Draft RUU Hortikultura versi 060410
-
Upload
bobsoelaimaneffendi -
Category
Documents
-
view
573 -
download
3
Transcript of Draft RUU Hortikultura versi 060410
1
DRAFT RUU HORTIKULTURA DRAFT PENJELASAN
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …TAHUN …
TENTANG
HORTIKULTURA
RANCANGAN
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …… TAHUN ……….
TENTANG
HORTIKULTURA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, I. Umum Menimbang : a. bahwa bumi, air, dan kekayaan yang
terkandung di dalam wilayah negara Republik Indonesia adalah anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa salah satu kekayaan alam Indonesia berupa tanaman hortikultura sebagai kekayaan hayati yang sangat penting, sumber pangan bergizi, estetika dan obat-obatan yang bermanfaat dan berperan besar untuk meningkatkan kualitas hidup
Alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa tujuan Negara Republik Indonesia adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Oleh karena itu, perlindungan segenap bangsa dan peningkatan kesejahteraan umum termasuk didalamnya pengelolaan kekayaan alam Indonesia yang berwawasan lingkungan adalah tanggung jawab penting negara dan masyarakat. Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah dan beragam. Kekayaan alam yang dimiliki antara lain adalah tanaman hortikultura. Tanaman hortikultura terdiri atas buah, sayuran, tanaman berkhasiat obat, florikultura (termasuk didalamnya tanaman air, jamur dan lumut).
2
masyarakat menyangkut aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara berkelanjutan;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang ada belum dapat memberikan kepastian dalam pengembangan hortikultura sesuai perkembangan dan tuntutan dalam masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Hortikultura;
Tanaman hortikultura merupakan kekayaan bangsa yang sangat penting, yang harus dijaga dan dilestarikan, sumber pangan bergizi, sumber estetika dan sumber obat-obat herbal yang sangat diperlukan untuk membangun manusia yang sehat jasmani dan rohani. Kebutuhan akan produk yang berasal dari tanaman hortikultura tersebut semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan, kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi buah dan sayuran, pemenuhan kebutuhan wisata, budaya dan estetika serta obat-obat herbal dan tingginya permintaan di pasar domestik maupun ekspor. Potensi dan prospek hortikultura yang besar tersebut harus dapat dimanfaatkan untuk memacu kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat melalui penyediaan lapangan pekerjaan dan membuka peluang untuk memperoleh pendapatan yang tinggi agar dapat memberikan penghidupan yang layak bagi pelakunya, serta pendapatan bagi negara. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi dan prospek hortikultura nasional tersebut diperlukan arah dan kebijakan pengembangan hortikultura yang jelas, konsisten, dan holistik, dengan melibatkan unsur pemerintah dan pemerintah daerah, pelaku usaha, akademisi, peneliti, penggemar (hobbyist), dan masyarakat umum. Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hortikultura belum mampu menjadi landasan yang cukup bagi penyelenggaraan hortikultura. Beragamnya komoditas hortikultura dan sifatnya yang sangat unik memerlukan pengaturan dan pengelolaan yang berbeda dengan komoditas pertanian lainnya, baik di bidang budidaya, pasca panen, pengolahan, distribusi, perdagangan, pemasaran dan pembinaannya. Guna memberikan kepastian hukum dan mendorong pengembangan pembangunan hortikultura, perlu dibentuk undang-undang yang
3
mengatur penyelenggaraan hortikultura. Undang-Undang tentang Hortikultura memiliki keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu: (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan
Varietas Tanaman (4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (5) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal (6) Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan (7) Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial (8) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (9) Undang-undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (10) Undang-undang Nomor 5 tentang 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (11) Undang-undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (12) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air (13) Undang-undang Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan dan Tumbuhan
4
(14) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(15) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(16) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Penyelenggaraan hortikultura bertujuan untuk: Penyelenggaraan hortikultura bertujuan untuk: mengelola dan mengembangkan sumberdaya hortikultura secara optimal, bertanggungjawab, dan lestari; memenuhi kebutuhan, keinginan, selera, estetika, dan budaya masyarakat terhadap produk dan jasa hortikultura; meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing dan pangsa pasar; meningkatkan konsumsi produk dan pemanfaatan jasa hortikultura; menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha; memberikan perlindungan kepada pembudidaya dan /pelaku usaha lainnya, serta konsumen hortikultura nasional; menjadi sumber devisa Negara; dan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Penyelenggaraan hortikultura berdasarkan pada asas: kedaulatan; kebermanfaatan; keterpaduan; kebersamaan; keterbukaan; keberlanjutan; keadilan; dan kelestarian lingkungan dan kearifan lokal. Penyelenggaraan hortikultura meliputi: perencanaan; perwilayahan; pemanfaatan sumberdaya alam; pengembangan sumberdaya; pengadaan sumberdaya buatan; peningkatan konsumsi; pembinaan usaha; penataan perniagaan; manajemen kelembagaan; pelibatan peran serta masyarakat; penelitian; pengawasan; penyidikan; sanksi administratif; ketentuan pidana; dan ketentuan penutup.
5
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG HORTIKULTURA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hortikultura adalah kegiatan yang berkaitan dengan
proses perencanaan, pengembangan, perlindungan, usaha, pemberdayaan dan pembiayaan yang berhubungan dengan buah, sayuran, tanaman berkhasiat obat, florikultura (termasuk didalamnya tanaman air, jamur dan lumut).
6
2. Florikultura adalah usaha hortikultura untuk menghasilkan produk dan/atau menyelenggarakan jasa yang berkaitan dengan estetika yang berbasis tumbuh-tumbuhan.
3. Tanaman hortikultura adalah tanaman yang menghasilkan buah, sayuran, bagian tumbuhan yang berkhasiat obat dan yang tanaman yang menciptakan estetika.
4. Produk hortikultura adalah semua hasil panen yang berasal dari tanaman hortikultura yang masih segar untuk keperluan konsumsi, estetika, farmakoseutika dan/atau kegunaan lain.
5. Pewilayahan hortikultura adalah penetapan wilayah untuk pengembangan usaha budidaya dan/atau industri hortikultura dengan memperhatikan potensi wilayah yang bersangkutan yang ada.
6. Kawasan hortikultura adalah hamparan sebaran usaha hortikultura yang disatukan oleh faktor pengikat tertentu, baik faktor alamiah, sosial budaya, maupun faktor infrastruktur buatan.
7. Perkebunan hortikultura adalah lahan beserta kegiatan didalamnya yang mengusahakan budidaya tanaman buah, sayuran, tanaman berkhasiat obat, florikultura (termasuk didalamnya tanaman air, jamur dan lumut)
8. Sumberdaya genetik hortikultura adalah tumbuhan, organ tumbuhan, jaringan, sel, kromosom dan DNA yang berasal dari tumbuhan lokal maupun hasil introduksi, alami atau hasil rekayasa genetik yang mempunyai nilai nyata atau potensial untuk pemuliaan.
9. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada pelaku usaha, produk, proses, dan usaha hortikultura.
7
10. Pelaku usaha hortikultura adalah perorangan, kelompok, badan usaha, atau badan hukum yang melakukan kegiatan usaha hortikultura.
11. Sarana produksi hortikultura adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat dan/atau bahan yang dibutuhkan dalam/untuk melakukan kegiatan usaha hortikultura antara lain meliputi benih, pupuk, bahan pengendali OPT, alat dan mesin.
12. Benih hortikultura adalah tanaman hortikultura atau bagian darinya yang dapat digunakan untuk memperbanyak dan/atau mengembangbiakkan tanaman hortikultura, baik secara alami maupun artifisial.
13. Pupuk adalah nutrisi bagi tanaman yang diperoleh dari mineral, enzim, fitohormon atau mikro organisme yang berperan dalam penyediaan unsur hara bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
14. Organisme pengganggu tumbuhan yang selanjutnya disebut OPT adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan.
15. Bahan pengendali OPT adalah bahan kimia sintetik, bahan alami atau bukan sintetik, jasad hidup, dan bahan lainnya yang digunakan untuk mengendalikan OPT dalam usaha hortikultura.
16. Alat dan mesin untuk usaha hortikultura meliputi antara lain naungan, alat irigasi, fertigasi, otomatisasi, robot, komputer, perangkat lunak, alat kontrol.
17. Pemuliaan tanaman hortikultura, yang selanjutnya disebut pemuliaan adalah rangkaian kegiatan untuk
8
mempertahankan kemurnian jenis dan/atau varietas tanaman hortikultura yang sudah ada atau menghasilkan jenis dan/atau varietas tanaman hortikultura baru yang lebih baik.
18. Varietas tanaman hortikultura adalah bagian dari suatu jenis tanaman hortikultura yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan, daun, bunga, buah, biji, dan sifat-sifat lain yang dapat dibedakan dalam jenis yang sama.
19. Perlindungan varietas tanaman hortikultura adalah perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam ini diwakili oleh pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh kantor perlindungan varietas tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman.
20. Usaha produksi hortikultura adalah semua kegiatan untuk menghasilkan produk dan/atau menyelenggarakan jasa yang berkaitan dengan buah, sayuran, tanaman berkhasiat obat, florikultura (termasuk didalamnya tanaman air, jamur dan lumut).
21. Usaha perniagaan hortikultura adalah semua kegiatan untuk mendistribusikan, memperdagangkan dan memasarkan produk dan/atau menyelenggarakan jasa yang berkaitan dengan buah, sayuran, tanaman berkhasiat obat, dan florikultura (termasuk didalamnya tanaman air, jamur dan lumut)
22. Industri hortikultura adalah kegiatan pengolahan produk hortikultura untuk menghasilkan produk olahan hortikultura yang mempunyai nilai tambah.
23. Jasa hortikultura adalah kegiatan berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan produk, fasilitas, atau
9
kemanfaatan lainnya dari hortikultura yang dapat dinikmati.24. Wisata agro berbasis hortikultura, yang selanjutnya
disebut Wisata agro merupakan kegiatan pengembangan kawasan atau lahan usaha hortikultura sebagai obyek wisata baik secara sendiri atau sebagai bagian dari kawasan wisata yang lebih luas bersama obyek wisata yang lain.
25. Akreditasi adalah proses pengakuan akan kompetensi suatu badan usaha untuk melakukan sertifikasi.
26. Insentif adalah pengakuan/aktualisasi yang diberikan oleh pemerintah, baik berupa natura maupun non natura.
27. Distribusi merupakan kegiatan pengiriman produk hortikultura dari lokasi pascapanen sampai ke konsumen yang meliputi kegiatan pergudangan, bongkar/muat, pengangkutan.
28. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
29. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
30. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi urusan hortikultura, secara langsung maupun tidak langsung.
10
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN
Pasal 2 Penyelenggaraan hortikultura berdasarkan pada asas:
a. kedaulatan; b. kebermanfaatan; c. keterpaduan; d. kebersamaan; e. keterbukaan; f. keberlanjutan; g. keadilan; h. kelestarian fungsi lingkungan; dan i. kearifan lokal.
Huruf a Yang dimaksud dengan “asas kedaulatan” adalah penyelenggaraan hortikultura harus senantiasa memperhatikan kedaulatan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan “ asas kebermanfaatan” adalah penyelenggaraan hortikultura ditujukan guna memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi kini maupun generasi masa depan. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah penyelenggaraan hortikultura dilakukan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah penyelenggaraan hortikultura dilaksanakan secara bersama-sama baik antara Pemerintah dan pemerintah daerah, pelaku usaha maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah penyelenggaraan hortikultura dilakukan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi dan saling bertukar informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan hortikultura. Huruf f
11
Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan” adalah penyelenggaraan hortikultura dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan agar dapat terus menerus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Huruf g Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah penyelenggaraan hortikultura harus dapat dilakukan secara adil bagi setiap orang tanpa terkecuali. Huruf h Yang dimaksud dengan “asas kelestarian fungsi lingkungan” adalah penyelenggaraan hortikultura harus menghindari penggunaan material, sistem atau teknologi yang dapat mengganggu atau mencemari lingkungan secara biologis, mekanis, geologis atau kimiawi. Huruf i Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah penyelenggaraan hortikultura hendaknya mempertimbangkan karakteristik budaya masyarakat dan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat setempat.
Pasal 3
Penyelenggaraan hortikultura bertujuan untuk: a. mengelola dan mengembangkan sumberdaya
hortikultura secara optimal, bertanggungjawab, dan lestari;
b. memenuhi kebutuhan, keinginan, selera, estetika, dan budaya masyarakat terhadap produk dan jasa hortikultura;
c. meningkatkan produksi, produktivitas, cadangan
Pasal 3 Huruf b Yang dimaksud dengan ”memenuhi kebutuhan” antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan jasmani dan rohani.
12
pangan, kualitas, nilai tambah, daya saing dan pangsa pasar;
d. meningkatkan konsumsi produk dan pemanfaatan jasa hortikultura;
e. menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha; f. memberikan perlindungan kepada pelaku usaha dan
konsumen hortikultura nasional; g. menjadi sumber devisa Negara; dan h. meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;
Pasal 4 Penyelenggaraan hortikultura meliputi:
a. perencanaan; b. pewilayahan; c. pemanfaatan sumberdaya alam; d. pengembangan sumberdaya manusia; e. pengadaan sumberdaya buatan; f. peningkatan konsumsi; g. pembinaan usaha; h. penataan perniagaan; i. manajemen kelembagaan;
13
j. pelibatan peran serta masyarakat; k. penelitian; l. pengawasan; m. penyidikan; n. sanksi administratif; o. ketentuan pidana; dan p. ketentuan penutup.
BAB III
PERENCANAAN HORTIKULTURA
Pasal 5 (1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, penyelenggaraan hortikultura direncanakan
dengan merancang proses pengembangan dan
pembangunan, serta sasaran hortikultura.
(2) Perencanaan hortikultura sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan landasan:
Pasal 5 Ayat (2) Huruf c
14
a. daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan; b. pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi; c. kebutuhan teknis dan ekonomis; d. peningkatan kesejahteraan dan daya beli masyarakat; e. pertumbuhan ekonomi dan produktivitas; f. rencana pembangunan nasional dan daerah; g. rencana tata ruang wilayah dan lingkungan; h. kebutuhan prasarana dan sarana; i. kebutuhan kelembagaan; j. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 6
(1) Perencanaan hortikultura mencakup aspek: a. pewilayahan; b. pemanfaatan sumberdaya alam; c. pengembangan sumberdaya manusia; d. pengadaan sumberdaya buatan; e. peningkatan konsumsi; f. pembinaan usaha; g. penataan perniagaan; h. manajemen kelembagaan; i. pelibatan peran serta masyarakat;
Yang dimaksud dengan kebutuhan teknis antara lain kesesuaian lahan dan agroklimat, pola produksi, dan karakteristik komoditas. Yang dimaksud dengan kebutuhan ekonomis antara lain permintaan pasar, permodalan, pembiayaan. Huruf i Yang dimaksud dengan kebutuhan kelembagaan antara lain pembentukan kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, atau badan usaha, sesuai dengan kesamaan kepentingan. Pasal 6 Huruf a Pewilayahan dilakukan dengan maksud untuk memberikan arahan pengembangan suatu komoditas hortikultura, penentuan wilayah potensial yang dilihat dari aspek biofisik lingkungan, sosial ekonomi dan kebijakan, serta mengembangkan komoditas dengan menggunakan pendekatan wilayah/regional. Aspek pewilayahan juga termasuk perencanaan penetapan kawasan hortikultura. Huruf e Yang dimaksud dengan peningkatan konsumsi termasuk penetapan sasaran konsumsi buah dan sayuran yang mengacu pada hasil-hasil penelitian dan pengkajian ilmiah nasional dan internasional (FAO).
15
j. penelitian; (2) Aspek perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan satu kesatuan yang utuh dan memiliki
keterkaitan satu dengan yang lain.
Pasal 7
Perencanaan hortikultura terdiri atas:
a. perencanaan jangka panjang;
b. perencanaan jangka menengah; dan
c. perencanaan jangka pendek.
Pasal 8
(1) Perencanaan hortikultura merupakan bagian integral dari
perencanaan pembangunan nasional, perencanaan
pembangunan daerah dan perencanaan pembangunan
sektoral.
(2) Perencanaan hortikultura sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah dengan melibatkan masyarakat.
(3) Penyelenggaraan perencanaan hortikultura sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disusun di tingkat nasional,
Pasal 7 Huruf a Yang dimaksud dengan “perencanaan jangka panjang” adalah perencanaan yang mencakup kurun waktu 20 (dua puluh) tahun. Huruf b Yang dimaksud dengan “perencanaan jangka menengah” adalah perencanaan yang mencakup kurun waktu 5 (lima) tahun. Huruf c Yang dimaksud dengan “perencanaan jangka pendek” adalah perencanaan yang mencakup kurun waktu 1 (satu) tahun atau kurang. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “perencanaan pembangunan sektoral” adalah perencanaan hortikultura yang disusun secara sinergis dengan perencanaan di semua sektor yang terkait seperti sektor pertanian, industri dan perdagangan, pariwisata, dan keuangan.
16
provinsi, dan/atau kabupaten/kota.
Pasal 9
(1) Perencanaan hortikultura nasional menjadi pedoman untuk
menyusun perencanaan hortikultura provinsi.
(2) Perencanaan hortikultura provinsi menjadi pedoman untuk
menyusun perencanaan hortikultura kabupaten/kota.
BAB IV
PERWILAYAHAN HORTIKULTURA
Wilayah Hortikultura Pasal 10
(1) Hortikultura dapat diselenggarakan di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilaksanakan
dalam wilayah tersendiri dan/atau berintegrasi dengan
wilayah usaha lainnya.
(2) Penyelenggaraan hortikultura sebagaimana dimaksud
Pasal 10 Ayat (1) Hortikultura dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kecuali di dalam wilayah konservasi. Ayat (2) Kegiatan penelitian dan konservasi hortikultura di dalam wilayah konservasi dapat dilakukan dengan izin dari Menteri yang membidangi
17
pada ayat (1) dilakukan diluar kawasan konservasi
terkecuali untuk kegiatan penelitian atau konservasi.
(3) Penyelenggaraan hortikultura dapat memanfaatkan ruang
wilayah tersendiri, bertumpangsari dengan tanaman lain
atau berintegrasi dengan ruang wilayah kegiatan lain.
Pasal 11
Dalam hal terjadi perubahan tata ruang wilayah hortikultura yang
mengakibatkan penggusuran maka harus disediakan terlebih
dahulu ruang wilayah lain yang setara sebagai penggantinya.
Pasal 12
1. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah membina sinergi
penyelenggaraan hortikultura yang bertumpangsari
dengan tanaman lain atau berintegrasi dengan ruang
wilayah kegiatan lain.
2. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat
memfasilitasi pemanfaatan lahan yang belum
dimanfaatkan secara optimal untuk usaha budidaya
tanaman hortikultura semusim.
urusan konservasi sumberdaya alam. Ayat (3) Ruang wilayah tersendiri apabila penyelenggaraan hortikultura memanfaatkan lima puluh persen lebih ruang wilayah tersebut. Berintegrasi artinya kegiatan usaha hortikultura dilakukan bersama-sama dengan kegiatan usaha lain di lahan yang sama secara saling memanfaatkan dan saling menguntungkan. Ruang wilayah kegiatan lain antara lain ruang wilayah pemukiman, perhutanan, perindustrian, pertambangan. Pasal 11 Yang dimaksud dengan “ruang wilayah yang setara” adalah memiliki ruang wilayah yang memiliki kemampuan untuk terus melanjutkan hortikultura dari ruang wilayah yang digantikan.
Pasal 12
Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”membina sinergi” adalah menjaga agar kegiatan hortikultura yang bertumpangsari dengan tanaman lain atau berintegrasi dengan kegiatan lain di lahan yang sama tersebut dapat berjalan bersama-sama dengan saling menguntungkan. Ayat (2) ”pemanfaatan lahan” ini tidak mengurangi hak pemilik lahan untuk menjalankan haknya ketika dibutuhkan tanpa kewajiban untuk memberikan ganti rugi dalam bentuk apapun kepada yang memanfaatkan.
18
Kawasan hortikultura
Pasal 13 Pemerintah dan/atau pemerintah daerah bersama masyarakat
merencanakan dan menetapkan kawasan hortikultura.
Pasal 14
(1) Untuk mengembangkan kawasan hortikultura
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13:
a. pemerintah menetapkan kawasan hortikultura
nasional.
b. pemerintah provinsi menetapkan kawasan
hortikultura propinsi;
c. pemerintah kabupaten/kota menetapkan kawasan
hortikultura kabupaten/kota.
(2) Persyaratan mengenai kawasan hortikultura diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
19
Pasal 15
Dengan penetapan kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13, maka Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
wajib:
a. melengkapi kawasan hortikultura tersebut dengan
prasarana yang dibutuhkan;
b. memadukan pengembangan kawasan hortikultura
tersebut bersama-sama dengan semua sektor yang
terkait.
c. melakukan pembinaan untuk mengembangkan
kawasan hortikultura tersebut;
d. menjamin keamanan kawasan hortikultura tersebut dari
gangguan fisik, biologis, dan kimiawi dan lainnya.
Pasal 15 huruf b Yang dimaksud dengan sektor terkait antara lain sektor industri, sektor pendidikan, sektor pariwisata, sektor sosial dan budaya. huruf d Yang dimaksud dengan ”gangguan fisik” antara lain keamanan, pencurian, perusakan, gangguan hewan, longsor, Yang dimaksud dengan ”gangguan biologis” antara lain, organisme pengganggu tanaman, pencemaran biologis dan genetika. Yang dimaksud dengan ”gangguan kimiawi” antara lain pencemaran bahan-bahan kimia, penggunaan pupuk, pestisida, suplemen, dan/atau hormon yang berlebihan, serta limbah berbahaya.
20
Klasifikasi Perkebunan Hortikultura
Pasal 16
(1) Klasifikasi perkebunan hortikultura dibagi sebagai berikut:
a. perkebunan hortikultura besar;
b. perkebunan hortikultura menengah; dan
c. perkebunan hortikultura kecil.
(2) Perkebunan hortikultura besar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a menggunakan lahan lebih dari 30
(tigapuluh) hektar
(3) Perkebunan hortikultura menengah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b menggunakan lahan 5
(lima) hektar sampai dengan 30 (tigapuluh) hektar
(4) Perkebunan hortikultura kecil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c menggunakan lahan kurang dari (5)
hektar
Pasal 17
(1) Perkebunan besar hortikultura sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a wajib dilengkapi dengan
21
Hak Guna Usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan .
(2) Perkebunan menengah hortikultura sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b wajib dilengkapi
dengan Izin Usaha yang diterbitkan oleh Pemerintah
Daerah.
(3) Perkebunan kecil hortikutura sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c wajib didaftarkan ke
pemerintah kabupaten/kota.
(4) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melakukan
registrasi perkebunan hortikultura.
Pasal 17 Ayat (3) Pendaftaran dilakukan oleh kedua pihak, baik secara aktif oleh pelaku usaha maupun oleh pemerintah dalam rangka pendataan.
BAB V PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM HORTIKULTURA
Sumberdaya Lahan Hortikultura
Pasal 18 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan lahan
22
untuk usaha hortikultura yang berkelanjutan.
(2) Pemerintah wajib mensertifikasi tanah yang digunakan
untuk lahan usaha hortikultura.
Pasal 19
(1) Tanah atau media tumbuh lainnya yang dipergunakan
untuk budidaya hortikultura harus dilindungi, dipulihkan,
ditingkatkan, dan diperlihara fungsinya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan, pemulihan,
peningkatan, dan pemeliharaan fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur Peraturan Menteri.
(3) Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha
mengembangkan penggunaan media tumbuh lain sebagai
alternatif pengganti media tanah untuk usaha budidaya
hortikultura.
Pasal 19 Ayat (1) (1) Perlindungan fungsi tanah atau media tumbuh lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menjaga dan mempertahankan tanah atau media tumbuh lainnya agar tidak rusak dan tetap berfungsi secara optimal.
(2) Pemulihan tanah atau media tumbuh lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengembalikan kemampuan dan fungsi tanah atau media tumbuh lainnya yang telah kritis dan rusak.
(3) Peningkatan fungsi tanah atau media tumbuh lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk meningkatkan kemampuan tanah atau media tumbuh lainnya.
(4) Pemeliharaan fungsi tanah atau media tumbuh lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk merawat tanah atau media tumbuh lainnya guna menjamin kelestarian fungsi tanah atau media tumbuh lainnya.
Sumberdaya Air Hortikultura
Pasal 20
23
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan hak guna
pakai air untuk usaha hortikultura.
(2) Pemakaian air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memperhatikan kaidah konservasi air dan
penerapan kaidah pertanian berkelanjutan.
(3) Air untuk usaha hortikultura dapat diambil dari sumber air
yang ada atau sistem irigasi yang tersedia.
(4) Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan baku mutu air untuk usaha hortikultura yang
ditetapkan dengan peraturan Menteri.
Pasal 21
(1) Air untuk usaha hortikultura dapat diambil dari sumber air
yang sama atau dari sistem irigasi yang sama dengan air
untuk usaha lainnya.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah mengalokasikan
air yang cukup untuk kegiatan usaha hortikultura yang
berkelanjutan.
(3) Dalam hal ketersediaan air terbatas pada suatu waktu
24
dan/atau kawasan, pemerintah dan/atau pemerintah
daerah mengatur kebutuhan air secara berkeadilan.
(4) Pelaku usaha hortikultura harus meningkatkan efisiensi
penggunaan air dengan tetap memperhatikan
keberhasilan produksi dan mutu.
Lingkungan dan iklim Pasal 22
(1) Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha
mengembangkan varietas tanaman hortikultura yang
mampu beradaptasi dengan perubahan iklim
(2) Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha
mengembangkan teknologi yang mampu mengatasi
cekaman lingkungan.
(3) Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha
mencegah kegiatan yang mencemari lingkungan dan
menyebabkan pemanasan global.
(4) Usaha budidaya hortikultura dibebaskan dari pajak
25
lingkungan.
(5) Pemerintah memberikan penghargaan kepada usaha
hortikultura yang ramah lingkungan.
Konservasi Pasal 23
(1) Dalam melakukan konservasi di lahan-lahan kritis dan
daerah aliran sungai Pemerintah bersama pemerintah
daerah mengutamakan penanaman pohon buah, pohon
sayuran (pete, melinjo, jengkol), dan pohon berkhasiat
obat .
(2) Pemerintah memberikan penghargaan kepada masyarakat
yang berhasil melakukan konservasi sumberdaya alam
dengan kegiatan hortikultura.
Sumberdaya Genetik Hortikultura Pasal 24
Sumberdaya genetik hortikultura harus dilindungi, dilestarikan,
dan dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 24 Yang dimaksud dengan “sumberdaya genetik hortikultura” adalah tumbuhan, organ tumbuhan, jaringan, sel, kromosom dan asam deoksiribonukleat (DNA) yang berasal dari tumbuhan lokal maupun
26
Pasal 25
(1) Pemerintah mendaftar, mendokumentasikan dan
memelihara sumberdaya genetik hortikultura.
(2) Pendaftaran, pendokumentasian dan pemeliharaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
bersama masyarakat dan/atau badan hukum Indonesia.
(3) Pemerintah menetapkan dan meregistrasi pohon induk
yang menjadi sumber bahan perbanyakan tanaman.
(4) Pohon induk dilarang ditebang tanpa izin dari Menteri.
Pasal 26
(1) Bahan perbanyakan dari sumberdaya genetik hortikultura
yang terancam punah dilarang diperdagangkan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumberdaya genetik
hortikultura yang terancam punah diatur dalam Peraturan
Menteri
hasil introduksi, alami atau hasil rekayasa genetik yang mempunyai nilai nyata atau potensial untuk pemuliaan tanaman.
27
Pasal 27
(1) Pemerintah memberikan kemudahan untuk pengayaan
sumber daya genetik hortikultura nasional melalui
berbagai metode pengayaan.
(2) Kepemilikan, pemanfaatan dan tukar menukar sumber
daya genetik hortikultura dalam rangka kegemaran, usaha,
sosial, dan kemanusiaan diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 27 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kemudahan” adalah memudahkan perizinan, penggunaan fasilitas penelitian pemerintah.
BAB VI
PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA
Pasal 28 (1) Warga negara Indonesia wajib diutamakan dalam
penguatan, pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya
manusia hortikultura.
(2) Warga negara asing dapat diizinkan bekerja di Indonesia
dengan mempertimbangkan keahlian dan kemampuannya
yang bermanfaat bagi pengembangan hortikultura.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi keahlian dan
pasal 28
Ayat (1)
Penguatan dimaksudkan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, keterampilan, kemandirian, dan jiwa kewirausahaan.
Pemanfaatan dimaksudkan untuk membuka peluang usaha dan memberi pekerjaan.
Pengembangan dimaksudkan untuk dapat mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
28
kemampuan warga negara asing yang bermanfaat bagi
pengembangan hortikultura Indonesia diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 29
(1) Pemerintah menyelenggarakan pendidikan hortikultura
pada masyarakat umum sejak tingkat pendidikan dasar
dengan memasukkan materi hortikultura dalam kurikulum
pendidikan.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
menyelenggarakan pendidikan kejuruan hortikultura di
setiap kabupaten/kota.
(3) Pemerintah menyelenggarakan pendidikan tinggi
hortikultura di setiap propinsi.
Pasal 30
(1) Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha
meningkatkan keahlian dan keterampilan pelaku usaha
Ayat (2)
Keahlian dan kemampuan warga negara asing yang harus dipertimbangkan adalah pendidikan, keahlian, kemampuan teknis dan manajemen.
29
melalui berbagai metode pelatihan.
Pasal 31
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan pelaku usaha
menyelenggarakan penyuluhan hortikultura.
(2) Pemerintah daerah wajib menyediakan minimal satu orang
tenaga penyuluh hortikultura di setiap kecamatan.
(3) Pemerintah daerah wajib menyediakan minimal satu orang
tenaga penyuluh hortikultura di setiap desa yang termasuk
di dalam kawasan hortikultura.
Pasal 32
(1) Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha
hortikultura memberikan pembimbingan kepada pelaku
usaha pemula, mikro dan kecil.
(2) Pelaku usaha wajib menyelenggarakan pemagangan bagi
siswa, pelaku usaha pemula, mikro dan kecil.
30
(3) Pelaku usaha menengah dan besar hortikultura wajib
melakukan pendampingan pada usaha pemula, mikro dan
kecil.
Pasal 33
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan
untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme
pelaku usaha.
(2) Pemerintah atau lembaga yang terakreditasi
menyelenggarakan sertifikasi profesi dan kompetensi
kepada pelaku usaha.
(3) Jenis-jenis profesi dan kompetensi di bidang hortikultura
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 33
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sertifikasi profesi dan sertifikasi kompetensi adalah tanda atau surat keterangan mengenai keahlian atau kompetensi seorang pelaku usaha di salah satu bidang terkait usaha hortikultura.
BAB VII
PENGADAAN SUMBERDAYA BUATAN
31
Paragraf 1
Pembiayaan dan penjaminan
Pasal 34
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan
Anggaran Belanja Negara dan Anggaran Belanja Daerah
sebesar 30% (tiga puluh persen) dari anggaran untuk
sektor pertanian.
(2) Pemerintah menetapkan persentase portfolio kredit dari
lembaga keuangan, termasuk lembaga keuangan syariah,
untuk pengembangan hortikultura.
(3) Pemerintah menetapkan suku bunga kredit untuk usaha
hortikultura minimal 30% (tiga puluh persen) dibawah suku
bunga yang ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 35
(1) Pemerintah menugaskan lembaga keuangan tertentu
untuk memberikan pinjaman usaha hortikultura.
(2) Usaha mikro dan kecil hortikultura dapat memperoleh
fasilitasi dan pinjaman tanpa agunan dari lembaga
Pasal 34
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan lembaga keuangan adalah bank dan lembaga pembiayaan non-bank.
Pasal 35
Ayat (2)
Fasilitasi tersebut antara lain berupa bimbingan teknis mengenai
32
keuangan pada ayat (1).
(3) Pinjaman pada ayat (2) diberikan berdasarkan kelayakan
usaha yang dinilai oleh si pemberi pinjaman.
(4) Pemerintah memberikan jaminan atas pinjaman pada ayat
(3) maksimal sebesar omzet tertinggi usaha mikro dan
usaha kecil yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan.
Pasal 36
(1) Pemerintah mengutamakan penanaman modal dalam
negeri.
(2) Penyertaan modal asing hanya dapat dilakukan dalam
badan usaha perusahaan menengah dan badan usaha
perusahaan besar hortikultura.
(3) Besarnya penyertaan modal asing pada ayat (2) dibatasi
sebesar-besarnya 49% (empat puluh sembilan persen).
(4) Modal asing harus disetor penuh pada saat pendirian
badan hukum perusahaan patungan.
(5) Badan usaha hortikultura dengan penyertaan modal asing
dasar-dasar kelayakan usaha sebagai persyaratan dalam pengajuan pembiayaan.
33
dilarang memperoleh kredit dari bank atau lembaga
pembiayaan dalam negeri.
Pasal 37
Penanaman modal baru dalam usaha hortikultura mendapatkan
pembebasan pajak penghasilan selama (5) lima tahun sejak saat
mulai beroperasi.
Paragraf 2
Prasarana
Pasal 38
(1) Pemerintah bersama pemerintah daerah membangun
infrastruktur yang meliputi:
a. sistem dan jaringan irigasi di wilayah budidaya;
b. drainase dan pengolahan limbah;
c. tenaga listrik dan jaringannya sampai ke lokasi
pascapanen;
d. air bersih dan jaringannya sampai ke lokasi pasca
34
panen;
e. jalan penghubung dari lokasi budidaya ke lokasi pasca
panen sampai ke pasar;
f. pelabuhan dan area transit.
g. sistem dan jaringan komunikasi sampai ke lokasi
budidaya;
h. sistem dan jaringan informasi sampai ke desa,
terutama desa yang berada di dalam kawasan
hortikultura.
i. Pasar
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi insentif
kepada pelaku usaha yang membangun infrastruktur
sendiri.
Paragraf 3
Sarana dan Teknologi
Pasal 39
35
(1) Hortikultura wajib menggunakan sarana produksi dan
teknologi yang efisien dan ramah lingkungan.
(2) Sarana produksi dan teknologi hortikultura yang digunakan
diutamakan yang diperoleh dari sumber di dalam negeri.
(3) Sarana produksi dan teknologi hortikultura yang diperoleh
dari sumber di luar negeri dapat digunakan apabila lebih
efisien dan lebih ramah lingkungan.
(4) Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha
memutakhirkan dan mengembangkan sarana produksi dan
teknologi hortikultura secara terus menerus.
(5) Pemerintah memberikan insentif pada pengembangan
sarana produksi dan teknologi yang berbasis pada
sumberdaya dalam negeri.
Pasal 40
(1) Pemerintah melakukan pendaftaran terhadap sarana
produksi dan teknologi hortikultura yang diedarkan.
(2) Pemerintah menetapkan persyaratan dan standar mutu
yang harus dipenuhi oleh sarana produksi dan teknologi
36
hortikultura yang diedarkan.
Pasal 41
Produsen, distributor dan pengecer, baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, harus bertanggungjawab untuk
menjamin bahwa sarana produksi dan/atau teknologi hortikultura
yang diedarkannya memenuhi persyaratan dan/atau standar
mutu.
Pasal 42
(1) Produsen, distributor dan pengecer sarana produksi
hortikultura harus memberikan label pada kemasan
terkecil setiap produk yang diedarkan.
(2) Label tersebut pada ayat (1) sekurang-kurangnya
mencantumkan nama dan alamat produsen, serta nomor
registrasi usaha.
(3) Label yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk
benih berupa biji sekurang-kurangnya mencantumkan
Pasal 41 Yang dimaksud dengan “distributor” adalah pihak yang secara resmi memegang surat ijin untuk mengedarkan sarana produksi dan teknologi hortikultura di suatu wilayah. Yang dimaksud dengan “pengecer” adalah pihak yang menjual secara sedikit atau terbatas.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan label adalah setiap keterangan mengenai produk yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada produk, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian dari kemasan produk;
37
juga: jenis; varietas; potensi hasil; petunjuk penanaman;
persyaratan lahan dan agroklimat; cara penyimpanan; dan
tanggal kadaluarsa.
(4) Label yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk
benih berupa bagian tanaman lainnya yang tidak termasuk
dalam ayat (3) sekurang-kurangnya mencantumkan juga:
jenis; varietas; asal tanaman induk; nomor registrasi
tanaman induk, petunjuk penanaman; persyaratan lahan
dan agroklimat.
(5) Label yang dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) untuk
pupuk dan bahan pengendali OPT sekurang-kurangnya
mencantumkan juga: kandungan; daya kerja; cara
pemakaian; petunjuk keselamatan; cara penyimpanan;
dan tanggal kadaluarsa.
(6) Label yang dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) untuk alat
sekurang-kurangnya mencantumkan juga: petunjuk
pemakaian, jaminan atas kinerja produk, petunjuk
keselamatan, cara pemeliharaan.
(7) Label yang dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) untuk
38
mesin sekurang-kurangnya mencantumkan juga: petunjuk
pemakaian, jaminan atas kinerja produk, petunjuk
keselamatan, sertifikat uji, cara pemeliharaan.
Pasal 43
(1) Pemerintah menetapkan persyaratan tentang:
a. sarana transportasi untuk angkutan hortikultura;
b. sarana penanganan produk hortikultura
c. sarana pengolahan produk hortikultura
(2) Persyaratan tersebut pada ayat (1) mengacu pada
persyaratan internasional tentang:
a. Cara pengangkutan yang baik
b. Cara penanganan yang baik
c. Cara pengolahan yang baik
Paragraf 4
39
Informasi
Pasal 44
(1) Pemerintah wajib menyajikan informasi nasional dan
pemerintah daerah wajib menyajikan informasi lokal yang
untuk setiap komoditi hortikultura yang bertujuan untuk
mengendalikan keseimbangan pasokan dan kebutuhan
serta menekan fluktuasi harga.
(2) Informasi tersebut pada ayat (1) berisi tentang perkiraan:
a. permintaan pasar;
b. peluang pasar;
c. harga;
d. produksi dan pasokan.
(3) Informasi pada ayat (2) harus diperbarui setiap hari untuk
produk hortikultura semusim.
(4) Pemerintah menyajikan informasi mengenai sumber-
sumber:
a. pembiayaan,
b. sarana produksi hortikultura,
40
c. ilmu pengetahuan;
d. teknologi; dan
e. standarisasi
(5) Informasi tersebut pada ayat (2) dan ayat (4) tersebut
harus dapat diakses setiap saat dan dengan mudah
melalui berbagai media oleh pelaku usaha hortikultura.
Pasal 45
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyusun dan
mempublikasikan data statistik tentang produk hortikultura
yang akurat setiap bulan.
(2) Pemerintah membuat analisa mengenai situasi dan kondisi
hotikultura Indonesia dan mempublikasikannya setiap
enam bulan.
BAB VIII
41
KONSUMSI
Pasal 46
(1) Buah dan sayuran adalah produk pangan yang termasuk
dalam kelompok bahan pokok.
(2) Sebagai bahan pokok maka buah dan sayuran termasuk
golongan barang bebas pajak.
(3) Pemerintah wajib mencapai angka konsumsi buah dan
sayuran per kapita per tahun sesuai dengan pedoman
FAO pada tahun 2020.
Pasal 47
(1) Produk hortikultura yang berasal dari impor harus
memenuhi persyaratan dan standar mutu yang diatur
dengan peraturan Menteri.
(2) Persyaratan pada ayat (1) antara lain meliputi pelabelan
pada kemasan terkecil yang mencantumkan antara lain:
a. tanggal panen
b. asal kebun
42
c. nomor registrasi kebun
d. standar kualitas
e. tanggal dikemas
f. nama dan alamat pengemas
g. nama dan alamat eksportir
h. nama dan alamat importir dan distributor
Pasal 48
(1) Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha
melakukan promosi untuk meningkatkan konsumsi produk
hortikultura khususnya hasil produksi dalam negeri.
(2) Pemerintah bersama pemerintah daerah dan masyarakat
mengutamakan konsumsi produk hortikultura disetiap
kegiatan kedinasan, keagamaan, dan kegiatan sosial
lainnya.
Pasal 49
(1) Pemerintah bersama pemerintah daerah dan masyarakat
43
mengembangkan budidaya tanaman buah dan sayuran di
setiap rumah tangga sebagai cadangan pangan.
(2) Setiap desa wajib menanam dan memelihara pohon buah
sekurang-kurangnya sejumlah populasi warganya.
(3) Setiap rumah tangga wajib untuk menanam dan
memelihara tanaman hortikultura sekurang-kurangnya
sejumlah anggota keluarganya.
(4) Setiap ruang kerja dan ruang usaha wajib memiliki dan
memelihara tanaman hortikultura didalamnya.
BAB IX
PEMBINAAN USAHA PRODUKSI HORTIKULTURA
Bagian ke-satu
Umum
Pasal 50
Usaha produksi hortikultura meliputi usaha:
a. perbenihan
44
b. pupuk dan bahan pengendali OPT
c. alat dan mesin
d. budidaya
e. pasca panen
f. industri pengolahan
g. jasa hortikultura
h. penyelenggaraan wisata agro
i. sertifikasi usaha
Pasal 51 (1) Semua usaha produksi hortikultura sebagaimana
dimaksud dalam Pasal (50) ayat (1) harus didaftar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran usaha
produksi hortikultura diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 52
(1) Usaha produksi hortikultura terdiri dari usaha mikro, usaha
kecil, usaha menengah dan usaha besar.
(2) Kriteria usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 51 Ayat (1) Pendaftaran dilakukan dalam rangka pendataan guna pemenuhan data pengembangan dan pembinaan hortikultura.
45
(3) Usaha besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memiliki kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan
lebih tinggi dari kriteria usaha menengah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 53
(1) Usaha produksi hortikultura mikro dan kecil hanya dapat
diselenggarakan oleh pelaku usaha Indonesia.
(2) Usaha hortikultura menengah dan besar dapat
diselenggarakan oleh pelaku usaha asing yang
berpatungan dengan pelaku usaha Indonesia.
(3) Penyertaan modal asing dalam usaha patungan pada ayat
(2) dibatasi sebanyak-banyaknya 49% (empat puluh
sembilan persen)
(4) Kemitraan usaha produksi hortikultura dapat dilakukan
dengan melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, menengah
dan besar.
(5) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
Pasal 53
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan berpatungan adalah penyertaan modal bersama.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan kemitraan adalah bekerja sama yang saling menguntungkan, pengalihan teknologi dan ilmu pengetahuan
Ayat (5) Yang dimaksud dengan kontrak budidaya adalah perjanjian jual beli dengan pemesanan diawal penanaman Yang dimaksud dengan kerjasama operasional meliputi kerjasama pembiayaan, penyediaan sarana produksi, teknis budidaya, sampai
46
berbentuk kontrak budidaya, bagi hasil, dan kerjasama
operasional.
Pasal 54
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengutamakan
pengembangan:
a. usaha mikro dan kecil;
b. usaha hortikultura yang ramah lingkungan;
c. usaha hortikultura yang mengembangkan komoditas
unggulan nasional dan daerah;
d. usaha budidaya organik; dan/atau
e. usaha hortikultura yang menggunakan teknologi yang
efisien
(2) Pengutamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa fasilitasi dan pemberian insentif.
(3) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain:
a. kemudahan perijinan;
b. pemanfaatan lahan; dan
dengan pemasaran.
47
c. penjaminan kredit usaha mikro dan kecil.
(4) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain:
a. keringanan pajak dan retribusi;
b. sertifikasi;
c. penghargaan; dan
d. pembiayaan untuk penerbitan sertifikat tanah,
khususnya untuk usaha mikro dan kecil.
Bagian ke-dua
Perbenihan
Pasal 55
(1) Usaha perbenihan harus dilakukan oleh pelaku usaha
yang memiliki sertifikat profesi dan/atau sertifikat
kompetensi, atau badan usaha yang terakreditasi dalam
bidang perbenihan.
(2) Usaha perbenihan dilakukan melalui upaya pemuliaan,
perbanyakan materi tumbuhan, serta introduksi dari luar
48
negeri.
Pasal 56
(1) Varietas-varietas lokal yang ada di daerah wajib
didaftarkan oleh pemerintah daerahnya.
(2) Hasil upaya pemuliaan dan introduksi berupa varietas baru
dan unggul wajib didaftarkan kepada Pemerintah.
(3) Kebenaran dan keunggulan varietas yang akan diedarkan
diuji oleh lembaga penguji yang kompeten yang mewakili
kepentingan pembudidaya.
(4) Persyaratan dan tata laksana lembaga penguji pada ayat
(3) ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 57
(1) Pelepasan dan peredaran varietas yang sudah terdaftar
menjadi tanggungjawab pemilik varietas atau kuasanya.
(2) Pemilik varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memberitahukan kepada pemerintah mengenai
Pasal 56 Ayat (1) dan ayat (2)
Yang dimaksud dengan “didaftarkan” adalah dalam rangka pemenuhan pendataan.
49
pelepasan dan peredaran varietas.
Pasal 58
Perlindungan varietas tanaman dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 57 Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “memberitahukan” adalah melaporkan tentang pelepasan varietas secara tertulis kepada pejabat di bidang pendaftaran varietas tanaman.
Bagian ke-tiga
Pupuk dan Bahan Pengendali OPT
Pasal 59
(1) Usaha menengah dan besar produsen pupuk dan bahan
pengendali OPT wajib melaporkan jumlah produksi setiap
bulan.
(2) Usaha menengah dan besar distributor dan pengecer
pupuk dan bahan pengendali OPT wajib melaporkan
jumlah penjualannya setiap bulan.
(3) Usaha menengah dan besar budidaya hortikultura wajib
50
melaporkan penggunaan pupuk dan bahan pengendali
OPT setiap enam bulan.
(4) Laporan yang dimaksud pada ayat (3) berisi antara lain:
nama, jenis; jumlah, waktu penggunaan.
Bagian ke-empat
Alat dan Mesin
Pasal 60
Produsen, distributor dan/atau pengecer alat dan mesin harus
memberikan pelayanan purna jual, pelatihan penggunaan,
menyediakan suku cadang dan fasilitas perbaikan sejak saat
produk mulai diedarkan dan sekurangnya untuk jangka waktu
lima tahun sejak produk berhenti diedarkan.
51
Bagian ke-lima
Budidaya
Pasal 61
(1) Usaha budidaya hortikultura dilakukan dengan
memperhatikan:
a. permintaan pasar;
b. sistem budidaya yang baik ;
c. efisiensi dan daya saing;
d. fungsi lingkungan; dan
e. kearifan lokal.
(2) Ketentuan mengenai sistem budidaya yang baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dalam
dengan Peraturan Menteri.
(3) Pola budidaya nirlimbah wajib menjadi salah satu unsur
dalam sistem budidaya yang baik.
Pasal 61 Ayat (2) Sistem budidaya yang baik mengacu pada pedoman Good Agricultural practices (GAP)
52
Pasal 62
(1) Pelaku usaha budidaya hortikultura merencanakan
usahanya dengan memperhatikan informasi yang
disediakan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
sebagaimana tercantum pada Pasal 44 ayat (1).
(2) Pelaku usaha budidaya hortikultura bebas menentukan
sendiri pilihan jenis tanaman.
(3) Pelaku usaha budidaya wajib melaporkan jenis dan jumlah
tanaman yang sedang dan akan dibudidayakan kepada
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
(4) Pelaku usaha budidaya wajib melaporkan hasil panennya
kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Pasal 63
(1) Pelaku usaha dilarang membudidayakan jenis tanaman
hortikultura yang merugikan kesehatan masyarakat
dan/atau mengganggu fungsi lingkungan hidup.
(2) Pelarangan pembudidayaan jenis tanaman hortikultura
Pasal 62 Ayat (3) dan ayat (4)
Pelaporan bertujuan untuk pengumpulan data untuk perkiraan
produksi.
Pasal 63
Ayat (1) Yang dimaksud jenis tanaman hortikultura yang merugikan kesehatan masyarakat adalah tanaman yang mengandung narkotika dan zat adiktif seperti tanaman ganja dan tanaman Papaver Somniferum L
53
sebagimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi
kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Budidaya jenis tanaman hortikultura sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi ketentuan dan
mendapatkan ijin khusus yang diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian ke-enam
Pasca panen
Pasal 64
(1) Pascapanen meliputi kegiatan antara lain:
a. pembersihan;
b. pencucian;
c. pengeringan;
d. pengupasan;
e. sortasi;
f. pengkelasan;
Pasal 64 Ayat (1)
Huruf c
Yang dimaksud pengeringan adalah mengurangi kelebihan air
54
g. pengolahan primer;
h. pengawetan;
i. pengemasan; dan
j. penyimpanan.
(2) Kegiatan pascapanen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ditujukan untuk mempertahankan mutu dan
kesegaran, menekan kehilangan dan/atau kerusakan, dan
meningkatkan nilai tambah.
Pasal 65
(1) Kegiatan pascapanen dilakukan di rumah pascapanen
atau di tempat yang memenuhi persyaratan kebersihan
dan kesehatan.
(2) Rumah pascapanen untuk produk ekspor wajib
diakreditasi.
Huruf h
Yang dimaksud pengawetan dalam pascapanen dilakukan dalam rangka mempertahankan kesegaran dengan tidak merubah bentuk seperti dilakukan dengan pendinginan, pemanasan, pencelupan, iradiasi, vacuum, modified atmosfer.
Pasal 65 Ayat (1) Yang dimaksud rumah pascapanen adalah tempat dimana kegiatan pasca panen dilakukan (packing house)
Bagian ke-tujuh
Industri Pengolahan
55
Pasal 66
(1) Pengolahan meliputi kegiatan memproses produk hortikultura menjadi produk olahan hortikultura.
(2) Kegiatan pengolahan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 66
ayat (1)
Yang dimaksud dengan memproses antara lain adalah kegiatan memasak, mengekstrak, menggiling, menyuling, mengeringkan, merendam, membekukan, menepungkan, mengawetkan produk hortikultura dalam bentuk aslinya maupun bentuk lainnya dengan/tanpa dicampur dengan bahan lainnya.
Bagian ke-delapan
Jasa Hortikultura
Pasal 67
(1) Usaha jasa hortikultura meliputi jasa:
a. Konsultasi;
b. Manajemen;
c. Perdagangan;
d. Pemasaran;
e. Persewaan;
56
f. Konstruksi;
g. Pengolahan;
h. Transportasi;
i. Pergudangan.
(2) Usaha penyelenggaraan jasa hortikultura harus
diakreditisasi.
Bagian ke-sembilan
Wisata Agro
Pasal 68
(1) Kawasan hortikultura dapat digunakan sebagai kawasan
wisata agro.
(2) Wisata agro diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau
pemerintah daerah, pelaku usaha dalam negeri baik
secara sendiri maupun bersama-sama.
(3) Pelaku usaha asing dapat menyelenggarakan wisata agro
bekerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah,
57
dan/atau pelaku usaha dalam negeri.
(4) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) harus mengikutsertakan masyarakat setempat.
Pasal 69
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah mengatur
penetapan kawasan, pembinaan, dan pengawasan wisata
agro.
(2) Penetapan kawasan wisata agro sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), mempertimbangkan aspirasi masyarakat
setempat.
(3) Pemerintah menetapkan norma, standar, pedoman dan
kriteria wisata agro.
Bagian ke-sepuluh
Sertifikasi dan Akreditasi Usaha
Pasal 70
58
(1) Pemerintah atau lembaga yang terakreditasi
menyelenggarakan akreditasi dan sertifikasi atas usaha
hortikultura.
(2) Jenis-jenis akreditisasi dan sertifikasi ditetapkan dengan
Peraturan Menteri.
(3) Pedoman dan persyaratan untuk mendapatkan akreditasi
dan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
BAB X
PENATAAN PERNIAGAAN
Bagian ke-satu
Umum
Pasal 71
59
(1) Perniagaan hortikultura meliputi kegiatan distribusi,
perdagangan dan pemasaran produk dan jasa hortikultura.
(2) Penataan perniagaan hortikultura dilakukan untuk menjamin
persaingan usaha yang sehat, mutu produk dan pelayanan,
serta keadilan bagi pelaku usaha dan produk dalam negeri.
Pasal 72
(1) Semua pelaku usaha perniagaan hortikultura
sebagaimana dimaksud dalam Pasal (71) ayat (1) harus
didaftar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran usaha
perniagaan hortikultura diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 73
(1) Produk hortikultura harus memenuhi standar keamanan
pangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Produk pangan segar hortikultura harus memenuhi standar
kelayakan konsumsi yang ditetapkan dengan Peraturan
Pasal 73
Ayat (2)
Yang dimaksud kelayakan konsumsi antara lain kondisi organoleptik (dapat diamati dari tekstur, warna, rasa dan aroma), kandungan mikroba, infeksi nematoda.
60
Menteri.
61
Bagian Kedua
Distribusi
Pasal 74
(1) Distribusi produk hortikultura merupakan kegiatan
pengiriman dari lokasi pascapanen sampai ke konsumen
yang meliputi kegiatan pergudangan, bongkar/muat,
pengangkutan.
(2) Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha
menyelenggarakan sistem distribusi yang cermat, tepat,
cepat dan efisien untuk menjaga kesegaran, mutu dan
ketersediaan di pasar.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bersama-sama
menjamin kelancaran distribusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(4) Ketetapan mengenai standar penanganan dan transportasi
yang baik dibuat oleh Menteri.
Pasal 74
ayat (2)
Yang dimaksudkan dengan cermat, tepat, cepat dan efisien artinya diperlakukan dengan hati-hati, menerapkan standar perlakuan yang baik (Good Handling Practices), diamankan dari kontaminasi, waktu yang sependek mungkin untuk mencapai konsumen, efisien dalam jumlah dan ketersediaannya yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Ayat (3)
Jaminan yang dimaksud antara lain bebas hambatan dan pungutan ilegal.
Ayat (4)
Standar penanganan yang baik antara lain: penggunaan sarana bongkar muat yang tepat, lapangan dan bangunan penampungan yang efisien dan memenuhi syarat untuk menyimpan produk segar hortikultura (pengaturan suhu, kelembaban, kebersihan, dan kesehatan)
Standar transportasi yang baik antara lain: penggunaan alat transportasi yang memenuhi persyaratan untuk angkutan hortikultura ( pengaturan suhu, kelembaban, kebersihan, dan sanitasi).
62
Pasal 75
Distribusi produk hortikultura harus dicatat untuk keperluan
pendataan dan penelusuran balik.
Pasal 76
(1) Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib memberikan
prioritas sepanjang perjalanan pengangkutan produk
hortikultura. (2) Pemerintah menyediakan lapangan dan bangunan
penampungan di tempat-tempat strategis sepanjang jalur
transportasi utama.
Pasal 76
Ayat (1)
Bentuk prioritas antara lain adalah
a. mendapatkan kesempatan untuk bongkar/muat ke/dari kapal atau pesawat udara;
b. dispensasi untuk memasuki jalan yang terlarang bagi angkutan barang lainnya.
Ayat (2)
Yang dimaksudkan adalah penyediaan area transit (Transit Area), antara lain di : pelabuhan laut atau sungai, pelabuhan udara, persinggahan darat ;
Fasilitasi yang dimaksud adalah :
c. kemudahan perizinan tempat penampungan dan ijin perjalanan; d. alokasi tempat penggelaran di pasar yang mempunyai fasilitas
kebersihan dan sanitasi, ketertiban, dan keamanan.
63
Bagian ke-tiga
Perdagangan
Pasal 77
(1) Perdagangan hortikultura diselenggarakan dengan sistem
tertutup atau sistem terbuka.
(2) Dalam perdagangan tertutup produsen dan pembeli
membuat perjanjian tertulis yang menyepakati jenis
produk, jumlah, kualitas, waktu pengiriman dan harga
sebelum produksi dimulai.
(3) Dalam perjanjian tertulis sistem perdagangan tertutup
pada ayat (2) harus ada transparansi pembagian fungsi,
hak dan kewajiban, keuntungan dan resiko.
(4) Dalam perdagangan terbuka, produsen bebas menjual
langsung hasil produksinya ke pasar bebas dengan
berbagai cara.
Pasal 78
(1) Perdagangan antara produsen dan pedagang untuk
komoditas hortikultura tertentu dan di wilayah tertentu
Pasal 78
Ayat (1)
64
harus dilakukan dengan cara pelelangan.
(2) Pelelangan pada ayat (5) tersebut diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah, atau lembaga
lelang yang terakreditasi.
(3) Jenis komoditas tertentu dan wilayah tertentu pada ayat
(5) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 79
Usaha perdagangan menengah dan perdagangan besar wajib
melaporkan transaksi harian perdagangannya.
Pasal 80
(1) Produk hortikultura dari varietas yang tidak terdaftar
dilarang untuk diekspor.
(2) Produk hortikultura untuk ekspor harus memenuhi standar
mutu dan persyaratan yang ditetapkan dengan Peraturan
Yang dimaksud dengan komoditas hortikultura tertentu antara lain adalah komoditas yang mudah rusak, pangsa pasarnya besar, harganya fluktuatif, misalnya: cabe, bawang merah, kentang, kubis, nenas, melon.
Yang dimaksud dengan wilayah tertentu adalah kawasan hortikultura yang menjadi sentra produksi komoditas tersebut.
Pasal 80
Ayat (1)
Larangan ekspor ini bertujuan untuk mencegah kehilangan sumberdaya genetika.
65
Menteri.
(3) Persyaratan pada ayat (1) antara lain meliputi keterangan
tentang:
i. tanggal panen
j. asal kebun
k. nomor registrasi kebun
l. standar kualitas
m. tanggal dikemas
n. nama dan alamat pengemas
o. nama dan alamat eksportir
p. nama dan alamat importir
Pasal 81
(1) Produk hortikultura segar tertentu asal impor yang sudah
melebihi masa tertentu setelah tanggal panen dilarang
untuk diedarkan.
(2) Produk tertentu dan masa tertentu pada ayat (2)
Pasal 81
Ayat (1)
Larangan ini untuk mencegah masuknya produk yang sudah kurang
66
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 82
(1) Impor produk hortikultura tertentu hanya bisa dilakukan
melalui pelabuhan tertentu pada masa tertentu.
(2) Jenis produk hortikultura dan pelabuhan impor dan masa
tertentu pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 83
(1) Importir produk hortikultura wajib membayar iuran
pembangunan hortikultura (IPH).
(2) Besarnya iuran pembangunan hortikultura pada ayat (1)
ditetapkan berdasarkan kesepakatan masyarakat
hortikultura yang diwakili oleh Dewan Hortikultura
Nasional.
(3) Pemerintah melalui Menteri Keuangan, qq. Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai membantu melakukan
pemungutan iuran pembangunan hortikultura.
layak untuk dikonsumsi.
Pasal 82
Ayat (1)
Aturan ini diperlukan untuk memudahkan pengawasan dan memberikan perlindungan pada pasar domestik.
Pasal 83
Ayat (1)
Iuran pembangunan hortikultura ini adalah hasil kesepakatan dari masyarakat hortikultura Indonesia yang diwakili oleh Dewan Hortikultura Nasional.
Dana yang berasal dari iuran pembangunan hortikultura ini dikelola oleh Dewan Hortikultura Nasional untuk memberdayakan kelembagaan hortikultura.
Ayat (3)
Pemungutan iuran pembangunan hortikultura dilakukan oleh Kantor Pabean tempat pemasukan barang impor.
67
Bagian Ke-empat
Pemasaran
Pasal 84
(1) Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku
usaha menjaga keseimbangan pasokan dan kebutuhan
produk hortikultura setiap saat sampai di tingkat lokal.
(2) Keseimbangan pasokan dan kebutuhan dijaga antara lain
dengan:
a. Memberikan informasi produksi dan konsumsi yang
akurat sebagaimana diatur pada Pasal 44.
b. Menyelenggarakan distribusi sesuai dengan Pasal 74
ayat (2)
c. Mengutamakan sistem perdagangan tertutup
sebagaimana diatur pada Pasal 77 ayat (2) dan cara
pelelangan yang diatur pada Pasal 78 ayat (1).
d. Mengendalikan impor sebagaimana diatur pada Pasal
82.
Pasal 84
Ayat (1)
Tujuan untuk”menjaga keseimbangan” adalah mencegah terjadinya fluktuasi harga.
68
Pasal 85
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib
menyelenggarakan pasar induk hortikultura di setiap kota
yang jumlah penduduknya lebih dari 1 (satu) juta orang.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah mewajibkan
setiap pasar yang memperdagangkan bahan pokok harus
menyediakan tempat penggelaran produk hortikultura yang
memenuhi persyaratan kebersihan dan kesehatan.
(3) Pemerintah bersama pemerintah daerah
menyelenggarakan pasar hortikultura secara berkala.
Pasal 86
1. Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha
melakukan promosi secara terus menerus untuk
meningkatkan:
a. kepedulian masyarakat pada produk dan jasa
hortikultura;
b. minat para investor;
Pasal 85 Ayat (1) Pasar induk atau pasar grosir adalah pusat perdagangan produk hortikultura dalam jumlah besar. Ayat (2) Yang dimaksudkan adalah setiap pasar tradisional maupun pasar modern harus memiliki los/bagian untuk produk hortikultura. Ayat (3) Yang dimaksud dengan pasar tani adalah pasar temporer yang diselenggarakan di lapangan terbuka atau dalam bangunan yang mudah didatangi oleh konsumen untuk bertransaksi langsung dengan produsen.
69
c. pangsa pasar; dan
d. wisata agro.
2. Promosi pada ayat (1) dilakukan di dalam negeri dan di
luar negeri.
BAB XI
MANAJEMEN KELEMBAGAAN
Pasal 87
(1) Pemerintah menyelenggarakan lembaga yang mengurus
hortikultura yang diurus oleh seorang pejabat setingkat
minimal eselon satu.
(2) Setiap pemerintah daerah harus memiliki dinas hortikultura
(3) Setiap kecamatan harus memiliki lembaga penyuluhan
hortikultura.
(4) Setiap kelurahan/desa di kawasan hortikultura harus
Huruf g
70
mempunyai pusat informasi hortikultura.
Pasal 88
(1) Pelaku usaha dianjurkan membentuk organisasi yang dilandasi dengan semangat dan minat yang sama.
(2) Organisasi pada ayat (1) dibagi berdasarkan kelompok:
a. komoditas
b. segmen usaha
c. profesi
(3) Organisasi pada ayat (1) harus berbadan hukum dengan
visi dan misi yang terkait pada hortikultura.
(4) Organisasi pada ayat (2) wajib mendaftar ke lembaga
pemerintah yang ditunjuk untuk mengurus organisasi
pelaku usaha hortikultura.
(5) Organisasi tersebut pada ayat (3) wajib memberikan
laporan tahunan tentang kegiatannya.
71
Pasal 89
Klasifikasi organisasi adalah sebagai berikut:
a. Organisasi nasional
b. Organisasi regional
c. Organisasi lokal
Pasal 90
(1) Dewan Hortikultura Nasional adalah badan
permusyawaratan dari seluruh organisasi nasional
sebagaimana dimaksud pada Pasal 89 ayat (1).
(2) Lembaga Pembiayaan Hortikultura Nasional adalah
lembaga yang mengurus pengelolaan dana iuran
pembangunan hortikultura (IPH).
Pasal 91
72
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan fasilitas
untuk pembentukan dan pengembangan organisasi-
organisasi tersebut.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah membina kegiatan
organisasi-organisasi tersebut.
Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi pelaku usaha
hortikultura, Dewan Hortikultura Nasional dan Lembaga
Pembiayaan Hortikultura Nasional diatur dengan Peraturan
Menteri.
BAB XII
73
PELIBATAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 93
(1) Masyarakat adalah subjek dari hortikultura.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah dan pelaku usaha
menyusun dan mengimplementasikan program yang
melibatkan masyarakat.
(3) Masyarakat wajib menjalankan program yang sudah
disepakati bersama.
Pasal 94
(1) Peran serta masyarakat berupa usulan, tanggapan,
keberatan dan saran.
(2) Penyampaian dari ayat (1) dilakukan melalui organisasi.
Pasal 93 Ayat (1)
Usulan disampaikan pada tahap perencanaan.
Tanggapan disampaikan pada tahap penetapan perencanaan,
Keberatan disampaikan pada tahap pelaksanaan.
Saran disampaikan pada tahap pengawasan.
.
74
BAB XIII
PENELITIAN
Pasal 95
(1) Penelitian hortikultura wajib diselenggarakan.
(2) Kewajiban pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat, baik
secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama.
Pasal 96
(1) Kegiatan penelitian dapat dilakukan di dalam dan di luar
negeri di semua bidang hortikultura.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi
pembangunan dan pengembangan hortikultura Indonesia.
Pasal 97
pasal 95
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan masyarakat antara lain adalah lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian swasta.
75
(1) Orang perseorangan dan/atau badan hukum asing yang
melakukan penelitian hortikultura di Indonesia wajib
mendapatkan izin dari Menteri terkait sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Orang perseorangan dan/atau badan hukum asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan
penelitian harus bekerja sama dengan peneliti atau
lembaga penelitian dalam negeri.
Pasal 98
Kerjasama penelitian dengan orang perseorangan dan/atau
badan hukum asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat
(2) dapat dilakukan apabila ada transfer teknologi dan
pengetahuan dalam kegiatan penelitian.
Pasal 99
(1) Hasil penelitian yang dilakukan orang perseorangan
dan/atau badan hukum asing di Indonesia adalah milik
bersama dengan mitra kerjasamanya dan pemerintah.
76
(2) Laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib diserahkan kepada Menteri.
(3) Pengeluaran, penggunaan dan publikasi hasil penelitian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan
persetujuan tertulis dari Menteri.
Pasal 100
Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan/atau
masyarakat mengembangkan kerja sama antara lembaga
penelitian hortikultura di dalam dan di luar negeri.
Pasal 101
Pemerintah memberikan perlindungan terhadap hak atas
kekayaan intelektual di bidang hortikultura sesuai peraturan
perundang-undangan.
Pasal 102
77
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah wajib
memberikan insentif bagi penelitian hortikultura yang dapat
bermanfaat besar.
(2) Insentif hanya diperuntukkan bagi orang perseorangan
atau badan hukum dalam negeri.
(3) Insentif pada ayat (1) diberikan melalui program penelitian
unggulan nasional dan/atau daerah.
(4) Bentuk dan besarnya Insentif yang diberikan sebagaimana
dimaksudkan pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.
BAB XIV
TUGAS DAN WEWENANG
Pasal 103
(1) Dalam penyelenggaraan hortikultura Pemerintah bertugas
dan berwenang :
78
a. menetapkan kebijakan nasional hortikultura
b. menyusun norma, standar, prosedur dan kriteria di
bidang hortikultura;
c. merencanakan dan menetapkan kawasan hortikultura;
d. mendaftar dan mendokumentasikan materi genetika
hortikultura;
e. mengembangkan SDM hortikultura;
f. membangun prasarana hortikultura;
g. memberikan informasi pasar;
h. memberikan fasilitasi untuk meningkatkan mutu
produk;
i. memberikan insentif bagi pelaku usaha;
j. menetapkan standar, melakukan akreditasi atas
kelayakan, dan pengawasan terhadap pengolahan
hortikultura;
k. memfasilitasi organisasi pelaku usaha hortikultura;
l. memfasilitasi distribusi produk hortikultura;
m. melindungi produsen hortikultura dari pungutan;
n. menyelenggarakan penelitian;
o. menetapkan rencana alokasi dan hak guna pakai air;
p. mengembangkan kerjasama antar lembaga penelitian;
79
q. melakukan pengawasan terhadap kegiatan hortikultura;
(2) Dalam penyelenggaraan hortikultura pemerintah daerah
berwenang :
a. menerbitkan izin usaha perkebunan menengah
hortikultura;
b. membangun sistem dan prasarana hortikultura;
c. memberikan informasi pasar;
d. merencanakan dan menetapkan kawasan hortikultura;
e. memberikan fasilitasi untuk meningkatkan mutu
produk;
f. memberikan insentif bagi pelaku usaha;
g. memfasilitasi asosiasi usaha hortikultura;
h. memfasilitasi distribusi produk hortikultura;
i. melindungi produsen hortikultura dari pungutan;
j. menyelenggarakan penelitian
k. mengembangkan kerjasama antar lembaga penelitian;
l. menetapkan rencana alokasi dan hak guna pakai air;
m. melakukan pengawasan terhadap kegiatan hortikultura.
BAB XV
80
PENGAWASAN
Pasal 104
(1) Pemerintah pemerintah daerah, dan/atau masyarakat
melakukan pengawasan terhadap hortikultura, antara lain
dalam:
a. perencanaan; b. pewilayahan; c. pemanfaatan sumberdaya alam; d. pengembangan sumberdaya manusia; e. pengadaan sumberdaya buatan; f. peningkatan konsumsi; g. pembinaan usaha; h. penataan perniagaan; i. manajemen kelembagaan; j. pelibatan peran serta masyarakat; k. penelitian;
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara berjenjang oleh Pemerintah,
pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota sesuai kewenangannya.
81
Pasal 105
Pemerintah menetapkan pedoman dalam melakukan
pengawasan pada Pasal 104 ayat (1).
Pasal 106
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dapat
dilakukan melalui:
a. pelaporan;
b. pemantauan;
c. evaluasi;
Pasal 107
(1) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada Pasal 106 huruf a
meliputi kinerja perencanaan, pemanfaatan, pengadaan,
pelaksanaan, pengembangan, penataan, manajemen,
pelibatan peran masyarakat, penelitian.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses
secara terbuka oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan
82
peraturan perundang-undangan.
Pasal 108
(1) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 huruf b dan huruf c dilakukan dengan
mengamati dan memeriksa laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dengan pelaksanaan
di lapangan.
(2) Apabila hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terbukti terjadi penyimpangan,
Pemerintah wajib mengambil langkah penyelesaian sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 109 Hasil pengawasan dapat dijadikan acuan bagi perencanaan
periode berikutnya.
Pasal 110
(1) Pemerintah mengawasi peredaran dan penggunaan
83
sarana produksi dan teknologi hortikultura pada ayat (1)
(2) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
menyelenggarakan pengawasan standar mutu produk dan
jasa hortikultura.
(3) Petunjuk pelaksanaan pengawasan standar mutu produk
dan jasa hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Pemerintah.
BAB XVI
PENYIDIKAN
Pasal 111
(1) Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia,
juga pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang hortikultura, dapat diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana
84
di bidang hortikultura.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
hortikultura;
b. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk
didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai
saksi dalam tindak pidana di bidang hortikultura;
c. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti
tindak pidana di bidang hortikultura;
d. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
hortikultura;
e. membuat dan menandatangani berita acara;
f. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup
bukti tentang adanya tindak pidana di bidang
hortikultura.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan
85
penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik
pejabat polisi negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB XVII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 112
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam dalam Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (2), Pasal 31 ayat (2) dan
,ayat (3), Pasal 36 ayat (2) sampai dengan ayat (5), Pasal
40 ayat (1), Pasal 42, Pasal 44 ayat (5), Pasal 47 ayat (1),
Pasal 49 ayat (2) sampai dengan (4), Pasal 51 ayat (1),
Pasal 53 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 57 ayat (2), Pasal 59 ayat (1) sampai
dengan ayat (3), Pasal 60, Pasal 61 ayat (3), Pasal 62
86
ayat (3) dan ayat (4), Pasal 65, Pasal 66 ayat (2), Pasal
67 ayat (2), Pasal 68 ayat (4), Pasal 72 ayat (1), Pasal 73,
Pasal 75, Pasal 77 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 78 ayat
(1), Pasal 79, Pasal 80 ayat (2), Pasal 85, Pasal 87 ayat
(2) sampai dengan ayat (4), Pasal 88 ayat (4) dan ayat (5),
Pasal 97 ayat (4), Pasal 98, dan Pasal 99 ayat (2) dikenai
sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penutupan usaha;
d. pencabutan izin;
e. penarikan produk dari peredaran; dan/atau
f. denda administratif.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi,
besarnya denda, dan mekanisme pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
87
BAB XVIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 113
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan
hortikultura didalam kawasan konservasi, terkecuali untuk
kegiatan penelitian atau konservasi, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menebang pohon
induk tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja memperdagangkan
sumberdaya genetik hortikultura yang terancam punah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
88
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
(4) Dalam hal pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3) adalah pejabat, maka pidananya
dapat ditambah dengan sepertiga dari pidana pokok.
Pasal 114
Warga negara asing yang bekerja di Indonesia tanpa izin
sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 115
Setiap produsen, distributor dan pengecer yang tidak dapat
mempertanggungjawabkan persyaratan dan/atau standar mutu
sarana produksi dan/atau teknologi hortikultura yang
diedarkannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
89
Pasal 116
Setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan varietas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dan
mengakibatkan terganggunya kesehatan masyarakat dan/atau
kelestarian fungsi lingkungan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 117
Setiap pelaku usaha budidaya hortikultura yang dengan sengaja
melakukan budidaya jenis tanaman yang merugikan kesehatan
masyarakat dan/atau kelestarian fungsi lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
90
Pasal 118
Setiap orang yang dengan sengaja mengekspor produk
hortikultura dari varietas yang tidak terdaftar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 119
Setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan produk
hortikultura segar tertentu asal impor yang sudah melebihi masa
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 120
Setiap orang yang dengan sengaja mengimpor produk
hortikultura diluar pelabuhan tertentu dan/atau pada masa
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dipidana dengan
91
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 121
Setiap importir yang dengan sengaja tidak membayar iuran
pembangunan hortikultura (IPH) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 83 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal 122
Setiap orang perseorangan dan/atau badan hukum asing yang
dengan sengaja melakukan penelitian tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
92
Pasal 123
Setiap orang yang dengan sengaja mengeluarkan dari dan/atau
mempublikasikan dan/atau menggunakan hasil penelitian yang
dilakukan oleh orang perseorangan dan/atau badan hukum asing
di Indonesia tanpa persetujuan tertulis dari Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
93
.
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 124
Peraturan pelaksana Undang-Undang ini harus telah ditetapkan
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal 125
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
94
Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal …
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ....NOMOR ..../21/12/09