Draft Proposal Disertasi 25 Nov

38
Draft Proposal Disertasi 25 Nov. 2010 IDEOLOGI DAN PERLAWANAN: KAJIAN NEW HISTORICISM DUA ANTOLOGI SASTRA LEKRA BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Persoalan tentang fakta dan fiksi dalam ilmu sosial (atau dalam ilmu pengetahuan pada umumnya) rupanya tidak luput dari berbagai pandangan, yang bahkan dalam dirinya sendiri sudah penuh dengan fakta dan fiksi itu sendiri (Kleden, 1998: 5). Walaupun demikian, tetap dipertahankan kategori fiksi dan nonfiksi terhadap khazanah/dunia teks; yang menentukan kandungan “benar” dan “salah” sebuah teks karena fakta diartikan sebagai kebenaran dan fiksi adalah hanya rekaan. Padahal, batasan sastra dan bukan sastra tidak jelas (Teeuw, 1983: 5; Budianta, 2008: 309-310); antara teks sastra dan teks nonsastra tidak ada garis pemisah yang tegas (Suwondo, 1999: 7). Dari khazanah sastra dunia dapat disebutkan sebagai perbandingan dua pengarang yang banyak dikenal di Indonesia (Khalil Gibran dari Libanon dan Rabindranath Tagore dari India). Keduanya menulis dengan makna teks yang sangat kuat sehingga pembaca tidak penting lagi membedakan, apakah karya-karya mereka adalah risalah ilmu pengetahuan, biografi, esai kebudayaan, kenang-kenangan hidup, atau fragmen novel (Kleden, 2001: 16). Seperti usaha untuk membedakan sejarah dan sastra, yang hanyalah berupa asumsi teoretis karena dalam pelaksanaannya sukar dibedakan (Kuntowijoyo dalam Heryanto, 1984: 46). Menurut 1

Transcript of Draft Proposal Disertasi 25 Nov

Page 1: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

Draft Proposal Disertasi 25 Nov. 2010IDEOLOGI DAN PERLAWANAN:KAJIAN NEW HISTORICISM DUA ANTOLOGI SASTRA LEKRA

BAB I PENDAHULUANLATAR BELAKANG

Persoalan tentang fakta dan fiksi dalam ilmu sosial (atau dalam ilmu pengetahuan pada umumnya) rupanya tidak luput dari berbagai pandangan, yang bahkan dalam dirinya sendiri sudah penuh dengan fakta dan fiksi itu sendiri (Kleden, 1998: 5). Walaupun demikian, tetap dipertahankan kategori fiksi dan nonfiksi terhadap khazanah/dunia teks; yang menentukan kandungan “benar” dan “salah” sebuah teks karena fakta diartikan sebagai kebenaran dan fiksi adalah hanya rekaan. Padahal, batasan sastra dan bukan sastra tidak jelas (Teeuw, 1983: 5; Budianta, 2008: 309-310); antara teks sastra dan teks nonsastra tidak ada garis pemisah yang tegas (Suwondo, 1999: 7). Dari khazanah sastra dunia dapat disebutkan sebagai perbandingan dua pengarang yang banyak dikenal di Indonesia (Khalil Gibran dari Libanon dan Rabindranath Tagore dari India). Keduanya menulis dengan makna teks yang sangat kuat sehingga pembaca tidak penting lagi membedakan, apakah karya-karya mereka adalah risalah ilmu pengetahuan, biografi, esai kebudayaan, kenang-kenangan hidup, atau fragmen novel (Kleden, 2001: 16). Seperti usaha untuk membedakan sejarah dan sastra, yang hanyalah berupa asumsi teoretis karena dalam pelaksanaannya sukar dibedakan (Kuntowijoyo dalam Heryanto, 1984: 46). Menurut Heryanto (ibid: 47), tidak ada suatu fakta dan peristiwa apapun yang mampu dipahami dan diungkapkan kembali untuk dipahami orang lain secara total, objektif, dan netral atau: “sebagai sesungguhnya terjadi”. Lalu, untuk apakah bersusah payah membedakan penciptaan sastra dengan tindakan hidup secara keseluruhan? (Dewanto, 1996: 126-136). Pandangan yang menyatakan bahwa fiksi hanya rekaan dan karena itu dinilai kurang berharga, ditolak oleh Jassin (1983: 79) bahwa melalui sastra pengarang dapat menjalin pikiran yang tinggi-tinggi dan mulia-mulia dan dengan demikian meningisi jiwa manusia. Menurut Isaiah Berlin, “Dalam dunia sekarang, seluruh pengetahuan yang hidup dan menyeluruh mengenai manusia hanya didapatkan dalam sastra”; atau menurut Marcel Proust, “Hidup nyata yang diterangi dan diwahyukan, dan yang dihidupi dengan sungguh-sungguh adalah karya sastra (dalam Llosa, 2003: 64).

1

Page 2: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

Karya sastra identik fiksi dengan kadar kebenaran yang dikandungnya masih dipertanyakan, tentu saja: berada di bawah nonfiksi. Beritik tolak dari segi ini, nonfiksi harus dibedakan secara tegas dengan fiksi. Fiksi diterima lebih rendah dan tidak/kurang dapat dipercaya oleh masyarakat. Masyarakat menerima fiksi dalam dunia khusus: dunia fiksi (dunia khayalan, dunia imajinasi, dunia rekaan) (Junus, 1993: 53). Kehidupan fiksi bukan dalam kehidupan umum (realitas) tetapi dalam kehidupan yang sengaja selalu diciptakan secara khusus pula untuk fiksi. Di sinilah ia ditulis dan di sinilah ia dibaca. Membaca fiksi harus masuk ke ruang khusus yang diciptakan, seperti orang-orang yang merokok di kota-kota yang memberlakukan larangan merokok di tempat umum; harus masuk ke ruang khusus. Fiksi terasing dari berbagai wujud nonfiksi dalam kehidupan. Seperti kata-kata Llosa (2003: 62), “[…] bagi mereka sastra bukan sesuatu yang penting. Sastra dipandang sebagai hiburan belaka. […] Tampaknya, sastra cenderung diidentikkan dengan aktivitas kaum perempuan saja.” Nonfiksi diterima dalam dunia yang sangat luas dan keberadaannya tidak dipersoalkan lagi.

Dalam suatu periode sejarah lahir berbagai teks; fiksi dan nonfiksi (buku pelajaran, editorial di media massa, iklan, poster, film, musik, laporan penelitian, novel, kumpulan cerpen, komik, lukisan, pertunjukan teater, peragaan busana, mural, dll.). Karena teks adalah produk dari kekuatan sosial historis pada zamannya (Budianta, 2006: 4). Teks-teks tersebut berkaitan dengan sejarah yang melahirkannya dan membentuk suatu jaringan intertekstalitas (Junus, 1996: 117). Teks yang satu berhubungan dengan teks lainnya (interteks) karena adanya benang merah yang terjadi di atas adanya kesamaan faktor sejarah dan tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri (Ratih, 2001:136); atau satu teks berbicara tentang teks-teks lain (Sunardi, 2008:xiv). Pemaknaan dan penilaian teks melaui pembacaan umum/awam dilakukan berdasarkan teks yang sedang dibaca saja atau pemaknaan/penilaian teks yang umumnya tunggal. Pembacaan teks seperti itu telah ditinggalkan di Prancis sejak Jean Paul Sartre mengenalkan gagasan-gagasan filsafatnya dan ini adalah permulaan ketika filsafat Prancis membuka diri dan berdialog dengan disiplin-disiplin lain. Menurut Chevreau (2000: viii), sejak saat itu di Prancis dikenal era kontemporer atau era pemikiran kompleks yang menjembatani himpunan-himpunan pada masa lalu tidak saling berkaitan, antara teks ilmiah dan teks sastra. Seperti ditunjukkan oleh Chevreau, banyak pemikir pada masa kini menemukan metafisika dalam fisika, birahi dalam sejarah, puisi dalam matematika. Skema-skema kuno yang membatasi satu disiplin dengan displin lain mulai ditolak; semakin sulit membedakan ilmuwan, ahli

2

Page 3: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

filsafat, dan sastrawan. Prinsip-prinsip interteks tidak banyak dilakukan dalam pembacaan awam karena merepotkan. Penelitian-penelitian sastra menunjukkan bahwa interpretasi dalam rangka pemaknaan yang mendalam dan komprehensif terhadap teks sastra justru dengan melibatkan berbagai teks lain mengingat karya sastra disusun di atas sistem-sistem, kode-kode, dan tradisi-tradisi yang telah mapan (Allen, 2000: 1). Suatu teks penuh makna bukan karena mempunyai struktur tertentu, suatu kerangka yang menentukan dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain; sebuah teks lahir dari teks-teks lain dan harus dipandang sesuai tempatnya dalam kawasan tekstual (Ratih, 2001: 135).

Dengan berpedoman pada “satu periode sejarah melahirkan sejumlah teks dan teks-teks tersebut saling berhubungan” dalam suatu “kawasan teks”; tidak mungkin lahir teks yang pada hakikatnya berbeda dengan teks-teks lainnya (sama sekali mandiri); penelitian ini akan membaca fiksi secara pararel dengan nonfiksi. Semua teks, baik teks sastra maupun nonsastra merupakan produk dari zaman yag sama dengan berbagai pertarungan kuasa dan ideologi (Budianta, 2006: 3). Inilah yang dikembangkan dalam kajian-kajian new historicism (sejarah baru); mengaitkan fenomena sejarah dengan karya sastra atau karya sastra dikaitkan dengan sejarah (Junus, 1996: 137).

Sejarah atau dunia yang diacu oleh karya sastra, bukan sekadar latar belakang (yang koheren dan menyatu) yang dengan transparan dapat diakses. Sejarah itu sendiri terdiri dari berbagai teks yang masing-masing menyusun satu versi tentang kenyataan. Dalam perspektif ini, “kenyataan sejarah” tidak lagi tunggal dan absolute, tetapi terdiri dari berbagai macam versi yang penuh kontradiksi, keterputusan, pruralitas, dan keragaman. Jadi kaitan antara karya sastra dan “sejarah” adalah kaitan intertekstualitas antara berbagai teks (fiksi maupun factual) yang diproduksi dalam kurun waktu yang sama atau berbeda. (Budianta, 2006: 4)

Kaitan sejarah dan sastra, misalnya, tampak pada bagaimana memanfaatkan roman-roman Jawa sebagai sumber penting untuk menjelaskan persepsi orang Jawa sendiri sebagaimana terungkap dalam sastranya tentang peradaban priyayi Jawa (Teeuw, 1994: 224) atau dalam menulis/menciptakan sejarah dengan menggunakan novel-novel Indonesia yang membicarakan Tragedi 1965 (Foulcher, 2004: 177-204).

Penelitian ini menggunakan teori new historicism untuk mengkaji Laporan dari Bawah (antologi cerpen Lekra Harian Rakjat 1950-1965) dan Gugur Merah (antologi puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965). Pembacaan terhadap Laporan dari Bawah dan Gugur Merah tidak dilakukan dalam “ruang khusus” atau ruang

3

Page 4: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

otonomi teks sastra yang dilakukan oleh kritik baru (new criticsm) sebagaimana pembacaan-pembacaan terdahulu terhadap karya sastra; melainkan dalam ruang sejarah yang sama (periode kekuasaan Presiden Soekarno) dengan kesadaran bahwa di dalamnya telah dilahirkan berbagai teks dan teks-teks tersebut berputar-putar dalam lingkaran interteks atau dalam kawasan teks. Kedua antologi tersebut dibaca secara pararel dengan teks-teks yang lain; dipilih melalui suatu pertimbangan historis, teoretis, dan metodologis (sesuai dengan dasar-dasar kerja new historicism).

Pemilihan new historicism dalam kajian ini didasari oleh beberapa pertimbangan: (1) pembacaan sebelumnya terhadap teks nonfiksi dilakuan secara ekslusif, dipisahkan dengan teks-teks lainnya atau diperlakukan secara khusus, (2) new historicism memberi pandangan baru terhadap teks, dengan tidak membedakan teks sastra dengan nonsastra, (3) new historicism menerapkan metode kerja interteks dalam “lingkaran interteks teks, yang didesain secara sadar melalui pemilihan sejumlah teks” karena semua teks, baik teks sastra maupun nonsastra merupakan produk dari zaman yang sama, dengan berbagai pertarungan kuasa dan ideologi; (4) New historicism meninggalkan pemaknaan teks berdasarkan teks tunggal yang melegalkan interpretasi pembaca/peneliti, menggantikannya dengan pemaknaan teks di atas hubungan-hubungan teks (dalam lingkaran interteks) dan bertumpu pada kenyataan sejarah yang melahirkannya; (5) New historicism menekankan keterkaitan antara teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, politik, ekonomi yang melingkupinya; (6) New historicism menawarkan perspektif bahwa sastra tidak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, politik karena sastra ikut mengambil bagian di dalamnya; (7) New historicism menolak adanya perbedaan antara karya sastra adiluhung dengan karya sastra picisan karena hal itu menunjukkan bagaimana kekuatan sosial bermain di ruang estetik; (8) New historicism tidak bertujuan mengevaluasi produk-produk budaya (tinggi-rendah, sastra-nonsastra, serius-populer) melainkan untuk menunjukkan bagaimana berbagai ragam teks saling terkait dengan persoalan-persoalan zamannya; (9) New historicism menolak pandangan bahwa sastra sebagai cermin yang transparan dan pasif mencerminkan budaya masyarakatnya, menggantikannya dengan pandangan baru terhadap sastra bahwa karya sastra ikut membangun, mengartikulasikan, dan mereproduksi konvensi, norma, nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinatif kreatifnya; dan (10) New historicism dengan tegas mengatakan bahwa membaca sastra sama dengan membaca sejarah dan membaca sejarah sama dengan membaca sastra.

4

Page 5: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

Kedua antologi yang diteliti adalah produk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) selama lima belas tahun (1950-1965) berjaya di dalam percaturan politik Indonesia. Pemilihan kedua antologi tersebut sebagai subjek penelitian ini didasari oleh sejumlah pandangan umum dan sampai sekarang pandangan tersebut tetap relevan, dalam bidang kebudayaan dan seni di Indonesia terhadap Lekra: (1) kedua antologi tersebut adalah produk sejarah Indonesia dan patut dikaji secara ilmiah sebagaimana halnya dengan kajian-kajian teks lain, (2) produk-produk sastra Lekra dilupakan karena kuatnya hegemoni ideologi bangsa Indonesia (Pancasila) yang bertentangan dengan ideologi komunis (ideologi PKI, partai politik yang dikaitkan dengan Lekra) (Malna, 2000: 462; Sambodja 2010), (3) karya sastra Lekra diproduksi secara organisatoris dan terkendali (ideologinya jelas, metode kerja para sastrawannya jelas, tujuan menulis sastra jelas, apa yang harus ditulis juga sudah pasti) (Ismail, 1972; Foulcher, 1986; Yuliantri dan Dahlan, 2008), (4) Lekra menempatkan perjuangan di bidang kebudayaan, sastra, dan seni sebagai bidang yang sangat penting dalam rangka Revolusi Indonesia.

Demikianlah uraian yang menjadi dasar pikiran bagi penelitian ini.

MASALAHMasalah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini:

1. Bagaimana hubungan politik, ideologi, sastra dalam antologi Gugur Merah dan antologi Laporan dari Bawah?

2. Bagaimanakah hubungan interteks sastra dengan teks-teks di luar sastra dalam periode Lekra di Indonesia?

3. Bagaimanakah makna-makna karya sastra dalam antologi Gugur Merah dan antologi Laporan dari Bawah yang diusahakan melalui pembacaan secara pararel dengan teks-teks lain dalam kawasan teks yang dirancang dalam penelitian ini?

TUJUANTujuan Umum

Penelitian ini memiliki tujuan yaitu untuk merekonstruksi pemaknaan terhadap karya-karya sastra Indonesia pada periode 1950-1965. Masa ini adalah masa yang sangat penting dalam pergolakan politik Indonesia sebagai bangsa transisi dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan. Masa ini ditandai oleh kuatnya pengaruh ideologi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yang

5

Page 6: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

diwujudkan dalam partisipasi masyarakat dalam berbagai partai politik. Karena itu, semboyan Lekra, “politik sebagai panglima” adalah sikap politik dalam bidang kebudayaan, seni, dan sastra. Terbentuknya sastra yang penuh hujatan pada masa ini, tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan politik yang telah menggunakan sastra semata sebagai alat mobilisasi dan agitasi (Malna, 2000: 463-464). Penelitian ini mencoba menelusuri kembali keberadaan sastra pada masa itu sehingga ditemukan gambaran mengenai sejarah perjalanan bangsa Indonesia melalui sejumlah teks sastra, pemikiran, pedoman organisasi, makalah-makalah seminar, laporan organisasi, dan lain-lain. Gambaran tersebut sangat penting bagi bangsa Indonesia dalam rangka membangun sejarah yang utuh dan berkesinambungan. Dengan memposisikan teks-teks tersebut dalam kawasan teks, pemaknaan terhadap sejarah Indonesia, khususnya dalam bidang kebudayaan, seni, dan sastra, yang bagi Lekra adalah salah satu bidang dalam Revolusi Indonesia, yang sama pentingnya dengan bidang politik dan ekonomi; lebih komprehensif.

Tujuan KhususTujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui hubungan politik, ideologi, sastra dalam antologi Gugur Merah dan antologi Laporan dari Bawah.

2. Untuk mengetahui dan merumuskan hubungan interteks sastra dengan teks-teks di luar sastra dalam periode Lekra di Indonesia.

3. Untuk mengetahui makna-makna karya sastra dalam antologi Gugur Merah dan antologi Laporan dari Bawah melalui pembacaan secara pararel dengan teks-teks lain dalam kawasan teks yang dirancang dalam penelitian ini.

MANFAATManfaat Akademik

Manfaat akademik hasil penelitian ini adalah dalam bentuk pemberian sumbangan kepada teori-teori kajian sastra Indonesia dengan menggunakan teori-teori yang relatif baru (belum dikenal luas di kalangan peneliti sastra di Indonesia) dalam rangka mengembangkan teori sastra/kritik sastra Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan juga hasil penelitian ini memberi sumbangan kepada pengembangan konsep teoretis terhadap new historicism dan interteks. Dengan demikian, hasil penelitian ini berkontribusi kepada kedua teori tersebut karena pada hakikatnya, penelitian tidak hanya menggunakan teori yang telah mapan tetapi juga harus melakukan tinjauan kritis terhadap teori tersebut. Hal inilah yag memberi

6

Page 7: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

sumbangan besar terhadap teori-teori itu dan turut serta menentukan arah perkembangannya di masa mendatang.

Manfaat PraktisHasil penelitian ini memberi manfaat praktis dalam usaha penyusunan

sejarah sastra Indonesia yag lebih konfrehensif dan lebih objektif, dengan mengesampingkan segi politik dan segi ideologinya (politik dan ideologi berperan dalam menyusun sejarah sastra, yang menyebabkan sejarah sastra subjektif secara ideologis-politis) . Karena itulah tidak ada sejarah sastra Indonesia yang benar-benar mewakili seluruh periode perkembangan kesusastraan di Indonesia. Sejarah sastra yang ada hanya berupa varian-varian tulisan sejarah yang harus dibaca dari perspektif penyusunnya. Penyusunan sejarah sastra Indonesia umumnya dilakukan oleh para sastrawan yang tidak memiliki latar belakang ilmu sejarah (historiografi) dan sumber-sumber penulisan sejarah sastra hanya karya-karya sastra. Di masa yag akan datang, penyusunan sejarah sastra Indonesia harus melibatkan ahli sejarah, dengan memanfaatkan lebih banyak sumber nonsastra. Penyusunan sejarah sastra Indonesia juga harus menggunakan berbagai perspektif. Perspektif realisme sosialis yang pernah digunakan menyusun sejarah sastra Indonesia oleh Pramoedya Ananta Toer, tidak dilanjutkan lagi bersamaan dengan jatuhnyaLekra/ PKI pada 1965. Ketika Lekra jatuh, apakah realisme sosialis juga lenyap dari kehidupan sastra Indonesia pada masa Orde Baru dan Reformasi?

Hasil penelitian ini juga bermanfaat kepada usaha pembangunan kebudayaan bangsa. Pembaguna kebudayaan juga sangat penting bukan saja untuk mendukung industri pariwisata dan industri hiburan tetapi dalam rangka pembangunan jati diri bangsa. Hasil penelitian ini akan sampai kepada rumusan mengenai adanya desain politik yang jelas dalam bidang kebudayaan, seni, dan sastra dan hal ini satu rumusan atau model pembangunan kebudayaan yang subjeknya adalah rakyat sebagai pemilik budaya, pemilik seni, dan pemilik sastra; yang digunakan oleh rakyat untuk mencapai tujuan-tujuannya. Di tengah tidak jelasnya pembangunan kebudayaan dan kecenderungan menganggap tidak penting kebudayaan, seni, dan sastra di Indonesia, hasil penelitian ini memberi sumbangan bagi pemerintah dalam rangka meninjau kembali kebijakan pembangunan kebudayaan, seni, dan sastra yang telah ada; untuk menyusun politik kebudayaan, sastra, dan seni yang benar-benar berorientasi bangsa dan berorientasi kepada rakyat sebagai pemilik dan subjek kebudayaan, seni, dan sastra.

7

Page 8: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

Hasil penelitian ini memberi sumbangan kepada pembentukan suatu sikap bangsa terhadap masa lalu atau sejarah agar lebih objektif sehingga tidak terjadi pewarisan dendam yang berkepanjangan. Hal ini penting dijadikan sumbangan hasil penelitian ini karena fakta-fakta sikap bangsa Indonesia menunjukkan bahwa segala hal yang berkaitan dengan PKI diterima dengan rasa benci dan dendam. Dekade ini adalah waktu yang tepat melakukan rekonsiliasi bangsa dan di tengah pergantian generasi, generasi baru harus membaca sejarah bangsanya, termasuk yang berkaitan dengan kiprah PKI di Indonesia, baik dalam bidang politik, ekonomi, kebudayaan, seni, dan sastra. Karena itulah, dibutuhkan berbagai kajian yag memadai dan hasil penelitian ini, khususnya pada bidang kebudayaan, seni, sastra, dimaksudkan untuk hal itu.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN2.1 Kajian Pustaka

Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia (suatu Tinjauan dari Aspek Sosio-Budaya) (Ismail, 1972) adalah penelitian tentang Lekra yang paling sering dibicarakan dan sangat penting karena beberapa alasan: (1) buku ini menyajikan fakta-fakta yang sangat memadai tentang pertumbuhan, perkembangan dan kejatuhan Lekra, (2) tinjauan yang digunakan adalah dari aspek sosio-budaya dan bukan dari aspek sastra, dengan demikikian buku ini memebri wawasan yang lebih luas dalam hal keberadaan Lekra (3) memberi pandangan yang relatif utuh, dan (4) di tengah kekosongan buku-buku tentang Lekra buku ini memberi informasi yang sangat penting tentang perjalanan hidup Lekra selama lima belas tahun. Buku serupa baru muncul di Indonesia pada tahun 2008 dengan terbitnya Lekra Tak Membakar Buku (Yuliantri dan Dahlan, 2008).

Walaupun sampai saat ini hubungan langsung Lekra dengan PKI masih diperdebatkan; apakah Lekra segaris dengan PKI atau Lekra hanya diperalat oleh PKI; Ismail (1972; 8) menegaskan bahwa Lekra tidak dapat dipisahkan dengan PKI. Kajian Ismail (1972) adalah kajian politik, khususnya dalam bidang organisasi kebudayaan, yang sejalan dengan keyakinan Nyoto bahwa politik berperan besar dalam sendi-sendi kehidupan manusia, termasuk dalam ranah sastra, seni (Raditya, 2007: 228) . Kajian ini berbeda dengan kajian Foulcher (1986). Foulcher mengkaji hubungan Lekra (organisasi kebudayaan, seni, dan

8

Page 9: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

sastra yang memiliki komitmen sosial-politik) dengan hasil-hasil kreatif di bidang sastra dan seni (ibid, 1986: iii).

Konsep perjuangan Lekra dalam bidang kebudayaan, seni, sastra adalah “Mukadimah” yang menjelaskan hubungan rakyat dengan kebudayaan. Rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan dan pembangunan kebudayaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat. Cita-cita PKI terhadap kaum seniman dan budayawan adalah untuk propaganda partai dan Lekra berkembang menjadi organisasi kebudayaan yang agresif, dengan pijakan kuat di atas prinsip “seni untuk revolusi” dan “politik adalah panglima” atau politik menjadi acuan mencipta seni, sastra, dan filsafat dan ciptaan-ciptaan itu harus sejalan dengan garis-garis politik (PKI). Karena itu, cita-cita perjuangan PKI (misalnya: revolusi, Nasakom, Manipol, land-reform) ditemukan kembali atau diekspresikan dalam karya sastra Lekra. Dengan kata lain, Lekra mempropagandakan komunisme. Penyebaran ideologi komunis dilakukan dengan sadar oleh Lekra melalui lembaga-lembaga kesenian yang ada di bawahnya (Lembaga Sastra Indonesia, Lembaga Seni Rupa Indonesia, Lembaga Musik Indonesia, Lembaga Seni Drama Indonesia). Yang dinomorsatukan dalam mencipta sastra adalah keperluan sosial politik, setelah itu baru keperluan artistik. Untuk merealisasikan prinsip-prinsip perjuangan kebudayaan Lekra, peranan ideologi sangat penting. Lekra adalah manifestasi ideologi komunis (teori pertentangan kelas). Hal ini tampak dalam perbedaan prinsip kemanusiaan yang dianut oleh kaum komunis (kemanusiaan proletar, kemanusiaan massa rakyat) dengan konsep kemanusiaan yang diaut oleh kaum imprealis, tuan tanah (kemanusiaan borjuis, kemanusiaan feodal). PKI menjadikan Lekra front kebudayaan yang menampung segala lapisan seniman, budayawan, dan intelektual, dari golongan orang desa hingga golongan sarjana, yang melakukan perlawan terhadap kebudayaan dekaden imprealis dan feodal. Menurut Ismail (1972: 13) kebijakan PKI terhadap Lekra adalah peniruan dari kebijakan Mao Tse-tung di RRT (Republik Rakyat Tiongkok).

Seni dan sastra adalah juga perwujudan patriotisme proletar, sosialis, dan progresif; adalah patrotisme yang mencintai tanah air dan di atas segala-galanya mencintai rakyat Indonesia dan membela segala kepentingan rakyat dari kaum pengisap. Lekra selalu mengacu kepada pikiran-pikiran Presiden Soekarno yang sejalan dengan prinsip-prinsip perjuangannya (Foulcher, 1986: 32): anti-imprealisme atau anti-Amerika; karena garis politiknya sejalan dengan garis politik PKI.

9

Page 10: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

Progresivitas dan sikap revolusioner Lekra tampak pada serangan atau penolakan terhadap lawan-lawannya yang tidak sehaluan. Lekra menolak humanisme universal yang dianut oleh pencetus Surat Kepercayaan Gelanggang. Menurut Lekra, humanisme universal tidak berpihak kepada Revolusi Indonesia, yang identik dengan revolusi rakyat. Paham seni untuk seni juga sangat bertentangan dengan prinsip perjuangan Lekra, yaitu seni untuk rakyat atau seni yang jelas berpihak kepada rakyat. Komunis memposisikan agama sebagai hambatan besar dalam penyebaran ideologinya. Untuk melawan agama, Lekra mengembangkan sastra yang bertema anti-ulama-ulama Islam dan menyerang Hamka dengan tuduhan sebagai plagiat; tetapi mendapat pembelaan Jassin (Eneste, 1983: xiii-xiv). H.B. Jassin sebagai kritikus sastra Indonesia diserang dan hendak dijatuhkan oleh Lekra karena menganut alirasan seni untuk seni, individualis, dan anti-rakyat. Pihak-pihak yang anti-Manipol, kontra-Revolusi, tidak sejalan dengan kebudayaan yang berkepribadian nasional akan bermusuhan dengan Lekra. Permusuhan Lekra dengan pendukung Manifes Kebudayaan sangat jelas. Pelarangan Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno adalah kemenangan Lekra. Kelak, di tengah perubahan haluan politik Indonesia dan pergantian rejim (dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto), walaupun tidak ada lagi Manifes Kebudayaan; kekalahan PKI adalah alasan kuat untuk melupakan Lekra. Empat dekade kemudian terbit Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk (Moeljanto dan Ismail, 1995) yang bertujuan memberi penjelasan kepada generasi yang lahir setelah dekade 1960-an tentang konflik tajam antara Lekra dan penganut Manifes Kebudayaan, untuk menghindari munculnya dendam baru di atas dendam lama.

Ismail (1972) memandang bahwa Lekra menganut aliran seni realisme sosialis. Hal ini ditelusuri dalam sejumlah karya sastra Lekra dan dalam pidato-pidato petinggi PKI. Sastra dalam pandangan marxis bukan barang mewah (yang tidak terjangkau oleh rakyat) tetapi alat yang ampuh untuk memperjuangkan kelas pekerja, buruh, dan tani guna mencapai tujuan dan cita-cita partai. Di samping sebagai alat perjuangan, sastra realisme sosialis digunakan untuk pembentukan ideologi massa (pekerja, buruh, tani). Fungsi didaktik sastra, menyajikan kehidupan yang seharusnya menurut Marxisme (ideal) dan bukan kehidupan yang nyata/kontemporer, sangat menonjol. Ismail (1972) mengkaji pelaksanaan paham realisme sosialis dalam karya-karya Lekra dan ditemukan beberapa hal penting standar karya: (1) tokoh-tokoh rakyat, pekerja, buruh, tani, kaum melarat harus dimenangkan dalam karya sastra, (2) melukiskan pertentangan kelas, (3)

10

Page 11: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

menyuarakan atau memperjuangkan kepentingan partai (komunis), (4) membentuk idologi marxis, (5) membela kaum yang terhisap, (6) menghamba/memuji partai/ideologi partai, (7) isi yang utama dan estetika yang terakhir, (8) berisi propaganda, (9) cinta/simpati dengan kaum melarat, (10) menolak/menyerang ideologi lain.

Karena gencarnya tindakan PKI dalam bidang kebudayaan, seni, dan sastra, partai-partai politik lainnya juga mendirikan lembaga-lembaga kebudayaan. Ismail (1972) memusatkan pembicaraan pada LKN (PNI). Ia juga mencoba menjelaskan kelahiran Manifes Kebudayaan, sebagai usaha untuk menandingi dominannya kekuasaan Lekra/PKI. Manifes Kebudayaan dengan tegas menolak paham seni Lekra; menurut Foulcher (1986: 56) adalah “sikap” dan bukan “estetika”; dan mendapat dukungan yang sangat kuat dari perkumpulan seni/sastra yang anti-PKI. Karena itu, Manifes Kebudayaan memperoleh dukungan besar dan hal ini tidak dipikirkan sebelumnya oleh Lekra. Lekra memperkiran Manifes Kebudayaan akan mati dengan sendirinya karena tidak memiliki jaringan organisasi di daerah-daerah. Kelahiran Manifes Kebudayaan dan penyelenggaraan KKPI yang didukung oleh Angkatan Darat semakin memperpanas suasana konflik ideologi yang mengambil ruangan kebudayaan, seni, dan sastra. Manifes Kebudayaan, yang dinilai kontra-Revolusi, anti-rakyat, borjuis, kosmopolitan oleh Lekra, menjadi penghalang Lekra mencapai cita-cita sehingga harus dihancurkan. Untuk itu dilakukan berbagai cara (melalui propaganda dan agitasi di media massa, demonstrasi di jalan-jalan, slogan, pamflet) dan karena pengaruh PKI sangat kuat (program kerja partai dan aktivitas-aktivitasnya sangat sistematis dan menyeluruh) maka pada tanggal 8 Mei 1964 Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan. Hingga dibubarkannya Manifes Kebudayaan, Lekra/PKI belum puas karena orang-orang yang mendukung Manifes Kebudayaan masih bercokol di berbagai instansi negara. Usaha Lekra/PKI semakin gencar menghapus pengaruh Manifes Kebudayaan sampai akhirnya terjadi peristiwa G30S 1965 dan rakyat serentak menentang PKI, yang mengakhiri kiprah Lekra di Indonesia karena pada tanggal 12 Maret 1966 Orde Baru melarang PKI.

Ismail (1972) memposisikan sastra sebagai bagian dari hiruk-pikuk politik dan ideologi yang dianut di sebuah negara yang tengah menjalankan revolusi. Sastra dikaji di tengah-tengah konteks politik dan menegaskan bahwa kebudayaan, seni, dan sastra berperan besar dalam politik atau dalam perjuangan berdasar suatu ideologi. Kajian yang dilakukan oleh Ismail adalah kajian sejarah politik (selama lima belas tahun, masa selama Lekra tumbuh, berkembang, dan jatuh) di bidang

11

Page 12: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

kebudayaan; menunjukkan cara pengelolaan budaya, seni, sastra secara politik, bagian politik untuk mencapai cita-cita politik pula: sosialis. Teks-teks sastra yang digunakan sebagai data, bukan sumber terpenting dan satu-satunya tetapi hanya salah satu sumber data. Hal itu berbeda dengan kajian Foulcher (1986).

Berdasarkan pokok-pokok persoalan yang terkait dengan Lekra, yang dibahas oleh Foulcher, menunjukkan bahwa kajiannya adalah kajian sastra. Sastra sebagai sebuah peristiwa sejarah yang menempati periode tertentu. Hal ini membedakannya dengan Ismail (1972). Sejalan dengan hal itu Foulcher mengawali dengan penggambaran sejarah sastra Indonesia. Melalui gambaran ini, ia menunjukkan posisi karya-karya sastra Lekra dan sekaligus ditunjukkan bahwa banyak kritikus sastra tidak memberi perhatian kepada karya-karya sastra Lekra. Tidak disinggungnya karya-karya sastra Lekra dalam sejarah sastra Indonesia telah diketahui secara umum (Sambodja, 2010: 33). Menurut Sambodja, Indonesia membutuhkan sejarah sastra yang komprehensif tanpa mempertimbagkan agama, suku, ras, ideologi, partai politik para sastrawan. Adanya sikap yang mengabaikan karya-karya sastra Lekra dalam sejarah sastra menunjukkan bahwa keadaan politik Indonesia juga tampak pada sejarah sastranya (Foulcher, 1986: 1).

Dalam pembicaraan tentang sejarah sastra Indonesia, Foulcher banyak menyinggung sastra kiri dan karya-karya sastra Lekra adalah sastra kiri, yang berupa puisi protes. Sastra kiri di Indonesia tidak bayak diteliti. Masih ada kaitannya dengan sejarah sastra dan menempatkan sastra dalam lingkungan sejarah yang lebih luas, Foulcher membicarakan Lekra dengan Polemik Kebudayaan sebagai cara pandang terhadap peristiwa-peristiwa kebudayaan yang penting yang pernah terjadi di Indonesia. Peristiwa-peristiwa itu selalu dalam bentuk pertentangan atau konflik antara dua pihak; pada dasarnya adalah pertarungan ideologi.

Jika Ismail (1972) secara terperinci membicarakan aspek-aspek ideologi, politik, prinsip-prinsip organisasi Lekra dan ditemukan dalam Yuliantri dan Dahlan (2008); Foulcher (1986: 27-57) juga membicarakan hal yang sama tetapi lebih ringkas. Karena fokus kajiannya adalah sastra, maka ia membicarakan sejumlah karya sastra Lekra. Pembicaraannya tidak secara khusus (terhada karya-karya sastra Lekra saja) tetapi menyinggung karya-karya di luar Lekra yang memiliki kesamaan dengan karya-karya Lekra atau, bahkan, karya yang bertentangan dengan karya-karya Lekra. Kajian ini ditemukan juga dalam Toer (2003). Pembicaraan Foulcher terhadap karya-karya sastra Lekra menggunakan teori realisme sosialis memperkuat pandangan bahwa sastra Lekra adalah realisme

12

Page 13: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

sosialis (Ismail, 1972; Rosidi, 1995; Dewanto, 1996; Malna, 2000; Toer, 2003; Kurniawan, 2006; Sambodja, 2010).

Foulcher (1986) menyusun dua antologi sastra Lekra (dilengkapi terjemahan bahasa Inggris), pada Bab 4 (hingga tahun 1959) dan Bab 6 (tahun 1960-1965), puisi dan prosa (cerpen). Kedua antologi tersebut begitu saja muncul tanpa diberi ulasan. Di samping kedua antologi tersebut, Foulcher melengkapi kajiannya dengan ilustrasi (sampul buku, karikatur, dan grafis), tanpa penjelasan: apa hubungannya dengan kedua antologi tersebut atau dengan kajiannya terhadap Lekra. Muncul pertanyaan, mengapa antologi dan ilustrasi tersebut tidak dijadikan lampiran?

Beberapa pandangan Foulcher tetang Lekra dirumuskan pada bab akhir kajiannya. Lekra adalah bagian yang sangat unik dan khas dalam sejarah sastra Indonesia. Lekra, menurut Foulcher, esensinya berkaitan dengan Polemik Kebudayaan pada dekade 1930-an. Lekra adalah organisasi pertama di Indonesia yang merespons bagaimanakah hubungan komitmen sosial dan perubahan politik dalam praktik seni dan sastra. Pada bagian akhir kajiannya, Foulcher menegaskan bahwa fondasi Lekra adalah realisme sosialis karena Lekra terlibat dalam realitas Indonesia. Realisme sosialis adalah komitmen sosial terhadap masyarakat. Lekra tidak lepas dari PKI, sebagaimana pandangan Foulcher, Lekra adalah alat bagi PKI mencapai tujuannya. Foulcher menutup kajiannya dengan penegasan bahwa segala karya sastra yang ditinggalkan Lekra adalah situs, tempat makna-makna akan dibangun terus dan tempat membangun visi-visi terhadap kenyataan serta berbagai kemungkinan yang bisa dibentuk. Pandangan ini didasari oleh “The meaning of literature and art generally does not lie in the text itself, but in the meaning constructed upon the text by social and historical process.

Sehubungan dengan kajian Foulcher, ketika karya sastra diproduksi di atas organisasi ideologi teknis dan terkontrol ketat, apakah masih ada kemungkinan-kemungkina baru dalam memaknainya untuk menemukan makna-makna lain di luar makna-makna yang telah ada? Realisme sosialis Lekra (seni untuk rakyat, paham kerakyatan dalam seni) telah menyiapkan pedoman yang dijadikan alat memaknai karya-karya sastra Lekra. Bagi peneliti, kenyataan ini adalah “pembatasan ruang gerak” ketika melakukan analisis; yang bisa diatasi dengan cara memilih perspektif (teori dan metode) lain. Karena itulah, tinjauan terhadap kajian Foulcher ini lebih menjadi dorongan untuk tidak memaknai puisi dan cerpen-cerpen Lekra (Gugur Merah dan Suara dari Bawah) dari dalam teks tersebut tetapi memaknai dengan bantuan teks-teks lain, yang sezaman melalui

13

Page 14: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

pembagunan kawasan teks. Kerja ini dibantu oleh interteks sehingga prinsip-prinsip new historicism bermanfaat untuk memecahkan permasalahan penelitian ini.

Buku mengenai realisme sosialis yang paling lengkap tentang keadaan sastra di Indonesia adalah Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (Toer, 2003). Karena buku ini sangat penting (mengulas secara mendalam tentang realisme sosialis di Indonesia, yang sangat erat kaitannya dengan penelitian ini dan sebagai kajian sejarah sastra Indonesia yang disusun berdasarkan perspektif ideologi dalam sastra), akan ditinjau untuk penelitian ini. Maksud diterbitkannya buku ini adalah untuk memeberi penjelasan kepada masyarakat mengenai realisme sosialis sehingga tidak terjadi kesalahpahaman berkepanjangan dan syak-wasangka terhadap para seniman, budayawan, intelektual Lekra yang menganut paham realisme sosialis (seni untuk rakyat, paham kerakyatan); yang berafiliasi kepada PKI. Di samping maksud tersebut pemikiran-pemikiran mengenai realisme sosialis yang dibicarakan dalam buku ini digunakan untuk melawan ideologi lain: humanisme universal.

Realisme sosialis di Indonesia dipengaruhi oleh realisme sosialis Uni Soviet dengan tokohnya Maxim Gorki (muncul sekitar tahun 1905 dan secara resmi diumumkan di hadapan Kongres I sastrawan Uni Soviet, oleh Andrei Zidanov tahun 1934). Seperti dikutip oleh Toer (2003: 28) dari Andrei Zidanov, untuk bisa melukiskan “hidup” dengan benar (dalam sastra, seni) maka harus mengenal hidup itu dengan cara masuk mendalami kehidupan rakyat. Kenyataan harus dilukiskan dalam pertumbuhan revolusinya. Tugas sastra adalah pembentukan ideology dan mendidik pekerja-pekerja dalam semangat sosialisme. Realisme sosialis adalah metode kerja dalam sastra untuk memenangkan sosialisme. Sosialisme adalah perjuangan rakyat tertindas (buruh, tani) untuk lepas dari imprealisme-kolonialisme. Realisme sosialis yang menganut humanisme proletar bernapaskan perlawanan terhadap segala yang berhubungan dengan humanisme borjuis. Karena napas perlawanannya sangat kuat, humanisme proletar selalu mengecam humanisme borjuis.

Sastra realisme sosialis memiliki watak perlawanan, sastra perjuangan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas, memusuhi kaum kapitalis karena “musuh kemanusiaan”, memberi harapan baru, kemenangan bagi rakyat, sastrawannya harus mengerti politik, sastra yang revolusioner, pengarang harus selalau mempertanyaan “Untuk apa dan mengapa menulis?”, apakah materi tulisan benar dalam usaha memenangkan sosialisme, selalu bertendens, membawa pembaca

14

Page 15: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

kepada satu tujuan yang pasti, . Menurut Toer (2003: 61) sastra realisme sosialis sejak tahun “belasan” telah ada di Indonesia, yang ditunjukkan oleh Hikayat Siti Mariah (cerita bersambung di koran Medan Prijaji, terbit mulai tanggal 7 November 1910 s.d. 6 Januari 1912) karya Hadji Moekti. Roman ini mengungguli Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Atheis, Keluarga Gerilya. Yang menjadikan Hikayat Siti Mariah roman besar/penting adalah kandungan sosialis-nya. Roman sosialis lain yang hampir sezaman dengan Hikayat Siti Mariah berjudul Nyai Permana, sebagai cerita bersambung di Medan Prijaji (Tirto Adhi Soerjo). Karya lain yag sejalan dengan kedua roman tersebut adalah Hikayat Kadirun (Semaun). Ketiga karya yang ada di bawah realisme sosialis itu dilanjutkan oleh Mas Marco dalam Mata Gelap (1914), Student Hijo (1919), dan Rasa Merdika (1942).

Buku yang dalam tinjauan ini, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (toer, 2003) adalah buku sejarah sastra yang ditulis dengan perspektif realisme sosialis. Penulisan sejarah sastra Indonesia yang dilakukan selama ini didasarkan pada sejarah politik dan sejarah/perkembangan bahasa Indonesia dan karena itu buku ini sangat penting; menyediakan perspektif yang berbeda dalam penyusunan sejarah sastra Indonesia. Sejarah sastra yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer ini tidak berupa daftar karya sastra yang dikelompokkan berdasarkan tahun-tahun terbit atau angkatan/periode sastra tetapi berdasarkan “perkembangan aliran pemikiran/filsafat/sikap” yang merupakan kecenderungan zaman; yang tampak pada karya sastra, sebagai bentuk keterlibatan sastra dalam kehidupan manusia. Sejarah sastra yang ditulis oleh Toer (2003) terentang dari periode Hikayat Siti Mariah (1910) hingga periode Lekra (1965).

Pada tahun 2006, Melani Budianta mempublikasikan hasil penelitian berjudul “Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicsm dalam Perkembangan Kritik Sastra” di Susastra 3 volume 2 nomor 3. Untuk sementara, inilah kajian sastra Indonesia yang menggunakan teori new historicism. Budianta (2006) meneliti karya Aman Datoek Madjoindo (Tjerita Boedjang Bingoeng dan Si Doel Anak Jakarta). Dalam kedua karya tersebut, pasar dan uang adalah hal yang sangat penting. Teks di luar sastra yang diteliti oleh Budianta adalah surat pembaca yang dipublikasikan di majalah Minangkabau tahun 1918. Surat ini berisi keluhan pembaca majalah tersebut terhadap hawa nafsu orang pada uang di masa transisi ke industrialisasi. Penutup surat ini, “adanya kesadaran bahwa uang diperlukan untuk kemajuan” (Budianta, 2006: 17). Surat ini dipilih oleh Budianta karena mengandung pokok yang sama dengan kedua karya sastra yang dikaji. Di samping itu, dengan pendekatan diakronis, Budianta juga mengkaji dua film karya sutradara

15

Page 16: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

Sjuman Djaja yang mengangkat novel Si Doel Anak Jakarta ke dalam bentuk film dan mengkaji sinetron Si Doel Anak Betawi karya sutradara Rano Karno. Budianta menegaskan bahwa yang dikajinya adalah sikap orang terhadap uang dan pasar dalam konteks diakronis, untuk melihat dinamika budaya yang ada, yang tetap dan yang berubah, berikut berbagai kontradiksinya.

Budianta mengenalkan dua model penelitian new historicism: diakronis dan sinkronis. Jika menggunakan pendekatan diakronis, peneliti harus menetapkan satu pokok yang akan diselidiki. Pokok-pokok ini menjadi panduan pemilihan teks (sastra dan nonsastra) yang dikaji. Budianta memang tidak menjelaskan batas-batas pemilihan teks, apakah suatu kebetulan atau didasari oleh pertimbangan lain atau bersifat acak. Jika mengacu kepada pokok “pasar” dan “uang” yang diajukan oleh Budianta sehubungan dengan dua karya Aman Datoek Madjoindo (Tjerita Boedjang Bingoeng dan Si Doel Anak Jakarta), tentu daftar panjang teks masih bisa dibuat, baik secara diakoronis dan sinkronis yang bisa dikaji. Pemilihan teks atau pembatasan teks tidak dijelaskan dan inilah yang tidak dijelaskan oleh new histroicsm. Jika menggunakan pendekatan sinkronis maka penelitian new historicism berhadapan dengan produksi teks pada satu zaman. Pada satu zaman pasti banyak sekali teks yang dihasilkan dan bagaimanakah new historicism bisa menjangkau semuanya? Sikap peneliti mungkin merupakan ukuran dalam pemilihan teks, sebagaimana dilakukan oleh Budianta (dengan penetapan satu pokok atau fokus kajian). Jika menggunakan pendekatan diakronik, persoalan pemilihan teks tampaknya akan lebih kompleks dan sulit diterima pemilihan teks bisa secara acak, sebagaimana dilakukan oleh Budianta (2006); karena itu ia meragukan studinya sendiri apakah benar telah menerapkan new historicism?

Sambodja (2010) membicarakan sastra Indonesia pada dekade 1960-an yang terdiri atas dua kubu: Lekra dan Manifes Kebudayaan. Sastra yang dihasilkan oleh sastrawan Manifes Kebudayaan berkuasa selama 32 tahun. Selama periode tersebut, sastra Lekra tidak memperoleh hak hidup. Sejak Reformasi 1998 kedua kubu sastrawan Indonesia tersebut memiliki hak bersuara yang sama. Menurut Sambodja (2010: 10), arti penting sastra Lekra adalah sebagai asset kebudayaan bangsa dan tidak boleh hilang karena karya sastra mengandung pemikiran penulisnya.

Walapun Sambodja menggunakan new historicism tetapi penelitiannya tidak menunjukkan penerapan teori tersebut secara jelas kecuali pada usaha untuk membicarakan karya sastra baik dari kubu Lekra dan kubu Manifes Kebudayaan dengan kesadaran yang sangat kuat bahwa pembicaraan itu tidak harus dibatasi

16

Page 17: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

oleh teks-teks sastra. Ia membebaskan diri batas-batas teks (sastra dan nonsastra atau fiksi dan nonfiksi). Penelitian Sambodja (2010) adalah usaha untuk menghargai sastra Lekra karena dari sejarah sastra Indonesia dan antologi-antologi sastra yang ada, sastra Lekra tidak diberi tempat. Melalui Toer (2006) diketahui bahwa telah ditulis sejarah sastra Indonesia yang sama sekali berbeda dengan sejarah sastra yang yang umumnya dikenal di Indonesia (penulisan sejarah sastra berdasarkan angkatan atau periode. Toer (2003) menulis sejarah sastra berdasarkan perkembangan ideologi yang dianut oleh para sastrawan. Khusus pada Toer (2003), sejarah sastra ditulis berdasarkan ideologi realisme sosialis. Sambodja membatasi diri pada karya sastra 1960-an yang berbicara tentang kebangsaan dan nasionalisme pada dua kubu sastra (Lekra dan Manifes Kebudayaan). Sebagai pengantar pembicaraan karya-karya sastra Lekra dan karya-karya sastra Manifes Kebudayaan, Sambodja mengkaji konsep kesenian sastrawan Lekra (realisme sosialis) dan konsep kesenian sastrawan Manifes Kebudayaan (humanisme universal). Keduanya penting bagi kebudayaan Indonesia dan sejarah sastra harus ditulis dengan tidak membedakan latar belakang ideologi sastrawan. Pikiran ini melandasi penelitian Sambodja (2010) dan adalah “pembelaan” terhadap sastra Lekra yang sejak lama dicampakkan. Sambodja menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan buku sejarah sastra yang komprehensif dan representatif. Buku Historiografi Sastra Indonesia 1960-an (Sambodja, 2010) mencoba adil terhadap dua kubu sastra pada dekade tersebut. Sebagai kajian new historicism, kajian ini belum memadai.

Pembicaraan tentang pertarungan Lekra dengan Manifes Kebudayaan di Indonesia, sampai pada tahun 2008 mengacu kepada satu buku, yaitu Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk (Moeljanto dan Ismail, 1995). Buku ini menjelaskan konflik antara Lekra dan Manifes Kebudayaan, dari kedua kubu. Sumber buku ini adalah makalah yang ditulis dan diseminarkan pada periode (1950-1965), surat-surat pembaca, karikatur, lagu, poster, dan yang terpenting adalah berita surat kabar dan tajuk rencana. Pada tahun 2008 terbit Lekra Tak Membakar Buku karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Walaupun kedua buku ini berangkat dari persoalan yang sama tetapi masing-masing buku memiliki tujuan tersendiri. Moeljanto dan Ismail (1995: vii) bertujuan memberi pengetahuan tentang konflik Lekra dan Manifesto Kebudayaan, bagi generasi muda Indonesia yang tidak mengalami langsung peristiwa tersebut, sehingga dendam akibat konflik tersebut tidak diwariskan atau menorehkan luka baru di atas luka lama. Yuliantri dan Dahlan (2010: 6) bertujuan membebaskan

17

Page 18: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

Lekra dari kebisuan dan kesenyapan yang selama 40 tahun dideritanya sehingga masyarakat Indonesia mengetahui apa sebenarnya yang dilakukan oleh Lekra selama masa hidupnya (1960-1965).

Peran buku ini adalah membagunkan kembali panggung buat Lekra “sepersis” pada periode-periode yang bergemuruh itu. Terutama setelah Kongres Nasional I Lekra berlangsung di Solo pada 1959. Tentu saja ini bukan pembelaan yang buta terhadap Lekra, tetapi memberi bagi si bisu ini kesempatan untuk berbicara apa sesungguhnya yang mereka lakukan selama 15 tahun itu. (Yuliantri dan Dahlan, 2008: 6).

Buku Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Tetap menyajikan konflik antara kubu Lekra dan Manifes Kebudayaan. Buku ini lebih tepat disebut dokumen ketimbang buku yag menyajikan informasi yang telah diolah melalui suatu kajian atau penyusunan ulang. Buku ini belum memberi pembaca satu gambaran yang jelas tentang konflik di antara kubu Lekra dan kubu Manifesto Kebudayaan. Karena itu, buku ini tidak memberi satu pemahaman terhadap konflik tersebut. Artinya buku ini tetap menyajikan persoalan bagi pembaca. Berbeda dengan Lekra Tak Membakar Buku, yang memberi pembaca penjelasan luas mengenai Lekra dan kiprahnya, walaupun bersumber haya dari Harian Rakjat dan hal ini menjadikan buku ini fokus kepada satu persoalan dengan satu sudut pandang.

Lekra Tak Membakar Buku menyajikan informasi yang luas mengenai Lekra dan kiprahnya. Buku ini secara jelas menunjukkan satu kebijakan politik di bidang kebudayaan, seni, dan sastra. Lekra tidak hanya sebagai lembaga ideologi kebudayaan, seni, dan sastra tetapi juga sebagai lembaga teknis kerja di bidang kebudayaan, seni, dan sastra. Lekra bergerak di berbagai lapangan kebudayaan dan seni: sastra, film, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, buku. Sikap Lekra dalam kebudayaan, seni, dan sastra sangat jelas, yaitu berpihak kepada rakyat. Lekra juga dengan tegas melawan segala kegiatan kebudayaan dan produk-produknya; seni dan sastra yang anti-rakyat atau yang mengisap/menindas rakyat (imprealis, kapitalis, dan borjuis yang feudal). Pada konteks ini kebudayaan, seni, dan sastra adalah sebuah perlawanan untuk mencapai kemenangan rakyat dari penghisap/penindas.

2.2 KonsepIdeologi

18

Page 19: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

Ada banyak sekali konstruksi yang telah diajukan terhadap ideologi. Dapat disimpulkan bahwa ideologi adalah konsep yang paling meragukan dan paling sukar ditangkap. Hal itu terjadi karena terlalu banyak pendekatan teoretis yang menunjuk kepada arti dan fungsi yang berbeda-beda dan karena ideologi sarat dengan konotasi politik yang digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari (Larrain dalam Nuswantoro, 2001: 2). Nuswaantoro (2001: 48) mengemukakan beberpa pengertian ideologi: (1) Ideologi adalah jalan kebenaran yang menyerupai firman; (2) Ideologi adalah gambaran palsu tentang dunia; (3) Ideologi adalah prinsip-prinsip panduan hidup suatu masyarakat untuk mencapai tatanan tertentu (kesetaraan manusia, keadilan, atau kemakmuran); (4) Ideologi adalah seperangkat keyakinan yang dianut oleh suatu masyarakat.

Ideologi baru bisa dipercayai dan diterima oleh penganutnya setelah ideologi tersebut dapat dilaksanakan dalam tingkatan empiris. Berdasarkan sejumlah pengertian ini, Nuswantoro menyimpulkan bahwa ideologi adalag seperangkat sistem ide yang diyakini; sejalan dengan pendapat Daniel Bell yang dikutipnya bahwa ideologi adalah kompleksitas ide-ide.

Menurut Poespowardojo (dalam Nuswantoro, 2001: 13), ideologi memiliki enam fungsi:

1. Sebagai struktur kognitif; ideologi berfungsi sebagai pengetahuan yang merupakan landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian alam.

2. Sebagai orientasi dasar; ideologi berfungsi untuk membuka wawasan dan menunjukkan tujuan hidup manusia.

3. Sebagai norma-norma; ideologi berfungsi sebagai pedoman dan pegangan bagi seseorang dalam bertindak.

4. Sebagai bekal dan jalan; ideologi digunakan untuk menemukan identitas bagi penganutnya.

5. Sebagai kekuatan; ideologi berfungsi untuk menyemangati dan mendorong penganutnya melakukan tindakan dalam mencapai tujuan.

6. Sebagai pendidikan; ideologi berfungsi untuk membangun pemahaman, penghayatan, dan orientasi masyarakat terhadap norma-norma yang dikandung oleh ideologi tersebut.

Perlawanan

19

Page 20: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

Kondisi Indonesia (1950-1965) tidak stabil karena peralihan dari negara terjajah menjadi negara merdeka penuh dengan hambatan. Indonesia menghadapi dua tugas besar: (1) diplomasi untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara berdaulat di luar negeri dan (2) mengendalikan kekuatan-kekuatan subversif yang tidak sejalan dengan tujuan revolusi. Dalam tubuh negara Indonesia sendiri, yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, muncul berbagai kekuatan politik dan mengambil peranan dalam pemerintahan. Demokrasi dan kebebasan baru yang dicapai melahirkan banyak partai politik. PKI adalah salah satu partai yang berpengaruh besar pada periode pemerintahan Presiden Soekarno. Partai ini menganjurkan jalan revolusi di berbagai bidang kehidupan, termasuk kebudayaan, seni, dan sastra. Lekra yang berafiliasi kepada PKI, menganut realisme sosialis (seni untuk rakyat, paham kerakyatan dalam kesenian). Lekra berpihak pada rakyat yang tertindas dan terhisap. Sastra dalam hal ini adalah alat perlawanan untuk mencapai tujuan: terbebasnya rakyat dari penindasan dan penghisapan oleh kaum borjuis, kaum feodal, kapitalis, tuan tanah, majikan, kaum imprealis. Makna kata “perlawanan” jauh lebih operasional dan nyata, sebagaimana hal ini ditemukan dalam puisi dan cerpen Lekra; ketimbang jika menggunakan kata “perjuangan”, yang lebih berbau pembangunan dan birokratis. Lekra adalah organisasi seniman-seniman pejuang atau pejuang-pejuang seniman. Sesuai dengan isi ini, Lekra selalu berlawan terhadap setiap ketidakadilan, berlawan terhadap setiap kepalsuan. Berlawan terhadap yang lama adalah syarat untuk membangun yang baru (Haria Rakjat, 8 Maret 1962, dalam Yuliantri dan Dahlan, 2008: 21). Hal itu dilakukan dalam dunia kebudayaan, seni dan sastra. Istilah “sastra perlawanan” digunakan oleh Ahmadun Yosi Herfanda dalam “Sastra Perlawanan dan Ideologi Penciptaan” (http://www.infoanda.com/Republika). Menurut Herfanda, sastra perlawanan adalah sastra sebagai media perjuangan, dalam hal ini adalah perjuangan kaum buruh yang tertindas. Seperti dijelaskan oleh Toer (2003), perlawanan adalah watak sastra realisme sosialis, tampaknya bagi Lekra, sastra tidak semata-mata merupakan media perlawanan dalam pengertian pragmatis, tetapi bagaimana mewujudkan budaya, seni, dan sastra sebagai milik rakyat (Situmorang, 2004: 167); sehingga terjadi penolakan terhadap sastra borjuis dan membangun sastra sosialis (Riyanto, 2000: 66).

Sastra LekraWalaupun peranan Lekra sangat besar pada periode 1950-1965 dan

memiliki pengaruh yang sangat luas di lapangan kebudayaan, seni, dan sastra, namun selama 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto, Lekra seolah tidak ada (Yuliantri dan Dahlan, 2008; Sambodja, 2010). Karena itu, sejarah sastra Indonesia tidak mencamtumkan periode ini karena Lekra didalangi oleh PKI dan partai ini dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia (Ismail, 1972: 8). Lekra didirikan

20

Page 21: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

tanggal 17 Agustus 1945 oleh D.N Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta, dan Nyoto. Lekra lahir untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut garis Revolusi. Tugas ini tidak boleh hanya dibebankan kepada kaum politisi tetapi juga menjadi tugas kaum pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung Revolus dan kebudayaan nasional karena itu Lekra selalu mendahulukan kepentingan nasional dan kepentingan rakyat. Rakyat bagi Lekra adalah akar penciptaan karena jika diumpamakan kebudayaan Indonesia adalah pohon yang kokoh maka akar pohon ini menancap kuat di bumi: rakyat Indonesia. Menurut Mukaddimah Lekra, rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan dan pembangunan kebudayaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat. Lekra secara tegas berpihak kepada rakyat. Dalam berita Harian Rakjat tanggal 31 Januari 1959 disebutkan bahwa Lekra bertujuan memadukan kebudayaan dalam gerakan rakyat dan memadukan gerakan rakyat dalam kebudayaan (Yuliantri dan Dahlan, 2008: 23). Dalam gerakannya, Lekra menetapkan politik sebagai panglima (sebagai asa dan basis). Menurut Nyoto, politik tidak bisa dihindari oleh siapapun. Politik akan menggilas mati orang yang mengindarinya. Oleh karena itu dalam hal apapun dan kapanpun politik harus menuntun segala kegiatan. Inilah yang dinamakan politik adalah panglima. Asas “politik adalah panglima” ditopang oleh metode kerja yang dijelaskan sebagai berikut.

Meluas dan meninggi adalah Lekra memandang wilayah kebudayaan Indonesia sangat luas dan sangat kaya. Tugas Lekra dalam hal ini adalah sebagai mesin “generator” yang berpihak kepada rakyat pemilik kebudayaan yang kaya-raya itu, agar hidup dengan isi baru untuk kepentingan rakyat dan kepentingan Revolusi; bagaimana rakyat menggunakan kebudayaan tersebut sebagai tameng dan senjata untuk merebut hak-hak rakyat yang dihisap oleh musuh-musuhnya (kapitalis, imprealis, kaum feodal). Lekra memandang perlu pekerja-pekerja kebudayaan (seniman dan sarjana) agar senantiasa belajar untuk meninggikan mutu artistik.

Tinggi mutu ideologi dan artistik adalah suatu metode kerja yang dibangun di atas prinsip bahwa tidak ada seni untuk seni karena semua seni dan ilmu berpihak. Ideologi Lekra adalah kerakyatan. Seni harus mengabdi kepada ideologi kerakyatan. Yang dimaksud dengan mutut artistik adalah bagaimana karya menafsirkan kenyataan. Mutu idologi diperoleh dari kesadaran politik yang tinggi (di kalanga pekerja kebudayaan, seniman, dan sastrawan).

Tradisi baik dan kekinian revolusioner adalah ajaran moral, kerja dan sikap peka pekerja kebudayaan Lekra. Tradisi baik dalam proses menciptakan karya

21

Page 22: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

sastra dikembangkan menjadi “tiga baik”: bekerja baik, belajar baik, dan moral baik. Kekinian revolusioner adalah tuntutan bagi pekerja kebudayaan, seniman, dan sastrawan agar memiliki kepekaan kritis terhadap realitas terkini di atas panggung kehidupan rakyat dan mampu menangkap akar permasalahan. Hal ini berhasil dilakukan secara revolusioner dan progresif.

Kreativitas individual dan kearifan massa adalah kecakan atau kreativitas individu yang digali dari kehidupan rakyat atau dari kearifan masyarakat. Kreativitas atau kecakapan tersebut berguna jika memiliki komitmen sosial.

Rwalisme sosial dan romantik revolusioner adalah realisme untuk mencapai tujuan sosialis, yaitu kemenangan rakyat atau rakyat terbebas dari penindasan dan pengisapan. Watak realisme sosial adalah tidak kenal kompromi dengan lawan. Romantik revolusioner adalah tindakan mengambil yang lampau dengan memberi isi baru dengan pikiran progresif dan revolusioner.

Turun ke bawah adalah metode kerja seni/sastra yang bertujuan mendapatkan pemahaman yang tepat dan mempelajari kebenaran yang hakiki, yang tidak mungkin dilakukan hanya dari khayalan individu, tidak mungkin didapat dari tumpukan buku, tidak mungkin didapat dari lamunan; melainkan dari kehidupan langsung rakyat. Untuk mengolah kehidupan dalam seni/sastra maka seniman/sastrawan harus mengenal kehidupan sebaik-baiknya dan serapat-rapatnya.

Lekra dengan metode kerja tersebut menghasilkan karya sastra (terutama puisi, cerpen, drama), dalam periode 1950-1965. Inilah yang dimaksud sastra Lekra dalam penelitia ini, yang diwakili oleh dua antologi puisi (Gugur Merah, Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965) dan cerpen (Laporan dari Bawah, Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965). Setelah jatuhnya PKI dan dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia, tidak diketahui lagi keberadaan sastra Lekra. Setelah jatuhnya Presiden Soeharto, teks-teks yang membuka ingatan kolektif terhadap Tragedi 1965 itu mulai bermunculan (beberapa di antaranya: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Memoar Pulau Buru, Menyebrangi Sungai Air Mata, Kisah Tragis Tapol ’65 dan Upaya Rekonsiliasi, Meretas Tirai Awan) termasuk dalam bidang sastra. Terbitnya karya-karya sastrawan Lekra (Pramoedya Ananta Toer, Putu Oka Sukanta, Martin Aleida, misalnya) setelah jatuhnya Presiden Soeharto menunjukkan bahwa sastra Lekra tidak mati dan mewarnai khazanah sastra Indonesia.

2.3 Landasan Teori

22

Page 23: Draft Proposal Disertasi 25 Nov

2.3.1 Fakta dan Fiksi2.3.2 Realisme Sosialis2.3.3 New Historicsm 2.3.4 Interteks 2.4 Model Penelitian

DAFTAR PUSTAKARaditya, Iswara N. 2007. “Nyoto, “Kalau Sport sudah Politik, apalagi Sastra dan Seni” dalam Tanah Air Bahasa, Seratus Jejak Pers Indonesia. Taufik Rahzen, dkk. Yogyakarta: I:Boekoe. Sunardi, St. 2008. “Tujuh Hari Terakhir di Labirin” dalam The Name of The Rose. Umberto Eco. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Nin Bakdi Soemanto. Yogyakarta: Bentang.

23