Draft Pep Final

download Draft Pep Final

of 22

description

pep

Transcript of Draft Pep Final

PSIKOSIS PADA EPILEPSI

AbstrakPasien-pasien dengan epilepsi dapat mengalami gejala-gejala psikiatrik dan kognitif mengawali kejang (pra iktal), mengikuti kejang (pasca iktal), berdiri sendiri di antara dua kejadian kejang (interiktal) atau merupakan bagian dari kejang itu sendiri (iktal). Psikosis yang terjadi pada fase iktal dikatakan sebagai fase awal (pra iktal) maupun sebagai bentuk dari kejang itu sendiri (iktal), psikosis interiktal memiliki kaitan erat dengan durasi mengalami epilepsi dan kontrol terhadap kejang.Gejala psikosis merupakan gejala psikiatri yang sering ddihubungkan dengan epilepsi, dengan prevalensi dari semua bentuk gangguan psikotik pada pasien-pasien dengan epilepsi berkisar dari 7 sampai dengan 12 persen. Teori mengenai patofisiologi psikosis pada epilepsi didasari pada dua mekanisme: 1) Gejala psikosis disebabkan oleh lepas muatan listrik yang berulang, baik yang langsung menimbulkan gejala psikosis maupun menyebabkan abnormalitas neurokimia yang pada akhirnya menimbulkan gejala psikosis. 2) Epilepsi dan gejala psikosis yang muncul mempunyai neuropatologi yang sama.Kecermatan dalam anamnesis dapat membantu kita mengenali hubungan temporal suatu gejala psikosis dengan episode kejang, yang mungkin dapat timbul lebih awal sebagai keluhan utama. Penatalaksanaan dengan menggunakan antipsikotik dosis rendah yang memiliki efek samping rendah menurunkan ambang kejang serta terapi yang adekuat untuk mengontrol kejang dapat membantu memberikan prognosis yang lebih baik.Kata kunci : epilepsi, psikosis, diagnosis, penatalaksanaan

I. PendahuluanEpilepsi didefinisikan sebagai penyakit dengan karakteristik adanya predisposisi yang memicu terjadinya kejang epilepsi disertai dengan konsekuensi neurobiologi, kognitif, psikologis dan sosial menyertai kondisi ini. Menurut definisi International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 2014, seseorang dianggap menderita epilepsi bila terdapat salah satu dari kondisi-kondisi berikut ini : 1) Sedikitnya dua kejang yang tidak diprovokasi yang berlangsung lebih dari 24 jam 2) Satu kejang yang tidak diprovokasi dan kemungkinan terjadinya kejang yang serupa di masa mendatang, sesuai dengan risiko berulang pada umumnya (paling sedikit 60%) setelah dua kejang yang tidak diprovokasi, berlangsung selama 10 tahun mendatang 3) Diagnosis sindroma epilepsi; epilepsi dianggap teratasi pada individu-individu yang mempunyai sindroma epilepsi terkait usia namun saat ini sudah melewati usia terkait atau bebas kejang selama 10 tahun dan bebas obat antikejang selama 5 tahun.1 Klasifikasi Epilepsi menurut ILAE1. Kejang parsial (fokal)a) Kejang parsial sederhana gejala motorik somatosensorik otonom psikisb) Kejang parsial kompleks Diawali kejang parsial sederhana diikuti perubahan kesadaran Diawali perubahan kesadaranc) Kejang parsial dengan generalisasi sekunder Diawali dengan kejang parsial sederhana Diawali dengan kejang parsial kompleks 2. Kejang umum (konvulsif atau nonkonvulsif)a) Absence (tipikal dan atipikal)b) Mioklonikc) Klonikd) Tonike) Tonik-klonikf) Atonik atau akinetik3. Kejang tidak terklasifikasikan

Tabel 1. Klasifikasi epilepsi menurut ILAE 1981 (Sumber : Commission of Classification and Teminology of the ILAE (1981))Kejang pada epilepsi adalah perilaku yang mendadak dan involunter yang dihubungkan dengan aktivitas listrik berlebihan pada otak. Kejadian kejang itu sendiri dikenal sebagai iktal. Periode interiktal mengacu pada periode antara abnormalitas pascaiktal dengan iktal (kejang) berikutnya, dan periode peri-iktal mengacu pada periode sesaat sebelum atau sesudah iktal (kejang) dan istilah ini digunakan ketika tidak terdapat informasi yang cukup untuk mengetahui kapan iktal (kejang) dimulai atau berakhir. 2Pasien-pasien dengan epilepsi dapat mengalami gejala-gejala psikiatrik dan kognitif mengawali kejang (pra iktal), mengikuti kejang (pasca iktal), berdiri sendiri di antara dua kejadian kejang (interiktal) atau merupakan bagian dari kejang itu sendiri (iktal). Gangguan-gangguan ini memiliki hubungan potensial yang berbeda-beda terhadap kejang itu sendiri. Psikosis yang terjadi pada fase iktal dikatakan sebagai fase awal (pra iktal) maupun sebagai bentuk dari kejang itu sendiri (iktal), psikosis interiktal memiliki kaitan erat dengan durasi mengalami epilepsi dan kontrol terhadap kejang.Manifestasi psikiatri dapat menjadi efek langsung dari kejang (contohnya aura psikis); sebagai fenomenal peri-iktal (contohnya kebingungan post-iktal atau delirium pasca iktal); terjadi di antara dua kejang (contohnya psikosis skizofreniform) atau varian yang tidak terlalu berhubungan dengan kejang (contohnya gangguan mood). 2Saat ini pelayanan kesehatan, khususnya di RSCM, mengusung konsep pelayanan yang terintegrasi, sehingga dirasakan perlunya meningkatkan pengetahuan mengenai adanya episode psikosis yang berhubungan dengan epilepsi, sehingga dapat meningkatkan kecermatan untuk mengenali variasi, awitan maupun rentang waktu gejala-gejala tersebut sejak awal, sehingga dapat menghasilkan diagnosis yang lebih tepat dan kerjasama antardisiplin ilmu sehingga dapat memberikan hasil yang terbaik bagi pasien.

II. Epidemiologi Psikosis pada EpilepsiGejala psikosis merupakan gejala psikiatri yang seringkali dapat dihubungkan dengan epilepsi, prevalensi dari semua bentuk gangguan psikotik pada pasien-pasien dengan epilepsi berkisar dari 7 sampai dengan 12 persen. Pada follow-up dari 100 anak dengan kejang parsial kompleks selama 30 tahun, dari 87 pasien yang mencapai dewasa dan tidak mengalami retardasi mental, 9 persen mengalami gejala psikosis.2 Di RSCM sendiri pernah dilakukan penelitian mengenai gejala psikosis episodik pada pasien epilepsi dengan rawat jalan di poli neurologi, dimana dari 80 subjek yang diteliti, 20 persen di antaranya mengalami gejala psikosis episodik. (Guntara Hari, 2006) 3Pengklasifikasian gejala-gejala psikiatrik dan kognitif berdasarkan hubungan temporalnya terhadap kejadian kejang sudah dikenal sejak masa Gowers and Hughlings Jackson pada abad kesembilan belas dan Kraeplin pada awal abad kedua puluh. Meskipun demikian, diantara seluruh fenomena psikiatrik, gejala-gejala psikiatrik praiktal, iktal dan pasca iktal merupakan yang paling sedikit dikenali oleh para klinisi dan paling sedikit diinvestigasi dalam riset studi sistematik. 2,4 Clamcy MJ et al dalam metaanalisis mengenai prevalensi psikosis pada epilepsi menemukan prevalensi psikosis pada epilepsi lobus temporal sebesar 7 persen, prevalensi psikosis inter-iktal sebesar 5,2 persen sedangkan prevalensi psikosis pascaiktal sebesar 2 persen.5

III. Patogenesis Psikosis pada EpilepsiHubungan antara gejala psikiatri dan epilepsi diduga melibatkan beberapa mekanisme (lihat tabel 2)Hubungan Gangguan Psikiatrik dengan Epilepsi

Neuropatologi yang sama, genetik atau gangguan perkembangan

Aktivitas iktal atau subiktal yamg mempotensiasi gangguan perilaku Kindling Perubahan keseimbangan eksitatorik dan inhibisi Perubahan sensistivitas reseptor (reseptor dopamin) Epileptogenesis sekunder

Kehilangan fungsi pada fokus kejang Inhibisi dan hipometabolisme pada daerah sekitar fokus kejang Aktivitas abnormal neuron Disfungsi pada area yang terkena

Neurokimia Dopamin endorfin

Gonadotropin dan hormon endokrin lainnya

Tabel 2. Hubungan antara Gangguan Psikiatrik dengan Epilepsi. sumber : Mendez M.D., Ph.D, Mario F. Neuropsychiatric Aspects of Epilepsy in Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry, 9th Ed, Lippincott Williams & Wilkins, New York: 2009; 455)

Etiologi dan pathogenesis episode psikosis pada epilepsi belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa ahli percaya hal ini erat kaitannya dengan gangguan kejang itu sendiri (Kanner, 2000), dimana episode-episode psikosis seringkali mengikuti awitan epilepsi dengan periode laten 11 hingga 15 tahun lamanya (Trimble et al., 1996), observasi ini berkembang menjadi sebuah postulat hipotesa kindling model dari psikosis epilepsi (Smith and Darlington, 1996), adanya kejang menyebabkan perubahan-perubahan fungsi otak, seperti perubahan sensitivitas reseptor maupun perubahan aliran darah. 6 Teori mengenai patofisiologi psikosis pada epilepsi didasari pada dua mekanisme berikut : 1) Gejala psikosis disebabkan oleh lepas muatan listrik yang berulang, baik yang langsung menimbulkan gejala psikosis maupun menyebabkan abnormalitas neurokimia yang pada akhirnya menimbulkan gejala psikosis. 2) Epilepsi dan gejala psikosis yang muncul mempunyai neuropatologi yang sama, yang mungkin bersifat terlokalisir, terutama di lobus temporal dan juga di lobus frontal dan serebelum, atau tersebar luas di seluruh otak.7Teori monoaminSalah satu dugaan patogenesis psikosis pascaiktal adalah adanya perubahan monoamin, studi menggunakan single photon emission computed tomography (SPECT) menggunakan iodobenzamid yang menunjukkan adanya penurunan level pada reseptor D2 pada striatal (Trimble et al., 1994) 7,8Perubahan neurokimia sebagai mekanisme homeostatis--Kejang juga menyebabkan beberapa perubahan neurokimia sebagai bagian dari mekanisme homeostatis, yang dapat juga berperan dalam pathogenesis terjadinya psikosis, yakni: peningkatan turnover dari gamma-aminobutiric acid (GABA), penurunan konsentrasi aspartat dan glutamat, serta perubahan endorfin, peptide, adenosine serta system second messenger. 2,7Studi neuroimagingBeberapa kausa organik berpotensi menyebabkan gangguan psikiatrik pada epilepsi dimana dasar patologis itu sendiri yang menjadi sumber dari kejang dan perubahan perilaku. Psikosis epilepsi sendiri sering kali dijumpai jika terdapat patologi spesifik yang mendasari, yakni lesi pada hemisfer kiri dan lesi lobus temporalis mungkin dapat dikaitkan dengan skizofreniform psikosis.Studi yang dilakukan oleh Tebartz van Elst et al 2002, menggunakan MRI menunjukkan bukti yang mendasari adanya pengurangan volume serebral dan pelebaran amigdala pada pasien dengan SLPE pada epilepsi lobus temporalis. 9 Bukti lain menunjukkan adanya lateralisasi dan lokalisasi gejala psikosis oleh studi menggunakan SPECT yang menunjukkan hipoperfusi pada lobus temporal medial sinstra pada pasien epilepsi dengan psikosis dibandingkan dengan pasien epilepsi nonpsikosis, dan adanya hiperaktivitas lobus temporal dextra yang diduga memiliki peranan penting dalam patogenesis psikosis pascaiktal.10 Teori ini merupakan teori yang diadaptasi dalam studi-studi oleh Nissenkorn et al. 1999; Fong et al. 2000; Leutmezer et Al. 2003; Nishida et al. 2006 yang membuktikan adanya perubahan perfusi pada lobus temporalis, digambarkan pada gambar 1.

Gambar 1. Gambaran perfusi serebral pada lobus temporal pada studi Nissenkorn et al. 1999; Fong et al. 2000; Leutmezer et Al. 2003; Nishida et al. 2006 (Sumber Kanemoto, Kousuke. Postictal Psychoses: Established Facts and New Clinical Questions. in The Neuropsychiatry of Epilepsy, 2nd ed. 2011)

Studi EEGTerdapat peningkatan aktivitas gelombang (spiking activity) pada regio bitemporal, terutama pada bagian medial, yang direkam menggunakan depth-EEG (So, et al. 1990)10, beberapa studi juga memberikan opini terbanyak adanya fokus epileptiform predominan di temporal sinistra pada pasien dengan epilepsi lobus temporalis. Aktivitas epileptiform pada saat iktal maupun subiktal dapat menyokong terjadinya perubahan perilaku melalui koneksi neuronal, peningkatan asosiasi limbik-sensorik maupun mengubah keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi secara keseluruhan. Adanya fokus-fokus gelombang spike pada regio temporal mediobasal mengindikasikan adanya disfungsi pada lobus temporal, dimana proses ini secara progresif menyebabkan perubahan-perubahan pada sistem limbik yang terjadi selama fase interiktal.6,10

IV. Etiologi Psikosis pada EpilepsiTerdapat beberapa variabel yang diduga memiliki hubungan kuat terhadap perkembangan terjadinya fenomena psikosis pada pasien-pasien dengan epilepsi, di antaranya adalah :a) Riwayat keluarga dengan gangguan psikosis Pasien-pasien yang memiliki riwayat keluarga dengan gangguan psikosis sangat rentan mengalami gangguan psikosis, sehingga dapat dikatakan faktor genetik tampak berperan.b) Usia saat awitan epilepsi Pasien dengan psikosis inter iktal menunjukkan awitan epilepsi yang lebih dini.c) Tipe kejangKejang parsial kompleks (terutama epilepsi lobus temporal) dapat behubungan langsung dengan timbulnya psikosis inter iktald) IntelegensiaFungsi intelektual ambang cenderung dihubungkan dengan timbulnya gejala psikosis pada pasien dengan epilepsi 13Penelitian lebih lanjut menyebutkan bahwa terapi menggunakan obat antiepilepsi yang poten, contohnya vigabatrin (Sander et al, 1991; Ferrie et al, 1996), serta adanya riwayat keluarga dengan gangguan psikosis (Adachi et al, 2000) juga menjadi faktor-faktor yang ikut berperan dalam mekanisme terjadinya gejala psikosis pada epilepsi. 11,12

V. Diagnosis dan EvaluasiGejala-gejala psikiatrik yang timbul berkaitan dengan kejang sering kali tidak dikenali dengan baik, timbulnya gejala psikosis yang menjadi keluhan utama pada pasien harus dipikirkan etiologinya berdasarkan hierarki diagnosis, yakni dimulai dari adanya kemungkinan kausa organik, dalam hal ini contohnya epilepsi. Diagnosis psikosis pada epilepsi dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ketiga (PPDGJ-III) tidak menyebutkan secara spesifik pengelompokan gejala psikosis yang berhubungan dengan epilepsi, SLPE mungkin dapat dikategorikan ke dalam gangguan waham organik (lir-skizofrenia) F06.2, yang termasuk di dalamnya adalah keadaan organik paranoid dan paranoid-halusinatori psikosis lir-skizofrenia pada epilepsi.14 Sedangkan pada DSM-5, gejala psikosis yang berhubungan dengan epilepsi mungkin dapat dikategorikan ke dalam gangguan mental lainnya yang disebabkan kondisi medis lain. 15Anamnesis menjadi bagian awal paling penting untuk menegakkan diagnosis, data mengenai gejala psikosis yang perlu digali antara lain adalah gejala yang timbul, durasi dan ada atau tidaknya episode kejang yang berlangsung sebelum gejala psikosis timbul. Gejala psikosis yang timbul dapat bervariasi antarindividu, banyak literatur yang membedakan karakteristik gejala pada psikosis epilepsi dengan skizofrenia dari gejala negatif; penarikan sosial dan kepribadian premorbid. Gejala afektif seperti adanya irritabilitas, maupun hipomania, dapat mengawali gejala psikosis pasca iktal. Untuk membedakan dengan skizofrenia, dapat juga dilihat usia awitan timbulnya gejala psikosis, awitan skizofrenia lebih sering pada dewasa muda, sedangkan awitan psikosis epilepsi umumnya timbul pada usia yang lebih tua karena adanya interval antara lamanya epilepsi sudah berlangsung dengan gejala psikosis yang terbentuk.Rentang waktu menjadi kunci yang penting dalam menentukan hubungan temporal antara gangguan psikosis yang saat ini dengan episode kejang terakhir. Pada psikosis pascaiktal, gejala psikosis timbul setelah adanya suatu interval lusid dimana pasien tampak bebas dari kejang maupun gejala psikosis dalam interval tersebut. Adanya rentang waktu yang cukup jauh, maupun rentang waktu yang tidak berkaitan sama sekali dengan episode kejang mengarah pada psikosis inter iktal. Kronisitas mengarah pada gangguan psikosis epilepsi kronis, adanya riwayat psikosis pasca iktal yang berkembang menjadi psikosis inter iktal berulang merupakan salah satu faktor risiko adanya gangguan psikosis kronis epilepsi.Riwayat penyakit epilepsi itu sendiri pun perlu digali lebih lanjut, hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah usia saat awitan epilepsi, durasi pasien menderita epilepsi, karakteristik kejang dan pengobatan epilepsi. Obat-obatan antiepilepsi yang digunakan perlu dicermati apakah golongan yang dapat menyebabkan efek samping gejala psikosis untuk menyingkirkan kausa iatrogenik.Pemeriksaan fisik pada psikosis epilepsi umumnya normal, adanya tanda dan gejala neurologis pada pemeriksaan fisik mungkin dapat mengarah pada gangguan neuorologis lainnya. Pemeriksaan penunjang laboratorium rutin dan skrining toksikologi dapat dilakukan untuk menyingkirkan kausa organik lainnya yang mungkin dapat menimbulkan gejala kejang maupun psikosis. Pemeriksaan EEG untuk mengkonfirmasi kejang epilepsi yang ditandai adanya gelombang spike, seringkali pemeriksaan EEG yang dilakukan satu kali menunjukkan gambaran normal dan sebaiknya diulang dengan manuver provokatif, misalnya deprivasi tidur. Pada psikosis iktal dijumpai gambaran aktivitas epiloptogenik karena psikosis merupakan bagian dari kejang, pada psikosis pasca iktal dapat terlihat perlambatan spiking hingga mencapai normal. Pada keadaan inter iktal maupun gangguan psikosis epilepsi kronis (pada SLPE), gambaran aktivitas epileptogenik hampir dapat tidak dijumpai sama sekali.

1. Psikosis peri iktalIstilah psikosis peri iktal mengacu pada adanya gejala psikosis yang timbul pada saat sebelum kejang maupun sebagi bagian dari kejang (iktal); atau mengikuti kejang (pasca iktal).Psikosis IktalTerjadinya kejang dapat menimbulkan perilaku automatisme dan aura psikis, seperti adanya perubahan mood, derealisasi dan depersonalisasi yang dapat menyebabkan gangguan daya nilai realita, serta gangguan pikiran berupa dorongan pikiran (forced thinking) yang ditandai dengan bentuk pikiran atau ide-ide berkulang yang disisipkan ataupun pikiran yang bertambah jumlahnya (crowding of thoughts), hal ini harus dibedakan dengan obsesi, dimana pasien epilepsi dengan gangguan pikiran berupa dorongan pikiran (forced thinking) mengalami gangguan pikiran singkat yang stereotipik, dan tidak rasional. 2Istilah psikosis iktal mengacu pada adanya aktivitas kejang yang timbul dalam bentuk status epileptikus non-konvulsif (tidak adanya status konvulsif atau status parsial kompleks) dan dapat timbul dalam bentuk delirium. Gejala-gejala psikosis yang ditampilkan tidak sepenuhnya dianggap gangguan psikosis, yang dapat ditangani seiring dengan pemberian obat antiepilepsi yang adekuat. 12Hubungan yang paling sering antara gangguan psikiatrik fase iktal dengan epilepsi adalah dengan status kejang parsial kompleks yang dulu dikenal sebagai epilepsi psikomotor, dimana gejala-gejala yang timbul dapat sangat bervariasi, baik gangguan persepsi, perilaku, kognitif maupun gejala-gejala afektif. Pada kejang parsial kompleks gejala-gejala tersebut timbul berkaitan dengan adanya gerakan otomatisme seperti gerakan-gerakan mulut, gerakan-gerakan menarik baju atau mutisme. Kesadaran tampak berubah selama kejang berlangsung dan pasien mengalami amnesia, sehingga menyebabkan kesulitan dalam pemeriksaan.Klasifikasi klinis gangguan psikosis pada epilepsi serta hubungan temporalnya dengan kejadian kejang dijelaskan pada tabel di bawah ini :Tipe PsikosisHubungan dengan KejangDurasiEEGTerapi

Psikosis iktalSaat status epileptikusDalam hitungan menit sampai dengan jamIktal (status nonkonvulsif)Benzodiazepine, antiepilepsi

Psikosis pascaiktalSetelah kejang dan interval lusidHarian sampai mingguanPerlambatan pascaiktal sampai dengan normalBenzodiazepine. antipsikotik

Alternative psychosisSaat aktivitas kejang berkurang atau ditekanMingguan sampai bulananPerbaikan atau mengalami normalisasiAntipsikotik, Menurunkan dosis obat antiepilepsi

Schizophrenia like psychosis (SLPE) yang bersifat kronis Tidak ada hubungan waktu spesifikTahunanKebanyakan abnormalantipsikotik

Tabel 3. Klasifikasi klinis Gangguan Psikosis pada Epilepsi (Sumber: Tugendhaft, P. M. Ansseau, et al. Guildelines for Recognition and Treatment of the Psychoses Associated with Epilepsy. Acta neurol., Belg, 2005)

Psikosis Pasca iktalGejala psikosis pasca iktal terdiri dari episode psikotik singkat yang mengikuti serangkaian kejang umum tonik klonik atau dapat dikenal sebagai psikosis pascaiktal Episode-episode psikosis ini dapat terjadi pada pasien dengan kejang parsial komples yang sering kali secara sekunder menjadi kejang tonik klonik. 2 Psikosis pasca iktal didefinisikan melalui dua aspek 1) hubungan temporal dengan kejang dan 2) spectrum gejala psikosis.10 Berbagai definisi psikosis yang mencakup hubungan temporal awitan gejala dengan kejang; kriteria gejala psikosis menurut ICD-10; kriteria psikosis pasca iktal menurut Logsdail dan Toone; dan abnormalitas perilaku diawali perubahan mood sebagai gejala awal psikosis pasca iktal dijelaskan dalam gambar 1.

Gambar 2. Definisi Psikosis Pascaiktal dan Gangguan yang Terkait . (Sumber: Postictal Psychoses: Established Facts and New Clinical Questions. in The Neuropsychiatry of Epilepsy, 2nd ed. 2011)

Kriteria Diagnosis Psikosis Pascaiktal menurut Logsdail dan Toone1) Awitan dari konfusi atau psikosis yang timbul setelah 1 minggu pasca kejang2) Durasi 1 hari hingga 3 bulan3) Gangguan yang ditandai oleh :a) Kesadaran yang berkabut, disorientasi atau deliriumb) Waham, halusinasi dalam kesadaran yang tidak tergangguc) Gabungan dari (a) dan (b)4) Tidak terdapat bukti maupun faktor-faktor yang dapat menyebabkan gangguan status mental, seperti :a) Toksisitas antikonvulsanb) Riwayat psikosis interiktal sebelumnyac) Bukti EEG adanya status epileptikusd) Riwayat trauma kepala maupun intoksikasi alkohol atau obat

Tabel 4. Kriteria Diagnosis Psikosis Pascaiktal menurut Logsdail dan Toone, 1981. (Sumber: Postictal Psychoses: Established Facts and New Clinical Questions. in The Neuropsychiatry of Epilepsy, 2nd ed. 2011)

Psikosis pascaiktal timbul setelah suatu interval lusid yang berlangsung 3 sampai 72 jam (rata-rata 1 hari) antara kejang terakhir dan awitan gejala psikosis, adanya interval lusid membedakan psikosis pasca iktal dengan konfusi pascaiktal yang terjadi segera sesudah kejang. Psikosis pasca iktal menghilang secara spontan dalam beberapa hari sampai dengan 2 minggu atau dengan penggunaan obat-obatan antipsikotik dosis rendah. Studi yang dilakukan Adachi et al., 2008 terhadap 48 pasien dengan psikosis pasca iktal menunjukkan 95 persen dari episode psikosis pasca iktal menghilang dalam 1 bulan, sedangkan pada beberapa studi retrospektif yang lainnya, lebih dari sepertiga pasien menunjukkan durasi 1 minggu (Logsdail dan Toone 1988; Kanemoto et al., 1996; Adachi et al., 2007), adanya intervensi terapi dikatakan mungkin dapat menjelaskan adanya diskrepansi ini. 4,8, 10Gejala yang dapat timbul dapat berupa halusinasi, waham kebesaran, diikuti gejala mood labil, rasa ketakutan ataupun depresi. Psikosis pasca iktal timbul pada 25 persen kasus-kasus dengan gangguan psikosis pada epilepsi.7 Investigasi sistematik mengenai prevalensi dan karakteristik klinis dari gejala psikiatrik pascaiktal dilakukan oleh Kanner et al, dikatakan bahwa gejala-gejala psikotik yang dapat timbul antara lain ide atau waham rujukan, halusinasi auditorik atau visual, waham paranoid atau waham yang bertema keagamaan.3 Beberapa penulis melaporkan perkembangan terjadinya psikosis inter iktal mengikuti psikosis pasca iktal (Tarulli et al 2001; Adachi et al 2002; Adachi et al. 2003), Tarulli et al., menemukan 6 dari 43 pasien dengan psikosis pasca iktal memenuhi kriteria psikosis pasca iktal dan psikosis interiktal, 5 dari 6 pasien tersebut memiliki riwayat psikosis inter iktal sebelum berkembang menjadi gangguan psikosis kronis, rata-rata rentang waktu antara psikosis pasca iktal dan psikosis inter iktal berkisar antara 7 sampai dengan 96 bulan. 102. Psikosis Inter iktalSebagian besar pasien epilepsi dengan gangguan psikosis skizofreniform mengalami gejala kronik tanpa menunjukkan adanya hubungan langsung dengan kejadian kejang. Sebagian besar dari pasien-pasien ini mengalami perburukan gejala psikosis seiring dengan peningkatan frekuensi kejang, dan sebagian kecil lainnya mengalami perburukan gejala psikosis selama kejangnya terkontrol (alternative psychosis).4 Psikosis skizofreniform kadang-kadang menampilkan gejala yang mirip dengan gangguan skizoafektif dengan gejala afektif campuran. Sebagai tambahan, dapat dijumpai waham paranoid yang menetap, afek yang dipertahankan, kepribadian premorbid yang normal, namun tidak terdapat riwayat keluarga dengan skizofrenia.2 Pasien-pasien epilepsi dengan psikosis inter iktal seringkali mengalami awitan kejang di usia dini, dengan riwayat kejang selama 10-15 tahun yang tidak terkontrol, dan biasanya memiliki tipe kejang parsial kompleks tak terkontrol dengan sekunder kejang umum tonik klonik.4,7Meskipun etiologi yang sebenarnya masih belum dapat dipastikan, beberapa faktor risiko dapat dikenali, di antaranya awitan epilepsi yang dimulai sebelum usia 20 tahun, memiliki riwayat epilepsi lebih dari 10 tahun lamanya, riwayat kejang parsial kompleks, serta kejang parsial kompleks yang terfokus pada otak sisi kiri (Torta and Keller, 1999). Secara spesifik juga disebutkan abnormalitas neurodevelopmental pada lobus temporal medial (contohnya lesi hamartoma atau ganglioma) sebagai salah satu faktor risiko. 4,7Karakteristik epilepsi yang diduga menjadi faktor predisposisi terjadinya psikosis skizofreniform inter iktal antara lain adalah: a) Kejang parsial kompleks dengan sekunder kejang umum tonik-klonikb) Terdapatnya aura dan otomatisme yang lebih menonjol daripada pasien epilepsi nonpsikotikc) Epilepsi yang sudah berlangsung sejak 11 sampai 15 tahun sebelum timbulnya gejala psikosis 4d) Kejang tidak terkontrol dengan interval yang panjange) Fokus kejang di lobus temporalis kiri 2,4,7,9,10f) Terdapat lesi pada regio mediobasal temporalis, terutama tumor 4, 7

Sedangkan karakteristik gejala psikosis yang dapat timbul, antara lain:a) Psikosis paranoid yang atipikal dengan awitan yang mendadakb) Gejala penarikan sosial yang lebih sedikit dibandingkan pada skizofreniac) Gejala waham yang lebih tidak tersistematis dibandingkan pada skizofreniad) Halusinasi disertai gejala-gejala afektif yang lebih banyak dibandingkan pada skizofreniae) Waham yang isinya bertema keagamaanf) Lebih banyak terdapat gejala positif dibandingkan gejala negatif 4,10,12

Alternative PsychosisGejala psikosis kadang-kadang timbul bergantian dengan aktivitas kejang. Beberapa literatur menyebutnya sebagai brief postictal psychosis. Kondisi ini dikenal sebagai alternative psychosis, yaitu suatu kondisi dimana saat pasien mengalami kejang, pasien terbebas dari gejala psikosis, dan sebaliknya bila pasien tidak sedang mengalami kejang, gambaran EEG menunjukkan forced or paradoxical normalization, maka gejala psikosis muncul. Istilah forced normalization pertama kali diperkenalkan oleh Landolt pada sekitar tahun 1950, yang mendeskripsikan adanya hubungan terbalik antara psikosis dan epilepsi, dimana pada beberapa pasien epilepsi yang mengalami perbaikan dan akhirnya terkontrol dengan pengobatan antiepilepsi yang adekuat, serta gambaran EEG pada pasien tersebut tidak menggambarkan adanya gelombang epileptiform, gejala psikosisnya meningkat sampai dapat mencapai keadaan gangguan psikotik yang kronis.7,12Manifestasi gejala psikosis yang paling sering timbul adalah gejala paranoid tanpa disertai adanya kesadaran yang berkabut dan disertai gejala afektif yang cenderung menonjol.7 Kondisi psikosis berselang ini jarang ditemukan, jauh lebih banyak pasien dengan epilepsi yang mengalami peningkatan gejala psikosis bersamaan dengan peningkatan frekuensi kejang. 2,3 Alternative psychosis tidak umum dijumpai, prevalensinya berkisar 1 persen dari seluruh kasus epilepsi. 7Alternative psychosis merupakan fenomena episodik yang dibatasi waktu dan evolusi timbulnya bersamaan dengan remisi kejang, sebelum mendiagnosis adanya kondisi ini pada pasien epilepsi, perlu dipikirkan adanya kemungkinan efek iatrogenik akibat penggunaan obat-obatan epilepsi.

3. Schizophrenia-like Psychosis EpilepsyBeberapa bentuk epilepsi dapat bertindak sebagai faktor risiko perkembangan suatu psikosis inter iktal kronis, menjadi suatu sindroma yang seringkali disebut schizophrenia-like psychosis of epilepsy (SLPE). Gangguan psikosis ini mirip dengan manifestasi skizofrenia; perjalanan penyakitnya; maupun responnya terhadap pengobatan antipsikotik. Gejala yang timbul pada SLPE adalah gejala klinis skizofrenia namun dengan gejala negatif yang lebih ringan; fungsi premorbid yang lebih baik dan menunjukkan kemungkinan hasil terapi yang lebih baik. SLPE dapat terjadi pada sedikitnya 3 persen dari seluruh pasien epilepsi, biasanya mulai setelah 10 tahun dari awitan mulanya penyakit epilepsi, kondisi ini merupakan psikosis yang kronis dan bersifat non-episodik yang berdiri sendiri tanpa disertai kejang, meskipun mulanya sering terjadi pada epilepsi yang refrakter. 10,11,12

VI. PenatalaksanaanKecermatan dalam anamnesis dapat membantu kita mengenali hubungan temporal suatu gejala psikosis dengan episode kejang, yang mungkin dapat timbul duluan sebagai keluhan utama. Riwayat epilepsi dan pengobatannya, kondisi penyerta seperti adanya retardasi mental serta riwayat gangguan mental pada keluarga juga dapat membantu untuk mengenali gejala psikosis terkait dengan epilepsi.Penatalaksanaan pada psikosis pasca iktal mencakup pencegahan dan pengobatan, pencegahan pada psikosis pasca iktal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang ditemukan adanya fokus iktal bilateral pada pemeriksaan menggunakan video EEG monitoring test (VEEG) atau pada pasien-pasien yang diketahui memiliki riwayat psikosis inter-iktal setelah adanya beberapa episode kejang. 10 Keluarga pasien dapat diberitahu mengenai adanya risiko terjadinya psikosis pasca iktal yang dapat timbul beberapa hari setelah kejang terakhir, sehingga keluarga pasien dapat memerhatikan adanya gejala-gejala insomnia, iritabilitas atau agitasi yang menandai awal dari awitan terjadinya gejala psikosis dalam 24 jam (Dongier 1959), pada keadaan ini, dapat diberikan antipsikotik dosis rendah selama 2 sampai dengan 5 hari dengan penyesuaian dosis terhadap respon klinis dan toleransi.10 Durasi pemberian terapi akan bergantung pada waktu gejala psikosis mencapai remisi penuh, dimana dosis dapat diturunkan dalam beberapa hari.Penggunaan obat-obatan golongan benzodiazepine dan antipsikotik dosis rendah pada psikosis pascaiktal dikatakan oleh beberapa penulis dapat digunakan sebagai preventif, obat meskipun gejala-gejalanya akan menghilang secara spontan dalam waktu harian sampai dengan 2 minggu. Psikosis pasca iktal dikatakan acapkali diawali oleh insomnia berat, sehingga penggunaan benzodiazepine dapat dikatakan sebagai preventif. 12 Sedangkan pada psikosis iktal, gejala psikosis yang timbul dianggap sebagai bagian dari status epileptikus, sehingga penggunaaan obat antikonvulsan dan golongan benzodiazepine lebih tepat diberikan, dimana apabila status epileptikus teratasi maka gejala psikotik pun akan menghilang.Alternative psychosis merupakan fenomena episodik yang timbul saat gejala epilepsi mengalami remisi 2,6,8,11,12 Sebelum pemberian terapi antipsikotik perlu dipertimbangkan bahwa obat golongan ini dapat menurunkan ambang kejang, selain itu perlu dipikirkan pula apakah obat-obatan antiepilepsi yang digunakan pasien sampai fase remisi epilepsi berpotensi menginduksi psikosis, karena obat-obatan antiepilepsi seperti vigabatrin, lamotrigine, topiramat dapat memberikan efek samping berupa gejala psikosis, meskipun kejadiannya cukup jarang. 5,7,11SLPE merupakan kondisi adanya gejala psikosis kronis yang tidak lagi terkait dengan waktu timbulnya kejang, sehingga penatalaksanaanya adalah menggunakan obat-obatan antipsikotik. Electroconvulsive therapy (ECT) dapat memberikan hasil yang berpotensial pada SLPE, karena kondisi ini biasanya adalah kondisi kronis yang juga kadang-kadang resisten terhadap pengobatan. Terapi dengan ECT dikatakan tidak menjadi kontraindikasi terhadap epilepsi dengan pertimbangan adanya kondisi psikiatrik yang lebih baik ditatalaksana dengan ECT. 12Antipsikotik yang dapat digunakan baik pada psikosis pascaiktal maupun interiktal adalah antipsikotik yang memiliki risiko rendah menurunkan ambang kejang, Guidelines for Recognition and Treatment of the Psychoses with Epilepsy (Tugendhaft et al. 2005) merekomendasikan penggunaan olanzapine (dosis 5 sampai 25 mg per hari), risperidon (dosis 0.5 sampai 6 mg per hari), quetiapine (dosis 50 sampai dengan 600 mg per hari), haloperidol (dosis 2.5 sampai 5 mg per hari). Pada keadaan akut injeksi haloperidol 2 sampai 5 mg dapat diberikan dengan kombinasi benzodiazepine sesuai indikasi. Benzodiazepine yang dapat digunakan terutama pada situasi akut, antara lain lorazepam (dosis 0.5 sampai 2 mg) dan clobazam (10 sampai 60 mg).12

VII. PrognosisPada kebanyakan kasus, pasien dengan epilepsi memiliki prognosis yang baik dengan pengobatan antiepilepsi yang dapat mengontrol kejang. Adanya gangguan psikosis pada pasien dengan epilepsi yang dihubungkan dengan remisi kejang mencerminkan perjalanan penyakit epilepsi dengan kejang yang tidak terkontrol. 2 Dengan pemberian antiepilepsi yang adekuat dan penggunaan antipsikotik yang tepat diharapkan dapat memperbaiki prognosis, terutama pada aspek pencegahan terhadap perkembangan ke arah gangguan psikosis epilepsi kronik yang di masa mendatang dapat menurunkan kualitas hidup pasien.

VIII. Implikasi KlinisPemahaman terhadap prevalensi, riwayat epilepsi dan perjalanan penyakitnya, hubungan temporal pada gangguan psikosis epilepsi serta gambaran klinisnya dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan diagnosis ini apabila menghadapi pasien dengan gangguan psikosis pertama kali.Pemahaman terhadap hubungan temporal gejala psikosis dengan epilepsi dapat membantu memperkirakan timbulnya gejala psikosis pasca iktal maupun risiko terjadinya psikosis inter iktal, sehingga diupayakan untuk merancang penatalaksanaan epilepsi yang adekuat. Pemberian antipsikotik diharapkan dengan pertimbangan yang baik mengingat adanya efek samping menginduksi kejang yang berkontribusi pada prognosis buruk dari epilepsi.Harapan terbesar di masa mendatang setelah memahami gangguan psikosis pada epilepsi adalah para klinisi, baik dokter umum, dokter spesialis kedokteran jiwa dan spesialis saraf dapat mengenalinya dengan baik sehingga kecil kemungkinan terjadi kesalahan diagnosis yang dapat berdampak buruk bagi pasien baik dari segi penyakitnya dan kualitas hidupnya.

IX. KesimpulanPara klinisi sudah mengenali hubungan antara epilepsi dan gangguan-gangguan psikiatrik sejak jaman dulu, namun hubungan ini seringkali tidak dikenali dengan baik, meskipun terdapat data epidemiologi yang menyokong adanya peningkatan risiko komorbiditas penyakit psikiatri pada pasien-pasien dengan epilepsi dibandingkan dengan pasien-pasien nonepileptik. 2,4,6 Manifestasi psikiatri dapat menjadi efek langsung dari kejang (contohnya psychic auras); sebagai fenomenal peri-ictal (contohnya konfusi pasca iktal atau delirium pasca iktal); terjadi di antara dua kejang (contohnya psikosis skizofreniform) atau varian yang tidak terlalu berhubungan dengan kejang (contohnya gangguan mood).Kecermatan dalam anamnesis dapat membantu kita mengenali hubungan temporal suatu gejala psikosis dengan episode kejang, yang mungkin dapat timbul duluan sebagai keluhan utama. Riwayat epilepsi dan pengobatannya, kondisi penyerta seperti adanya retardasi mental serta riwayat gangguan mental pada keluarga juga dapat membantu untuk mengenali gejala psikosis terkait dengan epilepsi.Penggunaan obat-obatan antipsikotik harus dipertimbangan keuntungan dan risikonya serta kesesuaian waktu pemberian mengingat pada kondisi pasca iktal dan inter iktal, gejala psikosis dapat menghilang dengan sendirinya.

X. Ilustrasi KasusLaki-laki 23 tahun dengan retardasi mental dibawa ke UGD RSCM dengan keluhan mengamuk pada satu hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien membanting televisi karena mendengar suara yang menyuruhnya membanting televisi, pasien tampak gelisah dan sering berbicara sendiri. Pasien memiliki riwayat kejang parsial kompleks tidak terdiagnosis selama lebih dari 15 tahun dan baru dirawat di RSCM selama 10 hari dan baru menjalani pengobatan dengan antiepilepsi selama 3 minggu, tidak dilaporkan adanya kejang selama rawat jalan, tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan terlarang.Pada pemeriksaan status mental, pasien tampak lebih muda dari pada usianya, perawatan diri kurang baik, sikap terhadap pemeriksa tidak kooperatif, psikomotor gelisah, volume pembicaraan meningkat, irritabilitas mood dengan afek terbatas dan serasi. Proses pikir asosiasi longgar dengan waham bizar dan preokupasi. Terdapat halusinasi auditorik dan visual. Selama pemeriksaan, orientasi waktu, tempat dan orang baik. Fungsi kognitif lainnya belum diperiksa secara lengkap karena ketidakkooperatifan pasien selama wawancara. Pemeriksaan EEG menunjukkan gambaran normal, direncanakan EEG deprivasi tidur dan MRI. Berdasarkan PPDGJ-III pasien didiagnosis gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit mental lainnya, dan kejang parsial kompleks dengan dugaan epilepsi lobus temporal. Pasien dirawat inap dalam perawatan bagian psikiatri dan neurologi, diberikan carbamazepine 2x250 mg per oral, valproate 2x500mg per oral, Quetiapine 2x300 mg, haloperidol 2x2.5 mg yang direncakanan akan dititrasi naik dalam 3 hari. Follow up dengan pengukuran gejala psikosis menggunakan instrumen PANSS dan observasi terjadinya kejang berulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fisher MD PhD, Robert S, The 2014 Definition of Epilepsi : A perspective for Patients and Caregivers Accessed March 12, 2015. Available at http://www.ilae.org/visitors/centre/Definition-2014-Perspective.cfm2. Mendez M.D., Ph.D, Mario F. Neuropsychiatric Aspects of Epilepsy in: Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry, 9th Ed, Lippincott Williams & Wilkins, New York: 2009; 4523. Hari, Guntara. Gambaran Gejala Episodik Psikosis pada Pasien Epilepsi di Poliklinik Syaraf RSCM. 2006. 28-48 4. Kanner, Andreas M.Peri-ictal Psychiatric Phenomena : Clinical Characteristics and Implications of Past and future Psychiatric Disorders. in Psychiatric Issues in Epilepsy: A Practical Guide to Diagnosis and Treatment 2nd Ed, Lippincott Williams & Wilkins, New York : 2007; 266-27, 322-325. MJ, Clancy, Clarke MC, Connor DJ, Cannon M, Cotter DR, The Prevalence of Psychosis in Epilepsy; a systematic review and meta-analysis. BMC Psychiatry 2014 Mar 13; 14; 756. Krishnamoorthy, Ennpadam S., Rema Regu. The Psychoses of Epilepsy in: Psychiatric Issues in Epilepsy: A Practical Guide to Diagnosis and Treatment 2nd Ed, Lippincott Williams & Wilkins, New York : 20077. Sachdev, MD, Perminder, Schizophrenia-Like Psychosis and Epilepsy: the Status of the Association, American Journal of Psychiatry, March 1998; 155: 3, 325-368. Ando, Nobuo, Kiyoshi Morimoto, Takemi Watanabe, et al,. Enhancement of Central Dopaminergic Activity in the Model of Temporal Lobe Epilepsy: Implication for the Mechanism of Epileptic Psychosis. Neuropsychopharmacology 2004, 29, 1251-12589. Van Elts, L. Tebartz, D. Baeumer, L. Lemieux, et al,. Amygdala Pathology in Psychosis of Epilepsy: a Magnetic Resonance Imaging Study in Patients with Temporal Lobe Eepilepsy, Brain: a Journal of Neurology, 2002, 125, 140-14910. Kanemoto, Kousuke. Postictal Psychoses: Established Facts and New Clinical Questions. in The Neuropsychiatry of Epilepsy, 2nd ed. 2011, 67-18611. Toone, BK. The Psychoses of Epilepsy. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2000; 69: 1-4 12. Tugendhaft, P. M. Ansseau, et al. Guildelines for Recognition and Treatment of the Psychoses Associated with Epilepsy. Acta neurol., Belg, 2005, 105, 14-1713. Algreeshah Salih MD, Fahad. Psychiatric Disorders Associated with Epilepsy. Medscape articles. Accessed March 13, 2015. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1186336-overview#aw2aab6b314. Dirjen Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. 1995. 72-7615. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statiscal Manual of Mental Disorder. 5th ed. 2013. 77-78

2