Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum...

18
Warta Edisi Khusus: Oktober 2013 Warta Keluarga Katolik Indonesia Houston KKIH Hati Lapang yang Terbuka Bagi Allah Wawancara Eksklusif bersama Paus Fransiskus Penulis Romo Antonio Spadaro SJ Alih Bahasa: Fadjar Budhijanto Keluarga Katolik Indonesia Houston www.kkih.org Email: [email protected] Misa KKIH St. Catherine of Siena 10688 Shadow Wood Houston, TX 77043 Setiap Minggu kedua dan keempat 3:00pm Rosario dan Pendalaman Iman Setiap Senin kedua atau keempat Di rumah umat Ketua: Wakil Ketua: Sekretaris: Bendahara: Treasury: Liturgi: Rosario: Bina Anak-anak: Bina Remaja: Bina Dewasa: Koor: Konsumsi: Perlengkapan: Inventori: Teknologi: Hubungan Luar: Hubungan Gerejani: Olah Raga: Publikasi: Pembimbing: Komisi Masa Depan: Irwan Hidajat Frankie Sugiaman Sigit Pratopo Kathleen Sendjaja Riana Jo Hans Sutanto, Yulia Gunawan, Yanti Inarsoyo Patricia Henry Windra Sugiaman, Caroline Silka Salim Paul Wahyudin, Gaby Wahyudin Teddy Oetama, Djoni Sidarta Yovita Iskandar, Kevin Kang Lisa Siboro, Honny Sinartio, Lanny Efendy, E. Yuyu Atmadja Betty Oetama Sri Dilla Tanu Ewa Efendy Harry Kumala, Andrew Huang Christian Tan Husin Karim Fadjar Budhijanto Romo John Taosan Djoni Sidarta Fadjar Budhijanto Pengurus 2012-2014 www.facebook.com/KKIndonesiaHouston Hari itu adalah Senin, tang- gal 19 Agustus 2013. Saya punya janji untuk menjumpai Paus Fran- siskus pada jam 10 pagi di Santa Marta. Saya mewarisi kebiasaan ayahku yang selalu datang lebih awal untuk urusan apapun. Orang yang menyambutku bilang agar saya menunggu di salah satu ruang. Tidak lama kemudian, saya diajak naik lift. Dalam waktu sekejab saya teringat akan pertemuan para editor jurnal Serikat Yesus di Lisbon, yang membahas proposal untuk menerbitkan secara bersama-sama wawancara dengan Paus. Saya sudah mendiskusikan dengan para editor, untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. Ketika saya muncul di lift, kulihat Paus sudah siap menungguiku di pintu. Begitu berjumpa dengannya, saya punya kesan menyenangkan seolah tidak melanggar batas apapun. Saya masuk ke kamar Paus dan beliau memintaku untuk duduk di atas kursinya yang empuk. Beliau sendiri memilih duduk di kursi yang lebih tinggi dan lebih keras karena ada gangguan di punggungnya. Tata ruang kamarnya sangat sederhana. Ruang kerjanya dipenuhi oleh sebuah meja kecil. Saya terkesan tidak oleh kesederhanaan furnitur yang ada, tetapi juga segala sesuatu yang ada dalam kamar itu. Hanya ada beberapa barang, termasuk ikon Santo Fransiskus, patung Maria dari Lujan (santa pelindung Argentina), salib dan patung Santo Yusuf yang tertidur. Spiritualitas Jorge Mario Bergoglio tidak terbentuk oleh enerji yang harmonis, sebagaimana beliau katakan, tetapi oleh wajah- wajah: Kristus, Santo Fransiskus, Santo Yusuf dan Bunda Maria. Paus menyinggung kenangan kunjungannya ke Brazil. Beliau meya- kininya sebagai rahmat murni. Baginya World Youth Day adalah benar- benar sebuah ‘misteri.’ Beliau mengatakan bahwa dirinya tidak terbia- sa berbicara di hadapan banyak orang: “Saya dapat menjumpai pribadi Paus Fransiskus.

Transcript of Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum...

Page 1: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

WartaEdisi Khusus: Oktober 2013

WartaKeluarga Katolik Indonesia Houston

KKIHHati Lapang yang Terbuka Bagi AllahWawancara Eksklusif bersama Paus FransiskusPenulis Romo Antonio Spadaro SJ

Alih Bahasa: Fadjar Budhijanto

Keluarga Katolik Indonesia Houstonwww.kkih.orgEmail: [email protected]

Misa KKIH

St. Catherine of Siena10688 Shadow WoodHouston, TX 77043Setiap Minggu kedua dan keempat3:00pm

Rosario dan Pendalaman Iman

Setiap Senin kedua atau keempatDi rumah umat

Ketua:Wakil Ketua:Sekretaris:Bendahara:Treasury:Liturgi:Rosario:

Bina Anak-anak:

Bina Remaja:

Bina Dewasa:

Koor:

Konsumsi:

Perlengkapan:Inventori:Teknologi:Hubungan Luar:

Hubungan Gerejani: Olah Raga:Publikasi:

Pembimbing:Komisi Masa Depan:

Irwan HidajatFrankie SugiamanSigit PratopoKathleen SendjajaRiana JoHans Sutanto,Yulia Gunawan,Yanti InarsoyoPatricia HenryWindra Sugiaman,Caroline Silka SalimPaul Wahyudin,Gaby WahyudinTeddy Oetama,Djoni SidartaYovita Iskandar,Kevin KangLisa Siboro,Honny Sinartio,Lanny Efendy,E. Yuyu AtmadjaBetty OetamaSri Dilla TanuEwa EfendyHarry Kumala,Andrew HuangChristian TanHusin KarimFadjar Budhijanto

Romo John TaosanDjoni SidartaFadjar Budhijanto

Pengurus 2012-2014

www.facebook.com/KKIndonesiaHouston

Hari itu adalah Senin, tang-gal 19 Agustus 2013. Saya punya janji untuk menjumpai Paus Fran-siskus pada jam 10 pagi di Santa Marta. Saya mewarisi kebiasaan ayahku yang selalu datang lebih awal untuk urusan apapun. Orang yang menyambutku bilang agar saya menunggu di salah satu ruang. Tidak lama kemudian, saya diajak naik lift. Dalam waktu sekejab saya teringat akan pertemuan para

editor jurnal Serikat Yesus di Lisbon, yang membahas proposal untuk menerbitkan secara bersama-sama wawancara dengan Paus. Saya sudah mendiskusikan dengan para editor, untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. Ketika saya muncul di lift, kulihat Paus sudah siap menungguiku di pintu. Begitu berjumpa dengannya, saya punya kesan menyenangkan seolah tidak melanggar batas apapun.

Saya masuk ke kamar Paus dan beliau memintaku untuk duduk di atas kursinya yang empuk. Beliau sendiri memilih duduk di kursi yang lebih tinggi dan lebih keras karena ada gangguan di punggungnya. Tata ruang kamarnya sangat sederhana. Ruang kerjanya dipenuhi oleh sebuah meja kecil. Saya terkesan tidak oleh kesederhanaan furnitur yang ada, tetapi juga segala sesuatu yang ada dalam kamar itu. Hanya ada beberapa barang, termasuk ikon Santo Fransiskus, patung Maria dari Lujan (santa pelindung Argentina), salib dan patung Santo Yusuf yang tertidur. Spiritualitas Jorge Mario Bergoglio tidak terbentuk oleh enerji yang harmonis, sebagaimana beliau katakan, tetapi oleh wajah-wajah: Kristus, Santo Fransiskus, Santo Yusuf dan Bunda Maria.

Paus menyinggung kenangan kunjungannya ke Brazil. Beliau meya-kininya sebagai rahmat murni. Baginya World Youth Day adalah benar-benar sebuah ‘misteri.’ Beliau mengatakan bahwa dirinya tidak terbia-sa berbicara di hadapan banyak orang: “Saya dapat menjumpai pribadi

Paus Fransiskus.

Page 2: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

2 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

Surat Redaksi

Dalam terbitan edisi khusus ini Warta mengangkat wawancara Paus Fransiskus oleh tim editor jurnal Yesuit. Wawancara yang dilakukan dalam tiga sesi pada Agustus lalu oleh Romo Anto-nio Spadaro SJ, telah diterbit-kan dalam bahasa Itali melalui La Civilta Cattolica dan versi bahasa Inggris melalui America Magazine.

Wawancara yang sangat lang-ka ini sarat dengan pandangan Paus Fransiskus tentang dirinya, gereja dll, disampaikan dengan sikap begitu terbuka, jujur, membumi, dan dalam bahasa yang relatif mudah dimengerti oleh segenap golongan umat.

Begitu banyak komentar dari berbagai pihak telah ditulis dengan nada yang ragam: ada yang mendukung, ada yang bingung tetapi ada pula yang merasa kecewa. Tidak jarang pula yang mencoba memanipu-lasikan pernyataan beliau demi kepentingan masing-masing.

Sebagai umat yang menjadi bagian dari gereja universal, kitapun perlu membaca dengan seksama seluruh isi wawan-cara itu agar lebih memahami pemikiran Paus kita. Meskipun agak panjang tetapi bermanfaat.

Berdasarkan pemikiran ini, Redaktur Warta terdorong untuk menerjemahkan isi wawancara itu secara lengkap ke dalam bahasa Indonesia agar lebih dipahami oleh banyak umat KKIH.

Selamat membaca,

Redaktur.

orang, seorang demi seorang, menyapa secara pribadi orang-orang yang datang mengunjungiku. Namun saya tidak terbiasa dalam suatu massa,” demikian pendapat Paus.

Beliau juga menyinggung pengalaman dalam konklaf, sesaat ketika mulai menyadari dirinya berpeluang terpilih menjadi paus. Ketika makan siang pada Rabu, 13 Maret, beliau merasakan adanya suatu kedamaian hati yang mendalam tetapi sulit diungkapkan serta rasa aman meski berada dalam suasana sangat gelap. Dan perasaan-perasaan itulah yang menyertainya hingga saat beliau terpilih.

Paus sebelumnya berbicara tentang kesulitan besar yang dihadapi-nya dalam memberikan wawancara. Beliau bilang bahwa dirinya lebih memilih berpikir daripada memberikan jawaban dalam wawancara langsung. Dalam wawancara ini Paus beberapa kali menginterupsi apa yang beliau katakan ketika merespon pertanyaan yang diajukan.

Berbicara dengan Paus Fransiskus bagaikan menyaksikan letupan aliran volkanik karena ide-idenya yang bermunculan dan terkait satu sama lain. Bahkan mencatat membuatku berperasaan tidak nyaman, karena seolah-olah saya mencoba menekan aliran dialog yang mengalir begitu deras.

Siapakah Jorge Mario Bergoglio?Saya bertanya kepada Paus Fransiskus secara blak-blakan: “Siapakah

Jorge Mario Bergoglio?” Beliau memandangiku dalam keheningan. Lalu saya mengulanginya lagi apakah saya pantas untuk mengajukan pertanyaan semacam itu. Beliau mengangguk dan menjawab: “Terus terang saya tidak tahu manakah diskripsi yang paling tepat … Saya seorang pendosa. Inilah definisi yang paling pas. Ini bukan suatu kiasan atau gaya pengungkapan. Saya memang seorang pendosa.”

Paus terus merenung dan berkonsentrasi, seolah beliau tidak meng-harapkan pertanyaan seperti ini, seolah dirinya terpaksa untuk mere-nungkannya lebih mendalam. “Ya, mungkin saya dapat mengatakan bahwa saya agak cerdik sehingga saya dapat beradaptasi dengan ling-kungan. Tetapi juga benar kalau diriku agak naïf. Ringkasan yang terbaik, yang mengalir dari lubuk hati dan yang saya pikir paling tepat, yaitu: “Saya adalah seorang yang dilihat Allah.” Beliau mengulang: “Saya adalah orang yang dilihat Allah. Saya selalu merasa sembo-yanku, Miserando atque Eligendo [Dengan Mengasihi dan Memilih Allah], adalah hal yang sangat tepat bagiku.”

Semboyan itu diambil dari Homilies of Bede the Venerable, yang menuliskan komentar kisah Injil tentang panggilan Matius: “Yesus melihat seorang pemungut cukai, dan Dia memandanginya dengan penuh kasih dan memilihnya, dan lalu Dia berkata kepadanya, “Ikuti Aku.” Paus menambahkan: “Saya pikir miserando dan gerund bahasa Latin sulit untuk begitu saja diterjemahkan ke dalam bahasa Itali dan Spanyol. Saya suka menerjemahkannya dengan gerund lain yang tidak pernah ada: misericordiando [“mengasihi’].

Paus Fransiskus melanjutkan renungannya, melompat ke topik lain:

Page 3: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

3 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

“Saya tidak kenal Roma dengan baik. Saya hanya tahu beberapa hal saja. Misalnya Basilika Santa Maria Mayor yang selalu saya kunjungi. Saya tahu [basi-lika] Santa Maria Mayor, Santo Petrus … tetapi setiap kali saya datang berkunjung ke Roma, saya selalu tinggal di kawasan Via della Scrofa. Dari situ saya sering mengunjungi Gereja Santo Luis dari Perancis, dan di sana saya mengontemplasikan lukisan Cara-vaggio berjudul “Panggilan Santo Matius.”

“Jari tangan Yesus, menunjuk ke arah Matius. Itulah saya. Saya seperti dia, Matius.” Tampak Paus begitu yakin atas gambaran yang sedang beliau cari: “Sikap Matius itulah yang menyentuh diriku: dia menggeng-gam uangnya seolah berkata, ‘Jangan, jangan saya! Jangan, uang ini adalah milikku.’ Di sini-lah, inilah saya, seorang pendosa yang dipan-dang oleh Allah. Dan inilah yang saya katakan ketika mereka mena-nyakan diriku apakah saya akan menerima hasil pemilihan menjadi paus.” Kemudian Paus membisik dalam baha-sa latin: “Saya seorang pendosa, tetapi saya percaya sepenuhnya akan belas kasih tiada batas dan kesabaran Tuhan kita Yesus Kristus, dan saya menerima dalam semangat pengampunan.”

Mengapa Anda Menjadi Yesuit?Saya melanjutkan: “Bapa Suci, apa yang membuat-

mu memilih masuk Serikat Yesus? Apa sebenarnya yang menarik bagimu tentang ordo Yesuit?

“Saya ingin sesuatu yang lebih. Namun saya tidak tahu apa itu. Saya masuk seminari projo. Saya menyukai Dominikan dan saya punya beberapa teman Dominikan. Namun akhirnya saya memilih Serikat Yesus, yang saya kenal dengan baik karena seminari itu diasuh oleh para imam Yesuit. Tiga hal yang secara khusus menarik bagiku tentang Serikat, yaitu: semangat misionaris, komunitas dan disiplin. Tentu ini terasa janggal, justru karena saya merasa diri sangat tidak disiplin. Tetapi kedisiplinan Yesuit, terutama bagaimana mereka mengatur waktu – sungguh mempesonaku.

“Dan lalu hal lain yang sungguh penting bagiku: komunitas. Saya selalu mencari komunitas. Saya tidak melihat diriku sebagai pastor untuk diri sendi-ri. Saya butuh sebuah komunitas. Pada saat konklaf, saya tinggal [di Santa Marta], di Kamar 207 yang kini menjadi kamar tamu. Saya memilih tinggal di Kamar 201, karena ketika saya menerima kunci apartemen kepausan, dalam hatiku saya mende-ngar “tidak.” Apartemen kepausan sesungguhnya tidak mewah. Apartemen itu kuno, penuh dengan dekorasi indah dan besar, tetapi tidak mewah. Namun pada akhirnya, apartemen itu seolah seperti sebuah corong yang terbalik. Besar dan lapang teta-pi mempunyai pintu yang sangat sempit. Para tamu

sesekali dapat datang berkunjung, dan persis saya tidak bisa hidup sendirian. Saya merasa perlu untuk hidup ber-sama orang lain.”

Apa Artinya Men-jadi Yesuit yang juga Menjadi Us-kup Roma?

Saya bertanya kepa-da Paus Fransiskus tentang realita bahwa

dirinya adalah seorang Yesuit pertama yang terpilih menjadi uskup Roma: “Bagaimana Anda memahami panggilan melayani gereja universal dalam semangat Ignasian? Apa arti-nya bagi seorang Yesuit yang terpilih sebagai paus? Apakah elemen spiritualitas Ignasian membantumu hidup dalam pelayananmu?”

“Discernment,” sahutnya. “Discernment adalah salah satu yang mengakar dalam diri Santo Igna-sius. Baginya discernment adalah sarana perjuang-an untuk mengenal Allah dan mengikutiNya lebih dekat. Saya selalu terkesan dengan ungkapan yang menjelaskan visi Ignasius: non coerceri a maximo, sed contineri a minimo divinum est (“tidak dibatasi oleh yang terbesar dan diisi oleh yang terkecil – inilah ilahi’). Saya memikirkan banyak hal tentang frasa ini dalam kaitannya dengan berbagai isu tentang peranan pemerintahan gereja, menjadi superior bagi orang lain: sangatlah penting untuk tidak diba-tasi oleh ruang yang besar, dan sekaligus penting

‘Panggilan Matius’ karya Amerighi da Caravaggio (1571-1610)

Page 4: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

4 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

untuk mampu tinggal pada ruang yang terbatas.

Kebajikan tentang besar dan kecil adalah keluhuran hati (magnanimity). Bersyukurlah karena keluhuran hati, sehingga kita dapat selalu melihat cakrawa-la dari posisi di mana kita berada. Ini berarti kita mampu melakukan hal-hal kecil setiap hari dengan hati lapang yang terbuka bagi Allah dan sesama. Ini berarti kita mampu mensyukuri hal-hal kecil dalam cakrawala yang besar, yaitu dalam kerajaan Allah.

“Semboyan ini,” lanjut Paus, “memberi parameter untuk mengasumsikan posisi yang tepat dalam discernment, agar dapat mendengar kehendak Allah dari sudut pandang Allah. Menurut Santo Ignasius, prinsip-prinsip utama hendaknya tercakup dalam ruang, waktu dan umat.” Dengan caranya sendiri, Yohanes XXIII mengadopsi sikap ini khususnya dalam hal memimpin gereja, tercermin dalam semboyan yang sering dikatakannya: “Lihat segala sesuatu; pejamkan mata; perbaiki [apa yang bisa meski] sedikit.” Yohanes XXIII melihat semuanya, dalam dimensi maksi-mum, namun beliau hanya memi-lih beberapa saja untuk dikoreksi, yaitu dimensi minimum. Kamu dapat memiliki proyek yang besar dan melaksanakan-nya dengan menggunakan beberapa sarana yang sangat kecil. Atau kamu dapat menggunakan sarana yang lemah tetapi lebih efektif daripada yang kuat, sebagaimana dikatakan Paulus dalam surat pertama kepada umat di Korintus.

Proses discernment memerlukan waktu. Banyak orang berpikir bahwa segala perubahan dan perbaik-an dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Saya percaya kita selalu perlu waktu untuk meletakkan dasar bagi adanya perubahan yang nyata dan efektif. Dan saat ini adalah waktu untuk melakukan discern-ment. Kadangkala discernment tidak mendesak kita untuk melakukan sesuatu yang persis sama dengan apa yang kamu pikirkan pada saat awalnya tentang apa yang akan kamu lakukan kemudian. Dan itulah yang terjadi denganku beberapa bulan tera-khir ini. Discernment selalu dilakukan di hadapan Allah, dengan mengamati tanda-tanda, mendengar-kan apa yang terjadi, merasakan umat, terutama

mereka yang miskin. Pilihanku termasuk beberapa aspek hidup keseharian, seperti misalnya meng-gunakan mobil yang sederhana, adalah berkaitan dengan discernment rohani untuk merespon suatu kebutuhan yang timbul ketika mengamati sesuatu, melihat orang-orang, membaca tanda-tanda zaman. Discernment di hadapan Allah membantuku untuk menemukan cara dalam memimpin.

“Namun saya selalu waspada akan keputusan-keputusan yang dibuat secara tergesa-gesa. Saya selalu waspada pada keputusan pertama, yaitu, sesuatu yang pertama kali muncul dalam benakku

kala saya akan mengambil keputusan. Biasanya pemikir-an awal itu keliru. Saya harus sabar mematangkan dan mengevaluasinya kembali, merenungkan diriku secara mendalam, memberi cukup waktu. Buah dari discernment adalah mampu memilah ambi-guitas hidup dan membantu kita dalam menemukan sarana yang tepat, yang biasanya tidak selalu berarti sesuatu yang tampaknya besar dan kuat.

Serikat YesusKarena itu discernment adalah sebuah pilar spiri-

tualitas Paus Fransiskus. Hal itu terungkap dalam sikapnya sebagai seorang Yesuit. Saya bertanya kepadanya tentang bagaimana Serikat Yesus dapat melayani gereja pada masa kini, karakteristik apa saja serta tantangan manakah yang dihadapi oleh Serikat Yesus.

“Serikat Yesus adalah sebuah institusi dalam tekan-an,” sela Paus, “secara fundamental selalu berada dalam tekanan. Seorang Yesuit tidak berpusat pada dirinya sendiri. Serikat itu sendiri mencari pusat di luar dirinya; pusatnya adalah Kristus dan gereja-Nya.”

“Bilamana Serikat memusatkan dirinya pada Kris-tus dan gereja, maka ada dua titik referensi funda-mental bagi keseimbangannya dan agar mampu hidup di perbatasan, di medan depan. Jika Seri-kat terlalu berpaling pada dirinya sendiri, maka membuat dirinya sangat kuat di pusat, sangat terlindung tetapi beresiko menjadi merasa diri aman

Santo Ignatius Loyola, pendiri ordo Yesuit.

Page 5: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

5 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

dan bisa mencukupi sendiri. Serikat harus selalu mengutamakan Deus semper maior, demi Allah yang lebih besar, dan terdorong untuk bertindak demi kemuliaan Allah yang lebih besar, bagi gereja sebagai mempelai sejati Kristus Tuhan kita, Kristus Raja yang mengalahkan kita dan yang kepadaNya kita menyerahkan diri sepenuhnya dan segala upaya dan kerja keras, sekalipun seandainya kita hanya sebuah jembangan lempung yang sangat rapuh. Tekanan ini terus menerus berlangsung pada diri kita. Sarana yang membuat Serikat Yesus tidak berpusat pada dirinya sendiri, benar-benar kuat, adalah kesadaran, baik secara paternal maupun fraternal. Kesadaran inilah yang membantu Serikat memenuhi misinya dengan lebih baik.”

Paus selanjutnya mengacu pada persyaratan sebagaimana tertulis dalam Konstitusi Serikat Yesus bahwa Yesuit harus menyatakan kesadaran-nya secara jelas, yaitu keadaan spiritualnya yang terdalam, sedemikian hingga superior dapat sema-kin sadar dan paham sebelum mengirim seseorang ke suatu misi.

“Tentu sulit untuk berbicara soal Serikat,” lanjut Paus Fransiskus. “Kala kamu terlalu banyak menyatakan dirimu, maka kamu beresiko untuk disalahartikan. Serikat Yesus dapat dijabarkan hanya dalam bentuk naratif. Dalam bentuk nara-tif kamu melakukan discernment, bukan dalam penjelasan filosofis ataupun teologis yang mana bisa kamu diskusikan. Gaya Serikat tidak dibentuk oleh diskusi, tetapi oleh discernment. Tentu saja diandaikan diskusi merupakan bagian dari pro-ses. Dimensi mistik dari discernment tidak pernah menetapkan batas pinggirnya dan bukan merupa-kan hasil pemikiran yang lengkap. Sebagai seorang Yesuit hendaknya memiliki pemikiran yang tidak lengkap, dalam arti pemikiran yang masih dapat dikembangkan lagi (open-ended). Ada masa-masa dalam sejarah Serikat di mana hidup dalam ling-kungan yang tertutup dengan pemikiran yang kaku, lebih condong pada sifat instruktif-asetik daripada mistik. Dari distorsi hidup Yesuit ini lahirlah Epito-me Instituti.”

Paus lalu mengacu pada compendium, yang ditulis untuk tujuan-tujuan praktis, yang dilihat sebagai pengganti Konstitusi. Formasi Yesuit untuk bebe-rapa waktu dibentuk berdasarkan teks ini, yang bagi beberapa orang tidak pernah membaca Konstitusi, sebagai teks yang fundamental. Selama periode ini,

dalam pandangan Paus, aturan-aturan lebih utama daripada Roh, dan membawa Serikat tergoda untuk mendefinisikan karismanya dalam konteks yang sangat sempit.

Paus Fransiskus melanjutkan: “Bukan demikian, Yesuit selalu berpikir, berulang kali berpikir, meli-hat kembali cakrawala ke mana dirinya mesti pergi, bersama Kristus sebagai pusatnya. Inilah kekuatan Yesuit yang nyata. Dan hal inilah yang mendorong Serikat untuk terus mencari, kreatif dan bermurah hati.

Maka kini, lebih daripada sebelumnya, Serikat Yesus harus berkontemplasi dalam aksi, harus hidup sangat dekat dengan seluruh gereja, yaitu baik ‘umat Allah’ maupun ‘gereja hirarkis yang kudus.’ Untuk itu diperlukan kerendahan hati, pengorbanan dan keberanian, terutama di kala kamu tidak dipahami atau menjadi obyek yang disalahartikan atau difit-nah. Namun inilah sikap yang paling bermanfaat. Beberapa tekanan dalam sejarah Serikat di bebe-rapa abad sebelumnya misalnya kontroversi ritus Cina, ritus Malabar dan Reduksi di Paraguay.

“Saya sendiri menjadi saksi atas kesalahpahaman atau masalah-masalah yang dihadapi Serikat belum lama ini. Di antara masa sulit ini, misalnya saja ketika ada isu untuk membuat semua Yesuit mengu-capkan kaul keempat yaitu ketaatan kepada Paus. Apa yang membuatku yakin pada saat itu yaitu bahwa Romo Pedro Arrupe [yang menjabat supe-rior jendral Yesuit dari 1965-1983] adalah seorang pendoa, orang yang meluangkan banyak waktunya untuk berdoa. Saya ingat ketika beliau doa bersim-puh di lantai dalam gaya Jepang. Karena itu beliau memperoleh sikap yang tepat dan membuat kepu-tusan yang tepat pula.”

Panutan: Romo Faber, Imam PembaharuSaya ingin tahu di antara tokoh Yesuit, sejak

berdirinya Serikat hingga kini, manakah yang paling berkesan baginya. Maka saya bertanya kepada Paus siapakah tokoh itu dan mengapa. Beliau mulai dengan menyebut Ignasius Loyola [pendiri Yesuit] dan Fransiskus Xaverius. Namun kemudian beliau memfokuskan diri pada seorang tokoh yang kurang begitu dikenal masyarakat luas: Petrus Faber (1506-1546) dari Savoy. Dia adalah sahabat pertama Santo Ignasius, malah sesungguhnya dialah orang pertama yang pernah berbagi kamar ketika keduanya berku-

Page 6: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

6 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

liah di Universitas Paris. Kawan sekamar yang keti-ga adalah Fransiskus Xaverius. Pius IX mengang-kat Faber sebagai Beato pada tanggal 5 September 1872, dan kanonisasinya masih terbuka.

Paus menunjuk beberapa karya Faber, yang pernah beliau tugaskan kepada dua peneliti Yesuit, Miguel A. Fiorito dan Jaime H. Amadeo, untuk mengedit dan mempublikasikannya ketika beliau menjabat supe-rior provinsial Yesuit di Argentina. Edisi yang paling beliau sukai adalah yang ditulis Michel de Certeau. Saya bertanya kepada Paus mengapa beliau terke-san dengan Faber.

“Dialognya dengan semua golongan,” sahut Paus, “bahkan kepada mereka yang ada di pedalaman atau kelompok yang menentang-nya; kesalehannya yang sederhana, lugu, kesanggupan untuk menye-diakan diri, kemampuan untuk melakukan discernment dengan berhati-hati, kenyataan bahwa dia-lah orang yang mampu mengambil keputusan besar dan tegar namun sekaligus bisa menjadi pribadi yang lembut dan penuh kasih.”

Michel de Certeau menguraikan Faber sebagai “imam pembaharu,” yang memiliki paduan pengalaman interior, ekspresi dogmatik dan pembaharuan structural. Selan-jutnya Paus merefleksikan jati diri pendiri Serikat.

“Ignasius adalah seorang mistikus, bukan seorang asetis,” jelasnya. “Saya selalu jengkel setiap kali mendengar bahwa Latihan Rohani disebut ‘Ignasian’ hanya apabila dilakukan dalam suatu keheningan. Realitanya, Latihan Rohani ini dapat disebut sebagai Ignasian meskipun dilakukan dalam hiruk pikuk hidup keseharian. Interpretasi Latihan Rohani yang menekankan segi asetisisme, keheningan dan pengampunan merupakan distorsi dan meluas bahkan di dalam Serikat, terutama Serikat Yesus di Spanyol. Saya lebih condong ke gerakan mistik yang dilakukan oleh Louis Lallement dan Jean-Joseph Surin. Dan Faber adalah seorang mistikus.”

Pengalaman dalam Kepemimpinan Ge-reja

Pengalaman dalam kepemimpinan gereja yang manakah, sebagai superior Yesuit atau sesudah-nya sebagai superior provinsial Serikat Yesus yang membantu membentuk sepenuhnya Romo Bergo-glio? Gaya Kepimpinan Serikat Yesus termasuk mengambil keputusan-keputusan sebagai superior, tetapi juga konsultasi ekstensif dengan para penasi-hat resmi. Maka saya bertanya: “Apakah Anda pikir pengalaman masa lalu kepemimpinanmu dapat membantu dalam memimpin gereja universal?” Setelah hening sejenak, beliau merespon:

Dalam pengalamanku sebagai superior Serikat, secara jujur, saya tidak selalu melakukan konsultasi sebagaimana mestinya diperlukan. Dan tentu saja

hal ini bukanlah sesuatu yang baik. Gaya kepemimpinanku sebagai seorang Yesuit di saat awal banyak kekeliruannya.

Pada saat itu adalah masa sulit bagi Serikat: seluruh generasi Yesuit telah lenyap. Karena situasi ini saya menjadi provin-sial pada usia yang masih sangat muda. Ketika itu saya baru beru-sia 36 tahun. Ini sungguh gila. Saya harus berhadapan dengan berbagai masalah rumit, dan saya harus segera mengambil keputusan itu sendiri. Ada yang

perlu saya tambahkan lagi: bila-mana saya memberi kepercayaan sesuatu kepada seseorang, maka saya percaya sepenuhnya kepada orang itu. Dia harus melakukan suatu kesalahan yang sangat besar sebelum akhirnya saya menegor orang itu. Lama kelamaan, orang bosan dengan gaya otoritarianisme.

Sikap otoritarianku dan kecenderungan tergesa-gesa telah menyeretku ke masalah-masalah yang serius dan dituduh sebagai orang yang ultra-konser-vatif. Saya berada dalam krisis interior yang luar biasa ketika saya bertugas di Cordova. Yang pasti, saya tidak seperti Blessed Imelda (a goody-goody), namun demikian saya pun tidak pernah menjadi seorang ekstrim kanan. Gaya otoritarianku dalam mengambil keputusan inilah yang sesungguhnya menimbulkan berbagai masalah.

“Saya mengatakan semuanya ini berdasarkan pengalaman hidup dan karena saya ingin membuat-

Romo Peter Faber SJ, co-founder Yesuit.

Page 7: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

7 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

nya jelas tentang bahaya yang ditimbulkan. Lambat laun saya belajar banyak hal. Allah membiarkan diriku bertumbuh dalam kepemimpinan melalui kesalahan dan dosaku sendiri.

Maka ketika menjadi Uskup Agung Buenos Aires, saya selalu mengadakan rapat dengan keenam uskup pembantu dua minggu sekali, dan bebe-rapa kali setahun bersama dewan imam. Mereka mengajukan beberapa pertanyaan dan lalu kami membuka kesempatan kepada semua peserta untuk mendiskusikannya. Hal ini sangat membantuku dalam menetapkan keputusan yang terbaik. Teta-pi sekarang saya mendengar beberapa orang yang mengatakan kepadaku: ‘Janganlah terlalu sering berkonsultasi, putus-kan sendiri saja.’ Seka-lipun demikian saya yakin konsultasi adalah sangat penting.

“Dewan kardinal, sinode para uskup, misalnya, merupakan bagian penting untuk melakukan konsultasi yang nyata dan aktif. Betapapun, kita harus menawarkan bentuk yang tidak terlalu kaku. Saya tidak menghen-daki suatu konsultasi ala kadarnya, tetapi dilakukan dengan kesungguhan. Tim konsultan yang terdiri dari delapan kardinal, yang selanjutnya bisa disebut sebagai kelompok penasihat “luar”, tidak hanya berdasarkan kepu-tusanku melainkan atas saran dari para kardinal sebagaimana diungkapkan dalam sidang umum sebelum konklaf. Dan saya ingin melihat bahwa semuanya ini nyata, bukan konsultasi seremonial belaka.

Berpikir Bersama GerejaSaya bertanya kepada Paus Fransiskus apakah

baginya, yang dimaksudkan dengan “berpikir ber-sama gereja” menurut Santo Ignasius sebagaimana tertulis dalam Latihan Rohani. Beliau menjawab dengan menggunakan sebuah gambaran.

“Gambaran gereja yang saya sukai adalah umat Allah yang kudus. Inilah definisi yang sering saya

gunakan, dan di samping itu ada gambaran dari ‘Konstitusi Dogmatik tentang Gereja menurut Konsi-li Vatikan II (No.12).’ [Ciri] ini ada dalam diri umat yang memiliki keutamaan teologis. Dalam sejarah penyelamatan, Allah telah menyelamatkan manusia. Tidak ada identitas lengkap tanpa melibatkan umat. Tidak ada seorangpun yang diselamatkan sendirian. Sebaliknya Allah menarik kita dalam suatu komuni-tas yang terbentuk oleh jaringan relasi.

Umat itu sendiri membentuk dirinya sebagai subyek. Dan gereja adalah umat Allah yang berzi-arah sepanjang sejarah hidupnya dengan penuh sukacita dan derita. ‘Berpikir bersama gereja’, kare-na itu, menurutku adalah menjadi bagian dari umat.

Segenap umat, secara keseluruhan, memiliki infalibilitas dalam keyaki-nan, dan umat mengung-kapkan infalibilitas terse-but dalam credendo. Infalibilitas dalam keyaki-nan inilah, melalui kekua-tan iman yang supranatu-ral dari segenap umat yang berjalan bersama. Inilah yang kini kupahami dengan apa yang dimak-sudkan ‘berpikir bersa-ma gereja’ sebagaimana digagas oleh Santo Igna-

sius. Kala dialog antar umat dan para uskup dan paus dilakukan dalam jalur ini dan dilakukan secara murni, maka Roh Kudus akan membimbing. Maka gagasan ini tidak hanya menjadi perhatian para teolog saja.

“Hal ini tampak pada diri Maria. Bila kamu ingin tahu siapakah Maria, tanyakan pada teolog. Tetapi bila kamu ingin tahu bagaimana mencintai Maria, tanyakanlah kepada umat. Sebaliknya, Maria mencintai Yesus dengan hati umat sebagaimana kita ketahui dari Magnificat. Oleh karena itu, hendaknya kita tidak mengartikan ‘berpikir bersama gereja’ hanya sebatas berpikir dalam hirarki gereja.

Setelah berhenti sejenak, Paus Fransiskus menekankan poin berikut untuk menghindari kesalahpahaman: “Tentu harus sangat berhati-hati untuk tidak berpikir soal infalibilitas semua umat sebagai bentuk ‘populisme.’ “Bukan, sebab hal ini

Fransiskus menyalami umat seusai Misa di Paroki St. Anna, Roma.

Page 8: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

8 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

merupakan pengalaman dari ‘gereja hirarkis yang kudus,’ sebagaimana disebutkan oleh Santo Igna-sius, yaitu gereja umat Allah, yang terdiri dari para imam dan umat bersama-sama. Gereja adalah kese-luruhan umat Allah.”

“Saya melihat kekudusan dalam hati umat Allah, kekudusan dalam hidup keseharian,” lanjut Paus. Ada kekudusan yang dimiliki oleh umat biasa, yang mana kita semua termasuk di dalamnya, sebagaima-na ditulis Malègue. Paus mengacu pada Joseph Malègue, penulis Perancis (1876-1940), terutama trilogi yang tidak tamat berjudul Black Stones: The Middle Classes of Salvation.

“Saya melihat kekudusan,” kata beliau melanjut-kan, “dalam hati umat Allah yang sabar: seorang ibu yang mengasuh anak-anaknya, seorang bapak yang bekerja keras demi sesuap nasi bagi keluarganya, mereka yang menderita sakit, para pastor tua yang meski memiliki banyak luka tetapi masih mampu menampilkan senyum di wajahnya sebab mereka melayani Allah, para suster yang bekerja keras dan tinggal di biara terpencil. Inilah yang kumaksudkan sebagai kekudusan jelata.”

“Saya seringkali mengaitkan kekudusan dengan kesabaran: bukan saja kesabaran sebagai hypomoné [peristilahan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani], berkenaan dengan kejadian dan lingkungan hidup, tetapi suatu hal yang dilakukan terus menerus, hari demi hari. Inilah kekudusan dari gereja militan sebagaimana disebutkan oleh Santo Ignasius. Inilah kekudusan yang tersirat pada diri orangtuaku: ayahku, ibuku dan nenekku Rosa yang mencintaiku secara luar biasa. Dalam brevir saya menyimpan pesan terakhir dari nenekku Rosa, dan saya sering membacanya berulang kali. Bagiku, pesan itu bagai sebuah doa. Beliau adalah santa yang banyak men-derita, juga dalam konteks spiritual, namun dengan berani selalu maju terus pantang mundur.”

“Gereja yang kita impikan ini hendaknya menjadi rumah bagi segenap umat, bukan sebuah kapel kecil yang hanya bisa menampung sekelompok kecil umat pilihan saja. Hendaknya kita tidak me nyempitkan dada gereja universal yang hanya bisa menaungi segelintir orang tertentu saja. Gereja kita adalah Ibu, gereja yang berbuah lebat. Itulah gereja. Tahukah kamu, setiap kali saya melihat perbuatan negatif dari para pelayan gereja atau rohaniwan-rohaniwati, satu hal yang terpikir olehku: ‘Inilah

bujangan yang tidak berbuah.’ Mereka itu bukan bapak ataupun ibu, sebab mereka gagal dalam memberikan kehidupan spiritual. Sebaliknya, keti-ka saya membaca kehidupan para misionaris Sale-sian yang pergi ke Patagonia, saya membaca kisah dari kehidupan yang penuh, dan banyak berbuah.”

“Contoh lain yang terjadi beberapa hari lalu yang tampaknya memperoleh perhatian pemberitaan surat kabar: panggilan telepon yang saya lakukan kepada seorang pemuda yang menuliskan sepucuk surat kepadaku. Saya menelepon dia karena surat-nya begitu indah, begitu sederhana. Bagiku surat itu adalah suatu sikap generativitas. Saya menyadari bahwa dia adalah seorang pemuda yang sedang bertumbuh, dan dia menganggapku sebagai seorang bapak. Surat itu berisi sesuatu tentang kehidupan-nya yang ditulis kepada bapaknya. Bapak itu tidak bisa menjawab, ‘Perduli amat.’ Hidup yang penuh berbuah semacam ini sungguh indah bagiku.”

Gereja Masa Kini dan Gereja Masa LaluMasih berkaitan dengan perihal gereja, saya

bertanya kepada Paus khususnya soal World Youth Day. Acara yang besar ini lebih berkaitan dengan kaum muda, tetapi juga mereka yang menjadi “paru-paru spiritual” bagi gereja Katolik pada masa kini. Apakah harapan-harapan Anda pada gereja univer-sal khususnya yang datang dari kelompok ini?

Paus menjawab: “Gereja Katolik kaum muda, sebagaimana mereka bertumbuh, mengembang-kan sintesis iman, budaya dan hidup dan karena-nya merupakan sintesa yang berbeda dibanding-kan gereja Katolik masa lalu. Bagiku, hubungan antara gereja Katolik masa lalu dan gereja Katolik masa kini serupa dengan relasi yang terjadi antara orang muda dan orang tua dalam suatu masyarakat. Mereka bersama-sama membangun masa depan, kaum muda memiliki kekuatan sedangkan mereka yang tua memiliki kebijaksanaan. Tentu selalu ada resiko. Gereja yang lebih muda cenderung merasa bisa mencukupi sendiri sedangkan gereja masa lalu ingin menekankan model budaya masa lalu pada gereja masa kini. Sekalipun demikian sesungguh-nya kita bersama-sama membangun masa depan.”

Gereja Sebagai Balai PenyembuhanKetika Paus Benediktus XVI mengumumkan

pengundurannya, beliau mengatakan bahwa dunia

Page 9: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

9 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

masa kini mengalami perubahan sangat pesat dan selalu bergumul dengan masalah-masalah sangat penting bagi hidup iman. Untuk menghadapi masalah-masalah ini maka diperlukan kekuatan jiwa dan raga, demikian dikatakan Paus Benediktus. Saya bertanya kepada Paus Fransiskus: “Apakah yang paling diperlukan oleh gereja pada masa seka-rang ini? Apakah kita perlu melakukan perubah-an? Apakah harapan-harapan Anda akan gereja di tahun-tahun mendatang? Gereja impian macam apakah yang Anda harapkan?”

Paus Fransiskus mulai dengan memberikan peng-hargaan dan hormat yang besar kepada pendahu-lunya: “Paus Benediktus telah melakukan suatu tindakan yang kudus, besar dan penuh rendah hati. Beliau adalah anak Allah.”

“Saya melihat dengan jelas,” demikian lanjut-nya, “bahwa apa yang diperlukan gereja pada masa kini yaitu kemam-puan untuk menyem-buhkan luka-luka dan menghangatkan hati dari segenap umat. Hal ini membutuhkan kedekatan [hati]. Saya melihat gere-ja bagaikan sebuah balai penyembuhan [rumah sakit] paska perang. Kiranya tidaklah berguna untuk menanyakan apa-kah dia punya kandungan kolesterol yang tinggi dan seberapa tinggi kadar gula dalam darahnya! Kamu harus segera merawat luka-lukanya. Lalu kita dapat bicara hal-hal lainnya. Rawat dulu luka-lukanya. … Dan kamu mesti [lakukan] mulai dari bawah.

“Kadangkala gereja telah mengunci diri dalam beberapa masalah kecil. [Hendaknya diingat bahwa] hal terpenting adalah pewartaan utama: Yesus Kris-tus telah menyelamatkan dirimu. Para imam gere-ja hendaknya menjadi pelayan belas kasih, inilah yang lebih penting daripada segalanya. Imam yang memberikan sakramen pengakuan misalnya, selalu berbahaya apabila terlalu kaku atau terlalu longgar. Keduanya tidak mencerminkan belas kasih, karena keduanya hanya sebatas tanggung jawab dari imam yang bersangkutan. Imam yang kaku merasa sudah menjalankan tugasnya dengan sepenuhnya menga-

cu pada peraturan. Sebaliknya imam yang longgar merasa sudah rampung cukup dengan menyatakan bahwa ‘Ini bukan dosa’ atau hal senada. Dalam pelayanan pastoral kita harus menyertai umat, kita harus berusaha menyembuhkan luka-luka mereka.”

“Bagaimanakah kita sebaiknya melayani umat Allah? Saya memimpikan gereja bagai seorang ibu atau penggembala. Para imam gereja harus penuh belas kasih, memikul tanggung jawab bagi umat-nya dan menyertai mereka seperti orang Samaria yang baik, yang membasuh, membersihkan luka dan membantu mengangkat sesamanya. Inilah persis seperti apa yang tertulis dalam Injil. Allah lebih besar daripada dosa. Perombakan struktural dan organisasional soal kedua – artinya dilakukan sesudahnya. Perombakan pertama harus tercer-

min dalam sikap. Para pelayan Injil hendak-nya mereka yang sanggup memberi-kan kehangatan hati umatnya, yang berse-dia berjalan bersama dengannya menembus kegelapan hidupnya tanpa tersesat. Umat Allah membutuhkan imam-imam, bukan klergi yang bertin-dak seperti birokrat atau pejabat peme-

rintahan. Para uskup terutama, hendaknya

sanggup mendukung sentuhan Allah kepada umat-Nya melalui kesabaran, sehingga tidak ada satupun umat yang tertinggal. Namun mereka juga mampu menyertai umat gembalaannya yang berbakat untuk menemukan terobosan-terobosan baru.”

“Daripada hanya menjadi sebuah gereja yang menyambut dan menerima dengan membuka pintu, marilah kita mencoba untuk menjadi gereja yang bisa menemukan terobosan-terobosan baru. Misalnya pergi mengunjungi umat yang sudah tidak menghadiri Misa, mereka yang keluar atau sudah tidak tertarik lagi. Mereka yang sudah keluar biasanya karena suatu alasan, yang apabila dipa-hami dan dimengerti sepenuhnya, dapat kembali lagi. Semuanya ini memerlukan keberanian.”

Saya menyebut kepada Paus Fransiskus bahwa

‘Menolong yang terluka,’ karya Guercino Erminia (1591-1666).

Page 10: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

10 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

ada umat Kristiani yang tinggal dalam situasi tidak biasa bagi gereja atau berada dalam kondisi yang mencerminkan luka yang terbuka. Misalnya mereka yang bercerai dan menikah lagi, pernikahan sejenis atau hidup dalam situasi yang rumit lainnya. Karya pastoral macam apakah yang dapat kita lakukan untuk menghadapi situasi semacam ini? Sarana apakah yang dapat kita gunakan?

“Kita perlu mewartakan Injil ke setiap pelosok,’ sahut Paus, “mewartakan kabar gembira dari Kera-jaan [Allah] dan penyembuhan, bahkan melalui pewartaan kita, menjangkau segala jenis penyakit dan luka. Di Buenos Aires saya sering menerima surat dari para homoseksual yang merasa ‘terluka secara sosial’ sebab mereka mensharing-kan kepadaku seolah-oleh gereja mengutuk mereka. Tetapi gereja tidak ingin melakukan hal ini. Dalam perja-lanan kembali dari Rio de Janeiro kukatakan bahwa seandainya seorang homoseksual mempunyai kehendak baik dan terus mencari Allah, saya tidak pantas untuk mengadili. Dengan mengatakan hal ini, saya mengulang apa yang dikatakan katekismus. Agama punya hak untuk mengungkapkan opininya dalam pelayanan kepada umat, tetapi Allah membe-baskan kita dalam penciptaan: tidaklah mungkin untuk mencampuri hidup spiritual seseorang.”

“Pernah seseorang bertanya kepadaku, dengan nada yang provokatif, apakah saya menyetujui homoseksualitas. Saya jawab dengan ganti berta-nya: ‘Coba katakan kepadaku, manakala Allah meli-hat seorang gay, apakah Allah mendukung eksis-tensi orang itu dengan penuh kasih, ataukah malah menolak dan mengutuknya?’ Kita harus selalu mempertimbangkan [faktor] manusianya. Di situlah kita memasuki ranah misteri kemanusiaan. Dalam hidup, Allah menyertai umat, dan kitapun harus menyertai mereka, berangkat dari situasi mereka. Sangatlah perlu [bagi imam untuk] untuk menyer-tai mereka dengan penuh kasih. Ketika hal sema-cam ini terjadi, Roh Kudus menerangi imam untuk

mengatakan hal yang benar.”

“Inilah salah satu manfaat utama atas sakramen pengakuan yaitu: mengevaluasi kasus demi kasus dan menetapkan [discerning] manakah yang terbaik bagi orang yang bersangkutan yang mencari Allah dan berkat. Kamar pengakuan bukanlah tempat penyiksaan, melainkan suatu tempat di mana kasih Allah memotivasi kita untuk memperbaiki hidup kita. Suatu ketika saya mendengar pengakuan dari seorang wanita yang gagal dalam perkawin-annya dan pernah melakukan pengguguran kan-dungan. Dalam kehidupan selanjutnya, wanita itu menikah lagi dan kini dia hidup bahagia bersama kelima anaknya. Aborsi di masa lalunya itu sangat

membebani hidupnya dan dia sungguh menye-sali kesalahannya itu. Dia mendambakan diri untuk melanjutkan hidupnya sebagai seorang Kristiani. Lalu apakah yang harus dilakukan oleh seorang imam yang mendengar-kan pengakuannya?”

“Kita tidak dapat hanya terus menerus berkutat pada persoal-an yang berhubungan aborsi, perkawinan gay

dan metode penggunaan kontrasepsi. Tidaklah mungkin. Saya belum juga berbicara banyak soal ini, tetapi kenyataannya saya sudah ditegur soal ini. Ketika kita membicarakan persoalan ini, hendaknya kita berbicara dalam suatu konteks. Ajaran gereja, dalam kaitan dengan soal-soal tersebut, sudahlah jelas dan saya adalah anak gereja. Namun demikian, kiranya kita tidak perlu setiap saat membahas soal ini melulu.”

“Ajaran dogmatis dan moral gereja tidaklah semuanya ekuivalen. Pelayanan pastoran gereja tidak dapat sepenuhnya dibayangi oleh penerapan banyak doktrin yang terlepas satu sama lain secara terus menerus. Pewartaan dalam gaya pelayan-an berfokus pada hal-hal yang penting dan perlu. Hal inilah yang membuat orang bersuka cita dan berapi-api sebagaimana dialami oleh para murid dalam perjalanan ke Emaus. Kita perlu menemu-kan keseimbangan baru. Kalau tidak, ajaran moral

Fransiskus menyambut hangat umat yang cacat di Basilika St. Petrus.

Page 11: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

11 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

gereja yang kokoh dan besar itu akan runtuh bagai-kan rumah kardus, kehilangan kesegaran dan keha-ruman Injil. Pewartaan Injil hendaknya sederhana, bergaung dan memancar.

“Saya mengatakan semuanya ini juga dalam kaitan homili dan isinya. Suatu homili yang indah, kotbah yang murni harus diawali dengan pewartaan yang utama, yaitu pewartaan tentang keselamatan. Tidak ada hal lain yang lebih utuh, mendalam dan pasti daripada pewartaan ini. Selanjutnya bisa dibahas hal-hal yang berkaitan dengan katekismus, yang seterusnya bisa disinggung soal konsekuensi moral. Namun pewartaan tentang cinta kasih Allah hendak-nya mendahului moral dan imperatif keagamaan. Pada masa sekarang ini kadangkala urutan yang sebaliknya malah tejadi. Homili adalah batu sendi yang mengukur seberapa dekat dan kemampuan imam dalam menjumpai umatnya. Sebab mereka yang berkotbah hendaknya mengenal hati dari umatnya dan hendaknya mampu menangkap kerin-duan akan Allah tampak begitu hidup dan menya-la. Oleh karena itu, pesan Injil tidak bisa dikurangi oleh beberapa aspek, sekalipun relevan, sedemiki-an hingga tidak menunjukkan inti pesannya, yaitu Yesus Kristus.”

Paus dari Ordo ReligiusPaus Fransiskus adalah seorang paus pertama

yang terpilih dari ordo religius sejak seorang rahib Camaldoles, Gregorius XVI yang dipilih pada tahun 1831. Saya bertanya: “Manakah tempat istimewa bagi rohaniwan dan rohaniwati dalam gereja masa kini?”

“Para rohaniwan dan rohaniwati adalah nabi,” demikian jawab Paus. “Mereka adalah orang yang telah memilih untuk hidup mengikuti Yesus: menjalani hidupnya dalam ketaatan kepada Bapa, kemiskinan dan kehidupan berkomunitas serta kemurnian. Karena itu, kaul mereka bukan main-main. Kalau tidak maka misalnya, hidup berkomuni-tas bagaikan hidup dalam neraka, kemurnian menjadi hidup membujang yang tidak berguna. Kaul kemur-nian hendaknya menjadi kaul yang mendatangkan banyak buah. Dalam gereja, para rohaniwan dan rohaniwati dipanggil untuk menjadi nabi khusus-nya dalam menjalani hidup sebagaimana dulu Yesus hidup, dan untuk mewartakan betapa sempurna kerajaan Allah. Seorang rohaniwan atau rohani-wati hendaknya tidak boleh menyerah atas pang-

gilan mulia ini. Hal ini tidak berarti berlawanan dengan hirarkis gereja. Meskipun fungsi kenabian dan struktur hirarkis tidak berimpit. Saya berbicara soal proposal yang selalu positif, dan tidak perlu ditakutkan. Marilah kita berpikir tentang hidup para santo-santa, rahib dan rohaniwan-rohaniwati yang besar, mulai dari Santo Antonius Abbas hing-ga kini. Menjadi nabi kadangkala menyangkut soal menciptakan gelombang. Saya tidak tahu bagaima-na mengungkapkannya …. Kenabian membuat gaduh, hiruk pikuk, ada juga yang menyebutnya sebagai ‘porak poranda.’ Namun dalam kenyataan-nya, karisma para rohaniwan dan rohaniwati bagai-kan ragi: kenabian mewartakan semangat Injil.”

Kuria RomaSaya bertanya kepada Paus tentang apakah yang

beliau pikirkan mengenai berbagai departemen dalam Kuria Roma yang dibentuk untuk membantu pelayanan Paus.

“Departemen-departemen dalam Kuria Roma bertugas melayani Paus dan para uskup,” jawab beliau. “Semuanya ini adalah sarana untuk memban-tu baik gereja dan dewan uskup. Dalam hal-hal tertentu, [terutama] ketika mereka tidak berfungsi dengan baik, departemen-departemen ini bere-siko menjadi badan sensor. Sangatlah menakjub-kan betapa kurangnya kritik semacam ini terjadi di Roma. Saya kira kasus-kasus semacam ini hendak-nya diselidiki oleh konferensi uskup lokal, dengan bantuan dari Roma. Kasus-kasus semacam ini malah lebih baik diselesaikan secara lokal. Kongre-gasi Roma adalah mediator dan bukan manajer.”

Pada tanggal 29 Juni, ketika ada upacara pember-katan dan pengenaan 34 palium kepada para uskup agung, Paus Fransiskus menekankan bahwa “kole-galitas” adalah sarana yang dapat memimpin gereja agar “bertumbuh harmonis dalam pelayanan gere-ja.” Sehubungan dengan hal itu maka saya menan-yakan: “Bagaimana kita dapat menyelaraskan secara harmonis kepemimpinan Petrin dan kolegalitas? Terobosan-terobosan manakah yang dapat ditem-puh sekaligus dari perspektif ekumenis?”

Paus merespon, “Kita harus berjalan bersama: segenap umat, para uskup dan Paus. Sinodalitas [persaudaraan di antara dewan uskup] hendaknya menjadi semangat yang hidup dalam berbagai tingkatan. Mungkin sudah saatnya untuk mengubah

Page 12: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

12 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

metode Sinode Para Uskup, sebab tampaknya bagi-ku metode yang sekarang berlaku tidak lagi dinamis. Hal ini juga akan mempunyai nilai ekumenis, teru-tama dalam hubungan kita dengan saudara-sauda-ra kita dari gereja Orthodox. Dari mereka kita dapat belajar lebih banyak tentang arti kolegalitas episkopal dan tradisi sinodalitas. Renungan yang menjadi usaha bersama, untuk melihat bagaimana gereja dikelola pada abad-abad permulaan, sebe-lum terjadinya perpecahan antara Barat dan Timur, akan membuahkan hasil pada saatnya. Dalam rela-si ekuminis sangatlah penting untuk tidak hanya saling mengenal secara lebih baik, tetapi sekaligus mengenal betapa Roh yang telah ditaburkan satu sama lain menjadi anugerah bagi kita. Saya ingin melanjutkan diskusi yang telah dimu-lai pada tahun 2007 oleh komisi gabungan [Katolik dan Orthodox] tentang bagaimana melaksanakan kepe-mimpinan Petrin, yang berakhir dengan ditan-datanganinya Doku-men Ravena. Kita harus melanjutkan usaha ini.”

Saya menanyakan kepada Paus Fransiskus tentang pandangannya soal kesatuan gereja di masa mendatang khususnya dalam kaitan ini. Beliau menjawab: “Kita harus berjalan bersama-sama dengan perbedaan yang ada pada diri kita masing-masing. Tidak ada jalan lainnya untuk menjadi satu. Inilah jalan Yesus.”

Peranan Wanita dalam Hidup GerejaBagaimana dengan peranan wanita dalam gereja?

Paus menyinggung soal ini dalam beberapa kesem-patan. Dalam perjalanan balik dari Rio de Janeiro, beliau mengatakan bahwa masih kurangnya teologi wanita yang mantap dalam gereja. Saya bertanya: Peranan manakah yang seharusnya para wanita pegang dalam gereja? Apakah yang perlu kita laku-kan agar peranan mereka lebih tampak pada masa kini?

Beliau menjawab: “Kiranya perlu untuk memperluas

peluang bagi kehadiran yang lebih nyata di kalangan wanita dalam gereja. Saya agak berhati-hati dengan pandangan ‘paternalisasi wanita’ sebab wanita berbeda dengan pria. Apa yang saya dengar tentang peranan wanita seringkali diinspirasi oleh ideologi maskulin (machismo). Para wanita sering menga-jukan permintaan agar pertanyaan yang mendalam ini dibahas. Gereja tidak bisa hidup sendiri tanpa wanita dan peranannya. Wanita adalah penting bagi gereja. Bunda Maria, seorang wanita, yang punya peranan melebihi para uskup. Saya mengatakan hal ini karena kita tidak boleh rancu antara fungsi dan martabat. Oleh karena itu kita harus menggali secara

lebih mendalam tentang peranan wanita dalam gereja. Kita harus terus berupaya mengembang-kan teologi yang mantap tentang kewanitaan. Hanya dengan melakukan langkah ini maka sangat-lah mungkin untuk mere-nungkan dengan lebih baik fungsinya dalam gereja. Pandangan genius wanita sangat diperlukan setiap kali kita sedang membuat berbagai kepu-

tusan penting. Tantangan yang dihadapi pada masa kini adalah: memikirkan tempat khusus bagi wanita di mana mereka dapat mengemban otoritas di berbagai bidang dalam gereja.”

Konsili Vatikan IISaya bertanya: “Apakah yang sudah diraih oleh

Konsili Vatikan II?”

“Konsili Vatikan II menandai bagaimana [kita] membaca ulang Injil dalam konteks budaya kontem-porer,” demikian sahut Paus. “Konsili Vatikan II menghasilkan gerakan pembaruan yang sesungguh-nya berasal dari Injil yang sama. Buahnya sungguh luar biasa. Ambil contoh misalnya [dalam hal] litur-gi. Usaha pembaruan liturgis merupakan pelayan-an kepada segenap umat untuk membaca ulang Injil dari [sudut pandang] situasi sejarah yang kongkrit. Memang benar, ada kontinuitas dan diskontinuitas hermeneutiks [interpretasi biblis], tetapi hendak-nya menjadi jelas bahwa: dinamika membaca Injil,

Ibu Theresa menghibur anak yang sakit.

Page 13: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

13 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

mengaktualisasikan pesannya untuk masa kini – yang selanjutnya menjadi ciri dari Konsili Vatikan II – jelas tidak dapat diputar balik. Lalu ada beberapa soal khusus, misalnya liturgi yang mengacu pada Vetus Ordo. Saya pikir keputusan Paus Benediktus [keputusan tertanggal 7 Juli 2007, yang mengizin-kan penggunaan Misa Tridentin secara lebih luas] adalah bijaksana dan didorong oleh keinginan untuk membantu umat yang memiliki kepekaan akan hal ini. Apa yang patut dikuatirkan, adalah resiko untuk mengeksploitasi dengan jalan mengideologikan Vetus Ordo.”

Mencari dan Menemukan Allah Dalam Segala Hal

Pada saat World Youth Day di Rio de Janeiro, Paus Fransiskus berulang kali mendeklarasikan: “Allah itu nyata. Allah menghadirkan Diri-Nya secara nyata pada saat ini. Allah ada di mana-mana.” Frasa-frasa ini mengge-makan ekspresi Ignasian yaitu “mencari dan mene-mukan Allah dalam segala hal.” Maka saya bertanya kepada Paus: “Bagaimana Anda mencari dan mene-mukan Allah dalam segala hal?”

“Apa yang saya katakan di Rio berkaitan dengan saat kita mencari Allah,” jawab beliau. “Realitanya, ada godaan dalam mencari Allah di masa lalu atau bahkan kemungkinan di masa mendatang. Tentu saja Allah ada di masa lampau sebab kita dapat melihat jejak-Nya. Dan Allah juga ada di masa depan sebagaimana dijanjikan. Namun Allah yang ‘kong-krit’ jelaslah, ada di masa sekarang ini. Untuk alasan inilah, sikap suka mengeluh tidak dapat membantu kita dalam menemukan Allah. Keluhan-keluhan tentang betapa ‘rusaknya’ dunia pada masa seka-rang ini – seringkali dipakai sebagai alasan yang mendorong lahirnya gerakan pemurnian dalam gereja. Tidak: Allah harus dijumpai dalam dunia pada masa sekarang ini.”

“Allah menyatakan Diri-Nya dalam wahyu historis, dalam sejarah. Waktu memulai proses, dan ruang

mengkristalkannya. Allah ada di sepanjang sejarah, dalam proses yang terus berlangsung.”

“Kita tidak boleh memfokuskan diri pada ruang dengan menggunakan kekuasaan. Tetapi hendak-nya kita memulai suatu proses historis jangka panjang. Kita hendaknya memulai proses ini dari-pada menguasai ruang. Allah menyatakan Diri-Nya dalam waktu dan hadir di sepanjang proses sejarah. Hal ini memberikan prioritas akan lahirnya suatu dinamika sejarah baru yang memerlukan kesabaran dalam menunggu.”

“Menemukan Allah dalam segala hal bukanlah suatu ‘empiris dadakan.’ Kala kita mendambakan diri untuk menemukan Allah, kita seringkali ingin

tergesa-gesa menggu-nakan metode imperis. Namun, kamu tidak dapat menemukan Allah dengan cara ini. Sebab Allah ditemukan dalam suasana tenang sebagaimana dialami oleh Nabi Elias. Suasa-na menemukan Allah semacam ini selan-jutnya disebut oleh Santo Ignasius sebagai rasa spiritual. Igna-sius meminta kita agar

membuka kepekaan spiritual kita untuk menemukan Allah yang jauh melampaui pendekatan imperis semata-mata. Sikap kontemplatif sangatlah diperlukan, yaitu perasaan yang menggerakkanmu ke jalan pemahaman dan afeksi atas hal-hal dan situasi yang dijumpai hidup. Kedamaian hati, penghiburan rohani, merasakan kasih Allah dan cinta segalanya dalam Allah – meru-pakan tanda bahwa dirimu berada di jalan yang benar.”

Kepastian dan KekeliruanSaya bertanya, “Lalu seandainya perjumpaan

dengan Allah bukan suatu ‘imperis dadakan,’ dan apabila hal ini merupakan suatu perjalanan untuk melihat dengan mata sejarah, lalu dapatkah kita membuat kekeliruan?”

Paus menjawab: “Tentu, dambaan untuk menca-ri dan menemukan Allah dalam segala hal masih

Seorang suster mengajar anak-anak di sekolah.

Page 14: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

14 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

dipenuhi ketidakpastian. Memang demikianlah adanya. Seandainya ada seorang yang mengatakan bahwa dia berjumpa Allah dengan penuh kepas-tian dan sama sekali tidak tersentuh oleh keraguan apapun, maka ini bukan tanda yang baik. Bagiku, ini merupakan hal pokok yang penting. Jika seseorang memiliki jawaban atas semua pertanyaan – maka terbukti Allah tidak bersama dengannya. Hal ini berarti bahwa dia adalah seorang rasul gadungan yang menggunakan agama untuk kepentingannya sendiri. Para pemimpin besar umat Allah, seperti Musa, masih punya keraguan dalam dirinya. Kamu menyediakan ruang bagi Allah, bukan untuk kepas-tian kita; [sebab] kita harus berendah hati. Ketidak-pastian ada dalam setiap discernment yang benar yaitu untuk membuka peluang agar memperoleh konfirmasi bagi penghi-buran rohani.”

“Resiko mencari dan menemukan Allah dalam segala hal, lalu adalah harapan untuk terlalu banyak menjelaskan, mengatakan dengan penuh kepastian manu-siawi dan sikap sombong bahwa: ‘Allah ada di sini.’ [Dengan cara ini] kita akan menemukan tuhan [huruf kecil] yang cocok dengan takaran kita send-iri. Sikap yang benar adalah sikap Santo Agustinus: carilah Allah untuk menemukanNya, dan temukan Allah untuk terus mencari Allah selamanya. Sering-kali kita mencari dalam kebutaan kita, sebagaimana banyak dijumpai dalam membaca Kitab Suci. Inilah pengalaman-pengalaman dari para bapak iman yang menjadi panutan kita. Kiranya kita perlu membaca ulang Surat kepada umat di Ibrani, pasal 11. Abra-ham pergi meninggalkan rumah tanpa dirinya tahu dengan pasti ke mana dia pergi. Semua para penda-hulu kita, orang beriman meninggal dengan meli-hat kebaikan sebagaimana dijanjikan, tetapi dari jauh…. Hidup kita tidak dianugerahkan kepada kita sebagaimana dijumpai dalam opera libretto, di mana semuanya ada tertulis. Sebaliknya anugerah itu memerlukan kita untuk pergi, berjalan, melaku-kan sesuatu, mencari, melihat …. Kita harus siap berpetualang dalam menjumpai Allah. Kita henda-

knya membiarkan Allah mencari dan menemukan kita.”

“Karena Allah adalah yang utama; Allah selalu yang pertama dan melakukan inisiatif awal. Allah bagaikan kembang kenari di tanah [asalmu] Sicilia, Antonio, yang selalu mekar dulu. Kita membaca-nya dalam [pengalaman] Para Nabi. Allah dijumpai ketika berjalan di sepanjang jalan. Dalam konteks ini, seseorang barangkali mengatakan bahwa hal ini adalah relativisme. Benarkah relativisme? Benar, seandainya dipahami sebagai suatu panteisme. Namun hal ini bukan relativisme jika dipahami dalam konteks biblis, tepatnya bahwa Allah selalu menge-jutkan. Karena itu kamu tidak pernah persis tahu di mana dan bagaimana kamu akan menemukanNya. Kamu tidak bisa menetapkan waktu dan ruang di

mana menjumpai Allah. Untuk itu kamu perlu melakukan discernment untuk menjumpaiNya. Discernment adalah hal yang penting.”

“Jika seorang Kristiani adalah restorasionis, legalis, jika melulu meng-inginkan segala sesua-tunya jelas dan aman, maka dia tidak akan menemukan apa-apa. Tradisi dan kenangan

masa lalu harus bisa membantu kita untuk mempunyai keberanian membuka hal-hal baru bagi Allah. Mereka yang kini selalu mencari solusi pendisiplinan, mereka yang selalu berpegang pada ‘keamanan’ doktrinal secara berlebihan, mereka yang tanpa jera mencoba untuk menghidupkan masa lalu yang sudah lama terku-bur – mereka memiliki pandangan atas banyak hal secara statis dan mengacu ke dalam. Dalam cara ini, iman berubah menjadi sebuah ideologi sama seper-ti ideologi-ideologi lainnya. Saya punya kepastian dogmatis bahwa: Allah bersemayam dalam hidup setiap orang. Sekalipun apabila hidup seseorang sedang dalam bencana, ataupun sedang hancur karena maksiat, drug atau hal lainnya – Allah berse-mayam dalam diri orang itu. Kamu bisa, dan mesti mencoba untuk terus mencari Allah dalam setiap hidup manusia. Sekalipun dalam hidup orang yang penuh duri dan benalu, pasti selalu ada sejengkal

Fransiskus mencium kaki narapidana dalam Misa Kamis Putih.

Page 15: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

15 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

tanah yang membuat benih kebaikan dapat bertum-buh. Kamu harus percaya kepada Allah.”

Haruskah Kita Optimis?Perkataan Paus mengingatkan diriku akan bebe-

rapa renungan yang ditulisnya ketika menjadi kardinal bahwa Allah telah tinggal di dalam kota, di tengah semua orang dan dipersatukan pada diri setiap orang. Dengan perkataan lain, menurutku, seperti apa yang dituliskan Santo Ignasius dalam Latihan Rohani bahwa Allah “berkarya dan bekerja” dalam dunia kita. Maka saya bertanya: Perlukah kita bersikap optimistik? Apakah tanda-tanda harapan dalam dunia masa kini? Bagaimanakah kita dapat bersikap optimistik dalam hidup di tengah dunia yang mengalami [berbagai] krisis?”

“Saya tidak suka menggunakan istilah optimisme karena mencerminkan sikap psikologis,” sela Paus. “Saya lebih menyukai istilah harapan, sebagaimana kita baca dalam Surat kepada umat di Ibrani, pasal 11 seperti yang telah saya singgung sebelumnya. Para bapak iman terus berjalan, menghadapi berbagai tantangan. Dan ‘harapan’ tidak pernah mengece-wakan, sebagaimana kita kutip dalam Surat kepada umat di Roma. Coba renungkan teka-teki Puccini dalam opera ‘Turandot,’” saran Paus.

Pada saat itu terngiang olehku beberapa bait teka-teki puteri dalam opera tersebut, yang solusinya adalah harapan: “Di tengah malam yang suram terbanglah hantu/ Meninggi sambil merentangkan sayapnya/ di atas kemanusiaan yang hitam legam./Seluruh dunia memohon/ dan seluruh dunia men-damba./ Tetapi hantu itu menghilang ketika datang subuh/ yang merekah di hati./ Dan setiap malam dia ada/ tetapi menghilang di setiap pagi!”

“Jelas bukan,” sahut Paus Fransiskus, “Harapan Kristiani bukanlah hantu dan tidak dapat ditipu. Harapan adalah suatu keutamaan teologis dan kare-na itu, pada akhirnya, merupakan anugerah dari Allah yang tidak dapat dikerdilkan menjadi opti-misme, yang hanya sebatas manusia saja. Allah tidak menyesatkan harapan. Allah tidak dapat menyang-kal Diri-Nya. Allah menggenapi semua janji.”

Seni dan KreatifitasSaya tertegun dengan acuan yang baru saja dijabar-

kan Paus tentang ‘Turandot’ karya Puccini ketika membahas soal harapan. Saya ingin memahaminya

dengan lebih baik acuan seni dan karya sastra yang beliau miliki. Saya ingatkan beliau tentang apa yang beliau katakan pada tahun 2006 bahwa seniman ulung tahu bagaimana memaparkan realita kehi-dupan yang tragis dan menyakitkan dalam suatu keindahan. Maka saya bertanya siapakah seniman dan penulis yang beliau sukai dan apakah mereka memiliki kesamaan.

“Saya sungguh menyukai berbagai jenis pengarang. Saya menyukai Dostoesvsky and Hölderlin. Saya ingat akan puisi yang ditulis Hölderlin ketika neneknya berulang tahun: sungguh indah dan memperkaya spiritual bagiku. Puisi itu diakhiri dengan kalimat, ‘Semoga manusia berpegang pada apa yang dijanji-kan oleh Anak-Nya.’ Saya sungguh terkesan karena kebetulan sayapun mencintai nenekku Rosa, dan dalam puisi itu Hölderlin membandingkan neneknya dengan Bunda Maria, yang melahirkan Yesus, saha-bat manusia yang menerima semua orang sebagai saudaranya sendiri.”

“Saya pernah membaca The Betrothed, karangan Alessandro Manzoni, tiga kali, dan kini saya letak-kan di atas mejaku supaya saya bisa membacanya ulang. Manzoni banyak mengilhamiku. Kala saya kecil, nenekku mengajariku di luar kepala tentang apa yang tertulis di bagian awal dari The Betrothed: ‘Cabang Danau Como membelok ke selatan membe-lah dua pegunungan yang tiada terputus …’ Saya juga sangat menyukai karya Gerard Manley Hopkins.”

“Di antara para pelukis agung, saya mengagumi Caravaggio, lukisannya sungguh menyentuhku. Demikian pula Chagall, dengan karyanya ‘Penya-lipan Putih.’ Di antara musikus saya tentu menyukai Mozart. ‘Et incarnatus est,’ karyanya berjudul Misa dalam C minor tidak ada bandingannya; musik itu mampu mengangkatmu kepada Allah. Saya juga senang mendengarkan karya Beethoven. Namun bagiku interpreter yang paling Promethean adalah Furtwängler. Dan selanjutnya adalah Passions karya Bach. Bagian dari Bach yang paling kusukai yaitu ‘Erbarme Dich,’ cucuran air mata Santo Petrus dalam ‘Saint Matthew Passion.’ Sungguh agung. Lalu, pada tingkat yang berbeda, tidak persis sama, saya suka Wagner. Saya suka mendengarkan karyanya meski-pun tidak setiap saat. Pentas Wagner berjudul ‘Ring’ oleh Furtwängler di La Scala Milano pada tahun 1950 adalah yang terbaik bagiku. Demikian pula ‘Parsifal’ oleh Knappertsbusch pada tahun 1962.”

Page 16: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

16 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

“Kita juga mesti bicara soal film. ‘La Strada,’ karya Fellini barangkali adalah film yang paling kusukai. Melalui film ini saya dapat melihat acuan implisit dari Santo Fransiskus. Saya juga ingat nonton semua film Itali bersama Anna Magnani dan Aldo Fabrizi ketika saya berusia antara 10-12 tahun. Film lain-nya yang kusukai adalah ‘Rome, Open City.’ Saya mewarisi hobi nonton film dari kedua orangtuaku yang sering mengajak kami nonton.”

“Secara umum saya menyukai artis yang tragis, terutama yang klasik. Ada definisi indah [tentang klasik] dari Cervantes yang menuliskan perkataan bujangan Carraso ketika memuji kisah Don Quixote: ‘Anak-anak memilikinya di tangan mereka, remaja membacanya, orang dewasa memahaminya, dan para orang tua mensyukurinya.’ Bagiku ini dapat menjadi definisi yang baik tentang apa itu klasik.”

Saya juga bertanya kepada Paus tentang pengalamannya [sebagai guru] dalam mengajar-kan sastra kepada anak-anak sekolah menengah.

“Agak sulit,” jawabnya. “Saya terus memastikan para muridku membaca El Cid. Tetapi mereka tidak menyukainya. Mereka lebih memilih membaca Garcia Lorca. Lalu saya memutuskan agar mereka membaca El Cid di rumah dan dalam kelas saya mengajarkan karya pengarang-pengarang yang paling mereka sukai. Tentu saja, anak-anak remaja ingin membaca lebih banyak karya sastra yang agak nakal, misalnya La Casada Infiel (yang kotemporer) atau La Celes-tina (yang klasik) karya Fernando de Rojas. Namun demikian, dengan membaca semuanya ini mereka memperoleh cita rasa dalam sastra, puisi dan lalu kita beralih ke pengarang lainnya. Dan semuanya ini menjadi pengalaman yang berharga bagiku. Saya berhasil menyelesaikan program tetapi tidak dalam struktur, maksudku menurut urutan yang telah kita rancang sebelumnya. Sebaliknya urutan-nya berubah secara alami ketika membaca para pengarang itu. Tampaknya metode ini cocok bagi-ku. Saya memang tidak menyukai jadual yang ketat,

dan sebaliknya saya cukup tahu kemana tujuan kita dan lalu mencoba sebisanya mengarah ke sana. Saya juga mendorong para muridku untuk menulis. Pada akhir tahun ajaran, saya memutuskan untuk mengirimkan dua kisah yang ditulis oleh murid-muridku kepada Borges [penulis Argentina?]. Saya kenal sekretarisnya, yang kebetulan menjadi guru pianoku. Dan [ternyata] Borges sangat menyukai kisah itu. Dan lalu dia memutuskan untuk menulis-kan kata pengantar dari kumpulan kisah itu.”

“Ternyata, Bapa Suci, kreativitas adalah penting dalam hidup seseorang?” demikian saya bertanya. Beliau menjawab sambil tertawa: “Bagi seorang Yesuit, kreativitas sangatlah penting! Seorang Yesuit harus kreatif.”

Frontir dan LaboratoriumDalam kunjungan

oleh para imam dan staf yang bekerja di La Civiltà Cattolica, Paus telah berbicara tentang tiga hal penting, yaitu ‘dialog, discer-ment dan frontir.’ Dan beliau menekankan poin yang terakhir, dengan merujuk pada Paulus VI khususnya tentang apa yang dikatakan-nya dalam pidato yang penting tentang Yesuit:

“Di manapun dalam gereja – bahkan ketika bera-da dalam masa yang sangat sulit di wilayah yang ekstrim, dalam persimpangan ideologi, dalam palung sosial yang sangat dalam – selalu telah ada dan berlangsung hingga kini dalam percakapan di antara manusia yang mendamba dan pesan abadi dari Injil, Yesuit telah dan akan selalu ada di sana.” Saya bertanya kepada Paus Fransiskus apakah yang menjadi prioritas bagi jurnal yang diterbitkan oleh Serikat Yesus.

“Tiga kata kunci yang telah saya sampaikan kepada La Civiltà Cattolica, dapat diperluas untuk semua jurnal yang diasuh Serikat Yesus, barangkali dengan sedikit penekanan yang berbeda tergantung dari sifat dan tujuannya. Ketika saya menekankan fron-tir, saya memaksudkannya secara khusus kebutu-

Misa di parkiran karena gereja disegel, St. Joannes Baptista, Parung.

Page 17: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

17 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

han bagi mereka yang bekerja di dunia budaya yang disisipkan ke dalam konteks yang mereka operasi-kan dan pada apa yang mereka renungkan. Tentu selalu ada bahayanya hidup dalam laboratorium. Apa yang kita miliki bukanlah ‘laboratorium iman,’ tetapi ‘perjalanan iman,’ yaitu iman dalam perjalan-an sejarah. Allah telah menyatakan Diri-Nya sebagai sejarah, dan bukan sebagai kompendium kebenaran abstrak. Saya takut akan istilah laboratorium kare-na dalam laboratorium kamu mengambil masalah dan lalu menjinakkannya, dan mengecatnya di luar konteks. Kamu tidak dapat membawa frontir pulang, tetapi kamu mesti berani tinggal di perba-tasan.”

Saya bertanya beberapa contoh nyata dalam pengalaman hidupnya.

“Ketika ada masalah sosial, mengadakan perte-muan untuk mempelajari masalah drug di perkam-pungan kumuh. Lalu pergi ke sana dan tinggal di sana untuk memahami permasalahannya dari dalam dan mengamatinya. Ada surat indah yang ditulis Romo [Jendral] Arrupe kepada Pusat Penelitian dan Bantuan Sosial untuk mengentaskan kemiskinan. Beliau menuliskannya dengan jelas bahwa kita tidak pantas membicarakan kemiskinan apabila tidak pernah mengalami kemiskinan, dengan bersentuh-an langsung di kawasan di mana ada kemiskinan. Istilah penyisipan sesungguhnya bahaya karena telah dijadikan mode oleh beberapa agama. Baha-ya dapat terjadi karena kurangnya discernment. Namun demikian hal ini sangat penting.”

“Kawasan frontir banyak. Marilah kita berpikir tentang biarawati yang tinggal di rumah sakit. Mereka tinggal di frontir. Saya diselamatkan karena salah satu dari rumah sakit ini. Ketika saya men-derita sakit paru-paru di rumah sakit, dokterku memberi penisilin dan streptomisin dalam dosis tertentu. Rupanya suster yang bertugas merawat-ku menambahkan dosisnya menjadi tiga kali lipat karena dia memang sungguh piawai. Suster tahu apa yang harus dilakukannya karena dia tinggal ber-sama pasien sepanjang hari. Sebaliknya, dokterku yang termasuk salah seorang dokter yang baik, ting-gal di laboratorium, sementara suster itu tinggal di frontir dan berdialog dengannya setiap hari. Menji-nakkan frontir berarti membahasnya dari kejauhan, mengunci dirimu dalam laboratorium. Laboratori-um adalah berguna, tetapi refleksi bagi kita hendak-nya bermula dari pengalaman nyata.”

Pemahaman Diri ManusiaSaya bertanya kepada Paus tentang perubahan

dahsyat yang terjadi dalam masyarakat dan cara manusia menginterpretasikan ulang dirinya. Keti-ka ditanya, beliau bangkit untuk mengambil brevir [buku doa harian] dari mejanya. Brevir itu dalam bahasa Latin dan tampak sudah lusuh karena sering digunakan. Beliau membuka Bacaan untuk hari Jumat ke 27 Minggu Biasa dan lalu membacakan satu kutipan yang diambil dari Commonitorium Primum oleh Santo Vincensius dari Lerins: “Bahkan dogma dari agama Kristiani hendaknya mengikuti hukum ini, yang dikonsolidasi selama bertahun-tahun, dikembangkan sepanjang waktu dan diper-dalam oleh zaman.”

Paus melanjutkan komentarnya: “Santo Vinsensius dari Lerins membuat perbandingan antara perkem-bangan biologis seorang manusia dan penyebar-an iman yang semakin kuat oleh perkembangan zaman. Di sini, pemahaman manusia akan dirinya berubah karena waktu dan tingkat kesadarannya juga semakin mendalam. Misalnya saja di masa lalu perbudakan diterima dan hukuman mati diizinkan tanpa masalah sama sekali. Dengan demikian kita bertumbuh dalam kebenaran. Para ahli tafsir dan teolog membantu gereja untuk menjadi semakin dewasa dalam kebijaksanaannya. Juga ilmu penge-tahuan lainnya dan perkembangan yang dicapainya ikut membantu gereja untuk memahami dengan lebih baik. Ada berbagai aturan dan ajaran gerejani yang tadinya efektif tetapi kini telah kehilangan nilai dan maknanya. Pandangan tentang ajaran gereja sebagai monolit untuk mempertahankan [diri] tanpa suatu nuansa atau pemahaman yang berbeda adalah keliru.”

“Pada akhirnya, dalam setiap zaman, manusia mencoba memahami dan mengungkapkan dirinya dengan lebih baik. Dengan demikian karena waktu, manusia berubah cara mempersepsikan dirinya. Misalnya ada orang yang mengungkapkan dirinya dengan memahat ‘Winged Victory of Samothrace,’ sedang yang lainnya Caravaggio, Chagall dan seba-liknya masih berpegang pada Dali. Ekspresi kebe-naran dapat terungkap dalam berbagai bentuk, yang tentu penting [diketahui] untuk penyebaran Injil di sepanjang masa.”

Page 18: Edisi Khusus Warta KKIH - Keluarga Katolik Indonesia filewawancara dengan Paus. ... untuk merangkum berbagai pertanyaan yang mencerminkan minat masing-masing. ... ke dalam bahasa Indonesia

18 Warta KKIH Edisi Khusus Oktober 2013

“Manusia terus mencari dirinya, dan tentu saja, dalam pencariannya itu mereka bisa membuat kesalahan. Gereja telah mengalami saat-saat brilian, misalnya dengan lahirnya Thomas Aquinas. Namun demikian ada pula saat di mana gereja menurun dalam daya pikirnya. Karenanya, kita tidak boleh mencampuradukkan kegeniusan Thomas Aqui-nas dengan saat terjadinya kemerosotan penulisan aliran Thomis. Sayang sekali, saya belajar teologi berdasarkan buku yang sebagaian besar ditulis pada masa kemerosotan dan kebangkrutan aliran Thomasisme. Oleh karena itu, dalam memikirkan soal manusia, hendaknya gereja terus berupaya berpegang pada pemikiran cemerlang dan bukan kemerosotannya.”

“Kapankah formulasi sebuah pemikiran sudah menjadi usang? Kala pemi-kiran itu kehilangan pan-dangannya tentang manusia atau kala dirinya menjadi takut pada manusia atau ketika terperdaya olehnya sendiri. Keterperdayaan pemikiran dapat dilihat misalnya ketika Ulysses menemukan nyanyian Siren, atau ketika Tannhäuser dalam suatu pesta pora yang dipenuhi nafsu, atau sebagai Parsifal, dalam babak kedua dari opera Wagner, dalam istana Kling-sor. Oleh karena itu gereja hendaknya kembali ke pemikiran yang genius dan memahami dengan lebih baik tentang bagaimana manusia kini mema-hami dirinya. Semuanya ini perlu kita lakukan demi mengembangkan dan memperdalam ajaran gereja.”

DoaSaya bertanya kepada Paus Fransiskus tentang

cara beliau berdoa.

“Saya berdoa brevir setiap pagi. Saya menyukai berdoa dengan Mazmur. Kemudian, saya merayakan Misa. Saya berdoa rosario. Apa yang paling saya sukai adalah adorasi di malam hari, bahkan ketika saya terganggu dan berpikir tentang banyak hal, atau bahkan mengantuk dalam doa. Di malam hari,

antara jam 7-8, saya bersujud di depan Sakramen Maha Kudus selama sejam dalam beradorasi. Saya berdoa dalam batin ketika menunggu giliran periksa di dokter gigi atau pada kesempatan lain hari itu.”

“Berdoa bagiku selalu penuh penyadaran, pene-muan kembali atas pengalaman hidupku atau apa yang telah Allah lakukan bagi gereja-Nya atau khusus-nya dalam suatu paroki tertentu. Bagiku penya-daran sebagaimana yang Santo Ignasius katakan

dalam Minggu Pertama dari Latihan Rohani, yaitu ketika menjumpai Kristus Tersa-lib yang sungguh mencinta. Saya bertanya kepada diriku sendiri: ‘Apakah yang telah kulakukan pada Kristus? Apakah saya sedang melaku-kan suatu karya bagi Kris-tus? Apa yang harus saya lakukan bagi Kristus?’ Inilah suatu penyadaran atas apa yang oleh Santo Ignasius sebut sebagai ‘Kontemplasi untuk Mengalami Cinta Ilahi,’ yaitu ketika dia meminta kita untuk merenungkan kembali segala bakat dan anugerah yang telah kita terima. Teta-pi lebih dari segalanya, saya juga menyadari bahwa Allah selalu mengingat diriku. Saya

bisa saja lupa akan Diri-Nya, tetapi saya tahu bahwa Dia tidak akan pernah melu-pakan diriku. Penyadaran mempunyai peranan yang fundamental dalam hati seorang Yesuit: penyadaran atas anugerah, penyadaran sebagaimana tertulis dalam kitab Ulangan, penyadaran atas karya Allah yang menjadi basis dari perjanjian antara Allah dan manusia. Penyadaran inilah yang menjadikan diriku sebagai Putera-Nya dan sekaligus menjadikan diri-ku sebagai seorang romo pula.”

Antonio Spadaro, S.J., adalah editor utama La Civiltà Cattolica, jurnal dipublikasikan di Roma oleh Serikat Yesus sejak tahun 1850. Para peterjemah ke dalam bahasa Inggris: Massimo Faggioli, Sarah Christopher Faggioli, Dominic Robinson, S.J., Patrick J. Howell, S.J., dan Griffin Oleynick.

Teks versi bahasa Inggris telah diterbitkan di America Maga-zine atau silakan klik http://www.americamagazine.org/pope-interview

‘Seorang nenek berdoa rosario,’ karya Paul Cezanne (1895)