Edisi 26, APRIL 2014 ISSN 1412-9639 JURNAL ILMIAH K U T E Irepository.unib.ac.id/11249/1/JURNAL...

19
Edisi 26, APRIL 2014 ISSN 1412-9639 JURNAL ILMIAH KUTEI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG SAHAM DI PASAR MODAL MELALUI PENGEMBANGAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PENINGKATAN BUDAYA HUKUM TENTANG PENDAFTARAN HAK CIPTA BAGI PENGERAJIN BATIK BASUREK DI KOTA BENGKULU INKONSISTENSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PERLINDUNGAN HAK ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT KEBIJAKAN KRIMINAL DAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM PENEGAKAN UU NO. 35 TAHUN 2009 DAN UU NO. 5 TAHUN 1997 DI BENGKULU PERBANDINGAN LEGALITY PRINCIPLE DAN THE LAW ENFORCEMENT AGENCIES AND OTHER ACTORS/INSTITUTION IN THE CRIMINAL PROCEDURE DI INDONESIA DAN NORWEGIA NON CUSTODIAL SANCTION DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

Transcript of Edisi 26, APRIL 2014 ISSN 1412-9639 JURNAL ILMIAH K U T E Irepository.unib.ac.id/11249/1/JURNAL...

Edisi 26, APRIL 2014 ISSN 1412-9639

JURNAL ILMIAH

K U T E IPERLINDUNGAN HUKUM BAGI

PEMEGANG SAHAM DI PASAR MODALMELALUI PENGEMBANGAN

GOOD CORPORATE GOVERNANCE

PENINGKATAN BUDAYA HUKUMTENTANG PENDAFTARAN HAK CIPTA

BAGI PENGERAJIN BATIK BASUREK DI KOTA BENGKULU

INKONSISTENSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM

PERLINDUNGAN HAK ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT

KEBIJAKAN KRIMINAL DAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM PENEGAKAN

UU NO. 35 TAHUN 2009 DAN UU NO. 5 TAHUN 1997 DI BENGKULU

PERBANDINGAN LEGALITY PRINCIPLEDAN THE LAW ENFORCEMENT AGENCIES

AND OTHER ACTORS/INSTITUTION IN THE CRIMINAL PROCEDURE DI INDONESIA DAN NORWEGIA

NON CUSTODIAL SANCTION DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

Dekan FH Universitas Bengkulu

Pembantu Dekan 1 FH Universitas Bengkulu

Prof Dr Herawan Sauni S.H.M.Si

Fakultas Hukum Universitas BengkuluJalan Raya Kandang Limun Kota Bengkulu

DITERBITKAN OLEH BADAN PENERBIT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU

Jurnal Ilmiah Kutei diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Bengkulu dimaksudkan sebagai media komunikasi dalam pengembangan ilmuditerbitkan 2 (dua) kali setahun yaitu April dan September. Redaksi menepenelitian dan artikel konseptual. Naskah dikirim kepada redaksI minimal 8 halaman dan maksimal 20 halaman dengan spasi 1,5 , disertai biodata penulis dan memgikuti ketentuan penulisan. Redaksi berhak mengubah naskah sepanjang tidak

JURNAL ILMIAH KUTEI

Penanggung Jawab Dekan FH Universitas Bengkulu

Wakil Penanggung JawabPembantu Dekan 1 FH Universitas Bengkulu

Pimpinan RedaksiHerlita Eryke

Mitra BestariProf Dr Herawan Sauni S.H.M.Si

Prof Dr Juanda,S.H.M.H Dr. Herlambang,S.H.M.H

Dr.Hamzah Hatrik,S.H.M.HDr. Iskandar,S.H.M.Hum

Alamat Redaksi Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

Jalan Raya Kandang Limun Kota BengkuluTelp 0736 20653, 21184

DITERBITKAN OLEH BADAN PENERBIT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU

Jurnal Ilmiah Kutei diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Bengkulu dimaksudkan sebagai media komunikasi dalam pengembangan ilmu hukum dan ilmu-ilmu sosial. Jurnal Ilmiah Kutei diterbitkan 2 (dua) kali setahun yaitu April dan September. Redaksi menerima naskah laporan penelitian dan artikel konseptual. Naskah dikirim kepada redaksI minimal 8 halaman dan maksimal 20 halaman dengan spasi 1,5 , disertai biodata penulis dan memgikuti ketentuan penulisan. Redaksi berhak mengubah naskah sepanjang tidak mengubah subtansi tulisan.

Jurnal Ilmiah Kutei diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Bengkulu dimaksudkan sebagai ial. Jurnal Ilmiah Kutei

rima naskah laporan penelitian dan artikel konseptual. Naskah dikirim kepada redaksI minimal 8 halaman dan maksimal 20 halaman dengan spasi 1,5 , disertai biodata penulis dan memgikuti ketentuan

tansi tulisan.

PENGANTAR REDAKSI

Pada edisi 26, April 2014 ini cukup banyak penulis yang berpartisipasi untuk

mempublikasikan pemikiran konseptualnya maupun hasil penelitiannya. Namun dalam Jurnal

Ilmiah Kutei edisi ini tulisan yang ditampilkan beragam dan variatif. Dewan redaksi akan

menampilkan tulisan hasil penelitian maupun artikel,antara lain: artikel dibidang hukum perdata

ekonomi maupun dibidang agraria serta taklah menarik tulisan dibidang hukum pidana.

Masalah perlindungan hukum bagi pemegang saham di pasar modal disajikan secara

menarik oleh Tito Sofyan, tulisan bagaimana peningkatan budaya hukum tentang pendaftaran

Haki bagi pengerajin Batik basurek yang merupak warisan budaya masyarakat Bengkulu

disajikan oleh Rahma Fitri di bidang agraria mengenai inkonsistensi peraturan perundangan

mengenai hak milik tanah masyarakat hukum adat disajikan oleh Hamdani Ma’akir. Dalam

tulisan edisi April kali ini tulisan dibidang hukum pidana sebanyak tiga tulisan. Masalah

kebijkan kriminal dan kebijakan sosial penegakan hukum dalam tindak pidana narkotika dan

psikotropika di kemukan oleh Noeke Sri Wardhani, kajian perbandingan mengenai prinsip dasar

penegakan hukum antara Negara Indonesia dan Norwegia dikemukan oleh Ria Anggraeni serta

taklah menarik tulisan yang diketengahkan oleh Herlita Eryke mengenai alternatif pidana

perampasan kemerdekaan dalam hukum positif Indonesia saat ini.

Demikian pengantar redaksi, selamat membaca dan berdiskusi.

REDAKSI,

DAFTAR ISIREDAKSI JURNAL KUTEI iDAFTAR ISI iiPENGANTAR REDAKSI ii

Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Saham Di Pasar ModalMelalui Pengembangan Good Corporate GovernanceDr.Tito Sofyan,S.H.M.S.

1-14

Peningkatan Budaya Hukum Tentang Pendaftaran Hak Cipta Bagi Pengerajin Batik Basurek Di Kota Bengkulu Rahma Fitri,S.H.M.H.

15-25

Inkonsistensi Peraturan Perundangan-Undangan Dalam Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum AdatHamdani Ma’akir,S.H.M.Hum,Dr Emelia Kontesa,S.H.M.Hum

26-38

Kebijakan Kriminal dan KebijakanSosial Dalam Penegakan UU No. 35 Tahun 2009 dan UU No.5 Tahun Di BengkuluNoeke Sri Wardahani,S.H.M.Hum

39-55

Perbandingan Legality Principle Dan The Law Enforcement AgenciesAnd Other Actors/InstitutionIn The Criminal Procedure Di Indonesia Dan NorwegiaRia Anggraeni Utami,S.H.M.H.

56-67

Non Custodial Sanction Dalam Hukum Positif IndonesiaHerlita Eryke,S.H.M.H.

68-90

KETENTUAN PENULISAN1. Naskah belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain, diketik 1,5 spasi pada kertas

kuarto, panjang tulisan 8-25 halaman, diserahkan dalam bentuk print out dan CD , diketik

dengan menggunakan Ms Word

2. Artikel ditulis menggunakan Bahasa Indonesia atau Inggris dengan standar bahasa yang

baik dan benar

3. Artikel berupa tulisan ilmiah hukum maupun humaniora lainnya, baik yang berasal dari

hasil penelitian atau artikel ilmiah konseptual tentang hukum dan ilmu humaniora lainnya

4. Artikel yang berasal dari hasil penelitian/tesis/disertasi disajikan dengan sistematika

sebagai berikut : (a) Judul, (b) Nama Penggarang, (c) Abstrak (dalam Bahasa

Indonesia/Bahasa Inggris), (d) Pendahuluan (berisi latar belakang, permasalahan), (e)

Metode Penelitian, (f) Hasil Penelitian dan Pembahasan,

(g) Kesimpulan dan Saran, (h) Daftar Pustaka.

5. Artikel ilmiah konseptual disajikan dengan sistematika sebagai berikut : (a) Judul, (b)

Nama Penggarang, (c) Abstrak (dalam Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris), (d)

Pendahuluan, (e) Pembahasan, (f) Kesimpulan, (g) Daftar Pustaka

6. Daftar Pustaka/sumber (teks books/jurnal/majalah/makalah) disajikan secara alpebatis

7. Setiap kutipan harus menyebutkan sumbernya secara lengkap dan jelas, dengan

menggunkan system end note atau foot note

8. Dewan redaksi berhak menggubah naskah, sepanjang tidak mengubah subtansi tulisan,

redaksi berhak menolak tulisan yang disampaikan dalam hal tulisan tidak memenuhi

ketentuan penulisan

9. Tulisan/artikel untuk edisi April diserahkan pada pengelola Jurnal ilmiah kutei paling

lambat tanggal 20 Maret sedangkan untuk Edisi September diterima oleh pengelola

Jurnal Ilmiah Kutei paling lambat tanggal 20 Agustus.

BAGI PEMBACA YANG BERMINAT BERLANGGANANDAPAT MENGHUBUNGI TATA USAHA

JURNAL ILMIAH KUTEI HARGA PER EKSEMPLAR Rp 50.000,-

26

Inkonsistensi Peraturan Perundangan-Undangan Dalam Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat

Oleh :Hamdani Ma’akir dan Emelia Kontesa.1

ABSTRAK

Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi Inkonsistensi dapat terjadi peraturan perundang-undangan dalam perlindungan hak atas tanah Masyarakat hukum adat baik secara vertikal maupun horizontal. dengan type penelitian yuridis normatif, dengan Pendekatan perundang-undangan (statute approach). Permasalahan dalam penelitian ini: 1).Bagaimanakah bentuk inkonsistensi pengaturan Hak atas tanah masyarakat Hukum adat ?; 2).Bagaimanakah analisis hukum terhadap inkonsistensi pengaturan Hak atas tanah masyarakat Hukum adat ? hasil penelitian menunjukkan bahwa: Bentuk Inkonsistensi Peraturan perundang-undangan Dalam Perlindungan Hak atas tanah masyarakat Hukum Adat dimulai dari Pemahaman yang keliru tentang masyarakat Hukum adat, bermula terjadinya inkonsitensi perumusan bahasa atau kejelasan istilah terhadap hak-hak atas tanah. Belum dilakukan upaya komprehensif dari lembaga legislatif untuk uji materil semakin menjumbuhkan persoalan yang berujung pada ketidakpastian hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah. Terhadap inkonsistensi vertikal dapat dilakukan dengan menempuh jalan yudisial review ke Mahkamah Konstitusi. Dalam produk hukum terjadi “ambiguitas” pengaturan,dan“inkonsistensi” pengaturan, yang berimplikasi terjadinya conflictof norm, solusinya digunakan terhadap inkonsistensi horizontal adalah asas” Lex posterior derogat legi priori ( hukum yang terbaru (posterior) mengesampingkan hukum yang lama (prior) dan asas “Lex specialis derogat legi generali “(penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).

Kata Kunci : inkonsistensi, perlindungan , hak Masyarakat hukum adat

A.PENDAHULUAN

Istilah "Masyarakat Hukum Adat" dan "Hak Ulayat" untuk pertama kali digunakan

oleh Pembuat Undang-undang pada 1960 dalam UUPA, tepatnya pada Pasal 3. Inti dari Pasal 3

adalah bahwa pelaksanaan Hak Ulayat atau hak-hak serupa itu dari Masyarakat Hukum Adat

harus sesuai dengan kepentingan bangsa dan Negara. Mengenai apa yang dimaksud

dengan"Masyarakat Hukum Adat" tidak ada penjelasan baik dalam Pasal 3 maupun Penjelasan

Umum/Khusus yang merupakan tafsir resmi dari Pembuat Undang-undang. Istilah Hak Ulayat

dimaksud adalah apa yang selama ini dikenal sebagai "beschikkingsrecht" dalam kepustakaan

hukum Adat.

1 Hamdani Ma’akir,S.H.M.Hum , Dr.Emelia Kontesa,S.H.M.Hum Staf Pengajar FH UNIB

27

Sebenarnya istilah "Masyarakat Hukum Adat" dan"Hak Ulayat" dalam UUPA itu masih

menimimbul pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah persekutuan masyarakat yang merupakan

penduduk asli setempat selalu bisa diartikan sama dengan "Masyarakat Hukum Adat", apakah

hak-hak yang mereka miliki selalu dapat ditafsirkan sama dengan "Hak Ulayat"? Pembuat

UUPA sendiri tidak menyediakan jawaban dalam tafsir resminya yang termuat dalam Penjelasan

Umum/Khusus. Demikian juga dengan semua tanah dan sumber-sumber agraria yang dikuasai

secara bersama-sama dalam kelompok dianggap sebagai tanah-tanah Hak Ulayat. Sehingga

ketika di dalam masyarakat dikenal dengan nama yang berbeda (seperti di Bengkulu: dikenal

dengan nama tanah Marga; tanah Kaum) seolah-olah tidak terakomodir dalam istilah yang

dirumuskan undang-undang), sehingga pemahaman pemerintahpun berbeda dan hal ini

berpengaruh langsung terhadap perlindungan hukumnya.

Berdasarkan Penjelasan UUPA angka II Pembuat Undang-undang menyatakan

bahwa...berhubung dengan yang disebutnya hak ulayat dalam UUPA yang pada hakikatnya

berarti pula pengakuan hak itu maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan sepanjang

hal tersebut menurut kenyataanya masih ada masyarakat hukum yang bersangkutan. di atas

tanah-tanah Hak Ulayat itu Pemerintah berwenang menerbitkan hak-hak baru seperti Hak

Guna Usaha2.

ekonomi).

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 huruf I ayat (3) undang-undang Dasar NegaraTahun 1945 :

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”Dari pernyataan tersebut disatu sisi sudah mulai ada upaya pemerintah untuk menguatkan

kembali pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dengan istilah “masyarakat tradisional”.

Pengakuan tersebut belum menyelesaikan berbagai persoalan pengaturan terhadap perlindungan

hak atas tanah masyarakat hukum adat. Faktanya masih terdapat inkonsistensi pengaturan dalam

berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang kedudukannya berada di bawah Undang-

undang Dasar. Seperti Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Kedua undang-undang di atas merupakan contoh inkonsistensi pengaturan hak atas tanah

masyarakat hukum adat. Masih ada lagi peraturan perundang-undangan lainnya yang akan

diidentifikasi dan ditelaah serta dicarikan alternatif solusi dalam penelitian ini. Dalam sistem

28

peraturan perundangan di Indonesia, pengaturan tentang hak masyarakat adat dilakukan secara

sektoral. Akibatnya, masing-masing undang-undang sektoral mencantumkan pengaturan tentang

masyarakat adat menurut kepentingannya masing-masing, termasuk Undang-undang Nomor. 18

Tahun 2004 Tentang Perkebunan, Inkonsistensi pengaturan hak atas tanah masyarakat adat

terkesan memposisikan masyarakat hukum adat sebagai objek yang dikorbankan. Situasi ini

sesungguhnya tidak sesuai dengan landasan falsafah bangsa Pancasila, guna mengatasi persoalan

tersebut saat ini sudah disusun rancangan undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan

Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA), yang rencananya diundangkan pada tahun 2013.

B.PERMASALAHAN

1. Bagaimanakah bentuk inkonsistensi pengaturan Hak atas tanah masyarakat Hukum adat ?

2. Bagaimanakah analisis hukum terhadap inkonsistensi pengaturan Hak atas tanah masyarakat

Hukum adat ?

C.METODE PENELITIAN

Penelitian ini meupakan penelitian hukum normatif drngan pendekatan perundang-

undangan (statute approach), yang dimaksud dengan statute berupa legislasi dan regulasi.

Dengan demikian pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan

legislasi dan regulasi.sedangkan produk yang merupakan beschikking/decree (keputusan pejabat

administrasi ) tidak dapat digunakan dalam pendekatan ini3.

C.Bahan Hukum

1.Bahan Hukum Primer

a). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945b). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alamc). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agrariad). Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunane). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutananf). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adatg). Putusan Mahkamah Konstitusi (Perkara Nomor 21, 22/PUU- V/2007), Tanggal 28 Maret 2008.

2.Iman Soetiknjo,1987, Proses Terjadinya UUPA, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Hlm 2733 Peter Mahmud Marzuki, 2007,Penelitian Hukum, Jakarta. Kencana, ,Hlm:97.

29

2. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,

seperti RUU, hasil-hasil penelitian, hasil karya dan kalangan hukum dan seterusnya.

3.Bahan Hukum Tertier

Yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum

primer dan sekunder, contohnya: kamus, ensiklopedia dan seterusnya.

D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan proses dan langkah-langkah sebagai

berikut:Pengumpulan data/bahan-bahan yang akan diteliti dan yang akan membantu dalam

penelitian, meliputi:

(a) fakta(misalnya rangkaian peristiwa dan/atau perbuatan yang membentuk

masalah atau peristiwa atau objek hukum yang akan diteliti);

(b) norma yang terdapat dalam pasal undang undang, dan berbagai peraturan

perundang-undangan, yurisprudensi atau hukum kebiasaan);

(c)pendapat para ahli.4

E. Metode Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang sudah diperoleh akan diklasifikasikan berdasarkan rumusan

masalah penelitian ini, kemudian dianalisis. Analisis bahan hukum menurut berbagai

cara interpretasi, yaitu; interpretasi gramatikal dan otentik.

D.PEMBAHASAN

A. Bentuk Inkonsistensi Peraturan perundang-undangan Dalam Perlindungan Hak atas

tanah masyarakat Hukum Adat

Dalam penelitian ini peraturan perundang-undangan dimaknai setiap keputusan tertulis

yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang berlaku dan bersifat umum. Dengan

demikian bentuk dari ilmu pengetahuan perundang-undangan tidak lain adalah ketentuan-

ketentuan hukum yang tertulis yang bersifat dan berlaku mengikat umum. Bentuk inkonsistensi

dalam peraturan perundang-undangan ditemukan mulai dari:

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan negara yang baik

4 Sunaryati Hartono, Op.Cit. Hlm:l. 148

30

Asas pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) menurut I.C.van der vlies sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati S5, membagi a). asas-asas formal ( asas tujuan yang jelas; asas organ/lembaga yang tepat;asas perlunya pengaturan; asas dapat dilaksanakan; asas konsensus) dan b). Asas –asas yang material meliputi (asas tentang terminologi dan sistematika yang benar; asas tentang dapat dikenali; asas perlakuan yang sama dalam hukum; asas kepastian hukum; asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu);

Asas inipun dikenal dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 dalam Pasal 5 yang

menyatakan:

”Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:a. kejelasan tujuan;b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dang. Keterbukaan”

Pada penjelasan dinyatakan : yang dimaksudkan kejelasan rumusan adalah bahwa setiap

Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan

Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,serta bahasa hukum yang jelas

dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya.

Mencermati asas material yang berkaitan dengan tentang terminologi yng benar, pilihan

kata yang tepat agar tidak menimbulkan pulti tafsir terlihat dalam berbagai ketentuan perundang

–undangan hal ini kurang dicermati oleh para legislator.

Tabel 1Penggunaan Istilah Hak Masyarakat Hukum adatDalam Beberapa perundang-undangan Indonesia

Ketentuan perundang-undangan

Istilah yang digunakan

UUDN RI Tahun 1945Pasal 18 B ayat (2)

masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya

Pasal 28 I ayat (3) hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang PembaruanAgraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,Pasal

“Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip... mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam

5 Maria Farida Indrati S., 2007,Ilmu Perundang-undangan I, Kanisius, Jakarta, Hlm:253-254

31

4 Huruf J Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok AgrariaPasal 3

Dengan Mengingat Ketentuan-Ketentuan Dalam Pasal 1 Dan 2 Pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-Hak Yang Serupa Itu Dari Masyarakat-Masyarakat Hukum Adat, Sepanjang Menurut Kenyataannya Masih AdaDalam Penjelasan Umum huruf A 1c “rakyat asli “

Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 39 Tahun 1999Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 6

1. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.

2. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Pasal 2 Ayat (9) juga disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Pasal 67.(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih

ada dan diakui keberadaannya berhak:a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan

hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang

berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; Undang-undang Republik IndonesiaNomor 18 tahun 2004TentangPerkebunan

Pasal 9(2) Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataanya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.

UU Nomor 11Tahun 1967 tentang Ketentuan –ketentuan Pokok Pertambangan

Pasal 11Pertambangan Rakyat. (3) Ketentuan-ketentuan mengenai Pertambangan Rakyat dan cara serta syarat-syarat untuk memperoleh Kuasa Pertambangan (Izin) Pertambangan Rakyat diatur dalam Peraturan Pemerintah Rakyat setempat berdasarkan hukum adat dan untuk penghidupan mereka sendiri sehari-hari telah melakukan usaha-usaha pertambangan menurut cara-cara mereka sendiri. Hal ini harus dilindungi dan dibimbing.

Undang Undang Republik IndonesiaNomor 25 tahun 2007TentangPenanaman Modal Pasal 14

Huruf bYang dimaksud dengan 'tanggung jawab sosial perusaham"adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan. . penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, noma, dan budaya masyarakat setempat.Pasal 15 Setiap penanam modal berkewajiban:d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasikegiatan usaha penanaman modal; dan

Sumber: bahan hukum primer

32

Lemahnya pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat

diindikasikan bermula dari ketidakkonsistenan pembentuk peraturan perundang-undangan dalam

merumuskan istilah/ kata dengan jelas sesuai dengan “asas kejelasan rumusan”. Akibatnya

kemudian terjadi multi tafsir dalam menginterpretasikan hak masyarakat hukum adat atas tanah

yang sangat merugikan hak-hak masyarakat hukum adat.

Inkonsistensi pengaturan Perlindungan hak atas tanah Masyarakat Hukum Adat

Pengaturan Perlindungan hak atas tanah Masyarakat Hukum Adat berdasarkan Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria disingkat dengan

UUPA dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK),Undang-undang

Nomor 18 tahun 2004Tentang Perkebunan (UUP) dapat dijabarkan dalam tabel 2 berikut:

Tabel 2Inkonsistensi antara UUPA, UUK,UUP

(UUPA) UUK UUP

Pasal 3 Dengan Mengingat Ketentuan-Ketentuan Dalam Pasal 1 dan 2 Pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-Hak Yang Serupa Itu Dari Masyarakat-Masyarakat Hukum Adat, Sepanjang Menurut Kenyataannya Masih Ada, Harus Sedemikian Rupa Sehingga Sesuai Dengan Kepentingan Nasional Dan Negara, Yang Berdasarkan Atas Persatuan Bangsa Serta Tidak Boleh Bertentangan Dengan Undang-Undang Dan Peraturan-Peraturan Lain Yang Lebih Tinggi

Pasal 1 Huruf f Pasal Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat..

Pasal 9(2) Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataanya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayatdan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.

Pasal 5

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan

Pasal 5Status dan Fungsi Hutan(1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak.(2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

Pasal 21Setiap orang dilarang melakukan pengamanan usaha kerusakan kebun dan/atau assetlainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yangmengakibatkan terganggunya

33

sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

a, dapat berupa hutan adat. (3) Pemerintah menetapkan

status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat

ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan

diakui keberadaannya.(4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan

tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.

usah perkebunan. (Pasal ini sudah di yudisial revieu ke MK)

Ketidakkonsistenan antara UUPA dengan UUK dari tabel 2 di atas terlihat jelas antara

lain pada hal-hal berikut: Pertama ketika hukum agraria nasional mengakui keberadaan: tanah

yang dikuasai negara, tanah hak ulayat masyarakat hukum adat (meskipun diberbagai

masyarakat disebut dengan nama yang berbeda; Seperti di Propinsi Bengkulu dikenal dengan

nama Tanah Marga; tanah Kaum di Kabupaten Mukomuko) dan tanah hak yang dapat

dipunyai oleh subyek hak atas tanah. Selanjutnya dalam Undang-undang Kehutanan justru

timbul keanehan karena apabila membaca materi Pasal 1 dan pasal 5 ayat (1,2dan 3) justru tidak

mengakui hak masyarakat hukum adat namun tiba-tiba pada Pasal 5 ayat (4 ) menyebutkan

masyarakat hukum adat, hutan adat dimasukkan dalam kategori hutan negara.

Menurut Maria Sumardjono6 Pemahaman tentang status hutan tersebut berimplikasi

terhadap dua hal:

Pertama, UUK tidak mengakui keberadaan hutan adat, yang sejatinya merupakan bagian dari

hak ulayat MHA. Namun demikian, UUK yang tidak mengakui keberadaan hutan adat itu,

mengakui dan menentukan persyaratan keberadaan MHA; hal ini merupakan suatu kontradiksi

karena UUK tidak mengakui obyeknya (hutan adat) tetapi mengakui keberadaan subyeknya

(MHA) jika memenuhi persyaratan. Jika terjadi sengketa hak ulayat MHA terkait dengan hutan

6https://www.google.com/search?q=sesi1-maria-sw-sumardjono-harmonisasi-regulasi-kehutanan-fhugmakses 15 Juli 2013 pkl 21.52

34

adat, penyelesaiannya menurut UUPA dan UUK akan berbeda. Kedua, terkait status hutan,

disebutkan bahwa hutan negara adalah “hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani

dengan hak atas tanah”. Dalam konteks UUPA, tanah yang tidak dibebani dengan hak atas tanah

itu adalah tanah negara (garis bawah oleh penulis). Dengan demikian konsekuensinya adalah: (a)

tanah-tanah di kawasan hutan negara itu sejatinya adalah tanah negara.

2.Analisis hukum terhadap inkonsistensi pengaturan Hak atas tanah masyarakat Hukum

adat

Sering dipersoalkan apakah masih relevan Pengaturan hak atas tanah masyarakat hukum

adat? Sehingga negara diberi tugas untuk memproteksi melalui hukum negara. Sementara itu

didalam perumusannya masih terdapat disana sini kekaburan makna bahkan saling kontradiksi.

Dalam bukunya yang berjudul “Sesat Pikir Politik Hukum Agraria”, Maria Rita Ruwiastuti

mengemukakan pertanyaan apa pentingnya hak-hak adat bagi masyarakat lokal? Betapa tidak

saat kita semua sedang tergila-gila ingin memasuki dunia modern dan berlomba-lomba membeli

pengetahuan (termasuk hukum-hukum) yang canggih tiba-tiba kita diingatkan oleh sesuatu yang

kuno, usang, ketinggalan zaman.7 Ada dua (2) alasan yang dikemukakan: “Pertama; lepas dari

cita-cita menuju dunia modern yang ada dibenak kita selama ini, faktanya di negeri ini masih

terdapat kelompok masyarakat lokal. Kedua; Fakta lain yang tidak bisa dipungkiri bahwa

belakangan ini kepentingan kelompok-kelompok tersebut sering dikorbankan”.

Secara eksplisit Permenag/Ka BPN Nomor 5 Tahun 1999 mengemukakan kriteria masih

berlangsungnya hak ulayat masyarakat hukum adat berdasarkan pada keberadaan masyarakat

hukum adat yang diakui sebagai subyek hak atas tanah.

Adanya pengakuan dalam bebarapa pasal yang terkandung dalam Permenag/Ka BPN Nomor

5 Tahun 1999 menguatkan eksistensi masyarakat hukum adat/lokal yang secara faktual masih

ada di wilayah nusantara. Selanjutnya perlindungan hak masyarakat adat semakin dikuatkan hal

ini dinyatakan dengan frase “apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai

hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria”. Artinya

persekutuan masyarakat adat sebagai subjek hak atas tanah diakui menurut hukum positif.

Meskipun selama ini hal tersebut belum terrelisasi, faktanya tanah pesekutuan masyarakat adat

belum ada yang bersertipikat. Persoalannya terletak pada materi muatan Pasal 4 ayat (2) tetap

35

mengacu kepada mekanisme memberian HGU dengan cara masyarakat hukum adat melepaskan

haknya, karena tanah diberikan kepada perusahaan perkebunan.

Seharusnya apabila hak masyarakat adat telah diakui eksisitensinya, mereka tidak perlu

melepaskan hak atas tanah, melainkan tanah dapat dijadikan asset masyarakat untuk ikut

bermitra dengan pengusaha perkebunan. Dengan cara ini sebenarnya ekses negatif dapat

dihindari karena baik pemerintah,pengusaha perkebunan serta masyarakat adat diposisikan

sejajar dalam penyelenggaraan usaha perkebunan, dengan kata lain tidak ada pihak yang

dikorbankan.

Akibatnya kemudian pengakuan hak masyarakat adat atas sumber daya alam dalam produk

hukum terjadi “ambiguitas” pengaturan, “inkonsistensi” pengaturan, Implikasi dari

ketidaksinkronan adalah terjadinya conflict of norm, solusinya digunakan asas hierarki untuk

vertikal, sedangkan untuk horizontal digunakan asas” Lex posterior derogat legi priori adalah

asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (posterior)

mengesampingkan hukum yang lama (prior). Asas ini biasanya digunakan baik dalam hukum

nasional maupun internasional. dan asas Lex specialis derogat legi generali adalah asas

penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)

mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)8

Terjadi disharmoni antar peraturan perundang-undangan menyebabkan inkonsistensi horizontal disebabkan oleh: Ada 6 (enam) faktor yang menyebabkanxdisharmonixsebagaixberikut:1. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun Waktufyangfberbeda;2. Pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan berganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih tugasvatauvpenggantian;3.Pendekatan sektoral dalam pembentukan peraturan perundang-undangan lebih kuat dibanding pendekatan sistem;4. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin hukum;5. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangannmasihnterbatas; 6.Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.9

7 Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir Hukum Agraria, (Yogyakarta: INSIST PRESS KPA dan Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 153-155.8 http://id.wikipedia.org/wiki/Lex_specialis_derogat_legi_generali akses 22November 2013 pkl,21.35 Wib9http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html akses 22November 2013 pkl,21.30 Wib.

36

Akibat nyata dari conflict of norm tersebut menimbulkan multi tafsir dalam pengakuan

dan perlindungan hak atas tanah masyarakat hukum adat pengelolaan sumber daya alam sesuai

dengan kepentingan sektor masing-masing. Selanjutnya akan mengakibatkan kecenderungan

eksploitasi Hak atas tanah masyarakat hukum adat dan rusaknya sumber daya alam. Contoh

konkrit terjadinya sengketa tanah antara masyarakat Hukum adat Kaum 14 Kabupaten

Mukomuko dengan pemerintah daerah Kabupeten Mukomuko berkaitan dengan rencana Dinas

Perhubungan ingin melanjutkan pembangunan perluasan bandar Udara Mukomuko. Anak cucu

kaum 14 mengklaim tanah tersebut sebagai tanah leluhur mereka yang harus mereka hormati,

karena di sana terdapatmakam leluhur mereka yang harus mereka jaga. Sehingga mereka

menamakan tanah tersebut tanah pusaka tinggi. Sengketa tanah bandara Mukomuko dengan anak

cucu Kaum 14 hingga saat ini belum terselesaikan.

E.KESIMPULAN

1. Bentuk Inkonsistensi Peraturan perundang-undangan Dalam Perlindungan Hak atas tanah

masyarakat Hukum Adat dimulai dari Pemahaman yang keliru tentang masyarakat Hukum

adat, bermula terjadinya inkonsitensi perumusan bahasa atau kejelasan istilah terhadap hak-

hak atas tanah. Asas pembentukan peraturan perundang-undangan negara yang baik a). asas-

asas formal ( asas tujuan yang jelas; asas organ/lembaga yang tepat;asas perlunya

pengaturan; asas dapat dilaksanakan; asas konsensus) dan b). Asas –asas yang material

meliputi (asas tentang terminologi dan sistematika yang benar)

2. Terjadi inkonsistensi vertikal terhadap Undang-undang akibat pemahaman yang keliru dan

ego sektoral. Belum dilakukan upaya komprehensif dari lembaga legislatif untuk uji materil

semakin menjumbuhkan persoalan yang berujung pada ketidakpastian hak-hak masyarakat

hukum adat atas tanah. Terhadap inkonsistensi vertikal dapat dilakukan dengan menempuh

jalan yudisial review ke Mahkamah Konstitusi. Dalam produk hukum terjadi “ambiguitas”

pengaturan,dan“inkonsistensi” pengaturan, yang berimplikasi terjadinya conflict of norm,

solusinya digunakan asas” Lex posterior derogat legi priori ( hukum yang terbaru (posterior)

mengesampingkan hukum yang lama (prior) dan asas “Lex specialis derogat legi generali

“(penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)

mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)

37

Daftar Pustaka

B.Hestu Cipto Handoyo,2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik,

Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Depdiknas, 1990 Kamus Besar Bahasa Indnesia, Jakarta PN. Balai Pustaka.

Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, 2010 Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Salemba Humanika.

Hilman Hadikusuma, 2003.Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung.

Iman Soetiknjo,1987, Proses Terjadinya UUPA, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007,Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat

Hukum Adat, (Jakarta: Komnas HAM Pres, cetakan 1, Edisi 2.

Lily Rasjidi1988, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu, Bandung: Remaja Karya,

Mandar Maju

Maria Rita Ruwiastuti, 2000Sesat Pikir Hukum Agraria, Yogyakarta: INSIST

Maria S.W. Sumardjono, , 2001 Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi,

(Jakarta: Kompas).

Peter Mahmud Marzuki, 2007,Penelitian Hukum, Jakarta. Kencana.

Philipus M.Hadjon.1987,Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya, PT .Bina

Ilmu

Satjipto Rahardjo, 2006,Hukum dalam Jagad Ketertiban, Jakarta: UKI PRESS,

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Metode Penelitian Normatif, Rajawali,

Jakarta,

Van Vollenhoven, 1983 Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia Jakarta: (Jakarta: Jambatan.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

38

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999

Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Putusan Mahkamah Konstitusi (Perkara Nomor 21, 22/PUU- V/2007), Tanggal 28 Maret 2008.

Internet

http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/01/hukum-adat-dalam- erkembangan.html,

diakses tanggal 10 Februari 2011, pk. 10.15 wib

http://www.infogigi.com/PENGANTAR-DAN-ASAS-ASAS-HUKUM-ADAT-

INDONESIA.html diakses tanggal 23 Februari 2011, pk. 12.00 wib.

http://www.gudangmateri.com/2010/10/pengertian-hukum-adat-menurut-ahli.html,

diakses tanggal 10 Februari 2011.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini-sore/pengakuan-masyarakat-

hukum-adat-2.html, diakses pada hari Rabu tanggal 8 Maret 2011, pk. 11.00 wib.

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-

undangan.html akses 22November 2013 pkl,21.30 Wib.

http://id.wikipedia.org/wiki/Lex_specialis_derogat_legi_generali akses 22November 2013

pkl,21.35 Wib

http://www.academia.edu/3559789/Beberapa_Issu_Kritis_Seputar_Pengakuan_Hak-

hak_Masyarakat_Adat oleh Yando Zakaria akses16-11-2012 pkl 10-15Wib

http://retnoanggraeni.student.esaunggul.ac.id/pengertian-hak/ akses 24 -11-2013 pkl 10.20

http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/01/hukum-adatdalamperkembangan.html, diakses

tanggal 10 Februari 2011, pk. 10.15 wib

http://www.infogigi.com/PENGANTAR-DAN-ASAS-ASAS-HUKUM-ADAT-

INDONESIA.html iakses tanggal 23 Februari 2011, pk. 12.00 wib.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini-sore/pengakuan-masyarakat-hukum-adat-

2.html, diakses pada hari Rabu tanggal 8 Maret 2011, pk. 11.00 wib.

39