Draf Proposal Dana Hibah Penelitian Tesis Unnes
-
Upload
nur-kholiq -
Category
Documents
-
view
474 -
download
5
Transcript of Draf Proposal Dana Hibah Penelitian Tesis Unnes
USUL HIBAH PENELITIAN TESIS
TAHUN ANGGARAN 2011
SISTEM PENGKADERAN BERORGANISASI SANTRI (Studi Kasus di Pesantren Maslakul Huda Kajen Margoyoso Pati Jawa Tengah)
Moch. Taufiq Ridho0102509048
PROGRAM STUDIPROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
JANUARI 2011
b. Halaman pengesahan
1. Judul Penelitian :
Sistem Pengkaderan Berorganisasi Santri
(Studi Kasus di Pesantren Maslakul Huda Kajen Margoyoso Pati Jawa Tengah)
2. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap : Moch. Taufiq Ridhob. Jenis Kelamin : Laki-laki c. NIM : 0102509048d. Program Studi : Manajemen Pendidikane. Alamat : Jl. KS. Tubun 13 Jeparaf. Telpon/Faks : 081325214592g. Alamat Rumah : Jl. KS. Tubun 13 Jeparah. Telpon/Faks/E-mail : 0291-592274/[email protected]
3. Jangka Waktu Penelitian : 5 (lima) Bulan4. Pembiayaan : Rp. 3.000.000,-
Mengetahui : Semarang, Januari 2011Ketua Program Studi Ketua Peneliti,Manajemen Pendidikan
Prof. Dr. Tri Joko Raharjo, M.Pd Moch. Taufiq RidhoNIP. 19590301 198511 1 001 NIM. 0102509048
Menyetujui :Ketua Gugus Pengelola Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Program Pascasarjana - UNNES
Dr. Supriyadi, M.SiNIP. 196505181991021001
Bab 1. Pendahuluan
Pesantren merupakan sebuah sistem yang terdiri dari anasir-anasir yang
saling terkait untuk mencapai output tertentu. Sistem berbeda dengan struktur.
Dalam sistem tidak ada yang namanya struktur, namun perwujudan dari sistem itu
sendiri seringkali memerlukan komponen yang namanya struktur. Unsur-unsur
yang ada dalam sistem terbentuk dalam satu kenyataan material yang pada tahap
selanjutnya menjadi sebuah struktur. Bagaikan sebuah mesin mobil yang terdiri
dari berbagai komponen yang tidak mungkin untuk dipisahkan satu sama lain,
karena semuanya telah menjadi satu kesatuan sistem yang terstruktur secara
mekanis sebagai mesin penggerak mobil.
Demikian halnya pesantren, di dalamnya ada sistem yang terdiri dari
berbagai unsur yang terkait. Karena pesantren merupakan lembaga tarbiyah, maka
sistem yang ada dalam pesantren adalah sistem pendidikan. Misalnya unsur tradisi
atau ciri khas yang menjadi kebiasaan dalam pesantren, unsur keteladaan yang
diajarkan oleh seorang kiai sebagai pengasuh, unsur program dan kegiatan
kependidikan, unsur latar belakang budaya dan asal para santri, unsur tata cara
dan perilaku kehidupan unik para santri, belum lagi unsur yang datang dari luar
seperti masyarakat dan nilai budaya yang berkembang di sekitar pesantren. Unsur-
unsur yang ada dalam pesantren tersebut adalah sebuah sistem yang akhirnya akan
membentuk pola pikir dan karakter para santri. Hal ini adalah bukti nyata bahwa
dalam pesantren sebenarnya ada yang namanya sistem.
Pengelolaan struktur dan pola dari sistem sebuah pesantren akan sangat
menentukan warna dan corak perkembangan serta keberlangsungan pesantren
tersebut. Ketika sistem yang ada dalam pesantren terstruktur dengan rapi dan
tertib, maka akan ditemukan kinerja yang bagus dan maksimal, namun sebaliknya
ketika sistem yang ada dalam pesantren itu buruk sudah barang tentu jangkauan
dan efek dari program dan nilai yang ditawarkan akan minim dan berdaya jangkau
sempit. Secara singkat peran serta pesantren dalam kancah sosial, baik internal
maupun eksternal dapat diukur dan ditelusuri dari seberapa rigid sistem yang
terbangun dalam lembaga tersebut.
Pasang surut peran pesantren sempat terjadi baik karena faktor di
dalamnya maupun di luarnya. Pesantren dari saat ke saat terus mengalami
perubahan. Meskipun intensitas dan bentuknya tidaklah sama antara satu dengan
yang lain. Perubahan itu dalam realitasnya berdampak jauh bagi keberadaan,
peran, dan pencapaian tujuan pesantren, serta pandangan masyarakat luas
terhadap lembaga pendidikan di pesantren (M. Dian Nafi’, 2007 : 1).
Pesantren sebagai sebuah lembaga memiliki banyak peran. Pada awal
mula berdirinya pesantren sebenarnya tidak hanya dimaksudkan sebagai lembaga
dakwah dan pengemban ajaran tradisi Islam. Lebih dari itu, pesantren dalam
perjalanan sejarahnya telah membuktikan mampu memegang peranan di berbagai
lini kehidupan. Tidak dapat dipungkiri, selain sebagai lembaga dakwah dan
pengemban tradisi ajaran Islam, pesantren pada kenyataannya juga melakukan
fungsi-fungsi yang lain, seperti: sosial kemasyarakatan, budaya, pendidikan,
bahkan politik.
Dengan demikian dalam lingkup masyarakat secara umum, pesantren
merupakan sub sistem masyarakat. Menjadi sebuah keniscayaan bahwa tiap-tiap
sub sistem masyarakat selalu terlibat dalam persinggungan-persinggungan sistem
sosialnya. Karena sebagaimana dikemukakan Giddens (2004 : 202) bahwa pada
dasarnya seluruh masyarakat merupakan sistem sosial dan sekaligus
persinggungan-persinggungan sistem sosial ganda.
Masyarakat dan pesantren bagaikan dua sisi mata uang, keduanya saling
terkait dan bergantung satu sama lain. Masing-masing saling mempengaruhi dan
mendukung. Pesantren sebagai sebuah lembaga membutuhkan masyarakat,
sebaliknya masyarakat sebagai sebuah komunitas membutuhkan pesantren.
Keduanya telah menjadi sebuah sistem yang saling melengkapi satu sama lain.
Ketiadaan yang satu akan mempengaruhi kesempurnaan yang lain.
Dawam Rahardjo (1985) dalam pengantar Pergulatan Dunia Pesantren
bahkan mengilustrasikan bahwa pihak-pihak di luar pesantren melihat keunikan
pesantren sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap
dampak modernisasi.
Di Pati Jawa Tengah, tepatnya di Jalan Raya Pati-Tayu Km. 18 Kajen
Margoyoso Pati, terdapat sebuah pesantren yang bernama Pesantren Maslakul
Huda (PMH) yang diasuh oleh KH. MA. Sahal Mahfudz. Sebagai lembaga
pendidikan yang berada di tengah-tengah masyarakat, kesadaran akan pemahaman
tersebut sudah sejak awal dipahami betul oleh Maslakul Huda sebagai sebuah
pesantren. Untuk itu dalam proses rintisan dan perkembangannya, Pesantren
Maslakul Huda selalu mencoba mengikuti setiap perkembangan yang terjadi dan
sekaligus berusaha dengan segenap upaya untuk memenuhi berbagai tuntutan
masyarakat yang semakin kompleks.
Pesantren Maslakul Huda senantiasa berikhtiar menerjemahkan ajaran
Islam yang tekstual kedalam kehidupan yang nyata, kontekstual, membumi dan
berdimensi sosial. Pesantren Maslakul Huda secara partisipatoris bersama-sama
dengan masyarakat berupaya ikut serta dalam proses pembangunan bangsa.
Sebuah proses pembangunan model alternatif dari bawah dengan
mengikutsertakan obyek sasaran pembangunan dalam perencanaan dan penentuan
arah pembangunan. Dalam grand narasinya, paradigma Pesantren Maslakul Huda
teremplementasikan ke dalam tiga gagasan besar sebagai sebuah sistem
pendidikan pesantren, yaitu tarbiyah, pemberdayaan masyarakat, dan badan usaha
milik pesantren.
Menurut pengamatan peneliti dalam proses pra penelitian, terdapat hal
yang unik dan menarik untuk dikaji secara lebih mendalam terutama dalam gagasan
besar sistem pendidikan dan pola pengelolaan pesantren, yaitu sistem pengkaderan
berorganisasi santri. Dari sekian pesantren yang ada di Pati Jawa Tengah, Pesantren
Maslakul Huda memiliki ciri khas dalam sistem pengkaderannya.
Lazimnya di sebuah pesantren, struktur kepengurusan berada langsung di
bawah kontrol dan kendali pengasuh yang biasanya memakai sistem sentralistik
dengan kepengurusan model ketua atau lurah pondok. Sistem ini mengasumsikan
ketua atau lurah pondok berperan sebagai penanggungjawab operasional dari
berlangsungnya kegiatan yang dilakukan pesantren, sementara kebijakan penuh dan
pengambilan keputusan masih ditangan kiai sebagai pengasuh.
Kebergantungan pesantren terhadap sosok pengasuh atau peran sentral
kyai tersebut memberikan kemudahan dalam melihat pesantren adalah melihat
karakter kyai atau pengasuhnya. Kyai, dalam sebagaian besar pesantren masih
sebagai pusat pengambilan keputusan. Kyai, pemimpin atau pengasuh pesantren
adalah tolak ukur yang menjadi acuan berpikir, bersikap dan berbuat di komunitas
pesantren. Oleh karena itu, kyai sebagai figur sentral pesantren perlu menggali
prinsip, konsep, dan tekhnik pembuatan keputusan pendidikan yang terus
berkembang (Masyhud, 2008 : 48). Masalah yang akan muncul adalah corak
kepemimpian pesantren yang masih menganut genealogis, karena bakat
kepemimpinan tidaklah semua terbawa dalam genealogis tersebut. Perbedaan
kemampuan memimpin yang kadang jauh antara satu pemimpin pesantren dengan
penerusnya mengakibatkan pasang surut peran pesantren dalam rangka
mengembangkan pendidikan agama Islam. Selama kyai dari pesantren mampu
menjadi figur untuk mengemban amanah kelangsungan pesantren dan menjalankan
peran sosial dalam masyarakat, maka selama itu pula pesantren akan diakui dan
survive di tengah-tengah masyarakat.
Sahal Mahfudh menggambarkan tentang kegagalan pesantren dalam
kaderisasi kepemimpinan adalah sebagai berikut:
Kehancuran pesantren itu juga merupakan akibat dari kurang berhasilnya sistem kaderisasi di pesantren. Jarang sekali kiai melakukan kaderisasi dalam jumlah yang besar. Biasanya kiai hanya menunjuk seorang ustadz dari santri senior untuk mengurus kepemimpinan pesantren sebagai “lurah pondok”. Bagi pesantren yang sudah mengenal sistem organisasi, peranan lurah pondok digantikan oleh susunan pengurus lengkap dengan pembagaian tugasnya. Namun meski pengurus pesantren telah dibentuk, untuk menjalankan urusan sehari-hari, kekuasaan mutlak tetap saja ada pada kiai. Karena itu, betapapun demokratis sebuah susunan pengurus pesantren, masih saja terdapat jarak tak terjembatani antar kiai serta keluarganya di satu pihak dan para asatidz dan santri di pihak lain. Hal itu mengingat kiai
mempunyai kedudukan ganda, sebagai pengasuh sekaligus pemilik pesantren (makalah tidak diterbitkan, 1993).
Pesantren Maslakul Huda melaksanakan sistem yang berbeda. Sistem yang
digunakan bukan ketua pondok ataupun lurah pondok, meskipun dalam fungsi dan
tanggung jawabnya ada yang berperan dalam posisi tersebut. Presidium adalah
bentuk yang diidealkan oleh pesantren Maslakul Huda dalam mendidik santri
berorganisasi dan bermasyarakat. Dengan sistem ini kewenangan bisa dikatakan
sepenuhnya berada di tangan santri, pengasuh hanya berperan sebagai motivator dan
supervisor. Itupun dalam situasi tertentu yang memang memungkinkan atau
mengharuskan melakukan langkah-langkah tersebut. Presidium diberikan kebebasan
penuh yang bertanggung jawab di dalam mengelola keberlangsungan roda
kepengurusan yang menggerakkan semua bentuk aktifitas. Bahkan dalam keadaan
tertentu presidium akan dibiarkan ketika meminta pemecahan masalah kepada
pengasuh. Hal ini dilakukan supaya presidium sebagai pengurus untuk selalu
berikhtiar mencari jawaban dari masalah yang dihadapi, mereka mesti kreatif dan
inovatif didalam menghadapi setiap masalah.
Struktur presidium terdiri dari 7 santri senior yang terdiri dari: Presidium
I, II, dan III yang masing-masing beranggotakan 2 orang serta satu ketua presidium
yang menjabat sebagai koordinator. Setiap presidium terdiri dari 2 orang yang
sekaligus menjabat sebagai ketua dan wakil. Presidium I menempati fungsi sebagai
ketua, Presidium II sebagai sekretaris, dan presidium III berperan sebagai
keamanan. Senioritas dalam pemilihan anggota presidium bukan dihitung dari lama
seorang santri menempuh pendidikan pesantren ataupun dilihat dari umurnya,
namun selain dibatasi, anggota presidium harus sudah menempuh tingkatan Aliyah.
Disamping itu juga harus memiliki berbagai trade record dan kredit poin sebagai
aktifis di berbagai jenjang pengkaderan yang ada di Pesantren Maslakul Huda.
Dalam sistem ini berlaku regulasi bahwa tiga jabatan presidium yang ada
dibawah koordinasi ketua presidium, setiap 4 bulan sekali dalam satu periode
kepengurusan akan mengalami pergeseran. Pergeseran ini dimaksudkan untuk
memberikan pendidikan wawasan dan pengalaman keorganisasian supaya keenam
orang yang ada dalam presidium mengalami pergantian posisi sebagai ketua,
sekretaris, dan keamanan dengan berbagai tanggung jawab dan problematika yang
dihadapi selama satu periode kepengurusan. Pengkaderan dan pendidikan di
Pesantren Maslakul Huda memang dijalankan dengan fokus. Santri tertentu yang
menjabat presidium dalam kepengurusan setiap periodenya benar-benar dibekali
berbagai kemampuan dan pengalaman melalui sistem ini.
Bab 2. Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang tersebut, maka fokus penelitian yang dapat
dirumuskan adalah :
1) Bagaimana perencanaan sistem pengkaderan berorganisasi santri dengan
sistem presedium di Pesantren Maslakul Huda?.
2) Bagaimana pelaksanaan sistem pengkaderan berorganisasi santri dengan sistem
presedium di Pesantren Maslakul Huda?.
3) Bagaimana evaluasi sistem pengkaderan berorganisasi santri dengan sistem
presedium di Pesantren Maslakul Huda?.
Bab 3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan penelitian
ini adalah :
1) Mendeskripsikan, menganalisis dan memberikan makna terhadap perencanaan
sistem berorganisasi santri sebagai bagian dari pola pengelolaan pesantren
dengan sistem presedium di Pesantren Maslakul Huda.
2) Mendeskripsikan, menganalisis dan memberikan makna terhadap pelaksanaan
sistem pengkaderan berorganisasi santri sebagai bagian dari pola pengelolaan
pesantren yang dijalankan dengan sistem presedium di Pesantren Maslakul
Huda.
3) Mendeskripsikan, menganalisis dan memberikan makna terhadap evaluasi
sistem pendidikan dan pengkaderan berorganisasi santri sebagai bagian dari
pola pengelolaan pesantren sistem presedium di Pesantren Maslakul Huda serta
mengungkapkan efektifitasnya.
Bab 4. Tinjauan Pustaka
4.1. Pondok Pesantren
Pondok pesantren adalah dua istilah yaitu pondok dan pesantren. Pondok
berarti asrama atau tempat mengaji (Suharso, 2005 : 387). Sedangkan pesantren
adalah tempat tinggal santri belajar (Mas’ud, 2002 : 1). Dapat juga diartikan
sebagai “asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu”.
Sedangkan kata pesantren adalah kata jadian dari kata santri (yang artinya
pelajar). Jadi kata “pesantren” berasal dari kata “pesantrian” yang telah
mengalami perubahan pengucapan dan memiliki arti “tempat tinggal para santri”
(Dhofier, 2000 : 18). Dari kata pondok dan pesantren tersebut kemudian
digabungkan menjadi “pondok pesantren” sebagai sebuah asrama pendidikan
islam tradisional dengan siswa/santri tinggal berasrama dan belajar dibawah
bimbingan kyai.
Qodri A. Azizy membagi pesantren atas dasar kelembagaannya dan
dikaitkan dengan sistem pengajarannya menjadi lima kategori : 1) Pesantren yang
menyelenggarakan pendidikan formal dengan menetapkan kurikulum nasional,
baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang memiliki sekolah
umum; 2) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam
bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan
kurikulum nasional; 3) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama
dalam bentuk madrasah diniyah; 4) Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat
pengajian (majlis ta’lim); dan 5) Pesantren untuk asrama anak-anak belajar
sekolah umum dan mahasiswa (Mujamil, 2002 : 18).
Pesantren memiliki karakteristik tertentu. Setidaknya karakter itu tidak
dimiliki sistem pendidikan lainnya, tetapi pesantren juga mengadopsi nilai-nilai
yang berkembang di masyarakat. Kendati demikian, Abdurrahman Wahid
menyebutnya dengan istilah subkultur. Ada tiga elemen yang membentuk
pesantren sebagai subkultur, diantaranya : 1) Pola kepemimpinan yang mandiri
dan tidak terkooptasi oleh negara; 2) Kitab-kitab rujukan umum yang selalu
digunakan dari berbagai abad; dan 3) Sistem nilai (value system) yang digunakan
adalah bagian dari masyarakat luas (Munjamil, 2002 : 61).
Disamping itu, dalam sejarah perjalanannya pondok pesantren tampil
dalam dua bentuk, yaitu : 1) Pondok pesantren salafiyah atau tradisional. Bentuk
ini masih tetap memegang nilai-nilai tradisional baim dari sisi pengelolaan
kelembagaanya maupun sisi manajemen pendidikan; dan 2) Pondok pesantren
modern. Bentuk ini disamping tetap menggunakan pola kehidupan pondok
pesantren salafiyah, proses pendidikannya memadukan penerapan model
pendidikan formal (sekolah) dengan mempertimbangkan faktor usia, pengetahuan
dasar, dan kemampuan hasil belajar (Ahmad Hariyadi, 2007 : 53).
Berdasarkan uraian teori diatas, menurut peneliti, pondok pesantren adalah
lembaga pendidikan subkultur yang memiliki tujuan penyebaran dan penegakan
ajaran agama di tengah-tengah masyarakat sebagai tiang utama moral dan akhlak
mulia yang menjadi kunci tegaknya fungsi sosial kemanusiaan dalam kehidupan
bermasyarakat.
4.2. Sistem Pendidikan Pesantren
Sistem merupakan suatu istilah, dengan demikian juga mengandung atau
mendeskripsikan suatu konsep tertentu dan nyata. Sistem mempunyai ciri sebagai
berikut : 1) mempunyai unsur, elemen, dan komponen yang saling berhubungan,
2) unsur, elemen dan komponen dalam suatu sistem menunjukkan adanya satu
kesatuan (terorganisir dan berstruktur) menuju pada satu tujuan, 3) pencapaian
tujuan ditandai dengan berfungsinya proses secara terorganisir antara unsur,
elemen, dan komponen dalam sistem tersebut (Satmoko, 2001 : 244).
Sedangkan pendidikan pesantren adalah proses membimbing anak didik
untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang dengan ilmu agamanya
sanggup menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan
amalnya. Secara khusus tujuan pendidikan pesantren adalah mempersiapkan anak
didik untuk menjadi alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang
bersangkutan serta megamalkannya dalam masyarakat (Hasbullah, 1999 : 3).
Dengan demikian, secara umum sistem pendidikan pesantren memang
menunjukkan sifat dan bentuk yang lebih dari pola pendidikan nasional. Pesantren
menghadapi dilema untuk mengintegrasikan sistem pendidikan yang dimiliki
dengan sistem pendidikan nasional. Jika ditinjau dari awal mula sejarah berdirinya
pesantren memang tidak dimaksudkan untuk meleburkan dalam sistem pendidikan
nasional. Pesantren seringkali dinilai sebagai sistem pendidikan yang ‘isolasionis’
terpisah dari aliran utama pendidikan nasional dan konservatif, yakni kurang peka
terhadap tuntutan perubahan zaman dan masyarakat (Munjamil, 2002 : 65).
Namun, hal tersebut tidak menyurutkan tujuan yang ingin dicapai di pesantren.
Terutama berkaitan dengan pendekatan penyelenggaraan pendidikan. Pendekatan
penyelenggaraan pendidikan di pesantren menggunakan pendekatan utuh dan
terpadu (holistik) yang tidak berhenti pada pengajaran ilmu sebagai teori atau
pengetahuan saja, tetapi juga aplikasinya.
M. Ishom El-Saha dan Amin Haedari (2008) menggambarkan pesantren
tidak hanya lembaga pendidikan berbasis agama (instution-based religion), tetapi
pesantren telah melebarkan wilayah garapannya yang tidak hanya
mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjelajahan materi-materi agama),
tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial). Pesantren kini tidak berkutat
lagi pada kurikulum yang berbasis keagamaan (religion-based curriculum ), tetapi
juga menyentuh persoalan aktual masyarakat (society-based curriculum).
Gambaran ini berbeda dengan pandangan orang yang menggambarkan pesantren
dengan gambaran binary opposite, yaitu mengkonfrontsikan pesantren yang
mewakili tradisionalisme dibanding dengan pendidikan modern.
4.3. Sistem Pengkaderan
Kaderisasi merupakan hal penting bagi sebuah organisasi, karena
merupakan inti dari kelanjutan perjuangan organisasi ke depan. Tanpa kaderisasi,
rasanya sangat sulit dibayangkan sebuah organisasi dapat bergerak dan melakukan
tugas-tugas keorganisasiannya dengan baik dan dinamis. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2008), kaderisasi adalah pengaderan, dan arti dari kader adalah
“orang yang diharapkan memegang peran penting di pemerintahan, partai, dan se-
bagainya”. Kaderisasi merupakan sebuah keniscayaan mutlak untuk membangun
struktur kerja yang mandiri dan berkelanjutan.
Fungsi dari kaderisasi adalah mempersiapkan calon-calon (embrio) yang
siap melanjutkan tongkat estafet perjuangan sebuah organisasi. Kader suatu
organisasi adalah orang yang telah dilatih dan dipersiapkan dengan berbagai
keterampilan dan disiplin ilmu, sehingga dia memiliki kemampuan yang di atas
rata-rata orang umum.
Dari sini, pandangan umum mengenai kaderisasi suatu organisasi dapat
dipetakan menjadi dua ikon secara umum. Pertama, pelaku kaderisasi (subyek).
Dan kedua, sasaran kaderisasi (obyek). Untuk yang pertama, subyek atau pelaku
kaderisasi sebuah organisasi adalah individu atau sekelompok orang yang
dipersonifikasikan dalam sebuah organisasi dan kebijakan-kebijakannya yang
melakukan fungsi regenerasi dan kesinambungan tugas-tugas organisasi.
Sedangkan yang kedua adalah obyek dari kaderisasi, dengan pengertian lain
adalah individu-individu yang dipersiapkan dan dilatih untuk meneruskan visi dan
misi organisasi. Sifat sebagai subyek dan obyek dari proses kaderisasi ini
sejatinya harus memenuhi beberapa fondasi dasar dalam pembentukan dan
pembinaan kader-kader organisasi yang handal, cerdas dan matang secara
intelektual dan psikologis.
Sedangkan sebagai obyek dari proses kaderisasi, sejatinya seorang santri
memiliki komitmen dan tanggungjawab untuk melanjutkan visi dan misi
organisasi pesantren ke depan. Karena jatuh-bangunnya organisasi terletak pada
sejauh mana komitmen dan keterlibatan santri secara intens dalam dinamika
organisasi, dan tanggungjawab mereka untuk melanjutkan perjuangan organisasi
yang telah dirintis dan dilakukan oleh para pendahulu-pendahulunya. Faktor lain
yang perlu dipertimbangkan dalam hal kaderisasi adalah potensi dasar sang kader.
Potensi dasar tersebut sesungguhnya telah dapat dibaca melalui perjalanan
hidupnya. Sejauh mana kecenderungannya terhadap problema-problema sosial
lingkungannya.
Sukses atau tidaknya sebuah institusi organisasi dapat diukur dari
kesuksesannya dalam proses kaderisasi internal yang di kembangkannya. Karena,
wujud dari keberlanjutan organisasi adalah munculnya kader-kader yang memiliki
kapabilitas dan komitmen terhadap dinamika organisasi untuk masa depan.
4.4. Organisasi Santri
Dalam menyelenggarakan pendidikan agama di pesantren, pengasuh,
pemimpin, atau kyai di pesantren biasanya membentuk kepengurusan di
pesantren. Bentuk kepengurusan di tiap pesantren berbeda-beda. Ada yang
kepengurusannya diisi santri semua dan ada yang terdiri dari santri dan para
ustadz yang ada di pesantren. Kepengurusan di pesantren ini yang kemudian
disebut sebagai organisasi santri. Organisasi santri pada esensinya sama dengan
organisasi pelajar lainnya seperti organisasi siswa di sekolah/madrasah. Namun,
organisasi di pesantren lebih fleksibel dan mempunyai kewenangan yang luas
serta berbeda di masing-masing pesantren sebagaimana perbedaan tiap pesantren
itu sendiri.
Bagi pesantren yang sudah berkembang, pengasuh pesantren mempunyai
perpanjangan tangan dalam mengurus santri dan pesantrennya yaitu dengan
membentuk suatu wadah organisasi pengurus santri. Kegiatan berorganisasi ini
juga dimaksudkan untuk memberi bekal dan pengalaman kepada santri untuk
hidup di masyarakat kelak. Kegiatan berorganisasi ini merupakan kegiatan yang
tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, sebab berorganisasi di pesantren
berarti pendidikan untuk mengurus diri sendiri dan tentu saja orang lain. Seluruh
kehidupan santri selama di pesantren di atur oleh mereka sendiri (self-
government) dengan bimbingan santri senior atau guru-guru (Rohadi Abdul Fatah,
2005 : 122). Keberadaan santri yang berasal dari berbagai daerah yang berbeda
denagn karakter dan budayanya masing-masing memang membantu pelatihan
bagi pengurus untuk nantinya terjun di masyarakat.
Peranan pemimpin, pengasuh, atau yang disebut kiai dalam organisasi
kepengurusan santri tergantung pada model kepemimpinan dari pengasuh
pesantren tersebut. Kepemimpinan pengasuh tersebutlah yang menentukan bentuk
dari kepengurusan organisasi santri di pesantren.
Corak organisasi kepengurusan santri di pesantren boleh berbeda, tetapi
paling tidak harus ada prinsip-prinsipnya. Pertama, prinsip koordinatif, yaitu jalur
koordinatif dan kesinambungan peran mulai dari pengasuh, pengurus, asatidz dan
santri. Kedua, prinsip konsultatif, yakni peranan supervisi secara menyeluruh
mulai dari pengasuh hingga pengurus kamar dalam menghadapi problem,
tantangan, gangguan dan hambatan yang dihadapi santri. Ketiga, prinsip
partisipatif, yakni melibatkan secara total seluruh kegiatan dan aktifitas pesantren
kepada santri, sehingga timbul rasa kepemilikan dan kebanggan terhadap
pesantren. Keempat, prinsip kekompakan dantangung jawab. Universalitas dan
humanitas dengan menjunjung rasa kebersamaan dan kesetiakawanan adalah ciri
utama masyarakat pesantren (M. Ishom El-Saha & Amin Haedari, 2008 : 44-47).
4.5. Kerangka berfikir
Pesantren atau lembaga pendidikan Islam dengan sistem berasrama
merupaka sebuah model khas pendidikan Islam tertua di Indonesia. Bermula
dengan sistem pendidikan yang cukup sederhana, yaitu mulai dari pedidikan yang
diadakan di rumah kyai, kemudian di musholla, masjid, madrasah, lalu kemudian
berkembang menjadi bentuk pesantren yang dilengkapi dengan fasilitas dan
sarana yang cukup lengkap.
Dewasa ini pendidikan pesantren semakin modern dan berkembang pesat
menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Sistem pengelolaan layanan
pendidikan diperbarui dengan inovasi sesuai yang dibutuhkan. Perpustakaan tidak
hanya memuat buku-buku agama, namun juga pengetahuan umum. Layanan
individual diperhatikan, sebab setiap santri memiliki minat, tingkat kematangan,
serta jenjang materi yang berbeda sehingga disesuaikan dengan kebutuhan santri.
Disamping itu juga diberikan keterampilan praktis yang diharapkan nantinya
langsung dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, seperti
keorganisasian, komputer, bahasa, pidato, dan lain-lain.
Hal menarik dan mendasar yang terdapat di Pesantren Maslakul Huda
adalah system pengkaderan berorganisasi santri yang diterapkan. Sistem
presedium merupakan hal baru yang diterapkan dalam sistem dan pola
pengelolaan pesantren. Hal ini penting untuk dikaji lebih jauh tingkat
inplementasi dan keefektifitasan sebuah sistem baru di pesantren. Dengan tuntutan
pembaharuan sistem manajemen pengelolaan pelayanan pendidikan di pesantren
yang semakin marak, maka dituntuk untuk dihasilkannya inovasi-inovasi baru
dalam manajemen kepesantrenan. Oleh karena itu perlu ditinjau lebih jauh
penerapan prinsip-prinsip manajemen pengelolaan sistem pengkaderan
beroganisasi santri, meliputi unsur planning, organizing, actuating, dan
controling.
Bab 5. Metode Penelitian
5.1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif
digunakan untuk menganalisis hasil temuan penelitian dan membangun teori
tentang implementasi sistem pengkaderan berorganisasi santri sebagai bagian dari
pola pengelolaan pesantren dengan mengambil lokasi penelitian di Pesantren
Maslakul Huda Kajen Margoyoso Pati Jawa Tengah. Data dikumpulkan dari latar
yang alami (natural setting) sebagai sumber data langsung.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada
pendapat pakar penelitian kualitatif Bogdan dan Biklen, yaitu desain studi kasus.
Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek
seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program,
atau suatu situasi sosial. Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak
mungkin data mengenai subyek yang diteliti dengan menggunakan bentuk
cerobong. Sebagaimana dikemukakan Bogdan dan Biklen, bentuk cerobong ini
memiliki sistematika urutan : a) Eksplorasi yang bersifat luas dan dalam; serta b)
Kegiatan pengumpulan dan analisis data lebih menyempit serta terarah pada suatu
obyek tertentu.
Sumber data diperoleh secara berkesinambungan seperti
menggelindingnya bola salju (snow ball) melalui wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Kegiatan pengumpulan data dihentikan ketika datanya sudah jenuh,
artinya dari berbagai informan, baik yang lama maupun baru tidak diperoleh data
yang baru lagi (Sugiono, 2008: 57).
5.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Pesantren Maslakul Huda Kajen
Margoyoso Pati Jawa Tengah. Terletak di Jl. Raya Pati-Tayu KM. 18 Kajen,
Kecamatan Magoyoso Pati Jawa Tengah.
5.3. Kehadiran Peneliti di Lapangan
Dalam penelitian kualitatif peneliti wajib hadir di lapangan, karena peneliti
merupakan istrumen penelitian yang utama dan yang harus hadir sendiri secara
langsung di lapangan dalam rangka studi orientasi, menentukan fokus, mencari
informan kunci dan informan pendukung.
Peneliti dalam penelitian kualitatif harus menyadari benar bahwa dirinya
merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, penganalisis data, dan
sekaligus mempertanggungjawabkan hasil penelitian. Peneliti harus bisa
menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi di lapangan. Hubungan baik antara
peneliti dengan subyek penelitian, baik sebelum, selama, maupun sesudah
memasuki lapangan merupakan kunci utama keberhasilan pengumpulan data.
Hubungan baik dapat menjamin kepercayaan dan saling mengerti. Peneliti harus
menghindari kesan yang merugikan informan dan kehadiran atau keterlibatan
penelitian di lapangan harus diketahui secara terbuka oleh subyek penelitian.
Dalam penelitian studi kasus, peneliti harus berupaya menelaah sebanyak
mungkin data mengenai subyek yang diteliti. Sebab studi kasus merupakan uraian
dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu
kelompok, oganisasi (komunitas) program, atau situasi sosial (Mulyana, 2003 :
201). Untuk penelitian ini yang diteliti adalah sistem pendidikan dan pengkaderan
berorganisasi santri sebagai bagian dari pola pengelolaan pesantren.
5.4. Langkah-Langkah Penelitian
Penelitian ini ditempuh melalui tiga tahap, yaitu studi persiapan
(orientasi), studi eksplorasi umum, dan studi eksplorasi terfokus.
Penentuan sumber data pada orang yang diwawancarai dilaksanakan
secara purposive sampling, yaitu dengan memilih pimpinan pesantren dan
pengurusnya sebagai informan kunci. Setelah wawancara dengan pimpinan
pesantren dan pengurusnya dianggap cukup, peneliti meminta untuk ditujukkan
informan berikutnya yang dianggap memiliki informasi yang dibutuhkan, relevan
dan memadai. Dari informan yang ditunjuk tersebut, dilakukan wawancara
secukupnya sampai pada akhir wawancara, informan tersebut diminta pula untuk
menunjuk informan lain. Demikian seterusnya, sehingga informasi yang diperoleh
semakin besar seperti bola salju (snowball sampling technique).
5.5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara yang
mendalam (indepth interview) dengan informan, observasi berpartisipasi
(participant observation), dan studi dokumentasi (studi of document).
5.6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Analisis keabsahan data kualitatif dalam penelitian ini menggunakan
derajat kepercayaan dengan triangulasi metode (data yang diperoleh melalui
wawancara dicari kebenarannya dengan observasi atau dokumentasi) dan
triangulasi sumber. Data yang telah diuji peneliti sehingga menghasilkan suatu
simpulan, selanjutnya dimintakan kesepakatan (member check) ke sumber data
tersebut. Uji transferability (keteralihan) dalam penelitian kualitatif ini dicapai
dengan uraian rinci (thick description). Untuk uji dependability (kebergantungan)
diperlukan dependent auditor. Dalam konteks penelitian ini dependent auditor
dilakukan oleh pembimbing.
Peneliti juga melakukan pengamatan berulang-ulang terhadap suatu
konteks sekaligus untuuk meyakinkan keteralihannya. Untuk menentukan
confirmability (kepastian) data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
megkonfirmasikan data kepada para informan atau para ahli. Kegiatan ini
dilakukan bersama-sama dengan pengauditan dependabilitas.
5.7. Teknik Analisis Data
Analisis data yang bersifat kualitatif dari hasil pengumpulan data observasi,
wawancara, dan dokumentasi dianalisis sejak awal dan sepanjang proses
penelitian berlangsung. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis deskriptif. Analisis tersebut meliputi tiga prosedur yang berkaitan
antara satu dengan lainnya, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi.
Bab 6. Jadwal Pelaksanaan
NO KEGIATAN RENCANA JADWAL
1. Pengajuan Judul November 20102. Penyusunan proposal Desember 2010-Januari 20113. Seminar proposal tesis Februari 20114. Pelaksanaan Penelitian 01 Maret-31 Juli 20115. Monitoring dan evaluasi (Oleh PPs) Februari-Agustus 20116. Seminar hasil tesis 16-30 November 20117. Penyerahan Laporan Akhir Penelitian 30 November 2011
Bab 7. Personalia Penelitian
1. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Moch. Taufiq Ridho
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. NIM : 0102509048
h. Waktu penelitian : 21 jam/minggu
2. Anggota Peneliti
a. Nama Lengkap : -
b. Jenis Kelamin : -
c. NIP : -
d. Disiplin ilmu : -
e. Pangkat/Golongan : -
f. Jabatan fungsional/struktural : -
g. Fakultas/Jurusan : -
h. Waktu penelitian : ....... jam/minggu
Bab 8. Perkiraan Biaya Penelitian
NO URAIAN RENCANA ANGGARAN
1. Bahan dan peralatan penelitian2. Perjalanan3. Penelusuran pustaka4. Dokumentasi 5. Laporan
DAFTAR PUSTAKA
Bogdan, R.C & Biklen, S.K. 1999. Riset Kualitatif untuk Pendidikan; Pengantar
Teori dan Metode. Terj. Munandir. Jakarta : PAU, Ditjen Dikti
Depdikbud.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta : LP3ES.
Fatah, Rohadi Abdul. 2005. Rekonstruksi Pesantren Masa Depan; dari
Tradisional, Modern, Hingga Pos modern), Cet.I, Jakarta: Lista fariska
Putra.
Giddens, Anthony. 2004. The constitution of society, terj. Teori Strukturisasi
untuk Analisis Sosial, Pasuruan: Pedati.
Hariadi, Ahmad. 2007. Kiprah Dakwah KH. Bisri Musthofa dalam Politik.
Semarang : Fakultas Dakwah IAIN Walisongo (Skripsi IAIN Walisongo
tidak dipublikasikan).
Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintas Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta : Raja Grafindo Cipta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. 2008. Jakarta : Gramedia.
Mas’ud, Abdurrahman. 2002. Muhammad Sang Pendidik. Semarang : Pustaka
Rizki Putra.
Mulyana, Deddy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosdakarya.
Masyhud, M. Sulthon. 2008. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva
Pustaka,.
Mahfudh , MA. Sahal. Makalah “Sebuah Refleksi tentang Kehidupan Pesantren”.
Bangsri, 21 Agustus 1993.
M. Ishom El-Saha & Amin Haedari. 2008. Manajemen Kependidikan Pesantren,
Jakarta: Transwacana.
M. Dian Nafi’ dkk. 2007. Praksis Pembelajaran Pesantren, Yogyakarta: LkiS.
Qomar, Munjamil. 2002. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta : Erlangga.
Rahardjo, Dawam Ed. 1985. Pergulatan Dunia Pesantren Membangan dari
Bawah. Jakarta: P3M.
Sriningsih, R. Satmoko. 2001. Landasan Kependidikan; Pengantar ke Arah Ilmu
Pendidikan Pancasila. Semarang : IKIP Press.
Sugiono. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung : Alfabeta.
RIWAYAT HIDUP
Nama : Moch. Taufiq Ridho, S.Pd.ITTL : Jepara, 3 September 1983Alamat : Jl. Karel Sasuit Tubun 13 JeparaNo. Telp : 081325214592
Pendidikan Formal :1. MA. Mathali’ul Falah Kajen Pati 2002-20042. S1 Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2005-20093. S2 Manajemen Pendidikan UNNES Semarang 2009- .......
Pendidikan Non Formal :1. Pesantren Mathali’ul Huda 1995-20022. Pesantren al-Kautsar 2002-2004
Organisasi :1. Ketua Himpunan Siswa Mathali’ul Falah 20032. Ketua Pondok Pesantren al-Kautsar 20043. Ketua Keluarga Mathali’ul Falah (KMF) Cab. Yogyakarta 20064. Sekjen BEM-J PAI Fak. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga 20075. Sekretaris HUMAS STAIMAFA Pati 2010
Penelitian dan Publikasi :1. Peserta Penelitian Kompetitif Individual Direktorat Pendidikan Tinggi Is-
lam, Kementerian Agama RI, Tahun 2010.2. Artikel dalam Buletin al-Tsaqofah dengan Judul “Membangun Masjid al-
Aqsha dalam Hati”, Tahun 2008.3. Artikel dalam Buletin al-Tsaqofah dengan Judul “Memaknai Kembali Tu-
juan Hidup”, Tahun 2008.
Januari 2011Hormat saya,
Moch. Taufiq Ridho, S.Pd.I