DTE 89 Web Indo

28
Buletin DTE Edisi Khusus No. 89-90, November 2011 Tanah Papua: perjuangan yang berlanjut untuk tanah dan penghidupan

description

Papua issue

Transcript of DTE 89 Web Indo

Page 1: DTE 89 Web Indo

Buletin DTE Edisi KhususNo. 89-90, November 2011

Tanah Papua:perjuangan yangberlanjut untuk tanahdan penghidupan

Page 2: DTE 89 Web Indo

DTE: Greenside Farmhouse, Hallbankgate, Cumbria CA82PX, England, email: [email protected] tel: +44 16977 46266 web:www.downtoearth-indonesia.org

Masyarakat yang kuat untuk masa depan yang berkelanjutanInsiden yang baru-baru ini terjadi di Papua – kekerasan di tambang Freeport-RioTinto, penyerangan brutal terhadap kebebasan berpendapat di Abepura –memperlihatkan bahwa orang Papua masih terus menghadapi eksploitasi danpelanggaran HAM yang ekstrim. Sementara itu proyek investasi besar-besaran terusberjalan dan meminggirkan serta memiskinkan rakyat Papua, dari kampung kekampung. Para pejabat dan pebisnis jauh lebih menghargai emas, tembaga, sawit dankayu daripada orang kampung yang hidupnya bergantung pada kekayaan alam Papua.Namun demikian orang Papua terus menuntut hak mereka untuk menentukan masadepan dan hak untuk memiliki, mengelola dan memanfaatkan tanah dan sumber dayaalam mereka. Masyarakat dan gerakan masyarakat sipil yang mendukung merekabersama-sama menuntut adanya upaya dan sumber daya yang lebih besar untukmemperkuat posisi mereka. Pada gilirannya, kampung demi kampung akan dapatmempertahankan diri lebih baik dari sisi buruk ‘pembangunan’ yang dipaksakan olehpihak luar.

Buletin DTE edisi khusus ini berfokus pada sejumlah kampanye dan debatdi masa lalu dan saat ini seputar pembangunan yang bersifat dari atas ke bawah dandampaknya terhadap masyarakat. Beberapa artikel adalah sumbangan dari penulistamu dari Papua, Indonesia dan Inggris. Semuanya memaparkan mengenai kebutuhanyang mendesak untuk memikirkan ulang cara pengelolaan Papua dan sumber dayaalamnya sehingga suara masyarakat di kampung-kampung – tidak hanya para pebisnisdan politikus – menjadi hal penting dalam pengambilan keputusan akan masa depanyang berkelanjutan.

Daftar Isi

Eksploitasi sumber daya alam di Papuaselama 22 tahun dengan pendekatan dariatas ke bawah

Mengakhiri konflik di Papua Baratoleh Carmel Budiardjo,Tapol

Indonesia Ditegur Terkait MIFEE

Pusaka di Tanah Papua,oleh Franky Samperante, Pusaka

Fenomena global perampasan tanaholeh Anna Bolin

Akankah REDD bermanfaat bagimasyarakat adat Papua?dari blog Pietsau Amafnini, JASOIL

REDD di Indonesia – berita terkini

BP Tangguh, setelah dua tahun

Nyanyian Galau, Nyanyian Harap

1

6

8

11

13

17

20

22

23

Halaman ini: pulang berburu, MeraukeHalaman depan: Papua Barat dari udara(Foto-foto oleh Adriana Sri Adhiati, 2011)

Page 3: DTE 89 Web Indo

Proyek lumbung pangan dan energi terpaduMerauke atau Merauke Integrated Food andEnergy Estate (MIFEE) yang diluncurkan padabulan Agustus tahun lalu saat ini merupakanrencana pengembangan sumber daya alamyang paling ambisius untuk Papua.

Rencana itu meliputi perubahanperuntukan sejumlah besar lahan, termasukhutan, untuk dijadikan perkebunan yang akanditanami berbagai tanaman untuk pangan,energi dan tanaman produktif lainnya. Pekerjaakan didatangkan ke Merauke untukmemenuhi kebutuhan tenaga kerja.Kekhawatiran mendalam telah disampaikanoleh organisasi masyarakat setempat sertaornop regional, nasional dan internasionalmengenai potensi kerusakan yang akanditimbulkan oleh mega proyek ini terhadapmasyarakat adat, tanah adat, sumber daya

alam dan budaya mereka; dan juga dampakpolitik yang lebih luas, dampak terhadap HAM,sosiologi dan budaya serta lingkungan Papuasecara keseluruhan.

MIFEE mengikuti pola baku darimega proyek ambisius di Indonesia yang padadasarnya ditujukan untuk pasar ekspor.Proyek-proyek itu memberikan insentif bagiinvestor sektor swasta, tetapi sama sekali takmempedulikan potensi pembangunan dankebutuhan masyarakat setempat.

Tinjauan atas proyek dukunganpemerintah yang menargetkan Papua sepertiyang telah dicermati oleh DTE selama lebihdari dua puluh tahun terakhir inimenunjukkan bahwa pembangunan semacamitu cenderung memiliki beberapa persamaankarakter. Ciri-ciri tersebut antara lain:pengambilan keputusan dengan pendekatan

dari atas ke bawah, pernyataan resmi bahwaproyek itu untuk kepentingan masyarakat,penyerobotan lahan milik masyarakat adat,dan didatangkannya tenaga kerja non-Papua.

Fakta bahwa MIFEE memiliki banyakpersamaan karakter ini menunjukkan bahwatak banyak perubahan dalam pola pikir parapengambil keputusan sejak jaman Suharto.Alhasil, dampak negatif serupa yang timbuldari proyek-proyek sebelumnya kemungkinanbesar akan terjadi lagi.

Sementara beberapa rencanainvestasi yang lebih buruk di Papua belumberjalan, atau paling tidak tak berjalansebagaimana diumumkan sebelumnya,penebangan hutan, pembangunan perkebunan,dan eksploitasi pertambangan, minyak dan gasterus berlanjut dengan kecepatan yang

Eksploitasi sumber daya alam di Papua selama 22 tahundengan pendekatan dari atas ke bawah

Sejarah panjang eksploitasi sumber daya alam di Papua, dari Freeport/Rio Tinto hingga MIFEE, tak lepas daripelanggaran HAM, penindasan oleh militer, perusakan lingkungan dan kemiskinan yang berkepanjangan bagi

sebagian besar rakyat Papua.Artikel ini menelusuri sejarah tersebut dari akhir tahun 1980an ketika DTE berdirihingga hari ini, sebagai latar belakang untuk memperjelas artikel-artikel lain dalam buletin edisi khusus Papua ini.Tulisan ini awalnya adalah sebuah makalah yang dipresentasikan dalam sebuah seminar di Yale tentang Papua

pada bulan April 2011.

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

(bersambung ke halaman 3)

Source: JASOIL

Page 4: DTE 89 Web Indo

2

Berikut adalah sebagian kasus yang dilaporkandalam terbitan berkala DTE selama lebih dari22 tahun terakhir. Angka dalam kurungmengacu pada edisi terbitan berkala terkait.Daftar ini tidak lengkap, tetapi memberikanindikasi besarnya kerusakan sumber daya Papuadalam beberapa dekade terakhir.

1989: Marubeni dari Jepang dijadwalkanuntuk mulai mengimpor kayu serpih daridaerah hutan bakau di Teluk Bintuni sebagaibagian dari proyek bersama PT BintuniUtama Murni yang mencakup kegiatanpabrik kayu serpih di Pulau Amutu Besar.Takada AMDAL, dan konsesi itu tumpang tindihdengan area hutan konservasi (1). Di Jepangprotes terhadap proyek itu dilancarkan olehJATAN dan FoE Jepang (6).

Scott Paper melanjutkan rencanapembukaan perkebunan dan proyek buburkayu di Merauke setelah mendapatpersetujuan pemerintah pada bulan Oktober1988 (1). Surat protes dilayangkan olehsejumlah ORNOP (2) dan aksi protes jugadilancarkan di Jakarta (3). Perusahaanakhirnya menarik diri dari proyek tersebut(6).

Perusahaan Finlandia Rauma-Repola Oytengah menjajaki kerja sama patungan denganPT Furuma Utama Timber Co, untukmengembangkan proyek kertas dan buburkayu di Papua (6).

Konglomerat Indonesia PT Garuda Masmelakukan studi kelayakan untuk pabrikpemrosesan sagu di distrik Sorong (1). PTSagindo Sari Lestari telah membangunpabrik sagu di Bintuni-Manokwari (4)

Enam puluh enam dari 77 pemegang HPHdilaporkan telah menghentikan kegiatanpenebangan mereka (1). Perusahaan AustraliaMcLean Ltd berencana untuk melakukanpenebangan di atas lahan HPH seluas 60.000hektare di daerah Mamberamo melalui kerjasama dengan PT Sansaporinda, yang disebutMamberamo Forest Products (5).

BUMN PT Aneka Tambang berencana untukmembuka tambang nikel di Pulau Gag dengandukungan finansial dari Queensland NickelJoint Venture,Australia (3).

Ekspansi besar-besaran terjadi di tambangFreeport dengan peningkatan produksiemas sebanyak tiga kali lipat dari 5 tonmenjadi 15 ton dalam 3 tahun ke depan danproduksi konsentrat tembaga dari 25.000ton menjadi 40.000 ton per hari. Freeportmerayakan ulang tahunnya yang ke 21 sambilmeraup keuntungan terbesar yang pernah

dicapai. Seorang pekerja medis melaporkantelah terjadi 143 kecelakaan kerja yang seriusdan 4 kematian dalam 3 tahun terakhir (5).

Perusahaan patungan penebangan hutanKorea Selatan-Indonesia, You Liem Sari(anak perusahaan You One Construction)dan PT Kebun Sari telah menghancurkanpenghidupan 90 keluarga di Muris, dekatJayapura (6).

1990: Investigasi oleh kantor berita Jepang,Kyodo, menemukan bukti pembalakan liar diTeluk Bintuni oleh Bintuni Utama MurniWood Industries yang didukung olehMarubeni (7). Di Teluk Bintuni, pemiliktanah suku Iraturu menuntut royalti dariperusahaan, sementara kampanye terhadapketerlibatan Marubeni dalam perusakanhutan bakau terus berlanjut di Jepang (10).Perusahaan itu diperintahkan untukmenghentikan kegiatannya dan didenda olehMenteri Kehutanan karena pembalakan liar(11).

Perusahaan minyak Amerika Serikat Conocoakan melakukan pengeboran sumur minyakyang konon terbesar di Papua di daerahKepala Burung sesuai dengan perjanjian bagihasil dengan perusahaan minyak negaraPertamina (8).

Pengapalan pertama ke Jepang tepung saguyang diproduksi oleh Sagindo Sari Lestarimelalui kegiatannya di Teluk Bintuni.Perusahaan itu mengumumkan rencanauntuk mendatangkan 200 keluargatransmigran untuk memenuhi kebutuhantenaga kerja. (9).

Freeport melakukan negosiasi untukmemperluas kawasan kontrak menjadi 20kali lebih besar dari luas awalnya. (10).Ornop Indonesia SKEPHI melaporkan bahwa77 pemegang HPH sudah mendapatkan 12,9juta hektare dan mengatakan bahwa 70%dari hutan Papua seluas 41,8 juta hektaretelah dialokasikan untuk berbagai jeniseksploitasi (penebangan hutan, pembangunanwaduk, lokasi transmigrasi, perkebunan,pertambangan dan minyak) (10).

PT Yapen Utama Timber siapmenghancurkan hutan perawan Pulau Yapendan penghidupan masyarakat di pulau itu(10).

Pemerintah memberikan lampu hijau kepada19 pabrik bubur kayu baru, empat diantaranya berada di Papua (11).

2009: Komitmen perubahan iklim BP untukproyek Tangguh dicermati lebih dekatseiring dengan akan beroperasinya proyekgas itu. Sekitar 3 juta ton karbon dioksidaakan dilepaskan per tahun, menurutdokumen AMDAL (80-81).

Freeport mengakui bahwa perusahaan itumasih membayar militer Indonesia (80-81).Adanya penembakan-penembakan yangmengakibatkan korban tewas di dekatpertambangan memicu organisasi masyarakatsipil setempat untuk menyerukan dialogdamai guna menyelesaikan konflik di Papua.Warga Amungme selaku pemilik tanahmengajukan gugatan baru terhadap Freeportdan menuntut ganti rugi sebesar US$30miliar untuk perusakan lingkungan hidup danpelanggaran HAM (82).

Sedikitnya 3 perusahaan eksplorasipertambangan Australia mencari kandungantembaga dan emas besar di Papua, yaituHillgrove Resources di distrik Sorong danManokwari, Arc Exploration Ltd (dahuluAustindo Resources Corporation) di TelukBintuni, melalui perusahaan bernama PTAlam Papua Nusantara, dan NickeloreLtd, di daerah yang berbatasan dengankonsesi Freeport (82).

Pemerintah provinsi Papua mengumumkanrencana untuk membangun wadukpembangkit listrik tenaga air di Komautountuk memasok listrik, mendukung proyeksemen di Timika serta pembangunanpariwisata di Paniai (83).

2010: Pemerintah menargetkan lahan seluas250.000 hektare untuk perkebunan tanamanindustri dan tanaman rakyat pada tahun2010-2014 dari total jumlah 2,7 juta hektaredalam skala nasional. Hutan yang barumerupakan bagian dari strategi pemerintahuntuk mengurangi emisi gas rumah kaca.(84).

Penebangan liar dianggap sebagai penyebabbanjir bandang di distrik Wasior yangmenelan banyak korban. (87).

Perusahaan Cina, Far East, ingin menanamkanmodal dalam pertambangan batu bara di 5daerah di distrik Manokwari (87).Timika andsupport tourism development in Paniai (83).

Artikel selengkapnya dapat dilihat di:www.downtoearth-indonesia.org

Eksploitasi sumber daya di Papua dengan pendekatandari atas ke bawah 1989-2010

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 5: DTE 89 Web Indo

3

berbeda-beda dan tingkat dampak yangberbeda-beda pula.

Dampak menyeluruh adalahkerusakan sumber daya alam yang terusberlangsung. Garis merah dari eksploitasisumber daya alam ini adalah terpinggirkannyamasyarakat adat Papua, proyek denganpendekatan dari atas ke bawah yangditentukan dari luar, dan seringkali disertaiancaman atau penggunaan kekerasan untukmemaksakan pelaksanaannya.

Dampak kumulatif dari skemapembangunan ini merupakan persoalantersendiri yang tak kalah pentingnya. MIFEEtampaknya akan kembali menjadi pukulanyang bakal mengandaskan harapan bahwakekayaan alam Papua akan dikelola secaraberkelanjutan oleh masyarakat setempat danbermanfaat bagi mereka sendiri. Setiappukulan semakin menjauhkan harapan karenakeseimbangan populasi bergeser denganmeningkatnya penduduk migran yang bukanmerupakan masyarakat adat dan semakinbanyak sumber daya alam Papua dikuasai olehsektor swasta.Pemberian status otonomikhusus untuk Papua pada tahun 2001memberikan lebih banyak ruang bagi politisiPapua berpartisipasi dalam pengambilankeputusan mengenai sumber daya Papua danlebih banyak kesempatan untuk memperolehmanfaat dari pendapatan. Kenyataannya,rakyat biasa masih tetap tak berdaya untukmencegah penyerobotan tanah dan sumberdaya yang merupakan sumber penghidupanmereka.

Dari Scott sampai BPKetika DTE didirikan pada tahun 1988,kampanye untuk menghentikan pembangunanbesar-besaran oleh Scott Paper tengahberlangsung dengan gencar.1 Lahan seluassekitar 790.000 hektare di distrik Meraukeditargetkan untuk dijadikan perkebunaneucalyptus untuk memasok kilang kayu serpihdan bubur kayu di Bade (sekarang di distrikMappi) di Sungai Digul. Tanah milik sekitar15.000 masyarakat adat yang hidup sebagaipemburu dan peramu masuk dalam wilayahkonsesi Scott. Perusahaan Amerika Serikat ituberjanji untuk mempekerjakan sebanyakmungkin warga setempat, tetapi jugamenegaskan bahwa masyarakat non-Papuajuga akan didatangkan dengan bantuanDepartemen Transmigrasi pemerintahIndonesia.2

Kampanye internasionalmenyuarakan kekhawatiran atas perlindunganpenghidupan dan hak untuk mendapatkaninformasi awal tanpa tekanan (FPIC),meskipun ketika itu istilah tersebut belumdikenal. Scott menampik tekanan ORNOPdengan menyatakan bahwa perusahaan ituakan mundur jika masyarakat setempatmengatakan mereka tak menginginkan proyekitu terus berjalan di sana. Akhirnya, di bawahancaman kampanye konsumen terhadap

produk terkenal perusahaan itu (tisue, kertastoilet), perusahaan mengundurkan diri dariproyek itu. Hal ini menyebabkan mitrapatungannya yang berasal dari Indonesia(Astra) dan beberapa menteri marah, lalumenyerang balik kelompok ORNOP.

Sejak peristiwa dengan Scott Papertersebut, Papua terus dikepung oleh proyekeksploitasi sumber daya alam – sebagian

sudah berjalan, sebagian belum, ada yangdalam skala besar-besaran, ada juga yang takbegitu besar; ada yang dengan ijin resmi, adayang ilegal. Proyek-proyek ini antara lain megaproyek Memberamo seluas 8 juta hektareuntuk pembangunan bendungan pembangkitlistrik tenaga air, infrastruktur, industri beratdan agro-industri (yang belum dimulai) hinggaoperasi penyelundupan kulit buaya yang

Catatan satu dekade program transmigrasi dari arsip DTE:1999: Setelah peluncuran buku George Monbiot, Poisoned Arrows, Kedutaan Besar

Indonesia membela program transmigrasi di Papua, dengan mengatakan bahwa Indonesiatidak memaksa warga Papua untuk hidup secara modern, tetapi berusaha mencegahagar mereka tidak hidup secara berpindah-pindah (nomaden) (3). Kepala kantor wilayahtransmigrasi berpendapat bahwa program transmigrasi perlu digalakkan karenakepadatan penduduk di Papua hanyalah 3,4 orang per km2. Rencana untukmendatangkan 23.000 keluarga dalam waktu lima tahun tak terpenuhi, hanya 4.555keluarga yang didatangkan. Selama ini sejumlah 23.000 keluarga telah didatangkan kePapua dan yang paling banyak tinggal di Merauke (4).

1990: Target lima tahun yang baru untuk Papua adalah 29.905 keluarga. Rencana untukmemindahkan 4.000 keluarga diumumkan untuk tahun 1990/91 untuk Indonesia bagianTimur.Tetapi dilaporkan adanya lokasi yang tak dihuni di beberapa daerah di Papuadengan rumah-rumah yang perlu diperbaiki dan lahan yang perlu dibuka sebelumkeluarga transmigrasi dapat pindah ke sana (8).

1992: Di Merauke, 163 keluarga meninggalkan lokasi transmigrasi karena kurangnyapersiapan dan kondisi kekeringan.Angka resmi transmigrasi ke Merauke sejak tahun1964 adalah sebesar 12.064 keluarga plus 1.712 keluarga lokal yang menetap di lokasitransmigrasi. Meskipun terdapat masalah, Departemen Transmigrasi memperkirakanbahwa Merauke memiliki potensi untuk mengakomodasi 100.000 keluarga dalam‘kawasan segitiga transmigrasi’ seluas 1,2 juta hektare.Terdapat rencana untukmembangun waduk besar di Sungai Digul untuk menyediakan irigasi, yang akan selesaidalam waktu 25 tahun (19).

1994: Menteri Penerangan Harmoko berkata ia berharap bahwa melalui programtransmigrasi penduduk Papua akan dapat cepat meningkat untuk mengeksploitasipotensi ekonominya yang besar. Suharto berencana untuk membagi Papua menjadi tigaprovinsi untuk mempercepat pembangunan infrastruktur pendukung. Juga direncanakanakan dibangun lokasi transmigrasi di sepanjang daerah perbatasan dengan Papua Nugini(23).

1996: Papua adalah daerah transmigrasi paling luas untuk tahun 1996/7. Kebijakantransmigrasi baru untuk Papua diumumkan: masyarakat adat Papua tak lagi tinggalbersama pendatang dari luar Papua di lokasi transmigrasi yang sengaja dibuka, tetapidesa asli mereka akan ‘direstrukturisasikan’.Tujuannya adalah untuk mempercepatpembangunan. Lokasi baru “khusus” direncanakan di Timika dan Lereh. Lokasitransmigrasi baru di Sorong diumumkan (28). Lokasi transmigrasi tengah dibangun didalam Taman Nasional Wasur, Merauke (35).

1997: RUU Transmigrasi yang baru tidak mencakup aspek pertahanan dan keamanan daritransmigrasi. Menteri Transmigrasi Siswono menekankan bahwa Papua memiliki “terlalusedikit penduduk” dan berkilah bahwa lebih banyak pendatang diperlukan untukmempercepat laju pembangunan (32). Sejak tahun 1964 246.000 orang telahdidatangkan ke Papua dan 110.000 lagi akan didatangkan hingga tahun 1999.WALHImemperingatkan bahwa warga Papua akan menjadi minoritas di tanah mereka sendiridan mendesak agar program transmigrasi dihentikan (32).

1998: Terdapat tanda-tanda bahwa krisis keuangan (‘krismon’) mungkin akan memaksapemerintah untuk mengurangi program transmigrasi (37), tetapi dokumen pemerintahmengindikasikan bahwa program itu akan dilanjutkan.Angka transmigrasi dari tahun1969/70 hingga 1993/4 untuk Papua dan Maluku adalah 81.401 keluarga. Rencanapembangunan lima tahun saat ini (94/95-98/99) mencakup didatangkannya 67.210keluarga untuk wilayah yang sama (39).

2000: Pemerintah provinsi mendesak pemerintah pusat untuk menghentikan pengirimankeluarga transmigran ke Papua dan mulai memberdayakan warga Papua (45).Angkaresmi menunjukkan bahwa jumlah penduduk sebesar kurang lebih 2 juta dan sekitarsetengahnya merupakan masyarakat adat Papua (45).

Catatan: angka-angka dalam kurung merujuk pada edisi buletin DTE

(bersambung dari halaman 1)

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 6: DTE 89 Web Indo

4

melibatkan pejabat pemerintah dan militer(yang sudah terjadi). Juga ada rencana BPHuntuk membuka pertambangan nikel raksasadi Pulau Gag (dibatalkan) hingga proyekTangguh yang luar biasa besarnya milik BPberupa ekstraksi gas dan pabrik LNG di TelukBintuni (tengah berjalan).

Satu proyek yang terus ada dalamsejarah Papua mutakhir adalah tambangtembaga dan emas Freeport-Rio Tinto dipegunungan tengah Papua. Seperti yangtercatat dalam kronologi di bawah ini, proyekraksasa tersebut telah membawa banyakmanfaat bagi investor tetapi menimbulkanbanyak pelanggaran HAM dan lingkunganhidup terhadap penduduk setempat. Hinggaawal abad 21 ini, proyek tambang raksasatersebut menjadi acuan atau contoh burukuntuk tidak melakukan proyek pembangunansumber daya alam di Papua.

Perusakan Hutan PapuaBarangkali hal yang paling mengganggu adalahpengurasan sumber daya Papua yangberdampak sangat merusak kekayaan hutanPapua yang kaya, penuh keanekaragamanhayati dan unik. Ketika hutan rusak, matapencaharian masyarakat yang tergantung padasumber daya itu menjadi berkurang ataubahkan hilang sama sekali.

Hutan merupakan target utamainvestor, mula-mula melalui konsesi HPH danpembukaan hutan untuk lokasi transmigrasi,dan belakangan melalui konsesi HTI. Melaluiperaturan daerah, lalu otonomi khusus,desentralisasi kekuasaan memicu perseteruanuntuk memegang kendali antara pemerintahPapua dan pemerintah pusat. Mafia kayu yangbaru adalah para pedagang kayu dan petugaskeamanan serta pejabat setempat, seiringdengan beralihnya demam kayu dariKalimantan ke Papua. Dalam dekade terakhirini proyek kelapa sawit dan bubur kayu sertaberbagai kegiatan lain semakinmenghancurkan hutan Papua, di samping ataubersamaan dengan penebangan hutan.

Sekarang ini, tanaman untuk pangandan penghasil energi yang ditargetkan melaluiMIFEE merupakan ancaman tambahan bagihutan dan penghuni hutan. HTI, proyekpengembangan kelapa sawit dan MIFEEsemuanya merongrong kredibilitas komitmenyang dibuat presiden Indonesia SusiloBambang Yudhoyono untuk mengurangi emisigas rumah kaca Indonesia sebesar 26% pertahun 2020.3

Konteks transmigrasiProgram transmigrasi pemerintah Indonesiayang sangat merusak untuk memindahkanjutaan warga desa dari Jawa, Bali dan Madurake ‘pulau-pulau luar’ yang kurang padatpenduduknya sedang gencar dilaksanakanketika DTE didirikan tahun 1988. Papua,dengan status politik yang bermasalah,gerakan perlawanan bersenjata, operasi

militer yang brutal dan sering dilakukanterhadap masyarakat setempat untukmembersihkan pembangkang politik dandaerah perbatasannya dengan Papua Nuginiyang panjang dan relatif ‘terbuka’, merupakantarget utama program transmigrasi. Di Papua,sama seperti di daerah perbatasan lainnya,program itu dimaksudkan untuk memperkuatkendali dan pertahanan teritorial sertamengakses dan mengembangkan kekayaanalam yang kaya dari daerah itu.Ada pula tujuanuntuk ‘mengajarkan warga Papua bagaimanabertani’ selain usaha yang disengaja untukmendorong penambahan penduduk guna‘mempercepat pembangunan’.

Transmigrasi tetap merupakan halsensitif khususnya di Papua. Semakin banyakpendatang menetap di Papua, baik melaluiprogram resmi transmigrasi yang disponsoripemerintah maupun sebagai pendatang yangdatang sendiri. Dampak keseluruhannyaadalah meningkatnya populasi warga yangbukan merupakan masyarakat adat Papua.Riset baru-baru ini mengindikasikan bahwawarga yang bukan merupakan masyarakatadat Papua jumlahnya melebihi masyarakatadat Papua pada tahun 2010 dan bahwajumlah penduduk yang bukan merupakanmasyarakat adat Papua cenderung tumbuhlebih cepat dibandingkan dengan masyarakatadat Papua.4

Proyek MIFEE akan lebihmenegaskan keadaan ini. Perkiraan jumlahpekerja yang diperlukan untuk perkebunansumber pangan dan energi yang direncanakanberkisar antara puluhan ribu hingga jutaanorang. Berapa pun jumlah akhirnya, hal iniakan menambah tekanan atas sumber daya

alam dan lebih menekan masyarakat adatPapua ke posisi minoritas.

Dalam konteks politik yang lebihluas, kekhawatiran terkait dengan populasi iniberhubungan dengan pertanyaan mengenaistatus politik Papua dan bagaimana identitasPapua didefinisikan. Jika, pada akhirnya,terlaksana penentuan nasib sendiri yang sejatidi Papua, seperti apakah hasilnya, mengingatbahwa lebih dari setengah penduduknyaadalah bukan merupakan masyarakat adatPapua? Atau, jika terdapat upaya untukmembatasi hak sehingga pendatang baru takmemperoleh hak untuk memberikan suara,bagaimana hak itu akan ditentukan? Jikakriteria pemberian suara dikaitkan denganidentitas Papua, bagaimana identitas itu akanditentukan? Siapa yang akan memilikikewenangan untuk menjawab pertanyaantersebut?

MIFEE: buku yang samadengan sampul berbeda?Berdasarkan pengalaman sebelumnya denganbeberapa mega proyek, MIFEE dikhawatirkanakan membawa lebih banyak kerugiandaripada manfaat. Mega proyek untukmengubah lahan gambut di Kalimantan Tengahmenjadi sawah yang menimbulkan banyakkerusakan pada tahun 1990-an merupakanproyek ambisius serupa dengan tujuankeamanan pangan yang berakhir dengankehancuran ekologi—termasuk pelepasanjutaan ton CO2—dan memiliki dampaknegatif bagi masyarakat Dayak setempat.5

Proyek MIFEE melibatkan 10BUMN dan 37 perusahaan swasta, termasukperusahaan asing. Paling sedikit duaperusahaan dilaporkan tengah menyelesaikanAMDAL mereka. Luas areanya berkisar antarasetengah juta hektare hingga 2,5 juta hektareatau lebih, tergantung dari sumber informasi.Sementara proyek itu dipromosikan sebagaiupaya untuk mendorong keamanan panganIndonesia, keterlibatan perusahaan asingmengindikasikan bahwa pasar ekspor akanmendapat prioritas. Mega proyek itu telahmenimbulkan banyak kekhawatiran di antaramasyarakat setempat, kelompok gereja, danorganisasi masyarakat sipil. Sejumlahkelompok lokal, yang didukung AliansiMasyarakat Adat Nusantara (AMAN),menolak keras proyek tersebut,.6

Apa yang berubah sejak jaman ScottPaper? Masyarakat setempat akanterpinggirkan, pekerja transmigran akandidatangkan, hutan dibuka dan sumber dayahutan digaruk; perusahaan dan investor besarmencari keuntungan. Militer mungkin jugamendapatkan manfaat dari uang keamanansama seperti yang mereka dapatkan daritambang Freeport-Rio Tinto, kelapa sawit danpenebangan hutan.

MIFEE dapat digunakan oleh militersebagai pembenaran atas kebutuhan pasukanuntuk mengamankan proyek—situasi yang

Piagam di kampung Domande, Merauke(Foto: Adriana Sri Adhiati)

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 7: DTE 89 Web Indo

meningkatkan potensi pelanggaran HAMterhadap warga setempat. Masih ada semuaunsur untuk melanjutkan eksploitasi sumberdaya dan peminggiran masyarakat setempatseperti yang sudah dilakukan selamaberpuluh-puluh tahun.

Satu perbedaan besar dari jamanScott Paper adalah, mungkin, potensi yanglebih besar bagi masyarakat sipil untukmemonitor dan memaparkan dampak negatif.Sementara wartawan independen masihmengalami banyak keterbatasan untukmendapatkan akses ke Papua dan Papua Barat,komunikasi antara Papua dan dunia luarmeskipun tersendat-sendat tetapidimungkinkan berkat jaringan organisasimasyarakat sipil Papua dan non-Papua yangbergerak dari dalam dan luar Papua. Ini berartibahwa informasi independen yang kritis dapatkeluar masuk Papua dan kekhawatiranmasyarakat dapat disuarakan dengan lebihefektif daripada di masa Scott Papper. Tapimasih harus dilihat apakah pengambilkeputusan akan menanggapi pesan merekadengan serius dan mulai memberikandukungan berkelanjutan bagi masyarakatdengan pendekatan dari bawah ke atasketimbang membangun berbagai mega proyekdengan pendekatan dari atas ke bawah.

Catatan1. Untuk latar belakang lebih lanjut, lihat

terbitan berkala DTE 1-6, 1989.2. Kampanye internasional menentang

pendanaan Bank Dunia untuk proyektransmigrasi yang banyak menimbulkan

kerusakan juga terjadi tahun 1980-an.Rencana untuk memindahkan ratusan ribuwarga miskin dari Jawa, Bali dan Madura ke‘pulau-pulau luar’ yang menjadi sasaran(Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Timor, Papua)khususnya sensitif untuk Papua dan juga Acehdan Timor Timur, karena status politik yangbermasalah di daerah tersebut.

3. Lihat DTE 84.4. David Adam Stott, ‘Indonesian Colonisation,

Resource Plunder and West PapuanGrievances’, The Asia-Pacific Journal Vol 9, Edisi12 No 1, Maret 21, 2011,http://www.japanfocus.org/-David_Adam-Stott/3499. Angka tahun 2010 adalah

1.760.557 (49%) untuk masyarakat adatPapua dan 1.852.297 (51%) untuk warga yangbukan merupakan masyarakat adat Papua,didasarkan atas penambahan jumlahpenduduk dan laju pertumbuhan pendudukuntuk kedua kelompok itu dan penerapannyapada hasil sensus 2010. Tak seperti tahun2000, sensus 2010 tidak menyediakaninformasi mengenai komposisi kelompoketnis dan agama di provinsi Papua dan PapuaBarat..

5. Lihat DTE 42.6. Lihat Siaran Pers Tapol & DTE, Agustus 2010.

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

5

Peta Pemda Merauke tentang perkebunan yang direncanakan di kawasan hutan Merauke

areal penggunaan lainhutan lindunghutan produksihutan produksi konversihutan produksi terbataskawasan suaka alam/pelestarian alam

Catatan: kotak-kotak yang dibuat di atas peta fungsi hutan menunjukkan lokasi 46 perusahaan yangberinvestasi di sana. Daftar perusahaan tersebut ada dalam peta yang asli.

Hutan rawa-rawa, Merauke. (Adriana Sri Adhiati)

Sumber: peta yang dikeluarkan olehPemda Merauke

Page 8: DTE 89 Web Indo

6

Mengakhiri konflik di Papua BaratSerbuan brutal aparat keamanan Indonesia terhadap Kongres Papua Ketiga di bulan Oktober menyebabkan enam

orang tewas dan ratusan lainnya dipukuli dan ditangkap. Deklarasi kemerdekaan oleh kongres itu serta usahapemerintah untuk membungkamnya sekali lagi membuat status politik wilayah itu menjadi sorotan. "Ironis sekali.

Saat warga Papua berkumpul untuk membahas hak dasar mereka, Indonesia menanggapi dengan melanggar hak-hak itu," kata Carmel Budiardjo, pengkampanye senior TAPOL, organisasi non-pemerintah yang berkantor di Inggris.

Dalam artikel di bawah ini Carmel memberikan pandangan atas perkembangan terakhir di wilayah itu.

Empat puluh tahun lebih telah berlalu sejakPapua Barat menjadi provinsi Indonesia.Warga Papua tidak pernah diberi kesempatanuntuk referendum. Alih-alih, yangdilangsungkan adalah Penentuan PendapatRakyat (Pepera), yang berlangsung tidak bebasdan tidak memberikan pilihan apapun.

Hanya seribu orang lebih wargaPapua, yang bertindak atas nama pendudukberjumlah ratusan ribu orang, memutuskan'dengan suara bulat' untuk menjadi bagianIndonesia. Wilayah yang luas itu secara defacto telah dikuasai Indonesia selamabeberapa tahun sesuai dengan ketentuanKesepakatan New York tahun 1962 antaraIndonesia dan Belanda.

Warga Papua tak bisa memberikansuara karena tak diikutsertakan dalampembicaraan, sementara Indonesiamendapatkan dukungan dari negara yangberkuasa di Barat dalam perselisihannyadengan Belanda mengenai masa depan wilayahitu. Ketika Pepera yang curang itu berlangsungpada tahun 1969, pasukan militer dalamjumlah besar diturunkan di Papua. Jumlahtentara bersenjata jauh melampaui jumlahpejabat PBB yang sangat sedikit dan tak dapatmengunjungi sebagian besar wilayah untukmemantau pelaksanaan Pepera tersebut.

Kehadiran wakil PBB yang takmemadai itu dimanfaatkan untuk mensahkankeputusan para kepala suku yangberpartisipasi dalam Pepera. Mereka telahdiperingati oleh militer mengenai konsekuensiyang buruk jika memilih untuk menolakintegrasi dengan Indonesia.

Sejak itu, Papua Barat menjadidaerah yang penuh dengan konflik daneksploitasi terhadap masyarakat adat yangmenderita diskriminasi, penggusuran daritanah mereka, dan secara berangsurkehilangan sumber mata pencaharian mereka,sementara kebebasan mendasar untukmenyampaikan pendapat, berkumpul danberserikat, dihalang-halangi dengan keras.Program transmigrasi yang diprakarsaipemerintah pusat menyebabkan masuknyabanyak penduduk dari Indonesia yangsekarang mendominasi sektor komersial danmenduduki sejumlah posisi senior dipemerintahan provinsi, kabupaten dankecamatan. Semua perkembangan inimengakibatkan masyarakat adat Papuamenjadi terpinggirkan serta miskin.

Ketika Papua Barat baru menjadibagian Indonesia, perlawanan bersenjata

dilancarkan oleh Organisasi Papua Merdeka(OPM). Meskipun OPM mencerminkanketidakpuasan yang dirasakan oleh sebagianbesar warga Papua karena ditekan sertadijajah oleh Indonesia, setiap usahaperlawanan bersenjata itu tak pernah berhasil.OPM yang minim perlengkapan bukanlahtandingan pasukan keamanan tentara danpolisi Indonesia yang jauh melebihi mereka.

Seruan untuk dialog Pasca Musyawarah Besar pimpinan suku padaawal tahun 2000, warga Papua mengadakanKongres Papua Kedua pada bulan Mei-Juni2000 yang dihadiri oleh ribuan orang. Dalamkongres inilah pemimpin Papua untukpertama kali menyerukan kepada pemerintahIndonesia untuk berdialog dengan fasilitatorpihak ketiga yang netral. Tetapi pemerintahpusat mengabaikan seruan itu dan tak pernahmengindahkannya sejak itu.

Kongres itu menghasilkan sejumlahkeputusan politik. Terbentuk Presidium

Dewan Papua dibentuk, yang kemudianmembuat kerangka acuan bagi dialog yangdiusulkan. Juga dibentuk komisi, yangdiharapkan akan memperbaiki sejarah - untukmenyelidiki cara curang yang membuat PapuaBarat menjadi bagian Indonesia.

Pada bulan Oktober 2004, ketikaSusilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilihmenjadi presiden Indonesia untuk masajabatannya yang pertama, ia bersama wakilpresiden Jusuf Kalla berusaha mencari apayang mereka harapkan sebagai penyelesaianyang komprehensif untuk Papua Barat. Padasaat pelantikan menjadi presiden, SBYmengatakan:

Pemerintah berkeinginan untukmenyelesaikan masalah Papua dengan caradamai, adil dan bermartabat, denganmenitikberatkan dialog dan persuasi.

Otonomi Khusus Dalam usaha untuk meredakan ketidakpuasanPapua dan keinginan kuat untuk merdeka,Papua Barat diberi otonomi khusus padabulan Oktober 2001 sesuai dengan undang-undang yang memberikan hak ekonomi danpolitik yang luas bagi warga Papua, danpembentukan dewan khusus, Majelis RakyatPapua, yang semua terdiri dari warga Papua.

Pada bulan Desember 2002, TomBeanal, wakil ketua PDP mencanangkan Papuasebagai 'Zona Damai'. Beanal mengambil alihkepemimpinan PDP pasca pembunuhan brutalpemimpinnya, Theys Hiyo Eluay, pada tahun2001 oleh pasukan elit Indonesia. Zona Damaimaksudnya adalah Papua Barat menjadi'kawasan yang bebas dari kekerasan,penindasan, dan penderitaan'. Konsep tanahdamai ini dipegang oleh tokoh agama di Papuadan juga OPM. Pada akhir 2007, para tokohagama kembali menyatakan bahwa konflikharus diselesaikan dengan damai, sambilmenekankan kembali komitmen sebagianbesar warga Papua untuk menggunakan cara-cara damai.

Dua tahun kemudian, pastor KatolikPapua, Pastor Neles Tebay menyampaikanprakarsa baru untuk mendorong dialog antaraPapua Barat dan pemerintah Indonesia. PastorTebay, yang mengabdikan dirinya untukmengupayakan dialog lebih dari pemimpinPapua lainnya, selalu menekankan bahwakekerasan tak dapat menyelesaikan konflik.Terlebih lagi, pada saat itu, jelas sekali bahwaOtsus gagal menjamin hak-hak warga Papua

Pasukan keamanan sebelum penyeranganKongres Ketiga Papua di Abepura,Oktober 2011. (Foto: sumber anonim)

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 9: DTE 89 Web Indo

7

seperti yang dijanjikan dalam UU no. 21/2001.Dengan semakin meningkatnya

frustrasi terhadap Otsus, warga Papua mulaimenuntut agar Undang-Undang Otsus ituharus "dikembalikan ke pemerintah pusat".Pada saat yang sama, ribuan rakyat di seluruhpenjuru Papua berdemonstrasi dengan damai,mengibarkan lambang tradisional mereka,bendera bintang kejora. Aksi ini ditanggapidengan tangan besi oleh aparat keamanan;sejumlah warga dipenjarakan atas tuduhanmelakukan makar. Tahun 2004, Filep Karmadihukum 15 tahun karena mengibarkanbendera bintang kejora dengan damai.Beberapa orang lainnya dihukum dua sampaitiga tahun hanya karena melakukan protes.

Sebuah kampanye, yang jugadidukung oleh TAPOL, sedang berlangsunguntuk menghentikan praktik represif yangmendakwa orang yang terlibat kegiatan politikdamai dengan pasal kejahatan kriminal sepertimakar, yang merupakan hukum warisan jamanpenjajahan Belanda.

Konferensi Damai Papua Seiring dengan protes yang terus meluas, adaprakarsa baru untuk mendorong dialog danperdamaian. Pada tanggal 7 Juli 2011, JaringanDamai Papua mengadakan Konferensi DamaiPapua yang dihadiri sekitar 500 orang dariseluruh Papua.

Konferensi ini juga dihadiri oleh tigapejabat tinggi Indonesia, yang memberikansambutan: Menko Polkam Djoko Suyanto,Komandan Militer Kodam Cenderawasih/XVIIdi Papua Barat May.Jen. Erfi Triassunu danInspektur Jenderal Bekto Soeprapto, kepalapolisi Papua Barat. Djoko Suyantomenggambarkan konflik di Papua Barat 'multidimensi' dan mengakui pentingnya komunikasidua arah-dengan kata lain, dialog.

Turut hadir dalam konferensi ituadalah gubernur provinsi Papua, BarnabasSuebu, yang menggarisbawahi paradoks diPapua Barat: wilayah yang kaya akan sumberdaya alam, tetapi penuh konflik internal yangmengarah pada disintegrasi sosial. Ia jugamenekankan tradisi Papua dalammenyelesaikan perselisihan lokal melaluipembicaraan yang "bermartabat" sebagai jalanterbaik untuk menghindari hilangnya nyawa.

Pastor Neles Tebay, koordinatorJaringan Damai Papua, setelah konferensiselesai mengatakan: "Saya inginmenggarisbawahi bahwa (rekomendasi) initidak dibuat untuk mencari siapa yang salah,tetapi lebih untuk memusatkan perhatian kitaatas masalah sebenarnya yang perlu diatasiuntuk menciptakan Papua yang damai."

Konferensi itu mengusulkansejumlah indikator untuk tujuan itu:

Masyarakat adat Papua harus merasatenang, aman, menikmati standar hiduplayak, tinggal di tanah mereka dan dalamhubungan damai dengan satu sama lain,dengan alam, dan dengan Tuhan.Masyarakat adat Papua tidak bolehmendapatkan stigma sebagai separatis atausubversif.

Masyarakat adat Papua harus bebas daridiskriminasi, intimidasi dan marginalisasi.Masyarakat adat Papua harus mendapatkanhak untuk berekspresi, menyatakanpendapat, dan berserikat.Segala bentuk kekerasan negara terhadapmasyarakat adat, termasuk perempuan dananak-anak, harus dihentikan.Siapapun yang terlibat dalam tindakankekerasan negara harus diadili dandihukum sesuai dengan rasa keadilanmasyarakat.Hak masyarakat adat atas tanah ulayatharus diakui secara hukum.Eksploitasi sumber daya alam harusmempertimbangkan konservasi sumberdaya itu, mengakui kebiasaan setempat, dansedapat mungkin memberikan manfaatsebesar-besarnya bagi masyarakat adatPapua.Perusahaan yang menghancurkanlingkungan dan merusak hak kepemilikantanah adat harus diberi sanksi hukum danadministratif.Praktik konversi hutan yang berkontribusipada pemanasan global harus dihentikan.

Terkait dengan persoalan keamanan,konferensi mengusulkan agar aparatkeamanan menjalankan tugasnya secaraprofesional dan menghormati hak asasimanusia yang mendasar untuk melindungirasa aman masyarakat adat Papua. Operasiintelijen yang mengintimidasi ataumenciptakan rasa tidak aman harusdihentikan. TNI dan Polri harus dilarangterlibat dalam bisnis atau politik, dengansanksi hukum bagi yang melanggar.

Terkait dengan masalah sosial danbudaya, konferensi mengusulkan agar haksosial dan budaya masyarakat adat Papuatermasuk hak atas tanah adat dan norma-norma adat harus diakui dan dihormati.Pemberian label kepada warga Papua sebagaiorang bodoh, suka mabuk-mabukan, pemalasdan primitif harus dihentikan.

Diskriminasi terhadap warga yangmenderita HIV dan AIDS harus dihentikan.Segala upaya harus dilakukan untukmengurangi tingkat kematian ibu dan anakdalam masyarakat adat Papua dengan bantuanlayanan medis profesional. Kebijakan yangmengarah pada pengurangan penduduk dalammasyarakat adat Papua seperti program

keluarga berencana harus dihentikan, danharus diambil langkah-langkah untukmembatasi imigrasi ke Papua Barat.

TNI menentang dialog Tetapi, kurang dari dua bulan setelahkonferensi damai itu, dalam pertemuandengan anggota DPR pada tanggal 21 AgustusPanglima TNI Laksamana Agus Suhartonomengatakan bahwa "TNI tak akan melakukannegosiasi dengan gerakan separatis, khususnyaOPM. Tak ada (negosiasi), dalam bentukapapun juga."

Pernyataan itu tampaknyadimaksudkan untuk menentang pandanganyang lebih toleran dari anggota senior TNIyang menghadiri konferensi damai di bulanJuli. Hal itu juga menunjukkan bahwapendekatan yang toleran terhadap dialog olehtokoh agama Papua akan terus menghadapiperlawanan di tingkat tertinggi dalampemerintahan pusat. Jelas bahwa jalan menujudialog dan damai akan terus dihambat olehmiliter di Indonesia yang tak bermaksudmengakhiri konflik, diskriminasi danpelanggaran HAM yang telah berlangsungpuluhan tahun di Papua Barat.

Seruan berulang kali untukberdialog tidak pernah ditanggapi olehpemerintah Indonesia sehingga mendorongmunculnya tuntutan untuk referendum. Padatanggal 2 Agustus, ketika pertemuanPengacara Internasional untuk Papua Barat(ILWP) di Inggris sedang berjalan, berlangsungdemonstrasi oleh Komite Nasional PapuaBarat (KNPB) di berbagai bagian Papua Barat.Pasukan keamanan Indonesia dengan senjatalengkap dikerahkan untuk menghadapidemonstrasi, yang mengungkapkanperlawanan terhadap kekuasaan Indonesiadan menyerukan dialog serta tuntutan agardiadakan referendum sebagai "satu-satunyasolusi jangka panjang dan dapat dipercayauntuk menentukan masa depan Papua bagiwarga Papua."

Kebutuhan akan prakarsa politikyang mendesak atas Papua menjadi sorotansecara tragis ketika enam orang tewas dalampenyerbuan brutal terhadap Kongres RakyatPapua Ketiga yang diadakan pada 17-19Oktober di Jayapura. Aparat keamananIndonesia bertindak dengan kekerasan ketikapemimpin masyarakat adat Papua, yangberkumpul untuk membicarakan hak-hakdasar mereka, mengeluarkan deklarasikemerdekaan. Hal ini membuat perjuanganPapua akan semakin intensif dan menunjukkanperlunya dukungan internasional yang lebihbesar bagi resolusi damai atas konflik itu.

Detail mengenai Konferensi Damai dapatdibaca dalam laporan singkat InternationalCrisis Group briefing, Indonesia: Hope andHard Reality in Papua,Asia Briefing N°126,Jakarta/Brussels, 22 Agustus 2011,http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asia/indonesia/B126%20Papua%20-%20Hope%20and%20Hard%20Reality.pdf

Mengulangi seruan damaiPemimpin kampanye damai, Pastor NelesTebay, meminta Komnas HAM untukmenyelidiki tindakan kekerasan yang terjadipada akhir Kongres Rakyat Papua Ketiga. Iamengulangi dukungannya atas seruan bagidialog antara Jakarta dan Papua untukmengakhiri kekerasan dan mencegahtimbulnya kekerasan di masa mendatang diTanah Papua.

(Sumber: Bintang Papua, 26/Okt/2011).

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 10: DTE 89 Web Indo

8

Indonesia Ditegur Terkait MIFEEKomite Penghapusan Diskriminasi Rasial Persatuan Bangsa-bangsa telah menyurati pemerintah Indonesia guna

menyampaikan kekhawatiran mengenai berbagai dampak dari proyek Lumbung Pangan dan Energi TerpaduMerauke (MIFEE) terhadap masyarakat adat yang terkena dampak megaproyek agroindustri ini.

MIFEE diluncurkan secara resmi lebih darisetahun yang lalu.1 Semenjak itu, telahdilakukan beberapa investigasi mengenaibagaimana masyarakat lokal Papua yangberada di daerah sasaran tersebut bertahanhidup saat perusahaan-perusahaanberdatangan untuk membuka lahanperkebunan. Investigasi ini telah menemukanbukti bahwa hak-hak masyarakat lokaldiabaikan dalam 'perlombaan' untukmengembangkan lahan tersebut.

MIFEE, Tak Terjangkau Angan Malind,sebuah buku yang disusun oleh PUSAKA(Pusat Studi, Dokumentasi dan Advokasiuntuk Hak-hak Masyarakat Adat), merupakanstudi paling mendalam yang pernahditerbitkan hingga hari ini, berdasarkankunjungan-kunjungan lapangan danpertemuan dengan masyarakat. (Lihat jugaartikel terpisah tentang laporan hasil kerjaPUSAKA). Diterbitkan awal tahun 2011, bukutersebut mengungkap bagaimana orangkampung diperdaya hingga menjual tanahleluhur mereka dan mempertanyakan tentangarus masuk buruh migran, serta hilangnyahutan dan mata pencaharian, tentangmasyarakat adat Malind dan masyarakat adatlainnya.

Pada bulan Juli dan Agustus tahun2011, sekelompok ornop menyampaikanserangkaian pengaduan kepada tiga lembagaPBB atas nama masyarakat adat yang terkenadampak MIFEE. Permohonan ini, ditujukankepada Komite Penghapusan DiskriminasiRasial (CERD), Pelapor Khusus KeamananPangan dan Komite Hak-hak Ekonomi, Sosialdan Budaya (CESCR), meminta agar MIFEEsegera ditangguhkan sampai hak-hak adattelah dijamin dan persetujuan merekaberdasarkan informasi awal tanpa paksaantelah diperoleh untuk setiap pembangunanyang berdampak terhadap tanah dan sumberdaya mereka. Di bawah ini adalah sebuah versiringkas dari surat yang dikirim kepada CERDtersebut.

Tanggapan CERDPada bulan September 2011, Ketua CERD,Anwar Kemal, menulis surat kepada DutaBesar Indonesia di Jenewa untukmenyampaikan kekhawatiran mengenaiproyek tersebut, mengenai bagaimana proyektersebut menerima dukungan dari negara danperlindungan dari tentara Indonesia danmengenai tuduhan bahwa masyarakat telahdimanipulasi oleh para investor untukmemperoleh tanah mereka. Surat tersebutmerujuk kepada rekomendasi yang dibuattahun 2007, dan korespondensi sebelumnya

pada tahun 2009, di mana CERD menguraikansecara singkat kekhawatiran mengenai situasimasyarakat adat di Indonesia (yang belumdibalas oleh pihak Indonesia). Surat bulanSeptember 2011 tersebut meminta informasitentang langkah-langkah yang diambilIndonesia untuk menangani rekomendasi dankekhawatiran ini.2 Surat itu meminta informasitentang langkah-langkah "untuk secara efektifmeminta persetujuan atas dasar informasiawal tanpa paksaan dari masyarakat Malinddan masyarakat adat lainnya di Papua sebelummelaksanakan proyek MIFEE" danmenanyakan apakah telah dilakukan penilaianmengenai dampak terhadap "kebiasaan dan

mata pencaharian tradisional masyarakatMalind dan masyarakat lainnya," serta"dampak transmigrasi terhadap kapasitasmereka untuk bertahan hidup sebagaikelompok minoritas". Akhirnya, Komitememinta dilakukan sebuah pertemuan untukmendiskusikan isu-isu ini pada sidangberikutnya di Jenewa dari 13 Februari sampai13 Maret 2012.

1 Lihat http://www.downtoearth-indonesia.org/story/journalist-s-death-overshadows-launch-papua-food-project

2. Surat dari Anwar Kemal kepada Bapak DianTriansyah Djani, 2 September 2011.

Pengaduan kepada CERD

Berikut adalah sebagian pengaduanPermohonan untuk Pertimbangan atas SituasiMasyarakat Adat di Merauke, Provinsi Papua,Indonesia, berdasarkan Prosedur TindakanSegera dan Peringatan Dini dari Komite PBBuntuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, KomitePBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial,Sidang ke-79, 8 Agustus - 2 September 2011.Pengaduan ditandatangani oleh AbetnegoTarigan dari Sawit Watch dan Fergus MacKaydari Forest Peoples Programme dandisampaikan oleh 13 Organisasi MasyarakatSipil (CSO), termasuk DTE.

“Permohonan ini menyangkut situasimasyarakat adat Malind dan masyarakat adatlainnya dari Kabupaten Merauke, ProvinsiPapua, di Republik Indonesia. Atas namamasyarakat adat Merauke, dengan segalahormat permohonan ini disampaikan untukdipertimbangkan berdasarkan prosedurperingatan dini dan tindakan segera dariKomite Penghapusan Diskriminasi Rasial("Komite") oleh organisasi-organisasiIndonesia dan LSM internasional ("OrganisasiPemohon") seperti dijelaskan di atas.Masyarakat adat Malind dan masyarakat adatlainnya saat ini mengalami dan terancam olehkerusakan tambahan dan bersifat langsungyang tak terpulihkan akibat pengalihankepemilikan dan konversi tanah dan hutanleluhur mereka secara besar-besaran dantanpa-mufakat oleh proyek Lumbung Pangandan Energi Terpadu Merauke - MeraukeIntegrated Food and Energy Estate ("proyekMIFEE").

Sebelum memberi penjelasansepenuhnya mengenai proyek MIFEE dankrisis yang dihadirkannya di bawah ini, perludicatat sebagai landasan penting bagipermohonan ini bahwa pada saat para

pemimpin dan wakil dari para komunitas adatdi Merauke telah membahas komunikasi ini,memberi komentar terhadap isinya, danmenyetujui penyerahannya atas nama merekadalam suatu pertemuan tentang MIFEE danhak asasi manusia yang diselenggarakan diMerauke pada 22-25 Juli, para pemimpin danwakil yang hadir tersebut memutuskan untuktidak menandatangani dokumen ini atas namakomunitas dengan menyebutkan namakomunitas tertentu karena takut akantindakan balasan dari Pemerintah Indonesia.Hal ini didorong oleh fakta bahwa para wakildari kepolisian provinsi Papua dan intelijenmiliter nasional mengganggu danmengintimidasi para pemimpin dan wakiltersebut selama pertemuan itu. Pada haripertama, sedikitnya 12 petugas kepolisian danintelijen militer memasuki pertemuan tanpadiundang, menyatakan, dengan tanpa dasardan tidak berhasil meyakinkan, bahwa aturantertentu terkait izin pertemuan ataukehadiran penasihat asing masyarakat adattidak dipenuhi, dan meminta penasihat hukumasing dari Forest Peoples Programmedikeluarkan. Selama satu setengah harimereka menolak mengizinkan penasihathukum itu untuk melaksanakan pelatihan hakasasi manusia sebagaimana direncanakan danmeminta salinan presentasinya sebelummemberi persetujuan. Lebih lanjut, pada haripertama pelatihan hak asasi manusia, seorangpetugas intelijen militer duduk di dekat pintupertemuan dengan mengamati seluruhaktivitas, dan memasuki ruangan beberapakali untuk mengambil foto dari seluruhpartisipan, fasilitator, penasihat asing danbahkan penerjemah lokal. Petugas ini danyang lainnya terus menerus hadir selamapelatihan, kembali pada malam hari setelahpertemuan itu memasuki tahap tanya jawab,dan bahkan berkali-kali menempatkan mobil

(bersambung ke halaman berikut)

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 11: DTE 89 Web Indo

keamanan di depan pusat pelatihan tersebut.Dapat dimengerti, aktivitas-aktivitas ini -pelanggaran kebebasan berkumpul, berbicaradan mengeluarkan pikiran, belum lagi hak ataskebebasan dari ancaman fisik akibatmenghadiri pertemuan seperti itu -menyebabkan diambilnya keputusan agarhanya para Organisasi Pemohon yangmengajukan komunikasi peringatan dini/aksisegera ini atas nama mereka.

Dalam konteks peristiwa baru-baruini seputar MIFEE dan pelatihan hak asasimanusia inilah Komite Anda dapat memahamidengan baik lingkungan di mana proyek MIFEEsedang didukung oleh pemerintah dandipaksakan terhadap masyarakat adatMerauke. Proyek MIFEE adalah sebuahmegaproyek agroindustri yang diprakarsaiNegara, yang dilaksanakan oleh berbagaientitas perusahaan yang hingga kini mencakupsekitar 2 juta hektare tanah adat tradisional.Kerusakan tak terpulihkan yang telah dialamioleh masyarakat adat yang terkenadampaknya akan semakin meluas dan semakinhebat dalam beberapa bulan mendatangdengan semakin banyaknya perusahaan yangmulai beroperasi. Patut dicatat bahwa tenagakerja yang dibutuhkan akan dibawa masuk dariwilayah luar. Sementara itu, orang Papua aslihanya akan dipekerjakan sebagai pekerja kasaratau tidak diberi pekerjaan sama sekali. Selainitu, diperkirakan bahwa antara 2-4 jutapekerja akan didatangkan ke Merauke -sebuah proses yang telah dimulai - untukmenyediakan tenaga kerja untuk proyekMIFEE, yang selanjutnya mengancam hak-hakdan kesejahteraan masyarakat adat Malindyang berjumlah sekitar 52.000 jiwa. Menurutsensus 2010, jumlah penduduk Meraukeadalah sekitar 173.000. Jumlah penduduk asliMerauke adalah sekitar 73.000 orang.

Proyek MIFEE telah berdampak danakan terus berdampak terhadap rangkaianhak-hak yang saling bergantung satu sama lainsehingga sangat merugikan masyarakat adat.Dalam hal ini, Pelapor Khusus PBB tentanghak atas pangan, Dr Olivier De Schutter, telahmenekankan berbagai ancaman terhadap hakasasi manusia yang ditimbulkan oleh"pengambilalihan dan sewa tanah, yang lebihsering disebut sebagai 'perampasan tanah'"berskala besar, sama seperti proyek yangdigagas di bawah proyek MIFEE. Beliaumenyatakan bahwa masyarakat adat secarakhusus sangat rentan dan sering mengalamikerusakan tak terpulihkan dalam konteks ini,dan menekankan perlunya penghormatanpenuh terhadap hak-hak mereka, khususnyaseperti ditegaskan dalam Deklarasi PBB 2007tentang Hak Masyarakat Adat. Patut dicatatbahwa ada beberapa contoh nyata lainnyayang telah terjadi di berbagai tempat lain.

Mengutip Komite Hak AsasiManusia, Pelapor Khusus hak atas panganmenjelaskan bahwa "tidak ada tanah siapapun,termasuk khususnya masyarakat adat, yangdapat diubah penggunaannya tanpa konsultasi

sebelumnya." Beliau kemudianmerekomendasikan bahwa "setiap pengalihandalam penggunaan lahan hanya dapatberlangsung dengan persetujuan atas dasarinformasi awal dan tanpa paksaan darimasyarakat setempat yang bersangkutan. Halini sangat penting bagi masyarakat adat,mengingat sejarah diskriminasi danpeminggiran yang telah mereka alami."Rekomendasi Pelapor Khusus selaras denganDeklarasi PBB tentang Hak-hak MasyarakatAdat dan dengan yurisprudensi Komite.Komite, misalnya, merekomendasikan agarnegara peserta Konvensi Internasionaltentang Penghapusan Diskriminasi Rasial("ICERD"), antara lain, sungguh-sungguhmengakui, menjamin dan melindungi hak-hak

masyarakat adat untuk memiliki danmenguasai tanah, wilayah dan sumber dayatradisional mereka, dan menyoroti hak-hakmasyarakat adat untuk memberikan atautidak memberikan persetujuan mereka atasdasar informasi awal setiap kali pertimbangandiberikan terhadap langkah-langkah yangdapat mempengaruhi hak-hak mereka.Rekomendasi Pelapor Khusus juga selarasdengan rekomendasi Komite tahun 2007 dantahun 2009 kepada Indonesia...

Meskipun begitu, denganmengabaikan rekomendasi gamblang dariKomite, Indonesia terus mengupayakanekspansi besar-besaran kegiatan agroindustridan ekstraktif di Papua dan di tempat lain:proyek MIFEE di Merauke adalah simbolbagaimana perluasan agroindustri di Indonesiasedang terjadi dengan mengorbankan hak-hakmasyarakat adat. Ekspansi ini melibatkanperambahan besar-besaran dan pengalihankepemilikan tanah masyarakat adat untukmendukung kelapa sawit, pembalakan dan

perusahaan lain dan membanjirnya pekerjadari luar, yang jumlahnya akan mengerdilkanjumlah penduduk asli yang ada sekarang. Halini mewariskan masyarakat yang terkenadampak dengan masa depan yang sangatberbahaya, pilihan sumber penghidupan yangsangat jauh berkurang dan kehancuranekonomi tradisional mereka, mengingatperkebunan adalah tanaman tunggal yangmembutuhkan pembukaan hutan danekosistem lainnya di mana masyarakat adatmenggantungkan kehidupan mereka. Ini jugamenyebabkan dampak buruk terhadappelaksanaan hak-hak budaya, spiritual dan lain-lainnya, yang semuanya saling terkait satusama lain dengan, dan tergantung pada,jaminan penguasaan tanah, wilayah dansumber daya tradisional mereka...

Masyarakat Malind danMasyarakat Adat Lainnyayang Terdampak oleh MIFEEProyek MIFEE akan berdampak padamasyarakat Malind yang berjumlah sekitar50.000 jiwa, dan masyarakat adat lainnya(Muyu, Mandobo, Mappi, dan Auyu) diKabupaten Merauke. Sebagian besar darimereka tinggal di daerah hulu sungai dan tidakmenetap di lokasi desa atau ladang yangpermanen, melainkan menempati serangkaianpondok di dalam hutan, yang mereka gunakansecara teratur. Masyarakat adat Malind hidupdengan mengumpulkan sagu, berburu danmencari ikan, dan sangat tergantung padakesehatan ekosistem hutan mereka untukkebutuhan dasar dan ekonomi tradisionalmereka. Mereka dibagi menjadi enam klanyang memiliki tanah berdasarkan hukum adatdan sistem kepemilikan. Tanah merekamengandung nilai sakral karena adanyaidentifikasi berbagai tempat dengan rohleluhur dan kerabat.

Masyarakat adat Malind danmasyarakat adat lainnya serta para tokoh adattelah menyatakan keprihatinan serius tentangproyek MIFEE berkaitan dengan berbagaidampak buruk saat ini dan di masamendatang. Mereka juga mengeluh tentangmanipulasi masyarakat oleh investor danoknum pejabat Negara yang berusahamendapatkan tanda tangan masyarakat untukmemenuhi persyaratan hukum yang terkaituntuk menunjukkan surat bukti kepemilikanyang jelas terhadap tanah adat. Keprihatinanini telah disuarakan oleh Serikat PetaniIndonesia, yang mengutuk proyek MIFEE, olehAMAN, organisasi masyarakat adat nasional diIndonesia, dan oleh pihak-pihak lainnya,termasuk mantan Menteri PertanianIndonesia. Pernyataan AMAN dalam sidangke-9 Forum Permanen PBB mengenaiMasalah-masalah Adat menjelaskan tingkatkegawatan situasi tersebut dan menyebutproyek tersebut "tak dapat diterima."Pernyataan AMAN menyoroti ancamanterhadap masyarakat adat yang ditimbulkanoleh proyek MIFEE dan menyatakan bahwakebijakan pengalihan kepemilikan tanah saat

9

(sambungan dari halaman sebelumnya)

Penghidupan Masyarakat Adat yang Terancam:jaring ikan sedang dijemur di sebuah desa diMerauke. (Photo: Adriana Sri Adhiati)

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 12: DTE 89 Web Indo

10

ini yang mendukung perusahaan "hanya akanmemperburuk situasi hak asasi manusia,menyebabkan penggusuran-penggusuranpaksa dan pelanggaran-pelanggaran hak asasimanusia lainnya;" dan bahwa proyek itu akanberdampak besar pada mata pencaharian [darimasyarakat adat] dengan mengubahekosistem dan mengancam kedaulatan panganmasyarakat adat." Mengutip pengaruh budayadan pengaruh lainnya dari pergerakanpopulasi yang sejenis secara besar-besaranyang akan dibutuhkan untuk menyediakantenaga kerja untuk proyek MIFEE, AMANmenyimpulkan bahwa proyek tersebut akan"mengancam secara serius keberadaanMasyarakat Adat di dalam wilayah ini,mengubah mereka menjadi minoritas dari segijumlah penduduk, bahkan menyebabkankepunahan di masa depan. Hal ini,sebagaimana kita dapat katakan, adalahgenosida (pembasmian suku bangsa) secaraterstruktur dan sistematis...

Proyek MIFEE dan AncamanKerusakan Tak Terpulihkanbagi Masyarakat AdatPada 11 Agustus 2010 Menteri PertanianSuswono meresmikan Peluncuran AkbarLumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke(MIFEE) melalui sebuah upacara yang diadakandi desa Serapu, kecamatan Semangga. Takseorang pun di desa ini tahu apa yangsebenarnya sedang terjadi. Mereka barumenyadarinya beberapa minggu kemudian,ketika buldoser mulai menghancurkan hutansagu mereka, bahwa ternyata itu adalahupacara perampasan tanah mereka.

Proyek MIFEE ini dirancang untukmenghasilkan tanaman pangan, minyak sawit,produk kayu dan bahan bakar nabati, terutamauntuk ekspor. Keseluruhan wilayah yangdicakup oleh proyek ini digugat olehmasyarakat adat Merauke. Rencanapemerintah menjelaskan bahwa wilayah yangditargetkan secara total untuk proyektersebut saat ini adalah 1.282.833 hektare(423.251,3 hektare selama periode 2010-2014; 632.504,8 hektare tahun 2015-2019,dan 227.076,9 hektare pada tahun 2020-2030). Namun, menurut Badan PromosiInvestasi Daerah, 36 perusahaan telahmemperoleh izin atas lebih dari 2 juta hektareper Mei 2011. Perkebunan yang direncanakanadalah kelapa sawit, jagung, padi danperkebunan kayu. Kepemilikan lahan palingbesar mencapai lebih dari 300.000 hektare.Contohnya, sebuah perusahaan Indonesiayang dikenal sebagai Medco Group telahmemperoleh izin seluas 360.000 hektare yangmemungkinkannya menebang 60% hutan didalamnya. Nyaris seluruh hutan darimasyarakat adat Zanegi - yang berlokasi didalam daerah konsesi ini - telah ditebang.Anggota masyarakat tersebut tidak lagimemiliki akses fisik terhadap binatang yangbiasa mereka buru dan pangan yang biasamereka kumpulkan di hutan tradisionalmereka, karena hutan itu sudah tidak ada lagi.

Saat ini, tujuh dari izin-izin ini sudahberoperasi, mencakup wilayah seluas 760.000hektare....Sekitar 96 persen dari wilayah inidigolongkan sebagai 'hutan' oleh Negaraterlepas dari fakta bahwa masyarakat Malinddan masyarakat adat lainnya (Muyu, Mandobo,Mappi dan Auyu) menggugat keseluruhan dariwilayah ini sebagai tanah tradisional mereka,daerah tempat mereka memperoleh sumberpenghidupan mereka serta menjadi dasaruntuk identitas, budaya yang unik dankehidupan spiritual mereka.

Dalam rangka memperoleh konsesidan izin untuk membangun danmengoperasikan sebuah perusahaanperkebunan kelapa sawit dan bentuk-bentuklain dari konsesi, hukum yang berlakumewajibkan perusahaan pemohonmenunjukkan bahwa tidak ada hak pihakketiga di daerah yang dimaksud. Hal yang samajuga berlaku untuk proyek MIFEE. Untukperorangan yang memiliki hak kepemilikanyang diterbitkan oleh Negara, hukummewajibkan penyelesaian berdasarkan standarpenggusuran dan prosedur kompensasi.Dalam kasus masyarakat adat yang,berdasarkan hukum Indonesia, tinggal di tanahnegara yang tunduk pada hak ulayat yanglemah dan umumnya tidak dapat ditegakkan,perusahaan diharuskan mendapatkan suratyang ditandatangani masyarakat yangmenunjukkan bahwa masyarakat adattersebut telah melepaskan semua kepentingandi lahan yang dimaksud. Ini bukanlahpengakuan bahwa masyarakat adat memilikihak properti yang telah dilindungi, melainkansebuah persyaratan administrasi yang berlakubagi perusahaan sebagai bagian dari upayamenunjukkan jaminan hak kepemilikan. Ketikasuatu konsesi atau izin diterbitkan untukperusahaan, hal itu selalu merupakan suatusewa yang terkait dengan Negara dansebaliknya masyarakat adat tidak dilibatkan.

Dalam proyek MIFEE, hal tersebutdi atas telah menimbulkan praktek-praktekpemaksaan dan manipulatif untukmemperoleh tanda tangan. Sebuah kajianbaru-baru ini menyimpulkan bahwa"masyarakat Papua asli yang tidak siap sedangdibujuk, ditipu dan kadang-kadang dipaksauntuk melepaskan sebagian besar wilayahhutan untuk konglomerat yang kuat, yangdidukung oleh investor luar negeri dandifasilitasi oleh pemerintah pusat danprovinsi."

Kajian yang sama lebih lanjutmenjelaskan bahwa, "Bukti menunjukkanbahwa negosiasi-negosiasi antara pemiliktanah adat dan perusahaan perkebunan tidaksetara dan eksploitatif. Manfaat yangdijanjikan, seperti sekolah, listrik danperumahan jarang dipenuhi. Pembayaran gantirugi untuk tanah dan kayu tidak cukup.Anak-anak umur empat tahun diwajibkanmenandatangani kontrak sehingga perusahaandapat memastikan hal itu mengikat lahantersebut hingga puluhan tahun mendatang.

Dengan cara ini, tanah masyarakatadat Malind dan tanah lainnya sedang

dipindahtangankan, menjadi sasaran sewajangka panjang antara Negara danperusahaan-perusahaan swasta, dan dicerabutdari hutan mereka demi perkebunan tanamantunggal dan kegiatan industri ekstraktifdengan skala besar-besaran.

Cakupan penuh dari dampak jangkapanjang pada masyarakat Malind danmasyarakat adat lainnya yang terkena dampakoleh proyek MIFEE sulit untuk diperkirakandengan pasti. Meskipun begitu, dampak jangkapendeknya dalam banyak kasus masih ada,merupakan kerusakan tak terpulihkan, danmemberikan dasar yang cukup untukmemperkirakan berbagai dampak menengahdan jangka panjang. Seiring dengan semakinmeluasnya proyek MIFEE dalam beberapabulan dan tahun mendatang kerusakan takterpulihkan ini akan semakin hebat danmeningkat semakin cepat. Hal ini hampir pastiakan mengarah pada kehancuran masyarakatadat Malind dan masyarakat adat lainnyasebagai entitas budaya dan wilayah yangberbeda dan, dalam proses ini, menyebabkanprasangka ekstrem atas pelaksanaan danpemenuhan hak-hak individu dan kolektif darihak asasi manusia mereka.

...Beberapa dampak negatif danparah yang tampak sekarang antara lain:pemaksaan dan manipulasi; konflik dankekerasan antar-etnis yang meningkat, dantransformasi hutan di mana masyarakat adatMalind dan masyarakat adat lainnyamemperoleh hampir semua makanan merekamenjadi perkebunan tanaman tunggal yangtidak ada sumber makanan tradisional. Hewanburuan yang menyediakan sumber utamaprotein sudah mulai berkurang dan akanmenghilang dari daerah itu. Sebagian besartempat keramat masyarakat adat berada dihutan, beberapa tempat ini sudah hancur atauaksesnya sangat terbatas, dan ini akanmeningkat seiring dengan berlanjutnyapembukaan lahan. Hak milik dan hak-hak laindari masyarakat adat yang dijamin secarainternasional benar-benar diabaikan dalamproses ini dan hak-hak tersebut pada dasarnyadihilangkan. Dengan demikian, proyek MIFEEsudah mulai melemahkan ekonomi tradisionalmasyarakat adat dan jati diri serta keutuhanmereka, sebuah proses yang akan semakinhebat dan meluas seiring dengan semakinbanyaknya perusahaan mulai beroperasi.

Pengaduan selengkapnya kepada CERD(termasuk catatan kaki) dalam BahasaIndonesia ada di website DTE dihttp://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/indonesia-ditegur-terkait-mifee.Pengaduan ini dan pengaduan lainnya dalamBahasa Inggris ada website FPP:http://www.forestpeoples.org/topics/un-human-rights-system/news/2011/08/request-consideration-situation-indigenous-peoples-merauk.

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 13: DTE 89 Web Indo

Fokus dan minat perhatian dari programPUSAKA adalah mendukung gerakanmasyarakat adat di Indonesia. Kebanyakanmasyarakat adat berdiam dan hidup di sekitarkawasan hutan dan pesisir pantai. Merekamenjadi sasaran proyek-proyek sosial dankemiskinan. Kekayaan alam dan tanah merekadirampas dan dieskploitasi untuk dan atasnama pembangunan. Masyarakat adat telahmengalami ketidakadilan, kekerasan,kriminalisasi, diskriminasi dan marginalisasidalam mempertahankan hak-haknya.

Semenjak tahun 2009, PUSAKAbekerja di dua daerah yang mempunyai statusdaerah otonomi khusus (Otsus), yakni: Acehdan Papua. Dalam sejarah politik Indonesia,dua daerah yang memiliki kekayaan alam iniseringkali terlibat konflik dengan pemerintahyang berkuasa, utamanya pada erapemerintahan Orde Baru. Operasi danpendekatan militer terjadi bertahun-tahunterkesan 'sah', dilakukan untuk mengamankankepentingan pemodal maupun atas namamenumpas gerakan separatisme. Puluhan ribukorban tewas di kedua tempat. Masyarakattrauma dan kecewa atas ketidakadilan,kekerasan, kemiskinan dan peminggiran yangmereka alami.

Meskipun sudah menyandang statusdaerah Otsus, tidak serta merta konflikmenjadi surut. Perubahan sosial terjadi dankesejahteraan masyarakat mengalamipeningkatan berarti. Desentralisasikewenangan diikuti dengan perpindahanpermasalahan dari pemerintah pusat kedaerah.

Di Aceh, misalnya, pemerintahdaerah menerbitkan ijin lokasi untukperkebunan sawit kepada perusahaan PT. FajarBajuri dan PT. Inti Makmur Sawita padakawasan hutan di kampung-kampung yang adadi Mukim Lhok Kruet, Panga, Krueng Beukahdan Teunom, Aceh Jaya. Tidak ada prosesperundingan dan pengambilan kesepakatan. DiMukim Lamloeut, Aceh Besar, perusahaantambang biji besi PT.Tambang Indrapuri Raya,yang dioperatori oleh mantan 'kombatan'GAM, menambang di kawasan hutan yangtelah ditetapkan pemerintah Aceh sebagaikawasan strategis untuk proyek REDD+(Pengurangan Emisi dari Deforestasi danDegradasi Hutan).

PUSAKA bekerjasama dengan YRBI(Yayasan Rumpun Bambu Indonesia) danMDPM (Majelis Due Pakat Mukim) AcehBesar mengorganisasikan dan membicarakandengan masyarakat dan pimpinan ImeumMukim1 tentang permasalahan dan hak-hakmereka, merumuskan upaya yang dilakukan

dalam memulihkan dan menguatkan hak-hakatas tanah dan otoritas Imeum Mukim.Rendahnya komitmen pengakuan danperlindungan pemerintah terhadap hak-hakmasyarakat atas tanah dan kekayaan alam,membuat masyarakat khawatir kehilanganhak-hak mereka. Reaksi mereka bersikappasrah saja, atau sebaliknya, melawan. Hal inimenjadi tantangan sendiri dalam kerjapengorganisasian yang lebih sistematis diAceh.

FPIC atau Padiatapa2

Pada bulan September 2007, diumumkanDeklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP).Ketentuan tentang hak FPIC (Free Prior andInformed Consent) atau Padiatapa dalamUNDRIP yang menyebutkan bahwamasyarakat adat mempunyai hak menentukansikap dalam setiap kebijakan dan proyekpembangunan, telah mengundang banyakperhatian dan memberikan 'amunisi' kekuatanbagi gerakan masyarakat adat dan orangkampung. Pekerjaan advokasi dan peningkatan

kapasitas berhubungan dengan prinsip danhak FPIC maupun penerapannya, telahmengantar PUSAKA keliling ke beberapadaerah di Tanah Papua.

Dalam konteks dinamika sosialpolitik Papua dan status daerah otonomikhusus, mestinya pengakuan dan penerapanprinsip dan hak FPIC dalam pembangunan diPapua merupakan sebuah tindakan penegasanuntuk memenuhi rasa keadilan danpenghormatan terhadap orang asli Papua.PUSAKA bekerjasama dengan mitra JASOIL(Jaringan Sosial dan Lingkungan) diManokwari, Papua Barat, mengadakanpertemuan-pertemuan di kampung danpelatihan-pelatihan yang berhubungan denganFPIC. Kegiatan tersebut dilakukan bersamakomunitas suku Arfak di Prafi dan Sidey, sukuMpur di pedalaman Mubrani dan Kebar,berdialog dengan pemerintah daerah daninstansi teknis yang berhubungan dengan isupengakuan hak atas tanah dan hutan. Kegiatanserupa juga dilakukan bersama komunitas dibeberapa kampung di Waropen, Mamberamo,Mimika dan Merauke.

Praktik 'tipu-tipu'Komunitas-komunitas tersebut pernah dansedang mengalami konflik karena pemerintahsecara diam-diam tanpa persetujuanmasyarakat menetapkan dan memberikantanah dan hutan adat mereka kepadaperusahaan untuk dijadikan kawasanperkebunan, pembalakan kayu dan hutantanaman industri, proyek REDD dan programtransmigrasi. Proyek-proyek inimengakibatkan perubahan tatananpenguasaan dan peruntukan lahan dan hutan,yang sangat mempengaruhi dan memaksaperubahan corak produksi dan konsumsimasyarakat Papua. Orang Papua sangattergantung pada tanah dan hutan dengansistem pengelolaan tradisional yangmengandalkan tenaga keluarga. Proyek REDDyang dikelola sebagaimana programkonservasi akan berisiko membatasi aksesmasyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan.Frans Muktis dan anggota marganya tidakmengetahui kalau tanah dan kawasan hutanmilik mereka di Sidey menjadi lokasiperkebunan sawit milik anak perusahaan PT.Medco Grup. Mereka tidak pernahmendapatkan informasi tentang manfaat dandampak proyek, nasib hak mereka atas tanah,mata pencaharian mereka yang sangattergantung pada hutan. Mereka hanya diiming-imingi uang dan fasilitas. Tidak ada kejelasandampak dan risiko proyek. Masyarakat pasrahmenerima uang ganti rugi tanah sebesar

11

PUSAKA di Tanah PapuaFranky Samperante, Direktur PUSAKA

PUSAKA

"PUSAKA" terkesan kuno. Sebutan inidipilih tanpa sengaja oleh pendiriyayasan, sebagai kependekan dari PusatStudi Pendokumentasian dan AdvokasiHak-hak Masyarakat Adat. Banyakyayasan dan organisasi di Indonesiamenggunakan nama 'PUSAKA'.

Website PUSAKA:http://pusaka.or.id/topik/media/publikasi/buku

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 14: DTE 89 Web Indo

12

Rp.50,- per meter persegi. Mereka menyesaliapa yang terjadi dan kini tinggal di tanah 'oranglain'.

Hal yang serupa dialami olehkomunitas Malind Anim di Merauke. Anakperusahaan Medco Grup, PT. Selaras IntiSemesta, yang mendapatkan ijin hutantanaman, telah melakukan penebangan dihutan adat marga di Kampung Zenegi.Masyarakat mendapat ganti rugi atas kayu yangdiambil dengan harga jauh di bawah hargapasar, yaitu Rp2.000 per meter kubik.

Suara dan tuntutan merekadimanipulasi dan jarang sampai kepadapengambil kebijakan, perusahaan dan pejabatsetempat. Suara mereka diwakili oleh elitelokal di tingkat distrik dan di kampung. Paraelite tersebut aktif mewakili dan menyuarakankepentingan masyarakat korban, meskipunseringkali kepentingan mereka hanya bersifatjangka pendek dan penuh siasat untukmendapatkan keuntungan pribadi. Ada empatorganisasi di Papua yang berhubungan denganmasyarakat Papua yaitu Dewan Adat Papua(DAP), Lembaga Masyarakat Adat (LMA),Ketua Adat dan Kepala Marga. Namunmenurut aturan adat setempat, hanya margapemilik lahan yang paling berhak memutuskanpengalihan hak dan penggunaan tanah.

Membuka ruang dialogPUSAKA memilih strategi membangun danmendorong gerakan masyarakat dari kampungmasuk ke kota pusat kekuasaan dan membukaruang dialog.Memang bukan perkara gampang,orang kampung diperhadapkan denganpengambil kebijakan, di tengah-tengah situasikrisis politik di mana hubungan masyarakatdengan pemerintah buruk. Masyarakat sudahsering jadi korban 'tipu-tipu'. Mereka traumadengan ancaman dan kekerasan aparat.Mereka juga kerap direndahkan karenapemahaman hukum yang terbatas. Karenanya,perlu persiapan, pengetahuan dan kapasitas,yang bisa dilakukan melalui pertemuan-pertemuan, belajar dari pengalaman danmembuat aksi kecil menyuarakan persoalandan hak-hak masyarakat. Solidaritas dandukungan antara kelompok, antara kampung,dan antara daerah perlu dibangun.

Demianus Blamen adalah salah satupemimpin marga Blamen, di Kampung Nakias,Distrik Ngguti, yang jaraknya lebih dari 100kilometer dari Kota Merauke. Demianus tidakbanyak mengetahui situasi di luar kampung,apalagi kebijakan dan hak-hak masyarakat.Hanya ada aturan adat dan hak-hak moralyang mengatur hubungan di antara mereka.Mereka tidak mengetahui prinsip dan hakFPIC. Kehadiran perusahaan perkebunan sawitPT. Dongin Prabawa yang menggusur danmenghilangkan ribuan hektare kawasan hutanadat mereka, memaksa Demianus dan wargasetempat untuk mendapatkan pengetahuantentang FPIC, agar hak-hak FPIC merekadipenuhi, tanpa mengabaikan kekuatan dan

pengetahuan adat yang mereka miliki.Menariknya, dalam konteks

kebijakan pembangunan ekonomi rendahkarbon di Provinsi Papua dan Papua Barat,prinsip FPIC diterima sebagai salah satuprasyarat proyek REDD di Papua. Apakah inihasil tekanan dari atas dan mandat darikesepakatan perundingan international?Ataukah ini hanya langkah oportunistis belaka,sebagai upaya memenuhi syarat mendapatkanakses relasi dan pendanaan proyek?

Tantangan hari ini adalah bagaimanamengupayakan agar teks produk politikhukum seperti Undang-Undang OtonomiKhusus Papua dapat diterapkan untukmelindungi dan memberdayakan hak-hak

dasar orang asli Papua. Juga perlu dibuatrambu-rambu dan program aksi yang lebihjelas, tegas dan detail, serta dipahami olehpetugas penyelenggara kebijakan tersebut.

Catatan:1 Imeum Mukim adalah kepala atau pimpinan

mukim, unit pemerintahan antara gampongdan kecamatan menurut hukum adat Aceh.Sebuah mukim biasanya terdiri dari beberapagampong

2. Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal TanpaPaksaan

Buku PUSAKA tersedia di website PUSAKA.Lihat http://pusaka.or.id/topik/media/publikasi/buku

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 15: DTE 89 Web Indo

13

Fenomena global perampasan tanahLaporan di bawah ini, ditulis oleh periset independen Anna Bolin,1 mengupas tren global dan pengaruhnya di balik

mega proyek pertanian seperti proyek lumbung pangan dan energi terpadu Merauke (MIFEE) di Papua.

Berita tentang fenomena perampasan tanah(land-grab) muncul dari seluruh dunia.Perampasan tanah dapat digambarkan sebagaisuatu proses di mana kepemilikan tanah yangdianggap “kosong”, “tidur” atau “tidakproduktif” berpindah tangan dengan transaksiyang menggiurkan, untuk dikembangkanmenjadi perkebunan skala besar untukmenghasilkan pangan atau agrofuel, ataukeduanya. Jumlah kesepakatan dan luaskawasan yang tercakup meningkat pesat.Berbagai kajian menunjukkan bahwa dalambeberapa tahun terakhir ini antara 20-80 jutahektare tanah2 telah “dirampas”, meskipunsulit dipastikan karena sebagian besarkesepakatan itu dibuat dengan diam-diam.Afrika tampaknya merupakan target utamabagi investasi skala besar ini, walaupun jugabanyak laporan masuk dari seluruh penjurunegara berkembang.

Pendukung perampasan tanahmengatakan bahwa yang mereka lakukanadalah investasi yang sangat diperlukan disektor pertanian. Meskipun jelas bahwainvestasi diperlukan di daerah pedesaan danpertanian, pertanyaannya adalah apakahtransaksi tanah skala besar seperti ini akanmenghasilkan jenis pembangunan yangkemungkinan besar akan bermanfaat bagimasyarakat setempat. Jika diamati lebih dekat,jelas bahwa yang terjadi bukannyapembangunan pertanian, tetapi pembangunan‘agribisnis’ terus meningkat.3 Perbedaankeduanya jelas dan seharusnya tak ada lagikebingungan mengenai siapa yang akanmenerima manfaat dan siapa yang akandirugikan oleh transaksi-transaksi itu.

Pelaku di balik akuisisi tersebutadalah perusahaan transnasional besar ataupemerintah yang memanfaatkan sumber dayatanah “tidur” untuk mengamankan ketahananpangan dan energi dalam negeri. Kenyataannya,tanah itu tidaklah “kosong”, melainkanseringkali merupakan tempat tinggal wargasetempat atau masyarakat adat yang telahhidup di sana turun-menurun, tetapi hakmereka atas tanah itu tidak diakui ataudihormati.

Untuk memahami fenomena globalperampasan tanah ini kita akan melihat lebihjauh sejumlah faktor yang mendorong akuisisi,pelaku kunci di balik transaksi tersebut danmotivasi mereka, serta apa yang sebetulnyaterjadi di lapangan.

Apakah faktor pendorongnyadan siapa pelaku di balikperampasan tanah?Terdapat sejumlah faktor yang mendorongperampasan tanah ini. Faktor-faktor ini dapatdianalisis dalam konteks keuangan, pangan,energi dan krisis iklim global. Krisis panganglobal 2007-2008, yang mendorong kenaikanharga pangan, menciptakan momentum politikdan ekonomi bagi akuisisi tanah. Demikianjuga, perubahan iklim dan krisis energimenciptakan kebutuhan mendesak baru untukmencari tanah bagi produksi tanaman energiterbarukan.

Semua krisis global inimenumbuhkan persepsi bahwa—karenajumlah penduduk diperkirakan meningkatsementara sumber daya terbatas—permintaan akan pangan dan bioenergi akanterus meningkat. Pada gilirannya, volatilitasharga komoditas menimbulkan kekhawatiranakan ketahanan pangan dan energi. Meskipunkekhawatiran akan ketahanan pangan mungkintidak sebesar kekhawatiran ketahanan energi,tetapi keduanya menimbulkan kebutuhan atastanah.

Ada sejumlah pelaku utama yangtindakannya mendorong kenaikan pangan danakuisisi tanah. Secara umum mereka berasaldari sektor bisnis, keuangan danpemerintahan. Krisis keuangan global dankrisis pangan global tahun 2007-2008 yangsaling terkait turut menumbuhkan persepsibahwa tanah dan pangan perlu diamankan dandidapatkan. Kedua krisis itu meningkatkanakuisisi tanah secara dramatis.

Krisis keuanganTahun 2008 dunia dilanda krisis keuangan.Krisis ini menuntut re-evaluasi sektorkeuangan. Praktik-praktik yang tidakberkelanjutan, seperti preferensi atas investasiberisiko tinggi yang memberikan keuntungandalam waktu singkat, telah membuat sektorkeuangan terpuruk. Sebagai reaksi, investormulai mencari opsi investasi yang lebih aman,seperti tanah, yang dianggap berisiko rendahdengan keuntungan jangka panjang.

Tanah pertanian menjadi investasiyang menarik khususnya karena tiga alasanmendasar. Pertama, harga tanah tidak berubahsesuai dengan harga komoditas, tetapimengikuti inflasi, sehingga memberikankeuntungan dengan arus pendapatan yangbervariasi yang dapat menyeimbangkan risikodalam portofolio investasi.4 Kedua, prakiraankeuangan untuk harga pangan dan energimenunjukkan harga dan permintaan yangterus meningkat. Ketiga, di berbagai tempat didunia, khususnya di Afrika, tanah yang luasmasih dapat disewa atau dibeli dengan hargarendah. Jadi, hukum ekonomi dasar ‘adapermintaan, ada penawaran’ mendorongmeningkatnya minat atas tanah pertanian.

Faktor pendorong penting lainnyaadalah keuntungan investasi yang diharapkan.Perusahaan ekuitas, manajer hedge fund danaset mengucurkan modal untuk akuisisi tanahpertanian. Sebagai contoh, Emergent AssetManagement, perusahaan yang berkantor diLondon dan bergerak dalam hedge fund danprivate equity fund, menjanjikan investorkeuntungan hingga 270% untuk investasi tanahpertanian di Afrika untuk jangka waktu lima

Krisis harga pangan global 2007 - 2008. Sumber: von Braun et al (2008)6

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 16: DTE 89 Web Indo

14

tahun.5 Meskipun semakin banyak laporanyang mengungkapkan bahwa akuisisi tanahberskala besar menimbulkan konflik dandampak negatif di tingkat lokal, tetapi investasiterus meningkat karena tingginya keuntungankeuangan yang diharapkan.

Krisis panganAntara Oktober 2007 dan Oktober 2008,harga pangan melonjak ke tingkat yang takterduga; harga beras mencapai 300% di atasharga rata-rata sejak 2003 dan harga gandumserta jagung berlipat ganda.7 Tahun 2008 jugamerupakan tahun dengan harga minyak globaltertinggi; dan penyebab krisis dihubungkandengan volatilitas baik di pasar keuanganmaupun pasar energi.

Biofuel terkait dengan krisis pangan,karena tanah yang diperuntukkan bagiproduksi pangan diubah menjadi untukproduksi biofuel. Menurut penelitian InstitutRiset Kebijakan Pangan (Food Policy ResearchInstitute, IFPRI) meningkatnya permintaanatas biofuel berkontribusi atas peningkatanrata-rata harga pangan sebesar 30%.9 Faktorlain yang berperan adalah spekulasi keuangandalam komoditas pangan.

Pelapor Khusus PBB untuk Hak atasPangan, Olivier de Schutter, mengatakandalam laporan yang dibuat tahun 2010 bahwa“sejumlah besar kenaikan harga dan volatilitaskomoditas pangan pokok hanya dapatdijelaskan oleh munculnya gelembungspekulatif”.10

Krisis pangan memicu protes yangdiwarnai kekerasan di seluruh dunia.Gelombang protes tersebut menimbulkankekhawatiran akan ketahanan pangan – takhanya terkait dengan impor, tapi jugakeresahan sosial. Untuk menanggapinya,sejumlah negara pengimportir pangan mulaimelakukan sistem outsourcing untuk produksipangan mereka dengan tujuan untukmengamankan harga dan pasokan jangkapanjang. Negara-negara Teluk (Arab Saudia,Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, dan Bahrain),di bawah bendera Dewan Kerjasama Teluk(Gulf Cooperation Council, GCC),menerapkan strategi bersama dan bermaksuduntuk menerapkan sistem outsourcingproduksi pangan mereka untuk dipertukarkandengan modal dan kontrak minyak.11 Sejak itunegara-negara anggota atau konsorsiumindustri di bawah GCC telah membebaskanjutaan hektare tanah pertanian di seluruhdunia.12

Krisis iklimProduksi agrofuel cair merupakan faktorpendorong di balik akuisisi tanah belakanganini. Perluasan industri biofuel berkaitan dengankrisis iklim dan energi serta kebutuhan yangtak terelakkan akan sumber energiterbarukan. Untuk menangani perubahaniklim dan untuk memenuhi targetpengurangan emisi di Eropa, Uni Eropa (UE)kini menerapkan kebijakan dan peraturan

baru. Pedoman Energi Terbarukan (RED, 2009)menyatakan bahwa 20% dari semua energiyang digunakan di UE harus berasal darisumber terbarukan pada tahun 2020, danbahwa 10% dari bahan bakar transportasiharus berasal dari sumber terbarukan padatahun yang sama. Contoh lain adalah PedomanKualitas Bahan Bakar (FQD, 2009), yangmencakup pengurangan emisi gas rumah kacasebesar 6% (dari tingkat 2010) yang mengikat,yang harus dicapai pada akhir 2020 (untukinformasi mengenai RED dan FQD, harap lihatInfo Terbaru DTE mengenai Agrofuel Januari2011).

Meskipun pedoman kebijakan inidimaksudkan untuk menangani perubahaniklim dan mendorong konsumsi energi yangberkelanjutan di Utara, pedoman itumemberikan insentif bagi perubahan fungsitanah yang tidak berkelanjutan di Selatan. Inimencakup akuisisi tanah berskala besar danpembukaan hutan untuk perkebunan;memindahkan emisi gas rumah kaca keSelatan dan lebih lanjut lagi mengurangikemampuan penduduk setempat untukberadaptasi terhadap perubahan iklim.

Tinjauan Bank DuniaSeiring meningkatnya jumlah akuisisi tanah didunia mulai tahun 2008, meningkat pulalaporan di media dan dari ornop mengenaipenggusuran dan pengusiran – bukanpenciptaan lapangan kerja dan pembangunan.Tahun 2009 Bank Dunia memiliki agenda risetyang ambisius untuk mengetahui apa yangsebetulnya terjadi, dan apakah ini merupakan

kasus perampasan tanah atau apakah itumerupakan kesempatan pembangunan yangberpihak pada rakyat miskin. Kajian itumerupakan yang paling komprehensif sejauhini, memberikan ikhtisar akan sifatperampasan tanah di seluruh dunia dan sejauhmana hal itu dilakukan.

Laporan Bank Dunia13 didasarkanatas pangkalan data (database) yangdikembangkan oleh organisasi independen(lihat www.grain.org) dan pemeriksaan silangatas temuan resmi di lapangan, termasukkunjungan lapangan, dalam periode Oktober2008 – Agustus 2009. Ini meliputi 464 proyek,203 diantaranya meliputi informasi tentangarea seluas 56,6 juta ha di 81 negara.14

Laporan itu mengungkapkan bahwa48 persen dari proyek, meliputi dua pertigadari seluruh area (39,7 juta ha) berada diAfrika Sub-Sahara, berikutnya adalah AsiaTimur dan Selatan (8,3 juta ha), Eropa danAsia Tengah (4,3 juta), serta Amerika Latin danKaribia (3,2 juta ha).15 Laporan itu jugamenegaskan besarnya ambisi investasi: rata-rata proyek meliputi area seluas 40.000 ha,sedangkan seperempat dari seluruh proyekluasnya melebihi 200.000 ha. Hanyaseperempat dari jumlah proyek yang di bawah10.000 ha. Data komoditas tersedia untuk ke-405 proyek itu, menunjukkan bahwa 37persen berfokus pada pangan, 21 persen padatanaman industri atau tanaman dengan nilaiekonomi tinggi, 21 persen pada biofuel, dansisanya terbagi atas area konservasi dantaman perburuan, peternakan, perkebunandan kehutanan.

Harga komoditas dunia, Januari 2000 – April 2008. Sumber: von Braun et al. (2008)8

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 17: DTE 89 Web Indo

15

Laporan itu juga menegaskan bahwasebagian besar proyek dalam pangkalan dataitu berasal dari sejumlah kecil negara, yaituNegara-negara Teluk, Afrika Utara (Libya danMesir), Rusia dan negara barat seperti Inggrisdan Amerika Serikat. Pelaku utamanya adalahpemegang dana agribisnis dan investasi.Bertentangan dengan standar preferensiinvestasi langsung asing (mis. tata kelolapemerintahan yang kuat dan hak propertiyang didefinisikan dengan jelas), menurutlaporan itu, investor tampaknya justru lebihlebih berminat pada negara dengan indikatortata kelola pemerintahan yang lemah denganhak atas tanah setempat yang tidak dilindungi.Sebagian besar proyek tidak memiliki Amdalmeskipun terdapat risiko tinggi. Walaupunbeberapa negara, termasuk Indonesia,mensyaratkan pengembang proyek untukmelakukan Amdal, pada kenyataannyaperaturan ini diabaikan atau kalaupundijalankan, kepatuhannya jarang dipantau.

Temuan menarik lainnya adalah,berbeda dengan apa yang sering dilaporkan dimedia, sebagian besar investor berasal daridalam negeri, bukan luar negeri. Akhirnya,laporan itu menemukan hal yangbertentangan dengan apa yang seringdijanjikan, yakni tingkat penciptaan lapangankerja dan investasi fisik seringkali sangatlahrendah.

Kesempatan pembangunanatau ancaman?Kajian Bank Dunia menyimpulkan bahwabanyak dari investasi itu tidak memenuhiharapan dalam hal penciptaan lapangan kerjadan manfaat yang berkelanjutan, tetapi justrumalahan memperburuk kondisi masyarakatdari sebelumnya.Temuan serupa diungkapkandalam studi sebelumnya oleh Cotula dkk,2009, yang juga menyelidiki sifat dan implikasitren transaksi tanah saat ini. Tetapi meskipunterdapat kontroversi dan temuan yang cukupjelas, tampaknya masih ada ketidakpastianmengenai apakah akuisisi tanah berskala besarini betul-betul dapat membawa manfaat bagimasyarakat setempat.16 Bank Dunia (2010)memberikan sejumlah prinsip panduan bagiinvestor dan pemerintah negara berkembanguntuk menghindari hasil negatif proyek.Tetapi,seperti yang disebutkan dalam temuanmereka, investasi skala besar terkonsentrasi dinegara dengan tata kelola pemerintahan yanglemah dan penegakan peraturan yang rendah.Dalam konteks ini, yang menjadi pertanyaanapakah prinsip-prinsip panduan itu akanmemberikan dampak yang diharapkan.

PapuaSalah satu perampasan tanah yang palingkontroversial di Indonesia saat ini adalahProyek Lumbung Pangan dan Energi TerpaduMerauke (Integrated Food and Energy Estate,MIFEE), yang tengah dikembangkan di bagianselatan Papua, di Kabupaten Merauke. MIFEE

adalah mega proyek yang meliputi 1,28 jutahektare perkebunan komersial yang diklaimsebagai bagian dari visi Presiden Yudhoyonoyang meragukan, yaitu “pangan untukIndonesia, pangan untuk dunia”.

Sejauh ini paling sedikit 36 investorsudah mendapatkan ijin konsesi. Sebagianbesar investor berasal dari Indonesia, tetapiperusahaan Jepang, Korea, Singapura danTimur Tengah kelihatannya juga terlibat.17

Komoditas utama yang akan diproduksi olehMIFEE adalah kayu, sawit, jagung, kedelai dantebu. Hingga pertengahan 2011, lebih darisetengah lusin investor yang mendapatkan ijinuntuk MIFEE tampaknya sudah mulai bekerjadi area konsesi mereka, termasuk perusahaanyang terkait dengan Medco dan kelompokRajawali yang berpengaruh. Meskipun MIFEEmasih dalam tahap awal, terdapatkekhawatiran serius akan implikasi sosial danlingkungan dari proyek ini terhadap penduduksetempat dan penghidupan mereka.

MIFEE digembar-gemborkan sebagaikesempatan pembangunan, yang akanmenciptakan lapangan pekerjaan tidak hanyauntuk warga Papua setempat, tapi juga pekerjatransmigran. Proyek itu juga disebut-sebutakan mendorong ketahanan pangan nasional,serta ketahanan energi. Tetapi padakenyataannya sebagian besar konsesi tanahdialokasikan untuk perkebunan kayu industri(lebih dari 970.000 ha), sementara sawit (lebihdari 300.000 ha) dan tanaman pangan (69.000ha) berada pada urutan kedua dan ketiga.18

Data ini menunjukkan bahwa motivasi utamaMIFEE bukanlah demi ketahanan pangan danenergi, tetapi kepentingan ekonomi.

Laporan dari desa-desa yangterimbas selama ini menunjukkan bawa MIFEEmerupakan ancaman serius bagi masyarakatsetempat. Masyarakat adat yang terlibat dalamkesepakatan dengan perusahaan telah ditipudengan pembayaran kompensasi yang sangatrendah sebagai ganti rugi ‘penyerahan’ tanah

warisan turun-menurun dan menjadi bagiandari warisan budaya mereka. Proses akuisisitanah bersifat tidak transparan, denganintimidasi dan ancaman akan keamananterutama karena kehadiran militer di sana.Informasi mengenai potensi dampak proyekatas hidup mereka dan hak apa saja yangmereka miliki untuk menolak atau menerimatawaran perusahaan hanya sedikit yang sampaike warga desa. Organisasi masyarakat sipilsetempat juga melaporkan bahwa pertemuanuntuk meningkatkan kapasitas diwarnaidengan interupsi oleh militer, yangmenggunakan keamanan nasional sebagaialasan untuk mengancam warga danmenghentikan pertemuan. Jadi, dalam banyakhal, MIFEE adalah perampasan tanah denganmotivasi politik dan ekonomi dengan lebihbanyak ancaman daripada kesempatan bagimasyarakat yang terimbas.

Tanda bahaya Tren saat ini mengenai perluasan pertanianberskala besar tidak boleh dicampuradukkandengan pembangunan yang berpihak padarakyat miskin. Ini bukanlah soal penolakaninvestasi pertanian dan daerah pedesaan yangsangat diperlukan; melainkan merupakantanda bahaya bahwa pembangunan ini tidakmembawa manfaat, dan bahkan merugikanlingkungan maupun masyarakat setempat.Krisis pangan baru-baru ini semakinmemberikan penekanan atas perlunyameningkatkan produksi pangan dan ketahananpangan, tetapi, seperti yang dikatakan olehPelapor Khusus PBB untuk Hak atas Pangan,Olivier de Schutter, persoalannya bukanlahmengenai peningkatan alokasi dana untukpertanian, melainkan "pemilihan modelpembangunan pertanian mana yang mungkinmemberikan dampak yang berbeda danmemberikan manfaat bagi berbagai kelompoksecara berbeda". Artikel ini menunjukkannbahwa model yang ada saat ini pertama-tamamemberi keuntungan bagi agribisnis dan mitrabisnis mereka, bukan bagi mereka yang rentanakan kelaparan dan harga pangan yang tinggi.

Kecenderungan perkebunanberskala besar dan pertanian kontrak yangterkonsentrasi di kantong-kantongkemiskinan yang kronis merupakan isu yangtelah dibicarakan sejak lama dalam kajianagraria dan sudah didokumentasikan denganbaik. Sementara asumsi yang umum dalamlingkungan Bank Dunia adalah bahwa InvestasiLangsung Asing mengalir ke daerah dengantata kelola pemerintahan yang baik dan hakproperti yang didefinisikan dengan jelas, risetyang dilakukan oleh Bank Dunia sendirimenegaskan bahwa modal mengalir ke daerahdi mana tenaga kerja dan hak atas tanah tidakpasti dan tidak dilindungi oleh sistemperundang-undangan dan pemerintah. Ketikaupah di mana-mana rendah, maka eksploitasikapitalis dan maksimalisasi keuntunganmenjadi tinggi. Dalam kondisi yang rentan ini,

Sumber

GRAIN: http://www.grain.org/

Oakland Institute:http://media.oaklandinstitute.org/

Via Campesina:http://viacampesina.org/en/

UN Special Rapportuer on the Rightto Food: http://www.srfood.org/

International Land Coalition:http://www.landcoalition.org/

Focus on the Global South:http://www.focusweb.org/

World Development Movement:http://www.wdm.org.uk/food-speculation

OXFAM:http://www.oxfam.org.uk/get_involved/campaign/food/?intcmp=hp_hero_grow_3009.

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 18: DTE 89 Web Indo

16

proyek yang menggunakan lahan berskalabesar menjadi sangat problematik kalaumenggusur masyarakat dan membuat merekakehilangan aset dan ketahanan mereka yangpaling berharga, yaitu tanah mereka.

Studi kasus yang dipaparkan di sinimenceritakan soal kehilangan kepemilikan dantak adanya pemberdayaan. Alih-alihmemberikan kesempatan bagi warga miskin,transaksi tanah ini tampaknya semakinmembuat mereka terpuruk, bukan hanyasekarang, tapi juga untuk generasi berikutnya.Terlebih lagi, akuisisi berskala besar inimemiliki konsekuensi yang lebih jauh karenamengambil banyak lahan subur danmenggunakannya untuk produksi bahan

pangan yang diekspor. Di negara sepertiEtiopia, di mana kelaparan merupakan masalahyang terus berulang, dan pemerintah masihtergantung pada bantuan pangan, hal inikhususnya menjadi isu yang problematik dankontroversial.

Catatan1. Anna Bolin adalah periset independen

mengenai iklim, tanah dan REDD, yangbaru-baru ini magang di DTE dan Tapol.

2. Kajian tahun 2009 yang dilakukan olehInternational Food Policy Research Institutememperkirakan 20 juta ha, angka itu naikmenjadi 45 juta ha dalam kajian Bank Dunia(2010) dan akhirnya International Land

Coalition memperkirakan 80 juta ha.3. GRAIN (2008) ‘Seized: The 2008 land grab

for food and financial security’, Barcelona.GRAIN,http://www.grain.org/article/entries/93-seized-the-2008-landgrab-for-food-and-financial-security

4. GRAIN (2011) ‘Pension funds: key playersin the global farmland grab’ Against theGrain, June 2011, dapat dilihat di:http://www.grain.org/article/entries/4287-

Artikel selengkapnya termasuk studi kasussingkat dari Sierra Leone dan Etiopia sertacatatan kaki lengkap ada di http://downtoearth-indonesia.org

Pertanyaan untuk BPApakah peran keberadaan BP Tangguh dalamkaitannya dengan peningkatan rasa tidak puasdan konflik di Papua Barat? Dalam pertemuanTIAP terakhir, DTE mengajukan pertanyaanspesifik mengenai situasi di kawasan sekitarTeluk Bintuni. Pertanyaan kami didasarkanatas hasil dari konsultasi sebelumnya denganorganisasi masyarakat sipil dan wakilmasyarakat di Papua Barat dan Jakarta. Kamimenanyakan mengenai klaim atas kompensasibagi masyarakat Sebyar dan Immeko, danminta penjelasan mengenai program sosial,kesehatan dan kesejahteraan BP Tangguh bagimasyarakat pesisir utara di Teluk Bintuni.

Pertemuan itu membahas proposal untukadvokasi HAM bagi Teluk Bintuni.14 Kamimenyampaikan pesan dari Yan ChristianWarinussy, direktur LP3BH, organisasiadvokasi HAM yang berkantor di Manokwari,bahwa BP perlu secara proaktif mendukungpelaporan situasi HAM di wilayah itu.15 DTEmengingatkan BP mengenai keputusan OECDterhadap BP terkait dengan pipa Baku-Tblisi,yang menyerukan agar BPmempertimbangkan konteks HAM dalamproyek mereka.16 Staf BP dalam pertemuanitu sepakat untuk 'mempertimbangkan denganserius' proposal untuk advokasi HAM diwilayah Teluk Bintuni dan akan 'menindaklanjuti'. DTE memahami bahwa sejakpertemuan itu, BP setuju untuk mendanaiproposal itu.

Salah satu isu utama yang munculdalam pertemuan itu adalah prosedurpenyampaian keluhan BP Tangguh. Adakesepakatan bahwa prosedur ini belummembawa manfaat dalam menyampaikan danmengatasi kekhawatiran masyarakat danbahwa prosedur itu terlalu rumit sertaseringkali tidak tepat secara budaya.17 DTEjuga menyampaikan kekhawatiran mengenaiprogram pengembangan masyarakat BP, yangdilaporkan oleh sebuah organisasi masyarakatsipil Indonesia, UCM-Jakarta, yang bekerjasama dengan masyarakat di pesisir utara TelukBintuni. Dalam hal ini dan juga dalam hal klaimkompensasi Sebyar dan Immeko, prosedurpenyampaian keluhan yang berbelit-belit di BPtidak membuahkan hasil. Dari berbagaikeluhan ini tampaklah bahwa kenyataan dilapangan dalam masyarakat tersebut sangatlahberbeda dengan gambar indah yang dibuat BPsendiri dalam sebagian besar publikasiperusahaan.

Hal lain yang dibahas dalampertemuan TIAP adalah dipekerjakannyawarga Papua setempat. Dalam hal ini, BPmelaporkan bahwa target pemekerjaan wargaPapua setempat untuk tahun 2029 tampaknyatak akan terpenuhi.18 Mengenai halpemukiman kembali, disebutkan bahwakekhawatiran diungkapkan oleh pendukung

finansial BP perihal keberlanjutan desa-desapemukiman kembali tersebut.19 Mengenaitransparansi keuangan, informasi publik yangdapat dilacak mengenai pendapatan dariTangguh masih kurang. Pertemuan membahasperan perempuan di daerah Teluk Bintuni dankebutuhan atas pertimbangan gender yangmerupakan hal penting bagi semua aspekdalam proyek Tangguh. Juga, pertanyaan yangmasih sama mengenai kegagalan Tangguhuntuk menggunakan penangkapan danpenyimpanan karbon sebagai cara untukmengurangi emisi karbon juga menjadicatatan. Setelah membicarakan hal-hal ini danjuga hal lain, pertanyaan yang lebih luas danlebih nyata tetap tak terjawab: siapa yangmendapatkan keuntungan terbesar dariTangguh, dan siapa yang akan terus dirugikanoleh dampak sosial, HAM dan lingkungan?

(sambungan dari halaman 22)

TIAP IIPertemuan TIAP, yang diadakan pada bulanMaret 2011 di London adalah pertemuanpertama dari Majelis Penasehat IndependenTangguh ke-2, dan yang pertamamelaporkan tahap operasi proyek Tangguh.

Majelis yang lama tampaknyasudah kehilangan gairah dalam perannyasebagai sumber nasihat independen untukBP.11 Tapi, majelis yang baru, selainmendapatkan mandat yang lebih terbatasdan hanya terdiri dari dua orang anggota,tampaknya juga lamban.

Dalam pertemuan terakhir, hanyasatu dari anggota majelis yang hadir;Augustinus Rumansara, penasihat urusanlingkungan Gubernur Papua, mantan ketuaMajelis Peninjau Kepatuhan (CRP) BankPembangunan Asia, dan mantan pegawai BPIndonesia. Gary Klein, mitra dalam kantorpengacara DLA Piper, tetap duduk sebagai'penasihat dan sekretariat' majelis danbertindak sebagai anggota kedua majelisdalam pertemuan ini.12 Senator AS ChuckHagel yang tadinya setuju untuk menjadibagian dari majelis ini mengundurkan diribulan Maret 2010. Pada bulan Juni 2011senator AS Tom Daschle dinyatakan sebagaianggota kedua dan ketua majelis.13

Perangkat advokasimengenai standarinternasional Tangguh Rangkuman DTE mengenai komitmensosial, HAM dan lingkungan BP ada dalamsitus web kami dalam bahasa Indonesia danInggris di http://www.downtoearth-indonesia.org/story/tangguh-bp-and-international-standards.

Dokumen itu adalah upaya untukmenjembatani kesenjangan informasi antararetorika dan realita di lapangan di TelukBintuni (dan secara lebih luas di PapuaBarat), serta untuk memberikanmasyarakat setempat alat memintapertanggungjawaban BP. Klaim BP bahwaoperasi Tangguh adalah 'modelpembangunan kelas dunia'20 nyata-nyatatetap merupakan bualan kosong, jikamengingat masalah yang masih terus ada diTangguh dan juga ketimpangan danketegangan yang meningkat di Papua Barathari ini.

Catatan kaki artikel ini ada di versi elektronik diwww.downtoearth-indonesia.org

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 19: DTE 89 Web Indo

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

17

Akankah REDD bermanfaat bagimasyarakat adat Papua?

Artikel di bawah ini dibuat berdasarkan sejumlah tulisan dalam blog Pietsau Amafnini, Koordinator organisasi yangberbasis di Manokwari, JASOIL Tanah Papua.Alamat blog itu adalah http://sancapapuana.blogspot.com/.

Hutan tropis Papua sangatlah strategis dalamhal iklim global dan juga sebagai penghasilkayu serta produk hutan lainnya, yang perludikelola secara lestari. Untuk menerapkanREDD di Papua, sektor kehutananberkewajiban untuk merehabilitasi hutan dantanah yang mengalami degradasi sertamengelola hutan secara baik. Kalau kitamengelola kawasan konservasi dan hutanlindung, serta hutan produksi dengan baik, danmenghentikan pengalihfungsian hutan, kitadapat mengurangi emisi CO2 dan membantumenyeimbangkan iklim global. Tetapi,kenyataannya adalah, pemerintah Indonesiatidak peduli akan keadaan iklim.

REDD di PapuaDi provinsi Papua terdapat proyekpercontohan yang direncanakan di kabupatenJayapura, termasuk Cagar Alam Cycloop,kawasan hutan Mosoali dan kawasan hutanUnurum Guay. Di provinsi Papua Barat,proyek percontohan direncanakan dikabupaten Kaimana, yang mencakup TelukArguni, Teluk Triton dan Danau Yamor. Tetapikawasan peruntukan lahan yang lain di daerahitu – sesuai dengan rencana tata ruang –belumditentukan dengan jelas, dan masyarakat adat

Keadaan hutan PapuaAngka di bawah ini berasal dari Potret Keadaan Hutan Indonesia, laporan Forest Watch Indonesia yang dapat diunduh melalui situs web FWIdi http://fwi.or.id/?page_id=204

Total luas daratan – Indonesia: 190,31 juta hektareTotal tutupan hutan – Indonesia, 2009: 88,17 juta hektare (46,33%)Total tutupan hutan – Papua, 2009: 4.138.992,70 (79,62%)Terdiri dari:

Konsesi HPH : 8.556.145,35 haKonsesi HTI: 411.804,56 ha

Persentase total tutupan hutan di Papua: 38,72% (tertinggi dari semua daerah)Deforestasi 2000-2009: 628.898,44 ha (1,81% dari deforestasi di Papua dan 4,15% dari jumlah

total deforestasi di Indonesia pada periode tersebut – yang terendah dari semua daerah)

Total lahan gambut yang memiliki tutupan hutan di Indonesia 2009: 10,77 juta ha (dari total 20,8 juta ha lahan gambut)Lahan gambut yang memiliki tutupan hutan di Papua, 2009: 6.156.243,19 ha (79,59% dari lahan gambut di Papua),Terdiri dari:

Konsesi HPH: 897.212,75 haKonsesi HTI: 58.671,1 ha

Deforestasi di hutan lahan gambut 2000-2009: 130.917,62 (2,08% dari total deforestasi di Papua dan 6,54% dari total deforestasi keseluruhan)

Hutan di Papua yang dialokasikan untuk penggunaan non-hutan seperti perkebunan sawit 2003-2008: 9,16%Alih fungsi hutan di Papua untuk perkebunan sawit 2003-2008: 32.546,30 ha (2006)Pertambangan di kawasan hutan Papua: 74 ijin KP, mencakup wilayah seluas 2.100.000 ha

Laporan terbaru yang dibuat oleh FPP, Pusaka dan JASOIL menyatakan bahwa seperempat hutan rawa gambut Papua (seluas sekitar 8 juta ha)dikategorikan sebagai hutan konversi. “Jika semua akan dikonversikan untuk pertanian, akan dihasilkan lebih dari satu milyar ton emisi CO2.”Lihat Papua and West Papua: REDD+ and the threat to indigenous peoples (Papua dan Papua Barat: REDD+ dan ancaman terhadapmasyarakat adat) di http://www.forestpeoples.org/fpp-series-rights-forests-and-climate-redd-plus-Indonesia (dikumpulkan oleh DTE)

(bersambung ke halaman berikut)

Medco Group oil palm development, Manokwari District(Photo: Adriana Sri Adhiati)

Page 20: DTE 89 Web Indo

sendiri tidak tahu-menahu akan rencanapemerintah untuk menentukan kawasan adatmereka sesuai dengan apa yang diperlukan bagiREDD.

Proyek percontohan perdagangankarbon digagas tahun 2008 oleh pemerintahprovinsi Papua Barat dan Carbon StrategicInternational (CSI,Australia). Proyek itu beradadi kawasan hutan dalam delapan kabupaten,dengan total luas 8 juta ha. Bagian pemerintahsebesar 80% dan CSI 20%, yang setengahnyaakan diberikan kepada perusahaan dansetengahnya lagi untuk membayar tenaga ahli.Sedangkan untuk bagian pemerintah, akandibicarakan lagi mengenai pembagian antarapemerintah pusat, daerah dan masyarakat.Diperkirakan penyerapan karbon dari hutantropis sebanyak 300 – 350 ton per hektaredengan harga 10 – 16 USD setiap ton. Hargadan pendapatan dihitung per tahunberdasarkan perkembangan moneter daninflasi yang terjadi.

Sekarang ada kesepakatan baruantara pemerintah provinsi Papua Barat danAsia Pacific Carbon (dari Australia).

Lokasi REDD di Papua Barat beradadalam hutan lindung. Lokasi itu dipilih karenatingginya ancaman yang dihadapi akibatekspansi urban, ditambah denganpertambangan seperti batubara, tembaga danemas, serta kepentingan lain.

Konversi hutan di Papua Barat untukpertumbuhan ekonomi semakin menjadi-jadi:ada rencana untuk mengembangkanperkebunan sawit, sagu, pertambangan,transmigrasi, dll. Hal ini jelas tampak darimeningkatnya jumlah perusahaan yang inginmelakukan AMDAL untuk proyek semacam itu.

Balai Pemantapan Kawasan Hutan(BPKH) tengah membuat peta KesatuanPengelolaan Hutan (KPH) di Papua Barat dankabupaten Manokwari. Peta ini diharapkanakan menjadi alat bagi perdagangan karbonuntuk mendapatkan lokasi potensial danmembantu penghitungan karbon yangdihasilkan.

Kebijakan di PapuaREDD di Indonesia digambarkan sebagaipendekatan nasional yang akan diterapkan ditingkat sub-nasional. Hal ini berarti bahwakerangka kebijakan dan insentif datang daripemerintah pusat dan detail untukpelaksanaannya diserahkan kepada provinsidan/atau pemerintah daerah dan pemangkukepentingan terkait.

Peraturan daerah Papua, yangmenyediakan kerangka hukum bagipelaksanaan REDD di Papua, mengakui hak danhutan adat dan menekankan pengelolaan hutanberbasis masyarakat. Dengan menggunakanperaturan provinsi dan pedoman darikeputusan yang dibuat oleh KementerianKehutanan mengenai REDD, pemerintah Papua–dengan dukungan masyarakat sipil, universitas,masyarakat adat, dan aktor utama lainnya—berencana untuk membentuk Gugus TugasKarbon Hutan Papua (REDD). Gugus tugas inidibentuk berdasarkan peraturan gubernurpada awal 2011. Tujuannya adalah untuk

membantu pemerintah Papua untukmenerjemahkan, mengembangkan danmengkoordinasikan pendekatan kebijakan daninsentif posifif yang datang dari tingkat nasionaldan internasional untuk tingkat provinsi dankabupaten yang terlibat. Dalam praktiknya,keterlibatan masyarakat setempat sangatlahterbatas dan proyek itu tidak sesuai dengankepentingan masyarakat.

Sedikit sekali pengetahuan dankapasitas teknis pejabat kantor pemerintahansetempat dan instansi pemerintah terkait,organisasi masyarakat—apalagi masyarakatyang tinggal di Papua Barat—mengenaiperubahan iklim dan perdagangan karbon.Mereka juga tak banyak tahu tentang kebijakannasional, komitmen internasional atasperubahan iklim, praktik terbaik pengelolaanhutan, mekanisme perdagangan karbon,moratorium pembalakan, skema untukmengurangi perusakan hutan dan menurunkanemisi, serta manfaat dan dampaknya.

Sudah dilakukan beberapapertemuan untuk membahas perdagangankarbon, tetapi tak ada kelanjutannya, dan taktampak tanda-tanda adanya kebijakan atauprogram dari pemerintah provinsi dankabupaten untuk menerapkannya. Pertemuan-pertemuan itu sangat terbatas dan tidakmelibatkan masyarakat sipil, organisasimasyarakat setempat seperti DAP [DewanAdat Papua], LMA [Lembaga Masyarakat Adat]atau MRP [Majelis Rakyat Papua], LSM atauperwakilan masyarakat di Papua Barat.Dikhawatirkan bahwa tak adanya keterlibatanmereka akan memberikan dampak negatif padaperencanaan dan pelaksanaan program.

Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan[TGHK] dan deliniasi batas hutan masih belumada dan tak ada pembicaraan yang jelasmengenai hal itu, karena adanya konflik antarakepentingan dan konsep tanah negara dantanah adat. Rencana tata ruang untuk provinsiPapua Barat dan kabupaten Manokwari tidakada dan belum dibicarakan.

Masyarakat yang memiliki hak atastanah target REDD+ (tanah, hutan dangambut) tidak memahami dan tidak banyakdilibatkan dalam pencapaian konsensus ditingkat nasional dan lokal, untuk menentukanpersiapan bagi pelaksanaan REDD+. Inilah yangterjadi dengan proyek perdagangan karbonyang diprakarsai oleh pemerintah provinsiPapua Barat dan CSI.

Apa yang diperlukan untukREDD?Max. J. Tokede dari UNIPA Manokwarimenjelaskan bahwa apa yang perlu dikerjakanuntuk mempersiapkan REDD adalah sbb:pertama, meningkatkan kapasitas pemantauanuntuk mendeteksi perubahan cadangan karbondi provinsi Papua dan Papua Barat. Inimencakup: penginderaan jauh (pencitraansatelit); pemantauan udara; pemantauan hutanberbasis masyarakat di tingkat lapangan;dukungan kegiatan pemantauan hutan danperdagangan kayu oleh Dinas Kehutanan danmasyarakat. Kedua, kegiatan uji coba untukinsentif yang adil bagi perlindungan hutan, yangmeliputi perencanaan tata ruang dan alih fungsihutan, pemetaan hutan masyarakat adat dalamlokasi uji coba; membangun kelembagaankampung untuk mengelola sistem pembayaraninsentif untuk mencegah deforestasi danmembangun alternatif pendapatan ekonomi;membangun kapasitas bagi hutankemasyarakatan (community logging) yangberkelanjutan dan bersertifikat; membangunsistem pengawasan dan perlindungan hutanpartisipatif.

Sedangkan terkait mekanismependanaan REDD di Papua antara lain,meliputi: dukungan pendanaan untukpembangunan masyarakat dengan membukarekening kampung; dukungan pendanaan untukkelompok atau individu-individu untukmelakukan patroli dan perlindungan hutanberbasis masyarakat dengan rekeningkelompok/individu; dan dana simpan pinjamuntuk pengembangan usaha kecil, menengah dikampung. Kesanggupan pemerintah daerah jugaharus dipastikan untuk memfasilitasi: danauntuk pengelolaan proyek; dana untukpemantauan karbon dan penegakan hukum;dana untuk pembangunan bagi masyarakatumum (pendidikan/kesehatan/pembangunanekonomi). Dana Pendampingan Teknis jugadiperlukan bagi kelancaran program REDDtersebut.

Hak-hak AdatYang menjadi pertanyaan adalah, akankahkeuntungan itu menyentuh masyarakat adatyang mempunyai hak sepenuhnya atas hutan disekitarnya? Pemerintah Indonesia menyatakanbahwa masyarakat adat yang berbadan hukum

FPIC (pemberian persetujuan berdasarkaninformasi awal tanpa tekanan)

Berikut adalah inti dari laporan terbarudari FPP/Pusaka/JASOIL berjudul Papua andWest Papua: REDD+ and the threat toindigenous peoples

“Satu perkembangan penting adalahkeluarnya peraturan Gubernur BarnabasSuebu bulan Oktober 2010 mengenaiPembentukan Gugus Kerja PembangunanRendah Karbon. Salah satu peran Gugus Tugasitu adalan untuk memastikan kepastianhukum untuk mengamankan hak-hakmasyarakat sesuai dengan prinsip pemberianpersetujuan berdasarkan informasi awal tanpatekanan (FPIC). Kebijakan serupa jugadikeluarkan oleh Gubernur Papua Barat,Abram Artuturi, bulan Maret 2011. PeraturanDaerah Khusus (PERDASUS) Papua No.23/2008 mengenai Hak Ulayat MasyarakatHukum Adat dan PERDASUS No.21/2008mengenai Pengelolaan Hutan Lestari, yangkeduanya mengakui hak-hak masyarakatPapua, dapat memperkuat posisi masyarakatyang terimbas oleh rencana REDD+.Tetapihingga kini baik institusi pemerintahkabupaten atau pemerintah terkait belummengeluarkan kebijakan atau program untukmenerapkan peraturan hak ulayat dan hukumadat. ”1

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 21: DTE 89 Web Indo

akan tetap bisa mengakses sumber daya alamdi hutan tanpa menebang pohon danmendapatkan keuntungan dari proyek REDDtersebut. Di sini jelas masih ada pertanyaan,masyarakat adat yang berbadan hukum?Bagaimana dengan yang tidak berbadanhukum? Kalaupun masyarakat adat bisamendapatkan status badan hukum tersebut,bagaimana prosedurnya? Akankah semudahmembalikkan telapak tangan? Dalam konteksini, maka negara yang seharusnya mengakuiterlebih dahulu keberadaan masyarakat adat.Negara industri maju seperti Brasil, Uni Eropa,Jepang, Amerika Serikat dan Norwegia, siapmembiayai pengelolaannya. Diantaranyadengan memberi dana hibah US$10 per tonkarbon, kecuali untuk kebun kelapa sawit.Namun, apakah masyarakat adat Papua akandapat kucuran dana hibah itu? Belum tentu.

Melindungi hutan untuk tetap lestariatau mengelola secara berkelanjutansebenarnya sudah sejak dulu dikenal olehmasyarakat adat. Ada hutan keramat atau

tempat pemali yang terletak di hutan yangmasih kental dalam kehidupan masyarakatadat. Sekarang dunia modern mengenal hutankeramat sebagai kawasan hutan konservasi.Pemanfaatan hutan juga sangat menjaminkelestarian dan keberlanjutannya. Merekahanya menggunakan teknologi sederhana,mengambil hasil hutan seperlunya untukkebutuhan hidup mereka.

Direktur LSM PERDU Manokwari,Mujianto menerangkan bahwa berdasarkanpengalaman studi PERDU di KabupatenKaimana yang merupakan daerah yang dilirikdan dicalonkan oleh pemerintah provinsiPapua Barat sebagai kawasan proyek REDDdan Perdagangan Karbon, fakta menunjukkanpengelolaan dan pemanfaatan hutan saat inimasih ditemukan: ijin pemerintah masihdominan diberikan kepada pemilik modal-perusahaan; Pasca OHL II (OHL II adalahoperasi polisi kedu untuk memberantas illegallogging), ijin bagi masyarakat lokal praktis tidakada, Kopermas pun otomatis tidak berjalan;

kalaupun masyarakat lokal memanfaatkan hasilhutan (khususnya kayu), lebih untuk sekedarmemanfaatkan momentum pasar lokal yangtersedia dengan volume yang sangat terbatasdan tanpa perencanaan memadai; potensikehilangan hutan alam akan semakin tinggiseiring dengan pergerakan modal ke daerah iniuntuk diinvestasikan dalam berbagai sektorpemanfaatan sumberdaya alam (perkebunan,tambang, dll).

"Sementara itu bila kita melihat lebihjauh ke belakang, ... secara turun-temurunmasyarakat lokal penghidupannya bergantungdari kekayaan alam, termasuk kekayaan hutan;pengelolaan hutan dan pemanfaatanyadilakukan dengan cara yang sederhanaberdasarkan pengetahuan setempat; kebutuhanair bersih, protein hewani, bahan pangan lokaldan obat-obatan, bahan bangunan diambil darikawasan hutan mereka. Artinya, pemanfaatanhasil hutan masih sebatas untuk kebutuhanrumah tangga dan tidak membutuhkanteknologi yang merusak hutan secara cepat.Jika demikian, maka kiranya masyarakat adat disekitar hutan itu jauh lebih arif dalam menjagakelestarian hutan alam untuk proyek REDD.Namun ketika hutan alam mau dijadikan bisnisoksigen atau perdagangan karbon, makamasyarakat adat setempat harus secaralangsung dilibatkan secara penuh dan jugamendapatkan manfaatnya secara langsung,termasuk dalam hal kompensasi berupa uangtunai,” demikian kata Muji.

Peran JASOILProyek REDD+ dan inisiatif lain terusdigulirkan dan belum ada tanda-tanda untukmengoreksi tatanan kebijakan yang belumberes dan rendahnya komitmen politikpengambil kebijakan dan penggagas proyekuntuk melindungi hak-hak masyarakat. Hal inimenimbulkan kekhawatiran terjadinyapenyimpangan dan memunculkan konflikkepentingan dan konflik sosial yang meluas,sehingga pada gilirannya lingkungan tidakterselamatkan, emisi GRK terus meningkat dankesejahteraan masyarakat semakin menurun.

Apa gagasan dan aksi yang harusdilakukan dalam situasi seperti ini? Perlu adaaksi di tingkat masyarakat akar rumput,terutama yang akan bersentuhan dan terkenadampak langsung dari proyek REDD+. JASOILTanah Papua memandang ada dua hal yangdapat dilakukan, yakni:1) meningkatkan kesiapan, kesatuan dan

penguatan hak-hak masyarakat sehinggaposisi tawar mereka meningkat danmasyarakat bersatu dalam mempengaruhidan menentukan kebijakan proyekpembangunan apapun yang akan berlangsungdi atas tanah mereka dan mempengaruhikehidupan masyarakat;

2) meningkatkan kapasitas masyarakat agardapat terlibat dalam pemantauan seluruhtahapan proyek percontohan provinsiREDD+ dan inisiatif proyek REDD+ lainnyadi tingkat kabupaten, dan turut terlibatdalam tindakan memperbaiki.

Bisnis REDD+ (boks dirangkum oleh DTE)

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh FPP, Pusaka dan JASOIL menemukan bahwa tak satu punskema REDD+ yang telah diajukan untuk Papua sudah berjalan melampaui tingkat perencanaanawal.2

Hanya satu proyek REDD di Papua yand teridentifikasi dalam situs web REDD-Indonesia(tertaut dengan Kementerian Kehutanan). Proyek yang disebut Pendanaan Berkelanjutan untukManfaat Karbon berada di provinsi Papua, dan New Forest Asset Management/PTEmerald Planet disebut sebagai organisasi yang terlibat.3

Menurut FPP/Pusaka/JASOIL, perusahaan itu telah menandatangani Nota Kesepahaman dengangubernur Papua tahun 2008 untuk mengembangkan rencana pengurangan emisi dari deforestasidi hutan seluas 265.000 hektare di Mamberamo dan Mimika, tetapi pengembangnya tak dapatmemperoleh semua ijin yang diperlukan.

Situs web Emerald Planet sendiri menyatakan bahwa perusahaan itu “aktif dalam proyekAforestasi, Reforestasi dan Revegetasi (ARR), Pengelolaan Lahan Pertanian (Agricultural LandManagement,ALM) dan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) daninvestasi bersama dengan investor Indonesia dan asing, termasuk Eco-Carbone (Perancis),satu bank internasional besar, dan investor swasta.” Perusahaan yang berkantor perwakilan diBali ini juga menyatakan bahwa perusahaan itu “memberikan layanan nasihat bagi pemerintahprovinsi Papua sebagai satu-satunya anggota dari sektor swasta dalam Panel Penasihat SatuanTugas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon Papua.”4

Dalam kemitraan bersama Eco-Carbone, yang disebut Eco-Emerald, perusahaan itu jugamengklaim tengah mengembangkan “perkebunan tanaman jarak berbasis masyarakat di lahanyang telah mengalami degradasi di Indonesia” (tidak disebutkan apakah ini di Papua atau tempatlain di Indonesia).5

Carbon Strategic International adalah kelompok investasi dan perdagangan lingkunganglobal (karbon, keanekaragaman hayati). Dalam situs webnya disebutkan bahwa perusahaan inibekerja bersama perusahaan, pemerintah dan masyarakat “untuk membantu mereka memahamidan mendorong pasar lingkungan hidup, energi dan finansial yang tumbuh pesat untukmenciptakan hasil ekonomi, sosial dan ekologi yang berkelanjutan.” Ke empat kegiatan utamaperusahaan itu adalah Originasi, Penasihat Keuangan, Perdagangan dan Managemen Aset.Kelompok perusahaan ini memiliki kantor di Jakarta, tetapi tak ada informasi spesifik tentangPapua (atau bahkan Indonesia) dalam situs webnya.6

Asia Pacific Carbon telah terlibat dalam pengembangan proyek karbon sejak 2005, mulaidengan hutan hujan di Papua Nugini. Fokusnya saat ini adalah Indonesia dan PNG. Perusahaanini mengklaim sebagai “salah satu perusahaan pengembang karbon terkemuka berkualitas tinggidi kawasan Asia dan Pasifik.” Kantornya ada di Australia, Singapura, Indonesia dan PNG. Dalamsitus webnya, perusahaan itu lebih lanjut menyatakan bahwa perusahaan bekerja denganpengembang proyek,mitra teknologi, lembaga keuangan dan kelompok perdagangan yang sangatberpengalaman” dan “didukung oleh hubungan kerja yang erat dengan pemilik proyek,pemerintah, anggaran dasar, institusi tersier, dan LSM di setiap pasar sasaran.7

Usaha awal untuk mendapatkan akses atas proyek karbon di Papua diluncurkan oleh CarbonConservation, perusahaan berbasis di Australia yang dijalankan oleh pengusaha Dorjee Sun.8Carbon Conservation terlibat dalam proyek REDD Ulu Masen di Aceh.

Catatan kaki dapat dilihat dalam versi elektronikartikel ini di www.downtoearth-indonesia.org/id

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 22: DTE 89 Web Indo

20

DTE terakhir kali melaporkan perkembangankebijakan dan proyek di Indonesia untukmengurangi emisi dari deforestasi dandegradasi hutan (REDD) pada awal 2010.Ketika itu Presiden Susilo BambangYudhoyono membuat komitmen internasionaluntuk membatasi emisi karbon Indonesia danmengumumkan rencana untuk menanamjutaan hektare hutan baru. Indonesia tengahmenegosiasikan kesepakatan REDD denganBank Dunia terkait dengan programkerjasama karbon hutan dan telahmengeluarkan tiga peraturan terkait denganREDD. Organisasi-organisasi masyarakat sipil(CSO) yang memantau perkembangan REDDdi tingkat nasional dan regional merasa sangatkhawatir dengan kurangnya perlindungan bagimasyarakat lokal yang hutannya, saat ini ataumungkin nantinya, menjadi target REDD.1

Delapan belas bulan setelah laporantersebut, gambaran mengenai REDD(sekarang REDD +2) nasional menjadisemakin rinci, proyek REDD resmi maupuntak resmi diluncurkan, juga lebih banyakskema pendanaan internasional yang besarsudah mulai berjalan. Tetapi kekhawatiranCSO mengenai REDD dan proses pembuatankeputusan terkait dengan proyek dankebijakan REDD masih ada. Karena proyeksudah memasuki tahap pelaksanaan, merekasemakin khawatir mengenai hakmasyarakat—terutama semakin mendesakkebutuhan untuk melindungi hak masyarakatadat dalam memberikan atau tidakmemberikan persetujuan berdasarkaninformasi awal tanpa tekanan (FPIC) terhadapproyek yang mempengaruhi mereka. Pada saatyang sama, pemerintah mengumumkanperubahan besar dalam kebijakan yangmemberikan pengakuan atas hak masyarakatadat.

Moratorium dan Surat NiatKebijakan yang sudah lama ditunggu-tunggutentang moratorium pembukaan hutanprimer dan lahan gambut ditandatangani padabulan Mei 2011. Instruksi Presiden No.10/2011 merupakan satu dari hasilkesepakatan Surat Niat yang ditandatanganiIndonesia bersama Norwegia pada tahunsebelumnya sebagai bagian dari kesepakatanREDD senilai US$ 1 milliar. Surat Niat dankelanjutan Nota Konsep Bersamamenetapkan rencana REDD+ dalam tigatahap.Tahap persiapan pertama mencakup:

membentuk kelembagaan REDD+ nasional(yang akan dipersiapkan oleh Satuan TugasREDD+) yang akan beroperasi penuh padaakhir tahun 2012moratorium selama dua tahun (semuladitetapkan berlaku mulai Januari 2011, tapiditunda sampai Mei)membentuk Lembaga Pemantauan,Pelaporan dan Verifikasi (MRV) yangindependen

membentuk instrumen keuangan adinterim untuk menangani tahap persiapanStrategi REDD+ Nasional akandikembangkan menjadi rencana aksinasional, dan yang “memuat metodepenerapan FPIC dan pembagiankeuntungan yang adil”memilih provinsi percontohan (pilot) untukREDD+.3

Tahap ‘Transformasi’ yang kedua darikesepakatan Indonesia-Norwegia mencakuppeningkatan kapasitas di tingkat nasional,reformasi hukum, dan paling sedikit satuproyek percontohan yang utuh dalam skalaprovinsi. Dalam tahap ketiga, disebut“Kontribusi bagi Kinerja yang telahDiverifikasi’ dan dijadwalkan mulai tahun2014, Norwegia akan mulai mengucurkanpembayaran untuk Indonesia ataspengurangan emisi sesuai dengan pedomanUNFCCC.4

Moratorium itu sendiri disambutdingin oleh CSO karena kebijakan itu hanyamemberikan sedikit perlindungan tambahanbagi hutan di Indonesia yang rusak dalamwaktu singkat. Hal ini terutama disebabkanoleh perkecualian yang diberikan untukperusahaan besar yang ingin terusmenggunakan hutan dan lahan gambut yangkaya akan karbon untuk memperluas usahamereka. Instruksi Presiden No. 10/2010memberikan perkecualian moratorium sbb:

permohonan yang telah mendapatkan ijinprinsip dari Kementerian Kehutanan,pelaksanaan pembangunan nasional yangbersifat vital (panas bumi, minyak dan gasalam, listrik serta lahan padi dan tebu);perpanjangan ijin pemanfaatan hutan yangsudah adarestorasi ekosistem.5

Menurut pemerintah, areamoratorium meliputi 64 juta hektare. Tetapi,CSO mengatakan bahwa hanya sekitar 45,5juta hektare hutan primer yang masih tersisa.Sekitar seperempat dari hutan tersisa sudahdiberikan ijin eksploitasi (sehingga tak bisadimasukkan dalam moratorium) dan sebagianbesar dari sisanya sudah dilindungi darijangkauan pengusaha kayu atau pengembangperkebunan sebab kawasan itu masuk dalamkategori hutan lindung. Menurut perhitungan,hanya sekitar 8,8 juta hektare hutan primerIndonesia yang sebetulnya mendapatperlindungan tambahan melalui moratoriumitu.6

Salah satu kawasan yangdikecualikan dari moratorium adalah kawasanyang dialokasikan untuk proyek MIFEE diMerauke (lihat artikel terpisah). Sebelummoratorium dikeluarkan, KuntoroMangkusbroto, pembantu utama presidenyang menangani Satuan Tugas REDD+,mengatakan bahwa kawasan MIFEE akandikurangi luasnya menjadi 350.000-500.000hektare antara lain karena adanya lahan

gambut yang kaya karbon di daerah itu.7Dampak positif dari pengumuman

moratorium itu semakin dipatahkan olehterbitnya laporan ornop EnvironmentalInvestigation Agency (EIA) dan Telapak.Laporan itu menunjukkan bagaimanamoratorium itu dilanggar pada hari pertamaoleh pengembang kelapa sawit Malaysia diKalimantan Tengah. Juga disebutkan bahwaNorwegia—promotor moratorium itu—padasaat yang sama menanamkan modal di sektorperkayuan dan perkebunan, yang erathubungannya dengan pembabatan hutan.8

Juga terungkap bahwa KementerianKehutanan sudah mengeluarkan ijineksploitasi 2,9 juta hektare hutan untukbeberapa perusahaan pada akhir tahun 2010,yang tampaknya merupakan tindakan tergesa-gesa untuk menghindari moratorium, yangsemula dijadwalkan dimulai tanggal 1 Januari2011.9 Hal lain yang bertentangan dengantujuan moratorium ini adalah dikeluarkannyaPeraturan Menteri Kehutanan No. 18/2011pada bulan Februari. Peraturan inimemberikan ijin bagi pertambangan bawahtanah, pembangkit listrik dan proyek nasionallain yang penting untuk terus dilaksanakan dihutan lindung.10

Perkembangan REDD+ lainnya, yangsebagian terkait dengan Surat Niat Norwegia,termasuk:

pembentukan Satuan Tugas REDD+Nasional, pada bulan Oktober 2010, yangdiketuai oleh Kuntoro Mangkusbroto,mantan menteri pertambangan, ketuaBadan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh

REDD di Indonesia – berita terkini Tanggal penting terkaitREDD(+)Mei 2010: Surat Niat Norwegia-Indonesiamengenai REDD+ ditandatangani

Oktober 2010: Satuan Tugas REDD+dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden19/2010

November 2010: KementerianKehutanan membentuk Kelompok KerjaPerubahan Iklim berdasarkan KeputusanMenhut No. 624/Menhut-II/2010

November 2010: Draf Strategi REDD+Nasional dibuat

Mei 2011: Moratorium selama dua tahunditandatangani – Instruksi Presiden 10/2011

Juli 2011: Indonesia mengindikasikanadanya perubahan kebijakan yang mengakuihak masyarakat adat dan menanganipersoalan dalam hak kepemilikan hutan

September 2011: Presiden SBYmengumumkan adanya Satuan Tugas baru,yang akan membentuk kelembagaan REDDhingga paling lambat akhir 2012.

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 23: DTE 89 Web Indo

21

pasca tsunami, dan kini ketua Unit KerjaPresiden bidang Pengawasan danPengendalian Pembangunan (UKP4).pembentukan Kelompok Kerja PerubahanIklim November 2010, dalam KementerianKehutanan, untuk mendukungperwakilannya dalam Kelompok KerjaREDD+;konsultasi dengan ornop mengenai DrafStrategi Nasional REDD+. Input darikelompok masyarakat sipil (termasuk DTE)menyerukan agar strategi itu memenuhistandar hak asasi manusia internasional,mengakui peran masyarakat adat danmasyarakat lokal dalam perlindungan hutan,memasukkan strategi penanganan konflikatas tanah dan memasukkan mekanismekeluhan sehingga masyarakat dapatmelaporkan pelanggaran atau dampaknegatif REDD+ dan masalah mereka dapatditangani.11

Semakin banyak kegiatan demonstrasiREDD+. Hingga Februari 2011, KementerianKehutanan telah menyetujui 16 proyek danlebih dari 60 lainnya masuk dalam daftartunggu.12 Kekhawatiran kian meningkat bahwaproyek akan berjalan sebelum mekanismeperlindungan (safeguard) bagi masyarakatdisepakati. Laporan yang dikeluarkan olehHuMa, sebuah ornop di Jakarta, menyorotikekhawatiran atas kurangnya perlindungandari penyandang dana REDD bilateral.13

Salah satu skema REDDinternasional yang sudah berjalan adalahkesepakatan senilai US$ 3,6 juta dari DanaKemitraan Karbon Hutan (Forest CarbonPartnership Fund atau FCPF) yang dipimpinBank Dunia untuk mempersiapkan REDD+Indonesia. Kesepakatan FCPF ditandatanganiJuni 2011 dan yang terdiri dari kegiatananalisis, peningkatan kapasitas, konsultasi danpenjangkauan (ornop), serta pengumpulandata regional. Daerah yang menjadi fokusregional adalah Kalimantan Selatan, SumatraSelatan (Musi Rawas), Maluku,Aceh dan PapuaBarat. Organisasi-organisasi masyarakat sipilmengecam proposal Indonesia untuk danaFCPF, serta mengungkapkan kekhawatiranmereka mengenai perlindungan sertakurangnya transparansi dan partisipasi dalamproses konsultasi.14 Penelitian atas proyekFCPF di seluruh dunia yang diterbitkan padabulan Maret 2011, Smoke and Mirrors,menegaskan bahwa tak satu pun dari delapanrencana persiapan REDD (termasukIndonesia) menyikapi persoalan hak atas tanahatau mengakui konflik yang ada secaramemadai.

REDD RegionalMeskipun gubernur Papua dan Acehmerupakan kepala daerah pertama yangsecara terbuka mendukung REDD di daerahmereka, Kalimantan adalah daerah yang dipilihuntuk proyek resmi REDD, dan pada akhirtahun 2010, pemerintah mengumumkanbahwa Kalimantan Tengah merupakan provinsi

percontohan REDD sesuai dengankesepakatan REDD Norwegia.15 Penolakankeras atas proyek REDD di provinsi itudisampaikan oleh kelompok masyarakat lokalseperti Yayasan Petak Danum Kalimantan danAliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG),yang memang banyak mengecam maksud dibalik offset karbon oleh negara dan lembagayang terlibat dalam pendanaan skema REDDdi provinsi tersebut.16 Kelompok itumengatakan bahwa masyarakat setempatdapat mengelola hutan mereka secaraberkelanjutan ketimbang skema REDD,mereka perlu pengakuan dan penghargaan atashak-hak mereka untuk mengelola tanah dansumber daya mereka sendiri.

Sementara itu di Aceh, proyekREDD Ulu Masen (yang dikembangkan olehpemerintah Aceh dan Carbon Conservation,bekerjasama dengan Fauna and FloraInternasional) yang menarik banyak perhatian,tetap sangat kontroversial. Penelitian terakhirmenyimpulkan bahwa kurangnya partisipasimasyarakat dalam proyek dikhawatirkan dapatmerongrong tujuan proyek untuk memangkasemisi CO2 dari deforestasi. Survei yangdiadakan tahun 2008 oleh Jaringan KomunitasMasyarakat Adat Aceh (JKMA) menemukanbahwa masyarakat adat belum pernahmenerima informasi mengenai program UluMasen dan juga REDD.17

Penelitian penting yang dilakukanoleh Institute for Global EnvironmentalStrategies (IGES) dan diterbitkan Juli 2010,melaporkan kekhawatiran masyarakat bahwatak adanya sistem penguasaan tanah yang pastiakan membuat REDD hanya bermanfaat bagi‘pemain kelas kakap’ seperti perusahaanpertambangan, kayu dan perkebunan. Tak adaijin yang diberikan berdasarkan informasi awaltanpa tekanan, dan juga tak ada dukunganpenuh (atau sebagian) serta keterlibatanmasyarakat setempat, demikian menurutpenelitian itu. “Ada bahaya yang nyata, bahwaproses REDD akan mengulangi kesalahaneksperimen di masa lalu terkait denganstrategi pengelolaan hutan yang tersentralisasidan dipaksakan.”18 Tampaknya tak adakemajuan: survei independen selanjutnya yangdiadakan Januari 2011 dan hasilnya dimuat

dalam Inside Indonesia, menemukan bahwa“akses terhadap informasi sangat kurang danpengetahuan mengenai REDD sangatlemah.”19

Perubahan besar dalamkebijakan mengenai hakmasyarakat adatTanda-tanda perlunya perubahan dalamkebijakan hutan di Indonesia semakin nyataketika pembantu presiden KuntoroMangkusubroto pada bulan Juli mengumumkandalam suatu pertemuan internasional bahwaIndonesia akan “mengakui, menghargai danmelindungi hak-hak adat.” Kuntoromengatakan bahwa pemerintah perlu segeramengembangkan suatu peta sebagai dasar bagisemua pengambilan keputusan yang akandigunakan oleh semua kementerian danlembaga pemerintah, juga untuk menentukanstatus hukum batas-batas wilayah hutan diIndonesia yang “menjamin diakuinya hak-hakadat.”20 Ia menegaskan bahwa hanya sekitar12% hutan Indonesia yang telah diatur batas-batasnya secara hukum.21 Ia mengatakanbahwa semua tindakan mengenai tanah dimasa depan harus didasarkan atas prinsip“pengakuan, penghargaan dan perlindunganatas hak-hak adat” dan bahwa pengakuan ituharus ada sebelum tanah negara dialokasikanuntuk penggunaan lain. Ia juga menjelaskanbahwa TAP MPR IX yang disahkan tahun 2001oleh badan tertinggi negara memberikan dasarhukum yang jelas bagi reformasi itu.22

Kuntoro menyampaikan pernyataanyang dramatis itu menyusul adanya tanda-tanda yang menggembirakan, termasukkesepakatan antara AMAN dan KementerianLingkungan Hidup untuk memberdayakanmasyarakat adat.23 Masih perlu dilihatbagaimana keseriusan pemerintah dalammenerjemahkan kata-kata menjadi tindakan,dan bagaimana komitmen ini dijalankan didaerah seperti Papua, di mana terdapat banyakpelanggaran atas hak masyarakat adat.

Sumber-sumber informasi tentang REDD

Laporan yang baru mengenai REDD+ di Indonesia oleh FPP, PUSAKA, HuMa dan lain-lain:http://www.forestpeoples.org/fpp-series-rights-forests-and-climate-redd-plus-Indonesia

What is REDD? A guide for Indigenous Communities (Apakah REDD itu? Panduan bagiMasyarakat Adat) http://www.forestpeoples.org/topics/redd-and-related-initiatives/publication/2010/what-redd-guide-indigenous-communities

Inside Indonesia,Terbitan 105, Juli-September 2011, Climate Change and Indonesia (PerubahanIklim dan Indonesia) http://www.insideindonesia.org/

REDD-Monitor – www.redd-monitor.org

Situs web REDD-Indonesia: http://www.redd-indonesia.org/Resources on REDD

Catatan kaki artikel ini ada dalam versielektronik artikel ini di www.downtoearthindone-sia.org/id

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 24: DTE 89 Web Indo

22

BP Tangguh, setelah dua tahunInformasi terkini mengenai keadaan di proyek raksasa gas dan LNG di wilayah Kepala Burung Papua Barat, yang

dioperasikan oleh perusahaan energi multinasional dari Inggris, BP.

Lebih dari dua tahun telah berlalu sejakproyek gas alam cair (LNG) Tangguh mulaiberproduksi, tapi pertanyaan mengenai BPdan proyeknya senilai US$5 milyar di TelukBintuni, Papua Barat, itu masih menggantung.

Peristiwa yang terjadi di belahandunia lain tahun lalu menimbulkan pertanyaanyang kurang menguntungkan bagi BP. Bencanaminyak Teluk Meksiko menggarisbawahitingginya biaya lingkungan dan sosial daripengeboran minyak dan gas. Dalam hal PapuaBarat, biaya ini kurang terlihat oleh dunia luarkarena akses atas berita mengenai Tangguhsusah diperoleh akibat sulitnya transportasidan komunikasi di wilayah itu.

Meskipun terdapat risiko sosial,HAM dan lingkungan, BP terus memaksakanrencananya untuk memperluas proyek LNGTangguh: 'kereta' produksi ketiga akandibangun tahun 2014, menyusul dua keretalain yang sudah berproduksi.

BP juga telah memperoleh konsesieksplorasi lepas pantai untuk minyak dan gasdi Laut Arafura, di selatan Timika, dan didugaakan merencanakan untuk mendapatkankonsesi minyak dan gas lagi di daerahsekelilingnya. Ditambah dengan empatkontrak gas metana batubara (coal bedmethane) di Kalimantan Tengah dan satukontrak proyek gas di Kalimantan Timur,1yang baru ditandatangani, maka komitmen BPuntuk memperluas kepentingannya diIndonesia semakin jelas.2

Permintaan akan LNG dari luarnegeri tetap tinggi, sementara LNG Tangguhdiekspor ke pasar Cina, A.S. dan KoreaSelatan. Jepang dan Taiwan juga merupakanimportir potensial untuk LNG Tangguh. Selainitu, BP telah melakukan pembicaraan denganberbagai pihak untuk mulai memasok LNG kepasar Indonesia. Ada laporan mengenaikontrak potensial untuk memasok LNG kepembangkit listrik di Sumatra Utara3 danbahkan kemungkinan untuk memasok LNGuntuk pabrik petrokimia baru yang diusulkandi Papua Barat sendiri.4

Jelas bahwa permintaan ataspasokan energi yang semakin besarmendorong Indonesia untuk mencobamemenuhinya, khususnya melalui proyekTangguh. BP dan rekan Indonesianya BPMigastengah berusaha untuk memanfaatkankeadaan ini.

Sementara itu, dengan latarbelakang pertumbuhan ekonomi di seluruhIndonesia,5 dorongan untuk mendapatkankeuntungan dan pertumbuhan yang lebihbesar semakin kuat dengan adanyapengumuman bahwa pemerintah Indonesiatengah melakukan negosiasi ulang harga

kontrak penjualan LNG dengan salah satukonsumen Tangguh terbesar, China NationalOffshore Oil Corporation (CNOOC).6

Tangguh sebagai'pembangunan' dari atas kebawah dan peran TIAPAwan gelap yang menyelimuti ufuk di baliksumber keuntungan energi Teluk Bintuni iniadalah situasi politik yang berbahaya yang kiniberkembang di Papua Barat. Selama bertahun-tahun, DTE telah melaporkan situasi HAM diPapua Barat dan menyoroti perlunyapemerintah dan perusahaanmempertimbangkan masyarakat setempatdalam pembuatan prakarsa baru danpenentuan kebijakan pemerintah. DTE telahmenyerukan secara terus menerus agarpembangunan harus mengakar dan menjawabkebutuhan, kepentingan dan prioritasmasyarakat setempat. Sementara itu, proyekraksasa seperti BP Tangguh terus didorongdengan alasan untuk membawa kemajuan danpembangunan bagi Papua Barat, meskipuntujuan utama mengeruk sumber daya alamadalah untuk memenuhi permintaan akanenergi dan pasar dari negeri yang teramatjauh.

Sejak dimulainya proyek Tangguh,DTE, bersama dengan berbagai ornop danorganisasi masyarakat sipil, telah menghadiripertemuan Majelis Penasehat IndependenTangguh (TIAP) guna mendorong BP agar

mengakui dan menghormati hak masyarakatatas tanah dan sumber daya alam, serta untukmenanggapi kekhawatiran masyarakatsetempat atas perusahaan raksasa ini. TIAPdibentuk oleh BP tahun 2002 untuk"memberikan nasihat eksternal kepadapengambil keputusan senior terkait denganaspek non-komersial proyek LNG Tangguh".Kemandirian dan efektivitas proses TIAPsemakin dipertanyakan. Tahun 2009, LordHannay, salah seorang anggota majelis TIAP,menuduh beberapa ornop berteriak-teriaktak beralasan untuk mencari perhatian atassituasi HAM di Papua.

Dua tahun telah berlalu, meskipunBP Tangguh telah melakukan usaha untukmelindungi diri dari beberapa masalah terkaitdengan kegiatannya di Papua Barat, tampaknyaproyek itu tak akan dapat menghindariterperosok dalam masalah yang lebih luas diPapua.

Konflik, pembunuhan, mogok kerjadan korupsi terus menghantui tambang RioTinto-Freeport dekat Timika7 danmeningkatnya kekerasan di Papua secaraumum berarti masalah semakin mendekatiTangguh.

Komisi HAM Asia baru-baru inimelancarkan aksi mendesak mengenaipenahanan dan pemenjaraan sejumlah aktivisdengan dakwaan 'pemberontakan' karenamengibarkan bendera bintang kejora diibukota wilayah Manokwari.8 Di awalSeptember, jurnalis yang meliput protespemilik tanah adat dipukul oleh kepala distrikdi Sorong Selatan dan asistennya dan ditekanagar membuat berita yang menguntungkanmereka.9

Kejadian-kejadian tersebut tidakberhubungan langsung dengan BP Tangguh,tetapi menjadi bukti meningkatnya ketegangandan ketidakpuasan di wilayah itu pascaKonferensi Damai di bulan Juli (lihat halaman6) dan perkembangan politik lainnya. Masihbanyak ketidakpuasan lain terkait dengangagalnya Otonomi Khusus untuk menganganimasalah Papua. Masalah keseimbangan jumlahpenduduk lokal dan pendatang jugamenambah ketegangan. Laporan terbarumengenai situasi umum di Papua Baratmeramalkan bahwa penduduk asli, yangsekarang berjumlah sekitar setengah dariseluruh penduduk, akan kalah jumlahnyamenjadi dua banding satu dibandingkandengan jumlah penduduk pendatang dalamwaktu sepuluh tahun mendatang.10 Semuaketegangan ini hanya akan semakin parahdengan semakin terpinggirkannya pendudukasli setempat.

Kilang LNG BP-Tangguh di Teluk Bintuni,Papua Barat

(Bersambung ke halaman 16)

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 25: DTE 89 Web Indo

Nyanyian Galau, Nyanyian Harap…dan harapan untuk membangun penghidupan yang berkelanjutan.

Catatan dari lokakarya yang dikerjakan bersama oleh LP3BH,Yalhimo, Mnukwar, DTE dan PPP.

Nanoto tompan fo wojaro, nanototompan fo wojaroNanipun sorsoremo, nanipunsorsoremo

Mari lihat bintang yang naik dari lautBerdiri di puncak untuk disampaikanSesuatu yang terjadi di daerah Mpur

Sesuatu memang terjadi di Mpur. Lagu di atasdibuat dalam bahasa mereka, Amberbaken,oleh para peserta lokakarya perubahan iklimdi Mubrani bulan Mei 2011. Kekuatiranmengenai kondisi alam yang berubah danmembawa ketidakpastian untuk kehidupanmereka menjadi warna utama lokakaryatersebut.

Amberbaken, wilayah orang Mpur,terletak di timur laut wilayah Kepala Burung,Papua Barat. Ahli linguistik, Malcolm Ross,mengatakan, hingga ditemukan bukti-buktiyang lebih kuat, bahasa Mpur/Amberbakenadalah salah satu dari tiga keluarga bahasaPapua Barat. Bahasa Mpur/Amberbaken jugapernah dicatat oleh Ethnologue1 sebagaibahasa yang relatif independen.

Setidaknya, hingga kurang dari 10tahun yang lalu, Amberbaken merupakandaerah yang cukup tertutup. Operasi militerterhadap gerakan Organisasi Papua Merdeka(OPM) di kawasan tersebut cukup gencar

sehingga membatasi akses ke sana.Namun demikian, sejarah

Amberbaken tidak mencerminkan ciri suatukawasan yang tertutup sepenuhnya. Misalnya,ada cerita rakyat setempat mengenai asal usulberas masuk ke Amberbaken. Beras bukanbahan makanan asli Papua. Ceritanya begini:

Ketika wilayah Kepala Burungberada di bawah kekuasaan Kesultanan Tidore

ratusan tahun yang lalu, seorang lelakiAmberbaken berhasil melarikan diri daripenjara di Tidore. Ia membawa pulang oleh-oleh istimewa. Di dalam rambut keritingnya iamenyembunyikan bulir-bulir benih padi. Sejaksaat itulah orang Mpur bertanam padi, selainsagu dan ubi sebagai bahan makanan pokokmereka.

Beras lokal yang menjadikebanggaan masyarakat di sana rasanya jauhlebih enak dibandingkan raskin2 beraspembagian dari pemerintah yang disediakanuntuk rakyat miskin.

Saat ini jalan Trans-Papua yangmenghubungkan Manokwari dan Sorongsepanjang kurang lebih 568 km membelahAmberbaken. Trans-Papua membuat kawasanAmberbaken menjadi lebih mudah diakses,akan tetapi juga memberi jalan lebih terbukabagi orang luar untuk datang dan mengambilkekayaan alamnya. Isolasi Amberbakenkembali dibuka seperti jaman dulu, tetapi kaliini dengan cara yang jauh lebih cepat dan lebihmasif.

Raungan gergaji listrik danbulldozer memangkas hutan perawandiimbangi oleh teriakan protes para aktivislingkungan yang mengecam pembangunanjalan Trans-Papua yang melewati sebagiankawasan Cagar Alam Tambrauw Utara.3Protes mereka menjadi cermin kekuatiranbahwa jalan baru akan membawa masukinvestasi yang sekaligus akan mengisap darahmasyarakat. Pendapatan daerah yangdihasilkan kemungkinan hanya akan mengisikocek para pejabat setempat, padahal fasiltasjalan baru akan mempercepat kerusakan alamyang disebabkan oleh pembangunanperkebunan sawit dan tambang (lihat peta, danhal 1 tentang luasnya pembukaan hutan diprovinsi Papua dan Papua Barat).

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Peta provinsi Papua Barat. Daerahhijau tua adalah hutan primer, hijaumuda adalah hutan sekunder.Daerah abu-abu adalah distrik-distrikyang mengalami deforestasi tertinggiantara tahun 2005-2009.

Sumber: JASOIL

Menyanyikan lagu-lagu di lokakarya,Arfu, Mei 2011

Page 26: DTE 89 Web Indo

24

JASOIL, jaringan ornop keadilanlingkungan dan sosial di Manokwari, melakukanstudi khusus tentang rencana pembangunan diprovinsi Papua Barat. Setelah mempelajarisejumlah peta, kelompok tersebutmenyimpulkan bahwa antara tahun 2000 –2010 percepatan laju deforestasi terpesatterjadi di beberapa kabupaten termasuk diKabupaten Manokwari (lihat peta) dan diKabupaten Tambrauw yang baru diresmikan, dimana Amberbaken berada.

Masyarakat Mpur belajar daripengalaman masyarakat transmigran yangmengelola kebun sawit dan menghadapipermasalahannya. Kampung transmigrasiterdekat hanya berjarak sekitar 60km dariAmberbaken. Kelompok transmigran jugamemperkenalkan bentuk ekonomi baru sepertiberjualan hasil kebun. Sebagian besar sayurandan buah-buahan di Manokwari berasal darikebun transmigran. Namun para transmigranjuga melihat sendiri bagaimana kualitas tanah dikampung baru mereka menurun setelahditanami kelapa sawit.

Masalah terkait berpindahtangannyapenguasaan tanah karena program transmigrasimasih berlanjut hingga hari ini, seperti apidalam sekam yang dapat berkobar kapanpun.Tuntutan pengembalian tanah oleh pemiliksebelumnya, orang Papua, tak jarang berujungdalam pertikaian yang kadang-kadangmenimbulkan korban tewas. Tidak adaseorangpun yang dapat tidur nyenyak sebelummasalah ini diselesaikan.

Isok ifo burodaiimobahabimo burodaiimobahabimo mugouwaorohmonuh mogetew

Orang ini kejar kitaBunuh kitaBunuh darahPakai bayar tanah ini

(lagu dalam bahasa Meyakh, disusun pada waktulokakarya)

Papua tanah yang kaya, yang tidak akan kekalselamanya karena banyak tangan yang inginmenikmati ‘kue’ tersebut. Mereka, yang ikutberebut kue, termasuk orang Papua yang inginmeraup keuntungan selagi berkuasa. Perebutankekuasaan politik, termasuk pemekaran, telahmemecah belah keluarga dan marga. Sejumlahorang di Amberbaken kuatir dengan gagasanuntuk memecah Kabupaten Manokwari untukmenciptakan kabupaten baru Tambrauw atasnama pemekaran. Tambrauw adalah namapegunungan di wilayah tersebut. Merekaberpendapat bahwa pemekaran hanya akanmenguntungkan segelintir orang sajaketimbang meningkatkan kesejahteraanseluruh masyarakat. Menurut merekapemekaran akan memperpendek rangkaianproses negosiasi dan pengambilan keputusanantara investor dan pejabat setempat yangingin memperkaya diri sendiri. Mereka tidakselalu dapat dipercaya.

Mencari jalan keluar yanglestari

Inta nek Papuanek mafunowar disiyosoro bundake

ilmu bwano jasa bwanoinun mbe intar waro dokonedokone

Tanahku PapuaTanah yang indahAir yang sejukGunung yang ditutupi awan

Oleh karena ilmu dan jasa menuntutAkhirnya saya merantauTinggalkan tanah airku, Papua

(lagu dalam bahasa Kebar, disusun dalamlokakarya)

Orang Mpur adalah masyarakat yangberpandangan ke depan. Jika ada kesempatanmereka akan menyekolahkan anak-anak

mereka pergi dari rumah untuk mengecappendidikan tinggi, kalau perlu hingga keseberang lautan. Fasilitas pendidikan masihterbatas di wilayah mereka. Walaupunkedatangan perkebunan kelapa sawittampaknya tidak bisa dicegah,4 selamalokakarya para peserta mengungkapkan minatmereka untuk mencari alternatif yang positifdari kebun sawit demi memajukanperekonomian setempat. Mereka berpikirseperti ini: jika kesejahteraan masyarakatmeningkat, mereka akan lebih mampu menolakgodaan untuk menjual tanah mereka. Merekatahu, seringkali yang terjadi adalah masyarakatakan jatuh miskin setelah mereka melepas ataumenjual sumber daya alam mereka. Tidak sajamereka akan kehilangan sumber daya alamyang menjadi dasar penghidupan, mereka jugaakan kehilangan hubungan budaya danpsikologis terhadap hutan mereka.

nek te eyen

Tanah adalah ibu kami

(ungkapan dalam bahasa Mpur)

Selviana Anari adalah seorang perempuanmuda guru jemaat yang menjadi salah seorangpeserta lokakarya. Tanggung jawab utamanyaadalah mengajar injil, memimpin ibadah danmengurus umat. Pekerjaan Selviana tidakbanyak diemban oleh perempuan Papua.Sebagian besar perempuan di masyarakatnyaadalah ibu rumah tangga yang mengurusrumah, kebun dan anak. Dalam percakapannyadengan Adriana Sri Adhiati dari DTE Selvianamenguraikan sejumlah hal yang dihadapiperempuan di sana.

Selviana berasal dari keluargareligius. Ayah dan suaminya juga guru jemaat.Walaupun jarang perempuan menjadi gurujemaat, pilihan Selviana menjadi guru jemaatdipandang sebagai hal yang wajar mengingatlatar belakang keluarganya. Untuk menjadiguru jemaat ia harus menempuh pendidikankhusus teologi setingkat SMA. Denganpendidikan seperti itu, Selviana termasukperempuan dengan pendidikan tertinggi dikampungnya.

Gereja tempat Selviana mengabdimenyelenggarakan ibadah khusus untukperempuan serta sejumlah kegiatan lain. Paraperempuan juga mendapat pelatihanketrampilan kerumahtanggaan sepertimenjahit dan memasak.

Selviana mengungkapkan bahwasalah satu tantangan yang ia hadapi dalampekerjaannya adalah pemekaran wilayah.Menjaga umat adalah salah satu tugas utamaguru jemaat, setidaknya agar jumlah umattidak menyusut. Munculnya pemekaranmenimbulkan perubahan batas wilayah,termasuk wilayah di mana ia bekerja.Perubahan ini membuatnya kuatir bahwa umatakan pindah ke gereja lain yang lebih dekatdalam wilayah administrasi yang baru.

Pemekaran dan pembukaan wilayah

baru oleh pembangunan jalan Trans-Papuasecara tidak langsung juga mempengaruhikeputusan keluarga Selviana untuk pindahrumah. Rumah yang sekarang mereka hunidulunya adalah pondok ladang mereka.Mereka pindah untuk mendekati sarana jalanbaru. Saat ini sekitar 25 keluarga bermukim didesa yang baru terbentuk bernamaWasanggon. Terbentuknya desa barumenguatkan alasan dilakukannya pemekaranyang membutuhkan jumlah minimal desadalam wilayah kabupaten baru.

Persoalan terkait pemekaran (baikdi tingkat kabupaten maupun provinsi) tidakbanyak mendapat perhatian walaupunmemiliki dampak yang berarti terhadapmasyarakat dan ekosistem Papua. Pemekaranmembutuhkan dukungan personil tentara,pembukaan jalan untuk lebih banyakpengerukan sumber daya alam dan penetapanstruktur pemerintahan yang dapat memicuperpecahan dalam masyarakat.

Lain daripada itu, Selviana jugamengungkapkan tingginya angka kematian ibudan anak, akibat terbatasnya fasilitaskesehatan, masih merupakan masalah di sana.Pengamatannya menegaskan laporan bahwaPapua merupakan salah satu wilayah dengantingkat kematian ibu yang tertinggi diIndonesia, padahal dibandingkan negara AsiaTenggara lainnya prestasi Indonesia sudahtergolong buruk.5

Masalah lain di masyarakatnya yangdiamati dan coba diatasi oleh Selviana adalahkekerasan rumah tangga terhadap perempuan,terutama dipicu oleh alkoholisme di kalanganlelaki. LP3BH, sebuah ornop di Manokwarisejak beberapa tahun terakhir berupayamenangani masalah kekerasan dalam rumahtangga dalam kaitan kerja mereka membangunkesadaran akan masalah hak asasi manusia.6

Kisah seorang perempuan Papua(bersambung ke halaman berikut)

DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua

Page 27: DTE 89 Web Indo

DOWN TO EARTH adalah buletin dari Kampanye Internasional untuk KeadilanEkologis di Indonesia. Untuk berlangganan, silakan hubungi [email protected] berlangganan edisi cetak adalah £10 per tahun bagi lembaga dan organisasi atauperorangan yang mampu membayarnya. Mohon tambahkan biaya senilai £1.50, jika Andamembayar dengan cek dalam mata uang selain Poundsterling. Harap cek dibayarkankepada Down to Earth dan kirimkan ke alamat:

Down to Earth, Greenside Farmhouse, Hallbankgate, Cumbria CA82PX,England.Tel/fax: +44 16977 46266

Down to Earth adalah organisasi berbentuk perusahaan swasta nirlaba, terdaftardi Inggris dan Wales (no. 6241367) kantor terdaftar: 111 Northwood Road,Thornton Heath, Surrey, CR7 8HW, UK.

Menyadari bahwa konflik antar anggotamasyarakat dapat terjadi jika merekamenyerah terhadap tekanan dari luar,mereka mulai mencari upaya penyelesaiandi dalam diri sendiri. Mereka berupayamenguatkan dan memperbaiki aturan-aturan adat.Adat sudah teruji selamaratusan tahun. Upaya memperkuat diri daridalam untuk menghadapi perubahan barusaja dimulai.

1. Sebuah publikasi SIL International tentangbahasa-bahasa yang kurang dikenal, dengantujuan utama menerjemahkan Injil kebahasa-bahasa tersebut.

2. raskin = beras (untuk orang) miskin3. Jubi, 7 Jan 2010, ‘Jalan Trans Papua

Barat,Serobot Kawasan Cagar AlamTambrauwUtara’http://www.tabloidjubi.com/dailynews/seputar-tanah-papua/4530-jalantrans-papua-barat-serobot-kawasan-cagaralam-tambrauw-utara.html

4. “Medco Buka Kebun Sawit”http://vogelkoppapua.org/?page=news.detail&id=82 – berita tentang peresmian kebunkelapa sawit baru seluas 15.500 ha diSidey, dimiliki oleh anak perusahaanMedco Group. Sidey bertetangga dengandaerah Amberbaken.

5. Situs WHO - Profil Kesehatan Indonesia –Indikator Dasar MDGhttp://www.searo.who.int/en/Section313/Section1520_13441.htm

6. http://vogelkoppapua.org/?page=news.detail&id=190

Perampasan tanah danperusakan ekologis adalahrumusan menujuketidakadilan iklimDTE dan LP3BH di Manokwarimenyelenggarakan 'Pelatihan untuk Pelatih'dengan tema Keadilan Iklim di Manokwaripada bulan Maret 2011. Sebagai tindaklanjutnya, 5 ornop bekerjasamamenyelenggarakan lokakarya untuk parapemimpin kampung di Amberbaken.Selama lokakarya perihal keadilan iklimtidak dapat dilepaskan dari kekhawatiranmasyarakat setempat terhadappembangunan perkebunan kelapa sawit,bagaimana meningkatnya permintaan akanenergi alternatif dapat mendorong konversihutan menjadi perkebunan sawit sebagaipemasok 'energi terbarukan', danbagaimana solusi bagi masalah satukelompok negara justru menciptakanmasalah untuk negara lain.Tanpa ada perubahan model pembangunan,solusi palsu untuk perubahan iklim, yangjuga merupakan akibat dariketidakseimbangan ekologis, justru semakinmenambah masalah ekologis yang sudahada dan yang akan datang. Papua, tanahyang subur dengan ketidakadilan dalamberbagai aspek kehidupan, juga akanmenjadi korban ketidakadilan iklim.

(sambungan dari halaman sebelumnya)

Memetik kelapa, Manokwari, Papua Barat (Adriana Sri Adhiati)

Page 28: DTE 89 Web Indo

Masyarakat Adat Mpur dan Pembangunan

Sebuah film dari Mnukwar dengan dukungan DTE

Film baru ini memaparkan pandangan masyarakat Mpur di Papua Baratmengenai rencana pembangunan di daerah mereka yang akanberdampak terhadap tanah, penghidupan dan budaya mereka.

Mnukwar yang berada di Manokwari didirikan pada tahun 2007 olehsejumlah aktivis lingkungan dan keadilan sosial. Organisasi ini bertujuan

untuk memfasilitasi masyarakat untuk belajar tentang hak-hak sebagaianggota masyarakat dan warga melalui pembuatan film.

Mnukwar meyakini bahwa untuk memberdayakan masyarakat tidak perlu biaya besar: mereka mengajar masyarakat

untuk membuat film dengan menggunakan segala bentuk media yang mampu merekam

gambar, misalnya dengan telepon selular sederhana

sekalipun.

Film ini dapat disaksikan di situs DTE:

www.downtoearth-indonesia.org

Pembangunan jalan Trans-Papua membelah hutan Papua BaratFoto: Adriana Sri Adhiati