draft acara VI new.docx
-
Upload
nurlailifalasifa -
Category
Documents
-
view
58 -
download
19
Transcript of draft acara VI new.docx
LAPORAN PRAKTIKUM
KIMIA ANALITIK
ACARA VI KROMATOGRAFI KERTAS
Disusun Oleh :
Kelompok 141. Nurlaili Falasifa (H0914070)
2. Rafika Annisa A. (H0914073)
3. Rahmat Pambudi U. (H0914074)
4. Rizkina Lestari U. P. (H0914081)
5. Widad Prismaningtyas (H0914090)
6. Yuni Nur H. (H0914097)
7. Risto Arsowati C. (H1914013)
ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
ACARA VI
KROMATOGRAFI KERTAS
A. Tujuan Praktikum
Tujuan dari Praktikum Kimia Analitik Acara VI Kromatografi Kertas
adalah:
1. Mengetahui maksud, prinsip dan mekanisme dari kromatografi kertas.
2. Mengetahui maksud dari nilai Rf pada kromatografi kertas.
3. Mengetahui nilai Rf dan komponen warna pada sampel tertentu
menggunakan prinsip kromatografi kertas menggunakan pelarut tertentu
dan kertas saring tertentu.
4. Mengetahui perbedaan jenis sampel, jenis pelarut dan jenis kertas saring
pada kromatografi kertas terutama pada nilai Rf dan komponen warna.
B. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Bahan
Pewarna kimia didefinisikan sebagai bahan kimia aktif karena itu
memerlukan perhatian yang lebih besar daripada aditif lunak (bland)
seperti emulsifier. Pewarna pangan alami diekstraksi dan diisolasi dari 277
tanaman dan hewan yang berbeda, yang tidak memberikan efek yang
membahayakan, sehingga mereka dapat digunakan dalam beberapa
pangandalam jumlah tertentu. Pewarna ini memiliki kestabilan yang
rendah, kurang cerah dan tidak merata, namun sangat murah. Namun,
pewarna sintetik dan produk metabolitnya jika dikonsumsi dalam jumlah
besar memungkinkan toksik dan menyebabkan kanker, deformasi dan lain-
lain (Sumarlin, 2010).
Pewarna sintetik untuk tekstil untuk mewarnai bahan pangan
karena harga zat pewarna untuk tekstil jauh lebih murah dibandingkan
dengan harga zat pewarna untuk pangan. Selain itu warna dari zat pewarna
tekstil biasanya lebih menarik. Di Indonesia, dari hasil uji beberapa jenis
bahan makanan oleh BPOM telah ditemukan kandungan bahan berbahaya
dalam bahan makanan, antara lain rhodamin B (pewarna tekstil, kertas,
dan cat) dan methanol yellow. Penggunaan pewarna tekstil pada makanan
atau minuman jelas merugikan kesehatan. Hal ini dikarenakan adanya
residu logam berat dalam makanan atau minuman tersebut
(Liedyawati, 2013).
Pemakaian zat warna yang berasal dari tanaman dan hewan ini
telah banyak dilakukan oleh para pengrajin tenun ikat, namun yang paling
banyak digunakan adalah yang berasal dari daun tanaman yang diperoleh
dari hutan. Pemanfaatan pewarna alami dalam pembuatan kain tenun ikat
ini lebih digemari daripada pewarna sintetik karena dapat memberikan
keistimewaan tersendiri. Selain itu, penggunaan pewarna alami dapat
memberikan beberapa keuntungan, karena tidak toksik terhadap kulit,
lebih murah dan tahan lama (Ati, 2006).
Warna merupakan salah satu unsur sensoris yang penting untuk
makanan. Pada pengolahan bahan makanan, pewarna sering ditambahkan
untuk memperkuat warna asli makanan. Pewarna makanan yang
digunakan sebaiknya adalah pewarna alami. Berkaitan dengan perlunya
pemakaian pewarna makanan alami, tim pengabdian kepada masyarakat
turut berperan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan
pewarna makanan alami dan mengajarkan cara-cara membuat pewarna
alami (Alaudin dan Nuni, 2005).
Pada umumnya pelarut yang sering digunakan dalam kromatografi
kertas adalah etanol. Karena etanol telah banyak digunakan sebagai pelarut
dibidang pangan dan obat-obatan dan cenderung lebih aman dibandingkan
eter dan aseton (Mardaningsih, 2012). Selain itu etanol mempunyai
polaritas yang tinggi dibandingkan jenis pelarut organik yang lain. Etanol
mempunyai titik didih yang rendah dan cenderung aman. Etanol juga tidak
beracun dan berbahaya (Janan, 2012).
Kloroform merupakan obat anestetik tertua, berupa cairan dengan bau spesifik, rasanya kemanis-manisan pedas, tak dapat terbakar atau eksplosif. Khasiat anastetiknya sangat kuat. Tetapi karena terlalu toksik bagi hati dan jantung, kini kloroform hampir tidak digunakan lagi (Fessenden, 1995).
Metode sederhana menggunakan kertas saring dapat dilakukan
untuk mengidentifikasi adanya zat pewarna sintetis pada makanan (Utami,
2013).
2. Tinjauan Teori
Kromatografi adalah metode fisika untuk pemisahan dalam
komponen-komponen yang akan diditribusikan antara dua fase, salah
satunya merupakan lapisan stasioner dengan permukaan yang luas dengan
fase yang lain berupa zat alir (fluida) yang mengalir lambat (perkolasi)
menembus atau sepanjang lapisan stasioner. Dalam semua teknik
kromatografi, zat terlarut yang dipisahkan beremigrasi sepanjang satu
kolom dan tentu saja dasar pemisahan terletak berbeda-beda laju migrasi
untuk zat terlarut yang berlainan (Underwood, 1994).
Kromatografi adalah suatu cara pemisahan yang sering digunakan.
Penggunaan kromatograf pertama kali dipelopori oleh seorang ahli botani
Rusia bernama M. Tswett. Pada tahun 1903 beliau telah melakukan
pemisahan sampel pigmen berwarna melalui turus yang terpadat dengan
butir-butir kalsium karbonat yang halus. Pigmen yang terbentuk dari
eksperimen itu adalah garis-garis berwarna di dalam turus. Hal ini yang
menyebabkan ia memberi nama kromatografi untuk teknik pemisahan ini
dimana Greek kroma yang berarti warna dan grafi yang berarti tulis
(Sanagi, 1998).
Prinsip pemisahan kromatografi yaitu adanya distribusi komponen-
komponen dalam fase diam dan fase gerak berdasarkan sifat fisik
komponen yang akan dipisahkan. Pada dasarnya semua cara kromatografi
menggunakan dua fase, yaitu fase diam (stationer) dan fase gerak
(mobile). Laju pergerakan fase gerak terhadap fase diam dihitung sebagai
retardation factor (Rf). Nilai Rf diperoleh dengan membandingkan jarak
yang ditempuh oleh zat terlarut dengan jarak yang ditempuh oleh fase
gerak (Komariah, 2013).
Kromatografi kertas yang dilakukan merupakan kromatografi
partisi, yang termasuk dalam kromatografi cair-cair. Maka, yang berperan
sebagai fase diam biasanya adalah air yang membentuk kompleks dengan
serat selulosa pada kertas, sedangkan sebagai fase gerak adalah pelarut
organik atau campuran pelarut (Touchstone, 1992).
Warna merupakan salah satu kriteria dasar untuk menentukan
kualitas makanan antara lain: warna dapat memberi petunjuk mengenai
perubahan kimia dalam makanan. Oleh karena itu, warna menimbulkan
banyak pengaruh terhadap konsumen dalam memilih suatu produk
makanan dan minuman sehingga produsen makanan sering menambahkan
pewarna dalam produknya. Pada awalnya, makanan diwarnai dengan zat
warna alami yang diperoleh dari tumbuhan, hewan, atau mineral, akan
tetapi zat warna tersebut tidak stabil oleh panas dan cahaya serta harganya
mahal (Utami dan Andi, 2009).
Salah satu metode pemisahan yang memerlukan pembiayaan
paling murah dan memakai peralatan paling dasar ialah kromatografi lapis
tipis preparatif (KLTP). Walaupun KLTP dapat memisahkan bahan dalam
jumlah gram, sebagian besar pemakaian hanya dalam jumlah milligram.
KLTP bersama-sama dengan kromatografi kolom terbuka, masih dijumpai
dalam sebagian besar publikasi mengenai isolasi bahan alam, terutama dari
laboratorium yang tidak dilengkapi dengan cara pemisahan modern.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memeriksa pengaruh ketebalan
penyerap terhadap kualitas pemisahan tetapi ketebalan yang paling sering
dipakai ialah 0,5-2 mm. Ukuran pelat kromatografi biasanya 20 x 20 cm
atau 20 x 40 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran pelat sudah
tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLTP.
Penyerap yang paling umum digunakan ialah silika gel dan dipakai untuk
pemisahan campuran senyawa lipofil maupun campuran senyawa hidrofil.
Untuk pembuatan lapisan tanpa retak dianjurkan memakai penyerap niaga
yang tersedia. Ukuran partikel dan porinya kurang lebih sama dengan
ukuran tingkat mutu KLT. Pelat KLTP dapat dibuat sendiri atau dibeli
yang telah terlapisi penyerap (biasanya disebut pelat siap pakai atau pelat
pralapis). Keuntungan membuat pelat sendiri ialah bahwa ketebalan dan
susunan lapisan dapat kita atur sendiri. Pelarut yang baik ialah pelarut
atsiri (heksana, diklorometana, etil asetat), karena jika pelarut kurang atsiri
terjadi pelebaran pita. Konsentrasi cuplikan harus sekitar 5-10%. Cuplikan
ditotolkan berupa pita yang harus sesempit mungkin karena pemisahan
bergantung pada lebar pita. Penotolan dapat dilakukan dengan tangan
(pipet) tetapi lebih baik dengan penotol otomatis (camag, desaga, dsb).
Untuk pita terlalu lebar, dapat dilakukan pemekatan dengan cara
pengembangan memakai pelarut polar sampai kira-kira 2 cm di atas
tempat penotolan. Kemudian, pelat dikeringkan dan dielusi dengan pelarut
yang diinginkan. Pelat pralapis khusus dengan daerah pemekatan dapat
dibeli (Hostettmann et.al, 1995).
Teori kolom kromatografi cair secara kualitatif akan membantu
dalam mengoptimumkan pemisahan. Penguasaan teori kolom KC akan
bermanfaat pula dalam memahami pentingnya beberapa ciri rancangan dan
pertelaan yang mencirikan alat kromatografi. Pemisahan secara
kromatografi yang berhasil baik berkaitan dengan mengkompromikan
daya pisah kromatografi, beban cuplikan, dan waktu analisis atau
kecepatan seperti digambarkan dalam segitiga kromatografiwan. Tujuan
kromatografi ialah memisahkan komponen cuplikan dalam waktu yang
masuk akal, menjadi pita atau puncak, ketika cuplikan itu bergerak melalui
kolom (Johnson dan Stevenson, 1991).
Pemisahan suatu campuran ke dalam komponen-komponen mereka
penting dalam semua cabang kimia dan tak kalah penting dalam banyak
bidang lain dimana teknik-teknik kimia dipergunakan dalam memecahkan
masalah-masalah yang sangat beraneka. Dengan memanfaatkan metode
kromatografi, pemisahan dalam banyak kasus dicapai dengan jauh lebih
cepat dan efektif daripada sebelumnya, dan banyak pemisahan berhasil
secara rutin yang tak akan pernah diusahakan dengan teknik lain
sebelumnya (Day, 2005).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dilakukan bertujuan untuk
mengetahui pola kromatogram yang dihasilkan dari pemisahan senyawa
yang terdapat pada sampel. Eluen yang digunakan merupakan kombinasi
dari beberapa pelarut (heksan, etil asetat, kloroform, aseton, metanol dan
air) dengan perbaandingan tertentu, dan telah dijenuhkan terlebih dahulu
(Bustanussalam dkk, 2012).
Kromatografi lapis tipis digunakan secara luas untuk analisa
kualitatif atau pemisahan campuran dalam jumlah yang kecil. Analisa ini
bekerja berdasarkan pada distribusi fasa cair-padat. Sebagai fasa padat
berupa lapisan tipis bubur alumina atau silica gel yang menempel pada
permukaan selembar lempeng kaca, sedangkan sebagai fasa cairnya adalah
eluen yang digunakan untuk membawa zat yang diperiksa bergerak
melalui fasa padat (Husni, dkk, 2008).
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah teknik kromatografi yang
digunakan untuk memisahkan campuran. Kromatografi lapis tipis
dilakukan pada selembar kaca, plastik, atau aluminium foil yang dilapisi
dengan lapisan tipis bahan adsorben, biasanya gel silika, aluminiumoksida,
atau selulosa (kertas penghisap tinta). Lapisan adsorben ini dikenal sebagai
fase diam. Setelah sampel telah diterapkan di piring, campuran pelarut
atau pelarut (dikenal sebagai fase gerak) piring disusun melalui kapiler.
Karena analit yang berbeda TLC naik pelat pada tingkat yang berbeda,
pemisahan tercapai. Kromatografi lapis tipis menggunakan piring kaca
tipis dilapisi dengan aluminiumoksida atau baik silika gel sebagai fase
padat. Fase gerak adalah pelarut yang dipilih sesuai dengan sifat-sifat
komponen dalam campuran. Prinsip TLC adalah distribusi senyawa antara
fase tetap padat (lapisan tipis) diterapkan pada gelas atau piring plastik dan
fase gerak cair (pelarut eluting) yang bergerak selama fase padat. Sejumlah
kecil senyawa atau campuran ini diterapkan pada titik awal tepat di atas
bagian bawah piring TLC. Nilai Rf: Perilaku senyawa individu dalam TLC
ditandai dengan kuantitas. Dikenal sebagai Rf dan dinyatakan sebagai
pecahan desimal. Rf dihitung dengan membagi jarak tempuh senyawa dari
posisi semula dengan jarak pelarut perjalanan dari posisi semula (depan
pelarut).
Rf = Jarak sampel dari titik awalJarak pelarut dari titik awal
(Bele and Anubha, 2011)
Pada kromatografi lapis tipis atau Thin Layer Chromatography
(TLC), fase diam mempunyai peranan penting pada analisis, baik
kuantitaif maupun kualitatif. Keseragaman dan ukuran partikel adsorben
sangat menentukan keberulangan data analisis kuantitatif. Karakteristik
kromatografi ditentukan terutama oleh parameter fisika. Oleh sebab itu,
lempeng TLC dengan ukuran partikel kecil dan keseragaman ukuran
partikel baik, diperlukan untuk mendapatkan hasil analisis yang baik. Ada
dua macam TLC yang beredar di pasaran, yaitu TLC konvensional dan
HPTLC (Wulandari, 2007).
Kromatografi adalah istilah kolektif untuk satu set teknik
laboratorium untuk pemisahan campuran. Campuran dilarutkan dalam
cairan yang disebut "fase gerak", yang membawanya melalui struktur
holding bahan lain yang disebut "fase diam". Berbagai konstituen dari
perjalanan campuran pada kecepatan yang berbeda, menyebabkan mereka
untuk memisahkan. Pemisahan ini didasarkan pada partisi yang berbeda
antara fase mobile dan stasioner. Perbedaan yang halus dalam
menghasilkan koefisien partisi senyawa dalam retensi diferensial pada fase
stationer dan dengan demikian mengubah pemisahan. Kromatografi
mungkin preparatif atau analitis. Tujuan dari kromatografi preparatif
adalah untuk memisahkan komponen dari campuran untuk digunakan
lebih lanjut (demikian merupakan bentuk pemurnian). Kromatografi
analitis dilakukan secara normal dengan jumlah yang lebih kecil dari
bahan dan untuk mengukur proporsi relatif analit dalam campuran.
Keduanya tidak saling eksklusif. Integritas kimia komponen sampel
sensitif dapat dipertahankan bahkan dengan penggunaan aktif adsorben
silika gel (Kulkarni, 2011).
Kromatografi kertas pertama kali diperkenalkan oleh Consden,
Gordon, dan Martin pada tahun 1941. Pada kromatografi kertas, campuran
sampel diteteskan pada kertas dan batas migrasi pelarut ditandai. Setelah
kertas dikeringkan, posisi senyawa-senyawa yang ada dalam sampel
dilihat dengan reaksi pewarnaan yang sesuai. Nilai Rf pada kromatografi
kertas adalah rasio jarak yang ditempuh oleh senyawa dan jarak yang
ditempuh oleh pelarut. Nilai Rf kurang lebih konstan untuk senyawa
tertentu, sistem pelarut, dan kertas dibawah kondisi konsentrasi zat
terlarut, suhu, dan pH yang terkontrol dengan baik (Bintang, 2010).
C. Metodologi
1. Alat
a. Wadah/bejana kromatografi dan tutupnya
b. Beaker glass 500 ml
c. Aluminium foil
d. Pipet tetes
e. Gelas ukur
f. mortar
g. Benang
h. Gunting kertas
i. Pensil
j. Penggaris
k. jarum
2. Bahan
a. Kertas kertas saring berukuran 8 x 3 cm
b. Plat TLC berukuran 8 x 3 cm
c. Pewarna makanan ungu
d. Pewarna makanan biru
e. Tinta printer hitam
f. Tinta printer merah
g. Spidol (biru, biru tua, merah, coklat, orange)
h. Kulit buah naga
i. Kunyit
j. Sirup merah
k. Sirup orange
l. Etanol
m. Kloroform
3. Cara kerja
a. Persiapan kertas kromatografi dan spotting
Kertas dipotong sesuai dengan ukuran (8 x 3 cm).
Pemberian titik (spot) pada masing-masing kolom tepat ditengah yang berjarak 3 cm satu sama lain
Pembuatan tiga kolom dengan lebar 1 cm
Penarikan satu garis lurus sejajar berjarak 2 cm dan salah satu ke atas dengan pensil untuk tanda batas tertinggi
Ditarik satu garis lurus sejajar berjarak 1,8 cm dari salah satu sisi kertas tersebut menggunakan pensil hitam untuk penempatan
spotting
Plat TLC/Kertas saring
Pemberian pengait pada kertas menggunakan benang
Penetesan masing-masing sampel pada spot telah telah dibuat
b. Developing
c. Deteksi dan penentuan nilai Rf
Pengeluaran kertas dari bejana setelah pelarut mencapai ¾ tinggi kertas
Pengamatan pergerakan pelarut dan sampel
Penutupan bejana
Pemasukan ke dalam beaker glass 500 ml kemudian tutup dengan aluminium foil tunggu sampai jenuh oleh pelarut selama 3 menit
Etanol/kloroform 50 ml
Pemasukan kertas kromatografi ke dalam bejana dengan bagian yang diberi spot berada dibagian bawah dan permukaan pelarut
dalam bejana berada di bawah garis spot
Pemberian batas tertinggi aliran pelarut dan gerakan sampel
Perhitungan jarak dari titik awal spotting sampai batas tertinggi pelarut dan sampel
Pengukuran nilai Rf dengan rumus:
Rƒ = Jarak sampel dari titik awalJarak pelarut dari titik awal
D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 6.1 Hasil Pengamatan Kromatografi Kertas dan Penentuan Nilai Rf
Kel.Jenis
PelarutJenis Bahan
Warna yang Terbentuk
Jarak Pelarut (cm)
Jarak Sampel
(cm)Rf
1 Etanol
Pewarna makanan ungu
Ungu 4,2 3 0,714
Pewarna makanan biru
Biru 4,2 2,6 0,619
Tinta printer merah Merah muda 4,2 2,2 0,523
2 Etanol
Kunyit Kuning 4,2 3,3 0,786Buah naga Merah muda 4,2 1 0,238
Tinta printer hitamHitam
keunguan4,2 3,2 0,762
3Klorofo
rm
Pewarna makanan ungu
Ungu 4,2 0,2 0,047
Pewarna makanan biru
Biru 4,2 0,45 0,107
Tinta printer merah Merah 4,2 0,55 0,131
4Klorofo
rm
Kunyit Kuning 4,2 0,6 0,142Buah naga Merah muda 4,2 2,1 0,500
Tinta printer hitam Hitam 4,2 0,3 0,071
5 EtanolSpidol coklat
Ungu, hitam, kuning, orange
merah muda
4,2 3,3 0,785
Spidol biru Biru muda 4,2 3,05 0,726Spidol orange Kuning 4,2 0,5 0,119
6Klorofo
rm
Sirup merah merah muda 4,2 0 0Pewarna makanan
unguUngu 4,2 0 0
Pewarna makanan biru
Biru 4,2 0,3 0,071
7 Etanol
Tinta printer merah merah muda 4,2 2,8 0,667
Tinta printer hitamungu, biru.
Hitam4,2 3,5 0,833
Kunyit kuning muda 4,2 3,9 0,928
8Klorofo
rm
Spidol coklat Merah muda 4,2 0,2 0,047Spidol biru Biru 4,2 0,2 0,047
Spidol orange Kuning 4,2 0,2 0,047
9 Etanol
Sirup merah Merah muda 4,2 0,8 0,190Pewarna makanan
unguUngu, merah
muda4,2 2,4 0,571
Pewarna makanan biru
Biru muda 4,2 2 0,476
10 Kloroform
Kunyit Merah 4,2 0,15 0,035Tinta printer merah Hitam 4,2 0,3 0,071
Tinta printer hitamKuning muda
4,2 0,4 0,095
11Etanol Pewarna makanan
biruBiru muda 4,2 2,5 0,595
Pewarna makanan ungu
Ungu muda 4,2 2,95 0,702
Kunyit Kuning 4,2 3,95 0,940
12Klorofo
rm
Tinta printer hitam Hitam 4,2 0 0Spidol biru tua Biru muda 4,2 1,95 0,464
Sirup merah Merah muda 4,2 0,2 0,048
13 Etanol
Pewarna makanan biru
Biru muda 4,2 3,8 0,904
Pewarna makanan ungu
Ungu muda 4,2 3,1 0,738
Kunyit Kuning 4,2 4,2 1
14Klorofo
rm
Spidol biru tua Biru tua 4,2 0,3 0,071Sirup merah Merah muda 4,2 1,1 0,262
Tinta printer hitam Hitam 4,2 0 0
15 Etanol
Pewarna makanan biru
Biru muda 4,2 3,5 0,833
Pewarna makanan ungu
Ungu muda 4,2 2,75 0,655
Tinta printer merah Merah muda 4,2 3,25 0,774
Sumber: Laporan SementaraKeterangan kertas: Kelompok 1-10 : Plat TLCKelompok 11-15 : Kertas saring
Kromatografi adalah metode fisika untuk pemisahan dalam komponen-
komponen yang akan diditribusikan antara dua fase, salah satunya merupakan
lapisan stasioner dengan permukaan yang luas dengan fase yang lain berupa zat
alir (fluida) yang mengalir lambat (perkolasi) menembus atau sepanjang
lapisan stasioner (Underwood, 1994).
Menurut Ardianingsih (2009), Kromatografi dibagi menjadi beberapa
jenis bergantung pada jenis fase gerak, fase diam dan mekanisme
pemisahannya. Berikut ini adalah beberapa contoh kromatografi yang sering
digunakan untuk analisa di laboratorium:
1. Kromatografi partisi
Dalam kromatografi partisi, ekstraksi terjadi berulang dalam satu
kali proses. Contoh khas kromatografi partisi adalah kromatografi kolom
yang digunakan luas karena sangat efisien untuk pemisahan senyawa
organik.
2. Kromatografi kertas
Kromatografi kertas diterapkan untuk analisis campuran asam
amino. Asam amino memiliki sifat yang sangat mirip, dan asam-asam
amino larut dalam air dan tidak mudah menguap (tidak mungkin
didistilasi). Karena pemisahan asam amino merupakan masalah yang
cukup sulit, maka penemuan kromatografi kertas merupakan berita baik
bagi para kimiawan.
3. Kromatografi gas
Campuran gas dapat dipisahkan dengan kromatografi gas. Metode
ini sangat baik untuk analisis senyawa organik yang mudah menguap
seperti hidrokarbon dan ester. Analisis minyal mentah dan minyak atsiri
dalam buah telah dengan sukses dilakukan dengan teknik ini.
4. HPLC (High Pressure Liquid Chromatography)
Ciri teknik ini adalah penggunaan tekanan tinggi untuk mengirim
fase gerak ke dalam kolom. Dengan memberikan tekanan tinggi, laju dan
efisiensi pemisahan dapat ditingkatkan dengan besar. Kromatografi
penukar ion telah berhasil digunakan untuk analisis kation, anion dan ion
organik.
Prinsip pemisahan kromatografi yaitu adanya distribusi komponen-
komponen dalam fase gerak dan fase diam berdasarkan perbedaan sifat fisik
komponen yang akan dipisahkan. Komponen utama kromatografi adalah fase
diam dan fase gerak (Ardianingsih, 2009). Dalam semua teknik kromatografi,
zat terlarut yang dipisahkan beremigrasi sepanjang satu kolom dan tentu saja
dasar pemisahan terletak berbeda-beda laju migrasi untuk zat terlarut yang
berlainan (Underwood, 1994).
Pada percobaan kali ini menggunakan pelarut etanol dan kloroform.
Etanol merupakan pelarut polar, sedangkan kloroform merupakan pelarut non
polar. Dari percobaan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa sampel yang
menggunakan pelarut etanol (polar) memiliki nilai Rf yang besar. Sedangkan
sampel yang menggunakan pelarut kloroform (non polar) nilai Rf nya kecil.
Hal ini disebabkan karena sampel yang bersifat polar akan terlarut pada pelarut
yang bersifat polar pula. Pada sampel yang bersifat polar tidak larut dalam
kloroform karena perbedaan kepolaran sehingga tidak menyebabkan pegerakan
sampel. Biasanya pelarut polar digunakan untuk melarutkan sampel organik,
misalnya pewarna alami. Jadi jika sampel tersebut larut dalam pelarut etanol
berarti sampel tersebut adalah senyawa organik.
Pada umumnya pelarut yang sering digunakan adalah etanol.
Karena etanol telah banyak digunakan sebagai pelarut dibidang pangan dan
obat-obatan dan cenderung lebih aman dibandingkan eter dan aseton
(Mardaningsih, 2012). Fungsi penambahan etanol pada percobaan adalah untuk
mendisosiasi sampel agar sampel dapat terpartisi dengan baik. Sampel mudah
terpartisi karena sampel-sampel tersebut mudah terdissosiasi oleh pelarut,
selain itu kepolaran antara sampel dan pelarut juga mempengaruhi. Semakin
dekat kepolaran antara sampel dan pelarut maka sampel akan semakin mudah
terpartisi.
Perbedaan kromatografi TLC dan kromatografi kertas menurut Koi
(2012) yakni pada teknik TLC/KLT fasa diam (terutama silika, alumina, dan
selulosa) dilapiskan di permukaan sebuah plat pendukung (umumnya dibuat
dari bahan kaca atau lembaran logam Al). Bila noda telah kering plat
diletakkan secara vertikal dalam bejana yang sesuai dengan tepi yang di bawah
dicelupkan dalam fasa bergerak yang terpilih, maka pemisahan kromatografi
penaikan akan diperoleh. Sedangkan pada kromatografi kertas termasuk dalam
kelompok kromatografi planar, dimana pemisahannya menggunakan medium
pemisah dalam bentuk bidang (umumnya bidang datar) yaitu bentuk kertas.
Seluruh bentuk kromatografi memiliki fase diam (berupa padatan atau cairan
yang didukung pada padatan) dalam percobaan kali ini adalah kertas saring dan
plat TLC, dan fase gerak (cairan atau gas) dalam percobaan kali ini adalah
pelarutnya yaitu etanol dan kloroform. Mekanisme pemisahan dalam
kromatografi adalah ketika fase gerak mengalir melalui fase diam dan
membawa komponen-komponen dari campuran bersama-sama. Komponen-
komponen yang berbeda akan bergerak pada laju yang berbeda pula. Pada
percobaan kali ini digunakan dua kertas yang berbeda, yaitu kertas saring dan
plat TLC. Perbedaan penggunaan kertas ini menyebabkan terjadinya perbedaan
kecepatan waktu pemisahan larutan pada kedua kertas tersebut. Kecepatan
pemisahan larutan pada kertas saring lebih cepat dibanding kecepatan
pemisahan larutan pada kertas TLC. Warna sampel ketika pemisahan dengana
kertas TLC lebih sukar hilang dibanding dengan menggunakan kertas saring.
Nilai Rf dengan menggunakan kertas saring lebih besar dari kertas TLC karena
pori-pori dari kertas saring lebih besar dibanding kertas TLC sehingga
penyerapan alkohol lebih cepat dan lebih melarutkan sampel-sampelnya. Pada
percobaan kali ini merupakan kromatografi kertas ascending, karena kerta
digantung dari ujung atas wadah sehingga tercelup didalam solven didasar (2-3
mm) dan solven bergerak ke atas kertas oleh daya kapilaritas.
Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fase, yaitu
fase diam (stationer) dan fase gerak (mobile). Laju pergerakan fase gerak
terhadap fase diam dihitung sebagai retardation factor (Rf). Nilai Rf diperoleh
dengan membandingkan jarak yang ditempuh oleh zat terlarut dengan jarak
yang ditempuh oleh fase gerak (Komariah, 2013).
Kromatografi kertas pertama kali diperkenalkan oleh Consden, Gordon,
dan Martin pada tahun 1941. Pada kromatografi kertas, campuran sampel
diteteskan pada kertas dan batas migrasi pelarut ditandai. Setelah kertas
dikeringkan, posisi senyawa-senyawa yang ada dalam sampel dilihat dengan
reaksi pewarnaan yang sesuai. Nilai Rf pada kromatografi kertas adalah rasio
jarak yang ditempuh oleh senyawa dan jarak yang ditempuh oleh pelarut. Nilai
Rf kurang lebih konstan untuk senyawa tertentu, sistem pelarut, dan kertas
dibawah kondisi konsentrasi zat terlarut, suhu, dan pH yang terkontrol dengan
baik (Bintang, 2010). Rumus nilai Rf adalah sebagai berikut:
Rƒ = Jarak sampel dari titik awalJarak pelarut dari titik awal
(Bele and Anubha, 2011)
Pengaruh nilai Rf terhadap sampel dapat dilihat pada hasil jarak sampel
yang terbentuk pada kertas kromatografi lapis tipis. Jarak sampel yang
terbentuk ini tergantung dari kelarutan sampel terhadap pelarut yang
digunakan. Jika sampel tersebut juga merupakan larutan yang polar maka akan
larut sangat baik dalam pelarut etanol yang merupakan pelarut polar. Jika
sampel bukan merupakan larutan yang polar maka pelarut akan sulit untuk
melarutkan sampel dan menarik pelarut sampai pada ¾ bagian kertas
semaksimal mungkin. Semakin besar jarak sampel yang didapatkan maka nilai
Rf akan semakin besar pula. Sesuai dengan teori dari Bele dan Anubha (2011)
bahwa Rf adalah jarak sampel dari titik awal dibagi jarak pelarut dari titik
awal, hal tersebut menunjukkan bahwa nilai Rf sebanding dengan jarak sampel.
Besarnya jarak sampel juga dipengaruhi dari warna sampel yang
tergambar dalam kertas kromatografi. Warna sampel sebelum dan sesudah
yang secara signifikan menunjukkan perubahan pada sampel pewarna tekstil
dan pewarna alami. Pada sampel pewarna alami warnanya lama-kelamaan
menjadi pudar. Hal ini kemungkinan dikarenakan oleh sifat pewarna alami
yang berupa pigmen mudah larut dalam pelarut non polar. Pada pewarna tekstil
warna awal dan warna hasil akhir sangat berbeda sekali. Kemungkinan karena
penguraian warna akibat pemberian pelarut etanol pada sampel tersebut. Pada
Jurnal milik (Putri, 2011) dikatakan bahwa pewarna alami misalnya klorofil
dapat mengalami penurunan nilai kecerahan filtrat yang dihasilkan. Hal ini
terjadi dikarenakan dengan menggunakan larutan pengekstrak alkohol 85%
akan menyebabkan peningkatan konsentrasi warna gelap sebagai akibat
peningkatan total klorofil terekstrak dalam ekstrak daun suji. Klorofil memiliki
kemudahan terekstrak dengan pelarut organik seperti aseton, alkohol, metanol,
etil asetat, piridin dan dimetilformamid. Dari jurnal ini dapat diketahui bahwa
alkohol dapat menyebabkan hal yang sama pada pewarna alami yang lain
seperti pewarna alami kunyit dan buah bit. Penguraian warna pada sampel
pewarna tekstil dan alami ini juga diikuti dengan besarnya jarak sampel dari
titik awalnya yang menyebabkan nilai Rf juga besar. Kemungkinan ini
disebabkan oleh larutnya sampel pada pelarut etanol yang digunakan dalam
percobaan.
Nilai Rf dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara
lain jenis adsorben, fase gerak, temperatur, ketebalan lapisan, massa sampel,
dan teknik kromatografi. Perbedaan jenis adsorben akan menghasilkan nilai Rf
yang berbeda pula. Kemurnian pelarut harus pada fase gerak harus terkontrol
karena hal ini akan mempengaruhi nilai Rf. Selanjutnya, pengaturan
temperatur, ketebalan lapisan, massa sampel, dan memperhatikan teknik
kromatografi juga dapat mempengaruhi nilai Rf yang dihasilkan
(Bele and Anubha, 2011).
Nilai Rf pada masing-masing sampel pada kromatografi lapis tipis
(TLC) maupun kromatografi kertas saring menunjukkan perbedaaan yang
tergantung pada jenis sampelnya. Nilai rata-rata Rf dari sampel pewarna
makanan dari kelompok 1, 3, 6, 9, 11, 13, dan 15 secara berturut-turut sebesar:
0,666; 0,077; 0,035; 0,524; 0,649; 0,821 dan 0,744. Nilai Rf dari sampel
pewarna tekstil dari kelompok 1, 2, 3, 4, 7, 10, 12, 14, dan 15 secara berturut-
turut sebesar: 0,523; 0,762; 0,131; 0,071; 0,750; 0,083; 0; 0; dan 0,774. Nilai
Rf dari sampel pewarna alami dari kelompok 2, 4, 7, 10, 11, dan 13 secara
berturut-turut sebesar: 0,512; 0,321; 0,928; 0,035; 0,940; dan 1. Nilai Rf dari
sampel bahan makanan dari kelompok 6, 9, 12, dan 14 secara berturut-turut
sebesar: 0; 0,190; 0,048; dan 0,262. Nilai Rf dari sampel spidol dari kelompok
5,8,12, dan 14 secara berturut-turut adalah 0,543; 0,047; 0,464; dan 0,071.
Pada sampel bahan makanan nilai Rf relatif kecil. Pada sampel pewarna alami
nilai Rf relatif paling tinggi diantara sampel yang lain. Hal ini disebabkan
karena pada pewarna alami jarak sampel dari titik awalnya lebih besar dari
pewarna yang lain sehingga dapat menghasilkan nilai Rf yang lebih tinggi dari
yang lain. Pada sampel bahan makanan nilai Rf paling kecil diantara sampel
yang lain. Hal ini disebabkan karena pada bahan makanan jarak sampel dari
titik awalnya lebih kecil dari pewarna yang lain sehingga dapat menghasilkan
nilai Rf yang lebih kecil pula dari yang lain.
Nilai Rf pewarna makanan hampir sama dengan nilai Rf pewarna
tekstil. Nilai pewarna makanan dapat diindikasikan menggunakan pewarna
tekstil karena nilai Rf nya hampir sama. Pada Jurnal Liedyawati (2013)
dicontohkan bahwa Rhodamin B merupakan pewarna tekstil yang
disalahgunakan sebagai pewarnaan kerupuk, terasi, dan jajanan lain yang
bewarna terang.
Pada percobaan Acara VI yang dilakukan oleh kelompok 14, digunakan
sampel pewarna tekstil (hitam), bahan makanan (merah), dan spidol (biru tua).
Dari ketiga sampel tersebut didapat urutan nilai Rf dari yang terbesar ke yang
terkecil adalah sebagai berikut: bahan makanan > spidol > pewarna tekstil.
Adapun nilai Rf dari bahan makanan, spidol, dan pewarna tekstil secara
berturut-turut adalah 0,262; 0,071; dan 0.
Pada beberapa sampel terdapat warna yang setelah dicelupkan ke
solven tidak mengalami perubahan/tidak bergerak. Hal ini disebabkan karena
perbedaan kepolarannya. Sampel yang non polar tidak terlarut dalam pelarut
yang polar, sehingga tidak terbentuk warna (tidak terjadi pergerakan sampel).
Pada jurnal (Putri, 2011) sampel pada pewarna alami dapat mengalami
perubahan warna karena pengekstrakan dengan aseton 85 % dan alkohol 85 %,
diduga dengan menggunakan pelarut ekstrak alkohol dan aseton akan
menyebabkan terjadinya denaturasi protein yang mengikat warna dalam sel
sehingga warna dapat lepas dari ikatan dengan protein dan ikut terekstrak
dalam pelarut. Selain itu, penggunaan larutan alkohol 85% dan aseton 85%
menyebabkan terjadinya penurunan nilai kecerahan filtrat yang dihasilkan. Hal
ini terjadi dikarenakan dengan menggunakan larutan pengekstrak alkohol 85%
dan aseton 85% akan menyebabkan peningkatan konsentrasi warna gelap
sebagai akibat peningkatan total klorofil terekstrak dalam ekstrak daun suji.
Metode kromatografi kertas dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Salah
satunya adalah dalam bidang pangan, yaitu untuk memantau keberadaan
pewarna sintetis dalam berbagai produk pangan (Sumarlin, 2010).
E. KesimpulanBerdasarkan hasil percobaan diatas mengenai Acara VI
Kromatografi Kertas dapat disimpulkan bahwa:
1. Kromatografi adalah suatu cara pemisahan senyawa berdasarkan
perbedaan derajat kelarutan dalam dua macam pelarut atau lebih.
2. Prinsip pemisahan kromatografi yaitu adanya distribusi komponen-
komponen dalam fase diam dan fase gerak berdasarkan sifat fisik
komponen yang akan dipisahkan.
3. Mekanisme dari kromatografi adalah zat terlarut yang dipisahkan
beremigrasi sepanjang satu kolom dan dasar pemisahan terletak
berbeda-beda laju migrasi untuk zat terlarut yang berlainan.
4. Nilai Rf adalah rasio jarak yang ditempuh oleh senyawa dan jarak
yang ditempuh oleh pelarut.
5. Nilai Rf dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis adsorben, fase
gerak, temperatur, ketebalan lapisan, massa sampel, dan teknik
kromatografi.
DAFTAR PUSTAKA
Alaudin, M. dan Nuni Widiarti. 2005. Sosialisasi Pembuatan Ekstrak Pewarna Alami bagi Ibu-Ibu PKK Desa Sukorejo Kecamatan Gunung Pati Semarang. Jurnal Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.
Ardianingsih, Retno. 2009. Penggunaan High Perfomance Liquid Chromatography (HPLC) dalam Proses Analisa Deteksi Ion. Jurnal Berita Dirgantara. Vol. 10, No. 4 (101-104).
Ati, Neltji Herlina, Puji Rahayu, S. Notosoedarmo, and Leenawaty Limantara. 2006. The Composition and The Content of Pigments From Some Dyeing Plant For Ikat Weaving in Timorrese Regency, East Nusa Tenggara. Indo Journal of Chemistry. Vol. 6, No.3 (325-331).
Bele, Arcana A. and Anubha Khale. 2011. An Overview On Thin Layer Chromatography. International Journal of Pharmaceutical Sciences and Research, Vol. 2, No.2 (256-267)
Bintang, Maria. 2010. Biokimia Teknik Penelitian. Erlangga. Jakarta
Bustanussalam., Haryanto Susilo., dan Endang Nurhidayati. 2012. Identifikasi Senyawa dan Uji Aktivitas Ekstrak Etil Asetat Kulit Kayu Massoi (Cryptocarpa massoy). Jurnal Fitofarmaka. Vol.2, No. 1 (67-76).
Day, RA. 2005. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Kelima. Erlangga.Jakarta.
Fessenden. 1995. Kimia Organik Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga
Hostettmann, K., A. Marston, and M. Hostettmann. 1995. Cara Kromatografi Preparatif Penggunaan pada Isolasi Senyawa Alam.ITB Press.Bandung.
Husni, Elidahanum. 2008. Analisa Zat Pengawet dan Protein dalam Makanan Siap Saji Sosis.Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 13, No. 1 (1-6).
Janan, Faishal Fida., R. singgih Sugeng., dan Mardiati Sulistiowati. 2013. Pengaruh Lama Maserasi dan Perbandingan Kuning Telur dengan Etanol pada Pembuatan Tepung Kuning Telur Puyuh Terrhadap Kadar Protein dan Lemak. Jurnal ilmiah Peternakan. Vol 1, No. 2 (710-717).
Johnson, Edward dan Robert Stevenson. 1991. Dasar-Dasar Kromatografi Cair. ITB Press.Bandung.
Koi. 2012. http://foodandsnack.wordpress.com/2012/01/18/identifikasi-nilai-rf-pada-analisa-warna-dengan-kromatografi-lapis-tipis-dan-kromatografi-kertas/ . Diakses pada hari Minggu 19 April 2015 pukul 20.25.
Komariah, Nurul. 2013. Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan dari Ekstrak Etil Asetat Herba Kemangi (Ocimum americanum L. Skripsi Sarjana pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kulkarni, Naval., Mayank M., and D. K. Jain. 2011. Centrifugal Thin Layer Chromatography. Asian Journal of Pharmacy and Life Science. Vol. 1, No. 3.
Liedyawati, Wenny. 2013. Penentuan Kelayakan Edar Es Lilin Tidak Bermerk dan Tidak Berlabel di Kecamatan “X” Kabupaten Banyuwangi Berdasarkan Pemanis dan Pewarna yang Digunakan. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. Vol.2, No.1.
Mardiningsih, Fitri., M. A. M. Andriani., dan Kawiji. 2012. Pengaruh Konsentrasi Etanol dan Suhu Spray Dryer terhadap Karakteristik Bubuk Klorofil Daun Alfalfa (Medicago sativa L.) dengan Menggunakan Binder Maltodekstrin. Jurnal Teknosains Pangan. Vol. 1, No. 1 (110-117).
Putri, Widya Dwi Rukmi, dll. 2011. Ekstraksi Pewarna Alami Daun Suji Kajian Pengaruh Blanching dan Jenis Bahan Pengekstrak. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol. 4, No.1 (13-24).
Sanagi, Mohd Marsin. Teknik Pemisahan dalam Analisis Kimia. Johor Darul Ta’zim: Universitas Teknologi Malaysia.
Sumarlin, 2010.Identifikasi Pewarna Sintetis Pada Produk Pangan Yang Beredar di Jakarta dan Ciputat. Jurnal FST UIN Syarif Hidayatullah.
Touchstone, Joseph C. 1992. Practice of Thin Layer Chromatography. Canada: A Wiley-Interscience Publication.
Underwood, A.L.,1994. Analisa Kimia Kuantitatif. Erlangga. Jakarta.
Utami, Wahyu dan Andi Suhendi. 2009. Analisis Rhodamin B dalam Jajanan Pasar dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis. Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi. Vol. 10, No. 2 (148-155).
Wulandari, Lestyo. Evaluasi Lempeng HPTLC Daur Ulang untuk Analisis Kualitatif dan Kuantitatif. Jurnal SIGMA, Vol. 10, No.2 (105-109).
LAMPIRAN
Analisis Hasil Percobaan
1. Pengukuran Kromatografi Kertas Lapis Tipis
a. Kelompok 1
a) Pewarna Makanan (ungu)
Rf = 3
4,2 = 0,714
b) Pewarna Makanan (biru)
Rf = 2,64,2
= 0,619
c) Pewarna Tekstil (merah)
Rf = 2,24,2
= 0,523
2. Pengukuran Kromatografi Kertas Saring
a. Kelompok 14
a) Spidol (biru tua)
Rf = 0,34,2
= 0,071
b) Bahan Makanan
Rf = 1,14,2
= 0,262
c) Pewarna Tekstil (hitam)
Rf = 0
4,2 = 0
Rf = Jarak sampelJarak Pelarut
Rf = Jarak sampelJarak Pelarut