Edema Paru

23
BAB I EDEMA PARU PENDAHULUAN Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %. Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. 1

description

tugas ujian koass radiologi

Transcript of Edema Paru

Page 1: Edema Paru

BAB I

EDEMA PARU

PENDAHULUAN

Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang

kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data

SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian

nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor

6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab

kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk

pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000

orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di

negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %.

Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%.

Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk

mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera

diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris. Hasil

Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah

menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia.

Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial

paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui

saluran limfatik.

Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan NonKardiogenik. Hal ini

penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik

disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang

akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor

presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik.

1

Page 2: Edema Paru

1.1 DEFINSI

Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan tekanan

intravaskular.

Edema paru akut adalah akumulasi cairan di intersisial dan alveolus paru yang terjadi secara

mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru

kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak)

yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan

pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia (Harun dan Saly,

2009; Soemantri 2011).

1.2 PATOFISIOLOGI

Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui celah kecil

antara sel endotel kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan selisih antara tekanan hidrostatik

dan osmotik protein, serta permeabilitas membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari

sirkulasi ke ruang alveolar intertisial pada keadaan normal tidak dapat masuk ke ruang

alveolar hal ini disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu,

ketika cairan memasuki ruang intertisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang

peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh sistem limfatik ke sirkulasi.

Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang

diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan

hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein (Maria,

2010).

Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:

1. Membran kapiler alveoli

Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang interstitial atau ke

alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran cairan

ke sistem pembuluh limfe. Dalam kedaan normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan

solute dari pembuluh darah ke ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan bahwa

2

Page 3: Edema Paru

hukum Starling dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik (Harun

dan Sally, 2009).

2. Sistem limfatik

Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan balik dari

pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstitial peribronkhial dan

perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari interstitium alveolar ini, cairan lebih

sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik

tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka

akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat

kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe

bisa mencapai 200ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan

tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai

kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang dapat

mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema interstitial,

saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi (Harun dan Sally, 2009).

Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika cairan

dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh darah kedalam

jaringan-jaringan sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu

banyak tekanan dalam pembuluh-pembuluh darah atau tidak ada cukup protein-protein dalam

aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak megandung

segala sel-sel darah). Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-

paru. Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati

oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen

dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah dikeluarkan

kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang

sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli

kecuali dinding-dindig ini kehilangan integritasnya. Edema Paru terjadi ketika alveoli

dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah

dalam paru sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan

pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan

3

Page 4: Edema Paru

pengoksigenan darah yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air dalam paru-paru”

ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary edema dapat disebabkan

oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada gagal jantung, disebut

cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-

cardiogenic pulmonary edema.

1.3 ETIOLOGI

I. Ketidak-seimbangan Starling Forces :

A. Peningkatan tekanan kapiler paru :

1. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri

(stenosis mitral).

2. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi

ventrikel kiri.

3. Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan

arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).

B. Penurunan tekanan onkotik plasma.

Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing

enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.

C. Peningkatan tekanan negatif intersisial :

1. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).

2. Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut

bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).

D. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.

Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.

II. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome)

A. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).

4

Page 5: Edema Paru

B. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).

C. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl

thiourea).

D. Aspirasi asam lambung.

E. Pneumonitis radiasi akut.

F. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).

G. Disseminated Intravascular Coagulation.

H. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.

I. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.

J. Pankreatitis Perdarahan Akut.

III. Insufisiensi Limfatik :

A. Post Lung Transplant.

B. Lymphangitic Carcinomatosis.

C. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).

IV. Tak diketahui/tak jelas

A. High Altitude Pulmonary Edema.

B. Neurogenic Pulmonary Edema.

C. Narcotic overdose.

D. Pulmonary embolism.

E. Eclampsia

F. Post Cardioversion.

G. Post Anesthesia.

5

Page 6: Edema Paru

H. Post Cardiopulmonary Bypass.

1.4 MANIFESTASI KLINIK

Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini mungkin adalah

penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau dapat

timbul tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut. Gejala-gejala umum lain berupa:

mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang

biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau kelemahan.

Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien dengan

pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter

mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-suara

mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam

alveoli selama bernapas).

1.5 DIAGNOSIS

Untuk mengidentifikasi penyebab dari pulmonary edema, penilaian keseluruhan dari gambar

klinis pasien adalah penting. Sejarah medis dan pemeriksaan fisik yang saksama seringkali

menyediakan informasi yang tidak ternilai mengenai penyebab.

Pemeriksaan Fisik:

Sianosis sentral

Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih

Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan

paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat

bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale

Takikardia dengan S3 gallop

Murmur bila ada kelainan katup.

Gambaran Radiologi:

Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph

(X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan

6

Page 7: Edema Paru

pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan bidang-

bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang

dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada.

X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak

tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih

parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan

pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal.

Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia

mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.

Gambar 1. Foto toraks AP (kanan) menunjukkan edema paru interstitial. Tanda radiografi menunjukkan edema paru interstitial hilangnya (kabur) gambaran pembuluh paru yang besar, gambaran septal lines, penebalan septum interlobar dan pola reticular difus yang berhubungan dengan kardiomegali.

Edema paru alveolar umumnya terjadi ketika tekanan vena pulmonal melebihi

30mmHg dan biasanya didahului oleh edema paru interstitial.

7

Page 8: Edema Paru

Gambar 2. Edema paru alveolar dengan gambaran kekeruhan pada kedua paru dengan meningkatnya densitas terhadap basis paru karena kombinasi dari air space shadow dan efusi pleura, kardiomegali (+).

Temuan radiografi toraks meliputi bilateral opacities yang memanjang dalam bentuk

fan shape keluar dari hilus sebagai “batwing” pettern.

Gambar 3. Rontgen toraks dan CT aksial menunjukkan gambaran “batwing” alveolar pulmonary edema. Pada rontgen toraks tampak kekeruhan bilateral yang memperpanjang dalam bentuk kipas keluar dari hilus dengan batwing pattern.

Dengan memburuknya edema paru alveolar, kekeruhan paru-paru menjadi semakin

homogeny. Biasanya bronkus di perifer paru-paru tidak terlihat karena kepadatan udara di

dalam bronkus dan parenkim paru sekitarnya. Namun, seiring dengan alveoli yang berisi

8

Page 9: Edema Paru

cairan dari edema atau infeksi paru (pneumonia), udara bronkus dapat dengan mudah dilihat,

dikenal sebagai “air bronchogram”.

Gambar 4. Foto thoraks AP menunjukan air space shadow yang luas di seluruh paru kanan dan basis paru kiri karena alveolar pulmonary edema dengan efusi pleura sekunder akibat gagal jantung.

Gambar 5. Butterfly appearance pada edema paru alveolar.

9

Page 10: Edema Paru

BAB II

HIPERTENSI PULMONAL

 2.1 DEFINISI

Hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan arteri pulmonalis rata-

rata (mPAP) >25mmHg pada saat istirahat, atau >30mmHg selama aktifitas atau tekanan

sistolik PAP >45mmHg, dengan tekanan baji kapiler paru rata-rata dan tekanan akhir diastolic

ventrikel kiri <15mmHg. Hipertensi pulmonal primer yang sekarang dikenal dengan

hipertensi arteri pulmonal idiopatik (IPAH) adalah hipertensi arteri pulmonal (HAP) yang

secara histopatologi ditandai dengan lesi angioproliferatiffleksiform sel-sel endotel,

muskularis arteriol-arteriol prekapiler, proliferasi sel-sel intimadan penebalan tunika media

yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos vaskuler. Sehingga meningkatkan tekanan

darah pada cabang-cabang arteri kecil dan meningkatkan tahanan vaskuler dari aliran darah di paru.

Beratnya hipertensipulmonal dibagi dalam 3 tingkatan; ringan bila PAP 25-45 mmHg, sedang

PAP 46-64mmHg dan berat bila PAP > 65 mmHg.

2.2 ETIOLOGI

1. Hipertensi pulmonal pasif: Agar darah dapat mengalir melalui paru dan kemudian

masuk ke dalam vena pulmonalis, maka tekan dalam arteri pulmonalis harus lebih

tinggi daripada vena pulmonalis. Dengan demikian, maka setiap kenaikan tekanan

dalam vena pulmonalis seperti pada stenosis mitral, insufisiensi mitral dan ventrikel

kiri yang hipertrofi akan menyebabkan peningkatan tekanan dalam arteri pulmonalis

pula.

2. Hipertensi pulmonal reaktif: Sebagai reaksi akibat peningkatan dalam vena pulmonalis

maka pada beberapa penderita terjadi vasokonstriksi arteriol  pulmonal yang aktif.

Vasokonstriksi ini menyebabkan resistensi terhadap pengaliran darah melalui paru

bertambah besar dan tekanan dalam arteri pulmonalis meningkat, misal pada penderita

dengan stenosis mitral yang berat dan kadang-kadang pada penderita dengan

insufisiensi mitral atau dengan gagal jantung kiri. Faktor penyebab ini dihubungkan

pula dengan faktor familial.

10

Page 11: Edema Paru

3. Aliran darah dalam paru yang meningkat: Peningkatan aliran darah paru yang sedang,

bila disertai dengan dilatasi pembuluh darah paru dan terbukanya lubang saluran yang

sebelumnya telah menutup, maka dapat berlangsung tanpa terjadi peningkatan tekanan

dalam arteri pulmonalis. Kalau aliran darah itu lebih besar misalnya sampai lebih 3 kali

yang normal, maka akan diperlukan tekanan yang lebih besar dalam paru agar

pengaliran darah dapat berlangsung.

4. Vaskularisasi paru yang berkurang: Bila dua pertiga atau lebih dari vaskularisasi paru

mengalami obliterasi maka diperlukan peningkatan tekanan dalam arteri pulmonalis

supaya tetap ada aliran yang adekuat, misalnya pada kelainan dengan embolus paru

yang berulang-ulang sehingga menyumbat arteri dan arteriol dalam paru. Pada

penyakit paru yang luas seperti enfisema, fibrosis pada paru yang luas dan pada

hipertensi pulmonal idiopatik.

2.3 PATOFISIOLOGI

Hipertensi pulmonal dapat menyebabkan pengerasan pembuluh darah pada dan di

dalam paru. Hal ini memperberat kerja jantung dalam memompa darah ke paru. Lama-

kelamaan pembuluh darah yang terkena akan menjadi kaku dan menebal hal ini akan

menyebabkan tekanan dalam pembuluh darah meningkat dan aliran darah juga terganggu. Hal

ini akan menyebabkan bilik jantung kanan membesar sehingga menyebabkan suplai darah dari

jantung ke paru berkurang sehigga terjadi suatu keadaan yang disebut dengan gagal jantung

kanan. Sejalan dengan hal tersebut maka aliran darah ke jantung kiri juga menurun sehingga

darah membawa kandungan oksigen yang kurang dari normal untuk mencukupi kebutuhan

tubuh terutama pada saat melakukan aktivitas.

2.4. KLASIFIKASI

1. Hipertensi arteri pulmonal

Idiopatik atau primer

Familial

Hipertensi yang berhubungan dengan :

11

Page 12: Edema Paru

- Penyakit kolagen pada pembuluh darah

- Shunt kongenital sistemic ke pulmonal

- Hipertensi portal

- Infeksi HIV

- Toksin dan obat-obatan

- Penyakit lain

Yang berhubungan dengan keterlibatan vena atau kapiler

- Penyakit oklusi vena pulmonal

- Hemangiomatosis kapiler pulmonal

Hipertensi Pulmonal dengan penyakit jantung kiri

- Penyakit atrium atau ventrikel kiri jantung

- Penyakit katup jantung kiri.

Hipertensi pulmonal yang dihubungkan dengan penyakit paru dan atau

hipoksia:

- Penyakit paru obstruksi kronis

- Penyakit jaringan paru

- Gangguan napas saat tidur

- Kelainan hipoventilasi alveolar

- Tinggal lama di tempat yang tinggi

- Perkembangan abnormal

Hipertensi Pulmonal oleh karena penyakit emboli trombitik kronik

- Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis proksimal

- Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis distal

- Emboli pulmonal non trombotik (tumor, parasit, benda asing)

Miscellaneous

Sarcoidosis, histiocytosis-X, lymphangiomatosis, penekanan pembuluh darah

paru (adenopati,tumor,fibrosis mediatinitis)

2.5 MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang timbul biasanya berupa :

Sesak nafas yang timbul secara bertahap:

12

Page 13: Edema Paru

Kelemahan

Batuk tidak produktif

Pingsan atau sinkop

Pasien mengeluh berkunang-kunang, telinganya mendenging atau sering pingsan.

Munculnya memar-memar menunjukkan episode sinkope. Wajah pasien merah panas

dan merasa lemah lesu

Edema perifer (pembengkakan pada tungkai terutama tumit dan kaki): pembengkakan

pada tungkai terutama tumit dan kaki, terutama pada pagi hari dan sore hari mengalami

perbaikan. Pemasukan garam menyebabkan retensi cairan. Terjadi selisih berat badan

antara oedema dan tidak

Gejala yang jarang timbul adalah hemoptisis (batuk berdarah)

Tanda hipertensi pulmonal berupa :

Distensi vena jugularis

Impuls ventrikel kanan dominan

Komponen katup paru menguat.

Kelainan hepatomegali terjadi karena peningkatan kerja jantung kanan untuk

memompakan darah ke paru melalui resistensi arteri pulmonal yang meningkat, sehingga

terjadi hipertrofi dan dilatasi dari ventrikel kanan. Karena pada hipertensi pulmonal, curah

jantung berkurang maka terjadi penimbunan darah yang abnormal dalam ventrikel kanan

sehingga kemungkinan untuk mengalami gagal jantung kanan dapat terjadi setiap saat.

Kelelahan, dispnoe, angina pektoris, kejang dan sinkop merupakan gejala yang umumnya

ditemukan. Edema biasanya terlihat pada keadaan yang lanjut, sedangkan hemoptisis terjadi

akibat adanya infark atau robeknya pembuluh darah yang abnormal dalam paru. Pada

pemeriksaan fisis ditemukan anggota gerak yang dingin, sianosis perifer, nadi dengan

amplitudo yang kecil, tekanan vena jugularis meningkat, aktivitas daerah jantung kanan

bertambah, komponen pulmonal bunyi jantung II mengeras, terdengar pula “pulmonary

ejection click” dan bising sistolik ejeksi, bising pansistolitik pada daerah tricuspid, bising mid-

diastolik pada sisi tulang sternum sebelah kiri dan terdapatnya irama derap atrium pada daerah

tricuspid.

13

Page 14: Edema Paru

2.6 DIAGNOSIS

Untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal, dokter dapat melakukan satu atau lebih tes

untuk mengevaluasi kerja jantung dan paru-paru pasien. Hal ini termasuk X-ray di daerah dada

untuk menunjukkan pembesaran dan ketidaknormalan pembuluh paru-paru, echocardiograms

yang menunjukkan visualisasi jantung, mengukur besar ukuran jantung, fungsi dan aliran

darah, dan mengadakan pengukuran tidak langsung terhadap tekanan di pembuluh paru-paru.

Elektrokardiograf

Gambaran pada EKG brupa strain ventrikel kanan dan pergeseran aksis ke kanan dapat

membantu menegakkan diagnosis hipertensi pulmonal.

Radiologi

Khas parenkim paru pada hipertensi pulmonal bersih. Foto torak dapat membantu diagnosis

atau membantu menemukan penyakit lain yang mendasari hipertensi pulmonal. Gambaran

khas foto toraks pada hipertensi pulmonal ditemukan bayangan hilar, bayangan arteri

pulmonalis dan pada foto toraks lateral pembesaran ventrikel kanan.

Gambar 6. Gambar foto toraks pasien dengan hipertensi pulmonal

MRI

Hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan serta pergeseran aliran dari kiri ke kanan juga

terjadi.

14

Page 15: Edema Paru

Angiografi

Kateterisasi jantung merupakan baku emas untuk diagnosis hipertensi arteri pulmonal.

Kateterisasi membantu diagnosis dengan menyingkirkan etiologi lain seperti penyakit jantung

kiri dan memberikan informasi penting untuk dugaan prognostik pada pasien dengan

hipertensi pulmonal. Tes vasodilator dengan obat kerja singkat (seperti adenosisn, inhalasi

nitrit oxid atau epoprostenol) dapat dilakukan selama kateterisasi, respons vasodilatasi positif

bila didapatkan penurunan tekanan arteri pulmonalis dan resistensi vaskular paru sedikitnya

20% dari tekanan awal. Pasien dengan hipertensi arteri pulmonal yang berespon positif dengan

vasodilator akut pada pemeriksaan kateterisasi, survivalnya akan meningkat dengan

pengobatan blokade saluran kalsium jangka lama. Dengan katerisasi jantung juga dapat

memberikan informasi mengenai saturasi oksigen pada vena sentral, atrium dan ventrikel

kanan dan arteri pulmonal yang berguna dalam menilai prognostik hipertensi pulmonal

15

Page 16: Edema Paru

DAFTAR PUSTAKA

AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and Management of

Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016:

Alasdair et al. Noninvasive Ventilation In Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N Engl J

Med 2008;359:142-51.

Crapo James D,MD DKK. Baums Text Book of Pulmonary Disease. LippincottWilliams &

Wilkins. 2004.

Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant. (Online). Tersedia:

Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/chest-x-ray-heart-failure.html. (09 Febr

2015).

Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p.

1651-1653

Idmgarus. Hipertensi pulmonal. Available at URLhttp//www.wordpress.com/2009.02/01/

accessed 10 febr 2015.

Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP.Anestesia &

Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.52

Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu Penyakit

Dalam 2011. FKUNAIR-RSUD. DR Soetomo Surabaya, hal 113-19.

Sudoyo Aru W DKK. Hipertensi Pulmonal Primer dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2007.

16