Draft RPP Gabungan B3-LB3-Dumping(14 Okt2011) Penjelasan Edited by Tim Teknis

download Draft RPP Gabungan B3-LB3-Dumping(14 Okt2011) Penjelasan Edited by Tim Teknis

of 43

Transcript of Draft RPP Gabungan B3-LB3-Dumping(14 Okt2011) Penjelasan Edited by Tim Teknis

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN, PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN, DAN DUMPING I. UMUM

Meningkatnya kegiatan pembangunan di Indonesia dapat mendorong peningkatan penggunaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di berbagai sektor seperti industri, pertambangan, pertanian dan kesehatan. B3 tersebut dapat berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri (impor). B3 yang dihasilkan dari dalam negeri, juga ada yang diekspor ke suatu negara tertentu. Proses impor dan ekspor ini semakin mudah untuk dilakukan dengan masuknya era globalisasi. Selama empat dekade terakhir, penggunaan dan jumlah B3 di Indonesia semakin meningkat. Penggunaan B3 yang terus meningkat dan tersebar luas di semua sektor apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik, maka akan dapat menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, mahluk hidup lainnya dan lingkungan hidup, seperti pencemaran udara, pencemaran tanah, pencemaran air, dan pencemaran laut. Agar pengelolaan B3 tidak mencemari lingkungan hidup dan untuk mencapai derajat keamanan yang tinggi, dengan berpijak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kualitas hidup manusia, maka diperlukan peningkatan upaya pengelolaannya dengan lebih baik dan terpadu. B3 yang dihasilkan dan/atau dipergunakan di berbagai sektor kegiatan yang telah menjadi limbah wajib dilakukan pengelolaan sesuai kaidah dan prinsip pengelolaan limbah B3 yaitu melakukan minimisasi limbah B3, melakukan pengelolaan sedekat mungkin dengan sumber limbah B3, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 bertanggung jawab terhadap limbah B3, dan pengelolaan limbah B3 dilakukan dari sumber sampai ke penimbunan (from cradle to grave). Limbah B3 yang dibuang langsung ke dalam lingkungan dapat menimbulkan bahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Mengingat risiko tersebut, perlu diupayakan agar setiap kegiatan menghasilkan limbah B3 seminimal mungkin dan mencegah masuknya limbah B3 dari luar wilayah Indonesia. Peran Pemerintah Indonesia dalam pengawasan perpindahan lintas batas limbah B3 tersebut telah dilakukan melalui ratifikasi Konvensi Basel pada tanggal 12 Juli 1993 dengan Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1993.

45

Hierarki pengelolaan limbah B3 dimaksudkan agar limbah B3 yang dihasilkan masing-masing unit produksi sesedikit mungkin dan bahkan diusahakan sampai nol, dengan mengupayakan reduksi pada sumber dengan pengolahan bahan, substitusi bahan, pengaturan operasi kegiatan, dan digunakannya teknologi bersih. Bilamana masih dihasilkan limbah B3 maka diupayakan pemanfaatan limbah B3. Pemanfaatan limbah B3 yang mencakup kegiatan daur-ulang (recycling), perolehan kembali (recovery) dan penggunaan kembali (reuse) merupakan satu mata rantai penting dalam pengelolaan limbah B3. Reuse merupakan penggunaan kembali limbah B3 dengan tujuan yang sama tanpa melalui proses tambahan secara kimia, fisika, biologi, dan/atau secara termal, recycle merupakan mendaur ulang komponen-komponen yang bermanfaat melalui proses tambahan secara kimia, fisika, biologi, dan/atau secara termal yang menghasilkan produk yang sama ataupun produk yang berbeda, dan recovery merupakan perolehan kembali komponen-komponen yang bermanfaat dengan proses kimia, fisika, biologi, dan/ atau secara termal. Dengan teknologi pemanfaatan limbah B3 di satu pihak dapat dikurangi jumlah limbah B3 sehingga biaya pengolahan limbah B3 juga dapat ditekan dan di lain pihak akan dapat meningkatkan kemanfaatan bahan baku. Hal ini pada gilirannya akan mengurangi kecepatan pengurasan sumber daya alam. Untuk menghilangkan atau mengurangi risiko yang dapat ditimbulkan dari limbah B3 yang dihasilkan maka limbah B3 yang telah dihasilkan perlu dikelola secara khusus. Kebijakan pengelolaan B3 yang ada saat ini masih diselenggarakan secara parsial oleh berbagai instansi terkait, sehingga dalam penerapannya masih banyak menemukan kendala. Di samping itu, pengelolaan B3, limbah B3 dan dumping belum dilakukan dalam bentuk pengaturan yang terpadu sementara B3 atau limbah B3 dapat menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, mahluk hidup lainnya dan lingkungan hidup apabila tidak dilakukan pengelolaan dengan benar. Oleh karena itu, maka semakin disadari perlunya Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan B3, Pengelolaan Limbah B3, dan Dumping yang secara terpadu mengatur kegiatan produksi, penyimpanan, pengemasan, pemberian simbol dan label, pengangkutan, penggunaan, impor, ekspor dan pembuangannya untuk B3 serta penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, pemanfaatan, dan penimbunan untuk limbah B3. Pentingnya penyusunan Peraturan Pemerintah ini secara tegas juga disebutkan dalam Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan dan sebagai pelaksanaan dari Pasal 58 ayat (2), Pasal 59 ayat (7), dan Pasal 61 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

46

Pengelolaan limbah B3 merupakan suatu rangkaian kegiatan yang mencakup penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, dan pengolahan limbah B3 termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut. Dalam rangkaian kegiatan tersebut terkait beberapa pihak yang masing-masing merupakan mata rantai dalam pengelolaan limbah B3, yaitu: a. Penghasil Limbah B3; b. Pengumpul Limbah B3; c. Pengangkut Limbah B3; d. Pemanfaat Limbah B3; e. Pengolah Limbah B3; dan f. Penimbun Limbah B3. Dengan pengolahan limbah sebagaimana tersebut di atas, maka mata rantai siklus perjalanan limbah B3 sejak dihasilkan oleh penghasil limbah B3 sampai penimbunan akhir oleh pengolah limbah B3 dapat diawasi. Setiap mata rantai perlu diatur, sedangkan perjalanan limbah B3 dikendalikan dengan sistem manifest berupa dokumen limbah B3. Dengan sistem manifest dapat diketahui berapa jumlah B3 yang dihasilkan dan berapa yang telah dimasukkan ke dalam proses pengolahan dan penimbunan tahap akhir yang telah memiliki persyaratan lingkungan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Bahan kimia tunggal adalah bahan kimia yang terdiri satu jenis bahan kimia. Bahan kimia campuran adalah campuran atau gabungan dua atau lebih bahan kimia yang masing-masing tetap mempertahankan karakteristiknya. Bahan kimia preparat adalah sediaan bahan kimia yang digunakan untuk produk yang berbasis bahan kimia. (bahan kimia yang telah mengalami perlakuan untuk menghasilkan produk bahan kimia).

47

Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat( 3) Pelaporan ditujukan sebagai dasar pengawasan pengelolaan B3 dan inventarisasi peredaran B3. Pasal 6 Yang dimaksud pencegahan penggunaan B3 yaitu prinsip kehati-hatian oleh pengelola B3 seperti produsen, distributor, importir B3. Pengelola B3 wajib mengetahui peruntukan penggunaan B3 sehingga apabila penggunaan B3 tidak sesuai dengan peruntukannya dan/atau dapat diduga mengganggu kesehatan dan/atau pencemaran lingkungan, pengelola B3 wajib menahan proses pemindahan hak atas B3 atau melarang penggunaannya. Sebagai contoh, B3 jenis formalin dapat dicegah atau dilarang penggunaanya untuk pengawetan makanan dan minuman. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Yang dimaksud dengan membuang limbah B3 secara langsung ke tanah, air atau udara adalah pembuangan limbah B3 tanpa memenuhi persyaratan pengelolaan limbah B3 dan memiliki izin. Ketentuan ini dimaksudkan agar limbah B3 yang dihasilkan dapat dikelola dengan baik sehingga tidak berbahaya dan/atau beracun lagi terhadap kesehatan manusia dan/atau lingkungan hidup. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pencampuran yaitu pencampuran limbah B3 dengan media lingkungan, bahan, limbah, dan/atau limbah B3 lainnya. Termasuk kegiatan pencampuran yaitu melakukan pengenceran dengan menambahkan cairan atau zat lainnya pada limbah B3 sehingga konsentrasi zat racun dan/atau tingkat bahayanya turun. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Pengelolaan limbah radio aktif dilakukan oleh instansi yang berwenang di bidang radioaktif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 48

Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) a. Bahaya fisik 1. Bahan eksplosif adalah zat padat atau cair atau campurannya yang mampu menghasilkan gas melalui reaksi kimia pada suhu dan tekanan yang segera dapat menyebabkan kerusakan terhadap sekelilingnya. 2. Gas mudah menyala adalah gas yang mempunyai rentang nyala (flammable range) jika bercampur dengan udara pada suhu 20oC dan tekanan 101,3 kilo Pascal (kPa) atau 1 atmosfer (atm). 3. Aerosol mudah menyala adalah gas yang ditekan, dicairkan atau larut dalam wadah bertekanan yang terbuat dari logam, kaca atau plastik, baik yang mengandung cairan, pasta atau serbuk Klasifikasi didasarkan pada: Konsentrasi dari komponen mudah terbakar Panas kimia pembakaran (terutama untuk pengangkutan/penyimpanan) Hasil dari uji buih (aerosol buih) (terutama untuk pekerja/konsumen) Uji jarak pembakaran (aerosol semprot) (terutama untuk pekerja/konsumen) Aerosol termasuk sebagai: Tidak mudah terbakar, jika konsentrasi dari komponen mudah terbakarnya 1% dan panas pembakarannya < 20 kJ/gr. Sangat mudah sekali terbakar, jika konsentrasi komponen mudah terbakarnya > 85% dan panas pembakarannya 30 kJ/gr untuk menghindari pengujian yang berlebih. 4. Cairan mudah menyala (terbakar) adalah cairan yang memiliki titik nyala lebih kecil atau sama dengan 930C pada

49

tekanan 1 atm, kategori tingkat cairan mudah menyala (terbakar) dapat dilihat dalam table berikut: Kategori 1 2 3 4 Tabel 1. Cairan Mudah Terbakar Kriteria Titik nyala < 230C dan titik didih awal 350C (950F) Titik nyala < 230C dan titik didih awal > 350C (950F) Titik nyala 230C dan titik didih awal 600C (1400F) Titik nyala 600C (1400F) dan 930C (2000F)

5. Padatan mudah menyala adalah padatan yang mudah terbakar, atau dapat menyebabkan atau menimbulkan kebakaran akibat suatu gesekan atau ketika kontak singkat dengan sumber panas. Tabel 2. Padatan Mudah Menyala (terbakar) Ketegori Kriteria 1 Uji laju pembakaran: Bahan atau campuran selain serbuk logam: a. zona basah tidak menghentikan api b. waktu pembakaran < 45 detik atau laju pembakaran > 2,2 mm/detik. Serbuk logam: waktu pembakaran 5 menit 2 Uji laju pembakaran: Bahan atau campuran selain serbuk logam: a. zona basah tidak menghentikan api paling tidak selama 4 menit b. waktu pembakaran < 45 detik atau laju pembakaran >2,2 mm/detik. Serbuk logam: waktu pembakaran > 5 menit dan 10 menit 6. Bahan atau campuran yang jika kontak dengan air, mengemisikan gas mudah terbakar adalah padatan atau cairan yang mampu menjadi mudah terbakar secara spontan atau mengeluarkan gas mudah terbakar dalam jumlah yang membahayakan saat berinteraksi dengan air. Tabel 3. Senyawa yang menghasilkan gas yang mudah terbakar jika kontak dengan air Kategori Kriteria 1 10 L/kg/1 menit

50

Kategori 2 3 Tidak terklasifikasi

Kriteria 20 L/kg/1 jam + (dan/atau) < 10 L/kg/1 menit 1 L/kg/1 jam + (dan/atau) < 20 L/kg/1 jam < 1 L/kg/1 jam

7. Bahan atau campuran swapanas adalah padatan atau cairan yang mampu menghasilkan panas karena bereaksi dengan udara dan tanpa suplai energi. Perbedaannya dengan senyawa piroforik adalah dalam hal kemampuan menyala yang hanya terjadi dalam jumlah yang besar (kg) dan setelah selang waktu yang panjang (jam atau hari). 8. Gas oksidator adalah gas yang secara umum dapat menyediakan oksigen, menyebabkan atau berperan terhadap terjadinya pembakaran suatu material/bahan lain dan mempunyai kemampuan bakar yang lebih besar dibandingkan dengan udara. 9. Cairan oksidator adalah cairan yang tanpa cairan tersebut bersifat mudah terbakar, umumnya dapat menyediakan oksigen, menyebabkan atau berperan terhadap terjadinya kebakaran material lain. Cairan oksidator adalah cairan yang tidak mudah terbakar, umumnya dapat menghasilkan oksigen, menyebabkan atau berperan dalam pembakaran material/bahan lain. 10. Padatan oksidator adalah padatan yang tidak mudah terbakar, umumnya dapat menghasilkan oksigen, menyebabkan atau berperan dalam pembakaran material/bahan lain. 11. Peroksida organik adalah cairan atau padatan organik atau berupa campurannya dengan zat lain, dan memiliki struktur bivalen O-O dianggap sebagai turunan hidrogen peroksida, yang salah satu atau kedua atom hidrogennya diganti oleh radikal organik dan memiliki salah satu atau lebih sifat-sifat berikut: (a) mudah meledak; (b) mudah terbakar; (c) rentan terhadap getaran atau gesekan; dan/atau (d) sangat reaktif dengan senyawa lain.

51

Jenis A B

C

D

E

F

G

Table 4. Peroksida Organik Kriteria Dapat meledak dengan cepat dalam kemasannya. Memiliki sifat eksplosif dan tidak meledak dalam kemasannya tapi dapat mengalami ledakan dalam kemasannya karena pengaruh termal. Memiliki sifat eksplosif dalam kemasannya dan tidak dapat meledak secara cepat atau tidak mengalami ledakan karena pengaruh termal. Meledak secara parsial, tidak deflagrate dengan cepat dan tidak memperlihatkan efek yang keras ketika dipanaskan di bawah batasan, atau Tidak meledak sama sekali, deflagrate perlahan dan memperlihatkan efek keras ketika dipanaskan di bawah batasan, atau Tidak meledak atau deflagrate sama sekali dan memperlihatkan efek menengah ketika dipanaskan di bawah batasan. Tidak meledak atau deflagrate sama sekali dan memperlihatkan efek yang rendah atau bahkan tidak ada efeknya ketika dipanaskan di bawah batasan. Tidak meledak pada keadaan gelembung terkavitasi, juga tidak deflagrate sama sekali dan hanya memperlihatkan efek yang rendah atau bahkan tidak ada ketika dipanaskan di bawah batasan seperti halnya eksplosif kekuatan rendah atau tidak eksplosif. Tidak meledak pada keadaan terkavitasi, juga tidak deflagrate sama sekali dan tidak memperlihatkan efek ketika dipanaskan di bawah batasan, juga tidak memperlihatkan kekuatan eksplosif apapun, yang termasuk stabil dari segi termal (suhu percepatan dekomposisinya 60C-75C untuk kemasan 50 kg) dan untuk campuran cair, diluen yang memiliki titik didih tidak kurang dari 150C digunakan untuk desensitisasi.

52

12. Bahan dan campuran Swareaktif adalah padatan atau cairan yang tidak stabil secara termal yang mampu mengalami dekomposisi termal eksotermik yang kuat meskipun tanpa bantuan oksigen (udara). Definisi ini tidak termasuk bahan-bahan eksplosif, peroksida organik atau sebagai oksidator yang diklasifikasikan yang sesuai dengan kriteria GHS. Zat swareaktif dianggap bersifat mudah meledak juga pada saat diuji di laboratorium formulasinya dapat memicu ledakan, meledak secara cepat atau menunjukan efek yang merusak jika dipanaskan dalam suatu wadah yang kecil/sempit/terbatas. Kriteria Klasifikasi: Zat yang bersifat eksplosif, padatan atau cairan oksidator, peroksida organik yang panas penguraiannya kurang dari 300 J/gr atau suhu percepatan penguraiannya lebih besar dari 750C untuk kemasan 50 (lima puluh) kilogram tidak termasuk zat swareaktif, kecuali campuran zat-zat oksidator yang mengandung bahan organik mudah terbakar 5 (lima) persen atau lebih. Jenis A B C Tabel 5. Bahan Swareaktif Kriteria Dapat meledak dengan cepat seperti kemasannya. Memiliki sifat eksplosif dan tidak meledak seperti kemasannya tapi mampu mengalami ledakan termal dalam kemasannya. Memiliki sifat eksplosif ketika senyawa atau campuran, sesuai kemasannya, tidak dapat meledak dengan cepat atau mengalami ledakan termal. Meledak secara parsial, tidak deflagrate dengan cepat dan tidak memperlihatkan efek yang keras ketika dipanaskan di bawah batasan, atau Tidak meledak sama sekali, deflagrate perlahan dan memperlihatkan efek keras ketika dipanaskan di bawah batasan, atau Tidak meledak atau deflagrate sama sekali dan memperlihatkan efek menengah ketika dipanaskan di bawah batasan.

D

53

Jenis E

F

G

Kriteria Tidak meledak atau deflagrate sama sekali dan memperlihatkan efek yang rendah atau bahkan tidak ada efeknya ketika dipanaskan di bawah batasan. Tidak meledak pada keadaan gelembung terkavitasi, juga tidak deflagrate sama sekali dan hanya memperlihatkan efek yang rendah atau bahkan tidak ada ketika dipanaskan di bawah batasan seperti halnya eksplosif kekuatan rendah atau tidak eksplosif. Tidak meledak pada keadaan terkavitasi, juga tidak deflagrate sama sekali dan tidak memperlihatkan efek ketika dipanaskan di bawah batasan, juga tidak memperlihatkan kekuatan eksplosif apapun, yang termasuk stabil dari segi termal (suhu percepatan dekomposisinya 60C-75C untuk kemasan 50 kg) dan untuk campuran cair, diluen yang memiliki titik didih tidak kurang dari 150C digunakan untuk desensitisasi.

13. Cairan piroforik adalah cairan yang walaupun jumlahnya sedikit, mampu menyala dalam 5 (lima) menit setelah kontak dengan udara. Contoh cairan piroforik: Boran Triethyl [B(C2H5)3]. 14. Padatan pirofirik adalah padatan yang walaupun jumlahnya sedikit, mampu menyala dalam 5 menit setelah kontak dengan udara. Contoh padatan piroforik: Li(CH3), Zn(CH3)2, B(CH3)3 dan Al2(CH3)6. 15. Gas bertekanan adalah gas yang dikemas dalam wadah pada tekanan 200 kPa atau lebih, atau sebagai cairan yang didinginkan. Gas tersebut terdiri atas gas bertekanan, gas dicairkan, gas terlarut dan gas cair yang didinginkan. Tabel 6. Gas bertekanan Kelompok Kriteria Gas Gas yang ketika dikemas bertekanan bertekanan/ seluruhnya tetap sebagai gas pada termampatkan 50C, termasuk semua gas yang suhu

54

Kelompok Gas dicairkan

Kriteria kritis -50C Gas yang ketika dikemas di bawah tekanan, sebagian berupa cairan pada suhu di atas -50C. suatu perbedaan dibuat antara: Gas dicairkan bertekanan tinggi; gas dengan suhu kritis*) antara -50C dan +65C Gas dicairkan bertekanan rendah; gas dengan suhu kritis di atas +65C. Gas yang ketika dikemas menjadi cair sebagian karena suhu rendah Gas yang ketika dikemas di bawah tekanan, terlarut dalam pelarut fasa cair

Gas cair didinginkan Gas terlarut

Keterangan: *) Suhu kritis adalah suhu ketika suatu gas murni tidak dapat dicairkan pada tingkat kompresi (tekanan) berapapun. 16. Bahan atau campuran yang dapat menyebabkan korosif pada logam adalah bahan atau suatu campuran yang dapat menyebabkan kerusakan atau bahkan menghancurkan logam. b. Bahaya terhadap kesehatan: 1. Toksisitas Akut: Toksisitas akut mengacu pada efek merugikan yang terjadi akibat paparan dosis tunggal atau berulang suatu zat melalui rute atau paparan oral, kontak dengan kulit dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam, atau terhirup selama 4 (empat) jam. Kriteria klasifikasi untuk senyawa: Senyawa-senyawa dapat dikelompokkan kedalam salah satu dari lima kategori toksisitas berdasarkan toksisitas akut oleh rute oral, dermal atau inhalasi sesuai dengan kriteria numeric cut-off seperti terlihat pada tabel di bawah. Nilai toksisitas akut diekspresikan sebagai (kurang lebih) LD50 (oral, dermal) atau nilai LC50 (inhalasi) atau sebagai estimasi toksisitas akut (ATE).

55

Tabel 7. Kategori bahaya toksisitas akut dan nilai estimasi toksisitas akut untuk menentukan kategori tersebut Jalur paparan Oral (mg/kg berat badan) Dermal (mg/kg berat badan) Gas (ppmV) Lihat catatan a, b dan c Uap (mg/L) Debu dan kabut (mg/L) Lihat catatan a, b, c dan f Kategori 1 Kategori 2 Kategori 3 Kategori 4 Kategori 5 5 50 100 0,5 0,05 50 200 500 2,0 0,5 300 1000 2500 10 1,0 2000 2000 20000 20 5 5000

Catatan: Konsentrasi gas dinyatakan dalam parts per million per volume (ppmV) Catatan Tabel 7: a. Estimasi toksisitas akut (ATE) untuk klasifikasi senyawa diturunkan menggunakan LD50/LC50 yang tersedia. b. Estimasi toksisitas akut (ATE) untuk senyawa dalam campuran diturunkan menggunakan LD50/LC50 yang tersedia. c. Nilai Inhalation cut-off dalam tabel adalah berdasarkan pengujian paparan selama 4 (empat) jam. Konversi dari data toksisitas inhalasi terdahulu yang dikembangkan dari paparan selama 1 (satu) jam sewajibnya dibagi dengan faktor 2 (dua) untuk gas dan uap serta faktor 4 (empat) untuk debu dan kabut. 2. Korosi Kulit/Iritasi Korosi kulit adalah timbulnya kerusakan pada kulit yang tidak dapat pulih kembali (irreversible), yakni nekrosis yang nyata pada epidermis dan kedalam dermis, setelah pemaparan zat uji selama 4 (empat) jam. Reaksi korosif ditandai dengan luka, pendarahan, koreng berdarah dan pada akhir observasi yaitu hari ke 14 (empat belas) terjadi perubahan warna akibat pemucatan kulit, kebotakan pada seluruh area dan bekas luka (luka parut). Histopatologi wajib dipertimbangkan untuk mengevalusi lesi yang terjadi.

56

3.

4.

5.

6.

7.

Iritasi kulit adalah timbulnya kerusakan pada kulit yang dapat pulih kembali (reversible) setelah pemaparan zat uji selama 4 (empat) jam. Kerusakan Mata Serius/Iritasi Mata Kerusakan serius pada mata adalah timbulnya kerusakan jaringan pada mata atau penurunan daya penglihatan yang serius, setelah pemberian atau pemaparan zat uji pada permukaan luar dari mata, yang tidak pulih sepenuhnya seperti semula dalam 21 (dua puluh satu) hari setelah pemaparan. Iritasi mata adalah timbulnya perubahan pada mata setelah pemberian atau pemaparan zat uji pada permukaan luar dari mata, yang pulih sepenuhnya seperti semula dalam 21 (dua puluh satu) hari setelah pemaparan. Sensitifitas Pernafasan atau kulit Pensensitasi saluran pernapasan adalah suatu zat kimia yang akan menyebabkan hipersensitifitas pada jalur pernapasan setelah inhalasi. Pensensitasi kulit adalah suatu zat kimia yang akan menyebabkan respon alergi setelah kontak dengan kulit. Mutagenitas Sel Induk Kelas bahaya ini utamanya mengenai bahan kimia yang dapat menyebabkan mutasi sel induk pada manusia yang dapat diwariskan pada keturunannya. uji mutagenitas atau genotoksisitas dapat dilakukan secara in vitro dan in vivo. Karsinogenitas Karsinogenitas adalah zat kimia atau campuran dari zat kimia yang menyebabkan kanker atau meningkatkan insidensi munculnya kanker. Zat yang menyebabkan tumor jinak dan ganas pada studi percobaan hewan yang dilakukan dengan baik juga dipertimbangkan untuk dianggap atau diduga sebagai karsinogen terhadap manusia kecuali terdapat bukti kuat bahwa mekanisme pembentukan tumor tidak relevan terhadap manusia. Toksisitas Terhadap Reproduktif Toksisitas terhadap reproduksi mencakup efek merugikan pada fungsi seksual dan kesuburan pada pria dan wanita dewasa dan juga perkembangan toksisitas pada keturunan (anak). Efek induksi yang diketahui dapat diturunkan secara genetik pada keturunannya disebut Germ Sel Mutagenicity, yaitu sistem klasifikasi yang lebih tepat dikategorikan sebagai efek di bawah kelas bahaya terpisah dari sel kuman. Sistem klasifikasi toksisitas reproduksi dibagi menjadi dua bagian utama: (a) efek merugikan pada kapasitas dan kemampuan reproduksi. 57

(b) efek merugikan pada perkembangan keturunan. 8. Toksisitas pada Organ Sasaran Spesifik Setelah Paparan Tunggal Toksisitas pada target organ yang spesifik akibat paparan tunggal adalah klasifikasi zat yang menghasilkan toksisitas pada target organ non letal yang spesifik dari suatu paparan tunggal. Seluruh efek kesehatan yang signifikan dapat merusak fungsi baik yang reversible maupun yang irreversible, efek segera dan/atau efek tertunda, dan efek yang tidak spesifik. 9. Toksisitas pada Organ Sasaran Spesifik Setelah Paparan Berulang Toksisitas pada target organ yang spesifik akibat paparan berulang adalah klasifikasi zat menghasilkan toksisitas pada target organ yang spesifik dari suatu paparan berulang. Seluruh efek kesehatan yang signifikan dapat merusak fungsi baik yang reversible maupun yang irreversible, efek segera dan/atau efek tertunda. 10. Bahaya Aspirasi Bahaya aspirasi adalah masuknya zat kimia cair atau padat secara langsung melalui mulut atau rongga hidung atau secara tidak langsung dari mutahan atau masuk ke dalam trakea atau sistem pernafasan bawah. c. Bahaya Terhadap Lingkungan Akuatik dan Ozon 1. Toksisitas akuatik akut adalah sifat intrinsik suatu zat yang dapat menyebabkan bahaya pada suatu organisme akuatik dalam waktu paparan jangka pendek dari zat tersebut. 2. Bahaya akut adalah bahaya dari suatu zat kimia yang disebabkan oleh toksisitas akut zat tersebut pada organisme akuatik selama jangka waktu paparan yang pendek. 3. Ketersedian suatu zat (availabilitas) adalah ukuran yang menyatakan probabilitas suatu zat akan menjadi spesi yang larut atau terurai. 4. Bioavailabilitas adalah jumlah bahan yang dapat diserap oleh suatu organisme dan didistribusikan ke area tertentu didalam tubuh organisme tersebut. Bioavailabilitas tergantung sifat fisika dan kimia zat, anatomi dan fisiologi organisme, toksikokinetik dan rute paparan. Availabilitas (ketersediaan suatu zat) belum tentu menunjukkan ketersediaan hayati (bioavailabilitas). 5. Bioakumulasi adalah akumulasi dari uptake, transformasi dan eliminasi suatu zat di dalam tubuh suatu organisme melalui semua rute paparan (udara, air, sedimen/tanah dan makanan).

58

6. Biokonsentrasi adalah jumlah dari uptake, transformasi, dan eliminasi suatu zat di dalam tubuh suatu organisme yang disebabkan oleh paparan melalui air. 7. Toksisitas akuatik kronik adalah sifat intrinsik suatu zat untuk menyebabkan efek merugikan pada organisme akuatik selama paparan yang ditentukan dalam hubungannya dengan siklus hidup organisme tersebut. 8. Campuran komplek atau multi komponen atau zat komplek adalah campuran yang terdiri dari campuran majemuk dari zat-zat tunggal yang memiliki kelarutan dan sifat fisik kimia yang berbeda-beda. Dalam kebanyakan kasus campuran kompleks dapat dikarakterisasikan sebagai suatu seri homolog dari zat dengan panjang rantai atom karbon atau derajat substitusi tertentu. 9. Degradasi adalah dekomposisi atau penguraian suatu molekul organik menjadi molekul yang lebih kecil yang akhirnya menjadi karbon dioksida, air dan garam. 10. Bahaya jangka panjang adalah bahaya dari bahan kimia yang disebabkan toksisitas kronik setelah pemamparan jangka panjang di lingkungan akuatik. 11. NOEC (No Observed Effect Concentration) adalah konsentrasi di bawah konsentrasi pengujian terendah yang memberikan efek merugikan yang signifikan secara statistik. Nilai NOEC tidak memberikan efek signifikan jika dibandingkan dengan kontrol. 12. Bahaya terhadap Ozon atau ODP adalah kuantitas integratif yang berbeda nilainya untuk masing-masing jenis Halokarbon, yang menunjukkan tingkat potensi deplesi atau penipisan lapisan ozon di stratosfir dibandingkan dari massa relatif halokarbon terhadap CFC-11. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. 59

Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Limbah B3 dari sumber tidak spesifik adalah limbah B3 yang pada umumnya berasal bukan dari proses utamanya, tetapi berasal dari kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, pencegahan korosi (inhibitor korosi), pelarutan kerak, pengemasan, material yang terkena atau terkontaminasi limbah B3 dan lain-lain. Limbah B3 dari sumber spesifik adalah limbah B3 sisa proses suatu industri atau kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluwarsa, tumpahan, sisa kemasan, atau buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi, karena tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan atau tidak dapat dimanfaatkan kembali, maka suatu produk menjadi limbah B3 yang memerlukan pengelolaan seperti limbah B3 lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk sisa kemasan limbah B3 dan bahan-bahan kimia yang kadaluwarsa. Limbah khusus merupakan limbah B3 dengan pengelolaan khusus karena mengandung B3 dan bersifat racun sub-kronis atau kronis. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan secara langsung limbah B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah ini didasarkan pada kajian ilmiah, referensi dan literatur internasional, dan karakteristik dan/atau sifatnya yang telah diketahui sesuai dengan lembaran data keselamatan/LDK (safety data sheet, SDS). Pasal 19 Ayat (1) Penghasil limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat ini merupakan usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki dokumen lingkungan hidup dan/atau izin. Ayat (2) Huruf a. 1. mudah menyala (ignitable - I) Limbah B3 bersifat mudah menyala adalah limbah yang memiliki salah satu atau lebih sifat-sifat berikut: 60

(a). Limbah berupa cairan yang mengandung alkohol kurang dari 24% volume dan/atau pada titik nyala tidak lebih dari 600C (1400F) akan menyala apabila terjadi kontak dengan api, percikan api atau sumber nyala lain pada tekanan udara 760 mmHg. Pengujian sifat mudah menyala untuk limbah bersifat cair dilakukan menggunakan Seta Closed Tester, Pensky Martens Closed Cup, atau metode lain yang setara dan termutakhir. (b). Limbah yang bukan berupa cairan, yang pada temperatur dan tekanan standar (250C, 760 mmHg) mudah menyala melalui gesekan, penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan dan apabila menyala dapat menyebabkan nyala terus menerus. Sifat ini dapat diketahui secara langsung tanpa harus melalui pengujian di laboratorium. 2. reaktif (reactive - R) Limbah B3 reaktif adalah limbah yang memiliki salah satu atau lebih sifat-sifat berikut: (a). Limbah yang pada keadaan normal tidak stabil dan dapat menyebabkan perubahan tanpa peledakan. Limbah ini secara visual menunjukkan adanya gelembung gas, asap, perubahan warna dan lain-lain; (b). Limbah yang apabila bercampur dengan air berpotensi menimbulkan ledakan, menghasilkan gas, uap atau asap. Sifat ini dapat diketahui secara langsung tanpa melalui pengujian di laboratorium; dan/atau (c). Merupakan limbah sianida, sulfida yang pada kondisi pH antara 2 dan 12,5 dapat menghasilkan gas, uap atau asap beracun. Sifat ini dapat diketahui melalui pengujian limbah yang dilakukan secara kualitatif. 3. infeksius (infectious - X) Limbah B3 bersifat infeksius yaitu limbah medis padat yang terkontaminasi organisme patogen yang tidak secara rutin ada di lingkungan, dan organisme tersebut dalam jumlah dan virulensi yang cukup untuk menularkan penyakit pada manusia rentan. Yang termasuk ke dalam limbah infeksius antara lain: (a). Limbah yang berasal dari perawatan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif) dan limbah laboratorium;

61

(b). Limbah yang berupa benda tajam tajam seperti jarum suntik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, dan lain-lain; (c). Limbah patologi yang merupakan limbah jaringan tubuh yang terbuang dari proses bedah atau autopsi; (d). Limbah yang berasal dari pembiakan dan stok bahan infeksius, organ binatang percobaan, dan bahan lain yang telah diinokulasi, terinfeksi atau kontak dengan bahan yang sangat infeksius; dan/atau (e). Limbah sitotoksik yaitu limbah dari bahan yang terkontaminasi dari persiapan dan pemberian obat sitotoksik untuk kemoterapi kanker yang mempunyai kemampuan membunuh atau menghambat pertumbuhan sel hidup. 4. korosif (corrosive - C) Limbah B3 korosif adalah limbah yang memiliki salah satu atau lebih sifat-sifat berikut: (a). Limbah dengan pH sama atau kurang dari 2 untuk limbah bersifat asam dan sama atau lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa. Sifat korosif dari limbah padat dilakukan dengan mencampurkan limbah dengan air sesuai dengan metode yang berlaku dan jika limbah dengan pH 2 untuk limbah bersifat asam dan pH 12,5 untuk yang bersifat basa; dan/atau (b). Limbah yang menyebabkan tingkat iritasi yang ditandai dengan adanya eritema (kemerahan) dan edema (pembengkakan). Sifat ini dapat diketahui dengan melakukan pengujian pada hewan uji tikus dengan menggunakan metode yang berlaku. 5. beracun (toxic - T) Limbah B3 beracun adalah limbah yang memiliki salah satu atau lebih parameter dengan nilai sama atau lebih besar dari ambang batas konsentrasi maksimum berdasarkan metode uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Pemerintah ini. Uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) untuk identifikasi limbah B3 dapat dilakukan secara langsung (purposive) terhadap parameter kimia/fisika yang dikandung dalam limbah dimaksud.

62

Limbah ditetapkan sebagai limbah B3 apabila satu atau lebih dari uji karakteristik limbah menunjukkan sebagai limbah B3. Uji karakteristik mudah menyala, reaktif, infeksius, korosif, dan/atau beracun dari suatu limbah dapat dilakukan secara tidak berurutan dan ditujukan secara langsung (purposive) terhadap karakteristik limbah dimaksud. Uji karakteristik limbah wajib dilakukan oleh laboratorium yang terakreditasi untuk uji yang dimaksud. Huruf b 1. Limbah diidentifikasi sebagai limbah B3 apabila memiliki nilai sama atau lebih kecil dari: a. LD50 oral dengan nilai 5000 mg/kg berat badan pada hewan uji mencit; b. LC50 (48 jam) dengan nilai 30.000 mg/L pada hewan uji Daphnia sp.; dan/atau c. LC50 (96 jam) dengan nilai 30.000 mg/L pada hewan uji Penaeus monodon, untuk limbah yang berasal dari media air laut dan/atau air payau. Nilai LD50 atau LC50 dihasilkan dari uji toksikologi, yaitu penentuan sifat akut limbah melalui uji hayati untuk mengukur hubungan dosis-respon antara limbah dengan kematian hewan uji. Yang dimaksud dengan LD50 (lethal dose fifty) adalah dosis limbah yang menghasilkan 50% respons kematian pada populasi hewan uji dan yang dimaksud dengan LC50 (lethal concentration fifty) adalah konsentrasi limbah yang menghasilkan 50% respons kematian pada populasi hewan uji. Uji toksikologi untuk identifikasi limbah wajib dilakukan uji LD50 dan LC50. Dalam hal nilai LD50 dan/atau LC50 memenuhi kriteria sebagai limbah B3, limbah dimaksud diidentifikasi sebagai limbah B3. Nilai LD50 dan LC50 diperoleh dari analisis data secara grafis dan/atau statistik terhadap hewan uji. 2. Limbah diidentifikasi sebagai limbah B3 apabila uji toksikologi sub-kronis pada hewan uji mencit selama 3 (tiga) bulan, Daphnia sp., dan/atau Penaeus monodon selama 14 (empat belas) hari menunjukkan sifat racun subkronis, berdasarkan hasil pengamatan terhadap

63

pertumbuhan, akumulasi/biokonsentrasi, studi perilaku (respon antar individu hewan uji), dan/atau histopatologis. 3. Limbah diidentifikasi sebagai limbah B3 apabila uji toksikologi kronis pada: a. hewan uji mencit selama 18 (delapan belas) bulan menunjukkan sifat racun kronis, berdasarkan hasil pengamatan terhadap karsinogenesis, mutagenesis, dan/atau teratogenesis; b. hewan uji Daphnia sp. melalui uji reproduksi selama 21 (dua puluh satu) hari dan pengamatan pertumbuhannya menunjukkan sifat racun kronis; dan/atau c. hewan uji Penaeus monodon melalui uji pertumbuhan selama 21 (dua puluh satu) hari dan pengamatan pertumbuhannya dan histopatologis menunjukkan sifat racun kronis. Uji toksikologi sub-kronis dan kronis menggunakan hewan uji Penaeus monodon dilakukan untuk limbah yang berasal dari media air laut dan/atau air payau. Uji toksikologi sub-kronis dan kronis wajib dilakukan terhadap 2 (dua) jenis hewan uji yaitu mencit dan Daphnia sp. atau mencit dan Penaeus monodon sesuai jenis limbah yang diidentifikasi. Uji toksikologi wajib dilakukan secara berurutan dari akut, sub-kronis, dan kronis dan dilaksanakan oleh laboratorium yang terakreditasi untuk uji yang dimaksud. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Menteri menetapkan suatu limbah sebagai limbah B3 berdasarkan hasil identifikasi dan setelah mendengar serta memperhatikan saran dan pendapat ahli di bidang limbah bersangkutan, ahli di bidang proses industri kegiatan bersangkutan, dan/atau pihak lain yang dianggap perlu. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas.

64

Ayat (2) Menteri menetapkan suatu limbah sebagai limbah non B3 berdasarkan hasil identifikasi dan setelah mendengar serta memperhatikan saran dan pendapat ahli di bidang limbah bersangkutan, ahli di bidang proses industri kegiatan bersangkutan, dan/atau pihak lain yang dianggap perlu. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Delisting limbah B3 sebagaimana diatur dalam ayat ini dilakukan kasus per kasus sesuai pengajuan oleh penghasil limbah B3. Dalam pengajuan delisting limbah B3, penghasil limbah B3 wajib menyampaikan data hasil uji karakteristik (mudah menyala, reaktif, infeksius, korosif, dan/atau beracun berdasarkan uji Toxicity Chacteristic Leaching Procedure, TCLP) dan uji toksikologi (LD50 dan/atau LC50, sub-kronis, dan/atau kronis) limbah B3 dimaksud. Yang dimaksud dengan penghasil limbah B3 dalam ketentuan ini adalah industri yang menghasilkan limbah B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, Tabel 2 Peraturan Pemerintah ini. (2) Cukup jelas. (3) Menteri menetapkan suatu limbah sebagai limbah non B3 berdasarkan hasil identifikasi dan setelah mendengar serta memperhatikan saran dan pendapat ahli di bidang limbah bersangkutan, ahli di bidang proses industri kegiatan bersangkutan, dan/atau pihak lain yang dianggap perlu. (4) Cukup jelas. (5) Ketentuan yang diatur dalam peraturan mengenai tata cara delisting limbah B3 ditujukan hanya untuk pelaksanaan delisting limbah B3.

Ayat Ayat

Ayat Ayat

Pasal 22 Ayat (1) Kewajiban yang diatur dalam ayat ini berlaku bagi penghasil (produsen) yang memproduksi B3 di wilayah NKRI dan/atau distributor dalam negeri terhadap B3 yang diproduksi di luar negeri.

65

Ayat (2) Kewajiban pengelolaan kemasan dan/atau B3 oleh produsen B3 apabila limbah B3 dimaksud tidak dapat dikelola oleh penggunanya. Dalam hal suatu produk mengandung B3 dan telah menjadi limbah seperti lampu TL, batere kering, catridge printer bekas, limbah elektronik dan limbah sejenis lainnya, pengelolaannya dilakukan oleh penghasil produk yang mengandung B3 dimaksud. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) a. Penghasil/produsen B3 melakukan registrasi 1 (satu) kali untuk setiap jenis B3; dan b. Perusahaan pengimpor melakukan registrasi B3 yang diimpor 1 (satu) kali setiap tahun. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Keterangan asal (certicate of origin) adalah negara yang memproduksi jenis B3 tersebut. Ayat (2) Rantai distribusi (supply of chain) adalah rencana peruntukan penggunaan B3. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Jenis B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Tabel 2 Peraturan Pemerintah ini merupakan jenis B3 yang dibatasi penggunaannya. Untuk mengimpor B3 tersebut wajib terlebih 66

dahulu disampaikan notifikasi dari negara eksportir ke negara importir. Negara penerima dapat menolak notifikasi tersebut apabila antara lain penggunaannya tidak jelas dan/atau tidak dilengkapi dengan persyaratan administrasi ekspor impor. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Jenis B3 baru adalah B3 yang baru pertama kali di impor dan belum termasuk dalam lampiran Peraturan Menteri tentang jenis B3 yang dapat digunakan. Jenis B3 baru tersebut tidak merupakan jenis B3 dan/atau tercampur dengan senyawa atau dengan jenis B3 yang terbatas dan/atau terlarang digunakan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Lembaran data keselamatan (LDK) atau Safety Data Sheet (SDS) dapat diperbanyak dengan cara menggandakan LDK sesuai dengan kebutuhan. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. 67

Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Pendaurulangan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan izin pengelolaan limbah B3, apabila pendaurulangan dilakukan oleh produsennya sendiri. Ayat (2) Bila daur ulang dilakukan oleh pihak lain wajib dilengkapi izin pengelolaan limbah B3. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tempat penyimpanan yang sesuai persyaratan adalah suatu tempat tersendiri yang dirancang sesuai dengan karakteristik limbah B3 yang disimpan. Misalnya limbah B3 reaktif (reduktor kuat) tidak dapat dicampur dengan asam mineral pengoksidasi karena dapat menimbulkan panas, gas beracun dan api. Tempat penyimpanan sementara harus dapat menampung jumlah limbah B3 yang akan disimpan untuk sementara. Misalnya suatu kegiatan industri yang menghasilkan limbah B3, harus menyimpan limbah B3 di tempat penyimpanan sementara yang mempunyai kapasitas sesuai dengan kapasitas limbah B3 yang akan disimpan dan memenuhi persyaratan teknis, persyaratan kesehatan, dan perlindungan lingkungan. 68

Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Badan hukum yang tidak berbadan usaha antara lain yayasan yang mengelola rumah sakit, pemerintah yang mengelola rumah sakit dan/atau laboratorium. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Jumlah 50 (lima puluh) kilogram per hari merupakan jumlah kumulatif dari 1 (satu) atau lebih jenis limbah B3. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Konsekuensi dari prinsip bahwa jejak limbah B3 harus diikuti sejak dihasilkan sampai penimbunan akhir, maka penghasil limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan tentang jumlah dan jenis limbah B3 yang dihasilkan dan dikirimkan kepada pengumpul atau pengolah limbah B3, serta pengangkut yang melaksanakan pengangkutannya. Apabila pengangkutan dilakukan oleh penghasil sendiri, ketentuan mengenai catatan nama pengangkut tidak berlaku. Apabila penghasil limbah B3 juga melakukan pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3, maka penghasil limbah B3 harus melaporkan pengelolaan limbah B3-nya. Ayat (2) Penyampaian catatan ini dimaksudkan agar jumlah limbah B3 yang dihasilkan oleh penghasil dapat dipantau oleh Menteri.

69

Dengan diketahuinya jumlah limbah B3 yang dihasilkan, maka akan diketahui peta sumber limbah B3 yang menjadi dasar pengembangan kebijakan pengelolaan limbah B3. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Registrasi limbah B3 dimaksudkan untuk dapat diketahui dengan pasti jumlah limbah B3 yang dihasilkan dari setiap penghasil limbah B3. Registrasi dilakukan terhadap sumber, jumlah, jenis dan karakteristik limbah B3. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Larangan melakukan pemilahan dan/atau pengolahan awal (pretreatment) limbah B3 untuk memastikan tidak ada perubahan terhadap identitas limbah B3 yang dikumpulkan. Ayat (3) Larangan menyerahkan limbah B3 dari pengumpul limbah B3 kepada pengumpul limbah B3 lainnya untuk menjamin ekspor, pemanfataan, pengolahan, dan/atau penimbunan limbah B3 dilakukan sesegera mungkin. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas.

70

Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a. Cukup jelas. Huruf b. Cukup jelas. Huruf c. Asuransi pencemaran lingkungan hidup dapat dikecualikan bagi penghasil limbah B3 yang telah memiliki asuransi yang memiliki pertanggungan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan besaran pertanggungan minimum sesuai besaran asuransi pencemaran lingkungan hidup. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Dokumen limbah B3 adalah surat yang diberikan pada waktu penyerahan limbah B3 oleh penghasil limbah B3 atau pengumpul limbah B3 kepada pengangkut limbah B3. Dokumen limbah B3 tersebut berisi ketentuan sebagai berikut: a. nama dan alamat penghasil atau pengumpul limbah B3 yang menyerahkan limbah B3; b. tanggal penyerahan limbah B3; c. nama dan alamat pengangkut limbah B3; d. tujuan pengangkutan limbah B3 (termasuk ke eksportir); e. jenis, jumlah, komposisi, dan karakteristik limbah B3 yang diserahkan. Dokumen limbah B3 dibuat dalam rangkap 7 (tujuh) apabila pengangkutan hanya satu kali dan apabila pengangkutan lebih dari satu kali (antar moda), maka dokumen terdiri dari 11 (sebelas) rangkap dengan rincian sebagai berikut: a. lembar asli (pertama) disimpan oleh pengangkut limbah B3 setelah ditandatangani oleh pengirim limbah B3; b. lembar kedua yang sudah ditandatangani oleh pengangkut limbah B3, oleh pengirim limbah B3 dikirimkan kepada instansi yang bertanggung jawab;

71

c. lembar ketiga yang sudah ditandatangani oleh pengangkut disimpan oleh pengirim limbah B3; d. lembar keempat setelah ditandatangani oleh pengirim limbah B3, oleh pengangkut diserahkan kepada penerima limbah B3; e. lembar kelima dikirimkan oleh penerima kepada instansi yang bertanggung jawab setelah ditandatangani oleh penerima limbah B3; f. lembar keenam dikirim oleh pengangkut kepada bupati/walikota yang bersangkutan, dengan pengirim. Setelah ditandatangani oleh penerima limbah B3; g. lembar ketujuh setelah ditandatangani oleh penerima oleh pengangkut dikirimkan kepada pengirim limbah B3; h. lembar kedelapan sampai dengan lembar kesebelas dikirim oleh pengangkut kepada pengirim limbah B3 setelah ditandatangani oleh pengangkut terdahulu dan diserahkan kepada pengangkut berikutnya/antar moda. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Apabila limbah B3 yang dihasilkan kurang dari 50 (lima puluh) kilogram per hari, pemanfaat limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sebelum diserahkan kepada pengumpul, pemanfaat, pengolah, dan/atau penimbun limbah B3. Pasal 60 Cukup jelas.

72

Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Pengolahan limbah B3 dimaksudkan untuk mengubah jenis, jumlah, dan/atau karakteristik limbah B3 menjadi tidak berbahaya, tidak beracun, dan/atau immobilisasi limbah B3 sebelum ditimbun dan/atau memungkinkan agar limbah B3 dimanfaatkan kembali (daur ulang). Proses pengolahan limbah B3 dapat dilakukan secara pengolahan fisika, kimia, biologi, stabilisasi/solidifikasi dan termal. Pengolahan limbah B3 bertujuan untuk mengurangi daya racun limbah B3 dan/atau menghilangkan sifat/karakteristik limbah B3 dari berbahaya menjadi tidak berbahaya. Proses pengolahan secara stabilisasi/solidifikasi bertujuan untuk mengubah watak fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan senyawa pengikat B3 agar pergerakan senyawa B3 ini terhambat atau terbatasi. Proses pengolahan limbah B3 secara termal bertujuan untuk menghancurkan senyawa limbah B3 yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3. Ayat (2) Huruf a. Cukup jelas. Huruf b. Cukup jelas. Huruf c. Cukup jelas. Huruf d. Cukup jelas. Huruf e. Cukup jelas. Huruf f. Asuransi pencemaran lingkungan hidup dapat dikecualikan bagi penghasil limbah B3 yang telah memiliki asuransi yang memiliki pertanggungan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan besaran pertanggungan minimum sesuai besaran asuransi pencemaran lingkungan hidup. Huruf g. Cukup jelas. 73

Ayat (3) Penentuan efisiensi penghancuran dan penghilangan (destruction removal efficiency, DRE) dilakukan dengan menghitung konsentrasi dan/atau berat limbah B3 di awal dan di akhir proses pengolahan secara termal. Angka persentase menunjukkan jumlah molekul dari senyawa limbah B3 yang dihilangkan dan dihancurkan dibandingkan dengan jumlah molekul dari senyawa limbah B3 yang dimasukkan ke dalam sistem pengolahan limbah B3 secara termal. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) untuk mengetahui hasil stabilisasi dan solidifikasi dapat dilakukan secara langsung (purposive) terhadap parameter kimia/fisika yang dikandung dalam limbah dimaksud. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Yang dimaksud dengan persetujuan penghentian pengolahan adalah penghentian operasi (penutupan pengolahan) setelah diketahui lokasi tersebut tidak terkontaminasi. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Apabila limbah B3 yang dihasilkan kurang dari 50 (lima puluh) kilogram per hari, pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah 74

B3 yang dihasilkannya paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sebelum diserahkan kepada pengumpul, pemanfaat, pengolah, dan/atau penimbun limbah B3. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Huruf a. Yang dimaksud dengan bebas banjir yaitu bebas banjir 100 (seratus) tahunan. Huruf b. Cukup jelas. Huruf c. Cukup jelas. Huruf d. Cukup jelas. Ayat (2) Untuk jenis-jenis limbah B3 yang LD50-nya lebih besar dari 5000 mg/kg berat badan pada hewan uji mencit atau LC50-nya (48 jam) lebih besar dari 30000 mg/L pada hewan uji Daphnia sp., dapat dilakukan penimbunan pada lokasi dengan permeabilitas tanah maksimum 10 (sepuluh) pangkat negatif 5 (lima) sentimeter per detik dengan Keputusan Menteri, apabila peruntukan lokasi penimbunan limbah B3 belum ditetapkan berdasarkan rencana tata ruang wilayah. Pasal 70 Ayat (1) Penimbunan dalam ketentuan ini merupakan rangkaian kegiatan pengolahan. Penimbunan hasil pengolahan limbah B3 adalah tindakan membuang dengan cara penimbunan, dimana penimbunan tersebut dirancang sebagai tahap akhir dari pengolahan limbah B3 sesuai dengan karakteristik limbah B3 tersebut. Pelapis pelindung adalah lapisan yang dibangun untuk mencegah terpaparnya limbah B3 atau air lindi dari limbah B3 ke lingkungan, pelapis pelindung dapat berupa synthetic liner atau compacted clay atau lapisan lain yang setara yang memiliki permeabilitas yang sama. Pelapisan pelindung dapat diberikan dengan double liner dan atau satu liner atau hanya dengan compacted clay sesuai dengan standar penimbunan limbah B3 yang ditetapkan oleh Menteri.

75

Ayat (2) Rencana penutupan dan pascapenutupan penimbunan limbah B3 berisi antara rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam jangka panjang. Rencana penutupan dan pascapenutupan wajib diintegrasikan dalam rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan berdasarkan Keputusan Menteri setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan instansi terkait. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 71 Yang dimaksud dengan persetujuan penghentian penimbunan adalah penghentian operasi (penutupan penimbunan) setelah diketahui lokasi tersebut tidak terkontaminasi. Pasal 72 Ayat (1) Yang dimaksud dengan lokasi penimbunan limbah B3 yang telah dihentikan kegiatannya adalah lokasi bekas penimbunan (post closure). Yang dimaksud dengan fasilitas umum lainnya meliputi fasilitas olah raga, pendidikan, rumah sakit, rekreasi dan lain-lain. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kemasan adalah tempat/wadah untuk menyimpan, mengangkut dan mengumpulkan limbah B3. Simbol adalah gambar yang menyatakan karakteristik limbah B3. Label adalah tulisan yang menunjukkan antara lain karakteristik dan jenis limbah B3. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Yang dimaksud izin misalnya izin lingkungan pemanfaatan limbah B3 untuk uji coba pemanfaatan limbah B3 dan izin lingkungan pengolahan limbah B3 untuk uji coba pengolahan limbah B3. 76

Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 77 Ayat (1) Limbah khusus merupakan limbah B3 yang dihasilkan sendiri yang diidentifikasi memiliki sifat racun sub kronis atau kronis. Limbah khusus dalam pengelolaannya ditekankan pada rekayasa teknologi menggunakan best practical technology (BPT) dan perlindungan lingkungan hidup. Ayat (2) Limbah khusus merupakan limbah B3 yang ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, Tabel 4 Peraturan Pemerintah ini dan tidak memerlukan identifikasi (uji karakteristik dan/atau uji toksikologi) untuk penetapannya sebagai limbah B3. Penetapan secara langsung limbah B3 dengan pengelolaan khusus sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, Tabel 4 Peraturan Pemerintah ini didasarkan pada kajian ilmiah, referensi dan literatur internasional, dan karakteristik dan/atau sifatnya yang telah diketahui sesuai dengan hasil uji karakteristik dan/atau sifatnya. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a. Cukup jelas Huruf b. Angka 1. Kedalaman lebih besar dari 100 (seratus) meter untuk dumping tailing ke laut yaitu kedalaman titik pembuangan limbah (outfall) berada pada kedalaman lebih besar dari 100 (seratus ) meter. Angka 2. Yang dimaksud daerah sensitif dalam ketentuan ini antara lain kawasan lindung laut, daerah rekreasi, kawasan pantai berhutan bakau, lamun dan terumbu karang, taman nasional, taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, kawasan rawan 77

bencana alam, alur pelayaran, pemijahan dan pembesaran ikan, alur migrasi ikan, daerah penangkapan ikan, alur pelayaran, dan/atau daerah khusus militer. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 80 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penerbitan izin pengelolaan limbah B3 dalam 1 (satu) izin bagi usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pengumpulan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan limbah B3 dimaksudkan untuk memudahkan proses dan menyederhanakan birokrasi perizinan lingkungan pengelolaan limbah B3. Usaha dan/atau kegiatan pengelolaan limbah B3 yang dapat disatukan izin pengelolan limbah B3nya pada ayat ini apabila usaha dan/atau kegiatan dimaksud melakukan lebih dari 1 (satu) kegiatan pengelolaan limbah B3 yang merupakan kombinasi dari kegiatan pengumpulan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan limbah B3. Bagi usaha dan/atau kegiatan pengelolaan limbah B3 yang melakukan pengumpulan, pemanfaatan dan pengolahan limbah B3, 1 (satu) izin yang diterbitkan adalah izin lingkungan pengumpulan, pemanfaatan dan pengolahan limbah B3. Izin lingkungan penimbunan limbah B3 tidak dapat dilakukan penggabungan dengan izin lingkungan pengelolaan limbah B3 lainnya karena memiliki kekhususan, antara lain terhadap kegiatan penimbunan wajib dilakukan pemantauan kualitas air tanah dan menanggulangi dampak negatif yang mungkin timbul akibat keluarnya limbah B3 ke lingkungan, selama minimum 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak ditutupnya seluruh fasilitas penimbunan limbah B3, dan peruntukan lokasi penimbun yang telah dihentikan kegiatannya tidak dapat dijadikan pemukiman atau fasilitas umum lainnya. Pasal 81 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Persyaratan administratif lainnya bagi kegiatan pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan meliputi antara 78

lain asuransi pencemaran lingkungan hidup terhadap atau sebagai akibat pengelolaan limbah B3, bagan alir (flowsheet) lengkap proses pengelolaan limbah B3, uraian jenis dan spesifikasi teknis pengolahan dan peralatan yang digunakan, dan/atau untuk kegiatan pengumpulan limbah B3 wajib menyampaikan dokumen kontrak kerjasama dengan pengolah, pemanfaat, dan/atau penimbun limbah B3. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Ayat (1) Penerbitan izin oleh Menteri pada ayat ini dimaksudkan untuk memastikan terselenggaranya pelayanan publik perizinan pengelolaan limbah B3 dan memberikan kepastian hukum bagi investasi. Menteri wajib mengembalikan kewenangan penerbitan izin pengelolaan limbah B3 dimaksud apabila bupati/walikota atau gubernur menyatakan mampu untuk menyelenggarakan urusan perizinan tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 84 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengumuman kepada masyarakat dimaksudkan untuk membuka ruang partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan pemberian izin lingkungan pengelolaan limbah B3. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.

79

Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Huruf a Yang dimaksud dengan cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi yaitu apabila dokumen yang dilampirkan dalam persyaratan izin lingkungan tidak sesuai dengan prosedur atau substansi sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya dokumen amdal atau UKL-UPL tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak ada akta pendirian, tidak ada kartu tanda penduduk atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan keliru dalam menerapkan peraturan perundang-undangan atau persyaratan perizinan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Perubahan yang dimaksud dalam ketentuan ini dapat terjadi antara lain karena inisiatif penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sendiri atau merupakan bagian dari penerapan sanksi administratif. Ayat (3) Bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi Amdal, perubahan melalui mekanisme Amdal dapat berupa penyusunan amdal baru atau adendum andal, RKL, RPL. Bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib UKL-UPL, perubahan melalui mekanisme UKL-UPL berupa penyusunan UKL-UPL baru. 80

Bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi amdal atau UKL-UPL, perubahan tanpa melalui mekanisme amdal atau UKLUPL dilakukan dengan memperbaiki persyaratan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang tercantum dalam izin lingkungan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a. Yang dimaksud dengan biaya studi kelayakan teknis antara lain biaya untuk menyusun desain teknis pengelolaan limbah B3, pengukuran dan/atau analisis parameter fisika dan/atau kimia, dan/atau uji coba pengelolaan limbah B3. Huruf b. Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 94 Ayat (1) Huruf a. Cukup jelas. Huruf b. Dana jaminan lingkungan yang wajib dibayarkan oleh pemegang izin dalam ayat ini merupakan dana jaminan lingkungan yang terkait dengan perizinan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun. Dana jaminan lingkungan yang wajib dibayarkan oleh pemegang izin lingkungan penimbunan limbah B3 antara 81

lain dana jaminan untuk melakukan rencana penutupan dan pasca penutupan penimbunan limbah B3. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 95 Ayat (1) Larangan impor limbah B3 dalam ketentuan ini diberlakukan juga bagi limbah B3 yang dikategorikan sebagai limbah khusus. Sludge minyak (oil sludge) yang masih menempel dalam kapal pengangkut minyak dan telah dinyatakan kosong, atau limbah dari hasil kegiatan tank cleaning yang menghasilkan sludge minyak (oil sludge) yang dilakukan di dalam wilayah NKRI tidak termasuk dalam kategori impor limbah B3. Perpindahan limbah B3 dalam wilayah NKRI tidak dikategorikan sebagai kegiatan ekspor-impor, seperti perpindahan limbah B3 dari daerah kawasan atau wilayah ekonomi khusus (kawasan perdagangan bebas, free trade zone-FTZ) ke wilayah NKRI lainnya. (2) Impor limbah non B3 sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan wajib dilakukan dalam bentuk padat dan kering serta dilarang melakukan impor limbah non B3 dalam bentuk cair, serbuk/powder, sludge, dan/atau pasta. (3) Cukup jelas. (4) Cukup jelas. (5) Ekspor limbah B3 hanya dapat dilaksanakan apabila ada persetujuan tertulis dari instansi atau pejabat yang berwenang dalam urusan limbah B3 di negara penerima dan negara penerima tersebut harus mempunyai fasilitas pengolahan dan/atau pemanfaatan limbah B3 yang layak sehingga pengolahan limbah B3 tersebut tidak menimbulkan risiko bahaya bagi lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Adapun limbah B3 terdiri atas limbah B3 yang ditetapkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini dan/atau Konvensi Basel. Dalam hal terjadi ekspor limbah B3 sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini ke negara yang menetapkan limbah dimaksud tidak termasuk sebagai limbah B3, manifes limbah B3

Ayat

Ayat Ayat Ayat

82

ditandatangi sampai dengan pelabuhan atau alat angkut yang melakukan ekspor. Ayat (6) Ketentuan dalam Peraturan Menteri dimaksud antara lain mengatur pengumpul limbah B3 dapat melakukan ekspor limbah B3, dan eksportir limbah B3 merupakan penerima akhir dokumen limbah B3 yang akan diekspor. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keadaan darurat dalam ayat ini adalah lepas atau tumpahnya bahan berbahaya dan beracun dan/atau limbah B3 ke lingkungan yang perlu ditanggulangi secara cepat dan tepat untuk mencegah meluasnya dampak akibat tumpahan limbah B3 tersebut sehingga dapat dicegah meluasnya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan serta terganggunya kesehatan manusia. Keadaan darurat dapat berupa kecelakaan dan/atau di luar keadaan normal. Untuk mengatasi keadaan darurat pengelolaan limbah B3 diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan baik selama maupun setelah terjadinya darurat. Upaya ini harus dilakukan

83

secara cepat, tepat, terkoordinasi dan terpadu diantara instansi lintas sektor yang terkait. Yang dimaksud dengan media lingkungan dalam ayat ini adalah media air, air laut, udara dan/atau tanah. Ayat (2) Informasi ini dimaksudkan agar masyarakat dapat menggunakannya untuk upaya penyelamatan diri jika terjadi kecelakaan dan turut serta dalam penanggulangan kecelakaan. Yang dimaksud dengan sistem tanggap darurat adalah suatu sistem pengendalian keadaan darurat yang meliputi pencegahan dan penanggulangan kecelakaan serta pemulihan kualitas lingkungan sesuai lokasi usaha dan/atau kegiatan dan/atau media lingkungan yang berisiko terkena dampak akibat keadaan darurat. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Bahan berbahaya dan beracun (B3) yang tumpah ke lingkungan dikategorikan sebagai limbah B3. Ayat (5) Ketentuan yang diatur dengan Peraturan Menteri ini antara lain sistem tanggap darurat (contingency plan) dan peralatan tanggap darurat untuk keadaan darurat akibat limbah B3. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas.

84

Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tidak dapat ditanggulangi adalah jika tidak tersedianya sarana, prasarana dan tenaga ahli untuk melakukan pengawasan penanggulangan kecelakaan, dan luas dampaknya sudah melintasi batas kabupaten/kota. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan dampak yang sangat besar adalah jika luas dampak dari kecelakaan dalam pengelolaan limbah B3 melintasi batas kabupaten/kota, provinsi, dan/atau batas negara. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Ayat (1) Kriteria kegiatan skala kecil dalam ayat ini meliputi: a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan/atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1. 000.000.000,- (satu milyar rupiah); b. milik Warga Negara Indonesia; c. berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan skala menengah atau kegiatan skala besar; dan d. berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum. 85

Bentuk fasilitasi yang dilakukan antara lain membantu penyediaan alat, sarana, dan/atau fasilitas pengelolaan limbah B3, peningkatan kapasitas, dan pelatihan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Ayat (1) Yang dimaksud dengan secara proporsional bersama-sama bertanggung jawab adalah bahwa masingmasing memikul tanggung jawab sesuai dengan kontribusinya dalam menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Pembersihan dan pemulihan lingkungan hidup dalam pasal ini mencakup antara lain studi untuk mengetahui luas dampak, jenis, jumlah, dan konsentrasi limbah yang ada sebagai dasar untuk melakukan pembersihan dan pemulihan lingkungan hidup, serta pengolahan limbah B3 yang telah dibuang ke dalam lingkungan hidup itu. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas.

86

Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR

87