ECOGREENSHIP Konsep Waterballast Treatment Memanfaatkan ... · menimbulkan resiko besar saat...

6
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Abstrak Air ballast merupakan air laut yang dipompa menuju tangki di lambung bagian bawah kapal sebagai pemberat untuk memastikan stabilitas kapal, menjaga kemiringan kapal, menggantikan beban dari muatan kapal saat bongkar muat, serta menjaga agar baling-baling tetap berada di dalam air. Pertukaran air ballast saat loading dan unloading barang menimbulkan resiko besar saat terjadi perpindahan spesies laut asing dari satu wilayah ke wilayah lain. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan ekologi; mutasi spesies; bahkan meningkatkan persebaran penyakit. Salah satu contoh akibat pertukaran air ballast yakni Zebra Mussel, merupakan mutasi spesies yang ditemukan di Great Lakes Canada. Binatang kecil tersebut terbawa air ballast dari Russia Selatan sampai Canada yang menyebabkan penyumbatan saluran air tawar di danau Erie Michigan. Akibat yang ditimbulkan antara lain 24.000 warga Monroe mengalami kesulitan air bersih selama 2 tahun serta biaya pembersihan yang harus dikeluarkan pemerintah mencapai 4 Milliar rupiah. Dalam penelitian ini, dilakukan dua treatment secara bersamaan untuk membunuh mikroorganisme di dalam air ballast, yaitu perlakuan panas dan gas lebam (gas inert) yang diperoleh dari gas buang mesin induk kapal. Mekanisme pembunuhan mikroorganisme dengan ECOGREENSHIP di dalam air ballast yakni dengan mengalirkan gas buang dari mesin induk kapal secara langsung menuju pipa air ballast saat suction atau pengisian tangki ballast. Dari permodelan yang telah dilakukan, yaitu dengan mencampurkan dua fase fluida dimana laju aliran massa gas 8.78 kg/s pada 330 0 C dan laju aliran massa air 43.745 kg/s pada temperatur 28 0 C, didapatkan hasil analisa temperature pencampuran sebagai berikut: Temperatur pada titik pencampuran gas buang dan air ballast (Intersection/titik 1) yaitu sebesar 405 0 K atau 132 0 C, kemudian pada meter ke 0.3 diatas elbow temperature turun menjadi 345 0 K atau 72 0 C (titik 2), dan pada meter ke 1 diatas elbow air ballast kembali kembali mendekati temperatur awal yakni 305 0 K atau 32 0 C (point). Kata KunciAir ballast, Mutasi Spesies, Waterballast treatment, Gas Buang Mesin Induk, Temperatur, ECOGREENSHIP. I. PENDAHULUAN Kapal merupakan transportasi yang sangat penting bagi Indonesia sebagai negara maritim. Proses distribusi, ekspor, dan impor menjadi lebih mudah dengan menggunakan kapal. Sekarang ini, proses ekspor impor di Indonesia meningkat didukung dengan jumlah kapal sebanyak 8.837 armada (Ditjen Perhubungan Laut, 2011). Namun hal ini menimbulkan permasalahan besar saat ekspor impor berlangsung, yakni permasalahan yang diakibatkan oleh pertukaran air ballast. Air ballast merupakan air laut yang dipompa menuju tangki di lambung bagian bawah kapal sebagai pemberat untuk memastikan stabilitas kapal, menjaga kemiringan kapal, menggantikan beban dari muatan kapal saat bongkar muat, serta menjaga agar baling-baling tetap berada di dalam air (Rozak dkk, 2012). Pertukaran air ballast saat loading dan unloading barang menimbulkan resiko besar saat terjadi perpindahan spesies laut asing pada satu wilayah ke wilayah lain. Diketahui bahwasanya spesies laut bisa menjadi invasif (merugikan) dan mengganggu keseimbangan ekologi pada daerah yang memiliki ekosistem yang berbeda. (Boldor Dorin et al, 2008). Data dari IMO (International Maritime Organization), organisasi yang bertanggung jawab untuk meningkatkan keselamatan maritim dan mencegah pencemaran dari kapal, menunjukkan bahwa lebih dari 10 milyar ton air ballast selalu dipertukarkan/ditransfer antar negara setiap tahunnya (IMO, 2000). Gambar 1. Sistem Pengisian dan Pembuangan Air Ballast pada Kapal Mnemiopsis leidy, spesies sejenis comb jellyfish yang menghuni estuari dari Amerika Serikat sampai ke Tanjung Valdés di Argentina sepanjang pantai Lautan Atlantik yang telah menyebabkan kerusakan di Laut Hitam, merupakan salah satu contoh akibat pertukaran air ballast. Akibat yang ECOGREENSHIP Konsep Waterballast Treatment Memanfaatkan Gas Inert Temperatur Tinggi dari Gas Buang Mesin Induk untuk Mengurangi Mikroorganisme Air Ballast pada Kapal Yolanda Putri Yuda, Beny Cahyono, ST., MT, Ir. Soemartojo WA Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail: [email protected]

Transcript of ECOGREENSHIP Konsep Waterballast Treatment Memanfaatkan ... · menimbulkan resiko besar saat...

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

1

Abstrak — Air ballast merupakan air laut yang dipompa menuju

tangki di lambung bagian bawah kapal sebagai pemberat untuk

memastikan stabilitas kapal, menjaga kemiringan kapal,

menggantikan beban dari muatan kapal saat bongkar muat, serta

menjaga agar baling-baling tetap berada di dalam air.

Pertukaran air ballast saat loading dan unloading barang

menimbulkan resiko besar saat terjadi perpindahan spesies laut

asing dari satu wilayah ke wilayah lain. Akibatnya, terjadi

ketidakseimbangan ekologi; mutasi spesies; bahkan

meningkatkan persebaran penyakit. Salah satu contoh akibat

pertukaran air ballast yakni Zebra Mussel, merupakan mutasi

spesies yang ditemukan di Great Lakes – Canada. Binatang kecil

tersebut terbawa air ballast dari Russia Selatan sampai Canada

yang menyebabkan penyumbatan saluran air tawar di danau Erie

– Michigan. Akibat yang ditimbulkan antara lain 24.000 warga

Monroe mengalami kesulitan air bersih selama 2 tahun serta

biaya pembersihan yang harus dikeluarkan pemerintah mencapai

4 Milliar rupiah. Dalam penelitian ini, dilakukan dua treatment

secara bersamaan untuk membunuh mikroorganisme di dalam air

ballast, yaitu perlakuan panas dan gas lebam (gas inert) yang

diperoleh dari gas buang mesin induk kapal. Mekanisme

pembunuhan mikroorganisme dengan ECOGREENSHIP di

dalam air ballast yakni dengan mengalirkan gas buang dari mesin

induk kapal secara langsung menuju pipa air ballast saat suction

atau pengisian tangki ballast. Dari permodelan yang telah

dilakukan, yaitu dengan mencampurkan dua fase fluida dimana

laju aliran massa gas 8.78 kg/s pada 3300C dan laju aliran massa

air 43.745 kg/s pada temperatur 280C, didapatkan hasil analisa

temperature pencampuran sebagai berikut: Temperatur pada

titik pencampuran gas buang dan air ballast (Intersection/titik 1)

yaitu sebesar 4050K atau 1320C, kemudian pada meter ke 0.3

diatas elbow temperature turun menjadi 3450K atau 720C (titik

2), dan pada meter ke 1 diatas elbow air ballast kembali kembali

mendekati temperatur awal yakni 3050K atau 320C (point).

Kata Kunci— Air ballast, Mutasi Spesies, Waterballast

treatment, Gas Buang Mesin Induk, Temperatur,

ECOGREENSHIP.

I. PENDAHULUAN

Kapal merupakan transportasi yang sangat penting bagi

Indonesia sebagai negara maritim. Proses distribusi, ekspor,

dan impor menjadi lebih mudah dengan menggunakan kapal.

Sekarang ini, proses ekspor impor di Indonesia meningkat

didukung dengan jumlah kapal sebanyak 8.837 armada (Ditjen

Perhubungan Laut, 2011). Namun hal ini menimbulkan

permasalahan besar saat ekspor impor berlangsung, yakni

permasalahan yang diakibatkan oleh pertukaran air ballast. Air

ballast merupakan air laut yang dipompa menuju tangki di

lambung bagian bawah kapal sebagai pemberat untuk

memastikan stabilitas kapal, menjaga kemiringan kapal,

menggantikan beban dari muatan kapal saat bongkar muat,

serta menjaga agar baling-baling tetap berada di dalam air

(Rozak dkk, 2012). Pertukaran air ballast saat loading dan

unloading barang menimbulkan resiko besar saat terjadi

perpindahan spesies laut asing pada satu wilayah ke wilayah

lain. Diketahui bahwasanya spesies laut bisa menjadi invasif

(merugikan) dan mengganggu keseimbangan ekologi pada

daerah yang memiliki ekosistem yang berbeda. (Boldor Dorin

et al, 2008). Data dari IMO (International Maritime

Organization), organisasi yang bertanggung jawab untuk

meningkatkan keselamatan maritim dan mencegah pencemaran

dari kapal, menunjukkan bahwa lebih dari 10 milyar ton air

ballast selalu dipertukarkan/ditransfer antar negara setiap

tahunnya (IMO, 2000).

Gambar 1. Sistem Pengisian dan Pembuangan Air Ballast pada Kapal

Mnemiopsis leidy, spesies sejenis comb jellyfish yang

menghuni estuari dari Amerika Serikat sampai ke Tanjung

Valdés di Argentina sepanjang pantai Lautan Atlantik yang

telah menyebabkan kerusakan di Laut Hitam, merupakan salah

satu contoh akibat pertukaran air ballast. Akibat yang

ECOGREENSHIP – Konsep Waterballast Treatment

Memanfaatkan Gas Inert Temperatur Tinggi dari Gas Buang Mesin

Induk untuk Mengurangi Mikroorganisme Air Ballast pada Kapal

Yolanda Putri Yuda, Beny Cahyono, ST., MT, Ir. Soemartojo WA

Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan,

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia

e-mail: [email protected]

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

2

ditimbulkan dari spesies tersebut yakni menurun drastisnya

tangkapan ikan di daerah tersebut dari 204.000 ton pada tahun

1984 menjadi 200 ton pada tahun 1993. Lebih buruk lagi,

pemilik kapal harus mengeluarkan uang sebanyak 50 Milliar

rupiah per tahun hanya untuk membersihkan kapalnya dari

parasit Zebra Mussel dimana spesies ini merupakan sejenis

kerang parasit hasil mutasi genetik akibat pertukaran air ballast

yang ditemukan pertama kali di Russia. Bahkan penelitian

terakhir para ahli menyatakan bahwa bakteri penyebab Cholera

dapat menyebar melalui organisme laut yang hidup di air

ballast lebih cepat. Selain itu, pembuangan air ballast ke

lingkungan perairan pantai berpotensi menyebabkan keracunan

bagi biota laut dan mikroorganisme. Hal ini menyebabkan

berbagai masalah, seperti perubahan pola pertumbuhan,

kerusakan siklus hormonal, kecacatan dalam kelahiran,

penurunan sistem kekebalan, dan menyebabkan kanker, tumor,

dan kelainan genetik atau bahkan kematian (Nihlawati, 2008).

Dalam menanggapi masalah ini, International Maritim

Organization (IMO) telah bekerja sama dengan Konvensi

Internasional untuk pengawasan dan manajemen air ballast

kapal dan sedimentasi namun belum ada standart yang

ditetapkan dari IMO mengenai bentuk pengolahan dari air

ballast ini (IMO, 2005). Untuk mencegah spesies invasif yang

berpotensi untuk berkembang biak, maka beberapa metode

dengan perlakuan yang berbeda telah diusulkan meliputi

metode kimia, perlakuan panas, penggunaan radiasi ultraviolet

(UV), dan filtrasi. Namun metode yang digunakan sebelumnya

membutuhkan biaya yang sangat mahal, ditambah lagi metode

yang digunakan kurang ramah lingkungan. Sebagai contoh

yakni Ballast Water Treatment dengan menggunakan radiasi

UV membutuhkan biaya sebesar US122.000 atau sekitar 1,2

Miliar rupiah untuk satu instalasi alat pada kapal (Kuncoro,

2011).

II. TINJAUAN PUSTAKA

Mikroorganisme di dalam air ballast merupakan

mikroorganisme aerob, yakni mikroorganisme yang melakukan

metabolisme dengan bantuan oksigen. Mikroorganisme Aerob

terletak pada permukaan air laut, hal ini disebabkan karena

oksigen yang tertinggi terletak pada 10m – 20m dibawah

permukaan air laut (Garland, 2011). Aerob, dalam proses

dikenal sebagai respirasi sel yang menggunakan bantuan

oksigen untuk mengoksidasi substrat (sebagai contoh gula dan

lemak) untuk memperoleh energi (Pelczar, 2008).

Berdasarkan gambar 1. dibawah dijelaskan mengenai

Zona ekologi dan Habitat mikrobiologi Aerob di laut. Dari

gambar tersebut dapat dilihat bahwa mikroorganisme aerob

dapat tumbuh dengan kedalaman antara 200m – 1000m.

Mikroorganisme di dalam permukaan air laut merupakan

mikroorganisme yang berada pada zona Epipelagic dan

Mesopelagic yakni zona yang menentukan banyaknya sinar

matahari yang masuk pada permukaan air laut.

Gambar 2. Zona Ekologi dan Habitat Mikrobiologi Aerob di

Laut

Berikut macam-macam mikroorganisme yang terdapat dalam

perairan laut antara lain:

Tabel 1. Jenis-Jenis Mikroorganisme di Perairan Berdasarkan

Spesiesnya

Jenis Contoh Mikroorganisme

Mikroba Autotrof Thiobacillus, Nitrosomonas, Nitrobacter

Mikroba Heterotrof Saprolegnia sp., Candida albicans,

Trichopnyton rubrum

Bakteri Pseudomonas, Vibrio Cholerae,

Flavobacterium, Achromobacter, Bacterium

Fungi Saprolegnia sp., Branchiomyces

sanguinis, Icthyophonus hoferi

Mikroalga Chlorella sp., Pyrodinium bahamense,

Trichadesmium erythraeum (salah satu

species dari Cyanobacterium),

Noctiluca scintillans (salah satu species

dari Dinoflagellata).

Virus Virus Coli-fag

Sumber : Ruyino, 2010

A. Pengaruh Temperatur terhadap Perkembangan

Mikroorganisme di dalam Air Ballast

Metabolisme mikroorganisme aerob dilakukan melalui

proses oksidasi-reduksi. Oksidasi adalah proses pelepasan

elektron, sedangkan reduksi adalah proses penangkapan

elektron. Karena elektron tidak dapat berada dalam bentuk

bebas, maka setiap reaksi oksidasi selalu diiringi oleh reaksi

reduksi. Pada umumnya reaksi oksidasi secara biologi

dikatalisis oleh enzim dehidrogenase. Enzim tersebut

memtransfer elektron dan proton yang dibebaskan kepada

aseptor elektron intermedier seperti NAD+ dan NADP+ untuk

dibentuk menjadi NADH dan NADPH. Fosforilasi oksidasi

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

3

terjadi pada saat elektron yang mengandung energi tinggi

tersebut ditranfer ke dalam serangkain transpor elektron

sampai akhirnya di tangkap oleh oksingen atau oksidan

anorganik lainnya sehingga oksigen akan tereduksi menjadi

H2O. Hasil dari reaksi oksidasi dapat terbentuknya energi.

Apabila pada suatu tempat enzim di dalam suatu

mikroorganisme aerob tidak bekerja, maka mikroorganisme

tidak dapat melakukan metabolisme. Akibatnya,

mikroorganisme tidak dapat membentuk energi untuk tetap

bertahan sehingga kemudian mati.

Mikroorganisme memiliki batas toleransi masing-masing

terhadap pH dan suhu. Dampak dari perubahan pH dan suhu

yang ekstrim pada mikroorganisme adalah enzim menjadi

inaktif. Sebab, enzim merupakan protein yang tidak dapat

stabil dan mudah terdenaturasi sehingga saat terjadi perubahan

pH dan suhu yang ekstrim aktifitas enzimnya hilang.

Akibatnya, mikroorganisme tidak dapat melakukan

metabolisme kemudian mati. Contohnya yakni seperti bakteri

Eschericia Coli, yang hanya mampu memproduksi enzim pada

suhu kurang dari 550C.

Tabel 2. Kemampuan Mikroorganisme Bertahan Hidup

terhadap Suhu Tertentu

Dari tabel diatas dapat dilihat kemampuan mikroorganisme

mampu bertahan pada suhu tertentu. Dari tabel tersebut dapat

disimpulkan bahwa dengan memberikan panas lebih dari 650C

terhadap air ballast, maka mikroorganisme di dalam air ballast

dapat seluruhnya dapat mati. Namun, ada beberapa

mikroorganisme aerob yang dapat resistance terhadap suhu

atau disebut dengan mikroorganisme Termofilik. Contohnya

yakni virus Vibrio Cholera yang di beberapa tempat terentu

dapat bertahan hingga suhu ekstrim lebih dari 1170C. Sehingga

dengan demikian membutuhkan metode selanjutnya untuk

membunuh mikroorganisme aerob yang resistance terhadap

suhu tinggi, salah satunya yakni dengan mengurangi kadar

oksigen di dalam air ballast tersebut dengan menggunakan gas

inert.

B. Pengaruh Gas Inert terhadap Perkembangan

Mikroorganisme di dalam Air Ballast

Di dalam air, oksigen memainkan peranan dalam menguraikan

komponen-komponen kimia menjadi komponen yang lebih

sederhana. Oksigen memiliki kemampuan untuk beroksida

dengan zat pencemar seperti komponen organik sehingga zat

pencemar tersebut tidak membahayakan. Oksigen juga

diperlukan oleh mikroorganisme aerob dalam proses

metabolisme. Dengan adanya oksigen dalam air,

mikroorganisme semakin giat dalam menguraikan kandungan

dalam air. Reaksi yang terjadi dalam penguraian tersebut

adalah:

Komponen Organik + O2 + Nutrient CO2 + H2O +

Sell baru + Nutrien +Energi

Gambar 3. Skema Respirasi Mikroorganisme Aerob

Tabel 3. Data Gas Buang Mesin Induk

Jika reaksi penguraian komponen kimia dalam air laut terus

berlaku, kemudian air laut tersebut dikontaminasi dengan gas

lebam maka kadar oksigen pun akan menurun. Pada

klimaksnya, oksigen yang tersedia tidak cukup untuk

menguraikan komponen kimia tersebut. Keadaan yang

demikian merupakan pencemaran pada air laut. Pada dasarnya,

mikroorganisme memiliki 4 fase dalam hidupnya, yakni: Fase

Lag, Fase Log, Fase Stasioner, dan Fase Kematian. Pada fase

ini, mikroorganisme mengalami kematian dan berhenti

membentuk sell hidup akibat kekurangan nutrient dan energi.

Berdasarkan persamaan pertumbuhan mikroorganisme pada

gambar 7., kematian dapat terjadi apabila oksigen yang

terdapat di dalam air laut tersedia sangat sedikit. Selain itu,

penurunan pH akan sangat berpengaruh terhadap kematian

mikroorganisme. Sedikit perubahan pada pH tertentu dapat

mengakibatkan mikroorganisme tidak dapat menghasilkan

energi dan kemudian mati.

Seawater : H2CO3 HCO3- + H

+ (pH drops)

too basic

Seawater : HCO3- + H

+ H2CO3 (pH rises)

Too acidic

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

4

Gambar 3. Pengaruh Zat terhadap pH air laut

III. ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Data dan Perhitungan

Data Utama Kapal

MV INDONESIA JAYA 6709 DWT memiliki ukuran

utama kapal sebagai berikut:

LPP : 115 m

B : 21.8 m

H : 8.8 m

T : 6.6 m

Vs : 16 knot

Dengan total tanki ballast sebesar 1076 m3.

Data Mesin Induk Kapal

Merk : Wartsila

Tipe : 16V32

Rated Power : 8000 kW

Rated Speed : 750 rpm

1 2 3 4

Gambar 4. Desain ECOGREENSHIP pada Kamar Mesin

Keterangan Gambar:

1 : Non Return Valve

2 : Pipa Gas Buang

3 : Pompa Air Ballast

4 : Pipa Air Ballast

B. Perhitungan Kebutuhan Flue Gas untuk Ballast Water

yang Melewati Pipa

Perhitungan kebutuhan Flue Gas dimaksudkan untuk

menentukan berapa jumlah aliran gas yang dibutuhkan untuk

memanaskan air ballast dari 280C menjadi 60

0C, yakni kondisi

dimana seluruh mikroorganisme yang masuk ke tangki ballast

dapat dimatikan.

qflue gas = qsea water

M x Cp x T = M x Cp x T

M x 0.59 x (330 – 60) = 157481 x 0.9996 x (60 – 28)

M x 159.3 = 5,037,376.2432

M = 31,621.9475 kg/h

M = 8.78 kg/s

Berdasarkan project guide Wartsila 16V32, diketahui untuk

mencari Mass Flow Rate dari Exhaust Gas mesin induk

menggunakan perumusan sebagai berikut:

Dimana:

v = kecepatan aliran gas (m/s)

= 35 – 40 m/s diambil 35 m/s

M = Mass Flow Rate gas buang (kg/s)

T = Temperatur Gas Buang

= 3300C

D = Diameter pipa gas buang (m)

= 1000 mm = 1 m

Dari perhitungan diatas, M = 15.83 kg/s. Dari Laju Aliran

Massa tersebut, maka dapat didesain pipa gas buang yang

mengalir menuju pipa air ballast sebagai berikut:

Gas Buang

P = 15 bar

T = 330 0C

Pipa = OD = 571 mm

t = 10.55 mm

M = 43.745 kg/s

Pipa Air Ballast

P = 2 bar

T = 28 0C

Pipa = OD =190.7 mm

t = 5.3 mm

M = 8.78 kg/s

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

5

Dari perhitungan diatas, dilakukan ANALISA Fluida

berdasarkan temperature dengan menggunakan Software

ANSYS FLUENT.

Gambar 5. Permodelan ECOGREENSHIP pada ANSYS

Gambar 6. Bentuk Meshing permodelan ECOGREENSHIP

Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa dengan Laju Aliran

Massa sebesar 8.78 kg/s dapat mendistribusikan temperature

gas buang yang sebelumnya 3300C menjadi 60

0C saat

dicampurkan dengan Air Ballast yang memiliki Laju Aliran

Massa sebesar 43.745 kg/s dan Temperatur sebesar 280C.

Namun, hasil analisa menggunakan Software ANSYS yang

didapatkan yakni sebagai berikut:

Gambar 7. Hasil Analisa Temperatur pada titik

pencampuran

Temperature pada titik pencampuran gas buang dan air ballast

(Intersection/titik 1) yaitu sebesar 4050K atau 132

0C,

kemudian pada meter ke 0.3 diatas elbow temperature turun

menjadi 3450K atau 72

0C (titik 2), dan pada meter ke 1 diatas

elbow air ballast kembali kembali mendekati temperatur awal

yakni 3050K atau 32

0C.

IV. KESIMPULAN

Setelah melakukan perhitungan dan analisa menggunakan

Software ANSYS FLUENT terhadap pengaruh gas buang yang

memiliki gas inert temperatur tinggi terhadap kematian

mikroorganisme, maka dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Dari analisa hasil perhitungan, distribusi temperatur antara

gas buang dan air ballast yang sebelumnya 280C menjadi

600C dapat membunuh seluruh mikroorganisme di dalam

air ballast. Pada daerah tertentu - sebagai contoh Vibrio

Cholera - sangat resistance terhadap suhu tinggi sehingga

mampu bertahan sampai dengan temperatur sekitar 1700C,

di daerah inilah gas inert dari gas buang berperan penting.

Peranannya yaitu mengkontaminasi oksigen di dalam air

ballast dengan gas inert sehingga terjadi perubahan pH air

laut yang ekstrim serta hilangnya kemampuan

mikroorganisme untuk membentuk energi akibat

kekurangan oksigen menyebabkan virus sejenis Vibrio

Cholera mati.

2. Dari permodelan ECOGREENSHIP yang telah dilakukan,

yaitu dengan mencampurkan dua fase fluida dimana laju

aliran massa gas 8.78 kg/s pada 3300C dan laju aliran

massa air 43.745 kg/s pada temperatur 280C, didapatkan

hasil analisa temperature pencampuran sebagai berikut :

Temperatur pada titik pencampuran gas buang dan air

ballast (Intersection/titik 1) yaitu sebesar 4050K atau

1320C, kemudian pada meter ke 0.3 diatas elbow

temperature turun menjadi 3450K atau 72

0C (titik 2), dan

pada meter ke 1 diatas elbow air ballast kembali kembali

mendekati temperatur awal yakni 3050K atau 32

0C (titik 3).

DAFTAR PUSTAKA

[1] Jennie Hunter, David-Karl, and Merry Buckley. 2005.

Marine Microbial Diversity: The key to Earth’s

Habitability. American Academy of Microbiology,

Washington DC.

[2] Copyright © Garland Science 2011. Munn, Colin. Marine

Microbiology Chapter 1: Microbes in the Marine

Environment.

1

2

3

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

6

[3] Product Guide Engine Wartsila 32. 2010. Wartsila

Corporation: NASAQ OMX Helsinki, Finland.

[4] IMO, 1997. ”Guidelines for The Control and Management

of Ships‟ Ballast Water to Minimize the Transfer of

Harmful Aquatic Organisms and Pathogens”. Resolution

A.868(20) adopted on 27 November 1997.

[5] Otero, M., Cebrian, E., Francour, P., Galil, B., Savini, D.

2013. Monitoring Marine Invasive Species in

Mediterranean Marine Protected Areas (MPAs). IUCN

Gland, Switzerland and Malaga, Spain.

[6] Vladimir P. Ivanov. 2000. Invasion of the Caspian Sea by

the comb jellyfish Mnemiopsis leidyi (Ctenophora). Kluwer

Academic Publishers: Netherlands.

[7] Desmarchelier, P.M. (1997) Pathogenic Vibrios. In:

Foodborne Microorganism of Public Health Importance,

5th

Edition, (Eds) Hocking, A.D., Arnold, G., Jenson, I.,

Newton, K. and Sutherland, P. pp 285-312. AIFST (NSW

Branch), Sydney, Australia.

[8] Rabbani, G.H. and Greenough, W.B (1999) Food as a

Vehicle for the Transmission of Cholera. Journal of

Diarrhoeal Disease Research. 17, 1-9.

[9] Application and Installation Guide, 2011. Exhaust

Systems. Caterpillar: USA.

[10] Perry, R.H., 1984. “Perry’s Chemical Engineers’

Handbook”, McGraw-Hill, New York, 6th

Edition.

[11] Reid, R.C., J.M. Praunitz and B.E Poling, 1987. “The

Properties of Gases and Liquids”, McGraw-Hill, New

York, 5th

Edition.

[12] U.S Naval Research Laboratory. 2002. Ballast Treatment

System: VOS N.E.I.’s Venturi Oxygen Stripping System.

Licensed to Mitsubishi Kakoki Kaisha Ltd Japan and

Samgong co.Ltd Korea.

[13] J.P Holman. 1994. Heat Transfer 10th

Edition. Southern

Methodist University.