dyslexia dalam pandangan islam
-
Upload
nadya-kuncaraning-anugrae -
Category
Documents
-
view
147 -
download
2
description
Transcript of dyslexia dalam pandangan islam
BAB III
KERUSAKAN OTAK PADA ANAK DENGAN DYSLEXIA DITINJAU
DARI DITINJAU DARI ISLAM
3.1 Pandangan Islam terhadap Kerusakan Otak pada Anak
Otak merupakan salah satu organ pada tubuh manusia yang mempunyai
berbagai fungsi. Otak merupakan pusat aktifitas pikiran manusia berada. Bila
berbicara tentang otak, Al-Qur’an memiliki cakupan yang luas tentang otak,
seperti pada ayat berikut ini :
Artinya “(Orang yang berakal adalah) orang-orang yang mengingat (yadzkuruna) Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka berpikir (yatafakkaruna) tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka,” [QS. Al-Imraan: 190-191].
Otak pada anak berfungsi untuk belajar dalam perjalanan masa kecilnya
(Zulkifli, 2003). Belajar adalah Syari’at Islam yang menjadi kewajiban bagi
seluruh umat Islam, termasuk anak pada perkembangan hidupnya, melalui firman
Allah SWT, yaitu ayat yang pertama kali turun dalam surat Al-‘Alaq ayat 1-5 :
47
Artinya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S Al-Alaq (96) 1-5).
Berdasarkan ayat diatas, kita sebagai umat Nabi Muhammad harus selalu
belajar dan belajar. Terlebih lagi pada usia anak-anak, karena pada masa itu
proses pembelajaran sangatlah mudah diterima atau mendapat respon yang baik
dari anak-anak. Akan tetapi, banyak sekali proses pembelajaran yang dilakukan
oleh anak-anak yang dibimbing oleh seorang guru, menghasilkan hanya sedikit
perubahan yang dialami oleh anak, bahkan tidak sama sekali. Hal itu disebabkan
adanya kesulitan anak tersebut dalam belajar. Tentunya banyak faktor yang dapat
mempengaruhinya salah satunya yaitu dengan adanya kerusakan pada otak pada
seorang anak.
Belajar dapat didefinisikan sebagai proses di mana tingkah laku
ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Adapun kesulitan
belajar sendiri, dapat diartikan sebagai hambatan dan gangguan belajar pada anak
dan remaja yang ditandai oleh adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf
integensi dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai. Dapat dikatakan
kesulitan belajar siswa dapat ditunjukkan oleh adanya hambatan tertentu untuk
mencapai hasil belajar. Hambatan tersebut bisa bersifat psikologis, sosiologis
maupun fisiologis (Tadjab, 1994 ; Wasty, 2006).
48
Macam kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang sangat luas,
diantaranya :
1. Learning disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses
belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang
bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar,
potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau
terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga
hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya
(Tadjab, 1994).
2. Learning disfunction adalah gejala dimana proses belajar yang
dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya
siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental,
gangguan alat indra, atau gangguan psikologis lainnya.
3. Underachiever merupakan siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat
potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi
belajarnya tergolong rendah.
4. Slow learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses
belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan
sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang
sama.
5. Learning disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala
dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga
hasil belajar di bawah potensi intelektualnya. Siswa yang mengalami
49
kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak
dari berbagai gejala (Tadjab, 1994).
3.1.1 Faktor-faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Terjadinya proses belajar, atau apakah suatu aktivitas itu memberikan
pengalaman belajar, itu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis
besarnya faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut,
dapat dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor intern, yang ada dan berasal
dari dalam diri pelajar {yang belajar}; dan faktor ekstern, yaitu kondisi dan situasi
di luar diri si pelajar (Hasbullah, 1997 ; Puspasari, 2007). Faktor nya antara lain :
1. Faktor internal
a. Kurangnya bakat khusus untuk suatu situasi belajar tertentu. Sebagai
halnya intelegensi, bakat juga merupakan wadahuntuk mencapai hasil
belajar tertentu. Peserta didik yang kurang atau tidak berbakat untuk
suatu kegiatan belajar tertentu akan mengalami kesulitan dalam
belajar.
b. Kurangnya kemampuan dasar yang dimiliki oleh peserta didik.
Kemampuan dasar (intelegensia) merupakn wadah bagi kemungkinan
tercapainya hasil belajar yang diharapkan.jika kemampuan dasar
rendah, maka hasil belajar yang dicapai akan rendah pula, sehingga
menimbulkan kesulitan dalam belajar (Hasbullah, 1997 ; Puspasari,
2007).
50
c. Kurangnya motivasi atau dorongan untuk belajar, tanpa adanya
motivasi yang besar peserta didik akan banyak mengalami kesulitan
dalam belajar, karena motivasi merupakan faktor pendorong kegiatan
belajar. Persaingan yang sehat antar individu maupun antar kelompok
dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
d. Faktor jasmaniah tidak mendukung kegiatan belajar, seperti gangguan
kesehatan, cacat tubuh, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran
dan lain sebagainya.
e. Faktor hereditas (bawaan) yang tidak mendukung kegiatan belajar,
seperti buta warna, kidal, cacat tubuh dan lain sebagainya (Hasbullah,
1997 ; Puspasari, 2007)
2. Faktor eksternal
a. Faktor lingkungan sekolah yang tidak memadai bagi situasi belajar
peserta didik, seperti cara mengajar, sikap guru, kurikulum atau materi
yang akan dipelajari, perlengkapan belajar yang tidak memadai, teknik
evaluasi yang kurang tepat, ruang belajar yang kurang nyaman dan
sebagianya.
b. Situasi keluarga yang kurang mendukung situasi belajar peserta didik,
seperti rumah tangga yang kacau (broken home), kurangnya perhatian
orang tua karena sibuk dengan pekerjaannya, kurangnya kemampuan
orang tua dalam memberikan pengarahan dan lain sebagainya.
51
f. Situasi lingkungan sosial yang menggangu kegiatan belajar siswa,
seperti pengaruh negatif dari pergaulan, situasi masyarakat yang
kurang memadai, gangguan kebudayaan, film, bacaan, permainan
elektronik dan sebagainya (Hasbullah, 1997 ; Puspasari, 2007).
52
3.2 Pandangan Islam tentang Dyslexia
Dyslexia ialah kesukaran atau ketidakupayaan menguasai kemahiran
membaca oleh seseorang individu walaupun telah menerima pendidikan yang
mencukupi (Mercer 1997 & Smith 1999). Dyslexia adalah gangguan yang paling
sering terjadi pada masalah belajar. Kurang lebih 80% penderita gangguan belajar
mengalami disleksia. Disleksia ditandai dengan adanya kesulitan membaca pada
anak maupun dewasa yang seharusnya menunjukan kemampuan dan motivasi
untuk membaca secara fasih dan akurat. (IDAI, 2009).
Kesulitan membaca dapat muncul dalam berbagai bentuk, ada yang dapat
mengeja tetapi tidak dapat membaca dalam kata. Misalnya putih dibaca putu, kaki
dibaca kika. Ada juga yang membaca terbalik, topi dibaca ipot, minum dibaca
munim. Sulit membedakan huruf b dan d, q dan p, khususnya pada penulisan
huruf kecil. Akibatnya, mereka menulis dapak untuk kata bapak. Gangguannya
terjadi di otak ketika pesan yang dikirim tercampur, sehingga sulit dipahami.
Anak dengan gangguan ini sering frustrasi dan mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Diluar aspek bahasa, pada anak dengan
disleksia seringkali terdapat gangguan perkembangan lain. Misalnya, konsentrasi
yang buruk, kontrol diri yang kurang, dan clumsy. Misalnya, terkadang anak
mengalami kesulitan dalam permainan melempar tangkap bola atau mengikat tali
sepatu (Chairani, 2003).
Penyakit gangguan belajar dapat berujung kepada suatu penyakit seperti
yang dijelaskan sebelumnya, yaitu dapat menyebabkan gangguan dalam
pembelajaran dalam jangka panjang. Menurut pandangan Islam, faktor penyebab
53
penyakit itu ada dua yaitu : Penyakit yang disebabkan karena faktor medis
(jasmani atau tubuh) dan faktor non medis.
Penyakit karena faktor medis jelas tidak pada kasus ini yang biasanya
disebabkan oleh suatu infeksi penyakit. Namun, sakit karena faktor non medis
yang dibiarkan lama di dalam tubuh manusia maka efeknya menjadi penyakit
medis, padahal apabila penyakit tersebut sudah menyerang jaringan sel-sel organ
tubuh maka proses penyembuhannya selain sangat sulit juga membutuhkan waktu
yang sangat lama (Assegaf, 2004).
Penyebab utama munculnya penyakit non medis adalah jiwa. Allah SWT
berfirman:
Artinya : “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS. As-Syams (91) : 7-10).
Segala sesuatu yang ada di alam semesta termasuk segala macam penyakit
adalah ciptaan Allah SWT. Sakit bisa dalam bentuk yang paling ringan sampai
pada sakit yang berat. Bencana dan musibah yang menimpa manusia semuanya
adalah kehendak Allah dan sudah ditentukan Allah sebelumnya, sebagaimana
Firman Allah SWT:
54
Artinya : “Sekali-sekali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal” (Q.S. At Taubah {9}: 51).
Dari ayat-ayat di atas jelas bahwa segala yang terjadi adalah karena
kehendak Allah SWT, begitu juga dengan ciptaan-Nya. Allah menciptakan
manusia dengan segala kekurangan serta kelebihannya. Sebagai hamba yang
beriman harus sabar dalam menghadapi penyakit khususnya penyakit yang
disebabkan dalam gangguan belajar ini (disleksia), dan berprasangka baik kepada
Allah SWT. Di dalam tubuh manusia diketahui telah ada respon terhadap
gangguan dalam perkembangan otak, namun gangguan ini (disleksia) dapat di
deteksi dan diobati sedini mungkin. Bila tidak diobati dengan baik penyakit
gangguan belajar ini dapat menyebabkan kerusakan yang lebih lanjut pada bagian
tubuh yaitu dalam proses berpikir. Dalam menjalani hidup, manusia tidak lepas
dari ujian yang diberikan oleh Allah SWT (Abdurrahman, 2007).
Di antara ayat yang dapat dijadikan dalil, dianggap sebagai upaya menjaga
kehidupan dan menghindari dari yang dapat membinasakannya, antara lain
dinyatakan dalam Al-Quran :
55
Artinya : “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…. (Q.S Al-Maidah {5} : 32).
Berdasarkan ayat ini, Allah menghargai setiap upaya mempertahankan
kehidupan manusia, menjauhkan diri dari hal yang dapat membinasakannya,
berobat dengan obat-obatan yang ada, dalam hal ini terhadap gangguan dalam
belajar dilakukan dengan tujuan tersebut.
Obat-obatan yang dapat diberikan di atas tidak merugikan bagi manusia,
sebaliknya dapat mempertahankan kehidupan manusia. Sehingga dalam ajaran
Islam obat-obatan tersebut halal untuk dikonsumsi. Berobat dengan barang atau
obat yang halal sangatlah penting, oleh karena dalam Islam, seorang muslim tidak
diperbolehkan berobat dengan barang yang haram. Hal ini sesuai dengan ajaran
Islam yang melarang umatnya berobat dengan barang yang haram dan Islam
menganjurkan umatnya untuk berobat apabila sakit, dan berobatlah pada dokter
yang menguasai medis sebagai ahlinya, sehingga upaya penyembuhan mendapat
hasil yang maksimal (Assegaf, 2004).
Hal utama dari sebuah pengobatan terutama terhadap gangguan belajar,
tidak hanya dilihat dari hasil akhirnya berupa kesembuhannya belaka, tetapi lebih
56
karena berobat merupakan suatu proses di mana seorang hamba, berupaya sekuat
tenaga untuk bertakwa kepada Allah SWT dengan berusaha untuk menjaga
kesehatan badan yang dititipkan Allah SWT kepadanya dan berupaya
menghilangkan penyakit sehingga ia menjadi sehat kembali. Ayat tersebut
menekankan bahwa agar orang yang sakit mengupayakan sehat sebagai anjuran
agama. Al-Dzahabi menyatakan, bahwa tindakan upaya penyembuhan penyakit
secara medis merupakan perbuatan baik dan terpuji (Zuhroni et al, 2003).
Kesembuhan penyakit itu sendiri juga atas izin Allah seperti yang terdapat
dalam sabda Rasulullah yaitu :
Artinya :“Setiap penyakit ada obatnya, jika obat itu tepat untuk penyakitnya, maka kesembuhan itu atas izin Allah” (HR. Muslim).
Pengobatan pada gangguan belajar hanyalah sebuah wasilah (perantara).
Penggunan obat bisa menyembuhkan, bisa juga tidak menyembuhkan jika Allah
belum menghendaki atau menunda suatu penyembuhan. Atau bisa saja terjadi
Allah memberikan penyembuhan tanpa menggunakan atau melalui pengobatan
apapun. Tanpa kehendak dan izin Allah maka suatu penyakit tidak dapat
disembuhkan. Allah SWT berfirman :
57
Artinya :“Jika Allah menimpakan suatu kesusahan kepadamu, maka tidak seorangpun yang dapa tmelenyapkan kecuali Dia. Jika Allah menghendaki kesentosaan bagimu, tidak ada seorangpun yang mampu menolak karunia-Nya…” (QS. Yunus {10}: 107).
Seseorang yang ingin sembuh dari suatu penyakit selain berobat, maka
harus kembali kepada pelindung dan penolong manusia yaitu Allah SWT. Dalam
hal berobat maka dokterlah ahlinya, karena itu ketika seseorang sakit dianjurkan
baginya jika mampu untuk memeriksakan diri kepada dokter sebagai ahlinya yaitu
dokter spesialis anak. Dalam mencapai tujuan kesehatan menurut Islam maka
perlu kiranya dalam hal ini untuk berobat kepada dokter muslim yaitu seseorang
yang mempunyai kualifikasi baik dalam ilmu pengetahuan, keterampilan sesuai
dengan agama Islam (Zuhroni et al, 2003).
58
3.3 Kaitan kerusakan Otak dengan Disleksia dalam Islam
Dalam menjalani hidup, manusia tidak lepas dari ujian yang diberikan oleh
Allah SWT, seperti ujian ketakutan, kelaparan, kekurangan harta dan jiwa. Telah
dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya :
Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (Q.S. Al Baqarah {2}:155).
Demikianlah Allah SWT akan menguji hamba-hamba-Nya dengan
kebaikan dan keburukan. Dia menguji manusia berupa kesehatan, agar mereka
bersyukur dan mengetahui keutamaan Allah SWT serta kebaikan-Nya kepada
mereka. Kemudian Allah SWT juga akan menguji manusia dengan keburukan
seperti sakit dan kemiskinan, agar mereka bersabar dan memohon perlindungan
serta berdoa kepada-Nya.
Apabila seorang muslim sakit, maka hendaknya ia berusaha untuk berobat
dan yakin bahwa kesembuhannya hanya karena Allah SWT. Namun dalam
menyikapi penderitaan penyakit, disamping dianjurkan berusaha mengobatinya
juga disarankan agar bersabar dan bertawakkal. Begitu juga halnya pada penderita
penyakit yang disebabkan gangguan dalam kesulitan belajar. Untuk menghibur
orang yang menderita penyakit, ketika Nabi ditanya tentang penyakit yang
59
menimpa kaum Muslimin, ditegaskan bahwa penderitaan atas penyakit itu
merupakan kaffarat (penebus dosa), meskipun sakitnya ringan (Zuhroni, 2010).
Obat-obatan yang dapat diberikan di atas tidak merugikan bagi manusia,
sebaliknya dapat mempertahankan kehidupan manusia. Sehingga dalam ajaran
Islam obat-obatan tersebut halal untuk dikonsumsi. Berobat dengan barang atau
obat yang halal sangatlah penting, oleh karena dalam Islam, seorang muslim tidak
diperbolehkan berobat dengan barang yang haram. Hal ini sesuai dengan ajaran
Islam yang melarang umatnya berobat dengan barang yang haram. Sebagaimana
hadits Rasulullah SAW:
Artinya : “Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obatnya, dan diadakan-Nya bagi tiap-tiap penyakit obatnya, maka berobatlah kamu, namun janganlah berobat dengan yang haram” (HR. Abu Dawud).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, demikianlah Islam menganjurkan
umatnya untuk berobat apabila sakit, dan berobatlah pada dokter yang menguasai
medis sebagai ahlinya, sehingga upaya penyembuhan mendapat hasil yang
maksimal. Hal utama dari sebuah pengobatan terutama terhadap gangguan dalam
belajar, tidak hanya dilihat dari hasil akhirnya berupa kesembuhannya belaka,
tetapi lebih karena berobat merupakan suatu proses di mana seorang hamba,
berupaya sekuat tenaga untuk bertakwa kepada Allah SWT dengan berusaha
untuk menjaga kesehatan badan yang dititipkan Allah SWT kepadanya dan
60
berupaya menghilangkan penyakit sehingga ia menjadi sehat kembali (Zuhroni, et
al, 2003). Allah SWT berfirman :
Artinya :”Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku” (Q.S Asy-Syu’ara {26}: 80).
Ayat tersebut menekankan bahwa agar orang yang sakit mengupayakan
sehat sebagai anjuran agama. Al-Dzahabi menyatakan, bahwa tindakan upaya
penyembuhan penyakit secara medis merupakan perbuatan baik dan terpuji
(Zuhroni, 2003).
Kesembuhan penyakit itu sendiri juga atas izin Allah seperti yang terdapat
dalam sabda Rasulullah yaitu :
Artinya :“Setiap penyakit ada obatnya, jika obat itu tepat untuk penyakitnya, maka kesembuhan itu atas izin Allah” (HR. Muslim).
Allah SWT berfirman :
Artinya :“Jika Allah menimpakan suatu kesusahan kepadamu, maka tidak seorangpun yang dapat melenyapkan kecuali Dia. Jika Allah menghendaki kesentosaan bagimu, tidak ada seorangpun yang mampu menolak karunia-Nya…” (QS. Yunus {10}: 107).
61
Seseorang yang ingin sembuh dari suatu penyakit selain berobat, maka
harus kembali kepada pelindung dan penolong manusia yaitu Allah SWT. Allah
SWT berfirman :
Artinya : “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). Dan kamu tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di muka bumi, dan kamu tidak memperoleh seorang pelindung dan tidak pula penolong selain Allah” (QS. Ash-Shura{42}: 30-31).
Ajaran Islam juga telah mewajibkan tiap-tiap muslim untuk meminta
nasehat kepada ahlinya dan mengerjakan nasehat tersebut sesuai dengan
kesanggupannya (Djamaludin, 2004). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
dalam Al-Qur’an :
Artinya :“Dan Kami tidak mengutus sebelumnya kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami berikan wahyu kepada mereka, bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl (16): 43).
Anjuran dalam agama Islam, orang yang sakit harus mengupayakan untuk
sehat, yaitu dengan cara berobat. Obat-obatan dalam gangguan belajar yang dapat
diberikan pada seorang anak yang sakit tidak merugikan bagi nya, sebaliknya
62
dapat mempertahankan kehidupan manusia. Karena tidak membahayakan dan
dapat mempertahankan kehidupan manusia, sehingga dalam ajaran Islam obat-
obatan tersebut halal untuk dikonsumsi. Manusia harus ingat berobat dengan
barang atau obat yang halal sangatlah penting, oleh karena dalam ajaran Islam,
seorang muslim tidak diperbolehkan berobat dengan barang yang haram.
Dalam pandangan Islam, kerusakan otak merupakan salah satu bentuk
cobaan dari Allah SWT, kita sebagai umatNya harus dapat menerima segala
cobaan yang Dia berikan kepada umatNya. Kerusakan otak yang terjadi pada anak
dapat berakibat pada berbagai hal, ada yang menderita penyakit serius maupun
yang tidak, salah satu akibatnya yaitu penyakit disleksia. Kerusakan otak yang
berakibat disleksia merupakan suatu cobaan yang diberikan Allah SWT kepada
manusia. Namun cobaan ini hanya cobaan kecil yang Allah SWT berikan kepada
umatNya.
Tidak bisa dipungkiri dalam perkembangannya anak dengan disleksia
mengalami hambatan dalam perkembangan kehidupannya, khususnya dalam
membaca dan melihat suatu tulisan, dan kehidupan sehari-harinya, namun tidak
semua hambatan tersebut berakibat fatal, bahkan tidak sedikit anak yang
mengalami kerusakan otak dan menjadi disleksia menjadi orang yang sukses pada
masa depannya. Sebagai orangtua yang memiliki anak dengan disleksia juga
diharapkan dapat melakukan berbagai kegiatan untuk menstimulasi kegiatan
belajar anak, yaitu dengan cara medical care dan intervensi, baik yang dilakukan
orangtua di rumah, atau kegiatan di sekolah. Kegiatan medical care kepada anak
dan intervensi berupa pelatihan stimulasi baca bagi anak, kegiatan yang bersifat
63
agama, khususnya agama Islam juga dapat meningkatkan rangsangan ke otak,
sehingga diharapkan dengan adanya tindakan-tindakan yang bersifat stimulasi
dapat meningkatkan dan mempercepat kesembuhan pada anak dalam melakukan
kegiatan membaca dan pemahaman dalam berfikir.
Dalam menghadapi segala sesuatu cobaan dari Allah SWT, kita haruslah
tetap bersyukur dan berdoa untuk memujaNya, agar terhindar dari marabahaya
dan selalu bersyukur terhadap apa yang kita miliki sekarang, sehingga kekurangan
yang dialami seorang anak yang menderita kerusakan otak dan disleksia dapat
menjadi pribadi yang senantiasa bersyukur dan menggunakan kekurangannya
menjadi pribadi yang lebih kuat lagi.
64