DUALISME LEGALITAS PEMOHON DALAM PROSES...
Transcript of DUALISME LEGALITAS PEMOHON DALAM PROSES...
DUALISME LEGALITAS PEMOHON DALAM PROSES PENGAJUAN
DISPENSASI PERKAWINAN (Kajian Yuridis Terhadap Penerapan Buku
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Buku II))
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh :
EKA KURNIA MAULIDA
NIM : 1110044100045
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H / 2015 M
v
ABSTRAK
Eka Kurnia Maulida. NIM 1110044100045. DUALISME LEGALITAS PEMOHON
DALAM PROSES PENGAJUAN DISPENSASI PERKAWINAN (KAJIAN
YURIDIS TERHADAP PENERAPAN BUKU PEDOMAN PELAKSANAAN
TUGAS DAN ADMINISTRASI PERADILAN AGAMA (BUKU II)) .Program Studi
Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syari’ah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 / 2015.xiii + 98
halaman + 22 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan legalitas para pemohon dalam
pengajuan dispensasi perkawinan terbatas pada orang tua calon mempelai baik pihak
laki-laki maupun perempuan, wali atau keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas
yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Dengan
menganalisis putusan Pengadilan Agama Pacitan No. 60/Pdt.P/2013/PA.Pct dan
putusan Pengadilan Agama Banjarnegara No. 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba., yang
melegalkan calon pengantin (dibawah umur) bertindak sebagai pemohon dalam
pengajuan dispensasi perkawinan. Kemudian menggali ketetapan peraturan lain yang
membenarkan calon pengantin (dibawah umur) secara sendiri bertindak sebagai
pemohon dalam pengajuan dispensasi perkawinan.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian deskriptif dan dengan pendekatan yuridis
normatif. Sumber data primer berupa putusan Pengadilan Agama Pacitan No.
60/Pdt.P/2013/PA.Pct dan putusan Pengadilan Agama Banjarnegara No.
0129/Pdt.P/2012/PA.Ba. Menggunakan metode analisis deskriptif-kualitatif. Dan
teknik penulisannya berdasarkan pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012. Kesimpulan bahwa berdasarkan
hierarki peraturan perundang-undangan, ketetapan Undang-Undang Perkawinan No.1
Tahun 1974 merupakan lex generalis. Ketetapan Buku II Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Peradilan Agama atau lex specialist yang diterbitkan
Mahkamah Agung harus tunduk pada peraturan yang lebih tinggi. Artinya, calon
pengantin (dibawah umur) tidak dibenarkan secara sendiri dapat bertindak sebagai
pemohon dalam pengajuan dispensasi perkawinan. Hakim memberikan kewenangan
kepada calon pengantin yang mengajukan sendiri dispensasi perkawinannya, dengan
memandang kepada kemaslahatan terhadapnya dengan segala pertimbangan dari
proses diperiksanya perkara tersebut.
Kata kunci: Dispensasi Perkawinan, Legalitas Pemohon Dispensasi Perkawinan,
Pemohon Dibawah Umur, Putusan Pengadilan Agama.
Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, MA.
Daftar puskata : Tahun 1959 s.d Tahun2013
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, pembawa Syari’ahnya yang universal bagi semua umat manusia
dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda H. Marzuki dan Ibunda Hj.
Peratin.Yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa
kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih
sayang-Nya kepada mereka.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
temukan, namun syukur alhamdulillah berkat rahmat dan rida-Nya, kesungguhan,
serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak
langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir
skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan
kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Phil. JM. Muslimin, MA, Ph.D, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Prodi
dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Hj. Azizah, MA., dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi
Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya
kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
6. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada keluarga tercinta Muhammad Reza
Aditya Ready, Anzila Riskia Putri dan Agheea Geelwana Alwala.
7. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis yaitu Aulia Fithrotunnisa, Eka Dita
Martiana, Nurul Hikmah, Nurdin al-Fatih, Fajrul Islamy, Defi Uswatun
Hasanah, Inayah Maily, Khoirun Nisa, Sainah dan semua teman-teman
Peradilan Agama Angkatan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, yang menjadi teman seperjuangan sebelum maupun ketika di bangku
perkuliahan.
8. Semua Keluarga Besar HMPS SAS Periode 2013-2014, partner paling
pengertian Andi Asyraf Rahman, Muhammad Hira Hidayat, Hendrawan,
viii
Farhan Qodumi, Aisyah Nasution, Indira Awaliyah, Annisa Mutiara, Cepi JP,
Nur Rahmat Farhan Jamil, Mujahidin Nur, Annisa Maulida, M. Nur Subhan
F.M, Nur Azmi, Humaidi, Fatiah Khodijah, Siti Juairiatun Nuriah, Ya Rakha
Muyassar, Alif Rahmat, Chairil Izhar, Fachra, Zulfa Zuhrotunnisa, Yahya
Syafi’I, Miqdad Rikani, Rivaldi, Akbarudin, Syarifah Nurfadilah, Eka Yulyana
Sari, Saiful Mufid, Ahmad F. Habibi, Reza Fakhlevi, Faraidhika Muadina,
Hikmah, Nur Indah Faradiyah, Vicky Fauziyah, Siti Hannah, Nur Hafifah,
Atiqoh Fathiyah, Samha Nailufar, Mella Rosdiana dan Anggota lain yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Senior-senior SAS yang selalu memberikan dukungan, arahan dan do’a dalam
kegiatan organisasi penulis maupun diskusi bimbingan skripsi kanda
Hidayatullah Asmawih, S.HI., M.H., Arifin Bachtiar S.HI., dan Jejen Sukrillah
Sanusi, S.Sy.
10. Adik-adik keluarga baru SAS Angkatan 2014, yang telah memberikan warna
dan tujuan untuk hidup yang terus bergulir. Teruslah berkarya dimanapun
kalian mengaktualisasikan diri.
11. Calon imam dunia akhiratku Ricki Ahmad Faisal Mukhtar, terima kasih atas
semua motivasi, perjuangan dan semangatnya, sehingga penulis dapat terus
menulis dalam keadaan apapun.
ix
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka
dengan kebaikan yang berlipat ganda pula.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya
dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Ciputat, 2 Januari 2015
Eka Kurnia Maulida
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING...............................................................
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI........................................................
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN.......................................................................... iv
ABSTRAK..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR................................................................................... vi
DAFTAR ISI.................................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................
B. Identifikasi Masalah.............................................................
C. Pembatasan Masalah............................................................
D. Perumusan Masalah..............................................................
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................
F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan.............................
G. Review Studi Terdahulu.......................................................
H. Sistematika Penulisan...........................................................
1
8
10
11
12
13
18
21
xi
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG
PERKAWINAN.........................................................................
24
A. Pengertian Perkawinan..........................................................
B. Hukum Perkawinan...............................................................
C. Tujuan Perkawinan...............................................................
D. Syarat dan Rukun Perkawinan..............................................
24
29
30
33
BAB III DISPENSASI PERKAWINAN................................................ 40
A. Pengertian Dispensasi Perkawinan.......................................
B. Landasan Hukum Dispensasi Perkawinan............................
C. Batas Usia Minimal Kawin Dalam Hukum Islam dan
Hukum Positif.......................................................................
D. Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Dibawah Umur....
40
40
42
48
BAB IV
DUALISME LEGALITAS PEMOHON DALAM
DISPENSASI PERKAWINAN.................................................
50
A. Studi Kasus Dispensasi Perkawinan Pemohon di
Banjarnegara dan Pacitan......................................................
B. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Dispensasi
Perkawinan Pemohon Dibawah Umur..................................
C. Analisis Penulis.....................................................................
50
57
63
xii
BAB V
PENUTUP...................................................................................
A. Kesimpulan...........................................................................
B. Saran-saran............................................................................
92
92
93
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
LAMPIRAN
95
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi.
2. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006
3. Salinan putusan Pengadilan Agama Pacitan No. 60/Pdt.P/2013/PA.Pct dan
putusan Pengadilan Agama Banjarnegara No. 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keluarga sebagai institusi terkecil dalam sebuah masyarakat memegang peran
yang penting bagi pembentukan generasi muda yang berkualitas. Menikah
dimaksudkan untuk mencapai kebahagian dan ketentraman hidup manusia dan
melalui pintu pernikahanlah seorang laki-laki dan perempuan bisa memenuhi
kebutuhan biologisnya secara benar dan sah.
Allah tidak menghendaki manusia seperti makhluk yang lain. Allah
menjadikan hubungan yang agung dan dibangun atas dasar kerelaan laki-laki dan
perempuan, yaitu dengan cara menganjurkan untuk pernikahan sekaligus
menciptakan hukum yang mengaturnya demi menjaga kehormatan dan kemuliaan
manusia.
Manusia mempunyai bermacam-macam kebutuhan, yang di antaranya hanya
dapat dipenuhi melalui pernikahan.1 Ada kebutuhan emosional yang bisa didapatkan
anak dari orang tuanya, tetapi tidak semuanya, karena ada kebutuhan emosional
tertentu yang hanya bisa terpenuhi melalui pernikahan. Manusia yang sejak lahir
dibekali potensi syahwat terhadap lawan jenis membutuhkan sarana untuk
menyalurkan potensi tersebut, bila potensi ini tidak tersalurkan secara terarah, maka
akan menimbulkan berbagai kerawanan.
1 M. Rusli Amin, Kunci Sukses Membangun Keluarga Idaman, (Jakarta: Al-Mawardi Prima,
2003), Cet. Kedua, h. 2
2
Perkawinan merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal, sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yang
menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Pertimbangan dari pasal tersebut adalah bahwa sebagai negara yang
berdasarkan kepada Pancasila sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga memiliki unsur
batin/rohani yang mempunyai peranan penting.
Islam adalah agama sempurna yang Allah SWT ciptakan untuk kita manusia.
Serta ayat-ayat al-Quran yang Allah SWT turunkan kepada Rasul melalui wahyu
Allah SWT, sebagai pedoman dan petunjuk jalan manusia menuju surganya Allah
dan petunjuk untuk keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat.3
Dalam Islam pembentukan keluarga adalah menyatukan antara laki-laki dan
perempuan diawali dengan ritual yang suci yaitu kontrak perkawinan atau ikatan
perkawinan, kontrak ini mensyaratkan dari masing-masing pasangan serta
perwujudan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bersama.
2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1
3 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Vorkik Van Hoeve,
1959), h. 105
3
Allah memerintahkan kaum muslimin agar menikah, seperti yang tercantum
dalam Al-Qur‟an surat An-Nur ayat 32:
الني من عبادكم وإمائكم إن يكونوا ف قراء ي غنهم الله م ن فضله وأنكحوا األيامى منكم والص والله واسع عليم
Artinya:“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara
kamu,dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu
yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan
kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), Maha
Mengetahui.”
Hukum perkawinan merupakan hukum yang paling awal dikenal manusia,
yang ditandai dengan perkawinan antara nabi Adam a.s dengan istrinya, Hawa.
Kemudian dengan mengalami perubahan dan perkembangan disana-sini, perkawinan
dilaksanakan oleh anak cucu Adam dan Hawa secara kontiniu dari dulu hingga
sekarang. Hukum perkawinan yang berkembang saat ini merupakan pelestarian
(tindak lanjut) dan pengembangan hukum yang telah diperkenalkan Allah kepada
generasi manusia terdahulu. Itulah sebabnya hukum perkawinan merupakan hukum
yang selalu aktual diperlukan oleh manusia.4
Menjembatani antara kebutuhan kodrati manusia dengan pencapaian esensi
dari suatu perkawinan, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah
menetapkan dasar dan syarat yang harus dipenuhi dalam perkawinan. Salah satu di
antaranya adalah ketentuan dalam pasal 7 ayat (1) : “Perkawinan hanya diizinkan jika
4 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), h. 1.
4
pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”5 Walaupun telah di atur dengan sedemikian
rupa kemungkinan terjadinya penyimpangan selalu terjadi, oleh sebab itu
ditambahkan dengan ayat (2) dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal itu
dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau kepada pejabat lain yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.
Dan seiring perkembangan kehidupan manusia, muncul suatu permasalahan
yang terjadi dalam masyarakat, lunturnya moral value atau nilai-nilai akhlak yaitu
pergaulan bebas di kalangan remaja dan hubungan zina menjadi hal biasa sehingga
terjadi kehamilan di luar nikah. Perkawinan pada anak di bawah umur bukanlah
sesuatu yang baru di Indonesia. Praktik ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak
pelaku, tidak hanya di kota besar tetapi juga di daerah pedalaman. Sebabnya pun
bervariasi, antara lain karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman
budaya dan nilai-nilai agama tertentu, juga karena hamil terlebih dahulu.
Idealnya dasar pertimbangan hakim dalam penetapan dispensasi perkawinan
usia anak di bawah umur sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 yaitu membatasi usia pernikahan minimal 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun
untuk perempuan. Usia dan kedewasaan menjadi hal yang harus diperhatikan dalam
pernikahan bagi pria dan wanita yang ingin melangsungkan pernikahan. Tetapi
realitanya, meskipun ketentuan umur berdasarkan pasal yang telah disebutkan tidak
5 Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 ayat 2
5
terpenuhi, oleh karena sebab-sebab yang telah terjadi, para pihak-pihak di dalamnya
tetap bersikeras menginginkan adanya perkawinan.
Islam dalam hal ini al-Quran dan Hadis tidak menentukan batas minimal umur
untuk kawin6. Para ulama madzhab umumnya dahulu membolehkan seorang bapak
sebagai „wali mujbir‟, mengawinkan anaknya lelaki atau perempuan yang gadis dan
masih dibawah umur tanpa harus meminta persetujuan mereka terlebih dahulu.
Adapun sebagai alasan bahwa nabi Muhammad SAW mengawini Aisyah r.a pada
waktu usia 7 dan mulai berumah tangga pada waktu usia 9 tahun, peristiwa ini yang
terjadi lebih kurang 14 abad yang lalu dan tidak ada keterangan yang otentik dari
Nabi bahwa perkawinannya dengan Aisyah itu termasuk tindakan yang khusus untuk
nabi. Berdasarkan fakta atau kejadian tersebut telah dijadikan dalil oleh para ulama
madzhab tentang boleh dan sahnya perkawinan anak-anak.
Demikian juga dalam hukum adat tidak ada ketentuan batas umur untuk
melakukan pernikahan. Biasanya kedewasaan seseorang dalam hukum adat diukur
dengan tanda-tanda bagian tubuh, apabila anak wanita sudah haid (datang bulan),
buah dada sudah menonjol berarti ia sudah dewasa. Bagi laki-laki ukurannya dilihat
dari perubahan suara, postur tubuh dan sudah mengeluarkan air mani atau sudah
mempunyai nafsu seks.
Bagi seorang pemuda, usia untuk memasuki gerbang perkawinan dan
kehidupan berumah tangga pada umumnya dititik beratkan pada kematangan jasmani
6 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam jilid 3: Muamalah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), Cet.
Kedua, h.32.
6
dan kedewasaan pikiran serta kesanggupannya untuk memikul tanggung jawab
sebagai suami dalam rumah tangganya. Hal itu merupakan patokan umur bagi para
pemuda kecuali ada faktor lain yang menyebabkan harus dilaksanakannya pernikahan
lebih cepat. Bagi sorang gadis usia perkawinan itu akan berkaitan dengan kehamilan
maka perlu memperhitungkan kematangan jasmani dan ruhaninya yang
memungkinkan ia dapat menjalankan tugas sebagai seorang istri dan sekaligus
sebagai seorang ibu yang sebaik-baiknya7.
Apabila memang perkawinan itu tidak dapat dihindari dan berkeinginan untuk
dilaksanakan sesegera mungkin, maka melalui ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 15 Kompilasi Hukum
Islam pihak orang tua dari calon mempelai baik pihak laki-laki maupun perempuan
dapat mengajukan permohonan dispensasi kawin kepada pengadilan atau pejabat lain
yang ia tunjuk.
Namun, jika kedua orang tua telah meninggal atau tidak dapat menyatakan
kehendak, Pasal 6 Ayat (4) dan Pasal 7 Ayat (3) memberikan kelonggaran. Menurut
pasal itu, perkara dispensasi kawin juga dapat diajukan oleh wali yang memelihara,
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas.
Pada kenyataannya, ada beberapa penetapan dimana hakim mengabulkan
dispensasi perkawinan yang di ajukan oleh calon pengantinnya sendiri (dibawah
7 Sutan Marajo Nasaruddin Latif, Problematika Seputar keluarga dan Rumah Tangga,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 23
7
umur). Yaitu, Putusan hakim PA Pacitan Nomor : 60/Pdt.P/2013/PA.Pct dan PA
Banjarnegara Nomor : 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba.
Penulis mengkaji regulasi lain yang mengatur tentang keabsahan pemohon
dalam pengajuan Dispensasi Perkawinan, dan ditemukan ketetapan yang memberikan
ketentuan berbeda pada Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama (Buku II). Pada halaman 138 dijelaskan, bahwa selain orang tua,
calon pengantin pun juga diperkenankan untuk mengajukan dispensasi kawinnya
sendiri.
Buku pedoman ini dilaksanakan oleh semua pejabat struktural dan fungsional
beserta aparat peradilan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor:
KMA/032/SK/IV/2006, hingga Sepintas terdapat kontradiksi atau dualisme hukum
pada kedua ketentuan tersebut di atas.
Mengingat semakin kompleksnya masalah seputar dispensasi kawin diluar
faktor-faktor yang menyebabkan perkawinan dibawah umur harus segera
dilaksanakan, tapi juga karena persoalan legislasi pemohon, apakah hanya orang tua/
wali dari para pihak saja yang berhak mengajukan dispensasi kawin atau calon
pengantinnya pun punya hak yang sama. Bagaimanapun tetap ada saja calon
pengantin yang tidak mempunyai orang lain yang secara hukum harus bertanggung-
jawab sebagai pengampunya.
Berangkat dari permasalahan di atas, penulis merasa perlu untuk meneliti
lebih lanjut mengenai legal standing para pemohon untuk proses pengajuan
dispensasi kawin. Dan penulis akan menuangkan didalam tugas akhir dalam rangka
8
memenuhi standar kelulusan Strata satu (SI) dengan judul : DUALISME
LEGALITAS PEMOHON DALAM PROSES PENGAJUAN DISPENSASI
PERKAWINAN (Kajian yuridis terhadap penerapan buku Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Buku II))
B. Identifikasi Masalah
Perkawinan adalah merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sesuai dengan Undang-Undang
Perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir-batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Pertimbangan dari pasal tersebut adalah bahwa sebagai negara yang berdasarkan
kepada Pancasila, sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama, sehingga perkawinan bukan
saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga memiliki unsur batin/rohani yang
mempunyai peranan penting.
Perkawinan usia dini adalah sebuah perkawinan yang dilakukan oleh mereka
yang berusia di bawah usia yang dibolehkan untuk menikah dalam Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1, yaitu disebutkan bahwa perkawinan
hanya diijinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
9
Adapun yang dimaksud dengan dispensasi adalah penyimpangan atau
pengecualian dari suatu peraturan8. Dispensasi usia kawin diatur dalam Pasal 7 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dispensasi sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 artinya penyimpangan
terhadap batas minimum usia kawin yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang yaitu
minimal 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk perempuan. Dispensasi merupakan
penetapan pengadilan mengenai pembolehan perkawinan yang dilakukan oleh
pasangan pengantin yang salah satunya atau keduanya belum berumur 19 tahun bagi
pria dan 16 tahun bagi wanita.
Sehingga jika laki-laki maupun perempuan yang belum mencapai usia kawin
namun hendak melangsungkan perkawinan, maka pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak dapat memberikan penetapan Dispensasi
Kawin, hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat (1) UU No.1 Tahun 1974.
Disisi lain Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama. Pada halaman 138, disebutkan: “Permohonan dispensasi kawin
diajukan oleh calon mempelai pria yang belum berusia 19 tahun, calon mempelai
wanita yang belum berusia 16 tahun dan/atau orang tua calon mempelai tersebut
kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah dalam wilayah hukum dimana
8 R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 1996),
h. 36
10
calon mempelai dan/atau orang tua calon mempelai tersebut bertempat tinggal9.
Membaca ketentuan tersebut, jelas: calon mempelai pria maupun wanita dapat
dibenarkan secara sendiri atau bersama dengan orang tuanya untuk mengajukan
perkara dispensasi kawin. Kedua ketentuan ini sangat berpengaruh besar kepada para
hakim atas pertimbangan dan implementasi penetapan dispensasi perkawinan,
bertolak dari faktor apa yang telah terjadi pada calon pengantinnya. Seperti yang
ditemukan pada putusan hakim Nomor : 60/Pdt.P/2013/PA.Pct dan Nomor :
0129/Pdt.P/2012/PA.Ba.
C. Pembatasan Masalah
Dalam uraian tersebut di atas, terlihat betapa luas cakupan yang terkandung
dalam perkara dispensasi perkawinan. Hak untuk mengadakan perkawinan adalah hak
bagi seluruh manusia dan makhluk Allah lainnya, yang telah disebutkan ketentuannya
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Begitu pula apabila seorang yang masih
dibawah umur tapi karna satu dan lain hal, perkawinannya harus segera dilaksanakan,
baik calon pengantin mempunyai orang tua/wali dan yang tidak mempunyai orang
lain yang secara hukum harus bertanggung-jawab sebagai pengampu, hal seperti ini
tentunya akan berpengaruh besar terhadap kebijakan dirinya untuk menyelenggarakan
urusannya sendiri.
Agar pembahasan terarah dan lebih spesifik, maka pembahasan dalam
penelitian ini dibatasi hanya pada analisa putusan hakim yang mengabulkan
9 Mahkamah Agung, Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama 2013, h. 138.
11
permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan oleh pemohon (calon
pengantinnya sendiri) dibawah umur. Namun penulis hanya membatasi pada Putusan
Nomor : 60/Pdt.P/2013/PA.Pct dan Nomor : 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba.
D. Perumusan Masalah
Untuk memperjelas tulisan skripsi ini, penulis merumuskan masalah ini
sebagai berikut:
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, yang
berwenang menjadi pemohon dalam dispensasi perkawinan adalah orang tua calon
mempelai baik pihak laki-laki maupun perempuan, wali atau keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas. Tetapi kenyataanya, masih ada Peradilan Agama yang
mengabulkan permohonan dispensasi kawin yang di ajukan oleh pemohon (calon
pengantinnya sendiri) dibawah umur. Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana batasan usia minimal perkawinan menurut Hukum Islam dan
Hukum Positif?
2. Bagaimana pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Dispensasi Perkawinan
Pemohon Dibawah Umur?
3. Bagaimana posisi Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama dalam tata hukum nasional?
12
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan suatu penelitian adalah mengungkapkan secara jelas apa yang
ingin dicapai dalam penelitian yang akan dilakukan. Dari definisi tersebut,
maka tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui batasan usia minimal pernikahan/perkawinan menurut
Hukum Islam dan Hukum Positif.
b. Untuk mengetahui landasan hukum sebagai pertimbangan hukum yang
digunakan hakim dalam pemberian izin dispensasi nikah yang di ajukan
oleh pemohon (calon pengantin) dibawah umur.
c. Untuk mendeskripsikan kekuatan hukum atau peraturan berdasarkan
hierarki (lex specialis derogate legi generalis) Buku II tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama dalam tata hukum
nasional dan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 7.
2. Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan penelitian maka penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat:
a. Secara teoritis
1) Menambah khasanah ilmu agama Islam dan hukum perkawinan
khususnya mengenai dispensasi perkawinan.
13
2) Memberi bahan masukan dan/atau dapat dijadikan sebagai bahan
kajian lebih lanjut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum
perkawinan khususnya mengenai dispensasi perkawinan.
b. Secara praktis
1) Dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi para
praktisi hukum sehubungan dengan masalah dispensasi perkawinan.
2) Mengungkap masalah-masalah yang timbul dalam lapangan hukum
dan masyarakat serta memberikan solusinya sehubungan dengan
masalah dispensasi perkawinan.
F. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan
Metode penelitian adalah alat uji dan analisa yang digunakan untuk
mendapatkan hasil penelitian yang valid, reliable dan obyektif10
. Untuk itu maka
penulis dalam hal ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan metode
pendekatan yuridis normatif yakni dengan kajian perundang-undangan (statute
approach). Yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-
10
Ipah Farihah, Buku panduan penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2006), h. 32
14
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum atau tema sentral
penelitian yang sedang ditangani11
.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif
(descriptive research). Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud
untuk menemukan informasi seluas-luasnya tentang variabel yang
bersangkutan12
.
Dengan pola penelitian sebagai berikut:
Peraturan : Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 7 ayat (2), tentang legalitas pemohon dispensasi
perkawinan kepada orang tua/wali/ keluarga dengan arah
garis lurus ke atas.
Tujuan penelitian : Untuk mengetahui pelaksanaan peraturan/rencana yang
bersangkutan
Masalah : Calon Pengantin dapat mengajukan sendiri dispensasi
perkawinannya.
11
Johnny Ibrahim, Metedologi Penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori-Aplikasi, (Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2007), h. 92
12
Talizuduhu Ndraha, Disain Riset Dan Teknik Penyusunan Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta:
Bina Aksara, 1987), h. 39
15
3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian
Data adalah segala keterangan (informasi) mengenai segala hal yang
berkaitan dengan tujuan penelitian13
. Dan menurut derajat sumbernya, data
terbagi dua yaitu data primer dan data sekunder. Untuk mendapatkan data
primer, teknik pengumpulan data yang dapat digunakan adalah teknik
pengumpulan data analisis isi (content analysis). Untuk mendapatkan data
sekunder, teknik pengumpulan data yang dapat digunakan adalah teknik
pengumpulan data di basis data14
.
Data Primer:
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Hukum Perdata
Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
TAP MPR NO. III Tahun 2010 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan
13
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,
199)5, h. 130
14
Jogiyanto, Metode penelitian system informasi, (Yogyakarta: ANDI), h. 121.
16
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang
Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 012/KMA/SK/II/2007 tentang
Pembentukan Tim Penyempurnaan Buku I, Buku II, Buku III dan Buku IV
Tentang Pengawasan (Buku IV)
Buku II Pedoman Pelaksaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama 2013
Putusan PA Pacitan Nomor : 60/Pdt.P/2013/PA.Pct
Putusan PA Banjarnegara Nomor : 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba
Data Sekunder:
Hasil karya dari para akademisi hukum, makalah, seminar, majalah, kamus,
ensiklopedia, artikel hukum serta hasil penelitian yang telah dilaksanakan
sebelumnya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dan informasi yang diperlukan menggunakan
teknik library research. Riset kepustakaan mempunyai arti lebih dari sekedar
langkah awal untuk menyiapkan kerangka penelitian (research design) dan/
atau proposal guna memperoleh informasi penelitian sejenis dan memperdalam
kajian teoritis atau mempertajam metodologi, riset pustaka sekaligus
17
memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya.
Tegasnya riset pustaka membatasi kegiatannya hanya pada bahan-bahan koleksi
perpustakaan saja tanpa memerlukan riset lapangan15
.
5. Subjek dan Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah putusan PA Pacitan Nomor :
60/Pdt.P/2013/PA.Pct, PA Banjarnegara Nomor : 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba., dan
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama,
terkait dengan dispensasi perkawinan pemohon dibawah umur dan putusan
tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
6. Teknik Pengolahan
Setelah data terkumpul, lalu diolah dengan cara mengklasifikasi data
tersebut berdasarkan perincian permasalahan yang telah dirumuskan dalam
penelitian ini.
7. Metode Analisis
Data yang terkumpul di analisis secara deskriptif-kualitatif. Deskriptif
adalah penelitian yang bermaksud untuk menemukan informasi seluas-luasnya
tentang variabel yang bersangkutan16
. Sedangkan penelitian kualitatif,
berkenaan dengan data kualitatif, yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk-
bentuk simbolik seperti pernyataan-pernyataan tafsiran, tanggapan-tanggapan
15
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h.
2
16
Talizuduhu Ndraha, h. 39
18
lisan harfiah, tanggapan-tanggapan non verbal (tidak berupa ucapan lisan), dan
grafik-grafik. Data kualitatif ini diperoleh dengan mempergunakan analisis „tipe
ideal‟ dan analisa historik komparatif terhadap suatu masalah atau gejala17
.
Data-data tersebut dikelompokkan dan diseleksi menurut kualitas dan
keberadaannya, yang terdiri dari ketentuan:
Pertama, mengenai legalitas pemohon dalam proses pengajuan
dispensasi perkawinan di Peradilan Agama Banjarnegara dan Pacitan.
Kedua, landasan hukum dalam pertimbangan hukum yang di ambil oleh
hakim Peradilan Agama Banjarnegara dan Pacitan kemudian dihubungkan
dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh
jawaban atas permasalahan yang di ajukan.
Adapun teknik penulisan. Penulis merujuk kepada sistem penulisan
skripsi yang terdapat di dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012.
G. Review Studi Terdahulu
Tinjauan pustaka adalah kajian literatur yang relevan dengan pokok bahasan
penelitian yang akan dilakukan, atau bahkan memberikan inspirasi dan mendasari
dilakukannya penelitian.18
17
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, h. 119
18
Huzaemah T. Yanggo, (ed.), Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, (Jakarta: IIQ
Press, 2011), Cet. Ke-2, h. 13
19
Dari hasil penulusuran kajian tentang penulisan dispensasi perkawinan,
penulis menemukan beberapa karya, antara lain:
No
Penulis, Judul dan
Tahun Isi Skripsi Perbedaan
1. Skripsi, Arif Rahman
(Peradilan Agama 2011)
(106044101389)
Judul: Dispensasi
perkawinan dibawah umur
(Analiais penetapan
perkara nomor:
124/PDT.P/2010/PA.SRG.
di Pengadilan Agama
Serang
Permasalahan yang
diangkat dalam
penelitian ini yaitu
bertujuan untuk
mengetahui
bagaimana alasan
hakim PA Serang
sehingga dapat
menetapkan
dispensasi kawin bagi
calon pengantin
dibawah umur, dan
urgensi pencatatan
perkawinan.
Perbedaan dengan
penulis terdahulu adalah
penulis lebih
menekankan kepada
mekanisme pemohon
yang berwenang untuk
mengajukan dispensasi
perkawinan.
2. Skripsi, Nurmilah Sari
(Peradilan Agama 2011)
(207044100474)
Permasalah yang
diangkat dalam
penelitian ini adalah
Perbedaan dengan
penulis terdahulu adalah
penulis lebih
20
Judul: Dispensasi Nikah
dibawah umur (Studi
Kasus di Pengadilan
Agama Tangerang 2009-
2010).
mengenai prosedur
pengajuan dispensasi
perkawinan di
Pengadilan Agama
Tangerang dan
pertimbangan para
hakim dalam
memberikan
penetepan dispensasi
kawin.
mengedepankan pihak-
pihak yang menjadi legal
standing dalam
pengajuan dispensasi
kawin. Bukan mengenai
faktor pertimbangan para
hakim dalam penetapan
dispensasi kawin.
3. Artikel Academia.edu,
H. Ah. Azharuddin Lathif,
M.Ag, MH
Judul: Pelaksanaan
Undang Undang
Perkawinan:
Studi Tentang Perkawinan
Di bawah Umur dan
Perkawinan Tidak
Tercatat di Malang Jawa
Timur.
Permasalahan yang
diangkat dalam
penelitian ini adalah
deskripsi mengenai
fenomena dua
perkawinan, yaitu:
perkawinan dini dan
perkawinan sirri di
wilayah kabupaten
Malang, Jawa Timur.
Beliau memfokuskan
Perbedaan penulis
terdahulu adalah penulis
lebih membahas kepada
pelaksanaan proses
pengajuan dispensasi
perkawinan dibawah
umur, dan tidak
menggunakan analisis
SWOT.
21
pada pencarian data
tentang eksistensi,
faktor-faktor
penyebab, dampak
dan pemaknaan bagi
pasangan, respon
masyarakat, ulama
dan pemerintah serta
upaya-upaya yang
telah dilakukan dalam
menanggulaninya.
Dan pembahasan
hasil penelitian
melalui analisis
SWOT dari
persepektif teori tiga
elemen sistem hukum
(three elemen law
system).
4. Portal Berita,
Tribun News,
Permasalahan yang di
angkat dalam berita
Sedangkan penulis tidak
terlalu mendetail
22
Permohonan dispensasi
kawin dibawah umur kian
meningkat di Jogjakarta.
ini adalah: faktor-
faktor kenakalan
remaja yang
menyuburkan angka
perkawinan dibawah
umur di Jogjakarta.
terhadap faktor-faktor
yang menyuburkan angka
perkawinan dibawah
umur, melainkan hanya
garis besar saja.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan adalah penjelasan tentang bagian-bagian yang akan
ditulis di dalam penelitian secara sistematis. Secara garis besar skripsi ini terdiri dari
5 (lima) bab dengan beberapa sub bab. Agar mendapat arah dan gambaran yang jelas
mengenai hal yang tertulis, berikut ini sistematika penulisannya:
Bab Pertama, pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah ,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, pada bab ini membahas tentang pengertian perkawinan, hukum
perkawinan, syarat dan rukun perkawinan, tujuan perkawinan.
Bab Ketiga, mengenai pengertian dispensasi kawin, landasan hukum
dispensasi nikah, batas usia minimal kawin menurut hukum Islam dan hukum positif
dan faktor penyebab terjadinya perkawinan dibawah umur.
23
Bab Keempat, bab ini akan menjelaskan tentang dualisme legalitas pemohon
dalam dispensasi perkawinan, studi kasus dispensasi perkawinan pemohon di
Banjarnegara dan Pacitan, pertimbangan hukum hakim terhadap dispensasi
perkawinan pemohon dibawah umur dan analisis penulis.
Bab Kelima, kesimpulan dari seluruh pembahasan untuk kemudian penulis
memberikan saran-saran yang konstruktif.
24
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan menurut istilah fiqih diambil dari kata „nikah‟ atau „zawaj‟ yang
berasal dari bahasa Arab, dilihat secara makna etimologi (bahasa) berarti „berkumpul
dan mendidih‟, atau dengan ungkapan lain bermakna „aqad dan setubuh‟ yang secara
syara‟ berarti aqad pernikahan1. Al-Nikah mempunyai arti al-Wath‟I, al-Dhommu, al-
Tadakhul, al-Jam‟u atau ibarat „an al-wath wa al aqd yang berarti bersetubuh,
hubungan badan, berkumpul, jima‟ dan akad2.
Secara terminologi perkawinan (nikah) yaitu akad yang membolehkan
terjadinya istimta‟ (persetubuhan) dengan seorang wanita, selama seorang wanita
tersebut bukan dengan seorang wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan
atau seperti sebab susuan3.
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah. Sunnah Allah SWT yang
menentukan bahwa setiap makhluk-Nya yang ada dibumi ini hidup berpasang-
pasangan.
1 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar Mazhab, (PT.
Prima Heza Lestari, 2006), h. 1
2 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Duni Islam Modern, h. 4
3 Ibid
25
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-Dzariyat: 49:
زوجي لعلكم تذكرون ومن كل شيء خلقنا
Artinya:“ Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah”. Dalam memaknai hakekat nikah ada ulama yang menyatakan bahwa
pengertian hakiki dari nikah adalah bersenggama (wath‟i), sedangkan pengertian
nikah sebagai akad merupakan pengertian yang majazy. Sementara Imam Syafi‟i
berpendapat bahwa pengertian hakiki dari nikah adalah akad, sedangkan pengertian
nikah dalam arti bersenggama (wath‟i) merupakan pengertian yang bersifat majazy4.
Menurut ulama Hanafiah, “Nikah adalah akad yang memberikan faedah
(mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi
seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan
biologis”. Sedangkan menurut mazhab Maliki. Nikah adalah sebuah ungkapan
(sebutan) atau title bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih
kenikmatan (seksual) semata-mata”. Oleh mazhab Syafi‟i, nikah dirumuskan dengan
“Akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan menggunakan redaksi
(lafal) “inkah atau tazwij; atau turunan (makna) dari keduanya.” Sedangkan ulama
Hanabilah mendefinisikan nikah tangan “Akad (yang dilakukan dengan
menggunakan) kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan (bersenang).”5
4 Asrorun Niam Soleh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: elSAS,
2008), h. 3
5 Mardani, h. 4
26
Menurut Sajuti Thalib dalam Hukum Kekeluargaan Indonesia, perkawinan
harus dilihat dari tiga segi pandangan6:
1. Perkawinan dilihat dari segi hukum.
Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian,
oleh al-Qur‟an Surat an-Nisa ayat 21:
وكيف تأخذونه وقد أفضى ب عضكم إل ب عض وأخذن منكم ميثاقا غليظا
Artinya:“Dan bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal
kalian telah bergaul satu sama lain dan mereka telah mengambil janji yang
kuat dari kalian?”.
Dinyatakan “………perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat,
disebut dengan kata-kata “mitsaqan ghalizhan”.
Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu
merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:
a. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah di atur terlebih dahulu yaitu
dengan aqad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.
b. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah di atur
sebelumnya, yaitu dengan prosedur talaq, kemudian fasakh, syiqaq dan
sebagainya.
6 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-
Press), 1986), Cet-5, h. 47
27
2. Perkawinan dilihat dari segi sosial
Dalam masyarakat setiap bangsa, diitemui penilaian yang umum bahwa
orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang
lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.
3. Perkawinan dipandang dari segi agama. Dalam agama, perkawinan di anggap
sebagai suatu lembaga yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi
pasangan suami isteri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan
mempergunakan nama Allah sebagai diingatkan oleh al-Qur‟an surat an-Nisa
ayat 1;
يا أي ها الناس ات قوا ربكم الذي خلقكم من ن فس واحدة و خلق منها زوجها و بث هما رجاال كثريا و نساء و ات قوا الله الذي تسائ لون به و الرحام إن الله كان من
عليكم رقيبا Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan- mu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki- laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan) mempergunakan (nama- Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan) peliharalah (hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.”
Rumusan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 1
ayat 2 berbunyi : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
28
Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara
Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dengan ini, tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan
saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani7.
Demikianlah Allah SWT mengokohkan bangunan keluarga dan masyarakat
dengan pondasi yang kuat sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur‟an surat an-
Nur ayat 32:
منكم و الصالي من عبادكم و إمائكم إن يكونوا ف قراء ي غنهم اهلل من و أنكحوا اليامى فضله و اهلل واسع عليم
Artinya: “Dan kawinlah laki-laki dan perempuan yang janda di
antara kamu, dan budak-budak laki-laki dan perempuan yang patut buat
berkawin. Walaupun mereka miskin, namun Allah akan memampukan
dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu adalah Maha Luas
pemberianNya, lagi Maha Mengetahui (akan nasib dan kehendak
hambaNya).”
Kompilasi Hukum Islam memberikan definisi lain yang tidak mengurangi
arti-arti definisi Undang-Undang tersebut di atas, namun bersifat menambah
penjelasan, dengan rumusan Pasal 2 sebagai berikut : “Perkawinan yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.”
7 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 43
29
Kata miitsaqan ghalizan ini ditarik dari firman Allah SWT8. Yang terdapat
pada surat an-Nisa ayat 21 yang artinya:
ا غليظا وكيف تأخذونه وقد أفضى ب عضكم إل ب عض وأخذن منكم ميثاق Artinya: “Dan bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal
kalian telah bergaul satu sama lain dan mereka telah mengambil janji yang kuat
dari kalian?”.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pengertian tentang
perkawinan, pada pasal 26 yang menyebutkan bahwa undang-undang memandang
soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
Artinya, bahwa suatu perkawinan yang ditegaskan dalam pasal diatas hanya
memandang hubungan perdata saja, yaitu hubungan pribadi antara seorang pria dan
seorang wanita yang mengikatkan diri dalam suatu ikatan perkawinan.
B. Hukum Perkawinan
Dalam perspektif fiqh, nikah disyariatkan dalam Islam berdasarkan al-Qur‟an,
sunah dan ijma‟. Dan dari segi ijma‟. Para ulama sepakat mengatakan nikah itu di
syariatkan9. Hukum asal suatu pernikahan adalah mubah, namun bisa berubah
menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram.
1. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang mampu untuk
menikah dan kuatir akan melakukan perbuatan zina. Alasannya, dia wajib
menjaga dirinya agar terhindar dari perbuatan haram.
8 Ibid
9 Amir Nurudin, h. 5
30
2. Haram hukumnya bgi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa
mudarat kepada isterinya karena ketidakmampuan dalam member nafkah lahir
dan batin.
3. Sunnah hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang apabila tidak
menikah, sanggup menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan haram dan,
apabila ia menikah, ia yakin tidak akan menzalimi dan membawa mudarat
kepada isterinya.
4. Makruh hukumnya apabila seorang secara jasmani cukup umur walau belum
terlalu mendesak. Tetapi belum mempunyai penghasilan tetap sehingga bila ia
kawin akan membawa kesengsaraan hidup bagi anak dan istrinya10
.
C. Tujuan Perkawinan
Di antara tujuan dan hikmah perkawinan adalah agar tercipta suatu keluarga
atau rumah tangga yang harmonis, penuh kedamaian, saling terjalin rasa kasih sayang
antara suami-isteri. Untuk membangun rumah tangga ideal tersebut, harus melalui
ikatan perkawinan yang sah sesuai dengan ketentuan-ketentuan ajaran Islam11
. Hanya
dengan cara demikian, konsekuensi adanya hak dan kewajiban serta rasa tanggung-
jawab antara pasangan suami-isteri dapat muncul dalam membina dan membangun
keluarga yang sejahtera dan bahagia, sebagaimana dalam surat ar-Rum ayat 21:
10
Mardani, h. 12
11
Hasanudin AF, Perkawinan dalam perspektif al-Qur‟an: nikah, talak, cerai, ruju, (Jakarta:
Nusantara Damai Press), h. 12
31
ه ا وجع ل ب ي نكم من آياته أن خلق و م ودة ورم إن لكم من أن فسكم أزواج ا لس كنوا إلي ذلك آليات لقوم ي فكرون
Artinya : “Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-
Nya di antaramu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21].
Dan melalui ikatan perkawinan tersebut diharapkan lahirnya generasi penerus
yang berkualitas dan dapat melangsungkan keturunan umat manusia sebagai khalifah
dimuka bumi ini. dalam surat an-Nahl ayat 72:
ك م م ن أن فس كم أزواج ا وجع ل لك م م ن أزواجك م بن ي وحف دة ورزقك م م ن والل ه جع ل ل الطيبات أفبالباطل ي ؤمنون وبنعم الله هم يكفرون
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu, dan
memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada
yang bathil dan mengingkari nikmat Allah. “
Secara rinci tujuan perkawinan yaitu sebagai berikut12
:
1. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat
kemanusiaan.
2. Membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Memperoleh keturunan yang sah.
4. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal,
memperbesar rasa tanggungjawab.
12
Mardani, h. 11
32
5. Membentuk rmah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah (Keluarga yang
tenteram, penuh cinta kasih dan kasih sayang).
6. Ikatan perkawinan sebagai mitsaqan ghalizan sekaligus mentaati perintah Allah
SWT bertujuan untuk membentuk dan membina tercapainya ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dalam kehidupan rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan syarat Hukum Islam.
D. Syarat dan Rukun Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpama rukun dan
syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah apabila keduanya
tidak ada atau tidak lengkap.
Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahasa, bahwa rukun
ituadalah sesuatu yang berada didalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur
yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan
tidak merupakan unsurnya13
.
Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku
untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti
tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.
13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 59
33
Di dalam memahami jumlah rukun nikah, ada perbedaan pendapat di antara
para ulama. Syarat dan rukun nikah dalam sebuah hukum fiqh merupakan hasil ijtihad
ulama yang diformulasikan dari dalil-dalil (nash) serta kondisi objektif masyarakat
setempat. Menurut jumhur ulama, rukun nikah itu ada 4, yaitu: 1) shighah (ijab dan
qabul), (2) calon isteri, (3) calon suami dan (4) wali. Berbeda dengan Hanafiyah,
yang mengatakan bahwa rukun nikah itu hanya ada dua yaitu ijab dan qabul, tidak
ada yang lain. Al-Jaziri mengatakan bahwa, sebenarnya menurut Malikiyah rukun
nikah itu ada lima yaitu (1) wali, (2) mahar (harus ada tetapi tidak harus disebutkan
pada akad), (3) suami, (4) isteri (suami dan isteri ini di syaratkan bebas dari halangan
menikah seperti masih dalam masa iddah atau sedang ihram) dan (5) sighah.
Sedangkan Syafi‟iyah juga mengatakan rukun nikah ada lima namun sedikit berbeda
dengan Malikiyah, yaitu (1) suami, (2) isteri, (3) wali, (4) dua saksi dan (5) sighah.
Ulama sepakat mengatakan bahwa ijab dan qabul adalah rukun nikah. Pada
hakikatnya rukun nikah yang hakiki adalah kerelaan hati kedua belah pihak (laki-laki
dan wanita). Karena kerelaan tidak dapat diketahui dan tersembunyi dalam hati, maka
hal itu harus dinyatakan melalui ijab dan qabul.ijab dan qabul adalah merupakan
pernyataan yang menyatukan keinginan kedua belah pihak untuk mengikatkan diri
masing-masing dalam suatu perkawinan14
. Sementara, selain pada dua hal tersebut,
mereka berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan, rukun nikah selain ijab dan
14
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, ( Jakarta: SIRAJA, 2003), h.
55
34
qabul adalah suami, istri, wali dan dua saksi. Adapaun menurut Malikiyah, selain ijab
dan qabul yang termasuk rukun nikah adalah suami, isteri, wali dan mahar.
Sementara yang dipakai oleh penduduk Indonesia yang mayoritas bermadzhab
Syafi‟i adalah yang lima, yakni: (1) suami, (2) isteri, (3) wali, (4) dua saksi dan (5)
sighah15
.
Dipandang dari segi hukum, perkawinan adalah suatu perbuatan hukum.
Setiap perbuatan hukum yang sah akan menimbulkan akibat hukum, berupa hak dan
kewajiban baik bagi suami istri itu sendiri maupun bagi orang ketiga. Menurut
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya itu16
. Ini berarti untuk
menentukan sah tidaknya perkawinan seseorang, ditentukan oleh ketentuan hukum
agama yang dipeluknya. Bagi seorang Islam, misalnya, sah tidaknya perikahan yang
dilakukan tergantung pada dipenuhi tidaknya semua rukun nikah menurut hukum
(agama) Islam.
Adapun kalau kita perhatikan bahwasanya Undang-Undang Perkawinan sama
sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. Undang-Undang Perkawinan hanya
membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih
15
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 125
16
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada,2002), h. 28
35
banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan17
. Di dalam Bab II
pasal 6 ditemukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum 21 (dua puluh satu)
tahun harus mendapat izin kedua orang.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mammpu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat
(2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
17
Amir Syarifudin, h. 61
36
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
KHI secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat
dalam Pasal 14;
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
1. Calon Suami;
2. Calon Isteri;
3. Wali nikah;
4. Dua orang saksi dan;
5. Ijab dan Kabul.
Yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh Syafi‟i dengan tidak
memasukkan mahar dalam rukun.
Syarat- syarat Perkawinan dalam Hukum Perdata, terdiri dari18
:
1. Syarat Materil
Syarat Materil adalah syarat yang dihubungkan dengan keadaan pribadi
orang yang hendak melangsungkan perkawinan, yaitu :
a. Kedua belah pihak masing-masing harus tidak dalam keadaan kawin sehingga
tidak terjadi bigami (pasal 27 KUH.Perdata).
18
R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: PT
Pradnya Pramita, 2002), Cet. Ke-32, h. 8
37
b. Persetujuan sukarela antara kedua belah pihak (pasal 28 KUH.Perdata).
Memenuhi ketentuan umur minimum yakni pria 18 tahun dan wanita 15 tahun
(pasal 29 KUH.Perdata).
c. Bagi wanita yang putus perkawinan harus telah melewati 300 hari sejak putus
perkawinan sebelumnya(pasal 34 KUH.Perdata). Izin atau persetujuan pihak
ketiga bagi :
1) Orang yang belum dewasa (minderjaring) dari orang tua atau
walinya (pasal 35 – 37 KUH.Perdata).
2) Orang yang berada dibawah pengampuan (curandus) (pasal 38 dan
151 KUH.Perdata).
3) Perkawinan tidak dilakukan dengan orang-orang yang dilarang oleh
undang-undang yaitu:
a) Larangan perkawinan antara orang-orang yang ada hubungan
darah atau keluarga.
b) Antara keluarga dalam satu garis lurus keatas dan kebawah
dan antara keluarga dalam garis lurus kesamping,misalnya
saudara laki-laki dengan saudara perempuan baik sah maupun
tidaksah (pasal 30 KUH.Perdata)
c) Antara ipar laki-laki dengan ipar peremuan,antara paman dan
bibi dengan kemenakan (paal 31 KUH.perdata).
d) Larangan perkawinan antara mereka yang karena putusan
hakim terbukti melakukan overspel (pasal 32 KUH.Perata)
38
e) Larangan kawin karena perkawinan yang dahulu atau
sebelumnya,selama belum lewat waktu satu tahun (pasal 33
KUH.Perdata).
Syarat Materil dalam poin a,b,c,d dan e disebut syarat Material
Mutlak,yaitu syarat yang apabila tidak dipenuhi maka orang tidak berwenang
melakukan perkawinan atau perkawinan tidak dapat terjadi atau batal demi
hukum.
2. Syarat Formil
Syarat Formil adalah syarat yang dihubungkan dengan cara-cara atau
formalitas–formalitas melangsungkan perkawinan, yaitu :
a. Pemberitahuan oleh kedua belah pihak kepada Kantor Catatan Sipil (pasal
50 KUH.Perdata).
b. Pengumuman kawin(huwelijks afkondiging) dikantor Catatan Sipil (pasal
28 KUH.Perdata).
c. Dalam hal kedua belah pihak calon suami istri tidak bersiam di daerah
yang sama maka pengumuman dilakukan di Kantor Catatan Sipil tempat
pihak-pihak calon suami istri tersebut masing-masing (pasal 53
KUH.Perdata).
d. Perkawinan dilangsungkan setelah sepuluh hari pengumuman kawin
tersebut (pasal 75 KUH.Perdata)
e. Jika pengumuman kawin (Huwelijks afkondiging) telah lewat satu tahun,
sedang perkawinan belum juga dilangsungkan, maka perkawinan itu
39
menjadi kadaluarasa dan tidak boleh dilangsungkan kecuali setelah
diadakan pemberitahuan dan pengumuman baru (pasal 57 KUH.Perdata).
40
BAB III
DISPENSASI PERKAWINAN
A. Pengertian Dispensasi Perkawinan
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dispensasi berarti pengecualian dari
peraturan umum untuk suatu keadaan khusus, pembebasan dari suatu kewajiban atau
larangan. Dalam hal dispensasi dibenarkan apa-apa yang biasanya dilarang oleh
pembuat undang-undang1. Dan menurut C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil,
dispensasi adalah suatu penetapan yang bersifat deklaratoir, yang menyatakan bahwa
suatu ketentuan undang-undang memang tidak berlaku bagi kasus sebagai di ajukan
oleh seorang pemohon2.
Yang dimaksud dengan dispensasi kawin adalah dispensasi dari Pengadilan
Agama untuk melangsungkan perkawinan bagi calon mempelai baik pria maupun
wanita yang belum mencapai umur minimal yang disyaratkan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan3.
B. Landasan Hukum Dispensasi Nikah
Adapun ketentuan landasan hukum dispensasi nikah bagi calon mempelai
yang belum mencapai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita, Undang-
Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang dispensai perkawinan
1 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet ke-2, h. 209
2 C.S.T Kansil, dan Christine S.T Kansil, Kamus Istilah Aneka Ilmu, (Jakarta: PT. Surya Multi
Grafika, 2001), Cet. Ke-2, h. 52
3 Taufiq Hamami, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,
(Jakarta: Tatanusa, 2013), h. 181
41
dalam Pasal 7; (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan. (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau
kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku
juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak
mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6)4.
Begitu pula Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang dispensasi perkawinan
dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) yaitu; Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah
tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai
umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni
calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-
kurangnya berumur 16 tahun.5 Kemudian ayat 2 juga menyatakan bahwa bagi calon
mempelai yang belum mencapai 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang di
atur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebelum adanya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menggariskan batas umur
perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 29 menyatakan bahwa laki-
4 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang perdata Islam dan peraturan
pelaksanaan lainnya di Negara hukum Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 331
5 Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Perdailan Agama,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 10
42
laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang
belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak dapat mengadakan perkawinan.
Sedangan batas kedewasaan seseorang berdasarkan KUHPerdata pasal 330
adalah umur 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah kawin. Namun,
berdasarkan Ketentuan Penutup Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 66 bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan berdasarkan Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya
Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dinyatakan tidak berlaku.
C. Batas Usia Minimal Kawin Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif
1. Ketentuan Batas Usia Minimum untuk Menikah dalam Hukum Islam
Islam dalam hal ini al-Qur‟an dan Hadis tidak menentukan batas minimal
umur untuk kawin6. Para ulama mazhab pda umumnya dahulu membolehkan seorang
bapak sebagai „wali mujbir‟ mengawinkan anaknya lelaki/wanita yang gadis dan
masih dibawah umur tanpa harus meminta persetujuan anaknya terlebih dahulu,
dengan alasan bahwa Nabi Muhammad mengawini Aisyah r.a pada waktu usia 7 dan
mulai berumah tangga pada usia 9. Peristiwa ini yang terjadi lebih kurang 14 abad
yang lalu dan tidak ada keterangan yang otentik dari Nabi bahwa perkawinannya
dengan Aisyah itu termasuk tindakan yang khusus untuk Nabi, maka fakta/kejadian
6 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam jilid 3: Muamalah, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1993), Cet.
Ke-2, h. 32
43
tersebut lalu dijadikan dalil oleh para Ulama mazhab tentang boleh dan sahnya
perkawinan anak-anak.
Rasulullah pun menganjurkan umatnya terutama bagi para pemuda untuk
segera kawin apabila segala sesuatunya sudah memungkinkan. Dan berpuasa menjadi
solusi bagi para pemuda yang belum mampu untuk kawin. Sebagaimana dalam
sabdanya:
اهلل عنه قال : قال لنا رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم : ))يا ضىعن عبداهلل بن مسعود ر باب, من استطاع منكم الباءة ف ليت زوج, فإنه أغض للبصر, وأحصن للفرج, و من معشر الش
وم, فإنه له وجاء((ل .7يستطع ف عليه بالصArtinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah mampu mengongkosi
perkawinan di antara kalian, maka segeralah kawin! Karena dengan kawin itu akan
menjaga kehormatan dan pandangan mata. Barangsiapa yang belum mampu
(kawin), hendaklah ia berpuasa, karena dengan puasa dapat menekan hawa nafsu.”
Apabila kita perhatikan hadis Nabi di atas, maka kita tidak menemui
pernyataan Nabi tentang batasan umur, tetapi yang ditekankan adalah masalah ongkos
kawin (membiayai rumah tangga), dan kesiapannya termasuk fisik maupun
mentalnya8.
Nasroen Harun menyatakan dalam bukunya, bahwasanya seorang manusia
belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak
hukum. Dan kemampuan untuk memahami taklif tersebut hanya bisa dicapai melalui
akal manusia, akan tetapi, karena akal adalah sesuatu yang abstrak dan sulit di ukur,
7 Ibnu Hajar Al-Asqolani, Bulughul Maram Jam’I Adillatil Ahkam, (Kairo: Darul Hadis,
2003), h. 168
8 Musifin, h. 29
44
serta berbeda antara seseorang dengan yang lainnya, maka syara‟ menentukan
patokan dasar sebagai indikasi yang konkrit (jelas) dalam menentukan seseorang
telah berakal atau belum. Indikasi itu adalah balighnya seseorang. Penentu seseorang
telah baligh itu ditandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan
keluarnya mani bagi pria melalui mimpi yang pertama kali9. Sesuai dengan firman
Allah dalam surat al-Nur, 59:
الله لكم وإذا ب لغ األطفال منكم اللم ف ليستأذنوا كما استأذن الذين من ق بلهم كذلك ي ب ي آياته والله عليم حكيم
Artinya: "Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka
hendaklah mereka meminta ijin, seperti orang-orang yang sebelum mereka (yang
sudah balig), meminta ijin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan
Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana."
Didalam Ushul Fiqh, seseorang dikatakan cakap bertindak hukum atau ahli
untuk menduduki/menangani suatu jabatan/posisi/urusan disebut dengan ahliyyah10
.
Ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan
akhlaknya, maka ia di anggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti
transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain, atau transaksi yang
bersifat menerima hak dari orang lain, dan telah cakap menerima tanggung jawab,
seperti nikah, nafkah dan menjadi saksi.
Dalam kitab-kitab hukum keluarga lama, disebutkan bahwa pria dapat
melangsungkan perkawinannya kalau telah mimpi dan wanita juga telah menstruasi.
9 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,( Jakarta: Logos, 1996), Cet Ke-1, h. 306
10
Nasrun Haroen, h. 308
45
Mimpi dan menstruasi adalah tanda bahwa baik pria maupun wanita telah dewasa
atau akil baligh. Bila mimpi dan menstruasi datang tergantung pada kondisi (alam)
dan situasi di suatu tempat dan masyarakat tertentu. Pada umumnya pada usia 13 atau
14 tahun. Kini keluarga dalam masyarakat kontemporer menentukan batas umur
untuk dapat melangsungkan perkawinan, disandarkan pada kondisi Negara masing-
masing11
.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat para
ahli, sebagai berikut :
Saat paling ideal dalam menikah adalah saat dimana kedewasaan biologis
telah merekah bersamaan dengan kedewasaan psikologis, dimana kedewasaan
biologis di ukur dengan „baligh‟ dan kedewasaan psikologis di ukur dengan tanggung
jawabnya, mereka yang sudah memenuhi ukuran itu, sesungguhnya sudah wajib
menikah12
.
Terdapat perbedaan besar dalam soal umur dikalangan kelompok masyarakat
yang berbeda-beda pula. Para tamatan perguruan tinggi dan orang-orang yang terjun
dalam dunia professional biasanya kawin lebih kasip dibandingkan dengan golongan
lainnya dalam masyarakat. Akan tetapi kini banyak mahasiswa perguruan tinggi
11
Moh. Daud Ali, h. 96
12
Ashad, h. 76
46
kawin sebelum mereka meraih gelar sarjana13
. Tidak ada satu usia pun yang dapat
kita tetapkan sebagai patokan yang cocok bagi semua orang untuk dipertimbangkan.
Muncul tanggapan dari seorang psikolog yang cenderung mendukung
pelaksanaan perkawinan dibawah umur. Ia mengatakan bahwa faktor kesiapan mental
untuk menikah bukan ditentukan dengan usia. Lagi pula pernikahan bukan
penghambat dan penghalang untuk mencapai prestasi dalam pendidikan. Bahkan
dengan menikah di usia bawah umur akan mempercepat proses aktualisasi diri
seseorang14
.
2. Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Positif
Pada umumnya Negara-negara di dunia ini mempunyai Undang-undang
Perkawinan yang menetapkan batas umur minimal untuk kawin bagi warga
negaranya. Indonesia dengan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 7
(1) menetapkan bahwa : “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun”.
Pasal 7 (1) ini erat sekali hubungannya dengan Pasal 6 (2) yang menerangkan
bahwa : “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai usia 21
harus mendapat izin kedua orang tua”.
Dan sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang dispensasi
perkawinan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2); “Untuk kemaslahatan keluarga dan
13
Penerjemah Wimanjaya K. Liotohe, R.T Sirait, Before You Marry-Question to ask and
answer, Di Ambang Pernikahan, (Jakarta: Penerbit Mitra Utama, 1993), h. 65
14
Syahrul Anam, dkk, Kado Untuk Sang Tunangan ‘Risalah Nikah Untuk Remaja’, (Bata-
bata: M2KD PP. Mambaul Ulum, 2010), h. 136
47
rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah
mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun
1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri
sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.”
Sebelum pemberlakuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, KUH Perdata telah memberikan gambaran tentang batasan usia minimal
perkawinan, ditegaskan “Seorang jejaka yang belum mencapai umur genap delapan
belas tahun, sepertipun seorang gadis yang belum mencapai umur genap lima belas
tahun, tak diperbolehkan mengikat dirinya dalam perkawinan. Sementara itu, dalam
hal adanya alasan-alasan yang penting, Presiden berkuasa meniadakan larangan ini
dengan memberikan dispensasi.” (pasal 29 BW)15
.
Di Indonesia praktek manipulasi umur untuk dapat menyegerakan perkawinan
dibawah umur masih banyak terjadi, baik dilakukan oleh petugas kelurahan maupun
oleh pihak keluarga pengantin16
.
Meskipun telah ditentukan batas umur minimal, undang-undang perkawinan
tetap memperbolehkan penyimpangan terhadap syarat umum tersebut, melalui pasal 7
ayat (2) yang berbunyi; “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat
15
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional Cetakan Pertama, (Jakarta: PT.Rineka Cipta,
1991), h. 7
16 Masyfuk Zuhdi, h. 31
48
meminta dispensasi kepada Pengadilan dan Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita.17
”
D. Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Dibawah Umur
Di negara kita masih banyak terjadi perkawinan di bawah umur18
. Semua itu
terjadi karena pengaruh lingkungan atau karena didikan orang tua sejak kecil yang
ditanamkan kepada anak-anak mereka hingga mendekati masa dewasa.
Dari banyak kasus perkawinan dibawah umur yang terjadi umumnya disebabkan
karena:
1. Faktor Pendidikan.
Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika
seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan
bekerja. Saat ini anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu
untuk menghidupi diri sendiri.
Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur.
Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-
hal yang tidak produktif. Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan
jenis, yang jika diluar kontrol membuat kehamilan di luar nikah.
Disini, terasa betul makna dari wajib belajar 9 tahun. Jika asumsi kita anak
masuk sekolah pada usia 6 tahun, maka saat wajib belajar 9 tahun terlewati, anak
17
Muh, Amin Suma, h. 524
18
Penerjemah Musifin As‟ad, Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya, judul asli Al-
Ziwaaj wa al-Muhuur Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Najhul Shalih, Kholid bin Ali
bin Muhammad Al-Anbari, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), h. 28
49
tersebut sudah berusia 15 tahun. Di harapkan dengan wajib belajar 9 tahun (atau jika
di kemudian hari bertambah menjadi 12 tahun), maka akan punya dampak yang
cukup signifikan dalam menekan laju pertumbuhan angka pernikahan dini.
2. Faktor Pemahaman Agama.
Sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin
hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang
tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak
tersebut.
3. Faktor telah melakukan hubungan biologis.
Diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan
biologis layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan
cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini,
bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib.
4. Hamil sebelum menikah
Jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka orang tua
cenderung menikahkan anak-anak tersebut. Walau pada dasarnya orang tua anak
gadis ini tidak setuju dengan calon menantunya, tapi karena kondisi kehamilan si
gadis, maka dengan terpaksa orang tua menikahkan anak gadis tersebut.
Ada anak gadis pada dasarnya tidak mencintai calon suaminya, tapi karena
terlanjur hamil, maka dengan sangat terpaksa mengajukan permohonan dispensasi
kawin.
50
Ini semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik bagi anak gadis,
orang tua bahkan hakim yang menyidangkan. Karena dengan kondisi seperti ini,
jelas-jelas perkawinan yang akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana perkawinan
sebagaimana yang diamanatkan UU bahkan agama. Karena sudah terbayang di
hadapan mata, kelak rona perkawinan anak gadis ini kelak. Perkawinan yang
dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja kemungkinan di kemudian hari bias
goyah,apalagi jika perkawinan tersebut didasarkan keterpaksaan.
Universitas Dipenegoro bekerja sama dengan Kantor Dinas Kesehatan Jawa
Tengah melaksanakan penelitian perilaku siswa SMA pada tahun 1995, hasilnya,
sekitar 60.000 siswa SMA se Jawa Tengah (dari 600.000 orang yang dilibatkan dalam
survey atau sekitar 10%-nya) pernah mempraktikkan sex intercourse pranikah.
Majalah Gatra, pada tahun 1999 melaporkan hasil surveinya bahwa 7,7% responden
menganggap „kumpul kebo‟ sebagai hal yang wajar sebelum menikah19
.
19
Nurul Huda Haem, Awas Ilegal Wedding dari penghulu liar hingga perselingkuhan,
(Jakarta: PT Mizan Publika, 2007), h. 47
50
BAB IV
DUALISME LEGALITAS PEMOHON DALAM DISPENSASI
PERKAWINAN
A. Studi Kasus Dispensasi Perkawinan Pemohon di Banjarnegara dan Pacitan
Skripsi ini membahas tentang legal standing pemohon dalam mengajukan
permohonan dispensasi perkawinan dimana penulis menganalisa terhadap putusan
hakim pada tahun 2012 dan 2013 pada kasus dispensasi perkawinan yang dalam
kesemuanya permohonan dispensasi perkawinannya di ajukan oleh pemohon (calon
pengantin sendiri) dibawah umur, berlawanan dengan ketentuan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, dimana legalitas pemohon dispensasi perkawinan hanya
kepada orang tua/wali/ keluarga dengan arah garis lurus ke atas. Oleh karena itu
penulis akan menganalisa putusan-putusan hakim Pangadilan Agama Banjarnegara
tahun 2012 dan Pengadilan Agama Pacitan tahun 2013, di antaranya yaitu putusan
berikut :
1. Putusan Nomor : 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba
2. Putusan Nomor : 60/Pdt.P/2013/PA.Pct
Pertama, dalam Putusan Nomor : 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba telah di ungkapkan
bahwasanya pemohon yang berusia 17 tahun 7 bulan, beragama Islam, yang
bertempat tinggal di Kecamatan Banjarnegara, Kabupaten Banjarnegara.
Adapun duduknya perkara didalam putusan ini, bahwa pemohon telah
meminang ke orang tua gadis tersebut pada 06 September 2012 yang lalu, dan
51
pemohon ingin melangsungkan pernikahan dan numpang nikah di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Kejobong, Kabupaten Purbalingga.
Sedangkan secara hukum syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan
tersebut baik menurut ketentuan hukum Islam maupun peraturan perundang-
undangan yang berlaku telah terpenuhi1, kecuali syarat usia bagi Pemohon belum
mencapai 19 tahun, dan karenanya maka maksud tersebut ditolak oleh Kantor Urusan
Agama Kecamatan Kejobong, Kabupaten Purbalingga.
Antara pemohon dan calon istrinya tersebut tidak ada larangan untuk
melakukan pernikahan2, orang tua calon istrinya setuju dan telah mengetahui tentang
usia Pemohon/calon suami sekarang ini dan menyadari serta akan ikut membimbing
rumah tangga dengan penuh pengertian.
Pemohon mengajukan sendiri permohonan dispensasi perkawinannya kepada
ketua Pengadilan Agama Banjarnegara, dikarenakan ayah kandung dan ibu kandung
pemohon sudah bercerai dan masing-masing sudah menikah lagi, pemohon dibawah
pengampuan kakeknya yang sudah lanjut usia. Harusnya, orang-orang (anak-anak)
dibawah pengampuan yang tidak mungkin bertindak sendiri, maka pengurusnya
menjadi pihak formal yang mendapat kuasa terlebih dahulu oleh yang bersangkutan
untuk dapat mengajukan gugatan ke pengadilan3. Pemohon juga telah berpenghasilan
1 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan , h. 61
2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 8
3 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka Fiqh Qadha, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012), Cet. Ke-1, h. 5
52
dan mandiri, bekerja sebagai buruh tetap untuk mencukupi kebutuhan hidup berumah
tangga.
Pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam petitumnya, pemohon memohon kepada
ketua Pengadilan Agama Banjarnegara segera memeriksa dan mengadili perkara ini,
dan setelah itu ketua Pengadilan Agama menjatuhkan yang amarnya berbunyi sebagai
berikut:
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon;
2. Menetapkan, memberikan dispensasi kawin kepada Pemohon bernama CALON
MEMPELAI LAKI-LAKI untuk menikah dengan CALON MEMPELAI
PEREMPUAN;
3. Membebankan biaya perkara ini menurut hukum;
4. Atau menjatuhkan penetapan lain yang seadil-adilnya;
Ketika hari persidangan yang ditetapkan untuk Pemohon datang sendiri
menghadap ke persidangan, majelis hakim telah berusaha menasehati Pemohon agar
mengurungkan niatnya untuk menikah dibawah umur, tetapi tidak berhasil, karena
pemohon sudah sangat berkeinginan untuk menikah dengan CALON MEMPELAI
PEREMPUAN dan telah siap secara mental, begitupula dengan CALON
MEMPELAI PEREMPUAN yang juga berkeinginan untuk menikah dan telah siap
secara rohani maupun jasmani untuk berkeluarga.
53
Untuk memperkuat dalil-dalil permohonannya, pemohon telah mengajukan
surat-surat bukti tertulis, berupa: Foto copy Akta Kelahiran calon mempelai laki-laki,
Nomor 2331/TP/1998 tanggal 27 Agustus 1998 (bukti P-1).
Selain bukti tertulis, pemohon juga telah mengajukan dua orang saksi di
persidangan, keduanya adalah tetangga pemohon., dibawah sumpah saksi tersebut
telah menerangkan sebagai berikut:
Bahwa saksi I adalah tetangga pemohon, menjelaskan antara calon mempelai
laki-laki dengan calon mempelai perempuan tidak ada larangan menurut agama untu
melangsungkan pernikahan. Dan secara fisik dan mental keduanya sudah mampu
untuk melangsungkan pernikahan.
Bahwa saksi II adalah tetangga pemohon, menjelaskan antara calon mempelai
laki-laki dengan calon mempelai perempuan tidak ada hubungan keluarga atau
sesusuan. Antara calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai perempuan tidak
ada larangan menurut agama untuk melangsungkan pernikahan. Secara fisik dan
mental keduanya sudah mampu untuk melangsungkan pernikahan.
Setelah para saksi dihadirkan, kemudian pemohon menyatakan telah cukup
memberikan keterangan dan alat bukti, selanjutnya pemohon berkesimpulan tetap
dengan permohonannya dan memohon Majelis Hakim segera menjatuhkan
penetapannya.
Kedua, dalam Putusan Nomor : 60/Pdt.P/2013/PA.Pct telah di ungkapkan
bahwa Pemohon berusia 14 tahun, beragama Islam, bertempat tinggal di Kabupaten
Pacitan,telah mengajukn Dispensasi Kawin untuk dirinya.
54
Adapun duduknya perkara didalam putusan ini, bahwa pernikahan yang
sangat mendesak dilakukan karena Pemohon dan calon suaminya telah berhubungan
erat/pacaran sejak 1 tahun yang lalu dan hubungan mereka telah demikian eratnya,
bahkan calon suami Pemohon sudah sering menginap dan sudah berhubungan
layaknya suami istri.
Secara hukum syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan tersebut baik
menurut ketentuan hukum Islam maupun perundang-undangan yang berlaku telah
terpenuhi kecuali syarat usia bagi Pemohon belum mencapai umur 19 tahun, dan
karenanya maka maksud tersebut ditolak oleh Kantor Urusan Agama Kabupaten
Pacitan.
Antara Pemohon dengan calon suaminya tersebut tidak ada larangan untuk
melakukan pernikahan dan Pemohon berstatus perawan dan telah aqil baligh serta
siap untuk menjadi istri atau ibu rumah tangga.
Pemohon mengajukan sendiri dispensasi perkawinannya karena orang tua
kandung Pemohon yang bernama AYAH KANDUNG dan IBU KANDUNG telah
pergi tidak diketahui alamatnya dengan jelas dan pasti di wilayah manapun,
sedangkan Pemohon sejak umur 3 tahun ikut nenek Pemohon yang bernama NENEK,
dan NENEK dengan umurnya yang sudah sangat tua tidak mampu untuk datang
sendiri ke Pengadilan Agama Pacitan.
Pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam petitumnya, pemohon memohon kepada
ketua Pengadilan Agama Pacitan segera memeriksa dan menagadili perkara ini, dan
55
setelah itu ketua Pengadilan Agama Pacitan menjatuhkan amarnya yang berbunyi
sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon.
2. Memberikan dispensasi kepada Pemohon yang bernama : PEMOHON untuk
kawin dengan seorang laki-laki bernama CALON LAKI-LAKI.
3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Ketika pada hari persidangan yang ditetapkan, Pemohon telah datang
menghadap di persidangan, majelis Hakim telah memberikan nasihat kepada
Pemohon agar mempertimbangkan kembali permohonannya namun Pemohon tetap
pada pendiriannya. Dan antara Pemohon dengan calon suaminya tidak terdapat
hubungan nasab, semenda, maupun hubungan lain yang dapat menghalangi
pernikahan.
Untuk memperkuat dalil-dalil permohonannya, pemohon telah mengajukan
surat-surat bukti tertulis, berupa: Foto copy Akta Kelahiran a.n Pemohon yang
dikeluarkan oleh kepala Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pacitan
(bukti P-1) dan Surat Penolakan dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
Nawangan, Kabupaten Pacitan, Nomor Kk.13.01.09/PW.00/77/2013 tanggal 7 Mei
2013 (P-1), Surat Asli Kependudukan
Selain bukti tertulis, pemohon juga telah mengajukan dua orang saksi di
persidangan, dibawah sumpah saksi tersebut telah menerangkan sebagai berikut:
56
Bahwa saksi I berumur 60 tahun, agama Islam, petani, bertempat tinggal di
Kabupaten Pacitan. Menjelaskan saksi mengnal dengan pemohon karena sebagai
ayah calon suami pemohon, sksi mengetahui pemohon mengajukan dispensasi untuk
menikah dengan calon suaminya bernama calon laki-laki, saksi mengetahui pemohon
ingin menikah ditolak oleh pihak KUA, saksi mengetahui alasan keinginan pemohon
ditolak oleh pihak KUA, saksi mengetahui alasan KUA menolak keinginan pemohon
adalah pemohon sebagai calon istri belum cukup umur, saksi mengetahui bahwasanya
pemohon dilamar oleh calon suaminya dan lamaran tersebuttelah diterima, saksi
mengetahui pemohon telah berhubungan sedemikian erat dan sulit untuk dipisahkan
lagi, saksi mengetahui pemohon sudah sering tinggal satu rumah dirumah nenek
pemohon dan saksi mengetahui bahwa pemohon tidak dalam pinangan orang lain dan
antara pemohon dengan calon suaminya tidak ada hubungan nasab ataupun hubungan
sesusuan yang menjadi halangan untuk menikah.
Bahwa saksi II umur 26 tahun, agama Islam, Petani, bertempat tinggal di
Kabupaten Pacitan, menjelaskan saksi mengenal pemohonkarena sebagai paman
pemohon, saksi mengetahui pemohon mengajukan dispensasi perkawinan dngan
calon suaminya bernama calon laki-laki, saksi mengetahui keinginan pemohon
menikah telah ditolak oleh KUA, saksi mengetahui alasan KUA menolak keinginan
pemohon, adalah pemohon sebagai calonistri belum cukup umur, saksi mengetahui
pemohon dilamar oleh calon suaminya dan diterima, saksi mengetahui calon suami
pemohon telahsering menginap dirumah nenek pemohon, dan pemohon dengan calon
57
suaminya telah melakukan hubungan layaknya suami istri dan saksi mengetahui
bahwa calon suaminya berstatus perjaka.
Setelah para saksi dihadirkan, kemudian pemohon menyatakan telah cukup
memberikan keterangan dan alat bukti, selanjutnya pemohon berkesimpulan tetap
dengan permohonannya dan memohon Majelis Hakim segera menjatuhkan
penetapannya.
B. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Dispensasi Perkawinan Pemohon
Dibawah Umur
Dalam putusan Pengadilan Agama Banjarnegara tahun 2012 dan Pengadilan
Agama Pacitan tahun 2013, tentang kasus dispensasi kawin yang permohonannya di
ajukan sendiri oleh calon pengantinnya, hakim Pengadilan Agama tersebut telah
memberikan pertimbangan hukum untuk memberikan izin menikah kepada Pemohon
yang masih dibawah usia ketentuan undang-undang nomor 1 tahun 1974. Penulis
akan menguraikan pertimbangan-pertimbangan hakim terhadap permohonan
dispensasi kawin yag telah tercantum dalam putusan hakim Pengadilan Agama
Banjarnegara tahun 2012 dan Pengadilan Agama Pacitan 2013.
Pertama, Pengadilan Agama Banjarnegara yang memeriksa dan mengadili
perkara perdata tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan dalam perkara
permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan oleh pemohon: yang berusia 17
tahun 7 bulan, beragama Islam, yang bertempat tinggal di Kecamatan Banjarnegara,
Kabupaten Banjarnegara. Bahwa pemohon telah mengajukan permohonannya
tertanggal 19 September 2012 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
58
Agama Banjarnegara dengan register Nomor: 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba, tertanggal 19
September 2012.
Dalam positanya pemohon mengajukan hal-hal sebagai berikut: bahwa
pemohon hendak menikah dengan calonistri pemohon bernama calon istri, tanggal
lahir 6 Mei 1994, agama Islam, tempat tinggal di Kabupaten Purbalingga, yang akan
dilaksanakan dan akan dicatatkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama Kecamatan Banjarnegara.
Sebenarnya syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan tersebut baik
menurut ketentuan Hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang
berlaku telah terpenuhi kecuali syarat usia bagi pemohon belum mencapai umur, dan
karenanya maka maksud tersebut ditolak oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan
Banjarnegara.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari penjelasan saksi bahwa
pernikahan tersebut sangat mendesak, sehingga dikhawatirkan akan terjadi perbuatan
yang dilarang oleh ketentuan hukum Islam apabila tidak segera dinikahkan.
Begitupun dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah ikatan
pernikahan, saksi menjelaskan pula bahwa antara pemohon yang bernama calon
suami dan calon istri pemohon yang bernama calon istri berstatus perawan (tidak
terikat dalam suatu pernikahan) dan telah akil balig serta sudah siap untuk menjadi
isteri atau ibu rumah tangga begitu juga dengan kesiapan daripada pemohonan
dispensasi nikah ini, pemohon telah sanggup membayar seluruh biaya yang timbul
akibat perkara ini.
59
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam petitumnya, pemohon memohon
kepada Ketua Pengadilan Agama Banjarnegara, Majlis Hakim berkenan untuk segera
memeriksa dan mengadili dalam persidangan untuk selanjutnya menjatuhkan
penetapan.
Selanjutnya Hakim Pengadilan Agama memberikan pertimbangan hukum
kepada Pemohon dispensasi kawin yang belum cukup umur. Dalam pertimbangan
putusan ini hakim mendasarkan kepada kesiapan antara kedua belah pihak untuk
melangsungkan pernikahan. Ditambah Pemohon telah meminta pendapat ke Kantor
Urusan Agama (KUA) dan pihak KUA menganjurkan untuk meminta dispensasi
nikah ke Pengadilan Agama Banjarnegara.
Dengan telah ditemukan fakta dipersidangan yang pada pokoknya sebagai
berikut:
1. Pemohon meskipun baru berumur 17 tahun 7 bulan, namun secara jasmani dan
rohani cukup dewasa untuk melangsungkan Pernikahan.
2. Kedua calon mempelai telah menyatakan saling mencintai dan siap
melangsungkan pernikahan.
3. Orang tua calon mempelai berkeinginan menikahkan calon mempelai dan siap
membimbing secara rohani dan jasmani.
4. Antara calon mempelai tidak ada halangan menurut hukum untuk
melangsungkan pernikahan.
Oleh karena itu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka
permohonan Pemohon cukup beralasan hukum sehingga berdasarkan Pasal 7 ayat (2)
60
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 majelis hakim memberikan dispensasi kepada
pemohon untuk menikah dengan kekasihnya.
Penetapan ini dijatuhkan oleh Majlis Hakim Pengadilan Agama Banjarnegara
pada hari kamis tanggal 27 September 2012 M, bertepatan dengan tanggal 11 Dzul
Qo‟dah 1433 H, oleh Drs. Khotibul Umam sebagai Ketua, didampingi oleh Drs.
Ahmadi MH dan Drs. H. Muh Amir, SH, masing-masing sebagai Anggota dibantu
Ayani, S.Ag sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri pemohon.
Kedua, Pengadilan Agama Pacitan yang memeriksa dan mengadili perkara
perdata tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan dalam perkara permohonan
dispensasi perkawinan yang diajukan oleh pemohon: yang berusia 14 tahun,
beragama Islam, bertempat tinggal di Kabupaten Pacitan. Bahwa pemohon telah
mengajukan permohonannya tertanggal 7 Mei 2013 yang telah didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Pacitan dengan register Nomor:
60/Pdt.P/2013/PA.Pct., tertanggal 7 Mei 2013.
Dalam positanya pemohon mengajukan hal-hal sebagai berikut: bahwa
pemohon hendak menikah dengan calon suami pemohon bernama calon suami, 23
tahun, agama Islam, tempat tinggal di Kabupaten Pacitan, yang akan dilaksanakan
dan akan dicatatkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kabupaten Pacitan.
Sebenarnya syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan tersebut baik
menurut ketentuan Hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang
berlaku telah terpenuhi kecuali syarat usia bagi pemohon belum mencapai umur, dan
61
karenanya maka maksud tersebut ditolak oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan
Pacitan.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari penjelasan saksi bahwa
pernikahan tersebut sangat mendesak, karena calon istri dan calon suami sudah
berhubungan badan layaknya suami istri
Begitupun dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah ikatan
pernikahan, saksi menjelaskan pula bahwa antara pemohon yang bernama calon istri
dan calon suami pemohon yang bernama calon suami berstatus perjaka (tidak terikat
dalam suatu pernikahan) dan telah akil balig serta sudah siap untuk menjadi isteri atau
ibu rumah tangga begitu juga dengan kesiapan daripada pemohonan dispensasi nikah
ini, pemohon telah sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam petitumnya, pemohon memohon
kepada Ketua Pengadilan Agama Pacitan, Majlis Hakim berkenan untuk segera
memeriksa dan mengadili dalam persidangan untuk selanjutnya menjatuhkan
penetapan.
Selanjutnya Hakim Pengadilan Agama memberikan pertimbangan hukum
kepada Pemohon dispensasi kawin yang belum cukup umur. Hakim Pengadilan
Agama Pacitan memberikan pertimbangan berdasarkan kaidah Fiqhiyah yang
berbunyi:
62
4ح ال ص م ال ب ل ج ن ل و أ د اس ف م ال ء ر د
Artinya : “Menolak segala yang merusak lebih di utamakan dari pada
menarik segala yang bermaslahat”.
Kaidah ini merupakn kaidah kunci karena pembentukan kaidah fikih adalah
upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya, ia mendapatkan
maslahat5. Hakim Pengadilan Agama Pacitan memberikan pertimbangan demikian
karena beralasan Pemohon yang mengajukan sendiri dispensasi perkawinannya telah
menjalin hubungan yang sangat intim dan sulit dipisahkan lagi. Sedangkan usia
Pemohon belum mencapai batas usia yang dibolehkan untuk menikah sesuai
ketentuan yang berlaku. Karenanya Pemohon mohon ditetapkan.
Oleh karenanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas,
majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan Pemohon terbukti beralasan sesuai
ketentuan pasal 7 ayat 2 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan Pasal 15 ayat 2
Kompilasi Hukum Islam. Karenanya permohonan Pemohon patut dikabulkan.
Penetapan ini dijatuhkan oleh Majlis Hakim Pengadilan Agama Pacitan pada
hari kamis tanggal 23 Mei 2013 M, bertepatan dengan tanggal 12 Rajab 1434 H, oleh
Dra. Nur Habibah sebagai Ketua, didampingi oleh Mukhtar, S.Ag. dan Suharno,
S.Ag, masing-masing sebagai Anggota, dan pada hari itu juga di ucapkan dalam
4 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002), Cet. Ke-1, h. 104
5 Ibid
63
siding terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua Majlis tersebut, dibantu Moch. Muti,
SH. sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri pemohon.
C. Analisis Penulis
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam al-Qur‟an secara
konkrit tidak menjelaskan tentang usia perkawinan. Para ahli fiqh umumnya
berpendapat usia baligh adalah yang ditandai dengan kemampuan untuk menunaikan
tugas-tugas biologis seseorang, baik suami atau istri.
Pada dasarnya putusan pengadilan itu merupakan representatif dari rasa
keadilan yang didapat oleh para pihak. Oleh karena itu untuk memberikan
kemanfaatan yang sebesar-besarnya kepada para pencari keadilan, hakim dalam
memutuskan perkaranya harus benar-benar memegang teguh pada prinsip keadilan
sesuai dengan dasar dan pertimbangan hukum yang ada. Hukum adalah tidak sebatas
pada hukum positif yang dikodifikasikan saja, tetapi meliputi nilai kesadaran yang
hidup dari nilai-nilai sosial, budaya, ekonomi, agama dan sopan santun, dengan dasar
itu warna dan rasa keadilan dapat terwujud6.
1. Analisa Pertimbangan Hakim dalam Dispensasi Perkawinan
Seorang yang hendak mengajukan perkara permohonan dispensasi kawin,
seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 7 ayat (2) dengan bunyi:
6 Muhlas, Yurisprudensi antara teori dan implementasinya, (Ponorogo: STAIN Po PRESS,
2010), h. 102
64
“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal itu dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau kepada pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.
Sebagaimana tercantum dalam pasal tersebut, pemohon tidak dibatasi alasan
dalam hal pengajuan dispensasi pernikahan tersebut, maka pemohon mempunyai hak
dan kebebasan untuk mencantumkan alasan-alasan apapun dalam surat permohonan
dispensasi pernikahannya kepada Pengadilan Agama, karena undang-undang tidak
menjelaskan atau menentukan alasan-alasan dalam pengajuan perkara permohonan
dispensasi.
Sebelum Ketua Majelis menetapkan penetapan, Ketua Majlis mempunyai
pertimbangan. Apakah permohonan tersebut dapat dikabulkan atau tidak:
a. Pemohon
Majlis Hakim didalam persidangan akan meneliti apakah orang yang
mengajukan perkara permohonan dispensasi tersebut berhak mengajukan atau
tidak.
Pasal 7 Ayat (1,2, dan 3) yang berbunyi:
1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16
(enam belas) tahun.
2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh
kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
65
Pada kedua kasus yang sedang diteliti, jelas dinyatakan bahwa pemohon
adalah calon pengantinnya sendiri (dibawah umur). Sebagaimana Undang-
undang Perkawinan mengatur hanya orang tua, wali atau keluarga dengan garis
lurus ke atas, yang berhak mengajukan dispensasi perkawinan.
b. Alasan
Majelis Hakim meneliti alasan pemohon disurat permohonannya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7, pemohon
tidak dibatasi alasan dalam hal pengajuan dispensasi pernikahan tersebut, maka
pemohon mempunyai hak dan kebebasan untuk mencantumkan alasan-alasan
apapun dalam surat permohonan dispensasi pernikahannya kepada Pengadilan
Agama, karena undang-undang tidak menjelaskan atau menentukan alasan-
alasan dalam pengajuan perkara permohonan dispensasi.
c. Adanya larangan kawin atau tidak
Sebagaimana di atur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pada pasal 8 yang menyebutkan:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun
keatas;
2) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya;
66
3) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan
ibu/bapak tiri;
4) berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan;
5) berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang;
6) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin.
KHI juga melarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan
seorang wanita yang disebabkan karena pasal 39 sampai dengan pasal 44. Adapun
bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
LARANGAN KAWIN
Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita disebabkan :
1) Karena pertalian nasab :
a) dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya
atau keturunannya;
b) dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c) dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
2) Karena pertalian kerabat semenda :
67
a) dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas
isterinya;
b) dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c) dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali
putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al
dukhul;
d) dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
3) Karena pertalian sesusuan:
a) dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus
ke atas;
b) dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus
ke bawah;
c) dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan
ke bawah;
d) dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke
atas;
e) dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang
wanita karena keadaan tertentu:
1) karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan
pria lain;
68
2) seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
3) seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 41
1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang
mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a) saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b) wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya
telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita
apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-
empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i
ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang
yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.
Pasal 43
1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a) dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b) dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi
telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da
dukhul dan telah habis masa iddahnya.
69
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam.
d. Kemaslahatan dan Kemudharatan
Apabila dua insan yang saling mencintai, terlebih telah melakukan
hubungan badan layaknya suami istri, maka harus segera dinikahkan. Karena
dikhawatirkan akan terjadi perkawinan dibawah tangan, dimana perkawinannya
tidak tercatat dan akan mengakibatkan hilangnya hak-hak anak yang akan
dilahirkan nanti.
e. Fakta dan Bukti
Para pihak memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang akan
memeriksa perkara yang bersangkutan guna member kepastian hukum tentang
kebenaran suatu peristiwa atau fakta yang telah di ajukan.
Adapun bukti-bukti yang disyaratkan menurut peraturan undang-undang
adalah sebagai berikut:
1) Bukti Surat
a) Fhoto copy Surat Kelahiran atas nama pemohon yang dikeluarkan
oleh Kepala Desa/Kelurahan
b) Surat Pemberitahuan Penolakan melangsungkan pernikahan yang
dikeluarkan oleh KUA
2) Bukti Saksi
70
Bukti saksi yang dihadirkan oleh hakim dalam persidangan adalah
dua orang.
2. Analisa Penetapan Hakim dalam Dispensasi Perkawinan
Tugas utama hakim salah satunya adalah melakukan rechtsvinding artinya
menyelaraskan undang-undang pada tuntutan zaman/ aanpassen van de wet de eisen
van de tijd7. Caranya dengan; melakukan penafsiran undang-undang
(wetsinterpretatie), melakukan analogi (abstraksi) dan membuat pengkhususan dari
suatu azas yang terdapat dalam undang-undang yang mempunyai arti luas
(Determinatie).
Setiap penerapan hukum atau keputusan hukum yang dibuat oleh hakim
hendaklah sejalan dengan tujuan hukum yang hendak dicapai oleh syari‟at.
Berkaitan dengan permohonan dispensasi perkawinan seperti yang telah di
uraikan dalam duduknya perkara dan dasar hukum putusan pengadilan di atas.
Putusan pertama, perkara Nomor: 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba, permohonan dikabulkan
dengan pertimbangan hakim hanya didasarkan kepada kesiapan kedua belah pihak
untuk melangsungkan pernikahan. Jika dilihat dari sudut kesediaan, memang ini
dapat dibenarkan untuk dikabulkannya permohonan tersebut.
Antara mempelai wanita dan pria tidak terjadi kehamilan diluar nikah, namun
hakim mendasarkan persetujuan hanya kepada tidak ada ketentuan mengenai larangan
perkawinan (syar‟i) yang dilanggar, mempelai pria siap menjadi kepala rumah tangga
7 Mulhas, h. 125
71
karena sudah berpenghasilan tetap sebagai buruh, dan kedua orang tua dari masing-
masing mempelai telah sutuju akan rencana perkawinan tersebut.
Putusan kedua, perkara Nomor: 60/Pdt.P/2013/PA.Pct, permohonan dikabulkan
dengan pertimbangan hakim yang didasarkan pada kaidah Fiqhiyah yang berbunyi:
8ح ال ص م ال ب ل ج ن ل و أ د اس ف م ال ء ر د
Artinya: “Menolak segala yang merusak lebih di utamakan dari pada menarik
segala yang bermaslahat”.
Jika melihat dasar hukum hakim dan melihat fakta persidangan putusan
tersebut dapat dibenarkan juga. Karena hakim melihat kemaslahatan jika para pihak
dikabulkan permohonannya, yaitu untuk memberikan izin menikah supaya dalam
melakukan hubungan badan menjadi halal dengan adanya ikatan perkawinan dan para
pihak ingin menikah yang sah menurut agama dan negara dan menghindari hal-hal
yang tidak di inginkan atau dilarang oleh agama. Mengingat berdasarkan pengakuan
para saksi, para pihak sudah melakukan hubungan badan layaknya suami-istri.
Perkara dispensasi nikah sangat memerlukan ijtihad hakim dalam putusannya,
karena didalam UU tidak ada aturan yang memberikan landasan hukum kriteria apa
yang dapat dikabulkannya dispensasi nikah.
3. Legal Standing Pemohon Dispensasi Perkawinan
Penulis menemukan sedikitnya dua ketentuan yang mengatur tentang siapa
pihak yang berwenang untuk mengajukan perkara dispensasi kawin:
8 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, h. 104
72
a. Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Ketentuan tersebut
termaktub dalam Pasal 7 Ayat (1,2, dan3) yang berbunyi:
1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas)
tahun.
2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi
kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua
pihak pria atau pihak wanita.
3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang
tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undangundang ini, berlaku juga
dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak
mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Adapun bunyi Pasal 6 Ayat (3) dan (4) sebagaimana dimaksud Ayat (3) pasal di
atas adalah sebagai berikut:
1) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
2) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
73
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan
dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
Artinya, menurut undang-undang perkawinan:
Dispensasi kawin hanya dapat diajukan oleh kedua orang tua calon pengantin.
Atau, dalam kondisi tertentu, juga dapat diajukan oleh wali, dan atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. Namun, yang perlu
ditegaskan adalah, undang-undang tersebut tidak memberikan celah bagi calon
pengantin (dibawah umur) untuk mengajukan dispensasi kawin sendiri9.
b. Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama 2013, pada halaman 138, disebutkan:
Calon suami istri yang belum mencapaiusia 19 tahun dan 16 tahun yang ingin
melangsungkan perkawinan, orang tua yang bersangkutan harus mengajukan
permohonan dispensasi kawin kepada pengadilan agama/mahkamah syar‟iyah.
1) Permohonan dispensasi kawin di ajukan oleh calon mempelai pria yang
belum berusia 19 tahun, calon mempelai wanita yang belum berusia 16
tahun dan/orang tua calon mempelai tersebut kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar‟iyah dalam wilayah hukum dimana calon
mempelai dan/orang tua calon mempelai tersebut bertempat tinggal.
9 Ahmad, Z. Anam, Mempertanyakan Legal Standing Calon Pengantin (Studi Perkara
Dispensasi Kawin), diakses pada tanggal 20 Desember 2014, pukul 10:45 WIB dari Badilag.net
74
2) Permohonan dispensasi kawin yang di ajukan oleh calon mempelai pria
dan/atau calon mempelai wanita dapat dilakukan bersama-sama kepada
Pengadilan Agama/Mahamah Syar‟iyah dalam wilayah hukum dimana
calon mempelai pria dan wanita tersebut bertempat tinggal.
3) Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah dapat memberikan dispensasi
kawin setelah mendengar keterangan dari orang tua, keluarga dekat atau
walinya.
4) Permohona dispensasi kawin bersifat voluntair produknya berbentuk
penetapan. Jika pemohon tidak puas dengan penetapan tersebut, maka
pemohon dapat mengajukan upaya kasasi.
Apabila kita perhatkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa: calon mempelai
pria maupun wanita (dibawah umur) dapat dibenarkan secara sendiri atau bersama
dengan orang tuanya untuk mengajukan perkara dispensasi kawin.
4. Analisa Kedudukan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama dalam Tata Hukum Nasional
a. Hukum yang berlaku di Peradilan Agama
Hukum yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Agama dipilah kepada
dua macam hukum, yakni hukum materiil dan hukum formil10
. Hukum materiil
adalah norma atau aturan yang menjadi pedoman bagi warga masyrakat tentang
bagaimana orang sebagai anggota masyarakat selayaknya berbuat atau tidak
berbuat didalam kehidupan masyarakat dan bagaimana akibatnya bagi anggota
10
Taufuq Hamami, h. 206
75
masyarakat yang melanggarnya, sedangkan hukum formil adalah ketentua yang
mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan ke pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama, bagaimana caranya hakim-hakimnya memeriksa
dan memutus perkara yang ditanganinya, dan bagaimana pula cara
melaksanakan putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama.
Hukum materiil yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Peradilan Agama;
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 serta Peraturan
Menteri Agama Nomor 2 tahun 1989 tentang Wali Hakim.
2) Dan lebih diperinci oleh ketentuan yang termuat dalam Buku I
Kompilasi Hukum Islam, Berdasarkan Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun1991.
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentangHak Asasi Manusia.
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2001 tentang Perlindungan
Anak.
6) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-
76
Undang Nomor 41 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
7) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
8) Undang-Undang Nomor 19 Tahun2008 tentang Surat Berharga
Syari‟ah dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari‟ah.
9) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Buku III.
10) Kitab-kitab Fiqh Klasik.
Hukum acara (formil) yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama;
1) Het Heziene Indonesisch Reglemen yang berlaku untuk daerah
Jawa dan Madura.
2) Recht Reglemen Buitengjwesten (RBg) yang berlaku untuk daerah
luar Jawa dan Madura.
3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan
Ulangan Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
yang telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun2004,
dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009.
5) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi.
77
6) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2009 tentang Biaya
prosespenyelesaian perkara dan pengelolaannya pada Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya.
7) Keputusan Mahkamah Agung Nomor 044/KMA/SK/III/2009
tentang biaya perkara pada Mahkamah Agung Republik Indonesia
dan empat lingkungan peradilan dibawahnya.
8) Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW).
9) Wetboek Van Koophandel (WvK).
10) Yurisprudensi.
11) Doktrin atau Ilmu Pengetahuan.
12) Surat Edaran Mahkamah Agung RI
b. Tata Hukum Nasional
Masalah hirarki peraturan perundang-undangan menurut Ketetapan
MPRNo. III/MPR/2000 dirumuskan sebagai berikut11
:
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tentang
Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 1
1) Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan
peraturan perundang-undangan.
2) Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis.
11
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan 1,( Yogyakarta: Kanisius, 2011), Cet-5,
h. 86
78
3) Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang
Dasar 1945.
Pasal 2
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan merupakan pedoman dalam
pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan Republik Indonesia adalah :
1) Undang-Undang Dasar 1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3) Undang-undang;
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
5) Peraturan Pemerintah;
6) Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur;
7) Peraturan Daerah.
Pasal 3
1) Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara
Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam
penyelenggaraan negara.
79
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
merupakan putusan kebijakan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3) Undang-undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden
untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya serta
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibuat oleh Presiden
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai
berikut :
a) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang harus diajukan ke
Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
b) Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang dengan tidak mengadakan
perubahan.
c) Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang tersebut dengan sendirinya tidak berlaku
lagi.
5) Peraturan Pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan
perintah Undang-undang.
80
6) Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk
menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan
administrasi negara dan administrasi pemerintahan.
7) Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan
hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang
bersangkutan.
a) Peraturan daerah propinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Propinsi bersama dengan Gubernur.
b) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota.
c) Peraturan Daerah atau yang setingkat, dibuat oleh Lembaga
Perwakilan Desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara
pembuatan Peraturan Desa atau yang setingkat diatur oleh Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Pasal 4
1) Sesuai dengan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ini, maka
setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
aturan hukum yang lebih tinggi.
2) Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa
Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, Badan atau Komisi yang setingkat
yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan
81
ketentuan yang termuat dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan ini.
Pasal 5
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji Undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya, dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2) Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan
dibawah Undang-undang terhadap Undang-Undang.
3) Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa
melalui proses peradilan kasasi.
4) Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana
dimaksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat mengikat.
Pasal 6
Tata cara pembuatan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Daerah dan pengujian Peraturan Perundang-undangan oleh Mahkamah Agung
serta pengaturan ruang lingkup Keputusan Presiden diatur lebih lanjut dengan
Undang-undang.
Pasal 7
Dengan ditetapkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ini,
maka Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-
GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
82
Peraturan Perundang Republik Indonesia dan Ketetapan MPR Nomor
IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang Termaktub dalam pasal 3
ayat (1) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor V/MPR/1973 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 8
Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 7
1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d) Peraturan Pemerintah;
e) Peraturan Presiden;
f) Peraturan Daerah Provinsi; dan
g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
83
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dapat digambarkan bahwasanya, dalam hierarki urutan pembentukan
peraturan perundang-undangan Buku II tidak dikenal sebagai sumber hukum
sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 di atas terlihat adanya dominasi
undang-undang dalam tataran utama sebagai sumber hukum, harus ada pemilihan
antara sumber hukum dalam ranah tata hukum nasional dengan sumber hukum dalam
kajian ilmu hukum.
Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan: bahwa selain tujuh aturan
perundangan yang termaktub di atas, juga terdapat beberapa aturan lain yang berlaku
84
dan mengikat. Salah satunya adalah peraturan yang dikeluarkan Mahkamah Agung.
Wujudnya adalah Keputusan KMA. Dapat di artikan, Buku II merupakan salah satu
jenis aturan perundangan yang diakui dan berlaku.
Buku II mulai diberlakukan melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung
nomor: KMA/032/SK/IV/2006. Selanjutnya disempurnakan lagi dengan Keputusan
KMA nomor: 012/KMA/SK/II/2007. Yang menetapkan:
1. Memberlakukan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan.
2. Memerintahkan kepada semua pejabat structural dan fungsional beserta
aparat peradilan untuk melaksanakan Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan sebagaimana tersebut dalam Buku II secara
seragam, disiplin, tertib dan bertanggung-jawab.
3. Pimpinan Mahkamah Agung, Hakim Agung, semua pejabat structural dan
fungsional ditugaskan untuk mengawal pelaksanaan Buku II tersebut serta
melaporkan secara periodic kepada Ketua Mahkamah Agung.
4. Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam butir kedua tersebut di atas
berlaku sejak tanggal Keputusan ini ditetapkan.
Jika rumusan pasal 8 tersebut kita kaji berdasarkan fungsi dan kewenangan
dari lembaga Negara atau pejabat yang dirumuskan didalamnya, bahwa tidak semua
lembaga Negara dan pejabat tersebut mempunyai kewenangan untuk membentuk
peraturan yang bersifat umum, dan berlaku ke luar sebagai Peraturan Perundang-
undangan.
85
Mahkamah Agung dalam kewenangannya, pasal 24A Ayat (1) dirumuskan
bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,
dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, maka keputusan yang dibentuk
oleh Mahkamah Agung adalah keputusan dibidang peradilan, sehingga keputusan
tersebut bersifat suatu penetapan yang individual, konkret, dan sekali-selesai (final).
Dengan demikian Mahkamah Agung tidak mempunyai kewenangan dalam bidang
pembentukan peraturan perundang-undangan atau peraturan yang mengikat umum,
namun demikian Mahkamah Agung tetap berwenang membentuk peraturan yang
mengikat kedalam (interne regeling)12
.
c. Kekuatan Hukum Produk-produk Mahkamah Agung
Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang baru,
disebutkan dalam Pasal 11 ayat 4 ditegaskan bahwa Mahkamah Agung RI berhak
melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang berada dibawahnya
berdasar ketentuan undang-undang13
.
12
Maria F, h. 104
13
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Pustaka Kartini,
1997), h. 94
86
Telah diletakkan kebijakan bahwasanya segala urusan mengenai peradilan
baik yang menyangkut teknik yudisial maupun urusan organisasi, administrasi dan
finansial berada dibawah satu atap dibawah kekuasaan Mahkamah Agung14
.
Kedudukan MA sebelum amandemen adalah pemegang dan pelaksana
tunggal kekuasaaan yudisial Pasal 24 (1). Namun, stelah amandemen: Pemegang dan
pelaksana kekuasaan yudisial dilakukan bersama dengan Mahkamah Konstitusi Pasal
24 (2). Mahkamah Agung juga melakukan pengelolaan lembaga-lembaga peradilan:
umum, agama, militer dan Tata Usaha Negara Pasal 24 (2). Pengadilan pada tingkat
kasasi dan berhak melakukan Judicial review atas peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap UU15
. Kedudukan wewenang dan fungsi.
Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial Peradilan
Agama dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan ketentuan yang digariskan
Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama16
. Secara garis besar makna
pembinaan teknis peradilan meliputi masalah-masalah yang berhubungan dengan
pelaksanaan jalannya peradilan yang meliputi penerimaan perkara, pemeriksaan,
putusan dan pelaksanaan putusan. Pokoknya segala persoalan yang meliputi fungsi
dan kewenangan mengadili perkara adalah masalah yang berkenaan dengan teknis
peradilan. Hal-hal inilah yang termasuk pembinaan Mahkamah Agung, demi
14
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006),
h. 199.
15
Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 2012), h. 163
16
Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet-4, h. 3
87
terwujudnya pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang sesungguhnya, agar penegakan
hukum dan keadilan dapat terwujud dalam kehidupan masyarakat.
Pada umunya pembinaan teknis peradilan dilakukan Mahmakah Agung dalam
berbagai bentuk dan cara, yang paling umum melalui Surat Edaran atau Peraturan
Mahkamah Agung, dan lainnya berupa penyebaran himpunan yurisprudensi,
penataran, lokakarya dan rapat kerja teknis antar semua lingkungan peradilan yang
dilakukan sekali setahun.
Dalam rangka pengawasan dan pembinaan itulah Mahkamah Agung RI
berwenang memberikan petunjuk apabila di anggap perlu agar suatu masalah hukum
tidak menyimpang dari aturan yang telah ditentukan. Jadi, bukan mencampuri
kemandirian hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang di ajukan kepadanya17
.
Untuk melihat produk-produk hukum Mahkamah Agung, kita harus melihat
bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur dan memberi kewenangan
kepada MA. Pasal 24 A UUD 1945 mengatur Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan undang-undang.
17
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam,
Hukum Barat dan Hukum Adat) dalam rentang sejarah bersama pasang surut lembaga Peradilan
Agama hingga lahirnya Peradilan Syariat di Aceh,( Jakarta: Kencana, 2010), Cet-2, h. 164
88
Mari kita lihat Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Agung, UU No. 3
Tahun 2009. Ada beberapa kewenangan dan tugas yang diberikan Undang-Undang
kepada MA, antara lain18
:
1) Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden
dalam permohonan grasi dan rehabilitasi (Pasal 14 ayat 1 UUD joPasal 35
UUMA).
2) Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam
bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga tinggi negara
yang lain (Pasal 37 UUMA).
3) MA berwenang memberikan petunjuk di semua lingkungan peradilan
dalam rangka pelaksanaan ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman (Pasal
38 UUMA).
4) MA berwenang memberikan petunjuk, teguran, atau peringatan yang
dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Dalam literatur kewenangan dan tugas demikian disebut sebagai fungsi
pengaturan Mahkamah Agung. Ini juga sejalan dengan rumusan Pasal 79 UU
Mahkamah Agung, yang mengatur “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut
hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat
hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini”.
18
Hukum Online, di akses pada tanggal 12/23/2014, dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6102/kekuatan-hukum-produk-produk-hukum-ma-
(perma,-sema,-fatwa,-sk-kma)
89
Dalam konteks itulah kita seyogianya membaca produk hukum Mahkamah
Agung, sebagai berikut19
:
1) PERMA
Peraturan Mahkamah Agung atau PERMA pada dasarnya adalah
bentuk peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum acara.
2) SEMA
Surat Edaran Mahkamah Agung atau SEMA bentuk edaran
pimpinan MA ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam
penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi. Surat Edaran
Mahkamah Agung RI tidak mengikat hakim sebagaimana Undang-
Undang. Menurut Sudikno Mertokusumo yang dikutip oleh Basiq Djalil
dalam bukunya Peradilan Agama di Indonesia, Surat Edaran dan Instruksi
Mahkamah Agung RI I tu bukanlah hukum, tetapi sumber hukum, bukan
dalam arti tempat ditemukan hukum melainkan tempat hakim dapat
mengadili hukum.
3) Fatwa
Fatwa Mahkamah Agung berisi pendapat hukum MA yang
diberikan atas permintaan lembaga negara.
4) SK KMA
Surat Keputusan Ketua MA atau SK KMA adalah surat keputusan
(beschikking) yang dikeluarkan Ketua MA mengenai satu hal tertentu.
19
Ibid.
90
Selanjutnya, Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 menegaskan peraturan perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu perjenjangan
setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis peraturan lain yang
diterbitkan Mahkamah Agung harus tunduk pada prinsip hierarki.
Peraturan Mahkamah Agung sebagai peraturan yang bersifat khusus sehingga
tunduk pada prinsip lex specialis derogat legi generalis.
Itu artinya, pada semestinya hakim tidak mengabulkan permohonan
dispensasi perkawinan yang di ajukan oleh pemohon calon pengantin sendiri dibawah
umur. Peraturan berdasarkan hierarki (lex generalis/Undang-Undang dan Instruksi
Presiden/ Pasal 7 UU. No 12 Tahun 2011) jelas menyatakan:
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam pihak orang tua dari calon mempelai baik
pihak laki-laki maupun perempuan dapat mengajukan permohonan dispensasi kawin
kepada pengadilan atau pejabat lain yang ia tunjuk. Namun, jika kedua orang tua
telah meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendak, Pasal 6 Ayat (4) dan Pasal 7
Ayat (3) memberikan kelonggaran. Menurut pasal itu, perkara dispensasi kawin juga
91
dapat diajukan oleh wali yang memelihara, atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas.
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Lex
Specialis/Peraturan Mahmakah Agung/ Pasal 8 UU. No. 12 Tahun 2011) . Pada
halaman 138 dijelaskan, bahwa selain orang tua, calon pengantin pun juga
diperkenankan untuk mengajukan dispensasi kawinnya sendiri.
Oleh karena tugas utama hakim salah satunya adalah melakukan rechtsvinding
(melakukan penafsiran undang-undang (wetsinterpretatie), melakukan analogi
(abstraksi) dan membuat pengkhususan dari suatu azas yang terdapat dalam undang-
undang yang mempunyai arti luas (determinatie)) artinya menyelaraskan undang-
undang pada tuntutan zaman/ aanpassen van de wet de eisen van de tijd20
. Ukuran
yang dipakai undang-undang adalah jangan sampai produk hukum itu „mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara‟.
20
Mulhas, h. 125
92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan yang bersumber pada teori
ataupun yang bersumber dari data-data yang penulis kumpulkan, maka penulis
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam al-Qur’an tidak menentukan secara tegas mengenai batas usia minimal
perkawinan. Indikator utamanya adalah masa baligh yang ditandai dengan
kemampuan untuk menunaikan tugas-tugas biologis. Adapun dalam Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 7 ayat (2) yang berbunyi:
“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita”, yang selanjutnya disebut dengan
dispensasi perkawinan.
2. Pada semestinya hakim tidak mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan
yang di ajukan oleh pemohon calon pengantin sendiri dibawah umur. Peraturan
berdasarkan hierarki (lex generalis/ Undang-Undang dan Instruksi Presiden/
Pasal 7 UU. No 12 Tahun 2011) jelas menyatakan: Pasal 7 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 15 Kompilasi
Hukum Islam pihak orang tua dari calon mempelai baik pihak laki-laki maupun
perempuan dapat mengajukan permohonan dispensasi kawin kepada pengadilan
atau pejabat lain yang ia tunjuk. Namun, jika kedua orang tua telah meninggal
93
atau tidak dapat menyatakan kehendak, Pasal 6 Ayat (4) dan Pasal 7 Ayat (3)
memberikan kelonggaran. Menurut pasal itu, perkara dispensasi kawin juga
dapat diajukan oleh wali yang memelihara, atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas. Sedangkan Buku II
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Lex
Specialis/Peraturan Mahkamah Agung/ Pasal 8 UU. No. 12 Tahun 2011) . Pada
halaman 138 dijelaskan, bahwa selain orang tua, calon pengantin pun juga
diperkenankan untuk mengajukan dispensasi kawinnya sendiri.
3. Dengan memberikan penekanan, bahwa dalam praktik dilapangan, hakim
mempunyai kewenangan dengan memandang kepada kemaslahatan. Ketentuan
penetapan kewenangan pemohon dispensasi perkawinan dalam Undang-
Undang Perkawinan bersifat kaku. Artinya, tidak memberikan peluang bagi
calon pengantin untuk melakukannya sendiri. Namun kemungkinan terjadinya
penyimpangan, Buku II memberikan jalan keluar berupa dispensasi bagi calon
pengantin untuk mengajukan sendiri dispensasi perkawinannya kepada
pengadilan.
B. Saran-Saran
Saran-saran yang penulis coba paparkan dari kesimpulan atau bab-bab yang
penulis uraikan, dengan meningkatnya degradasi moral yang menyuburkan angka-
angka perkawinan dibawah umur, sudah semestinya kita turun tangan membantu
menahan laju peningkatan nikah dibawah umur. Beberapa saran atau alternatif, yakni:
94
1. Perlunya peningkatan sosialisasi aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan
perkawinan disemua kalangan masyarakat, sampai pada tingkat pedesaan.
2. Perlunya komunikasi terbuka antara masyarakat dengan KUA dan Pengadilan
Agama, mengenai peringatan dari lembaga perkawinan jika terjadi suatu
penyimpangan, agar tercapai ketertiban hukum.
3. Urgensi pencantuman alasan-alasan pengajuan dispenasasi perkawinan,
terutama dalam pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan, yang secara tidak langsung
mengizinkan perkawinan dibawah umur.
4. Penyuluhan hukum bagi orang tua dan masyarakat setempat, agar menjaga dan
memberi perhatian yang lebih terhadap anak mereka, terutama dalam pergaulan
nya baik dilingkungan rumah ataupun sekolah.
5. Pemanfaatan lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai penyambung dari
institusi terkait, untuk sebuah pembangunan pengembangan kesadaran hukum
untuk menikah di usia matang. Demi mencapai tujuan dari pada pernikahan
yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
95
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqolani, Ibnu Hajar. Bulughul Maram Jam’I Adillatil Ahkam. Kairo: Darul
Hadis, 2003.
Abbas, Ahmad Susirman. Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar
Mazhab. PT. Prima Heza Lestari, 2006.
AF, Hasanudin. Perkawinan Dalam Perspektif Al-Qur’an: Nikah, Talak, Cerai,
Ruju. Jakarta: Nusantara Damai Press.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan).
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Mahkamah Agung, Buku II tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, 2013.
Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika, Cet-4, 2009.
Amin, M. Rusli. Kunci Sukses Membangun Keluarga Idaman, Jakarta,: Al-Mawardi
Prima, Cet. Kedua, 2003.
Amirin, Tatang M. Menyusun Rencana Penelitian,. Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 1995.
Asikin, Zainal. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Pres, 2012.
Asrorun Niam Soleh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta:
elSAS, 2008.
C.S.T Kansil, dan Christine S.T Kansil, Kamus Istilah Aneka Ilmu. Jakarta: PT.
Surya Multi Grafika, Cet. Ke-2, 2001.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998, Cet ke-2.
Djalil, BasiqPeradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum
Islam, Hukum Barat dan Hukum Adat) dalam rentang sejarah bersama
pasang surut lembaga Peradilan Agama hingga lahirnya Peradilan Syariat di
Aceh. Jakarta: Kencana, 2010, Cet-2.
Farihah, Ipah. Buku Panduan Penelitian Uin Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2006.
96
Haem, Nurul Huda. Awas Ilegal Wedding Dari Penghulu Liar Hingga
Perselingkuhan. Jakarta: PT Mizan Publika,2007.
Hamami, Taufiq. Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia. Jakarta: Tatanusa, 2013.
Harahap, Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Pustaka
Kartini, 1997.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos, 1996, Cet-1.
Hasan, M. Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam. Jakarta: SIRAJA,
2003.
Hassan, A. Tarjamah Bulughul-Maram Ibnu Hajar Al-‘Asqolani. Bandung:
Diponegoro, 2006.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada)
2006.
Ibrahim, Johnny. Metedologi Penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori-Aplikasi.
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007.
Indrati S, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan 1. Yogyakarta: Kanisius, 2011,
Cet-5.
Jaya, Ashad Kusuma. Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama pesan-pesan
Rasulullah saw menuju pernikahan barokah. Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2001.
Jogiyanto, Metode penelitian system informasi, Yogyakarta: ANDI.
Latif, Sutan Marajo Nasaruddin . Problematika Seputar keluarga dan Rumah
Tangga, Bandung: Pustaka Hiddayah, 2001.
Manan,Abdul dan M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Perdailan
Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Mardani. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2011.
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002, Cet. Ke-1.
97
Muhlas, Yurisprudensi antara teori dan implementasinya. Ponorogo: STAIN Po
PRESS, 2010.
Nasaruddin Latif, Sutan Marajo. Problematika Seputar keluarga dan Rumah Tangga,
Bandung, Pustaka Hiddayah, 2001.
Ndraha, Talizuduhu. Disain Riset Dan Teknik Penyusunan Karya Tulis Ilmiah,
Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai
KHI. Jakarta: Kencana, 2004.
Penerjemah Wimanjaya K. Liotohe, R.T Sirait, Before You Marry-Question to ask
and answer, Di Ambang Pernikahan. Jakarta: Penerbit Mitra Utama, 1993.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Vorkik Van
Hoeve, 1959.
Sopyan, Yayan. Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional. Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Subekti, R dan Tjitrosoedibio, R. Kamus Hukum, Jakarta, PT. Pradnya Paramitha,
1996.
Subekti, R dan Tjitrosoedibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Jakarta:
PT Pradnya Pramita, 2002, Cet. Ke-32.
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional Cetakan Pertama, Jakarta: PT.Rineka.
Suma, Muhammad Amin. Himpunan Undang-Undang Perdata Islam Dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya Di Negara Hukum Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004.
Syahrul Anam, dkk, Kado Untuk Sang Tunangan ‘Risalah Nikah Untuk Remaja’,.
Bata-bata: M2KD PP. Mambaul Ulum, 2010.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Najhul Shalih, Kholid bin Ali bin
Muhammad Al-Anbari. Al-Ziwaaj wa al-Muhuur. Penerjemah Musifin As’ad
dan Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 1993.
98
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007.
Thalib, Sajuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia UI-Press, 1986, Cet-5.
Yanggo, Huzaemah T (ed.). Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi,
Jakarta: IIQ Press, Cet. Ke-2, 2011.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008.
Zuhdi, Masjfuk . Studi Islam jilid 3: Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada,1993,
Cet. Kedua.
Sumber dari Data:
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Hukum Perdata
Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
TAP MPR NO. III Tahun 2010 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
99
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang
Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 012/KMA/SK/II/2007 tentang
Pembentukan Tim Penyempurnaan Buku I, Buku II, Buku III dan Buku IV Tentang
Pengawasan (Buku IV)
Buku II Pedoman Pelaksaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama 2013
Putusan PA Pacitan Nomor : 60/Pdt.P/2013/PA.Pct
Putusan PA Banjarnegara Nomor : 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba
Sumber dari Internet:
Lathif, Ah. Azharuddin. Pelaksanaan Undang Undang Perkawinan:Studi Tentang
Perkawinan di akses pada 16 Oktober 2014, dari
http://www.academia.edu/6497233/PELAKSANAAN_UNDANG_UNDANG
_PERKAWINAN_Studi_Tentang_Perkawinan_Di_bawah_Umur_dan_Perka
winan_Tidak_Tercatat_di_Malang_Jawa_Timur.
Tafsir al-Qur’an al-Karim, di akses pada 16 Oktober 2014 dari
http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-nur-ayat-32-40.html
Tribun News, Permohonan dispensasi kawin dibawah umur kian meningkat di
Jogjakarta. Di akses pada 16 Oktober 2014, dari
http://www.tribunnews.com/regional/2013/04/08/permohonan-dispensasi-
kawin-di-bawah-umur-kian-meningkat-di-yogya.
Ahmad, Z. Anam, Mempertanyakan Legal Standing Calon Pengantin (Studi Perkara
Dispensasi Kawin), diakses pada tanggal 20 Desember 2014, pukul 10:45
WIB dari Badilag.net
Hukum Online, di akses pada tanggal 12/23/2014, dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6102/kekuatan-hukum-produk-
produk-hukum-ma-(perma,-sema,-fatwa,-sk-kma).
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P E N E T A P A N
Nomor : 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba.
BISMILLAHIRROHMANIRROHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Banjarnegara yang mengadili perkara-perkara tertentu pada
tingkat pertama dalam persidangan Majelis, menjatuhkan Penetapan sebagai berikut
dalam perkara Permohonan Dispensasi Nikah yang diajukan oleh;
PEMOHON, Umur 17 tahun 7 bulan (11 Pebruari 1995), Agama Islam, Pekerjaan Buruh,
Tempat tinggal di Kecamatan Banjarnegara, Kabupaten
Banjarnegara, selanjutnya disebut “PEMOHON”;
Pengadilan Agama tersebut;
Telah mempelajari berkas perkara;
Telah mendengar keterangan Pemohon dan keterangan lainnya;
TENTANG DUDUK PERKARANYA
Menimbang, bahwa Pemohon mengajukan Permohonannya tertanggal 19
September 2012 yang telah terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Banjarnegara
dengan register Nomor: 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba. dimuka persidangan mengemukakan hal-
hal sebagai berikut;
Pemohon mengajukan permohonan dispensasi kawin untuk menikah dengan alasan/dalil -
dalil sebagai berikut :
1. Bahwa Pemohon adalah anak dari pasangan suami isteri AYAH KANDUNG
DAN IBU KANDUNG yang sekarang sudah bercerai dan masing-masing sudah
Hal. 1 dari 8 Hal. Pen. No. 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
menikah lagi. Sesuai dengan Akta Kelahiran Nomor : 2331/TP/1998 yang
dikeluarkan tanggal 27 Agustus 1998 yang menerangkan bahwa :
Nama : CALON MEMPELAI LAKI-LAKI
Tanggal lahir : 11 Pebruari 1995
Anak dari Suami :
Dan istri :
2. Bahwa Pemohon telah menjalin cinta dengan gadis :
Nama : CALON MEMPELAI PEREMPUAN
Tanggal lahir : 06 Mei 1994
Agama : Islam
Pekerjaan : -
Tempat tinggal di : Kabupaten Purbalingga,
3. Bahwa Pemohon telah meminang ke orang tua gadis tersebut pada 06 September 2012
yang lalu, dan pinangannya diterima oleh orangtua maupun anak gadis tersebut ;
4. Bahwa Pemohon ingin melangsungkan pernikahan dan numpang nikah di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Kejobong, Kabupaten Purbalingga, Pemohon telah
mendaftar/meminta rekomendasi di Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjarnegara,
namun Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjarnegara, Kabupaten Banjarnegara
menolak untuk memberikan rekomendasi pelaksanaan pernikahan karena Pemohon
belum cukup umur menurut Undang-Undang kecuali Pemohon telah memperoleh
Dispensasi Nikah dari Pengadilan Agama ;
5. Bahwa antara Pemohon dengan calon isteri tidak ada larangan syar'i untuk nikah dan
Pemohon sudah siap untuk menjadi Kepala Rumah tangga dan siap bertanggungjawab
sebagai seorang suami meskipun baru berusia 17 tahun 7 bulan.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
6. Bahwa Pemohon telah mandiri dan berpenghasilan tetap sebagai buruh yang cukup
untuk mencukupi kebutuhan hidup berumah tangga sesudah menikah nanti ;
7. Bahwa calon isteri dan orangtuanya telah mengetahui tentang usia Pemohon/calon
suami sekarang ini dan menyadari serta akan ikut membimbing berumah tangga
denga penuh pengertian ;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon mohon agar Ketua Pengadilan
Agama Banjarnegara segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya
menjatuhkan penetapan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menetapkan, memberikan dispensasi kawin kepada Pemohon bernama CALON
MEMPELAI LAKI-LAKI untuk menikah dengan CALON MEMPELAI
PEREMPUAN;
3. Membebankan biaya perkara ini menurut hukum;
4. Atau menjatuhkan penetapan lain yang seadil-adilnya;
Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang ditetapkan Pemohon datang
sendiri menghadap ke persidangan lalu diupayakan perdamaian, namun tidak berhasil;
Menimbang, bahwa kemudian dibacakan surat Permohonan Pemohon yang isi
serta maksudnya tetap dipertahankan oleh pemohon;
Menimbang, bahwa pemohon menyatakan sudah sangat berkeinginan untuk
menikah dengan CALON MEMPELAI PEREMPUAN dan telah siap secara mental;
Menimbang, bahwa telah didengar keterangan calon mempelai wanita bernama
CALON MEMPELAI PEREMPUAN yang menyatakan bahwa yang bersangkutan
berkeinginan untuk menikah dan telah siap secara rokhani maupun jasmani untuk
berkeluarga serta tidak ada hubungan mahrom dengan CALON MEMPELAI LAKI-LAKI
serta tidak ada larangan nikah;
Hal. 3 dari 8 Hal. Pen. No. 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa telah didengar pula keterangan Kakek pemohon bernama
KAKEK PEMOHON dan orang tua calon mempelai wanita bernama AYAH KANDUNG
CALON MEMPELAI PEREMPUAN yang menyatakan pihaknya merestui pernikahan
antara keduanya dan siap membimbing;
Menimbang, bahwa untuk menguatkan alasan permohonannya, Pemohon telah
mengajukan alat-alat bukti tertulis berupa
1. Foto copy Akta Kelahiran calon mempelai laki-laki, Nomor; 2331/TP/1998
tanggal 27 Agustus 1998 (bukti P-1);
2. Surat Penolakan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjarnegara
Nomor; KK.11.04.20/PW.01/584/2012 tanggal 17 September 2012 (bukti
P-2);
Menimbang, bahwa selain bukti-bukti tertulis Pemohon juga mengajukan saksi-
saksi yang telah didengar keterangannya dibawah sumpah sebagai berikut;
SAKSI I
• Kenal dengan Pemohon sebagai tetangga;
• Antara CALON MEMPELAI LAKI-LAKI dengan CALON MEMPELAI
PEREMPUAN tidak ada hubungan keluarga ataupun sesusuan;
• Antara CALON MEMPELAI LAKI-LAKI dengan CALON MEMPELAI
PEREMPUAN tidak ada larangan menurut agama untuk melangsungkan
pernikahan;
• Secara Fisik dan mental keduanya sudah mampu untuk melangsungkan
pernikahan;
SAKSI II
• Kenal dengan Pemohon sebagai tetangga;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Antara CALON MEMPELAI LAKI-LAKI dengan CALON MEMPELAI
PEREMPUAN tidak ada hubungan keluarga ataupun sesusuan;
• Antara CALON MEMPELAI LAKI-LAKI dengan CALON MEMPELAI
PEREMPUAN tidak ada larangan menurut agama untuk melangsungkan
pernikahan;
• Secara Fisik dan mental keduanya sudah mampu untuk melangsungkan
pernikahan;
Menimbang, bahwa selanjutnya Pemohon tidak lagi mengajukan suatu apapun,
dan mohon agar Pengadilan menjatuhkan Penetapan;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian Penetapan ini, maka ditunjuk
hal ihwal sebagaimana tercantum dalam berita acara persidangan perkara ini;
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan Permohonan Pemohon adalah seperti
tersebut diatas;
Menimbang, bahwa Majelis telah berusaha mendamaikan namun tidak berhasil
dan Pemohon tetap pada Permohonannya;
Menimbang, bahwa berdasarkan Bukti P-1 maka harus dinyatakan Pemohon
adalah calon mempelai laki-laki;
Menimbang, bahwa Pemohon mengajukan Permohonan Dispensasi Nikah dengan
alasan sebagaimana tersebut diatas yang pada pokoknya memohon dispensasi untuk
menikah karena belum cukup umur;
Menimbang, bahwa atas kehendak tersebut telah didengar keterangan kedua calon
mempelai dan kedua orang tua/wali calon mempelai;
Hal. 5 dari 8 Hal. Pen. No. 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa atas uraian tersebut diatas telah ditemukan fakta dipersidangan
yang pada pokoknya sebagai berikut;
• Pemohon meskipun baru berumur 17 tahun 7 bulan, namun secara jasmani dan
rokhani cukup dewasa untuk melangsungkan Pernikahan;
• Kedua calon mempelai telah menyatakan saling mencintai dan siap
melangsungkan pernikahan;
• Kedua orang tua calon mempelai berkeinginan menikahkan calon mempelai dan
siap membimbing secara rokhani dan jasmani;
• Antara calon mempelai tidak ada halangan menurut hukum untuk melangsungkan
pernikahan;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut Majelis menilai Pemohon telah
patut dan siap secara jasmani serta rokhani untuk melangsungkan pernikahan;
Menimbang, bahwa berdasarkan segenap pertimbangan tersebut Permohonan
Pemohon patut untuk dikabulkan dengan menerapkan pasal 7 ayat (2) Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974;
Menimbang, bahwa sesuai ketentuan pasal 89 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 3 Tahun 20089 dan UU Nomor 50 Tahun
2009, biaya perkara dibebankan kepada Pemohon;
Mengingat semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum syar’i
yang berkaitan dengan perkara ini;
M E N G A D I L I
Menetapkan:
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2. Memberikan Dispensasi kepada Pemohon untuk menikah dengan calon isterinya
yang bernama CALON MEMPELAI PEREMPUAN;
3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
141.000,- (seratus empat puluh satu ribu rupiah);
Demikian Penetapan ini diambil dalam Musyawarah Majelis Hakim dan Penetapan
tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, pada hari Kamis tanggal 27
September 2012 M. bertepatan dengan tanggal 11 Dzul Qo’dah 1433 H. Oleh Drs.
KHOTIBUL UMAM sebagai Ketua, didampingi oleh Drs. AHMADI, MH. dan
Hal. 7 dari 8 Hal. Pen. No. 0129/Pdt.P/2012/PA.Ba.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Drs. H. MUH. AMIR, SH. masing-masing sebagai Anggota, dibantu AYANI, S.Ag,
sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri Pemohon;
Ketua
Drs. KHOTIBUL UMAM
Anggota I Anggota II
Drs. AHMADI, MH. Drs. H. MUH. AMIR, SH
Panitera Pengganti
AYANI, S.A.g
Perincian Biaya Perkara:
1. Pendaftaran : Rp. 30.000,-
2. Biaya Proses/APP : Rp. 50.000,-
2. Panggilan : Rp. 50.000,-
3. Redaksi : Rp. 5.000,-
5. Materai : Rp. 6.000,- +
Jumlah : Rp. 141.000,-
(seratus empat puluh satu ribu rupiah)
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P E N E T A P A NNomor : 60/Pdt.P/2013/PA.Pct
BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIMDEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Pacitan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada
tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan dalam perkara Dispensasi Kawin yang
diajukan oleh:
PEMOHON, umur 14 tahun, agama Islam, pekerjaan Tidak bekerja , tempat
tinggal di Kabupaten Pacitan, selanjutnya disebut "Pemohon";
Pengadilan Agama tersebut;
Telah membaca dan mempelajari berkas perkara;
Telah mendengar keterangan Pemohon, anak Pemohon, Calon Suami anak
Pemohon, orang tua Calon Suami serta memeriksa buktibukti surat di persidangan;
TENTANG DUDUK PERKARANYA
Bahwa Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 07 Mei 2013 yang telah
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Pacitan Nomor: 60/Pdt.P/2013/PA.Pct
mengemukakan halhal sebagai berikut :
1. Bahwa Pemohon adalah anak kandung dari pasangan suami isteri SUCI dan LAS;
2. Bahwa SUCI dan LAS yang merupakan orang tua kandung Pemohon telah pergi tidak
diketahui alamatnya dengan jelas dan pasti di wilayah manapun;
3. Bahwa Pemohon sejak umur 3 tahun ikut nenek Pemohon yang bernama NENEK
tetapi NENEK karena umurnya yang sudah sangat tua tidak mampu untuk datang
sendiri ke Pengadilan Agama Pacitan;
4. Bahwa Pemohon hendak menikah dengan calon suaminya bernama :
Nama : CALON LAKI-LAKI
Umur : 23 tahun, agama Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tani
Tempat Kediaman di : Kabupaten Pacitan
Penetapan DISKA, nomor: 60/Pdt.P/2013/PA. Pct
Halaman 1 dari 10
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id yang akan dilaksanakan dan dicatatkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama Kabupaten Pacitan;
5. Bahwa syaratsyarat melaksanakan pernikahan tersebut baik menurut ketentuan Hukum
Islam maupun peraturan perundangundangan yang berlaku telah terpenuhi kecuali
syarat usia anak bagi keponakan Pemohon belum mencapai umur 16 tahun, oleh karena
itu telah ditolak oleh Kantor Urusan Agama Kabupaten Pacitan;
6. Bahwa pernikahan tersebut sangat mendesak untuk dilangsungkan karena Pemohon
dengan calon suaminya telah berhubungan erat/pacaran sejak 1 tahun yang lalu dan
hubungan mereka telah sedemikian eratnya, bahkan calon suami Pemohon sudah
sering menginap dan sudah berhubungan layaknya suami istri;
7. Bahwa antara Pemohon dan calon suaminya tersebut tidak ada larangan untuk
melakukan pernikahan;
8. Bahwa Pemohon bestatus perawan dan telah akil baliq serta sudah siap untuk menjadi
isteri atau ibu rumah tangga;
9. Bahwa Pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbuk akibat perkara ini;
Berdasarkan halhal tersebut di atas, Pemohon mohon agar Ketua Pengadilan
Agama Pacitan segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan
penetapan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
PRIMER :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;
2. Memberikan dispensasi kepada Pemohon yang bernama : PEMOHON untuk kawin
dengan seorang lakilaki bernama : CALON LAKI-LAKI ;
3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sesuai dengan
peraturan yang berlaku ;
SUBSIDER :
Bilamana Pengadilan Agama berpendapat lain. Mohon perkara ini diputus menurut
hukum dengan seadil adilnya;
Bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan, Pemohon telah datang menghadap
di persidangan;
Bahwa Majelis Hakim telah memberikan nasihat agar Pemohon
mempertimbangkan kembali permohonannya namun Pemohon tetap pada pendiriannya.
Selanjutnya dibacakan permohonan Pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.idPemohon dengan beberapa penjelasan yang selengkapnya telah termuat dalam berita acara
perkara ini;
Bahwa Majelis Hakim telah mendengar keterangan Calon Suami Pemohon yang
bernama CALON LAKI-LAKI, umur 23 tahun yang menerangkan pada pokoknya sebagai
berikut:
Bahwa calon mempelai pria kenal dengan Pemohon sebagai calon isterinya;
Bahwa calon mempelai pria kenal dengan Pemohon dan telah menjalin hubungan
cinta selama satu tahun yang lalu;
Bahwa hubungannya dengan Pemohon telah sedemikian akrabnya dan sering tidur
bersama serta sering melakukan hubungan layaknya suami isteri dirumah nenek
Pemohon;
Bahwa antara dirinya dengan Pemohon (PEMOHON) tidak terdapat hubungan nasab,
semenda, susuan, maupun hubungan lain yang dapat menghalangi sahnya pernikahan;
Bahwa calon mempelai pria telah melamar Pemohon dan lamaran tersebut telah
diterima;
Bahwa dirinya beragama Islam dan berstatus perjaka ;
Bahwa untuk memperkuat dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan
buktibukti surat yang berupa foto copy telah dicocokkan dengan aslinya sebagai berikut :
1. Asli Surat Penolakan Pernikahan yang dikeluarkan dari Kantor Urusan Agama
Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan, Nomor. Kk.13.01.09/PW.00/77/2013,
tanggal 7 Mei 2013, bermaterei cukup, ( P.1);
2. Asli Surat Keterangan Penduduk atas nama Pemohon yang dikeluarkan oleh Kepala
Kabupaten Pacitan, bermaterei cukup, ( P.2);
3. Asli Surat Keterangan dari Kantor Urusan Agama Kabupaten Pacitan, , sesuai dengan
Kutipan Akta Nikah orang tua Pemohon bermaterai cukup, ( P.3);
4. Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran a.n. PEMOHON, yang dikeluarkan oleh Kantor
Catatan Sipil Kabupaten Pacitan, bermaterai cukup, (P.4);
Bahwa selain buktibukti tertulis Pemohon telah menghadirkan 2 orang saksi
masingmasing bernama :
Penetapan DISKA, nomor: 60/Pdt.P/2013/PA.Pct
Halaman 3 dari 10
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.idSaksi I : umur 60 tahun, agama Islam, pekerjaan tani, bertempat tinggal di Kabupaten
Pacitan, dibawah sumpah memberikan keterangan sebagai berikut :
1. Bahwa saksi kenal dengan Pemohon karena sebagai ayah calon suami Pemohon;
2. Bahwa saksi tahu Pemohon mengajukan dispensasi untuk menikah dengan calon
suaminya bernama CALON LAKI-LAKI ;
3. Bahwa saksi tahu keinginan Pemohon menikah telah ditolak pihak Kantor Urusan
Agama ;
4. Bahwa saksi tahu alasan Kantor Urusan Agama menolak keinginan Pemohon adalah
Pemohon sebagai calon isteri belum cukup umur;
5. Bahwa saksi tahu, Pemohon telah dilamar oleh calon suaminya dan lamaran
tersebut telah diterima ;
6. Bahwa saksi tahu Pemohon telah berhubungan sedemikian erat dan sulit untuk
dipisahkan lagi;
7. Bahwa saksi tahu antara calon suami Pemohon sudah sering tinggal satu rumah
dirumah nenek Pemohon;
8. Bahwa saksi tahu Pemohon tidak dalam pinangan orang lain dan antara Pemohon
dengan calon suaminya tidak ada hubungan nasab ataupun hubungan sesusuan yang
menjadi halangan untuk menikah ;
Saksi II : umur 26 tahun, agama Islam, pekerjaan tani, bertempat tinggal di Kabupaten
Pacitan, dibawah sumpah memberikan keterangan sebagai berikut:
1. Bahwa saksi kenal dengan Pemohon karena sebagai paman Pemohon;
2. Bahwa saksi tahu Pemohon mengajukan dispensasi untuk menikah dengan calon
suaminya bernama CALON LAKI-LAKI;
3. Bahwa saksi tahu keinginan Pemohon menikah telah ditolak pihak Kantor Urusan
Agama ;
4. Bahwa saksi tahu alasan Kantor Urusan Agama menolak keinginan Pemohon adalah
Pemohon sebagai calon isteri belum cukup umur sebagaimana ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku;
5. Bahwa saksi tahu, Pemohon telah dilamar calon suaminya dan lamaran tersebut
telah diterima;
6. Bahwa saksi tahu calon suami Pemohon telah sering menginap dirumah nenek
Pemohon dan Pemohon dengan calon suaminya telah meakukan hubungan layaknya
suami isteri ;
7. Bahwa saksi tahu calon suami Pemohon berstatus jejaka;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id8. Bahwa saksi Pemohon tidak dalam pinangan orang lain dan antara Pemohon dengan
calon suaminya tidak ada hubungan nasab ataupun hubungan sesusuan yang menjadi
halangan untuk menikah ;
9. Bahwa saksi sebagai paman Pemohon sanggup membimbing Pemohon;
Bahwa Pemohon menyatakan tidak akan menyampaikan sesuatu apapun lagi, dan
selanjutnya mohon penetapan;
Bahwa untuk mempersingkat uraian Penetapan ini cukuplah Pengadilan menunjuk
kepada berita acara perkara ini, yang untuk selanjutnya dianggap termuat dan menjadi
bagian dari Penetapan ini;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah
sebagaimana yang telah diuraikan di atas;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal 49 ayat (1) dan (2) beserta
penjelasannya Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama yang
telah dirubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 dan UndangUndang Nomor
50 Tahun 2009, maka perkara ini menjadi wewenang Pengadilan Agama Pacitan;
Menimbang, bahwa majelis hakim telah berusaha menasehati Pemohon agar
mengurungkan kehendaknya mohon dispensasi kawin dan menunggu usia Pemohon
hingga dewasa menurut ketentuan yang berlaku, namun tidak berhasil ;
Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini adalah perkara permohonan
(Voluntair) maka perkara ini tidak termasuk perkara yang diatur dengan Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang mediasi sehingga dalam perkara
ini tidak perlu mediasi;
Menimbang, bahwa permohonan Pemohon adalah mengajukan permohonan
dispensasi kawin atas diri Pemohon sendiri yang belum berumur 16 tahun dan akan
menikah dengan CALON LAKI-LAKI karena ditolak oleh Kantor Urusan Agama
Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan dan Pemohon sangat khawatir dirinya akan
melakukan perbuatan yang dilarang agama bersama dengan calon suaminya;
Menimbang, bahwa permohonan Pemohon telah dikuatkan dengan buktibukti baik
tertulis maupun saksisaksi;
Penetapan DISKA, nomor: 60/Pdt.P/2013/PA.Pct
Halaman 5 dari 10
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P1, perkawinan Pemohon dengan calon
suaminya akan dilangsungkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Nawangan,
Kabupaten Pacitan yang masih wilayah hukum Pengadilan Agama Pacitan maka perkara
ini menjadi wewenang Pengadilan Agama Pacitan hal tersebut sebagaimana diatur dalam
pasal 7 ayat (2) UndangUndang nomor 1 tahun 1974;
Menimbang, bahwa Permohonan Pemohon posita 1 dan 2 didukung dengan bukti
P4 yang berupa Fotocopy Akta Lahir a.n. PEMOHON yang dikeluarkan oleh kepala
Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pacitan, bermaterai cukup, yang
menurut pasal 165 HIR adalah bukti autentik, oleh karenanya majelis menerima bukti
tersebut sebagai bukti yang sempurna, maka permohonan Pemohon telah nyata terbukti
bahwa Pemohon bernama PEMOHONanak dari pasangan suami SUCI dan isteri
LAS;
Menimbang, bahwa permohonan Pemohon posita 4 didukung dengan bukti P1
dan P4 yaitu berupa Surat Penolakan Pernikahan dari Kepala Kantor Urusan Agama
tanggal 7 Mei 2013 bermaterai cukup, yang menurut pasal 165 HIR adalah bukti
autentik, oleh karenanya majelis menerima bukti tersebut sebagai bukti yang sempurna,
maka permohonan Pemohon telah nyata terbukti Pemohon akan menikahkan dihadapan
Pegawai Pencatat Nikah Kabupaten Pacitan ;
Menimbang, bahwa dalil Pemohon pada permohonannya pada posita 5 telah
didukung bukti P1 yaitu Surat penolakan pernikahan dari Kantor Urusan Agama
Kabupaten Pacitan Maret 2013 bermaterai cukup;
Menimbang bahwa oleh karena bukti tersebut dibuat oleh pejabat yang
berwenang untuk itu maka sebagaimana pasal 165 HIR termasuk bukti tertulis dan
dinyatakan bukti yang sempurna, sehingga permohonan Pemohon ditolak oleh pihak
Kantor Urusan Agama juga telah terbukti;
Menimbang, bahwa dalil permohonan Pemohon yang menyatakan Pemohon
belum mencapai umur 16 tahun dikuatkan dengan bukti P.4, berupa Fotokopi Akta
Kelahiran, atas nama PEMOHON yang dikeluarkan oleh kepala Kantor Kependudukan
dan Catatan Sipil Kabupaten Pacitan;
Menimbang, bahwa menurut pasal 165 HIR bukti P (4) yang diajukan Pemohon
adalah bukti autentik, oleh karenanya majelis menerima bukti tersebut sebagai bukti yang
sempurna, maka telah nyata terbukti bahwa Pemohon belum berumur 16 tahun
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.idsehingga belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana ketentuan
pasal 7 ayat (1) UnangUndang nomor 1 tahun 1974;
Menimbang, bahwa dalil permohonan Pemohon bahwa perkawinan anak
Pemohon dengan calon suaminya harus segera dilaksanakan sebab Pemohon khawatir
akan perbuatan yang dilarang oleh agama, telah dikuatkan dengan keterangan dua orang
saksi SAKSI I dan SAKSI II;
Menimbang, keterangan kedua saksi tersebut telah saling bersesuaian antara satu
dengan lainnya mengenai apa yang dilihat dan dialami sendiri oleh saksi maka sesuai
dengan ketentuan pasal 171 HIR, keterangan saksi telah memenuhi syarat formil dan
materiil sehingga dapat diterima dan dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa kedua saksi tersebut menerangkan bahwa hubungan
Pemohon dengan calon suaminya telah terjalin erat dan saksi melihat calon suami
Pemohon telah sering menginap dirumah nenek Pemohon, sehingga kekhawatiran
Pemohon sebagaimana tersebut dalam permohonan Pemohon beralasan dan terbukti;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut diatas
majelis menemukan fakta dipersidangan sebagai berikut:
•-Bahwa Pemohon akan menikah dengan seorang lakilaki bernama CALON
LAKI-LAKI namun Pemohon sebagai calon isteri belum mencapai umur 16
tahun;
•-Bahwa hubungan Pemohon dengan calon suaminya sudah sangat erat dan
sudah sering melakukan hubungan layaknya suami isteri sehingga khawatir akan
melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama secara berkepanjangan ;
•-Bahwa antara Pemohon dengan calon suaminya tidak ada hubungan kekeluargaan
maupun sesusuan dan tidak ada larangan untuk melangsungkan perkawinan;
Menimbang bahwa berdasarkan fakta tersebut diatas meskipun Pemohon dari
segi usianya belum genap 16 tahun, namun dilihat secara fisik dan cara berfikirnya
ternyata cukup pantas melakukan pernikahan, bahkan dilihat dari segi hubungan dengan
calon suaminya yang sudah demikian erat dapat menghawatirkan akan perbuatan dosa
(zina) yang berkepanjangan ;
Menimbang, bahwa sebagaimana ketentuan pasal 7 ayat (2) Undangundang
Nomor 1 Tahun 1974 yang menjelaskan adanya penyimpangan terhadap pasal 7 ayat (1)
Penetapan DISKA, nomor: 60/Pdt.P/2013/PA.Pct
Halaman 7 dari 10
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.idUndangundang Nomor 1 Tahun 1974 Pemohon sebagai calon isteri telah meminta
dispensasi kepada Pengadilan Agama Pacitan sebagaimana yang ternactum dalam
Petunjuk tekhnis buku II;
Menimbang, bahwa apabila dilihat dari segi hubungan Pemohon dengan calon
suaminya sudah sangat mengkhawatirkan meskipun Pemohon masih belum berumur
16 tahun namun apabila pernikahan ini ditunda mafsadat yang timbul akan lebih besar
dari pada manfaat yang didapat selain itu ternyata permohonan Pemohon telah
beralasan dan memenuhi ketentuan perundangundangan yang berlaku serta tidak
bertentangan dengan hukum, maka memberikan dispensasi kepada Pemohon untuk
melaksanakan pernikahan adalah akan lebih baik;
Menimbang, bahwa Pemohon sebagai seorang calon isteri sudah sering tinggal
serumah dengan calon suaminya, itu akan membuat resah masyarakat sekitar sehingga
menikahkan Pemohon lebih cepat dengan calon suaminya adalah solusi terbaik;
Menimbang, majelis dalam hal ini mengetengahkan qoidah fiqh yang selanjutnya
diambil sebagai pendapat majelis yang berbunyi:
Artinya : Menolak segala yang merusak lebih diutamakan dari pada menarik segala
yang bermaslahat “;
Menimbang, bahwa pernikahan Pemohon dengan calon suaminya tidak ada
halangan menurut ketentuan syar’i maupun peraturan perundangundangan yang berlaku
dan dapat dibenarkan menurut hukum, oleh karena itu permohonan Pemohon patut
dikabulkan ;
Menimbang, bahwa karena perkara ini termasuk bidang perkawinan, maka
menurut pasal 89 (1) Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan
UndangUndang Nomor 3 tahun 2006 dan UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009, maka
biaya perkara dibebankan kepada Pemohon ;
Mengingat segala ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku dan
hukum Syara’ yang berkaitan dengan perkara ini;
MENETAPKAN
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2. Memberikan dispensasi kepada Pemohon bernama: (PEMOHON) untuk
menikah dengan seorang lakilaki bernama ( CALON LAKI-LAKI );
3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
191.000, ( seratus sembilan puluh satu ribu rupiah );
Demikian penetapan ini dijatuhkan dalam permusyawaratan Majelis Hakim
Pengadilan Agama Pacitan pada hari Rabu tanggal 22 Mei 2013 Masehi bertepatan
dengan tanggal 12 Rajab 1434 H, oleh kami Dra. NUR HABIBAH sebagai Hakim Ketua
Majelis serta MUKHTAR, S.Ag. dan SUHARNO, S.Ag. sebagai Hakim Anggota, dan
pada hari itu juga diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua Majelis
tersebut, dengan dihadiri oleh hakim Anggota tersebut di atas dan MOCH MU'TI, S.H.
sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri Pemohon;
Hakim Anggota I, Ketua Majelis
Ttd ttd MUKHTAR, S.Ag. Dra. NUR HABIBAH
Hakim Anggota II,
ttd SUHARNO, S.Ag.
Panitera Pengganti,
ttd MOCH MU'TI, S.H.
Rincian Biaya Perkara :
Biaya Pendaftaran : Rp 30.000, Biaya Proses : Rp 50.000,
Penetapan DISKA, nomor: 60/Pdt.P/2013/PA.Pct
Halaman 9 dari 10
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Biaya Panggilan : Rp 100.000,Biaya Redaksi : Rp 5.000,Biaya Materai : Rp 6.000,
Biaya Pendaftaran : Rp 191.000,
(seratus sembilan puluh satu ribu rupiah);
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10