Draft Juknis Perizinan Pemanfaatan Ruang Versi 1 November 2012_versi Hitam

download Draft Juknis Perizinan Pemanfaatan Ruang Versi 1 November 2012_versi Hitam

of 59

description

perizinan

Transcript of Draft Juknis Perizinan Pemanfaatan Ruang Versi 1 November 2012_versi Hitam

Petunjuk Teknis Proses dan Prosedur Perizinan Pemanfaatan Ruang

DAFTAR ISIDAFTAR ISI

i

DAFTAR TABEL

iiiDAFTAR GAMBAR

ivBAB 1 PENDAHULUAN

1

1.1.Latar Belakang

1

1.2.Maksud dan Tujuan

11.3.Ruang Lingkup

21.4.Istilah dan Definisi

31.5.Acuan Normatif

31.6.Kedudukan Juknis Terhadap Peraturan Perundang-Undangan

41.7.Pengguna Petunjuk Teknis

6BAB 2 KETENTUAN UMUM

72.1.Konsepsi Dasar Perizinan Pemanfaatan Ruang

72.2.Rencana Tata Ruang sebagai Dasar Perizinan Pemanfaatan Ruang

9

2.2.1.RTRW Provinsi

9

2.2.2.RTRW Kabupaten/kota

9

2.3.Jenis Perizinan Pemanfaatan Ruang

10

2.3.1.Definisi Izin Prinsip, Izin Lokasi, IPPT dan IMB

11

2.3.2.Definisi Izin Pemanfaatan Ruang

11BAB 3 KETENTUAN TEKNIS

163.1.Kriteria jenis izin pemanfaatan ruang

163.1.1.Izin Prinsip

163.1.2.Izin Lokasi

17

3.1.3.Izin Penggunaan Pemnafaatan Tanah (IPPT)

18

3.1.4.IMB

183.2.Kategori permohonan perizinan

203.2.1.Kegiatan Pemanfaatan Ruang Pada Suatu Kawasan/Zona Berdasarkan Rencana Tata Ruang

20

3.2.2.Kategori Kegiatan

21

3.2.3.Tipologi Perizinan Pemanfaatan Ruang

223.3.Kelembagaan Perizinan

24

3.4.1.Kewenangan Pemberian Izin secara hierarkies

24

3.4.2.Pengelolaan Perizinan di Pemerintah Daerah

25

3.4.3.PTSP di Kementrian

253.4.Pengaduan Masyarakat

27BAB 4 PROSES DAN PROSEDUR

284.1.Umum

284.2.Izin Prinsip

284.3.Izin Lokasi

304.4.Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah (IPPT)

324.5.Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

34BAB 5 MONITORING DAN PENGAWASAN

405.1.Hirarki kelembagaan sesuai peraturan per-UU-an

405.2.Pengaduan masyarakat

41BAB 6 KETENTUAN LAIN

426.1.Ketentuan peralihan perizinan

426.2.Masa depan Perizinan sebelum berlakunya Perda RTRW

42DAFTAR TABEL

Tabel 1 Rencana Tata Ruang (RTR) sebagai Dasar Acuan Pemberian Izin

10

Tabel 2 Definisi Izin Pemanfaatan Ruang (Izin Prinsip, Izin Lokasi, IPPT dan IMB)

11Tabel 3Definisi dan Jenis Izin Lainnya

12

Tabel 4Tipologi Perizinan Pemanfaatan Ruang

23

Tabel 5Proses dan Prosedur Perizinan Pemanfaatan Ruang

36DAFTAR GAMBAR

Gambar 1Kedudukan Pedoman terhadap Peraturan Perundang-Undangan

5Gambar 2 Kelembagaan Pemberi Izin

26Gambar 3 Proses Permohonan Izin Prinsip

29Gambar 4 Proses Permohonan Izin Lokasi

32Gambar 5 Proses Permohonan IPPT

33Gambar 6 Proses Permohonan IMB

35BAB IPENDAHULUAN1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam melaksanakan kegiatan penataan ruang di wilayah provinsi, kabupaten dan kota yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang masih banyak ditemui berbagai permasalahan terkait upaya tertib tata ruang. Untuk mencapai tujuan tertib tata ruang diperlukan proses dan prosedur perizinan yang jelas sebagai salah satu aspek pengendalian pemanfaatan ruang. Sampai saat ini belum tersedia acuan terkait proses dan prosedur perizinan yang dapat digunakan pemangku kebijakan dan masyarakat yang menjamin terwujudnya tertib tata ruang. Hal ini mengakibatkan berbagai interpretasi terkait perizinan pemanfaatan ruang yang berbeda khususnya di tingkat pemerintah kabupaten dan kota sebagai pemegang kewenangan pemberian izin pemanfaatan ruang, termasuk di dalamnya keberadaan kewenangan perizinan kementerian dan lembaga.Isu penting terkait perizinan pemanfaatan ruang antara lain:

a. Adanya berbagai jenis perizinan pemanfaatan ruang dan hirarki kewenangan perizinan yang perlu disesuaikan untuk tujuan tertib tata ruang sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU26/2007)b. Keberadaan proses dan prosedur perizinan pemanfaatan ruang yang ada saat ini belum terintegrasi dengan jenis-jenis perizinan pemanfaatan ruang meliputi izin prinsip, izin lokasi, izin penggunaan pemanfaatan tanah (IPPT), izin mendirikan bangunan (IMB), dan izin lainnya dalam rangka mewujudkan tertib tata ruangc. Masih ditemui tumpang tindih perizinan terkait pemanfaatan ruang sehingga mempengaruhi waktu penyelesaian perizinan yang dimaksud.

Terkait dengan isu di atas dan didasarkan pada amanat UU 26/2007 yang menyatakan bahwa pemerintah berwenang menyusun dan menetapkan pedoman bidang penataan ruang. Untuk itu diperlukan pedoman terkait proses dan prosedur perizinan pemanfaatan ruang.1.2. Maksud dan Tujuan

(a). Maksud:

Petunjuk Teknis Proses dan Prosedur Perizinan Pemanfaatan Ruang dimaksudkan sebagai :

a) acuan praktis bagi pemerintah kabupaten dan kota dalam memberikan izin pemanfaatan ruang di wilayah provinsi, kabupaten dan kota.

b) acuan standardisasi penggunaan nomenklatur terkait izin pemanfaatan ruang dan mekanisme perizinan pemanfaatan ruang.

c) acuan dalam standardisasi prosedur standar proses dan prosedur pemberian izin pemanfaatan ruang(b). Tujuan

Petunjuk Teknis Proses dan Prosedur Perizinan Pemanfaatan Ruang disusun bertujuan untuk :

a) Menunjang pengendalian dan penertiban pemanfaatan ruang sebagaimana diamanahkan oleh UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

b) Mewujudkan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang yang melindungi kepentingan umum.

c) Menjamin kepastian hukum prosedur perizinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.1.3. Ruang Lingkup

Ruang lingkup petunjuk teknis ini mencakup perizinan pemanfaatan ruang, meliputi:

a) Kategori kegiatan pemanfaatan ruang yang membutuhkan perizinan; Secara umum, perizinan terdiri atas dua jenis, yaitu:

perizinan yang terkait dengan pemanfaatan ruang (contoh: izin usaha pariwisata, izin usaha industry, izin usaha pusat perbelanjaan, izin usaha pertambangan, izin pengeboran air bawah tanah, izin reklame, dan sebagainya), dan

perizinan yang tidak terkait dengan pemanfaatan ruang (contoh tanda daftar perusahaan, izin penyelenggaraan CT Scan, izin pemakaian lift, dan lain-lain).

Petunjuk teknis ini dibatasi hanya mengatur perizinan yang terkait dengan pemanfaatan ruang.

b) Tipologi perizinan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 dan Pasal 163 ayat (1) PP no 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pemanfaatan Ruangc) Kriteria izin pemanfaatan ruang yang dirumuskan berdasarkan sifat kegiatan, sifat bangunan, luasan kegiatan, kewenangan instansi terkait, lokasi kegiatan, dan ketentuan-ketentuan izin lainnyad) Proses dan prosedur perizinan yang harus ditempuh untuk memperoleh izin pemanfaatan ruang dalam jangka waktu (durasi) tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya (Pasal 167 ayat (1))e) Kelembagaan perizinan adalah Lembaga/Instansi yang terlibat dalam pemberian izin, baik di tingkat Pemerintah maupun Pemerintah Daerah. Pemberian izin diberikan oleh pejabat yang berwenang dengan mengacu pada rencana tata ruang dan peraturan zonasi dan dilakukan secara terkoordinasi dengan memperhatikan kewenangan dan kepentingan berbagai instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 167 ayat (3))f) Monitoring dan evaluasi dalam perizinan menurut skalanya dapat dibedakan menjadi perizinan skala Nasional, Propinsi, dan Kab/Kota. Besar kecilnya skala kegiatan penanaman modal tidak hanya mempengaruhi peran para pejabat pemberi izin, tipologi perizinan serta proses dan prosedur perizinannya, namun juga mempengaruhi peran-peran instansi yang dipimpin para pejabat pemberi izin tersebut dalam memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan perizinan.1.4. Istilah dan Definisi

Beberapa istilah dan definisi yang digunakan dalam pedoman ini, antara lain:a) Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya.

b) Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

c) Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

d) Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.

e) Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.

f) Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.

g) Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

h) Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

i) Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

j) Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang1.5. Acuan Normatif

Pedoman ini disusun berdasarkan:a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria;

b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman;

c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

d. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;

e. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

f. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;

g. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

h. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

i. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;

j. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan;

k. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

l. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Kehutanan

m. Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan

n. Peraturan Pemerintah nomor 44 thun 2004 tentang Perencanaan Hutan

o. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman penyusunan dan penerapan Standar Pelayanan Minimal;

p. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;

q. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah;

r. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah

s. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri;

t. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang;

u. Peraturan Pemerintah nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang no 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

v. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan;

w. Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan

x. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum;

y. Peraturan Menteri Kehutanan nomor 18 Tahun 2011 tentang Izin Pinjam Pakai di Kawasan Hutan

z. Peraturan Menteri Kehutanan nomor 49 Tahun 2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2010-2030

aa. Peraturan Menteri Kehutanan nomor P 12/ Menhut II/Tahun 2004 tentang Penggunaan Kawasan hutan Lindung Untuk Pertambangan

ab. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no 24 Tahun 2007 tentang Izin Mendirikan Bangunan

ac. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN no 2 Tahun 1999 tentang Izin lokasi

ad. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN no 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi

ae. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 14/Permen/M/2006 tentang Penyelenggaraan Perumahan Kawasan Khusus;

af. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu;

ag. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan;

ah. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

ai. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) Dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL);

aj. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik;1.6. Kedudukan Juknis Terhadap Peraturan Perundang-Undangan

Petunjuk Teknis Perizinan saling terkait satu sama lain dengan beberapa Pedoman dan Petunjuk Teknis yang terkait dengan Penataan Ruang, sehingga masing-masing mempunyai fungsi tersendiri dan bersifat komplementer. Secara diagramatis keterkaitan dimaksud ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Gambar 1 Kedudukan Pedoman terhadap Peraturan Perundang-Undangan

1.7. Pengguna Petunjuk Teknis

Pengguna Petunjuk Teknis Proses dan Prosedur Pemanfaatan Ruang adalah Pemda dan Pemohon Izin. Bagi Pemda Kab/Kota, Petunjuk Teknis Perizinan untuk Pemanfaatan Ruang ini digunakan sebagai acuan untuk menerbitkan izin. Sedangkan bagi masyarakat, calon investor atau pemohon izin, Petunjuk Teknis Perizinan digunakan sebagai acuan untuk memperoleh izin pemanfaatan ruang. Direkomendasikan kepada Pemda untuk melegalkan Petunjuk Teknis Proses dan Prosedur Perizinan Pemanfaatan Ruang ini ke dalam produk hukum Perda atau Keputusan Bupati/Walikota agar terjamin ketertiban dan kepastian hukum

BAB II

KETENTUAN UMUM

2. KETENTUAN UMUM

2.1. Konsepsi Dasar Perizinan Pemanfaatan RuangIzin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Penjelasan Pasal 37 menegaskan bahwa izin pemanfaatan ruang harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang, meliputi izin lokasi/fungsi ruang, amplop ruang dan kualitas ruang.Izin pemanfaatan ruang yang dimaksud dalam pasal 37 tersebut bukan merupakan jenis izin baru namun izin lama yang sifatnya melebur dengan izin-izin yang sudah ada selama ini yang terkait dengan izin pemanfaatan ruang, seperti izin usaha industri, izin usaha toko modern, dsb.Kehadiran Petunjuk Teknis yang mengatur Proses dan Prosedur Perizinan ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemangku kepentingan dalam pemberian izin Pemanfaatan Ruang. Setiap warganegara wajib melaksanakan ketentuan perizinan sebelum memanfaatkan ruang. Menurut Pasal 161 ayat (1) PP no 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang menyebutkan bahwa Izin pemanfaatan ruang diberikan untuk :1. menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, peraturan zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang;

2. mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang; dan

3. melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas

Untuk mencapai tertib ruang, mencegah dampak negatif pemanfaatan, demi kepastian hukum dan untuk melindungi kepentingan umum, maka Pasal 167 PP no 15 Tahun 2010 mengatur ketentuan Perizinan Pemanfaatan Ruang dengan memperhatikan hal-hal berikut :

1. Prosedur pemberian izin pemanfaatan ruang ditetapkan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

2. Pemberian izin diberikan oleh pejabat yang berwenang dengan mengacu pada rencana tata ruang dan peraturan zonasi.

3. Pemberian izin dilakukan secara terkoordinasi dengan memperhatikan kewenangan dan kepentingan berbagai instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pemberian izin pemanfaatan ruang diatur dengan peraturan Menteri.

Pemanfaatan Ruang mengacu pada RTRW, baik di Propinsi maupun Kab/Kota. Jika RTRW kab/kota belum dapat dijadikan dasar karena luas wilayah dan skala peta perencanaan tidak memperlihatkan detail peruntukan lahan, maka diperlukan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kabupaten/kota. Namun apabila Rencana Rinci tata Ruang maupun Rencana Detail Tata Ruang tersebut belum ada juga, dibutuhkan kebebasan bertindak administrasi pejabat public yang berwenang untuk memecahkan masalah yang aturannya belum ada (freies ermessen atau diskresi), apabila tidak cukup waktu lagi untuk menempuh prosedur baku pengambilan kebijakan. Namun hal ini tidak berlaku jika Propinsi atau Kab/Kota tersebut memiliki dokumen zonasi.Bagi wilayah yang sudah memiliki peraturan zonasi, pemberian izin pemanfaatan ruang hanya bersifat administratif, karena dalam peraturan zonasi sudah diatur secara detail hal-hal sebagai berikut :

1. Ketentuan tentang prosedur pengembangan lahan, yaitu :

a. tentang kelembagaan yang terkait dengan penyelenggaraan penataan ruang,

b. jenis-jenis perizinan,

c. proses pengambilan keputusan,

d. prosedur penyesuaian dan lainnya.2. Ketentuan tentang zoning, yang mencakup :

a. Penetapan zonasi,

Penetapan zonasi diawali dengan menetapkan zona-zona dasar, selanjutnya setiap zona dasar ditentukan zona utamanya dan pada setiap zona utama ditentukan paket penggunaan atau jenis-jenis perpetakan.

b. Aplikasi ruang,

Penerapan aplikasi ruang diatur berdasarkan alokasi zona-zona pada setiap jengkal lahan perkotaan yang diberi kodifikasi untuk memudahkan penulisan.

c. Ketentuan teknis perpetakan :

Hal-hal yang diatur untuk setiap jenis perpetakan pada setiap zona, meliputi :

lebar dan kedalaman minimum petak,

jarak bebas depan, samping dan belakang,

Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Luas Bangunan (KLB), KDH, KTB maksimum,

tinggi bangunan,

lebar minimum jalan dan sempadan bangunan,

hal lainnya yang diperlukan.

d. Peraturan umum, hal-hal yang diatur meliputi :

penggunaan lebih lanjut untuk setiap jenis perpetakan,

pengaturan lansekap meliputi jenis tanaman, kepadatan tanaman, jarak antar tanaman dan lainnya,

pengaturan tata informasi (billboard) meliputi lokasi pemasangan, penyampaian pesan, dimensi dan konstruksi serta perawatannya,

pengaturan parkir on street dan off street, batasan parkir minimum dan maksimum.

3. Ketentuan tentang dampak pembangunan, meliputi :

1) Dampak lingkungan,

2) Tarif yang dikenakan kepada bangunan baru untuk modal pemeliharaan prasarana umum (Impact fee) yang sudah ada seperti lahan parkir, sekolah dsb 3) Penilaian Dampak Lalu Lintas (Traffic Impact Fee - TIA) merupakan kunci (tool) yang digunakan untuk menganalisis dampak lalu lintas untuk meningkatkan penggunaan akses yang ada.Dengan berlakunya Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bagi daerah-daerah yang memiliki peraturan zonasi, diharapkan pemberian izin pemanfaatan ruang didasarkan pada peraturan zonasi yang sifatnya lebih detail daripada RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota. Dengan mengacu pada peraturan zonasi sebagai dasar pemberian izin, maka hal ini merupakan penerapan dari konsep aturan hukum (regulation system) dan bukan lagi berdasarkan konsep subjektivitas instansi yang berwenang (discresionary system), yang mengandung makna bahwa Indonesia telah masuk kepada sejarah baru pemanfaatan ruang yaitu semua pemanfaatan ruang sudah berdasarkan aturan hukum dan bukan lagi berdasarkan subjektivitas instansi yang berwenang 2.2. Rencana Tata Ruang sebagai Dasar Perizinan Pemanfaatan Ruang

2.2.1. RTRW Provinsi

RTRW Provinsi menjadi pedoman untuk penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi (Pasal 22 ayat 2 huruf e UU 26/2007 Penataan Ruang). Namun jika Rencana umum tata ruang tersebut belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang; dan/atau rencana umum tata ruang untuk perencanaan yang luas maka diperlukan Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah (RRTR) Provinsi.

Arahan perizinan pemanfaatan ruang yang terkandung dalam RTRW provinsi diberikan dengan tujuan untuk menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana, standar dan kualitas minimum yang ditetapkan untuk menghindari dampak (eksternalisasi) negatif dan melindungi kepentingan umum. Perizinan yang dimaksud adalah perizinan terkait pemanfaatan ruang, baik di wilayah provinsi maupun kawasan strategis provinsi.

Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi dapat dilaksanakan Pemerintah Daerah Kabupaten/kota melalui tugas pembantuan (Pasal.10 ayat 4, UU 26/2007 Penataan Ruang). Sehingga Pemerintah Propinsi dapat memberikan perizinan terhadap :

(a). Pemanfaatan kawasan strategis provinsi yang sudah ditetapkan dalam RTRW Provinsi

(b). Pemanfaatan kawasan yang meliputi lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kotaRTRW provinsi tidak menjadi acuan dalam menerbitkan izin pemanfaatan ruang untuk skala kecil namun RTRW provinsi menjadi dasar untuk menerbitkan izin prinsip.

2.2.2. RTRW Kabupaten/KotaRTRW Kab/Kota menjadi pedoman untuk penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi (Pasal.26 ayat 2 huruf e UU 26/2007 Penataan Ruang); dan menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi pertanahan di Kab/Kota (Pasal.26 ayat 3).

Dalam hal Rencana Umum tata ruang Kab/Kota belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dan/atau rencana umum tata ruang mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala petanya memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan, maka diperlukan Rencana Detail Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota.

RTRW kabupaten menjadi dasar untuk penerbitan Izin Prinsip, Izin Lokasi, Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah, IMB, dan izin lainnya. Dalam hal kabupaten yang bersangkutan sudah memiliki rencana detail tata ruang kabupaten maka dasar penerbitan izin di atas adalah rencana detail tata ruang kabupaten. Dalam hal RTRW kabupaten maupun RDTR belum ada, maka acuan dasar dalam pemberian izin adalah Surat Keputusan Bupati/Walikota setempat. Secara Tabel 1

Rencana Tata Ruang sebagai Dasar dalam Pemberian IzinNoRencana Tata RuangFungsiLandasan Normatif

1. RTRW ProvinsiSebagai pedoman penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi

Pasal 22 ayat (2) huruf e, UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang

2. Sebagai Dasar untuk menerbitkan izin prinsip.Pasal 10 ayat 4 UU no 26 Tahun 2007

3. Sebagai landasan Pemerintah Propinsi untuk memberikan izin jika lokasi yang dimohonkan merupakan : Kawasan Strategis Propinsi RTRW Provinsi; Kawasan yang terdiri dari lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kotaPasal 10 ayat 4 UU no 26 Tahun 2007

4. RTRW Kabupaten/KotaSebagai pedoman untuk penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi Pasal 26 ayat 2 huruf e, UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

5. Sebagai dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi pertanahanPasal 26 ayat 3, UU No. 26/2007 Tentang Penataan Ruang

6. Sebagai dasar untuk penerbitan Izin Prinsip dan Izin LokasiPasal 165 PP no 15 Tahun 2010 ayat 1 tentang Peyelenggaraan Penataan Ruang

7. RDTRPeraturan zonasi kabupaten/kota merupakan dasar dalam pemberian insentif dan disinsentif, pemberian izin, dan pengenaan sanksi di tingkat kabupaten/kota.Pasal 153 (3), PP 15/2010 tentang Peyelenggaraan Penataan Ruang

RDTR menjadi dasar untuk penerbitan Izin mendirikan bangunanPasal 165 ayat 3, PP 15/2010 Penyelenggaraan Penataan Ruang

2.3. Jenis Perizinan Pemanfaatan Ruang

Pada subbab ini akan dijabarkan 1) Kedudukan dan Definisi Izin prinsip, Izin lokasi, Izin penggunaan pemanfaatan tanah, dan Izin mendirikan bangunan serta 2) Definsi dan jenis Izin lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam lingkup pemanfaatan ruang2.3.1. Definisi Izin Prinsip, Izin Lokasi, IPPT dan IMB

Secara yuridis formal, menurut PP no 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pemanfaatan Ruang, Izin Prinsip, Izin Lokasi, IPPT dan IMB adalah Izin utama yang diperlukan dalam pengendalian tertib tata ruang sebagaimana disebutkan pada ketentuan berikut ini :

1. Izin Prinsip, Izin Lokasi, Izin Pemanfaatan Penggunaan Tanah (IPPT) dan Izin Mendirikan bangunan (IMB) diterbitkan oleh Pemda Kab/Kota (Pasal 163 ayat 2).

2. Izin Prinsip dan Izin Lokasi mengacu pada RTRW Kab/kota (Pasal 165 ayat (1))

3. Izin Pemanfaatan Penggunaan Tanah (IPPT) diberikan berdasarkan Izin Lokasi (Pasal 165 ayat 2)

4. Izin Mendirikan Bangunan diberikan berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (Pasal 165 ayat 3)

Namun demikian, Pasal 166 menyebutkan bahwa apabila dasar pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam angka 2,3 dan 4 (Pasal 165) di atas belum ada, maka izin diberikan atas dasar Rencana Tata Ruang yang berlaku dengan tetap memperhatikan pedoman bidang penataan ruang yang ditetapkan oleh Menteri/menteri terkait.2.3.2. Definisi, Izin Pemanfaatan Ruang

Dalam Tabel berikut diuraikan mengenai Definisi Jenis Izin yang terkait dengan Pemanfaatan Ruang sebagaimana diatur dalam PP no 15 Tahun 2010 dan penjelasannya. Tabel 2 DefinIsi Izin Pemanfaatan Ruang (Izin Prinsip, Izin Lokasi, IPPT dan IMB)NoJenis Izin Definisi

1. Izin Prinsip a. Dalam sektor kehutanan, Peternakan dan Pariwisata disebut dengan Persetujuan Prinsipb. menyatakan suatu kegiatan secara prinsip diperkenankan untuk diselenggarakan atau beroperasi.

c. pertimbangan pemanfaatan lahan berdasarkan aspek teknis, politis, dan sosial budaya sebagai dasar dalam pemberian izin lokasi.

d. dapat berupa Surat Penunjukan Penggunaan Lahan (SPPL).

e. belum dapat dijadikan dasar untuk pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang.

2. Izin Lokasia. diberikan kepada pemohon untuk memperoleh ruang yang diperlukan dalam rangka melakukan aktivitasnya. b. dasar untuk melakukan pembebasan lahan dalam rangka pemanfaatan ruang. c. diperlukan untuk pemanfaatan ruang lebih dari 1 (satu) Hektar untuk kegiatan bukan pertanian dan lebih dari 25 (dua puluh lima) Hektar untuk kegiatan pertanian. d. diberikan berdasarkan izin prinsip apabila berdasarkan peraturan daerah yang berlaku diperlukan izin prinsip.

3. Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah (IPPT)a. merupakan dasar untuk permohonan mendirikan bangunan dan diberikan berdasarkan izin lokasi. b. Syarat awal penggunaan lahan

c. Bisa mencakup gabungan Perizinan berikut :

Izin Lokasi;

Izin pemanfaatan tanah;

Izin perubahan penggunaan tanah atau yang lebih dikenal dengan izin pengeringan;

Izin konsolidasi tanah; dan

Izin penetapan pembangunan untuk kepentingan umum.

d. Bisa dijadikan dasar penerbitan IMB, dibedakan berdasarkan fungsi dan peruntukannya: Fungsi I; bangunan yang berfungsi untuk bangunan sosial, seperti tempat peribadatan, pendidikan, Rumah Sakit, Yayasan Yatim Piatu

Fungsi II; bangunan yang berfungsi untuk Rumah Tinggal

Fungsi III; bangunan yang berfungsi untuk usaha dagang, antara lain : rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan) Fungsi IV; bangunan yang berfungsi untuk industri/pabrik Fungsi V; bangunan khusus meliputi Menara / Tower

4. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)1. merupakan dasar dalam mendirikan bangunan dalam rangka pemanfaatan ruang2. diberikan berdasarkan peraturan zonasi sebagai dasar bagi pemegang izin untuk mendirikan bangunan sesuai fungsi yang telah ditetapkan dan rencana teknis bangunan gedung yang telah disetujui oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.3. diberikan oleh pemerintah daerah kecuali untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku4. merupakan dasar bagi pemohon untuk melakukan kegiatan lebih lanjut di atas bidang tanah yang dimohonkan, seperti mendirikan bangunan di atas bidang tahan tersebut.

Selain empat Izin utama dalam Pemanfaatan ruang sebagaimana diuraikan dalam Tabel 2 di atas, masih terdapat Izin Lain. Izin lain yang disebut dalam Pasal 163 ayat (1) huruf e PP No. 15 tahun 2010, diartikan sebagai semua izin sektor yang terkait dengan pemanfaatan ruang dan telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan terkait, berikut ini beberapa diantaranya :Tabel 3 Definsi dan Jenis Izin LainnyaNoJenis Izin Pemanfaatan RuangDefinisi

1. Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi

Pemberian IUP Operasi Produksi pada tingkat Kabupaten hanya untuk aktivitas pertambangan yang berlokasi di wilayah usaha pertambangan pada 1 (satu) wilayah kabupaten. Pemberian IUP Operasi Produksi tingkat Kabupaten mengacu pada rencana tata ruang wilayah kabupaten..

2. Izin Pertambangan Rakyat (IPR)

Pemberian IPR pada tingkat kabupaten hanya untuk aktivitas pertambangan yang berlokasi di wilayah usaha pertambangan pada 1 (satu) wilayah kabupaten. kewenangan pemberian izinnya dapat dilimpahkan kepada camat. pemberian IPR pada tingkat Kabupaten mengacu pada RTRW Kabupaten.

3. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi Izin usaha yang dlberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus

Pemberian Izin dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah

4. izin pinjam pakai kawasan hutan Izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan usaha diberikan untuk kepentingan Pembangunan diluar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan (Pasal 38), yang salah satunya adalah pertambangan Pasal 38 ayat (3) Perizinan Pemanfaatan Hutan Lindung, dilaksanakan melalui pemberian :

Izin usaha pemanfaatan kawasan

Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan

Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu

Perizinan Pemanfaatan Hutan Produksi, dilaksanakan melalui pemberian :

Izin pemungutan hasil hutan kayu

Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu

Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu

Izin Pertambangan di kawasan Hutan dapat diberikan melalui Izin Pinjam Pakai. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka Pemberian izin pinjam pakai untuk kepentingan pertambangan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan DPR. Izin Pinjam Pakai ini tidak termasuk yang didesentralisasikan kewenangannya kepada pejabat daerah

5. Izin UsahaTanaman Pangan Proses Produksi (IUTP-P)

Izin Usaha Tanaman Pangan Proses Produksi(IUTP-P) adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang dan wajibdimiliki oleh pelaku usaha proses produksi di atas skala usaha tertentu.

6. Izin Usaha Tanaman Pangan Penanganan Pasca Panen (IUTP-PP) Izin Usaha Tanaman Pangan Penanganan Pasca Panen(IUTP-PP) adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat berwenang danwajib dimiliki oleh pelaku usaha penanganan pasca panen di atas skalausaha tertentu.

7. Izin Usaha Budidaya Tanaman Pangan (IUTP) Izin Usaha Budidaya Tanaman Pangan (IUTP) adalahizin tertulis yang diberikan oleh pejabat berwenang dan wajib dimiliki olehpelaku usaha proses produksi dan penanganan pasca panen dengan skalausaha tertentu

8. Izin Usaha Hortikultura (IUH) Izin tertulis yang diberikan olehpejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perorangan atau badan hukum untuk dapatmelakukan usaha perbenihan, usaha budidaya, usaha pasca panen, dan atau usaha wisata agrohortikultura.

IUH dapat diberikan sekaligus kepada pelaku usaha yang melakukan usaha budidaya hortikultura, pasca anen dan atau wisata agro.

9. Izin Usaha Perkebunan (IUP); Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B); dan Izin Usaha Perkebunan Pengolahan (IUP-P). Pemberian IUP, IUP-B dan IUP-P pada tingkat kabupaten hanya untuk aktivitas perkebunan yang berlokasi pada 1 (satu) wilayah kabupaten. Dasar pemberian IUP, IUP-B dan IUP-P pada tingkat kabupaten mengacu pada RTRW kabupaten.

10. Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) Izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut.

Rekomendasi Pembudidayaan Ikan Penanaman modal (RPIPM) adalah rekomendasi tertulis yang memuat persetujuan lokasi pembudidayaan ikan yangditerbitkan oleh Direktur Jenderal melalui instansi yang berwenang di bidangpenanaman modal kepada perusahaan di bidang pembudidayaan ikan denganfasilitas penanaman modal.

11. Izin Usaha Peternakan

Setiap Perusahaan Peternakan yang dalam skala usaha tertentu wajib memenuhi ketentuan di bidang perizinan usaha yang meliputi :

Persetujuan Prinsip

Izin Usaha

Izin Perluasan Usaha Peternakan.

Izin usaha peternakan diberikan kepada Pemohon yang telah memiliki Persetujuan Prinsip dan siap melakukan kegiatan produksi, termasuk untuk memasukkan ternak. Untuk Peternakan Rakyat sebagai usaha usaha sampingan dengan jumlah maksimum usahanya untuk tiap jenis ternak tertentu PeternakanRakyat tidak diwajibkan memiliki izin usaha peternakan.

12. Izin Usaha Industri (IUI)

Pemberian IUI pada tingkat kabupaten hanya untuk aktivitas industri yang berlokasi pada 1 (satu) wilayah kabupaten. dasar pemberian IUI pada tingkat kabupaten mengacu pada RTRW kabupaten.

13. Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI)

Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI) pada tingkat kabupaten hanya untuk aktivitas kawasan industri yang berlokasi di 1 (satu) wilayah kabupaten. dasar pemberian IUKI pada tingkat kabupaten mengacu pada RTRW kabupaten.

14. Izin Usaha Pengelolaan Pasar Tradisional (IUP2T)

Pemberian IUP2T pada tingkat kabupaten hanya untuk aktivitas pengelolaan pasar tradisional yang berlokasi di 1 (satu) wilayah kabupaten. dasar pemberian IUP2T, IUPP dan IUTM pada tingkat kabupaten mengacu pada RTRW Kabupaten. Pemberian IUP2T diterbitkan oleh bupati kecuali Gubernur untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

15. Izin Usaha Pusat Perbelanjaan (IUPP)

Pemberian IUPP pada tingkat kabupaten hanya untuk aktivitas usaha pusat perbelanjaan yang berlokasi di 1 (satu) wilayah kabupaten seperti Pertokoan, Mall, Plasa dan Pusat Perdagangan; dasar pemberian IUPP dan pada tingkat kabupaten mengacu pada RTRW kabupaten. Pemberian IUPP diterbitkan oleh bupati kecuali Gubernur untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

16. Izin Usaha Toko Modern (IUTM).

Pemberian IUTM pada tingkat kabupaten hanya untuk aktivitas usaha toko modern yang berlokasi di 1 (satu) wilayah kabupaten IUTM diberikan untuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket dan Perkulakan dasar pemberian IUTM pada tingkat kabupaten mengacu pada RTRW Kabupaten. Pemberian IUTM diterbitkan oleh bupati kecuali Gubernur untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

17. Izin Usaha Pariwisata (IUP)

Pemberian IUP pada tingkat Kab hanya untuk aktivitas pariwisata yang berlokasi pada 1 (satu) wilayah kabupaten. dasar pemberian IUP pada tingkat kabupaten mengacu pada RTRW kabupaten

18. Izin Mendirikan Rumah Sakit

izin yang diberikan untuk mendirikan Rumah Sakit setelah memenuhi persyaratan pendirian

Izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit kelas A dan Rumah Sakit penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Provinsi.

Izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit kelas B diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang dibidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit kelas C dan kelas D diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat rekomendasi dari pejabat yangberwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

BAB III

KETENTUAN TEKNIS3. KETENTUAN TEKNIS

3.1. Kriteria Jenis Izin Pemanfaatan RuangKriteria izin pemanfaatan ruang dirumuskan berdasarkan sifat kegiatan, sifat bangunan, luasan kegiatan, kewenangan instansi terkait, lokasi kegiatan, dan ketentuan-ketentuan izin lainnya.3.1.1. Izin Prinsip

Kriteria terkena Izin Prinsip adalah

(1). Sifat kegiatan berdampak, jika kegiatan tersebut secara pemanfaatan lahannya memberikan dampak terhadap lingkungan dan sosial budaya, dimana penilaiannya telah mempertimbangkan aspek politik, sosial budaya, dan teknis sesuai karakteristik masing-masing daerah;(a). Politis:

Mengacu pada Politik hukum Tanah Nasional mengacu pada Pasal 33 UUD 1945. Dalam hukum Tanah Nasional, termasuk ruang, setiap warganegara dapat menguasai bagian-bagian tanah (dan ruang) secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, namun juga memperhatikan kebersamaan. Aspek Politis juga memperhatikan Tingkat kepentingan kegiatan (nasional atau provinsi), Jenis kegiatan (daftar bidang usaha) dan Lokasi di kawasan strategis (nasional, provinsi atau kab/kota)(b). Sosial Budaya:

Unsur kebersamaan tersebut disebutkan dalam Pasal 6 UUPA sebagai; Semua hak atas tanah mempunyai fungsi social dan dapat diakses oleh semua warganegara tanpa diskriminasi dalam berbagai bentuk haknya (Pasal 9 dan Pasal 16), agar dapat dimanfaatkan demokratis (Pasal 9), adil (Pasal 6, 7, 10, 13) dan terencana (pasal 14).

(c). Teknis:

Pasal 163 ayat (1) dan Pasal 165 ayat (1) menyebutkan bahwa secara normatif Izin Prinsip merupakan sebagai salah satu tahap perizinan dalam penataan ruang secara teknis berfungsi menegakkan tertib tata ruang sehingga dalam pemberiannya mengacu kepada RTRW

(2). Kegiatan yang masuk dalam peraturan perundang-undangan tentang penanaman modal pada bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan, dimana kegiatan tersebut memerlukan rekomendasi menteri.

(3). Kegiatan tersebut berada di kawasan strategis nasional dan kawasan strategis provinsi, dimana kegiatan tersebut adalah membangun baru atau perluasan;

3.1.2. Izin Lokasi

Kriteria terkena Izin Lokasi adalah

(1). pemanfaatan ruang lebih dari 1 (satu) Hektar untuk kegiatan bukan pertanian1(d). Usaha Pengembangan Perumahan dan Permukiman3 Kawasan perumahan permukiman3 400 (provinsi), 4000 (Indonesia)

Kawasan resort perhotelan3 200 (provinsi), 4000 (Indonesia)

(e). Usaha Kawasan Industri3 400 (provinsi), 4000 (Indonesia)

(2). pemanfaatan ruang lebih dari 25 (dua puluh lima) Hektar untuk kegiatan pertanian1

(a). Perkebunan yang diusahakan dalam bentuk perkebunan besar dengan HGU3 Komoditas Tebu3 60000 (provinsi), 15000 (Indonesia)

Komoditas lainya3 20000 (provinsi), 10000 (Indonesia)

(b). Tambak3 Untuk usaha Tambak di Jawa3 100 (provinsi), 1000 (Indonesia)

Usaha Tambak di Luar Jawa3 200 (provinsi), 2000 (Indonesia)

Izin Lokasi dinyatakan tidak diperlukan dan dianggap sudah dipunyai oleh perusahaan yang bersangkutan dalam hal :

(a). tanah yang diperoleh merupakan pemasukan (inberng) dari para pemegang saham;

(b). tanah yang akan diperoleh merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh perusahaan lain dalam rangka melanjutkan pelaksanaan sebagai atau seluruh rencana penanaman modal perusahaan lain tersebut, dan untuk itu telah diperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang;

(c). tanah yang akan diperoleh diperlukan dalam rangka menjalankan usaha industri dalam suatu kawasan industri;

(d). tanah yang akan diperoleh berasal dari otorita atau badan rencana pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut;(e). tanah yang akan diperoleh diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah berjalan dan untuk perluasan itu telah diperoleh izin tanah tersebut berbatasan dengan lokasi yang bersangkutan;

(f). tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal tidak lebih dari 25 (dua puluh lima) hektar untuk usaha pertanian atau tidak lebih dari 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi untuk usaha bukan pertanian;

(g). tanah yang dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal adalah tanah yang sudah dipunyai oleh perusahaan yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa tanah-tanah tersebut terletak di lokasi ruang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang bersangkutan.

3.1.3. Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah (IPPT)IPPT memiliki kemiripan fungsi dengan Keterangan Rencana Kabupaten/Kota (KRK) sebagai dasar pemberien IMB. Setiap Pemerintah daerah wajib memberikan KRK untuk lokasi yang bersangkutan kepada setiap orang atau badan hukum yang akan mengajukan permohonan IMBKriteria terkena IPPT adalah(a). Fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi bersangkutan;

(b). Ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan;

(c). Jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan tanah dan KTB yang diizinkan, apabila membangun di bawah permukaan tanah;

(d). Garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung yang diizinkan;

(e). KDB (Koefisien Dasar Bangunan) maksimum yang diizinkan;

(f). KLB (Koefisien Lantai Bangunan) maksimum yang diizinkan;

(g). KDH (Koefisien Daerah Hijau)minimum yang diwajibkan;

(h). KTB (Koefisien Tapak Basemen) maksimum yang diizinkan;

(i). Jaringan utilitas kota; dan

(j). Keterangan lainnya yang terkait.Dalam KRK dicantumkan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan meliputi:

(a). Lokasi-lokasi yang terletak pada kawasan rawan bencana gempa; kawasan rawan longsor; kawasan rawan banjir, dan/atau lokasi yang kondisi tanahnya tercemar; dan

(b). Keterangan Rencana Kabupaten/Kota digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan gedung3.1.4. IMB

Izin mendirikan bangunan, yang selanjutnya disingkat IMB, adalah perizinan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada pemohon untuk membangun baru, rehabilitasi/renovasi, dan/atau memugar dalam rangka melestarikan bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku. Kriteria terkena IMB adalaha. Bangunan Gedung

Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

Bangunan gedung berfungsi sebagai:

a. Fungsi hunian terdiri atas bangunan gedung hunian rumah tinggal sederhana dan rumah tinggal tidak sederhana.

b. Fungsi keagamaan terdiri atas mesjid/mushola, gereja, vihara, klenteng, pura, dan bangunan pelengkap keagamaan.

c. Fungsi usaha atas perkantoran komersial, pasar modern, ruko, rukan, mal/supermarket, hotel, restoran, dan lain-lain sejenisnya.

d. Fungsi sosial dan budaya terdiri atas bangunan olahraga, bangunan pemakaman, bangunan kesenian/kebudayaan, bangunan pasar tradisional, bangunan terminal/halte bus, bangunan pendidikan, bangunan kesehatan, kantor pemerintahan, bangunan panti jompo, panti asuhan, dan lain-lain sejenisnya.

e. Fungsi ganda/campuran terdiri atas hotel, apartemen, mal/shopping center, sport hall, dan/atau hiburan.

b. Bangunan Bukan GedungBangunan bukan gedung adalah suatu perwujudan fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang tidak digunakan untuk tempat hunian atau tempat tinggal.

Bangunan bukan gedung terdiri atas:

a. pelataran untuk parkir, lapangan tenis, lapangan basket, lapangan golf, dan lain-lain sejenisnya;

b. pondasi, pondasi tangki, dan lain-lain sejenisnya;

c. pagar tembok/besi dan tanggul/turap, dan lain-lain sejenisnya;

d. septic tank/bak penampungan bekas air kotor, dan lain-lain sejenisnya;

e. sumur resapan, dan lain-lain sejenisnya;

f. teras tidak beratap atau tempat pencucian, dan lain-lain sejenisnya;

g. dinding penahan tanah, dan lain-lain sejenisnya;

h. jembatan penyeberangan orang, jembatan jalan perumahan, dan lain-lain sejenisnya;

i. penanaman tangki, landasan tangki, bangunan pengolahan air, gardu listrik, gardu telepon, menara, tiang listrik/telepon, dan lain-lain sejenisnya;

j. kolam renang, kolam ikan air deras, dan lain-lain sejenisnya; dan

k. gapura, patung, bangunan reklame, monumen, dan lain-lain sejenisnya.

3.2. Kategori Kegiatan Pemanfaatan RuangPengklasifikasian jenis kegiatan perizinan ini dimaksudkan untuk memudahkan identifikasi kegiatan berdasarkan izin pemanfaatan ruang yang digunakan; Aspek yang diperhatikan dalam persyaratan teknis:a) Klasifikasi struktur dan pola ruang RTRW sesuai hierarki

b) Klasifikasi zona dan kegiatan RDTR

c) Klasifikasi usaha/kegiatan izin lainnya (jenis izin yang berlaku saat ini, sektor, dan penanaman modal) 3.2.1. Kegiatan Pemanfaatan Ruang Pada Suatu Kawasan/Zona Berdasarkan Rencana Tata RuangTertib tata ruang yang dimaksud adalah mengacu pada ketentuan/ketetapan yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. Ketentuan/ketetapan tersebut termuat pada struktur ruang, pola ruang, kawasan strategis, dan arahan peraturan zonasi

a. Struktur Ruang

Kategori kegiatan/usaha yang terkena izin pemanfaatan ruang disesuaikan dengan ketentuan yang tercantum pada struktur ruang yaitu sistem jaringan prasarana dan sarana.

(1). Sistem jaringan prasarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan bersifat pembangunan baru, dimana penyelenggaraannya sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, antara lain:(a). pertahanan dan keamanan nasional;

(b). jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;

(c). waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;

(d). pelabuhan, bandar udara, dan terminal;

(e). infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;

(f). pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;

(g). jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;

(h). tempat pembuangan dan pengolahan sampah;

(2). Kegiatan pemanfaatan ruang mengacu pada ketentuan pemanfaatan ruang pada jaringan prasarana sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan tata bangunan pada lingkup RDTR

b. Pola ruang

Kegiatan/usaha yang menggunakan ruang terkena Izin pemanfaatan ruang disesuaikan dengan Ketentuan yang tercantum pada pola ruang yaitu peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

Kegiatan pemanfaatan ruang mengacu pada(1). Kawasan, dimana kegiatan pemanfaatan ruangnya mengacu pada fungsi utama lindung dan budidaya(2). Peruntukan ruang, dimana kegiatan pemanfaatan ruangnya mengacu pada klasifikasi dari kawasan lindung dan kawasan budidaya(3). Pemanfaatan, dimana kegiatan pemanfaatan ruangnya mengacu pada muatan:

(a). rencana pola ruang untuk fungsi utama

(b). arahan peraturan zonasi untuk fungsi penunjang

c. Zona

Kegiatan/usaha yang menggunakan ruang terkena Izin pemanfaatan ruang disesuaikan dengan ketentuan yang tercantum pada rencana pola ruang meliputi zona lindung dan zona budi daya serta peraturan zonasi.

Kegiatan pemanfaatan ruang mengacu pada:

(1). Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan(2). Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang, Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang adalah ketentuan mengenai besaran pembangunan yang diperbolehkan pada suatu zona yang meliputi: KDB maksimum, KLB maksimum, ketinggian bangunan maksimum, KDH minimal, KTB maksimum, KWT Maksimum, Kepadatan Bangunan atau Unit Maksimum, Kepadatan Penduduk Maksimal

(3). Ketentuan Tata Bangunan, Ketentuan tata bangunan adalah ketentuan yang mengatur bentuk, besaran, peletakan, dan tampilan bangunan pada suatu zona

(4). Ketentuan Prasarana dan Sarana Minimal, Ketentuan prasarana dan sarana minimal berfungsi sebagai kelengkapan dasar fisik lingkungan dalam rangka menciptakan lingkungan yang nyaman melalui penyediaan prasarana dan sarana yang sesuai agar zona berfungsi secara optimal

(5). Ketentuan Tambahan, Ketentuan tambahan adalah ketentuan lain yang dapat ditambahkan pada suatu zona untuk melengkapi aturan dasar yang sudah ditetapkan

(6). Ketentuan Khusus, Ketentuan khusus adalah ketentuan yang mengatur pemanfaatan zona yang memiliki fungsi khusus dan diberlakukan ketentuan khusus sesuai dengan karakteristik zona dan kegiatannya

Permohonan izin kegiatan pemanfaatan ruang yang terkait dengan peruntukan kawasan baik Propinsi maupun kab/kota dijabarkan pada Lampiran 1. Tabel keterkaitan peruntukan kawasan dengan kegiatan yang diajukan. 3.2.2. Kategori KegiatanKategori kegiatan ditujukan pada kegiatan yang menggunakan/memanfaatkan ruang. Kategori kegiatan mempertimbangkan:

(1). KBLI 2009 dikarenakan kategori tersebut digunakan dalam penentuan kualifikasi jenis kegiatan usaha dalam Surat Permohonan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), dan penentuan kualifikasi perijinan investasi. (2). Daftar kegiatan bersyarat

(3). Kegiatan pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanganKriteria kegiatan:

(1). Wilayah administrasi, yaitu:

(a). dalam wilayah administrasi kabupaten/kota

(b). lintas provinsi atau kabupaten/kota

(a). Skala investasi, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:

(b). skala investasi 10M

(c). skala investasi > 10M, dan

(d). skala investasi 10M di lintas kabupaten/kota(2). Tipe kegiatan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:

(a). tipe dengan tingkat kepentingan/pelayanan nasional(b). tipe dengan tingkat kepentingan/pelayanan provinsi, dan

(c). tipe dengan tingkat kepentingan/pelayanan kabupaten/kota

3.2.3. Tipologi perizinan pemanfaatan ruang

Keterkaitan kategori kegiatan dengan persyaratan teknis. Dalam aspek ini kegiatan usaha dikaitkan dengan persyaratan teknis tata ruang yang mengikuti, antara lain :1) Sifat Kegiatan Berdampak, seberapa jauh dampak kegiatan terhadap lingkungan dan sosial, dimana Pertimbangan pemanfaatan lahan berdasarkan aspek teknis, politis, dan sosial budaya

2) Luasan, yaitu :

pemanfaatan ruang lebih dari (>) 1 Ha untuk kegiatan bukan pertanian pemanfaatan ruang lebih dari (>) 25 Ha untuk kegiatan pertanian pemanfaatan ruang dan kurang dari ( 1 Ha untuk kegiatan bukan pertanian

b. pemanfaatan ruang 1 Ha untuk kegiatan bukan pertanian

c. pemanfaatan ruang > 25 Ha untuk kegiatan pertaniand. pemanfaatan ruang 25 Ha untuk kegiatan pertanianc) Ketentuan diatur oleh sektor

d) Penggolongan Bangunan

e) Status lahanf) Posisi secara spasial berada di Kawasan Strategis Nasional dan Kawasan Strategis Provinsi

2. Suatu kegiatan pemanfaatan ruang masuk dalam tipologi 2, jika kegiatan tersebut mempunyai kriteria satu atau lebih, antara lain:

a) Mempunyai sifat kegiatan berdampak

b) Luasan :

a. pemanfaatan ruang > 1 Ha untuk kegiatan bukan pertanian

b. pemanfaatan ruang > 25 Ha untuk kegiatan pertanianc) Ketentuan diatur oleh sektor

d) Status lahan

3. Suatu kegiatan pemanfaatan ruang masuk dalam tipologi 3, jika kegiatan tersebut mempunyai kriteria satu atau lebih, antara lain:

a) Mempunyai sifat kegiatan tidak berdampak

b) Luasan :

a. pemanfaatan ruang > 1 Ha untuk kegiatan bukan pertanian

b. pemanfaatan ruang > 25 Ha untuk kegiatan pertanianc) Ketentuan diatur oleh sektor

d) Penggolongan Bangunan

e) Status lahan

4. Suatu kegiatan pemanfaatan ruang masuk dalam tipologi 4, jika kegiatan tersebut mempunyai kriteria satu atau lebih, antara lain:

5. Suatu kegiatan pemanfaatan ruang masuk dalam tipologi 5, jika kegiatan tersebut mempunyai kriteria satu atau lebih, antara lain:

a) Mempunyai sifat kegiatan tidak berdampak

b) Luasan :

a. pemanfaatan ruang < 1 Ha untuk kegiatan bukan pertanian

b. pemanfaatan ruang < 25 Ha untuk kegiatan pertanianc) Ketentuan diatur oleh sektor

d) Status lahan

6. Suatu kegiatan pemanfaatan ruang masuk dalam tipologi 6, jika kegiatan tersebut mempunyai kriteria satu atau lebih, antara lain:

a) Mempunyai sifat kegiatan tidak berdampak

b) Luasan :

a. pemanfaatan ruang < 1 Ha untuk kegiatan bukan pertanian

b. pemanfaatan ruang < 25 Ha untuk kegiatan pertanianc) Status lahan

d) Kegiatan bersifat renovasi/pemugaran

3.3. Kelembagaan Perizinan

Perizinan sebagai bagian dari pelayanan public (public service) diselenggarakan oleh institusi pelayanan public (public service provider) karena pelayanan public termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan ruang bertolak pada:

1. kewajiban administrasi Negara untuk menjalankan fungsi dan wewenangnya berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan bersih (good governance).

2. Pengakuan Hak Asasi Setiap Warganegara untuk mendapatkan kualitas pelayanan yang baik dan pemerintaha yang baik

3. Keanekaragaman jenis bidang pelayanan public sebagai akibat beragamnya urusan dan kepentingan masyarakat yang harus dipenuhi melalui penyelenggaraan pelayanan publik

Untuk menjalankan ketiga hal tersebut di atas maka instansi pelayanan public dan perizinan menyelenggarakan pelayanan secara berjenjang dan terintegrasi agar tercapai standar pelayanan minimal sesuai azasnya, yaitu mengedepankan keterbukaan,berintegritas, memelihara akuntabilitas, menjunjung tinggi legalitas, tidak diskriminatif, proporsional, dan konsisten.

Dalam Perizinan Pemanfaatan Ruang, prinsip dan azas tersebut dijalankan secara terdesentralisasi sesuai hierarki dan kewenangan masing-masing instansi. Terdapat 3 instansi administrative pemberi izin, yaitu level nasional dilaksanakan oleh kementrian, level Propinsi dilaksanakan oleh Gubernur dan level Kab/Kota dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.

3.3.1. Kewenangan Pemberian Izin secara hierarkiesPerizinan diberikan oleh pejabat kepada pemohon sesuai dengan skala usaha yang dimohonkan, antara lain :a. Nasional

Menteri, memeberikan izin untuk :

1. usaha/kegiatan di wilayah lintasprovinsi (lebih dari satu provinsi);

2. usaha/kegiatan di Kawasan Strategis Nasional (KSN);

3. Izin usaha pertambangan khusus (IUPK) Operasi produksi mengacu pada RTRW Provinsi;

b. Provinsi

Gubernur:memberikan izin untuk :

1. usaha/kegiatan di wilayah lintas kabupaten/kota;

2. usaha/kegiatan di Kawasan Strategis Provinsi (KSP)

3. usaha/kegiatan yang dilimpahkan kewenangannya kepada Gubernur sesuai ketentuan perundang-undangan

c. Kabupaten/Kota

Bupati/Walikota dalam penyelenggaraan izin pemanfaatan ruang dikelola oleh satuan kerja perangkat daerah yang membidangi perizinan.

Bupati/Walikota dapat melimpahkan sebagian kewenangan penerbitan IMB kepada camat. Pelimpahan sebagian kewenangan mempertimbangkan:

(a). efisiensi dan efektivitas;

(b). mendekatkan pelayanan pemberian IMB kepada masyarakat; dan

(c). fungsi bangunan, klasifikasi bangunan, batasan luas tanah, dan/atau luas bangunan yang mampu diselenggarakan kecamatan.

Camat melaporkan pelaksanaan sebagian kewenangan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada satuan kerja perangkat daerah yang membidangi perizinan.

Bupati dan Walikota memberikan izin untuk :

1. usaha/kegiatan di dalam wilayah Kabupaten/Kota setempat

2. usaha/kegiatan di dalam Kawasan Strategis Kabupaten/Kota (KSK).

3. usaha/kegiatan yang dilimpahkan kewenangannya kepada Bupat/Walikota sesuai ketentuan perundang-undangan

3.3.2. Pengelolaan Perizinan di Pemda

Di Pemda Kab/Kota, proses dan prosedur perizinan dikelola melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sesuai Perpres no 27 tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP dan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan sesuai Permendagri no 4 Tahun 2010 mengenai Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Kecamatan (PATEN).

Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat PTSP adalah kegiatan penyelenggaraan suatu Perizinan dan Nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.

Sedangkan maksud penyelenggaraan PATEN adalah mewujudkan Kecamatan sebagai pusat pelayanan masyarakat dan menjadi simpul pelayanan bagi kantor/badan pelayanan terpadu di kabupaten/kota. PATEN mempunyai tujuan untuk meningkatkan kualitas dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. PTSP dan PATEN memiliki kesamaan ruang lingkup pelayanan, baik perizinan maupun non perizinan, namun PTSP lebih focus pada penanaman modal sedangkan PATEN cenderung pada administrasi.

3.3.3. PTSP di Kementrian

Perpres no 27 tahun 2009 memberikan amanah kepada Propinsi dan Kab/Kota untuk menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu di bidang penanaman modal. Dalam penyelenggaraannya :

(1). Kepala BKPM rnendapat Pendelegasian atau Pelirnpahan Wewenang dari Menteri Teknis/Kepala LPND (Lembaga Pemerintahan Non Departemen) yang rnemiliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan Pemerintah di bidang Penanarnan Modal; dan

(2). Menteri Teknis/Kepala LPND, Gubernur atau Bupati/Walikota yang berwenang mengeluarkan Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal dapat menunjuk Penghubung dengan BKPM.Gambar 2 Kelembagaan Pemberi Izin

a. PTSP di Propinsi

Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanarnan di tingkat Propinsi diselenggarakan oleh PDPPM (Perangkat Daerah Propinsi bidang Penanaman Modal). Gubernur rnernberikan Pendelegasian Wewenang, pemberian Perizinan dan Nonperizinan dibidang Penanarnan Modal yang rnenjadi urusan pernerintah provinsi kepada kepala PDPPM. Urusan pemerintah provinsi meliputi:

(1). urusan pemerintah provinsi di bidang Penanaman Modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai pembagian urusan

(2). urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Pemerintahan daerah Provinsi; dan urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal yang diberikan Pelimpahan Wewenang kepada Gubernur.b. PTSP di Kab/Kota

Sedangkan Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal oleh Pemerintah Kab/kota dilaksanakan oleh PDKPM. Bupati/ Walikota memberikan wewenang kepala Perangkat Daerah Kab/Kota bidang Penanaman Modal yang menjadi urusan pemerintah kab/ kota kepada Kepala Perangkat PDKPM. Urusan pemerintah kabupaten kota tersebut , rneliputi:

(1). urusan pemerintah kabupaten/kota di bidang Penanaman Modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan pemerintahan kabupaten/kota; dan

(2). urusan Pernerintah di bidang Penanarnan Modal yang diberikan Penugasan kepada pernerintah kabupaten/kota.

3.4. Pengaduan Masyarakat

Setelah mengikuti proses dan prosedur perizinan, Pemohon izin pemanfaatan ruang yang tidak puas atas pelayanan di lembaga perizinan, dapat menyampaikan pengaduan kepada Kepala lembaga perizinan yang bersangkutan. Pengaduan sebagaimana disampaikan melalui layanan pengaduan (help desk) penanaman modal yang tersedia, baik secara off line maupun on line.

BAB IV

PROSES DAN PROSEDUR4. PROSES DAN PROSEDUR

4.1. UmumProses merupakan bagian dari suatu sistem yang memuat kiriteria tertentu yang secara teknis merupakan syarat yang harus dilalui dalam pengurusan perizinan. Syarat teknis yang dimaksud adalah:

a) Melakukan persiapan berupa pengumpulan persyaratan/data teknis

b) Mengajukan surat permohonan kepada pihak tertentu

c) Pengisian form tertentu yang disediakan

Prosedur merupakan bagian dari suatu sistem yang memuat kewenangan tertentu sebagai syarat hukum yang harus dilalui dalam pengurusan izin. Syarat hukum yang dimaksud adalah:

a) Pemberian persetujuan, baik berupa izin prinsip, izin lokasi, IPPT, IMB, dan izin lainnya yang terkait dengan pemanfaatan ruang

b) Kewenangan menentukan besaran retribusi dalam pengurusan izin

c) Penetapan pemberian izin kepada pihak pemohon dan sebagainya

4.2. Izin PrinsipIzin prinsip ditujukan untuk:(1) Untuk menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang ada.

(2) Untuk menghindari dampak negatif pemanfaatan ruang.

(3) Untuk melindungi kepentingan umumKegiatan pemanfaatan ruang terkait izin Prinsip memperhatikan beberapa kriteria sebagai berikut:KriteriaKeterangan

Pemberi Izin

Pemberian izin diberikan oleh bupati/walikota atau pejabat yang berwenang dengan mengacu pada RTRW Kabupaten/kota

Tata cara

(1) Pemohon mengajukan permohonan Izin Prinsip kepada Bupati/Walikota.

(2) Permohonan Izin Prinsip meliputi:

a. Kegiatan dalam daftar investasi; atau

b. Penyelenggaraan/pengoperasian kegiatan.

Klasifikasi terkena izin prinsip:

Kegiatan yang mempunyai aspek

(1) Politis: (2) Sosial Budaya: (3) Teknis:a. Tingkat kepentingan kegiatan (nasional atau provinsi)

b. Jenis kegiatan (daftar bidang usaha)

c. Lokasi di kawasan strategis (nasional atau provinsi)

Persyaratan teknis (1) Izin prinsip penanaman modal

(2) Izin prinsip/persetujuan prinsip dari kementerian/lembaga

(3) Rekomendasi dari Menteri/Gubernur

Persyaratan administrasi

Masa berlaku perizinanIzin Prinsip berlaku untuk jangka waktu yang berbeda-beda antar berbagai bidang perizinan, antara 1-2 tahun

(1). Prosedur pemberian izin pemanfaatan ruang ditetapkan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.(2). Pemberian izin diberikan oleh pejabat yang berwenang dengan mengacu pada rencana tata ruang dan peraturan zonasi. (3). Pemberian izin dilakukan secara terkoordinasi dengan memperhatikan kewenangan dan kepentingan berbagai instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Gambar 3 Proses Permohonan Izin Prinsip

Sumber : 1. PP 15/2010, Penyelenggaraan Penataan Ruang

2. Perka BKPM No.12 tahun 2011

3. Permen PU 15/2009 Pedoman Penyusunan RTRWP

4.3. Izin LokasiIzin lokasi ditujukan untuk:(1) Sebagai dasar bagi suatu perusahaan yang membutuhkan tanah untuk melaksanakan rencana penanaman modalnya.

(2) Arahan lokasi penanaman modal sebagai pelaksanaan penataan ruang dalam aspek pertanahan Kegiatan pemanfaatan ruang terkait izin Prinsip memperhatikan beberapa kriteria sebagai berikut:

KriteriaKeterangan

Pemberi IzinPemberian izin diberikan oleh bupati/walikota atau pejabat yang berwenang dengan mengacu pada RTRW Kabupaten/kota

Tata cara

(1) Pemohon mengajukan permohonan Izin Lokasi kepada Bupati/Walikota.

(2) Permohonan Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Permohonan baru; atau

b. Permohonan perpanjangan.

Klasifikasi terkena izin prinsip:

Klasifikasi terkena izin lokasi:

Luasan :

Kegiatan :

Setiap Perusahaan yang telah memperoleh persetujuan penanaman modal wajib mempunyai izin Lokasi (Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN no 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi) untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal yang bersangkutan, kecuali dalam hal :

i. Tanah yang akan diperoleh merupakan modal yang dimasukkan para pemegang saham sebagai bagian dari modal saham,

ii. Tanah yang akan diperoleh merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh perusahaan lain dalam rangka melanjutkan pelaksanaan sebagai atau seluruh rencana penanaman modal perusahaan lain tersebut, dan untuk itu telah diperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang,

iii. Tanah yang akan diperoleh diperlukan dalam rangka melaksanakan usaha industri dalam suatu Kawasan Industri,

iv. Tanah yang akan diperoleh berasal dari otorita atau badan rencana pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut,

v. Tanah yang akan diperoleh diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah berjalan dan untuk perluasan itu telah diperoleh izin tanah tersebut berbatasan dengan lokasi usaha yang bersangkutan,

vi. Tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal tidak lebih dari 25 Ha (dua puluh lima hektar) untuk usaha pertanian atau tidak lebih dari 10.000 m2 (sepuluh ribu meter persegi) untuk usaha bukan pertanian, atau

vii. Tanah yang akan dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal adalah tanah yang sudah dipunyai oleh perusahaan yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa tanah-tanah tersebut terletak di lokasi yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang bersangkutan.

Sedangkan ketentuan mengenai luasan tanah yang dapat diberikan kepada suatu badan usaha atau perseorangan untuk mendapatkan Izin Lokasi adalah sebagai berikut :

i. Untuk usaha pengembangan perumahan dan permukiman, dalam satu provinsi maksimum 400 Ha, dan untuk seluruh Indonesia, maksimum 4.000 Ha.

ii. Untuk usaha pengembangan Kawasan resort perhotelan, dalam satu provinsi maksimum 200 Ha, dan untuk seluruh Indonesia maksimum 4.000 Ha.

iii. Untuk usaha Kawasan Industri, dalam satu provinsi maksimum 400 Ha, dan untuk seluruh Indonesia maksimum 4.000 Ha.

iv. Untuk usaha perkebunan yang diusahakan dalam bentuk perkebunan besar dengan diberikan Hak Guna Usaha, untuk jenis komoditas tebu dalam satu provinsi maksimum 60.000 Ha, dan untuk seluruh Indonesia maksimum 150.000 Ha.

v. Untuk usaha perkebunan jenis komoditas lainya dalam satu provinsi maksimum 20.000 Ha, dan untuk seluruh Indonesia maksimum 100.000 Ha.

vi. Untuk usaha tambak di Pulau Jawa dalam satu provinsi maksimum 100 Ha dan untuk seluruh Indonesia maksimum 1.000 Ha.

vii. Untuk usaha tambak di luar Pulau Jawa dalam satu provinsi maksimum 200 Ha dan untuk seluruh Indonesia maksimum 2.000 Ha.

viii. Khusus untuk Provinsi Daerah Tingkat 1 Papua, maksimum luas penguasaan tanah adalah dua kali maksimum luas penguasaan tanah untuk satu provinsi di luar jawa.

Persyaratan teknis (1) Izin pemanfaatan ruang berupa izin Prinsip dan/atau izin lainnya disesuaikan dengan ketentuan kementerian/lembaga

Persyaratan administrasi(1) tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau perjanjian pemanfaatan tanah;

(2) data kondisi/situasi tanah (letak/lokasi dan topografi);

(3) data pemilik bangunan;

(4) surat pernyataan bahwa tanah tidak dalam status sengketa;

(5) surat pemberitahuan pajak terhutang bumi dan bangunan (SPPT-PBB) tahun berkenaan; dan

(6) dokumen analisis mengenai dampak dan gangguan terhadap lingkungan, atau upaya pemantauan lingkungan (UPL)/upaya pengelolaan lingkungan (UKL) bagi yang terkena kewajiban.

Masa berlaku perizinani. Izin Lokasi untuk luas tanah sampai dengan 25 Ha selama 1 (satu) tahun;

ii. Izin Lokasi untuk luas tanah lebih dari 25 Ha s/d 50 Ha selama 2 (dua) tahun;

iii. Izin Lokasi untuk luas tanah lebih dari 50 Ha selama 3 (tiga) tahun.iv. Apabila hingga berakhirnya jangka waktu Izin Lokasi perolehan tanah tidak dapat diselesaikan maka izin lokasi dapat diperpanjang jangka waktunya 1 (satu) tahun apabila tanah yang sudah diperoleh mencapai lebih dari 50 % (lima puluh persen) dari luas yang ditunjuk dalam izin lokasi.

v. Apabila perolehan tanah tidak dapat diselesaikan dalan jangka waktu Izin Lokasi, termasuk perpanjangannya maka perolehan tanah tidak dapat lagi dilakukan oleh pemegang Izin Lokasi dan terhadap bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh dilakukan tindakan sebagai berikut:

dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal dengan penyesuaian mengenai luas pembangunan, dengan ketentuan bahwa apabila diperlukan masih dapat dilaksanakan perolehan tanah sehingga diperoleh bidang tanah yang merupakan satu kesatuan bidang;

dilepaskan kepada perusahaan atau pihak lain yang memenuhi syarat

Gambar 4 Proses Permohonan Izin Lokasi

Sumber :

1. PP 15/2010, Penyelenggaraan Penataan Ruang

2. Permen BPN 2_1999 ttg izin lokasi4.4. Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah (IPPT)Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah (IPPT) ini merupakan dasar bagi pengusaha yang bersangkutan untuk melakukan kegiatan lebih lanjut di atas bidang tanah yang dimohonkan, seperti mendirikan bangunan di atas bidang tahan tersebut.KriteriaKeterangan

Pemberi IzinPemberian izin diberikan oleh bupati/walikota atau pejabat yang berwenang dengan mengacu pada RTRW Kabupaten/kota

Tata cara

(1) Pemohon mengajukan permohonan IPPT kepada Bupati/Walikota.

(2) Permohonan IPPT meliputi:

a. Pembebasan lahan; atau

b. Penggunaan pemanfaatan tanah.

Klasifikasi terkena izin prinsip:

Klasifikasi terkena izin lokasi:

Luasan :

Kegiatan :

Persyaratan teknis (1) Izin pemanfaatan ruang berupa Izin Prinsip, Izin Lokasi, dan/atau izin lainnya(2) AMDAL

Persyaratan administrasi(1) tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau perjanjian pemanfaatan tanah;

(2) data kondisi/situasi tanah (letak/lokasi dan topografi);

(3) data pemilik bangunan;

(4) surat pernyataan bahwa tanah tidak dalam status sengketa;

(5) surat pemberitahuan pajak terhutang bumi dan bangunan (SPPT-PBB) tahun berkenaan; dan

(6) dokumen analisis mengenai dampak dan gangguan terhadap lingkungan, atau upaya pemantauan lingkungan (UPL)/upaya pengelolaan lingkungan (UKL) bagi yang terkena kewajiban.

Masa berlaku---

Gambar 5 Proses Permohonan IPPT

Sumber :

1. PP 15/2010, Penyelenggaraan Penataan Ruang

2. Disadur dari berbagai referensi

4.5. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)IMB ditujukan untuk;

(a). Terwujudnya bangunan gedung yang didirikan dengan memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsinya;

(b). Mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, sesuai dengan tata bangunan yang serasi dan selaras dengan lingkungannya, yang diselenggarakan secara tertib untuk menjamin keandalan teknis bangunan gedung Kegiatan pemanfaatan ruang terkait izin IMB memperhatikan beberapa kriteria sebagai berikut:

KriteriaKeterangan

Pemberi Izin

Pemberian izin diberikan oleh bupati/walikota atau pejabat yang berwenang dengan mengacu pada RDTR Kawasan dan peraturan zonasi

Tata cara

(1) Pemohon mengajukan permohonan IMB kepada Bupati/Walikota.

(2) Permohonan IMB meliputi:

a. bangunan gedung; atau

b. bangunan bukan gedung.

(3) IMB bangunan gedung atau bangunan bukan gedung berupa pembangunan baru, merehabilitasi/renovasi, atau pelestarian/pemugaran.

Persyaratan teknis (1) Izin pemanfaatan ruang berupa Izin Lokasi, IPPT, dan/atau izin lainnya (izin rumija)(2) siteplan yang memuat informasi GSS,GSB,GSP(3) gambar rencana/arsitektur bangunan;

(4) gambar sistem struktur;

(5) gambar sistem utilitas;

(6) perhitungan struktur dan/atau bentang struktur bangunan disertai hasil penyelidikan tanah bagi bangunan 2 (dua) lantai atau lebih;

(7) perhitungan utilitas bagi bangunan gedung bukan hunian rumah tinggal; dan

(8) data penyedia jasa perencanaan

Persyaratan administrasi(1) tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau perjanjian pemanfaatan tanah;

(2) data kondisi/situasi tanah (letak/lokasi dan topografi);

(3) data pemilik bangunan;

(4) surat pernyataan bahwa tanah tidak dalam status sengketa;

(5) surat pemberitahuan pajak terhutang bumi dan bangunan (SPPT-PBB) tahun berkenaan; dan

(6) dokumen analisis mengenai dampak dan gangguan terhadap lingkungan, atau upaya pemantauan lingkungan (UPL)/upaya pengelolaan lingkungan (UKL) bagi yang terkena kewajiban.

Masa berlaku(1) Masa berlaku sejak dikeluarkan dan selama bangunan itu berdiri dan tidak ada perubahan bentuk/fungsi sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;

(2) IMB tidak berlaku ( kadaluarsa ) apabila selama 1 ( satu ) tahun sejak diterbitkannya pembangunan gedung / bangunan / rumah / pabrik tidak atau belum dilaksanakan, dan apabila dalam proses pembangunannya terjadi penyimpangan / perubahan pada bentuk dan fungsi bangunan ( tidak sesuai dengan spesifikasi IMB) yang diterbitkan atau apabila terbitnya IMB tersebut berdasarkan keterangan yang tidak sebenarnya / keliru

Gambar 6 Proses Permohonan IMB

Sumber : 1. PP 15/2010, Penyelenggaraan Penataan Ruang

2. Permen Pu No. 24 tahun 2007 ttg IMBTabel 5 Proses dan Prosedur Perizinan Pemanfaatan RuangNo.Poses/KegiatanPemrosesKeteranganWewenangProduk/ Dokumen

PemohonPerencanaanPemdaInstansi TeknisBPN

1.Mengajukan permohonan izin prinsip kepada KDH dan melengkapi berkas persyaratanUPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPM

2.Pengecekan dokumen:

a. Bila telah lengkap sesuai persyaratan, maka proses dilanjutkan;

b. Bila tidak lengkap, maka permohonan dikembalikan untuk dilengkapiUPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPM

3.Pengecekan kesesuaian terhadap RTRW: UPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPM

a. Apabila permohonan sesuai dengan RTRW, maka proses permohonan dilanjutkanDilanjutkan ke tahap 4

b. Dalam hal permohonan tidak sesuai RTRW, maka dilakukan pengecekan terhadap indikasi/ketentuan umum peraturan zonasi

Kegiatan yang diperbolehkan

Kegiatan yang diperbolehkan bersyarat

Kegiatan yang tidak diperbolehkanDilanjutkan ke tahap 4

c. Apabila permohonan tidak sesuai dengan RTRW dan indikasi/ketentuan umum peraturan zonasi, maka proses permohonan dihentikanBerkas dikembalikan ke pemohonDitolak

4.Penerbitan SK Izin PrinsipBupati/WalikotaSK Izin Prinsip

5.Mengajukan permohonan izin lokasi kepada KDH dan melengkapi berkas persyaratanUPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPM

6.Pengecekan dokumen:

a. Bila telah lengkap sesuai persyaratan, maka proses dilanjutkan;

b. Bila tidak lengkap, maka permohonan dikembalikan untuk dilengkapi

Dilanjutkan ke tahap 7UPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPM

7.Pengecekan kesesuaian terhadap RTRW: UPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPM

a. Apabila permohonan sesuai dengan RTRW, maka proses permohonan dilanjutkanDilanjutkan ke tahap 8

b. Dalam hal permohonan tidak sesuai RTRW, maka dilakukan pengecekan terhadap indikasi/ketentuan umum peraturan zonasi

a. Kegiatan yang diperbolehkan

b. Kegiatan yang diperbolehkan bersyarat

c. Kegiatan yang tidak diperbolehkanDilanjutkan ke tahap 8

c. Apabila permohonan tidak sesuai dengan RTRW dan indikasi/ketentuan umum peraturan zonasi, maka proses permohonan dihentikanBerkas dikembalikan ke pemohonDitolak

8.Verifikasi dokumen:

UPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPM

a. Apabila berkas permohonan abash, maka proses permohonan dilanjutkan.

Dilanjutkan ke tahap 9

b. Apabila ditemukan ada berkas dokumen/seluruh dokumen tidak absah, maka permohonan ditolak/dikembalikan,Berkas dikembalikan ke pemohonDitolak

9.Tinjauan Lapangan dan Rapat Koordinasi: Walikota/Bupati, Kantor Pertanahan, Bappeda, Instansi Terkait, Camat/Lurah/KadesTim Teknis terkait di bawah koordinasi Kantor Pertanahan

a. Apabila disetujui maka proses dilanjutkanDilanjutkan ke tahap 10Surat Pernyataan Persetujuan Lokasi

b. Apabila tidak disetujui, maka permohonan ditolak/dikembalikanBerkas dikembalikan ke pemohonDitolak

10.Pembayaran RetribusiUPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPM

11.Pembuatan Berita AcaraUPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPMBerita Acara

12.Penerbitan SK Izin LokasiSK dikirim ke pemohon dan instansi teknis terkaitBupati/WalikotaSK Izin Lokasi

13.Mengajukan permohonan IPPT kepada KDH dan melengkapi berkas persyaratanUPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPM

14.Pengecekan dokumen:

a. Bila telah lengkap sesuai persyaratan, maka proses dilanjutkan;

b. Bila tidak lengkap, maka permohonan dikembalikan untuk dilengkapiDilanjutkan ke tahap 15UPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPM

15.Pengecekan kesesuaian terhadap RTRW: UPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPM

a. Apabila permohonan sesuai dengan RTRW, maka proses permohonan dilanjutkanDilanjutkan ke tahap 16

b. Dalam hal permohonan tidak sesuai RTRW, maka dilakukan pengecekan terhadap indikasi/ketentuan umum peraturan zonasi

a. Kegiatan yang diperbolehkan

b. Kegiatan yang diperbolehkan bersyarat

c. Kegiatan yang tidak diperbolehkanDilanjutkan ke tahap 16

c. Apabila permohonan tidak sesuai dengan RTRW dan indikasi/ketentuan umum peraturan zonasi, maka proses permohonan dihentikanBerkas dikembalikan ke pemohonDitolak

16.Penerbitan SK IPPTUPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPMSK IPPT

17.Mengajukan permohonan IMB kepada KDH dan melengkapi berkas persyaratanUPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPM

18.Pengecekan dokumen:

a. Bila telah lengkap sesuai persyaratan, maka proses dilanjutkan;

b. Bila tidak lengkap, maka permohonan dikembalikan untuk dilengkapiDilanjutkan ke tahap 19UPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPM

19.Pengecekan kesesuaian terhadap RTRW: UPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPM

a. Apabila permohonan sesuai dengan RTRW, maka proses permohonan dilanjutkanDilanjutkan ke tahap 20

b. Dalam hal permohonan tidak sesuai RTRW, maka dilakukan pengecekan terhadap indikasi/ketentuan umum peraturan zonasi

a. Kegiatan yang diperbolehkan

b. Kegiatan yang diperbolehkan bersyarat

c. Kegiatan yang tidak diperbolehkanDilanjutkan ke tahap 20

c. Apabila permohonan tidak sesuai dengan RTRW dan indikasi/ketentuan umum peraturan zonasi, maka proses permohonan dihentikanBerkas dikembalikan ke pemohonDitolak

20.Survey Identifikasi LapanganTim Teknis terkait

a. Apabila disetujui maka proses dilanjutkanDilanjutkan ke tahap 21Surat Pernyataan Persetujuan Lokasi

b. Apabila tidak disetujui, maka permohonan ditolak/dikembalikanBerkas dikembalikan ke pemohonDitolak

21.Pembayaran RetribusiUPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPM

22.Pembuatan Berita AcaraUPPT (Badan/Kantor) atau PTSP BKPMBerita Acara

23.Penerbitan SK IMBSK dikirim ke Pemohon dan Instansi TeknisTerkaitBupati/WalikotaSK IMB

BAB V

MONITORING DAN PENGAWASAN

5. MONITORING DAN PENGAWASAN

5.1. Hirarki kelembagaan sesuai peraturan per-UU-anPerizinan menurut skalanya dapat dibedakan menjadi perizinan skala Nasional, Propinsi, dan Kab/Kota. Besar kecilnya skala kegiatan penanaman modal mempengaruhi tipologi perizinan dan pejabat pemberi izin. Sehingga dalam hierarki kelembagaan berikut ini dijabarkan bagaimana peran-peran masing-masing pejabat pemberi izin di masing-masing sektor dan level. Empat lembaga yang paling berpengaruh dalam dunia perizinan, baik untuk administrasi negara maupun untuk khusus penanaman modal yaitu :

1. Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri)

2. Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)

3. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)

4. Kementrian Pekerjaan Umum (PU).

Hubungan keempat lembaga tersebut dalam menerbitkan izin saling melengkapi dan bersinergi sebagaimana gambar berikut :

Menurut sektornya, perizinan diklasifikasi berdasarkan Kementrian/Lembaga terkait sedangkan menurut levelnya dibedakan sesuai hierarkinya., baik di level Propinsi maupun Kab/Kota. Pembedaan izin berdasarkan sektor dan level akan memperjelas pejabat yang berwenang menerbitkan izin dan pelaksanaan monitoring serta pengawasannya

5.2. Pengaduan masyarakat

Pasal 9 PP 68/2010 tentang Bentuk Dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang menyatakan bahwa bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat berupa:

(a). masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi;

(b). keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;

(c). pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan

(d). pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

Terkait dengan aspek pengaduan masyarakat, salah bentuk pengaduan melalui:(a). Materi pengaduan masyarakat

(b). Tersedia sarana dan prasarana pengaduan

(c). Mekanisme pengaduan masyarakat

Pemohon perizinan dapat memperoleh pelayanan informasi terkait perizinan pemanfaatan ruang di lembaga perizinan. Pelayanan informasi tersebut berupa:

1. layanan bimbingan pengisian formulir perizinan yang terkait perizinan pemanfaatan ruang;

2. layanan konsultasi atas informasi, antara lain:

a. peraturan perundang-undangan di bidang perizinan pemanfaatan ruang;

b. daftar bidang usaha tertutup, dan daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan;

a. jenis, tata cara proses permohonan, biaya, dan waktu pelayanan perizinan pemanfaatan ruang;

b. tata cara pencabutan perizinan pemanfaatan ruang;

c. tata cara penyampaian laporan kegiatan perizinan pemanfaatan ruang;

d. tata cara layanan pengaduan pelayanan perizinan pemanfaatan ruang;

e. data referensi yang digunakan dalam pelayanan perizinan pemanfaatan ruang;

Setelah mengikuti proses dan prosedur perizinan, Pemohon perizinan yang tidak puas atas pelayanan di lembaga perizinan, dapat menyampaikan pengaduan kepada Kepala BKPM, Kepala PDPPM atau Kepala PPTSP provinsi, Kepala PDKPM atau Kepala PPTSP kabupaten/kota, Kepala Badan Pengusahaan KPBPB dan Kepala Administrator KEK yang bersangkutan. Pengaduan disampaikan melalui layanan pengaduan (help desk) penanaman modal yang tersedia, baik secara off line maupun on line.BAB VI

KETENTUAN LAIN

6. KETENTUAN LAIN6.1. Ketentuan peralihan perizinanSemua harus diatur dalam ketentuan peralihan dalam berbagai opsi. UU no 26 Tahun 2007 sendiri mengatur sejumlah ketentuan mengenai perizinan yang pernah diterbitkan dan berlaku sebelumnya (Pasal 37), yang penting untuk dicermati antara lain :

(1). Ketentuan Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah

(2). Izin Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW dibatalkan Pemerintah dan Pemda menurut kewenangan masing-masing sesuai peraturan perundang-undangan

(3). Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum

(4). Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi terbukti tidak sesuai dengan RTRW, dibatalkan oleh Pemerintah dan Pemda sesuai kewenangannya

(5). Kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin tersebut dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin

(6). Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi (expired) akibat adanya perubahan RTRW dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan Pemda dengan ganti kerugian yang layak

(7). Setiap pejabat yang berwenang memberikan izin dilarang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang menyimpang dari RTRW. Sehingga dapat dipahami bahwa kewenangan (diskresi atau beshicking) tidak boleh melanggar ketentuan penataan ruang.

6.2. Masa depan Perizinan sebelum berlakunya Perda RTRW

Pasal 77 menyebutkan bahwa pada saat RTRW ditetapkan (maksudnya ditetapkan sebagai Perda), semua pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus disesuaikan dengan rencana tata ruang melalui beberapa kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang. Dalam kegiatan penyesuaian tata ruang terdapat dua opsi antara lain :

(a). Pemanfataan ruang yang sah menurut rencana tata ruang sebelumnya diberi masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian.

(b). Untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan sebelum penetapan rencana tata ruang dan dapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yang benar, kepada pemegang izin diberikan penggantian yang layak.

Kedua pilihan di atas dapat dicantumkan dalam setiap RTRW yang ditetapkan sebagai Perda sehingga para pemegang izin dan pejabat yang memberikan izin termasuk masyarakat terdampak memperoleh kepasian hukum.Lampiran 1. Kategori Kegiatan

a) Mempunyai sifat kegiatan berdampak

b) Luasan :

a. pemanfaatan ruang > 1 Ha untuk kegiatan bukan pertanian

b. pemanfaatan ruang 1 Ha untuk kegiatan bukan pertanian

c. pemanfaatan ruang > 25 Ha untuk kegiatan pertaniand. pemanfaatan ruang 25 Ha untuk kegiatan pertanianc) Ketentuan diatur oleh sektor

d) Penggolongan Bangunan

e) Status lahanf) Posisi secara spasial berada di Kawasan Strategis Nasional dan Kawasan Strategis ProvinsiKODEKATEGORIKeterangan

abcdefgh

APertanian, Kehutanan, dan Perikanan

01 Pertanian Tanaman, Peternakan, Perburuan Dan Kegiatan Ybdi

011 Pertanian Tanaman Semusimxx

012 Pertanian Tanaman Tahunan

013 Pertanian Tanaman Hias Dan Pengembangbiakan Tanaman

014 Peternakan

016 Jasa Penunjang Pertanian Dan Pasca Panen

017 Perburuan, Penangkapan Dan Penangkaran Satwa Liar

02 Kehutanan Dan Penebangan Kayu

021 Pengusahaan Hutan

022 Penebangan Dan Pemungutan Kayu

023 Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu

024 Jasa Penunjang Kehutanan

03 Perikanan

031 Perikanan Tangkap

032 Perikanan Budidaya

05 Pertambangan Batu Bara Dan Lignit

051 Pertambangan Batu Bara

052 Pertambangan Lignit

06 Pertambangan Minyak Bumi Dan Gas Alam Dan Panas Bumi

061 Pertambangan Minyak Bumi

062 Pertambangan Gas Alam Dan Panas Bumi

07 Pertambangan Bijih Logam

071 Pertambangan Pasir Besi Dan Bijih Besi

072 Pertambangan Bijih Logam Yang Tidak Mengandung Besi, Tidak Termasuk Bijih Logam Mulia

073 Pertambangan Bijih Logam Mulia

08 Pertambangan Dan Penggalian Lainnya

C Industri Pengolahan

10Industri Makanan

101Industri Pengolahan Dan Pengawetan Daging

102Industri Pengolahan Dan Pengawetan Ikan Dan Biota Air

103Industri Pengolahan Dan Pengawetan Buah-Buahan Dan Sayuran

104Industri Minyak Makan Dan Lemak Nabati Dan Hewani

105Industri Pengolahan Susu, Produk Dari Susu Dan Es Krim

106Industri Penggilingan Padi- Padian, Tepung Dan Pati

107Industri Makanan Lainnya

108Industri Makanan Hewan

11Industri Minuman

12Industri Pengolahan Tembakau

120Industri Pengolahan Tembakau

13Industri Tekstil

131Industri Pemintalan, Penenunan Dan Penyelesaian Akhir Tekstil

139Industri Tekstil Lainnya

14Industri Pakaian Jadi

142Industri Pakaian Jadi Dan Barang Dari Kulit Berbulu

143Industri Pakaian Jadi Rajutan Dan Sulaman/Bordir

15Industri Kulit, Barang Dari Kulit Dan Alas Kaki

151Industri Kulit Dan Barang Dari Kulit, Termasuk Kulit Buatan

152Industri Alas Kaki

16Industri Kayu, Barang Dari Kayu Dan Gabus (Tidak Termasuk Furnitur) Dan Barang Anyaman Dari Bambu, Rotan Dan Sejenisnya

161Industri Penggergajian Dan Pengawetan Kayu, Rotan, Bambu Dan Sejenisnya

162Industri Barang Dari Kayu; Industri Barang Dari Gabus Dan Barang Anyaman Dari Jerami, Rotan, Bambu Dan Sejenis Lainnya

17Industri Kertas Dan Barang Dari Kertas

170Industri Kertas Dan Barang Dari Kertas

18Industri Pencetakan Dan Reproduksi Media Rekaman

181Industri Pencetakan Dan Kegiatan Ybdi

19Industri Produk Dari Batu Bara Dan Pengilangan Minyak Bumi

191Industri Produk Dari Batu Bara

192Industri Produk Pengilangan Minyak Bumi

20Industri Bahan Kimia Dan Barang Dari Bahan Kimia

201Industri Bahan Kimia

202Industri Barang Kimia Lainnya

203 Industri Serat Buatan

D Pengadaan Listrik, Gas, Uap/Air Panas Dan Udara Dingin

35Pengadaan Listrik, Gas, Uap/Air Panas Dan Udara Dingin

351Ketenagalistrikan

352Gas Alam Dan Buatan

353Pengadaan Uap/Air, Udara Dingin Dan Produksi Es

E Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah Dan Daur Ulang, Pembuangan Dan Pember