DRAINASE BAWAH PERMUKAAN
-
Upload
arif-rahmadhan -
Category
Documents
-
view
304 -
download
2
description
Transcript of DRAINASE BAWAH PERMUKAAN
DRAINASE BAWAH PERMUKAAN
A. Tipe Drainase Lapangan
Drainase lapang (field drainage) adalah suatu sistim yang menerima air lebih
langsung dari lahan pertanian dan menyalurkannya ke sistim drainase utama yang membuang
air dari areal lahan pertanian. Sistem drainase utama harus memberikan suatu outlet yang
bebas dan dapat diandalkan bagi pengeluaran air dari drainase lapang. Dalam suatu sistim
drainase bawah-tanah dapat dibedakan 3 kategori drainase yakni lateral, kolektor, dan
drainase utama. Lateral biasa disebut juga drainase lapang (field drains), farm drains atau
suction drains berfungsi selain untuk mengendalikan fluktuasi kedalaman air tanah di lahan
pertanian juga berfungsi sebagai pengumpul aliran permukaan. Dari lateral air mengalir ke
kolektor yang mengangkutnya ke drainase utama.
Sistem drainase lapang dapat terdiri dari : (a) drainase terbuka dengan parit; (b)
drainase mole, yakni lubang bawah-tanah; (c) drainase pipa, terbuat dari tanah liat, beton,
atau plastik yang ditanam di bawah tanah. Apabila pipa-pipa lateral berakhir pada parit
kolektor, maka sistim tersebut disebut sebagai sistim drainase pipa singular. Apabila kolektor
juga terbuat dari pipa maka sistim tersebut disebut sistim drainase pipa komposit.
B. Drainase Parit
1. Prinsip dan Rancangan
Dibandingkan dengan drainase pipa, drainase parit mempunyai beberapa keuntungan
dan kerugian antara lain : Keuntungan : (a) Selain untuk membuang air tanah juga dapat
berfungsi untuk membuang air permukaan; (b) Kemiringan saluran untuk mengalirkan air
biasanya lebih kecil daripada kemiringan yang diperlukan pada drainase pipa. Umumnya
untuk parit kemiringannya adalah sekitar 0,01 %, sedangkan untuk pipa sekitar 0,1 %.; (c)
Memudahkan dalam pengawasan dan pemeliharaan. Kerugian : (a) Akan terjadi lahan yang
tidak dapat diusahakan untuk pertanian karena adanya parit; (b) Pertumbuhan gulma dan
pengendapan menyebabkan mahalnya biaya pemeliharaan;(c) Lahan yang terpisah dengan
adanya parit-parit, menyebabkan sukarnya pengoperasian alat-alat mekanis.
Umumnya di daerah datar sistim drainase menggunakan pipa sebagai lateral dan parit
sebagai kolektor. Sedangkan di daerah berlereng seluruh sistim drainase lapang baik lateral
maupun kolektor terbuat dari pipa (sistim drainase pipa komposit). Akan tetapi dalam situasi
berikut ini biasanya parit lebih sesuai untuk digunakan sebagai lateral :
a. Apabila muka air tanah dapat dikendalikan dengan spasing lateral yang cukup lebar,
sehingga petakan lahan yang terbentuk cukup luas tidak mengurangi efisiensi
pemakaian alat mekanis. Situasi ini kemungkinan dapat terjadi pada tanah dengan
hantaran hidrolik tinggi,
b. Apabila drainase harus juga mampu mengangkut air permukaan, misalnya pada tanah
dengan laju infiltrasi rendah atau di daerah dengan intensitas hujan yang tinggi,
c. Apabila diinginkan percepatan proses pematangan pada tanah aluvial, yang baru
direklamasi.
d. Apabila hanya diinginkan muka air tanah yang dangkal, misalnya untuk padang
rumput atau tanah gambut.
Gambar 4.1. Beberapa penyusunan sistim drainase pipa dan saluran terbuka
2. Spasing dan kedalaman
Apabila parit digunakan sebagai lateral, maka perhitungan spasing dan kedalaman
telah diberikan pada bab terdahulu. Untuk kolektor, spasing ditentukan oleh ukuran lahan
atau panjang maksimum pipa drainase. Pada lahan datar dengan sistim pipa drainase singular,
spasing parit biasanya antara 200 - 500 m. Elevasi muka air di parit kolektor harus
dipertahankan pada suatu kedalaman di bawah outlet dari pipa drainase (lateral).
3. Dimensi Parit
Perhitungan dimensi parit mengikuti rancangan saluran tidak berlapis dengan
mengetahui parameter seperti elevasi muka air yang diinginkan, kapasitas debit dan tipe
tanah2. Kadang-kadang perhitungan dimensi parit menghasilkan suatu dimensi yang terlalu
kecil sehingga dari segi konstruksi dan pemeliharaan sulit dikerjakan. Oleh karena itu
biasanya ada suatu dimensi minimum yang ditinjau dari segi konstruksi dan 1 Muka air tanah
terlalu dalam pada tanah gambut akan menyebabkan kekeringan dan mudah terbakar 2 Lihat
Diktat Kuliah Rancangan Irigasi Gravitasi dan Drainase (TEP 423) pemeliharaan masih
memungkinkan. Di Belanda dimensi tersebut seperti pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2. Penampang parit sebagai kolektor
Keterangan :
b : lebar dasar 0.5 m; y : kedalaman; elevasi dasar saluran sekitar 0,4 – 0,5 m di bawah
pengeluaran pipa drainase, sehingga total kedalaman (Do) sekitar 1,40-1,80 m, kemiringan
talud (vertikal : horizontal) biasanya 1 : ¾ untuk tanah liat sedang untuk tanah berpasir 1 : 1
atau 1 : 1.5.; p : talud (vertikal : horizontal)
4. Lokasi
Lokasi drainase parit dipengaruhi oleh pelbagai faktor, suatu kolektor sering
digunakan juga sebagai pembatas antara pemilikan lahan. Akan tetapi apabila memungkinkan
parit kolektor tersebut harus ditempatkan pada bagian terendah. Sehingga dengan demikian
drainase bawah tanah dapat berfungsi dengan baik dan penggalian dilakukan dengan
seminimum mungkin. Lebih lanjut parit kolektor tersebut juga berfungsi sebagai outlet untuk
aliran permukaan yang cenderung berakumulasi pada cekungan.
5. Konstruksi
5.1. Penandaan lokasi parit
Garis pusat rencana parit ditandai dengan patok-patok dimana puncak patok
menunjukkan elevasi tanggul di atas dasar saluran (Gambar 4.3). Lebar parit ditunjukkan
dengan patok A dan B yang ditempatkan pada elevasi yang sama dengan C. Jarak antara A
dan B adalah sedemikian rupa sehingga perpanjangan kemiringan talud memotong puncak
tanggul di kedua titik tersebut. Titik P dan Q di mana kemiringan talud dimulai, dapat diukur
dari patok A dan B berdasarkan sudut kemiringan talud. Jarak P - Q ini akan bertambah
dengan semakin tingginya elevasi lahan, sehingga pada lahan bergelombang lebar P-Q akan
bervariasi banyak.
5.2. Penggalian
Parit dapat digali dengan berbagai metoda antara lain : (a) Dengan tenaga manusia;
(b) Dengan "dragline" biasanya digunakan pada saluran utama; (c) Hydraulic excavators,
biasanya dilengkapi dengan "profile bucket" yang mempunyai bentuk sesuai dengan bentuk
saluran yang akan digali. Apabila penggalian akan dilakukan secara manual atau dengan
dragline, suatu penggalian pertama sedalam sekitar 20 cm dibuat sesuai dengan kemiringan
talud sepanjang saluran. Penggalian areal ini berfungsi sebagai suatu pedoman dalam
penggalian selanjutnya. Apabila bekerja dengan hydraulic excavator penggalian areal
tersebut biasanya tidak diperlukan. Dalam hal ini penandaan dengan kapur bubuk dilakukan
sepanjang garis P1 P2 P2 dan Q2 Q2 Q3. Metoda lainnya adalah dengan merentangkan tali
pada puncak patok A sepanjang garis A1 A2 A3 (dalam Gambar 4.3). Jika "bucket"
menyentuh tali maka profil saluran yang sedang digali sudah benar.
Tanah galian harus dibuang cukup jauh dari saluran yang telah digali yang kemudian
digunakan untuk mengisi lahan-lahan yang lebih rendah. Apabila tanah galian ditumpuk
didekat parit yang telah digali maka akan berakibat tanah galian tersebut akan mudah tercuci
oleh hujan dan masuk kembali ke dalam parit, berat dari tumpukan tanah galian akan
menyebabkan runtuhnya talud yang telah dibuat, pelaksanaan pemeliharaan saluran akan
lebih sulit karena alat yang bergerak di puncak tanggul harus menjangkau dasar saluran lebih
dalam.
Gambar 4.3. Penandaan alignment pada saluran terbuka
5.3. Pemeliharaan
Pemeliharaan saluran dilakukan terhadap pertumbuhan gulma dan penumpukan
endapan. Gulma dan endapan menyebabkan aliran air di saluran kolektor menjadi lebih
lambat dan kemungkinan dapat menyebabkan elevasi muka air berada di atas elevasi outlet
pipa lateral sehingga efektivitas drainase pipa lateral akan berkurang. Pemeliharaan saluran
dapat dilakukan secara manual atau dengan mesin pembabad rumput 3.
C. Drainase Mole
1. Prinsip dan Rancangan
Mole adalah lubang saluran dalam tanah yang dibuat dengan suatu alat mole plough
tanpa adanya galian. Metoda ini umumnya cocok untuk tanah liat berat dengan konduktivitas
lambat. Tujuan utamanya bukan untuk mengendalikan kedalaman air tanah yang biasanya
sudah cukup dalam, akan tetapi untuk membuang kelebihan air dari permukaan lahan atau
dari lapisan olah yang semula membentuk suatu perched water table. Air mengalir ke mole
melalui celah dan retakan-retakan yang terbentuk dalam pembuatan mole (Gambar 4.4).
Umumnya efektifitas drainase mole ditentukan oleh berbagai faktor antara lain :
(a) Sifat tanah yang menentukan stabilitas tanah; (b) Kondisi kelembaban tanah selama
konstruksi alat dan metoda konstruksi yang digunakan; (c) Kecepatan aliran air dalam
saluran mole;(d) Laju pengendapan pada mole.
2. Kondisi tanah dan kesesuaian lapang
Tanah harus mempunyai plastisitas tertentu supaya saluran mole dapat dibentuk dan
harus cukup stabil supaya dapat bertahan cukup lama. Menurut (Theobald, 1963) kandungan
liat minimum yang diperlukan adalah antara 25 % - 50 %; kandungan pasir tidak lebih dari 20
%. Metoda praktis untuk menguji kesesuaian tanah adalah sebagai berikut : Suatu contoh
tanah dibentuk suatu bola dengan diameter sekitar 20 cm dan ditempatkan pada suatu wadah
berisi air sehingga bola tanah tersebut terbenam. Apabila sesudah beberapa hari contoh tanah
tersebut tidak hancur maka hal tersebut merupakan suatu indikasi bahwa drainase mole sesuai
di daerah tersebut.
3. Topografi
Karena mesin pembuat mole ini umumnya hanya dapat ditarik sejajar dengan
permukaan lahan maka lahan harus mempunyai lereng yang seragam searah dengan lokasi
outlet. Pada lahan yang datar atau topografi bergelombang metoda ini biasanya kurang sesuai.
4. Rancangan
Setiap saluran mole mengangkut air ke suatu saluran terbuka. Untuk mencegah
penyumbatan pada outlet tersebut, biasanya pada 2 atau 3 m dari outlet saluran mole tersebut
harus dilengkapi dengan pipa. Sering kali drainase pipa digunakan sebagai kolektor untuk
mengangkut air dari saluran mole. Pada situasi ini drainase pipa (kolektor) pertama kali
dipasang pada kedalaman sekitar 20 - 30 cm lebih dalam dari 3 Di Belanda secara manual
dulu menggunakan rantai sabit yang ditarik oleh dua orang masing-masing dari tepi saluran
mole. Kemudian suatu galian (trench) diurug dengan bahan porous (umumnya kerikil). Air
dari saluran mole akan merembes melalui urugan dan masuk ke pipa kolektor (Gambar 4.5).
Beberapa petunjuk dalam rancangan saluran mole adalah sebagai berikut :
a) Spasing : untuk menjamin terbentuknya retakan di seluruh areal, umumnya spasing
antara 2 sampai 5 m
b) Kedalaman : saluran mole harus cukup terlindung dari pengaruh beban mesin-mesin
berat. Semakin dalam mole tersebut semakin terlindung, tetapi di lain pihak biaya
instalasi juga semakin mahal. Dalam praktek biasanya kedalaman mole antara 45 cm
sampai 60 cm
c) Gradient atau kemiringan : kemiringan minimum antara 0,5 sampai 1 % dan
maksimum antara 4 - 7 %. Karena umumnya mesin pembuat saluran mole tersebut
hanya dapat menarik sejajar dengan permukaan lahan, maka kemungkinan tersebut di
atas akan menentukan arah mole sesuai dengan kemiringan lahan yang ada;
d) Panjang saluran mole : dalam kondisi yang memungkinkan panjang saluran mole
dapat mencapai sejauh 200 m.
Gambar 4.4. Retakan yang terbentuk pada drainase mole
Gambar 4.5. Gabungan mole dengan pipa drainase.
5. Konstruksi
5.1. Mesin
Bagian-bagian umum dari suatu mole plough adalah suatu silinder baja berujung
tajam dengan diameter antara 5 - 10 cm yang biasanya di bagian belakang dilengkapi dengan
suatu expander dengan diameter sedikit lebih besar dari mole (Gambar 4.6). Mole tersebut
ditarik oleh suatu penyangga (blade) yang dihubungkan dengan tenaga penarik (traktor)
melalui suatu beam. Panjang beam biasanya sekitar 3 meter.
5.2. Kondisi kerja selama konstruksi
Hal yang penting adalah kondisi kelembaban tanah pada waktu konstruksi harus
cukuplembab. Apabila terlalu basah, saluran mole terbentuk tanpa adanya celah-celah atau
retakan-retakan yang diperlukan. Apabila terlalu kering retakan-retakan sekitar saluran mole
akan menyebabkan mole yang terbentuk mudah runtuh kembali. Informasi yang tepat tentang
kelembaban tanah yang paling sesuai sukar untuk ditentukan. Hal ini akan didapatkan dengan
mencobanya di lapangan.
Gambar 4.6. Mole plough
D. Rancangan Drainase Pipa
1. Pendahuluan
Dalam rancangan drainase pipa hal-hal di bawah ini harus ditentukan :
a) Spasing dan kedalaman lateral yang merupakan faktor utama dalam pengendalian
muka air tanah
b) Diameter dan kemiringan pipa lateral dan kolektor.
c) Tata letak lateral dan kolektor, harus disesuaikan dengan kondisi topografi.
2. Spasing dan kedalaman lateral
Dasar teori dalam penentuan spasing dan kedalaman lateral telah diuraikan dalam Bab
terdahulu. Secara teoritis semakin dalam pemasangan pipa, maka semakin lebar spasing antar
pipa. Akan tetapi dalam praktek ada beberapa pembatas dalam penentuan kedalaman pipa
yang dipasang yaitu :
1) Elevasi muka air yang dipertahankan pada saluran kolektor.
2) Terdapatnya lapisan tanah yang kurang sesuai yaitu dapat berupa lapisan kedap pada
kedalaman yang dangkal dari permukaan tanah
3) Kedalaman yang dapat dicapai oleh mesin yang tersedia.
4) Apabila hantaran hidrolik lapisan tanah yang di bawah jauh lebih besar dari lapisan di
atasnya, sehingga pemasangan pipa drainase pada lapisan dalam menyebabkan sedikit
pengaruhnya terhadap penurunan muka air tanah di atasnya. Hal ini disebabkan
karena sebagian air yang masuk ke dalam pipa drainase berasal dari lapisan di
bawahnya. Perhitungan spasing pipa berdasarkan nilai hantaran hidrolik tanah akan
menghasilkan spasing yang bervariasi di seluruh areal. Dalam prakteknya seluruh
areal dibagi menjadi beberapa blok dengan spasing yang sama dan angka-angka
spasing hasil perhitungan dibulatkan ke nilai spasing baku. Biasanya nilai spasing
baku adalah 10 m, 15 m, 20 m, 25 m, 30 m, 40 m, 50 m, dan seterusnya.
3. Diameter dan Gradient (Rancangan Hidrolik)
Rancangan hidrolik drainase di bawah tanah bertujuan untuk menjawab beberapa
pertanyaan sebagai berikut :
a. Berapa luas areal yang dapat didrainasekan oleh suatu pipa dengan diameter tertentu,
pada kemiringan tertentu dengan mengasumsikan koefisien drainase tertentu pula ?
b. Berapa diameter pipa untuk panjang pipa, kemiringan, spasing dan koefisien drainase
tertentu ?
c. Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dipelajari beberapa hal, yakni :
d. Persamaan dasar aliran seragam untuk berbagai tipe pipa drainase (pipa tanah atau
pipa plastik dan lain-lain).
e. Persamaan aliran pada situasi tidak seragam (non uniform flow).
f. Faktor pengaman (safety factor) untuk menanggulangi kemungkinan penurunan
kapasitas karena sedimentasi.
g. Suatu pipa drainase yang terdiri dari diameter yang bertambah pada arah aliran air.
4. Prosedur Rancangan
Dalam praktek rancangan, kemiringan pipa pertama kali diduga dengan suatu syarat
bahwa pada debit rencana tidak akan terjadi tekanan lebih pada sebelah hulu (kemiringan
pipa sama dengan rata-rata hidraulik gradient). Dengan demikian aliran pipa diasumsikan
penuh pada seluruh panjang pipa dengan kata lain pipa berada pada kondisi kapasitas
maksimum.
5. Faktor Pengaman
Pada kenyataannya kemungkinan besar akan terjadi pengurangan kapasitas drainase
pipa sebagai akibat dari pengendapan ataupun pelurusan yang kurang baik. Dengan demikian
suatu faktor pengaman tertentu harus diambil dalam rancangan. Nilainya akan sangat
tergantung pada kualitas pekerjaan instalasi, dugaan laju pengendapan dan intensitas
pemeliharaan yang direncanakan. Pada Gambar 4.11 dan 4.12, dua alternatif diberikan yaitu
pengurangan kapasitas 75% dan 60%. Pengurangan kapasitas yang lebih rendah (75%)
direkomendasikan untuk diameter pipa yang lebih besar khususnya pada pipa kolektor yang
tidak secara langsung mengambil air dari tanah. Untuk pipa lateral khususnya dengan
diameter yang lebih kecil reduksi 60% direkomendasikan. Masalah-masalah praktis seperti di
bawah ini dapat diselesaikan dengan bantuan Nomogram yakni:
a) Penentuan diameter pipa yang diperlukan untuk kasus yang diberikan
b) Penentuan luas areal maksimum yang dapat dilayani oleh pipa drainase dengan
diameter tertentu
c) Pada kondisi yang diberikan dapat ditetukan apakah tekanan lebih akan terjadi
pada ujung sebelah hulu dan kalau ya sampai berapa jauh pengaruhnya?
6. Pipa Drainase dengan Diameter Bertambah
Pada prakteknya sudah biasa untuk memulai pipa drainase dari sebelah hulu (atas)
dengan ukuran diameter yang lebih kecil, kemudian dirubah dengan diameter yang lebih
besar sesudah jarak tertentu supaya mampu menampung pertambahan debit air yang harus
diangkut. Hal ini biasanya dipakai pada pipa kolektor. Jika diasumsikan bahwa pipa kolektor
pada contoh 3 akan dibuat terdiri dari pipa berdiameter 20, 25 dan 30 cm. Pada jarak berapa
dari hulu ukuran diameter pipa tersebut berubah. Kondisinya harus tidak ada tekanan-lebih
pada ujung sebelah hulu.
Berdasarkan hasil perhitungan pada Contoh 2, maka besarnya head loss di sepanjang
pipa kolektor dapat diplotkan seperti pada Gambar 4.15. Secara kasar komposisi diameter
pipa dapat dibuat sebagai berikut:
a) 0 – 380 m : diameter pipa 20 cm
b) 380 – 700 m : diameter pipa 25 cm
c) 700 – 1160 m : diameter pipa 30 cm
Akan tetapi situasi ini akan mengakibatkan head loss akan lebih besar dari 58 cm
(Lihat Gambar 4.15) Head loss 58 cm (1160 x 0,0005 m) akan terjadi apabila seluruh pipa
berdiameter 30 cm. Karena aliran dalam keadaan penuh, maka penggantian pipa dengan
diameter yang lebih kecil dari 30 cm menyebabkan terjadinya tekanan-lebih di sebelah hulu.
Pada situasi ini akan terjadi head loss sebesar 96 cm dan ini berarti terjadi tekanan lebih
sebesar 38 cm di sebelah hulu. Dari Gambar 4.15 dapat dilihat bahwa hydraulic gradient
aktual didapat dengan mengkombinasikan kurva potensiometrik dari beberapa diameter
dengan penggeseran vertikal sejajar dengan masing-masing kurva. Dari gambar tersebut jelas
bahwa komposisi yang baik didapat apabila kurva potensiometrik tidak memotong rata-rata
gradient (dalam hal ini diambil sama dengan slope pipa). Salah satu metoda adalah dengan
membuat deretan kurva standar potensiometrik untuk masing-masing diameter dan buat suatu
kombinasi pergeseran seperti pada Gambar 4.15. Kita dapat juga secara praktis mengikuti
prosedur sebagai berikut:
Perubahan diameter:
a) Dari 20 ke 25 cm, pada ¾ x 380 m = 285 m
b) Dari 25 ke 30 cm, pada ¾ x 700 m = 525 m
c) Dari 30 ke 35 cm, pada ¾ x 1160 m = 870 m
Gambar 4.15. Kehilangan energi (head loss) pada pipa drainase dengan beberapa diameter
Maka komposisi pipa sekarang menjadi:
a) 0 – 285 m : pipa diameter 20 cm
b) 285 – 525 m : pipa diameter 25 cm
c) 525 – 870 m : pipa diameter 30 cm
d) 870 – (teoritis 1450) m : pipa diameter 35 cm
Pada situasi tersebut seperti terlihat pada Gambar 4.15, rata-rata gradient 0,05% tidak
akan terpotong.
7. Tata Letak
7.1. Tipe dan Pola Sistim Drainase Pipa
Dalam sistim singular masing-masing pipa drainase mempunyai outlet yang masuk ke
parit kolektor. Dalam sistim komposit air dari pipa lateral masuk ke pipa kolektor. Pola pada
sistim komposit dapat berbentuk tipe gridiron atau tipe herring-bone (tulang ikan). Sistim ini
merupakan pola yang teratur yang cocok untuk lokasi yang homogen. Untuk mengeringkan
lahan-lahan basah yang terisolasi dapat dilakukan dengan suatu sistim yang random (acak).
Sistim ini biasa disebut sebagai sistim drainase pipa random (Gambar 4.17).
Gambar 4.16. Pola sistim pipa drainase komposit teratur
Gambar 4.17. Sistim drainase pipa random (acak)
7.2. Pemilihan Sistim
Pemilihan sistim tergantung pada berbagai faktor antara lain:
a) Dengan sistim pipa komposit, areal yang luas dapat didrainasekan tanpa adanya
saluran terbuka sehingga gangguan terhadap penggunaan alat-alat mekanis dapat
dihindarkan
b) Sistim singular mempunyai beberapa outlet yang masuk ke dalam suatu saluran
terbuka
c) Jika dalam sistim komposit terjadi penyumbatan di suatu tempat, maka hal ini dapat
mengakibatkan areal yang terpengeruh akan lebih luas daripada sistim singular.
d) Dalam beberapa hal suatu jaringan saluran terbuka lebih diinginkan untuk
menampung aliran permukaan
e) Pipa kolektor memerlukan kemiringan yang lebih besar daripada parit kolektor.
f) Biaya investasi pipa kolektor umumnya lebih besar dibandingkan dengan parit
kolektor
g) Secara umum dalam jangka panjang ada kecenderungan sistim komposit lebih murah
dari pada sistim singular.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa apabila tersedia head yang
cukup maka sistim komposit lebih sesuai. Dengan demikian pada lahan berlereng umumnya
digunakan sistim komposit. Makin besar lerengnya, maka areal yang dapat didrainasekan
oleh sistim dengan satu outlet akan semakin luas. Pada lahan datar umumnya sistim singular
lebih sesuai.
7.3. Lokasi pipa drainase
Apabila arah aliran air tanah dapat diketahui dengan jelas, maka lateral harus
ditempatkan tegak lurus arah aliran tersebut sehingga mampu menyadap (intercept) aliran
secara efektif. Pada lahan datar atau hampir datar, lateral dipasang arah lereng utama (apabila
ada) dengan demikian kedalaman pipa akan seragam di seluruh area.
E. Bahan Material dan Bangunan Untuk Drainase Pipa
1. Pipa Drainase
Bahan utama yang digunakan adalah tanah liat, beton dan plastik
1.1 Pipa tanah liat
Pipa tanah liat bisanya terbuat dengan panjang sekitar 30 cm, diameter dalam
bervariasi dari 5 –15 cm. Pipa dapat dibuat lurus atau dengan suatu collar. Air masuk ke
dalam pipa melaui celah antar sambungan pipa
1.2. Pipa beton
Pipa beton biasanya digunakan untuk diameter yang lebih besar dari 15 atau 20 cm.
Penggunaan pipa beton pada tanah asam dan bersulfat perlu dipertimbangkan akan
kemungkinan rusaknya beton karena asam sulfat, sehingga perlu digunakan semen yang
tahan sulfat. Seperti juga pada pipa tanah liat, disini air masuk melalui celahcelah antar
sambungan pipa.
1.3. Pipa plastik
Bahan plastik yang umumnya digunakan untuk pipa drainase adalah polyvinyl
chlorida (PVC) dan polyethylene (PE). Pipa plastik dapat berbentuk pipa halus atau
bergelombang (corrugated). Pipa halus bersifat kaku dengan panjang tidak lebih dari 5 meter,
sedangkan pipa bergelombang bersifat fleksibel (lentur) dan dapat digulung. Panjang
gulungan pipa bergelombang biasanya sekitar 200 meter untuk diameter 5 cm dan 100 m
untuk diameter 10 cm.
Dibandingkan dengan pipa halus, pipa bergelombang mempunyai beberapa
keuntungan antara lain memerlukan bahan plastik yang lebih sedikit per unit panjang, lebih
tahan terhadap tekanan luar, karena fleksibel maka hanya tipe pipa ini yang dapat digunakan
pada drainase tanpa gali. Kerugian adalah koefisien kekasarannya lebih besar sehingga
diperlukan diameter lebih besar untuk mengalirkan sejumlah air yang sama daripada pipa
halus. Pada pipa plastik ini air masuk melalui lubang-lubang kecil di permukaan pipa.
1.4. Bahan penutup (cover materials)
Bahan penutup diperlukan dengan dua tujuan: (a) memfasilitasi aliran air ke pipa
drainase (fungsi penghantar air); (b) mencegah masuknya partikel tanah ke dalam pipa
(fungsi penyaringan). Bahan penutup dapat digunakan dengan berbagai cara: (a) dalam
bentuk curah (bulk) disebar merata di atas pipa drainase setelah pipa terpasang; (b) dalam
bentuk lembaran (sheet) atau tikar (mats) diletakkan dalam roll pada mesin drainase, (c)
sebagai lapisan pembungkus atau selubung pada pipa (pre-enveloped drain pipes).
Sebagai bahan penutup dalam bentuk curah biasanya tanah gambut, kerikil, jerami,
bahan sintetik misalnya polystyrene. Dalam bentuk roll adalah thin glass fibre sheet. Pipa
drainase yang berfilter (pre-envelope) digunakan untuk pipa plastik baik yang halus maupun
yang corrugated. Bahan yang digunakan sebagai pembungkus adalah: (a) fibre glass, nylon
tissue atau bahan sintetik lainnya; (b) mats dengan tebal 1-2 cm dari jerami, tanah gambut,
sabut kelapa dan lainnya.
F. Konstruksi Sistem Drainase Pipa
1. Metoda Konstruksi
Prosedur yang biasanya dipakai dalan konstruksi sistim drainase pipa adalah:
a) Menggali trench pada kedalaman dan slope yang diperlukan
b) Memasang pipa dalam trench, tanpa atau dengan bahan penutup
c) Mengurug trench dengan tanah galian
Konstruksi dapat menggunakan tenaga manusia secara manual maupun dengan mesin.
2. Pemasangan dengan Tenaga Manusia
Galian biasanya dibuat selebar 30 - 40 cm dengan kedalaman 0,50 m. Kemudian
dengan bermula dari galian ini penggalian diteruskan lebih dalam dengan lebar yang lebih
sempit (Gambar 4.20). Peralatan yang biasa dipakai dapat dilihat pada Gambar 4.19.
3. Mesin Gali (excavating machine)
Terdapat dua jenis mesin gali yang biasa digunakan dalam drainase yaitu: (a) Mesin
gali kontinyu (continous excavating machine). Penggalian dilakukan dengan revolving
digging machine atau rantai berpisau (Gambar 4.21). Umumnya mesin-mesin ini menggali
pada suatu kedalaman dan kemiringan tertentu dan mempunyai perlengkapan tambahan untuk
pemasangan pipa dan pengurugan bahan penutup. (b) Back-acting excavators (Gambar 4.22).
Apabila menggunakan alat ini, maka penyelesaian akhir harus dilakukan dengan tenaga
manusia. Alat ini cocok untuk tanah berbatu. Biasanya alat ini dipakai sebagai pengganti
apabila harus membuang batu atau penghalang lainnya yang menyebabkan alat yang pertama
tidak dapat bekerja. Juga sering digunakan untuk menggali dimana akan dipasang pipa
kolektor dengan ukuran besar.
Berikut ini adalah beberapa data teknis tentang mesin gali kontinyu yang biasa
digunakan dalam proyek drainase di Belanda dan Eropah.
a) Mesin umumnya bekerja pada tracks. Lebar tracks umumnya dapat diatur. Untuk
transportasi di jalan lebar tracks biasanya 2,5 m, untuk di lapangan maksimum sampai
3,2 – 5,0 m
b) Lebar trench: ukuran standar 20 - 25 cm, trench yang lebih lebar sampai 35 - 40 cm
masih memungkinkan dengan mengganti rantai pisau
c) Kedalaman galian maksimum: standar 170 – 180 cm. Beberapa mesin dapat lebih
dalam lagi sampai 2,5 m.
d) Engine: 100-200 HP. Beberapa mesin mempunyai dua engine, untuk gali 100 HP dan
untuk menarik 50 HP
e) Pengaturan kedalaman dengan sistim hidrolik dimana operator mempertahankan garis
pandang sesuai dengan kedalaman yang diinginkan melalui patok-patok pembantu
sepanjang garis operasi. Perkembangan terbaru dilengkapi dengan sinar laser
f) Bobot total 7 – 12 ton
g) Ground pressure tergantung pada ukuran track berkisar antara 0,20 – 0,30 kg/cm2
h) Kecepatan kerja sampai 1000 m pipa per jam
i) Output netto tergantung pada kedalaman, tipe tanah, kondisi cuaca, panjang lintasan
pipa dan ukuran lahan. Untuk kedalaman 1 – 1,2 m pada tanah marine dengan
kandungan liat sekitar 25%, output netto yang wajar antara 300 – 400 m/jam,
sedangkan yang baik adalah sekitar 600 m/jam.
4. Trenchless Pipe Drainage (TPD)
Teknik TPD dikembangkan berdasarkan prinsip drainase mole sejak tahun 1960.
Prinsip kerja TPD dapat dilihat pada Gambar 4.23, dimana mesin menarik pisau atau blade
hampir sama seperti yang digunakan pada mole plough atau sub-soiler. Pipa plasik
bergelombang diletakkan di dasar trench melalui atau di belakang blade. Terdapat berbagai
tipe blade yang berbeda yang menentukan apakah tanah akan terdorong ke samping atau
terangkat ke atas. Apabila tanah terdorong ke samping kemungkinan akan terjadi pemadatan
yang dapat mengurangi fungsi drainase pipa. Bentuk blade yang menyebabkan tanah
terangkat akan lebih baik.
Beberapa keuntungan dari TPD adalah:
1) Mesin relatif sederhana tanpa adanya gerak putar dalam penggalian
2) Traktor dapat digunakan untuk tujuan lainnya di luar drainase
3) Kecepatan kerja dan output netto lebih tinggi daripada mesin lainnya. Pada kedalaman
1 m, kecepatan kerja sekitar 2,5 km/jam dengan output netto sampai 600
4) 700 m/jam
Kerugian:
1) Diperlukan tenaga tarik yang besar. Makin berpasir tanahnya maka tenaga yang
diperlukan semakin besar
2) Pemadatan tanah terjadi di sekitar pipa drainase