu dalam mediasi sel atau kekebalan adaptif dengan

menangkap dan menyajikan informasi tentang anti gen asing pada sel-sel

kekebalan yang disebut limfosit.

Berdarah Inflamasi Proliferasi Maturasi/Remodeling

Bekuan Darah Berkeropeng Epidermis yang baru

disembuhkan

Pembuluh Darah Fibrolast Makrofag Fibrolast

Proliferasi

Dermis yang baru

disembuhkan

18

2) Makrofag terlibat dalam fungsi lainnya di dalam tubuh, termasuk produksi

hormon, homeostasis, regulasi imun, dan penyembuhan luka.

3) Makrofag secara aktif menghilangkan sel-sel mati dan rusak, bakteri, sel-

sel kanker, dan puing-puing selular dari tubuh. Proses di mana makrofag

menelan dan mencerna sel dan patogen disebut fagositosis.

Fagositosis adalah bentuk endositosis di mana materi ditelan dan

dihancurkan oleh sel. Proses ini dimulai ketika makrofag ditarik ke zat asing

oleh adanya antibodi. Antibodi adalah protein yang diproduksi oleh limfosit

yang mengikat zat asing (antigen), menandainya untuk kehancuran. Setelah

antigen terdeteksi, makrofag mengirimkan proyeksi yang mengelilingi dan

menelan antigen (bakteri, sel mati) melampirkan itu dalam vesikel. Vesikel

yang melekat mengandung antigen disebut fagosom. Lisosom dalam

sekering makrofag dengan fagosom membentuk fagolisosom. Lisosom

adalah kantung membran enzim hidrolitik dibentuk oleh badan golgi yang

mampu mencerna bahan organik. Isi enzim lisosom dilepaskan ke

fagolisosom dan zat asing dengan cepat terdegradasi. Bahan terdegradasi

kemudian dikeluarkan dari makrofag (Timothy dan Luisa, 2013).

19

Gambar 4. Peran makrofag fagositosis (Timothy and Luisa, 2013)

Dengan demikian makrofag memiliki peran penting dalam proses

penyembuhan luka. Penipisan makrofag pada fase inflamasi mengakibatkan

penutupan luka yang terganggu dan pembentukan jaringan pada luka.

Makrofag memiliki peran menguntungkan selama perbaikan luka dengan

makrofag yang mengatur berbagai proses, seperti pengangkatan sel-sel

mati, dan epitelial luka kembali (Timothy dan Luisa, 2013).

Gambar 5. Tampilan histopatologi makrofag pada luka. A=100x, B=400x

(Mutiara, dkk. 2015)

A B

20

BAB III

PELAKSANAAN PENELITIAN

III.1 Penyiapan Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain biopsy punch

ukuran 6 mm, freezer (-200C), kandang tikus, kamera digital (Casio®),

masker, mata pisau (scapel steril), mesin bloking, mesin processor otomatis,

mesin microtome, mikroskop (Olympus®), object glass, tissue casset, floating

bath dan sarung tangan.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, getah

tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli), alkohol 70%, Buffer Neutral

Formalin (BNF) 10%, cairan perekat DPX, eter, etanol absolute, etanol 70%,

etanol 80%, etanol 90%, parafin cair, pewarna hematoxylin-eosin (HE), xylol,

pakan tikus, dan salep gentamisin.

III.2 Metode Kerja

III.2.1 Penyiapan Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan yaitu tikus putih (Rattus norvegicus),

yang telah mendapat surat Rekomendasi Persetujuan Etik dengan Nomor:

156 / H4.8.4.5.31 / PP36-KOMETIK / 2018. Hewan coba yang digunakan

sebanyak 9 ekor yang berusia sekitar 3 bulan dengan berat antara 150-200

gram dibagi menjadi 3 kelompok (n=3). Tikus ditempatkan dalam kandang

yang berbeda sesuai dengan kelompoknya. Sebelum memulai penelitian

hewan coba dibiarkan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan

laboratorium dengan pemberian pakan dan air minum selama 2 minggu.

21

III.2.2 Determinasi Sampel Tanaman Patah Tulang

Determinasi dilakukan untuk mengetahui kebenaran identitas dari

tanaman yang akan ditelititi, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman

yang diinginkan, dengan cara pengambilan tanaman mulai dari ranting,

batang, hingga keakarnya kemudian dibawa ke Fakultas MIPA, Laboratorium

Botani, Universitas Negeri Makassar untuk dilakukan determinasi tanaman.

Dengan demikian kesalahan dalam penelitian dapat dihindari.

III.2.3 Cara memperoleh Getah Tanaman Patah Tulang

Getah tanaman patah tulang diperoleh dalam keadaan segar yang

siap untuk digunakan dengan cara dipatahkan rantingnya, kemudian secara

perlahan akan mengeluarkan getah.

III.3 Prosedur Percobaan

III.3.1 Pembuatan Luka Pada Tikus

Tikus putih (Rattus norvegicus) disiapkan 9 ekor, kemudian tikus

dibius dengan menggunakan eter. Tikus dicukur bulunya pada bagian

punggung dan dibuat 3 area luka berdiameter 6 mm menggunakan alat

biopsy punch.

III.3.2 Perlakuan

Setiap hewan coba dibagi menjadi 3 kelompok. Setiap kelompok

memiliki 3 area luka, dan setiap luka diberi kode A, B, dan C. Luka A sebagai

kontrol yang tidak dioleskan apa-apa, luka B diolesi 1 tetes getah tanaman

patah tulang, dan luka C diolesi salep gentamisin 0,0810 gram sekali sehari

pada area luka.

22

Tikus dalam kelompok I dianastesi dengan menggunakan eter pada

hari ke-3 sesuai dengan fase inflamasi. Kelompok II dianastesi pada hari ke-

7 sesuai pada fase proliferasi dan kelompok III dianastesi setelah 14 hari

induksi luka sesuai dengan fase maturasi. Setelah dianastesi, jaringan luka

dieksisi dan dimasukkan dalam wadah berisi formalin 10%.

III.4 Pembuatan Preparat Histopatologi Kulit (Wahyuni dkk, 2012)

1. Fiksasi

Sampel jaringan difiksasi dengan cara pemberian BNF 10% dengan

pH 6,5-7,5 dengan pH ideal 7,0, fiksasi jaringan berlangsung sempurna

dengan perbandingan sampel dan larutan yaitu 1:10. Waktu yang diperlukan

untuk fiksasi sempurna adalah 48 jam.

2. Pemotongan Spesimen

Setelah dilakukan fiksasi jaringan, spesimen dipotong dengan

ketebalan 0,3-0,5 mm dengan menggunakan pisau scapel steril, dan disusun

kedalam tissue cassette, kemudian disimpan kedalam wadah khusus

keranjang (basket).

3. Proses Dehidrasi

Wadah yang berisi spesimen dimasukkan kedalam mesin processor

otomatis. Kemudian spesimen mengalami proses dehidrasi secara bertahap

dengan putaran waktu sebagai berikut: etanol 70% (2 jam), etanol 80% (2

jam), etanol 90 % (2 jam), etanol absolute (2 jam), etanol absolute (2 jam),

xylol (2 jam), xylol (2 jam), parafin cair (2 jam), parafin cair (2 jam). Setelah

23

proses dehidrasi dilakukan keranjang yang berisi tissue cassette dikeluarkan

untuk dilakukan proses selanjutnya.

4. Vakum

Setelah proses dehidrasi, kemudian dilanjutkan dengan penghilangan

udara dari spesimen jaringan dengan menggunakan mesin vakum, dengan

temperatur (59-60°C) di vakum selama 30 menit. Selanjutnya keranjang

diangkat, tissue cassette dikeluarkan dan disimpan pada temperatur 60°C

untuk sementara waktu sebelum pencetakan dilakukan dengan parafin cair.

5. Mencetak Parafin

Cetakan dari bahan stainless steel disiapkan, kemudian

penghangatan dilakukan di atas api bunsen, dan spesimen dimasukkan

kedalam cetakan. Dalam wadah lain disiapkan parafin cair sampai mencapai

suhu 60°C. Setelah itu parafin dituang kedalam cetakan yang berisi

spesimen sampai seluruhnya terendam. Parafin dibiarkan membeku di atas

mesin pendingin, kemudian dipisahkan blok parafin dari cetakan dan

disimpan difreezer (-20°C) sebelum dilakukan pemotongan dengan

mengunakan mesin microtome.

6. Pemotongan blok

Blok jaringan dipotong dengan menggunakan mesin mikrotom dengan

ketebalan berkisar 3-4 µm. Hasil potongan diletakkan secara perlahan di

atas floating bath bersuhu 40°C. Bentuk pemotongan dirapikan, kemudian

diletakkan pada object glass. Kemudian object glass yang berisi jaringan

24

disusun di dalam rak khusus dan dimasukkan ke dalam inkubator bersuhu

60°C sampai preparat siap untuk diwamai.

7. Pewarnaan

Tahap pewarnaan dalam larutan beserta lama pengerjaan sebagai

berikut:

Tabel 1. Tahap pewarnaan preparat.

Xylol 3 menit

Xylol 3 menit

Etanol absolute 3 menit

Etanol absolute 3 menit

Etanol 90% 3 menit

Etanol 80% 3 menit

Bilas dengan air keran 1 menit

Larutan hematoxylin 6-7 menit

Bilas dengan air keran 1 menit

Air keran 1 menit

Larutan eosin 1-5 menit

Bilas dengan air keran 1 menit

Etanol 80 % 10 celupan

Etanol 90 % 10 celupan

Etanol absolute 10 celupan

Etanol absolute 1 menit

Xylol 3 menit

Xylol 3 menit

Xylol 3 menit

Sumber : Wahyuni, Enggar, Kumorowati, Pitriani, Suardi, Sukri, Yunus M. 2012. Buku Panduan Kerja Laboratorium Patologi. Balai Besar Veteriner Maros. Edisi 2. Hal 1-21.

Setelah pewarnaan, satu persatu diberikan satu tetes cairan perekat

(DPX), selanjutnya ditutup dengan kaca penutup, kemudian preparat

didiamkan sampai mengering sempurna dan hasilnya siap untuk diamati

dibawah mikroskop.

25

III.5 Analisis Histopatologi Luka

- Spesimen diambil pada waktu bersamaan dengan cara eksisi luka pada

punggung kiri dan kanan dengan ukuran sekitar 20x20 mm sedalam

fascia dan menyertakan 5 mm jaringan sehat di sekitar luka.

- Spesimen luka diambil pada hari ke-3 (kelompok I), hari ke-7 (kelompok

II), dan hari ke-14 (kelompok III).

- Spesimen yang diambil kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi

formalin 10% dan dibawa ke Balai Besar Veterinary di Maros untuk fiksasi

jaringan, dan didapatkan preparat yang siap untuk diamati.

- Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan pewarnaan hematoxylin-

eosin. Preparat diletakkan di bawah mikroskop cahaya kemudian

makrofag diamati menggunakan pengukur mikrometer graticule pada

pembesaran 100x dan 400x, lalu difoto menggunakan kamera untuk

memudahkan pengamatan.

III.6 Perhitungan Jumlah Makrofag

Jumlah makrofag dihitung pada 3 lapang pandang pada pembesaran

400x untuk setiap tikus dengan menggunakan software Image J. Dengan

bantuan software ini akan meminimalisir kesalahan dalam perhitungan

jumlah makrofag.

26

III.7 Analisis Statistik

Dalam perhitungan makrofag dianalisis menggunakan software spss

20. Data diuji distribusi normalnya menggunakan Kolmogorov Smirnov. Bila

data terdistribusi normal maka dianalisis menggunakan One Way Anova

dilanjutkan Post Hoc Test Tukey’s HSD. Data dinyatakan signifikan bila

p<0,05.

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil Determinasi Tanaman Patah Tulang

Determinasi tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli), dilakukan di

Fakultas MIPA, Laboratorium Botani, Universitas Negeri Makassar, dan

didapatkan hasil determinasi tanaman bahwa benar-benar tanaman patah

tulang spesies Euphorbia tirucalli dari famili Euphorbiaceae.

IV.2. Hasil Pengolahan Sampel Getah Tanaman Patah Tulang

Tanaman patah tulang segar yang telah diperoleh dipilih bagian

ranting dengan diameter 0,3 mm. Getah tanaman diperoleh dengan cara

mematahkan rantingnya sehingga getah keluar dan menetes, dan tetesan

getah langsung digunakan sebagai sampel segar. Digunakan 1 tetes getah

yang setara 0,0174 gram.

IV.3. Hasil Pengamatan Histopatologi Jumlah Makrofag

Hasil perhitungan jumlah makrofag pada preparat histopatologi

dilakukan dengan menggunakan mikroskop binokuler dengan bantuan

software Image J untuk memudahkan perhitungan jumlah makrofag. Jumlah

makrofag yang diamati pada hari ke-3 dapat dilihat pada Gambar 6 dan

Gambar 7, hari ke-7 pada Gambar 8 dan Gambar 9, dan hari ke-14 dilihat

pada Gambar 10 dan Gambar 11 dalam 3 lapang pandang.

28

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

55

kontrol salep getah

Jum

lah

ra

ta-r

ata

Ma

kro

fag

(sel

/la

pa

ng

pa

nd

an

g)

Perlakuan

Gambar 6. Grafik rerata hasil perhitungan makrofag pada hari ke-3

Berdasarkan grafik rerata dan analisis histopatologi luka pada

Gambar 6 dan Gambar 7, maka dapat diperoleh hasil rata-rata jumlah

makrofag yang ada pada kelompok kontrol sebanyak 13,675,508, pada

kelompok salep sebanyak 15,336,807, dan kelompok getah sebanyak

32,3316,166. Dari hasil pengamatan ini dapat dilihat bahwa kelompok getah

pada hari ke-3 meningkatkan jumlah makrofag pada fase inflamasi yang

normalnya berlangsung pada hari ke-3 atau hari ke-4 luka. Dibandingkan

dengan kelompok kontrol, kelompok salep tidak terlihat meningkatkan jumlah

makrofag. Namun, hasil analisis statistik One Way Anova menunjukkan nilai

(p=0,135) yang berarti bahwa kelompok kontrol, kelompok salep dan

kelompok getah memiliki perbedaan yang tidak signifikan terhadap jumlah

makrofag pada hari ke-3.

29

A

B

a

b

c C

C

Gambar 7. Hasil pengamatan preparat histopatologi luka pada hari ke-3. Keterangan: (A,a) Kontrol, (B,b) Salep, dan (C,c) Getah Patah Tulang. Perbesaran: A,B,C: 100x ; a,b,c: 400x.

30

0

5

10

15

20

25

30

35

kontrol salep getah

Jum

lah

ra

ta-r

ata

Ma

kro

fag

(sel

/la

pa

ng

pa

nd

an

g)

Perlakuan

Gambar 8. Grafik rerata hasil perhitungan makrofag pada hari ke-7 Keterangan: # menunjukkan p<0,05 terhadap kelompok salep dan kelompok getah

Dari grafik rerata dan gambar histopatologi luka pada Gambar 8 dan

Gambar 9, didapatkan hasil rerata jumlah makrofag yang ada di kelompok

kontrol sebanyak 28,674,163, pada kelompok salep 11,335,033, dan pada

kelompok getah 13,003,000. Dari hasil tersebut terlihat, bahwa kelompok

kontrol masih memiliki jumlah makrofag yang tinggi pada hari ke-7

dibandingkan pada hari ke-3. Artinya terjadi reaksi inflamasi yang semakin

tinggi pada hari ke-7 pada kelompok kontrol, dimana pada hari ke-7

diharapkan jumlah makrofag sudah mulai berkurang karena akan

berpengaruh pada proses penyembuhan luka. Pada kelompok salep dan

kelompok getah, jumlah makrofag yang terlihat lebih sedikit dibandingkan

dengan kelompok kontrol, yang berarti tidak ada perubahan menuju proses

penyembuhan luka, yang normalnya sudah melewati fase inflamasi.

Didapatkan hasil analisis statistik yang signifikan antara perlakuan kontrol

dan salep (p<0,05), dan antara kontrol dan getah (p<0,05). Sedangkan

#

31

C

A

c

b B

a

antara pemberian salep dan getah hasilnya tidak signifikan (p>0,05) yang

artinya kedua pemberian perlakuan tersebut tidak memiliki perbedaan atau

memiliki efektivitas yang sama pada proses penyembuhan luka hari ke-7.

Gambar 9. Hasil pengamatan preparat histopatologi luka pada hari ke-7. Keterangan: (A,a) Kontrol, (B,b) Salep, dan (C,c) Getah Patah Tulang. Perbesaran: A,B,C: 100x ; a,b,c: 400x.

32

0

5

10

15

kontrol salep getah

Jum

lah

ra

ta-r

ata

Ma

kro

fag

(sel

/la

pa

ng

pa

nd

an

g)

Perlakuan

Gambar 10. Grafik rerata hasil perhitungan makrofag pada hari ke-14

Pada gambar hasil grafik rerata dan gambar histopatologi terlihat

pada Gambar 10 dan Gambar 11 hari ke-14, didapatkan hasil rerata jumlah

makrofag yang ada di kelompok kontrol sebanyak 6,004,359, pada

kelompok salep 3,001,000, dan pada kelompok getah 2,330,577. Hasil

yang diperoleh pada kelompok kontrol, kelompok salep, dan kelompok getah

ialah jumlah makrofag sudah jauh berkurang yang berarti bahwa fase

inflamasi dan proliferasi sudah dilewati dan memasuki fase maturasi. Pada

fase maturasi diharapkan tidak terdapat atau sedikitnya jumlah makrofag

sesuai dengan fase akhir pada proses penyembuhan luka. Dari hasil statistik

(p=0,262), menandakan jumlah makrofag tidak berbeda signifikan pada

ketiga perlakuan, yang berarti dari ketiga perlakuan tersebut tidak memiliki

perbedaan efek pada hari ke-14 penyembuhan luka.

33

A

B

C c

a

b

Gambar 11. Hasil pengamatan preparat histopatologi luka pada hari ke-14. Keterangan: (A,a) Kontrol, (B,b) Salep, dan (C,c) Getah Patah Tulang. Perbesaran: A,B,C: 100x ; a,b,c: 400x.

34

Menurut Meloreis et al, getah dari tanaman patah tulang yang

berwarna putih memiliki manfaat yaitu mengobati luka akut, penyakit

menular, dan tumor. Memiliki aktifitas antibakteri yang dapat mencegah

infeksi pada luka (Yi Q et al, 2017). Marrakchi et al, menunjukkan adanya

efek antiinflamasi tanaman patah tulang (Eurphorbia tirucalli). Hal ini serupa

dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, dimana getah patah tulang

mampu mempersingkat fase inflamasi, terlihat dengan berkurangnya jumlah

makrofag pada hari ke-7. Efek antiinflamasi dari getah tanaman patah tulang

tidak berbeda signifikan dengan pemberian salep gentamisin dalam hal

mencegah inflamasi berkepanjangan.

36

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dari hari ke-3, hari ke-7, dan hari ke-14,

maka dapat disimpulkan bahwa efek pemberian getah tanaman patah tulang

dapat mengoptimalkan jumlah makrofag dibandingkan dengan kontrol.

Pengaruh pemberian getah tanaman patah tulang dengan salep gentamisin

secara statistik tidak signifikan (p>0,05) yang menandakan efek perlakuan

tersebut pada jumlah makrofag adalah setara.

V.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan maka dapat

diberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Sebaiknya dilakukan pengamatan lain seperti neutrofil pada proses

penyembuhan luka akut.

2. Perlu penelitian lanjut pada getah tanaman patah tulang (Eurphorbia

tirucalli) sebagai obat perawatan luka akut dalam bentuk sediaan yang

lain seperti sediaan obat salep.

37

DAFTAR PUSTAKA

Advan, 2014. The Realistic Approach on Wound Healing. (Online).

(https://www.advancells.com/stem-cells-the-realistic-approach-on-

wound-healing/, diakses: 8 Februari 2018).

Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Ed. 8. Vol. 2.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Flanagan, M. 2000. The Physiology of Wound Healing. University of

Hertfordshire, UK. Journal of Found Care. 9 (6) : 299-300

Gibson, J. 2002. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat (Sugiarto,

Bertha, penerjemah). Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Hal.

479.

Gunstream, S.E. 2000. Anatomy and Physiology. Boston: Mc Graw Hill.

Hivesguy. 2013. Research Model: Sprague Dawley Rat. (Online).

(http://www.cholinergicurticaria.net/hives-causes-symptoms-pictures-

treatment/skin-layers-diagram/, diakses: 8 Februari 2018).

Janvier, L. 2013. Research Model: Sprague Dawley Rat. (Online).

(http://www.janvier-labs.com/rodent-research-models-

services/research-models/per-species/outbred-rats/product/sprague-

dawley.html, diakses: 8 Februari 2018).

Julianus, K., Diah, IDA., Supratman, T., Harwiyadin, K., Yermias, K.,

Syamsir, S., dan Moody, C.K. 2011. Tumbuhan Obat Tradisional Di

Sulawesi Utara. Jilid 1. Manado. ISBN: 978-602-98144-1-5.

Krinke, G.J. 2000. The Handbook of Experimental Animals: The Laboratory

Rat. London: Academic Press.

Marrakchi, S., Turki, H., and Fehri, B. 2009. Anti-inflammatory Effect Induced

By Euphorbia tirucalli Latex. Journal Trade Science Inc. 5 (1) : 29-30

Meloreis, P.R.D., Silva, B.M.S.D., Silva-Junior, N.J.D., Elves, M.M., Neves,

R.A., Mrue, F., and Araujo, L.A.D. 2015. Effects Of Topical Treatment

With Euphorbia Tirucalli Latex On The Survival And Intestinal

Adhesions In Rats With Experimental Peritonitis. Original Article

ABCD Arq Bras Cir Dig. 28 (4) : 243-246.

38

Morrison, M.J. 2004. Manajemen Luka. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta :

EGC.

Mutiara G., Nurdiana, dan Utami Y. 2015. Efektifitas Hidrogel Binahong

(Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap Penurunan Jumlah

Makrofag pada Penyembuhan Luka Fase Proliferasi Tikus Putih

(Rattus norvegicus) Galur Wistar Kondisi Hiperglikemia. (Majalah

Kesehatan FKUB). Malang. Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya.

Palit, P., Mukherjee, D., Mahanta, P., Mondal, C.S., Mondal, T. 2013.

Phytochemical Characterization, Anti-inflammatory and In vitro Anti-

arthritic Activity Evaluation of Hydro-alcholic Root Extract of

Euphorbia tirucalli. Journal Biochem & Pharmacol. 2 (4) : 243

Perdanakusuma, D.S. 2007. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka.

Surabaya: Airlangga University School of Medicine.

Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses,

dan Praktik. Ed. 4. Vol. 2. Jakarta: EGC.

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses,

dan Praktik. Ed. 4 Vol. 1. Jakarta: EGC.

Prasetyo, B.F., Wientarsih, I., dan Priosoeryanto, B.P., 2010. Aktivitas

Sediaan Gel Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon Dalam Proses

Penyembuhan Luka Pada Mencit. Jurnal Veteriner. 11 (2) : 70-73.

Price, S.A., dan Wilson, L.M.. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit. Ed. 6. Vol. 2. Jakarta: EGC.

Qomariah, S. 2014. Efektivitas Salep Ekstrak Batang Patah Tulang

(Euphorbia tirucalli) Pada Penyembuhan Luka Sayat Tikus Putih

(Rattus norvegicus) (Skripsi). Semarang. Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

Rahayu, M., Sunarti, S., Sulistiarini, D., Prawiroatmodjo, S., 2016.

Pemanfaatan Tumbuhan Obat Secara Tradisional Oleh Masyarakat

Lokal Di Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara. Jurnal Biodiversitas 7

(3): 245-250.

39

Smith, Mangkoewijoyo, S. 2002. Pemeliharaan, Pembiakan dan

Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Ed. 1. Jakarta: UI

Press. Hal : 37-3.

Syamsul, H.R. dan Wim D.J. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi.

Jakarta: EGC

Timothy, J.K. and Luisa, A.D.P. 2013. Inflammation And Wound Healing: The

Role of The Macrophage. University of Illinois at Chicago. Journal

International Institutes Health. 13 (23) : 1-8

Toana, M.H. and Nasir, B. 2010. Studi Bioaktif Dan Isolasi Senyawa Bioaktif

Tumbuhan Euphorbia tirucalli (Euphorbiaceae) Sebagai Insektisida

Botani Alternatif. Journal Agroland. 17 (1): 47-55.

Wahyuni, Kumorowati, E., Pitriani, Suardi, Sukri dan Yunus, M. 2012. Buku Panduan Kerja Laboratorium Patologi. Balai Besar Veteriner Maros. Edisi 2. Hal : 1-21.

Wal, P., Wal, A., Vishnoi, G., and Gupta, N. 2013. Medicinal Value of

Euphorbia tirucalli. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry. 1

(1) : 16-26

Yi, Q., Zarina, W.Z., Nurulhidayah, Cn., Ezany, M.Y., Azlina, A., and Suharni,

M. 2017. The Antibacterial Properties of Euphorbia tirucalli Stem

Extracts Against Dental Caries Related Bacteria. Journal Med &

Health. 12 (1) : 34-41

40

LAMPIRAN I

SKEMA KERJA

1. Skema Kerja Umum

9 Ekor Tikus Putih

Luka Akut Pada Punggung

Kelompok I (3 hari)

Spesimen Luka - Hari ke-3 - Hari ke-7 - Hari ke-14

Analisis Data

Kelompok II (7 hari)

Pemeriksaan Jumlah Makrofag Secara Mikroskopik

Kelompok III (14 hari)

✓ Kode A : Kontrol

✓ Kode B : Getah tanaman

patah tulang

✓ Kode C : Salep gentamisin

Diberikan Diberikan

Diberikan

✓ Kode A : Kontrol

✓ Kode B : Getah tanaman

patah tulang

✓ Kode C : Salep gentamisin

✓ Kode A : Kontrol

✓ Kode B : Getah tanaman

patah tulang

✓ Kode C : Salep gentamisin

Kesimpulan

41

2. Skema Kerja Pembuatan Preparat Histopatologi

Fiksasi Spesimen

Pemotongan Spesimen

Direndam spesimen dengan larutan BNF 10%, perbandingan antara spesimen dan larutan 1:10, lama waktu fiksasi 48 jam.

✓ Spesimen dipotong dengan ketebalan 0,3-0,5 mm

✓ Disusun kedalam tissue cassette, kemudian dimasukkan kedalam keranjang khusus

Proses Dehidrasi

✓ Dimasukkan hasil pemotongan kedalam mesin processor otomatis

✓ Diproses selama 18 jam

Vakum

✓ Penghilangan udara dari jaringan dengan menggunakan mesin vakum (59-60°C)

✓ Diproses selama 30 menit

Mencetak Parafin

✓ Dimasukkan jaringan spesimen kedalam setiap cetakan

✓ Dituangkan parafin kedalam cetakan, dibiarkan membeku diatas mesin pendingin

✓ Kemudian blok parafin dilepas dari cetakan

Memotong Jaringan

✓ Dipotong blok paraffin dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 3-4 µm

✓ Potongan diletakkan di permukaan dalam floathing bath bersuhu 40°

✓ Irisan dirapikan, diletakkan di kaca object glass dan dimasukkan kedalam inkubator bersuhu 60°

Pewarnaan

✓ Dilakukan pewarnaan dengan menggunakan pewarna Mayer’s Hematoxylin, kemudian diteteskan 1-2 tetes DPX, tutup dengan deck glass

Preparat Histopatologi

42

LAMPIRAN II

ANALISIS STATISTIK

Tabel 2. Perhitungan jumlah makrofag pada kelompok hari ke-3

Jumlah Makrofag (sel/lapang pandang)

Hewan coba Kontrol Salep Getah

Tikus 1 10 23 23

Tikus 2 20 13 51

Tikus 3 11 10 23

Rata-rata 13,67±5,508 15,33±6,807 32,33±16,166

Tabel 3. Perhitungan jumlah makrofag pada kelompok hari ke-7

Jumlah Makrofag (sel/lapang pandang)

Hewan coba Kontrol Salep Getah

Tikus 1 24 16 16

Tikus 2 30 12 10

Tikus 3 32 6 13

Rata-rata 28,67±4,163 11,33±5,033 13,00±3,000

Tabel 4. Perhitungan jumlah makrofag pada kelompok hari ke-14

Jumlah Makrofag (sel/lapang pandang)

Hewan coba Kontrol Salep Getah

Tikus 1 4 3 2

Tikus 2 11 2 3

Tikus 3 3 4 2

Rata-rata 6,00±4,359 3,00±1,000 2,33±0,577

43

Tabel 5. Data Distribusi Kolmogorov-Smirnov pada hari ke-3

Tabel 6. Data Analisis One Way Anova pada hari ke-3

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

makrofag3

N 9

Normal Parametersa,b Mean 20.44

Std. Deviation 12.827

Most Extreme Differences

Absolute .310

Positive .310

Negative -.208

Kolmogorov-Smirnov Z .930

Asymp. Sig. (2-tailed) .353

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

ANOVA

makrofag3

Sum of

Squares

df Mean Square F Sig.

Between Groups 640.222 2 320.111 2.841 .135

Within Groups 676.000 6 112.667

Total 1316.222 8

44

Tabel 7. Data Distribusi Kolmogorov-Smirnov pada hari ke-7

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

makrofag7

N 9

Normal Parametersa,b Mean 17.67

Std. Deviation 9.028

Most Extreme Differences

Absolute .240

Positive .240

Negative -.136

Kolmogorov-Smirnov Z .720

Asymp. Sig. (2-tailed) .678

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

Tabel 8. Data Analisis One Way Anova pada hari ke-7

ANOVA

makrofag7

Sum of

Squares

df Mean Square F Sig.

Between Groups 548.667 2 274.333 15.929 .004

Within Groups 103.333 6 17.222

Total 652.000 8

45

Tabel 9. Post Hoc Test pada hari ke-7

Multiple Comparisons

Dependent Variable: makrofag7

Tukey HSD

(I) perlakuan7 (J) perlakuan7 Mean

Difference (I-J)

Std. Error Sig. 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

kontrol salep 17.333* 3.388 .005 6.94 27.73

getah 15.667* 3.388 .009 5.27 26.06

salep kontrol -17.333* 3.388 .005 -27.73 -6.94

getah -1.667 3.388 .878 -12.06 8.73

getah kontrol -15.667* 3.388 .009 -26.06 -5.27

salep 1.667 3.388 .878 -8.73 12.06

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Tabel 10. Data Distribusi Kolmogorov-Smirnov pada hari ke-14

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

makrofag14

N 9

Normal Parametersa,b Mean 3.78

Std. Deviation 2.819

Most Extreme Differences

Absolute .357

Positive .357

Negative -.264

Kolmogorov-Smirnov Z 1.072

Asymp. Sig. (2-tailed) .200

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

46

Tabel 11. Data Analisis One Way Anova pada hari ke-14

ANOVA

makrofag14

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 22.889 2 11.444 1.689 .262

Within Groups 40.667 6 6.778

Total 63.556 8

47

LAMPIRAN III

GAMBAR PENELITIAN

Gambar 12. Pembagian hewan coba sesuai dengan kelompok.

Gambar 13. Persiapan hewan coba untuk proses perlakuan.

Gambar 14. Persiapan alat dan bahan Gambar 15. Tanaman Penelitian

48

Gambar 16. Pembiusan tikus dengan menggunakan eter.

Gambar 17. Proses pencukuran bulu tikus.

Gambar 18. Hasil pencukuran. Gambar 19. Pembuatan luka dengan alat biopsy punch.

49

Gambar 20. Hasil pembuatan luka. Gambar 21. Pemberian salep pada luka tikus.

Gambar 22. Pemberian 1 tetes getah patah tulang pada luka tikus.

Gambar 23. Proses setelah perlakuan.

50

Gambar 24. Proses fiksasi sampel selama 48 jam.

Gambar 25. Proses dehidrasi.

Gambar 26. Alat floathing bath/ pemanas.

Gambar 27. Alat pemotongan blok.

51

Gambar 28. Proses mencetak blok. Gambar 29. Proses pewarnaan preparat.

Gambar 30. Hasil preparat histopatologi.

52

LAMPIRAN IV

SURAT KETERANGAN DETERMINASI TANAMAN

53

LAMPIRAN V

SURAT REKOMENDASI PERSETUJUAN ETIK