Edisi No. 3 | Desember 2013 - Sawit...

12
Edisi No. 3 | Desember 2013 Catatan Akhir Tahun 2013 Perkebunan Sawit Hendak Kemana?

Transcript of Edisi No. 3 | Desember 2013 - Sawit...

Edisi No. 3 | Desember 2013

Catatan Akhir Tahun 2013Perkebunan Sawit Hendak Kemana?

2 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 3Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 |

Buruh Perkebunan Dan Kemenangan Kecil Di RSPOReportase Aktifitas Sawit Watch di RSPO ke-11

Pada 11 – 14 November 2013, RSPO (roundtable sustainable palm oil) melakukan sidang

tahunan ke–11 di Medan, Sumatera Utara. RSPO adalah sebuah asosiasi yang dibentuk oleh organisasi-organisasi yang menjalankan berbagai kegiatan di dalam dan seluruh rantai penyedia (supply chain) untuk kelapa sawit, mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan kelapa sawit berkelanjutan melalui kerjasama dalam rantai penyedia (supply chain) dan membuka dialog dengan parapihak yang terlibat didalamnya. RSPO bertujuan memfasilitasi semua stakeholder yang berkerja dalam isu kelapa sawit bersama-sama mendiskusikan sawit berkelanjutan.Untuk mengimplementasikan perkebunan sawit berkelanjutan, RSPO mempunyai prinsip, kriteria, dan indikator perkebunan berkelanjutan. Prinsip, kriteria, dan indikator RSPO ini ditafsirkan di negara dimana anggota RSPO berada.

Setahun sekali RSPO menyelenggarakan pertemuan anggota RSPO. Dalam sidang tahunan RSPO tersebut terdapat beragam agenda. Selain merespon kondisi kekinian, dalam sidang tahunan tersebut juga terdapat sesi pemberian per(tidak)setujuan terhadap resolusi-resolusi yang

diajukan oleh anggota-anggota RSPO. Untuk Sidang Tahunan RSPO ke-11, model kegiatan yang dilakukan adalah model terbuka, dimana para anggota RSPO dipersilahkan dan terbuka untuk membuat agenda masing-masing. Panitia Sidang Tahunan RSPO hanya menyediakan tempat dan administrasi lainnya yang dapat mendukung kegiatan tersebut.

Sawit Watch melihat RSPO ke-11 ini adalah salah satu ruang advokasi yang dapat digunakan untuk memperkuat posisi petani kelapa sawit, masyarakat adat, masyarakat lokal, dan buruh perkebunan. Harapan Sawit Watch dalam sidang tahunan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Resolusi tentang Mekanisme

keluhan di RSPO dan memberikan informasi kepada seluruh anggota RSPO bahwa mekanisme tersebut banyak kelemahannya. Sebagai tindaklanjut Resolusi tersebut disetujui oleh para anggota RSPO sehingga dapat memberikan perbaikan bagi mekanisme keluhan di RSPO.

2. Isu Buruh perkebunan sawit menjadi arus utama di kalangan anggota RSPO dan diluar anggota RSPO.

3. Menginternalisasikan isu buruh perkebunan sawit di kalangan

pemerintah dan pengusaha di medan.

Sidang Tahunan RSPO ke-11 Aktifitas Sawit Watch dalam RSPO

secara umum dapat dibagi dalam 2 bentuk yaitu kegiatan sebelum RSPO dan kegiatan pada saat RSPO berlangsung.

Sebelum RSPO belangsung pada 11-14 November 2014, Sawit Watch melakukan beberapa kegiatan yakni:a) Kunjungan lapangan Kabupaten

Labuhan Batu Utara dan Kabupaten Labuhan Batu

Kunjungan lapangan ini merupakan kerjasama antara Sawit Watch dengan mitra India yaitu Keystone Foundation. Kegiatan ini berlangsung selama 3 hari (3 sampai 6 November 2013). Dalam kegiatan ini, turut serta seorang jurnalis India yang merekam semua kegiatan tersebut. Kegiatan ini bertujuan: Melihat proses perubahan yang

terjadi pada masyarkat dari yang sebelumnya bercocok tanam menjadi petani sawit atau buruh kelapa sawit (transformasi masyarakat).

Membandingkan proses yang terjadi di Indonesia dengan India terkait dengan perkebunan kelapa sawit.Pada saat ini, India sedang dalam

proses pembukaan dan penanaman kelapa sawit. Meskipun sebenarnya sejak tahun 1970-an, melalui program Oil Palm Development Programme (OPDP) India sudah mulai menanam kelapa sawit tapi tidak berkembang dan gagal.

Rencana ekspansi kelapa sawit di India sepenuhnya dibawah kendali pemerintah. India saat ini sedang menjalankan program Oil Palm Expantion Programme dalam rangka membuka perkebunan kelapa sawit. Target yang ingin dicapai India adalah 1,250 juta ha pada tahun 2015 dan 3 juta ha pada tahun 2030. Jika dilihat dari targetnya sangat jauh berbeda dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia yang menargetkan 20 juta ha pada tahun 2020 dan kondisi saat ini sudah

Aksi Protes Serbundo Saat Pertemuan RSPO ke-11 di Medan

Tandan Sawit Edisi No. 3

Penanggung JawabJefri Gideon Saragih

Pemimpin RedaksiJopi Peranginangin

Dewan RedaksiBondan Andriyanu, Jefri

Gideon Saragih, Nurhanudin Ahmad, Ratri K, Yoka Eryono, Jumadi Jaya, Y. Hadiana, Jopi Peranginangin, Ronald Siahaan,

Eep Saifulloh, Harizuddin, Carlo Lumban Raja, Fatilda Hasibuan, Sukardi, Monang

Sirait, Maryo Saputra

Tata LetakJopi Peranginangin

Alamat RedaksiPerkumpulan Sawit Watch

Perumahan Bogor Baru Blok C1 No 10 kota Bogor, Jawa Barat. 17629 | Telp 0251-8352171 | Faks 0251-8352047 | Website:

www.sawitwatch.or.id | Twitter: @SawitWatch

Tandan Sawit ini diterbitkan atas dukungan Yayasan TIFA

Editorial

Sejak mula pula kisah konflik antar manusia telah melegenda dalam alam sadar dan bawah sadar manusia. Kisah anak-anak Adam yang saling bunuh mungkin sebuah kisah yang banyak diketahui. Mengapa konflik? Karena pihak yang satu merasa keberadaannya terancam oleh keberadaan pi-

hak lain. Pada tataran sebuah kelompok masyarakat atau komuniti, kondisi ini diantisipasi dengan memperkuat mekanisme dan pranata pencegah atau juga pranata untuk beraksi bilamana konflik pecah dalam wujud kekerasan.

Pranata itu bisa sebuah institusi, bisa pula produk-produk institusi. Dan tinda-kan membangun pranata itulah yang gagal dilakukan oleh Pemerintahan SBY. Pranata tersebut gagal karena dibangun hanya untuk mengelabui rakyat. Kebi-jakan sebagai sebuah produk dari pranata misalnya, dikeluarkan hanya untuk memfasilitasi modal, rakyat seakan dilupakan. Lihat saja kebijakan di sektor agraria secara umum, khususnya sektor perkebunan. Rakyat seperti dihilangkan dalam klausul kebijakan. Indikatornya adalah konflik yang kian marak. Jumlah konflik agraria di Indonesia sepanjang 2013 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu. Konflik warga dengan perusahaan perkebunan dan pertambangan paling sering terjadi.

Konon bahaya paling besar bagi kemanusiaan dan kelangsungan ras manusia di Bumi adalah manusia sendiri. Ceritera konflik agraria, barangkali, puluhan atau ratusan tahun ke muka akan menjadi sebuah kisah dalam kitab-kitab yang dipelajari tentang bagaimana manusia menghancurkan sesamanya melalui pengerukan besar-besaran isi perut Ibu Bumi sebelum akhirnya menghancurkan Ibu Bumi itu sendiri. Akankah kisah air bah akan terulang karena Bumi ma-kin panas? Bukankah makin hari makin banyak industri, makin banyak sumber energi yang melepaskan panas ke angkasa dari rumah-rumah dan makin tipis pelindung Bumi?

Bukan hanya hutan yang hilang sebagai pelindung, tapi tanah tempat kita berpi-jak dan orang-orang arif yang memandang alam sebagai syarat eksistensial ma-nusia makin punah diterjang mesin-mesin sekelompok manusia lain yang hidup dalam ilusi akan dunia baru yang dapat diciptakannya dari kertas-kertas yang bernama uang?

Tahun 2013 telah lewat, Doa panjang rakyat yang menjeritkan derita akan kem-bali bergaung ke langit: Tinggalah bersama kami ya Tuhan karena senjakala telah menyongsong Bumi ini. Tinggalah bersama kami. Amin.

Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Artikel atau tulisan yang dimuat bersifat sukarela dan tidak mendapatkan honor. Ketentuan ini diberlakukan karena media Tanda Sawit bukan media komersil.

Daftar Isi � Buruh Perkebunan Dan Kemenangan Kecil di RSPO.... Halaman 03 � Tingkatkan Kesejahteraan Buruh Perkebunan Sawit..... Halaman 07 � Menjamin Keadilan, Transparansi Dan Keseimbangan Dalam Mekanisme Pengaduan RSPO..... Halaman 08 � Pernyataan Sikap Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Serbundo).... Halaman 10 � Surat terbuka dari Suku Anak Dalam Propinsi Jambi..... Halaman 12 � Potret Buram Perkebunan Sawit Sepanjang 2013 ..... Halaman 13 � Perampasan Tanah oleh PT KLS dan Kriminalisasi Aparatus Negara Terhadap Petani..... Halaman 14 � Reportase Kampanye dan Dialog Kebijakan Perkebunan Sawit di Sulawesi Tengah...... Halaman 16 � Catatan Akhir Tahun 2013: Perkebunan Sawit Hendak Kemana?........ Halaman 18 � Perdagangan, Deforestasi dan Perampasan Lahan........ Halaman 22

LaporanUtama

4 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 5Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 |

Hasil Akhir Voting tentang Resolusi 6f dalam sidang RSPO 11

LaporanUtama LaporanUtama

mencapai 12,5 juta ha (Sawit Wath, 2013).Selama kunjungan lapangan tersebut, tim SW dan aktifis India bertemu dan berdiskusi dengan beberapa organisasi lokal seperti LENTERA, Serikat Petani Kelapa Sawit Labuhan Batu Utara dan lain-lain. Dari kunjungan lapangan tersebut, ada beberapa hal menarik diantaranya adalah Proses yang terjadi di Indonesia

sangat berbeda jauh dengan yang terjadi di India. Jika di Indonesia pemerintah cenderung memberikan kepercayaan penuh kepada perusahaan sebaliknya di India, pemerintah menjalankan programnya bersama masyarakat melalui kegiatan OPDP (Oil Palm Development Programme)

Perusahaan kelapa sawit di India hanya menyediakan pabrik untuk pengolahan TBS dan tidak mengurus perkebunan.

Hal ini menjadi kendala sendiri karena produktifitas dari perkebunan masyarakat tidak dapat mencukupi target dari perusahaan yang mengakibatkan banyak perusahaan juga yang beralih ke usaha lain.

Konflik di India belum terjadi seperti yang ada di Indonesia saat ini.

Pemerintah india mendukung penuh usaha yang dilakukan masyarakat dengan menyiapkan semua kebutuhan terkait dengan usaha kelapa sawit.

b) Pertemuaan Ornop di MedanPertemuan ini dilakukan pada 6 November 2013 dan pelaksananya adalah Walhi Sumut. Dalam pertemuan ini, Sawit Watch diwakili Carlo yang sekaligus menjadi pembicara. Sawit Watch dalam pertemuan ini menjelaskan tentang RSPO dan keterlibatan Sawit Watch

selama menjadi anggotanya. Hal ini menjadi penting karena, banyak lembaga/organisasi masyarakat yang masih belum paham tentang RSPO itu sendiri.

c) Diskusi Publik HARI InstituteDilakukan pada 7 November 2013 di Universitas Dharma Agung. Peserta yang hadir terdiri dari Mahasiswa, Dosen, Akademisi, Peneliti dan lain-lain. Dalam diskusi publik ini Sawit Watch terlibat dalam Panel Diskusi bersama dengan Greenpeace, Peneliti dari Jerman, dan Peneliti dari HARI. Diskusi publik ini bertujuan untuk membedah situasi terkini yang terjadi Indonesia terkait dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit, konflik dan akibat yang terjadi atas ekspansi ini dalam kaitannya dengan Petani, Buruh, Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal. Selain itu, berbagai inisiatif keberlanjutan yang didorongkan atas permintaan pasar seperti RSPO, ISPO, POIG dan sebagainya.

d) Press Conference Conflict or Consent

Dilakukan di Hotel Arya Duta Medan, sebagai bagian dari kelanjutan proses studi tentang implementasi FPIC pada berbagai negara yang menjadi produsen kelapa sawit dunia (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan beberapa negara Afrika). Di Indonesia sendiri dilakukan 7 studi kasus yang dilakukan sepanjang 2012. Dalam press conference ini juga dilakukan launching buku hasil studi tersebut.

e) Seminar Buruh PerkebunanSeminar Buruh ini diselenggarakan atas kerjasama antara Sawit Watch dan Aliansi Serbundo (serikat Buruh Indonesia). Seminar berlangsung 2 hari di Universitas HKBP Nomensen. Tema seminar adalah “Hentikan Eksploitasi Terhadap Buruh Perkebunan dan Industri”. Hasil seminar adalah rumusan Pernyataan sikap dan tuntutan Serbundo kepada RSPO dan Gubernur Sumatera Utara.

f) Konsolidasi Nasional WALHI Nasional

Sawit Watch hadir sebagai peserta dalam kegiatan yang berlangsung pada 9 November 2013 ini. Tema

kegiatan adalah “Mewujudkan tatanan pemanfaatan SDA yang berkeadilan, Mengatasi Kerusakan Sosial dan Ekosistem Dari Ekspansi Perkebunan Sawit di Indonesia”. Tujuannya adalah • Melakukan update terkait

perlawananan rakyat terhadap dampak buruk dari ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

• Merumuskan pernyataan sikap bersama masyarakat sipil dalam melawan ekspansi perkebunan sawit di Indonesia.

• Menyusun rencana aksi perubahan kebijakan disektor perkebunan sawit melalui PEMILU 2014.

g) Workshop Conflict or ConsentWorkshop ini dilakukan di Hotel Arya Duta pada 8 – 10 November 2013. Workshop ini dilaksanakan untuk berbagi pengalaman antara para penulisan dan kontributor yang terlibat dalam studi. Para penulis dan kontributor penelitian ini berasal dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Afrika. Sawit Watch dalam acara diundang untuk menjadi narasumber dalam rangka menjelaskan situasi dan kondisi yang terjadi di perkebunan kelapa sawit.Hasil studi menunjukan bahwa konflik berlangsung karena diabaikannya FPIC pada saat awal pembukaan perkebunan sawit. Mendorongkan adanya proses yang cukup komprehensif untuk menyelesaikan konflik yang telah terjadi, melakukan pemulihan terhadap situasi yang ada dan mewujudkan rasa keadilan bagi komunitas masyarakat yang terdampak akibat operasional perusahaan perkebunan kelapa sawit. Selain itu mendesain beberapa rencana intervensi bersama dan dorongan bersama yang akan diusulkan kepada Uni Eropa dan lainnya. RSPO secara resmi berlangsung dari 11 hingga 14 November 2013. Sawit Watch mempunyai aktifitas baik didalam maupun diluar arena saat pertemuan RSPO berlangsung.

Di dalam ruang sidang RSPO

a) Open Session dengan tema “Buruh perkebunan dan Industri”

(SW, ILRF, Serbundo, RAN).Kegiatan ini berlangsung 2 hari (13 – 14 November 2013). Dalam open session ini membicarakan tentang pernyataan sikap Serbundo pada aksi protes 12 November 2013. Rena Sandy dan Daniel Marbun menjadi pembicara dalam open session ini.

b) Side meeting dengan KDA dan perwakilan masyarakat desa Batu Ampar.

Pertemuan berlangsung pada 13 November 2013. Pertemuan ini membahas perkembangan dan proses penyelesaian kasus yang terjadi di Desa Batu Ampar. Masyarakat desa Batu Ampar diwakili oleh Ibu Kepala dan WALHI Jambi didampingi Sawit Watch. Sedangkan dari pihak perusahaan langsung hadir perwakilan dari GAR dan SMART Jakarta.

c) Side meeting dengan LONSUM dan Perwakilan Masyarakat Pergulaan

Dilakukan pada tanggal 14 November 2013 yang dihadiri oleh Waras (Lonsum) dan Ravin (Complaint Panel-RSPO). Dalam pertemuan ini menyepakati dan mempertegas beberapa hal yang telah dibicarakan sebelumnya dalam pertemuan di bogor. Sebagai tindaklanjutnya, akan dilakukan pertemuan bersama dengan para pihak pada bulan Mei atau Juni 2014 dengan melibatkan pula manajemen Lonsum (pusat) serta dari RSPO.

d) General Assembly Meeting

Dalam acara puncak RT 11 RSPO, Sawit Watch membawa satu misi yaitu meloloskan resolusi yang telah diajukan terkait Resolusi ‘Jaminan Keadilan, Transparansi dan Keseimbangan dalam Mekanisme Pengaduan RSPO’. Resolusi SW ini dibacakan oleh Bondan Andriyanu. Pada saat voting, resolusi Sawit Watch ini berhasil mendulang dukungan dari anggota RSPO (setuju 147, menolak 51, dan abstain 0). Hal ini merupakan salah satu capain besar Sawit Watch dalam rangka menjadikan RSPO sebagai satu alat advokasi yang dipercayai oleh masyarakat dalam menghasilkan produk kelapa sawit yang lestari.Selain resolusi, Sawit Watch juga meluncurkan Petisi yang senada dengan resolusi, dimana petisi digunakan untuk organisasi bukan anggota RSPO. Tercatat 45 Ornop menyetujui petisi tentang ‘Jaminan Keadilan, Transparansi dan Keseimbangan dalam Mekanisme Pengaduan RSPO’.

Diluar Ruang Sidang RSPOa) Pertemuan Jaringan Masyarakat

Gambut SumateraDalam pertemuan ini, beberapa agenda yang dibahas adalah :1. Rencana seminar nasional

tentang gambut. Pertemuan ini diselenggarakan oleh Scale Up dan SW diundang untuk dimintai masukan dan tanggapan terkait dengan rencana ini. Dalam diskusi ini, kegiaan ini akan dilaksanakan pada pertengahan

Aktifitas Open Session Sawit Watch dan ILRF dalam sidang RSPO 11

6 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 7Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 |

Bondan Andriyanu sedang menyampaikan pandangan Sawit Watch dalam sidang RSPO 11

LaporanUtama LaporanUtama

bulan Desember 2013. 2. Rencana side meeting dengan

RSPO dan perusahaan terkait diantarnya PT. Jatim Jaya Perkasa dengan Masyarakat Gambut Riau. Pertemuan dengan masyarakat ini diwakili oleh Jaringan Masyarakat Gambut Riau. Adapun tujuannya adalah untuk bertemu dengan perusahaan Jatim Jaya Perkasa yang beroperasi di Riau dan membahas persoalan yang terjadi di wilayah perkebunan tersebut. Adapun masyalah yang terjadi adalah konflik hak tanah adat yang sudah berlangsung sejak tahun 1993. Pertemuan dengan PT Jatim Jaya Perkasa urung dilakukan karena wakil dari PT JJP ini tidak hadir dalam RSPO

b) Aksi damai SERBUNDO 12 November 2013

Aliansi SERBUNDO adalah aliansi yang terdiri dari serikat buruh dan lsm local maupun nasional. Tercatat 14 organisasi yang masuk dalam aliansi ini. Selain dari 14 organisasi tersebut, gabung juga perwakilan masyarkat Suku Anak dalam dan Masyarakat Jaringan Gambut Sumatera. Aksi damai yang dilakukan oleh SERBUNDO

dan masyarakat Jambi dan Riau ini dilakukan bertepatan dengan pembukaan pertemuan RT11 RSPO pada tanggal 12 November 2013. Selain kelompok Serbundo, aksi ini juga diikuti oleh beberapa masyarakat yakni Masyarakat Korban Wilmar, Jaringan Masyarakat Gambut Riau, Jambi, dan Sumbar.Lebih lanjut, dalam aksi ini, perwakilan demonstran diterima dan berdialog langsung dengan RSPO yang diwakili oleh Sekjen RSPO-Darrel dan Sekjen RILO-Desi, sedangkan dari perwakilan demonstran diwakili oleh Herwin Nasution, Renata Sandy, Daniel Marbun, Masyarakat Suku Anak Dalam, dan Masyarakat Jaringan Gambut Sumatera. Dalam pertemuan tersebut diserahkan juga Pernyataan Sikap Serbundo untuk RSPO.Selain RSPO, kelompok Serbundo juga melakukan aksi di Gedung Gubernur Sumatera Utara. Dalam aksi tersebut terjadi dialog antara perwakilan Serbundo dengan Kepala Dinas Tenaga Kerja Sumatera Utara serta berhasil menyerahkan Pernyataan Sikap untuk Pemerintah.

c) Seminar SPKSSeminar SPKS ini berlangsung pada hari terakhir pertemuan RT11 RSPO

2013, teapatnya pada 14 November 2013. Sawit Watch bertindak sebagai menjadi moderator dan diwakili langsung oleh Direktur Eksekutif Sawit Watch. Tema seminar ini adalah “Developing National Solution in Oil Palm Replanting”. Pembicara dalam seminar ini adalah Bupati Labuhan Batu, Perwakilan dari KADIN, GAPKI Sumatera Utara, Kementrian Pertanian, IDH. Harapan dari seminar ini adalah untuk mendapatkan solusi bersama terkait dengan masa replanting kelapa sawit yang dimiliki oleh smallholders.

Dari serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam kerangka intervensi SW atas RSPO ke-11 di Medan, telah memberikan beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti, pertama, bagaimana mengimplementasikan Resolusi Jaminan Keadilan, Transparansi dan Keseimbangan dalam Mekanisme Pengaduan RSPO? Kedua, bagaimana membawa suara-suara buruh perkebunan kelapa sawit menjadi wacana yang diperbincangkan dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan di RSPO? Bahkan dalam diskusi informal dengan Serbundo terdapat harapan untuk membuat working group buruh dalam RSPO.***

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia merupakan produk sistem ekonomi kapitalis yang

tidak dapat dilepaskan dari watak eksploitatif dan penindasan. Potensi dan kontribusi kelapa sawit untuk perekonomian nasional memang sangat tinggi, namun membawa dam-pak sosial, lingkungan dan ekonomi yang mengkhawatirkan. Keuntungan ekonomi dari produksi kelapa sawit tidak didistribusikan secara merata, mengeksploitasi buruh kebun dan menciptakan kemiskinan bagi ma-syarakat lokal akibat tanah yang dirampas.

Hal tersebut di atas terurai dalam seminar 2 hari yang diselenggarakan oleh Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Serbundo) di Medan. Seminar ber-langsung dari 8 – 9 November 2013 di Universitas Nomensen dengan tema “Hentikan Eksploitasi Buruh Perkebu-nan Dan Industri”.

Menurut Ahmad Surambo, “Menu-rut data Kemendag, Produksi kelapa sawit meraup keuntungan Rp 205 Trilyun pada 2012, meningkat 160 trilyun dari 2011. Namun peningkatan keuntungan tersebut tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi indonesia yang mengalami penurunan sekitar 6,3% pada 2012 (Data BPS 2012).

“Keuntungan tersebut seakan menguap dan malah meninggalkan jejak kemiskinan pada hidup buruh, petani dan masyarakat adat. Kelapa sawit yang dinilai telah menyerap banyak tenaga kerja ternyata belum mampu mensejahterakan buruh, petani dan masyarakat adat, lanjut Deputi Direktur Sawit Watch terse-but.

Pengembangan industri kelapa sawit telah mengubah dinamika per-ekonomian lokal, mengubah pemilik lahan menjadi tenaga upahan. Keter-batasan pilihan pekerjaan dan tidak adanya perlindungan negara mengaki-batkan buruh perkebunan terpaksa bekerja dengan bayaran minimal, standar kesehatan dan keselamatan kerja yang buruk dan hubungan kerja yang berbasis eksploitatif. Pengem-bangan industri kelapa sawit berdam-pak pada lingkungan dan mengancam ketahanan pangan.

Besarnya kekuasaan perusahaan perkebunan akibat dari lemahnya

pengawasan Negara menempatkan buruh pada posisi tak berdaya. Upah murah, buruh kontrak (outsourc-ing), minim fasilitas, rentan atas kecelakaan kerja adalah wajah dari industri perkebunan di Indonesia.

Menurut Herwin Nasution, terdapat paling tidak 80.000 buruh BHL dari 236.000 buruh yang ada di perkebunan sawit skala besar yang beroperasi di Sumatera Utara. Den-gan perhitungan dalam 100 hektar sawit, terdapat 22 orang buruh yang didalamnya sebanyak 10 orang buruh harian lepas. Perhitungan ini belum termasuk keluarga, anak-anak dan perempuan yang membantu bekerja tanpa status dalam perkebunan.

“Jumlah tersebut belum ter-masuk jumlah kernet dan buruh borongan yang tidak memiliki ikatan kerja. Jumlah tenaga kerja tersebut tidak terdokumentasikan dengan baik, baru perkiraan saja,” pungkas Direktur Yayasan Lentera Sumatera Utara tersebut.

Pesatnya perkembangan usaha perkebunan memang memberikan keuntungan yang sangat besar bagi segelintir orang, tetapi di sisi lain “keuntungan besar” itu tidak terli-hat dalam realitas kehidupan buruh kebun itu sendiri. Eksploitasi buruh perkebunan terlihat sehari-hari. Siklus kehidupan buruh dimulai dari bangun pagi, berangkat ke ancak, lembur, pulang, menerima gaji dan terakhir belanja. Buruh perkebunan selama ini diidentikkan dengan status SKU, BHL, anemer, borongan, tetapi realitas memperlihatkan anak dan is-teri buruh juga telah menjadi buruh. Perkebunan sering memasang target basis borongan yang tinggi terhadap

buruhnya. Padahal buruh yang mempunyai

peran sangat penting dalam rantai produksi perkebunan sawit tidak se-harusnya hidup miskin dan terhisap. Jika salah satu rantai produksi dalam perkebunan sawit ini tidak diperha-tikan akan berdampak pada ketidak seimbangan rantai produksi perke-bunan sawit yang sedang berjalan di indonesia.

Menurut Andi, “Kami bekerja dibawah tekanan, karena mandor dengan semena mena bisa mengatur diluar dari jam kerjanya. Misalnya mengambilkan sepatu mandor. Itu seharusnya bukan pekerjaan kami. Tapi kami tak berani melawan.”

“Kami mencoba mengorganisir diri, mencoba menuntut hak-hak kami. Tapi pihak perusahaan men-gancam akan memecat kami jika ada buruh yang aktif ber-organisasi,” kata buruh dari Kalimantan timur terse-but.

Perkembangan praktek perburu-han di perkebunan sawit menggerak-kan SERBUNDO yang terdiri dari LSM dan beberapa serikat buruh untuk meminta kepada pemerintah menin-dak tegas terhadap perusahaan yang memperlakukan buruh secara semena mena. Serta mendesak pemerintah untuk mengawasi praktek-praktek perburuhan yang ada di perkebunan sawit, dari mulai perekrutan hingga sistem penggajian. Juga adanya pem-buatan kebijakan yang lebih mendu-kung atas kesejahteraan buruh. Dan terakhir SERBUNDO menuntut agar adanya pemberian kebebasan atas buruh untuk berserikat dan berkum-pul untuk menentukan masa depan yang lebih baik.***

Tingkatkan Kesejahteraan Buruh Perkebunan SawitCatatan Seminar Serbundo

Seminar Serbundo dilaksanakan sebelum pertemuan RSPO ke 11

8 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 9Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 |

Kelapa sawit kini jadi tanaman primadona di sektor perkebu-nan. Dari satu biji kelapa sawit

dapat menghasilkan berbagai produk turunan lainnya seperti sabun, de-terjen, kosmetik, minyak goreng dan tentunya bahan bakar untuk kenda-raan bermotor. Primadona baru ini, memiliki peluang keuntungan yang besar bagi para pengembang dan pihak yang menjadikan komoditi ini sebagai prioritas utama dalam bisnis yang digeluti. Namun dibalik kemilau sawit tersebut, ada banyak persoalan yang belum terselesaikan. Konflik lahan menyeruak, pelanggaran HAM terjadi, kriminalisasi terhadap rakyat terjadi dimana-mana dan sebagainya.

Lebih lanjut, sebagai tanggapan atas maraknya konflik dan kasus yang terjadi di perkebunan kelapa sawit dan keinginan pasar untuk mendapat-kan produk kelapa sawit yang lestari (ramah lingkungan dan ramah social), maka pada tahun 2004 terbentuklah Roundtable on Sustainable Palm Oil atas RSPO.

Dan pada perjalanannya, RSPO masih dianggap belum memenuhi harapan para aktifis lingkungan dan HAM. Hal ini dapat dilihat dari sejak berdisirinya RSPO, konflik sosial tak bekurang sama sekali, malah kian marak terjadi. Berdasarkan data sawit Watch sampai dengan tahun 2013 jumlah konflik yang terjadi di perkebunan kelapa sawit adalah 663 kasus (Sawit Watch, 2013). Sedangkan kerusakan hutan yang terjadi karena ekspansi perkebunan kelapa sawit sampai sekarang ±500.000 ha perta-hun (Sawit Watch, 2013). Kondisi ini merupakan kondisi sebenarnya yang terjadi di perkebunan kelapa sawit khususnya di Indonesia.

Terkait dengan persoalan itu, Sawit Watch dan beberapa organisasi lainnya mengeluarkan resolusi yang seharusnya di adopsi pada majelis umum kesebelas RSPO yang akan ber-langsung pada 14 November 2013 di

Medan. Resolusi ini diharapkan untuk diadopsi untuk menjamin keadilan, transparansi dan keseimbangan dalam mekanisme pengaduan RSPO.

Sawit Watch, LINKS, PAN-AP dan Yayasan Setara didukung oleh Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), WildAsia merumuskan resolusi ini berdasarkan pada tidak berjalannya mekanisme pengaduan yang ada di RSPO.

Menurut Bondan Andriyanu, “Sawit Watch sangat mengaperesiasi sistem pengaduan yang diadopsi oleh RSPO pada 2007, namun kami meragukan kemampuan RSPO untuk menjamin anggota dan pemangku ke-pentingan lainnya dengan proses yang adil, transparan dan tidak memihak, di tingkat lapangan.”

“Ada 50 pengaduan telah diaju-kan sejak 2008, dan proses penan-ganannya kami rasa sangat lamban. Seperti tidak ada keseriusan dari RSPO dalam menangangi kasus karena persentase kasus yang diselesaikan sangat tidak memuaskan bagi pihak yang menyampaikan aduan,” lanjut Kepala Departemen Kampanye Sawit Watch tersebut.

Persoalan terbesar di RSPO ter-kait penangangan konflik ini adalah

besarnya conflict of interest dari anggotanya. Karena Dewan Ekseku-tif yang mempunyai otoritas besar dalam penanganan konflik adalah terdiri dari anggota RSPO. Ini bentuk cacat kelembagaan karena anggota Dewan Eksekutif bisa menjalankan peran sebagai penggugat, tergugat, panel penerima keluhan, panel band-ing, penasehat panel keluhan, panel pengawasan badan pengaduan dan penentu akhir untuk memutuskan sanksi final.

“Struktur pengaduan tersebut di atas yang menyebabkan penanganan konflik berjalan lamban. RSPO tidak menawarkan mekanisme pengaduan yang mandiri bagi para pemangku kepentingan. Sistem pengaduan RSPO ini belum memenuhi standard me-kanisme keluhan non-hukum sesuai dengan prinsip-prinsip panduan bisnis dan hak azasi manusia PBB yang ada dalam the United Nations ‘Protect, Respect and Remedy’ Framework (UNGP),” kata pria yang diakrab disapa dengan Bondan ini.

Terkait hal itu, Sawit Watch mengkritik keras sistem pengaduan yang tidak bisa menjamin anggota RSPO dan pemangku kepentingan lain

Menjamin Keadilan, Transparansi Dan Keseimbangan Dalam Mekanisme Pengaduan RSPO

Saat Buruh Kebun Menyampaikan Pesan Lewat Aksi Protes

mendapatkan sebuah proses yang adil, transparan dan seimbang, yaitu tataran bermain yang setara.

“Untuk menjamin keadilan, transparansi dan seimbang dalam mekanisme pengaduan tersebut maka kami meminta Majelis Umum RSPO agar mengadopsi resolusi yang kami usulkan, bahwa Dewan Eksekutif harus mampu menjamin bahwa ada pemisahan yang jelas antara kuasa eksekutif pada penanganan pengad-uan dan keluhan, agar sistem kelu-han sejalan dengan UNGP - terutama memastikan operasionalisasi krite-ria sistem operasional, legitimasi, bisa diprediksi, kriteria, adil, dan transparansi,” tutup Bondan.

Kini, resolusi yang disampaikan Sawit Watch dalam RT-11 di Medan tersebut telah di adopsi secara resmi. Tugas selanjutnya adalah merancang strategi terkait dengan implemen-tasi dari resolusi tersebut. Jangan sampai, kemenangan kecil yang telah diraih ini hanya menguap tanpa jejak, teruatama jejak-jejak pembe-laan terhadap buruh perkebunan dan masyarakat yang selama ini menjadi korban dari operasi perkebunan sawit.***Aksi Serbundo di RSPO 11: Menuntut Perusahaan Sawit Untuk Memenuhi Hak-Hak Buruh

Resolusi Sawit Watch yang disampaikan dalam pertemuan RSPO 11 di Medan

LaporanUtama LaporanUtama

10 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 11Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 |

Hadirnya perkebunan kelapa sawit skala besar di Indonesia telah mendatangkan

keuntungan bagi Negara. Kelapa sawit telah menyumbangkan devisa Negara sebesar USD21 milliar atau sekitar Rp. 205 triliun (Kementerian Perdagangan RI 2012). Keuntungan tersebut bertambah lagi bila dimasukkan keuntungan dari produk-produk hasil olahan kelapa sawit seperti kosmetik, makanan olahan hingga biodiesel. Tingginya produksi kelapa sawit Indonesia menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia hingga saat ini mencapai 11,5 juta hektar (Sawit Watch 2013). Alasan Pemerintah membuka usaha perkebunan adalah untuk kesejahteraan rakyat dan untuk lapangan kerja. Namun kenyataan saat ini buruh perkebunan dieksploitasi.. Diperkirakan sekitar 70% buruh di perkebunan adalah Buruh Harian Lepas (Sawit Watch 2012). Hubungan kerja

ini mengakibatkan buruh rentan dengan kesewenang-wenangan, dan tidak adanya kepastian kerja. Dari beberapa penelitian terungkap adanya indikasi kerja paksa buruh di perkebunan kelapa sawit. Buruh mengalami perlakuan buruk, upah rendah, target kerja yang tinggi, pemberlakukan hukuman dan denda yang tidak adil, tidak diberikannya alat kerja dan alat keselamatan kerja yang memadai, minimnya fasilitas air bersih, kesehatan, sarana dan prasarana sekolah. Di perkebunan kelapa sawit juga masih banyak ditemukan pekerja anak. Akibat penerapan beban kerja dan target kerja yang tinggi, serta penerapan denda bagi buruh, buruh terpaksa melibatkan Anak dan Istri maupun keluarganya untuk membantu bekerja.

Kondisi buruh perkebunan kelapa sawit ini dipersuram oleh minimnya kebebasan berserikat di perkebunan kelapa sawit. Buruh yang mencoba mendirikan serikat buruh diintimidasi, dipindahkan ke pekerjaan lain yang tidak disukai

buruh, uapah dikurangi, bahkan terancam di-PHK.

Kondisi buruh perkebunan kelapa sawit juga diperparah oleh minimnya Kebijakan negara yang berpihak pada buruh. Secara umum Undang-Undang perburuhan lebih berpihak kepada kepentingan perusahaan. Kebijakan yang tidak adil terhadap buruh secara langsung melemahkan fungsi pengawasan negara terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Selain persoalan buruh, persoalan lainnya adalah terjadinya konflik tanah akibat perampasan tanah rakyat dan petani. Tahun 2013 ini dicatatkan sekitar 118 konflik tanah antara petani dengan perusahaan kelapa sawit. Kasus-kasus tersebut tersebar di 98 kota/kabupaten di 22 provinsi di Indonesia. Dalam hal ini sebanyak 92 ribu orang dari 315 komunitas telah menjadi korban dalam konflik sumber daya alam dan agraria. Kondisi buruh perkebunan ini juga dirasakan buruh Industri di Sumatera Utara. Upah rendah, outsoring, kontrak, dan PHK semena-mena.

Pada tanggal 11 - 14 November 2013, Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) akan mengadakan Sidang Tahunan ke-11 di Medan. Dalam Prinsip dan Kriterianya RSPO mengatur, Upah dan kondisi kerja buruh yang layak, pekerja kontrak harus memenuhi hukum nasional, kebebasan membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, hak kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat secara kolektif, tidak mempekerjakan anak dan mencega pelecehan seksual dan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam Pembukaan Prinsip dan Kriteria Tahun 2013 RSPO menyatakan RSPO dan anggotanya mengakui, mendukung dan berkomitmen untuk mengikuti Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia, dan Deklarasi ILO Tentang Prinsip dan Hak Fundamental di tempat kerja. Akan tetapi, kondisi buruh di perkebunan kelapa sawit belum berubah di perkebunan-perkebunan anggota RSPO. Bahkan kesaksian salah satu buruh menunjukkan Prinsip dan Kriteria RSPO dibebankan perusahaan perkebunan kelapa sawit kepada buruh.

Sebagai lembaga yang mengeluarkan sertifikasi bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit, RSPO masih mandul dalam penyelesaian segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan anggota RSPO terhadap buruh. Akibatnya, berbagai bentuk-bentuk pelanggaran perkebunan masih terjadi. Pemberlakuan buruh tanpa kontrak yang jelas, pengekangan serikat buruh, PHK sepihak, kekerasan terhadap buruh perempuan dan buruh anak, dan lain-lain. RSPO tidak pernah menegur perusahaan atau organisasi perusahan yang memperlakukan buruk buruh di perkebunan kelapa sawit. Lebih lanjut, sertifikat RSPO telah dijadikan sebagai legitimasi bagi pelanggaran-pelanggaran lingkungan dan Hak Asasi di perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut di atas, untuk menjamin perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak-hak buruh perkebunan dan industri, petani dan masyarakat sekitar perkebunan Aliansi Serikat Buruh Indonesia

atau Serbundo menuntut kepada: Pemerintah Republik Indonesi malalui Gubernur Sumatera Utara: 1. Menolak Kebijakan dan praktek-

praktek eksploitasi buruh termasuk anak dan perempuan di perkebunan kelapa sawit dan industri;

2. Menolak kebijakan dan praktek-praktek upah murah bagi buruh;

3. Meratifikasi konvensi ILO tentang Buruh Perkebunan;

4. Menghapuskan sistem kerja alih daya (outsourcing) di perkebunan kelapa sawit dan industri;

5. Mencabut izin usaha perusahaan yang melanggar hak-hak buruh.

6. Menaikkan Upah Minimum Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014 sebesar 2,4 juta Rupiah.

RSPO lewat Sidang Tahunan ke-11 1. Membentuk Kelompok kerja

perburuhan di RSPO dan menjamin keterwakilan Buruh dalam Kelompok kerja tersebut;

2. Menjamin keadilan, tranparansi, dan keseimbangan dalam mekanisme pengaduan RSPO

3. Melibatkan Buruh dan Masyarakat sekitar dalam proses sertifikasi;

Pernyataan Sikap Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Serbundo)

Hentikan Eksploitasi Terhadap Buruh Perkebunan dan IndustriHentikan Ekspansi Perkebunan Besar Kelapa sawit

Aksi Serbundo pada saat pertemuan RSPO di Medan

4. Mencabut sertifikat RSPO bagi perkebunan yang melanggar hak-hak buruh, petani dan masyarakat sekitar.

5. Menuntut RSPO agar mewajibkan perusahaan perkebunan anggota RSPO memberikan upah yang layak bagi buruh.

6. Menuntut RSPO agar mewajibakan perusahan perkebunan anggota RSPO agar tidak memberlakukan outsorsing, buruh harian lepas, buruh borongan, buruh kontrak, dalam pekerjaan pemanen, penyemprot, pemupuk, perawatan dan pekerjan-pekerjaan yag beruhubungan dengan zat kimia dan rentan dengan kesehatan dan keselamatan kerja .

7. Menuntut RSPO untuk mewajibkan perusahaan perkebunan anggota RSPO agar tidak menghalang-halangi kebebasan berserikat di perkebunan;

Medan, 11 November 2013

Aksi Serbundo pada saat pertemuan RSPO di Medan

LaporanUtama LaporanUtama

12 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 13Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 |

PT Asiatic Persada kembali berulah, setelah sebelumnya pada tahun 2011, juga berhasil

memporakporandakan sekitar 80 rumah di wilayah Sungai Beruang, kini PT Asiatic Persada bersama dengan aparat keamanan sejak tanggal 7-11 Desember 2013 telah melakukan penggusuran secara intensif di areal Pinang Tinggi, Padang Salak, Tanah Menang dan Terawang. Dan hingga hari ini sekitar 146 buah rumah telah rata dengan tanah, sekitar 146 KK mengungsi ke Jambi.

Kekerasan ini bermula ketika Wilmar Group secara sepihak, mengalihkan PT Asiatic Persada kepada group lain yaitu Prima Fortune International Ltd yang berbasis di British Virgin Island dan PT Agro Mandiri Semesta yang berbasis di Indonesia. Dan sejak pengalihan atau penjualan saham

tersebut, semua hasil perundingan dan kesepakatan yang dihasilkan oleh perundingan yang difasilitasi oleh CAO IFC bersama dengan pemerintah Propinsi Jambi selama 2 tahun, seperti hilang tak berbekas. Tak bisa di pungkiri, bahwa kekerasan ini adalah akibat dari larinya WIlmar dari tanggung jawab penyelesaian masalah, dan ini adalah bukti bahwa Wilmar tidaklah sepenuhnya mampu menjadi pelopor minyak sawit berkelanjutan, meskipun Wilmar telah mengeluarkan kebijakan baru “No Deforestation, No Peat, No Exploitation policy, 5 december 2013” dan meskipun Wilmar adalah salah satu anggota RSPO, fakta kekerasan yang terjadi sepanjang 1 minggu ini adalah bukti bahwa Wilmar terlibat dalam kekerasan yang terjadi, karena menjual PT Asiatic Persada kepada perusahaan yang tak

bertanggung jawab, dan menjualnya disaat proses perundingan sedang berlansung. Dan celakanya pula, kekerasan terjadi disaat masyarakat dunia sedang memperingati Hari Hak Azasi Manusia.

Kami sudah tak sanggup lagi untuk terus bertahan dalam tekanan dan intimidasi serta kekerasan yang dilakukan oleh PT Asiatic Persada bersama dengan aparat keamanan, dan kami dari seluruh masyarakat Suku Anak Dalam yang berkonflik dengan PT Asiatic Persada, meminta kepada seluruh consumen di seluruh dunia untuk:1. Berhentilah mengkosumsi minyak

sawit yang dihasilkan oleh Wilmar dan perusahaanperusahaan yang Mensuply minyak sawit kepada pabrik-pabrik Wilmar Group.

2. Berhentilah mengkosumsi minyak sawit yang dihasilkan dari perusahaan PT Asiatic Persada (Prima Fortune International Ltd dan PT Agro Mandiri Semesta, karena sudah sangat jelas, bahwa minyak yang dihasilkan mereka adalah dari memeras air mata dan darah kami.

3. Berhentilah mengkosumsi minyak sawit dari perusahaan-perusahaan yang mengabaikan hakhak masyarakat adat dan perusahaan-perusahaan yang melakukan perampasan lahan.Demikian surat terbuka ini

kami buat, dan kami sungguh mengharapkan dukungan dari seluruh konsumen di dunia, meskipun kami kecil dan sedikit, tapi kami memiliki hak untuk meneruskan hidup kami bersama anak dan cucu kami diatas tanah kami.

Atas Nama Seluruh kelompok SAD yang telah digusur oleh PT ASiatik Persada

Kelompok SAD Pinang TinggiKelompok SAD Tanah MenangKelompok SAD Padang SalakKelompok Terawang

Surat terbuka dari Suku Anak Dalam Propinsi Jambi

Kepada Seluruh Konsumen Minyak Sawit di Dunia, BerhentilahMenguras Air Mata Dan Darah Kami!!!

Warga Suku Anak Dalam di depan puing rumah yang digusur PT Asiatic Persada

MedanJuang MedanJuang

“Ratusan orang tiba-tiba datang, mereka memakai baju seragam polisi dan brimob, dan ada juga yang berpakaian karyawan perusahaan PT Asiatic Persada, kami kaget dan ketakutan, karena ternyata kedatangan mereka adalah untuk menghancurkan rumah kami, kami hanya bisa pasrah melihat rumah kami dihancurkan oleh alat berat milik perusahaan, dan kami juga hanya bisa bisa pasrah ketika beberapa barang kami diangkut oleh mereka.”

Kesaksian korban [11 Desember 2013 pukul 17.00 Wib]

Kondisi perkebunan kelapa sawit pada 2013 tidak lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan lingkungan terus terjadi. Tahun depan, jika tidak ada perbaikan atas sistem dan kebijakan, hal yang sama akan terus terulang.

Persoalan tersebut dipaparkan Sawit Watch dalam konperensi pers yang dilakukan pada Sabtu 21 Desember 2013. Tampil sebagai narasumber dalam jumpa pers tersebut adalah Mansuetus Darto (SPKS), Bonda Andriyanu (Sawit Watch) dan Renata Sandhi (Serbundo). Menurut Mansuetus Darto bahwa kebijakan pemerintah di sektor perkebunan sawit sepanjang 2013 belum berpihak pada petani sawit mandiri, belum mampu memberikan solusi penyelesaian konflik dan tidak memberikan kontribusi pada pembangunan pedesaan. Kebijakan sektor perkebunan hanya berpihak dan menguntungkan korporasi besar. Contohnya regulasi manajemen satu atap.

”Sepanjang 2013, ada sekitar 180 perusahaan yang tidak membangun plasma dari sekitar 300 perusahaan yang ada,” kata Darto. Perusahaan itu tersebar di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.

Kebijakan yang ada malah membuat petani sawit kian menderita karena kian menyusutnya lahan petani sawit. Mereka harus menyerahkan lahan 7,5 hektar kepada perusahaan untuk jadi plasma.

”Pendapatan mereka turun Rp 200.000-Rp 300.000 per hektar setiap bulan,” kata koordinator SPKS tersebut.

Konflik sosial di sektor perkebunan tak kunjung menurun tensinya dari setahun sebelumnya. Berdasarkan catatan Sawit Watch, sepanjang tahun 2013 terjadi konflik sosial melibatkan 150 komunitas masyarakat adat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatera, meliputi Provinsi Sumatera Utara (19 kasus), Sumatera Barat (31), Sumatera Selatan (60), Jambi (21), dan Riau (19). Konflik serupa terjadi di Kalimantan, melibatkan 96 komunitas masyarakat lokal di

Kalimantan Timur, 94 komunitas di Kalimantan Barat, dan 56 komunitas di Kalimantan Tengah. Persoalan masyarakat adat dominan soal tumpang tindih kepemilikan lahan antara masyarakat adat dan perusahaan yang mendapat izin usaha. Hal itu, antara lain, terjadi pada Suku Anak Dalam.

Konflik soal kemitraan antara perusahaan dan petani kelapa sawit terjadi pada 75 perusahaan. Konflik perburuhan terjadi di 65 perusahaan.

Pelanggaran HAM, menurut Renata Sandhi dari bidang Organisasi, Penguatan, dan Pengembangan Usaha Kerakyatan, Serikat Buruh Indonesia (Serbundo), terus terjadi dan pemerintah terus berpihak ke perusahaan.

Jenis pelanggaran HAM terhadap buruh antara lain tidak ada kepastian kerja karena sebagian buruh, terutama perempuan, hanya bekerja saat tanam, target terlalu tinggi sehingga buruh sulit memenuhi dan akibatnya gaji dipotong.

Menurut Kepala Departemen Kampanye dan Edukasi Masyarakat Sawit Watch Bondan Andriyanu, yang menjadi pertanyaan besar, ekspor berkurang, tetapi lahan bertambah. ”Ada indikasi landbanking. Perusahaan meluaskan lahan, tetapi sertifikat diagunkan ke bank guna mendapatkan pinjaman untuk

Potret Buram Perkebunan Sawit Sepanjang 2013

berbisnis lain,” ujarnya. Apa yang terjadi sepanjang

tahun 2013, akan terus terulang jika pengelola negeri masih sesat pikir dalam mengelola sumber-sumber agrarian. Kekayaan alam yang harusnya dimanfaatkan secara arif demi kesejahteraan rakyat telah lama mengalami salah kelola. Ragam Regulasi negara telah menyebabkan aset-aset alam seolah menjadi kutukan. Kini alam terancam bencana ekologis akibat akumulasi dari krisis ekologi dan gagalnya pengurusan alam yang telah menyebabkan kolapsnya pranata kehidupan rakyat. Penghancuran terhadap alam terus meningkat karena lemahnya kebijakan hukum.

Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut di atas, tak ada pilihan selain merapatkan barisan. Seluruh elemen maju rakyat yang terdiri dari buruh, petani, buruh kebun, ormas progressif dan sebagainya berkonsolidasi kembali, menyingkirikan perbedaan-perbedaan yang ada, menemukan isu bersama yang bisa menjadi perekat gerakan. Jika gerakan masih terkotak-kotak, terpecah karena perbedaan isu dan apalagi karena donor, sungguh gerakan yang dibangun hanya akan membentur tembok. Mari rapatkan barisan..!!

Aksi menuntut penyelesaian konflik agraria

14 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 15Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 |

Konflik penguasaan lahan antara masyarakat Desa Piondo dan Desa Bukit dengan PT. Ber-

kat Hutan Pusaka (BHP) merupakan konflik yang telah berlangsung lama, konflik agraria ini setidaknya mulai terjadi sejak tahun 1990-1991 ketika PT. BHP mulai melakukan penguku-ran terhadap areal Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikuasainya secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat desa Piondo, akibatnya banyak tanah milik masyarakat desa Piondo yang diklaim oleh PT. BHP sebagai areal HTI, bahkan menurut hasil investigasi Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulteng bahwa tidak kurang dari 184 Ha areal perkebunan milik masyara-kat Desa Piondo tumpang tindih dengan areal HTI milik perusahaan. Namun konflik tersebut tidak sampai bersifat terbuka dikarenakan situasi ekonomi politik saat itu yang dikend-alikan oleh rezim pemerintahan orde baru yang represif.

PT. BHP sendiri adalah pemegang izin HTI seluas 13.400 Ha diwilayah Kec. Toili dan Toili Barat berdasarkan SK Menhut Nomor 146/kpts-II/1996, tanggal 4 April tahun 1996, PT. BHP

juga merupakan perusahaan patun-gan dari PT. Kurnia Luwuk Sejati milik Murad Husain yang menguasai 60 % saham dengan PT. Inhutani I yang mengusai 40% saham PT. BHP, namun belakangan pada tahun 2007 PT. KLS mengakuisisi seluruh saham milik Inhutani I.

Perlawanan terhadap pihak perusahaan kemudian muncul kem-bali pada tahun 2002. Petani yang semakin kekurangan tanah mulai melakukan pengambilalihan kembali terhadap tanah-tanah yang diklaim oleh pihak perusahaan. Masyarakat menanami sejumlah tanaman ta-hunan di lahan tersebut. Komoditi yang paling banyak dijumpai adalah kakao, rambutan, dan sejumlah tana-man jangka panjang seperti durian. Situasi ini berlangsung cukup lama. Kegairahan menanam dan bertani yang cukup tinggi di tingkat petani, mempercepat proses produktivitas hasil kakao di daerah ini. Hal itu pula yang mendorong petani lainnya untuk terlibat. Proses pengambilalihan kem-bali atas lahan yang dikuasai bahkan sebagian telah ditanami oleh PT. BHP terus berlangsung sampai dengan

sekitar tahun 2004.Pada tahun 2008 PT. KLS mulai

melakukan penggusuran terhadap lahan-lahan yang sebelumnya telah ditanami dengan bermacam-macam tanaman perkebunan oleh petani Desa Piondo. Selain itu pada areal yang telah digusur oleh perusahaan kemudian perlahan-lahan ditanami dengan kelapa sawit. Penggusuran demi penggusuran yang seringkali di backup oleh aparat kepolisian dan TNI setempat (Polsek dan Babinsa) ini mendapat protes keras dari petani. Protes-protes tersebut dilakukan dalam bentuk aksi demonstrasi bersama-sama dengan FRAS Sulteng beberapa kali di Kota Luwuk. Selain itu petani juga telah mengadukan tin-dakan sewenang-wenang PT. KLS ke KOMNASHAM. Laporan petani terse-but memaksa KOMNASHAM (M. Ridha Saleh) untuk melakukan kunjungan langsung ke areal yang menjadi obyek sengketa, KOMNASHAM juga melaku-kan kunjungan kebeberapa desa lain yang juga menjadi korban tindakan PT. KLS. Selain upaya penyelesaian melalui KOMNASHAM, petani juga melakukan upaya-upaya penyelesaian

lain melalui Pemda maupun DPRD. Hasilnya kemudian pada akhir tahun 2009 Pemda Kab. Banggai membentik tim investigasi dan advokasi untuk penyelesaian sengketa.

Sementara dari pihak DPRD tidak ada tindak lanjut sama sekali. Namun demikian sampai sejauh ini belum terlihat hasil yang berarti dari proses-proses perjuangan yang dilakukan oleh petani di Kec. Toili, sebaliknya justru aktivitas-aktivitas penggusuran dan penanaman kelapa Sawit semakin massive dilakukan oleh perusahaan tidak hanya di desa Piondo dan Bukit Jaya tapi juga secara bersamaan PT. BHP juga melakukan penggusuran dan penanaman kelapa sawit di wilayah Desa Mekar Sari, Karya Makmur, Makapa dan beberapa desa lainnya.

Selain melakukan penggusuran dan penanaman kelapa sawit di areal-areal yang sebelumnya telah dikuasai petani, PT. KLS juga secara sengaja melakukan penimbunan terhadap jalan-jalan menuju lahan-lahan perkebunan maupun pertanian milik petani. Penimbunan-penimbunan ja-lan yang dilakukan oleh PT. KLS seti-daknya terjadi pada bulan Oktober 2009 dan yang terakhir terjadi pada bulan Mei 2010 dengan dukungan (backup) dari ± 350 orang aparat TNI yang berasal dari KODIM 1308 Luwuk. Penutupan jalan yang kedua ini ke-mudian memancing reaksi keras dari para petani hingga berujung pada pembakaran buldozer dan eksavator milik PT. KLS masing-masing satu unit serta pembakaran camp divisi 3 milik perusahaan tersebut.

Peristiwa penutupan jalan yang dimaksud terjadi sejak tanggal 11 – 26 Mei 2010 yang lalu. Awalnya ma-syarakat telah berulangkali melaku-kan upaya negosiasi kepada PT.KLS agar tidak ada tindakan anarkis yang dapat merugikan siapapun, akan tetapi upaya negosiasi tersebut tidak diindahkan oleh PT.KLS. Sehingga pada tanggal 26 mei 2010, terjadi aksi massa yang melibatkan beberapa desa, antara lain Desa Piondo, Desa Bukit Jaya, Desa Singkoyo, Desa Mekarsari, Desa Moilong, Desa Tou dan para penambang emas untuk meminta agar jalan yang menjadi

Perampasan Tanah oleh PT KLS dan Kriminalisasi Aparatus Negara Terhadap Petani

jalur kantong produksi dapat dibuka oleh PT.KLS.

Keinginan masyarakat tidak diin-dahkan oleh PT. KLS, sehingga massa yang sudah mulai emosi kemudian secara spontanitas membakar 1 (satu) buah Ekskavator, 1 (satu) buah Doser dan 1 (satu) camp milik PT. KLS. Akibat dari aksi anarkis tersebut, sebanyak 23 orang petani ditangkap dan seorang aktivis bernama Eva Susanti yang mengawal kasus ini juga ditangkap. Proses penangkapan yang dilakukan oleh gabungan antara tim dari POLDA SULTENG, POLRES Luwuk Banggai dan POLSEK Toili, dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai prosedur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Selama penang-kapan dan penahanan, sebanyak 19 orang petani mengalami tindak ke-kerasan berupa pemukulan fisik yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

Selain terkait HTI, sejak tahun 1991 PT KLS juga mengklaim memiliki Hak Guna Usaha (HGU) seluas 6.010 hektar, yang ditanami Kakao (4.000 ha) dan Kelapa Sawit (2.010 ha). In-vestigasi lapangan oleh FRAS Sulawesi Tengah menemukan fakta bahwa PT KLS tidak memiliki Izin Usaha Perke-bunan atas lahan yang diklaim. Juga kawasan yang diklaim ada di atas tanah hak milik warga dengan serti-fikat sah. Tindakan melawan hukum ini telah dilaporkan ke Polres Banggai oleh petani bersama LBH Sulawesi Tengah dengan Laporan Polisi Nomor: LP/655/XI/2009/SPK tertanggal 12 November 2009.

Atas laporan polisi perkembangan terbaru, sejak bulan April 2010, polisi telah menetapkan Murad Husain sebagai Tersangka, namun tidak ditahan. FRAS Sulteng telah mengadukan resmi diskriminasi dan tidak profesionalnya aparat polisi dalam pengusutan kasus ini, khususnya atas 2 Laporan Polisi yang sudah dilakukan. Terkait klaim HGU ini, berdasar-kan hasil investigasi FRAS diketahui bahwa PT. KLS

telah mengambil alih dan menguasai lahan milik petani secara tidak sah setidaknya seluas ± 3000 Ha. Lahan-lahan tersebut sebelumnya adalah milik masyarakat Desa Tou, Moilong, Singkoyo, Benteng Kec. Toili.

Terkait penanganan kasus tidak pidana perkebunan atas nama Murad Husain, setelah melakukan penyidi-kan secara intens, maka pada tanggal 23 April berkas perkara telah dilim-pahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Luwuk, namun kemudian pihak Kejari Luwuk mengembalikan berkas perka-ra tesebut ke pihak penyidik pada tanggal 6 Mei 2010 karena berkas perkara dinyatakan belum lengkap.

Kemudian pada tanggal 18 Mei 2010 setelah melalui proses peleng-kapan berkas, pihak penyidik Polres Banggai kembali melimpahkan berkas perkara yang dimaksud ke pihak Ke-jari Luwuk, namun informasi terakhir diketahui bawa pihak Kejari Luwuk mengembalikan berkas tersebut untuk kedua kalinya kepada Penyidik, ironisnya pihak Kejari Luwuk memin-ta penyidik untuk memeriksa saksi adcharge (meringankan) tersangka, padahal tugas penyidik adalah meng-umpulkan bukti selengkap-lengkapnya untuk menguatkan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Murad Husain, bukan justeru sebaliknya. Sehingga dengan demikian kami menduga ada proses jual beli perkara (makelar kasus/MARKUS) yang sedang terjadi di Kejari Luwuk.***

Aksi FRAS menuntut pemilik KLS untuk di adili

KabarWilayah KabarWilayah

Eva Susanti: Aktifis FRAS yang dikriminalisasi

16 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 17Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 |

Propinsi Sulawesi Tengah me-miliki luas wilayah daratan 68.033,00 km2 mencakup

semenanjung bagian timur dan seba-gian semenanjung bagian utara serta kepulauan togean di teluk tomini dan kepulauan banggai di teluk tolo dengan luas wilayah adalah 189.480 km2. Sulawesi Tengah adalah dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ± 80 meter di atas permukaan laut, terletak di 2o22’Lintang Utara-30o48’Lintang Selatan dan 119o22’-124o22’Bujur Timur. Wilayah admin-istrasi Propinsi ini telah berkembang menjadi 10 wilayah.

Sementara luas hutan berkisar 3,7 hingga 4 juta hektar dan menjadi tempat bergantung bagi 201.877 hektar areal persawahan.sementara didalam dan sekitar hutan terdapat 9.355 hektar perladangan komunitas. Keberlanjutan produksi dan suplai pangan bagi 1.349.225 orang laki-laki dan 1.284.195 orang perempuan (sen-sus penduduk Sulteng 2010), 159.126 rumah tangga miskin-penerima 28.624 ton beras miskin. Bergantung pada jasa lingkungan hutan.

Ancaman Ekspansi Perkebunan Sawit

Awal tahun 2010, kami mendapat-kan informasi mengenai adanya rencana pembukaan areal perkebu-nan kelapa sawit oleh 7 perusahaan. Berdasarkan data dan informasi yang didapatkan, kami mem-prediksikan bahwa luas areal ekspansi ini bisa melampui angka 200.000 hektar jika keseluruhan rencana ekspansi ini diloloskan oleh pemerintah di 4 Ka-bupaten masing-masing: Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) dan Kabu-paten Banggai. Rencana perluasan ini membuat 42.792 jiwa penduduk di 18 desa/kampung berhadapan dengan ancaman kerawanan pangan sekaligus menambah angka penduduk miskin propinsi ini, khususnya kemiskinan di tingkat kabupaten yang menjadi tapak proyek ekspansi.

Hampir dipastikan bahwa seluas 1.765 hektar sawah petani, 3.791 hektar ladang masyarakat, 6.407 hektar kebun coklat, 749 hektar kebun cengkeh, 64 hektar kebun kopi ditambah 1.377 hektar kebun kelapa akan musnah. Termasuk kerusakan kawasan hutan yang merupakan wilayah tangkapan dan suplai air bagi konsumsi air minum dan areal pertanian masyarakat jika rencana ekspansi ini sengaja diloloskan oleh perusahaan dan pemerintah daerah. Kerusakan hutan dan kehancuran sumber-sumber pendapatan masyara-kat ini semakin mempersulit 76.141 keluarga miskin di Donggala, Sigi, Parigi Moutong dan Banggai keluar dari kemiskinan dan terancam bahaya kerawanan pangan.

18 desa sasaran tapak ekspansi perkebunan kelapa sawit, secara khusus membuat sekitar 5.342 Rumah tangga menjadi sangat rentan menerima praktek marginalisasi hak dan posisi tawar dan resiko terjebak dalam konflik sosial akibat praktek-praktek pembohongan dan manipulasi informasi yang sengaja dilakukan untuk meloloskan tujuan perusahaan memiliki lahan baru untuk menambah keuntungan dari bisnis minyak sawit

Terkait ancaman ekspansi kebun sawit terhadap lahan pertanian di

Sulteng tersebut, Sawit Watch me-nyelenggarakan serangkaian aktifitas kampanye dengan tujuan mening-katkan kesadaran publik di Sulawesi Tengah.

Rangkaian kegiatan kampanye dan dialog kebijakan dilangsungkan di dua tempat. Dialog kebijakan dilaksanakan pada 17 Desember 2013 di Hotel Dwimulya Palu, Sulteng. Sementara kampanye dan diseminasi informasi dilangsungkan di Radio Nebula. Kegiatan kampanye dan dis-eminasi informasi terdiri dari konser musik Stop Ekspansi Sawit, Talkshow, Pemutaran Film tentang sawit, Kon-perensi pers.

Pada kegiatan kampanye Stop Ekspansi Perkebunan Sawit ini, Sawit Watch menggandeng kelompok musik Navicula dari Bali. Navicula adalah kelompok music beraliran rock yang mempunyai penggemar cukup banyak dan umumnya adalah anak-anak muda. Fanbase yang umumnya anak muda itulah yang menjadi salah satu alasan Sawit Watch menggandeng Na-vicula dalam kegiatan ini. Kelompok pemuda ini adalah target sasaran uta-ma kegiatan kampanye dan disemina-si informasi. Peningkatan kesadaran kaum muda tentang ekspansi perke-bunan sawit harus ditanamkan sejak mula. Aktifitas kampanye dan disemi-

nasi informasi ini diharapkan mengin-jeksi dan meningkatkan pemahaman kaum muda dan untuk berpartisipasi aktif dalam menghadang perluasan perkebunan sawit yang massif di Sulawesi Tengah.

Navicula sendiri selama ini dike-nal luas sebagai kelompok musik yang fokus pada isu-isu lingkungan dan mempunyai misi menyebarluarkan gagasan penyelamatan lingkungan dan hutan lewat lirik lagu. Lirik lagu-lagu Navicula sangat kental dengan kritik sosial dan menggugah kesada-ran pendengarnya untuk berpartisi-pasi aktif dalam upaya penyelamatan lingkungan.

Aktifitas kampanye dan disemina-si informasi dimulai dengan konfe-rensi pers pada 16 Desember 2013. Konferensi pers dihadiri sebanyak 20 jurnalis media lokal dan kontributor beberapa media nasional. Narasum-ber dalam konferensi pers ini adalah Personil band Navicula (Robi, Dadang, Made dan Gembul) dan staff Sawit Watch (Jopi Peranginangin).

Dalam konferensi pers beberapa jurnalis menanyakan pesan apa yang ingin disampaikan Sawit Watch dan Navicula ke public dalam keg-iatan kampanye stop ekspansi sawit tersebut. Dalam konperensi pers ini, Sawit Watch dan Navicula menjelas-kan bahwa pesan yang ingin disam-paikan ke publik adalah pentingnya menahan laju perluasan perkebunan sawit di Sulteng. Dan untuk menahan

laju perluasan perkebunan sawit ini dibutuhkan partisipasi luas publik sulteng. Untuk meningkatkan partisi-pasi publik maka terkait erat dengan tingkat kesadaran publik. Sehingga kampanye dan diseminasi informasi adalah salah satu cara efektif dalam meningkatkan kesadaran publik terse-but, dan diharapkan akan terlibat dalam menahan laju ekspansi perke-bunan sawit tersebut.

Pada kesempatan konferensi pers ini, Sawit Watch dan Navicula menjelaskan ke jurnalis bahwa aktifitas kampanye dan diseminasi informasi ini tidak dimaksudkan un-tuk menolak produk sawit sebagai ko-moditi, melainkan menolak kebijakan pemerintah yang mengeluarkan izin-izin baru alihfungsi kawasan hutan dan lahan untuk perkebunan sawit. Karena pada waktu yang bersamaan luas areal perkebunan sawit yang sudah mencapai 11,5 juta hektar di nilai sudah cukup asal dikelola den-gan baik dan dilakukan optimalisasi atas lahan-lahan tersebut.

Aktifitas selanjutnya adalah talk show di Radio Nebula. Sebuah radio swasta tertua dan paling banyak pendengarnya, khususnya dikalangan anak muda Palu, Sulawesi Tengah. Hampir sama dengan apa yang disam-paikan dalam konferensi pers, dalam talkshow dengan audiens yang lebih luas, Sawit Watch dan Navicula me-nyampaikan pentingnya menahan laju perluasan kebun sawit di Sulawesi

tengah, serta pentingnya melindungi lahan-lahan pertanian guna menun-jang kedaulatan pangan. Dalam sesi dialog interaktif, para audiens di-persilahkan untuk bertanya ke Sawit Watch dan Navicula melalui twitter, SMS, telepon. Beberapa pertanyaan yang cukup kritis disampaikan para pendengar setia radio nebula.

Rangkaian aktifitas kampanye dan diseminasi informasi ini ditutup den-gan konser stop ekspansi sawit. Se-belum Navicula tampil di panggung, beberapa kelompok musik lokal palu tampil sebagai band pembuka. Dian-taranya adalah hot dog in blue dan the Box. Kedua kelompok music ini sangat digandrungi anak muda Palu. Sekitar 1500 orang menghadiri konser stop ekspansi sawit ini. Para penon-ton sangat antusias menyaksikan aksi panggung beberapa kelompok music tersebut. 1 jam sebelum Navicula naik panggung, para penonton di ajak bersama-sama menonton film sawit “maju mundur” yang diproduksi Sawit watch.

Sehabis pemutaran film sawit, Navicula tampil di atas panggung dan memacu adrenalin penonton den-gan lagu-lagu mereka. Robi (voca-lis) tampil sebagai orator dan terus menerus menyampaikan informasi ke penonton tentang persoalan sawit. Navicula tampil membawakan 14 lagu mereka.***

Reportase Kampanye Dan Dialog KebijakanDampak Perkebunan Sawit Terhadap Lahan Pertanian di Sulawesi Tengah

Kebijakan Kebijakan

Dialog Kebijakan Perkebunan Sawit di Sulawesi Tengah

Konser Stop Ekspansi Sawit

18 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 19Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 |

Konflik perusahaan sawit dengan komunitas adat kian marak sepanjang tahun 2013

Catatan Akhir Tahun 2013 Catatan Akhir Tahun 2013

Selama tahun 2013, Sawit Watch telah menghasilkan progress pada kerja-kerjanya,

baik di level lokal, nasional dan internasional.Tahun ini, Sawit Watch meluaskan ke isu-isu lain yang juga mendapatkan imbas dari ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar, seperti buruh dan panganSelain itu, dalam rangka menanggapi beberapa situasi dan kondisi yang sedang berkembang, Sawit Wach juga bekerja untuk mengadvokasi isu-isu lain seperti Moratorium Hutan, APEC dan RSPO. Sebagai lembaga yang juga bertugas mengadvokasi konflik yang disebabkan oleh perkebunan kelapa sawit skala besar, Sawit Watch juga tetap melakukan tugas-tugas pendampingan kasus masyarakat yang sedang berkonflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit.Isu buruh perkebunan kelapa sawit tahun ini mendapat banyak sorotan di media nasional dan internasional. Salah satu perusahaan yang mendapat ekspose besar telah melakukan kerja paksa dan mempekerjakan

buruh di bawah umur, adalah Kuala Lumpur Kepong Berhard. Beberapa anak perusahaannya telah terbukti melanggar hak pekerja dan mempekerjakan anak dalam keseharian operasinya. Selain itu, beberapa studi kasus lain juga menemukan beberapa perusahaan bersertifikasi RSPO yang masih mengeksploitasi buruhnya.

Sawit Watch telah melakukan berbagai upaya untuk mengadvokasi masalah buruh perkebunan. Sawit Watch telah melakukan beberapa riset tentang kondisi buruh perkebunan yang dilakukan baik pada perkebunan yang merupakan anggota RSPO dan yang bukan. Hasil riset menunjukkan bahwa perusahaan perkebunan belum mampu memenuhi kewajiban mereka terhadap buruh dan menghargai hak-hak buruh, termasuk hak untuk berserikat. Bersama dengan mitra dan jaringan lain, Sawit Watch telah melaksanakan beberapa lokakarya dan diskusi terkait kondisi buruh, baik di level nasional dan internasional. Berbagai

diskusi dan loka karya ini bertujuan untuk mengkampanyekan isu buruh di perkebunan sawit. Beberapa acara ini juga dihadiri oleh pemangku kepentingan lain, seperti badan-badan pemerintah terkait, akademisi dan serikat-serikat buruh.

Dalam Kongres IV Sawit Watch akhir tahun 2012, kedaulatan pangan menjadi salah satu mandat Sawit Watch. Untuk melaksanakan mandat tersebut, Sawit Watch telah melakukan riset di beberapa daerah di mana lahan pangan masyarakat terkena imbas ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar. Serangkaian riset ini menyimpulkan bahwa harus ada komitmen dari pemerintah untuk melindungi lahan pangan masyarakat. Bersama dengan jaringan dan mitra lokal, Sawit Watch telah melakukan lokakarya yang bertemakan ketahanan pangan melawan ekspansi sawit. Lokakarya ini bertujuan untuk mempromosikan pentingnya melindungi lahan pangan masyarakat dari ekspansi perkebunan sawit. Lokakarya ini juga melibatkan

pemangku kepentingan lain, seperti akademisi dan instansi pemerintah lain. Serangkaian lokakarya ini menghasilkan komitmen dari berbagai pihak untuk segera mendorong draft perlindungan lahan pangan dari ekspansi perkebunan sawit.

Tahun 2013 juga merupakan tahun dimana Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden untuk memperpanjang periode Moratorium Hutan. Sebelum keputusan ini keluar, Sawit Watch bersama koalisi pendukung moratorium mengkampanyekan dukungan kepada Presiden untuk memperpanjang moratorium hutan. Kampanye ini dilakukan melalui kunjungan media dan menjadi narasumber dalam beberapa diskusi publik. Dalam berbagai forum ini Sawit Watch menyampaikan alasan-alasannya dalam mendukung perpanjangan moratorium hutan, yakni: mengurangi deforestasi, mencegah kejahatan sistematik di sektor kehutanan, mensinergikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan penghentian pemberian ijin pembukaan lahan, dan mengurangi potensi konflik sosial antara perusahaan dengan masyarakat adat dan/atau lokal.

Sebagai bagian dari advokasi internasional, Sawit Watch bergabung dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sejak tahun 2004. Sejak itu pula Sawit Watch telah menjadi anggota Dewan Eksekutif (EB) mewakili kelompok LSM sosial di RSPO. Tahun 2013 merupakan tahun pertama dimana Sawit Watch tidak lagi menjadi anggota EB. Sawit Watch kali ini mengambil peran di berbagai kelompok kerja dan gugus tugas yang ada di dalam RSPO. Pada pertemuan tahunan RSPO 2013 di Medan, Sawit Watch telah berhasil mengkampanyekan isu buruh bersama dengan jaringan serikat dan organisasi buruh lokal, nasional dan internasional. Selain itu, Sawit Watch juga telah berhasil meloloskan resolusi yang meminta Sekretariat RSPO untuk mereformasi mekanisme pengaduan dan resolusi konflik yang sudah ada. Alasan utama Sawit Watch mendorong perbaikan mekanisme pengaduan dan resolusi konflik yang sekarang dimiliki RSPO dinilai tidak berimbang dan berpotensi mengakibatkan konflik kepentingan. Hal ini dikarenakan keputusan tertinggi berada di tangan EB, yang bisa juga

sebagai pihak yang mengadi dan di adu. Resolusi ini berhasil lolos pada sidang Majelis Umum RPSO pada 14 November 2013.

Menyoroti Isu Spesifik Dalam Perkebunan Kelapa SawitA. Ancaman Penyempitan Ruang Hidup Masyarat

dengan Penguasaan lahan oleh 3 sektor Investasi di 8 provinsi

Dari table di bawah ini menunjukkan masalah sosial ke depan adalah penyempitan ruang kehidupan masyarakat. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat di 8 Provinsi dan kebutuhan ruang hidup seperti lahan perumahan, lahan pertanian dan pangan serta ruang untuk pengembangan infrastruktur pembangunan wilayah akan menyempit maka bisa menjadi masalah akan alokasi ruang oleh pemerintah untuk sektor investasi baik Perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri maupun untuk sector pertambangan. Luas total sektor investasi untuk perkebunan sebesar 15,337,673.00 ha dan Total alokasi ruang untuk Perkebunan, HTI dan Tambang di 8 provinsi mencapai 34,355,850.00 ha.

No Provinsi SAWIT

1 Kalteng 2,793,794.00

2 Jambi 819,237.00

3 Sumsel 690,729.00

4 Riau 2.031.817.00

5 kaltim 2,600,000.00

6 Sumut 1,015,321.00

7 Kalsel 424,754.00

8 Kalbar 4,962,021.00

Total 15,337,673.00

B. Konflik Sosial Konflik sosial dalam perkebunan kelapa sawit

pantauan di 8 provinsi terjadi pada level masyarakat

Catatan Akhir Tahun 2013

Perkebunan Kelapa Sawit: Hendak Kemana? Peta Sebaran Konflik Lahan terkait Perkebunan Sawit

20 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 21Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 |

adat dan petani dan buruh perkebunan. Tabel dibawah ini menunjukkan beberapa masalah sosial terutama pada level masyarakat adat, petani dan buruh perkebunan. Masalah pada level masarakat adat tentunya sangat dominan dengan focus persoalannya adalah persoalan tumpang tindih lahan antara kepemilikan masarakat adat dan ijin yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebanyak 396 komunitas yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan di 8 provinsi di Pulau Sumatra dan Kalimantan. sementara masalah sosial bidang kemitraan meliputi 75 perusahaan yang berkonflik dengan petani kelapa sawit, dan terdapat 65 perusahaan yang memiliki masalah dengan buruh di sector perkebunan. Masalah buruh yang paling banyak adalah buruh sawit di Sumatra utara.

Propinsi Konflik Sosial Buruh (Perusahaan)Masy Adat Kemitraan

(Perusahaan)

Sumatera

Sumut 19 6 30 Kasus

Sumbar 31 4 NA

Sumsel 60 6 3 Kasus

Jambi 21 12 2 Kasus

Riau 19 18 6 Kasus

Kalimantan

Kaltim 96 5 5 Kasus

Kalbar 94 19 8 Kasus

Kalteng 56 5 11 Kasus

Total 396 Komunitas 75 Perusahaan 65 Perusahaan

C. Skema Kemitraan (Inti dan Plasma) di Indonesia Skema kemitraan merupakan model pelaksanaan

dari pola manajemen satu atap dalam pengembangan kelapa sawit di Indonesia sejak tahun 2006 melalui program revitalisasi perkebunan. skema bagi hasil di atas adalah temuan SPKS dari salah satu perusahaan yang mengembangkan pola manajemen satu atap di Kabupaten sanggau dalam pelaksanaan replanting kelapa sawit. Dari hasil produksi keseluruhan petani (2 ha), 50 % dari hasil produksinya digunakan oleh perusahaan dalam melakukan pemeliharaan seperti pemeliharaan tanaman, sewa buruh dan pengangkutan TBS. sebanyak 30 % diperuntukkan bank untuk kepentingan pembayaran utang dari kredit pembangunan kebun yang di potong secara langsung

perusahaan dan petani hanya mendapatkan 20 % dari total produksinya.

Dalam pola manajemen satu atap, petani sawit tidak lagi mengelola perkebunannya seperti dalam pola PIRTRANS melainkan manajemen pengelolaannya oleh perusahaan. Jika petani plasma ingin mendapatkan penghasilan yang lebih, petani tersebut akan menjadi buruh yang direkrut oleh perusahaan. Model ini yang sering di kritik oleh masyarakat sipil permerhati kelapa sawit di Indonesia sebagai bagian dari anti pemberdayaan dan memperlakukan petani seperti buruh di tanah sendiri.

Secara umum, persoalan pola manajemen satu atap telah menimbulkan banyak masalah di pulau Sumatra dan Kalimantan.SPKS mereview beberapa konflik yang dipantau secara langsung oleh SPKS dimana beberapa

penggunaan pola manajemen satu atap menimbulkan konflik sosial karena penggunaan monopoli yang berlebihan oleh perusahaan, tidak transparan dan pendapatan petani sangat rendah.

Sistem Penyerahan LahanDi beberapa tempat yang di

temui oleh SPKS seperti di kabupaten

sanggau, masyarakat di paksa menyerahkan lahan seluas 7,5 ha/KK. Sebanyak 5 ha untuk perusahaan, 0,5 ha untuk infrastruktur jalan dan 2 ha untuk kebun petani. Jika tidak menyerahkan lahan hingga 7,5 ha maka petani akan mendapatkan dibawah 2 ha.

Dibawah ini adalah skema penyerahan lahan masarakat pada

salah satu perusahaan asing asal Malaysia di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat. Akibat tidak menyerahkan lahan hingga 7,5 ha, sebanyak 210 petani yang bermitra dengan perusahaan ini mendapatkan kebun plasma dibawah 2 ha dengan luasan antara 0,30 ha – 1, 8 ha.

Skema Penyerahan Lahan

Skema Kemitraan

Komunitas Adat Suku Anak Dalam sedang mengadukan nasibnya ke kantor Gubernur Jambi

Catatan Akhir Tahun 2013 Catatan Akhir Tahun 2013

22 | Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 23Tandan Sawit, Edisi No. 3 | Desember 2013 |

Pada 3-6 Desember Pemerintah Indonesia dipercaya sebagai tuan rumah untuk melaksanakan

Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IX organisasi perdagangan dunia (World Trade Organisation/WTO). Pertemuan tersebut membahas mengenai kema-juan pelaksanaan perjanjian-perjanji-an yang telah disepakati oleh anggota WTO, seperti pelaksanaan topik liber-alisasi pertanian (AoA/Agreement on Agriculture) dan fasilitas perdagangan (Trade Fasilitation) dan pembangunan negara berkembang dan miskin atau LDC/Least Development Country.

Sawit Watch memahami bahwa persoalan sawit terkait erat dengan perjanjian-perjanjian dagang yang dihasilkan dalam forum-forum WTO. Salah satu proposal yang didorong oleh Indonesia dalam agenda WTO adalah keamanan energy dan pangan adalah memastikan agenda pertanian dan sawit berkelanjutan, selain isu perdagangan tentunya. Bogor Goals sebagai dasar untuk perdagangan ter-buka dan rezim investasi di kawasan Asia-Pasifik, dengan target pember-lakuan perdagangan dan investasi bebas pada tahun 2010 untuk eko-nomi maju dan 2020 untuk ekonomi berkembang.

Bagi rakyat Indonesia, WTO tidak

ada urusannya dengan kepentingan rakyat. Negara hanya memfasilitasi kepentingan Negara Utara dan mem-berikan jalan untuk menguasai berb-agai sektor melalui skema neoliber-alisasi. Sejak masuk WTO pada 1995, Indonesia telah meratifikasi berbagai komitmen dan melakukan deregulasi yang menguntungkan negara-negara imperialis pimpinan Amerika Serikat (AS). Sektor-sektor yang strategis seperti air,energy dan pangan dikua-sai untuk kepentingan mereka. Pun demikian dengan WTO, Isu-isu pent-ing yang harus direspon sesuai dengan program dan target WTO di Bali, pertama Liberalisasi perdagangan dalam skema TPPA, kedua Ketahanan pangan dan ketahanan energy dan ketiga menyukseskan program trade facilitation dalam WTO.

Dalam dua dekade terakhir rakyat hanya menanggung dampak bencana ekologis dan ancaman konflik dan perampasan tanah yang dilakukan oleh korporasi skala besar. Degradasi lingkungan, ketiadaan jaminan kes-elamatan, kehidupan yang sejahtera, serta ketidak pastian keberlanjutan jasa layanan alam terus meningkat dari tahun ke tahun. Pemantauan walhi hingga desember 2012, konflik SDA dan perkebunan di Indonesia

sudah mencapai 613 konflik yang tersebar di 29 provinsi Indonesia.

Pemerintah Indonesia telah mem-fasilitasi dan menjadi aktor peram-pas sumberdaya alam dan tanah di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pelepasan kawasan hutan. Pencabutan izin HPH tahun 2004 dan berganti dengan IUPHHK HA, tahun 2006 seluas 4,1 juta hektar. Pada tahun 2012 melonjak lebih dari 5 kali lipat menjadi 20,2 juta hektar melalui 313 izin. Selain itu dalam waktu 6 tahun terakhir juga terjadi peningkatan pemberian izin terhadap HTI lebih dari 2 kali lipat dari 108 izin seluas 3,5 juta hektar menjadi 221 izin dengan total luas 8,8 juta hek-tar. Dimana terjadi peningkatan pen-geluaran izin penebangan hutan alam seluas 16 juta hektar dalam waktu 6 tahun atau rata rata diatas 3,7 juta hektar setiap tahun. Pengeluaran izin ini sangat kuat kaitannya dengan perhelatan politik dimana terjadi lonjakan pengeluaran izin pada tahun 2009 pada IUPHHK-HA 44 izin dan 34 izin pada IUPHHK-HTI dengan luas 4,7 juta hektar.

Berbagai persoalan tersebut di atas yang menjadi alas SW untuk berpartisipasi aktif menolak kese-pakatan-kesepakatan yang dihasilkan

WTO. Untuk merespon KTM WTO IX di Bali, SW menyelenggarakan sebuah workshop dengan tema Perdagangan, Deforestasi dan Perampasan Lahan. Workshop Perdagangan, Deforestasi dan Perampasan Lahan ini adalah bagian dari gerakan Kampanye Anti WTO People Global Camp (PGC) di Bali yang diorganisasikan Indonesian People Aliance (IPA). Sekitar 2000 orang hadir sebagai peserta aktif PGC. Ribuan orang tersebut me-wakikili seluruh sektor masyarakat seperti Buruh, pemuda dan maha-siswa, perempuan, Buruh Migran, dan berbagai NGO dari nasional dan Internasional.

Workshop diselenggarakan di GOR Ngurah Rai Denpasar Bali. Ada sekitar 20 Workshop dengan tema berbeda selama 2 hari penuh tersebut. Sawit Watch bekerjasama dengan AGRA, SPKS, PUSAKA, FIELD Dan KPA dalam melaksanakan workshop tersebut.

Ringkasan WorkshopWorkshop ini menekankan pada

proses perampasan tanah yang ter-jadi secara massif di Indonesia dan bahkan dunia. Dampak yang sangat jelas terlihat adalah munculnya ben-cana kelaparan yang mengancam ke-berlangsungan hidup manusia karena

kehilangan lahan pangan. Workshop ini diharapkan bisa membangkitkan semangat semua elemen, masyarakat sipil atau pun ornop untuk bergerak melawan kesewenang-wenanganan yang terjadi.

Seperti yang disampaikan Noordin dari Save Our Borneo (SOB) bahwa perkebunan sawit dan perampasan lahan akibat dari kebijakan Negara yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan keseim-bangan ekologi adalah ancaman nyata rakyat saat ini.

Di Kalimantan misalnya, 80% lebih kelapa sawit ditanam di kawasan hu-tan. Hal ini menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai kawasan reser-vasi air untuk penyanggah banjir, hilangnya fungsi hutan sebagai akar budaya masyarakat, hancurnya fungsi hutan sebagai tempat hidup satwa dan sebagainya. Dan sebagaian besar hal tersebut terjadi karena sawit.

Hal ini sangat merugikan karena banyak potensi hutan yang musnah sejak land clearing. Saat Jika di-kaitkan dengan pangan, saat terjadi deforestasi maka akan memicu peny-empitan lahan. Deforestasi juga akan merusak sistem pertanian lokal dan termasuk ancaman bencana banjir, kekeringan dan sebagainya.

Sementara itu, Rahmat dari AGRA menyampaikan bahwa perampasan tanah hari ini sudah terjadi dimana-mana. Perkembangan terakhir, bukan hanya tanah tetapi air, benih juga dirampas. Hari ini orang yang meram-pas juga bicara tentang perampasan tanah. Bank dunia hari ini bicara tentang perampasan tanah. Mereka bicara agar yang dirampas tidak diru-gikan. Jadi kita perlu bicara tentang apa itu perampasan tanah.

Orang yang membeli tanah itu juga merampas tanah karena orang menjual karena terpaksa. Bank dunia menysusun mekanisme, ketika itu diberi hak dan ijin maka itu bukan perampasan tanah. Intinya bahwa hilangnya kontrol kaum tani terhadap tanah baik secara ekologi, budaya, politik, sosial.

Di Indonesia, orang yang mengua-sai atau memonopoli tanah, meru-pakan orang yang menguasai poltik Indonesia hari ini. Ketika memonopoli tanah maka dia akan memonopoli perdagangan.

Ketua KPA, Iwan Nurdin me-maparkan tentang proses perampasan tanah di Indonesia. Ini bukan barang baru, ini sudah terjadi sejak jaman kolonial untuk pertanian skala besar. Kita punya bukti yang nyata, bahwa pembukaan perkebunan skala be-sar tidak mensejahterahkan rakyat. Dapat dilihat bahwa dari data angka kemiskinan, yang terbesar justru terjadi di wilayah perkebunan itu sendiri. Jadi omong kosong jika ada yang bilang bahwa perkebunan skala besar bisa mensejahterahkan rakyat.

Perampasan tanah di Indonesia selalu berkorelasi dengan korupsi yang terjadi dan melibatkan para bi-rokrat. Ada hal lain, dimana birokrat mau menjadi fasilitator untuk hal ini demi mendaptkan keuntungan. Perampasan tanah mengakibatkaan konflik, kalau terjadi perputaran modal maka akan mengakibtkan ke-miskinan. Maka dasar untuk merom-bak itu semua adalah reforma agraria sebagai jalan satu-satunya yang harus dilakukan.

Sementara anggota KOMNAS HAM, Dianto Bachriadi menyatakan bahwa WTO hanya bisa dihancurkan di tingkat lokal. Misalanya dengan cara aksi pendudukan lahan. Bagi Komnas HAM, aksi pendudukan lahan adalah perjuangan konstitusional.***

Perdagangan, Deforestasi dan Perampasan LahanReportase Workshop

Workshop Perdagangan, Deforestasi dan Perampasan Lahan

Panggung PGC atau Kemah Rakyat Sedunia di GOR Ngurah Rai Denpasar Bali

Politika Politika