e-Newsletter Manifesto Edisi IV

12
Salam Redaksi Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel dan opini melalui [email protected] untuk rubrik Resolusi dan Dialektika (Max 750 kata). Redaksi tidak bertangggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis. Newsletter ini adalah produk nonprofit. Penanggung Jawab Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia (YIPCI) - Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Dewan Redaksi Andreas Jonathan, Ph. D. Cand, Ayi Yunus, M. Ag, Riston Batuara, S. Pd Pemimpin Redaksi Betriq Kindy Arrazy Sekretaris Redaksi Laelatul Badriyah Redaktur Bahasa Ngarjito Ardi Setyanto Redaktur Pelaksana Ahmad Shalahuddin Mansur Staf Redaksi Sontiar J. S. Marpaung, S. Pd, Adrianus Venda Pratama Putra, Hammad Mutawakkil Hibatillah, Nurfadilah, Swito Gaius Agustinus Silalahi Rancang Grafis Arya Zendi Sirkulasi dan Distribusi Tony Priyandaru Kontributor Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Se-Indonesia MANIFESTO | EDISI IV | DESEMBER 2014 Indonesian Consortium For Religious Studies IMAN adalah dasar dari sebuah agama yang kemudian mendapatkan kedudukan tertinggi dalam sebuah keyakinan oleh masing-masing pemeluknya. Sudah sepatutnya iman me- lebihi identitas apapun yang melekat. Terlebih tidak ada hak untuk manusia menginter- vensi iman sesamanya. Meskipun ia dalam proses pencarian. KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah mengatakan,“Asal kita percaya bahwa kita menjalankan sesuatu yang berguna, itu sudah cukup. Penilaian orang bisa berbeda-beda, yang saya takuti adalah pe- nilaian Tuhan.” Identitas muncul dari pergerakan sosial antar individu dengan memadukan simbol interaksi untuk mempertegas identitas individu. Saat itulah disadari atau tidak memantik timbulnya multiidentitas, hasil dari pergumulan sosial. Namun yang terjadi sering kali berkutat pada identitas individu untuk memperoleh dan menunjukan sebuah dominasi. Tanpa memandang ada kesamaan dalam identitas kolektif yaitu sebagai manusia, sekali- gus warga negara suatu bangsa.

description

 

Transcript of e-Newsletter Manifesto Edisi IV

Page 1: e-Newsletter Manifesto Edisi IV

Salam Redaksi

Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel dan opini melalui [email protected] untuk rubrik Resolusi dan Dialektika (Max 750 kata). Redaksi tidak bertangggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis. Newsletter ini adalah produk nonprofit.

Penanggung Jawab Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia (YIPCI) - Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS),

Dewan Redaksi Andreas Jonathan, Ph. D. Cand, Ayi Yunus, M. Ag, Riston Batuara, S. Pd Pemimpin Redaksi Betriq Kindy Arrazy Sekretaris Redaksi Laelatul Badriyah

Redaktur Bahasa Ngarjito Ardi Setyanto Redaktur Pelaksana Ahmad Shalahuddin Mansur Staf Redaksi Sontiar J. S. Marpaung, S. Pd, Adrianus Venda Pratama Putra, Hammad Mutawakkil Hibatillah,

Nurfadilah, Swito Gaius Agustinus Silalahi Rancang Grafis Arya Zendi Sirkulasi dan Distribusi Tony Priyandaru

Kontributor Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Se-Indonesia

M A N I F E S T O | E D I S I I V | D E S E M B E R 2 0 1 4

Indonesian Consortium For Religious Studies

IMAN adalah dasar dari sebuah agama yang kemudian mendapatkan kedudukan tertinggi dalam sebuah keyakinan oleh masing-masing pemeluknya. Sudah sepatutnya iman me-lebihi identitas apapun yang melekat. Terlebih tidak ada hak untuk manusia menginter-vensi iman sesamanya. Meskipun ia dalam proses pencarian. KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah mengatakan,“Asal kita percaya bahwa kita menjalankan sesuatu yang berguna, itu sudah cukup. Penilaian orang bisa berbeda-beda, yang saya takuti adalah pe-nilaian Tuhan.”

Identitas muncul dari pergerakan sosial antar individu dengan memadukan simbol interaksi untuk mempertegas identitas individu. Saat itulah disadari atau tidak memantik timbulnya multiidentitas, hasil dari pergumulan sosial. Namun yang terjadi sering kali berkutat pada identitas individu untuk memperoleh dan menunjukan sebuah dominasi. Tanpa memandang ada kesamaan dalam identitas kolektif yaitu sebagai manusia, sekali-gus warga negara suatu bangsa.

Page 2: e-Newsletter Manifesto Edisi IV

2 MANIFESTO | EDISI IV | DESEMBER 2014

Agama: Urusan Pribadiyang Dilindungi Negara

Oleh: Aris Arif Mundayat Ph.D*

MASALAH kolom isian “agama” dalam Kar-tu Tanda Penduduk (KTP) menuai pro dan kontra. Argumen yang mendukung pencan-tuman agama dalam KTP pada umumnya menyangkut masalah praktis “identitas” se-perti, pengurusan jenazah kecelakaan atau bencana, pertanyaan tentang identitas agama calon menantu, paling ekstrim yaitu me-ngaitkannya sebagai pendukung PKI (Partai Komunis Indonesia). Sementara itu, bagi yang mendukung untuk tidak mencantum-kan agama dalam KTP mereka adalah alasan yang bersifat pribadi. Misalnya, agama ada-lah urusan hubungan pribadi dengan Tuhan dan orang lain tidak perlu tahu. Kelompok ini pada dasarnya tidak keberatan jika agama dicantumkan dalam data kependudukan un-tuk kepentingan administrasi kependudukan. Namun tidak perlu dimunculkan dalam KTP.

Berdasarkan silang pendapat tersebut, mari kita kembali pada konteks historis bah-wa Pancasila tidak memiliki hubungan sama sekali. Karena KTP di Indonesia pada tahun 1950-an hingga 1960-an akhir juga tidak me-nyebutkan agama penduduk. Artinya dalam kurun waktu itu masalah agama dalam KTP ti-dak menjadi persoalan yang serius. Hubungan antara Pancasila dengan KTP menjadi sema-kin kuat pascapembantaian anggota PKI yang terjadi antara 1965-1967 sebagai penanda poli-tik melalui agamaisasi penduduk melalui KTP.

Dampaknya, orang yang terlibat sebagai anggota PKI, KTP diberi tanda “ET” (Eks Ta-

hanan Politik) dan kolom agama diisi sesuai pilihan masing-masing. Tahun 1970-an, agamaisasi KTP tersebut kemudian memun-culkan istilah “Islam KTP” atau “Katholik KTP” dan lain-lainnya. Istilah agama KTP, menunjukkan si pemilik KTP sesungguhnya tidak menjalankan ibadah agamanya, namun hanya mendaku beragama sesuai yang ada dalam KTPnya.

Agamaisasi mulai muncul setelah Pene-tapan Presiden No. 1 Tahun 1965, tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Peno-daan Agama Pasal 1, “Agama-agama yang di-peluk oleh Penduduk di Indonesia ialah Islam, Katholik, Hindu dan Khong Hu Cu (Consfu-sius)”. Hal ini kemudian dikaitkan dengan wacana anti PKI. Selanjutnya Pancasila dan kolom agama dalam KTP menjadi memi-liki hubungan historis dan politis. Artinya Pancasila dimanfaatkan secara politik untuk mengontrol penduduk melalui KTP. Meski-pun demikian secara hukum mencantumkan agama atau tidak dalam KTP tidaklah berten-tangan dengan Pancasila. Bahkan penetapan 6 agama resmi, membatasi agama-agama asli Indonesia yang telah ada jauh sebelum 6 aga-ma yang berasal dari luar Indonesia, seperti Kaharingan (agama untuk megeneralisasi agama suku Dayak), Sunda Wiwitan, Sapto Darmo, Kejawen, Parmalim, dan pelbagai agama di tempat lainnya. Selain itu, ada juga agama dunia yang dipeluk oleh warga Nega-ra yaitu Sikh, Bahai, Tao dan lain sebagainya.

Page 3: e-Newsletter Manifesto Edisi IV

MANIFESTO | EDISI IV | DESEMBER 2014 3

RESOluSI

Artinya selain 6 agama resmi tersebut tidak memiliki perlindungan hukum yang payung besarnya adalah Pancasila. Penetapan terse-but justru memiliki masalah secara hukum dan melanggar hak azasi manusia. Karena tidak memberikan perlindungan bagi agama yang tidak ditetapkan sebagai agama resmi.

Jika dibandingkan dengan Negara tetang-ga terdekat, misalnya Malaysia yang merupa-kan Negara Islam secara konstitusional. Na-mun sekuler secara politik, IC (Identity Card) tidaklah selalu mencantumkan agama. Aga-ma boleh dicantumkan dan boleh tidak. Ar-tinya warga negara diperbolehkan untuk me-nentukan pilihan, bukannya paksaan. Hal ini menunjukkan adanya kebebasan beragama, karena secara politik sekuler. Meski Negara Islam, Malaysia tidak memiliki Kementerian Agama. Lembaga milik negara yang mengu-rusi masalah agama adalah JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia) yang mengurus pelbagai hal yang terkait d engan kepenting-an umat yang beragama Islam saja. Agama lainnya tidaklah disediakan lembaga sema-cam itu oleh Negara. Namun diperbolehkan untuk memiliki badan organisasi agama masing-masing secara swasta. Pemerintah Malaysia tetap memerlukan data keagamaan penduduknya. Namun hanya disimpan se-bagai data pribadi, tidak perlu ditunjukkan secara umum. Bagi umat Islam misalnya diperbolehkan untuk menyebutkan dalam IC mereka, dan boleh juga untuk tidak mencan-tumkan, namun data keagamaan tetap terca-tat secara administratif.

Sesungguhnya pemerintah Indonesia te-lah memiliki sistem yang dilindungi oleh UU Administrasi Kependudukan 2006. Dalam UU tersebut diperbolehkan mengosongkan ko-lom agama, terutama bagi warga negara yang

agama/kepercayaannya belum diakui sebagai agama resmi. Permasalahan ini sesungguhnya akan semakin kompleks dan sensitif ketika terkait dengan sekte-sekte keagamaan yang beragam. Misalnya dalam Islam apakah diper-lukan pencantuman Syiah, Suni, dan Ahmadi-yah yang juga bagian percabangan sekte dan mahzab agama yang cenderung sensitif. Ini terjadi karena sekte agama Syiah dan mahzab Ahmadiyah memperoleh perlakuan diskrimi-natif dan kekerasan oleh sekte atau mahzab lain. Pemerintah tidak memberikan perlin-dungan kepada mereka yang teraniaya pada-hal juga warga negara yang harus dilindungi. Tanpa harus melihat apakah agamanya resmi atau tidak. Artinya pencantuman kolom aga-ma beresiko kepada stigmatisasi dan ancaman kelompok yang menggunakan nama pembela agama merasa memiliki hak untuk menggele-dah KTP seseorang. Jika demikian kekerasan akan lebih dimungkinkan untuk terjadi ketika Negara tidak memberikan perlindungan.

Maka penting untuk mempertimbangkan agar penetapan agama resmi dihilangkan. Se-cara politik akan memberi efek diskriminatif kepada orang yang beragama/kepercayaan-nya tidak termasuk ke dalam agama yang dianggap resmi oleh pemerintah. Kemudian karena alasan sensitifitas, perlu diberikan ke-bebasan untuk memilih apakah warga negara mau mencantumkan agamanya atau tidak di dalam KTP. Meskipun demikian, data kepen-dudukan berdasarkan agama tetap penting untuk dicatat dalam sistem administrasi ke-pendudukan untuk fungsi-fungsi layanan hak azasi oleh Negara kepada warga negaranya.

*) Dosen Senior Bidang Antropologi Budaya dan Politik, Fakultas Ekologi Manusia, Uni-versitas Putra Malaysia (UPM), Selangor, Malaysia

Page 4: e-Newsletter Manifesto Edisi IV

4 MANIFESTO | EDISI IV | DESEMBER 2014

Berislam IndonesiaOleh: Abd Walid*

DENGAN membaca judul tulisan ini di atas, mungkin kita langsung berpikir bahwa umat Islam secara mayoritas di Indonesia berbe-da model Islamnya dengan dan dari Islam tempat kelahirannya, Makkah-Madinah. Model perbedaan itu baik dari sisi Bahasa, budaya-tradisi ekspresi agama, pendidikan agama dan hukum negara.

Indonesia adalah “Negara Muslim” (bu-kan Negara Islam, tapi Negara Muslim) paling tidak ter-arab-kan. Maka kita lihat Mesir, yang secara bahasa sudah 100% su-dah sempurna ter-arab-kan. Hal itu berbeda dengan Indonesia walaupun ia adalah neg-ara berpenduduk Muslim terbesar sedunia. Namun Islam Indonesia hampir-hampir saja tidak sama sekali ter-arab-kan secara bahasa, meskipun sebelum masuknya penjajah Be-landa ke Negara yang dulu dikenal Nusantara ini umat Muslim Nusantara banyak menulis ajaran dan hikmah-hikmah berhuruf Arab seperti kitab ‘Udiy susila dan kitab Mujarra-baat. Namun hanya tulisannya saja yang ber-huruf Arab, tidak pada bahasa Arab. Itu yang dalam dunia pesantren-pesantren dikenal dengan nama tulisan Arab Pegon.

Dari sisi budaya-tradisi, Islam Indone-sia pun berbeda dengan Islam Arab. Maka tidak akan kita temukan di Saudi Arabia budaya-tradis tahlilan {doa bersama-sama} ke 1, 2, 3, 7, 40, 100-1000 hari bagi orang yang meninggal dunia. Hal itu hanya ada di

budaya-tradisi Islam Indonesia, di mana bu-daya-tradisi itu diadopsi dari budaya-tradisi Nusantara itu sendiri yang sebelum hadirnya Islam berbudaya Hindu-Buddha. Di mana oleh penyebar Islam atau yang kita kenal Wali Songo diislamisasi. Jadi bungkus Islam Indonesia tetap Hindu-Buddha sebagaimana awalnya, namun isi dan subtansinya adalah Islam.

Dari sisi pendidikan, Islam Indonesia juga sangat kontras berbeda dengan di Saudi Arabia, yang antara laki-laki dan perempuan tidak duduk bersama dalam kelas dan bahkan tidak satu gedung. Namun di Indonesia hal itu tidak berlaku kecuali di sebagian pesant-ren-pesantren yang dikenal salaf, yang sistem pendidikannya mengikuti pola Arab. Di Indo-nesia antara laki-laki dan perempuan tidak ha-nya satu gedung, namun juga satu kelas, yang bahkan tempat duduknya bisa tidak harus la-ki-laki di depan, namun bisa juga di belakang, samping dan depan peremuan. Sebagaimana yang kita lihat misalnya di perguruan ting-gi berlabel Islam, seperti Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Sekolah Tinggi Agama Islam Neg-eri (STAIN). Di Indonesia hal seperti ini sudah menjadi kesepakatan umum antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan jenis ke-lamin dalam kelas dan bahkan di Indonersia perempuan dan laki-laki mendapatkan hak yang sama untuk masalah pendidikan.

Page 5: e-Newsletter Manifesto Edisi IV

MANIFESTO | EDISI IV | DESEMBER 2014 5

DIAlEkTIkA

Dari sisi hukum dan tata negara, Islam Indonesia tidak juga seperti Saudi Arabia, yang menganut hukum dan tata negara inte-gralistik, di mana hukum agama dan hukum negara menyatu. Maka tak ayal hukum po-tong tangan bagi pencuri dan koruptor ber-laku, dan hukuman mati bagi para pembunuh tidak terbantahkan. Semua hukum-hukum yang seperti itu diambil dari syariat agama Islam. Indonesia meski negara Muslim ter-besar sedunia, hukum-hukum yang ada di Saudi Arabia tidak ditemukan kecuali kasus di Aceh dan sebagian kecil hukum mati bagi para teroris dan bandar narkoba.

Indonesia tidak melihat pada teks lahir teks agama yang dianut mayoritas warga neg-ara Indonesia. Namun lebih melihat pada sisi jeranya. Maka semua kasus yang melanggar hukum negara Indonesia diganjar dengan hukuman penjara, yang tahunnya tergantung pada seberapa tinggi kejahatan yang dilaku-kan. Selain itu juga karena warga negara san-gat majemuk sekali, baik itu agama, bahasa, etnis dan suku, yang tidak semuanya berag-ama Islam. Maka Nurcholish Madjid dalam buku Banyak Jalan Menuju Tuhan menga-takan, “Setiap langkah melaksanakan ajaran Islam di Indonesia harus memperhitungkan kondisi sosial-budaya yang ciri utamanya adalah pertumbuhan, perkembangan dan ke-majemukan.”

Maka bagaimana Berislam Indonesia? Maka berislam Indonesia adalah berislam terbuka, berislam yang berbudaya-tradisi In-donesia, Islam yang tidak tekstualis seperti di tempat asalnya, Islam menjunjung tinggi ni-lai-nilai keluhuran nenek moyang yang sudah bentuknya bukan asli Arab, namun nilai-nilai keislamannya sangat begitu terasa, Islam yang mempunyai kreativitas budaya dan tradisi, Islam yang mengayomi dan tidak membuang tradisi yang sudah ada sebelum Islam hadir di bumi Pertiwi ini, Islam yang masjidnya bisa berdampingan dengan tempat ibadah lain, Islam; sehingga Sunni, Syiah, Ahmadi-yah dan agama-agama yang lain hidup dalam bingkai harmoni Kebhineka Tunggal Ika-an. Islam yang serba unik yang keunikan terse-but tidak akan pernah ditemukan di Makkah-Madinah. Maka di Jawa kita bisa temukan Islam Kejawen, di suku Sasak, Lombok kita tahu ada Islam Wetu Telu (waktu tiga). Itulah Berislam Indonesia, Islam yang tetap men-junjung tinggi perdamaian dalam harmoni indah perbedaan iternal maupun eksternal. Karena semboyan bersamanya Bhineka Tung-gal Ika (berbeda-beda namun satu jua).

*) Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Prodi Perbandingan Agama 2014/Anggota HMI Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

Page 6: e-Newsletter Manifesto Edisi IV

6 MANIFESTO | EDISI IV | DESEMBER 2014

Oleh: Ngarjito Ardi Setyanto

Spirit Natal dan Kemanusiaan

NATAL datang lagi. Ornamen bertemakan Natal bertebaran di mana-mana, dari hilir ke hulu semuanya beraromakan natal. Tidak ketinggalan, kumandang lagu-lagu natal bah-kan kembang api sudah direncanakan secara khusus menambah kemeriahannya, untuk menyemarakkan natal dan tahun baru.

Dalam keyakinan iman Kristiani, Natal adalah kenangan penuh syukur dan kegem-biraan atas sosok pribadi yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani; bukan untuk merampas kehidupan, melain-kan memuliakannya; bukan untuk me-nguasai, melainkan untuk mengabdi.

Teologi inkarnasi (penjelmaan) menegas-kan bahwa peristiwa Natal adalah awal dari komitmen kasih Allah, pencipta langit dan bumi, yang karena begitu besar kasih-Nya, mengutus putra-Nya yang tunggal menjadi manusia agar dunia dan seisinya beroleh ke-selamatan (bdk Yohanes 3:16).

Di tengah suka cita merayakan Natal, kita tidak boleh melupakan saudara-saudara kita yang tertimpa musibah, mulai banjir, tanah longsor, lumpur lapindo, dan persoalan ke-bangsaan yang masih melilit negeri ini. Di Gunung Sinabung, Sumatera; Tanah Karang Kobar, Banjarnegara, Jawa Tengah; dan dae-rah lainnya adalah daerah-daerah yang ban-yak ditimpa musibah sehingga mengubur

impian dan masa depan mereka untuk me-nikmati kehidupan secara layak.

Dengan hadirnya Natal, mari kita kem-balikan spirit Natal demi kemanusiaan. Yesus lahir di dunia fana ini, merasakan menjadi manusia yang penuh dengan penderitaan untuk mengajarkan kepada umatnya agar me reka juga peduli atas orang lain. Marilah de ngan hadirnya natal kali ini, menjadikan natal penuh berkah bagi diri sendiri dan orang yang terkena bencana.

Pada dasarnya, tujuan natal adalah ke-selamatan, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan orang lain, bukan diri sendiri. Maka, revolusi mental itu meretas segala ben-tuk egoisme personal ataupun komunal.

Refleksi Dosa dalam TangisKelahiranYesus ke dunia yang fana tentu

saja sang ibu merasakan kesakitan yang luar biasa. Namun apa daya, inilah jalan yang harus di jalani untuk penyempurnaan ma-nusia dan dunia. Dalam keadaan suka cita ke datangan-Nya, Maria, Sang Perawan suci membiarkan bayi Yesus menangis.

Tangis Yesus memberikan isyarat, bahwa dirinya merasakan sakitnya dunia ini. Ke-rasnya tangisannya bayi Yesus agar manusia mengerti, bahwa dalam kehidupan manu-sia air mata dan tangisan selalu membasahi

Page 7: e-Newsletter Manifesto Edisi IV

MANIFESTO | EDISI IV | DESEMBER 2014 7

REFlEkSI

sepanjang peredaran sejarah manusia. Itu sebabnya Yesus Kristus lahir ke bumi, bukan di istana raja atau di tempat elite. Melain-kan di kandang binatang dan di baringkan di palungan (Lukas 2:7). Tangisan Yesus pula menjadikan manusia berani berjuang tentang kehidupan yang lebih baik.

Kenyataan, manusia dengan nafsu som-bongnya, masih bermain api dengan ular, si penabur benih kematian. Di awal dari kepu-tusan Adam dan Hawa untuk melanggar atur-an yang berupa makan buah kurdi di taman Eden –berawal dosa asal- manusia ak hirnya terhukum mati karena berani melawan putu-san surgawi.

Akibatnya, bersama Adam dan Hawa, manusia terhukum dan terhalau keluar, me-masuki dunia yang penuh ratap tangis dan kertak gigi. Maka, kedatangan bayi Yesus untuk menghentikan tangisan manusia dan membebaskan mereka dari cengkeraman maut. Tanpa tangisan Ilahi ini, pastilah sia-sia segala usaha manusia meretas jalan ke sum-ber kehidupan.

Sang Pembawa KabarDia lahir membawa kabar gembira ke-

pada umat akan ada perubahan. Dia lahir ke dunia ini untuk membawa terang sejati. Dia datang mengembalikan manusia bebas dari kutukan dosa. Dia datang bukan menawar-kan jalan kemuliaan dengan jalan pintas. Dia datang membuka mata hati manusia dan me-ngembalikan nurani kemanusiaan yang s u-dah hancur. Nurani yang membebaskan ma-nusia dari perbudakan tahta dan kuasa. Dua

hal yang membuat mata hati tidak berfungsi secara jernih dalam membedakan gelap dan terang.

Dia datang untuk menyelamatkan kema-nusiaan yang jatuh. Kini fajar harapan telah tiba. Dia sudah datang mengubah kemanu-siaan lama yang dipenuhi iri hati, dengki, kemunafikan, penyuapan, dan politik tanpa hati menjadi kemanusiaan baru yang penuh dengan cinta.

Hari Natal adalah hari istimewa bagi umat Kristen, yang berakar dari semangat kepedulian. Kepedulian harus diimplemen-tasikan melalui solidaritas terhadap yang lemah, miskin, dan terbelakang. Ekspresinya terkadang melenceng dari semangat dasar tersebut. Tidak heran kalau Natal jadi b a-rang dagangan. Bahkan, ungkapan ”Uca-pan Selamat Natal”, sering kali menjadi ajang komersial dan bisnis. Dengan begitu, kepedulian Natal tergantikan oleh naluri pragmatis, hedonis dan kapitalis.

Natal membangkitkan harapan dalam hidup dan sekaligus memanggil kita tetap mengupayakan kesejahteraan semua orang. Kita juga dipanggil dan diutus untuk menjadi terang yang membawa pengharapan dan ter-us bersama-sama mencari serta menemukan cara-cara yang efektif dan manusiawi untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama.

Yesus, selamat lahir lagi. Semoga kami menjadi manusia-manusia sejati yang tahu makna terdalam kehidupan dan menjalani-nya dengan suka cita. Dan manusia yang peduli atas penderitaan orang di sekitarnya. Selamat Natal.

Page 8: e-Newsletter Manifesto Edisi IV

8 MANIFESTO | EDISI IV | DESEMBER 2014

Islam [Indonesia] di Mata Orang Jepang

Judul : Islam di Mata Orang JepangPenulis : Hisanori KatoPenerbit : Buku KompasCetakan : 1, 2014 Tebal : 176 halaman

Oleh: Betriq Kindy Arrazy

TIDAK berlebihan bila Islam Indonesia per-lu dijadikan sebuah poros baru dalam kajian pemikiran Islam ditingkat global. Sebagian besar kaum orientalis yang menempatkan Is-lam Indonesia sebagai basis Muslim moderat, sekaligus menjadi ciri khas yang secara tegas membedakannya dengan Islam Timur Tengah. Tidak kalah ketinggalan Kamal Hasan (Ma-laysia) dan Mitsuo Nakamura (Jepang) juga memiliki ketertarikan melakukan penelitian terkait Islam Indonesia. Mistuo Nakamura mi-salnya, yang secara intim melakukan peneliti-an tentang dua organisasi masyarakat (ormas) Islam moderat terbesar di Indonesia: NU dan Muhammadiyah.

Kemudian berlanjut ke Hisanori Kato, se-orang Antropolog cum Sosiolog Agama asal Jepang yang mengaitkan agama Islam dan pro-ses demokratisasi di Indonesia. Seperti saat krisis politik tahun 1999, Islam berperan me-rangsang terjadinya konsolidasi demokrasi. Sekaligus memicunya lahirnya era reformasi yang digadang-gadang akan terjadi perubahan yang subtansif dan prinsipil atas atas tercipta-nya rakyat Indonesia yang lebih sejahtera.

Positivisme di antara Islam Liberal dan Islam Fundamental

Dalam buku ini, Hisanori Kato secara in-tens melalukan wawancara mendalam yang dilakukannya tidak hanya dalam waktu seka-li. Namun dilakukan secara berulang-ulang, dengan momentum yang ia sesuaikan dengan tokoh yang ingin diwawancarainya. Secara

empirik, pendekatan dilakukan secara historis, antropologis, dan sosiologis yang digunakan untuk membingkai kajian Islam Indonesia.

Banyak perspektif Islam yang coba dire-levansikan dengan bidang-bidang lainnya. Seperti Islam perspektif budaya, politik, hu-kum, dan gender. Namun secara khusus, wa-cana yang tersajikan terpusat pada perspektif Islam liberal (pemikiran) dan Islam funda-mental (gerakan). Tentunya dengan informasi dari orang-orang yang memiliki kredibilitas di bidangnya tersebut. Optimisme Kato ber-mula sejak ia merasa tidak adil bila hanya meneliti Islam liberal, dengan mengabaikan Islam fundamentalis. Inilah yang membuatnya semakin tertarik untuk mencari tahu sendiri.

Page 9: e-Newsletter Manifesto Edisi IV

MANIFESTO | EDISI IV | DESEMBER 2014 9

PuSTAkA

Dalam konteks Indonesia memisahkan kedua-nya sama halnya dengan membutakan mata sebelah untuk melihat Islam Indonesia secara keseluruhan. Dari sinilah Kato secara rendah hati menjadi seorang pembelajar di luar main-streaming agama yang dianutnya yaitu agama Buddha.

Pembela Islam (FPI) yang diwakili Eka Jaya, secara terbuka menceritakan tindakan destruktif di sejumlah kafe di Jakarta. Ini di-lakukan karena lambatnya respons kepolisian atas aspirasi masyarakat Jakarta yang nota-bene adalah suku Betawi yang identik dengan Muslim. Penyerbuan ini juga tidak dilakukan oleh semua anggota FPI, hanya beberapa di-antaranya yang merasa gelisah dengan kon-disi sekitar. Bahwa Jakarta sedang mengalami pergeseran sosial-budaya akibat peningkatan aktivitas ekonomi oleh kaum urban yang ber-modal. (hlm 51)

Berbeda halnya dengan Ismail Yustanto (Jubir HTI) dan Abu Bakar Ba’asyir (Pendiri Ja-maah Anshaarut Tauhid) yang masih konsisten dengan idealisme ideologis yang menempatkan Islam sebagai ideologi utama untuk mendirikan negara Islam (khilafah). Sebuah konsep sistem negara yang diidam-idamkan untuk mereduksi atau bahkan menghancurkan paham sekularis-me yang secara tegas memisahkan urusan dunia dan agama.

Kemudian terjadi paradoks dengan Ulil Abshar Abdalla, penggagas Jaringan Islam Liberal (JIL). Hampir sebagian besar komen-tarnya tentang sistem negara melalui perspek-tif agama Islam agar tidak digunakan untuk mengatur masyarakat melalui identitas politik formal. Ini kemudian menjadi pertentangan dengan kemajemukan Indonesia sebagai bang-sa multietnis dan multiagama. Memposisikan Islam lebih kepada urusan pribadi, di mana negara tidak mempunyai hak untuk mengin-

tervensinya. (hlm 79)Pada tahap ini, Hisanori Kato berada pada

posisi sikap positivisme terhadap diskursus pemikiran Islam yang terpusatkan pada ke-lompok Islam liberal dan Islam fundamenal. Sebagai kebenaran masing-masing yang me-miliki kebaikan dan saling melengkapi untuk kemajuan Islam sebagai arus utama dengan metode yang berbeda.

Kato menilai, seorang intelektual muda semacam Ulil Abshar Abdalla adalah seorang tokoh pemikir Islam yang memiliki gagasan se-gar dengan tidak berpaku pada kebenaran yang sudah mapan, dengan memaksimalkan proses ijtihad. Ini yang menjadi awal lompatan besar dalam penafsiran literatur Islam dengan mem-baca konteks karakteristik wilayah (lokal).

Termasuk di kalangan Islam funda-mentalis, terdokumentasikan sebagai sosok Muslim yang menepati janji sebagai laku moral yang penting. Selain itu memiliki pandangan masa depan bagaimana antara umat Muslim dan non-Muslim berdampingan dalam sistem negara Islam. Serta memberikan pandangan tentang kebebasan beragama kepada setiap in-san untuk memeluk agama yang diyakini seba-gai inti dari iman.

Secara keseluruhan bahasa yang diguna-kan mudah dipahami oleh semua kalangan. Karena sifatnya yang seperti catatan perjalanan bernuansa pengalaman bertemu tokoh-tokoh Muslim Indonesia. Kato yang sudah kurang lebih tujuh tahun lebih menetap di Indonesia, cukup sukses mengorek informasi yang ingin dicarinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang cukup lugas dan berani sebagai seorang non-Muslim. Keingintahuan yang mendalam seba-gai seorang outsider ini patut untuk di apresiasi sebagai upaya sumbangsih memperkaya pe-ngetahuan dan literatur tentang Islam pada umumnya, Islam Indonesia pada khususnya.

Page 10: e-Newsletter Manifesto Edisi IV

10 MANIFESTO | EDISI IV | DESEMBER 2014

Bhineka Camp 3

Menyebarkan Nilai MultikulturalismeOleh: Ahmad Sholahuddin Mansur

Foto bersama peserta setelah Intercultural Night bertema “This Is Indonesia”

ENCOMPASS Indonesia mengadakan Bhi-neka Camp 3 yang bertempat di Petungsewu Wildlife Education Center (P-WEC), Malang. Acara ini diikuti sekitar 31 peserta dari ber-bagai daerah di Indonesia. Acara yang ber-langsung sejak tanggal 3-7 Desember 2014 dengan mengusung enam nilai multikultu-ralisme yang terdiri dari Pengungkapan Diri, Musyawarah, Toleransi, Egaliter, Solidaritas, dan Empati dengan metode learning with fun.

Chaula Imanita Berti selaku ketua pani-tia mengungkapkan, tujuan Camp ini adalah untuk mempopulerkan enam nilai multikul-turalisme tersebut. Selain itu, Bhineka Camp ini juga diinisiasi oleh para alumni Journey Of Understanding (JOU) di United Kingdom (UK), Inggris yang ingin menularkan apa saja yang didapat dari JOU.

Aditya Putri Suprapto, salah satu alumni JOU, sekaligus Wakil Ketua Encompass Indo-nesia menuturkan, anak muda harus melihat budayanya dari luar dan melakukanya dari mereka dan untuk mereka. Karena yang me-ngetahui persoalan anak muda adalah anak muda itu sendiri.

Salama Camp ini peserta juga diberikan Workshop, diantaranya; tentang multikultura-lisme, konflik dan bagaimana menjadi fasilita-tor yang bagus. Sekaligus terdapat sesi sharing cultures agar para peserta saling bertanya dan memberikan konfirmasi satu sama lain antara suku yang berbeda. Setelah Camp ini, para pe-serta diharuskan membuat sebuah social pro-

ject yang kelak akan dilakukan setelah tiba di kampung masing-masing yang mengacu dari enam nilai multikulturalisme.

Monika, salah seorang peserta meng-ungkapkan, keikutsertaannya di camp ini mampu merubah paradigma berpikirnya. Se-perti menyingkirkan masyarakat tertentu ka-rena stereotip dianggap sebuah hal yang tabu untuk dibicarakan. “Saya juga belajar toleransi dan membahas stereotip yang selama ini ada masyarakat,” ungkap mahasiswi Ilmu Komu-nikasi, Universitas Mulawarman itu.

“Harapan camp ini adalah peserta bisa membawa perubahan di komunitasnya ma-sing-masing, paling tidak yang terkecil, bagi dirinya sendiri. Alhamdulillah, jika bisa menginspirasi sekitarnya, terus membawa pandangan-pandangan baru, membuka cak-rawala baru dan sebagainya. Lebih ke personal improvement. Alhamdulillah jika banyak hal-hal baru yang terjadi,” tutup ketua panitia yang ditemui di akhir acara.

Page 11: e-Newsletter Manifesto Edisi IV

MANIFESTO | EDISI IV | DESEMBER 2014 11

PERBINcANgAN

PENGETAHUAN merupakan kunci untuk mewujudkan perdamaian. Pengetahuan dida-patkan dari pendidikan dan dialog lintas aga-ma. Tanpa adanya pengetahuan dan pendidik-an manusia akan terperosok pada kesesatan.

Hal itu disampaikan oleh Dawam Rahardjo, salah satu pembicara dalam Semi-nar Nasional bertajuk “Toleransi: Perspektif Masa Depan Kebebasan Beragama dan Ber-keyakinan di Indonesia” yang diselenggara-kan oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) kerjasama dengan Senat Mahasiswa (SEMA) Fakultas Dakwah UIN Sunan Ka-lijaga di Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Senin (22/12/2014).

Menurut pecinta epos Mahabaratha ini, keyakinan tidak bisa ditoleransi. Pengganti dari toleransi sendiri ialah ta’aruf atau saling mengenal. “Atas dasar pemahamanlah, saya dapat berdamai dengan orang Kristen dan Hindu,” paparnya.

Berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, sampai bulan Juli 2014 terdapat 16 kasus berlatar belakang SARA. Namun, hanya dua kasus yangdi-proses oleh Aparat Penegak Hukum (APH). “Sejauh mendampingi banyak korban into-leransi, hanya sedikit kasus kekerasan yang diselesaikan oleh APH,” jelas Samsudin Nur-seha, pembicara dari LBH Yogyakarta.

Ini yang menurutnya negara kalah oleh kelompok toleran. Ia mencontohkan kasus penundaan pemutaran Film Senyap yang akan diselenggaran oleh Aliansi Jurnalis In-

Ta’aruf Langkah Menekan Angka IntoleransiOleh: Laelatul Badriyah

dependen (AJI) Yogyakarta beberapa Minggu yang lalu.

Selain itu, menurutnya kepolisian me-miliki wewenang untuk menindak pelanggar hukum. Dalam kasus tersebut, polisi tidak be-rani memberikan jaminan keamanan karena setelah diidentifikasi ada organisasi masyara-kat yang tidak menyetujui adanya pemutaran film tersebut. “Lalu kita harus berlindung ke-pada siapa?” katanya penuh tanya.

Samsudin pun mengingatkan, semua pi-hak memiliki tanggung jawab sosial untuk mengutamakan ide-ide atau gagasan-gagas-an toleransi sesuai dengan akar kebudayaan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi to-leransi. “Sebagai kaum akademisi, kita wajib waspada dengan paham-paham yang menye-barluaskan gagasan-gagasan intoleransi,” ajak lelaki yang akrab disapa Boim ini.

M. Najib Azca, pengajar di Fisipol UGM sepakat dengan yang disampaikan Samsudin Nurseha. “Lembaga keamanan tidak ber-peran untuk mengamankan penggerebekan film Senyap di UGM beberapa Minggu lalu oleh kelompok intoleransi,” katanya.

Dengan diadakannya seminar nasional ini, Aan, selaku kordinator acara berharap agar mahasiswa sadar akan pentingnya saling mengenal dan menumbuhkan jiwa sosial di kalangan mahasiswa. “Selain itu, acara ini sebagai ajang untuk mengenang pemikiran cendekiawan yang konsen dalam isu pluralis-me seperti Gus Dur,” pungkasnya.

Page 12: e-Newsletter Manifesto Edisi IV

12 MANIFESTO | EDISI IV | DESEMBER 2014

PENDAPAT

cElOTEh

Agama sangat dibutuhkan agar setiap insan memiliki ketentangan dalam dirinya. Jadi, saya tidak setuju dengan penghapusan ko-lom. Penghapusan kolom agama berdampak pada pemikiran yang mungkin sudah terhe-gemoni oleh bangsa Barat. Dampaknya akan banyak orang yang tidak memiliki agama atau memiliki agama atas pemikiran dan bu-atan manusia. Bahwa telah dijelaskan agama membuat seseorang terikat dengan peratur-an yang mengajarkan manusia untuk berbu-at baik sesuai wahyu yang telah diturunkan oleh Tuhan. Janganlah Republik Indonesia ini memandang kepada bangsa yang menganut sistem liberal dan komunis. Tentunya jangan pernah mengambil keputusan yang melang-gar norma agama.

M. Aniel RidwanIlmu Komunikasi 2014Universitas Atma Jaya, Yogyakarta

Saya setuju apabila kolom agama dikosong-kan untuk agama yang tidak diakui oleh pe-merintah, karena selama ini sudah sering terjadi pemaksaan identitas agama. Hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap agama yang telah diyakini oleh seseorang, padahal tidak boleh ada keterpaksaan dalam meyakini suatu agama.

Hal terpenting adalah bagaimana sese-orang mempelajari dan menjalankan agama yang telah diyakininya. Sudah banyak di In-donesia yang mengaku dan mencantumkan agamanya di KTP namun tidak mencermin-kan bahwa ia adalah seseorang yang bera-gama. Setiap agama mengajarkan tentang kebaikan. Sudah seharusnya tidak ada diskri-minasi dan kekhawatiran apabila seseorang menjalankan agamanya dengan baik.

M. Dicky FauziTeknik Sipil 2013Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

+ Pemutaran Film Senyap di berbagai tem-pat dibubarkan.

- Sudah pernah nonton filmnya, Mas?

+ Bantuan dari orang berbeda agama ma-suk ke Banjarnegara

- Karena cinta tidak punya agama...

+ Menulis adalah bekerja untuk keabadian, kata Pram

- Kalau hobinya menulis status galau di Fa-cebook gimana Pak ?

+ Banyak tokoh Islam toleran belajar Islam hingga S-3

- Pencacinya cuma alumni pesantren kilat..