Edisi VII Agustus 2014
description
Transcript of Edisi VII Agustus 2014
-
Alamat Redaksi
Jl. DI. Panjaitan Km 3 Paduraksa Pemalang Telp. (0284) 323741 Kode Pos 52113
Email : [email protected]
Evaluasi Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter
Miswanto
Nilai Pendidikan Karakter Dalam Tradisi Lokal
Bani Sudardi
Pendidikan Multikultural Sebagai Wahana Pembentukan Karakter
Ida Zahara Adibah
Menumbuhkan Keberanian Berpendapat
Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Think Pair
Endang Puji Lestari
Dyah Kunthi Talibrata, Representasi Pembentukan Karakter Wanita Jawa
Hartini
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Melalui Media Pembelajaran Multimedia Interaktif
Endang Sri Mureiningsih
Model Pengembangan Kurikulum Dan Strategi Pembelajaran Berbasis Sosiologi
Kritis, Kreativitas, Dan Mentalitas
Mustofa Kamal
Peran Penerjemahan Teks-Teks Asing Terhadap Pembentukan Karakter Bangsa
Sri Mulyati
Kepemimpinan Dan Pendidikan Islam
Puji Khamdani
Potensi Dan Peran Pesantren Sebagai Pusat Peradaban
Muammar
-
ISSN 2086-3462
9 7 7 2 0 8 6 3 4 6 2 6 6
Visi
Sebagai sarana Komunikasi dan Publikasi
Karya Ilmiah Ilmu Pendidikan dan Ke-Islaman
Misi
1. Mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi di Bidang pendidikan melalui penelitian dan pengabdian yang megacu pada Pola Induk Pengembangan Ilmiah (PIP) STIT Pemalang
2. Menyebarluaskan hasil-hasil penelitian dan pengabdian di bidang Pendidikan Islam melalui publikasi jurnal ilmiah dan pertemuan-pertemuan ilmiah
3. Menerapkan hasil-hasil penelitian melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat untuk memberikan kontribusi pada pengembangan Pendidikan Islam
Alamat Redaksi Jl. DI. Panjaitan Km 3 Paduraksa Pemalang
Telp. (0284) 323741 Kode Pos 52113 Email : [email protected]
Penerbit : STIT Pers
Pimpinan Redaksi
Puji Dwi Darmoko
Sekretaris Redaksi
Nur Topik
Penyunting
Mustofa Kamal
Khaerudin
Rahmat Kamal
Hafied Hasan
Purnama rozak
Isa Agus Amsori
Desain Grafis
Patriyanto
Sirkulasi
Krisdian Linanti
-
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi ................................................................................................... i
Salam Redaksi .......................................................................................... ii
Evaluasi Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter
Miswanto ................................................................................................ 151
Nilai Pendidikan Karakter Dalam Tradisi Lokal
Bani Sudardi ............................................................................................. 165
Pendidikan Multikultural Sebagai Wahana Pembentukan Karakter
Ida Zahara Adibah .................................................................................... 175
Menumbuhkan Keberanian Berpendapat Melalui Model Pembelajaran
Kooperatif Think Pair Share
Endang Puji Lestari ................................................................................... 191
Dyah Kunthi Talibrata Sebagai Representasi Profil Wanita Jawa Sejati
Hartini ....................................................................................................... 205
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Melalui Media Pembelajaran Multimedia Interaktif
Endang Sri Mureiningsih .......................................................................... 214
Model Pengembangan Kurikulum Dan Strategi Pembelajaran Berbasis
Sosiologi Kritis, Kreativitas, Dan Mentalitas
Mustofa Kamal ......................................................................................... 230
Penerjemahan Teks-Teks Asing Dan Sumbangannya Terhadap
Pembentukan Karakter Bangsa
Sri Mulyati ................................................................................................ 251
Kepemimpinan Dan Pendidikan Islam
Puji Khamdani ......................................................................................... 259
Pilar-Pilar Peradaban Pesantren; Potret Potensi Dan Peran Pesantren
Sebagai Pusat Peradaban
Muammar ............................................................................................... 277
Pedoman Penulisan Artikel di Jurnal Ilmiah Madaniyah
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
ii
SALAM REDAKSI
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Robbil Alamiin, puji syukur kehadirat Allah SWT, kali ini Jurnah Ilmiah MADANIYAH STIT Pemalang dapat hadir kembali di hadapan sidang Pembaca. Setelah mengalami pergulatan yang cukup panjang akan
sulitnya mencari artikel berkaitan dengan tema tentang Pendidikan Karakter akhirnya dengan segala keterbatasan yang ada, jurnal Ilmiah MADANIYAH edisi VII Agustus 2014 ini dapat terbit.
Diharapkan melalui berbagai pemikiran dalam jurnal ini dapat menambah
wawasan dan pengetahuan bagaimana suatu idealisme membangun sebuah
Karakter tidak hanya bertumpu pada Dunia Pendidikan melainkan dari berbagai
aspek disiplin ilmu.
Mewujudkan harapan ini bukanlah suatu pekerjaan yang ringan dan harus
melibatkan seluruh stake holder yang berkomitmen tinggi dalam ikut sertanya membangun bangsa.
Semoga ke depan Jurnal Ilmiah Madaniyah ini semakin berkualitas melalui kajian dan penelitian untuk bisa menambah khasanah pengetahuan.
Akhirnya kami berharap kritik dan saran guna perbaikan penerbitan yang akan
datang.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Redaksi
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
151
EVALUASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS KARAKTER
Miswanto1
Abstrak
Makalah ini menjelaskan tentang Evaluasi Pendidikan Agama Islam
Berbasis Karakter. Penilaian dalam pendidikan dimaksudkan untuk menetapkan
keputusan-keputusan pendidikan, baik yang menyangkut perencanaan,
pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan, baik yang menyangkut
perorangan, kelompok maupun kelembagaan. Dalam konteks ini, penilaian
dalam pendidikan Agama Islam bertujuan agar keputusan-keputusan yang
berkaitan dengan pendidikan Agama Islam benar-benar sesuai dengan niai-nilai
Islami sehingga tujuan pendidikan Agama Islam yang dicanangkan dapat
tercapai secara maksimal. Sistem evaluasi dalam pendidikan Islam mengaku
pada sistem evaluasi yang digariskan oleh Allah SWT, dalam Alquran dan
dijabarkan dalam Sunah, yang dilakukan Rasulullah SAW dalam proses
pembinaan risalah Islamiyah.
Kata kunci: evaluasi, prinsip evaluasi, pendidikan karakter.
A. Pendahuluan
Pendidikan di negara kita hingga sekarang masih menyisakan banyak
persoalan, baik dari segi kurikulum, manajemen, maupun para pelaku dan
pengguna pendidikan. SDM Indonesia masih belum mencerminkan cita-cita
pendidikan yang diharapkan. Masih banyak ditemukan kasus-kasus seperti siswa
melakukan kecurangan ketika sedang menghadapi ujian, bersikap malas dan
senang bermain dan hura-hura, senang tawuran antar sesama siswa, melakukan
pergaulan bebas, hingga terlibat narkoba dan tindak kriminal lainnya. Di sisi lain,
masih ditemukan pula guru yang melakukan kecurangan-kecurangan dalam
sertifikasi dan dalam penyelenggaraan ujian nasional (UN). Atas dasar inilah,
maka pendidikan kita perlu direkonstruksi ulang agar dapat menghasilkan
lulusan yang lebih berkualitas dan siap menghadapi dunia masa depan yang
penuh dengan problema dan tantangan serta dapat menghasilkan lulusan yang
memiliki karakter mulia, yakni: memiliki kepandaian sekaligus kecerdasan,
memiliki kreativitas tinggi sekaligus sopan dan santun dalam berkomunikasi,
serta memiliki kejujuran dan kedisiplinan sekaligus memiliki tanggung jawab
1 Miswanto, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Pemalang Jawa Tengah
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
152
yang tinggi. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mengemban misi
pembentukan karakter (character building) sehingga para peserta didik dan para
lulusannya dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan dengan baik dan
berhasil tanpa meninggalkan nilai-nilai karakter mulia.
Untuk membangun manusia yang memiliki nilai-nilai karakter yang agung
seperti dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional tersebut, dibutuhkan
system pendidikan yang memiliki materi yang lengkap (kaffah), serta ditopang
oleh pengelolaan dan pelaksanaan yang benar. Terkait dengan ini pendidikan
Islam memiliki tujuan yang seiring dengan tujuan pendidikan nasional. Secara
umum pendidikan Islam mengemban misi utama memanusiakan manusia, yakni
menjadikan manusia mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya
sehingga berfungsi maksimal sesuai dengan aturan-aturan yang digariskan oleh
Allah Swt. Dan Rasulullah saw. yang pada akhirnya akan terwujud manusia yang
utuh (insan kamil). Sistem ajaran Islam dikelompokkan menjadi tiga bagian,
yaitu bagian aqidah (keyakinan), bagian syariah (aturan-aturan hukum tentang
ibadah dan muamalah), dan bagian akhlak (karakter). Ketiga bagian ini tidak
bisa dipisahkan, tetapi harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang saling
mempengaruhi. Aqidah merupakan fondasi yang menjadi tumpuan untuk
terwujudnya syariah dan akhlak. Sementara itu, syariah merupakan bentuk
bangunan yang hanya bisa terwujud bila dilandasi oleh aqidah yang benar dan
akan mengarah pada pencapaian akhlak (karakter) yang seutuhnya. Dengan
demikian, akhlak (karakter) sebenarnya merupakan hasil atau akibat terwujudnya
bangunan syariah yang benar dilandasi oleh fondasi aqidah yang kokoh. Tanpa
aqidah dan syariah, mustahil akan terwujud akhlak (karakter) yang sebenarnya.
Karakter (character) dapat diartikan sebagai totalitas ciri-ciri pribadi yang
yang melekat dan dapat diidentifikasi pada prilaku individu yang bersifat unik,
dalam arti secara khusus ciri-ciri ini membedakan antara satu individu dengan
yang lainnya. Oleh karena ciri-ciri itudapat diidentifikasi pada perilaku individu
dan bersifat unik, maka karakter sangat dekat dengan kepribadian inidividu.
Meskipun karakter setiap individu ini bersifat unik, namun sejumlah karakter
umum yang menjadi stereotype dari sekelompok masyarakat, atau bahkan suatu
bangsa dapat diidentifikasi sebagai karakter suatu komunitas tertentu atau
bahkan dapat pula dipandang sebagai karakter suatu bangsa. Mengingat karakter
itu ada yang baik dan ada yang tidak baik, kita harus berupaya membangun
karaker baik (good character). Sebagaimana kepribadian, ada dua faktor penting
yang berpengaruh terhadap karakter, yakni faktor endogenus (faktor hereditas
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
153
atau genetic) dan faktor eksogenus (pengaruh pendidikan dan/atau lingkungan).
Namun, para ahli memandang bahwa faktor pendidikan dapat memberi
kontribusi yang cukup signifikan terhadap pembentukan karakter sesuai dengan
arah yang diharapkan (sesuai tujuan), yakni nilai-nilai baik yang bersumber dari
ajaran-ajaran agama maupun tradisi kearifan lokal dan nasional.2
Dalam pendidikan Islam penanaman karakter sangat perlu, dan dalam
karakter memerlukan tujuan yang merupakan sasaran ideal yang hendak dicapai.
Dengan demikian kurikulum yang telah dirancang, disusun dan diproses dengan
maksimal diupayakan untuk mencapai tujuan tersebut. Tentu saja terkait dengan
hal ini pendidikan Islam mempunyai tugas yang berat, salah satunya adalah
mengembangkan potensi fitrah manusia. Berbicara pendidikan karakter kita tidak
bisa mengabaikan lembaga pendidikan pesantren yang sudah lama menerapkan
karakter pada santrinya sejak dulu secara terstruktur dan istiqomah.
Untuk mengetahui kapasitas, kualitas, peserta didik perlu diadakan
evaluasi. Dalam evaluasi perlu adanya teknik, dan sasaran untuk menuju
keberhasilan dalam proses belajar mengajar dan pendidikan secara
keseluruhan. Evaluasi yang baik haruslah didasarkan atas tujuan yang
ditetapkan berdasarkan perencanaan sebelumnya dan kemudian benar-benar
diusahakan oleh guru untuk peserta didik. Betapapun baiknya, evaluasi
apabila tidak didasarkan atas tujuan yang telah ditetapkan, tidak akan tercapai
sasarannya.
Dari uraian di atas, permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian evaluasi dalam pendidikan karakter ?
2. Bagaimana tujuan dan fungsi evaluasi dalam pendidikan karakter ?
3. Apa sajakah prinsip-prinsip evaluasi dalam pendidikan karakter ?
4. Bagaimana sistem evaluasi dalam pendidikan karakter ?
5. Apa saja sasaran evaluasi dalam pendidikan karakter ?
B. Pembahasan
1. Pengertian Evaluasi dalam pendidikan karakter
Menurut bahasa evaluasi berasal dari bahasa Inggris, evaluation,
yang berarti penilaian atau penaksiran.3 Sedangkan menurut pengertian
istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui
2 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi ( Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara, 2002), hal. 173. 3 Suharsimi Arikunto. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), hal.3.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
154
keadaan sesuatu obyek dengan menggunakan intrumen dan hasilnya
dibandingkan dengan tolak ukur memperoleh kesimpulan. Dengan demikian
secara sederhana dapat disimpulkan bahwa evaluasi pendidikan adalah
penilaian untuk mengetahui proses pendidikan dan komponen-komponennya
dengan instrumen yang terukur.4 Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 ayat 21 dijelaskan
bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan
penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada
setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk per
tanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.5
Sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai
dibicarakan. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui
karyanya yang sangat memukau, The Retrun of Character Education.
Sebuah buku yang menyadarkan dunia Barat secara khusus di mana tempat
Lickona hidup, dan seluruh dunia pendidikan secara umum, bahwa
pendidikan karakter adalah sebuah keharusan. Inilah awal kebangkitan
pendidikan karakter. Karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan dan
Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan
(knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan
kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu
seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian maka
pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku
manusia menuju standar-standar baku. Upaya ini juga memberi jalan untuk
menghargai persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di sekolah.
Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi
prakteknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting yang
mencakup perkembangan sosial siswa.
Pembentukan dan pendidikan karakter merupakan upaya yang harus
melibatkan semua pihak rumah tangga dan keluarga sekolah dan lingkungan
sekolah. Pendidikan karakter melalui sekolah merupakan usaha mulia yang
mendesak untuk dilakukan. Bahkan kalau berbicara tentang masa depan,
4 Menurut Wand dan Brown ( 1957) mendefinisikan evaluasi sebagai refer to the act proccess to
determining the value of something. Wand Edwin and General W. Brown, Essential of educational Evaluation ( New York: 1979, vol 27), 867. Evaluasi mengacu kepada suatu proses untuk menentukan nilai
suatu yang dievaluasi. Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum berbasis KBK.
( Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2005),hal.181 5 Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
155
sekolah bertanggung jawab bukan hanya mencetak peserta didik yang
unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam karakter
dan kepribadian.
Usaha pembentukan dan pendidikan karakter melalui sekolah, menurut
Azyumardi Azra bisa dilakukan setidaknya melalui pendekatan sebagai
berikut:
1) Menerapkan pendekatan modelling atau axemplary atau uswatun
hasanah, yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah
untuk menghidupkan dan menegakkkan nilai-nilai akhlak dan moral yang
benar melalui suri tauladan
2) Menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus
menerus tentang berbagai nilai yang baik dan nilai yang buruk.
3) Menerapkan pendidikan berdasarkan karakter ( character based
education). Hal ini bisa dilaksanakan dengan memaksukkan pendidikan
karakter ke dalam setiap pelajaran yang ada. Atau melakukan reorientasi
baru baik dari segi isi dan pendekatan terhadap mata pelajaran yang
relevan atau berkaitan seperti mata pelajaran pendidikan agama dan
PPKN, bisa pula mencakup seluruh mata pelajaran umum dan muatan
local.6
Jika dikaitkan antara evaluasi dengan pendidikan karakter hingga
menjadi suatu term evaluasi berbasis pendidikan karakter maka evaluasi
berbasis pendidikan karakter adalah penilaian untuk mengetahui proses
pendidikan dan komponen-komponennyadengan instrumen yang terukur dan
berlandaskan ketercapaian karakter yang diinginkan. Dalam pendidikan
karakter, evaluasi sangat penting dilakukan karena untuk mengukur sejauh
mana keberhasilan dalam proses pembelajaran tersebut.
Pendidikan karakter menanamkan nilai-nilai yang sangat sinkron
dengan pendidikan agama islam dan secara tidak langsung maka untuk
proses evaluasinya bisa digunakan evaluasi dalam wacana pendidikan Islam.
Term atau istilah evaluasi dalam wacana pendidikan Islam tidak diperoleh
padanan katanya yang pasti, tetapi terdapat term atau istilah-istilah tertentu
yang mengarah pada makna evaluasi.7 Term-term tersebut adalah:
6 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi ( Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara, 2002 ),hal. 187-186. 7 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,( Jakarta: Kalam Mulia, 2004),hal. 198.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
156
1) Al-Hisab, memiliki makna mengitung, menafsirkan dan mengira. Hal ini
dapat dilihat dalam firman Allah SWT QS. Al-Baqarah, 2 : 284.Begitu
pula dalam QS. Al-Ghasyiyah (88) Ayat 26.
2) Al-Bala , memiliki makna cobaan dan ujian. Terdapat dalam firman
Allah SWT(QS. Al-Mulk, 67: 2).
3) Al-Hukm, memiliki makna putusan atau vonis.Misalnya dalam firman
Allah SWT, ( Q.S An-Naml: 78 )
4) Al-Qadha, memiliki arti putusan. Misalnya dalam firman Allah SWT(
Q.S Thaha: 72)
5) Al-Nazhr, memiliki arti melihat. Misalnya dalam firman Allah SWT Q.S
Al-Naml: 27)
6) Al-Imtihan, berarti ujian yang juga berasal dari kata mihnah. Bahkan
dalam Alquran terdapat surat yang menyatakan wanita-wanita yang diuji
dengan menggunakan kata imtihan, yaitu surat al-Mumtahanah. Firman
Allah Swt. yang berkaitan dengan kata imtihan ini terdapat pada surat al-
Mumtahanah (60) ayat 10.
7) Al-ikhtibar, memiliki makna ujian atau cobaan/al-bala. Orang Arab
sering menggunakan kata ujian atau bala dengan sebutan ikhtibar.
Bahkan di lembaga pendidikan bahasa Arab menggunakan istilah
evaluasi dengan istilah ikhtibar.
Beberapa term tersebut di atas dapat dijadikan petunjuk arti evaluasi
secara langsung atau hanya sekedar alat atau proses di dalam evaluasi. Hal
ini didasarkan asumsi bahwa Alquran dan Hadis merupakan asas maupun
prinsip pendidikan Islam, sementara untuk operasionalnya tergantung pada
ijtihad umat. Term evaluasi pada taraf berikutnya lebih diorientasikan pada
makna penafsiran atau memberi putusan terhadap pendidikan. Setiap
tindakan pendidikan didasarkan atas rencana, tujuan, bahan, alat dan
lingkungan pendidikan tertentu. Berdasarkan komponen ini, maka peran
penilaian dibutuhkan guna mengetahui sejauh mana keberhasilan pendidikan
tercapai. Dari pengertian ini, proses pelaksanaan penilaian lebih ditekankan
pada akhir tindakan pendidikan. Penilaian dalam pendidikan dimaksudkan
untuk menetapkan keputusan-keputusan pendidikan, baik yang menyangkut
perencanaan, pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan, baik yang
menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan. Dalam konteks
ini, penilaian dalam pendidikan Islam bertujuan agar keputusan-keputusan
yang berkaitan dengan pendidikan Islam benar-benar sesuai dengan niai-
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
157
nilai Islami sehingga tujuan pendidikan Islam yang dicanangkan dapat
tercapai secara maksimal.8
Selanjutnya jenis evaluasi dapat dibedakan sebagai berikut:
1) Jenis evaluasi berdasarkan tujuan dibedakan atas lima jenis evaluasi,
yaitu:
a. Evaluasi diagnostik, adalah evaluasi yang di tujukan untuk menelaah
kelemahan-kelemahan siswa beserta faktor-faktor penyebabnya.
b. Evaluasi selektif adalah adalah evaluasi yang digunakan untuk
memilih siwa yang paling tepat sesuai dengan kriteria program
kegiatan tertentu.
c. Evaluasi penempatan adalah adalah evaluasi yang digunakan untuk
menempatkan siswa dalam program pendidikan tertentu yang sesuai
dengan karakteristik siswa.
d. Evaluasi formatif adalah adalah evaluasi yang dilaksanakan untuk
memperbaiki dan meningkatkan proses belajar dan mengajar.
Sebagaiman dikemukakan oleh Frederich G. Knikr, formative
evaluation looks at the process of Learning and teaching while the
instruction disain is being develop and materials produced.
e. Evaluasi sumatif adalah adalah evaluasi yang dilakukan untuk
menentukan hasil dan kemajuan belajar siswa. Penilaian ini
dilaksanakan terhadap program/ desain yang telah diimplementasikan.
2) Jenis evaluasi berdasarkan sasaran
a. Evaluasi konteks yang ditujukan untuk mengukur konteks program
baik mengenai rasional tujuan, latar belakang program, maupun
kebutuhan-kebutuhan yang muncul dalam perencanaan
b. Evaluasi input, evaluasi yang diarahkan untuk mengetahui input baik
sumber daya maupun strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.
c. Evaluasi proses, evaluasi yang ditujukan untuk melihat proses
pelaksanaan, baik mengenai kalancaran proses, kesesuaian dengan
rencana, faktor pendukung dan faktor hambatan yang muncul dalam
proses pelaksanaan, dan sejenisnya.
d. Evaluasi hasil atau produk, evaluasi yang diarahkan untuk melihat
hasil program yang dicapai sebagai dasar untuk menentukan keputusan
akhir, diperbaiki, dimodifikasi, ditingkatkan atau dihentikan
8 Ngalim Purwanto. Evaluasi Pengajaran.( Bandung: Remaja Karya, 1955),hal.12.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
158
e. Evaluasi outcome atau lulusan, evaluasi yang diarahkan untuk melihat
hasil belajar siswa lebih lanjut, yakni evaluasi lulusan setelah terjun ke
masyarakat.
3) Jenis evalusi berdasarkan lingkup kegiatan pembelajaran:
a. Evaluasi program pembelajaran, yang mencakup terhadap tujuan
pembelajaran, isi program pembelajaran, strategi belajar mengajar,
aspek-aspek program pembelajaran yang lain.
b. Evaluasi proses pembelajaran, yang mencakup kesesuaian antara
peoses pembelajaran dengan garis-garis besar program pembelajaran
yang di tetapkan, kemampuan guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran, kemampuan siswa dalam mengikuti proses
pembelajaran.
c. Evaluasi hasil pembelajaran, mencakup tingkat penguasaan
b) siswa terhadap tujuan pembelajaran yang ditetapkan, baik umum
maupun khusus, ditinjau dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik.
4) Jenis evaluasi berdasarkan objek dan subjek evaluasi
Berdasarkan Objek antara lain:
a. Evaluasi input, evaluasi terhadap siswa mencakup kemampuan
kepribadian, sikap, keyakinan.
b. Evaluasi transformasi, evaluasi terhadap unsur-unsur transformasi
proses pembelajaran antara lain materi, media, metode dan lain-lain.
c. Evaluasi output, evaluasi terhadap lulusan yang mengacu pada
ketercapaian hasil pembelajaran.
Berdasarkan subjek :
a. Evaluasi internal, evaluasi yang dilakukan oleh orang dalam sekolah
sebagai evaluator, misalnya guru.
b. Evaluasi eksternal, evaluasi yang dilakukan oleh orang luar sekolah
sebagai evaluator, misalnya orangtua, masyarakat.
2. Tujuan dan Fungsi Evaluasi dalam Pendidikan karakter
Secara rasional filosofis, pendidikan Islam bertugas untuk membentuk al-
Insan al-Kamil atau manusia paripurna. Karena itu evaluasi pendidikan Islam,
hendaknya diarahkan pada dua dimensi, yaitu: dimensi dialektikal horizontal dan
dimensi ketundukan vertical.9 Tujuan evaluasi pendidikan adalah mengetahui
9 Abdul al-Aziz, dkk. Dalam Hasan Langgulung, Pendidikan dan peradaban Islam, al-Hasan. ( Jakarta:
Indonesia, 1985), 3
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
159
kadar pemahaman anak didik terhadap materi pelajaran, melatih keberanian dan
mengajak anak didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan.
Selain itu, program evaluasi bertujuan mengetahui siapa di antara peserta didik
yang cerdas dan yang lemah, sehingga naik tingkat, kelas maupun tamat. Tujuan
evaluasi bukan anak didik saja, tetapi bertujuan mengevaluasi pendidik, yaitu
sejauh mana pendidik bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya untuk
mencapai tujuan pendidikan Islam.Dalam pendidikan Islam, tujuan evaluasi
ditekankan pada penguasaan sikap, keterampilan dan pengetahuan-pemahaman
yang berorientasi pada pencapaian al-insan al-kamil.10
Penekanan ini bertujuan
untuk mengetahui kemampuan peserta didik yang secara garis besar meliputi
empat hal, yaitu:
1) Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya
2) Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat
3) Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam
sekitar; dan
4) Sikap dan pandangan terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah SWT,
anggota masyarakat serta khalifah-Nya.
Dari keempat dasar tersebut di atas, dapat dijabarkan dalam beberapa
klasifikasi kemampuan teknis, yaitu:
a. Sejauh mana loyalitas dan pengabdiannya kepada Allah Swt. dengan
indikasi-indikasi lahiriah berupa tingkah laku yang mencerminkan keimanan
dan ketakwaan kepada Allah Swt.
b. Sejauh mana peserta didik dapat menerapkan nilai-nilai agamanya dan
kegiatan hidup bermasyarakat, seperti akhlak yang mulia dan disiplin
c. Bagaimana peserta didik berusaha mengelola dan memelihara, serta
menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya, apakah ia merusak ataukah
memberi makna bagi kehidupannya dan masyarakat dimana ia berada
d. Bagaimana dan sejauh mana ia memandang diri sendiri sebagai hamba Allah
Swt. dalam menghadapi kenyataan masyarakat yang beraneka ragam
budaya, suku dan agama.
Secara filosofis fungsi evaluasi selain menilai dan mengukur juga
memotivasi serta memacu peserta didik agar lebih bersungguh-sungguh dan
sukses dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan Islam. Secara praktis
fungsi evaluasi adalah (a) secara psikologis, peserta didik perlu mengetahui
10 Omaar Mohammad al-Toumu M. Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Alih bahasa Dr. Hasan
Langgulung ( Jakarta: Cet. I, Bulan Bintang, 1979), hal.339
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
160
prestasi belajarnya, sehingga ia merasakan kepuasan dan ketenangan, (b)
secara sosiologis, untuk mengetahui apakah peserta didik sudah cukup
mampu untuk terjun ke masyarakat. Mampu dalam arti dapat berkomunikasi
dan beradaptasi dengan seluruh lapisan masyarakat dengan segala
karakteristiknya, (c) secara didaktis-metodis, evaluasi berfungsi untuk
membantu guru dalam menempatkan peserta didik pada kelompok tertentu
sesuai dengan kemampuan dan kecakapannya masing-masing, (d) untuk
mengetahui kedudukan peserta didik di antara teman-temannya, apakah ia
termasuk anak yang pandai, sedang atau kurang, (e) untuk mengetahui taraf
kesiapan peserta didik dalam menempuh program pendidikannya, (f) untuk
membantu guru dalam memberikan bimbingan dan seleksi, baik dalam rangka
menentukan jenis pendidikan, jurusan maupun kenaikan tingkat/kelas, (g)
secara administratif, evaluasi berfungsi untuk memberikan laporan tentang
kemajuan peserta didik kepada pemerintah, pimpinan/kepala sekolah,
guru/instruktur, termasuk peserta didik itu sendiri.11
Fungsi evaluasi pendidikan islam adalah sebagai umpan balik ( feed
back ) terhadap kegiatan pendidikan. Umpan balik ini berguna untuk:
1. Ishlah yaitu perbaikan terhadap semua komponen-komponen pendidikan,
termasuk perilaku, wawasan dan kebiasaan-kebiasaan.
2. Tazkiyah yaitu penyucian terhadap semua komponen-komponen
pendidikan.
3. Tajdid yaitu memodernisasi semua kegiatan pendidikan
4. Al-Dakhil yaitu masukan sebagai laporan bagi orang tua murid berupa
rapor, ijazah, piagam dan sebagainya.
3. Prinsip-prinsip Evaluasi dalam Pendidikan karakter
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam evaluasi pendidikan
Islam, yaitu: prinsip kontinuitas, prinsip menyeluruh, prinsip obyektivitas, dan
prinsip mengacu pada tujuan.
1) Prinsip Kesinambungan (kontinuitas)
Bila aktivitas pendidikan Islam dipandang sebagai suatu proses untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu, maka evaluasi pendidikannya pun harus
dilakukan secara kontinu. Prinsip ini selaras dengan istiqamah dalam Islam,
yaitu setiap umat Islam hendaknya tetap tegak beriman kepada Allah Swt.,
11 Suharsimi Arikunto. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), hal. 10.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
161
yang diwujudkan dengan senantiasa mempelajari Islam, mengamalkannya,
serta tetap membela tegaknya agama Islam, sungguhpun terdapat berbagai
tantangan yang senantiasa dihadapinya.
Dalam ajaran Islam, sangat memperhatikan prinsip kontinuitas, karena
dengan berpegang pada prinsip ini, keputusan yang diambil oleh seseorang
menjadi valid dan stabil, sebagaimana diisyaratkan Alquran dalam Surah Al-
Ahqaf (46) Ayat 13-14.
2) Prinsip Menyeluruh (komprehensif)
Prinsip yang melihat semua aspek, meliputi kepribadian, ketajaman
hafalan, pemahaman ketulusan, kerajinan, sikap kerjasama, tanggung jawab
dan sebagainya, sebagaimana diisyaratkan dalam Alquran Surat Al-Zalzalah
(99) Ayat 7-8.
3) Prinsip objektivitas.
Objektif dalam arti bahwa evaluasi itu dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya, berdasarkan fakta dan data yang ada tanpa dipengaruhi oleh unsur-
unsur subjektivitas dari evaluator. Allah SWT. memerintahkan agar
seseorang berlaku adil dalam mengevaluasi. Jangan karena kebencian
menjadikan ketidakobjektifan evaluasi yang dilakukan (QS. Al-Maidah, 5:
8), Prinsip ini hanya dapat ditetapkan bila penyelenggara pendidikan
mempunyai sifat siddiq, jujur, ikhlas, taawun, ramah, dan lainnya.
4) Prinsip mengacu kepada tujuan.
Setiap aktivitas manusia sudah pasti mempunyai tujuan tertentu,
karena aktivitas yang tidak mempunyai tujuan berarti merupakan atau
pekerjaan sia-sia.
4. Sistem Evaluasi dalam Pendidikan karakter
Sistem evaluasi dalam pendidikan Islam mengacu pada sistem evaluasi
yang digariskan oleh Allah SWT, dalam Alquran dan dijabarkan dalam Sunah,
yang dilakukan Rasulullah SAW dalam proses pembinaan risalah Islamiyah.
Secara umum sistem evaluasi pendidikan Islam sebagai berikut:
1) Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai
macam problema kehidupan yang dihadapi (QS. Al-Baqarah, 2: 155).
2) Untuk mengetahui sejauhmana atau sampai dimana hasil pendidikan wahyu
yang telah diaplikasikan Rasulullah SAW. kepada umatnya (QS. Al-Naml,
27: 40).
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
162
3) Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat hidup keislaman atau keimanan
seseorang, seperti pengevaluasian Allah SWT. terhadap nabi Ibrahim as.
yang menyembelih Ismail as. putra yang dicintainya (QS. Al-Shaaffat, 37:
103-107).
4) Untuk mengukur daya kognisi, hafalan manusia dan pelajaran yang telah
diberikan kepadanya, seperti pengevaluasian terhadap nabi Adam as. tentang
asma` yang diajarkan Allah SWT. kepadanya di hadapan para malaikat (QS.
Al-Baqarah, 2: 31).
5) Memberikan semacam tabsyir (berita gembira) bagi yang beraktivitas baik,
dan memberikan semacam iqab (siksa) bagi mereka yang beraktivitas buruk
(QS. Al-Zalzalah, 99: 7-8).
6) Allah SWT. dalam mengevaluasi hamba-Nya, tanpa memandang formalitas
(penampilan), tetapi memandang subtansi di balik tindakan hamba-hamba
tersebut (QS. Al Hajj, 22: 37).
7) Allah SWT. memerintahkan agar berlaku adil dalam mengevaluasi sesuatu,
jangan karena kebencian menjadikan ketidakobjektifan evaluasi yang
dilakukan (QS. Al-Maidah, 5: 8).
5. Sasaran Evaluasi dalam Pendidikan karakter
Langkah yang harus ditempuh seorang pendidik dalam mengevaluasi
adalah menetapkan apa yang menjadi sasaran evaluasi tersebut. Sasaran evaluasi
sangat penting untuk diketahui supaya memudahkan pendidik dalam menyusun
alat-alat evaluasinya. Pada umumnya ada tiga sasaran pokok evaluasi, yaitu: 12
1) Segi tingkah laku, artinya segi-segi yang menyangkut sikap, minat,
perhatian, keterampilan peserta didik sebagai akibat dari proses belajar
mengajar
2) Segi pengetahuan, artinya penguasaan pelajaran yang diberikan oleh guru
dalam proses belajar mengajar
3) Segi yang menyangkut proses belajar mengajar yaitu bahwa proses belajar
mengajar perlu diberi penilaian secara obyektif dari guru. Sebab baik
tidaknya proses belajar mengajar akan menentukan baik tidaknya hasil
belajar yang dicapai oleh peserta didik.
C. Kesimpulan
12 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan anak didik dalam interaksi edukatif Suatu Pendekatan Teoritis
Psikologis. ( Jakarta: PT rieneka Cipta, 2005), hal.248
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
163
Evaluasi dalam pendidikan karakter adalah penilaian untuk mengetahui
proses pendidikan dan komponen-komponennya dengan instrumen yang terukur
dan berlandaskan ketercapaian karakter yang diinginkan.Tujuan evaluasi
pendidikan adalah mengetahui kadar pemahaman anak didik terhadap materi
pelajaran, melatih keberanian dan mengajak anak didik untuk mengingat kembali
materi yang telah diberikan. Program evaluasi bertujuan mengetahui siapa di
antara peserta didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga naik tingkat, kelas
maupun tamat. Tujuan evaluasi bukan anak didik saja, tetapi bertujuan
mengevaluasi pendidik, yaitu sejauh mana pendidik bersungguh-sungguh dalam
menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Ada beberapa
prinsip yang harus diperhatikan dalam evaluasi pendidikan Islam, yaitu: prinsip
kontinuitas, prinsip menyeluruh, prinsip obyektivitas, dan prinsip mengacu pada
tujuan. Dalam implementasi evaluasi dalam pendidikan karakter memang tidak
semudah membalik tangan, namun itu semua adalah tantangan bagi dunia
pendidikan sekarang dan masa mendatang. Jika dalam pembelajaran guru belum
mampu mengevaluasi siswa dalam evaluasi pendidikan karakter maka harus ada
korelasi positif dengan lingkungan sekitar misal keluarga dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi Arikunto. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2003.
Al-Aziz, Abdul dkk. Dalam Hasan Langgulung, Pendidikan dan peradaban
Islam, al-Hasan. Jakarta: Indonesia, 1985.
Azra, Azyumardi. Catatan tentang Evaluasi atas arah pendidikan serta
fungsionalisasi Pemikiran Pendidikan di Indonesia. Makalah pada Diskusi
Ahli Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik. Jakarta: Yayasan Fase Baru Indonesia, 25 0ktober 1999.
-----------, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan
Demokratisasi . Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
164
Jamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak didik dalam interaksi edukatif- Suatu
Pendekatan Teoretis Psikologis. Jakarta: PT Rieneka Cipta, 2005.
Purwanto,Ngalin. Evaluasi Pengajaran.Bandung: Remaja Karya, 1955.
Ramayulis, Teknik Evaluasi Pendidikan agama Islam di Madrasah, Makalah,
Fak. Tarbiyah IAIN Batusangkar,1996.
-----------, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2004.
Soeharto, Karti. Teknologi Pembelajaran, Pendekatan sistem, konsepsi dan
model, SAP, evaluasi, sumber belajar dan Media. Surabaya : SIC
advertising, 2003.
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wand Edwin and General W. Brown, Essential of educational Evaluation. New
York: 1979, vol 27.
Syaibany, Omaar Mohammad al-Toumu M. Falsafah Pendidikan Islam, Alih
bahasa Dr. Hasan Langgulung, Jakarta: Cet. I, Bulan Bintang, 1979.
Samani, M. & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter.Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya. 2011
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
165
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TRADISI LOKAL
Bani Sudardi 1
Abstract
Local traditions contain character educations for their owner. Every people has
specific in character education. Cheater education has to uncover from culture
elements; language, literature works, customs, and so on. In this era we see our
nation take away their character educations that they have get them for centuries
to take care of their identities. The put foreign culture (pop, trend), but in the
next time it show us many problems have to be solved.
Keywords: Pendidikan karakter, tradisi lokal, identitas
A. Pendahuluan
Apa yang kita rasakan, apa yang terjadi, apa yang menjadi impian kita di
masa depan, tidaklah lepas dari masa lampau. Manusia hadir sebagai akumulasi
sejarah kebudayaan yang tidak pernah berhenti pada titik nol. Kebudayaan
manusia selalu bergulir, mengalir, menuju suatu tatanan-tatanan baru dan setiap
kali tatatan itu mencapai stabilitas, maka itu bermakna akan adanya tatanan baru
yang akan menggeser di waktu kemudian.
Kebudayaan manusia harus selalu siap untuk diuji, direvisi, diganti
sehingga melahirkan wujud baru sebagai hasil dari transformasi. Di dalam proses
perubahan kebudayaan unsur-unsur lama akan selalu ada bagian yang resisten.
Bagian yang resisten tersebut merupakan bagian yang sudah mendarah daging
dalam kebudayaan.
Sebagai ilustrasi, kalau kita mengkaji peta sejarah kebudayaan Jawa,
maka akan tampak bahwa di dalam setiap kurun sejarah akan selalu saja ada
unsur-unsur resisten yang berterima, meskipun hadir dalam kondisi yang baru,
meskipun unsur tersebut seringkali merupakan sesuatu yang kontradiktif.
Hal ini bisa kita lacak dari sejarah, misalnya munculnya Majapahit tetap
menonjolkan sisa-sisa Singasari. Raja Majapahit, Raden Wijaya, tidak lain
adalah pembawa bendera Singasari. Ketika Majapahit runtuh dan muncul
1 Bani Sudardi, FSSR Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
166
kerajaan Demak, maka penguasa Demak yang didukung oleh para wali tidak lain
adalah putra Majapahit. Konon Raden Patah adalah putra Raja Majapahit.
Dalam bangunan, Masjid Demak pun masih mengadopsi arsitektur Majapahit
dengan masjid atap tumpang. Konon, menurut cerita rakyat, Kraton Majapahit
pun diboyong ke Demak dan dipasang di depan Masjid Demak dan satu umpak
saka tertinggal di Grobogan yang kemudian disebut sebagai watu bobot.
Hal lain yang menunjukan resistensi unsur Hindu di masa Islam adalah
bangunan menara di Masjid Kudus. Menara tersebut sama bentuknya dengan
bangunan Hindu Bali dewasa ini. Dalam hal tingkah laku, masyarakat Kudus
sampai saat ini (sebagian) masih pantang menyembelih sapi, bahkan untuk
korban Idul Adha sekalipun dan menggantinya dengan kerbau. Padahal sapi
adalah binatang yang dihalalkan dalam Islam dan menjadi salah satu nama surat,
yakni Surat Al-Baqarah (Sapi Betina).
Ilustrasi yang disampaikan di atas mengandung suatu pesan-pesan
tersirat dan tersurat bahwa manusia hidup ini di dalam keberlanjutan.
Eksistensi kita ada tidak berawal dari Suwung atau kosong, tetapi kita hadir
dalam keadaan sudah memiliki Sangu (bekal) yang diberikan pendahulu-
pendahulu kita. Sangu tersebut adalah suatu hasil pergumulan yang dahsyat
sepanjang masa yang boleh jadi merupakan suatu kearifan yang sudah teruji.
Salah satu wujud Sangu adalah hal-hal yang tertuang dalam bahasa dan bahasa
itu sendiri. Di unsur-unsur budaya tersebut ada suatu pendidikan karakter yang
akan diuraikan berikut ini.
B. Bahasa
Bahasa adalah karunia yang diberikan kepada manusia yang memiliki
peran yang luar biasa dalam perkembangan kebudayaan. Boleh jadi, bahasa
inilah yang secara naluri membedakan manusia dari jenis mamalia. Bahasa inilah
yang boleh jadi yang merupakan pembeda antara hewan dan manusia. Kenapa?
Secara fisik, manusia dengan hewan tidaklah jauh berbeda, bahkan dengan
beberapa jenis simpanse, manusia memiliki kedekatan struktur. Namun, di muka
bumi hanyalah manusia yang secara kodrati memiliki bahasa. Hewan di
manapun berada tidak mengembangkan bahasa, tetapi jenis manusia di manapun
berada ternyata memiliki kemampuan bahasa, meskipun manusia tersebut
terisolir dari kebudayaan luar.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
167
Dengan bahasa manusia mampu berkomunikasi, menyimpan informasi,
mengekspresikan diri, memprediksi masa depan, atau dengan kata lain bisa
menciptakan manajemen kehidupan yang lebih teratur. Kalau saya boleh sebut,
bahasa inilah Sangu/ bekal manusia dalam berbudaya. Bahasa mengekspresikan
gagasan-gagasan yang dimiliki suatu bangsa sesuatu dengan gagasan-gagasan
berdasarkan pengalaman sejarah suatu bangsa. Lewat bahasa ini pendidikan
karakter paling utama disampaikan.
Pendidikan karakter tampak dalam makna kemerdekaan. Sebagai
ilustrasi, bagi bangsa yang belum pernah dijajah, bisa jadi kata merdeka tidak
memiliki makna yang demikian menggetarkan hati. Tetapi bagi bangsa yang
pernah dijajah, sebagaimana bangsa Indonesia, kata merdeka memiliki makna
yang sangat dalam yang mampu menggetarkan hati, menggerakkan tenaga, dan
mempersatukan bangsa. Pekikakan Bung Karna, Bung Tomo, yang berteriak
Merdeka akan disambut menggema penuh makna, bahkan sampai menitikan
air mata Namun, mungkin makna tersebut akan jauh berbeda nuansa batinnya
bagi generasi muda dewasa ini yang menyaksikan makna pekik merdeka hanya
dari buku sejarah atau cerita perjuangan.Meskipun demikian, makan tersebut
patut ditransformasikan kepada generasi muda untuk mewarisi nilai-nilai
perjuangan yang harus ditranformasikan menjadi merdeka secara ekonomi,
merdeka secara politik, merdeka secara sistem, merdeka secara teknologi,
merdeka informasi, merdeka kesehatan, merdeka kekayaan, merdeka pengelollan
hutan, migas, merdeka modal kita. Sudahkah kita betul-betul merdeka. Masihkah
kita perlu memekik merdeka? Di dalam bahasa ada suatu pendidikan karakter
yang luar biasa yang dapat dimanfaatkan untuk membangun karakter bangsa.
C. Mencari Identitas
Pendidikan karakter yang sangat penting ialah memahami identitas diri.
Salah satu ciri kehidupan manusia yang membedakan dengan binatang ialah
dalam hal rumah. Bagi binatang, rumah ini sering disebut sarang. Secara fisik,
rumah binatang relatif sama sepanjang masa. Seekor burung manyar akan
membuat rumahnya sama dengan rumah yan telah diciptakan induknya ketika
dia belum menetas dan itu dikerjakan tanpa kursus hanya berdasar naluri yang
dibawanya.
Tapi bagi manusia, kemampuan naluriah seperti itu tampaknya justru
meluntur. Untuk membuat rumah manusia mewarisi kemampuan yang dipelajari.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
168
Manusia ternyata mampu mengimitasi berbagai bentuk rumah yang ia lihat dan
manusia mampu mengkreasi. Fungsi rumah tidak hanya sebagai sarang tetapi
telah berkembang ke tataran spiritual. Dalam budaya Jawa, sebutan rumah ada 3,
yaitu omah, dalem, dan griya. Omah berari tempat, daem bermakna sebagai
tempat berteduh, sedangkan griya dari kata giri raya, gunung besar yang
bermakna bahwa rumah adalah kayangan, tempat dewa bersemayam yang
memiliki makna bahwa rumah adalah imitasi kediaman para dewa yang damai,
kecukupan, dan sejahtera2.
Uraian di atas hanya ingin menfokuskan bahwa bagi seseorang, identitas
pribadi atau sosial bukan lagi pada aspek lahiriah, tetapi sudah ke aspek spiritual,
sebagaimana memaknai rumah yang bukan lagi berhenti pada arti tinggal, tetapi
sudah masuk ke tataran metafisis bahwa rumah adalah ibarat tempat tinggal
Dewa Syiwa dan penghuninya mengidentifikasikan sebagai Dewa Syiwa itu
sendiri.
Mengenai pentingnya rumah sebagai pusat pendidikan karakter dan pusat
identitas ini, dalam tunttunan agama Islam disebutkan rumahku surgaku.
Artinya, dalam pendidikan karakter suatu tempat mukim adalah hal yang prinsip.
Hal ini diungkapkan dalam bahasa Jawa ora kabur kanginan, yang bermakna
ada kepastian mukim.
D. Melacak Identitas Spiritual
Identitas dalam pendidikan karakter tidak berhenti pada aspek mukim,
rumah, atau tempat tinggal. Namun, pemahaman aspek historis sangat penting.
Masalah ini saya sebut sebagai Melacak identitas. Identitas spiritual manusia
memang perlu dilacak. Pelacakan mau tidak mau memang dititikberatkan pada
karya-karya tertulis, di antaranya naskah klasik. Kenapa naskah klasik? Karena
naskah klasik memerlukan penanganan khusus untuk memahaminya. Naskah
klasik sering sudah tidak dikenal oleh masyarakatnya. Untuk membaca dan
mengkajinya perlu waktu bersuntuk-suntuk, sementara masyarakat pemiliknya
kadangkala sudah tidak memperhatikan lagi. Sebagai contoh, naskah klasik Jawa
yang jumlahnya ribuan eksemplar mungkin sudah tidak dikenal lagi generasi
muda Jawa dewasa ini, bahkan kemungkinan besar mayoritas generasi muda
2 Sulistyono, Bambang F. Arti Rumah Bagi Keluarga: Tinjauan
Arsitektural. Haluan Sastra Budaya No. 55 Tahun XXVII Nopember 2009,
hal, 1.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
169
Jawa tidak memahami dengan baik tulisan Jawa (ha na ca ra ka). Ironisnya,
seringkali orang-orang asing yang jauh dari negeri seberang yang lahir dari
kebudayaan yang amat berbeda merelakan hidupnya untuk mempelajari naskah-
naskah klasik kita, bahkan selanjutnya mereka menjadi guru-guru kita dalam
menggali khasanah budaya masa lampau. Di sini kita memerlukan suatu
renaisans budaya untuk menghargai karya-karya tertulis kita.
Pertanyaan yang mudah sekali muncul: Untuk apa naskah-naskah klasik
dipelajari? Mempelajari naskah klasik memiliki relevansi secara teoretis dan
praktis. Secara teoretis, naskah klasik menyimpan berbagai informasi yang
berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan kandungan
informasi yang dibawanya seperti sastra, sejarah, pengobatan, adat istiadat,
agama, dan sebagainya3. Di naskah klasik juga tersedia bahan-bahan bagi tujuan
praktis seperti menyusun gambaran masa lampau untuk kepentingan persatuan,
mencari nilai-nilai luhur masa lalu, membangun kebudayaan, mencari inspirasi,
dan sebagainya.
Beberapa konsep yang sekarang kita kenal betul sebenarnya bersumber
dari teks-teks klasik seperti bhineka tunggal ika, Pancasila, nusantara, adigang-
adigung adiguna, tirakatan, dan sebagainya. Pengetahuan sejarah Indonesia
masa lampau juga kita peroleh dengan agak lengkap berkat naskah-naskah
klasik, misalnya tentang petualangan Ken Arok yang fantastis (Pararaton),
kebesaran Majapahit (Negarakrtagama), masuknya Islam ke Aceh (Hikayat
Raja-Raja Pasai), hubungan Jawa dan Kalimantan (Hikayat Banjar), ajaran
Hamzah Fansuri dan Seh Siti Jenar, dan lain-lain. Artinya, kekayaan tertulis
tersebut sangat berharga sebagai penyedia data bagi penyusunan strategi
kebudayaan.
E. Strategi Kebudayaan
Strategi kebudayaan adalah suatu usaha manusia untuk menemukan
jawaban-jawaban tepat dan sikap yang paling dapat dipertanggungjawabkan
mengenai pertanyaan-pertanyaan besar yang berkaitan dengan kelangsungan
hidup manusia4. Strategi kebudayaan bersifat abstrak yang menjiwai berbagai
3 Soeratna, Siti Chamamah. Filologi Sebagai Pengungkap Orisionalitas dan Transformasi
Produk Budaya. Pidato Pembukaan Kuliah 3 September 2003. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada 4 Peursen, C.A. van.. Strategi Kebudayaan. (Yogyakarta: Yayasan Kanisus. 1976),
hlm. 19.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
170
aktivitas keseharian. Strategi kebudayaan merupakan suatuh hal yang dinamis
seiring tantangan-tantangan budaya yang muncul di masyarakat.
Strategi kebudayaan tampak dalam berbagai bentuk hasil budaya. Cerita
kancil di Jawa adalah suatu bentuk pendidikan karakter. Tokoh yang dikenal
suka menipu lawan-lawannnya adalah cerminan strategi budaya masyarakat
Jawa. Cerita tersebut merupakan bentuk sikap budaya orang Jawa yang tidak
suka open conflict. Cerita ini berbeda dengan cerita kancil Melayu berjudul
Hikayat Pelanduk Jenaka yang di dalamnya kancil tampak dinamis, bahkan
bergelar Syah Alim Dirimba yang berhasil merajai hewan-hewan di belantara5.
Cerita kancil mengandung aspek pendidikan karakte ryang kental. Cerita
kancil yang suka menipu merefleksikan strategi kebudayaan orang Jawa yang
tidak suka konflik terbuka dan tidak berterus terang. Di dalam budaya Jawa,
menipu memiliki tingkat-tingkat hirarkis.
a. Menipu yang mulia yang disebur dora sembada (menipu untuk membela
kebaikan dan kebenaran).
b. Menipu yang dianggap biasa dan dapat membawa keberuntungan yang
dikenal goroh nguripi. Perbuatan ini adalah perbuatan pedagang dalam
membujuk pembelinya yang juga sering menggunakan kata-kata tipuan.
c. Menipu untuk menjaga kesopanan yang dikenal ulas-ulas. Misalnya
sebenarnya lapar, tetapi menyatakan kenyang, menyatakan nggih (ya), tetapi
sebenarnya tidak, dan sebagainya
d. Menipu yang tidak merugikan orang lain, tetapi tidak disenangi. Contoh
tindakan ini ialah umuk, yaitu menceritakan sesuatu yang tidak sesuai
dengan kenyataan. Umuk merupakan refleksi untuk menutupi kekurangan
pribadi seperti tercermin dalam ungkapan timbang mati ngantuk luwung
mati umuk (daripada mati mengantuk lebih baik mati sombong.
e. Menipu yang merugikan orang lain yang disebut apus-apus atau apus krama.
Tindakan ini adalah tindakan menipu yang menurut budaya Jawa dianggap
perbuatan yang tidak dapat dimaafkan.
Demikian contoh kecil pendidikan karakter melalui strategi kebudayaan
yang diambil dari budaya Jawa. Bagi orang yang belum memahami budaya
Jawa, perbuatan menipu seperti itu mungkin dianggap perbuatan yang sangat
5 Dipodjojo, Asdi S. Sang Kancil: Tokoh Tjerita Binatang Indonesia. (Djakarta: Gunung
Agung.,1966)
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
171
menjengkelkan, tetapi bagi orang Jawa dianggap sesuatu yang biasa, wajar,
bahkan termasuk kesopanan.
Sementara itu, pelanduk (kancil Melayu) yang bergelar Syah Alim
Dirimba tidak lain merupakan refleksi strategi budaya Melayu yang condong ke
falsafah Islam seperti tercermindalam pepatah adat bersendikan syarak, syarak
bersendikan kitabullah. Artinya, adat Melayu berdasarkan pada syariat Islam,
sementara syariat bersandar pada Al-Quran (Kitabullah). Karena itu, pelanduk
Melayu fasih pula mensitir ayat-ayat Al-Quran. Kearifan-kearifan tersebut perlu
digali dan dikaji. Bentuk kajian yang mula-mula memang harus dilacak dari
dunia tulis menulis yang terdapat di dalam tradisi Indonesia.
F. Menggali Nilai-nilai Karakter Bangsa dalam Budaya Lokal
Perkembangan budaya Indonesia dewasa ini tidaklah menggembirakan.
Kita melihat bahwa wakil-wakil rakyat kita sering tidaklah santun dalam
bersikap, tidaklah hormat dalam berbicara, nilai-nilai etika yang luhur dalam
budaya seolah-olah Sebagai ilustrasi, majelis kekuasaan tertinggi bangsa
Indonesia adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Sesuai namanya,
unsur musyawarah hendaknya menjadi semangat. Hal ini sesuai dengan
semangat luhur bangsa kita seperti dalam pepatah bulat air di pembuluh, bulat
kata di mufakat. Untuk bisa mencapai mufakat, harus terbentuk internalisasi
diri atau pengendapan rohaniah seperti terungkap dalam pepatah Jawa bisa
rumangsa, ora rumangsa bisa (mampu berintstropeksi dan tidak menonjolkan
diri. Capaian mufakat merupakan sesuatu yang sangat bernilai daripada model
voting, misalnya, karena mufakat lebih terasa nguwongke (menghargai) dan
sangat sesuai dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradap.
Kemampuan mencapai mufakat merupakan cerminan dari kelonggaran hati dan
kebesaran jiwa. Orang yang berpikiran picik dan mementingkan diri sendiri
tentu tidak akan mampu membangun esensi kemufakatan, yaitu terbentuknya
harmoni baru yang menyejukan. Salahkah kalau nilai ini kita terapkan? Kenapa
kita mencaci maki saudara-saudar kita sendiri di depan publik demi suatu
popularitas?
Krisis yang saat ini juga dihadapi bangsa Indonesia adalah krisis
kepemimpinan. Yang menjadi pusat perhatian kita hanyalah pada bagaimana
memilih pemimpin dan tidak menyinggung pemimpin yang bagaimana yang
dipilih. Karya-karya agung bangsa kita memberikan konsep pemimpin yang
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
172
seharusnya hambeg adil paramarta, brbudi bawalekasana, bau denda
nyakrawati yang adil, murah hati, penyayang, taat menjalankan aturan, dan
mampu menyelesaikan masalah. Karena itu, gelaran raja Jawa adalah senapati
ing alaga, amirul mukminin, kalifatuloh, sayidin panatagama (panglima dalam
peperangan. pimpinan orang beriman, penguasa kerajaan, pemimpin
keagamaan. Sementara itu, Sejarah Melayu menyatakan bahwa pemimpin
adalah zilzullah fil alam (bayangan Allah di dunia). Sejarah Melayu
menggambarkan bahwa seorang pemimpin hendaknya berkasih sayang dengan
bawahannya. Sekali pemimpin berbuat aniaya pada bawahannya, maka itu
sebagai tanda awal kehancurannya.
Danang Sutawijaya adalah seorang hamba Sultan Pajang. Karena
kecerdasan otak dan kehalusan budinya, ia diangkat menjadi anak angkat Sultan
Pajang. Babad Tanah Jawi menggambarkan kegigihan Danang Sutawijaya yang
masih anak-anak dengan gagah berani melawan Harya Penangsang yang sakti.
Dengan cara tersebut Danang Sutawijaya berhasil memenangkan sayembara
memperoleh Alas Mentaok (Hutan Mentaok) yang angker kemudian bergelar
Panembahan Senopati. Dengan sabar ia membangun hutan menjadi perdikan dan
dengan sabar ia membangun hubungan baik dengan penguasa di sekitarnya
sehingga banyak penguasa takluk bukan karena perang, hamung kayungyun
marganing kautaman (tertarik kebaikannya).
Kisah tersebut merupakan gambaran yang patut dicontoh bahwa dalam
mencapai cita-cita kesabaran memang perlu. Panembahan Senapati membangun
Mataram dengan penuh kesabaran, tetapi pada saat-saat diperlukan ia mampu
bertindak gesit yang digambarkan sebagai cukat trengginas kadya srikatan
nyamber walang.
Kalau sementara ini dikatakan bahwa Panembahan Senapati mengawini
Ratu Kidul bahwa yang patut dicatat adalah kronologi kisah yang disebutkan
bahwa Ratu Kidul merasa kalah wibawa dengan Panembahan Senapati lalu Ratu
Kidul mengabdi kepadanya. Serat Wedhatama menyebutkan pamrihe mung
ameminta, supangate teki teki, nora ketang teken janggut suku jaja (maksudnya
hanya meminta, manfaat laku prihatin, meskipun dengan susah payah).
G. Penutup
Di zaman ini seringkali kita menyaksikan bangsa kita membuang
pendidikan karakter miliknya yang sudah berabad-abad terbukti mampu
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
173
mempertahankan jati dirnya dan mengambil hal-hal dari luar yang baru, yang
pop, ngetrend, namun dalam aplikasi ternyata lebih banyak menimbulkan
masalah.
Saat ini adalah saat kita harus menghargai budaya kita sendiri untuk
membentuk karakter manusia Indonesia. Saat kita membangkitkan budaya kita
yang tertidur untuk membangun masa depan kita yang lebih cemerlang dan
berjati diri. Ilmu dan teknologi boleh kita kuasai, tetapi jati diri harus tetap kita
pertahankan dengan aneka kekayaan budaya yang bernilai.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Terjemahan S. Gunawan. Jakarta: Bhratara. Casparis, J.D. 1975. De. Indonesia Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the
Beginnings to C. A.D. 1500 . Leiden: E.J. Brill. Dipodjojo, Asdi S. 1966. Sang Kancil: Tokoh Tjerita Binatang Indonesia.
Djakarta: Gunung Agung. Hussein, Ismail. 1974. The Study of Traditional Malay Literature with A Selected
Bibliography. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian
Pelajaran Malaysia. Jusuf, Jumsari. 1984. Aspek Humor dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
174
Khadiz, Antar Venus. 2003. Jepang dalam Percaturan Bisnis Global: Suatu Pendekatan Komunikasi Antar Budaya. dalam Deddy Mulyana dkk. Komuniasi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Peursen, C.A. van. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Kanisus. Ras, J.J. 1968. Hikajat Bandjar : A Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus
Nijhoff. Reynolds, L.D. dan N.G. Wilson . 1974. Scribes and Scholars : A Guide to the
Transmission of Greek and Latin Literature. London: Oxford University Press. Situmorang, T.D. dan Teeuw, A. 1952. Sedjarah Melaju. Jakarta: Penerbit
Djambatan. Soeratna, Siti Chamamah. 2003. Filologi Sebagai Pengungkap Orisionalitas dan
Transformasi Produk Budaya. Pidato Pembukaan Kuliah 3 September
2003. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Sudardi, Bani. 2003. Penggarapan Naskah. Surakarta: BPSI.
Sulistyono, Bambang F. Arti Rumah Bagi Keluarga: Tinjauan Arsitektural.
Haluan Sastra Budaya No. 55 Tahun XXVII Nopember 2009. Weddha Tama Jinarwa. Surakarta: Cendrawasih.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
175
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL SEBAGAI WAHANA
PEMBENTUKAN KARAKTER
Ida Zahara Adibah1
Abstrak
Multikulturalisme di PT UNDARIS tidak hanya sebatas pada ragam budaya,
melainkan ragam pada berbagai aspek terutama berkaitan dengan pendidikan
yang dikembangkan oleh dosen agama sebagai pendidik di perguruan tinggi.
Multikulturalisme secara praktis yang dimaksud adalah kemampuan dosen
maupun mahasiswa dalam mengadaptasikan dirinya pada lingkungan yang
didalamnya terdapat berbagai ragam budaya, daerah dan agama. Unsur
terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran, yang didalamnya
terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan
pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang
akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi
prilakunya. Kesadaran adanya perbedaan keyakinan semakin lama dipahami
sebagai suatu keniscayaan, apalagi didorong oleh kondisi bahwa perbedaan itu
menjadi sebuah keindahan yang di sadari oleh dosen dan sivitas UNDARIS.
Komitmen untuk memiliki kemampuan menangkap perbedaan adalah salah satu
wahana pembentukan karakter.
Kata Kunci: Multikulturalisme, Karakter ,Dialog, Pendidikan Agama Islam,
A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang sangat majemuk.
Kemajemukan bangsa Indonesia secara umum dapat dilihat dari sudut horisontal
seperti terdiri dari beragam suku dan ras, yang mumpunyai budaya, bahasa, nilai
dan agama atau keyakinan berbeda-beda. Sementara dari sudut vertikal,
kemajemukan bangsa indonesia dapat di amati dari tingkat perbedaan
pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya.2
1 Ida Zahara Adibah, Universitas Darul Ulum Islamic Centre (Undaris) Semarang
2 Usman Pelly dan Asih Menanti, Teori-teori Sosial Budaya. (Jakarta: Dirjen Dikti
Depdikbud, 1994), hlm. 68.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
176
Karena faktor kemajemukan itulah sering terjadi tragedi sosial dan konflik antara
kelompok masyarakat yang mengobarkan sentimen primordialisme identitas
lokal masing-masing. Konflik antar etnis seperti tragedi kemanusiaan di Sambas,
Sampit, konflik antar agama seperti di Maluku, Poso dan Ambon, lepasnya
Timor-Timur, dan gejolak sosial yang tiada henti di Aceh dan Papua menjadi
betapa rapuhnya konstruksi kebangsaan berbasis multikulturalisme dinegara kita.
Salah satu persoalan yang cukup mendasar dalam sikap keberagamaan
adalah menghilangkan isu perbedaan yang berakibat pada munculnya sebuah
konflik. Hal ini di karenakan ketika keberagamaan diupayakan untuk
dipersatukan bukanlah kedamaian yang dijadikan tujuan akhir, melainkan
munculnya masalah baru, hal ini disebabkan oleh adanya persepsi yang dijadikan
landasan berfikir tidak ketemu. Sebagai contoh adalah menghilangkan
perbedaan dalam keberagamaan dan upaya menyatukan agama melalui faham
pluralisme. Dalam pandangan MUI, pluralisme adalah haram hukumnya karena
mengajarkan semua agama adalah sama dan setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedang agama yang lain
salah, hal ini memunculkan konsekwensi, bahwa kebenaran agama menjadi
relatif.3
Pemahaman dan penafsiran terhadap agama yang bersifat eksklusif
cenderung akan memunculkan klaim kebenaran tunggal. Klaim demikian itu
pada akhirnya memunculkan sikap tidak mengakui suatu kebenaran yang ada
pada budaya dan agama lain. Padahal pada masyarakat yang multikultural, yang
diperlukan adalah sikap adanya pengakuan dan penghargaan dalam merespons
keberagamaan. Pada sisi yang lain juga sering terjadi klaim kebenaran pada
sebuah ajaran dalam satu agama. Klaim kebenaran ini sering memunculkan
polemik pada tataran ulama maupun agamawan dan memicu perpecahan pada
tataran akar rumput yang sebenarnya hanya mengamini apa yang telah menjadi
fatwa dari yang ditokohkan.
Kita harus sadar, bahwa pembentukan karakter dan watak atau kepribadian
jati diri bangsa Indonesia sangat penting, bahkan sangat mutlak dan mendesak
adanya. Hal ini cukup beralasan. Mengapa mutlak diperlukan ? karena adanya
krisis yang terus berkelanjutan melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini
3 Rofiq, Ahmad, Regulasi Konflik Agama Dalam Semangat Multikulturalisme, Makalah
Seminar yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang,
Tanggal 1 September 2005.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
177
belum ada solusi secara tegas dan jelas, lebih banyak berupa wacana yang
seolah-olah bangsa ini diajak dalam dunia mimpi.
Berhadapan dengan berbagai masalah dan tantangan, pendidikan nasional
pada saat yang sama, tetap memikul peran multidimensi. Berbeda dengan peran
pendidikan pada negara-negara maju, yang pada dasarnya lebih terbatas pada
transfer ilmu pengetahuan, peranan pendidikan agama di Indonesia memikul
beban yang lebih berat. Pendidikan agama bukan hanya merupakan sarana
transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi sebagai pembudayaan yang
tentu saja hal terpenting dan pembudayaan itu adalah pembentukan karakter dan
watak (nation and character building), yang pada gilirannya sangat krusial bagi
nation building atau dalam bahasa lebih populer menuju rekonstruksi negara dan
bangsa yang lebih maju dan beradab.
UNDARIS adalah sebuah Perguruan Tinggi Swasta yang terletak di
Kabupaten Semarang Jawa Tengah Kabupaten Semarang adalah sebuah Wilayah
yang mayoritas beragama Islam, juga mayoritas dalam sebuah kultur budaya,
yaitu Islam Jawa. Sehingga tradisi Slametan, Tahlilan, Kenduren masih suka
dilaksanakan. Pada masyarakat pedesaan Mayoritas menggunakan bendera NU
sebagai organisasi dan faham keagamaanya. Sedangkan masyarakat yang hidup
di perkotaan cenderung beragam, ada yang berfaham Muhammadiyah, PKS ,
Hisbut Tahrir dan Abangan. Tetapi ada persoalan yang mengganjal, Sebagai
perguruan tinggi Undaris mempunyai peran yang strategis dalam mencetak
lulusan yang mempunyai kesadaran multikultur. Mahasiswa sebagai agen of
change yang di lahirkan dari perguruan tinggi harus memiliki karakter yang
bisa membawa bangsa Indonesia keluar dari konflik berkepanjangan. Persoalan
Pemilihan Kepala Daerah sering kali menggunakan cara-cara yang tidak
berakhlakul karimah. Agama seringkali digunakan oleh tokoh-tokoh agama
maupun pimpinan partai politik untuk di jadikan benturan dan tameng untuk
menggolkan masing-masing pasangan calon. Hal demikian menimbulkan friksi
baik dalam sesama pemeluk Agama maupun dengan agama lain. Kondisi yang
demikian bisa menimbulkan perpecahan dikalangan intern dan antar umat
beragama.
Untuk mengatasi persoalan di atas Undaris mencoba untuk menawarkan
solusi, yaitu dengan kajian yang mendalam dalam berbagai aspek sosial, budaya,
politik maupun aspek pendidikan. Salah satu kajian pada proses pembelajaran
agama di UNDARIS merupakan tawaran untuk bersikap egalilter dengan
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
178
menggunakan metode dialog. Untuk itulah penulis mencoba memaparkan hasil
kajian tentang bagaimana proses pembelajaran di UNDARIS.
B. Kerangka Teori
Pendidikan multikultural merupakan pendidikan tentang keragaman
kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.4 Menurut Paul
Suparna5, Multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara
sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender,
bahasa, ataupun agama. Kesediaan dan sikap saling menghargai nilai, menerima
budaya, keyakinan yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri.
Apalagi karena dalam diri seseorang ada kecenderungan untuk mengharapkan
orang lain menjadi seperti dirinya. Sikap saling mempengaruhi ini apabila tidak
di letakkan dalam standar saling menghormati dan menghargai maka yang terjadi
adalah konflik , pertengkaran, dan perpecahan.
Faktor pembentuk multikulturalisme atau keragaman kebudayaan itu
sendiri antara lain karena pertama, faktor kekuasaan dalam kerangka persaingan
dan perebutan hegemoni dan dominasi sebagai ekspesi politik, kedua, faham
keagamaan, baik dalam bentuk madzab fiqih maupun orde sufi. Faham-faham
keagamaan lebih memainkan peranan sentral dalam memberikan rasa spiritual,
ketiga, ciri-ciri demografis dan geografis yang menyebabkan sebagian
masyarakat muslim terisolasi dalam jangka waktu lama atau menyerah pada
kondisi-kondisi alamiah tertentu atau sebaliknya pada sebagian lain sangat
terbuka.6 Faktor ini secara jelas juga nampak pada gagasan dialog antar agama
yang selama ini lebih bersifat elitis-struktural sebagai hasil dari kolaborasi kaum
Agama formal besar dengan pemerintah orde baru dan dilihat dari sisi
pendidikan, agama-agama yang diberikan disekolah-sekolah selama ini dari
tingkatan Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT) adalah pendidikan
agama yang berwatak komunalistik7.
4 Azyumardi, Azra, Pendidikan Agama Membangun Multikultura Indonesia, Dalam
Zakiyuddin Baidhowy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2005) 5 Paul Suparno, Pendidikan Multikultural, Kompas, 7 Januari 2003.
6 Zakiyuddin Baidhowy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. (Jakarta,
Erlangga), 2003. 7 Nurkholik Ridwan, Detik-Detik Pembongkaran Agama Mempuperkan Agama
Kebajikan, Menggagas Pluralisme-Pembebasan. (Yogyakarta, Ar-Ruzz 2003).
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
179
Dalam pendidikan multikultural terdapat lima dimensi yang saling
berkaitan, yaitu; (1) content integration, mengintegrasikan berbagai budaya dan
kelompok untuk mengiliutrasikan konsep mendasar, generalisasi teori dalam
mata pelajaran atau disiplin ilmu; (2) the knowledge constraction process,
membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata
pelajaran; (3) Anegrity paedagogy, menyesuaikan metode pelajaran dengan cara
belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam
baik dari segi ras, budaya maupun sosial; (4) prejudice reduction,
mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran
mereka; dan (5) melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berinteraksi
dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya
menciptakan budaya akademik8, dengan demikian pendidikan multikultur ini
haruslah melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam
setiap interaksi yang dilakukan diantara para guru , murid, dan keluarga serta
keseluruhan suasana belajar mengajar. Karena jenis pendidikan ini merupakan
pedagogi kritis, refleksi dan menjadi basis aksi perubahan dalam masyarakat,
pendidikan multikultural mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi dalam
berkeadilan sosial.
Pendidikan multikultural akan tercipta bila semua pihak semua pihak
senantiasa menjungjung tinggi nilai- nilai, keyakinan, heterogenitas, dan
keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Sikap mau menghargai
keragaman ini memerlukan pengorbanan yang tinggi. Membangun pendidikan
karakter merupakan upaya yang harus dilakukan oleh semua pihak. Baik
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan
karakter tersebut ,tidak akan berhasil selama lingkungan pendidikan tidak ada
kesinambungan dan keharmonisan. Pendidikan karakter melalui sekolah, tidak
semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu
penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Pemberian
penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman yang melanggar,
menumbuhkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan
mencegah berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan
pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan
kedalam setiap pelajaran yang ada disamping mata pelajaran khusus untuk
8 Zakiyuddin Baidhowy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. (Jakarta:
Erlangga), 2003.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
180
mendidik karakter, seperti; Pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan
sebagainya.
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran, yang
didalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya,
merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem
kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa
mempengaruhi prilakunya. Tentang pikiran,9 mengatakan bahwa di dalam diri
manusia terdapat satu pikiran yang memiliki ciri yang berbeda. Untuk
membedakan ciri tersebut, maka pikiran sadar disebut pikiran objektif dan
pikiran bawah sadar atau pikiran subyektif. Semakin banyak informasi yang
diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk,
maka semakin jelas tindakan, kebiasaan, karakter unik dari masing-masing
individu.
1. Kerangka operasional konsep
1) Pendidikan multikultural
Ada empat konsep yang dijadikan pedoman dalam tulisan ini, yaitu
konsep umum tentang pendidikan multikuluralisme, konsep Agama,
konsep multikulturalisme dan konsep pembentukan karakter. Pendidikan
multikultural merupakan strategi pembelajaran yang menjadikan latar
belakang budaya siswa yang beraneka ragam digunakan sebagai usaha
untuk meningkatkan pembelajaran siswa dikelas dan lingkungan sekolah.
Kondisi yang demikian itu dirancang untuk menunjang dan memperluas
konsep-konsep budaya, perbedaan, kesamaan,dan demokrasi. 10
Dengan
demikian pendidikan multikultural adalah sebagai sebuah sistem
pendidikan yang komplek yang memasukkan ide-ide dalam upaya
mempromosikan pluralisme budaya dan agama serta persamaan sosial.
Pendidikan ini tidak hanya mengacu pada terjadinya proses transformasi
pengetahuan semata dari dosen ke mahasiswa, tetapi lebih luas adalah
sebuah sistem pendidikan yang benar-benar mempunyai visi dan misi
pada upaya memberikan pemahaman tentang pluralisme budaya dan
persamaan sosial melalui materi kuliah yang tidak bias, kurikulum
9 Joseph Murphy D.R.S., Rahasia Kekuatan Pikiran Bawah Sadar, (Jakarta, Spektrum,
2002). 10
Donna M. Collmeck dan Philip C. Chinn, Multicultural Education In A Pluralistik
Society, 1998
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
181
inklusif, metode pembelajaran yang persuasif dan akomodatif, dilengkapi
dengan sarana dan prasarana yang kondusif
Ismail Faruqi menyebutkan, sebagaimana dikutip oleh sangkot,11
bahwa setidaknya ada empat (4) isu pokok yang dipandang sebagai
landasan normative pendidikan islam multikultural khususnya di bidang
keagamaan, yaitu ; 1) kesatuan dalam aspek ketuhanan dan wahyu, 2)
kesatuan kenabian, 3) tidak ada paksaan dalam beragama, dan 4)
pengakuan terhadap eksistensi agama lain. Semua yang demikian disebut
normatif karena karena sudah merupakan ketetapan Tuhan. Masing-
masing klasifikasi didukung oleh teks (wahyu), kendati satu ayat dapat
saja berfungsi untuk justifikasi yang lain.
2) Konsep Agama
Konsep agama yang dikedepankan dalam penelitian ini agama
diartikan sebagai suatu sistem kepercayaan, acuan normatif yang
dijadikan pedoman hidup, meliputi perintah, larangan, dan petunjuk bagi
manusia dalam menjalani hidup kesehariannya dalam rangka
mendapatkan kebahagiaan lahir batin, dunia akhirat. Dalam konteks
sosial, agama dapat dijadikan sebagai perekat bagi kehidupan masyarakat
dalam kebersamaan persatuan dan kesatuan. Namun dalam kondisi dan
suasana tertentu agama bisa juga menjadi sumber munculnya konflik,
keretakan dan mala petaka. Menurut Mukti Ali, yang dikutip Anshori
bahwa tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional dari pada
membicarakan agama.12
Dalam rangka memberikan pemahaman kepada mahasiswa, tentang
nilai-nilai ajaran agama itu, membutuhkan adanya sistem pendidikan
yang mampu menjangkau tercapainya tatanan implementasi
kebersamaan, persatuan, kesatuan, dan saling menghormati antar
pemeluk agama dalam kehidupan sehari-hari. Agama didefinisikan lebih
kepada substansi ajaran yang secara langsung berhubungan dengan
materi kuliah dan kondisi interaksi sosial para mahasiswa.
11
Sangkot, Landasan Normatif Pendidikan Agama Islam dalam http://www.sangkot. wordpress.com//2007/11/09
12 Endang S. Anshari, Ilmu Filsafat Dan Agama. (Surabaya: Bina Ilmu, 1990).
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
-
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
182
3) Multikultulturalisme
Multikulturalisme diartikan dengan masyarakat yang mempunyai
ras, agama, bahasa, atau tradisi yang beragam. Sedangkan kata
multikulturalisme berarti keberagaman budaya, yang diartikan sebagai
gerakan sosial intelektual yang mempromosikan nilai-nilai keberagaman
sebagai prinsip inti dan menuntut adanya perlakuan yang sama terhadap
sesama kelompok budaya.13
Dengan demikian multikulturalisme
merupakan kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai
kesatuan tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnis maupun agama.
Kesadaran multikultural akan dapat berkembang dengan baik
apabila dilatihkan dan didikkan pada generasi muda dan mahasiswa lewat
pendidikan, salah satunya lewat dialog. Dengan pendidikan, sikap saling
menghargai terhadap perbedaan akan berkembang bila generasi muda
dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan
budaya lain bahkan melatihnya dalam hidup sehingga akan terbentuk
karakter yang baik.
4) Konsep pembentukan karakter.
Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan
menurut para ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan
kebiasaan yang mengarahkan tindakan seseorang atau individu. Karena
itu jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui,
maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap
untuk kondisi-kondisi tertentu. Dilihat dari sudut pengertian, ternyata
karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya
didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi
pemikiran karena sudah tertanam dalam pikiran,dan keduanya dapat
disebut kebiasaan yang baik atau akhlakul karimah. Untuk mewujudkan
pembentukan karakter yang efektif, Character Education Quality
Standards merekomendasikan 11 prinsip; 1) Mempromosikan nilai-nilai